problematika penerjemahan teks · pdf filedokumen atau naskah alkitab yang membuat para...
TRANSCRIPT
PROBLEMATIKA PENERJEMAHAN TEKS KEAGAMAAN
(Suatu Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada
Yohanes Untuk Pembaca Khusus Di Departemen Penerjemahan Lembaga Alkitab
Indonesia Bogor)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai
Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Penerjemahan
OLEH :
SUJATMIKO
S130908013
PROGRAM STUDI LINGUISTIK
MINAT UTAMA LINGUISTIK PENERJEMAHAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pekerjaan menerjemahkan merupakan pekerjaan yang tidak mudah dengan
adanya berbagai aspek yang harus diperhatikan oleh penerjemah. Penerjemahan
merupakan suatu proses yang kompleks. Hal ini sesuai dengan apa yang
diungkapkan oleh Larson (1984: 22) bahwa “Translation is a complicated process”.
Dengan segala kompleksitasnya dalam aktifitas penerjemahan, maka secara
langsung berimbas kepada penerjemah itu sendiri. Penerjemah akan menghadapi
berbagai macam masalah–masalah dalam melakukan tugasnya. Dengan adanya
masalah-masalah yang muncul dalam menerjemahkan, maka masalah-masalah
tersebut menguji kompetensi penerjemahnya.
Penerjemah juga berpotensi mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi
apabila teks yang diterjemahkan adalah teks–teks yang sifatnya sensitif seperti teks
politik, agama, hukum, kedokteran, agama, dll. Salah satu wujud dari jenis teks-teks
yang sensitif tersebut adalah teks keagamaan. Wujud nyata dari penerjemahan teks
keagamaan yaitu penerjemahan Alkitab.
Uraian berikut adalah sekilas masalah-masalah yang dihadapi oleh para
penerjemah Alkitab. Penerjemah Alkitab menghadapi masalah dalam hal keaslian
dokumen atau naskah Alkitab yang membuat para penerjemahnya kesulitan
menentukan manakah naskah yang asli. Mereka hanya mempunyai naskah dalam
bentuk fotokopi sehingga kesulitan menentukan fotokopi mana yang benar dan mana
yang salah. Berikut kutipannya :
One basic problem inherent in Bible translation is that we do not have the original manuscript of the Bible, but copies of copies of copies... and this causes many problems because translators do not know which of all these copies is correct and which is not, since none of them are identical. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemahan Alkitab merupakan tugas berat bagi penerjemahnya. Hal ini
karena Alkitab diterjemahkan dalam berbagai bentuk.
Bible is divided represent "a greater variety of literary styles e.g. historical narrative, prophecy, poetry, instructions and exhortation etc. than any other piece of literature in the history of mankind" (Snell-Hornby et al., 1998; 275). This variety of text types makes Bible translation a hard task for the translator. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Alkitab diperuntukkan bagi semua orang dan untuk semua kalangan atau
golongan pembaca/pendengarnya, baik itu anak–anak, orang dewasa, teolog, dan
lain–lain. Hal ini menuntut penerjemah Alkitab untuk dapat menentukan padanan
kata yang tepat dari Bsu ke dalam Bsa untuk semua pembacanya.
Another problem that many translators face in Bible translation is that the Bible is addressed to a huge variety of people, e.g. theologians, adults, children, believers and non-believers, etc. Moreover, as Snell-Hornby states, the Bible is written for different uses, i.e., for both readers and listeners. Thus, we could say that it is very difficult for a translator to translate the Bible since she/he must 'reproduce' an equivalent text in the Target Language, which can be 'used' for the same purposes as that of the Source Language.(Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pada perbedaan struktur atau
sistem Bsu dan Bsa yang menyebabkan tidak adanya persesuaian diantara kedua
bahasa tersebut dan berakibat pada tidak tepatnya terjemahan. Terjemahan yang tepat
sulit diperoleh karena makna kata dan struktur gramatikal Bsu dan Bsa berbeda. Oleh
karena itu, penerjemah Alkitab harus memilih padanan yang paling tepat dalam
setiap situasi.
Since no two languages are identical, there can be no absolute correspondence between languages". Hence, there can be no fully exact translations. The total impact of a translation may be reasonably close to the original, but there can be no identity in detail" (cited in Venuti 2000; 127). It is accepted that exact translation is 'impossible' since meanings of words and grammatical structures in any two languages do not generally correspond.. The translator must choose the best equivalent in each situation. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab seringkali hanya mereproduksi makna dalam bahasa target.
Oleh karena itu, penerjemah Alkitab harus mematuhi atau mempertimbangkan
kaidah bahasa penerimanya.
Frequently the translator must grasp the meaning of the original as best he can and then seek to reproduce that meaning in the Target Language. This, however, can be done if the Bible translator "respects the features of the receptor language and exploits the potentialities of the language to the greatest possible extent. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab juga menghadapi masalah pemahaman terhadap bahasa
kuno tulisan Alkitab. Masalah pemahaman bahasa kuno Alkitab menjadi masalah
karena bahasa selalu berkembang setiap saat dan setiap waktu, hal ini tentunya
berpengaruh terhadap makna bahasa itu sendiri.
Oleh karena itu, untuk memahami Alkitab, bahasa harus dipelajari di seluruh
tempat di mana masyarakatnya mengetahui bahasa itu dalam bentuk tulisan dan di
bandingkan dengan dengan kata yang sama dalam bahasa sasaran, sehingga dapat
menebak makna kata yang dimaksud.
There is the problem of understanding the ancient languages in which the Bible was written. No one who spoke those languages is around to tell us
what they mean. We all know that languages continually change over time. New words are always being added and others take on different or added meaning. However, to understand the Bible, words must be studied in all the places where they occur in available writings and compared with similar words in related languages. Then, we might be able to understand or guess their meaning. (Ilias Chatzitheodorou dalam http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Penerjemah Alkitab menghadapi masalah tentang pemahaman budaya, di mana
pengetahuan budaya kuno tidak selalu dapat dipahami oleh penerjemah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan bahwa “There is also the problem of cultural
understanding. With an imperfect knowledge of ancient cultures it is not always
possible to understand references of various kinds" (Ilias Chatzitheodorou dalam
http://accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober
2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Untuk memahami Alkitab, penerjemah Alkitab harus mempunyai semangat
rohani yang baik seperti yang dinyatakan dalam I Korintus 2 :14.
The most important problem in understanding the Bible is the spiritual problem. "The natural mind does not receive things of the Spirit of God" (1 Cor 2:14). Anyone who knows God has had the experience of reading a Bible passage a hundred times and then suddenly seeing what it means. As we grow in spiritual understanding, the Bible continually reveals its deeper meanings. The Holy Spirit guides us into all truth. (Ilias Chatzitheodorou dalam http:// accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21 Juni 2001/08.00 am).
Menurut Nida (1964) dalam Magdy M. Zaky di http
://www.accurapid.com//translationjournal//17 theory.html/21Juni 2010/10.00 am,
menyatakan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi oleh penerjemah adalah
menyamakan unsur-unsur stilistika dari dua bahasa yang berbeda.
Sebagai contoh, penerjemah Alkitab sebaiknya tidak memilih tingkat bahasa
yang terlalu tinggi agar pesan dapat di pahami oleh pembacanya. Tetapi di sisi yang
lain, sebaiknya juga penerjemah Alkitab tidak menggunakan tingkat bahasa yang
terlalu rendah, karena akan mengurangi pesannya.
According to Nida (1964), one of the most serious problems that face a translator is to properly match the stylistic levels of two different languages. For example, the Bible translator may not select a level of language which is too high for making the message accessible to the people to whom it is addressed. At the same time, the level chosen should not be socially low, because it would then debase the content.
Realitas profesi penerjemah Alkitab memang berat dan menguji tingkat
kompetensinya sebagai penerjemah dengan begitu banyaknya masalah–masalah yang
dihadapinya seperti yang sudah penyusun uraikan sebelumnya.
LAI dan Yayasan Kartidaya selaku mitra kerjanya adalah dua lembaga yang
bertanggung jawab dalam usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa yang
ada di Indonesia berdasarkan fakta bahwa bahasa Indonesia yang secara yuridis
formal telah ditetapkan sebagai bahasa nasional Indonesia dan digunakan secara
resmi di berbagai lembaga dan perkantoran, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
bahasa daerah masih sangat luas digunakan di nusantara.
Bahasa daerah digunakan bukan saja karena masih banyak dari masyarakat
Indonesia yang tidak dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar, tetapi
juga karena bahasa daerah yang merupakan bahasa ibu cenderung lebih dapat
mengungkapkan perasaan, penghayatan dan pemaknaan yang lebih mendalam. Salah
satunya adalah perasaan, penghayatan, dan pemaknaan yang berkaitan dengan
masalah keagamaan, bahasa iman yang tidak hanya menyentuh kehidupan manusia
secara lahiriah, tetapi juga menyentuh secara kedalaman batiniah.
Usaha penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah menghadapi
berbagai kesulitan yang kompleks, termasuk menyangkut kelangkaan ketersediaan
sumber daya penerjemah yang menguasai dengan baik bahasa daerah setempat dan
sekaligus memahami bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, minimnya pengetahuan
teologi, rendahnya tingkat pendidikan, minimnya bahan-bahan pendukung, dan
masalah-masalah lainnya.
Dewasa ini Alkitab dalam bahasa Indonesia sudah tersedia dalam berbagai versi
terjemahan, antara lain: Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi I Tahun 1974 (atau
yang populer disebut TB-LAI), Alkitab dalam Terjemahan Baru Edisi II Tahun 1997
(disebut TB2-LAI), Alkitab dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), Alkitab
dalam Bahasa Indonesia Masa Kini Edisi I Tahun 1985 (BIMK) dan beberapa
terjemahan lain. Berbagai versi terjemahan yang ada masih dianggap belum
memadai bagi para penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab dalam bahasa
setempat.
Oleh karena itu, LAI bersama Yayasan Kartidaya terus berupaya menyediakan
bahan-bahan yang dapat digunakan oleh para penerjemah lokal yang akan membantu
mereka dalam membuat Alkitab ke dalam bahasa setempat. Salah satu upaya tersebut
ditempuh dengan menyediakan SPPA yang merupakan adaptasi dari THB berbahasa
Inggris yang diterbitkan oleh UBS yang dirancang khusus dengan target
pembacanya yaitu penerjemah lokal di daerah-daerah.
Sudah barang tentu buku-buku SPPA tersebut terbuka untuk dibaca dan
dipergunakan oleh siapapun. LAI menyebut para penerjemah SPPA dengan istilah
"Adaptor” yang tergabung dalam sebuah tim yang di sebut ”Tim Pengadaptasi”,
bukan disebut sebagai para ‘penerjemah’ (translator) sebagai mana lazimnya. Hal
tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa para adaptor berperan bukan semata-mata
sebagai penerjemah saja, namun sekaligus berperan sebagai pengadaptasi bahan-
bahan yang berbahasa Inggris untuk konteks pembaca (penerjemah lokal) yang
tingkat pendidikannya rendah, pengetahuan teologinya minim, dan tidak menguasai
bahasa Inggris.
Konteks pembaca sangat penting dalam bidang penerjemahan, termasuk dalam
penerjemahan Alkitab dan khususnya pengadaptasian SPPA. Newmark (1988:13)
menyarankan bahwa seorang penerjemah harus mengetahui karakteristik pembaca
bahasa sumber, setelah itu melakukan proses penerjemahan, kemudian
memperhatikan dengan baik siapa yang akan menjadi calon pembacanya. Demikian
pernyataan Newmark bahwa ”... you attempt to characterize the readership of the
original and then of the translation, and to decide how much attention you have to
pay to the target language readers”.
Sejalan dengan itu, Nababan (2003:22) juga mengatakan bahwa ”penerjemah
harus tahu untuk siapa terjemahannya dan bagaimana tingkat kemampuan
pembacanya”. Hal ini sangat penting karena setiap orang memiliki kemampuan
berbeda dalam memahami isi teks terjemahan.
Tugas seorang adaptor adalah menggali arti dari naskah bahasa asli 1(eksegese).
Adaptor berperan sebagai 2‘eksegetor’ yang bukan hanya menerjemahkan teks dari
satu bahasa ke bahasa lainnya, namun juga berperan untuk menggali makna dari
1 Eksegese : Proses atau langkah-langkah yang diambil untuk menggali arti/makna sebuah teks (ataupun hasil dari seluruh proses tersebut)
2 Eksegetor : Pelaku eksegese
naskah bahasa asli dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan tetap
mempertahankan makna pesan yang terkandung didalamnya dengan tanpa terjadi
reduksi dan distorsi.
Mengeksegese ayat Alkitab bukanlah hal yang mudah, adaptor harus benar-
benar menafsir dan mengetahui makna sebenarnya dibalik kata atau kalimat bahasa
sumber. Mengeksegese ayat merupakan salah satu teknik yang di gunakan adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Dalam contoh berikut, yang
akan dieksegese yaitu Anak Domba.
Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and others
capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be better to say “a
lamb”. In languages that have two different terms for male and female lambs, here
and elsewhere in Revelation the male form should be used, and in certain languages
‘lamb” will be translated as “male child of a sheep”. In culture where sheep exist
but don’t have the economic and religious significance that they had in Palestine, it
will be helpful to give a detailed description of sheep in a glossary item for the
reader.
Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba
dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa juga
ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba jantan dan
domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi “anak domba
jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang kurban dalam upacara
keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak demikian halnya. Untuk hal ini
penerjemah dapat memberikan keterangan yang terperinci tentang anak domba di
dalam catatan kaki atau daftar kata-kata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba
disini melambangkan diri Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”.
Dalam contoh di atas, adaptor perlu mengeksegese ayat untuk mengetahui
makna Anak Domba yang dalam bahasa sumber masih merujuk kepada makna
konotasi yaitu hewan. Hasil dari eksegese ayat tersebut adalah Anak Domba yang
telah disembelih merujuk kepada Diri Kristus yang telah disalib sebagai makna
sebenarnya yang dimaksud oleh bahasa sumber.
Teknik lain yang juga digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yaitu dengan penerjemahan deskriptif. Berikut contohnya :
Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the great
events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6; Mark 13.8).
They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In some languages that
have no specific word for earthquake, an explanation of it would help the reader.
Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat”
Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan deskriptif pada
kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan secara rinci. Adaptor
mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan tambahan berupa deskripsi dari
gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau mungkin konsep gempa bumi tidak
dikenal dalam bahasa sasaran.
Penelitian terhadap proyek penerjemahan buku-buku asing dan novel ke dalam
bahasa Indonesia sudah cukup banyak dilakukan. Namun penelitian terhadap proyek
penerjemahan (atau ‘pengadaptasian’ sebagaimana istilah yang dipergunakan oleh
LAI) buku keagamaan dengan sasaran pembaca tertentu masih merupakan hal yang
langka. Oleh karena itu, kajian ini diharapkan menjadi sumbangsih baru yang
menyajikan sudut pandang baru dalam seluk beluk dunia penerjemahan teks
berbahasa asing, dan khususnya menyangkut teks keagamaan.
Berdasarkan uraian tersebut, penyusun tertarik untuk mengkaji problematika
penerjemahan teks keagamaan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes
dengan fokus kajian berupa strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, jenis
metode penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas SPPA tersebut dalam sebuah
penelitian dengan judul "Problematika Penerjemahan Teks Keagamaan (Suatu
Studi Pengadaptasian Seri Pedoman Penafsiran Alkitab Wahyu Kepada
Yohanes Untuk Pembaca Khusus di Departemen Penerjemahan Lembaga
Alkitab Indonesia Bogor) ”.
B. Rumusan Masalah
Mencermati latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di bagian
sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Apa saja problematika penerjemahan yang terdapat dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes?
2. Strategi penerjemahan dan teknik penerjemahan apa yang ditempuh adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?
3. Kecenderungan jenis metode penerjemahan apakah yang digunakan adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes?
4. Bagaimanakah prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang
dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor?
C. Tujuan Penelitian
Secara spesifik, tujuan penelitian ini yaitu :
1. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan yang
terdapat dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.
2. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan strategi penerjemahan dan teknik
penerjemahan yang ditempuh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes.
3. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan kecenderungan jenis metode penerjemahan
yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes.
4. Mengidentifikasi dan mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
D. Manfaat Penelitian
Hasil kajian dalam penelitian ini dapat digunakan untuk :
1. Memecahkan berbagai masalah penerjemahan Alkitab, terutama yang
menyangkut pengadaptasian bahasa untuk pembaca khusus (penerjemah lokal).
2. Memberi masukan untuk mengembangkan dan menyempurnakan upaya–upaya
pemahaman Alkitab sesuai dengan tingkat pendidikan dan kekhasan budaya
masyarakat penggunanya.
3. Melengkapi hasil–hasil penelitian sejenis yang cukup relevan sebagai sumbangsih
baru bagi linguistik terapan khususnya bidang penerjemahan bagi pengembangan
ilmu pengetahuan humaniora.
BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR
A. Definisi Seri Pedoman Penafsiran Alkitab (SPPA) SPPA adalah salah satu edisi studi terbitan LAI yang merupakan seri panduan
penerjemahan Alkitab yang menggali makna teks sumber, dan memberikan alternatif
terjemahan ke bahasa penerima dengan memperhatikan perbedaan dan kekayaan
bahasa dan budaya penerima. Tidak hanya bermanfaat bagi penerjemah, tetapi juga
bagi teolog dan awam yang ingin mendalami isi Alkitab (Yayasan LAI, 2008:27).
B. Definisi Penerjemahan
Ada beberapa definisi penerjemahan yang telah dikemukan oleh para ahli.
Definisi-definisi yang diajukan berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan sudut
pandangnya, sehingga definisi ini bisa lemah, kuat atau saling isi (Nababan, 2003).
Pada dasarnya penerjemahan adalah pengalihan pesan dari bahasa sumber (Bsu)
ke bahasa sasaran (Bsa). Diupayakan supaya hasil terjemahan tersebut, bila dibaca
oleh pembaca, pembaca tidak menyadari bahwa yang dibaca tersebut adalah hasil
terjemahan. Selain itu, dalam terjemahan tersebut tidak ada distorsi makna, inilah
yang dikatakan penerjemahan yang tepat dan baik.
Untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik, menurut Barnwell, yaitu
terjemahan yang accurate, clear, dan natural (1983:15), penerjemah harus
memperhatikan beberapa aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek non kebahasaan.
Berikutnya Bell (1991:5) melengkapinya bahwa penerjemahan adalah suatu
proses penggantian teks Bsu ke dalam teks Bsa dengan memperhatikan aspek
semantik dan gaya (style). Menurut Bell : "Translation is the expression in another
language (or target language) of what has been expressed in another, source
language, preserving semantic and stylistic equivalences".
Dalam hal ini Bell sudah mulai memperhatikan hal yang lebih jelas lagi bahwa
dalam menerjemahkan, penerjemah harus memperhatikan unsur linguistik dan gaya.
Bassnett (1991:13) memperjelas bahwa dalam pengalihan pesan dari Bsu ke
dalam Bsa ada dua unsur yang harus diperhatikan oleh penerjemah, yaitu unsur
linguistik dan unsur non linguistik. Menurut Bassnett : “…..that the translation
involves the transfer of meaning contained in one set of language signs into another
set of dictionary and grammar, the process involves a whole set of extra linguistic
criteria also".
Penerjemahan adalah suatu upaya untuk mengungkapkan kembali isi pesan dari
suatu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Oleh karena itu, penerjemahan tidak sekedar
upaya untuk menggantikan teks dalam satu bahasa ke dalam teks bahasa lain.
"Seorang penerjemah tidak mungkin dapat menggantikan teks bahasa sumber (Bsu)
dengan teks bahasa sasaran (Bsa) karena struktur kedua bahasa itu pada umumnya
berbeda satu sama lainnya". Materi teks Bsu juga tidak pernah digantikan dengan
materi teks Bsa (Nababan, 2003).
Catford dalam Rachmadie (1988:12) menyatakan bahwa “Translation is the
replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material
in another language (TL)”. Definisi ini menjelaskan bahwa penerjemahan sebagai
kegiatan mengganti materi teks dalam bahasa sumber (Bsu) ke materi teks yang
sepadan (equivalent) dalam bahasa sasaran (Bsa). Berdasarkan definisi ini jelas
bahwa penerjemahan merupakan proses kegiatan tulis sehingga produknya juga
dalam bentuk tertulis (teks).
Nida dan Taber (1974:12) menyatakan bahwa "Translating consists of
reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source
language massage, first in terms of meaning and secondly in terms of style".
Dari kutipan itu, dapat dipahami bahwa penerjemahan adalah upaya untuk
menghasilkan kembali dalam bahasa sasaran padanan alami yang sedekat mungkin
dari pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal
gaya bahasanya. Dalam hal ini penerjemah adalah sebagai reseptor pesan dalam
bahasa sumber (Bsu) dan kemudian pada saat menerjemahkan, maka ia sebagai
pengirim pesan atau penulis dalam bahasa sasaran (Bsa).
Newmark (1981:7) mengartikan penerjemahan sebagai pengalihbahasaan
keseluruhan teks, kalimat demi kalimat dengan mempertimbangkan aspek emosi,
gaya dan nuansa budaya dari penulis aslinya. Tujuan pokok menerjemahkan adalah
untuk mengalihkan pesan yang tertulis dalam Bsu ke dalam Bsa dengan
mengutamakan kesepadanan makna. Tercapainya kesepadanan makna sangatlah
ditentukan oleh kompetensi atau kemampuan penerjemah dalam memahami Tsu dan
menuangkan pesan makna ke dalam Tsa.
Dalam bidang teori penerjemahan, terdapat istilah translation dan interpretation
yang digunakan dalam konteks yang berbeda–beda meskipun kedua istilah tersebut
terfokus pada pengalihan pesan dari Bsu ke Bsa. Pada umumnya istilah translation
mengacu pada pengalihan pesan tertulis dan lisan. Namun, jika kedua istilah tersebut
dibahas secara bersamaan, maka istilah translation menunjuk pada pengalihan pesan
tertulis dan istilah interpretation hanya mengacu pada pengalihan pesan lisan.
Perlu pula dibedakan antara kata penerjemahan dan terjemahan sebagai padanan
dari translation. Kata penerjemahan mengandung pengertian proses alih pesan,
sedangkan kata terjemahan artinya hasil dari suatu penerjemahan (Nababan,
1997:12).
Menurut Brislin (1976:1), "Translation is the general term referring to the
transfer of thought and ideas from one language to another whether the languages
are written form or oral form". Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu
pada pengalihan pikiran dan gagasan dari bahasa satu ke bahasa yang lain baik dalam
bentuk tertulis atau lisan.
Nida (1976:15) menjelaskan bahwa menerjemahkan berarti mengalihkan isi
pesan yang terdapat dalam Bsu ke dalam Bsa sedemikian rupa sehingga orang yang
membaca (atau mendengar) pesan itu dalam Bsa kesannya sama dengan kesan orang
yang membaca pesan itu dalam bahasa sumber (bahasa asli).
Ahli lain yang membahas tentang pengertian penerjemahan adalah Samiati
(1998:1) yang menyatakan bahwa penerjemahan terkait dengan pengalihan isi atau
gagasan dari suatu bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, ditegaskan
bahwa isi pesan atau gagasan tersebut merupakan aspek sentral dalam terjemahan.
Dengan demikian, untuk dapat menerjemahkan dengan baik, orang atau penerjemah
perlu mengacu pada makna sebagai isu sentral dalam Bsu untuk ditransfer ke dalam
Bsa.
Larson (1984:3-4) menerjemahkan berarti (1) mempelajari leksikon, struktur
gramatikal, situasi komunikasi dan konteks budaya dari teks bahasa sumber.(2)
menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya dan (3)
mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan
struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
Dari beberapa pendapat di atas nampaknya definisi "translation" dari waktu ke
waktu ada perkembangan dalam artian menjadi lebih jelas dengan apa yang
dimaksud dengan penerjemahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hakekat
penerjemahan adalah pengalihan pesan dari Bsu ke dalam Bsa dengan
memperhatikan unsur linguistik (semantik) maupun unsur non lingustik (budaya).
