prm obesitas
DESCRIPTION
obgynTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang
masih kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang
baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan
konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu
maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian
perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian
akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus
tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada
pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif.(Saifuddin, AB,
2006)
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera
bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus
menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu
akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya
infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD
kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru
dan berat badan janin yang cukup. (Saifuddin, AB, 2006)
Obesitas merupakan masalah kesehatan dengan ruang lingkup
yang luas, karena orang dewasa dengan obesitas mengalami
pertumbuhan yang cepat. Prevalensi kelebihan berat badan, usia
reproduksi (25-44 tahun) perempuan di Amerika Serikat bervariasi antara
30-40%. Obesitas telah menantang dokter kandungan selama beberapa
dekade karena orang obesitas akan meningkatkan risiko medis berupa
komplikasi seperti diabetes, hipertensi, penyakit hati dan kandung
empedu, osteoarthritis, dan kanker. Ibu hamil dengan obesitas memiliki
prevalensi yang lebih tinggi mengalami diabetes dalam kehamilan,
1
preeklampsia, pertumbuhan janin terhambat dan lain-lain. Obesitas
mempersulit manajemen persalinan karena terbukti berhubungan dengan
dengan makrosomia, distosia bahu, cephalopelvic disproporsi, persalinan
yang lama dan tingginya kejadian seksio sesaria. Hal ini juga terkait
dengan lamanya proses persalinan karena kontraktilitas otot uterus
merupakan penentu utama dari kemajuan persalinan. Peningkatan
prevalensi persalinan lama dan inersia uteri membutuhkan induksi dengan
oksitosin karena wanita obesitas akan mengalami penurunan kontraktilitas
uterus. Obesitas pada wanita hamil memiliki kecenderungan bawaan
untuk memiliki kontraksi yang lemah sehingga menyebabkan gangguan
kontraksi uterus. (Catalin SB, 2004)
Berikut ini akan diajukan suatu kasus pada waktu masuk rumah
sakit dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid aterm + PRM 2 jam + obesitas,
Janin hidup, tunggal, intra uterin letak kepala H I-II. Setelah dilakukan
observasi dan penilaian 4 jam kemudian dilakukan drip induksi. Setelah
selesai drip induksi kolf I tidak ada kemajuan persalinan. Drip induksi
gagal, dilakukan SCTPP lahir anak laki-laki secara SCTPP dengan berat
badan 3738 gram, panjang badan 51 cm, dan A/S: 8/9.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Ny. Linda Enliana Suami : Bujang Rusdi
Umur : 30 tahun Umur : 41 tahun
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Pekerjaan : Buruh
Alamat : jl. Raya Padang Pasaman
bawah Lubuk Basung.
MR : 72 46 63
Anamnesa :
Seorang pasien wanita 30 tahun masuk KB IGD RSUP Dr. M.Djamil
Padang, tanggal 16 Januari 2011 jam 01.00 WIB dengan keluhan keluar
air-air yang banyak dari kemaluan sejak 2 jam yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluar air-air yang banyak dari kemaluan sejak 2 jam yang lalu,
membasahi 1 helai kain sarung, berwarna jernih, berbau amis.
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari tidak ada.
Keluar lendir campur darah dari kemaluan tidak ada.
Keluar darah yang banyak dari kemaluan tidak ada.
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu.
HPHT : lupa TP : sulit ditentukan
Gerak anak dirasakan sejak 4 bulan yang lalu
RHM : mual (-), muntah (-), pendarahan (-)
PNC : kontrol ke Bidan
RHT : mual (-), muntah (-), pendarahan (-)
3
Riwayat menstruasi : Menarche usia 13 tahun, siklus teratur 1 x
sebulan, lamanya 4-5 hari, banyaknya 2–3 x ganti duk/hari, nyeri
haid (-).
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
hipertensi.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan, menular,
dan kejiwaan.
Riwayat perkawinan: 1x tahun 2009
Riwayat kehamilan / abortus / persalinan: 1/0/0
1. Sekarang
Riwayat kontrasepsi : tidak ada
Riwayat imunisasi : tidak ada
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Komposmentis kooperatif.
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Suhu : 37C
Tinggi Badan : 153 cm
Berat Badan : 92 Kg BMI = 39,2
Mata : Conjunctiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tiroid tidak membesar
4
Thorak :
Paru : Inspeksi : simetris kanan = kiri
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler normal, Rh -/-, Wh -/-
Jantung : Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS
RIC V
Perkusi : batas-batas jantung dalam batas
normal
Auskultasi : irama jantung teratur, Bising (-)
Abdomen : Status Obstetrikus
Genitalia : Status Obstetrikus
Ekstremitas : Edema -/-, RF +/+, RP -/-
Status Obstetrikus:
Muka : Cloasma gravidarum (+)
Mamae : Membesar, tegang, A/P hiperpigmentasi, colostrum (+)
Abdomen :
Inspeksi : tampak membuncit sesuai usia kehamilan aterm,
L/M hiperpigmentasi, striae gravidarum (+), sikatrik (-)
Palpasi :
L1 : FUT teraba 3 jari bawah procesus xypoideus
Teraba massa besar, lunak, noduler
L2 : Tahanan terbesar dan bagian-bagian kecil janin
sulit dinilai
L 3 : Teraba massa keras, terfiksir
L 4 : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP
TFU : 36 cm TBA : 3565 gram His: (-)
Perkusi : Timpani
5
Auskultasi : bising usus (+) normal, DJJ = 148 x / menit
Genitalia : Inspeksi : V/U tenang
Inspekulo :
Vagina : tumor (-), laserasi (-), fluxus (+), tampak cairan jernih
menumpuk di fornix posterior, lakmus tes (+).
Portio : NP, ukuran sebesar jempol tangan dewasa, tumor (-),
laserasi (-), fluxus (+), tampak cairan jernih
merembes dari canalis cervicalis, OUE tertutup,
lakmus tes (+).
VT : Pembukaan 1 jari sempit PS=4
Portio tebal 1,5 cm, medial, lunak.
