prof. dr. ir. barahima abbas, m · 2017-09-04 · jajarannya yang senantiasa memberikan dorongan...

58
EKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU (EDISI I) Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si PERSIAPAN AKADEMI KOMUNITAS NEGERI SORONG SELATAN UNIVERSITAS PAPUA MANOKWARI 2017 T

Upload: lexuyen

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU

(EDISI I)

Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si

PERSIAPAN AKADEMI KOMUNITAS NEGERI

SORONG SELATAN

UNIVERSITAS PAPUA

MANOKWARI

2017

T

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Buku Ajar : Teknik Perbanyakan Tanaman Sagu

Mata Kuliah : Teknik Perbanyakan Tanaman Sagu

Kode Mata Kuliah : AK-MKU203

Nama Penulis : Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si

Fakultas : Pertanian, Universitas Papua

Teminabuan, Februari 2017

Mengetahui:

Ketua Program Studi

Budidaya Tanaman Sagu Penulis,

Herman W. Tubur, SP., M.Si Prof. Dr. Ir. Barahima Abbas, M.Si

Mengesahkan:

Koordinator AKNESS

Ir. F.A. Paiki, M.Si

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wataalah atas segala rahmat dan

karunia-Nya sehingga buku yang berjudul: Teknik Perbanyakan Tanaman Sagu Edisi I dapat

diselesaikan. Buku ini menjelaskan deskripsi singkat tanaman sagu forma logistinum dengan

nama lokal Demao agar mahasiswa mengenal jenis sagu yang banyak dijumpai di hutan sagu di

Sorong Selatan, syarat tumbuh tanaman sagu perlu diperkenalkan agar tidak salah melangkah

dalam memperbanyak tanaman sagu, perbanyakan secara generative, perbanyakan secara

vegetative, dan perbanyakan melalui kultur jaringan.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kepada Pengelola skim penelitian MP3EI dengan nomor kontrak 089/SP2H/LT/DRPM/IV/

2017 yang telah memberikan dukungan biaya penelitian sehingga buku ini dapat diwujudkan

2. Ucapan terimakasih kami haturkan kepada Akademi Negeri Sorong Selatan (AKNESS) dan

Jajarannya yang senantiasa memberikan dorongan untuk pembuatan buku ajar.

3. Akhirnya kepada semua Tim Pengajar dan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan

pembuatan buku ini kami ucapkan terima kasih.

Disadari bahwa mungkin Buku ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu saran-saran

yang sifatnya konstruktif sangat kami harapkan. Semoga Buku ini dapat bermanfaat

sebagaimana mestinya.

Manokwari, Februari 2017

Penyusun

ii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................... i

KATA PENGANTAR............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

DAFTAR TABEL..................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR................................................................................................ iv

I. PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

Latar Belakang............................................................................................... 1

Tujuan Instruksional...................................................................................... 2

Sasaran …………………….......................................................................... 2

Ruang Lingkup.............................................................................................. 2

Indikator Capaian Pembelajaran Mata Kuliah…………………………….. 2

Pustaka…………………………………………………………………….. 3

II. DESKRIPSI JENIS SAGU DI INANWATAN………….................................... 4

Jenis-jenis Sagu..……………....................................................................... 4

Karakter Morfologi Sagu Demao…………….............................................. 4

Karakter Pertumbuhan…………….............................................................. 11

Pustaka…………………………………………………………………….. 13

III. SAYARAT TUMBUH……………………….…………………………............ 14

Iklim ………………………………………….............................................. 14

Tanah……………………............………….................................................. 14

Ketinggian Tempat…………………………................................................. 15

Kondisi Hutan Sagu…………………………………..……………………. 15

Pustaka……………………………………………………………………… 15

IV. TEKNIK PERBANYAKAN SAGU SECARA GENERATIF........................... 16

Kriteria buah dan biji untuk bibit.................................................................. 16

Teknik Pengecambahan..………………….................................................. 16

Kelebihan Perbanyakan Generatif……........................................................ 17

Kekurangan Perbanyakan Generatif……………………………………… 17

Kemampuan Biji Berkecambah pada Berbagai Tingkat Kematangan…… 18

Kemampuan Pengecambahan dengan Membuka Kulit Luar……………… 19

Kemampuan Pengecambahan dengan Perlakuan Fisik dan Kimia……….. 20

Kemampuan Pengecambahan dengan Berbagai Tingkat Kelembaban…… 20

Pustaka…………………………………………………………………….. 21

iii

V. TEKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU SECARA VEGETATIF....... 22

Variabel Ukuran Diameter Saker…………….............................................. 22

Variabel Ukuran Panjang Stolon…………................................................... 26

Daya Tumbuh Saker Terhadap Waktu Penyimpanan dan Naungan………. 28

Daya Tumbuh Saker Terhadap Pemangkasan Akar……………………….. 28

Daya Tumbuh Saker Terhadap Tingkat Kedalaman Penanaman………….. 29

Daya Tumbuh Saker Terhadap Perlakuan Kimia………………………….. 30

Pustaka……………………………………………………………………… 30

VI. TEKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU DENGAN KULTUR

JARINGAN........................................................................................................... 31

Tipe Kultur………………………………………………………………….. 32

Faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan……………………………….. 34

Faktor Tanaman…………………………………………………………….. 39

Faktor Lingkungan………………………………………………………….. 42

Faktor Penyiapan Media……………………………………………………. 43

Kelebihan Perbanyakan Melalui Kultur Jaringan………………………….. 45

Kekurangan Perbanyakan Melalui Kultur Jaringan………………………… 45

Pembuatan Media Kultur Jaringan…………………………………………. 45

Perbanyakan Massal Sagu Melalui Kultur Jaringan………………………... 49

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………… 51

iv

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Deskripsi daun sagu Demao pada stadia infloresensia.................................... 7

2. Deskripsi buah sagu jenis Demao………………………………………….... 8

3. Sebaran diameter saker dari masing-masing perlakuan yang diuji…………. 22

4. Respon pertumbuhan saker berdasarkan diameter bongkol………………… 24

5. Sebaran bobot saker dari masing-masing perlakuan yang diuji……………. 26

6. Respon pertumbuhan saker berdasarkan ukuran panjang stolon……………. 28

7. Tipe-tipe kultur dalam kultur jaringan………………………………………. 32

8. Hara-hara makro anorganik………………………………………………….. 35

9. Hara-hara mikro an organic………………………………………………….. 36

10. Hara-hara organic……………………………………………………………. 36

11. Komposisi media dasar Murashige dan skoog (MS)……………………….. 48

12. Komposisi media dasar Knudson C (KN) untuk tanaman Anggrek………… 49

v

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Penampilan duri yang tumbuh pada sagu Demao…………................................... 5

2. Penampilan morfologi batang sagu jenis Demao………………………………… 6

3. Penampilan cabang tersier dari bunga sagu jenis Demao………………………… 7

4. Penampilan ukuran buah dan biji dari sagu jenis Demao………………………… 10

5. Penampilan buah tanaman sagu dan irisan melintang…………………………… 10

6. Penampilan saker gantung ………………………………………………………. 11

7. Penampilan pertumbuhan jenis sagu Demao pada stadia untuk bibit…………… 11

8. Penampilan jenis sagu Demao pada stadia russet……………………………….. 12

9. Penampilan buah dan biji sagu ………………………………………………….. 18

10. Pengukuran diameter bongkol………………………………………………….. 24

11. Saker yang mengalami goyangan keras saat pencabutan………………………... 25

12. Penampilan pertumbuhan saker setelah umur empat bulan……………………... 25

13. Penampilan pertumbuhan saker setelah berumur 10 bulan……………………… 25

14. Ukuran panjang stolon…………………………………………………………… 26

15. Interaksi anatara auksin dan sitokinin…………………………………………… 37

16. Penampilan jaringan meristem pucuk sagu dalam kultur jaringan………………. 50

vi

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.) merupakan tanaman penghasil karbohidrat yang

belum dimanfaatkan secara optimal. Karbohidrat yang dihasilkan oleh tanaman sagu dapat

dijadikan sebagai: makanan pokok, produksi etanol (Pranamuda et al. 1995), produksi

cyclodextrin (Solichien 1995), serta sebagai campuran pulp dan bahan untuk pembuatan kertas

(Kasim et al. 1995). Tanaman sagu ditemukan tumbuh di negara-negara Asia Tenggara,

Oceania, dan kepulauan Pasifik pada 10o Lintang Selatan dan 10o Lintang Utara (Ishizuka et al.

1996), 90o sampai 180o Bujur Timur, dan altitude sampai 1000 meter diatas permukaan laut

(Bintoro 1999). Tegakan sagu alami dan semi budidaya banyak dijumpai di daerah Ambon dan

Seram. Schuiling (1995) mengungkapkan pusat keragaman tanaman sagu terdapat di Maluku

dan New Guinea. Flach (1997) berpendapat bahwa New Guinea (Papua-Indonesia dan Papua

New Guinea) sebagai pusat diversitas M. sagu Rottb. McClatchey et al. (2005) percaya bahwa

M. sagu Rottb. Endemic di Papua New Guinea, New Britain, dan pulau-pulau di Maluku.

Berdasarkan data yang ada menunjukkan bahwa sekitar 2.250.000 hektar hutan sagu dan

224.000 hektar kebun sagu terdapat di dunia, diperkirakan seluas 1.250.000 hektar hutan sagu

dan 148.000 hektar kebun sagu tersebar di Indonesia dan diperkirakan bahwa di Papua terdapat

1.200.000 hektar hutan sagu dan 14.000 hektar kebun sagu (Flach 1997). Distribusi luas areal

tegakan sagu di Indonesia tidak merata.

Potensi tanaman sagu sebagai penghasil pati yaitu dapat mencapai 200 – 220 kg/pohon

(Jong 1995). Produksi pati kering dari tanaman sagu di Maluku mencapai 345 kg/pohon

(Bintoro 1999). Bila jarak tanam 9 m x 9 m maka terdapat 123 pohon/ha, sehingga bila

dibulatkan didapat 42 ton pati sagu per hektar (ha) setelah jangka waktu delapan sampai sepuluh

tahun yang selanjutnya akan dihasilkan 42 ton/ha per tahun dengan asumsi hanya satu pohon

yang dapat dipanen per rumpun per tahun. Sungguh luar biasa potensi tanaman sagu sebagai

penghasil karbohidrat yang tinggi yang selama ini merupakan komoditas yang dikesampingkan

atau belum tergarap secara maksimal

Berdasarkan potensi pemanfaatan dan kemampuan menghasilkan pati yang tinggi, maka

tanaman sagu perlu dikelola secara profesional dan bijaksana agar tetap lestari dan dapat

memberikan manfaat yang besar terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

masayarakat. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk memaksimalkan produksi tanaman

2

sagu adalah dikelola dalam bentuk perkebunan. Perbanyakan tanaman sagu (PTS) memegang

peranan penting dalam penyediaan bibit yang berkualitas. PTS pada dasarnya terdiri atas tiga

metode yang dapat dilakukan yaitu: (1) metode perbanyakan generatif, metode perbanyakan

vegetatif, dan (3) metode perbanyakan dengan teknik kultur jaringan.

1.2. Tujuan Instruksional

Setelah mengikuti mata Kuliah ini, mahasiswa dapat menjelaskan dan melakukan

perbanyakan tanaman sagu secara generatif dan vegetative

1.3. Sasaran

Buku ini dirancang dan didesain sebagai materi pembelajaran untuk Mahasiswa Diploma

dua (D2) Program Studi Budidaya Tanaman Sagu

1.4. Ruang Lingkup

Buku ini menjelaskan deskripsi singkat tanaman sagu forma longistinum dengan nama

lokal Demao agar mahasiswa mengenal jenis sagu yang banyak dijumpai pada hutan sagu di

Sorong Selatan, syarat tumbuh tanaman sagu perlu diperkenalkan agar tidak salah melangkah

dalam memperbanyak tanaman sagu, teknik perbanyakan secara generatif, teknik perbanyakan

secara vegetatif, dan teknik perbanyakan melalui kultur jaringan.

1.5. Indiakaor Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CP-MK)

1. Mahasiswa dapat menjelaskan dan melakukan kegiatan perbanyakan tanaman sagu

2. Mahasiswa dapat menjelaskan diskripsi tanaman sagu

3. Mahasiswa dapat menjelaskan syarat tumbuh tanaman sagu

4. Mahsiswa dapat menjelaskan perbanyakan vegetatif, generatif dan kultur jaringan

tanaman sagu

3

Pustaka

Bintoro, M.H.D. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 70p.

Flach, M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p.

Ishizuka, K., S. Hisajima, and D.R.J. Macer. 1996. Traditional technology for environmental

conservation and sustainable development in the Asian- Pacific Region. Proceedings of

UNESCO. University of Tsukuba, Japan.

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

Kasim, J., P.M.D Tahir, H. Shari, and T. William. 1995. Soda anthraquinone pulping of sago

palm (Metroxylon sagu Rotb.) Fronds. ISHS Acta Horticulturae. http:/www.actahort.org/

books/389/389-16.htm.

McClatchey, W., H.I. Manner, and C.R. Elevitch. 2005. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii,

M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm). Species Profiles for

Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree. Org. Diakses pada bulan Januari 2006

Pranamuda, H., T. Kamogawa, T. Ozawa, and H. Tanaka. 1995. Ethanol production from raw

sago starch under un sterile condition. http:/www.actahort.org/ books/ 389/389-15.htm.

Schuiling, D.L. 1995. The variability of the sago palm and the need and possibilities for its

conservation. ISHS Acta Horticulturae http://www. actahort.org/books/389.

Solichien, B. 1995. Sago starch as a substract for cyclodextrin production. ISHS Acta

Horticulturae. http:/ www.actahort.org/books/389/389-12.htm.

4

BAB II. DESKRIPSI JENIS SAGU DI INANWATAN

Sebelum melakukan perbanyakan tanaman sagu, sebaiknya memahami karakter jenis-

jenis sagu yang ada disekitar kita. Sorong Selatan dikenal memiliki luas areal hutan sagu dan

sagu semi budidaya yang luas, sehingga perlu kita mengenal deskripsinya sebelum menentukan

metode perbanyakan yang sesuai. Pemilihan metode perbanyakan tanaman sangat ditentukan

oleh karakter morfologi dan jenis tanamannya.

