program studi hukum keluarga fakultas...
TRANSCRIPT
TRADISI PRA NIKAH PINGITAN PENGANTIN PERKAWINAN ADAT JAWA DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
(STUDI KASUS DI DESA CETAN KECAMATAN CEPER KABUPATEN KLATEN)
Skripsi.
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
FAUZI NABAWI TRI HATMAJA
(1112044100012)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2019 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Fauzi Nabawi Tri Hatmaja, NIM 1112044100012, Tradisi Pra Nikah
Pingitan Pengantin Perkawinan Adat Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Kasus Di Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten), Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1440/2019 M, 53 Halaman.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tradisi
pra nikah Pingitan Pengantin Perkawinan Adat Jawa, untuk mengetahui
bagaimana pandangan masyarakat terhadap tradisi pra nikah Pingitan Pengantin
Perkawinan Adat Jawa dan untuk mengetahui pandangan hukum Islam
terhadap tradisi pra nikah Pingitan Pengantin Perkawinan Adat Jawa.
Adapun penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan melakukan
pendekatan normatif. Penelitian ini juga dapat dikategorikan sebagai penelitian
lapangan (field research), dan merupakan kelanjutan dari penelitian deskriptif
yang bertujuan bukan hanya sekedar memaparkan karakteristik tertentu. Tetapi
juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana hal itu terjadi.
Kriteria data yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi,
dan studi pustaka.
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan bahwa tradisi pra nikah Pingitan
Pengantin Perkawinan Adat Jawa adalah, perempuan atau calon pengantin
dilarang berpergian, keluar rumah ataupun bertemu calon suami dari waktu
yang ditentukan sampai akad nikah berlangsung guna menghindari
marabahaya. Tradisi ini menjadi pro kontra di kalangan masyarakatnya,
sebagian masyarakat masih memegang akan tradisi ini dan sebagian masyarakat
menganggap sudah tidak relevan untuk diterapkan di zaman sekarang. Tradisi
ini pada dasarnya tidak bertentangan dengan hukum Islam karena sesuai
dengan apa yang telah di syariatkan Islam dalam praktiknya.
Kata Kunci : Pingitan Pengantin, Tradisi Pra Nikah Perkawinan Adat
Jawa
Cetan, Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Pingitan
Pengantin
Pembimbing : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1984 s.d Tahun 2017
v
KATA PENGANTAR
حيى ٱنره ح ٱنره تسى ٱلله
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang
telah memberikan nikmat, rahmat, taufik, hidayah dan ridha-Nya kepada
penulis tanpa ada batasan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW, makhluk yang paling sempurna sebagai suri tauladan umatnya, beserta
keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang senantiasa selalu patuh dan ta‟at
dalam menjalankan perintah Allah SWT dan Rasulnya.
Penulisan skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh Sarjana Hukum (SH). Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, karena masih banyak terdapat
kekhilafan, kekurangan dan keterbatasan ilmu pengetahuan yang penulis miliki.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari pihak-pihak yang telah
banyak membantu penulis baik dari segi moral maupun materil. Oleh karena
itu, penulis ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Ibunda Syatriyah dan Ayahanda Mawardi,
yang selalu memberikan cintanya, kasih sayangnya dan yang selalu
memberikan nasihat, motivasi serta doa yang tidak pernah berhenti
terucap dengan rasa tulus dan ikhlas. Semoga Allah SWT selalu
melindungi, memberi kesehatan dan memberi umur yang panjang untuk
mereka. Dan tidak lupa juga untuk kakak-kakakku Fathunisa Rahajeng
S.I.Ptk., Sigit Adi Nugroho dan adikku Ragil Pangestu. Khususnya
kakak pertamaku Fathunisa Rahajeng S.I.P., yang selalu memberikan
semangat, motivasi, dukungan materil dan doa serta dorongan yang luar
biasa. Semoga Allah membalas semua kebaikan yang berlimpah.
2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanudin Lubis Lc, M.A., Selaku Rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh jajaran pengurus Rektorat
vi
yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi
S1 di UIN Syarifhidatullah Jakarta.
3. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Mesraini S.H., M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga, yang
selalu mendukung, memberikan semangat dan motivasi-motivasi
kepada penulis.
5. Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga,
yang selalu memberikan pelayanan terbaik.
6. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA, selaku dosen pembimbing, semoga
apa yang telah beliau berikan dapat bermanfaat bagi penulis dan dibalas
dengan kebaikan yang berlimpah.
7. Hj. Rosdiana M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik, yang telah
meluangkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memfasilitasi penulis dalam mencari referensi penelitian ini.
9. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Hukum
Keluarga yang dengan sabar telah memberikan ilmu-ilmu kepada
penulis.
10. Sahabat-sahabat yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11. Hilmi Afif Arifqi, S.H., yang telah menemani dan membantu penulis
dalam melakukan penelitian skripsi ini.
12. Teman-teman sekelas dan seperjuangan, Rahmat Muhajir, Luthfan
Adly, Ilham Harsya, Kajo Adit, Ziyad Mubarak, Rivaldi Fahlevi,
Muhammad Martin, Faiq, Sufyan Zulkarnain, M Akrom, Syah Ul-Haq,
vii
Naniek, April, Sarifah Dacosta, Putri Shafwatil Huda, Choirunnisa,
Alfida Husna, Umet, Moch Anam, dan teman-teman semua yang tidak
disebutkan tapi semua yang selalu memberikan bantuan dan motivasi.
13. Teman-teman Islamic Family Law 2012, yang selalu memberikan saran
dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
14. Teman-teman KKN PERAK
15. Teman-teman Minimal Coffee and Space, Sabtian, Fykar, Hendrywan,
Afif, Thalita, Pangeran, Faizal, Siegfried, Cita, Reza, Indra, Nisa, Meka
Ela dan Cia.
16. Seluruh Perangkat Desa Cetan dan Mayarakat Desa Cetan yang terlibat
yang telah memberikan bantuan dalam bentuk apapun sehingga
penelitian ini dapat berjalan lancar.
17. Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan
dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, namun tidak mengurangi rasa
hormat dan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya.
Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas oleh Allah SWT dan
penulis berharap semoga skripsi ini mampu memberikan manfaat yang besar
bagi penulis maupun bagi pembaca.
Jakarta, 26 Juli 2019
Fauzi Nabawi Tri Hatmaja
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ........................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 5
D. Metode Penelitian dan Teknik Penelitian ............................................ 6
E. Review Studi Terdahulu ........................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 10
BAB II TRADISI PINGITAN PENGANTIN ......................................................... 12
A. Pengertian Tradisi (‘urf) ..................................................................... 12
B. Macam-Macam ‘Urf ............................................................................ 13
C. Kedudukan ‘urf Sebagai Metode Istinbath Hukum ........................ 14
D. Syarat-Syarat Al-’urf ........................................................................... 17
E. Legalitas Al-’’urf .................................................................................. 19
F. Pengertian pingitan pengantin ........................................................... 20
G. Asal Usul Tradisi Pingitan. ................................................................. 21
H. Urutan Tahapan Prosesi Lamaran Sebelum Pingitan Pengantin ... 22
BAB III MONOGRAFI DESA CETAN .................................................................. 25
A. Kondisi Geografis ................................................................................ 25
B. Kondisi Penduduk................................................................................ 26
C. Keadaan sosial ekonomi ...................................................................... 27
ix
D. Kondisi Pendidikan.............................................................................. 28
E. Kondisi Sosial Keagamaan .................................................................. 30
BAB IV ANALISIS TRADISI PINGITAN CALON PENGANTIN MENJELANG
AKAD NIKAH DI DESA CETAN, KECAMATAN CEPER, KLATEN,
JAWA TENGAH .................................................................................. 32
A. Kegiatan Pingitan Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten,
Jawa Tengah ......................................................................................... 32
B. Pendapat Masyarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten
Tentang Tradisi Pingitan Pengantin. ................................................. 35
C. Pendapat Tokoh Masyarakat Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Klaten,
Jawa Tengah Tentang Tradisi Pingitan Pengantin. ......................... 40
D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Pengantin di Desa
Cetan, Kecamatan Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah. ......... 44
E. Analisis Pingitan Pengantin di Desa Cetan, Kecamatan Ceper Kabupaten
Klaten Jawa Tengah ............................................................................ 47
F. Konsep ‘urf Terkait Dengan Tradisi Pingitan Pengantin ................ 48
BAB V PENUTUP ..................................................................................................... 51
A. Kesimpulan ........................................................................................... 51
B. Saran-saran .......................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 53
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah SWT memiliki naluri manusiawi yang
perlu dipenuhi sebagai kebutuhan hidup. Dalam hal ini, manusia diciptakan Allah
SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Sang Khaliq dalam segala aktivitas
hidupnya. Pemenuhan kebutuhan manusiawi yang ada pada manusia antara lain
keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia mensyukuri nikmat
Allah SWT sehingga mampu menjalani kebutuhan hidup manusia dengan aturan
pernikahan1.
Tujuan utama dari perkawinan adalah membina kehidupan rumah tangga
yang kekal dan bahagia di antara suami istri dengan maksud melanjutkan
keturunan. Mengingat perkawinan itu merupakan tuntutan naluriah manusia
untuk berketurunan guna kelangsungan hidupnya dan memperoleh kedamaian
hidup serta menumbuhkan dan memupuk kasih sayang insani. Keharmonisan
yang ada di antara dua jiwa akan membuat mereka terpadu dalam dunia cinta
kebersamaan.2 Selain itu juga perkawinan merupakan salah satu kebutuhan
rohani dan jasmani yang sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua manusia dengan
jenis yang berlainan di sunnahkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan Allah
SWT yang antara lain tujuannya untuk melanjutkan keturunan dan tujuan-tujuan
lainnya.3
Dengan demikian Allah menciptakan makhluk-Nya bukan tanpa tujuan,
tetapi di dalamnya terkandung rahasia yang amat dalam, supaya hidup hamba-
1 Abd Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana, 2006), h. 22
2 Sayyid Mujtaba Musavi Lari , Psikologi Islam; Membangun Kembali Moral Generasi Muda
(Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), h. 15 3 Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika 2006), h. 43
2
hamba-Nya di dunia ini menjadi tentram sebagaimana Firman Allah dalam
Qs.Al-Rum:21
ح ر ج ده ى ي ك ي م ت ع ج ا ي ن إ ا ك ت س ن ا اج ز أ ى ك س ف أ ى ي ك ن ه ق خ أ ات آي ي ه إ ح
ر كه ف ت و ي ق ن اخ ي ك ل ن (12)انرو:في ذ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.(Q.S. Al-Rum ayat 21).
Pada prinsipnya perkawinan atau pernikahan adalah suatu akad atau
perjanjian mengikat antara laki-laki dengan seorang perempuan untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan suka rela, dan
kerelaan kedua pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara yang
diridhoi Allah SWT.4
Hukum Islam senantiasa menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat
muslim yang bertujuan untuk mencapai kehidupan yang berbahagia dan sejahtera
sesuai dengan syari‟at Islam. Pada dasarnya agama Islam ada dengan peraturan
yang apabila melanggarnya ataupun mematuhi peraturan tersebut hukuman dan
imbalannya langsung dari sang Khalik kelak di Ahkirat maupun didunia berupa
azab. Semua itu telah dituliskan pada Al-qur‟an dan Hadits.
Indonesia khususnya masyarakat Jawa telah memiliki beragam adat dan
kebudayaan yang cukup tinggi khususnya di bidang perkawinan. Corak antara
kebudayaan daerah yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Meskipun
4 Muh. Gozali, Mulai dari Rumah (Bandung: Al-Mizan, 2002), h. 96
3
menampakkan corak yang berbeda, tetapi sebenernya unsur-unsur kebudayaan
suatu kesatuan yang saling terjalin dan terkait satu sama lain.
Kebudayaan adalah sesuatu yang khas insani, artinya hanya terdapat pada
makhluk manusia saja, kedudukan manusia adalah sentral. Tidak ada kebudayaan
tanpa ada manusia. Hewan serta alam sekitar kita yang disebut alam buta tidak
dapat menghasilkan kebudayaan. Kedua, kebudayaan yang terdiri dari berbagai
unsur membentuk suatu kesatuan. Keselarasan antar unsur di dalamnya
merupakan suatu hal yang sangat penting dan diperlukan. Ketiga, kebudayaan
mengandung nilai-nilai, karena itu kebudayaan, oleh Jan Baker, dihubungkan
dengan hal-hal yang baik, bermanfaat, yang indah dalam kehidupan manusia.5
Tradisi dan budaya memang tidak pernah lepas dari kehidupan masyarakat
disamping berhubungan dengan orang lain, masyarakat juga berhubungan
dengan namanya budaya. Hubungan ini tidak dapat dipisahkan karena budaya itu
sendiri tumbuh dan berkembang didalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.