Ketuban sulit dinilai
Teraba kepala H I-II
UPD : Pomontorium sulit dinilai
Linea inominata sulit dinilai
Os sacrum cekung
Dinding samping panggul lurus
Spina ischiadica tidak menonjol
Os coccygeus mudah digerakkan
Arcus pubis > 90 0
UPL : DIT dapat dilalui 1 tinju dewasa
Kesan Panggul luas
Diagnosa :
G1P0A0H0 gravid aterm + PRM 2 jam + obesitas
Janin hidup, tunggal, intra uterin letak kepala H I-II
Sikap :
Kontrol KU, VS, DJJ, His
Nilai 4 jam lagi (05.00 wib)
Antibiotik Ampicillin 2 gr (IV)
6
Rencana :
Partus pervaginam
Hasil laboratorium :
Hb : 11,4 gr % Trombosit : 272.000/mm3
Leukosit : 13.700/mm3 Hematokrit : 35 %
GDS : 116 mg/dl
Jam 05. 00 WIB
A : nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-), gerak anak (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T His DJJ RPM
Sdg CMC 120/80 88x/m 18x/m 370C (-) 141x/mnt (+)
Genitalia : I : Vulva/Uretra tenang PS = 4
VT : pembukaan 1 jari sempit
Portio tebal 1,5 cm, medial, lunak
Ketuban sulit dinilai
Teraba kepala H I-II
Diagnosa :
G1P0A0H0 gravid aterm + PRM + obesitas
Janin hidup tunggal intrauterine letak kepala H I-II
Sikap :
Drip induksi
Rencana :
Partus pervaginam
Lapor konsulen jaga Dr. Hj. Ermawati SpOG-K Acc drip induksi
7
Jam 05.00 WIB
Dilakukan drip induksi dengan 5 IU oksitosin dalam 500 cc RL dimulai 10
tetes/menit, dinaikkan 5 tetes/menit setiap 30 menit sampai his adekuat
(max 60 tetes/menit)
Jam Σ tetesan TD nadi nafas His BJA
05.00 10 120/80 90 22 - 146
05.15 10 110/80 94 20 - 152
05.30 15 110/70 90 22 - 148
05.45 15 110/70 94 20 - 144
06.00 20 120/80 88 22 - 150
06.15 20 130/70 78 20 - 142
06.30 25 110/80 90 20 - 140
06.45 25 110/70 88 20 - 142
07.00 30 120/70 84 21 - 150
07.15 30 120/80 84 21 - 152
07.30 35 110/80 82 20 - 148
07.45 35 110/70 86 22 - 144
08.00 40 110/80 88 22 - 142
08.15 40 120/80 86 20 - 146
08.30 45 110/70 84 20 - 144
08.45 45 120/80 84 21 5-6/10-15’/L 140
09.00 50 120/70 78 22 5-6/10-15’/L 142
09.15 50 110/80 90 20 5-6/10-15’/L 150
JAM 09.15 WIB
Selesai drip induksi kolf I
A : nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+), gerak anak (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T His DJJ
Sdg CMC 120/90 90x/m 20x/m 370C 5-6/10-15’/L 138x/mnt
8
Genitalia : I : Vulva/Uretra tenang
VT : pembukaan 1 jari sempit
Portio tebal 1,5 cm, medial, lunak
Ketuban sulit dinilai
Teraba kepala H I-II
Diagnosa :
G1P0A0H0 gravid aterm + PRM + selesai drip induksi kolf I + gagal drip +
obesitas
Janin hidup tunggal intrauterine letak kepala H I-II
Sikap :
Kontrol KU, VS, DJJ, His
Lapor OK dan konsul anestesi
Siapkan darah PMI
Informed consent
Rencana : SC cito
Lapor konsulen jaga Dr. Hj. Yusrawati, SpOG-K Acc SC
Jam 11.30 WIB
Lahir seorang bayi Laki-laki (♂) secara SCTPP dengan :
Berat badan : 3738 gram
Panjang badan : 51 cm
A/S : 8/9
Plasenta lahir dengan sedikit tarikan ringan pada tali pusat, lengkap, 1
buah, berat 500 gram, ukuran ± 17x17x3 cm. Panjang tali pusat 50
cm, insersio parasentralis. Perdarahan selama tindakan ± 150 cc.
9
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. Gagal drip
Anak – Ibu dalam perawatan
Sikap :
Awasi paska tindakan
Perawatan post operasi di RR:
1. Kontrol KU, VS, PPV
2. Pasien tidur terlentang dalam 24 jam post tindakan dengan 1
bantal.
3. IVFD RL : D 5% = 3:1 28 tetes/mnt
4. Drip Syntocinon : methergin = 1:1 28 tetes/mnt
5. Antibiotik Ceftriaxone 2x1gr
6. Pronalges supp (k/p)
7. Cek Hb post tindakan jika Hb < 10 gr % transfusi
8. Bila BU (+) / flatus (+) boleh minum sedikit-sedikit
Labor post operasi:
Hb : 10,6 gr % Trombosit : 264.000/mm3
Leukosit : 12.400/mm3 Hematokrit : 32 %
GDS : 92 mg/dl
FOLLOW UP
Tanggal 17 Januari 2011, Jam 07.00 WIB
A : demam (-), flatus (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 120/80 84x/m 20x/m 36,90C
Mata : conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
10
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka tertutup verban
Palpasi : fundus uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi
baik, NT(-), NL(-), DM (-).
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi Vulva/uretra tenang, PPV (-), lokhia (+)
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. PRM gagal drip, nifas hari ke I
Anak-ibu baik
Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi bertahap
Diet TKTP
Vulva higiene
Pindah KR
Terapi :
Ceftriaxone 2 x 1gram (IV)
Antalgin 3 x 500 mg
Benovit C 1 x 1 tablet
Tanggal 18 Januari 2011, Jam 07.00 WIB
A : demam (-), mual (-), muntah (-), nyeri abdomen (+), BAK (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 120/80 88x/m 22x/m 37,1
Mata : conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka tertutup verban
Palpasi : fundus uteri 2 jari dibawah pusat, kontraksi
baik, NT(-), NL(-), DM (-).
11
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi Vulva/uretra tenang, PPV (-), lokhia (+)
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. PRM gagal drip, nifas hari ke II
Anak-ibu baik
Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi bertahap
Diet TKTP
Vulva higiene
Terapi :
Ceftriaxone 2 x 1gram (IV)
Antalgin 3 x 500 mg
Benovit C 1 x 1 tablet
Tanggal 19 Januari 2011, Jam 07.00 WIB
A : demam (-), BAK (+), BAB (-), ASI (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 120/70 80x/m 20x/m 37
Mata : conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka tertutup verban
Palpasi : fundus uteri 3 jari dibawah pusat, kontraksi
baik, NT(-), NL(-), DM (-).
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi Vulva/uretra tenang, PPV (-), lokhia (+)
12
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. PRM gagal drip, nifas hari ke III
Anak-ibu baik
Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi bertahap
Diet TKTP
Vulva higiene
Terapi :
Ceftriaxone 2 x 1gram (IV)
Antalgin 3 x 500 mg
Benovit C 1 x 1 tablet
Tanggal 20 Januari 2011, Jam 07.00 WIB
A : demam (-), BAK (+), BAB (-), ASI (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 130/90 84x/m 20x/m 37
Mata : conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka tertutup verban
Palpasi : fundus uteri 3 jari dibawah pusat, kontraksi baik,
luka operasi kering, NT(-), NL(-), DM (-).
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi Vulva/uretra tenang, PPV (-), Lokhia (+)
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. PRM gagal drip, nifas hari ke IV
Anak-ibu baik
13
Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi bertahap
Diet TKTP
Vulva higiene
Terapi :
Amoxicillin 3 x 500 mg
Antalgin 3 x 500 mg
Benovit C 1 x 1 tablet
Tanggal 21 Januari 2011, Jam 07.00 WIB
A : demam (-), BAK (+), BAB (-), ASI (+).