2.1. Jenis-Jenis Sagu

Jenis-jenis sagu yang dijumpai di Distrik Inanwatan (Saga, Puragi, dan Puragi Besar) Papua

Barat yaitu: (1) Sagu Demao (Sagu Berduri), (2) sagu Raja, dan (3) sagu Molat. Sagu jenis

Demao populasinya paling banyak dan mendominasi semua areal observasi. Jenis sagu Raja

hanya ditemukan di satu titik observasi saja yaitu dititik 2 dan hanya dijumpai satu rumpun saja

pada semua plot pengamatan yang dilakukan. Sagu jenis Molat tidak dijumpai pada semua titik

observasi dan semua plot pengamatan, tetapi dijumpai pada pinggir-pinggir sungai dekat

pemukiman penduduk. Sagu Raja dan Molat tidak dideskripsikan pada Laporan ini karena

dianggap jenis sagu introduksi dan sengaja ditanam oleh masyarakat.

2.2. Karakter Morfologi Sagu Demao

2.2.1. Ciri Pendurian

Jenis sagu Demao berduri lebat dan panjang pada stadia ruset (Gambar 1). Duri yang

menempel pada pangkal pelepah daun (sheath and based of petiole) berbentuk barisan

melengkung dan berdekatan satu sama lainnya. Tiap jejeran baris tempat duri melekat terdiri

atas 5 – 15 duri. Panjang duri antara 5 sampai 23 cm. Duri yang berada pada posisi paling

tengah dalam tiap jejeran baris memiliki ukuran yang paling panjang kemudian diikuti oleh duri

yang mengapitnya. Duri yang paling pendek yaitu duri yang berada pada posisi paling pinggir

dalam tiap baris. Pada stadia pembentukan batang (trunk) hanya sedikit duri yang terbentuk

pada pangkal pelepah daun. Menjelang masa panen sampai terbentuk rangkaian bunga

(inflorecentia) tidak dijumpai duri lagi pada pangkal pelepah. Pangkal pelepah pada stadia

tersebut hanya terlihat ada benjolan-benjolan kecil yang merupakan perwujudan posisi duri yang

tidak berkembang. Berdasarkan ciri pendurian tersebut maka jenis sagu Demao lebih

5

menyerupai atau memiliki kemiripan dengan Metroxylon sagu forma longispinum berdasarkan

klasifikasi Rauwerdink (1986) di banding dengan M. sagu forma micracanthum dan M. sagu

forma tuberatum. Jenis sagu Demao yang dijumpai di Distrik Inanwatan serupa dengan jenis

sagu dengan nama “Muguci dan Demago” di distrik Kais dan “Bibewo dan Edidao” di Distrik

Wadoy dan Sibay yang termasuk Metroxylon sagu forma longispinum (Renwarin et al. 1998).

Gambar 1. Penampilan duri yang tumbuh pada jenis sagu Demao pada stadia ruset. Terdapat

banyak duri yang tumbuh pada bagian pelepah daun.

2.2.2. Akar

Sagu jenis Demao memiliki sistem perakaran yaitu akar serabut yang terbagi atas dua

bagian yaitu akar primer (akar utama) dan akar sekunder (cabang akar dari akar primer. Akar

primer dan akar sekunder masing-masing memiliki tudung akar. Akar primer lebih besar

dibanding dengan akar sekunder. Akar primer tumbuh vertikal ke bawah dan akar sekunder

tumbuh secara horizontal. Habitat sagu yang sering tergenang terbentuk banyak akar udara.

Akar udara muncul di permukaan tanah saat genangan air dipermukaan tanah tidak ada lagi.

Akar udara muncul dipermukaan tanah dengn ketinggian antara 2 - 5 cm. Akar udara terbentuk

dari akar sekunder.

2.2.3. Batang

Bentuk batang bulat panjang dengan diameter berkisar antara 30 – 65 cm dengan tinggi

antara 10 – 15 meter (Gambar 2). Sagu jenis Demao tidak mengakumulasi pati sepanjang

6

batangnya secara merata. Pangkal batang antara 1.5 – 2.5 meter diatas permukaan tanah

memiliki kandungan pati yang sangat sedikit sehingga masyarakat tidak pernah menokok atau

mengekstrak bagian tersebut. Pangkal batang sagu di samping memiliki pati yang sangat sedikit,

juga memiliki serat yang sangat keras sehingga menyulitkan untuk dilakukan ekstraksi. Batang

bagian tengah (>2.5 meter dari permukaan tanah) sampai ujung batang (pelepah bagian bawah)

memiliki kandungan pati yang banyak. Bagian tersebut yang banyak diekstrak oleh masyarakat

karena di samping memiliki kandungan pati yang banyak juga empulurnya empuk sehingga

mudah untuk di tokok atau diekstrak.

Gambar 2. Penampilan morfologi batang sagu jenis Demao

2.2.4. Daun

Daun sagu tersusun dalam satu rangkaian yang terdiri atas pelepah daun dan anak daun.

Pelepah daun melekat pada batang utama setelah stadia ruset selesai dan melekat pada bongkol

pada stadia ruset. Kedudukan pelepah daun melingkar pada batang utama. Kedudukan anak

daun menyirip dan melekat pada pelepah daun. Panjang pelepah daun bervariasi dari daun

paling bawah sampai daun yang paling terakhir (daun yang dekat dengan rangkaian bunga pada

pohon sagu yang membentuk rangkaian bunga) atau daun yang terakhir bagi pohon sagu yang

tidak membentuk bunga. Ukuran pelepah dan anak daun disajikan pada Tabel 1.

7

Tabel 1. Deskripsi daun sagu jenis Demao pada stadia inflorecentia (muncul rangkaian bunga)

No Panjang Pelepah (ental)

Mulai dari yang paling

bawah sampai dengan malai

bunga (cm)

Jumlah

Anak Daun

Panjang

Anak Daun

bagian

pangkal

Panjang

anak

daun

bagian

tengah

Panjang

anak daun

bagian

ujung

1 760 194 110 140 40

2 760 194 110 140 40

3 760 194 110 140 40

4 750 180 110 140 40

5 750 174 110 140 40

6 720 170 110 140 40

7 720 162 100 120 35

8 680 154 100 120 35

9 660 150 100 120 35

10 550 134 85 110 30

11 450 114 85 110 30

12 310 98 70 85 20

2.2.5. Bunga

Malai bunga menyerupai tanduk rusa yang terdiri atas cabang primer, sekunder, dan

tersier. Cabang primer terdiri atas 6 poros dengan panjang antara 190 – 220 cm. Tiap cabang

primer terdapat 12 cabang sekunder dengan panjang antara 110 sampai 130 cm. Tiap cabang

sekunder terdapat 7 – 10 cabang tersier dengan panjang antara 15 – 25 cm. Cabang tersier

merupakan tempat melekatnya bunga jantan dan betina (Gambar 3).

Gambar 3. Penampilan cabang tersier dari bunga sagu jenis Demao

8

2.2.6. Buah

Sagu Demao berbunga hanya satu kali dalam satu siklus hidup dan kadang ada yang tidak

mengeluarkan bunga dan buah kemudian mati. Tumbuhan yang hanya berbunga dan berbuah

satu kali dalam satu siklus hidupnya disebut sebagai tanaman Hapaxantik (Flach 1995). Sagu

Demao yang tidak mengeluarkan bunga dan buah diakhir hidupnya disebut ”Topii” oleh

masyarakat di Kampung Puragi distrik Inanwatan. Topii ditandai dengan munculnya daun

dengan ukuran pelepah paling pendek atau daun yang paling terakhir tanpa diikuti oleh

pembentukan bunga. Deskripsi buah sagu jenis Demao disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi buah sagu jenis Demao

No B.buah (g) JB. Sisik J.Sisik V.buah (cm3) B. Biji (g) V. Biji (cm3)

Lokasi 4

1 10.7 18 90 9.0 2.8 3.0

2 8.4 18 102 8.0 2.8 2.5

3 12.1 18 86 9.0 2.9 2.0

4 9.9 18 96 8.0 3.3 3.0

5 9.8 18 102 10.0 3.7 2.5

6 11.9 18 96 9.0 2.5 2.0

7 8.2 18 90 8.0 2.6 2.0

8 11.9 18 84 9.0 3.2 2.0

9 9.8 18 102 8.0 2.7 2.5

10 8.4 18 96 8.0 2.3 2.0

Rata2 10.1 18 94.4 8.6 2.9 2.4

Lokasi 5

1 6.8 18 92 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

2 7.9 18 82 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

3 7.4 18 90 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

4 6.8 18 88 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

5 9.2 18 92 10.0 T.Berbiji T.Berbiji

6 8.8 18 102 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

7 7.3 18 102 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

8 10.3 18 102 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

9 7.6 18 92 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

10 7.5 18 96 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

Rata2 7.9 18 93.8 8.7 - -

Lokasi 8

1 6.3 18 100 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

2 7.0 18 80 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

3 6.0 18 82 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

9

4 7.5 18 98 10.0 T.Berbiji T.Berbiji

5 7.1 18 88 10.0 T.Berbiji T.Berbiji

6 5.5 18 98 9.0 T.Berbiji T.Berbiji

7 6.7 18 98 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

8 6.7 18 88 7.0 T.Berbiji T.Berbiji

9 9.2 18 88 10.0 T.Berbiji T.Berbiji

10 6.2 18 88 8.0 T.Berbiji T.Berbiji

Rata2 6.8 18 90.8 8.8 - -

Keterangan: Berat buah (B.Buah), Jumlah baris sisik (JB.Sisik), jumlah sisik (J. Sisik), volume

buah (V. Buah), berat biji (B. Biji), volume biji (V. Biji), dan tidak berbiji (T. Biji).

Koleksi buah yang berasal dari lokasi lima dan delapan tidak ada yang dijumpai

membentuk biji. Buah yang dikoleksi dari kedua lokasi tersebut tidak hanya berjumlah 10 buah

saja seperti yang tertulis pada Tabel 2, tetapi koleksi buah di masing-masing lokasi lebih dari 100

buah. Semuah buah yang dikoleksi dari lokasi lima dan delapan tidak ada yang membentuk biji.

Bunga jantan dan bunga betina pada tanaman sagu masak tidak bersamaan, sehingga buah sagu

yang fertil umumnya terbentuk akibat terjadinya penyerbukan silang. Bila disekitar pohon sagu

yang sedang berbunga tidak ada pohon atau rumpun sagu lain yang juga berbunga, maka buah

yang terbentuk kecil kemungkinannya ada yang fertil (membentuk biji dan embryo) karena tidak

dibuahi. Bunga betina yang tidak dibuahi kemudian bakal buah berkembang membentuk buah

yang sempurna disebut buah partenocarpi. Buah partenocarpi yaitu buah berkembang sempurna

dan bertahan hingga matang dipohon, tetapi tidak memilki biji dan embryo. Kejadian seperti

itulah yang terjadi pada lokasi lima dan delapan tempat buah-buah sagu dikoleksi.

Berdasarkan karakteristik buah sagu jenis Demao yang ditemukan di lokasi observasi

yaitu memiliki buah dengan ukuran yang kecil dengan jumlah baris sisik sebanyak 18 (Gambar

4). Bagian-bagian dari buah sagu disajikan pada Gambar 5B. Jumlah baris sisik yang terdapat

pada buah sebanyak 18 menandakan bahwa sagu Demao adalah species dari Metroxylon sagu.

Buah sagu yang memiliki jumlah baris sisik (longitudinal series of scales) sebanyak 18, berduri

atau tidak berduri pada berbagai stadia pertumbuhan termasuk dalam species M. Sagu

(Rauwrdink 1986).

10

Gambar 4. Penampilan ukuran buah dan biji dari sagu jenis Demao

Gambar 5. Penampilan buah tanaman sagu yang telah matang (A), Irisan vertical buah tanaman

sagu (5B).

2.2.7. Saker (anakan)

Sagu jenis Demao memiliki dua jenis saker berdasarkan posisi tempat tumbuhnya yaitu

saker yang terbentuk dari rhizome disebut saker tancap (ground sucker) dan saker yang terbentuk

dari batang sagu disebut saker gantung (stem sucker). Saker tancap merupakan saker-saker yang

mengelilingi pohon induk dan merupakan komponen pembentuk rumpun sagu. Saker gantung

pada sagu jenis Demao jarang sekali ditemukan, dari tujuh lokasi yang disurevei hanya

ditemukan dua pohon sagu yang memiliki saker gantung yaitu di lokasi 8. Penampilan saker

gantung disajikan pada Gambar 6.

Buah

Biji

Foto: Barahima

1 cm

Photo: Jong 1995

Proximal end

Operculum

Embryo

Exocarp Mesocarp }Husk

Edosperm

Sarcotesta Testa

Chalazal Cavity

Stigmatic remain

A B

11

Gambar 6. Penampilan saker gantung yang terbentuk pada sagu jenis Demao (panah)

2.3. Karakter Pertumbuhan

2.3.1. Seedling

Stadia seedling yaitu stadia pertumbuhan awal sagu yang baru berkecambah dengan

jumlah daun (petiola) antara 1 – 7 lembar kalau tumbuh dari biji. Bila tumbuh dari saker yaitu

saker memiliki jumlah daun antara 1 – 7 lembar juga (anakan kecil). Stadia ini baik untuk

dijadikan bibit untuk kegiatan penanaman ulang atau ”replanting” (Gambar 7).

Gambar 7. Penampilan pertumbuhan jenis sagu Demao pada stadia yang bagus untuk dijadikan

bibit.

2.3.2. Stadia Ruset

Stadia ruset atau Kanoo (bahasa Puragi) yaitu pertumbuhan daun sagu yang menumpuk

pada bagian dasar atau basal rhizome. Pada stadia ini sagu tumbuh dan memperbesar rhizome

(Gambar 8). Stadia ruset diperlukan waktu antara 3 – 6 tahun (Jong 1995) menghasilkan rata-

rata dua pelepag daun per bulan (Flach 1997).

Saker gantung

12

Gambar 8. Penampilan jenis sagu Demao pada stadia ruset

2.3.3. Stadia Pohon (Trunk)

Stadia trunk atau Fotaano (bahasa Puragi) yaitu fase pertumbuhan memanjang dan

membesar dari batang yang akan digunakan untuk tempat menyimpan pati. Pertumbuhan batang

memerlukan waktu antara 4 – 14 tahun dan rata-rata menghasilkan satu pelepah daun per bulan

(Flach 1997). Tanaman dewasa memiliki panjang batang antara 7 – 15 meter dengan berat kira-

kira satu ton (Jong 1995). Jenis Sagu Demao yang dijumpai di Distrik Inanwatan, Puragi dan

Saga memiliki panjang batang antara 10 – 15 meter dan diameter antara 30 – 65 cm. Penampilan

stadia pohon disajikan pada Gambar 2.