Tiap masyarakat pasti punya tradisi atau budaya sendiri-sendiri.
Upacara perkawinan memiliki banyak ragam dan variasi di antara bangsa,
suku satu dan yang lain, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan atau
aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama
tertentu pula. Upacara perkawinan sendiri biasanya merupakan acara yang
dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat istiadat yang berlaku.
Sedangkan perkawinan secara adat merupakan salah satu unsur kebudayaan yang
sangat luhur dan asli dari nenek moyang yang perlu dilestarikan, agar generasi
berikutnya tidak kehilangan jejak. Upacara perkawinan adat mempunyai nilai
luhur dan suci meskipun diselenggarakan secara sederhana sekali.
Tradisi merupakan suatu kepercayaan, kebiasaan atau adat istiadat yang
berasal dari nenek moyang sampai saat sekarang masih dijaani oleh sebagian
orang dalam kehidupan masyarakat yang merupakan sesuatu hal yang dianggap
5 J.W. M. Bakker, Filsafat Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius, 1984),
h. 139
4
benar dan baik. Tradisi dalam kehidupan suatu masyarakat bertahan sedemikian
rupa, sehingga tradisi kehidupan yang terjalin dalam berbagai peristiwa penting
yang ditandai dengan upacara, bermuatan sejumlah nilai. Diantaranya yang
penting untuk batas suatu kaum atau suku bangsa ialah muatan nilai-nilai agama,
adat dan kebiasaan.6
Pernikahan bagi masyarakat Jawa sendiri diyakini sebagai sesuatu yang
sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali dalam seumur
hidup. Bagi masyarkat Jawa perkawinan bukan hanya merupakan pembentukan
rumah tangga baru, namun juga merupakan ikatan dari dua keluarga besar yang
bisa jadi berbeda dalam segala hal, baik sosial, ekonomi, maupun budaya.
Tradisi yang ada pada masyarakat Desa Cetan salah satunya adalah
pingitan. Pingitan atau pingitan pengantin adalah tradisi pra nikah biasanya
dilakukan sebelum hari pernikahan, calon pengantin tidak boleh keluar rumah
maupun bertemu calon suaminya sampai dilangsungkannya ijab kabul. Karena
dalam kepercayaan masyarakat Jawa calon pengantin memiliki “darah manis”
sehingga rentan akan gangguan yang sifatnya tidak terlihat, dan dipercayai masa-
masa menjelang pernikahan adalah masa-masa yang riskan dan penuh
marabahaya, untuk itu calon pengantin tidak diperbolehkan untuk bertemu agar
tidak ada bahaya ataupun masalah yang bisa membatalkan perkawinan kedua
calon tersebut.
Oleh karena itu tradisi pingitan ini diyakini bertujuan agar untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebelum hari pernikahan
dilangsungkan maupun kehidupan setelah menikah dan mempersiapkan calon
pengantin untuk memasuki dunia baru yang dinamakan rumah tangga.
Sebagaimana mana latar belakang tersebut, untuk itu penulis tertarik untuk
meneliti tradisi pingitan yang mana pingitan tersebut termasuk dalam salah satu
upacara adat dan merupakan tradisi yang tidak bisa ditinggalkan dan dipercayai
6 UUHamidy, Orang Melayu di Riau, Cet. Ke-1, (Pekanbaru:Universitas Islam Riau (UIR
Press,1996), h.8
5
yang dijalani secara turun-menurun. Karena kepercayaan yang telah mendarah
daging pada masyarakat yang apabila salah satu prosesi upacara perkawinan
tersebut tidak dilaksanakan maka akan ada musibah yang menimpa keluarga
mempelai maupun pengantin, untuk itu penulis bermaksud mengkaji tradisi
pingitan pengantin tersebut dengan pandangan hukum Islam. Sehingga judul
yang diberikan oleh penulis adalah “Tradisi Pra nikah Pingitan Pengantin
Perkawinan Adat Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam (studi Kasus di Desa
Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten)”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pokok permasalahan yang dibahas adalah tradisi pingitan yang ada di
Desa Cetan dengan berbagai perubahan yang terjadi karena adanya akulturasi
budaya. Penulis mencoba mengembangkan dan mencari jawaban dari
permasalahan yang diungkapkan dalam penelitian, dengan membatasi
permasalahan yang meliputi prosesi upacara pernikahan yaitu prosesi pingitan
yang melarang calon perempuan keluar rumah sebelum ijab qobul. Perumusan
masalah berikut:
“Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai tradisi “pingitan” atau pingitan
pengantin dalam perkawinan adat Jawa khususnya di Desa Cetan?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah yang dikemukakan di atas tujuan penelitian ini
adalah:
“Untuk mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai tradisi
“pingitan” atau biasa disebut juga pingitan pengantin dalam perkawinan
adat Jawa.”
2. Manfaat Penelitian
6
a. Untuk menambah wawasan dan khazanah pengetahuan bagi penyusun
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya mengenai tradisi,
kebiasaan atau adat istiadat di suku Jawa mengenai tradisi “Pingitan”
yang dilakukan calon pengantin sebelum pernikahan dilangsungkan.
b. Pembaca dapat mengetahui bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap
tradisi “Pingitan” di suku Jawa.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini di Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten.
Karena sebagian masyarakat tersebut menganut tradisi adat jawa pingitan
pengantin, untuk itu penulis harus terjun langsung ke lokasi tersebut guna
mendapatkan data yang relevan dan akurat.
2. Jenis Penelitian
Objek yang dikaji dalam penelitian adalah aktivitas sekelompok orang
dalam mempertahankan tradisi warisan para leluhur dari berbagai bentuk
akulturasi yang sesuai dengan kehidupan sekarang. Oleh karena itu, metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian budaya dengan jenis
penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
destriptif: ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-
orang (subyek itu sendiri).7
3. Data Penelitian
Data primer diperoleh dari penelitian lapangan (field research)
langsung diperoleh dari tokoh adat dan masyarakat di lapangan.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari bahan pendukung seperti
tulisan-tulisan yang tersebar dan buku-buku yang terkait dengan masalah ini.
4. Teknik pengumpulan data
7 Arief Furchan, Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional, 1992),
h. 21.
7
a. Observasi, yaitu dengan cara mengadakan pengamatan secara dekat
terhadap maslaah yang akan diteliti. Terjun langsung kelapangan guna
mengadakan penelitian pada objek yang dibahas dengan tujuan agar hasil
pengamatan dan laporan lebih valid serta dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya
b. Wawancara, yaitu metode pengumpulan data dan informasi dengan
tanya jawab dengan dua orang atau lebih langsung dengan pihak yang terkait
memberikan informasi sehubungan dengan data yang diambil baik data primer
maupun data sekunder. Dalam hal ini penulis menggunaka dua jenis informan,
yaitu informan utama dan informan sekunder. Informan utama adalah tokoh
yang berpengaruh di Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten,
sedangkan informan sekunder adalah masyarakat yang telah menikah
menggunakan adat pingitan pengantin.
5. Analisis data
Teknik analisa data adalah proses penyederhanaan data kedalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.8 Analisis data
merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman penulis
tentang apa yang diteliti dan menyajikan sebagai pengetahuan bagi orang lain.
Data-data yang terkumpul kemudian dianalisa. Teknik analisis data yang
digunakan adalah teknik analisa kualitatif yaitu berasal dari data yang
diperoleh dari wawancara dan observasi kemudian diklasifikasikan kedalam
kategori-kategori atas dasar persamaan dari jenis data tersebut, kemudian
menghubungkan data-data yang di uraikan sedemikian rupa hingga diperoleh
yang utuh tentang masalah yang akan diteliti.
6. Teknik Penulisan
8 Masri Singarimbun dan SOfian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3S, 1995),
cet. I, h. 263.
8
a. Metode Deduktif, mengumpulkan, menelaah dan meneliti data-data yang
bersifat umum dan kemudian diambil kesimpulan yang bersifat khusus.
b. Metode Induktif, mengumpulkan, menelaah dan meneliti data yang
bersifat khusus untuk diambil kesimpulan yang bersifat umum.
c. Metode Deskriptif, yaitu mengumpulkan data-data apa adanya kemudian
dianalisa sebagaimana mestinya.
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian ini membahas tentang tradisi pingitan pengantin adat Jawa, adapun
beberapa judul skripsi terdahulu yang pernah ditemukan penulis dan membahas
terkait dengan judul skripsi penulis adalah sebagai berikut:
1. Raficha (2015) dalam skripsi Fakultas Syariah UIN Sultan Syarif Karim dengan
judul “Tradisi Pingitan Pengantin Menjelang Akad Nikah Di Desa Urung
Kampung Dalam Kecamatan Kundur Utara Dalam Perspektif Hukum Islam”.
Penelitian ini dilakukan di di Desa Urung, Kampung Dalam, Kecamatan Kundur
Utara dengan pengambilan sampel 20% dari populasi. Teknik pengambilan
sampel menggunakan Purposive Sampling yaitu memilih orang-orang yang
terseleksi oleh peneliti berpengalaman berdasarkan ciri-ciri khusus yang dimiliki
sampel tersebut yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri
yang sudah diketahui populasi sebelumnya.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Raficha adalah terletak pada
pengambilan sampel. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan dua
jenis informan yaitu informan utama dan informan sekunder. Informan utama
yaitu tokoh penting yang berpengaruh di Desa Cetan, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, dan informan sekunder adalah masyarakat Desa Cetan,
Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten. Sedangkan penelitian yang dilakukan
Raficha menggunakan pengambilan sampel 20% dari populasi.
9
2. Nurul Hidayah (2015) dalam skripsi Fakultas Syariah Institut Agama Islam
Negeri Salatiga dengan judul “Tradisi Pingitan Pengantin Ditinjau Pandangan
Hukum Islam”.
Penelitian ini dilakukan di desa Klalingan Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali.
Pendekatan yang digunakan adalah pendapat historis, agar penulis bisa
mengetahui asal mula kepercayaan masyarakat tentang tradisi pingitan pengantin
dan apa itu tradisi pingitan menurut masyarakat Klego. Kesimpulan yang
diperoleh penelitian ini adalah masyarakat di desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali percaya bahwa tradisi pingitan jika tidak dilaksanaka maka
akan mendapat musibah dalam pernikahannya, sedangkan menurut data yang
diperoleh dari beberapa informan bahwa di desa Klalingan Kecamatan Klego
Kabupaten Boyolali ini adalah tradisi “Pingitan pengantin ” tidak wajib
dilaksanakan, dan boleh digunakan untuk menjaga calon pengantin, dan persiapan
diri bagi calon pengantin dalam menghadapi hari pernikahan.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan Nurul Hidayah
adalah terletak pada pendekatan penelitian. Pendekatan penelitian yang dilakukan
penulis menggunakan kajian antropologi sedangkan penelitian yang dilakukan
Nurul Hidayah menggunakan pendapat historis.
3. Ninik Nirma Zunita (2011) dalam skripsi Fakultas Syariah UIN Maulana Malik
Ibrahim yang berjudul “Pandangan Masyarakat terhadap Tradisi “Pingitan
Pengantin Studi di Desa Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan”
Penelitian ini dilakukan di Desa Maduran, Maduran, Kecamatan Maduran,
Kabupaten Lamongan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan
masyarakat Maduran terhadap tradisi pingitan pengantin. Metode penelitian yang
digunakan menggunakan pendekatan fenomenologis.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang dilakukan Ninik Nirma
Zunita adalah terletak pada pokok bahasan dan tempat penelitian yang
menyebabkan adanya perbedaan pandangan masyarakat sekitar terhadap adat
pingitan pengantin. Penelitian yang digunakan penulis bertujuan untuk
10
mengetahui pandangan masyarakat Dukuh Klaten, Desa Cetan, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten terhadap adat pingitan pengantin dan pandangan dari segi
hukum Islam, sedangkan penelitian yang dilakukan Ninik Nirma Zunita dilakukan
di Desa Maduran, Maduran, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan.
F. Pedoman Skripsi
Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan ini adalah buku
pedoman penelitian Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatulllah Jakarta tahun 2017.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab dan disusun dengan sistematika
penyusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan yang membahas tentang latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
dan teknik penelitian, review studi terdahulu serta sistematika penulisan.
Bab II Dalam bab ini berisi kajian dengan tradisi pingitan yang
menjelaskan tentang pengertian tradisi („urf), macam-macam „urf, kedudukan
„urf sebagai metode istinbath hukum, syarat-syarat Al-„urf, legalitas Al-„urf,
penertian pingitan pengantin, asal usul tradisi pingitan, urutan tahapan prosesi
lamaran sebelum pingitan.
Bab III Membahas tentang gambaran umum Desa Cetan, Kecamatan
Ceper, Kabupaten Klaten. Terdiri dari letak Geografis, keadaan masyarakat,
jumlah penduduk serta struktur organisasi.