PF : KU Kes TD Nd Nfs T
Sdg CMC 120/80 84x/m 22x/m 37
Mata : conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit, luka tertutup verban
Palpasi : fundus uteri 3 jari dibawah pusat, kontraksi
baik, luka operasi kering, NT(-), NL(-), DM (-).
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : Inspeksi Vulva/uretra tenang, PPV (-), lokhia (+)
Diagnosa :
P1A0H1 post SCTPP ai. PRM gagal drip, nifas hari ke V
Anak-ibu baik
Sikap :
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi bertahap
14
Diet TKTP
Vulva higiene
Terapi :
Amoxicillin 3 x 500 mg
Antalgin 3 x 500 mg
Benovit C 1 x 1 tablet
Rencana : boleh pulang
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. OBESITAS
1. Definisi
Obesitas adalah suatu keadaan dimana terdapat penimbunan
lemak yang berlebihan didalam tubuh. Sejumlah sistem telah digunakan
untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan obesitas. Indeks massa
tubuh (BMI), juga dikenal sebagai Indeks Quetelet. BMI dihitung sebagai
berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan dalam meter persegi
(kg/m2). BMI dihitung nilai-nilai yang tersedia dalam berbagai grafik dan
bentuk grafis, seperti yang ditunjukkan pada Grafik 1. (Cunningham FG et al, 2010)
Grafik 1. Perkiraan Indeks Massa Tubuh (BMI) (Dikutip dari: Cunningham FG et al, 2010)
16
Rekomendasi untuk penambahan berat badan selama masa
kehamilan, yang didasarkan pada BMI wanita sebelum hamil seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1. Deposisi lemak lebih besar pada wanita dengan
BMI tinggi. Kinoshita dan Itoh (2006) mempelajari perubahan distribusi
regional lemak pada semua kehamilan menggunakan sonografi. Mereka
menemukan bahwa selama trimester ketiga terjadi peningkatan terutama
pada lemak visceral. Meskipun hal ini tidak baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Sehingga dianjurkan wanita gemuk tidak boleh
mengalami penurunan berat badan selama kehamilan tetapi harus
membatasi berat badan sampai 20 pound. Hampir semua komplikasi
secara signifikan meningkat pada wanita yang BMI di atas normal. (Cunningham
FG et al, 2010)
Tabel 1. Peningkatan Berat Badan Wanita Hamil Berdasarkan BMI (Body Mass Index) (Dikutip dari: Cunningham FG et al, 2010)
17
Tabel 2. Peningkatan Berat Badan Wanita Hamil Berdasarkan BMI (Body Mass Index) Menurut WHO. (Dikutip dari: Zachariah M, Acharya U. 2007)
2. Prevalensi
Prevalensi obesitas telah meningkat di negara maju,
kelebihan berat badan pada ibu hamil merupakan hal yang umum terjadi.
Di Amerika Serikat, angka kejadian obesitas pada ibu hamil berkisar
antara 18,5-38,3% menurut rumus BMI. Kelebihan berat badan sebelum
hamil merupakan salah satu kehamilan dengan resiko tinggi pada kasus
obstetrik. (Florence GD, 2000)
3. Komplikasi
Semua pasien dengan obesitas memiliki peningkatan risiko
gestational diabetes dan preeklamsia. Deep vena trombosis dan
komplikasinya yang meliputi kematian ibu terlihat lebih sering pada pasien
obesitas. Obesitas dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan
dari induksi persalinan dan melahirkan secara seksio sesaria. Obesitas
adalah faktor risiko spesifik untuk terjadinya komplikasi seperti perdarahan
selama operasi, infeksi luka pasca operasi, aspirasi dan emboli paru.(Miller C,
2001)
18
Tabel 3. Komplikasi Obstetri Pada Wanita Hamil Dengan Obesitas (Dikutip dari: Suneet P, 2003)
Tabel 4. Hubungan Body Mass Index (BMI) Sebelum Hamil DenganKondisi Kehamilan Pada Ibu Dan Janin. (Dikutip dari: Miller C, 2001)
19
Tabel 5. Prevalensi PROM Pada Wanita Hamil Berdasarkan BMI Sebelum Hamil (Dikutip dari: Miller C, 2001)
4. Persalinan pervaginam pada wanita hamil dengan obesitas
Selama proses persalinan akan terjadi beberapa kondisi yang
dapat terjadi pada wanita hamil dengan obesitas: (Florence GD, et al, 2000)
Kegagalan dalam kemajuan persalinan karena gangguan kontraksi
uterus
Adanya distosia bahu karena macrosomia
Kesulitan pemantauan jantung bayi
Peningkatan risiko gagalnya persalinan pervaginam pada bekas
SC.
Peningkatan resiko seksio sesaria emergensi.
Peningkatan risiko komplikasi yang berhubungan dengan
tindakan seksio sesaria.
Obesitas pada wanita hamil mempunyai risiko yang besar untuk
persalinan dengan SC karena pada persalinan normal akan ditemukan
keterlambatan pada kala I fase aktif, serta peningkatan deposisi jaringan
lunak di panggul ibu dan bayi yang lebih besar. Peningkatan risiko operasi
SC pada wanita hamil yang obesitas lebih besar dari pada wanita dengan
20
berat badan normal dan berat badan bayi normal. Persalinan pervaginam
wanita hamil yang obesitas meningkatkan risiko kala I fase aktif yang
lambat. Miometrium pada wanita gemuk mempunyai kekuatan dan
frekuensi yang kurang serta adanya penurunan refluks [Ca2+]
dibandingkan dengan berat badan wanita hamil yang normal. (Zhang J, et al, 2006)
Body mass index (BMI) dan hiperkolesterolemia adalah suatu hal
yang perlu diketahui. Kolesterol, adalah komponen yang penting dalam
membran sel, berperan penting dalam mengontrol kontraktilitas otot polos.