Unsur linguistik yang terkait dengan kata, frase, klausa, kalimat serta teks. Hal
ini karena setiap bahasa mempunyai sifat yang berbeda antara yang satu dengan yang
lain. Yang terkait dengan budaya yaitu budaya yang ada pada Bsu karena pada
dasarnya budaya suatu bahasa akan tercermin dari bahasa itu sendiri. Hal ini
diungkapkan oleh Dollerup (1994: 25) bahwa "A part from being a vehicle of
communication, language is thus a transmitter and repository of cultural signifiers".
Pemahaman tentang linguistik dan non-linguistik tersebut sangat diperlukan
untuk menemukan kesepadanan yang sedekat-dekatnya untuk menghasilkan
terjemahan yang baik, tepat dan wajar, sehingga dapat dimengerti dengan mudah.
Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan pesan baik secara tulis maupun
lisan bahasa sumber ke dalam pesan yang sepadan secara tulis maupun lisan dalam
bahasa sasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “Translation is the process
to transfer written or spoken source language (SL) texts to equivalent written or
spoken target language (TL) texts”
(Http://www.thelanguagetranslation.com/translation process, strategy, and
methods/html/13 Juni 2010/04.00 pm).
Dalam bidang penerjemahan Alkitab, penerjemahan merupakan sebuah
pekerjaan yang berhubungan dengan keteologian (berhubungan dengan ilmu
keagamaan). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa “theological factors can
influence the decision in translation” (T. David Gordon dalam http://www.bible-
researcher.com/17 Juni 2010/08.00 am).
Foster (1958:1) dalam Mahmoud Ordudari di http:
//translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21
Juni 2010/03.00 pm menyatakan bahwa “translation as the act of transferring
through which the content of a text is transferred from the source language into the
target language” (penerjemahan merupakan proses mentransfer isi teks bahasa
sumber ke dalam bahasa sasaran).
“Translation is to be understood as the process whereby a message expressed in
a specific source language is linguistically transformed in order to be understood by
readers of the target language”(Frederic Houbert dalam
http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli
1998/21 Juni 2010/04.00 pm). Berdasarkan kutipan tersebut, penerjemahan dapat
dipahami sebagai sebuah proses dimana pesan dalam bahasa sumber secara linguistik
di transfer agar dapat dipahami oleh pembaca bahasa sasaran.
Salawu, Ph.D dalam http://www accurapid.com//translationjournal//36
yoruba.html/volume 10 nomor 2 April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan
bahwa “translation should be seen as an attempt to guess the mind of an author
correctly” (penerjemahan harus di lihat sebagai sebuah usaha untuk menebak pikiran
penulis bahasa sumber secara tepat).
“A good translation should play the same role in the target language as the
original did in the source language” (Mahmoud Ordudari dalam http:
//translationjournal.net/journal/43 theory.html/volume 12 nomor 1 Januari 2008/21
Juni 2010/03.00 pm). Berdasarkan pernyataan tersebut, penerjemahan yang baik
harus memiliki peran yang sama baik dalam bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
Sejalan dengan Mahmoud, Salawu Adewuni, Ph.D dalam http://www
accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2 April
2006/21 Juni 2010/02.00 pm menyatakan bahwa “a perfect translation whereby the
translated version may be equivalent to the original text” (penerjemahan yang
sempurna adalah terjemahan yang sepadan dengan teks bahasa sumbernya).
C. Strategi Penerjemahan
Strategi penerjemahan adalah rencana sadar yang dimiliki oleh penerjemah
untuk memecahkan masalah dalam proses penerjemahan yang dituangkan dalam
penerjemahan yang sebenarnya. Demikian pernyataan Krings (1986:18) dalam
Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni
2010/07.00 am yang menyatakan bahwa “translation strategy as "translator's
potentially conscious plans for solving concrete translation problems in the
framework of a concrete translation task".
Menurut Seguinot (1989) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
sedikitnya ada 3 strategi umum yang biasanya diterapkan penerjemah yaitu : (1)
sedapat mungkin menerjemahkan dengan tanpa mengurangi pesan, (2) mengkoreksi
kesalahan yang muncul dalam terjemahan, (3) mengurangi kesalahan stilistik dalam
teks untuk revisi selanjutnya. Berikut kutipannya :
Seguinot (1989) believes that there are at least three global strategies employed by the translators: (i) translating without interruption for as long as possible; (ii) correcting surface errors immediately; (iii) leaving the monitoring for qualitative or stylistic errors in the text to the revision stage.
Lebih lanjut, Loescher (1991:8) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
mendefinisikan strategi penerjemahan sebagai prosedur untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam menerjemahkan teks atau segmen dalam teks.
Moreover, Loescher (1991:8) defines translation strategy as "a potentially conscious procedure for solving a problem faced in translating a text, or any segment of it." As it is stated in this definition, the notion of consciousness is significant in distinguishing strategies which are used by the learners or translators. In this regard, Cohen (1998:4) asserts that "the element of consciousness is what distinguishes strategies from these processes that are not strategic."
Venuti (1998:240) dalam Mahmoud Ordudari di
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am
menyatakan bahwa strategi penerjemahan melibatkan tugas dasar dalam memilih
teks asing untuk diterjemahkan dan menerapkan metode untuk menerjemahkan teks
tersebut. Venuti menerapkan konsep idiologi penerjemahan domestikasi dan
foreignisasi untuk merujuk konsep strategi penerjemahan. Berikut pernyataan Venuti
:
Venuti (1998:240) indicates that translation strategies "involve the basic tasks of choosing the foreign text to be translated and developing a method to translate it." He employs the concepts of domesticating and foreignizing
to refer to translation strategies. Merujuk kepada proses dan produk dari penerjemahan, Jaaskelainen (2005)
dalam Mahmoud Ordudari di http://translationjournal.net//journal/41
culture.html/22 Juni 2010/07.00 am membagi strategi penerjemahan menjadi 2
kategori yaitu strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam teks dan
strategi yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam proses.
Strategi yang berorientasi pada produk seperti yang Jaaskelainen (2005:15)
ungkapkan melibatkan tugas pokok dalam memilih teks sumber dan menerapkan
metode yang sesuai untuk menerjemahkan teks tersebut. Dan strategi yang
berorientasi pada proses merupakan aturan atau prinsip yang dipegang oleh
penerjemah untuk meraih tujuan yang ditentukan oleh situasi dalam penerjemahan.
Jaaskelainen (2005:16) membaginya menjadi 2 tipe yaitu global dan lokal
strategi. Global strategi merujuk kepada prinsip umum dan mode tindakan dan lokal
strategi merujuk kepada tindakan yang spesifik yang berhubungan dengan
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan oleh penerjemah. Berikut
kutipannya :
Taking into account the process and product of translation, Jaaskelainen (2005) divides strategies into two major categories: some strategies relate to what happens to texts, while other strategies relate to what happens in the process. Product-related strategies, as Jaaskelainen (2005:15) writes, involves the basic tasks of choosing the SL text and developing a method to translate it. However, she maintains that process-related strategies "are a set of (loosely formulated) rules or principles which a translator uses to reach the goals determined by the translating situation" (p.16). Moreover, Jaaskelainen (2005:16) divides this into two types, namely global strategies and local strategies: "global strategies refer to general principles and modes of action and local strategies refer to specific activities in relation to the translator's problem-solving and decision-making."
D. Metode Penerjemahan
Ada beberapa ahli yang mempunyai beragam pandangan mengenai konsep
metode penerjemahan. Dalam Macquarie Dictionary (1982):” A method is a way of
doing something, especially accordance with a definite plan” (dalam Machali
2000:48). Machali memberikan definisi metode sebagai suatu cara melakukan
sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu.
Molina dan Amparo (2001:507) menyatakan bahwa “Translation method refers
to the way a particular translation process is carried out in the term of translator’s
objectives. i.e a global option that affects the whole text”. Dari pernyataan tersebut,
metode penerjemahan merupakan pilihan cara penerjemahan pada tataran global
yang terjadi dalam proses penerjemahan yang mempengaruhi teks secara
keseluruhan dan terkait dengan tujuan penerjemah. Dapat dikatakan bahwa metode
adalah cara penerjemahan yang terjadi pada tataran makro terkait dengan tujuan
penerjemah yang mempengaruhi cara penerjemahannya pada unit mikro.
Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh audience
design atau need analysis. Dalam praktiknya penerjemah memilih salah satu metode
yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan.
Newmark (1988:45) memberikan delapan (8) jenis metode penerjemahan yang
diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu empat diantaranya berorientasi pada
Bsu (SL emphasis) dan empat lainnya berorientasi pada Bsa (TL emphasis).
Diagram V Newmark menggambarkan hubungan antara metode penerjemahan
dan idiologi penerjemahan yang memayungi metode-metode tersebut. Berikut
diagram V Newmark :
SL emphasis TL emphasis
Word for word translation Adaptation
Literal translation Free translation
Faithful translation Idiomatic translation
Semantic translation Communicative translation
Diagram V tersebut menggambarkan bahwa ke delapan metode penerjemahan
pada intinya hanya menganut dua idiologi yaitu beorientasi ke SL (foreignization)
dan berorientasi ke TL (domestication). Empat metode berorientasi ke SL cenderung
untuk memberikan dan mempertahankan nuansa terjemahan pada produknya.
Sebaliknya empat metode yang lain yang berorientasi ke TL akan berusaha
menghilangkan nuansa tersebut.
Masing-masing metode tersebut memberi pengaruh pada saat penerjemahan,
sehingga hasil yang berbeda akan muncul pada produk terjemahannya sesuai dengan
idiologi yang dianut penerjemah saat menerjemahkan teks bahasa sumber. Secara
singkat, kedelapan metode penerjemahan tersebut diuraikan sebagai berikut :
1. Word for word translation (Penerjemahan kata demi kata)
Penerjemahan kata demi kata adalah suatu jenis penerjemahan yang masih
terikat pada tataran kata dan struktur Bsu. Nababan (2003:31) menyatakan bahwa
dalam menerjemahkan, penerjemah hanya mencari padanan kata Bsu dalam Bsa
tanpa mengubah susunan kata dalam terjemahannya.
Susunan kata dalam kalimat Bsa sama persis dengan susunan kata dalam
kalimat Bsu. Metode ini bisa diterapkan jika kedua bahasa memiliki kaidah yang
sama sehingga tidak menyalahi struktur kalimat bahasa sasaran. Metode ini tidak
relevan diterapkan dalam penerjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Karena keduanya memiliki kaidah yang berbeda, misalnya dalam struktur frase
nomina.
Dengan menggunakan metode penerjemahan kata demi kata, ide atau gagasan
suatu teks tidak akan bisa dipahami oleh pembaca. Namun, Newmark (1988:45)
mengemukakan metode ini berguna bagi seseorang yang ingin mengerti struktur
Bsu atau menguraikan teks yang sulit sebagai salah satu tahap sebelum
menerjemahkan. Demikian pernyataan Newmark : “The main use of word-for-
word translation is either to understand the mechanics of the source language or
to construe a difficult text as a pre-translation process.”
2. Literal translation (Penerjemahan harfiah)
Literal translation atau lebih dikenal sebagai penerjemahan harfiah
disebut juga “pre-translation process”. Mungkin awalnya penerjemah
menerjemahkan kata demi kata kemudian menyesuaikan susunan kata dalam
kalimat terjemahannya sesuai dengan susunan kata dalam kalimat Bsa.
Dengan kata lain penerjemah mengubah struktur kalimat Bsu ke Bsa yang
mendekati sepadan.
3. Faithful translation (Penerjemahan setia)
Metode penerjemahan ini mencoba untuk setia terhadap maksud penulis teks
bahasa sumber. Penerjemahan ini berusaha memproduksi kembali makna
kontekstual teks bahasa sumber dan masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya.
Dengan kata lain penerjemahan dilakukan sebisa mungkin untuk mempertahankan
aspek bentuk seperti dalam teks puisi sehingga pembaca masih secara lengkap
melihat kesetiaan pada segi bentuknya.
Hoed mengatakan bahwa tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini
antara lain untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan
ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah dalam
bahasa sasaran.
4. Semantic translation (Penerjemahan semantik)
Sebagai salah satu metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa
sumber, penerjemahan semantik lebih luwes daripada penerjemahan setia.
Newmark (1988: 46) mengatakan bahwa :
Semantic translation must take more account of the aesthetic value (that is,
the beautiful and natural sound) of the SL text, compromising on ‘meaning’
where appropriate so that no assonance, word play or repetition jars in the
finished version. It may translate less important cultural words by culturally
functional terms but not by cultural equivalents and it may make other small
concessions to the readership. It is more flexible.
Dari pernyataan tersebut, penerjemahan semantik harus mempertimbangkan
unsur estetika teks bahasa sumber dengan tetap memperhatikan makna.
5. Adaptation
Metode adaptasi merupakan metode penerjemahan paling bebas karena latar
belakang budaya, konteks sosial dan nama tokoh dari suatu karya sastra
disesuaikan dengan keadaan Bsa. Bahkan suatu cerita ditulis ulang sesuai dengan
kebudayaan Bsa.
Metode ini lebih menekankan “isi” pesan, sedang bentuknya disesuaikan
dengan kebutuhan pembaca Bsa. Metode ini sering diterapkan dalam
menerjemahkan cerita anak dimana pengetahuan mereka sangat terbatas tentang
istilah-istilah baru.
Hoed (2006:56) menyebutkan binatang rubah diganti dengan kancil
meskipun sifat liciknya berbeda. Nama diri seperti Thomas juga bisa
diterjemahkan menjadi Tono. Semua itu dilakukan agar pembaca benar-benar
mengerti isi pesan teks tersebut tanpa menghiraukan unsur budaya teks bahasa
sumber.
6. Free translation (Penerjemahan bebas)
“Free translation reproduces the matter without the manner, or the content
without the form of the originally” (Newmark, 1988:45). Pernyataan tersebut
mengindikasikan bahwa penerjemah mempunyai kebebasan yang terbatas dalam
mengungkapkan suatu pesan ke dalam bahasa sasaran, maksudnya ialah
penerjemah tidak memiliki kebebasan dalam memodifikasi karya asli.
Hoed (2006:57) menyatakan biasanya penerjemahan bebas dilakukan untuk
memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya. Metode
ini tidak sama halnya dengan adaptasi dimana penerjemah memiliki kebebasan
untuk mengubah latar belakang budaya, konteks sosial maupun nama tokoh dari
suatu karya sastra.
Bahkan Nababan (2003) menyatakan bahwa pencarian padanan dalam
penerjemahan bebas cenderung terjadi pada tataran paragraf atau wacana.
Penerjemah harus mampu menangkap pesan dalam bahasa sumber pada tataran
paragraf atau wacana secara utuh dan kemudian mengalihkan dan
mengungkapkan pesan dalam bahasa sasaran. Karena penerjemahan ini dilakukan
untuk mengetahui isi pesan dari Bsu.
7. Idiomatic Translation (Penerjemahan idiomatis)
Metode penerjemahan ini, berusaha untuk mengalihkan pesan dari teks asli
tetapi nuansa maknanya cenderung sedikit menyimpang. Biasanya hal ini
dilakukan melalui penggunaaan kolokasi dan idiom yang tidak ditemukan di
dalam teks aslinya (Newmark, 1988: 47).
Kemudian Hoed (2006:58) menambahkan bahwa penerjemahan idiomatis
mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang
tersedia dalam Bsa.
8. Commmunicative translation (Penerjemahan komunikatif)
Terjemahan merupakan alat untuk menyampaikan pesan dari satu bahasa ke
bahasa lain. Dengan demikian terjemahan merupakan bagian dari alat komunikasi
antar bahasa. Mengacu pada pendapat Newmark dalam Nababan (2003:40)
tentang fungsi terjemahan sebagai alat komunikasi yaitu : “…….translation is
basically a means of communication or a manner of addressing one or more
persons in the speaker presence.”
Dari kutipan tersebut terjemahan harus dikembalikan pada fungsi utamanya
sebagai alat komunikasi atau menyampaikan gagasan kepada orang lain. Oleh
karena itu suatu terjemahan haruslah mempunyai bentuk, makna dan fungsi.
Metode penerjemahan ini lebih menekankan efek yang ditimbulkan oleh
suatu terjemahan kepada para pembacanya. Penerjemahan ini sangat
memperhatikan unsur-unsur seperti bahasa sumber dan bahasa sasaran, budaya
dan penulis teks asli sehingga tidak menimbulkan kesulitan dalam membaca teks
terjemahan. Semua unsur tesebut merupakan ciri-ciri penerjemahan komunikatif
yang membedakannya dengan metode yang lain.
Newmark (1988:47) menegaskan bahwa “semantic and communicative
translations fulfil the two main aims of translation.” Karena kedua metode
tersebut mendekati penerjemahan yang bagus. Pertama, semantic translation lebih
personal dan individual, nuansa maknanya menyatu dengan pemikiran penulis dan
menghadirkan terjemahan yang ringkas sehingga menghasilkan efek pragmatis.
Maksudnya ialah penerjemahan semantik tidak begitu memperhatikan aspek
bentuk estetik bahasa sumber, yang terpenting adalah ketepatan penyampaian
informasi yang terdapat dalam bahasa sasaran. Sedangkan metode penerjemahan
komunikatif lebih mengutamakan tersampaikannya pesan secara sederhana, jelas
dan lugas serta selalu disampaikan dengan gaya yang alami dan penuh makna.
Daud Soesilo (2001: 35-44) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis metode
penerjemahan yang umumnya diterapkan penerjemah Alkitab. Metode penerjemahan
yang dimaksud yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan
dinamis. Metode penerjemahan harfiah adalah metode yang menekankan pengalihan
bentuk bahasa yaitu dari naskah asli dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran.
Tetapi, ada banyak halangan bahasa seperti perbedaan bentuk bahasa, perkataan,
istilah, peribahasa dan kiasan, dll yang membuat cara penerjemahan ini tidak
membawa hasil yang maksimal. Jika yang diterjemahkan hanya bentuk bahasanya
saja, maka arti yang dimaksudkan dapat menyimpang dari makna aslinya.
Contohnya : kata ”Good Friday” tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia ”Hari Jumat yang baik”, karena makna yang hendak di sampaikan
sebenarnya adalah ”Jumat Agung” untuk memperingati wafatnya Tuhan Yesus.
Contoh yang lain :
Kejadian 9:16 Alkitab Terjemahan Baru (TB)
”Jika busur itu ada di awan”
Arti yang umumnya ditangkap dari pembaca biasa adalah busur untuk memanah,
padahal arti yang dimaksud dalam teks Ibrani adalah ”Pelangi”.
I Samuel 24:4
”Masuklah Saul ke dalamnya hendak berselimutkan kakinya”
Artinya yang saat ini ditangkap oleh pembaca biasa yaitu ”tidur/istirahat atau
kedinginan” padahal ”berselimutkan kaki” adalah ungkapan bahasa Ibrani yang
artinya adalah ”membuang hajat/buang air”.
Jenis metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional yang
lebih menekankan pada pengalihan arti bahasa yang dimaksud dalam naskah asli ke
dalam bahasa penerima yang umum dan wajar, yang disesuaikan dengan konteks
pembacanya. Dengan demikian, arti yang dimengerti oleh pembaca mula-mula yang
hidup di masa lalu, dapat sedekat mungkin dimengerti oleh pembaca terjemahan
yang hidup di masa sekarang yang berbeda bahasa dan kebudayaannya.
Jadi, unsur yang ditekankan dalam metode ini yaitu : (1) kesetiaan pada arti
naskah asli Alkitab dan (2) kesetiaan pada bentuk bahasa penerima yang umum dan
wajar. Prosesnya adalah naskah asli di analisis, lalu dialihkan unsur-unsur budaya
dan bahasanya yang penting dari naskah asli tersebut ke dalam bahasa penerima,
baru disusun kembali dalam bentuk bahasa penerima yang umum dan wajar.
Sependapat dengan Daud, ahli berikutnya yaitu P.G. Katoppo (2001:8-9) juga
membagi metode penerjemahan Alkitab menjadi 2 jenis metode yaitu metode
penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan dinamis.
Menurutnya, metode penerjemahan harfiah adalah sebuah metode yang lebih
berorientasi kepada bahasa sumber, dalam hal ini adalah bahasa Ibrani, Yunani, dan
Aram. Bentuk dan struktur bahasa sumber sangat diperhatikan dalam
memformulasikan terjemahannya. Alhasil, penganut metode ini biasanya lebih suka
mempertahankan bentuk dan struktur serta gaya bahasa yang terdapat dalam bahasa
sumber. Padahal, sering terjadi kerangka berpikir bahasa sumber dan bahasa
penerima jauh berbeda. Akibatnya, upaya mempertahankan bentuk dan susunan
bahasa sumber tak jarang bisa menggangu pemahaman.
Metode yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis adalah metode yang
mementingkan penekanan pengalihan makna dan bukan bentuk. Memang penekanan
pada makna menghadapi masalah bagaimana harus mendamaikan kerumitan
komponen-komponen semantik masing-masing bahasa (sumber dan sasaran) demi
membuahkan hasil akhir berupa kata-kata dan susunan kalimat yang wajar.
Bagaimanapun, hasil terjemahan harus diusahakan mengungkapkan pesan yang
terkandung menurut bentuk–bentuk yang lazim dalam bahasa sasaran.
Dr. Barclay M. Newman (1987: 7-14) sependapat dengan konsep dua ahli
sebelumnya (Daud dan Katoppo) yang juga membagi metode penerjemahan Alkitab
menjadi 2 jenis yaitu metode penerjemahan harfiah dan metode penerjemahan
dinamis. Dalam metode penerjemahan harfiah, bentuk bahasa sumber diutamakan
dengan tujuan memindahkan sebanyak mungkin segi-segi bentuk bahasa sumber itu
ke dalam bahasa penerima.
Jenis metode penerjemahan yang kedua yaitu metode penerjemahan dinamis
fungsional. Dalam metode ini, ada dua aspek yang diperhatikan yaitu : (1) kesetiaan
terhadap arti teks asli itu, dan (2) suatu hasil terjemahan yang paling sesuai dengan
bentuk bahasa penerima itu. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah akan
melalui 3 tahap penerjemahan yaitu : (1) analisis, (2) pemindahan/transfer, (3)
penyusunan kembali/restrukturisasi
Secara sederhana, perbedaan antara metode penerjemahan harfiah dan metode
penerjemahan dinamis fungsional dapat dibandingkan dalam tabel berikut :
Tabel 01 : Perbandingan Metode Penerjemahan Alkitab
No Item Metode Penerjemahan
Harfiah
Metode Penerjemahan
Dinamis
1 Yang
ditekankan
Bentuk bahasa asli Arti dan fungsi bahasa asli
serta bentuk bahasa penerima
2 Prosedur Penerjemahan langsung Di analisis, dialihkan, baru
disusun kembali
3 Penerjemah Biasanya perseorangan Panitia yang terdiri atas 2-3
penerjemah, beberapa peneliti
dan penasihat, serta tenaga
ahli/konsultan penerjemahan
4 Tingkat bahasa Umumnya bahasa formal di
mana tingkat pembaca
dianggap sama
Bahasa sehari-hari yang umum
dan wajar, menurut tingkat
kebutuhan pembaca. Misalnya
: SMP Kelas 1 ke atas (Alkitab
BIS), SD Kelas 4-6 (Alkitab
anak-anak), SD Kelas 1-4 :
Alkitab Pembaca Baru atau
Komik Alkitab. Dewasa :
Alkitab TB.
5 Prinsip Persesuaian kata demi kata Tidak melebihi atau
mengurangi arti teks asli.
Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode
penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode
penerjemahan Alkitab.html/13 Juni 2010/03.00 pm membagi jenis metode
penerjemahan Alkitab menjadi 5 jenis metode penerjemahan yaitu :
1. Metode Penerjemahan Interlinear
Merupakan jenis metode penerjemahan kata-demi-kata, berdasarkan urutan
kata dalam bahasa aslinya. Metode ini berguna bila seorang ingin mengetahui
bentuk dan susunan kata dalam bahasa aslinya baris-demi-baris tanpa
mempelajari lebih dahulu bahasa sumbernya.