Bab IV Berisi tentang bagaimana tradisi pingitan calon pengantin
menjelang akad nikah di Desa Cetan. serta analisa mengenai faktor apa saja
yang membuat masyarakat Desa Cetan masih melakukan tradisi pingitan pada
calon pengantin wanita dan pandangan Hukum Islam tentang tradisi pingitan
11
pengantin. Menguraikan hasil observasi yang berisi tentang mitos yang
berkembang pada tradisi pingitan tersebut.
Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
12
BAB II
TRADISI PINGITAN PENGANTIN
A. Pengertian Tradisi (‘urf)
Dalam literatur ilmu Ushul Fiqih, pengertian adat (al-adah) dan „urf
mempunyai peranan yang cukup signifikan. Kedua kata berasal dari bahasa arab
yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia yang baku. Kata „urf berasal dari kata
„araf yang mempunyai derivasi kata al-ma‟ruf yang berarti sesuatu yang
dikenal/diketahui.1 Sedangkan kata adat berasal dari kata „addah yang
mempunyai derivasi kata al-adah yang berarti sesuatu yang diulang-ulang
(kebiasaan).
Arti „urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, „urf ini sering
disebut sebagai adat.2
Menurut Abdul Wahab Al-khalaf, „urf adalah apa yang dikenal oleh manusia
dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan, dan
disebut juga adat. Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „„urf dan
adat. Adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia jual beli dengan tukar
menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan, seperti
kebiasaan umat manusia menyebut al-walad secara mutlak berarti anak laki-laki,
bukan anak perempuan, dan kebiasaan mereka untuk mengucapkan kata daging
sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan menusia menurut derajat mereka,
secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma‟, yang terbentuk dari
kesepakatan para Mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.3 Musthafa
Ahmad al-zarqa‟ (guru besar fiqih Islam di Universitas Amman, Jordania),
mengatakan bahwa, „urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari
1 Amir Syarifudin, Ushul Fiqih, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001), h.363.
2 Rahmat Syafe‟I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia: 2007), h. 128.
3 Abdul Wahab Al-khalaf, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 117.
13
„urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang didaerah
tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah kebiasaan
alami sebagaimana yang berlaku dikebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu
pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas para Ulama Ushul Fiqih, dalam
kaitannya dengan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟ adalah „urf
bukan adat.4
B. Macam-Macam ‘Urf
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dan Ahmad Musthafa al-Zarqa‟ serta para Ulama
Ushul fiqih membagi „urf menjadi tiga macam:5
1. Dari segi objeknya, „urfdibagi kepada:
a. Al-‟urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkpana itulah yang
dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya: kata daging
yang berarti daging sapi; padahal kata daging mencakup seluruh daging
yang ada.
b. Al-‟urf al-„amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud perbuatan
biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang
tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti kebiasaan masyarakat
dalam memakai pakaian tertentu dalam acara khusus.
2. Dari segi cakupannya, „urf dibagi kepada:
a. Al-‟urf al-„am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, dalam jula beli
mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil termasuk
dalam harga jual, tenpa akad sendiri dan biaya tambahan.
4 Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139
5 Ibid, h. 139-141.
14
b. Al-‟urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di
daerah tertentu. Misalnya, kebiasaan mengenai penentuan masa garansi
terhadap barang tertentu.
3. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf dibagi kepada:
a. Al-‟urf al-shahih, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis), tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka.
Misalnya, dalam masa pertunangan pria memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin.
b. Al-‟urf al-fasid, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang ada
dalam syara‟. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang sesama pedagang.
C. Kedudukan ‘urf Sebagai Metode Istinbath Hukum
Sumber hukum Islam terbagi menjadi dua, manshush (berdasarkan nash) dan
ghairu manshush (tidak berdasarkan nash). Manshush terbagi menjadi dua yaitu
al-Quran dan al-Hadis, Ghairu manshush terbagi menjadi dua yakni muttaqaf
„alaih (ijma‟ dan qiyas) dan mukhtalaf fih (istihsan, „urf, istishab, sad ad dzarai‟,
maslahah mursalah, qaul shohabi, dan lain-lain).
„urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara‟ tersendiri. Pada
umumnya „urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan „urf dikhususkan
lafal yang „amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena „„urf pula terkadang
qiyas ditinggalkan.
Para Ulama banyak yang sepakat dan menerima „urf sebagai dalil dalam
mengistinbathkan hukum, selama ia merupakan al-‟urf al-shahih dan tidak
bertentangan dengan hukum Islam, baik berkaitan dengan al-‟urf al-„amm atau
al-‟urf al-khas.
15
Seorang Mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al Qarafi,
harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan suatu kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.
Seluruh Ulama madzhab, menurut imam Syatibi dan imam Ibnu Qayim al
Jauziah, menerima dan menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan
hukum, apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang
dihadapi.6
Ada beberapa alasan „urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:7
1. Hadis Nabi yang dinukil oleh Djazuli dalam bukunya yang berbunyi:
ع عثد هللا ات يسعد قال ا هللا عس اطهع في قهب انعثاد فجد قهة يحد خير قهب انعثاد ثى اطهع
في قهب انعثاد تعد قهة يحد فجد قهب اصحات خير قهب انعثاد فاخترى ندي يقاته عهى دي
انسه سيأ ف عد هللا سيئ )را انطثراي(فا را انسه حساا ف عد هللا حس يا را
Artinya : Dari Abdullah bin Mas‟ud berkata bahwa sesungguhnya Allah
ada dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhamad,
hamba seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih
sesuatu yang baik untuk agamanya dan mereka akan berperang demi
agamanya, maka apa yang dianggap baik oleh orang-orang islam, maka hal
itu baik pula di sisi Allah dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang
islam, maka hal itu buruk pula di sisi Allah. (HR. Thabrani) 8
Hal ini menunjukkan bahwa segala adat kebiasaan yang dianggap baik
oleh umat Islam adalah baik menurut Allah, karena apabila tidak
melaksanakan kebiasaan tadi, mak akan menimbulkan kesulitan.
Dalam kaitan ini Allah berfirmandalam QS. Al-Hajj (22) : 78
6 Ibid, h. 142.
7 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2000), h. 186-187. 8 Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bazzâr dan al-Thabrâni dari Ibnu Mas‟ûd, dan
para periwayatnya dapat dipercaya penuh (dalam Majma‟ al-Zawâ‟id, juz I/178). Lihat Wahbah al-
Zuhaylî, Ushûl…, juz II: 830.
16
.......وي حرج ليي ٱووا جعل عنيكه ف ججبىكه ٱهو ........
Artinya: “….dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam aama
suatu kesempitan….
2. Hukum Islam di dalam khitab-nya memelihara hukum-hukum Arab yang
maslahat seperti perwalian nikah oleh pria, menghormati tamu dan
sebagainya.
3. Adat kebiasaan manusia baik berupa perbuatan maupun perkataan berjalan
sesuai dengan aturan hidup manusia dan keperluaanya, apabila dia berkata
ataupun berbuat sesuai dengan pengertian dan apa yang biasa berlaku pada
masyarakat.
Adat atau „urf dengan persyaratan-persyaratan terntentu dapat dijadikan
sandaran untuk menetapkan suatu hukum, bahkan di dalan sistem hukum Islam
kita kenal kaidah kulliyah fiqhiyah yang berbunyi:9
شريعح يحكحانعادج
1. Maksudnya, adat dapat dijadikan hukum untuk menetapkan suatu hukum
syara‟
عادج يحكحنا
2. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum10
Para ulama Ushul fiqih menyatakan bahwa suatu „urf baru dapat dijadikan
sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:11
9 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada,
2000), h. 185. 10
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 143. 11
Ibid, h. 143-144.
17
1. „urf itu berlaku secara umum, artinya „urf itu berlaku dalam mayoritas
kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya
dianut oleh mayoritas masyarkat tersebut.
2. „urf itu telah masyarakat ketika persoalan yang kan titetapkan hukumnya
itu muncul. Artinya, „urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih
dahulu ada sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. „urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam
suatu transaksi.
4. „urf itu tidak bertentangan dengan nash.
D. Syarat-Syarat Al-’urf
Mereka yang mengatakan al-‟urf adalah hujjah, memberikan syarat-syarat
tertentu dalam menggunakan al-‟urf sebagai sumber hukum diantaranya sebagai
berikut :
1) Tidak bertentangan dengan Alquran atau sunnah. Jika seperti kebiasaan orag
minum khamr, riba, berjudi, dan jual beli gharar (ada penipuan) dan yang
lainnya maka tidak boleh diterapkan.
2) Adat kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi dalam setiap muamalah mereka,
atau pada sebagian besarnya. Jika hanya dilakukan dalam tempo tertentu atau
hanya beberapa individu maka hal ini tidak dapat dijadikan sumber hukum.
3) Tidak ada kesepakatan sebelumnya tentang penentangan terhadap adat
tersebut. Jika adat suatu negeri mendahulukan sebagian mahar dan menunda
sebagiannya, namun kedua calon suami isteri sepakat untuk membayarnya
secara tunai lalu keduanya berselisih pendapat, maka yang menjadi patokan
adalah apa yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, karena tidak ada arti
bagi sebuah adat kebiasaan yang sudah didahului oleh sebuah kesepakatan
untuk menentangnya.
4) Adat istiadat tersebut masih dilakukan oleh orang ketika kejadian itu
berlangsung. Adat lama yang sudah ditinggal orang sebelum permasalahan
18
muncul tidak dapat digunakan, sama seperti adat yang baru lahir setelah
permasalahannya muncul.12
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1) Adat harus berbentuk dari sebuah perbuatan yang sering dilakukan orang
banyak dengan berbagai latar belakang dan golongan secara terus menerus,
dan dengan kebiasaan ini, ia menjadi sebuah tradisi dan diterima oleh akal
pikiran mereka. Dengan kata lain, kebiasaan tersebut merupakan adat kolektif
dan lebih khusus hanya sekadar adat biasa karena adat dapat berupa adat
individu dan adat kolektif.
2) Adat berbeda dengan ijma‟. Adat kebiasaan lahir dari sebuah kebiasaan yang
sering dilakukan oleh orang yang terdiri dari berbagai status sosial, sedangkan
ijma‟ harus lahir dari kesepakatan para ulama mujtahid secara khusus dan
bukan orang awam. Dikarenakan adat istiadat berbeda ijma‟ maka legalitas
adat terbatas pada orang-orang yang memang sudah terbiasa dengan hal itu,
dan tidak menyebar kepada orang lain yang tidak pernah melakukan hal
tersebut, baik yang hidup satu zaman dengan mereka atau tidak. Adapun ijma‟
menjadi hujjah kepada semua orang dengan berbagai golongan yang ada pada
zaman itu atau sesudahnya sampai hari ini.
3) Adat terbagi menjadi dua kategori : ucapan dan perbuatan. Adat berupa
ucapan misalnya adalah penggunaan kata walad hanya untuk anak laki laki,
padahal secara bahasa mencakup anak laki-laki dan perempuan dan inilah
nahasa yang digunakan Al-quran,
ولدكه لذلكر وثل حظ لل ٱ يوصيكه ثيي ٱف أ
ل
12
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Sinar Grafika Offset:
Jakarta) 2009, h. 170.
19
“Allah mensyari‟atkan bagimu tentang anak-anakmu. Yaitu : Bagian seorang
anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS. An-Nisa‟
(4) :11).
4) Sedangkan adat yang berupa perbuatan adalah setiap perbuatan yang sudah
biasa dilakukan orang, seperti dalam hal jual beli, mereka cukup dengan cara
mu‟athah (menerima dan memberi) tanpa ada ucapan, juga kebiasaan orang
mendahulukan sebagian mahar dan menunda sisanya sampai waktu yang
disepakati 13
E. Legalitas Al-’’urf
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa al-‟urf merupakan hujjah dan dianggap
sebagai salah satu sumber hukum syariat. Mereka bersandar pada dalil-dalil
sebagai berikut.
Firman Allah SAW :
معفو ٱ خذ مر ةعرض عي معرف ٱوأ
١٩٩ مجهني ٱوأ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.
(QS. Al-A‟raf : 199)
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya mengamalkan adat sebab jika tidak
wajib Allah tidak menyuruh Rasullah SWT.
1. Hadits Rasulullah SAW, “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka ia
juga baik di sisi Allah”. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang dianggap
baik oleh kaum muslimin maka hal itu juga baik di sisi Allah dan jika
memang begitu maka wajib diamalkan dan dijadikan sandaran hukum.
2. Syariat Islam sangat memperhatikan aspek adat kebiasaan orang Arab dalam
menetapkan hukum. Semua ditetapkan demi mewujudkan kemaslahatan bagi
khalayak ramai, seperti akad dan mewajibkan denda kepada pembunuhan
13
Ibid, h. 168.