2.3.4. Stadia Masak Tebang (Panen)

Stadia masak tebang terjadi setelah pertumbuhan tinggi dan besar batang mencapai

maksimum dan memiliki kandungan pati paling tinggi. Masak tebang dicirikan dengan: (1)

pelepah yang mengitari pohon paling bawah membentuk sudut lebih besar dari 45 derajat, (2)

Ukuran pelepah daun (panjang dan jumlah anak daun) dari posisi paling bawah sampai posising

paling akhir semakin mengecil. Masayarakat Puragi menyebut dengan istilah Topii karena

pohon sagu seperti ini tidak akan mengeluarkan bunga hingga mati kalau tidak ditebang, (3)

rangkaian bunga sudah terbentuk, tetapi belum membentuk buah. Indikator yang ketiga ini yang

memiliki kandungan pati paling tinggi.

2.3.5. Stadia infloresensia dan pembuahan

Pada stadia awal satadia infloresensia (pembungaan) masih mengandung banyak tepung

pada batangnya, tetapi sesaat setelah terbentuk buah, maka kandungan pati pada batangnya tiggal

sedikit karena dimobilisasi untuk pertumbuhan buah. Jadi pada saat buah sudah terbentuk,

merupakan masa tidak menguntungkan lagi untuk dilakukan ekstraksi pati. Pada fase ini tidak

13

ada lagi daun yang dibentuk. Waktu yang diperlukan dari masa inflorecentia sampai

membentuk buah yaitu selama 12 bulan dan waktu yang diperlukan mulai dari pembentukan

buah sampai buah matang yaitu selama 24 bulan (Flach 1997)

Pustaka

Flach, M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p.

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

Rauwerdink JB. 1986. An essay on Metroxylon, the sago palm. Principes, the J. Palm Society

30 (4):165-180.

Renwarin, Y., H.T. Dedaida, H. Matanubun, A. Barahima. 1998. Identifikasi, koleksi, dan

evaluasi kultivar sagu unggul Irian Jaya untuk menunjang perkebunan sagu komersial di

Indonesia. Laporan Hibah Bersaing VII Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1998/1999.

Universitas Papua

14

BAB III. SYARAT TUMBUH

Syarat tumbuh tanaman sagu merupakan hal yang sangat penting diketahui sebelum

melakukan perbanyakan tanaman sagu. Perbanyakan tanaman sagu dapat diimplementasikan

dan menghasilkan pertumbuhan bibit yang baik, jika syarat tumbuh terpenuhi.

1.1. Iklim

a. Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara 2000-5000 mm/tahun,

yang tersebar merata sepanjang tahun (McClatchey et al. 2005).

b. Sagu dapat tumbuh baik di daerah 10o LS – 10o LU (Flach 1983)

c. Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara minimal 70% (McClatchey

et al. 2005). Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhan sagu adalah 80%.

d. Suhu yang optimal bagi pertumbuhan sagu adalah rata-rata 24-30 oC.

e. Penyinaran matahari sebaiknya melebihi 800 k/cm2 per hari (Flach 1997)

2.2. Tanah

a) Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di

daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar

garamnya tidak terlalu tinggi. Tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan

tanah liat > 70% dan bahan organik 30%.

b) Pertumbuhan sagu yang baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan

kadar bahan organis tinggi. Sagu dapat tumbuh pada tanah vulkanik, latosol, andosol,

podsolik merah kuning, alluvial, hidromorfik kelabu dan tipe-tipe tanah lainnya.

c) Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi. Pertumbuhan yang

baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organisnya tinggi dan bereaksi sedikit asam pH

4.0-7.4 (McClatchey et al. 2005)

d) Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut,

terutama bila air pasang tersebut merupakan air tawar. Lingkungan yang paling baik

untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak

terendam. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari

air tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium.

15

2.3. Ketinggian Tempat

Sagu dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dengan ketinggian 700 m dpl.

Ketinggian tempat yang optimal adalah 400 m dpl. Tanaman sagu dapat tumbuh pada ketinggian

1000 m dpl, tetapi kemampuan memproduksi pati sangan minim akibat intensitas sinar matahari

yang sehingga proses fotosintesis tidak berlangsung sebagaimana mestinya.

2.4. Kondisi Hutan Sagu (Maturbongs et al. 2008)

Lingkungan hutan sagu sagu alam di distrik Kais, Inan watan dan Kokoda Kabupaten

Sorong Selatan menunjukkan bahwa tipe iklim menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah

tergolong tipe curah hujan sangat basah. Menurut klasifikasi Koppen termasuk klasifikasi

tropika Basah. Suhu udara rata-rata adalah 27.6 oC dengan kisaran antara 27 – 28 oC. Curah

hujan rata-rata 2.748 mm/tahun. Kelembaban udara berkisar antara 81.6 – 85.3% dengan rata-

rata 83.5%. Rata-rata lamanya penyinaran matahari adalah 62% (7.4 jam per hari) tertinggi

terjadi pada bulan Mei yaitu 69% (8.2 jam per hari) dan terendah pada bulan Desember adalah

57.4% (6.7 jam per hari).

Pustaka

Flach M. 1983. The Sago Palm. Domestication, exploitation, and product. FAO Plant

Production and Protection. Rome. 85p.

Flach M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p.

Maturbong, L., B. Santoso, F. Luhulima, H. Matanubun. 2008. Studi kelayakan pengembangan perkebunan sagu dan industry sagu di Distrik Kais, Inanwatan, dan Kokoda Kabupaten Sorong Selatan. Pusat Penelitian Ubi-ubian dan Sagu Universitas Papua

McClatchey W, Manner HI, and Elevitch CR. 2005. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree. Org.

16

BAB IV. TEKNIK PERBANYAKAN SAGU SECARA GENERATIF

Perbanyakan tanaman sagu secara generatif yaitu perbanyakan yang dilakukan dengan

menggunakan biji. Tanaman sagu menghasilkan sekitar 850.000 buah meskipun tidak semuanya

membentuk biji. Hanya buah yang fertil dapat membentuk biji yang dapat dikecambahkan untuk

menghasilkan bibit. Tanaman sagu hanya berbuah satu kali dalam satu siklus hidup sehingga

disebut sebagai tanaman hapaxanthic (Flach, 1997). Buah sagu ditutupi oleh kulit luar yang

bersisik disebut exocarp, bagian dalam berbentuk menyerupai spon disebut mesocarp. Bagian

dalam dari mesocarp disebut endocarp. Biji ditutupi oleh lapisan yang disebut sarcotesta, posisi

embryo berada pada bagian dasar yang melekat pada bagian endosperm (Jong, 1995). Struktur

potongan melintang buah sagu disajikan pada Gambar 5.

4.1 Kriteria buah dan biji untuk bibit:

a. Buah telah masak fisiologis artinya telah mencapai ukuran maksimum dan secar fisiologi telah

matang, sehingga dapat tumbuh dan berkembang jika dikecambahkan

b. Bukan buah partenocarpi artinya buah yang terbentuk dari hasil penyerbukan dan pembuahan.

Buah partenocarpi adalah buah yang terbentuk tanpa diawali dengan proses penyerbukan dan

pembuahan. Proses pembentukan buah partenocarpi karena adanya induksi dari sel-sel ovari

yang mengeluarkan zat pengatur tumbuh sehingga terbentuk buah. Buah partenocarpi, jika

dikecambahkan tidak akan berkecambah.

c. Bentuk biji normal artinya bentuknya sempurna, tidak ada bekas serangan hama atau penyakit

d. Biji tidak terserang hama dan penyakit artinya biji sehat dan tidak dijumpai gejala serangan

penyakit

e. Titik tumbuh biji tidak mengalami kerusakan artinya embryo yang terdapat didalam biji tidak

mengalami kerusakan

4.2. Teknik Mengecambahan

Pengecambahan buah yang akan dijadikan bibit dapat dilakukan dengan:

a. Mengupas kulit buah dan daging buah kemudian diletakkan pada wadah yang dapat

mempertahankan kelembaban. Pengecambahan dilakukan dengan merendam biji pada

air mengalir selama 24 jam, kemudian diletakkan secara teratur pada wadah (kotak

plastik) yang telah diberi tissue beberapa lapis dan dibasahi. Setelah permukaan bagian

17

bawa kotak plastik telah terisi biji (lapisan pertama), permukaan bagian atas biji diberi

tissue dan dibasahi kemudian diletakkan biji lagi di atasnya sampai penuh (lapisan 2),

begitu pula untuk lapisan 3, 4, 5 dan seterusnya sampai penuh kotak plastik dengan biji.

Kotak plastic yang telah penuh dengan biji ditutup kemudian disimpan pada tempat yang

tidak kena cahaya matahari langsung. Penyiraman perlu dilakukan sekali dalam

seminggu dengan volume air yang secukupnya dan tidak sampai air tergenang atau

secukupnya membasahi tissue yang ada di antara lapisan biji.

b. Tidak mengupas kulit buah dan dan daging buah

Buah dikecambahkan secara utuh tanpa mengupas kulit buah dan daging. Buah yang

masih kelihatan segar (baru dipetik) dikeringkan dulu selama beberapa hari. Setelah

kering buah direndam pada air mengalir dengan menggunakan wadah yang mudah

ditembus air. Perendaman dilakukan selama tiga hari (72 jam) kemudian dibungkus

dengan plastic yang kedap air dan disimpan pada tempat yang tidak kena sinar matahari

langsung. Umumnya pengecambahan buah dan biji inhibitor terhadap sinar matahari

langsung.

4.3. Kelebihan Perbanyakan Generatif

1. Relatif mudah memperoleh bibit dalam jumlah banyak, tetapi pohon sagu harus

dipersiapkan jauh sebelum memasuki fase pembungaan dan pembuahan supaya tidak

ditebang untuk diambil patinya.

2. Memungkinkan terjadi perbaikan sifat tanaman karena terjadi variasi genetik akibat dari

hasil persilangan saat terjadi penyerbukan dan pembuahan.

3. Penyiapan bahan tanaman relatif muda dilakukan karena pada saat buah telah memasuki

masak fisiologis, buah bisa langsung dipetik kemudian dikeringkan dan dikecambahkan

4. Pertumbuhan bibit seragam dari segi besarnya tanaman, tetapi berfariasi dari karakter

genetik bibit. Penampilan buah dan biji sagu disajikan pada Gambar 9.

4.4. Kekurangan Perbanyakan Generatif

1. Memiliki sifat tidak sama dengan tetua atau induknya akibat proses penyerbuakan dan

pembuahan silang, tetapi kalau mengalami penyerbukan sendiri maka karakternya tetap

menyerupai tetuanya.

18

2. Perlu waktu pembibitan yang lebih lama yaitu mulai dari pengecambahan biji, kemudian

kecambah ditumbuhkan dipre-nursery, selanjutnya dari prenursery kemudian dipindahkan

ke main-nursery

3. Memiliki sifat yang bervariasi yaitu sifat yang muncul memungkinkan lebih baik dari

tetuanya dan memungkinkan lebih jelek dari tetuanya.

Gambar 9. Penampilan buah dan biji sagu. Buah sagu yang masih disertai dengan kulit luar (A)

dan biji sagu yang sudah mulai berkecambah (B)

4.5. Kemampuan Biji Berkejambah pada Berbagai Tingkat Kematangan (Jong, 1995)

Kemampuan pengecambahan biji sagu dilaporkan sangat rendah, biji yang viabel tidak

mudah didapatkan dan bibit dari biji yang baik bercampur. Kemampuan pengecambahan dapat

ditingkatkan dengan cara mengupas kulit luar dan direndam pada air. Penelitian lain

mengungkapkan bahwa tingkat kematangan buah yang akan dijadikan bibit yang sangat

berpengaruh pada pengecambahan biji sagu. Buah sagu yang dipanen pada berbagai tingkat

kematangan dikategorikan sebagai berikut: (1) fase kematangan tipe 1 yaitu biji dengan

endosperm semi keras dan dengan testa yang tidak dapat dibedakan, (2) fase kematangan tipe 2

yaitu biji dengan endosperm solid dan dengan testa putih dan tipis, (3) fase kematangan tipe 3

yaitu biji dengan endosperm yang keras dan dengan testa telah berwarna cokelat sebagian, (4)

fase kematangan tipe 4 yaitu biji dengan endosperm keras dan dengan testa yang semuanya

berwarna cokelat, dan (5) fase kematangan tipe 5 yaitu biji dengan bony endosperm dan dengan

testa tebal dan berwarna cokelat gelap (Jong, 1995).

A B

19

Metode penilaian kemampuan perkecambahan biji dari berbagai fase kematangan yaitu

tiap fase kematangan menggunakan 20 biji yang diulang sebanyak empat kali. Biji dibenamkan

kedalam pesemaian sedalam 2 cm di dalam bak pengecambahan yang berukuran lebar 30 cm,

panjang 50 cm dan tinggi 25 cm. Biji diletakkan di dalam bak pengecambahan secara teratur

dengan embryo berada pada posisi bagian atas dekat permukaan media. Bak pengecambahan

diletakkan pada rungan dengan suhu 25 – 35oC dan dilakukan penyiraman setiap hari.

Pengamatan biji yang berkecambah dilakukan mulai pada minggu dan selanjutnya dilakukan

pengamatan setiap minggu sampai minggu ke 15.

Hasil pengamatan biji yang berkecambah pada berbagai fase kematangan buah yaitu biji

dengan tingkat kematangan masih muda (fase 1 dan 2) sangat sulit berkecambah. Kecepatan

perkecambahan meningkat dengan meningkatnya tingkat kematangan buah yang digunakan

sebagai bibit. Tingkat kematangan buah fase 3, 4, dan 5 mengalami pengecambahan sebesar 19,

35, dan 40% secara berurutan sampai pada minggu ke 15 setelah dilakukan pengecambahan.

4.6. Kemampuan Pengecambahan dengan membuka kulit luar (husk) (Jong, 1995)

Biji sagu dengan tingkat kematangan fase 4 dan 5 yang digunakan sebagai bibit.

Perlakuan yang digunakan yaitu: (1) Kulit luar dihilangkan, tetapi daging buah tidak dihilangkan

(de-husk), (2) Kulit buah dan bagian daging buah dihilangkan (de-fleshed), (3) kulit buah dan

daging buah tidak dihilangkan (undisturb). Tiap perlakuan menggunakan 40 buah, kemudian

dikecambahkan pada media pasir yang basah di dalam bak pengecambahan yang berukuran lebar

30 cm, panjang 50 cm dan tinggi 25 cm.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa biji yang dihilangkan kulit buahnya dan biji yang

dihilangkan kulit buah dan daging buah memiliki tingkat kecepatan perkecambahan yang cepat.