2. Metode Penerjemahan Harfiah
Metode penerjemahan tradisional yang mengalihbahasakan naskah dalam
bahasa sumber tanpa mengindahkan kekhususan bahasa sasaran. Dalam metode
ini, penerjemah sangat respek pada bahasa sumber sehingga sedapat mungkin
bentuk aslinya dipertahankan, walau sering terasa janggal artinya dalam bahasa
sasaran.
Oleh karena itu, padanan yang diutamakan adalah dalam bidang leksikal dan
sintaksis antara bahasa sumber dan bahasa sasaran, dengan kata lain titik
beratnya masih pada struktur lahir.
3. Metode Penerjemahan Dinamis Fungsional
Jenis metode penerjemahan yang mengutamakan arti dan fungsi yang
dimaksud dalam teks asli, sekaligus memperhatikan kekhususan bahasa sasaran.
Oleh karena itu, bentuk bahasa aslinya boleh diubah asal makna dan tujuan teks
asli dipertahankan.
Metode penerjemahan ini secara serius mencari padanan yang terdekat dan
wajar dalam mengungkapkan arti dan fungsi yang dimuat dalam naskah aslinya.
Metode ini memanfaatkan hasil-hasil penemuan linguistik (mengeksplisitkan
yang implisit dalam naskah sumber, dan dalam perubahan bentuk menggunakan
analisis komponen makna, transformasi balik dalam bahasa sumber, dan
konsistensi kontekstual), serta dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian
di bidang komunikasi dan sosiosemiotika.
Itulah sebabnya metode semacam ini sangat bermanfaat untuk mengetahui
arti, berita atau amanat yang tercantum dalam naskah asli Alkitab, khususnya
bagi orang awam, mereka yang ingin membaca dan mendalami Alkitab tanpa
pendidikan teologi formal.
4. Metode Penerjemahan Adaptasi
Merupakan metode penerjemahan bebas yang mementingkan pesan/amanat
tetapi diungkapkan dengan kata-kata sendiri. Pengadaptasinya mempunyai
anggapan tertentu mengenai apa yang dianggapnya paling penting bagi
pembaca/pendengarnya.
5. Metode Penerjemahan Penafsiran Ulang Menurut Kebudayaan
Merupakan metode penerjemahan dengan pengungkapan kembali isi teks
dalam kata-kata sendiri sesuai dengan konteks kebudayaan penerjemah serta
pendengar/pembaca yang menjadi sasaran 'terjemahan' ini. Tafsiran ulang seperti
ini menarik untuk dibaca, tetapi kurang bermanfaat untuk memahami arti dan
fungsi teks sesuai dengan latar belakang sejarah dan kebudayaan aslinya.
E. Teknik Penerjemahan
Istilah teknik penerjemahan merupakan istilah dengan banyak nama. Artinya,
para pakar penerjemahan menggunakan istilah yang berbeda-beda untuk menyebut
konsep yang sama tentang teknik penerjemahan. Newmark (1988) menyebut istilah
teknik penerjemahan dengan istilah prosedur penerjemahan, dan Baker (1992)
menyebutnya dengan istilah strategi penerjemahan. Perbedaan penyebutan istilah-
istilah tersebut dapat dimaklumi karena antara prosedur, teknik, dan strategi saling
kait mengkait.
Apapun sebutannya, teknik penerjemahan dan strategi penerjemahan merupakan
dua konsep yang berbeda, meskipun keduanya berkaitan erat. Strategi penerjemahan
merupakan suatu cara yang dilakukan penerjemah untuk memecahkan masalah yang
muncul dalam penerjemahan. Sedangkan teknik penerjemahan merupakan
perwujudan dari strategi penerjemahan yang dapat diketahui pada produk atau hasil
penerjemahan. Hal ini diungkapkan oleh Molina dan Albir (2002):
Strategies open the way to finding a suitable solution for a translation unit.
The solution will be materialized by using a particular technique. Therefore,
strategies and techniques occupay different places in problem solving:
strategies are part of the process, techniques affect the result.
Menurut Machali (2000:77), terdapat dua hal pokok pada istilah teknik yaitu: 1)
teknik adalah hal yang bersifat praktis; 2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu
(dalam hal ini tugas penerjemahan). Lebih lanjut disebutkan bahwa sesuai dengan
sifatnya yang praktis, ‘teknik’ secara langsung berkaitan dengan permasalahan
praktis penerjemahan dan pemecahannya daripada dengan norma pedoman
penerjemahan tertentu. Teknik penerjemahan lebih banyak berkaitan dengan langkah
praktis dan pemecahan masalah.
Molina dan Albir (2002) menyatakan bahwa “Translation techniques ... to
describe the actual steps taken by the translators in each textual micro-unit and
obtain clear data about the general methodological option chosen”. Newmark
(1988) berpendapat bahwa “...translation procedures are used for sentences and the
smaller units of language”.
Dari kedua pernyataan tersebut, ada persamaan antara ‘translation techniques’
yang disebutkan oleh Molina dan Albir dengan ‘translation procedures’ oleh
Newmark. Keduanya sama-sama berada pada tataran mikro dari suatu teks.
Istilah ‘procedures’ juga digunakan oleh Pozo Y Postigo dalam Molina dan
Albir (2002). Dia menyebutkan bahwa “Procedures include the use of simple
technique and skills, as well as expert use of strategies.”
Oleh karena itu, penyusun menggunakan istilah ‘teknik’ untuk merujuk pada
langkah yang dilakukan oleh penerjemah untuk menyelesaikan masalah yang
terwujud dalam terjemahan pada tataran mikro teks.
Molina dan Albir (2002) juga merumuskan teknik sebagai prosedur untuk
menganalisa dan mengklasifikasikan masalah kesepadanan dalam penerjemahan.
Mereka juga memberikan lima karakteristik dasar teknik penerjemahan yaitu :
a. They affect the result of the translation
b. They are classified by comparison with the original
c. They affect micro units of text
d. They are by nature discursive and contextual
e. They are functional
Pada akhirnya, teknik yaitu sebagai penjelasan atas langkah apa saja yang telah
dilakukan oleh penerjemah pada saat menghadapi masalah dalam suatu proses
penerjemahan, yang validitasnya tergantung dari keseluruhan konteks teks yang
diterjemahkan serta tujuan penerjemahan itu sendiri. Beberapa ahli penerjemahan
yang menjelaskan konsep tentang teknik penerjemahan diantaranya :
Benny Hoed (2006) memberikan 9 teknik penerjemahan yang bisa diterapkan
oleh penerjemah. Teknik-teknik penerjemahan tersebut yaitu :
1. Transposisi
Dalam teknik transposisi, penerjemah merubah struktur kalimat agar dapat
memperoleh terjemahan yang betul.
Bsu : He was unconscious when he arrived at the hospital
Bsa : Setibanya di rumah sakit, ia sudah dalam keadaan tidak sadar.
2. Modulasi
Penerjemah memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang
artinya atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan
memberikan pesan yang sama.
Bsu : The laws of Germany govern this Agreement.
Bsa : Perjanjian ini diatur oleh hukum Jerman
3. Penerjemahan Deskriptif
Penerjemahan deskriptif ini dilakukan jika suatu konsep dalam Bsu tidak atau
belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep akan
diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang bersangkutan.
Bsu : licensed software
Bsa : perangkat lunak yang dilisensikan
4. Penjelasan Tambahan
Agar suatu konsep lebih mudah dipahami (misalnya nama makanan atau
minuman yang dianggap asing oleh masyarakat pengguna Bsa), biasanya
penerjemah memberikan tambahan kata khusus sebagai penjelasan
Bsu : He bought a brandy yesterday
Bsa : Dia membeli sebotol minuman brandy kemarin
5. Catatan Kaki
Dalam penerjemahan tulis, penerjemah memberikan keterangan dalam bentuk
catatan kaki untuk memperjelas makna kata terjemahan yang dimaksud karena
tanpa penjelasan tambahan itu kata terjemahan diperkirakan tidak akan dipahami
dengan baik oleh pembaca.Bsa.
Bsu : All the software in your phone.
Bsa : Semua perangkat lunak dalam telepon seluler* Anda.
* Ini adalah teks tentang Perjanjian Lisensi yang di dalamnya mengandung
pengertian bahwa perangkat lunak itu dimasukan ke dalam telepon seluler dan
bukan telepon biasa.
6. Penerjemahan Fonologis
Ketika penerjemah tidak dapat menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa ia
memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata dalam Bsu
untuk disesuaikan dengan sistem bunyi dan ejaan Bsa.
Bsu : cryptographic software
Bsa : perangkat lunak kriptografis
7. Penerjemahan Resmi
Ada sejumlah istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi dalam
Bsa sehingga penerjemah bisa langsung menggunakannya sebagai padanan.
Bsu : New Zealand
Bsa : Selandia Baru
8. Tidak Diberikan Padanan
Jika penerjemah tidak dapat menemukan terjemahan suatu konsep dalam Bsa,
dia bisa tetap mengutip dari bahasa aslinya. Teknik ini biasanya dilengkapi
dengan catatan kaki.
Bsu : He celebrated Halloween Day
Bsa : Dia merayakan Hari Halloween
9. Padanan Budaya
Dalam teknik ini, penerjemah memberikan padanan yang sesuai dengan unsur
kebudayaan bahasa sasaran.
Bsu : ‘A’ level exam
Bsa : Ujian SPMB
Melengkapi pendapat Hoed mengenai teknik penerjemahan yang sudah
diuraikan sebelumnya, Molina dan Albir (2002) memberikan 18 klasifikasi teknik
yang bisa digunakan oleh seorang penerjemah. 18 teknik penerjemahan yang
dimaksud yaitu :
1. Adaptasi (Adaptation)
Teknik ini bertujuan untuk mengganti unsur budaya pada Bsu ke dalam budaya
Bsa.
Bsu : They search for bread
Bsa : Mereka mencari makanan
Kata bread diterjemahkan menjadi makanan. Ini terjadi jika masyarkat pengguna
Bsa tidak mengenal roti.
2. Amplifikasi (Amplification)
Cara yang digunakan dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan
secara eksplisit atau memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke
dalam Bsa.
Contoh:
Bsu : There were some Texan attending the conference.
Bsa : Beberapa penduduk negara bagian Texas ikut menghadiri
konferensi itu.
3. Peminjaman (Borrowing)
Borrowing adalah teknik penerjemahan yang memungkinkan penerjemah
meminjam kata atau ungkapan dari Bsu, baik sebagai peminjaman murni (pure
borrowing) ataupun peminjaman yang sudah dinaturalisasikan (naturalized
borrowing) baik dalam bentuk morfologi ataupun pengucapan yang disesuaikan
dalam Bsa
- Peminjaman murni (Pure Borrowing)
Bsu : hydrangea
Bsa : hydrangea
- Naturalized Borrowing
Bsu : Polyjuice
Bsa : Polijus
4. Calque
Teknik ini merujuk pada penerjemahan secara literal, baik kata maupun frasa
dari Bsu ke dalam Bsa.
Bsu : Primary School
Bsa : Sekolah Dasar
5. Compensation
Melalui teknik ini, penerjemah memperkenalkan unsur-unsur pesan atau
informasi teks Bsu yang mengandung unsur stilistika ke dalam teks Bsa.
Bsu : Enter, stranger, but take heed
Of what awaits the sin of greed
Bsa : Masuklah, orang asing, tetapi berhati-hatilah
Terhadap dosa yang harus ditanggung orang serakah
6. Description
Teknik ini diterapkan untuk mengganti sebuah istilah atau ungkapan dengan
deskripsi baik dalam bentuk maupun fungsinya.
Bsu : Sandra, mix me up the usual
Bsa : Sandra, buatkan aku pewarna rambut yang biasa
7. Discursive Creation
Teknik ini dimaksudkan untuk menampilkan kesepadanan sementara yang tidak
terduga atau keluar konteks. Teknik ini biasa dipakai untuk menerjemahkan
judul buku atau judul film.
Bsu : And Then There Were None
Bsa : Sepuluh Orang Negro
8. Establihed Equivalent
Dalam menggunakan teknik ini, penerjemah akan lebih cenderung untuk
menggunakan istilah atau ekspresi yang sudah dikenal baik dalam kamus atau
penggunaan bahasa sehari-hari dari Bsa.
Bsu : Great Britain
Bsa : Britania Raya
9. Generalization
Penerapan teknik ini dalam penerjemahan adalah merubah istilah asing yang
bersifat khusus menjadi istilah yang lebih dikenal umum dan netral dalam Bsa.
Bsu : chalet (sejenis villa di Swedia)
Bsa : pondok peristirahatan
10. Linguistic Amplification
Teknik ini digunakan untuk menambah unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa
agar lebih sesuai dengan kaidah Bsa. Teknik ini biasa digunakan dalam
consecutive interpreting atau dubbing (sulih suara).
Bsu : ‘Shall we?’
Bsa : ‘Bisa kita berangkat sekarang?’
11. Linguistic Compression
Linguistic Compression merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan dengan
cara mensintesa unsur-unsur linguistik dalam teks Bsa yang biasanya diterapkan
oleh penerjemah dalam pengalihbahasaan secara simultan (simultaneous
interpreting) atau dalam penerjemahan teks film (subtitling)
Bsu : I want you to understand
Bsa : Pahamilah
12. Literal Translation
Ketika menggunakan teknik ini, penerjemah akan menerjemahkan sebuah kata
atau ekspresi secara kata per kata.
Bsu : Ministry of Magic
Bsa : Departemen Sihir
13. Modulation
Dalam teknik ini, penerjemah mengubah sudut pandang, fokus, atau kategori
kognitif dalam kaitannya dengan Bsu.
Bsu : Hagrid’s record is againts him
Bsa : Catatan tentang Hagrid sama sekali tidak mendukungnya.
14. Particularization
Teknik ini merupakan kebalikan dari generalization. Penerjemah akan
menggunakan istilah yang lebih konkrit atau jelas dalam Bsa bila dalam Bsu
hanya diberikan istilah umumnya saja.
Bsu : He calls the chief to check the engine.
Bsa : Dia memanggil kepala montir untuk memeriksa mesin.
15. Reduction
Teknik ini berfokus pada pemadatan teks dari Bsu ke dalam Bsa. Teknik ini
biasa disebut sebagai kebalikan dari amplification.
Bsu : the month of fasting for Moslem
Bsa : Ramadan
16. Substitution
Teknik ini dilakukan dengan cara mengubah unsur-unsur linguistik ke dalam
paralinguistik atau sebaliknya. Teknik ini biasa digunakan dalam
pengalihbahasaan.
Bsu (paralinguistik) : The both Japanese bows each other
Bsa : Kedua orang Jepang itu saling memberikan salam
17. Transposition
Dalam teknik ini, penerjemah mengubah kategori grammatikal Bsu ke dalam
Bsa yang dianggap lebih sesuai.
Bsu : Would you like to come in or are you just passing through?
Bsa : Kau mau masuk sebentar?
18. Variation
Cara yang digunakan oleh penerjemah dalam teknik ini adalah mengubah unsur-
unsur linguistik dan paralinguistik yang mempengaruhi variasi linguistik,
perubahan secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dan juga dialek geografis.
Teknik ini biasa ditemukan dalam penerjemahan teks drama.
Bsu : Hi, Love
Bsa : Halo, Say
Nida dan Taber (dalam Molina dan Albir 2002: 501) memberikan beberapa
alternatif teknik penerjemahan ketika tidak ditemukan padanan yang tepat dalam teks
bahasa sumber. Teknik penyesuaian (Techniques of adjustment) adalah teknik yang
ditawarkan mereka. Dalam teknik ini, di usulkan 3 jenis tipe dalam teknik
penyesuaian yaitu : teknik penambahan (additions), teknik pengurangan
(substractions), dan teknik pengubahan/ pergantian (alterations).
Penambahan (addition) ditujukan untuk mengklarifikasi kalimat/ungkapan
eliptis (eliptis berarti bersifat elipsis yang berkaitan dengan penghilangan bagian-
bagian klausa atau kalimat, penghilangan dapat berupa morfem atau kata), untuk
menghindari ambigu bahasa sasaran, untuk merubah kategori struktur gramatikal,
untuk menjelaskan elemen-elemen implisit, dan menambah konektor. Contoh : They
tell him of her (Mark 1:30)
The people there told Jesus about the woman (using addition techniques).
Nida dan Taber menyatakan bahwa ada 4 situasi yang mengharuskan
penerjemah menggunakan teknik pengurangan (substractions) jika memang bahasa
sasaran memerlukannya. 4 situasi tersebut yaitu : pengulangan yang tidak perlu,
referensi yang spesifik, konjungsi, dan adverb. Contohnya : kata God muncul 32 kali
dalam 31 versi dalam Kitab Kejadian. Nida menyarankan untuk menggunakan
pronoun (kata ganti orang) dari God menjadi Him untuk mengurangi kata God.
Pengubahan/pergantian (alterations) dilakukan jika terjadi ketidaksesuaian
antara dua bahasa. Ada 3 tipe alterations yaitu :
a. Perubahan/pergantian terkait dengan masalah yang disebabkan oleh transliterasi
(penyalinan satu huruf ke huruf yang lain). Ini terjadi ketika sebuah kata baru
dikenalkan oleh bahasa sumber.
Contoh :
Kata Messiah di transliterasikan menjadi Mezaya dalam Bahasa Loma yang
berarti death’s hand.
b. Perubahan/pergantian terkait dengan perbedaan struktur Bsu dan Bsa. Misalnya :
pada word order, kategori gramatikal, dll.
c. Perubahan/pergantian terkait dengan ketidaksesuaian unsur semantik, terutama
terkait dengan ungkapan idiomatik. Salah satu saran untuk memecahkan masalah
ini dengan padanan deskriptif. Misalnya padanan objek, peristiwa, dll yang tidak
ditemui di bahasa sasaran. Contoh terkait dengan objek yang tidak dikenal dalam
bahasa sasaran yaitu : In Maya the house where the law was read for Synagogue
(Gereja Kaum Yahudi). Dalam bahasa sasaran tidak dikenal kata Synagogue,
maka perlu dijelaskan dengan padanan deskriptif.
Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002) menambahkan jenis-jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk
menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika ada
dua unsur yang berganti posisi.
Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002) juga menganjurkan tiga jenis
teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision),
parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk
ketidaktepatan unsur stilistika yang dan informasi yang tidak ditemukan dalam
bahasa sumber, sedangkan penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang
tidak tepat dalam bahasa sumber
Teknik parafrase serupa dengan parafrase tak logis dan discursive creation
merupakan proses kognitif ketika menerjemahkan yang berhubungan dengan
padanan non leksikal yang hanya terdapat pada konteks.
Dalam penelitian ini, penyusun menggunakan teknik-teknik penerjemahan yang
diusulkan oleh Hoed (2006), Molina dan Albir (2002), dan beberapa ahli seperti Nida
dan Taber (1964), Vazquez Ayora (1977), dan Delisle (1993) dalam Molina dan
Albir (2002).
F. Eksegesis Alkitab
Daud Soesilo (2001:101-118) secara rinci dan lengkap menjelaskan eksegesis
Alkitab. Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa Inggris
“exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya menafsir, membuka,
menyingkapkan, membongkar, menampakkan, menjelaskan arti yang disampaikan
penulis kepada pembaca/pendengar mula-mula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan
sesuai dengan tujuan aslinya.
Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhati-hati untuk
memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula, dan mencegah arti
yang salah dan tafsiran yang membabi buta. Lawan dari eksegesis adalah eisegesis.
Eisegesis adalah memasukkan ke dalam teks arti yang sesuai dengan kemauan
sendiri, tanpa peduli apakah sesuai dengan maksud penulis mula-mula atau tidak.
Daud lebih lanjut menambahkan bahwa seorang penerjemah Alkitab
memerlukan alat bantu penafsir dalam mengeksegesis Alkitab. Alat bantu diperlukan
untuk mengetahui latar belakang, sejarah, dan kebudayaan (adat-istiadat, kebiasaan,
tradisi, cara berpikir, norma-norma masyarakat, dll).
Alat bantu yang biasa dipergunakan oleh para penerjemah Alkitab yaitu kamus
Alkitab, ensiklopedia Alkitab, peta Alkitab, buku-buku pengantar Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru, buku-buku tafsiran Alkitab yang baik dan memakai metode
yang dapat dipertanggungjawabkan (yaitu eksegesis : memperhatikan bahasa asli,
kebudayaan dan sejarah), Pedoman Penafsiran Alkitab (PPA) terbitan UBS/LAI, dan
konkordasi Alkitab.
Penyusun mengutip definisi eksegese Alkitab dari http://www.
biblestudy.org/beginner/definition of christian terms/exegese.html/13 Juni
2010/04.00 pm bahwa :
Exegesis is a theological term used to describe an approach to interpreting a
passage in the Bible by critical analysis. Proper exegesis includes using the
context around the passage, comparing it with other parts of the Bible, and
applying an understanding of the language and customs of the time of the
writing, in an attempt to understand clearly what the original writer intended to
convey. In other words, it is trying to "pull out" of the passage the meaning
inherent in it.
Dari kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa eksegese adalah istilah teologis
yang digunakan untuk menggambarkan pendekatan untuk menafsirkan ayat dalam
Alkitab dengan analisis kritis. Penafsiran yang tepat termasuk menggunakan konteks
di sekitar teks, membandingkannya dengan bagian lain dari Alkitab, dan menerapkan
pemahaman tentang bahasa dan kebiasaan saat menulis, dalam upaya untuk
memahami dengan jelas apa yang penulis asli dimaksudkan untuk disampaikan.
Dengan kata lain, eksegese adalah upaya untuk "menarik keluar" makna yang
melekat di dalamnya.
Skema Kerangka Pikir
Skema kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut :
BSU
A HANDBOOK
ON THE
REVELATION TO
JOHN
BSA
SPPA
WAHYU KEPADA
YOHANES
Adaptor
SPPA Wahyu Kepada
Yohanes
Problematika
Pengadaptasian, Strategi,
dan Teknik Penerjemahan
Gambar 1 : Skema Kerangka Pikir
Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa data utama dalam penelitian ini
yaitu THB ”A Handbook on The Revelation to John” sebagai bahasa sumber yang
kemudian diterjemahkan dan diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh para adaptor
menjadi SPPA Wahyu Kepada Yohanes sebagai bahasa sasarannya. Dalam proses
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, dikaji problematika penerjemahan
apa yang muncul. Selain mengkaji problematika penerjemahannya, dikaji pula
strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, dan kecendurangan jenis metode
penerjemahan yang digunakan adaptor yang sesuai serta prosedur pengujian kualitas
adaptasi adaptor yang dilakukan oleh Departemen Penerjemahan LAI Bogor
Prosedur pengujian adaptasi ini melibatkan beberapa pihak. Pihak-pihak
tersebut yaitu Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI dan Pembaca Khusus
Jenis Metode
Penerjemahan
Kualitas Adaptasi
Adaptor
Tim
Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI
Pembaca Khusus
(Specific Readers) /
Penerjemah Lokal
Prosedur Pengujian
Adaptasi Adaptor
(Specific Readers) atau dalam hal ini penerjemah lokal sebagai indikator kualitas
adaptasi adaptor.
Demikian rumitnya proses pengujian adaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes
menunjukkan bahwa bahwa tingkat keakuratan (unsur bahasa, teologi, budaya,
makna, dll) adaptasi menjadi prioritas utama dalam pengujian dengan tetap
mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks pembacanya yaitu
penerjemah lokal.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar, dengan pendekatan kualitatif
deskriptif dan berbentuk penelitian terpancang untuk kasus tunggal. Penelitian ini
disebut penelitian dasar (basic research) atau sering juga disebut penelitian
akademik terkait dengan tujuan akhir dari penelitian ini dirancang hanya untuk
pemahaman mengenai satu masalah yang mengarah pada manfaat teoretik untuk
kepentingan akademis, bukan manfaat praktik (Sutopo, 2006:135-136).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif karena
dimaksudkan untuk mendeskripsikan keadaan sebenarnya dalam penyajian data dan
mengkajinya untuk mencari jawaban atas pertanyaan penelitian. Hal ini sesuai
pendapat Sutopo (2006: 40) bahwa pada penelitian dengan pendekatan kualitatif
deskriptif maka catatan penelitian ditekankan pada pemberian deskripsi kalimat yang
rinci, lengkap, mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya untuk
mendukung penyajian data. Untuk itu, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan
akan dideskripsikan dan dikaji secara mendalam agar diperoleh pemahaman yang
lebih nyata terkait tujuan penelitian.