Beberapa komponen sistem sinyal selular penting untuk transduksi sinyal
otot polos telah ditemukan di daerah yang kaya kolesterol dari membran
sel. Secara khusus, estrogen dan oksitosin reseptor pada membran
miometrium dilokalisasi dan keberhasilan tersebut dimodulasi oleh kole
sterol. Adanya perubahan pada [Ca2+] yang berperan dalam perubahan
kontraktilitas. Pada penelitian ditemukan bahwa kontraktilitas miometrium
berkurang pada wanita gemuk karena kelebihan berat badan dan obesitas
menyebabkan keterlambatan kemajuan persalinan sebelum pembukaan 7
cm dan peningkatan resiko tindakan SC. Fisiologis dari kegemukan bisa
menghambat kontraktilitas miometrium. (Zhang J, et al, 2006)
Gambar 1. Kekuatan Kontraksi Miometrium Dan Kadar Kalsium (Dikutip dari: Zhang J, et al, 2006)
21
Kekuatan kontraksi miometrium dan Ca2 + diteliti pada perempuan
dengan rencana SC elektif (gambar 1). Amplitudo dan frekuensi kontraksi
dari underweight (uw), BMI <19,9 kg/m2, normal (n), BMI 20-24,9 kg/m2,
kelebihan berat badan (ow), BMI 25-29,9 kg/m2, obesitas (ob), BMI> 30
kg/m2. Tanda bintang statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan
dari grup berat badan normal. (Zhang J, et al, 2006)
Ibu obesitas dan hiperkolesterolemia memiliki kolesterol tinggi,
LDL yang sangat rendah, trigliserida plasma yang sangat rendah serta
(VLDL- C) dengan konsentrasi yang jauh lebih tinggi serta HDL yang
rendah pada wanita obesitas daripada wanita hamil dengan berat badan
normal. Kenaikan VLDL-C berhubungan dengan meningkatnya ratio
kolesterol bebas (fosfolipid) serta adanya perubahan pada viskositas
membran dan fluiditas membran sel. Penurunan fluiditas membran dapat
mempengaruhi fungsi dari komponen membran integral, seperti
translokasi Ca2 + dari ruang ekstraseluler ke sitoplasma selama siklus
kontraksi-relaksasi otot miometrium. Kolesterol juga penting untuk
komponen lipid yang berperan dalam memodulasi fungsi reseptor,
membantu kontraktilitas. Tingginya kadar kolesterol pada wanita gemuk
mungkin mempengaruhi efektivitas kontraksi uterus. (Zhang J, et al, 2006)
Hambatan kontraktilitas didasarkan pada perubahan biokimia yang
disebabkan oleh obesitas. Sebagai contoh, leptin, merupakan suatu
protein yang berperan dalam metabolisme sel serta berfungsi regulasi dan
diproduksi dalam jumlah yang meningkat pada wanita gemuk. Moynihan
et al menunjukkan bahwa leptin sangat menghambat kontraktilitas
miometrium in vitro. Kolesterol, juga meningkat pada obesitas, hal ini juga
berefek menghambat aktivitas miometrium dan aktifitas kalsium.
Sehingga disimpulkan obesitas yang dapat mengganggu kemajuan
persalinan dengan menghasilkan pola-pola disfungsional pada dilatasi
cervik. Mekanisme efek seperti itu mungkin dimediasi melalui kontraktilitas
uterus yang berkurang dalam fase aktif persalinan, sehingga peningkatan
22
kadar leptin, kolesterol, atau zat-zat metabolik lainnya pada wanita
dengan obesitas akan mengganggu kontraktilitas otot uterus. (Zhang J, et al, 2006)
B. KETUBAN PECAH DINI (KPD)
Selaput ketuban yang membatasi rongga amnion tediri atas amnion
dan korion yang sangat erat ikatanya. Lapisan ini terdiri atas beberapa sel
seperti sel epitel, sel mesenkim dan sel trofoblas yang terkait erat dalam
matriks kolagen. Selaput ketuban berfungsi menghasilkan air ketuban dan
melindungi janin terhadap infeksi.(Soetomo S, 2009)
Dalam keadaan normal, selaput ketuban pecah dalam proses
persalinan. Ketuban pecah dini adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur. Dalam keadaan normal 8-10 % perempuan hamil aterm akan
mengalami ketuban pecah dini. (Soetomo S, 2009)
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1 % kehamilan.
Pecahnya selaput ketuban berkaitan dengan perubahan proses biokimia
yang terjadi dalam kolagen matriks ekstra selular amnion, korion dan
apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimulasi seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan
memproduksi mediator seperti prostaglandin, sitokinin dan protein hormon
yang merangsang aktivitas “ matrix degrading enzym”.(Soetomo S, 2009)
1. Mekanisme Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh
kontraksi uterus oleh peregangan yang berulang. Selaput ketuban pecah
karena pada daerah tertentu terjadi perubahan biokimia yang
menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh
selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan
degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
23
katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan
menyebabkan selaput ketuban pecah.
Faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini adalah:
Berkurangnya asam askorbat sebagai komponen kolagen
Kekurangan tembaga dan asam askorbik yang berakibat
pertumbuhan struktur abnormal karena antara lain merokok.
Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metaloproteinase (MMP)
yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor protease.
Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan TIMP-1
mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks ekstraseluler dan
membran janin. Aktivitas degradasi proteolitik ini meningkat menjelang
persalinan. Pada penyakit periodontitis dimana terdapat peningkatan
MMP, cenderung terjadi Ketuban pecah dini.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester
ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput
ketuban adanya hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi
uterus dan gerakan janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan
biokimia pada selaput ketuban. Pecahnya ketuban pada kehamilan aterm
merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan prematur
disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang
menjalar dari vagina. Ketuban pecah dini prematur sering terjadi pada
polihidramnion, inkompeten serviks, solusio plasenta.(Soetomo S, 2009)
Predisposisi ketuban pecah dini / persalinan preterm:
1. Kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
2. Riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2 - 4x
3. Tindakan sanggama : tidak berpengaruh kepada risiko, kecuali jika
higiene buruk, predisposisi terhadap infeksi.
24
4. Perdarahan pervaginam : trimester pertama (risiko 2x), trimester
kedua/ketiga (20x)
5. Bakteriuria : risiko 2x (prevalensi 7%)
6. pH vagina di atas 4.5 : risiko 32% (vs. 16%)
7. Cervix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25%
8. Flora vagina abnormal : risiko 2-3x
9. Fibronectin > 50 ng/ml : risiko 83% (vs. 19%)
10.Kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi
misalnya pada stress psikologis, dsb, dapat menjadi stimulasi
persalinan preterm.
2. Komplikasi
Komplikasi yang timbul akibat ketuban pecah dini bergantung pada
usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal ataupun neonatal,
persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat, deformitas janin,
meningkatnya insiden seksio sesaria ataupun gagalnya persalinan normal. (Soetomo S, 2009)
3. Penilaian Klinik
Tentukan pecahnya selaput ketuban. Ditentukan dengan adanya
cairan ketuban di vagina, jika tidak ada dapat dicoba dengan gerakan
sedikit bagian terbawah janin atau meminta pasien batuk atau
mengedan. Penentuan cairan ketuban dapat di lakukan dengan tes
lakmus (Nitrazin test) merah menjadi biru, membantu dalam
menentukan jumlah cairan ketuban dan usia kehamilan, kelainan
janin.
Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi yaitu: bila suhu
tubuh ibu ≥ 38 0C, air ketuban yang keruh dan berbau. Pemeriksaan
air ketuban dengan tes LEA (Leukosit Esterase) yaitu leukosit darah
25
> 15.000/mm3. Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami
infeksi intrauterin.
Tentukan tanda-tanda in partu. Tentukan adanya kontraksi yang
teratur, periksa dalam dilakukan, bila akan dilakukan penanganan
aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvik. ( Saifuddin, AB, 2006)
4. Penatalaksanaan
A. Konservatif
Rawat di Rumah Sakit
Berikan antibiotik ( ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila alergi
ampisilin ) dan metronidazole 2 x 500 mg selama 7 hari.