Biji yang tidak dihilangkan kulit dan daging buahnya mulai berkecambah pada saat minggu ke-5

dengan total jumlah biji yang berkecambah hanya mencapai 13% setelah 15 minggu di bak

pengecambahan. Biji yang dihilangkan kulit luar dan biji yang dihilangkan kulit luar dan daging

buahnya berkecambah lebih cepat tiga minggu dibanding dengan biji yang tidak dihilangkan

kulit buah dan daging buah dengan total biji yang yang berkecambah 42% dan 35% secara

berurutan setelah 15 minggu dipembibitan.

20

4.7. Kemampuan Pengecambahan dengan Perlakuan Fisik dan Kimia (Jong, 1995)

Buah sagu de-husk dan de-fleshed yang digunakan pada perlakuan fisik dan kimia.

Perlakuan terdiri atas: (1) menghilangkan operculum (fiber-flug) dengan menggunakan jarum,

(2) merendam pada air panas. Biji dimasukkan ke dalam kantong plasti kemudian direndam ke

dalam water bath pada suhu 40 oC selama 48 jam, (3) perlakuan digin yaitu benih diletakkan

pada kantong plastic kemudian disimpan pada kulkas pada suhu 2- 4 oC selama 48 jam sebelum

dikecambahkan, (4) pemberian H2SO4 yaitu biji dimadsukkan ke dalam kantong plastik

kemudian disiram dengan H2SO4 selama tiga menit kemudian benih dicuci sebelum

dikecambahkan, (5) Perendaman dengan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) yaitu giberelin (GA) 10-3

M dan Indole Acetic Acid (IAA) 10-4 M selama 48 jam sebelum dikecambahkan, (6) Kontrol

(tidak ada perlakuan). Tiap perlakuan menggunakan 20 benih sagu dan diulang sebanyak empat

kali.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa menghilangkan operculum dan pemberian GA

meningkat kecepatan dan jumlah benih yang berkecambah. Pemberian H2SO4 merupakan hal

yang fatal terhadap perkecambahan benih sebaliknya perlakuan dingin mengurangi kecepatan

perkecambahan dan menurunkan jumlah biji yang berkecambah. Perlakuan IAA mendorong

dan mengakselerasi perkecambahan biji dibandingkan dengan control. Perlakuan air panas

mengurangi kecepatan perkecambahan dan jumlah biji yang berkecambah.

4.8. Kemampuan Pengecambahan dengan Berbagai Tingkat Kelembaban (Jong, 1995)

Buah sagu dengan tingkat kematangan level 4 dan 5 yang digunakan. Tiap perlakuan

menggunakan 20 biji dan diulang sebanyak empat kali. Perlakuan terdiri atas: (1) Biji direndam

secara parsial yaitu bagian proximal dari biji yang muncul diatas permukaan air, (2) polybag

dengan ukuran 30 cm x 45 cm tertutup sempurna, (3) Polybag ukuran 30 cm x 45 cm dilubangi

sebanyak sepuluh lubang dengan diameter lubang 6 mm, (4) polybag ukuran 30 cm x 45 cm

dilubangi sebanyak 20 lubang dengan ukuran 6 mm untuk masing-masing lubang, (5) polybag

ukuran 30 cm x 45 cm dilubangi sebanyak 30 lubang dengan ukuran 6 mm tiap lubang, (6)

polybag ukuran 30 cm x 45 cm dilubangi sebanyak 50 lubang dengan ukuran lubang 6 mm tiap

lubang, dan (7) menggunakan rak pengecambahan terbuka. Pengecambahan dilakukan di dalam

green housepada suhu 25 – 35 oC. Biji yang berkecambah dihitung setiap minggu.

21

Pengecambahan biji sangat ditentukan oleh level kelembaban yaitu pada plybag yang

tidak dilobangi sampai pada polybabag yang dilubangi 20. Perkecambahan biji menurun dengan

tajam pada kelembaban yang rendah yaitu pada polybag dengan lubang yang banyak. Tidak biji

yang berkecambah pada perlakuan biji yang diletakkan pad rak pengecambahan terbuka dan

terekspos dengan udara. Permukaan biji yang direndan sebagian pada air hanya 1.7% yang

berkecambah.

Pustaka

Flach, M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p.

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

22

BAB V. TEKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU SECARA

VEGETATIF

5.1. Variasi Ukuran Diameter Saker (Abbas et al, 2013)

Pengujian variasi ukuran saker terhadap pertumbuhan dan perbanyakan tanaman sagu secara

vegetatif dilakukan dengan eksperimen. Rancangan yang digunakan untuk menguji

pertumbuhan variasi pertumbuhan saker adalah rancangan acak kelompok yang terdiri atas lima

perlakuan yaitu saker dengan ukuran diameter bongkol antara 17.2 – 27.5 mm (D1), saker

dengan ukuran diameter bongkol antara 37.4 – 49.1 mm (D2), saker ukuran diameter bongkol

antara 52.2 - 70.0 mm (D3), saker ukuran diameter bongkol antara 75.4 – 90.0 mm (D4), dan

saker ukuran diameter bongkol antara 91.7 – 117.9 mm (D5). Masing-masing perlakuan diulang

sebanyak lima kali, sehingga seluruhnya terdapat 25 satuan percobaan. Tanaman sagu yang

digunakan sebagai tetua induk saker adalah kultivar Yebha. Ukuran tinggi saker dari bongkol ke

bagian ujung tunas ditentukan sepanjang 30 cm. Polybag yang telah ditanami dengan saker

sesuai dengan perlakuan ditempatkan secara acak di pembibitan yang telah diberi pelindung

dengan menggunakan paranet. Penyiraman dilakukan tiap hari selama empat bulan. Sebaran

diameter saker dari masing-masing perlakuan yang dicobakan disajikan pada Tabel 3.

Pengukuran diameter saker dalam penentuan perlakuan disajikan pada Gambar 10.

Tabel 3. Sebaran diameter saker dari masing-masing perlakuan yang diuji

No Perlakuan

UDS (mm)

Ulangan

1 2 3 4 5 Rata-rata

1 D1 24.7 17.2 19.0 27.5 26.1 22.9

2 D2 39.5 49.1 47.4 39.7 37.4 42.6

3 D3 52.2 70.0 55.0 56.6 69.3 60.6

4 D4 79.3 85.3 75.4 90.0 78.9 81.8

5 D5 117.9 87.4 103.8 102.2 91.7 100.6

Pengamatan pertumbuhan saker yang ditanaman di pembibitan menunjukkan bahwa

respon pertumbuhan dari masing-masing perlakuan yang dicobakan memperlihatkan daya

tumbuh yang rendah. Jumlah saker yang tumbuh dari masing-masing perlakuan antara 0 – 40%

untuk eksperimen pengujian pertama (Tabel 1). Penelitian sebelumnya dilaporkan bahwa ukuran

saker yang kecil memiliki daya tumbuh lebih rendah dibanding dengan saker yang berukuran

23

besar (Syafaah et al., 2011). Irawan et al. (2011) melaporkan bahwa saker yang berukuran besar

dengan bobot lebih dari 3 kg memiliki daya tumbuh yang tinggi yaitu mencapai 85% di

pembibitan. Melihat kondisi daya tumbuh saker yang rendah pada percobaan pertama, maka

eksperimen UDS diulang yang ke dua kalinya. Pengulangan eksperimen yang ke dua kali juga

menunjukkan persentase pertumbuhan saker yang rendah yaitu menyerupai hasil eksperimen

pertama.

Hasil pengulangan eksperimen yang ke dua kalinya melahirkan dugaan bahwa penyebab

daya tumbuh saker yang rendah di pembibitan adalah (1) goyangan fisik yang keras pada saat

pencabutan saker dari rumpun induknya dan (2) pelukaan pada bagian bongkol saker akibat

terkena linggis pada saat penggalian. Akibat goyangan fisik yang keras pada saat pencabutan

yaitu dengan menekuk saker dan kemudian ditarik dengan kuat ternyata menyebabkan titik

tumbuh saker patah. Saker yang mengalami goyangan keras pada saat pencabutan diketahui

patah pada bagian titik tumbuhnya setelah saker-saker itu dikupas mendekati titik tumbuh

(Gambar 11). Umumnya saker yang berukuran kecil patah dengan persentase relatif tinggi, tetapi

saker yang berukuran besar mengalami patah pada titik tumbuhnya dengan persentase relatif

lebih kecil karena terlindungi oleh pelepah yang kokoh. Di duga kemungkinan faktor tersebut

yang menyebabkan penelitian sebelumnya selalu saker yang berukuran besar memiliki daya

tumbuh yang tinggi. Berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya merekomendasikan

bahwa saker yang baik digunakan untuk bibit adalah saker yang berukuran besar yaitu telah

berumur satu tahun dengan bobot 2 kg dan panjang daun 3 meter (Schuling dan Flach (1985).

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Jong (1995) bahwa saker yang baik untuk bibit adalah

saker yang memiliki bobot 2 kg. Di samping itu, Jong (1995) mengungkapkan pengalaman

masyarakat di Sarawak bahwa mengangkat saker dengan menggunakan daun tombak dapat

menyebabkan titik tumbuh patah pada bagian dasarnya yang menyebabkan tidak dapat tumbuh.

Dugaan yang muncul melalui pengulangan eksperimen yang ke dua diuji dengan

mengulang eksperimen UDS yang ketiga kalinya yaitu dengan tidak membuat goyangan fisik

yang keras pada saat pencabutan saker dan tidak membuat bongkolnya terluka. Hasil dari

pengulangan eksperimen yang ke tiga menunjukkan bahwa daya tumbuh saker di pembibitan

menjadi tinggi. Daya tumbuh saker yang tidak mengalami goyangan hebat saat pencabutan dan

tidak mengalami pelukaan pada bagian bongkolnya antara 60-100% untuk semua perlakuan.

Melalui eksperimen ini diketahui bahwa salah satu faktor penyebab rendahnya dayah tumbuh

24

saker di pembibitan adalah faktor pengambilan saker dari rumpun induknya untuk dijadikan

bibit. Menekuk dan menarik dengan keras serta adanya pelukaan pada bagian bongkol

merupakan faktor yang berkontribusi besar terhadap rendahnya daya tumbuh saker di

pembibitan. Jong (1995) melaporkan bahwa menghendel saker dengan daun tombak dapat

menyebabkan titik tumbuh saker patah pada bagian dasarnya. Hal itulah diduga yang mendasari

penelitian sebelumnya selalu menunjukkan saker yang berukuran besar yang memiliki daya

tumbuh yang tinggi. Melalui eksperimen ini terungkap bahwa saker dengan ukuran kecil juga

dapat memiliki daya tumbuh yang tinggi, bila faktor pengambilan saker dari rumpun induknya

dilakukan dengan baik. Secara keseluruhan hasil eksperimen UDS yang telah dilakukan

disajikan pada Tabel 4. Contoh penampilan pertumbuhan saker di pembibitan setelah berumur

empat bulan disajikan pada Gambar 12. Penampilan pertumbuhan bibit setelah berumur 10

bulan disajikan pada Gambar 13

Tabel 4. Respon pertumbuhan saker berdasarkan ukuran diameter bongkol dengan pengulangan

tiga kali pengujian perlakuan yang sama

No Perlakuan

UDS (mm)

Respon Pertumbuhan

Pengujian I Pengujian II Pengujian III

% TB WT (hari) % TB WT (hari) % TB WT (hari)

1 D1 0 35 0 33 60 33

2 D2 20 29 20 34 80 34

3 D3 20 25 20 33 80 33

4 D4 40 32 40 35 100 34

5 D5 40 34 40 33 100 33

Keterangan: Persentase tumbuh (%TB) dan waktu muncul daun tombak (WT)

Gambar 10. Pengukuran diameter bongkol saker dalam penentuan perlakuan

25

A B

Gambar 11. Saker yang mengalami goyagan keras saat pencabutan. Saker dalam keadaan utuh

(A) dan saker setelah dikupas (B)

Gambar 12. Penampilan pertumbuhan saker setelah berumur empat bulan. Pertumbuhan saker

ukuran diameter kecil, perlakuan D1 (A) dan pertumbuhan saker ukuran diameter besar,

perlakuan D5 (B)

Gambar 13. Penampilan pertumbuhan saker setelah berumur 10 bulan dipembibitan. Setelah

bibit berumur 10 bulan tidak terlihat lagi variasi pertumbuhan antara saker besar dan kecil

26

S0 S1 S2 S3 S4

5. 2. Variasi Ukuran Panjang Stolon (Abbas et al., 2013)

Rancangan yang digunakan pada eksperimen ini adalah rancangan acak kelompok yang

terdiri atas lima perlakuan yaitu saker dengan tanpa stolon (S0), saker dengan ukuran stolon 2.5

cm (S1), saker dengan ukuran stolon 5.0 cm (S2), saker dengan ukuran stolon 7.5 cm (S3), dan

saker dengan ukuran 10.0 cm (S4). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali,

sehingga seluruhnya terdapat 15 satuan percobaan. Tanaman sagu yang digunakan sebagai tetua

induk saker adalah kultivar Yebha. Ukuran tinggi saker dari bongkol ke bagian ujung tunas

ditentukan sepanjang 30 cm. Polybag yang telah ditanami dengan saker sesuai dengan perlakuan

ditempatkan secara acak di pembibitan yang telah diberi pelindung dengan menggunakan

paranet. Sebaran diameter dan bobot saker dari masing-masing perlakuan yang dicobakan

disajikan pada Tabel 5. Penyiraman dilakukan tiap hari selama empat bulan. Penampilan saker

yang digunakan sebagai perlakuan di pembibitan disajikan pada Gambar 14.

Tabel 5. Sebaran bobot saker dari masing-masing perlakuan yang diuji

No Perlakuan

UPS (cm)

Ulangan

Diameter Bongkol (mm) Bobot (gram)

1 2 3 Rata-rata 1 2 3 Rata-rata

1 S0 (0.0 cm) 33.2 49.6 58.6 47.1 50 150 250 150

2 S1 (2.5 cm) 33.2 29.9 54.2 39.1 50 150 250 150

3 S2 (5.0 cm) 29.9 28.9 56.5 38.4 50 100 300 150

4 S3 (7.5 cm) 19.1 29.9 56.6 35.2 20 140 300 153

5 S4 (10.0 cm) 20.7 36.3 63.5 40.2 450 540 830 606

Gambar 14. Ukuran panjang stolon yang menyertai saker yang digunakan sebagai perlakuan.

Saker tanpa stolon (S0), saker dengan panjang stolon 2.5 cm (S1), saker dengan panjang

stolon 5.0 cm (S2), saker dengan panjang stolon 7.5 cm (S3), dan saker dengan panjang

stolon 10.0 cm (S4).