Selanjutnya, penelitian ini disebut penelitian terpancang (embedded research)
karena fokus penelitian telah ditentukan oleh peneliti sebelum peneliti mengambil
data ke lapangan. Hal ini sesuai pendapat Yin dalam Sutopo (2006:39) bahwa
penelitian kualitatif disebut penelitian terpancang apabila penelitian tersebut telah
menentukan fokus penelitian (variabel utama) yang akan dikaji berdasarkan tujuan
dan minat penelitinya sebelum peneliti masuk ke lapangan. Kemudian, penelitian ini
dirancang hanya untuk satu kasus tunggal karena hanya terarah pada sasaran dengan
satu karakteristik untuk mencari hubungan sebab akibat antar variabel dengan
simpulan yang diambil bersifat kontekstual bukan generalisasi (Sutopo, 2006:136-
138).
Namun, walaupun fokus telah ditentukan pada teknik penerjemahan yang dilihat
pada produk/hasil terjemahan (product oriented), tidak ditutup kajian terhadap aspek
lain yang juga berpengaruh terhadap kualitas terjemahan tersebut. Sutopo (2006: 38-
39) menyatakan penelitian kualitatif memiliki sifat holistik, artinya variabel sebab
(independent variable) tidak dapat dipisahkan dari variabel akibat (dependent
variable) karena saling mempengaruhi.
Kemudian sesuai dengan pandangan Nababan (2007) terdapat hubungan timbal
balik antara proses, penerjemah, dan produk penerjemahan. Oleh sebab itu dalam
penelitian ini juga akan dikaji tiga faktor yang terlibat, yaitu: latar terjadinya sesuatu
(faktor genetik) dalam konteks penelitian ini penerjemah, kondisi aktual sasaran
yang dikaji (faktor objektif) berupa dokumen buku asli dan terjemahannya,
kemudian aspek terakhir dampak pengaruh/persepsi/hasil (faktor afektif) yaitu
informasi dari informan.
B. Fokus Penelitian
LAI telah menerbitkan Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa daerah dan dalam dua bahasa untuk
berbagai kelompok umur yaitu dewasa, remaja, dan anak-anak. Selain terbitan
Alkitab dalam berbagai versi, LAI juga menerbitkan Edisi Testamen dan bagian-
bagian Alkitab. Adapun yang menjadi data penelitian yaitu SPPA Wahyu Kepada
Yohanes yang merupakan salah satu dari SPPA yang lain sebagai produk edisi studi
terbitan LAI.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah mengkaji SPPA Wahyu Kepada
Yohanes dengan menganalisa problematika pengadaptasian yang dihadapi adaptor,
strategi penerjemahan, teknik penerjemahan, metode penerjemahan yang diterapkan
adaptor, dan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor yang dilakukan oleh
Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
C. Data dan Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa dan
tingkah laku, dokumen, dan arsip, serta berbagai benda yang lain (Sutopo, 2006:58).
Dengan demikian, data–data atau informasi yang paling penting untuk dikumpulkan
dan dikaji dalam penelitian ini sebagian besar berupa data kualitatif. Informasi
tersebut akan digali dari beragam data dan sumber data.
Jenis data dan sumber data dalam penelitian ini meliputi data objektif berupa
dokumen LAI yaitu THB berbahasa Inggris dan adaptasinya, kemudian data objektif
dilengkapi dengan informasi dari adaptor sebagai sumber data genetik dan informan
sebagai sumber data afektif. Berikut diberikan uraian mengenai data dan masing-
masing sumber data:
1. Data Penelitian : Dokumen LAI
Dokumen utama sebagai data objektif dalam penelitian ini adalah SPPA
Wahyu Kepada Yohanes yang merupakan adaptasi dari THB “A Handbook on the
Revelation to John” terbitan UBS New York-United States of America Tahun
1993 setebal 352 halaman berbahasa Inggris karya Robert G.Bratcher dan Howard
A. Hatton.
SPPA Wahyu Kepada Yohanes di terjemahkan dan di adaptasi oleh Tim
Pengadaptasi LAI yaitu Kareasi H Tambur, Rosdianingsih Sinambela, Bryan
Hinton, Edward A Kotynski, P.G. Katoppo, dan M.K. Sembiring. SPPA Wahyu
Kepada Yohanes merupakan hasil kerjasama antara LAI dan Yayasan Kartidaya
dan diterbitkan pada tahun 2000. SPPA Wahyu Kepada Yohanes setebal 355
halaman dicetak sebanyak 2000 eksemplar dengan hak cipta adaptasi © LAI
2000.
Sebagai sumber data objektif yang merupakan produk terjemahan akan
diambil data berupa teknik penerjemahan yang dilakukan oleh adaptor pada
satuan lingual dalam tataran kata, frase, klausa dan kalimat yang terdapat dalam
kedua buku tersebut.
Berikut contoh data :
1. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4
Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it
refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp
stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of
the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made
about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear
frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the
Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these
trees are unknown to say something like ‘tree named olive” and introduce the
picture, and also have a description in a glossary item.
Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang
memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua
pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua
orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun
sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun,
buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu,
penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya.
Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah sebabnya
dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau
pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak
orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun
atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal pohon zaitun,
hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini dan
keterangannya dalam kamus Alkitab.
2. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4
Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it
refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp
stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of
the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be made
about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which appear
frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in the
Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where these
trees are unknown to say something like ‘tree named olive” and introduce the
picture, and also have a description in a glossary item.
Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang
memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua
pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua
orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun
sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon zaitun,
buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu,
penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya.
Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah sebabnya
dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon minyak atau
pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu sumber minyak
orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah pohon minyak zaitun
atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal pohon zaitun,
hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini dan
keterangannya dalam kamus Alkitab.
Dan contoh kodifikasi data yang lainnya yaitu :
3. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12
4. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13
5. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6
6. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17
7. 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13
8. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6
9. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11
10. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6
11. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/TI/6:2
12. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18
13. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9
14. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:11
15. 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19
Kodifikasi data diatas digunakan untuk memudahkan proses analisis data dan
untuk memudahkan untuk melihat data pada sumber aslinya. Berikut arti dari
kode-kode di atas :
01 : Merupakan nomor data
Bsu : Bahasa sumber
Bsa : Bahasa sasaran
P. Lek : Problematika leksikal
Add : Addition (penambahan)
Alt : Alteration (pengubahan)
Omm : Ommision (penghilangan)
Gra : Grafis (penjelasan tambahan bentuk gambar)
N.Gra : Non grafis (penjelasan tambahan bentuk non gambar)
Amp : Amplifikasi
PD : Penerjemahan deskriptif
UAT : Usulan alternatif terjemahan
Eks : Eksegese ayat
Gen : Generalisasi
PGTB : Problematika gaya dan tata bahasa
KP : Kata penghubung
TI : Tambahan informasi
Simpl : Simplifikasi
Kr.P : Kronologisasi peristiwa
KP-KA : Kalimat pasif - kalimat aktif
11:4 : Pasal 11 ayat ke 4 dalam Kitab Wahyu Kepada Yohanes (Bsa) dan on
the Revelation to John (Bsu)
2. Sumber data : Informan
Informan sebagai sumber data afektif dalam penelitian ini melibatkan
berbagai pihak. Adapun pihak-pihak tersebut yaitu Kordinator Tim Adaptor LAI,
Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI, dan Adaptor LAI sebagai
pengadaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes.
Peneliti memperoleh informasi tentang informasi yang relevan dengan pokok
persoalan yang diteliti. Informasi-informasi atau data-data yang peneliti peroleh
dari berbagai informan yang ada tersebut berfungsi sebagai sumber data genetik.
Berikut adalah pihak-pihak yang menjadi informan dalam penelitian ini :
Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI : Bpk Pericles G. Katoppo., M.A., L.Th
(selanjutnya disebut dengan informan P), Kordinator Tim Adaptor LAI dan
Anggota Tim Pengadaptasi SPPA Wahyu Kepada Yohanes : Bpk. Pdt. M.K.
Sembiring, M.Th (selanjutnya disebut dengan informan M), dan salah seorang
adaptor LAI : Bpk. Ribut Karyono., S.Th., M.Th (selanjutnya disebut dengan
informan R).
D. Teknik Pengumpulan Data
Goets dan Compte (1984) dalam Sutopo (2006: 66) menjelaskan bahwa strategi
pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dapat dikelompokkan ke dalam dua
cara yaitu metode interaktif dan metode non–interaktif. Metode interaktif meliputi
wawancara mendalam dan observasi berperan, sedangkan metode non–interaktif
meliputi observasi tak berperan, kuesioner dan mencatat dokumen (content analysis).
Sesuai dengan jenis penelitian dan sumber data yang telah disebutkan di atas,
maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengkaji
dokumen (content analysis) dan wawancara mendalam (in-depth interviewing).
Berikut uraian masing-masing teknik pengumpulan data tersebut:
1. Mengkaji Dokumen (Content Analysis)
Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang memiliki posisi
penting dalam penelitian kualitatif. Menurut Yin (1987) dalam Sutopo (2006:81),
mengkaji dokumen merupakan cara untuk menemukan beragam hal sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan penelitian.
Dalam melakukan teknik ini, perlu disadari bahwa peneliti bukan sekadar
mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi makna
tersiratnya. Teknik ini bertujuan untuk memperoleh gambaran teknik
penerjemahan yang digunakan oleh adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes.
Kajian dokumen pada penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan
Bsu dan Bsa sumber data penelitian untuk mengidentifikasi problematika
penerjemahan, jenis teknik dan metode penerjemahan yang digunakan adaptor
dalam proses pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dan
menganalisisnya.
2. Wawancara Mendalam (in–depth interviewing)
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (in–depth interviewing). Sutopo (2006:69) menyatakan bahwa
wawancara mendalam bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak
dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang–ulang pada informan yang
bisa dikumpulkan semakin rinci dan mendalam.
Pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti dalam pembicaraan biasa serta
terfokus, sehingga informasi yang dikumpulkan cukup mendalam. Kelonggaran
dan kelenturan cara ini akan mampu mengungkap kejujuran informan untuk
memberi informasi yang sebenarnya. Teknik seperti ini oleh Moleong (1989:59)
digolongkan pembicaraan wawancara informal yang disebut in–depth
interviewing (Patton, 1983: 600).
Peneliti melakukan wawancara mendalam ini dengan para informan untuk
mendapatkan data–data yang diperlukan dalam penelitian. Adapun data–data
tersebut yaitu problematika yang dihadapi adaptor dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes, strategi penerjemahan yang digunakan adaptor, dan
prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dan data-data pendukung yang
lainnya.
Wawancara dapat dilakukan berulang kepada informan demi kejelasan dan
kemantapan masalah yang sedang dikaji. Wawancara dianggap cukup apabila
semua data yang dibutuhkan telah terpenuhi. Hasil analisis dokumen dan
wawancara tersebut merupakan catatan lapangan.
E. Teknik Pemeriksaan Keabsahan/Validitas Data
Untuk terjaminnya teknik pengumpulan dan kebenaran serta ketepatan data yang
diambil, dalam penelitian ini dikembangkan teknik pemeriksaan keabsahan data
(validitas data). Karena teknik pengambilan dan keabsahan data merupakan jaminan
bagi kemantapan simpulan dan tafsiran makna sebagai hasil penelitian, maka
validitas data mutlak diperlukan (Sutopo, 2006: 91-92).
Dalam penelitian kualitatif, terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk
pengembangan validitas (keabsahan) data penelitian. Cara-cara tersebut yaitu teknik
triangulasi (triangulation technique), review informan kunci (key informan review)
dan member check. (Sutopo, 2006:92).
Dalam penelitian ini dikembangkan dua teknik triangulasi dari empat triangulasi
yang dianjurkan Patton dalam Sutopo (2006:92) yaitu: (1) triangulasi data
(triangulasi sumber data), dan (2) triangulasi metode (cara pengambilan data).
Pada prinsipnya penerapan berbagai triangulasi ini untuk memperoleh gambaran
secara komprehensif dari berbagai perspektif sehingga lebih meyakinkan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Secara singkat, uraian beberapa teknik untuk pemeriksaan
keabsahan/validitas data dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Triangulasi Sumber Data
Triangulasi sumber data mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data,
peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya bahwa
data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari
beberapa sumber data yang berbeda (Sutopo, 2006: 79).
Dalam pelaksanaannya, data digali dari hasil mengkaji dokumen (content
analysis) dan wawancara mendalam dengan informan. Wawancara mendalam
dilakukan dengan sumber data yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan data
penelitian. Hal ini sesuai anjuran Sutopo bahwa teknik triangulasi sumber data
dapat dilakukan dengan informan atau narasumber dari kelompok dan tingkatan
yang berbeda (2006:93).
Triangulasi sumber data yang memanfaatkan jenis sumber data yang berbeda-
beda untuk menggali data yang sejenis, disini penekanannya pada perbedaan
sumber data, bukan pada teknik pengumpulan data atau yang lain (Sutopo,
2006:93).
Dengan cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik
pengumpulan data yang berbeda, data sejenis bisa teruji kemantapan dan
kebenarannya, dan teknik ini tetap dinyatakan sebagai teknik triangulasi sumber
data. (Sutopo, 2006:94). Secara sederhana, teknik triangulasi sumber data bisa
digambarkan dalam skema berikut :
Informan 1
Wawancara Informan 2
Informan 3
Gambar 2 : Skema Triangulasi Sumber Data
2. Triangulasi Metode
Berbeda dengan teknik triangulasi sumber data yang menggunakan beragam
jenis sumber data, triangulasi metode dilakukan dengan cara mengambil data yang
sama dari satu sumber dengan teknik yang berbeda-beda agar data tersebut benar-
benar meyakinkan (Sutopo, 2006: 95).
Data
Teknik ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara mengumpulkan
data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data
yang berbeda, dan bahkan lebih jelas untuk di usahakan mengarah pada sumber
data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya (Sutopo, 2006:95).
Secara sederhana, teknik triangulasi metode dalam penelitian ini digambarkan
dalam skema berikut ini :
Content analysis Dokumen /arsip
Kordinator T Informan 1
Wawancara Informan 2
Informan 3
Gambar 3 : Skema Triangulasi Metode
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data model interaktif menurut Sutopo (2006:113) yaitu melalui
tahapan reduksi data, sajian data, penarikan simpulan atau verifikasi. Sesuai dengan
metodologi penelitian kualitatif maka analisisnya bersifat induktif jadi tidak
bermaksud membuktikan prediksi peneliti. Semua simpulan dan/atau teori yang
mungkin dikembangkan, dibentuk dari semua data yang diperoleh di lapangan.
Menurut Sutopo (2006: 106-108) analisis yang bersifat induktif ini dilakukan
melalui kegiatan: 1) analisis di lapangan bersamaan dengan pengumpulan data, 2)
analisis dalam bentuk interaktif, dan 3) analisis bersifat siklus.
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini mengikuti model analisis
yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman yaitu model analisis interaktif.
Pelaksanaan analisisnya dilakukan melalui tiga komponen, yaitu: 1) reduksi data, 2)
Data
sajian data, dan 3) penarikan simpulan serta verifikasi (Miles & Huberman dalam
Sutopo, 2006:113-116). Kegiatan analisis data ini dimulai dari kegiatan
pengumpulan data, kemudian komponen analisis data, yaitu sebagai berikut:
1. Reduksi data : Proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi dari
semua jenis informasi yang tertulis pada catatan lapangan. Proses ini akan
berlangsung secara terus menerus bersamaan dengan pengumpulan data.
2. Sajian data : Proses pengorganisasian informasi dan penyusunan narasi lengkap
sehingga memungkinkan diambilnya simpulan penelitian.
3. Penarikan simpulan dan verifikasi : Proses penyimpulan dari berbagai hal yang
diperoleh selama pengumpulan data dan dari catatan lapangan. Simpulan ini
kemudian diverifikasi kembali dengan catatan lapangan dan data dari informan
LAI agar datanya cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan.
Model analisis interaktif di atas tidak dilakukan berurutan setelah semua data
terkumpul, tetapi dilakukan secara bersamaan pada saat pengumpulan data.
Kemudian masing-masing satuan data yang diperoleh juga dibandingkan sehingga
terjadi interaksi antara proses pengumpulan data dan analisis data serta elemen-
elemen lain seperti pencatatan data, penulisan laporan sementara, dan review
pertanyaan penelitian. Secara sederhana, interaksi tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
(1) (2)
Pengumpulan
Data
Reduksi
Data
Sajian
Data
Penarikan
(3)
Gambar 4 : Proses Analisis Interaktif oleh Miles & Huberman (dalam Sutopo, 2006: 120)
Analisis interaktif ini digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh di
lapangan. Dalam penelitian ini, langkah-langkah dalam analisis interaktif yang
dilakukan oleh penyusun adalah penyusun mengumpulkan data-data awal dari
content analysis dan data-data pokok yang diperlukan dari sumber data yaitu
informan LAI.
Setelah data-data terkumpul, kemudian data langsung dianalisis. Ini berarti
bahwa analisis data dimulai pada saat pertama kali data-data di peroleh. Dari data
yang di peroleh, penyusun mengolah dan menyusun pengertian singkatnya dengan
pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi data. Kemudian, penyusun
menyusun sajian data yang berupa data-data utama yang terkait dengan rumusan
masalah dalam penelitian ini dan data-data pendukung lainnya.
Langkah selanjutnya yaitu penyusun menarik simpulan dengan verifikasinya
yang berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya.
Bila kesimpulan dianggap kurang mantap, maka peneliti akan menggali lagi catatan
lapangan (fieldnote) atau dengan cara pengumpulan data ulang, khusus untuk data
yang dianggap kurang memadai atau data yang meragukan.
Pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau
verifikasi akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut dan terus dilakukan
sampai diperoleh kesimpulan yang matang. Dengan demikian, apabila ternyata data
yang diperoleh kurang lengkap, maka sangat dimungkinkan sekali peneliti akan
melakukan wawancara ulang guna melengkapi data yang kurang tersebut untuk
diverifikasikan atau disimpulkan sehingga datanya menjadi lengkap.
G. Instrumentasi Penelitian
Meski berbagai alat pengumpulan data yang biasa dimungkinkan untuk
digunakan sebagai kelengkapan penunjang, namun alat penelitian utamanya adalah
penelitinya sendiri (human instrument). Berkaitan dengan kedudukan penyusun
sebagai instrumen utama, hal ini menjadi semakin kuat karena dalam penelitian
kualitatif ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai
makna dari berbagai interaksi (Lincoln dan Guba, 1985 dalam Sutopo 2006: 44-45).
Dalam penelitian kualitatif, bentuk semua teknik pengumpulan data dan kualitas
pelaksanaan serta hasilnya sangat bergantung pada penelitinya sebagai alat
pengumpulan data utamanya. Oleh karena itu, sikap kritis dan terbuka sangat
penting, dan teknik pengumpulan data yang digunakan selalu yang bersifat terbuka
dengan kelenturan yang luas, seperti misalnya teknik wawancara mendalam,
observasi berperan, dan bila diperlukan data awal yang bersifat umum, bisa juga
menggunakan kuesioner terbuka, analisis dokumen, dan diskusi kelompok terarah.
Posisi peneliti sebagai alat utama pengumpulan data ini menuntut kualitas
peneliti yang benar-benar memahami metodologi penelitiannya, didukung dengan
pengalaman yang cukup dalam melakukan penelitian, agar mampu menghasilkan
penelitian yang bermutu. (Sutopo, 2006:45).
Adapun instrumen-instrumen penelitian yang lain seperti pedoman wawancara,
catatan lapangan, alat tulis menulis, kamera, alat perekam, dll dalam penelitian ini
posisinya hanya sebagai alat penunjang/kelengkapan dalam pengumpulan data. Alat
utamanya yaitu peneliti sendiri.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, data-data yang digunakan adalah kalimat-kalimat yang di
terjemahkan dan di adaptasi dengan berbagai macam teknik penerjemahan yang akan
penyusun uraikan di bagian selanjutnya dalam bab ini. Adapun teknik-teknik
penerjemahan yang di gunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes yaitu addition (penambahan), alteration (pengubahan), dan omission
(penghilangan). Ketiga teknik penerjemahan tersebut masih terbagi lagi atas beberapa sub
teknik penerjemahan.
Kalimat-kalimat yang menjadi data penelitian dikumpulkan dari buku THB on the
Revelation to John sebagai bahasa sumber dan terjemahan kalimat-kalimat tersebut
diambil dari buku SPPA Wahyu Kepada Yohanes sebagai bahasa sasarannya. Selain itu,
data juga penyusun peroleh dari hasil mengkaji dokumen dan wawancara mendalam
dengan para informan.
Dari para informan diperoleh data-data mengenai jenis problematika yang dihadapi
adaptor, strategi penerjemahan, dan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam
proses pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes melalui teknik wawancara. Data-
data mengenai jenis metode penerjemahan dan teknik-teknik penerjemahan yang
digunakan adaptor diperoleh penyusun dari mengkaji dokumen (content analysis).
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis problematika penerjemahan teks
keagamaan khususnya dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes,
mendeskripsikan strategi adaptor dan teknik-teknik penerjemahan yang diterapkan,
mendeskripsikan jenis metode penerjemahan yang diterapkan adaptor serta
mendeskripsikan prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor yang dilakukan oleh
Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
Oleh karena itu, agar hasil penelitian ini mudah dipahami, bab ini disajikan secara
sistematis menjadi 3 sub bab, yaitu (a) deskripsi data, (b) analisis hasil penelitian, dan (c)
pembahasan.
A. Deskripsi Data
Dari penelitian, diperoleh data bahwa terdapat dua jenis problematika yang
dihadapi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yaitu
problematika leksikal yang menyangkut kosakata dan problematika gaya dan tata
bahasa. Penelitian ini menggunakan purposive sampling.
Data yang digunakan secara keseluruhan berjumlah 117 data. Data ini terbagi
atas 48 data yang masuk dalam kategori jenis problematika leksikal dan 69 data yang
masuk dalam kategori jenis problematika gaya dan tata bahasa. Baik problematika
leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa di terjemahkan dengan
menggunakan 3 teknik penerjemahan yaitu addition (penambahan), alteration
(pengubahan), dan omission (penghilangan).
Dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, adaptor lebih banyak
menggunakan teknik addition dengan jumlah 60 data. Teknik alteration digunakan
adaptor dengan 45 data. Teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor
dengan jumlah 12 data.
Dari ketiga jenis teknik-teknik penerjemahan (addition, alteration, dan
omission), terbagi-bagi lagi menjadi sub-sub teknik penerjemahan yang digunakan
adaptor baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata
bahasa.
Bentuk-bentuk dari teknik addition yang masuk kategori problematika leksikal
yaitu penjelasan tambahan dalam bentuk gambar (grafis) sejumlah 18 data,
amplifikasi sejumlah 5 data, penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data, membuat
usulan alternatif terjemahan 5 data, dan eksegese ayat sejumlah 2 data.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data dan
bentuk dari teknik omission yaitu dengan tidak menerjemahkan semua unsur-unsur
bahasa sumber sejumlah 7 data.
Bentuk-bentuk dari teknik addition yang masuk kategori problematika gaya dan
tata bahasa adalah membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data, eksegese
ayat sejumlah 8 data, penambahan kata penghubung sejumlah 12 data, dan tambahan
informasi sejumlah 1 data. Bentuk-bentuk teknik alteration yaitu simplifikasi
sejumlah 4 data, kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data, dan mengubah kalimat
pasif menjadi kalimat aktif sejumlah 27 data. Materi bahasa sumber tidak semuanya
diterjemahkan merupakan bentuk dari teknik omission sejumlah 5 data.