20
yang tidak disengaja. Selain itu, Islam juga telah membatalkan beberapa
tradisi buruk yang membahayakan, seperti mengubur anak perempuan dan
menjauhkan kaum wanita dari harta warisan Islam mengakui keberadaan
adat istiadat yang baik.
3. Syariat Islam memiliki prinsip menghilangkan segala kesusahan dan
memudahkan urusan manusia dan mewajibkan orang untuk meninggalkan
sesuatu yang sudah menjadi adat kebiasaan mereka karena sama artinya
dengan menjerumuskan mereka ke dalam jurang kesulitan. Agar mereka
tidak terjatuh dalam jurang ini, kita harus mengakui adat kebiasaan
mereka.14
sebagaimana firman Allah SAW :
فقوايديكه إل لل ٱف شبيل وأ
ةأ إن تلهنكة ٱول ثنقوا وا حص
وأ
١٩٥ لىحصني ٱيب لل ٱ “Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan”.(QS. Al-Hajj (22) :78)
Dan firman Allah SAW :
معس ٱول يريد ةكه ميس ٱةكه لل ٱيريد معدة ٱوتلكىنوا وا لل ٱوتلكب
وا هدىكه ومعنك ١٨٥ه تشكرون لع“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu”.(QS. Al-Baqoroh (2) : 185)
F. Pengertian pingitan pengantin
14
Ibid, h. 169.
21
Pingitan, berpingitan: berkurung di dalam rumah tanpa sama sekali. Memingit
; menurung dalam rumah. Pingitan ; Sesuatu yang di pingitan.15
Sengkeran atau Pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk
memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga. Dipingitan adalah istilah
yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak kemana-mana maksudnya
adalah agar calon pengatin aman dan segar bugar. Pada dasarnya pingitan
pengantin itu sama antara daerah satu dengan daerah yang lain, namun pada
pelaksanaannya saja yang berbeda. Menurut ethicalweddings.com pingitan
pengantin adalah calon pengantin putri tidak diperbolehkan keluar rumah atau
bertemu calon pengantin putra sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, yaitu
sebelum acara akad nikah. Kedua mempelai harus tidak saling bertemu dulu.
G. Asal Usul Tradisi Pingitan.
Pendidikan anak perempuan menurut adat-istiadat lebih terikat kepada
lingkungan rumah. Semua kebebasan dan pendidikan yang dinikmati anak-anak
gadis itu berakhir, begitu ia menginjak dewasa dan menjelang pernikahan.
Ukuran dewasa bagi gadis-gadis remaja yang hidup di daerah tropis sangat cepat,
sekitar 10 sampai 12 tahun. Mulai dipersiapkan untuk kehidupan berkeluarga
dengan memasuki dunia pingitan.
Pingitan adalah dunia wanita, dimana gadis-gadis kecil mulai belajar bekerja.
Bidang pekerjaannya adalah membantu ibu mereka mengasuh dan mengurus
adik-adik mereka yang masih kecil, belajar memasak dan menjahit, serta
kecakapan-kecakapan lain yang perlu dimiliki ibu rumah tangga. Rumah tangga
adalah tiang masyarakat,dan masyarakat adalah tiang Negara, sebab itu setiap
wanita harus menjadi ibu yang baik dan cakap dalam penanganan rumah tangga.
Tradisi pingitan ini sudah ada pada zaman keraton atau zaman kerajaan
Yogyakarta. Pada zaman keraton Yogyakarta yang dipimpin Sri Sultan
Hamengkubuwono 1, tradisi pingitan pengantin sudah ada sejak zaman nenek
15
Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia. tt. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Difa Publiser.
h. 655
22
moyang mereka dan tradisi ini merupakan tradisi Jawa asli yang dijadikan
sebagai tradisi turun temurun. Pada zaman dahulu para pendatang dari
Yogyakarta dan Solo datang ke Desa Cetan termasuk di Desa Cetan dan
membawa tradisi dan bahasa Jawa halus (krama inggil).
Mereka tinggal berdampingan bersama masyarakat Desa Cetan dan kemudian
mereka menikah dengan masyarakat Desa Cetan tersebut. Dan disaat pernikahan
tersebut semua adat dari Yogyakarta dan Solo diterapakan di acara pernikahan,
sehingga berbagai adat tersebut merupakan tradisi turun temurun yang wajib
dilestarikan sampai sekarang.16
H. Urutan Tahapan Prosesi Lamaran Sebelum Pingitan Pengantin
Di bawah ini adalah kegiatan yang biasa dilakukan di desa Cetan Dukuh
Morisan sebelum pernikahan dimulai setelah acara lamaran, ada empat tahapan
yang dilakukan, penulis membaginya berdasarkan buku Sumarsono, 2010 dalam
makalah Oktaviana Wibawati, yaitu tahap pembicaraan, kesaksian, tahap siaga,
dan tahap rangkaian upacara :17
1. Tahap Pembicaraan pada tahap ini dilakukan oleh kedua keluarga, keluarga
calon pengantin pria melamar ke rumah keluarga sang calon pengantin
wanita.
2. Tahap Kesaksian tahap ini merupakan peneguhan pembicaraan yang
disaksikan oleh pihak ketiga yaitu warga kerabat dan atau para sesepuh di
kanan-kiri tempat tinggalnya memalui acaraacara sebagai berikut:
a. Sisetan
Upacara sisetan dilakukan dengan cara pihak keluarga mempelai pria
datang ke calon mempelai wanita, sebagai acara bahwa pihak calon
mempelai wanita sudah tidak boleh lagi menerima pinangan dari pihak
lain. Pihak keluarga calon mempelai membawa penyingset (serah
16
Nurul Hidayah, Tradisi Pingin Pengantin Dalam Pandangan Hukum Islam (Study Kasus
Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali), Institut Agama Islam Negeri Salatiga (IAIN) Salatiga, h. 35 17
Setyaningtyas, Oktaviana Wibawati. 2010. Perkembangan Pernikahan Adat Jawa Timur.
Makalah. Dipublikasikan. Fak. Ilmu Sosial Pend. Sejarah. UM. h. 9-15
23
serahan) sebagai tali hubungan. Bawaan yang harus ada adalah jadah,
diartikan jadah yang lengket sebagai simbol mempererat tali
silaturrahmi. Disamping itu membawa pula makanan sebatas
kemampuan yang diberikan oleh pihak keluarga calon mempelai wanita.
b. Balen
Beberapa hari setelah acara sisetan diadakan acara yang disebut balen,
yaitu acara mengulang pembicaraan pada sisetan yang kemudian
memastikan kepastian acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh pihak
dari calon mempelai wanita yang datang ke rumah calon mempelai pria.
Calon pengantin wanita tidak perlu menghadiri acara sisetan, hanya
keluarganya saja yang datang untuk merundingkan hari pernikahan.
Yang harus dibawa bukan lagi jadah tapi wajik serta barang-barang
bawaan lain.
3. Tahap Siaga pada tahap ini, yang akan mempunyai hajat mengundang para
sesepuh dan sanak saudara untuk membentuk panitia guna melaksanakan
kegiatan acara-acara pada waktu sebelum, bertepatan, dan sesudah hajatan.
1) Mulai merancang dan membagi undangan 2) Membentuk panitia hajatan
3) Calon pengantin melapor ke KUA (tempat domisili pengantin putri). Ini
dilakukan untuk memberi tanda di Kantor Catatan Sipil akan ada hajatan
mantu, dengan cara Ijab
4. Tahap Rangkaian upacara tahap ini bertujuan menciptakan nuansa hajatan
mantu sudah tiba. Ada beberapa acara dalam tahap ini, yaitu:
a. Pasang Tarub dan dekorasi Adapun ciri khas tarub adalah dominasi
hiasan daun kelapa muda (janur), sedangkan dekorasi digunakan sebagai
tempat duduk kedua mempelai yang dihiasi dengan berbagai macam
bunga untuk mempercantik dekorasi.
b. Kembar Mayang Kembar mayang digunakan untuk mengiringi pengantin
ketika kedua mempelai dipertemukan. Kembar mayang dibawa oleh
24
domas (wanita) dan manggolo (pria). Barang-barang untuk kembar
mayang antara lain :
1) Batang pisang, 4 potong, untuk hiasan. Biasanya diberi alas dari
tabung yang terbuat dari kuningan atau piring..
2) Janur kuning, yang dibentuk dengan berbagai macam, seperti bentuk
keris, cambuk, burung, dll.
3) Daun-daunan: daun kemuning, beringin serta ranting-rantingnya,
daun puring, dan daun andong.
25
BAB III
MONOGRAFI DESA CETAN
A. Kondisi Geografis
Secara geografis Desa Cetan adalah desa yang terletak di Kecamatan
Ceper Kabupaten Klaten, topografi desa ini berupa dataran rendah yang
berada di ketinggian tanah 133 m dari permukaan laut, Berdasarkan buku data
Monografi desa Cetan tahun 2017 banyaknnya curah hujan per tahun adalah
248 mm. Begitupun dengan luas wilayahnya yang mencapai 111.0065 Ha
yang berbatasan dengan Desa Tegalrejo di sebelah Utara, Jambukidul di
sebelah Selatan, Kurung di sebelah Barat dan Kedungan Kecamatan Pedan di
sebelah Timur.1
Table 1.1
Batas Wilayah Desa Cetan
No. Batas Wilayah Desa/Kel Kecamatan
1 Sebelah Utara Tegalrejo Ceper
2 Sebelah Selatan Jambukidul Ceper
3 Sebelah Barat Kurung Ceper
4 Sebelah Timur Kedungan Pedan
Desa Cetan sendiri memiliki 21 RT dan 8 RW, dan ruang lingkup dari
kepengurusan RT dan RW masing-masing memegang 3 jenis kegiatan yakni
pelayanan umum, pelayanan kependudukan dan pelayanan legalisasi.2
Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan Desa) menuju pusat
pemerintahan dapat ditempuh dengan jarak:
a. Jarak dari pusat pemerintahan Desa / Kelurahan : 2 Km
b. Jarak dari Ibukota Kabupaten/Kota : 12 Km
c. Jarak dari Ibukota Provinsi : 110 Km
1 Data Monografi Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten Semester I Th. 2017
2 Ibid.
26
d. Jarak dari Ibukota Negara : 680 Km
Adapun untuk luas wilayah peruntukan dari Desa Cetan sendiri dapat
dilihat dari table dibawah ini:
Tabel 1.2
Luas Wilayah Desa Cetan Menurut Peruntukan
No Batas Wilayah
Peruntunkan
Luas / Jumlah
1 Jalan 17,676 Km
2 Sawah dan Ladang 77,7580 Ha
3 Bangunan Umum 0.6025 Ha
4 Pemukiman/Perumahan 28,7365 Ha
5 Perkuburan 0,8700 Ha
6 Lain-lain 1,0170 Ha
B. Kondisi Penduduk
Berdasarkan data Administrasi Pemerintahan Desa tahun 2017 jumlah
penduduk di Desa Cetan sekitar 3286 jiwa dengan jumlah laki-laki 1598
orang dan untuk perempuan 1688 orang. Kemudian untuk jumlah kepala
keluarga pada masyarakat Desa Cetan, pada tahun 2017 mencapai 1.098 KK.3
Table 1.4
Jumlah Penduduk Menurut Usia Kelompok Pendidikan
No. Usia Jumlah
1. 00-03 278 orang
2. 04-06 235 orang
3. 07-12 322 orang
4. 13-15 319 orang
3 Ibid
27
5. 16-18 330 orang
6. 19-ke atas 1962 orang
Tabel 1.5
Jumlah Penduduk Menurut Usia Kelompok Tenaga Kerja
No. Usia Jumlah
1. 10-14 396 orang
2. 15-19 409 orang
3. 20-26 535 orang
4. 27-40 599 orang
5. 41-56 452 orang
6. 57 tahun – ke
atas
258 orang
C. Keadaan sosial ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat Desa Cetan terfokuskan kepada mata
pencaharian pokok seperti, pertanian, buruh tani, wiraswasta/pedagang dan
jasa. Akan tetapi potensi dan perkembangan mata pencaharian masyarakat
Desa Cetan sangat mendominasi dalam bidang pertanian, karena di
sepanjang jalan Desa Cetan banyak sekali tanah sawah yang dikelola oleh
masing-masing kepala keluarga maupun buruh tani, khususnya orang
dewasa yang telah memiliki anak. Berbeda dengan dengan anak-anak
mereka atau para pemuda disana yang kebanyakan dari mereka bekerja di
luar Desa.