27

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan saker berdasarkan UPS yang

menyertai saker persentasenya tinggi pada saker yang memiliki stolon. Saker yang memiliki

stolon antara 2.5 cm (perlakuan S1) sampai 10 cm (perlakuan S4) memiliki daya tumbuh 100%

di pembibitan yang diberi naungan paranet, sebaliknya saker yang tidak memiliki stolon (S0)

tidak ada yang berhasil tumbuh membentuk daun dan akar. Penelitian yang serupa menunjukkan

bahwa panjang stolon 10 cm memiliki daya tumbuh 80% dan panjang stolon 30 cm memiliki

daya tumbuh 93.3% (Jong, 1995). Stolon yang menyertai saker merupakan salah satu faktor

penyebab daya tumbuh saker meningkat. Kemungkinan cadangan energi untuk pertumbuhan

saker tersimpan pada organ stolon, sehingga saker dapat tumbuh dengan baik apabila disertai

dengan stolon. Jong (1995) mempublikasikan bahwa saker yang disertai dengan stolon yang

panjang (30 cm) memiliki daya tumbuh yang tinggi karena memiliki persediaan cadangan

makanan yang banyak.

Analisis ragam peubah waktu terbentuk daun tombak di antara perlakuan yang dicobakan

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata selama percobaan berlangsung (Tabel 6). Kecepatan

tumbuh membentuk daun tombak setelah saker membentuk akar baru tidak dipengaruhi oleh

panjang stolon yang menyertai saker. Pertumbuhan vegetatif setelah saker membentuk akar

ditentukan oleh ketersediaan hara pada media tumbuh yang digunakan, bukan lagi ditentukan

oleh adanya stolon. Media tumbuh yang kaya akan unsur hara mendorong pertumbuhan

vegetatif lebih cepat dibanding dengan media yang kurang hara. Media tumbuh yang diperkaya

dengan nitrogen, fosfor dan kalium menunjukkan pertumbuhan vegetatif yang lebih baik

dibanding dengan media yang tanpa atau kekurangan salah satu dari tiga unsur tersebut (Jong et

al. 2008).

28

Tabel 6. Respon pertumbuhan saker berdasarkan ukuran panjang stolon yang menyertainya

setelah berumur tiga bulan di pembibitan

No Perlakuan

UPS (cm)

Respon Pertumbuhan

% TB WT (hari) Waktu terbentuk

daun tombak ke dua

(hari)

Waktu terbentuk daun

tombak ke tiga (hari)

1 S0 (0.0 cm) 0 0 0 0

2 S1 (2.5 cm) 0.67 34 65 92

3 S2 (5.0 cm) 100 34 62 90

4 S3 (7.5 cm) 100 33 63 93

5 S4 (10.0 cm) 100 35 60 90

Keterangan: Persentase tumbuh (%TB) dan waktu terbentuk daun tombak (WT)

5.3. Daya Tumbuh Saker Terhadap Waktu Penyimpanan dan pemberian naungan (Jong,

1995)

Sistem pembibitan yang digunakan adalah ditanam langsung pada areal pembibitan yang

kondisi kandungan air sejajar dengan permukaan tanah (tanpa menggunakan polybag) pada lahan

gambut. Semua pelepah daun dipangkas sampai hanya tinggal 30 cm. Tiap perlakuan

menggunakan 10 saker dan diulang sebanyak tiga kali. Perlakuan terdiri atas: (1) saker ditanam

langsung di pembibitan, (2) saker disimpan selama 3 hari, (3) saker disimpan selama 7 hari, (4)

saker disimpan selama 14 hari, (5) saker disimpan selama 21 hari, (6) saker disimpan selama 28

hari baru ditanam di pembibitan. Factor ke dua yaitu saker dinaungi dan tidak dinaungi selama

masa penyimpanan.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saker yang di naungi dan langsung ditanam di

pembibitan memiliki daya tumbuh yang tinggi yaitu antara 83-93% dan tidak berbeda nyata

dengan yang disimpang sampai 14 hari, tetapi berbeda sangat nyata dengan setelah penyimpanan

21 dan 28 hari, jumlah saker yang tumbuh hanya mencapai 60%. Saker yang tidak dinaungi

yaitu dibiarkan terkena langsung sinar matahari di lapang memiliki daya tumbuh paling tinggi

pada saker yang langsung ditanam di lapang yaitu mencapai 93% dan yang memiliki daya

tumbuh paling rendah bila disimpan selama 21 sampai 28 hari bari ditanam.

5.4. Daya tumbuh saker Terhadap Pemangkasan Akar (Jong, 1995)

Sistem pembibitan yang digunakan adalah ditanam langsung pada areal pembibitan yang

kondisi kandungan air sejajar dengan permukaan tanah (tanpa menggunakan polybag) pada lahan

29

gambut. Semuan pelepah daun dipangkas sampai hanya tinggal 30 cm. Perlakuan terdiri atas:

(1) panjang akar 1 cm, (2) panjang akar 5 cm, dan panjang akar 10 cm.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa daya tumbuh saker terhadap berbagai tipe

panjang akar yang disertakan ke saker tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan dengan

persentase daya tumbuh 90 – 93.3%.

5.5. Daya Tumbuh Saker Terhadap Tingkat Kedalaman Penanaman (Jong, 1995)

Sistem pembibitan yang digunakan adalah ditanam langsung pada areal pembibitan yang

kondisi kandungan air sejajar dengan permukaan tanah (tanpa menggunakan polybag) pada lahan

gambut. Semua pelepah daun dipangkas sampai hanya tinggal 30 cm. Perlakuan terdiri atas: (1)

diletakkan pada permukaan tanah, (2) Setengan bagian stolon dibenamkan ke dalam tanah, (3)

seluruh stolon dibenamkan ke dalam tanah, (4) stolon dibenamkan 8 cm di bawah permukaan

tanah.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa stolon yang dibenamkan sebagian dan stolon

yang dibenamkan seluruhnya ke dalam tanah memiliki daya tumbuh paling tinggi yaitu 90% dan

stolon yang dibenamkan 8 cm di bawah permukaan tanah memiliki daya tumbuh paling rendah

yaitu 70% dan tidak berbeda nyata dengan yang hanya diletakkan langsung dipermukaan tanah

(tanpa dibenamkan).

5.6. Daya Tumbuh Saker Terhadap Pemberian Naungan di Pembibitan (Jong, 1995)

Sistem pembibitan yang digunakan adalah ditanam langsung pada areal pembibitan yang

kondisi kandungan air sejajar dengan permukaan tanah (tanpa menggunakan polybag) pada lahan

gambut. Semua pelepah daun dipangkas sampai hanya tinggal 30 cm. Perlakuan dilakukan pada

musim penghujan dan musim panas. Tiap perlakuan menggunakan 20 saker dan tidak ada

ulangan. Perlakuan pertama yaitu tidak dinaungi dan perlakuan ke dua yaitu dinaungi kira-kira

50% dengan menggunakan daun pelepah sagu.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa saker yang dinaungi pada musim kering

memiliki daya tumbuh paling tinggi yaitu 83.3%, sedang yang tidak dinaungi daya tumbuhnya

hanya mencapai 66.7%. Sebaliknya pada musim penghujan daya tumbuh saker paling tinggi

pada saker yang tidak dinaungi yaitu 90% sedang saker yang di naungi hanya mencapai 66.7%

30

5.7. Daya Tumbuh Saker Terhadap Perlakuan Kimia

Sistem pembibitan yang digunakan adalah ditanam langsung pada areal pembibitan yang

kondisi kandungan air sejajar dengan permukaan tanah (tanpa menggunakan polybag) pada lahan

gambut. Semua pelepah daun dipangkas sampai hanya tinggal 30 cm. Perlakuan terdiri atas: (1)

dicelupkan pada abu, (2) dicelupkan ke dalam 1% benomyl fowder (fungisida) yang diencerkan

dengan tepung bedak, (3) dicelupkan ke dalam 1% carbofuran granul (Insektisida sistemik), (4)

dicelupkan ke dalam campuran benomyl 1% dan carbofuran 1%, (5) control.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara statistic tidak ada perbedaan di anatara

semua perlakuan yang dicobakan pada saat saker langsung ditanam di pembibitan dengan daya

tumbuh antara 70 sampai 93.3%, tetapi pemberian carfuran memiliki daya tumbuh mencapai

93.3% dan control yang hanya mencapai 70%. Saker disimpan selama 14 hari baru ditanam di

pembibitan terdapat perbedaan pertumbuhan yaitu perlakuan benomyl dan campran benomyl dan

carbofuran yang memiliki daya tumbuh paling tinggi yaitu 80-83.3% dan pemberian abu yang

memiliki daya tumbuh paling rendah.

Pustaka

Abbas, B., A.W. Rauf, and F.H. Listyorin. 2013. Growth Ability of Sago Palm Suckers of

Yebha Cultivar in the Nursery. European Journal of Scientific Research Vol. 115(4):544-

550

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

31

BAB VI. TEKNIK PERBANYAKAN TANAMAN SAGU DENGAN

KULTUR JARINGAN

Kultur jaringan dan kultur in vitro secara harfiah memiliki pengertian yang berbeda.

Kultur jaringan berarti jaringan yang dikulturkan (bukan sel, protoplas atau organ). Kultur in

vitro adalah kultur (kultur protoplas, sel, jaringan, atau organ) di dalam wadah gelas atau plastik

yang transparan dan dalam kondisi yang aseptik. Meskipun demikian berdasarkan terminologi

kultur jaringan dan kultur in vitro memiliki pengertian yang sama yaitu suatu metode untuk

mengisolasi seperti protoplas, sel, jaringan, embryo, atau organ tanaman, kemudian

menumbuhkan dalam kondisi aseptik dalam wadah yang transparan (botol gelas atau tabung

reaksi).

Kultur jaringan berhubungan erat dengan teori totipotensi sel dari Sachwan dan Schleiden

1938 yang menyatakan setiap sel yang hidup dari organisme sel banyak mempunyai

kemungkinan untuk tumbuh dan berkembang bila tersedia lingkungan yang sesuai. Kegiatan

kultur jaringan dilakukan untuk mendapatkan tanaman yang memiliki sifat-sifat unggul,

eliminasi patogen, konservasi plasma nutfah, ekstraksi senyawa metabolit sekunder, dan

perbanyakan klonal secara cepat yang sulit atau tidak mungkin dilakukan secara konvensional.

Dewasa ini sumbangan teknik kultur jaringan yang telah dicapai pada berbagai bidang

diantaranya adalah: (1) bidang biologi dan biokimia yaitu memungkinkan untuk dapat diamati

sifat-sifat potensi sel tumbuhan, pertumbuhan dan diferensiasi, faktor fisik dan kimia yang

mempengaruhi pertumbuhan dan metabolisme sel, (2) bidang industri yaitu perbanyakan

tanaman secara klonal dan ekstraksi senyawa sekunder, (3) bidang pemuliaan tanaman yaitu

memungkinkan diperoleh variasi somaklonal, induksi mutasi, tanaman haploid, dan tanaman

triploid (tanaman tanpa biji), (4) bidang perbaikan sanitasi tanaman yaitu membebaskan tanaman

dari serangan patogen (virus, bakteri, dan mikoplasma) yang tidak dapat dilakukan dengan

menggunakan pestisida, (5) penyelamatan plasma nutfah (germplasm storage) yaitu dapat

dilakukan cara penyimpanan beku (cryopreservation), penyimpanan dingin, dan pemeliharaan

dengan pertumbuhan minimal.

Teknik kultur jaringan, sel, dan organ sekarang ini telah berkembang dan bermunculan

diberbagai laboratorium di dunia. Metode regenerasi dan seleksi varian yang diinginkan telah

berkembang pesat melalui propagasi secara cepat, induksi tanaman haploid dari kultur anter dan

32

polen, meningkatkan variabilitas genetik dengan cara induksi mutasi dan klon somatik, dan

pembentukan kalus dari kultur sel untuk mempelajari pengaruh nutrien, vitamin, dan zat

pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan sel. Salah satu aspek kultur jaringan

yang perlu dikembangkan dimasa mendatang yaitu menggunakan kultur jaringan sebagai obyek

penelitian dasar dan terapan serta menggunakannya sebagai teknik untuk menghasilkan produk

yang dapat dikomersialkan.

Bentuk-bentuk kultur dan tujuan melakukan kultur jaringan disajikan pada Tabel 6.

Semua tipe kultur dalam kultur jaringan pada dasarnya dibagi ke dalam dua tahapan yaitu: Tahap

pertama yaitu bagian tanaman atau eksplan yang akan dikulturkan diisolasi dari salah satu bagian

tanaman seperti sel, jaringan, dan organ. Tahap ke dua yaitu potongan bagian tanaman harus

ditempatkan pada kondisi lingkungan fisik (pencahayaan, suhu, wadah kultur) dan media tumbuh

yang sesuai untuk dapat mengekspresikan daya totipotensi internal yang terukur melalui

pertumbuhan dan perkembangan.

6.1. Tipe Kultur

Tipe-tipe kultur dan tujuan melakukan kultur dalam kultur jaringan dirinci pada Tabel 1.