Jika umur kehamilan < 32-34 minggu, dirawat selama air ketuban
masih keluar,atau sampai air ketuban tidak keluar lagi.
Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum in partu, tidak ada
infeksi, tes busa negatif: berikan dexametason, observasi tanda-
tanda infeksi, dan kesejahteraan janin. Terminasi pada kehamilan
37 minggu.
Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada
infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), dexametason, dan induksi
sesudah 24 jam.
Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi, beri antibiotik dan
lakukan induksi.
Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi
intrauterin).
Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu
kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar
lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg
sehari dosis tunggal selama 2 hari, dexametason IM 5 mg setiap 6
jam sebanyak 4 kali.
26
B. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal
seksio sesaria. Dapat juga diberikan misoprostol 50 ug intravaginal
tiap 6 jam maksimal 4 kali.
Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan
persalinan diakhiri:
a) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan serviks, kemudian
induksi. Jika tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.
b) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam. (Saifuddin, AB, 2006)
5. Prognosis
Sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya
infeksi, pada usia kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran
semakin buruk prognosisnya. (moloek FA, 2003)
C. INDUKSI PERSALINAN
Induksi adalah memberikan rangsangan berupa kontraksi sebelum
adanya tanda-tanda persalinan, dengan atau tanpa pecahnya ketuban.
Menurut Pusat Statistik Kesehatan Nasional, insidensi induksi persalinan
di Amerika Serikat lebih dari 2 x lipat dari 9,5 % pada tahun 1991-22,5 %
pada tahun 2006 (Martin dan rekan, 2009). Cara Induksi persalinan dapat
dilakukan dengan: (Cunningham, FG et al, 2010)
a). Secara Medis
Infus oksitosin
Prostaglandin
Cairan hipertonik intra uteri
27
b). Secara manipulatif
Amniotomi
Melepas selaput ketuban dan bagian bawah rahim ( stripping of
the membrane)
Pemakaian rangsangan listrik
Rangsangan pada papilla mammae
1. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diberikan ketika manfaat untuk ibu atau janin lebih besar
daripada melanjutkan kehamilan. Indikasi termasuk kondisi langsung,
seperti: (Cunningham, FG et al, 2010)
a. Janin
Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis
Janin mati
Kehamilan postterm
b. Ibu
Preeklampsia berat
Hipertensi dalam kehamilan
Kehamilan postterm
Hipertensi kronis
Diabetes mellitus
2. Kontra Indikasi Induksi Persalinan
Kontra indikasi untuk induksi sama dengan persalinan spontan.
Faktor dari janin meliputi: (Cunningham, FG et al, 2010)
Macrosomia
Kehamilan multifetal
Hidrosefalus berat
Malpresentasi dan malposisi
28
Beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan jenis sayatan di
uterus sebelumnya
Gangguan anatomi panggul
Plasenta yang abnormal: insufisiensi plasenta dan plasenta previa
Grande multipara
Distensi rahim yang berlebihan
Kondisi seperti infeksi herpes atau kanker serviks
3. Syarat-Syarat Drip Induksi (Cunningham, FG et al, 2010)
Kehamilan aterm
Ukuran panggul normal
Tak ada CPD
Janin dalam presentasi kepala
Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar dan sudah mulai
membuka)
4. Risiko
Risikonya meningkatkan angka komplikasi kehamilan dengan
persalinan yang diinduksi yang berakhir dengan persalinan secara
perabdominal, chorioamnionitis dan atonia uteri. (Cunningham, FG et al, 2010)
5. Keberhasilan Induksi Persalinan
Beberapa faktor yang meningkatkan keberhasilan induksi
persalinan adalah:
Multiparitas
Indeks massa tubuh (BMI) <30
Serviks yang matang
Berat badan janin < 3500 gram
Para penulis menyimpulkan bahwa dengan membutuhkan minimal
12 jam stimulasi uterus dengan oksitosin setelah ketuban pecah, pada
29
nulliparas masuk fase laten pada 6 jam berikutnya dan 9 jam masuk fase
aktif dan partus pervaginam. Simon dan Grobman (2005) melaporkan
bahwa hanya 2 % dari persalinan nulliparas mencapai fase aktif sebelum
persalinan dengan seksio sesaria. (Cunningham, FG et al, 2010)
6. Pematangan Serviks
Kondisi serviks yang matang penting untuk keberhasilan suatu
induksi persalinan. Salah satu metode kuantitatif digunakan untuk
memprediksi keberhasilan induksi persalinan adalah dengan skor Bishop
dengan angka 9 kemungkinan tinggi untuk keberhasilan induksi.
Kebanyakan praktisi akan menganggap bahwa seorang perempuan
dengan dilatasi serviks 2 cm, penipisan 80 %, medial dengan kepala janin
berada di Hodge 1 memiliki keberhasilan dalam induksi persalinan. Skor
Bishop 4 atau kurang kemungkinan kondisi serviks tidak mendukung
suatu persalinan pervaginam sehingga merupakan indikasi untuk
pematangan serviks. (Cunningham, FG et al, 2010)
Tabel 6. Penilaian Serviks Menurut Bishop (Dikutip dari : Cunningham FG et al, 2010 )
Skor 0 1 2 3Pembukaan serviks (cm)
0 1 - 2 3 – 4 5 – 6
Pendataran serviks (%)
0 – 30 40 - 50 60 – 70 80
Penurunan kepala di ukur dari bidang hodge III (cm)
- 3 - 2 - 1/0 +1 / +2
Konsistensi serviks Kaku sedang Lunak
Posisi serviks ke belakang searah sumbu jalan lahir
kearah depan
Pada banyak kasus, pasien terlalu sering memiliki indikasi untuk
induksi tapi dengan serviks yang tidak menguntungkan. Sebagai
30
favorability atau penurunan skor Bishop, ada tingkat induksi semakin tidak
berhasil. Dengan demikian, penelitian banyak yang diarahkan ke berbagai
teknik untuk "mematangkan" serviks sebelum timbulnya kontraksi uterus.
Dalam banyak kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan
favorability juga merangsang kontraksi uterus. Dengan demikian, mereka
dapat digunakan untuk induksi persalinan. Metode yang digunakan untuk
pematangan serviks meliputi persiapan farmakologis dan berbagai bentuk
distensi serviks mekanik. (Cunningham, FG et al, 2010)
7. Penilaian Kesiapan Miometrium
Miometrium yang mengelilingi kavum uteri sangat dekat dengan
desidua maternal dan secara topografi dipisahkan kedalam fundus, korpus
dan isthmus. Selama fase aktif persalinan, fundus uteri aktif berkontraksi
sedangkan segmen bawah rahim mengalami relaksasi ke arah serviks
dan terus menipis. Bukti perbedaan topografi miometrium manusia tidak
hanya sebatas perubahan fisik selama persalinan. (Terzidou Vasou, 2007)
Konsentrasi reseptor oksitosin miometrium terus meningkat dan hal
ini menggambarkan peningkatan sensitivitas terhadap rangsangan
oksitosin. Ikatan dari oksitosin pada reseptornya merangsang kontraksi
uterus melalui aktivasi pospolipase C yang pada akhirnya memobilisasi
kalsium intrasel. Pengaruh tambahan pada kontraktilitas mungkin
diperantarai melalui reseptor oksitosin desidua yang merangsang produksi
prostanoid intrauterus.