Mata pencaharian pokok dari Desa Cetan yang mendominasi dalam
bidang pertanian, wiraswasta/pedagang dan ternak. dapat dilihat dari
pendapatan perkapita menurut sektor usahanya. Selanjutnya untuk
28
mengetahui jenis mata pencaharian dari masyarakat Desa Cetan dapat dilihat
dari diagram tabel dibawah ini :4
Tabel 1.5
Data Mata Pencaharian Pokok Desa Cetan
No Jenis Pekerjaan Laki-laki
1 PNS 52 orang
2 ABRI 14 orang
3 Karyawan Swasta 139 orang
4 Wirasasta/Pedagang 286 orang
5 Tani 182 orang
6 Pertukangan 174 orang
7 Buruh Tani 602 orang
8 Jasa 47 orang
9 Pensiunan 122 orang
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper
Kabupaten Ceper Jawa Tengah 2017
D. Kondisi Pendidikan
Pendidikan adalah satu hal terpenting dalam memajukan tingkat SDM
yang dapat berpengaruh dalam jangka panjang pada peningkatan
perekonomian. Dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan
mendongkrak tingkat kecakapan dan sosial masyarakat yang pada nantinya
akan mendorong keterampilan di bidang kewirausahaan dan lapangan kerja
4 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Cetan 2017
29
baru, sehingga akan membantu program pemerintahan dalam mengentaskan
pangangguran dan kemiskinan.
Walaupun kebanyakan dari pada orang tua disana tidak melanjutkan
pendidikan mereka ke jenjang yang lebih tinggi, akan tetapi perhatian
masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka sangatlah
besar, demi mencapai hidup yang lebih baik.5 Adapun untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
Tabel 1.5
Jumlah Penduduk Menurut tingkat Lulusan Pendidikan
Pendidikan Jumlah
Taman Kanak-kanak 36 orang
Sekolah Dasar 118 orang
SMP/SLTP 159 orang
SMA/SLTA 144 orang
Akademik(D1-D3) 27 orang
Sarjana(S1-S3) 22 orang
Pondok Pesantren 1 orang
Madrasah 16 orang
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper
Kabupaten Klaten Jawa Tengah 2017
Dari di atas menunjukan bahwa mayoritas penduduk Desa Cetan sudah
mampu menyelesaikan sekolah di jenjang pendidikan wajib belajar sembilan
tahun. Dalam hal kesediaan sumber daya manusia yang memadai dan
memumpuni, keadaan ini merupakan tantangan tersendiri.
Rendahnya kualitas tingkat pendidikan di Desa Cetan tidak terlepas
dari terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, disamping itu
tentu masalah ekonomi dan pandangan hidup masyarakat. Sarana pendidikan
5 Ibid
30
di Desa Cetan baru tersedia di tingkat pendidikan sekolah dasar yaitu TK dan
SD saja, sementara untuk pendidikan tingkat pertama dan menengah ke atas
berada di luar desa.
Tabel 1.8
Pendidikan Formal6
Nama Jumlah Status Kepemilikan Pengajar Siswa
TK 2 Terdaftar Swasta 6 86
SD 1 Terdaftar Pemerintah 10 129
SD 1 Terdaftar Swasta 9 148
Sumber : Badan Pemberdayaan Mayarakat Desa Cetan Kecamatan
Ceper Kabupaten Klaten Jawa Tengah 2017
E. Kondisi Sosial Keagamaan
Mengingat urgensinya kerukunan antar umat beragama, maka MPR
dalam sidangnya pada tahun 1978 melalui ketetapan No. IVMPR/1978
tentang GBHN BAB IV di bidang agama, menyatakan bahwa :
Angka 1 huruf b : kehidupan keagamaan dan kepercayaan kepada
Tuhan yang Maha Esa makin dikembangkan, sehingga terbina rukun diantara
sesama umat beragama, diantara sesama penganut kepercayaan terhadap
Tuhan yang maha Esa dalam usaha memperkokoh kesatuan dan persatuan
bangsa dan meningkatkan amal untuk bersama-sama membangun
masyarakat.7
Diantara umat beragama yang ada di Desa Sugihwaras, yaitu: warga
yang beragama Islam terdapat 3190 orang, beragama Kristen 78 orang, dan
6 Ibid
7 Syamsir Salam dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 107
31
untuk warga yang beragama Katolik sebanyak 18 orang.8 Untuk lebih
jelasnya keadaan sosial keagamaan di Desa Sugihwaras dapat dilihat dari
tabel berikut :
Tabel 1.10
Agama/Aliran Kepercayaan
Agama Jumlah Prosentase
Islam 3190 Orang 97.0785%
Kristen 78 Orang 2.3737%
Katolik 18 Orang 0.5477%
Sumber : Data Monografi Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten
Mayoritas penduduk Desa Cetan kebanyakan dari mereka adalah
pemeluk agama Islam, terlihat dari prasarana peribadatan yang berada di Desa
Cetan memiliki jumlah Masjid sebanyak 6 buah dan Langgar/Surau/Musholla
berjumlah 4 buah. Sedangkan prasarana peribadatan untuk pemeluk agama
Kristen dan Katolik 1 buah.9
Pada kenyataannya, tingginya angka pemeluk agama Islam dalam
suatu masyarakat tidak serta merta di iringi dengan tingginya angka keaktifan
dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Hal tersebut terjadi di masyarakat
Desa Sugihwaras, dimana penduduknya mayoritas memeluk agama Islam
namun cenderung pasif dalam melakukan kegiatan dalam bidang keagamaan.
8 Data Monografi Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten Semester I Th. 2017
9 Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Sugihwaras 2017
32
BAB IV
ANALASIS TRADISI PINGITAN CALON PENGANTIN MENJELANG
AKAD NIKAH DI DESA CETAN, KECAMATAN CEPER, KLATEN, JAWA
TENGAH
A. Kegiatan Pingitan Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah
1. Proses Pingitan Desa Cetan, Kecamatan Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa
Tengah.
Saat-saat menjelang perkawinan, di Desa Cetan melakukan “pingitan”
bagi calon mempelai putri selama beberapa hari yang disepakati kedua
mempelai, ada yang melakukan pingitan tiga hari, satu minggu bahkan ada
yang melakukannya selama satu bulan, tergantung dari kesepakatan kedua
mempelai. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak
boleh bertemu dengan calon mempelai putra.1
Biasanya dalam prosesi pingitan seluruh tubuh pengantin putri dilulur
dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat
jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat
pangling orang yang menyaksikannya, akan tetapi di Desa mengalami
penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman, seperti halnya prosesi
perawatan dan puasa yang biasanya dilakukan tujuh hari sebelum akad
dilakukan itu tidak berlaku lagi, namun untuk perawatan misalnya meminum
jamu-jamuan dan puasa dilakukan satu hari sebelum hari akad dilaksanakan.
2. Pelaku Pingitan Desa Cetan, Kecamatan Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa
Tengah.
Saat menjelang pernikahan keluarga dari kedua belah mempelai pasti
sangat repot, karena banyak yang harus dipersiapkan antaranya seperti;
1 Hasil wawancara dengan Bapak H. Sarjiman (Tokoh Masyarakat), wawancara pada tanggal
20 Oktober 2017
33
undangan, jamuan makanan tamu, dekorasi, tempat resepsi, gaun pengantin
dan lain-lain. Seperti halnya yang dilakukan oleh Ajeng 27 Tahun warga Desa
Cetan Rt 07, Rw 02 yang akan menikah dengan Hendriwan Warga Desa
Cetan Rt 5, Rw 03, mereka juga melangsungkan tradisi pingitan seperti hanya
yang dikatakannya dalam wawancara sebagai berikut :
Calon mempelai wanita
Ajeng:“ Saya tidak keberatan untuk melakukan tradisi pingitan, toh itu
hanya 3 (tiga) hari saja, besok setelah itu kan juga akan ketemu selamanya
kok (dengan sedikit senyum malu), kata orang tua saya itu juga manfaat biar
saya dengan mas mantu tidak sering beranten tidak baik mau menikah kok
malah beramtem terus, selama 3(tiga ) hari ini saya berpuasa untuk ngeresiki
jiwo (bersihin jiwa) itupun juga manut (nurut) orang tua, dan saya tidak
melakukan luluran atau perawatan atau yang lainnya, hanya diam saja
dirumah aja itu udah cukup” 2
Calon mempelai pria.
Hendriwan: “saya manut (nurut) orang tua aja, tradisi pingitan juga
tidak merugikan atau meropotkan, yang penting nurut orang tua aja karena
orang yang lebih tahu mana yang baik untuk anaknya”. 3
Melihat dari hasil wawancara kedua calon pengantin kelihatan bahwa
keduanya tidak keberatan dalam melaksanakan tradisi pingitan pengantin dan
mereka tidak begitu mengetahui makna dari tradisi tersebut. Mereka
melakukan tradisi itu atas dasar perintah orang tua. Dan yang mereka tahu dari
tradisi ini adalah warisan leluhur yang turun temurun pada anak cucunya,
bahkan mereka tidak tahu bagaimana Islam memandang tradisi ini, yang
2 Wawancara dengan Ajeng (Pelaku Pingitan Pengantin), 23 Oktober 2017
3 Wawancara dengan Hendriawan (pelaku Pingitan Pengantin), wawancara tanggal 23
Oktober 2017
34
mereka tahu kalau tradisi ini adalah kegiatan adat yang harus dilakukan
menurut perintah orang tuanya.
Sebelum hari akad nikah dilaksanakan. Kegiatan tradisi pingitan
pengantin yang dilakukan oleh Ajeng tidak neko-neko (aneh-aneh) hanya
berias diri dan berkumpul dengan sanak keluarga yang datang untung
menghadiri pernikahannya. Hanya saja calon pengantin tidak boleh untuk
bertemu dulu dengan calon pengantin pria.
Dua (2) hari sebelum hari akad nikah dilaksankan warga Desa Cetan
sudah berdatangan di rumah calon pengantin untuk membantu
mempersiapkan pernikahan, khusus ibu-ibu diberi amanah atau dipasrahi
untuk memasak didapur biasanya membuat jenang, jadah, wajik dan
sebagainya. Dan untuk bapak-bapak 1 (satu) hari sebelum hari akad nikah
dilaksanakan sambatan (bantu-bantu) usung –usung (mengakat barang dari
tempat satu untuk dipindahkan ketempat lain) ambil peralatan seperti meja,
kursi, gelas, piring, nampan, teko dan lain-lain. Setelah prosesi pemotretan
pengantin ini masa pingitan yang dilakukan oleh kedua mempelai yaitu Ajeng
dan Hendriwan sudah selesai, karena sudah melakukan Ijab Qobul. Kemudian
kedua mempelai melanjutkan acara dengan sebutan krumpul, yaitu
bertemunya dua mempelai pengantin dalam rangkaian adat yang harus
dilakukakan seperti ngidah endok (pengijakan telor oleh pengantin pria yang
dilakukan pada waktu prosesi pernikahan, dengan maksud mempelai pria siap
memberikan keturunan), sungkeman (kedua mempelai meminta restu pada
kedua orang tua), balang janur ( lempar-lemparan janur yang sudah dikiat
kecil yang dilakukan oleh kedua mempelai dengan tujuan memperkenalkan
diri dalam satu ikatan suami istri ) dan lain-lain.
3. Landasan Masyarakat Desa
Kepercayaan atas tradisi yang diwarisklan nenek moyang Desa Cetan
sangat melekat pada jiwa masyarakatnya, khususnya pada tradisi pingitan
pengantin. Tradisi ini masih dilestarikan oleh masyarakat Desa Cetan,
35
walaupun ritual dalam pelaksanaannya tidak sepadat yang dulu lagi. Tradisi
pingitan di Desa Cetan untuk sekarang hanya dilakukan tujuh hari sebelum
akad nikah dilaksanakan, dan prosesi pingitan seperti perawatan tubuh dan
puasa hanya dilakukan sehari sebelum hari akad nikah dilaksanakan tentunya
dengan panduan dukun nikah (orang yang dipercayai dalam mengatur ritual
nikah).
Landasan yang membuat masyarakat Desa tetap untuk melaksanakn
tradisi pingitan tersebut karena mereka sangat menghargai budaya leluhur,
dan mereka mempunyai keyakinan apabila mereka tidak melakukan tradisi
pingitan maka akan mendapatkan musibah, misalnya batalnya pernikahan atau
musibah lainnya yang lebih buruk. Masyarakat Desa Cetan percaya bahwa
tradisi pingitan perlu dilakukan ntuk menjamin keselamatan calon pengantin
perempuan dari mara bahaya yang mungkin mengancamnya di luar sana.