Tabel 7. Tipe-tipe kultur dalam kultur jaringan

Tipe Kultur Tujuan

Kultur

embryo

Memperpendek siklus pekerjaan pada pemuliaan

Mencegah terjadinya gugur muda pada embryo

Mengatasi inkompatibilitas

Produksi tanaman haploid

Sumber pembentukan kalus

Kultur biji

anggrek

Memperpendek siklus pekerjaan pada pemuliaan

Mengganti simbiosis (mycoriza)

Bebas kompetisi dengan mikro organisme lain

Kultur

Meristem Elimiasi patogen (virus, fungi, dan bakteri)

Perbanyakan vegetatif anggrek melalui protocorm

Kloning tanaman

Penyimpanan stok tanaman yang bebas patogen

Kultur pucuk

dan 1 buku Koleksi plasma nutfah

Perbanyakan anggrek

Cabang tunas sebagai bahan perbanyakan tanaman secara klon

Cryopreservasi

33

Kultur tanpa

tunas pucuk

Pembentukan tunas adventif atau mengklon tanaman

Produksi mutan yang solid

Isolasi mutan

Memecahkan persoalan tanaman chimera

Kultur

suspensi dan

kultur sel

tunggal

Memperoleh tanaman poliploidi

Mengklon tanaman melalui pertumbuhan organ dan pertumbuhan embryo

Menciptakan variasi genetik

Memperoleh tanaman bebas virus

Bahan materi untuk cryopreservasi

Produksi senyawa sekunder

Biotransformasi

Kultur Anter

dan

Mikrospora

Produksi tanaman haploid

Induksi mutasi

Modifikasi genetik

Menjadikan tanaman ploidi level rendah

Kultur ovule

dan potongan

bunga

Mengatasi inkompatibilitas

Mencegah terjadinya gugur bunga

Fertilisasi dalam tabung

Kultur

Protoplas Hibridisasi somatik

Mendapatkan cybrid

Pemindahan nukleus dan organella

Studi transformasi

Menciptakan variasi genetik

Kultur Sel,

Jaringan dan

Organ

Sebagai sarana untuk penelitian fitofatologi

Penetrasi virus dan replikasinya

Kultur parasit yang obligat dan interaksi inang dengan parasit

Kultur nematode (kultur potongan akar)

Tes fitotoksin dan studi nodul

Sebagai sarana untuk penelitian fisiologi

Studi siklus sel

Metabolisme sel

Studi nutrizi sel

Studi morfogenik dan perkembangannya

34

6.2. Faktor yang Mempengaruhi Kultur Jaringan

Faktor yang mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan adalah: media, tanaman, dan

lingkungan. Ketiga faktor tersebut perlu mendapat perhatian karena dapat menyebabkan

kegagalan apabila keliru dalam memilih jenis media, jenis bahan tanaman, dan lingkungan yang

sesuai. Lingkungan yang dimaksudkan disini adalah tempat atau ruang untuk inkubasi eksplan

yang telah dikulturkan.

6.2.1. Faktor Media

Kebutuhan hara untuk pertumbuhan optimal eksplan yang dikultur secara in vitro bervariasi

di antara tiap-tiap species tanaman. Bahkan bagian tanaman dari jaringan yang berbeda

diperlukan komposisi nutrien yang berbeda pula untuk dapat tumbuh dengan baik. Medium yang

baik digunakan untuk kultur akar adalah media White (1943), sedang medium yang baik

digunakan untuk kultur kalus adalah Gautheret (1939).

Unsur Pokok Media

a. Senyawa an organik

Unsur mineral adalah sangat penting untuk kehidupan tanaman contohnya Mg adalah

bagian dari klorofil, Ca adalah unsur pokok dari dinding sel, N adalah bagian yang penting dari

asam amino, vitamin, protein, dan asam nukleat. Fe, Zn, dan Mo merupakan bagian dari enzim

tertentu. Di samping C, H, dan O terdapat 12 unsur yang esensial untuk pertumbuhan tanaman

seperti nitrogen, fosfor, sulfur, kalsium, potassium, magnesium, besi, mangan, tembaga, seng,

boron, dan molibdenum. Enam unsur dari yang pertama termasuk unsur makro dan yang lainnya

adalah unsur mikro. Sesuai dengan rekomendasi Internasional dari Asosiasi Fisiologi Tanaman

bahwa konsentrasi unsur yang diperlukan tanaman di atas 0,5 mmol termasuk makro elemen dan

konsentrasi di bawah 0,5 mmol termasuk mikro elemen. Komposisi unsur tersebut pada

berbagai media bervariasi (Tabel 8 dan 9).

b. Senyawa Organik

Sumber nitrogen. Pada umumnya tanaman yang dikultur secara in vitro mampu

mensintesis vitamin meskipun demikian jumlahnya tidak mencapai optimal. Untuk memperoleh

pertumbuhan yang baik perlu ditambahkan vitamin dan asam amino ke dalam media . Vitamin

35

Kandungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

(NH4) 2SO4

MgSO4.7H2O

Na2SO4

MgCl2.6H2O

KCl

CaCl2.2H2O

NaNO3

KNO3

Ca(NO3)2.4H2O

NH4NO3

NaH2PO4.H2O

NH4H2PO4

KH2PO4

K2SO4

Ca3(PO4) 2

NaH2PO4.2H2O

- - - - - - - - - - 500 500

125 740 180 185 250 370 250 720 400 370 250 250

- 200 800 200 - - 134 200 - - - -

- - - - - - - - - - - -

- 65 65 - 750 - - 65 - - - -

- - - 220 75 440 150 - 200 96 - -

- - - - 600 - - - - - - -

125 80 80 950 - 1900 2500 80 2500 - - 525

500 300 400 - - - - 300 - 556 1000 -

- - - 720 - 1650 - - - 400 - -

- 33 - - 125 - 150 16.5 - - - -

- - - - - - - - 300 - - -

- - - 68 - 170 - - - 170 250 250

- - - - - - - - - 990 - -

- - - - - - - - - - - 200

- 165 33 - - - - - - - - -

yang sering ditambahkan ke dalam media kultur adalah Pyridoxine (vitamin B6), asam nikotinat

(vitamin B3), dan calcium pantotenat (vitamin B5), dan inositol juga diketahui meningkatkan

pertumbuhan tanaman yang dikultur secara in vitro.

Beberapa nutrisi yang tidak diketahui komposisinya sering ditambahkan ke media seperti

casein hidrolisat (CH), air kelapa, minyak jagung, ekstrak tepung, juice tomat, dan yeast extract.

Semua nutrisi tersebut memiliki komponen penyusun yang kompleks yang dapat digunakan

sebagai pemacu pertumbuhan pada kultur jaringan. Meskipun demikian nutrisi ekstrak alami

sebaiknya penggunaannya dihindari karena hasilnya tidak konsisten dan bervariasi sekali.

Sebaiknya senyawa organik seperti yang telah disebutkan diganti dengan asam amino tunggal

seperti l. Asparagine, dan l. Glutamat.

Sumber karbon. Sumber karbon yang banyak digunakan pada kultur in vitro adalah

sukrosa dengan konsentrasi 2 – 5 %. Glukosa dan fruktosa juga diketahui dapat mendorong

pertumbuhan dengan baik. Sumber karbon lain yang dapat digunakan pada kultur jaringan

adalah maltosa, galaktosa, mannosa, dan laktosa. Komposisi hara-hara organik yang diperlukan

untuk berbagai macam media disajikan pada Tabel 10

Tabel 8. Hara-hara makro anorganik

36

Kandungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

NiSO4

FeSO4.7H2O

Na2EDTA

MnSO4.4H2O

MnSO4.H2O

ZnSO4.7H2O

CuSO4.5H2O

BeSO4

Fe2(SO4) 3

Ti(SO4) 3

NiCl2.6H2O

CoCl2.6H2O

AlCl3

FeCl3.6H2O

Ferric tartrate

FeC6O5H7.5H2O

Fe(sequestrene)

KI

H3BO3

Na2MoO4.2H2O

MnSO4.H2O

- - - - - - - - - - - -

- - - 27.85 - 27.80 - 2.5 15 27.8 25 -

- - - 37.3 - 37.3 - - 20 37.3 - -

1.0 - 4.5 25 0.1 22.3 - 7.0 10 - 7.5 7.5

- - - - - - - - - 22.3 - -

0.05 2.5 6.0 10.0 1.0 8.6 2.0 3.0 1.0 8.6 - -

0.025 - - 0.025 0.03 0.025 0.025 - 0.2 0.250 - -

0.025 - - - - - - - - - - -

25 2.5 - - - - - - - - - -

0.085 - - - - - - - - - - -

0.025 - - 0.03 - - - - - - - -

0.025 - - - - 0.025 0.025 - 0.1 - - -

- - - - 0.03 - - - - - - -

- - - - 1.0 - - - - - - -

- - 40 - - - - - - - - 28

- - - - - - - - - - - -

- - - - - - - 28 - - - -

0.25 0.75 3.0 - 0.01 0.83 0.75 0.75 1.0 - - -

0.025 1.5 0.375 10.0 1.0 6.2 3.0 1.5 5.0 6.2 - -

- - - 0.25 - 0.25 0.25 - 0.1 0.25 - -

- 5.0 - - - - 10.0 - 10.0 - - -

Tabel 9. Hara-hara mikro an organik (mg/l)

Tabel 10. Hara-hara organik (mg/l)

Keterangan Tabel 6, 7, dan 8:

1. Gauthered (1942) 7. Gamborg et al (1968) B5

2. Rissert and White (1964) 8. White (1963)

3. Hildebrandt et al. (1946) 9. Schenk and Hildebrandt (1972)

4. Nitsch (1972) 10. Lloyd and McCown (1981) WPM

5. Heller (1953) 11. Knudson (1946) C

6. Murashige and Skoog (1962) 12. Vasin and Went (1949)

Kandungan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Sukrosa

Myo-inositol

Nicotinic acid

Pyridoxine HCl

Thiamine HCl

Calsium pantotenat

Biotin

Glycine

Cystenic HCl

Ascorbic acid

Glutamin

30g 20g 50g 20g - 30-50g 20g 20g 30g 30g 20g 20g

- 100 - - - 100 100 - 1000 100 - -

0.5 10 - 5.0 - 0.5 1.0 0.5 5.0 0.5 - -

0.1 - - 0.5 - 0.5 1.0 0.1 0.5 0.5 - -

0.1 1.0 - 0.5 1.0 0.1 10 0.1 5.0 1.0 - -

- - - - 0.1 - 1 - - - - -

- - - - 0.01 - - - - - - -

3 - 3 - - 2 - 3 - 2 - -

- - - - - - - - - - - -

- 10 - - - - - - - - - -

- 250 - - - - - - - - - -

37

Konsentrasi Auksin Konsentrasi Sitokinin

Tinggi Rendah

Pembentukan akar

Embryogenesis

Inisiasi kalus

Tunas adventif

Tunas aksilar

Rendah Tinggi

6.2.2. Hormon Tumbuh

Secara umum zat pengatur tumbuh (ZPT) penting ditambahkan ke dalam medium untuk

mendapatkan pertumbuhan yang baik. ZPT yang banyak digunakan untuk kultur jaringan adalah

kelompok auksin, sitokinin, dan giberelin.

Auksin menyebabkan perpanjangan batang, internode, tropism, apikal dominan, absisi,

dan perakaran. Dalam kultur jaringan auksin digunakan untuk pembelahan sel dan diferensiasi

akar. Jenis auksin yang banyak digunakan adalah IBA, NAA, NOA, 2,4,5-T, p-CPA, dan 2,4-D.

IBA dan NAA secara luas digunakan untuk perakaran dan interaksi antara sitokinin untuk

proliferasi tunas. 2,4-D, dan 2,4,5-T sangat efektif untuk induksi pembentukan kalus. Auksin

biasanya dilarutkan ke dalam etanol atau NaOH

Sitokinin merupakan hormon yang berperanan untuk pembelahan sel, dominansi apikal,

dan diferensiasi tunas. Pemberian sitokinin ke dalam medium menyebabkan pembelahan sel dan

diferensiasi tunas adventif dari kalus menjadi organ. Jenis sitokinin yang banyak digunakan

pada kultur jaringan adalah BAP, 2-ip dan kinetin.

Giberelin terdiri dari banyak jenis ( 20 ) yang diketahui, tetapi yang umum digunakan

adalah GA3. Giberelin dilaporkan menstimulasi pertumbuhan planlet secara normal. GA3. Faktor

yang paling bervariasi dan perlu disesuaikan dengan kebutuhan tanaman adalah ZPT sepert

auksin dan sitokinin baik dari jenisnya maupun komposisi dan konsentrasinya. Efek dari auksin

dan sitikinin disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Interaksi antara auksin dan sitokinin dalam menginduksi pertumbuhan.

38

6.2.3. Agar-agar

Bila digunakan medium cair pada tempat kultur yang statis eksplan dapat tenggelam dan

mati karena kekurangan oksigen. Untuk menghindari hal semacam itu, media kultur jaringan

dikeraskan dengan menggunakan agar-agar. Agar-agar merupakan polisakarida yang diperoleh

dari rumput laut dan eksplan ditanam pada permukaan medium. Konsentrasi agar yang umum

digunakan adalah 0.8 – 1.0 %. Konsentrasi agar yang terlalu tinggi menyebabkan media terlalu

keras dan nutrien tidak dapat berdifusi ke eksplan. Pengerasan media banyak digunakan sebab

cocok untuk mempertahankan kultur tetap hidup. Meskipun demikian agar-agar bukan

merupakan bahan nutrisi media. Singgel sel atau singgel agregat dapat tumbuh sebagai suspensi

pada medium cair yang mengandung nutrisi an organik, organik, ZPT bila diletakkan pada

tempat yang selalu bergerak (Shaker). Untuk kultur protoplas dapat digunakan kertas penyangga

yang dapat menyerap larutan nutrisi atau hanya diberi sedikit larutan medium cair kalau

diletakkan pada wadah yang statis. Meskipun demikian penggunaan agar juga sering

menimbulkan masalah karena agar seringkali tidak murni. Berdasarkan studi nutrisi agar

mengandung unsur Ca, Mg, dan unsur lain yang dapat menyebabkan eksplan keracunan unsur

tertentu.

6.2.4. Derajat Keasaman (pH)

pH medium umumnya digunakan antara 5.0 dan 6.0 sebelum media disterilisasi,

meskipun demikian pH media yang baik digunakan adalah 5.8 sebelum diautoklaf. Straus dan

La Rue (1954) mendapatkan bahwa pertumbuhan endosperm jagung membentuk kalus terbaik

pada pH 7.0. Secara umum pH di atas 6.0 menyebabkan media cukup keras sedang pH dibawah

5.0 menyebabkan agar tidak dapat membentuk gel.

6.2. 5. Medium Dasar

Medium dasar yang diketahui sesuai untuk kebanyakan tanaman adalah MS (Murashige dan

Skoog, 1962) dan B5 (Gamborg et al. 1968). Komposisi dari media tersebut dapat dilihat pada

Tabel 3 dan 4. Perubahan kualitatif dan kuantitatif dari medium dasar senantiasa diperlukan

sesuai dengan kebutuhan, atau modifikasi medium dasar seperti senyawa an organik atau organik

perlu dicobakan untuk suatu objek penelitian tertentu.

39

6.3. Faktor Tanaman

Pertumbuhan eksplan secara in vitro sangat ditentukan oleh: genotipe, umur tanaman,

keadaan fisiologis tanaman induk, jenis jaringan, fase perkembangan tanaman induk, posisi

jaringan pada tanaman induk, ukuran eksplan, musim, pelukaan, dan metode inokulasi.

6.3.1. Genotipe tanaman

Kemampuan tanaman untuk mengalami regenerasi sangat bervariasi antara satu jenis

dengan jenis yang lain. Tanaman dikotil umumnya lebih mudah diregenerasikan dibanding

dengan tanaman monokotil. Kelompok tanaman Gimnospermae memiliki kemampuan

regenerasi sangat terbatas kecuali bagian juvenil. Sedang kelompok tanaman Leguminoceae,

Begoniaceae, Crassulaceae, dan Cruciferae relatif mudah diregenerasikan.