Peningkatan reseptor oksitosin miometrium sejalan dengan
peningkatan jumlah dan luas permukaan protein gap junction. Sama
seperti pada sel otot lain, sinyal selular yang mengontrol kontraksi dan
relaksasi miometrium secara efektif dihantarkan diantara sel-sel melalui
saluran penghubung interselular. Komunikasi antar sel miometrium
berlangsung melalui gap junction. Jumlah optimal gap junction dipercaya
penting untuk sinkronisasi kelistrikan miometrium dan koordinasi
kontraksi.(Cunningham, 2010) Induksi dengan oksitosin akan menghasilkan
31
kontraksi yang efektif bila reseptor oksitosin miometriumnya sudah cukup
serta ada gap junction untuk koordinasi kontraksi.
Rangsangan papilla mammae dapat dipakai untuk mengetahui
adanya reseptor oksitosin. Kontraksi yang timbul setelah rangsangan
papillae mammae menunjukkan kesiapan miometrium untuk memasuki
persalinan.(Serudji Joserizal, 1993)
8. Induksi Persalinan Dengan Oksitosin
Pada kebanyakan kasus, pematangan serviks sebelum induksi dan
induksi persalinan merupakan hal yang biasa. Sering kali, seperti
dijelaskan di atas, "pematangan" juga akan merangsang persalinan. Jika
tidak, bagaimanapun, induksi atau augmentasi dapat dilanjutkan dengan
infus oksitosin yang diencerkan dalam cairan infus. (Cunningham, FG et al, 2010)
Oksitosin sintetik adalah salah satu obat yang paling umum
digunakan di Amerika Serikat. Ini adalah pertama kalinya disintesis
hormon polipeptida, mendapat prestasi tahun 1955 berupa hadiah Nobel
Kimia(du Vigneaud dan rekan kerja, 1953). Obat ini dapat digunakan
untuk induksi atau tambahan untuk proses persalinan. Dengan
menggunakan oksitosin, dokter kandungan dan ginekolog di American
College (1999a) merekomendasikan untuk memantau denyut jantung
janin dan kontraksi untuk setiap kehamilan berisiko tinggi. Kontraksi dapat
dipantau baik dengan palpasi atau melalui sarana elektronik pencatatan
aktivitas uterus. Satu hal yang penting bahwa dengan palpasi adalah
tekanan kontraksi tidak dapat diukur secara akurat. (Cunningham, FG et al, 2010)
9. Teknik Pemberian Oksitosin Intravena
Tujuan dari induksi atau augmentasi adalah untuk mempengaruhi
aktivitas uterus yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan
penurunan janin. Secara umum, oksitosin harus dihentikan jika jumlah
kontraksi berlanjut dengan frekuensi yang > 5 x dalam waktu 10 menit
atau 7 x dalam waktu 15 menit atau dengan pola denyut jantung janin
32
yang tidak baik. Penghentian oksitosin hampir selalu cepat menurunkan
frekuensi kontraksi. Bila oksitosin dihentikan, konsentrasi dalam plasma
akan turun cepat karena waktu paruhnya sekitar 5 menit. Seitchik dan
rekan kerja (1984) menemukan bahwa kontrak uterus dalam waktu 3 - 5
menit awal infus oksitosin dengan konsentrasi yang cukup di plasma
dicapai dalam 40 menit. Respon yang sangat bervariasi dan tergantung
pada. (Cunningham, FG et al, 2010)
Kondisi uterus dan cerviks
Usia kehamilan
Perbedaan kondisi biologis
10. Dosis Oksitosin
Satu ampulnya mengandung 10 unit yang diencerkan dalam 1000
ml cairan kristaloid yang terpasang dengan infus. Ada jenis lain yang khas
yaitu yang mengandung 10-20 unit atau 10.000-20.000 mU dicampurkan
kedalaman 1000 ml larutan RL. Hasil campuran ini dalam konsentrasi
oksitosin 10 atau 20 mU/ml. (Cunningham, FG et al, 2010)
Di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. M. Djamil Padang, protokol
induksi persalinan menggunakan 5 IU oksitosin dalam 500 ml ringer laktat
mulai 6 mIU/menit dinaikkan 3 mIU/menit setiap 30 menit sampai his
adekuat.
Tabel 7. Variasi Dosis Oksitosin Rendah Sampai Tinggi Pada Induksi Persalinan (Dikutip dari : Cunningham FG et al, 2010 )
Regimen Dosis Awal Peningkatan Dosis 9 Interval
33
(Mu/Menit) (Mu/Menit) (Menit)Dosis rendah
0,5-1,5 1 15-40
2 4, 8, 12, 16, 20, 25, 30
15
Dosis tinggi 4 4 154,5 4,5 15-306 6a 20-40b
a: Dengan hiperstimulasi dan sesudah infus oksitosin dihentikan dan dimulai dengan ½ dari dosis sebelumnya dan meningkat setiap 3 mU/menit.
b: Hiperstimulasi pada interval yang pendek
BAB IV
DISKUSI
34
Telah diajukan suatu kasus pada waktu masuk rumah sakit dengan
diagnosa G1P0A0H0 gravid aterm + PRM 2 jam + obesitas, Janin hidup,
tunggal, intra uterin letak kepala H I-II. Permasalahan pada pasien ini
adalah :
1. Apakah pilihan persalinan pada pasien ini sudah tepat ?
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat ?
Diagnosis KPD (PRM) pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis diketahui pasien
mengeluh keluar air-air yang banyak dari kemaluan sejak 2 jam sebelum
masuk RS, yang membasahi sehelai kain sarung dengan warna jernih dan
bau amis yang merupakan bau khas air ketuban tanpa adanya tanda-
tanda inpartu berupa nyeri pinggang menjalar keari-ari ( his ) dan
keluarnya lendir campur darah dari kemaluan ( bloody show ). Ini sesuai
dengan definisi KPD yaitu pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-
tanda inpartu.(Soetomo S, 2009)
Pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya tanda-tanda infeksi
intrauterine. Ini ditandai dengan suhu tubuh yang normal, tidak ada
takikardi ibu dan janin, frekuensi bunyi jantung yang masih dalam batas
normal dan teratur ( tidak ada fetal distress ) dan juga tidak adanya sekret
vagina yang berbau. Ditunjang hasil laboratorium dengan leukosit yang
normal. Namun pasien tetap diberikan antibiotik spektrum luas untuk
profilaksis. Setelah melahirkan pasien ini dilanjutkan dengan pemberian
antibiotik injeksi dan oral. Tindakan pemberian profilaksis ini masih
menjadi kontroversi dan hingga saat ini belum ada penelitian untuk menilai
keuntungan tindakan ini. POGI dalam Standar Pelayanan Medik Obstetri
dan Ginekologi untuk pasien PRM dengan tindakan konservatif
menganjurkan pemberian antibiotika bila ketuban sudah pecah > 6 jam,
tetapi pada pasien ini antibiotik diberikan pada ketuban yang sudah pecah
2 jam dengan Ampicilin 2 gram (IV). Pada pasien ini pemberian antibiotik
35
walaupun tidak tepat kita tetap berikan karena tingginya angka infeksi
nosokomial diruang persalinan dan perawatan menurut SMF Obstetri dan
Ginekologi Rs Dr. M. Djamil Padang.