Pilihan masyarakat yang lebih melestarikan budaya dengan melaksanakan
tradisi pingitan karena mereka
B. Pendapat Masyarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten
Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
Tabel 3.5 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Cetan Kecamatan Ceper
Kabupaten Klaten
NO Nama L/P Umur RT/RW Hasil Wawancara
1 Basri L 38 07/02 Pingitan itu Tradisi calon
pengantin yang tidak boleh
bertemu sebelum ijab qobul,
Tradisi turun temurun yang
harus dilakukan. 4
2 Kati P 35 07/02 Pingitan adalah tidak
diberbolehkan calon pengantin
4 Wawancara dengan Basri pada tanggal 30 Oktober 2017
36
ketemu sampai hari ijab
qobulnya. Tradisi turun
temurun dari nenek moyang,
tidak dipaksakan untuk
melaksanakan atau tidak
melaksanakan tradisi pingitan
tersebut.5
3 Bayat L 50 07/02 Tradisi calon Pengantin yang
tidak boleh ketemu sebelum
kumprol (acara resepsi), boleh
dilakukan.6
4 Ayu P 26 07/02 Calon pengantin wanita dan
pria tidak diperboleh ketemu
seebelum hari H resepsi, tradisi
dari nenek moyang yang lebih
baik dilakukan. 7
Hisyam L 28 07/02 Pingitan Pengantin adalah
pengantin wanita dan pria tidak
boleh ketemu 3 hari sebelum
hari ijab qobul, tradisi ini dari
nenek moyang, kalau disini
tergantung kepercayaan orang
tuanya harus melakukan
pingitan atau tidak. Kalau
menurut mas Hisyam sendiri
5 Wawancara dengan Ibu Kati pada tanggal 30Oktober 2017
6 Wawancara dengan Bapak Bayat pada tanggal 30 Oktober 2017
7 Wawancara dengan Ibu Ayu pada tanggal 3 November 2017
37
tradisi pingitan harus
dilakukan8
6 H. Heri L 60 07/02 Menurut Heri tradisi pingitan
pengantin adalah tradisi
berdiam dirumah dan tidak
saling ketemu antara kedua
mempelai sampai batas waktu
yang ditentukan yaitu hari
pernikahan.
Beliau beranggapan bahwa
tradisi ini masuk dalam
rangkaian pernikahan jadi
lebih baik dilakukan, yang
diturunkan dari leluhur.9
7 Sarjiman L 60 07/02 Menurut Bapak Sarjiman
tradisi pingitan pengantin
adalah
tradisi yang berasal dari nenek
moyang, yaitu antara kedua
mempelai tidak boleh ketemu 3
hari sebelum hari akad nikah
dilaksankan, tidak ada
keharusan untuk melakukan
tradisi ini akan tetapi lebih baik
dilakukan untuk melestarikan
tradisi adat kampung. 10
8 Wawancara dengan Bapak Hisyam pada tanggal 3 November 2017
9 Wawancara dengan Bapak H. Heri pada tanggal 4 November 2017
10 Wawancara dengan Bapak Sarjiman pada tanggal 4 November 2017
38
8 Lanjar P 50 07/02 Menurut ibu Lanjar Pingitan
pengantin tradisi yang
dilakukan calon pengantin
untuk tidak bertemu tiga (3)
hari sebelum hari pernikahan,
menurut ibu Satinem tradisi ini
tidak harus dilakukan menurut
selera sendiri-sendiri atau
kenyakinan keluarga, mempelai
yakini gimana. Tetapi ada
baiknya kalau pingitan tradisi
pingitan Pengantin ini
laksnakan.
Dari hasil observasi dan wawancara pada sebagaian warga Desa Cetan
yang penulis lakukan. Bisa dilihat masyarakat tidak begitu mengharuskan untuk
melaksanakan tradisi pingitan pengantin tersebut, akan tetapi sebagian besar dari
masyarakat tersebut menganjurkan untuk melakukan tradisi pingitan pengantin
tersebut dengan alasan untuk melestarikan budaya leluhur dan melengkapi prosesi
pernikahan agar lebih sakral. Karena diakui pingitan ini banyak manfaatnya bagi
kedua calon pengantin antanya sebagai berikut:
Ini beberapa alasan kenapa tradisi itu dilakukan:
a. Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di
haripernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis dll.
b. Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus di
persiapkan bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah
mental.
39
c. Menghindari godaan setan pastinya, banyak di luar sana yang
menganggap hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam
agama islam sudah jelas itu di haramkan.
d. Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit banyak dan
sangat menyita waktu dan pertengkaran di masa ini kita calon
pasangan dituntut untuk menyatukan dua pemikiran dari pribadi yang
berbeda.
e. Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu
banyak perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak
menemukan titik temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya
memutuskan untuk berpisah.
Dalam kenyataan bermasyarakat di Desa Cetan juga ada yang tidak
melaksanakan tradisi pingitan dalam pernikahannya, namun itu hanya sebagian
kecil saja. Namun sebagian besar masyarakat Desa Cetan lebih memilih
menggunakan pingitan pingantin dalam rangkaian prosesi pernikahan dari mereka
mempertimbangkan manfaat dan mudhorot dalam melakukan atau tidak
melakukan pingitan pengantin mereka mempercayai lebih baik melaksanakan
tradisi pingitan pengantin. Seperti dalam kasus pernikahan pasangan Rini 26
Tahun dari warga Desa Cetan, sebagai calon pengantin wanita dan Sigit 27 warga
Desa Cetan, sebagai calon pengantin laki-laki, pernikahan mereka yang kurang
10 hari dari hari akad nikah dilaksankan ahkirnya batal untuk dilakukan karena
adanya cecok atau perbedaan pendapat pada keduanya, hal itu membuat warga
sekitar berpendapat pernikahan yang batal tersebut akibat tidak dilakukan pingitan
pada calon pengantin sehingga mereka sering beda pendapat serta kemauan yang
berbeda dan berahkir pada putusnya acara pernikahan.
Untuk jangka waktu pingitan masyarakat Desa bervariasi ada yang 3 hari,
7 hari dan 10 hari, sebagaimana yang dikatakan bapak Sarjiman salah satu tokoh
masyarakat Desa sebagai berikut :
40
“Masyarakat Desa dalam melaksanakan tradisi pingitan pengantin dalam
jangka waktu pingitannya berbeda-beda, tergantung dengan keyakinan
sendiri-sendiri, ada yang mealakuan 10 hari ,7 hari bahkan lebih sedikit yaitu
3 hari dan untuk mengisi hari-hari pingitan ada yang melakukan luluran dan
menghias diri bagi calon pengantin wanita, namun juga ada yang tidak
melakukan apa-apa hanya berdiam diri dirumah saja, dan biasanya selain
kegiatan tersebut calon pengantin juga harus berpuasa dengan tujuan
ngeresiki awak(bersihin jiwa)” Jadi menurut bapak Sarjiman jangka waktu
atau jarak pingitan dengan hari akad nikah resepsi tidak di tentukan, itu semua
tergantung selera dan keyakinan keluarga calon pengantin saja.
C. Pendapat Tokoh Masyarakat Desa Cetan, Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa
Tengah Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Desa Cetan,
Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah Tentang Tradisi Pingitan Pengantin
No Nama RT/RW Tanggapan
1 H. Jamin 07/02 Tradisi pingitan pengantin adalah
tradisi yang biasanya dilakukan
oleh calon pengantin, dalam
tradisi kedua pengantin tidak
diperbolehan untuk ketemu
sampai hari Ijab qobul, jangka
waktu pingitan di Desa Cetan
ini umumnya 3 hari saja. Kegiatan
selama 3 hari ini calon pengantin
hanya mengisi dengan berpuasa
saja. Hukum dalam Islam menurut
41
beliau boleh, karena tidak
bertentangan dengan syari‟at
Islam.
Menurut beliau wanita dalam
pingitan menunjukkan kemulian
dan kesucian dan pingitan
termasuk tradisi yang bagus
karena banyak manfaatnya. Hanya
saja mayoritas desa Cetan tidak melihat
dari segi agamanya
mereka melakukan tradisi tersebut
semata-mata karena warisan
leluhur yang mereka percayai dan
mereka percaya akan
mendapatkan musibah apabila
tradisi pingitan pengantin tidak
dilaksanakan, Musibah yang
dimaksud seperti batalnya
pernikahan. Pemikiran seperti itu
yang dibetulkan , karena pendapat
seperti itu cenderung bisa
menyebabkan seseorang menjadi
syirik.
2 Ust. Sugio 07/02 Tradisi pingitan adalah masa –
masa mempersiapkan diri untuk
menghadapi pernikan, jadi
dimasa-masa tersebut calon
pengantin tidak diperbolehan
42
untuk bertemu, dengan tujuan
agar tidak ada perbedaan pendapat
antara kedua mempelai yang
mengakibatkan percecokan yang
berujung dengan hal-hal yang
tidak baik, misalnya sampai
pembatalan pernikahan, untuk itu
dilaksanakan tradisi pingitan
tersebut. Jangka waktunya kalau
untuk kebiasaan masyarakat Desa
Cetan 3 hari dan diisi dengan
berpuasa saja. Tradisi ini sudah
ada sejak dulu dari leluhur, karena
tradisi ini sudah membudaya
dalam masyarakat Desa
Cetan, maka masih
dilestarikan, untuk hukum dalam
Islamnya menurut ustad Sugio
boleh-boleh saja karena dalam
Islam tidak ada larangannya dan
tidak melanggar syari'at Islam.
Karena mereka mempercayai atau
mempunyai keyakinan akan
datangnya musibah dari suatu
budaya yang mengandung mitos,
padahal sesungguhnya musibah itu
datang dari Allah SAW.
3 Ust. H. Yaqub A 07/02 Tradisi pingitan itu adalah tradisi
43
yang pada umumnya dilakukan
oleh calon pengantin, yang
dimaksud dengan pingitan adalah
berdiam diri didalam rumah, jadi
calon pengantin harus berdiam
diri didalam rumah dan tidak
boleh bertemu, jangka waktunya
beragam ada 7,10 dan 3 hari.
Sedangkan masyarakat Desa
Cetan pada umumnya
menggunakan 3 hari saja,
kemudia 3 hari itu di isi dengan
berpuasa. Tujuan pingitan ini
untuk membuat kangen antara
kedua calon pengantin dan
berpuasanya untuk membersihkan
diri agar lebih tenang sehingga
lebih siap dalam menjalankan
resepsi pernikahan dan prosesi
Ijab qobul. Tradisi ini sudah ada sejak
dulu
dari leluhur, dalam Islam menurut
Ustad H. Yakub boleh-boleh saja
karena tidak melanggar syari‟at
Islam, bahkan pada Rasullulah
para wanita juga dipingitan, yaitu
berdiam diri didalam rumah dan
tidak boleh keluara tanpa ada
44
kaum laki-laki yang
mendampinginya, dan dianjurkan
untuk berpakain yang menutup,
agar terhindar dari mara bahaya.
Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan kepada ulama‟
di Desa Cetan, mereka berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin dalam
pandangan Islam boleh, bahkan dianjurkan, karena tradisi pingitan pengantin ini
banyak manfaatnya untuk kedua mempelai. Selain itu dalam syari‟at agama tidak
ada hadits atau dalil yang melarangnya. Pendapat ulama ini tidak membuat
masyarakat Desa untuk tidak melakukan tradisi ini, karena itu tergantung selera
dan kepercayaan sendiri-sendiri.
Para ulama Desa Cetan berpendapat sebenarnya masyarakat menjalani
tradisi itu masih berpengaruh dengan keyakinan yang dianut oleh sesepuh mereka.
Seperti yang disampaikan bapak Turmuji, bahwa masyarakat hanya mengikuti
apa yang sudah dilakukan nenek moyang mereka tanpa melihat dari sisi hukum
Islamnya, karena menurutnya adat yang sudah ada harus dilakukan, kalau tidak
dilakukan takutnya kuwalat (durhaka) dengan leluhur. Masyarakat jawa
khususnya masyarakat Desa percaya bahwa tradisi pingitan perlu dilakukan untuk
menjamin keselamatan calon pengantin perempuan dari mara bahaya yang
mungkin mengancamnya di luar sana. Para ulama‟ menyebut hal itu sebagai
tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek moyang yang belum
tentu benar.
D. Pandangan Hukum Islam tentang Tradisi Pingitan Penganti di Desa Cetan,
Kecamatan Kecamatan Ceper, Klaten, Jawa Tengah.
.
Seperti apa yang Allah jelaskan dalam Al-Qur‟an pada surat Al-Ahzab (33)
45
ج وقرن ى ٱ مجهنية ٱف بيوثكي ول تبجي تب ولقىي ل
لصنوة ٱوأ
طعي لزكوة ٱوءاتي لذهب عكه لل ٱإنىا يريد ۥ ورشول لل ٱوأ
هل لرجس ٱ ٣٣ رياويطهركه تطه ليت ٱأ
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya ”. (Al-Ahzab:33)
Dalam tafsir Al Mukhtasar menjelaskan ه فى تيتك ق ر (dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu) ini merupakan perintah bagi mereka agar menetap dan berdiam
diri di rumah-rumah mereka. هيهح الن ى ج انج ت ث ر ج ل ت ث ره (dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu). Makna
adalah perbuatan wanita yang menampakkan perhiasaan dan kecantikannya (انتثرج)
yang harus ia sembunyikan yang dapat mengundang syahwat laki-laki. هللا أ طع
س ر ۥ ن (dan taatilah Allah dan Rasul-Nya) Dalam segala yang disyariatkan, dan
taatilah Rasulullah dalam segala urusan dunia yang dia perintahkan kepada kalian.