Kemampuan pembelahan sel dan regenerasi tanaman dalam satu species memiliki variasi

dan perbedaan yang sangat besar. Jika species tanaman mudah diregenerasikan secara in vivo

juga mudah diregenerasikan secara in vitro. Meskipun demikian kadang-kadang ada species

tertentu memiliki perbedaan kemampuan regenerasi antara in vivo dan in vitro. Umpamanya

tidak mungkin didapatkan pembentukan tunas adventif stek daun tanaman Kalaucae farinaceae

secara in vivo, sebaliknya bisa didapatkan secara in vitro akibat adanya ZPT.

6.3.2. Umur Tanaman

Jaringan embryo biasanya memiliki kemampuan regenerasi tinggi untuk tanaman serelea.

Dengan demikian embryo atau biji banyak digunakan sebagai bahan penelitian kultur jaringan.

Bahan tanaman yang lebih tua kemampuan regenerasinya kurang. Bagian tanaman yang masih

juvenil lebih baik digunakan untuk tanaman pepohonan dan perdu. Rejuvinasi juga dapat

memudahkan untuk mendapatkan pembentukan pucuk adventif.

Umur jaringan atau organ. Jaringan yang muda dan lunak umumnya lebih baik untuk

dikultur daripada jaringan yang tua dan berkayu. Potongan petiola yang sangat muda umumnya

lebih mudah diregenerasikan dibanding petiola tua. Kemampuan regenerasi tiap-tiap species

meningkat selama masa pembungaan. Bagian bunga yang muda kadang-kadang regenerasinya

40

lebih mudah. Misalnya pada tanaman Freesia, lunaria annua, Ranuculus sceleretus,

Amarillidaceae, Rhododendron, dan lain-lain.

6.3.3. Keadaan Fisiologis

Pada umumnya bagian vegetatif tanaman lebih mudah diregenerasikan secara in vitro

daripada bagian generatif. Bagian vegetatif bunga Lili yang digunakan eksplan lebih mudah

diregenerasikan daripada bagian generatifnya. Bagian yang masih juvenil lebih mudah

diregenerasikan daripada bagian yang tua.

Untuk mendapatkan pertumbuhan eksplan yang baik sebaiknya eksplan diambil dari

tanaman yang sehat dan subur. Tanaman induk yang terserang penyakit seperti: virus, jamur,

dan bakteri lebih sulit diregenerasikan dan dapat menyebabkan kegagalan.

6.3.4. Jenis Jaringan

Jaringan yang aktif tumbuh lebih mudah ditumbuhkan secara in vitro daripada tanaman

yang tidak aktif. Contohnya tunas apikal tumbuh lebih baik daripada tunas lateral. Beberapa

jaringan yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah kambium, epidermis, dan parenchima.

6.3.5. Fase Perkembangan Tanaman Induk

Fase juvenil lebih baik digunakan sebagai eksplan dibanding fase reproduktif. Tanaman

yang dicangkok yang sudah dewasa, tetap saja merupakan tanaman dewasa. Kalau apeks

rambutan sudah dewasa digunakan eksplan, secara fisiologi mempunyai sel-sel dewasa sehinga

waktu untuk berproduksi lebih cepat.

6.3.6. Posisi Jaringan pada Tanaman Induk

Posisi bagian tanaman yang akan dijadikan eksplan pada tanaman induk berpengaruh

terhadap pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro. Contoh jika membuat stek yang ada

mata tunasnya umumnya bagian tengah yang lebih baik. Kasus lain pada Pseudotsuga menziesi

yang diisolasi dari posisi bagian bawah terlihat perkembangannya secara in vitro lebih baik

daripada posisi eksplan yang diisolasi dari bagian yang lebih di atas. Pucuk terminal tumbuh

lebih cepat daripada pucuk aksilar. Pada tanaman Brassica carinata menunjukkan bahwa akar,

41

tunas, dan petiola yang dijadikan eksplan untuk induksi pembentukan kalus memberikan respon

yang sangat berbeda.

6.3.7. Ukuran Eksplan

Umumnya eksplan yang lebih kecil seperti sel, kelompok sel dan meristem (apeks) lebih sulit

ditumbuhkan dibanding eksplan yang lebih besar seperti daun, batang, dan umbi. Bagian

eksplan yang lebih besar mempunyai cadangan makanan dan ZPT yang lebih banyak dibanding

eksplan yang lebih kecil, sehingga eksplan yang lebih besar lebih mudah diregenerasikan

dibanding eksplan yang lebih kecil. Eksplan yang ukurannya lebih besar, penambahan nutrisi

(sumber karbon dan mineral) dan zat pengatur tumbuh kurang efektif. Eksplan dengan ukuran

panjang 1 cm pada tanaman hyacinth lebih lambat membentuk tunas daripada eksplan dengan

ukuran panjang 2 cm. Selanjutnya eksplan yang ukuran 3 cm lebih cepat bertunas daripada

eksplan yang berukuran 2 cm.

6.3.8.Keaktifan Pertumbuhan pohon Induk

Musim mempengaruhi keaktifan tumbuh induk sumber eksplan. Pada musim gugur dan

dingin tanaman mengalami dormansi. Pada musim hujan pohon induk yang akan dijadikan

sebagai sumber eksplan tumbuh banyak tunas-tunas baru yang baik digunakan untuk eksplan,

tetapi karena pada musim hujan sering kali terjadi kontaminasi yang tinggi karena didukung oleh

udara yang lembab. Sumber eksplan yang baik adalah tanaman yang aktif tumbuh.

6.3.9. Pelukaan

Pengaruh pelukaan terhadap regenerasi akar pada tanaman Rhododendron. Eksplan

dipotong melengkung (transversely), miring dan dipotong melintang, ternyata eksplan yang

dipotong melintang lebih cepat keluar akar.

6.3.10. Metode Inokulasi

Eksplan dapat diletakkan pada media dengan cara yang berbeda. Eksplan dapat

diletakkan secara polar (tegak dengan bagian pangkal berada pada media) dan apolar (bagian

ujung diletakkan pada media). Regenerasi akar dan tunas lebih mudah dan lebih cepat pada

eksplan yang diinokulasi secara polar. Hal ini mungkin disebabkan oleh suplai oksigen yang

42

lebih baik dan mungkin juga disebabkan oleh faktor lain. Eksplan yang diinokulasi secara apolar

mempunyai substansi terakumulasi pada ujung pangkal yang menyebabkan tidak dapat berdifusi

ke agar selama tidak bersentuhan dengan media. Kasus ini terjadi pada semua tanaman yang

termasuk Amarillidaceae yaitu inokulasi secara polar yang lebih baik.

6.4. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan (fisik) yang memmpengaruhi kultur in vitro adalah: cahaya, suhu,

kelembaban, air, oksigen, karbon dioksida, dan aruslistrik.

6.4.1. Cahaya

Cahaya merupakan faktor yang kompleks termasuk panjang hari, penyinaran, dan warna

penyinaran. Efek panjang hari pada kultur in vitro hanya sedikit diketahui. Panjang hari yang

biasa digunakan pada kultur in vitro adalah 14 – 16 jam dan penyinaran yang terus menerus.

Contoh pada tanaman Rhododendron memeperlihatkan pertumbuhan yang baik pada eksplan

yang diberi penyinaran secara terus menerus dibanding dengan eksplan yang diberi penyinaran

16 jam dan lebih tidak baik lagi pada eksplan yang hanya diberi penyinaran 8 jam. Pada

tanaman begonia yang diberi penyinaran 3 w/m2 lampu pijar tidak mengalami regenerasi.

Flourescent tube biasanya digunakan untuk kultur in vitro karena memberikan hasil yang

baik. Lampu yang memancarkan sinar ultra violet tinggi menghambat pertumbuhan tunas

adventif.

6.4.2. Suhu

Suhu di dalam ruang kultur biasanya dipertahankan konstan antara 24 – 26 oC tergantung

pada species yang diteliti, misalnya Bulbous sp diperlukan suhu 18 oC, untuk tanaman tropis 28

– 29 oC. Suhu optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan secara in vitro umumnya 3 – 4 oC

lebih rendah daripada diluar ruang kultur. Tanaman dapat dipelihara sesuai dengan suhu in vivo

yang diperlukan. Pada umumnya pertumbuhan yang baik untuk tanaman tropis dalam kultur in

vitro diperlukan suhu 25 oC 3 oC (22 – 28 oC).

6.4.3. Kelembaban

Kelembaban di dalam kultur in vitro relatif tinggi dan hanya sedikit diketahui pengaruhnya

terhadap kultur in vitro. Kelembaban dalam tabung gelas atau botol kultur dapat terlihat adanya

43

kondensasi (titik air) pada dinding botol kultur. Kelembaban yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan infeksi yang tinggi dan media kehilangan air melalui evaporasi.

6.4.4. Air

Air yang baik digunakan untuk kultur in vitro adalah air dobel destilasi. Sebaiknya alat-alat

destilasi dibersihkan sebelum menggunakannya untuk mendapatkan air destilasi yang baik.

6.4.5. Oksigen

Pertumbuhan organ khususnya pertumbuhan akar adventif didorong oleh suplai oksigen yang

baik. Penggunaan medium cair menyebabkan suplai O2 yang banyak, tetapi botol kultur harus

ditempatkan atau diinkubasikan pada tempat yang bergerak (shaker). Penambahan O2 dari luar

dapat menyebabkan kultur terkontaminasi, dengan demikian kalau diperlukan O2 yang banyak

dalam botol kultur digunakan medium cair.

6.4.6. Karbon dioksida

Sukrosa adalah sumber karbon yang baik digunakan pada kultur in vitro. Tentu saja dapat

juga dilakukan penambahan CO2 dari luar, tetapi hal ini jarang dilakukan, karena resiko

kontaminasi tinggi, terutama kalau sumber CO2 yang akan digunakan tidak steril. Perlu

diketahui juga bahwa fotosintesis di dalam kultur in vitro sangat kurang dibanding dengan

tanaman kultur in vivo disebabkan intensitas radiasi sangat rendah dengan demikian hanya

diperlukan sedikit sekali CO2.

6.4.7. Arus listrik

Arus listrik yang lemah (1A) yang ada antara jaringan dan media menyebabkan

pertumbuhan kalus pada tembakau meningkat. Pengaruh arus listrik bila dibuat negatif

pertumbuhan rata-rata kalus meningkat 70 %.

6.5. Faktor Penyiapan Media

Media merupakan formulasi dari semua unsur-unsur yang diperlukan tanaman, organ,

jaringan, sel, dan protoplas untuk dapat tumbuh dan berkembang. Media yang sering digunakan

untuk kultur jaringan dapat berbentuk: cair, padat, semi padat (becek-becek) dan lapis dua

44

(double layer). Pada kultur statis umumnya digunakan media padt untuk menghindari eksplan

yang dikulturkan tidak tenggelam yang dapat menyebabkan kekurangan oksigen.

Media padat dibuat dengan menambahkan agar-agar ke dalam larutan unsur-unsur yang

dibutuhkan tanaman. Jenis agar-agar yang dapat digunakan untuk memadatkan media yaitu agar

bacto, agar stik, agar murni, dan agar swallow (banyak dijual bebas). Agar swallow paling

mudah didapatkan tetapi sudah ada campuran vanilinya karena agar-agar ini banyak digunakan

untuk membuat kue, meskipun demikian masih bisa digunakan untuk memadatkan media dengan

tujuan perbanyakan tanaman.

Komposisi unsur penyusun media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan bervariasi

tergantung dari jenis tanaman, tujuan kultur, jenis eksplan, dan sumber eksplan. Meskipun

demikian komposisi media yang banyak digunakan untuk kebanyakan tanaman yaitu media MS

(Murashige dan skoog, 1962) dan MS yang dimodifikasi. Khususnya untuk kultur tanaman

anggrek komposisi media dasar yang banyak digunakan yaitu media Vasin dan Wen, Knudson

C, dan kadang-kadang MS. Komposisi senyawa penyusun media MS, Knudson C, dan woody

plant medium (WPM) dapat dilihat pada Tabel 6, 7, dan 8. Sebelum membuat media terlebih

dahulu yang harus disiapkan yaitu larutan stok media. Larutan stok berguna untuk: 1)

Memudahkan dan mengefisienkan waktu dalam membuat media yaitu tidak setiap kali akan

membuat media selalu menimbang sejumlah bahan kimia yang diperlukan. Pembuatan media

satu liter tanpa menggunakan larutan stok diperlukan waktu sekitar 3 jam, tetapi jika larutan stok

tersedia pembuatan media satu liter hanya diperlukan waktu satu jam. 2) Meningkatkan akurasi

pengukuran senyawa kimia yang digunakan. Menimbang senyawa kimia dengan jumlah yang

sangat kecil (empat digit atau lebih dibelakang koma) akurasinya semakin rendah dan tingkat

kesulitannya yang tinggi. 3) Mempertahan senyawa kimia penyusun medium dapat bertahan

lama tanpa mengalami kerusakan. Senyawa kimia yang higroskopis bila kemasannya sering

dibuka akan mengalami kerusakan yang cepat.

45

6.6. Kelebihan Perbanyakan Melalui Kultur Jaringan

1. Memungkinkan mendapatkan bibit dalam jumlah banyak

2. Bebas dari infeksi patogen (penyakit dan hama)

3. Pertumbuhannya relatif seragam

4. Pada beberapa kasus masa juvenil berkurang dan memungkinkan panen lebih cepat

5. Pengawasan mudah dilakukan

6.7. Kekurangan Perbanyakan Melalui Kultur Jaringan

1. Perlu keterampilan yang tinggi

2. Perlu peralatan dan laboratorium serta bahan kimia

6.8. Pembuatan Media Kultur Jaringan

Media merupakan formulasi dari semua unsur-unsur yang diperlukan tanaman, organ,

jaringan, sel, dan protoplas untuk dapat tumbuh dan berkembang. Media yang sering digunakan

untuk kultur jaringan dapat berbentuk: cair, padat, semi padat (becek-becek) dan lapis dua

(double layer). Pada kultur statis umumnya digunakan media padt untuk menghindari eksplan

yang dikulturkan tidak tenggelam yang dapat menyebabkan kekurangan oksigen.