Dalam buku acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, antibiotika dosis tinggi diberikan apabila ditemukan tanda-tanda
infeksi. ( Saifuddin, AB, 2006)
Pada pemeriksaan fisik dengan inspekulo didapatkan adanya
cairan yang menumpuk di fornik posterior vagina dengan test lakmus
positif (merubah warna lakmus merah menjadi biru) yang menunjukkan
cairan ini memiliki pH > 7, sesuai dengan karakter cairan ketuban dan
terlihat cairan jernih merembes dari canalis cervicalis. ( Saifuddin, A.B, 2006)
Setelah point diagnostik KPD didapatkan, dilakukan pemeriksaan
dalam (Vaginal toucher / VT) untuk menilai keadaan pelvik yang sangat
menentukan dalam pengelolaan pasien selanjutnya.
Setelah diagnosa KPD ditegakkan maka hal yang paling penting
diketahui secara pasti adalah usia kehamilan, karena sangat menentukan
dalam pilihan terapi. Pada pasien ini usia kehamilan tidak dapat dihitung
berdasarkan rumus Naegle, karena HPHT lupa. Gravida aterm ditetapkan
berdasarkan lamanya tidak haid, mulanya dirasakan gerak anak, tinggi
fundus uteri. Diagnosis ketuban pecah dini pada pasien ini sudah tepat,
berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Setelah diagnosa dan penatalaksanaan ditegakkan, maka untuk
kepentingan akademis diperlukan pemikiran untuk mencari penyebab dari
KPD ini. Walaupun secara teori penyebab dari KPD ini masih belum
diketahui, namun ada beberapa faktor resiko yang mungkin ada pada
pasien ini. Seperti sosioekonomi yang rendah yang kita kaitkan dengan
infeksi bakteri atau Sexual Transmitted Disease/STD dan infeksi traktus
urinarius yang masih memerlukan pembuktian dengan mengkultur sekret
vagina dan kultur urin untuk mencari ada tidaknya sumber infeksi yang
36
menjadi faktor resiko terjadinya KPD.(Parry S, 1998) Namun pada pasien ini
tidak dilakukan. Etiologi ketuban pecah dini pada pasien ini belum dapat
ditentukan.
Pada pasien ini terdapat faktor resiko untuk terjadinya suatu KPD
dengan TB = 153 cm dan BB = 92 kg didapatkan BMI = 39,9.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Miller C tahun 2001
dinyatakan bahwa terdapat hubungan antara BMI sebelum hamil dengan
angka kejadian KPD intrapartum dengan persentase 7,9 % pada wanita
obesitas. (Miller C, 2001) Penghitungan BMI pada pasien ini kurang tepat,
karena penghitungan BMI seharusnya dilakukan dengan berat badan
sebelum hamil, sehingga dapat dinilai peningkatan berat badan selama
hamil yang masih dalam batas normal. Hal ini dapat dilihat dari tabel 1
dan 2. Pasien ini didiagnosa dengan obesitas berdasarkan BMI kemudian
dilakukan pemeriksaan gula darah sewaktu, untuk menyingkirkan adanya
DM dalam kehamilan. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil
GDS normal, walaupun seharusnya dilanjutkan dengan pemeriksaan
yang lebih akurat yaitu gula darah 2 jam pp tapi tidak dapat dilakukan
pemeriksaan karena pasien tidak dalam persiapan yaitu minimal 6 jam
sebelum di ambil darah untuk pemeriksaan gula darah 2 jam pp. Setelah
dilakukan tindakan SCTPP, pasien dan bayi dilakukan pemeriksaan GDS
ulang yang hasilnya masih dalam batas normal.
Sesuai dengan protap bagian obstetri dan ginekologi maka rencana
penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan menunggu munculnya
tanda-tanda inpartu sampai 6 jam sejak pecahnya ketuban. Setelah
ditunggu selama 4 jam, pada pasien ini tidak terdapat tanda – tanda
inpartu. Pada pemeriksaan rangsangan papilla mammae didapatkan hasil
yang positif. Rangsangan papilla mammae dapat dipakai untuk
mengetahui adanya reseptor oksitosin. Kontraksi yang timbul setelah
rangsangan papillae mammae menunjukkan kesiapan miometrium untuk
memasuki persalinan.
37
Penanganan selanjutnya dilakukan drip induksi dengan
terpenuhinya syarat-syarat suatu tindakan induksi persalinan yaitu
kehamilan aterm, ukuran panggul normal, tidak ada CPD, janin dalam
presentasi kepala, Servik telah matang (portio lunak, mulai mendatar
medial dan sudah mulai membuka).( Saifuddin, A.B, 2006, Cunningham FG et al, 2010)
Pada pemeriksaan dalam didapatkan pelvik score 4, rangsangan
papilla mammae positif sehingga kemungkinan keberhasilan drip induksi
lebih besar. Drip induksi dilakukan dengan pemberian oksitosin 5 IU
dalam 500 cc RL dimulai dengan 10 tetes/menit dan dinaikkan 5 tetes/30
menit sampai his ade kuat (maximal 60/menit). (Cunningham, 2010) Setelah drip
induksi kolf pertama selesai didapatkan tanda-tanda inpartu dari
anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan his 5-6/10-15’/L. Pada
pemeriksaan vagina toucher didapatkan pembukaan 1 jari sempit, portio
tebal 1,5 cm, medial, lunak, ketuban sulit dinilai dan teraba kepala H I-II.
Drip induksi dinyatakan gagal karena tidak didapatkannya his yang
adekuat sehingga tidak ada kemajuan persalinan. Penatalaksanaan pada
pasien ini kurang tepat karena seharusnya dilakukan drip induksi sampai
60 tetes /menit sehingga setelah memasuki tetesan ke 60 masih belum
didapatkan his yang ade kuat, kita bisa menyatakan gagal drip induksi.
Beberapa faktor yang meningkatkan keberhasilan induksi
persalinan adalah multiparitas, indeks massa tubuh (BMI) <30, serviks
yang matang dan berat badan janin < 3500 gram. (Cunningham, FG et al, 2010) Pada
pasien ini kegagalan drip induksi didukung oleh faktor nuliparitas, BMI
39,2 (obesitas) dan taksiran berat janin 3565 gram. Persalinan
pervaginam pada wanita hamil dengan obesitas menpunyai resiko akan
terjadi kegagalan dalam kemajuan persalinan karena gangguan kontraksi
uterus. (Florence GD, et al, 2000) Miometrium pada wanita gemuk mempunyai
kekuatan dan frekuensi yang kurang serta adanya penurunan refluks
[Ca2+] dibandingkan dengan berat badan wanita hamil yang normal.