Klasifikasi jenis problematika, jenis teknik penerjemahan dan sub-sub
tekniknya, serta jumlah data dalam penelitian ini digambarkan dalam bentuk tabel 2
berikut :
Tabel 2 : Klasifikasi Persebaran Data
Jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya No
Jenis problematika Additions Jml Alterations Jml Omissions Jml
18
5
4
5
2
7 7 Leksikal Grafis
Amplifikasi
Penerjemahan
Deskriptif
Usulan alternatif
Terjemahan
Eksegese ayat
34
Generalisasi
7
Materi Bsu tidak semua diterjemahkan
7
1
Jumlah data problematika leksikal : 34 + 7 + 7 = 48 5
8
12
1
4
7
27
5
2 Gaya dan tata bahasa
Usulan alternatif
terjemahan
Eksegese ayat
Penambahan
kata
penghubung
Tambahan
informasi
26
Simplifikasi
Kronologisasi
peristiwa
Mengubah kalimat pasif menjadi aktif
38
Materi Bsu tidak semua diterjemahkan
5
Jumlah data problematika gaya dan tata bahasa : 26 + 38 + 5 = 69 Jumlah total data : 48 + 69 = 117 data
B. Analisis Hasil Penelitian
Pada bagian ini diuraikan analisis hasil penelitian. Setelah data dijajarkan antara
Bsu dan Bsa, dianalisis jenis-jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya yang
digunakan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Secara umum,
teknik-teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam problematika leksikal dan
problematika gaya dan tata bahasa yaitu addition (penambahan), alteration
(pengubahan), dan omission (penghilangan).
Teknik-teknik penerjemahan yang digunakan tersebut sesuai dengan teknik yang
diusulkan oleh Nida dan Taber dalam Molina & Albir (2002) yang disebut dengan
teknik penyesuaian (technique of adjustments). Dalam teknik ini di usulkan 3 jenis
tipe teknik penerjemahan yaitu teknik penambahan (additions), teknik pengurangan
(substractions), dan teknik pengubahan/ pergantian (alterations).
Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam Molina
& Albir (2002). Vazquez Ayora menambahkan jenis-jenis teknik penerjemahan yaitu
penghilangan (ommision) yang digunakan untuk menghilangkan pengulangan
sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan pemindahan/pembalikan (Displacement
and Inversion) yang digunakan ketika ada dua unsur yang berganti posisi.
Teknik addition dan omission juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh
Delisle (1993) dalam Molina & Albir (2002). Delisle (1993) menganjurkan tiga jenis
teknik penerjemahan yaitu penambahan dan penghilangan (addition and ommision),
parafrase, dan discursive creation. Teknik penambahan dikenalkan untuk
ketidaktepatan unsur stilistika yang dan informasi yang tidak ditemukan dalam
bahasa sumber, sedangkan penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang
tidak tepat dalam bahasa sumber.
1. Analisis jenis teknik penerjemahan dan sub-sub teknik yang masuk kategori
problematika leksikal
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian deskripsi data, terdapat 48 data
yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke-48 data tersebut
diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan jumlah
34 data, alteration dengan jumlah 7 data dan omission dengan jumlah 7 data.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan
berupa grafis (gambar) sejumlah 18 data, amplifikasi sejumlah 5 data,
penerjemahan deskriptif sejumlah 4 data, membuat usulan alternatif terjemahan
sejumlah 5 data, dan eksegese ayat sejumlah 2 data.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data
dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan bentuk
dari teknik omission dengan jumlah 7 data. Ke-48 data tersebut dapat di bahas
menjadi seperti berikut :
a. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penjelasan tambahan
berupa grafis (gambar) dalam bahasa sasaran
Penjelasan tambahan dalam bentuk gambar (grafis) maupun fungsinya
menjadi salah satu teknik penerjemahan yang diusulkan oleh Hoed (2006) dan
Molina & Albir (2002) yang keduanya sama-sama menyatakan bahwa
penjelasan tambahan diperlukan dalam Bsa agar suatu konsep Bsu lebih
mudah dipahami.
Penjelasan tambahan dapat berupa grafis (gambar) maupun non grafis
(kalimat-kalimat). Bentuk penjelasan tambahan dalam problematika leksikal
yaitu penjelasan tambahan grafis sejumlah 18 data seperti disebutkan dalam
deskripsi data. Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan
addition dalam bentuk penjelasan tambahan grafis (gambar) dalam bahasa
sasaran dapat dilihat pada terjemahan berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4
Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it
refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp
stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of
the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be
made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which
appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in
the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where
these trees are unknown to say something like ‘tree named olive”.
Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang
memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua
pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua
orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun
sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon
zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu,
penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya.
Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah
sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon
minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu
sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah
pohon minyak zaitun atau pohon minyak. Dalam bahasa yang tidak mengenal
pohon zaitun, hendaknya dicantumkan gambar pohon zaitun di dekat ayat ini
dan keterangannya dalam kamus Alkitab.
Gambar 5 : Pohon Zaitun dan buahnya
Dari terjemahan tersebut, secara makna konsep pohon zaitun sudah
tersampaikan dalam bahasa sasaran. Namun adaptor menggunakan teknik
penjelasan tambahan berupa grafis (gambar) dengan cara memberikan
gambar pohon zaitun dalam bahasa sasaran untuk memperjelas konsep pohon
zaitun. Pemberian penjelasan tambahan berupa gambar sangat membantu
pemahaman pembaca terhadap suatu konsep tertentu.
Terjemahan dengan dibantu oleh penjelasan tambahan berupa grafis
(gambar) dalam bahasa sasaran sejumlah 18 data dengan nomor kode data
sebagai berikut :
Tabel 3 : Penjelasan Tambahan Grafis
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:4 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/1:13 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/1:4-5a 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/4:6b-7 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/5:1 6 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/5:8 7 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/6:5 8 08/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/8:2 9 09/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:3
10 10/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:9 11 11/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/9:13 12 12/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:1 13 13/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/11:2 14 14/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/13:2 15 15/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/13:3 16 16/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/14:18 17 17/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/14:19 18 18/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/Gra/16:13
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk amplifikasi
Amplifikasi menjadi salah satu teknik penerjemahan yang diusulkan
oleh Molina & Albir (2002) dari 18 teknik yang ada dan cara yang digunakan
dalam teknik ini adalah mengungkapkan detail pesan secara eksplisit atau
memparafrasekan suatu informasi yang implisit dari Bsu ke dalam Bsa.
Terjemahan dengan menggunakan teknik addition dalam bentuk amplifikasi
dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4
Bsu : The two olive trees: the way in which this is stated makes it clear that it
refers to Zechariah 4:1-14, where the olive trees, on either side of the lamp
stands, are the two men chosen and anointed by God to serve him, the Lord of
the whole earth. Where olive trees are unknown, some decisions must be
made about how to represent olive trees, olives, and olive oil, all of which
appear frequently in the Bible. Because of the importance of the olive tree in
the Palestinian cultures, it will be well for the translators in cultures where
these trees are unknown to say something like ‘tree named olive”.
Bsa : Kedua pohon zaitun menunjukkan cara penyampaian bagian ini yang
memiliki hubungan dengan Zakharia 4:1-14 yang mengatakan bahwa kedua
pohon zaitun yang berada di sebelah kanan dan kiri kaki lampu, adalah dua
orang yang dipilih oleh Allah untuk melayani-Nya. Di Palestina pohon zaitun
sangat penting. Hal ini dinyatakan dengan sering munculnya kata pohon
zaitun, buah zaitun, maupun minyak zaitun dalam Alkitab. Oleh karena itu,
penerjemah harus mencari ungkapan yang cocok untuk menerjemahkannya.
Buah zaitun yang masak kira-kira mengandung 30 % minyak. Itulah
sebabnya dalam bahasa Ibrani, pohon zaitun juga disebut dengan pohon
minyak atau pohon gemuk, karena pohon zaitun merupakan salah satu
sumber minyak orang Palestina. Jadi penerjemah boleh memakai istilah
pohon minyak zaitun atau pohon minyak.
Dari contoh terjemahan tersebut, pohon zaitun dalam bahasa sumber
hanya dijelaskan secara implisit. Oleh karena itu, adaptor mengungkapkan
secara detail informasi mengenai pohon zaitun secara eksplisit dalam bahasa
sasaran. Dalam contoh di atas, kalimat yang dicetak tebal merupakan
amplifikasi adaptor yang tidak ada dalam bahasa sumber.
Terjemahan dengan teknik addition dalam bentuk amplifikasi sejumlah
5 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 4 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Amplifikasi
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/11:4 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/6:12 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:1 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/7: 9 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Amp/5:6
c. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penerjemahan deskriptif
Penerjemahan deskriptif menjadi salah satu teknik penerjemahan yang
ditawarkan oleh Hoed (2006) yang dapat dilakukan jika suatu konsep dalam
Bsu tidak atau belum mempunyai padanan kata dalam Bsa-nya. Suatu konsep
akan diterjemahkan dengan bentuk uraian yang berisi makna kata yang
bersangkutan.
Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif dapat
dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12
Bsu : There was great earthquake: Earthquakes are frequently one of the
great events marking the end of the age (see Isa 29.6; Joel 2.10; Hag 2.6;
Mark 13.8). They are caused by God as prelude to the Last Judgment. In
some languages that have no specific word for earthquake, an explanation of
it would help the reader.
Bsa : Terjadilah gempa bumi yang dahsyat : Salah satu tanda akhir zaman yang sering disebut dalam Alkitab adalah gempa bumi (Yes 29:6, YL 2:10, Hag, 2:6, Markus 13:8). Allah mengadakan gempa bumi sebagai tanda yang mendahului Hari Kiamat. Dalam bahasa tertentu yang tidak memiliki istilah khusus untuk gempa bumi, terjemahannya dapat menjadi “bumi berguncang dengan dahsyat” atau “tanah berguncang dengan dahsyat”
Dalam contoh di atas, adaptor melakukan teknik penerjemahan
deskriptif pada kata gempa bumi yang dalam bahasa sumber tidak dijelaskan
secara rinci. Adaptor mempertimbangkan untuk memberikan penjelasan
tambahan berupa deskripsi dari gempa bumi untuk mengantisipasi jikalau
mungkin konsep gempa bumi tidak dikenal dalam bahasa sasaran. Kalimat
yang dicetak tebal dalam bahasa sasaran merupakan penerjemahan deskriptif
adaptor.
Terjemahan dengan menggunakan teknik penerjemahan deskriptif
sejumlah 4 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 5 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Penerjemahan Deskriptif
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/6:12 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/5:1 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/4:6 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/PD/17:4
d. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif
terjemahan dalam bahasa sasaran
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk
penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh
usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13
Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit
when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events
marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall
out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from;
for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars
fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind. The
figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which grow
in the winter and usually fall off in the spring.
Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara
menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang
kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa
besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit
berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam
bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga
terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”.
Bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah : Gambaran
yang dipakai Yohanes untuk menjelaskan tentang peristiwa besar pada akhir
zaman itu adalah buah-buahnya yang mentah, sedangkan jenis buah-buahnya
dalam hal ini buah ara, tidaklah penting. Jadi dalam bahasa yang tidak
mengenal sama sekali buah ara, terjemahannya dapat menjadi ”buah yang
masih hijau (atau yang masih mentah) jatuh dari pohonnya”.
Usulan Alternatif Terjemahan dari ayat ini adalah ”bintang-bintang
berguguran dari langit seperti buah pohon ara yang masih mentah jatuh dari
pohonnya ketika diguncang oleh angin ribut”
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai pembanding
terjemahan yang baru bagi para penerjemah lokal agar di dapat pemahaman
yang lebih mengenai terjemahan ayat tertentu.
Terdapat 5 data terjemahan dengan cara membuat usulan alternatif
terjemahan dalam bahasa sasaran dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 6 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/6:13 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/7: 9 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/11:4 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5: 6 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/UAT/5:1
e. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat
Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa
Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya
menafsir, membuka, menyingkapkan, membongkar, menampakkan,
menjelaskan arti yang disampaikan penulis kepada pembaca/pendengar mula-
mula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan sesuai dengan tujuan aslinya.
Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhati-
hati untuk memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula,
dan mencegah arti yang salah dan tafsiran yang membabi buta. (Daud Soesilo,
2001:101).
Terjemahan dengan teknik eksegese ayat dapat dilihat pada contoh
berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6
Bsu : I saw a Lamb standing, as though it had been slain: RSV, TEV, and
others capitalize Lamb, indicating thereby that it is a title, but it may be
better to say “a lamb”. In languages that have two different terms for male
and female lambs, here and elsewhere in Revelation the male form should be
used, and in certain languages ‘lamb” will be translated as “male child of a
sheep”. In culture where sheep exist but don’t have the economic and
religious significance that they had in Palestine, it will be helpful to give a
detailed description of sheep in a glossary item for the reader.
Bsa : Seekor Anak Domba seperti telah disembelih, penulisan Anak Domba
dengan huruf besar ini menunjukkan bahwa istilah ini adalah gelar, tetapi bisa
juga ditulis dengan huruf kecil “anak domba”. Dalam bahasa dimana domba
jantan dan domba betina dibedakan penyebutannya, terjemahannya menjadi
“anak domba jantan” . Kalau di Palestina, domba dikenal sebagai binatang
kurban dalam upacara keagamaan, dalam kebudayaan lain mungkin tidak
demikian halnya. Untuk hal ini penerjemah dapat memberikan keterangan
yang terperinci tentang anak domba di dalam catatan kaki atau daftar kata-
kata sulit (Kamus Alkitab). Kata Anak Domba disini melambangkan diri
Kristus. Disembelih merujuk kepada ”penyaliban”.
Mengeksegese ayat bahasa sumber berarti adaptor menggali arti atau
makna yang sesungguhnya dibalik makna atau teks yang masih sulit di
pahami dalam bahasa sumber.
Dalam contoh ayat di atas, kata Anak Domba dalam bahasa sumber
tidak dijelaskan makna denotasinya, tetapi yang muncul adalah makna
konotasinya, sehingga kalau ayat tersebut tidak di eksegese, maka makna kata
Anak Domba akan kabur maknanya dalam bahasa sasaran. Anak domba
disini merujuk kepada diri Kristus.
Terjemahan dengan penjelasan tambahan dalam bentuk mengeksegese
ayat bahasa sumber sejumlah 2 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 7 : Penjelasan Tambahan Non Grafis Bentuk Eksegese Ayat
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/5:6 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Add/N.Gra/Eks/6:11
f. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk generalisasi
Teknik penerjemahan generalisasi merupakan salah satu dari 18 teknik
yang di usulkan oleh Molina & Albir (2002) yang dilakukan dengan merubah
istilah asing yang bersifat khusus menjadi istilah yang lebih dikenal umum
dan netral dalam Bsa. Terjemahan dengan teknik generalisasi dapat dilihat
pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17
Bsu : The color of fire and of sapphire and of sulphur: That is red, blue,
and yellow (see TEV). The sapphire is a precious stone, usually dark blue.
Sulfur is a yellow substance that burns with great heat and produces an
unpleasant smell
Bsa : Merah api dan biru dan kuning belerang warnanya bisa juga
diterjemahkan menjadi ”merah menyala, biru seperti bunga bakung, dan
kuning seperti belerang” atau mengikuti BIS. Belerang adalah unsur
berwarna kuning yang dibakar pada suhu yang tinggi dan menyebarkan bau
yang tidak sedap. Jika dalam bahasa penerima, tidak ada kata belerang,
terjemahannya bisa menjadi ”kuning” saja. Tetapi karena belerang khususnya
muncul juga pada ayat 18, penjelasan tentang belerang dapat dimasukkan ke
dalam Kamus Alkitab.
Pada contoh ayat di atas, penekanannya bukan di belerangnya, tetapi
warna kuningnya. belerang berwarna kuning, sehingga di pakailah belerang.
Jika belerang tidak dikenal dalam bahasa sasaran, cukup warna kuning saja
(seperti saran dalam Bsa di atas).
Adapun terjemahan dengan teknik alteration dalam bentuk generalisasi
sejumlah 7 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 8 : Teknik Alteration Bentuk Generalisasi
No Kode
1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/9:17 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/7: 9 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:13 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/14:20 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:11 6 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/18:21 7 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Alt/Gen/6:6
g. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk materi bahasa sumber
tidak semuanya diterjemahkan dalam bahasa sasaran.
Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam
Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk
menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika
ada dua unsur yang berganti posisi.
Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina &
Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan
dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation.
Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang
dan informasi yang tidak ditemukan dalam bahasa sumber, sedangkan
penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa
sumber.
Terjemahan yang mengandung unsur penghilangan (omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai
karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak
tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut.
Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13
Bsu : The stars of the sky fell to the earth as the fig tree sheds its winter fruit
when shaken by a gale: stars falling to the earth is another of the great events
marking the end (Mark 13:25). The sky is violently shaken, and the stars fall
out of the sky. In some languages, one must indicate where the stars fall from;
for example, “the stars fell down from the sky to the earth like…” The stars
fall like unripe figs fall from the tree when it is shaken by a strong wind.
The figure John uses to explain this great event is that of unripe figs, which
grow in the winter and usually fall off in the spring.
Bsa : Bintang-bintang dilangit berjatuhan ke atas bumi bagaikan pohon ara menggugurkan buah-buahnya yang mentah, apabila ia diguncang angin yang kencang : Bintang-bintang berjatuhan ke atas bumi merupakan peristiwa besar lainnya yang menandai akhir zaman (Markus 13:25). Langit berguncang dengan dahsyatnya dan bintang berjatuhan dari langit. Dalam bahasa tertentu perlu dijelaskan darimana bintang-bintang itu jatuh, sehingga terjemahannya menjadi ”bintang-bintang berjatuhan dari langit ke bumi...”.
Terkadang tidak semua informasi dalam bahasa sumber semuanya di
terjemahkan adaptor. Dalam contoh ayat di atas, yang di cetak tebal dan
miring dalam teks sumber tidak diterjemahkan. Hal ini karena adaptor
menyesuiakan dengan konteks musim di bahasa penerima.
Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks
bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran.
Adapun terjemahan dengan teknik omission sejumlah 7 data dengan
nomor kode sebagai berikut :
Tabel 9 : Teknik Ommisions
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:13 2 02/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/7:9 3 03/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/14:20 4 04/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/6:6 5 05/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/1:12 6 06/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/2:10 7 07/Bsu/Bsa/P.Lek/Omm/11:1
2. Analisis jenis teknik penerjemahan dan sub-sub teknik yang masuk kategori
problematika gaya dan tata bahasa
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian deskripsi data, terdapat 69 data
yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69 data
tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition dengan
jumlah 26 data, alteration dengan jumlah 38 data dan omission dengan jumlah 5
data.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data, eksegese ayat sejumlah 8 data, penambahan kata
penghubung sejumlah 12 data, dan tambahan informasi sejumlah 1 data.
Bentuk-bentuk dari teknik alterations yaitu simplifikasi sejumlah 4 data,
kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa sejumlah 27 data.
Materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan merupakan
bentuk dari teknik omission dengan jumlah 5 data. Ke-69 data tersebut dapat di
bahas menjadi seperti berikut :
a. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk membuat usulan alternatif
terjemahan
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan pembanding untuk
penerjemah lokal agar makna bahasa sumber lebih mudah dipahami. Contoh
usulan alternatif terjemahan yang diusulkan adaptor yaitu :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6
Bsu : Created heaven...the earth...and the sea: This means the whole universe.
The addition in each case of and what is in it (see also 12:12) is meant to
emphasize that everything that exists, animate and inanimate, was all created
by God (see 14:7)
Bsa : Menciptakan langit...bumi...dan laut...maksudnya adalah seluruh
dunia. Tambahan dan segala isinya menekankan bahwa segala sesuatu yang
bernyawa maupun yang tidak bernyawa, diciptakan oleh Allah (lihat 12:12 dan
14:7).
Usulan Alternatif Terjemahan: Dan ia berkata dengan khidmat memakai nama
Allah yang hidup selamanya, yang menciptakan seluruh alam semesta,
bahwa ucapannya benar. Katanya, ” Allah tidak akan menunda lagi untuk
melaksanakan apa yang telah Ia rencanakan”.
Adaptor membuat usulan alternatif terjemahan sebagai terjemahan
pembanding untuk memberikan pemahaman yang lebih kepada pembaca dan
biasanya dilakukan untuk memperjelas makna suatu konsep dalam bahasa
sasaran.
Pada contoh ayat di atas, kalimat ”...yang telah menciptakan langit
dan segala isinya, dan bumi dan segala isinya, dan laut segala isinya”
dalam bahasa sumber di usulkan diganti dengan “….yang menciptakan
seluruh alam semesta” dalam bahasa sasaran.
Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik membuat usulan
alternatif terjemahan yang lainnya sejumlah 5 data dengan nomor kode sebagai
berikut :
Tabel 10 : Penjelasan Tambahan Bentuk Usulan Alternatif Terjemahan
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/10:6 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/6:11 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/11:2 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:5 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/UAT/9:3
b. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk eksegese ayat
Eksegesis berasal dari kata Yunani “exegeomai” dan dalam bahasa
Inggris “exegesis”, dan dalam bahasa Belanda ‘exegese”) yang artinya
menafsir, membuka, menyingkapkan, membongkar, menampakkan,
menjelaskan arti yang disampaikan penulis kepada pembaca/pendengar mula-
mula sesuai dengan keadaan waktu itu, dan sesuai dengan tujuan aslinya.
Eksegesis merupakan cara yang sistematis bagi penafsir yang berhati-hati
untuk memperoleh arti yang sesuai dengan maksud penulis mula-mula, dan
mencegah arti yang salah dan tafsiran yang membabi buta. (Daud Soesilo,
2001:101). Terjemahan dengan teknik eksegese ayat dapat dilihat pada contoh
berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11
Bsu : And told: Again the passive form is a way of referring to God or to an
angel. In languages that do not use the passive form, one may render these first
two clauses as “God or angel gave each of them a white robe and instructed
them (told them)…”
Bsa: Kepada mereka dikatakan: Disini juga ungkapan pasif yang menunjukkan
Allah atau malaikat sebagai pelakunya. Dalam bahasa yang tidak mengenal
bentuk pasif, bagian awal kalimat ini bisa diterjemahkan menjadi “Allah
memberikan jubah putih kepada mereka masing-masing dan berkata…”
Adaptor perlu mengeksegese ayat ini untuk menentukan lebih lanjut
siapa yang menjadi pelaku atau subyek (Allah atau malaikat). Dalam teks
sumber juga belum jelas siapa pelaku sebenarnya. Setelah dilakukan
eksegesis, Allah lah yang menjadi pelakunya. Keterkaitan dengan ayat sebelum
dan sesudah ayat tersebbut yang menunjukan Allah sebagai pelakunya.
Terjemahan dengan menggunakan teknik eksegese ayat ada 8 data
dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 11 : Penjelasan Tambahan Bentuk Eksegese
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11a 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/6:11b 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/14:12 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/14:20 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/2:26 6 06/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/1:19 7 07/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/18:14 8 08/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/Eks/9:3
c. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk penambahan kata
penghubung
Penambahan kata penghubung bisa dikategorikan kedalam salah satu
teknik penjelasan tambahan dari Hoed (2006) yang berfungsi menperjelas
konsep Bsu dalam Bsa agar mudah dipahami. Terjemahan dalam bentuk
penambahan kata penghubung dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6
Bsu : And made us a kingdom, priests to his God and Father: The literal
rendition of RSV makes for an unnatural sentence in English. The meaning is
better brought out by TEV “a kingdom of priests. “The kingdom established by
God and Christ, in which the followers of Christ serve as priests (see Exo19:6
“and you shall be to me a kingdom of priests and a holy nation”, and in 1
Peter 2:9 “a royal priesthood, a holy nation” reflects the Greek Septuagint
translation of Exo 19:6).