Media padat dibuat dengan menambahkan agar-agar ke dalam larutan unsur-unsur yang

dibutuhkan tanaman. Jenis agar-agar yang dapat digunakan untuk memadatkan media yaitu agar

bacto, agar stik, agar murni, dan agar swallow (banyak dijual bebas). Agar swallow paling

mudah didapatkan tetapi sudah ada campuran vanilinya karena agar-agar ini banyak digunakan

untuk membuat kue, meskipun demikian masih bisa digunakan untuk memadatkan media dengan

tujuan perbanyakan tanaman.

Komposisi unsur penyusun media yang dapat digunakan untuk kultur jaringan bervariasi

tergantung darijenis tanaman, tujuan kultur, jenis eksplan, dan sumber eksplan. Meskipun

demikian komposisi media yang banyak digunakan untuk kebanyakan tanaman yaitu media MS

(murashige dan skoog, 1962) dan MS yang dimodifikasi. Khususnya untuk kultur tanaman

anggrek komposisi media dasar yang banyak digunakan yaitu media Vasin dan Wen, Knudson

C, dan kadang-kadang MS. Komposisi senyawa penyusun media MS dan Knudson C dapat

dilihat pada Tabel 11 dan 12.

46

6.8.1. Alat dan Bahan

Alat-alat yang diperlukan yaitu: botol kultur yang steril secukupnya, pipet volum, labbu

takar, gelas piala, timbangan analitik, hot plate, dan pH meter. Sedang bahan yang diperlukan

yaitu senyawa kimia penyusun media dasar MS dan Knudson C, aquades, sukrosa, dan agar-

agar.

6.8.2. Prosedur Kerja

Pembuatan larutan stok MS

Larutan stok dibuat untuk memudahkan pembuatan media dan akurasinya lebih tinggi

Karena kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi pada setiap kali penimbangan dapat

dikurangi. Bila larutan stok tidak disiapkan, pembuatan media satu liter diperlukan waktu

lebih dari 3 jam sedang kalau larutan stok siap untuk membuat media satu liter diperlukan

waktu paling lama 1 jam.

Siapkan botol yang berwarna gelap yang diberi kode A sampai H

Larutan stok A dibuat dari senyawa NH4 NO3 dengan konsentrasi 82.5 g/l.

Larutan stok B dibuat dengan melarutkan KNO3 dengan konsentrasi 92 g/l.

Larutan stok C dibuat dengan melarutkan H3BO3 sebbanyak 1.24 g/l, KH2PO4 sebanyak 34

g/l, KI sebanyak 0.166 g/l, Na2MoO4.2H2O sebanyak 0.05 g/l, dan CoCI2.6H2O sebanyak

0.005 g/l.

Larutan stok D dibuat dengan melarutkan CaCI2.2H2O sebanyak 88 g/l.

Larutan stok E dibuat dengan melarutkan MgSO4.7H2O sebanyak 74 g/l, MnSO4.7H2O

sebanyak 4.46 g/l, ZnSO4.7H2O sebanyak 1.72 g/l, CuSO4.5H2O sebanyak 0.005 g/l.

Larutan stok F dibuat dengan melarutkan Na2EDTA sebanyak 1.772 g/l, dan FeSO4.7H2O

sebanyak 5.57 g/l. untuk membuat larutan F, FeSO4 dilarutkan secara terpisah degan

Na2EDTA. FeSO4 dilarutkan dalam 200 ml aquades, demikia pula dalam wadah yang lain

NaEDTA dilarutkan dalam 200 ml aquades. Selajutnya keduanya dicampur, dan dipanaskan

sambil diaduk (sampai berwarna kuning muda). Kemudian didinginkan, setelah itu di terah

dan dicukupkan volumenya menjadi 1000 ml.

Larutan stok G dibuat dengan melarukan Tiamin HCI sebanyak 0.02, Nicotinic Acid

sebanyak 0.1 g/l, Pyridoksin HCI sebanyak 0.1 g/l, dan Glisin sebanyak 0.4 g/l (glisin

kadang-kadang tidak diperlukan)

47

Larutan stok H dibuat dengan melarutkan Myo-inositol sebanyak 5 g/l.

Semua larutan stok yang telah dibuat harus disimpan dalam suhu rendah (lemari pendingin),

dan dicampur pada saat akan membuat media. Komposisi media dasar MS dapat dilihat pada

Tabel 1

Pembuatan media

Siapkan gelas piala kecil (ukuran 20 ml) sebanyak larutan stok yang sudah disiapkan.

Tuangkan masing-masing larutan stok (A-H) sesuai dengan kebutuhan untuk menghindari

terjadinya kontaminasi dan tercampurnya larutan stok pada saat memipet.

Pipet masing-masing larutan stok (A-H) sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan kemudian

disimpan pada wadah atau botol kultur yang telah diisi air destilasi sebanyak 100 ml. untuk

membuat media MS 1 liter cukup dengan memipet larutan stok A dan B masing-masing

sebanyak 20 ml, ditambah larutan stok C, D, E, F, dan H masing-masing sebanyak 5 ml dan

kemudian ditambah dengan larutan stok G sebanyak 1 ml. volume untuk pembuatan media

per liter tercantum pada masing-masing label botol stok.

Tambahkan ZPT atau senyawa organik lain sesuai dengan komposisi yang diinginkan.

Timbangan sukrosa sebanyak 30 ml kemudian masukkan dan larutkan kedalam campuran

media yang telah dipipet.

Tera atau cukupkan volumenya menjadi 1000 ml ke dalam labu ukur untuk pembuatan media

sebanyak 1 liter.

Tetapkan pH nya 5.7 atau 5.8 dengan menambahkan HCI l N bila pH nya lebih tinggi dan

tambahkan NaOH atau KOH l N bila pH nya lebih rendah.

Tambahkan agar-agar sebanyak 7-10 gram kemudian dipanaskan sambil diaduk sampai

campuran media kelihatan bening (medekati mendidih atau mulai terbentuk gelembung-

gelembung didih). Penambahan agar dilakukan setelah semua bahan lengkap, ditera menjadi

1000 ml, dan diukur pH nya.

Tuangkan media tersebut kedalam botol kultur yang telah disiapkan sebanyak 25 sampai 30

ml kemudian ditutup aluminium foil dengan rapat dan dikencangkan.

Masukkan kedalam autoclaf kemudian disterilkan selama 30 menit pada tekanan 1.2 kg/cm2

dan suhu 120 oC.

48

Tabel 11. Komposisi media dasar Murashige dan skoog (MS)

Kode Bahan kimia Kons. Lrt. Stok

(g/l)

Vol. lart. Stok

(ml/l)

Kons.akhir medium

(mg/l)

A NH4NO3 82.5 20 1650.0

B KNO3 92.0 20 1900.0

C H3BO3

KH2PO4

KI

Na2MoO4.2H2O

CoCI2.6H2O

1.24

34.00

0.166

0.05

0.005

5

62

170.0

0.83

0.25

0.025

D CaCI2.2H2O 88.0 5 440.0

E MgSO4.7H2O

MnSO4.7H2O

ZnSO4.7H2O

CuSO4.5H2O

74.0

4.46

1.72

0.005

5

3700.0

22.3

8.6

0.025

F Na2EDTA

FeSO4.7H2O

7.45

5.57

5 37.25

27.85

G Tiamin HCI

Nicotinic Acid

Pyridoksin HCI

Glisin

0.1

0.5

0.5

2

1 0.1

0.5

0.5

2.0

H Myo-inositol 10 10 100.0

Keterangan : Kons : Konsntrasi

Lrt : Larutan

Vol : Volume

Konsentrasi Larutan Stok yaitu jumlah bahan kimia (gram) yang diperlukan untuk

Pembuatan 1 liter larutan stok

Volume Larutan Stok yaitu volume larutan stok (ml) yang diperlukan untuk

Pembuatan 1 liter media

Sukrosa 30 g/l dan tetapkan pH 5.7 dengan menambahkan NaOH atau KOH l N bila pH nya

lebih rendah dan tambahkan HCI bila pH nya lebil tinggi.

49

Tabel 12. Komposisi media dasar Knudson C (KN) untuk tanaman Anggrek.

kode Bahan kimia Kons. Lrt. Stok

(g/l)

Vol. lart. Stok

(ml/l)

Kons. Akhir medium

(mg/l)

A Ca(NO3)2 4H2O 50 20 1000

B (NH4)2SO4 25 20 500

C KH2PO4 25 10 250

D MgSO4.7H2O

MnSO4.7H2O

25

0.75

10 250

7.5

E FeSO4.7H2O 2.5 10 25

G Tiamin HCI

Nicotinic Acid

Pyridoksin HCI

Glisin

-

-

-

-

-

-

-

-

-

H Myo-inositol - -

Keterangan : Kons : Konsntrasi

Lrt : Larutan

Vol : Volume

Konsentrasi Larutan Stok yaitu jumlah bahan kimia (gram) yang diperlukan untuk

Pembuatan 1 liter larutan stok

Volume Larutan Stok yaitu volume larutan stok (ml) yang diperlukan untuk

Pembuatan 1 liter media

Sukrosa 20 g/l dan tetapkan pH 5.0 dengan menambahkan NaOH atau KOH l N bila pH nya

lebih rendah dan tambahkan HCI bila pH nya lebil tinggi.

6.9. Perbanyakan Massal Sagu Malalui Kultur Jaringan (Sumaryono et al. 2013)

Eksplan yang digunakan adalah meristem pucuk dari saker. Eksplan dikulturkan pada

media MS yang diperkaya dengan 2,4-D dan Kinetin untuk menginduksi pembentukan kalus.

Kalus terbentuk setelah empat kali subkultur pada minggu ke 20. Proliferasi kalus menjadi

embryo somatik menggunakan media MMS yang diperkaya dengan 2.4-D 10 ppm dan Kinetin

0.1 ppm. Perlakuan terdiri atas media padat, cair, dan dibenamkan secara temporer. Proliferasi

kalus lebih baik pada media cair dan dibenamkan secara temporer. Pembentukan embryo

somatik terlihat tumbuh baik pada perlakuan yang dibenamkan secara temporer. Proliferasi dan

pematangan embryo somati dilakukan pada media setengah konsentarsi media MMS yang

diperkaya dengan zat pengatur tumbuh Absisic Acid (ABA) 0.01 ppm, Kinetin 1 ppm, GA3 0.1

ppm, sukrosa 30 g/l dan arang aktif 1 g/l.

50

Pengecambahan embryo somatik dilakukan pada MMS yang diperkaya dengan GA3 0.5

ppm dan Kinetin 2.0 ppm. Embryo somatik yang telah berkecambah terjadi pada minggu ke 6.

Embryo somatic yang telah berkecambah dipindahkan pada media padat untuk menginduksi

pertumbuhan membentuk planlet. Penampilan pertumbuhan kalus, embryo somatic, dan

pengecambahan embryo somatic membentuk planlet disajikan pada Gambar 16.

Gambar 16 Penampilan pertumbuhan jaringan meristem pucuk tanaman sagu dalam kultur

jaringan. Penampilan pertumbuhan kalus (A), penampilan pertumbuhan embryo somatic

(B), dan pembentuk planlet (C).

Pustaka

George, O.L. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Hand Book and Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Ltd., Englnad. 790p.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU Bioteknologi IPB Bogor.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 304p.

Pieric, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants Martinus Higoff Publ. Netherlands.

344p.

Sumaryono, I. Riadi, B. Abbas. 2013. In vitro propagation for large scale production of sago

palnting material. Proceeding of The 11th sago Palm Symposium.

Valmayor, H.L., G.G. Divinagracia, T.J. Rimando, T.R. Rosario, V. Saplala, B. Vergara, B.E

Umali. 1994. Propagation of orhids. In The the Philppines Recommends for Orchids.

Philippine Agriculture and Resources Research Foundation, Inc. Los Banos, Laguna.

56-73.

51

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, B., A.W. Rauf, and F.H. Listyorin. 2013. Growth Ability of Sago Palm Suckers of

Yebha Cultivar in the Nursery. European Journal of Scientific Research Vol. 115(4):544-

550 Bintoro, M.H.D. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif

dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 70p.

Flach, M. 1997. Sago palm Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. IPGRI. 76p. George, O.L. and P.D. Sherrington. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Hand Book and

Directory of Commercial Laboratories. Exegetics Ltd., Englnad. 790p.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU Bioteknologi IPB Bogor.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 304p.

Ishizuka, K., S. Hisajima, and D.R.J. Macer. 1996. Traditional technology for environmental

conservation and sustainable development in the Asian- Pacific Region. Proceedings of

UNESCO. University of Tsukuba, Japan.

Jong, F.S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.)

cultivation in Sarawak, Malaysia. Dept. Agriculture, Kuching, Sarawak, Malaysia. 139p

Kasim, J., P.M.D Tahir, H. Shari, and T. William. 1995. Soda anthraquinone pulping of sago

palm (Metroxylon sagu Rotb.) Fronds. ISHS Acta Horticulturae. http:/www.actahort.org/

books/389/389-16.htm.

McClatchey, W., H.I. Manner, and C.R. Elevitch. 2005. Metroxylon amicarum, M. paulcoxii,

M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago palm). Species Profiles for

Pacific Island Agroforestry. www.traditionaltree. Org. Diakses pada bulan Januari 2006

Pieric, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants Martinus Higoff Publ. Netherlands.

344p.

Pranamuda, H., T. Kamogawa, T. Ozawa, and H. Tanaka. 1995. Ethanol production from raw

sago starch under un sterile condition. http:/www.actahort.org/ books/ 389/389-15.htm.

Renwarin, Y., H.T. Dedaida, H. Matanubun, A. Barahima. 1998. Identifikasi, koleksi, dan

evaluasi kultivar sagu unggul Irian Jaya untuk menunjang perkebunan sagu komersial di

Indonesia. Laporan Hibah Bersaing VII Perguruan Tinggi Tahun Anggaran 1998/1999.

Universitas Papua

Schuiling, D.L. 1995. The variability of the sago palm and the need and possibilities for its

conservation. ISHS Acta Horticulturae http://www. actahort.org/books/389.

Solichien, B. 1995. Sago starch as a substract for cyclodextrin production. ISHS Acta

Horticulturae. http:/ www.actahort.org/books/389/389-12.htm.

Sumaryono, I. Riadi, B. Abbas. 2013. In vitro propagation for large scale production of sago

palnting material. Proceeding of The 11th sago Palm Symposium.

Valmayor, H.L., G.G. Divinagracia, T.J. Rimando, T.R. Rosario, V. Saplala, B. Vergara, B.E

Umali. 1994. Propagation of orhids. In The the Philppines Recommends for Orchids.

Philippine Agriculture and Resources Research Foundation, Inc. Los Banos, Laguna.

56-73.