Ayat ini diturunkan bagi mereka, dan ayat sebelum dan sesudahnya juga
diturunkan bagi mereka yang bertaqwa, baik itu istri-istrinya, anak-anaknya, dan
paman-pamannya dan keturunan mereka.11
Berdasarkan tafsir ayat diatas dijelaskan bahwa wanita harus berdiam diri
di rumah, dan menjaga kesuciannya sama seperti halnya pengertian “pingitan”
yang memiliki makna yang sama yaitu calon pengantin harus berdiam diri di
11
https://tafsirweb.com/7645-surat-al-ahzab-ayat-33.html
46
dalam rumah dan menjaga kemulian dan kesuciannya sehingga hukum pingitan
dalam Islam adalah boleh (mubah). Terdapat dalam sejarah dari dulu hingga
kemudian. Pingitan sendiri sangat dianjurkan Islam dan itu sudah ada dalam Al-
Qur‟an.
Sedangkan mitos yang berkembang di tradisi ini sangat unik. Dalam
kondisi pingitan, orang yang dipingitan tidak boleh keluar rumah, dengan
alasannya karena mereka memiliki darah manis (atau darah manisan kata orang
Banjar). Katanya orang yang mau menikah itu rentan terhadap marabahaya.
Menurut kepercayaan jawa kuno banyak sarap, sawan, dan sambekala (penyakit
yang tidak kelihatan) atau hal yang mencemaskan dan berbagai halangan
sehingga pada sebagian masyarakat, ketika calon pengantin dipingitan, juga
dianjurkan minum “jamu sawanan” agar terhindar dari berbagai halangan,
kecemasan, dan aneka penyakit. Kepercayaan seperti itulah yang harus
diluruskan, karena musibah itu bisa datang kapan saja dan dimana saja, serta tidak
mengenal usia, bisa pada anak kecil, orang dewasa ataupun orang lansia, dan
dalam Islam tidak diperbolehkan, karena kepercayaan seperti itu masuk dalam
katagori syirik.
Masalah mereka yang mempunyai darah manis itu tergantung dengan
kepercayaan adat saja, yang pasti dalam Islam pingitan diperbolehkan dengan
tujuan menjaga wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu
kaum pria yang belum bisa mengontrol diri, bukan musibah yang disebut oleh
orang jawa dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo (penyakit yang tidak
kelihatan), mengenai kewatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah termasuk
thiyarah yaitu meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu.
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan
tersebut hukum dalam Islam diperbolehkan dengan catatan apabila calon
pengantin tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah SWT,
sedangkan niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain
47
seperti terhindar dari sawan, sarap dan sambekolo (penyakit yang tidak kelihatan)
dalam Islam tidak diperbolehkan.
E. Analisis Pingitan Pengantin di Desa Cetan, Kecamatan Ceper Kabupaten
Klaten Jawa Tengah
Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Cetan, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah Tentang Tradisi Pingitan Pengantin.
1. Mayoritas masyarakat Desa Cetan mempercayai tradisi pingitan pengantin
selain membuat prosesi pernikahan menjadi sakral, tradisi pingitan pengantin
banyak manfaatnya antara lain sebagai berikut :
a) Membuat pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari
pernikahan sehingga mempelai terlihat lebih romantis.
b) Memberikan waktu untuk merenung, banyak hal yang harus dipersiapkan
bukan hanya financial dan fisik tapi yang terpenting adalah mental.
c) Menghindari godaan setan, banyak diluar sana yang menganggap
hubungan badan antara tunangan itu wajar padahal dalam agama islam
sudah jelas itu diharamkan.
d) Menghindari percekcokan, persiapan pernikahan itu rumit dan sangat
menyita waktu oleh karena itu, calon pasangan di tuntut untuk
menyelarasakan dua pemikiran dari pribadi yang berbeda.
e) Menghindari kegagalan dalam rencana pernikahan, karena terlalu banyak
perselisihan yang terjadi bisa saja pasangan tersebut tidak menemukan
titik temu yang membuat kedua belah pihak akhirnya memutuskan untuk
berpisah.
2. Keyakinan yang sangat melekat tentang tradisi pingitan yang mereka yakini
membuat mayoritas Desa Cetan tetap menjalankan tradisi pingitan tersebut,
seperti halnya kasus yang terjadi di Desa Cetan yang mengakibatkan batalnya
nikah yang mereka yakini gara-gara kedua mempelai tidak melaksanakan
pingitan, hal ini bisa dilihat bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi
48
mitos-mitos dan kepercayaan yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang
logis. Sebenarnya yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-
temurun yang terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan
animisme dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke
tanah Jawa.
3. Mayoritas masyarakat Jawa pada umumnya dan warga Desa Cetan pada
khususnya melestarikan budaya pingitan pengantin hanya bersumber dari
keyakinan nenek moyang yang diwariskan secara turun-temurun tanpa mereka
mengkaji atau menggali dalam sumber-sumber hukum islam, apakah
bertentangan atau tidak? yang mereka lakukan hanya melestarikan budaya
dari nenek moyang saja.
Faktor Penghambat Masyarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten
Klaten Melakukan Tradisi Pingitan.
1. Anggapan sebagian masyarakat tentang budaya pinggitan adalah budaya
kuno, budaya orang tua zaman dahulu, yang sudah tidak patut dipraktikan
pada kehidupan jaman sekarang (modern).
2. Anggapan sebagian remaja yang tidak ingin repot dengan segala ritual
pernikahan termasuk tradisi pingitan.
3. Pendapat ulama Desa yang menilai tradisi pingitan yang dilaksanakan di Desa
dan keyakinan masyarakat tentang tradisi pingitan yang cenderung masuk
dalam pemikiran yang berbau mistik ( hal gaib yang tidak terjangkau dengan
akal manusia) yang tidak dibolehkan oleh tokoh agama masyarakat Cetan..
Faktor-faktor penghambat di atas tetap tidak menjadi pengaruh besar
dalam perubahan keyakinan masyarakat dalam pelaksanaan tradisi pingitan,
karena di Desa Cetan masih banyak dukun manten yang dianut untuk pelaksanaan
pernikahan.
F. Konsep ‘urf Terkait Dengan Tradisi Pingitan Pengantin
Telah dijelaskan pada pemaparan sebelumnya bahwa adat adalah suatu
aturan sosial yang sudah ada sejak zaman nenek moyang atau sesuatu yang
49
dikerjakan dan diucapkan secara berulang-ulang sehingga dianggap baik dan
diterima oleh akal sehat.
Kajian adat dalam Islam yaitu „urf, Dalam hal ini para ahli Ushul Fiqh
mendefinisikan bahwa adat dan „urf itu sama. Hanya saja, ada sedikit perbedaan
diantaranya yaitu „urf sebagai tindakan atau ucapan yang dikenal dan dianggap
baik serta diterima oleh akal sehat. Setelah melihat uraian tersebut bisa dikatakan,
sederhananya bahwa adat adalah bahasa terjemahan dari „urf . Adat atau „urf
yang telah diterima dan ditetapkan oleh masyarakat secara umum bisa dikatakan
sebagai suatu hukum yang wajib di lakukan dan dalam Islampun tidak
bertentangan serta diharapkan dengan adanya ini, akan mendukung pembentukan
hukum yang baru.
Tradisi pingitan pengantin jika dilihat dari kacamata „urf, tradisi ini masuk
dalam kategori „urf shahih (baik/benar) yaitu „urf yang saling diketahui orang,
tidak menyalahi dalil syari'at, tidak menghalalkan yang haram dan tidak
membatalkan yang wajib, serta dapat diterima karena tidak bertentangan dengan
syara', „urf . Tradisi pingitan pengantin bisa dikatakan „urf shahih karena dalam
tradisi pingitan digunakan untuk menjaga calon pengantin dan untuk persiapan
diri bagi calon pengantin menuju hari pernikahannya. Dan selama itu tidak
membawa mudharat kepada mereka. Tradsi pingitan pengantin dilihat dari
tujuannya ini masuk dalam kategori „urf shahih karena tidak menyalahi syari‟at
Islam. Seperti yang terdapat pada Surat Al-Ahzab ayat 33 dijelaskan bahwa
wanita dalam pingitan menunjukan kemulian dan kesucian. Dalam pingitan calon
pengantin juga dianjurkan untuk berpuasa dengan tujuan mendekatkan diri kepada
Allah SWT, dengan begitu kedua mempelai berharap dalam do‟anya agar
dilancarkan pernikahannya.
Kepercayaan masyarakat Cetan tentang musibah yang didapatnya karena
tidak melakukan tradisi pingitan dan mendapatkan sarap, sawan, dan sambekala
(penyakit yang tidak kelihatan) tersebut masuk dalam katagori „urf yang fasid
(rusak/jelek) Ialah „urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena
50
bertentangan dengan nash qath'iy (syara‟). Seperti kebiasaan mengadakan sesajian
untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak
dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama
Islam.
Masalah puasa yang dilakukan calon pengantin dalam prosesi pingitan
tersebut hukum Islam memperbolehkan dengan catatan apabila calon pengantin
tersebut melakukan puasa dengan niat beribadah kepada Allah Swt, sedangkan
niat puasa itu untuk menghindari musibah atau kepercayaan lain seperti terhindar
dari sawan, sarap dan sambekolo ( penyakit yang tidak kelihatan) dalam Islam
tidak diperbolehkan dan masuk dalam katagori „urf yang fasid, karena
bertentangan dengan syara‟, sebab tujuan puasanya untuk menghindari musibah
seperti sarap, sawan dan sambekala, yang jelas kepercayaan tersebut tidak ada
dalam Islam.
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi pingitan adalah proses mempersiapkan diri mempelai untuk
memasuki sebuah dunia yang bernama rumah tangga. Dipingitan adalah istilah
yang diterapkan pada calon pengantin agar tidak kemana-mana, maksudnya
adalah agar calon pengatin aman dan segar bugar. Pada dasarnya pingitan
pengantin itu sama antara daerah satu dengan daerah yang lain, namun pada
pelaksanaannya saja yang berbeda. Tradisi pingitan ini bertujuan untuk Membuat
pasangan memiliki rasa rindu yang menggebu saat di hari pernikahan sehingga
mempelai terlihat lebih romantis, memberikan waktu untuk merenung,
menghindari godaan setan, menghindari percekcokan, dan menghindari
kegagalan dalam rencana pernikahan.
Para ulama desa Cetan berpendapat bahwa tradisi pingitan pengantin
dalam pernikahan itu boleh dilakukan bahkan menurut mereka wanita dalam
pingitan menunjukkan kemuliaan dan kesucian dan pingitan termasuk tradisi
yang baik karena banyak manfaatnya.
Masyarakat Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten percaya
bahwa apabila tradisi pingitan pengantin itu tidak dilakukan maka akan dapat
musibah yang mereka sebut dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo
(penyakit yang tidak kelihatan), dan bisa cenderung ada banyak masalah diantara
kedua belah pihak seperti hal nya perbedaan pendapat yang menyebabkan
batalnya pernikahan.
Menurut hukum islam pingitan diperbolehkan dengan tujuan menjaga
wanita dari mara bahaya seperti menghindarkan dari nafsu-nafsu kaum pria yang
belum bisa mengontrol diri, sedangkan pemikiran masyarakat mengenai musibah
yang disebut oleh orang jawa dengan sebutan sarap, sawan dan sambekalo
(penyakit yang tidak kelihatan), dalam hukum Islam tidak diperbolehkan, karena
termasuk thiyarah yaitu meramal bernasib sial karena melanggar sesuatu dan
52
keyakinan seperti itu melenceng dari hukum syar‟i, karena sesungguhnya
musibah itu datangnya dari Allah SWT saja.
B. Saran-saran
Menurut penulis, sebaiknya masyarakat harus bisa menerapkan tujuan
Islam dalam budaya Jawa khususnya dalam tradisi pingitan pengantin agar
mereka tidak salah dalam menilai dan meyakini tradisi tersebut dan tetap
melakukan tradisi tersebut sesuai dengan ajaran syari‟at Islam.
Bagi para tokoh agama maupun tokoh masyarakat hendaknya lebih
giat lagi dalam memberikan pengetahuan agama terhadap masyarakat yang
masih mempercayai adanya mitos-mitos warisan leluhur, sehingga bisa
menjalankan tradisi warisan leluhur dan tidak terjerumus dalam mistik yang
cenderung sampai tahapan syirik.