Bsa : Yesus juga membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-
imam bagi Allah, Bapa-Nya. Kerajaan itu didirikan oleh Allah dan Kristus,
dan para pengikut Kristus melayani sebagai imam-imam (lihat Kel 19:6 yaitu
”Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus” dan I
Petrus 2:9 ”...imamat yang rajani, bangsa yang kudus”). Terjemahan harfiah
seperti TB memang kurang wajar, dalam hal ini terjemahan BIS lebih wajar
dan jelas : menjadikan kita suatu bangsa khusus imam-imam yang melayani
Allah, Bapa-Nya.
Kadangkala dua kata atau ungkapan muncul bersamaan tanpa memakai
kata penghubung diantaranya. Dalam kasus seperti ini, kata atau ungkapan
pada urutan kedua berfungsi untuk menjelaskan kata atau ungkapan yang
pertama. Jadi, ”Membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam
bagi Allah”, Mungkin maksudnya ialah ”Membuat kita menjadi suatu kerajaan
imam-imam yang melayani Allah”.
Adapun terjemahan dengan menggunakan teknik penambahan kata
penghubung sejumlah 12 data dengan nomor data sebagai berikut :
Tabel 12 : Penambahan Kata Penghubung
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/1:6 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/5:10 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/20:6 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/10:7 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/2:13 6 06/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/2:14 7 07/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/10:7 8 08/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/11:18
9 09/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/13:6 10 10/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/14:3 11 11/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/17:17 12 12/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/KP/20:8
d. Teknik penerjemahan addition dalam bentuk tambahan informasi
Tambahan informasi juga merupakan salah satu teknik addition dalam
bentuk penjelasan tambahan yang ditawarkan oleh Hoed (2006) agar konsep
Bsu lebih mudah di pahami. Terjemahan dalam bentuk tambahan informasi
dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Add/N.Gra/TI/6:2
Bsu : The passive was given implies that God, or an angel, gave him the crown
of a king. However, since it is not certain who the agent is. In languages that
do not have the passive, it will be possible to say “he received a crown” or
“…a chief’s hat”
Bsa : Kepadanya dikaruniakan sebuah mahkota: Sebagaimana dalam 4:4, 10,
mahkota adalah lambang dari wibawa dan kekuasaan. Penunggang kuda
itu dimahkotai jadi raja. Bentuk pasif dikaruniakan secara tidak langsung
mengatakan bahwa Allah atau malaikat memberi dia mahkota seorang raja.
Tetapi karena tidak pasti siapa yang mengaruniakannya, penerjemah tidak
perlu menyebutkannya dalam terjemahan. Kalau pernyataan ini harus
diterjemahkan dalam bentuk aktif, maka sebaiknya terjemahannya menjadi ”ia
menerima sebuah mahkota” atau ”ia menerima topi kepemimpinan”.
Adaptor menambahkan informasi mengenai mahkota (4:4, 10) yang
dicetak tebal dalam adaptasi yang tidak ada dalam teks sumber untuk
memperjelas konsep mahkota.
e. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk simplifikasi
Simplifikasi bisa dikaitkan dengan salah satu teknik penerjemahan yang
di usulkan Molina & Albir (2002) yang disebut dengan teknik reduction. Hal
ini karena simplifikasi merupakan penyederhanaan kalimat Bsu dalam Bsa dan
reduction juga mempunyai tujuan yang sama yaitu
memadatkan/menyederhanakan kalimat Bsu dalam Bsa. Terjemahan dengan
teknik alteration dalam bentuk simplifikasi dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18
Bsu : The flesh of kings….of captains…of mighty men
Bsa : Daging semua : Mungkin tidak perlu disebutkan berulang kali dalam
terjemahan, cukup misalnya” daging semua raja dan panglima
dan…”.
Ada banyak ayat dalam bahasa sumber menggunakan pengulangan,
sehingga membosankan pembacanya. Adaptor menggunakan teknik
penerjemahan simplifikasi dengan cara menyederhanakan kalimat perulangan
dalam bahasa sasaran agar kalimatnya lebih sederhana seperti dalam
adaptasinya (yang dicetak tebal).
Adapun penerjemahan dengan teknik simplifikasi sejumlah 4 data
dengan nomor data sebagai berikut :
Tabel 13 : Teknik Simplifikasi
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/19:18 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/10:6 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/11:5 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Simpl/12:9
f. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk kronologisasi peristiwa
Kronologisasi peristiwa merupakan teknik penerjemahan yang dilakukan
dengan cara membalik susunan peristiwa Bsu dalam Bsa agar mudah dipahami
urut-urutan kejadian yang maksud Bsu.
Teknik ini dapat dikategorikan ke dalam teknik pemindahan/pembalikan
(displacement and inversion) yang diusulkan oleh Vazquez Ayora (1977)
dalam Molina & Albir (2002). Pemindahan/pembalikan dapat dilakukan jika
ada dua unsur yang berganti posisi. Kronoligisasi peristiwa merupakan teknik
pembalikan (displacement). Terjemahan dengan cara pembalikan susunan
peristiwa dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9
Bsu : It will be bitter to your stomach, but sweet as honey in your mouth: For
a similar situation, see Ezek 2.8-3:3. The Greek text uses the verb “to make
bitter”, “to embitter” (as in 8:11). This may be represented by “sour” or
“acid”.
Bsa : Ia akan membuatmu terasa pahit, tetapi di dalam mulutmu, ia akan
terasa manis seperti madu : Bandingkan dengan Yeh 2:8-3:3, mengenai
keadaan seperti ini. Terasa pahit dalam bahasa Yunaninya secara harfiah
berarti ”membuat pahit” atau ”memahitkan” seperti dalam 8:11. Urutan
kejadiannya yang benar adalah ”manis seperti madu di dalam mulutmu, tetapi
terasa pahit dalam perutmu”, seperti dalam ayat berikutnya (ayat 10)
Adaptor perlu berhati-hati menerjemahkan kalimat yang mungkin
susunan peristiwanya terbalik, karena hal itu mungkin akan membingungkan
pembacanya, sehingga diupayakan untuk menyusun urutan terjadinya persitiwa
dalam susunan yang benar dalam adaptasi. Terjemahan dengan teknik
kronologisasi peristiwa sejumlah 7 data dengan nomor kode data sebagai
berikut :
Tabel 14 : Teknik Displacement
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:9 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/8:11 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/5:2 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/5:5
5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/10:4 6 06/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/22:14 7 07/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/Kr.P/22:19
g. Teknik penerjemahan alteration dalam bentuk mengubah kalimat pasif
Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa
Mengubah kalimat pasif dalam Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa juga
masuk dalam teknik pemindahan/pembalikan (displacement and inversion)
yang diusulkan oleh Vazquez Ayora (1977) dalam Molina & Albir (2002).
Pemindahan/pembalikan dapat dilakukan jika ada dua unsur yang berganti
posisi. Mengubah kalimat pasif dalam Bsu menjadi kalimat aktif dalam Bsa
merupakan teknik pemindahan (inversion).
Terjemahan dengan teknik mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat
aktif dalam Bsa dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/14:20
Bsu : The wine press was trodden: This means, of course, that the grapes in the
wine press were trampled on. Again the passive form of the verb is used. Given
the fact that this is a figure of the punishment of the wicked, it would be very
difficult to try to identify the ones who were treading on the grapes. But if a
subject is required, one may use an unknown subject (agent) and change to the
active form.
Bsa : Buah-buah anggur itu dikilang: Bentuk pasif dikilang di sini tidak jelas
siapa pelakunya; jika dalam bahasa penerima harus disebutkan siapa
pelakunya, terjemahannya mungkin menjadi “mereka (malaikat-malaikat)
mengilang anggur itu”
Bentuk dikilang dalam bahasa sumber di ubah menjadi mengilang
dalam bahasa sasaran untuk mengantisipasi tidak dikenalnya bentuk pasif
seperti bahasa-bahasa di Indonesia bagian timur.
Pengubahan kalimat pasif menjadi kalimat aktif memunculkan masalah
tersendiri karena adaptor perlu mengetahui dengan jelas siapa subyek dan
obyeknya (dalam teks bahasa sumber, terkadang tidak jelas siapa subyek dan
obyeknya) sehingga cara yang ditempuh adaptor dulu yaitu mengeksege ayat
bahasa sumber, baru mengubahnya dari kalimat pasif menjadi kalimat aktif.
Terjemahan dengan teknik mengubah kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif
dalam Bsa sejumlah 27 data dengan nomor kode sebagai berikut :
Tabel 15 : Teknik Inversion
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:11 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:5 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:9 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/14:1 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:2 6 06/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/4b 7 07/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11 8 08/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/8:2 9 09/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/3
10 10/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:1 11 11/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11:1 12 12/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/12:4 13 13/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:5a 14 14/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:8 15 15/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:3 16 16/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:5b 17 17/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/7b 18 18/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:14 19 19/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/20:4 20 20/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/11:2 21 21/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/6:4a 22 22/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/7:2 23 23/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/9:5 24 24/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/13:7a 25 25/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/15:8 26 26/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/16:8
27 27/Bsu/Bsa/PGTB/Alt/KP-KA/19:8
h. Teknik penerjemahan omission dalam bentuk tidak semua unsur bahasa
sumber diterjemahkan
Teknik omission sesuai dengan pendapat Vazquez Ayora (1977) dalam
Molina & Albir (2002). Vazquez Ayora menyatakan bahwa terdapat 2 jenis
teknik penerjemahan yaitu penghilangan (ommision) yang digunakan untuk
menghilangkan pengulangan sebagai karakteristik dari bahasa sasaran dan
pemindahan/pembalikan (Displacement and Inversion) yang digunakan ketika
ada dua unsur yang berganti posisi.
Sejalan dengan Vazquez Ayora (1977), Delisle (1993) dalam Molina &
Albir (2002) menganjurkan tiga jenis teknik penerjemahan yaitu penambahan
dan penghilangan (addition and ommision), parafrase, dan discursive creation.
Teknik penambahan dikenalkan untuk ketidaktepatan unsur stilistika yang dan
informasi yang tidak ditemukan dalam bahasa sumber, sedangkan
penghilangan adalah penghilangan unsur-unsur yang tidak tepat dalam bahasa
sumber.
Terjemahan yang mengandung unsur penghilangan (omission)
mempunyai 2 tujuan yaitu untuk menghilangkan pengulangan sebagai
karakteristik dari bahasa sasaran dan penghilangan unsur-unsur yang tidak
tepat dalam bahasa sumber sesuai dengan pendapat kedua ahli tersebut.
Terjemahan dengan teknik omission dapat dilihat pada contoh berikut :
01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19
Bsu : The command is the same as the one in verse 11, and it will be helpful in certain languages to say “write in the book (record) the things…” or “you
must write in the book the things…” The direct object what you see included everything John will see and then record in the book. The two clauses that follow are not additional items but define explicitly the nature of what John will see: things present and things future, “both that which is happening now as well as that which will happen afterward” (FRCL; similarly SPCL, TEV) NJB shortens and combines the three into two: “Now write down all that you see of present happening and what is still to come”. The auxiliary verb “will” in “that will happen afterward” (TEV) translates a Greek verb that at times seems to express divine authority. The Arndt and Gingrich Lexicon define this use of it as follows “concerning at action that necessarily follows a divine decree, is destined, must, will certainly”. Bsa : Perintah pada ayat ini sama dengan perintah dalam ayat 11. Dalam
bahasa tertentu mungkin perintah ini lebih baik diterjemahkan dengan
”bukukanlah semua hal yang....” atau ”engkau harus menuliskan dalam buku,
semua hal yang...”. Apa yang telah kau lihat meliputi segala sesuatu yang
dilihat oleh Yohanes dan dituliskan dalam buku, yakni hal yang dilihat oleh
Yohanes pada saat itu dan juga sesudahnya. Keduanya dapat digabung
misalnya menjadi ”Sekarang tuliskanlah semua yang terjadi sekarang dan
sesudah ini”. Kata akan dalam ungkapan yang akan terjadi sesudah ini
menyatakan sesuatu yang pasti akan terjadi menurut kehendak Allah.
Teknik omissions dilakukan karena tidak semua informasi dalam teks
bahasa sumber relevan untuk diterjemahkan dalam bahasa sasaran. Pada
contoh ayat di atas, berbagai versi Alkitab bahasa Inggris dalam teks bahasa
sumber tidak adaptor terjemahkan. Adapun terjemahan dengan menggunakan
teknik omissions sejumlah 5 data dengan nomor kode data sebagai berikut :
Tabel 16 : Teknik Ommisions
No Kode 1 01/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/1:19 2 02/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/19:18 3 03/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/14:20 4 04/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/18:14 5 05/Bsu/Bsa/PGTB/Omm/6:11
C. Pembahasan
Pembahasan hasil penelitian diarahkan pada penggunaan berbagai jenis teknik
dan sub-sub teknik penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes, penggunaan strategi dan metode penerjemahan, serta prosedur pengujian
kualitas adaptasi adaptor sesuai dengan rumusan masalah. Dari hasil analisis data di
atas dapat diketahui hal-hal seperti berikut sebagai hasil akhir penelitian ini.
1. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk
kategori problematika leksikal
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat
48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat puluh
delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu
addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7 data
atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan
berupa grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data
atau 37,5 %, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif
sejumlah 4 data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5
data atau 10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data
atau 14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan
merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik additions lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
34 data atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah
data yaitu 7 data atau 14,58 %. Tabel 17 menunjukan klasifikasi penggunaan
teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase dalam problematika leksikal.
Tabel 17 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase
No Jenis Teknik Jumlah %
1 Additions :
- Penjelasan tambahan grafis - Amplifikasi - Penerjemahan deskriptif - Membuat usulan alternatif
terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber
18
5
4
5
2
15,38
4,27
3,41
8,54
8,54
Jumlah : 34 (70,83 %)
2 Alteration :
- Generalisasi
7
14,58
Jumlah : 7 (14,58 %)
3 Ommision :
- Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan
7
14,58
Jumlah : 7 (14,58 %)
Jumlah total : 34+ 7 +7 = 48 data (100 %)
2. Klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan yang masuk
kategori problematika gaya dan tata bahasa
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian analisis hasil penelitian, terdapat
69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa. Ke-69
data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu addition
dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data atau 55,07
% dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59
%, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan
jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %.
Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa
dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27
data atau 39,13 %.
Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya
diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau
37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan
jumlah 5 data atau 7,24 %.
Tabel 18 menunjukan klasifikasi penggunaan teknik, sub-sub teknik
penerjemahan, dan prosentase dalam problematika gaya dan tata bahasa.
Tabel 18 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase
No Jenis Teknik Jumlah %
1 Additions :
- Membuat usulan alternatif terjemahan
- Eksegese ayat bahasa sumber - Penambahan kata penghubung
5
8
7,24
11,59
- Tambahan informasi
12
1
17,40
1,44
Jumlah : 26 (37,68 %)
2 Alterations :
- Simplifikasi - Kronologisasi peristiwa - Mengubah kalimat pasif Bsu
menjadi kalimat aktif Bsa
4
7
27
5,80
10,14
39,13
Jumlah : 38 (55,07%)
3 Ommision :
- Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan
5
7,24
Jumlah : 5 (7,24 %)
Jumlah total : 26+38 +5 = 69 data (100 %)
3. Perbandingan klasifikasi penggunaan teknik dan sub teknik penerjemahan
yang masuk kategori problematika leksikal dan problematika gaya dan tata
bahasa
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dan tercermin dalam
pembahasan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya jenis problematika dalam
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dan teknik-teknik penerjemahan
yang digunakan. Oleh sebab itu, perlu kiranya dibandingkan antara jenis
problematika yang muncul dan teknik-teknik penerjemahan apa saja yang
digunakan.
Pembandingan tersebut dilakukan untuk mengetahui teknik penerjemahan
mana yang lebih dominan di lakukan adaptor. Untuk maksud tersebut,
pembandingan dilakukan dalam bentuk tabel karena mudah dilihat dan diketahui.
Tabel perbandingan tersebut adalah seperti berikut :
Tabel 19 : Perbandingan klasifikasi jenis problematika, teknik dan sub-sub teknik penerjemahan, dan jumlah data
Jenis teknik penerjemahan dan sub-sub tekniknya N
o Jenis
problematika Addition Jml Alteration Jml Omission Jml 18
5
4
5
2
7 7 Leksikal Grafis
Amplifikasi
Penerjemahan
Deskriptif
Usulan alternatif
Terjemahan
Eksegese ayat
34
Generalisasi
7
Materi Bsu tidak semua diterjemahkan
7
1
Jumlah data problematika leksikal : 34 + 7 + 7 = 48 data (41,02 %) 5
8
12
1
4
7
27
5
2 Gaya dan tata bahasa
Usulan alternatif
Terjemahan
Eksegese ayat
Penambahan
kata
penghubung
Tambahan
informasi
26
Simplifikasi
Kronologisasi
peristiwa
Mengubah kalimat pasif menjadi aktif
38
Materi Bsu tidak semua diterjemahkan
5
Jumlah data problematika gaya dan tata bahasa : 26 + 38 + 5 = 69 data (58,98 %) Jumlah total data : 48 + 69 = 117 data (100 %)
Berdasarkan tabel 19 di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian
SPPA Wahyu Kepada Yohanes, problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan
daripada problematika leksikal. Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah
48 data atau 41,02 % dari total data dan jumlah data dalam problematika gaya dan
tata bahasa sejumlah 69 data atau 58,98 % dari total data.
Tabel 20 : Jenis teknik, sub-sub teknik penerjemahan, dan prosentase
No Jenis Teknik Jumlah %
1 Additions :
- Penjelasan tambahan grafis - Amplifikasi - Penerjemahan deskriptif - Membuat usulan alternatif
terjemahan - Eksegese ayat bahasa sumber
18
5
4
10
15,38
4,27
3,41
8,54
- Penambahan kata penghubung - Tambahan informasi
10
12
1
8,54
10,25
0,85
Jumlah : 60 (51,28 %)
2 Alterations :
- Generalisasi - Simplifikasi - Kronologisasi peristiwa - Mengubah kalimat pasif menjadi
kalimat aktif
7
4
7
27
5,98
3,41
5,98
23,07
Jumlah : 45 (38,46 %)
3 Ommisions :
- Materi bahasa sumber tidak semuanya diterjemahkan
12
10,25
Jumlah : 12 (10,25 %)
Jumlah total : 60 + 45 + 12 = 117 data (100 %)
Dari tabel 20 di atas, dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan
(additions, alterations, dan ommision), teknik additions menduduki posisi 1 dengan
jumlah 60 data atau 51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan
jumlah 45 data atau 38,46 %, dan teknik ommision di posisi ke 3 dengan jumlah 12
data atau 10,25 %.
Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering
menggunakan teknik additions dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa
grafis (gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data
dan cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya
1 data (0,85 %).
Dalam teknik alterations, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah
kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 % dari
total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan adaptor
dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari total 45
data.
Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal
dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam problematika
gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data.
4. Strategi penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes
Dengan adanya problematika linguistik (problematika leksikal dan
problematika gaya dan tata bahasa) dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes seperti yang sudah penyusun uraikan, maka adaptor mempunyai
berbagai macam strategi penerjemahan yang diterapkan guna mengatasi
problematika tersebut. Adapun strategi penerjemahan yang digunakan adaptor
dapat dikategorisasikan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan alat bantu penerjemahan
Dalam setiap kegiatan penerjemahan, keberadaan alat bantu
penerjemahan sangat mutlak diperlukan oleh setiap penerjemah. Demikian
pula dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes. Keberadaan alat
bantu penerjemahan sangat berperan penting untuk mengatasi setiap
problematika yang dijumpai adaptor. Alat bantu penerjemahan bisa menjadi
solusi yang bisa dimanfaatkan setiap saat oleh para adaptor. Adapun alat
bantu penerjemahan yang dimaksud antara lain :
- Kamus-kamus
Salah satu usaha adaptor dalam mengatasi problematika yang
dihadapi adalah dengan cara memanfaatkan keberadaan kamus. Para
adaptor menganggap bahwa kamus merupakan salah satu rujukan pokok
yang dipakai oleh para adaptor yang akan menerjemahkan. Dalam setiap
kamus akan tersedia kosakata yang cukup guna membantu para adaptor
melaksanakan pekerjaan menerjemahkan.
Para adaptor memerlukan kamus ketika menghadapi permasalahan
dalam hal makna kosakata tertentu. Sekalipun dalam kamus terdapat
banyak sekali alternatif arti dari sebuah kata, tetapi arti-arti tersebut
sangat membantu penerjemah untuk menemukan pilihan kata (diction)
yang tepat ketika menemukan kesulitan untuk mengartikan sebuah kata
tertentu dari teks bahasa sumber. Di dalam kamus, juga tersedia beberapa
alternatif arti beserta contoh kalimat yang menyertainya. Sehingga para
adaptor dapat membuat logika yang praktis dan efektif guna memilih arti
kata yang tepat.
Sebagaimana diketahui bahwa inti dari kegiatan penerjemahan
adalah terletak pada menemukan makna atau arti, kemudian
diterjemahkan ke dalam bentuk bahasa yang lain. Sehingga mau tidak
mau, kamus merupakan media yang paling penting yang diperlukan oleh
setiap adaptor guna menjembatani adaptor dalam mengalihkan makna
tersebut.
Di dalam kamus juga ditemukan tidak hanya satu atau dua arti
makna kata, tetapi lebih dari itu. Dengan demikian, walaupun kamus
dapat membantu adaptor, tetapi keputusan pilihan ada di tangan adaptor.
Memanfaatkan media kamus merupakan salah satu alternatif yang
dipakai untuk mengatasi kesulitan kosakata dalam pengalihan makna.
Menurutnya, diawali pada tahap analisis teks bahasa sumber yaitu THB,
ketika itu pula dia langsung mengecek kamus untuk mencari arti kata
yang dimaksud teks sumber.
Dalam teks sumber, kosakata yang muncul sangat bervariasi seperti
kosakata bahasa Inggris yang terkadang masih sulit untuk dipahami.
Kosakata yang sulit yaitu adanya kosakata dalam bahasa Yunani atau
Ibrani dalam teks sumber yang mau tidak mau harus langsung di cek
artinya dalam kamus khusus bahasa Yunani dan Ibrani.
Ada beberapa kamus yang telah disiapkan adaptor sebelum memulai
pekerjaan menerjemahkan dengan tujuan bahwa semakin lengkap dan
banyak kamus yang disiapkan, maka akan mengikis kemungkinan
terjadinya kesulitan kosakata. Keberadaan kamus sangat penting. Tanpa
kamus, dia tidak yakin dengan terjemahannya.
Jadi, fungsi kamus adalah untuk menjawab dan mengatasi keragu-
raguan adaptor terhadap makna sebuah arti kata tertentu. Dengan
membuka kamus, adaptor merasa lebih yakin untuk mendapatkan makna
yang sedekat-dekatnya dari sebuah arti kata tertentu.
Untuk mendapatkan makna yang sedekat-dekatnya, adaptor tidak
boleh mengandalkan ilmu ”kira-kira”, tetapi harus mengandalkan dari
berbagai sumber agar terjemahannya dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu jalan yang paling baik dan efektif untuk menjawab
kesulitan kosakata untuk menemukan arti kata tertentu dengan cara
memanfaatkan kamus. Menemukan arti kata yang dimaksud dalam teks
sumber dengan memanfaatkan kamus akan sangat mempengaruhi
kualitas terjemahan. Kamus memberikan alternatif arti kata yang harus
dipilih oleh adaptor sesuai dengan konteks yang menyelimuti teks yang
ada tersebut. Dengan konteks yang ada, arti kata dalam kamus tersebut
dapat diselaraskan dan di seleksi dengan tepat.
Adapun jenis kamus yang dipakai antara lain : kamus-kamus umum
(bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Jerman, bahasa Belanda),
Bible Dictionary, Bible Commentary, Greek dictionary. Kamus Mari
Menerjemahkan Kata Kunci, dll.
Dari uraian tersebut, dapat diverifikasi bahwa adaptor memanfaatkan
kamus sebagai perwujudan dari cara mereka untuk menyelesaikan
masalah kosakata teks bahasa sumber. Memanfaatkan kamus bukanlah
satu-satunya cara yang digunakan adaptor untuk mengatasi masalah yang
ada. Memanfaatkan kamus yang ada hanyalah salah satu cara untuk
mengatasi masalah yang ada, disamping solusi-solusi yang lain. Peranan
kamus merupakan keharusan bagi para adaptor.