Hambatan kontraktilitas didasarkan pada perubahan biokimia yang
38
disebabkan oleh obesitas. Sebagai contoh, leptin, merupakan suatu
protein yang berperan dalam metabolisme sel serta berfungsi regulasi dan
diproduksi dalam jumlah yang meningkat pada wanita gemuk. Moynihan
et al menunjukkan bahwa leptin sangat menghambat kontraktilitas
miometrium in vitro. Kolesterol, juga meningkat pada obesitas terutama
VLDL-C dan kolesterol bebas (fosfolipid) sehingga ratio meningkat, hal ini
berefek pada hambaant aktivitas miometrium dan aktifitas kalsium.
Sehingga disimpulkan obesitas yang dapat mengganggu kemajuan
persalinan (Zhang J, et al, 2006)
Setelah dinyatakan gagal drip induksi maka penatalaksanaan
selanjutnya dilakukan SCTPP, lahir bayi Laki-laki (♂) dengan berat badan
3738 gram, panjang badan 51 cm, A/S 8/9. Plasenta lahir dengan sedikit
tarikan ringan pada tali pusat, lengkap, 1 buah, berat 500 gram, ukuran
± 17x17x3 cm. Panjang tali pusat 50 cm, insersio parasentralis.
Perdarahan selama tindakan ± 150 cc.
Setelah dilakukan perawatan nifas pada ibu berupa mobilisasi
bertahap dengan prinsip mobilisasi sedini mungkin, perawatan luka
operasi dan payudara, vulva higiene dan diet TKTP ternyata tidak
ditemukan adanya komplikasi nifas sehingga pasien dapat dipulangkan
pada hari kelima.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
39
1. Kesimpulan
a. Penatalaksanaan pasien ini sudah sesuai dengan kepustakaan dan
protap bagian Obstertri dan Ginekologi RSU Dr. M. Djamil Padang.
b. Penatalaksanaan pasien ini sudah tepat tetapi perlu pertimbangan
status BMI pada pasien ini sebelum dilakukan drip induksi.
c. Drip induksi gagal pada pasien ini disebabkan oleh: nuliparitas, BMI
39,2 (obesitas) dan taksiran berat janin 3565 gram.
2. Saran
a. Diperlukan penanganan yang komprehensif terhadap kasus
ketuban pecah dini dengan obesitas untuk mencegah atau
meminimalisir komplikasi yang ditimbulkannya.
b. Penghitungan BMI berdasarkan berat badan sebelum hamil
sehingga dapat diketahui peningkatan berat badan selama hamil.
DAFTAR PUSTAKA
40
Addo VN. Body Mass Index, Weight Gain During Pregnancy And Obstetric Outcomes. In: Ghana Medical Journal. Department Of Obstetrics And Gynaecology, University Of Science And Technology. Ghana. 2010.
Catalin SB, et al. Intrauterine Pressure During the Second Stage of Labor in Obese Women. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Published by Lippincott Williams & Wilkins. vol. 103, no. 2, February 2004.
Cunningham, Normal Labour and Delivery; Williams Obstetrics, 23th
edition. Appleton & Lange New York, 2010.
Farah N, et al. Maternal Morbid Obesity and Obstetric Outcomes. In: obes Facts. UCD School of Medicine and Medical Science, Coombe Women and Infants University Hospital, Dublin, Ireland. 2009.Article in press - uncorrected proof
Florence GD, et al. Obesity and pregnancy: complications and cost. American Journal Clinical Nutrition.USA. 2000;71.
Handaya, Ketuban Pecah Prematur, Ilmu Kedokteran Fetomaternal, edisi pertama, Himpunan Kedokteran Fetomaternal, Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi, Surabaya, 2004, hal 392-3.
Iwona J, et al. Pregnancy and labour course in women with prepregnancy overweight and obesity. In; Archives of Perinatal Medicine. The Chair and Clinic of Obsterics, Gynecological Diseases and Oncological Gynecology. Bydgoszcz UMK (Nicolaus Copernicus University). Toruń. 2010.
Islam A, Khan NA, Ehsan A. Complications of raised BMI in pregnancy. Professor Med J. Military Hospital, Rawalpindi. 2010;17(3):498-504.
Miller C, et al. Pre-Pregnancy Body Mass Index: Associations with Pregnancy Outcomes and Adverse Maternal Health Conditions. Florida Department of Health,Tallahassee, Florida. 2001.
Moloek FA, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi, Indonesia, 2003.
Parry S, Strauss JF. Premature Rupture of The Fetal Membrane. NEJM, publikasi 15 Maret 1998. vol 338:663-670; diakses tanggal 1 Januari 2011 dari http://www.bmj.com .
41
Sunnet P. Obesity in pregnancy: Risks and interventions by gestational stage. In: Obstretric management. University of Pittsburgh Medical Center St. Margaret, Pittsburgh. 2003.
Soetomo S: Ketuban Pecah Dini: Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat Cetakan Keempat, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2009.
Saifuddin, AB : Ketuban Pecah Dini : Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, edisi pertama 2000, JNPKKR-POGI-Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2006.
Serudji Joserizal, Thesis : Prediksi Hasil Induksi Persalinan Dengan Drip Oksitosin Berdasarkan Tes Rangsangan Papillae Mammae. Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi – FK Unand/RSUP Dr. M. Djamil Padang, 1993.
Sugiyama T, et al. Management of Obesity in Pregnancy. Current Women’s Health Reviews. Department of Obstetrics and Gynecology, Mie University Graduate School of Medicine, Mie, Japan. 2009.
Sohinee B, et al. Effect of Body Mass Index on pregnancy outcomes in nulliparous women delivering singleton babies. BMC Public Health. Edinburgh. 2007.
Terzidou Vasso, Biochemical And Endocrinological Preparation For Parturition. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynecology, 2007, Vol 21, No 5, 729-756.
Vahratian A, et al. Maternal Prepregnancy Overweight and Obesity and the Pattern of Labor Progression in Term Nulliparous Women. The American College of Obstetricians and Gynecologists. Published by Lippincott Williams & Wilkins. 2004.
Verdiales M, et al. The effect of maternal obesity on the course of labor. In: journal Perinatology Medicine.Departments of Obstetrics and Gynecology, Jamaica Hospital Medical Center and the Weill Cornell Medical College, New York City, USA, 2009.
Yu CKH, et al. Obesity in pregnancy. Department of Obstetrics and Gynaecology and b Department of Metabolic Medicine, Imperial College School of Medicine at St Mary’s Hospital, London, UK, 2006.
42
Zachariah M, Acharya U. Obesity and infertility. J R Coll Physicians Behind the Medical Headlines. Royal College of Physicians of Edinburgh. 2007. 37:321–324.
Zhang J, et al. Poor uterine contractility in obese women. a Department of Physiology, University of Liverpool, Liverpool UK. November 2006.
43