Para generasi muda yang saat ini bisa mengakses pengetahuan dengan
mudah terbukti dengan banyakanya kualitas pendidikan pada tiap wilayah,
dan banyaknya teknologi canggih yang bisa memberi wawasan pada mereka,
sebaiknya kemudahan itu dimanfaatkan untuk mencari informasi.
Budaya di pulau Jawa ini sangat beragam, khususnya pada tradisi
pernikahan di pulau Jawa khususnya Jawa Tengah banyak prosesi pernikahan
yang harus dijalani calon pengantin, seperti halnya tradisi pingitan pengantin,
kepercayaan yang melekat pada masyarakat Jawa pada umumnya cenderung
kearah mistik yang tentunya dalam Islam keyakinan seperti itu tidak
dibolehkan, untuk itu sebaiknya keyakinan yang yang condong pada harus
diluruskan dengan memperbanyak pengetahuan Islam, agar kita tidak salah
kaprah dalam menilai budaya.
DAFTAR PUSTAKA
Alquran dan Terjemahannya Departemen Agama Indonesia
Al-khalaf, Abdul Wahab, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003)
Arsip Data Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Cetan 2017
Bakker, J.W. M., Filsafat Kebudayaan, terj. Dick Hartoko (Yogyakarta: Kanisius,
1984)
Data Monografi Desa Cetan Kecamatan Ceper Kabupaten Klaten Semester I Th.
2017
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2000)
Fajri, Em Zul dan Senja, Ratu Aprilia.. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Difa
Publiser. tt
Furchan, Arief , Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif (Surabaya: Usaha Nasional,
1992)
Ghazali, Abd Rahman, Fiqih Munakahat, cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana, 2006).
Gozali, Muh., Mulai dari Rumah (Bandung: Al-Mizan, 2002)
Harun, Nasrun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Harun, Nasrun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
Hasil wawancara dengan Bapak H. Sarjiman (Tokoh Masyarakat), wawancara pada
tanggal 20 Oktober 2017
Hidayah, Nurul, Tradisi Pingin Pengantin Dalam Pandangan Hukum Islam (Study
Kasus Ds. Klalingan Kec. Klego Kab. Boyolali), Institut Agama Islam Negeri
Salatiga (IAIN) Salatiga
Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri, Sejarah Legislasi Hukum Islam (Sinar Grafika
Offset : Jakarta) 2009
Lari , Sayyid Mujtaba Musavi, Psikologi Islam; Membangun Kembali Moral
Generasi Muda (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993)
Ramulyo, Idris, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan
Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cet.1, (Jakarta: Sinar Grafika 2006)
Salam, Syamsir dan Amir Fadhilah, Sosiologi Pedesaan, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Setyaningtyas, Oktaviana Wibawati. 2010. Perkembangan Pernikahan Adat Jawa
Timur. Makalah. Dipublikasikan. Fak. Ilmu Sosial Pend. Sejarah. UM.
Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta: LP3S,
1995)
Syafe‟I, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia: 2007)
Syarifudin, Amir, Ushul Fiqih, Jilid 2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu 2001)
UUHamidy, Orang Melayu di Riau, Cet. Ke-1, (Pekanbaru:Universitas Islam Riau
(UIR Press,1996)
https://tafsirweb.com/7645-surat-al-ahzab-ayat-33.html
Wawancara dengan Ajeng (Pelaku Pingitan Pengantin), 23 Oktober 2017
Wawancara dengan Bapak Bayat pada tanggal 30 Oktober 2017
Wawancara dengan Bapak H. Heri pada tanggal 4 November 2017
Wawancara dengan Bapak Hisyam pada tanggal 3 November 2017
Wawancara dengan Bapak Sarjiman pada tanggal 4 November 2017
Wawancara dengan Basri pada tanggal 30 Oktober 2017
Wawancara dengan Hendriawan (pelaku Pingitan Pengantin), wawancara tanggal 23
Oktober 2017
Wawancara dengan Ibu Ayu pada tanggal 3 November 2017
Wawancara dengan Ibu Kati pada tanggal 30 Oktober 2017.
LAMPIRAN
Nama : Dadiyo
Jabatan : Kepala Desa
Tempat
: Desa/Kelurahan Cetan Kecamatan Ceper
Kabupaten Klaten Jawa Tengah
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Berdasarkan pengetahuan Bapak, apakah yang di maksud dengan tradisi pingitan
pengantin?
Pingitan pengantin adalah Tradisi calon Pengantin yang tidak boleh ketemu sebelum
kumprol (acara resepsi) atau akad, misalkan dari kedua belah pihak sepakat
menggunakan tradisi pingitan pengantin maka sang calon pengantin dilarang keluar
rumah bahkan bertemu dengan calon suami sebelum kumprol.
2. Bagaimana pandangan Bapak terhadap tradisi pingitan pengantin?
Kalau untuk zaman sekarang, hal semacam itu sudah sedikit untuk di terapkan,
tergantung bagaimana kepercayaan seseorang kepada tradisinya.
3. Dampak apa yang ditimbulkan dari melanggar tradisi pingitan pengantin? Setahu
saya, menurut orang zaman dulu apabila melanggar atau tidak memakai dari tradisi
tersebut hubungan suami istri dari orang tersebut akan punya banyak masalah dan
tidak langgeng bahkan ada yang percaya dampaknya hingga ke keluarganya.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Sarjiman
Jabatan : Tokoh Masyarakat
Tempat : Mesjid An-Nur Morisan
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Menurut Pak Haji Sarjiman apa yang dimaksud dengan pingitan pengantin?
Saat-saat menjelang perkawinan, di Desa Cetan melakukan “pingitan” bagi calon
pengantin selama beberapa hari yang disepakati kedua pasangan, ada yang pingitan tiga
hari, satu minggu bahkan ada yang melakukannya selama satu bulan, tergantung dari
kesepakatan kedua pihak. Selama itu calon pengantin putri dilarang keluar rumah dan
tidak boleh bertemu dengan calon mempelai putranya.
2. Bagaimana pandangan Bapak terhadap tradisi pingitan pengantin?
Pandangan bapak tradisi sudah banyak yang di tinggalkan, padahal jika diambil segi
positifnya pingitan ini bagus, Saat ini di kampong pingitan mengalami penyesuaian
seiring dengan perkembangan jaman, kebanyakan calon pengantin tidak mau
melakukan tradisinya berlama-lama seperti dulu-dulu, seperti halnya prosesi perawatan
dan puasa yang biasanya dilakukan tujuh hari sebelum akad dilakukan itu tidak berlaku
lagi, namun untuk perawatan misalnya meminum jamu-jamuan dan puasa hanya
dilakukan satu hari sebelum hari akad dilaksanakan.
3. Bagaimana pandangan Hukum Islam mengenai tradisi “pingitan” atau pingit pengantin
dalam perkawinan adat Jawa khususnya di Desa Cetan menurut bapak?
Selama tradisi pingitan itu dilaksanakan dengan niat yang baik dan tata cara yang
baik maka menurut bapak Islam membolehkan.
HASIL WAWANCARA
Nama : H. Jamin
Jabatan : Tokoh Masyarakat
Tempat : Mesjid An-Nur Morisan
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Apa yang dimaksud dengan pingitan pengantin dan asal usulnya?
Pingitan Pengantin, diam diri di dalam rumah, tidak keluar rumah umumnya selama
3 hari dan melakukan puasa. Zaman dahulu calon pengantin itu tidak keluar rumah
untuk berpuasa dan mempersiapkan diri untuk acara yang sakral yaitu pernikahan,
tradisi ini sudah bawaan dari raja-raja zaman dulu yang ada di masyarakat Jawa.
2. Dampak apa yang akan ditimbulkan apabila melanggar dari tradisi
tersebut?
Menurut kepercayaan orang zaman dulu, akan gagal pernikahannya apabila
melanggar dari ketentuan tersebut.
3. Lalu bagaimana Islam memandang tradisi ini dan apakah masih berlaku
tradisi ini?
Boleh-boleh saja, akan tetapi balik lagi kepada imane dan niat masing-masing
melakukan tradisi ini, karena ini adalah peninggalan hukum adat dari raja-raja zaman
dulu dan masih berlaku, hanya saja orang-orang sudah meninggalkannya.
Nama : Ust. Sugio
Jabatan
: Tokoh Masyarakat
Tempat : Mesjid An-Nur Morisan
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Berdasarkan pengetahuan Bapak, apakah yang di maksud dengan tradisi
pingitan pengantin?
Menurut saya, Tradisi pingitan adalah masa-masa mempersiapkan diri untuk menghadapi
pernikahan, jadi dimasa-masa tersebut calon pengantin tidak diperbolehan untuk bertemu,
dengan tujuan agar tidak ada perbedaan pendapat antara kedua mempelai yang
mengakibatkan percecokan yang berujung dengan hal-hal yang tidak baik, misalnya sampai
pembatalan pernikahan, untuk itu dilaksanakan tradisi pingitan tersebut. Jangka waktunya
kalau untuk kebiasaan masyarakat Desa Cetan 3 hari dan diisi dengan berpuasa saja. Tradisi
ini sudah ada sejak dulu dari leluhur, karena tradisi ini sudah membudaya dalam masyarakat
Desa Cetan.
2. Menurut Bapak apakah masih berlaku tradisi pingitan pengantin dalam hal
perkawinan?
Kalau untuk zaman sekarang hal semacam itu sudah tidak relevan lagi untuk
diterapkan bahkan hampir hilang, akan tetapi sebagian masyarakat masih ada yang
memegang hal semacam itu, mungkin karena mereka percaya dan meyakini dan
untuk menghindari hal-hal yang akan ditimbulkan apabila tidak melaksanakan dari
tradisi tersebut.
3. Lalu bagaimana Islam memandang tradisi ini dan apakah masih berlaku
tradisi ini?
Tergantung niat masing-masing untuk apa melakukan tradisi ini, jika niat dan
pelaksanaannya untuk mempersiapkan diri untuk memasuki hidup berumah tangga maka
boleh-boleh saja seperti berpuasa, belajar memasak, dan melakukan hal-hal positif di rumah.
tapi kalau niatnya takut terhadap hal-hal gaib yang akan menimpanya sehingga melakukan
hal-hal yang syirik maka tidak dibolehkan seperti bakar menyan, mandi kembang tujuh rupa,
dan meminta pertolongan selain Allah SWT maka itu haram hukumnya.
Nama : Ustad H. Yakub A.
Jabatan :Tokoh Mayarakat
Tempat : Mesjid An-Nur Morisan
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan tradisi Pingitan Pengantin?
Tradisi pingitan itu adalah tradisi yang pada umumnya dilakukan oleh calon pengantin, yang
dimaksud dengan pingit adalah berdiam diri didalam rumah, jadi calon pengantin harus
berdiam diri didalam rumah dan tidak boleh bertemu, jangka waktunya beragam ada 7,10 dan
3 hari. Sedangkan masyarakat Desa Cetan pada umumnya menggunakan 3 hari saja,
kemudian 3 hari itu di isi dengan berpuasa. Tujuan pingitan ini untuk membuat kangen antara
kedua calon pengantin dan berpuasanya untuk membersihkan diri agar lebih tenang sehingga
lebih siap dalam menjalankan resepsi pernikahan dan prosesi Ijab qobul. Tradisi ini sudah
ada sejak dulu dari leluhur.
2. Bagaimana pandangan Islam tentang tradisi Pingitan Pengantin ini?
boleh-boleh saja karena tidak melanggar syari‟at Islam, bahkan pada Rasullulah
para wanita juga dipingit, yaitu berdiam diri didalam rumah dan tidak boleh
keluara tanpa ada kaum laki-laki yang mendampinginya, dan dianjurkan untuk
berpakain yang menutup, agar terhindar dari mara bahaya.
Nama : Bapak Basri
Jabatan : Mayrakat Desa Cetan
Tempat : Kediaman Bapak Basri
Tanggal : 30 Oktober 2017
1. Menurut Bapak, apa yang dimaksud dengan tradisi pingitan pengantin?\
Kalau menurut saya, tradisi pingitan pengantin itu calon pengantin atau perempuan
yang mau menikah di kurung di dalam rumah tidak keluar rumah, melakukan ritual
sebelum hari dimana akadnya berlangsunng. Seperti berpuasa, memakai wangi-
wangian, mandi kembang dan lain-lain agar calon pengantin selamat dari
marabahaya, santet, bahkan gagalnya pernikahan.
2. Apakah masih berlaku tradisi Pingitan Pengantin tersebut?
Di dalam keluarga saya itu masih berlaku dan saya terapkan karena menjaga sesuatu
dari hal-hal yang tidak diinginkan karena itu juga adat dari nenek moyang yang harus
dijalankan.
WAWANCARA KEPALA DESA