- Bahan-bahan referensi pendukung
Keberadaan bahan-bahan referensi pendukung dalam mengatasi
problematika dalam pengadaptasian SPPA juga merupakan hal yang
penting yang diperlukan oleh adaptor. Bahan-bahan referensi pendukung
bersifat sebagai pembanding saja.
Adapun bahan-bahan referensi pendukung tersebut antara lain :
Buku-buku tafsiran Alkitab, versi-versi terjemahan Alkitab yang ada,
buku-buku eksegesis Alkitab, buku-buku teori penerjemahan, dll.
b. Konsultasi dengan Translator’s Officer (TO) atau Konsultan
Penerjemahan LAI
Keberadaan TO atau Konsultan Penerjemahan yang dimiliki oleh
Departemen Penerjemahan LAI sangat membantu mengatasi kesulitan-
kesulitan yang dihadapi adaptor dalam proses pengadaptasian SPPA.
TO sengaja dibentuk guna membantu para adaptor memecahkan
masalah-masalah yang timbul dalam proses pengadaptasian. Tidak hanya
melayani konsultasi dari para adaptor, tetapi TO bertanggungjawab terhadap
kegiatan-kegiatan pembimbingan bagi para adaptor.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud seperti seminar dan kuliah
penerjemahan, lokakarya adaptor, kunjungan-kunjungan kerja, dll. Kegiatan-
kegiatan tersebut disiapkan Departemen Penerjemahan dengan TO sebagai
para pelaksananya untuk menyiapkan tenaga-tenaga adaptor yang siap kerja.
Dengan keberadaan TO yang siap setiap saat untuk berdiskusi dengan
para adaptor, akan membuka kesempatan yang sangat luas bagi para adaptor
untuk selalu berkonsultasi guna memecahkan masalah dalam pengadaptasian.
TO semaksimal mungkin akan memecahkan masalah yang dihadapi adaptor
dengan bimbingan-bimbingan dan arahan-arahan serta diskusi baik di dalam
atau di luar Kantor Departemen Penerjemahan LAI.
Adaptor dapat berkonsultasi dengan para TO Departemen Penerjemahan.
Adaptor Kitab Wahyu memiliki begitu banyak problematika, sehingga
mengharuskannya untuk berkonsultasi. Konsultasi dilakukan dengan cara
yang fleksibel, bisa bertemu langsung bertatap muka, atau dengan media
seperti telepon, email, dll. Dengan berkonsultasi dengan para TO, masalah-
masalah yang di hadapi satu per satu sudah terjawab.
Dengan diterbitkannya SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang secara tidak
langsung membuktikan bahwa setiap problematika yang ia hadapi sudah
terpecahkan, salah satunya dengan cara berkonsultasi dengan para TO
Departemen Penerjemahan LAI.
c. Diskusi dengan sesama rekan kerja
Cara lain yang ditempuh para adaptor dalam mengatasi permasalahan
yang ada dalam pengadaptasian SPPA yaitu dengan cara berdiskusi dengan
sesama rekan adaptor. Diskusi merupakan kegiatan ilmiah bagi para adaptor.
Seorang adaptor telah terbiasa dengan forum-forum ilmiah termasuk di
dalamnya berdiskusi. Dengan berdiskusi, masing-masing anggota dapat
mengutarakan pendapat atau alasan yang dimilikinya. Bahkan, tidak jarang
terjadi perdebatan untuk mencari jawaban yang paling tepat dari setiap
permasalahan yang didiskusikan.
Diskusi dapat dilakukan dengan cara formal maupun non formal. Diskusi
yang dilakukan secara formal tentu berbeda dengan diskusi yang dilakukan
secara non formal. Diskusi formal biasanya bersifat formalistik, baik dilihat
dari bentuk pertemuan, tempat duduk, bahasa, sistem yang dipakai, maupun
materi yang dibahas.
Dalam diskusi formal, bahasa yang yang digunakan adalah bahasa
formal, tempat duduk juga ditata dengan formal. Begitupun dengan materi
yang dibahas. Cara berdiskusi juga ditata secara formal, mulai dari
pembicara, penulis, moderator, dan lain sebagainya.
Lain lagi dengan diskusi non formal yang tidak mensyaratkan berbagai
ketentuan seperti dalam diskusi formal. Dimanapun, dalam bahasa apapun,
materi apapun, dengan siapapun, orang-orang dapat melakukan diskusi non
formal ini.
Mereka juga tidak di atur dengan sistem diskusi yang formal. Siapa yang
mau bicara dipersilahkan. Biasanya saling bergantian kesempatan atau
bersautan antara satu orang dengan orang lain. Bahkan tidak jarang mereka
saling berdebat untuk mempertahankan pendapatnya dan menimpali pendapat
teman yang lain. Antara satu orang dengan peserta yang lain dapat saja saling
berebut untuk berbicara.
Biasanya dalam diskusi non formal ini juga tidak ditarik suatu
kesimpulan. Masing-masing peserta menarik kesimpulan sendiri-sendiri.
Mereka saling memahami antara peserta yang satu dengan peserta yang lain.
Mereka juga saling mengetahui bahwa dalam diskusi seperti ini tidak ada
ikatan apapun. Walaupun kalau dilihat esensinya, diskusi ini juga bisa
memecahkan suatu persoalan.
Berkaitan dengan penelitian ini, diskusi antar adaptor dilakukan dalam
setiap pertemuan atau lokakarya. Dalam lokakarya adaptor, adaptor
mempunyai kesempatan yang luas untuk sharing atau berdiskusi dengan
rekan sesama adaptor mengenai kesulitan-kesulitan dengan bahan-bahan
masing-masing dalam penerjemahan.
Dari diskusi inilah para adaptor bisa mengungkapkan kesulitan yang ia
hadapi dalam proses penerjemahan di hadapan forum atau rekan kerjanya.
Dari kesulitan yang ia ungkapkan, forum akan mendiskusikan permasalahan
yang dihadapi oleh adaptor tersebut dengan mempertimbangkan berbagai
saran, pendapat, masukan-masukan, serta alternatif-alternatif solusi yang
ditawarkan forum.
Diskusi dengan rekan sesama adaptor merupakan cara yang efektif untuk
mengatasi permasalahan dalam penerjemahan. Dimungkinkan bahwa ada
potensi kesamaan kesulitan yang dihadapi oleh adaptor, sehingga mereka bisa
sharing untuk memberitahu solusi-solusi apa yang bisa ditempuh untuk
mengatasi kesulitan tersebut.
Sesama adaptor bisa memberikan input yang bermanfaat untuk adaptor
yang lain, dimungkinkan bahwa adaptor tersebut pernah mempunyai
kesulitan yang serupa sehingga solusi yang pernah ia tempuh bisa ia bagikan
kepada adaptor yang lain.
Diskusi yang dilakukan oleh para adaptor dengan rekan sesama adaptor
adalah diskusi non formal yang dilakukan dengan sharing pikiran atau
mengajak teman sekantor untuk terlibat dengan dirinya dalam sebuah
perbincangan umtuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
Adaptor langsung mengutarakan masalah yang dihadapi, kemudian
teman sesama adaptor memberikan alternatif solusi. Dari beberapa alternatif
solusi yang ditawarkan tersebut, akan dipilih solusi yang terbaik dari hasil
diskusi.
Diskusi semacam ini akan dilakukan jika terdapat permasalahan yang
serius dengan masalah yang ia hadapi. Adaptor biasanya melibatkan teman
sekantor atau sesama adaptor untuk berbagi rasa memecahkan masalah yang
dihadapinya.
Dengan cara berdiskusi, adaptor bisa mengajak rekan sesama adaptor
untuk masuk ke dalam dunianya dan membantu memecahkan masalah yang
dihadapinya. Diskusi dengan rekan sesama adaptor. tidak hanya melibatkan
satu adaptor saja, terkadang lebih dari satu adaptor. Dengan melibatkan
beberapa adaptor untuk berdiskusi dengannya, akan memberikan banyak
sekali alternatif solusi, sehingga akan lebih memudahkan untuk mencari
solusi yang terbaik.
Memang tidak selamanya diskusi ini bisa berjalan sesuai dengan harapan,
bisa saja terjadi adaptor akan menghadapi rekannya yang mungkin tidak
sejalan dengan pola pikir yang dimilikinya. Kalau hal ini terjadi, maka yang
diperoleh bukanlah solusi yang diinginkan, tetapi justru menambah masalah
yang sudah ada.
Namun demikian, tidaklah dikatakan bahwa diskusi bukanlah cara yang
tepat untuk memecahkan masalah. Tetapi, dalam diskusi ini harus dilakukan
dengan cara yang fair dan jelas. Rekan sesama adaptor yang di ajak
berdiskusi harus betul-betul apriori terhadap yang kita lakukan.
Adaptor yang di ajak berdiskusi harus lebih banyak memberikan
masukan daripada kritikan yang pedas tanpa disertai argumen yang logis dan
kuat. Dengan demikian, diskusi tetap merupakan cara untuk memecahkan
masalah, tetapi dengan catatan bahwa diskusi harus dilakukan dengan cara
yang hati-hati, jernih, dan jelas.
Ketika adaptor menghadapi permasalahan dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes, adaptor menggunakan teknik diskusi dengan rekan
sesama adaptor untuk memecahkan masalahnya. Diskusi yang dilakukan
adalah diskusi non formal yang biasanya dilakukan di dalam atau di luar
Kantor Departemen Penerjemahan LAI.
Proses diskusi berjalan secara santai, tetapi serius tanpa meninggalkan
esensi berdiskusi, yaitu saling beradu argumen untuk mendapatkan solusi
terbaik dari masalah yang dihadapi. Diskusi menjadi salah satu cara lagi yang
dilakukan adaptor untuk memecahkan masalah yang dihadapinya.
d. Self problem solver
Yang dimaksud dengan ”self problem solver” adalah memecahkan
masalah dengan diri sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa berbagai masalah
yang muncul dalam kegiatan pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes
bisa diselesaikan dengan cara memanfaatkan alat bantu penerjemahan,
konsultasi, berdiskusi dengan rekan sesama adaptor. Namun, dalam penelitian
ini, para adaptor juga menggunakan cara self problem solver sebagai
alternatif pemecaham masalah yang dihadapinya.
Cara ini di lakukan dengan cara memahami permasalahan yang
kemudian diselesaikan dengan penyelesaian diri sendiri. Maksud dari
penyelesaian masalah dengan diri sendiri adalah merupakan bentuk pilihan.
Dimana adaptor telah memperoleh banyak masukan dari rekan sesama
adaptor, saran dan masukan dari para TO, dan alternatif solusi dari alat bantu
penerjemahan, tetapi terkadang masih tetap saja mengambang. Dalam situasi
yang demikian, maka adaptor harus koreksi diri, bagaimanapun juga adaptor
adalah pengambil keputusan.
Adaptor dihadapkan pada berbagai pilihan dari berbagai altrnatif solusi
(diskusi, konsultasi, dan diskusi dengan rekan sesama adaptor). Berbagai
pilihan itu membuat adaptor harus berhati-hati dalam menentukan pilihan.
Hal ini tiada lain karena hasil penentuan pilihan ini merupakan bentuk atau
cara penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Adaptor sering dihadapkan pada dilema untuk mengambil keputusan.
Ketika menghadapi masalah, dan ketiga solusi (diskusi, konsultasi, dan
diskusi dengan rekan sesama adaptor) belum bisa menjawabnya,
kebimbangan akan menyelimuti pikirannya. Bagaimana ia harus mengambil
keputusan? Adaptor merenung, memahami masalah yang ia hadapi, dan
akhirnya dia harus menentukan pilihan terhadap masalah yang ia hadapi.
Adaptor sebagai pengambil keputusan akhir dari berbagai pilihan
alternatif solusi. Suatu keputusan yang diambil oleh dirinya, harus didukung
dengan argumen yang logis, kuat, dan bisa dipertanggung jawabkan.
Tanpa itu semua, akan sulit untuk megambil keputusan yang tepat. Peran
diri sendiri dalam mengatasi suatu masalah menjadi hal yang juga
dipertimbangkan oleh adaptor dalam proses pengadaptasian SPPA Wahyu.
Pada saat dibutuhkan sebagai pemegang keputusan, dirinya harus berani
mengambil keputusan yang tepat.
Dengan demikian, dapat diverifikasi bahwa self problem solver juga
dapat dikatakan sebagai bentuk atau cara mengatasi masalah yang muncul
dalam kegiatan pengadaptasian PPA Wahyu yang dilakukan oleh para
adaptornya.
5. Jenis metode penerjemahan dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada
Yohanes
Dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes, adaptor Departemen
Penerjemahan LAI menerapkan jenis metode penerjemahan adaptasi dan dinamis
fungsional.
Hoed (2006:55) menyatakan bahwa penerjemahan sering didasari oleh
audience design atau need analysis. Dalam praktiknya, penerjemah memilih salah
satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan
dilakukan.
Sesuai dengan pernyataan di atas, jenis metode penerjemahan adaptasi di
pilih adaptor sebagai metode yang digunakan dalam pengadaptasian SPPA
mengingat bahwa SPPA dirancang khusus untuk para penerjemah lokal dengan
spesifikasi tertentu (minim pengetahuan bahasa, teologia, dan tingkat pendidikan
yang rendah).
Pemilihan metode penerjemahan adaptasi dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes sesuai dengan salah satu jenis metode penerjemahan
diagram V yang ditawarkan oleh Newmark (1988:45) yang
menyatakan bahwa metode penerjemahan adaptasi lebih menekankan “isi” pesan,
sedang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca Bsa.
Selain sesuai dengan pernyataan Newmark, adaptor menggunakan metode
penerjemahan adaptasi juga sejalan dengan pernyataan Latuihamallo, P.D. dengan
artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode penerjemahan Alkitab” dalam
Http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab.html di
akses 13 Juni 2010 jam 03.00 pm yang menyatakan bahwa metode penerjemahan
bebas yang mementingkan pesan/amanat tetapi diungkapkan dengan kata-kata
sendiri. Pengadaptasinya mempunyai anggapan tertentu mengenai apa yang
dianggapnya paling penting bagi pembaca/pendengarnya.
Selain menggunakan jenis metode penerjemahan adaptasi, adaptor SPPA
Wahyu Kepada Yohanes juga menggunakan jenis metode penerjemahan dinamis
fungsional. UBS dan LAI sebagai salah satu anggota UBS telah berkomitmen
untuk menggunakan jenis metode penerjemahan dinamis fungsional untuk
proyek-proyek penerjemahan dan tidak terkecuali proyek pengadaptasian SPPA di
Departemen Penerjemahan LAI.
Pemilihan jenis metode penerjemahan dinamis fungsional dalam
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes sesuai dengan pendapat beberapa
ahli seperti berikut:
Latuihamallo, P.D. dengan artikelnya yang berjudul ”Jenis-jenis metode
penerjemahan Alkitab” dalam Http://www.sabda.org/sejarah/artikel/jenis metode
penerjemahan Alkitab.html di akses 13 Juni 2010 jam 03.00 pm yang
menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis mengutamakan arti dan fungsi
yang dimaksud dalam teks asli, sekaligus memperhatikan kekhususan bahasa
sasaran. Oleh karena itu, bentuk bahasa aslinya boleh diubah asal makna dan
tujuan teks asli dipertahankan.
Metode penerjemahan ini secara serius mencari padanan yang terdekat dan
wajar dalam mengungkapkan arti dan fungsi yang dimuat dalam naskah aslinya.
Metode ini memanfaatkan hasil-hasil penemuan linguistik (mengeksplisitkan
yang implisit dalam naskah sumber, dan dalam perubahan bentuk menggunakan
analisis komponen makna, transformasi balik dalam bahasa sumber, dan
konsistensi kontekstual), serta dikembangkan berdasarkan penelitian-penelitian
di bidang komunikasi dan sosiosemiotika.
Itulah sebabnya metode semacam ini sangat bermanfaat untuk mengetahui
arti, berita atau amanat yang tercantum dalam naskah asli Alkitab, khususnya
bagi orang awam, mereka yang ingin membaca dan mendalami Alkitab tanpa
pendidikan teologi formal.
Daud Soesilo (2001: 35-44) menyatakan bahwa metode penerjemahan
dinamis fungsional lebih menekankan pada pengalihan arti bahasa yang
dimaksud dalam naskah asli ke dalam bahasa penerima yang umum dan wajar,
yang disesuaikan dengan konteks pembacanya.
Dengan demikian, arti yang dimengerti oleh pembaca mula-mula yang
hidup di masa lalu, dapat sedekat mungkin dimengerti oleh pembaca terjemahan
yang hidup di masa sekarang yang berbeda bahasa dan kebudayaannya.
Jadi, unsur yang ditekankan dalam metode ini yaitu : (1) kesetiaan pada arti
naskah asli Alkitab dan (2) kesetiaan pada bentuk bahasa penerima yang umum
dan wajar. Prosesnya adalah naskah asli di analisis, lalu dialihkan unsur-unsur
budaya dan bahasanya yang penting dari naskah asli tersebut ke dalam bahasa
penerima, baru disusun kembali dalam bentuk bahasa penerima yang umum dan
wajar.
P.G. Katoppo (2001:8-9) menyatakan bahwa metode penerjemahan dinamis
adalah metode yang mementingkan penekanan pengalihan makna dan bukan
bentuk. Memang penekanan pada makna menghadapi masalah bagaimana harus
mendamaikan kerumitan komponen-komponen semantik masing-masing bahasa
(sumber dan sasaran) demi membuahkan hasil akhir berupa kata-kata dan
susunan kalimat yang wajar. Bagaimanapun, hasil terjemahan harus diusahakan
mengungkapkan pesan yang terkandung menurut bentuk–bentuk yang lazim
dalam bahasa sasaran.
Dr. Barclay M. Newman (1987: 7-14) menyatakan bahwa metode
penerjemahan dinamis fungsional. Dalam metode ini, ada dua aspek yang
diperhatikan yaitu : (1) kesetiaan terhadap arti teks asli itu, dan (2) suatu hasil
terjemahan yang paling sesuai dengan bentuk bahasa penerima itu. Dengan
menggunakan metode ini, penerjemah akan melalui 3 tahap penerjemahan yaitu :
(1) analisis, (2) pemindahan/transfer, (3) penyusunan kembali/restrukturisasi.
Uraian di atas adalah jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes yang di sesuaikan dengan
kajian teori yang ada.
Adaptor menggunakan jenis metode penerjemahan adaptasi dalam
pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan alasan bahwa target
utama dari buku-buku SPPA adalah para penerjemah lokal di daerah-daerah yang
akan menyusun Alkitab dalam bahasa daerah setempat. Para penerjemah lokal
tersebut memiliki kompetensi yang sangat terbatas dalam hal penguasaan bahasa,
penguasaan teologia, dan latar belakang pendidikan yang rendah.
Dengan mempertimbangkan karakteristik target pembaca, adaptor tidaklah
cukup hanya dengan menerjemahkan THB menjadi SPPA, tetapi menerjemahkan
dan sekaligus mengadaptasi (menerapkan langsung metode penerjemahan
adaptasi) yang disesuaikan dengan kebutuhan penerjemah lokal. Metode
penerjemahan adaptasi dilakukan pada tataran makro (keseluruhan teks) berupa
unsur-unsur budaya, kosakata, gaya dan tata bahasa, dll.
Jenis metode penerjemahan yang kedua yang dilakukan adaptor SPPA
Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional. Alasan
adaptor menggunakan jenis metode ini karena (1) metode dinamis fungsional
lebih mementingkan pengalihan arti atau makna daripada pengalihan bentuk
dalam bahasa yang umum dan wajar dalam bahasa sasaran yang disesuaikan
dengan konteks pembacanya, (2) prosedur yang harus dilakukan adaptor yaitu
analisis, transfer, dan restrukturisasi/penyusunan kembali yang sesuai dengan
teori penerjemahan, (3) jumlah tenaga adaptor yang lebih dari 1 dalam proses
pengadaptasian (biasanya 2-3 adaptor) dan didukung oleh tenaga ahli konsultan
penerjemahan yang sangat membantu dalam proses pengadaptasian Dalam
metode penerjemahan harfiah, dilakukan oleh perseorangan (1 adaptor), (4)
tingkat bahasa dalam metode penerjemahan dinamis fungsional yang digunakan
adalah bahasa sehari-hari yang umum dan wajar yang disesuaikan menurut
kebutuhan pembacanya, dan (5) prinsip dalam metode penerjemahan dinamis
fungsional yaitu tidak melebihi atau mengurangi arti teks asli. Penerapan jenis
metode penerjemahan dinamis fungsional juga berada pada tataran makro
(keseluruhan teks).
Penerapan metode-metode penerjemahan yang beraneka ragam tersebut
dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan pembaca (penerjemah lokal) yang beraneka ragam
karakteristiknya. Dengan berbagai metode penerjemahan yang menghasilkan
berbagai terjemahan dalam berbagai versi, diharapkan setiap segmen masyarakat
dapat dicapai oleh Firman Allah yang memberi harapan bagi semua orang.
6. Prosedur pengujian kualitas pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes
Terkait dengan prosedur pengujian kualitas SPPA Wahyu Kepada Yohanes
pada umumnya secara prinsip dan prosedur tidak ada yang berbeda dengan
prosedur pengujian adaptasi SPPA yang lain. LAI dalam hal ini Departemen
Penerjemahan telah mempunyai prosedur yang tetap untuk menguji kualitas
adaptasi SPPA.
Adapun yang menjadi pelaksana pengujian adaptasi adalah para TO atau
Konsultan Penerjemahan dengan mekanisme tersendiri. Mekanisme pengujian
kualitas adaptasi berlaku untuk semua SPPA yang ada, tidak terkecuali SPPA
Wahyu Kepada Yohanes.
Adapun mekanisme prosedur pengujian kualitas SPPA secara sederhana
dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Gambar 6 : Prosedur Pengujian Kualitas SPPA
Berdasarkan skema tersebut, prosedur pengujian kualitas SPPA dapat
diuraikan sebagai berikut ; materi asalnya adalah THB berbahasa Inggris.
Kemudian, adaptor 1 menerjemahkan dan mengadaptasinya menjadi konsep/draft
adaptasi awal.
Lalu, adaptor 1 memberikan adaptasinya kepada adaptor 2 untuk di cek.
Apabila adaptor 2 menemukan bahwa adaptasi adaptor 1 ada hal-hal yang perlu
Adaptor 1 Adaptor 2
Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI SPPA
Penerjemah Lokal
THB
Bahasa Inggris
diperbaiki, maka adaptor 2 akan menyerahkan kembali adaptasi awal tersebut
kepada adaptor 1 untuk direvisi kembali.
Tetapi jika adaptor 2 tidak menemukan hal-hal yang harus direvisi lagi oleh
adaptor 1, maka draft bisa di uji ke tahap selanjutnya yaitu draft masuk ke
Konsultan Penerjemahan LAI.
Tingkat kemampuan (dari segi latar belakang pendidikan, pengetahuan
teologi, pengetahuan budaya, penguasaan bahasa, dll) adaptor 1 dan adaptor 2
berbeda, sehingga adaptor 1 memberikan draft adaptasinya kepada adaptor 2. Hal
ini karena adaptor 2 memiliki tingkat kemampuan yang lebih daripada adaptor 1.
Adapun kemampuan lebih yang dimiliki oleh adaptor 2 antara lain :
a. Latar belakang pendidikan adaptor 2 adalah S2 atau S3 lulusan luar negeri
(Amerika, Inggris, Belanda, dll) dengan Jurusan Biblika atau Linguistik yang
notabene sudah pernah tinggal lama di luar negeri. Tingkat penguasaan
bahasa Inggris dan pengetahuan teologinya tentu tidak diragukan lagi.
b. Pengalaman menjadi adaptor THB sudah berpuluh–puluh tahun lamanya.
c. Adaptor 2 memiliki tingkat pengetahuan yang cukup tentang bahasa-bahasa
daerah.
Apabila adaptor 2 selesai melaksanakan tugasnya untuk merevisi draft
adaptasi adaptor 1, prosedur selanjutnya yaitu adaptor 2 menyerahkan draft
adaptasi tersebut kepada Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI.
Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI merupakan suatu tim khusus
yang dibentuk oleh LAI untuk menguji adaptasi para adaptor. Tim ini
beranggotakan orang–orang yang tidak sembarangan. Untuk menjadi anggota tim
ini harus memiliki keahlian multi bahasa (ahli bahasa Inggris, ahli bahasa Ibrani,
ahli bahasa Yunani, ahli bahasa Aram).
Selain menguasai berbagai bahasa, anggota tim juga harus ahli dalam bidang
teologi dan ilmu Biblika. Latar belakang pendidikan anggota tim ini juga minimal
S2 dalam kajian Ilmu Biblika dan Linguistik.
Saat ini, ada 3 orang yang menjadi Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan
LAI yang berkantor di Departemen Penerjemahan LAI Bogor.
Tim Konsultan Penerjemahan LAI atau yang lebih akrab disingkat menjadi
Tim TO memeriksa konsep draft adaptasi adaptor sebelum diserahkan ke
penerjemah lokal di lapangan untuk proses yang disebut dengan Field Test (uji
naskah di lapangan). Dari hasil field test inilah, akan di ketahui kualitas draft
SPPA. Jika masih ada komplain dari penerjemah lokal, berarti draft SPPA belum
berkualitas dan proses pengujian akan di ulang kembali adaptor 1.
Dalam Tim TO, akan diputuskan adaptasi final draft SPPA atau yang disebut
dengan final test (uji draft final) yaitu suatu draft hasil keputusan Tim TO setelah
mendapat input atau masukan-masukan dari penerjemah lokal dan misionaris
(penasehat linguistik) yang mendampingi penerjemah lokal. Peran misionaris
yaitu memberikan input atau masukan terkait dengan unsur linguistik dan
kebahasaan untuk penerjemah lokal.
Draft final test diberikan kepada penerjemah lokal untuk dikomentari lagi
untuk mengecek kualitasnya (dilihat dari unsur keakuratan, keberterimaan, dan
keterbacaan teks).
Masing-masing ahli dalam Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI
berjuang keras mengerahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk menguji
kualitas SPPA para adaptor. Draft final test adaptasi yang lolos seleksi atau lolos
uji dari Tim Konsultan/Pembina Penerjemahan LAI akan dicetak dan
dipublikasikan untuk penerjemah lokal dan umum yang kemudian disebut dengan
SPPA.
Penerjemah lokal (specific readers) menggunakan SPPA sebagai acuan utama
untuk membuat Alkitab dalam bahasa daerah-bahasa daerah tertentu. Penerjemah
lokal menjadi salah satu penentu kualitas adaptasi adaptor (disamping peran Tim
TO). Ada misionaris atau ahli linguistik yang mendampingi dan membantu para
penerjemah lokal untuk menyusun Alkitab berbahasa daerah.
Apabila ada hal yang tidak di mengerti dalam SPPA oleh penerjemah lokal
dan misionaris tidak cukup bisa membantu memecahkan masalahnya, maka
penerjemah lokal akan segera mengembalikan SPPA ke Tim Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI. Kemudian, tim akan kembali melakukan tugasnya untuk
merevisi SPPA tersebut.
Salah satu indikator bahwa kualitas terjemahan SPPA bagus adalah tidak
adanya komplain dari penerjemah lokal. Ini merupakan proses pengujian SPPA
yang cukup rumit.
Tim TO dan penerjemah lokal berjuang keras semaksimal mungkin untuk
menghasilkan suatu karya terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmu dan iman agar Firman Tuhan dapat tersampaikan dengan benar dan tepat
untuk seluruh masyarakat di seluruh pelosok tanah air.
Pendek kata, SPPA merupakan karya bersama antara Tim Konsultan/Pembina
Penerjemahan LAI, dan penerjemah lokal, tanpa melupakan peran penting adaptor
dan misionaris (penasehat linguistik).
Demikian ketatnya proses pengujian adaptasi adaptor untuk sampai menjadi
SPPA sebagai bukti bahwa tingkat keakuratan, tingkat keberterimaan, dan tingkat
keterbacaan (unsur bahasa, teologi, budaya, makna, dll) adaptasi menjadi prioritas
utama dengan tetap mempertahankan makna dan mempertimbangkan konteks
pembacanya yaitu penerjemah lokal.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan uraian dan pembahasan hasil penelitian yang telah dipaparkan
pada bab sebelumnya dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Terdapat 2 jenis problematika yang ada dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes yaitu problematika leksikal dan problematika gaya dan tata
bahasa. Problematika leksikal yang menyangkut kosakata Alkitab tercermin dari
begitu banyaknya kosakata dalam teks bahasa sumber yang terkadang sangat sulit
dicari padanannya dalam bahasa sasaran.
Problematika gaya dan tata bahasa meliputi pengulangan, penggunaan kalimat
pasif, kata ganti orang ketiga jamak ”mereka”, kata penghubung ”dan” yang
berfungsi memperjelas, perubahan kala, kekurangan kata penghubung, perintah
atau peringatan yang tiba-tiba, dan pembalikan susunan peristiwa.
2. Adaptor menggunakan beberapa strategi penerjemahan yang digunakan untuk
mengatasi problematika yang ada dengan cara pemanfaatan alat bantu
penerjemahan (memanfaatkan kamus-kamus dan bahan-bahan referensi
pendukung), diskusi dengan sesama rekan adaptor, konsultasi dengan TO atau
Konsultan Penerjemahan Departemen Penerjemahan LAI, dan self problem
solver.
3. Secara umum ada 3 jenis teknik penerjemahan yang digunakan baik dalam
problematika leksikal maupun problematika gaya dan tata bahasa. Ketiga 3 jenis
teknik penerjemahan tersebut yaitu additions (penambahan), alterations
(pengubahan), dan omissions (penghilangan).
Ketiga jenis teknik penerjemahan tersebut masih terbagi-bagi lagi menjadi sub-
sub teknik (bentuk). Teknik additions berupa penjelasan tambahan grafis
(gambar) dan non grafis (non gambar). Bentuk penjelasan tambahan non gambar
dalam teknik addition yaitu amplifikasi, penerjemahan deskriptif, membuat
usulan alternatif terjemahan, eksegese ayat bahasa sumber, penambahan kata
penghubung, dan tambahan informasi.
Teknik alterations (penghilangan) berupa generalisasi, simplifikasi, menyusun
terjadinya peristiwa (kronologisasi peristiwa), dan mengubah kalimat pasif bahasa
sumber menjadi kalimat aktif dalam bahasa sasaran. Teknik omissions
(penghilangan) berupa materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan.
4. Terdapat 48 data yang masuk dalam kategori problematika leksikal. Ke empat
puluh delapan data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan
yaitu addition dengan jumlah 34 data atau 70,83 %, alteration dengan jumlah 7
data atau 14,58 % dan omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu penjelasan tambahan berupa
grafis (gambar) yang paling sering digunakan adaptor sejumlah 18 data atau 37,5
%, amplifikasi sejumlah 5 data atau 10,41 %, penerjemahan deskriptif sejumlah 4
data atau 8,33 %, membuat usulan alternatif terjemahan sejumlah 5 data atau
10,41 %, dan eksegese ayat sejumlah 2 data atau 4,16 %.
Generalisasi merupakan bentuk dari teknik alteration dengan jumlah 7 data atau
14,58 % dan materi bahasa sumber yang tidak semuanya diterjemahkan
merupakan bentuk dari teknik omission dengan jumlah 7 data atau 14,58 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik addition lebih banyak digunakan
adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan 34 data
atau 70,83 %. Teknik alteration dan omission memiliki kesamaan jumlah data
yaitu 7 data atau 14,58 %.
5. Terdapat 69 data yang masuk dalam kategori problematika gaya dan tata bahasa.
Ke-69 data tersebut diterjemahkan dengan 3 jenis teknik penerjemahan yaitu
addition dengan jumlah 26 data atau 37,68 %, alteration dengan jumlah 38 data
atau 55,07 % dan omission dengan jumlah 5 data atau 7,24 %.
Adapun bentuk-bentuk dari teknik addition yaitu membuat usulan alternatif
terjemahan sejumlah 5 data atau 7,24 %, eksegese ayat sejumlah 8 data atau 11,59
%, penambahan kata penghubung yang paling sering digunakan adaptor dengan
jumlah 12 data atau 17,40 %, dan tambahan informasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah hanya 1 data atau 1,44 %.
Bentuk-bentuk dari teknik alteration yaitu simplifikasi yang paling jarang
digunakan adaptor dengan jumlah 4 data atau 5,80 %, kronologisasi peristiwa
dengan jumlah 7 data atau 10,14 %, dan mengubah kalimat pasif Bsu menjadi
kalimat aktif dalam Bsa yang paling sering digunakan adaptor dengan jumlah 27
data atau 39,13 %.
Bentuk dari teknik omission yaitu materi bahasa sumber tidak semuanya
diterjemahkan sejumlah 5 data atau 7,24 %.
Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa teknik alteration lebih banyak
digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes dengan
38 data atau 55,07 %. Teknik addition di posisi ke 2 dengan jumlah 26 data atau
37,68 % dan teknik omission yang paling jarang digunakan adaptor dengan
jumlah 5 data atau 7,24 %.
6. Dapat diketahui bahwa dalam pengadaptasian SPPA Wahyu Kepada Yohanes,
problematika gaya dan tata bahasa lebih dominan daripada problematika leksikal.
Jumlah data dalam problematika leksikal sejumlah 48 data atau 41,02 % dari total
data dan jumlah data dalam problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 69 data
atau 58,98 % dari total data.
7. Dapat diketahui bahwa dari ketiga teknik penerjemahan (additions, alterations,
dan ommisions) baik dalam problematika leksikal maupun problematika gaya dan
tata bahasa, teknik additions menduduki posisi 1 dengan jumlah 60 data atau
51,28 %. Kemudian teknik alterations di posisi ke 2 dengan jumlah 45 data atau
38,46 %, dan teknik ommisions di posisi ke 3 dengan jumlah 12 data atau 10,25
%.
Dari data tersebut, dapat pula diketahui bahwa adaptor lebih sering menggunakan
teknik addition dengan cara memberikan penjelasan tambahan berupa grafis
(gambar) dalam bahasa sasaran dengan 18 data (15,38 %) dari total 60 data dan
cara penambahan informasi yang paling jarang dilakukan adaptor dengan hanya 1
data (0,85 %).
Dalam teknik alteration, adaptor lebih banyak menggunakan cara mengubah
kalimat pasif Bsu menjadi kalimat aktif Bsa dengan jumlah 27 data atau 23,07 %
dari total 45 data. Cara simplifikasi merupakan cara yang paling jarang dilakukan
adaptor dalam teknik alteration ini dengan jumlah hanya 4 data atau 3,41 % dari
total 45 data.
Teknik omission lebih banyak dilakukan adaptor dalam problematika leksikal
dengan 7 data atau 58,33 % dari total 12 data. Teknik omission dalam
problematika gaya dan tata bahasa sejumlah 5 data atau 41,66 % dari total 12 data.
8. Jenis metode penerjemahan yang digunakan adaptor dalam pengadaptasian SPPA
Wahyu Kepada Yohanes yaitu metode penerjemahan dinamis fungsional dan
metode penerjemahan adaptasi yang sama-sama mempertimbangkan konteks
pembacanya dengan cara mengadaptasi teks dan adaptor melalui 3 tahap dalam
proses penerjemahan yaitu analisis, transfer, dan penyusunan kembali.
9. Prosedur pengujian kualitas adaptasi adaptor dalam pengadaptasian SPPA Wahyu
Kepada Yohanes ditangani oleh Departemen Penerjemahan LAI dengan TO atau
Konsultan Penerjemahan sebagai pelaksana utamanya dengan melibatkan
berbagai pihak dalam pengujiannya. Pihak-pihak yang terlibat di dalamnya yaitu
adaptor dan penerjemah lokal (specific readers).
B. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha secara maksimal dalam pengumpulan
data maupun dalam analisis data. Kegiatan wawancara mendalam telah dilakukan
sebaik-baiknya guna mendapatkan data yang lengkap. Demikian pula dalam
pencatatan dan perekaman berbagai dokumen yang diperlukan telah dilacak
keasliannya serta kelengkapan dokumen tersebut.
Proses analisis data telah dilakukan secara interaktif antar komponennya,
sehingga disamping diadakan reduksi data, maka sekaligus dilakukan triangulasi
sebagai usaha untuk meningkatkan validitas data. Namun demikian, masih disadari
adanya keterbatasan dalam penelitian ini, misalnya :
• Dalam wawancara mendalam, informan dapat menyembunyikan sesuatu untuk
tidak disampaikan kepada peneliti, jika menurut perkiraannya dapat berdampak
negatif pada dirinya.
• Faktor jarak peneliti dengan sumber data yang terkadang menghambat intensitas
pertemuan dan komunikasi antara peneliti dengan sumber data (informan).
• Faktor kesibukan informan dalam pekerjaannya yang terkadang tidak selalu bisa
membantu peneliti dalam usaha pengumpulan data
• Faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi jalannya penelitian, misalnya
tertundanya wawancara, kesulitan dalam menentukan jadwal wawancara, dan
faktor-faktor teknis yang lainnya.
Namun demikian, secara umum penelitian ini berjalan lancar sesuai dengan
rencana dan peneliti sudah bisa mendapatkan data-data yang diperlukan atas bantuan
dan kerjasama semua pihak yang berkaitan dalam penelitian ini.
C. Saran-saran
Sesuai dengan kesimpulan yang dapat dirumuskan pada bagian sebelumnya
beserta berbagai arti yang terkandung di dalamnya, peneliti dapat mengemukakan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Bagi Departemen Penerjemahan
• Alangkah baiknya apabila Departemen Penerjemahan sering mengadakan
pelatihan-pelatihan penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan
lokakarya-lokakarya adaptor, guna meningkatkan kualitas para adaptornya.
Usaha-usaha tersebut sebaiknya dilakukan minimal 1 bulan sekali.
• Perekrutan calon tenaga adaptor dan konsultan penerjemahan sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangkan syarat-syarat yang sudah ditentukan
dengan harapan bahwa input calon tenaga adaptor dan konsultan
penerjemahan yang bagus, maka akan menghasilkan suatu karya yang bagus
pula.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya merekrut tenaga-tenaga adaptor dan
konsultan penerjemahan yang bisa bekerja penuh di Departemen
Penerjemahan sehingga masalah status kepegawaian yang masih freelance
bisa segera dikurangi, mengingat dengan status freelance, akan sangat
berpengaruh terhadap kinerja pegawai dan keberlangsungan proyek-proyek
penerjemahan.
• Terpenuhinya sarana dan prasarana pendukung penerjemahan yang lengkap
akan sangat membantu kinerja para adaptor dan konsultan penerjemahan.
Sarana dan prasarana yang minim akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
para adaptor dan konsultan penerjemahan.
• Terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dan menjalin kerjasama dengan
semua pihak baik gereja-gereja, yayasan-yayasan kristiani, warga jemaat,
dan masyarakat luas perlu terus ditingkatkan guna menyukseskan proyek-
proyek penerjemahan.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya segera merekrut calon tenaga adaptor
dan konsultan penerjemahan agar bisa mengatasi masalah kelangkaan SDM
di lingkungan Departemen Penerjemahan supaya pekerjaan proyek
penerjemahan tidak terhambat.
• Departemen Penerjemahan sebaiknya menghadirkan pakar-pakar
penerjemahan dalam rangka kuliah atau seminar-seminar penerjemahan di
lingkungan departemen. Sekalipun hal ini sudah ditangani oleh para
Konsultan Penerjemahan, tetapi kehadiran para pakar-pakar penerjemahan
akan sangat membantu pemahaman tentang teori-teori penerjemahan bagi
para adaptor.
• Usaha-usaha untuk menggalang dana yang termuat dalam Buku Program
Khusus (BPK) guna menunjang pendanaan proyek-proyek penerjemahan
sebaiknya terus ditingkatkan oleh Departemen Penerjemahan agar masalah
pendanaan proyek penerjemahan, tidak sepenuhnya tergantung kepada
sumber dana yang ada.
• Departemen Penerjemahan perlu lebih giat lagi mensosialisasikan proyek-
proyek penerjemahan apa yang belum dan akan dilakukan. Sosialisasi bisa
dilakukan dengan cara melibatkan Gereja-Gereja, Yayasan-Yayasan
Kristiani, warga jemaat, dll. Dengan sosialisasi, usaha untuk menggalang
dukungan, partisipasi, dan penggalangan dana akan meningkat.
• Departemen Penerjemahan lebih meningkatkan lagi kerjasama dan
komunikasi dengan pihak-pihak terkait agar dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi Departemen Penerjemahan
selama ini.
2. Bagi Konsultan Penerjemahan LAI
• Konsultan Penerjemahan (atau TO) sebaiknya lebih sering mengadakan
bimbingan-bimbingan dan pelatihan-pelatihan pengadaptasian bagi para
adaptor. Bimbingan dan pelatihan tidak hanya dilakukan jika ada adaptor yang
berkonsultasi saja, melainkan sebaiknya dijadwal misalnya minimal 1 minggu
sekali untuk lebih meningkatkan kualitas adaptor.
• Alangkah baiknya TO lebih meningkatkan pengetahuan dan wawasannya
dalam bidang teori dan praktik penerjemahan. Mengingat TO yang ada, latar
belakang pendidikannya yaitu Kajian Ilmu Biblika atau Teologia. Memang
kemampuan dan penguasaan pengetahuan seseorang tidak bisa hanya dilihat
dari latar belakang pendidikannya saja, tetapi lebih meningkatkan penguasaan
teori penerjemahan dan praktik-praktiknya, akan sangat membantu TO dalam
pekerjaannya.
• TO sebaiknya lebih sering mengontrol dan mengunjungi para penerjemah lokal
dan adaptor di lapangan untuk lebih mengetahui kesulitan-kesulitan mereka di
lapangan. Pembimbingan kuranglah efektif kalau hanya saling menunggu,
apalagi kalau menunggu para adaptor atau penerjemah lokal datang ke kantor
TO. Sikap pro aktif dari para TO akan sangat memotivasi dan mendorong
kinerja para adaptor dan penerjemah lokal.
3. Bagi Adaptor
• Alangkah baiknya jika para adaptor selalu mengikuti bimbingan-bimbingan,
kuliah penerjemahan, seminar-seminar penerjemahan, dan lokakarya-lokakarya
adaptor demi meningkatkan kompetensinya sebagai adaptor. Karena status
adaptor yang masih freelance di Departemen Penerjemahan dan adaptor
mempunyai kesibukan tersendiri dengan pekerjaannya masing-masing,
sehingga keberadaan kegiatan-kegiatan seperti di atas, terkadang kurang
mendapat perhatian yang serius dari adaptor.
• Sebaiknya adaptor lebih rajin berkonsultasi dengan para TO, berdiskusi dengan
sesama rekan adaptor atau memanfaatkan alat bantu penerjemahan yang
dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang muncul dalam
pengadaptasian.
• Mengingat latar belakang pendidikan para adaptor bukanlah dari bidang
penerjemahan, sehingga meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang teori
dan praktik serta seluk beluk dunia penerjemhan perlu terus ditingkatkan
dengan cara belajar sendiri dengan banyak berlatih menerjemahkan, membaca
buku-buku teori penerjemahan, dan atau sharing dengan TO.
DAFTAR PUSTAKA
Adewuni, Salawi. “Narrowing the Gap between Theory and Practice of Translation” dalam
http://www.accurapid.com//translationjournal//36 yoruba.html/volume 10 nomor 2
April 2006/21 Juni 2010/02.00 pm.
Baker, Mona. 1992. In Other Words; A Course Book on Translation. London: Routledge.
Barnwell, Katherine G.L. 1984. Introduction to Semantic and Translation. England : Summer
Institute of Linguistics.
Bell. T. Roger. 1991. Translation and Translating : Theory and Practice. New York : Longman.
Brislin, Richard, W. 1976. Translation : Application and Research. New York.
Chatzitheodorou, Illias. ”Problems of Bible translation” dalam http://
accurapid.com//translationjournal/18 Bible.html/volume 5 nomor 4 Oktober 2001/21
Juni 2001/08.00 am.
Dollerup, Cay and Lindegard, Annete.1994. Teaching Translation and Interpreting 2. Philadelphia
: John Benjamin Publishing Company.
Gordon, David. T. 1985. “Translation Theory” dalam http://www.bible-researcher.com//html.13
Juni 2010, 04.00 pm.
Hoed, Benny. H. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Houbert, Frederic. ”Translation as a Communication Process” dalam
http://accurapid.com//translationjournal/5 theory.html/volume 2 nomor 3 Juli
1998/21 Juni 2010/04.00 pm.
Http ://www.biblestudy.org/beginner/definition of christian terms/exegese/html. 13 Juni 2010,
04.00 pm.
Http ://www.thelanguagetranslation.com//translation process, strategy, and methods//html.13
Juni 2010, 04.00 pm.
Katoppo, P.G. 2001. Alkitab dan Komunikasi. Jakarta : Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Latuihamallo. P.D. ”Jenis-Jenis Metode Penerjemahan Alkitab” dalam http://www.sabda.org//sejarah/artikel/jenis metode penerjemahan Alkitab/13 Juni 2010, 03.00 pm
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia
Martinez Meliz, N. & Amparo Hurtado Albir. 2001. ”Assestments in Translation Studies :
Research Needs” dalam Meta, journal des traducteurs/Meta : Translation’s Journal
XLVI, 2. Hal 272-287
Mc. Guire, dan Susan Bassnet. 1991. Translation Studies. London : British Library.
Mildred, Larson.L.1984. Meaning-Based Translation. Boston : University Press of America.
Moleong, Lexy J.Dr. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya
Molina, Lucia and Albir, Amparo Hurtado. 2002. Translation Techniques Revisited : A Dynamic
and Functionalist Approach. Dalam META Journal Des Tradacteurs/Meta: Translator’s
Journals. XLVII, No 4 hal 498-512
Nababan, M.R. 1997. Aspek Teori Penerjemahan dan Pengalihbahasaan. Surakarta : UNS Press.
Nababan, M.R. 2003. Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Nababan, M.R. 2007. Aspek Genetik, Objektif, dan Afektif Dalam Penelitian Penerjemahan dalam
Linguistika. Vol 14, No.26, hal 15-23.
Newman. M. Barclay. 1987. Pedoman Singkat Menterjemahkan Alkitab. Jakarta : Percetakan
Lembaga Alkitab Indonesia
Newmark, Peter. 1981. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press.
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. London : Prentice Hall
Nida, Eugene A. 1976. Language Structure and Translation. California : Stanford University Press.
Odudari, Mahmoud. “Good Translation: Art, Craft, or Science?” dalam http:
//translationjournal.net/journal/43theory.html/volume 12 No 1 Januari 2008/ 21 Juni
2010/03.00 pm.
Odudari, Mahmoud. “Translation Procedures, Strategies, and Methods” dalam
http://translationjournal.net//journal/41 culture.html/22 Juni 2010/07.00 am.
Rachmadie, Sabrony., Zuchridin Suryawinata, Ahmad Effendi. 1988. Materi Pokok Translation.
Jakarta: Karunika Universitas Terbuka.
Soesilo Daud. 2001. Mengenal Alkitab Anda Edisi Ke 4. Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta :
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia
Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif ; Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian Edisi Kedua. UNS Press. Surakarta.
Tarjana, Samiati. 1998. Masalah Makna dan Pencarian Padanan dalam Penerjemahan.
Surakarta : Makalah dalam Seminar Regional.
Tim Lembaga Alkitab Indonesia. 2008. Mengenal Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta :
Percetakan Lembaga Alkitab Indonesia.
Zaky, M. Magdy. “Translation and Language Varieties” dalam http:
//www.accurapid.com//translationjournal//17theory.html/21Juni 2010/10.00 am.