proposal gambaran tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi

32
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kecemasan terhadap perawatan gigi menduduki peringkat kelima dari situasi yang umumnya ditakuti. (Hmud dan Walsh, 2007). Penelitian yang dilaporkan oleh dokter gigi menyatakan bahwa pasien anak dengan rasa cemas, sulit untuk diatur dan diberi perlakuan sehingga penting untuk merawat anak yang merasa cemas karena rasa cemas merupakan penyebab dari 15 % kegagalan perawatan gigi (Bellandonna dkk., 2009). Selain itu, penelitian melaporkan kira-kira 6-15% dari pasien di seluruh dunia menghindari perawatan gigi karena tingginya kecemasan dan dental phobia (Hmud dan Walsh, 2007). Banyak orang tua yang berpendapat bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat. Mengabaikan perawatan gigi mengarah kepada kerusakan gigi dan rasa sakit yang umumnya justru meningkatkan rasa takut. Kecemasan bukan hanya menghambat keinginan pasien untuk mencari perawatan tetapi juga menyebabkan “stress” bagi dokter gigi yang memberikan perawatan (Almadi dan Abdel, 2002). Kecemasan anak pada perawatan gigi dapat menimbulkan sifat yang tidak kooperatif sehingga akan menghambat proses perawatan gigi. Reaksi kecemasan yang berupa stress pada anak muncul dengan cara merintih, merengek, marah, menarik diri dan lain- lain. Anak mempunyai pikiran mengenai sesuatu yang menakutkan dan membahayakan dirinya sehingga muncul reaksi kecemasan, sebagai reaksi pertahanan diri yang muncul (Kartono, 2012). 1

Upload: rosliana-mahardhika

Post on 23-Dec-2015

129 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gambaran tingkat kecemasan anak terhadap perawatan gigi

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecemasan terhadap perawatan gigi menduduki peringkat kelima dari situasi

yang umumnya ditakuti. (Hmud dan Walsh, 2007). Penelitian yang dilaporkan oleh

dokter gigi menyatakan bahwa pasien anak dengan rasa cemas, sulit untuk diatur

dan diberi perlakuan sehingga penting untuk merawat anak yang merasa cemas

karena rasa cemas merupakan penyebab dari 15 % kegagalan perawatan gigi

(Bellandonna dkk., 2009). Selain itu, penelitian melaporkan kira-kira 6-15% dari

pasien di seluruh dunia menghindari perawatan gigi karena tingginya kecemasan

dan dental phobia (Hmud dan Walsh, 2007). Banyak orang tua yang berpendapat

bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat. Mengabaikan perawatan gigi mengarah

kepada kerusakan gigi dan rasa sakit yang umumnya justru meningkatkan rasa

takut. Kecemasan bukan hanya menghambat keinginan pasien untuk mencari

perawatan tetapi juga menyebabkan “stress” bagi dokter gigi yang memberikan

perawatan (Almadi dan Abdel, 2002).

Kecemasan anak pada perawatan gigi dapat menimbulkan sifat yang tidak

kooperatif sehingga akan menghambat proses perawatan gigi. Reaksi kecemasan

yang berupa stress pada anak muncul dengan cara merintih, merengek, marah,

menarik diri dan lain- lain. Anak mempunyai pikiran mengenai sesuatu yang

menakutkan dan membahayakan dirinya sehingga muncul reaksi kecemasan,

sebagai reaksi pertahanan diri yang muncul (Kartono, 2012).

1

2

Kecamatan Mojoroto merupakan salah satu kecamatan kota Kediri yang

memiliki luas wilayah 24.6 𝑘𝑚2 dengan jumlah penduduk sebanyak 93.010. Terdiri

dari 14 kelurahan, 36 jumlah lingkungan, 93 jumlah RW , dan 429 jumlah RT.

Untuk layanan kesehatan di Mojoroto terdapat 3 puskesmas dengan 8 puskesmas

pembantu. Terdapat 5 sarana pendidikan dari tingkat kanak- kanak hingga SMK.

TK menduduki jumlah unit terbanyak kedua dibawah sekolah dasar. Yakni 37 TK

dan 51 SD (43 Negeri dan 8 swasta).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran tingkat kecemasan anak TK terhadap perawatan gigi di

kecamatan Mojoroto Kediri?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi gambaran tingkat kecemasan anak TK terhadap perawatan

gigi di kecamatan Mojoroto Kediri.

1.4 Manfaat Penelitian

Mendapatkan informasi tentang tingkat kecemasan anak TK terhadap

perawatan gigi sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, pemerintahan,

terutama kedokteran gigi anak dan penerapannya dapat digunakan dalam

praktik.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Anak Prasekolah

Secara terminologi, usia anak 4-6 tahun disebut sebagai masa usia prasekolah.

Taman kanak-kanak adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada

jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak usia empat

sampaia enam. Anak taman kanak-kanak merupakan sosok individu yang sedang

berada dalam proses perkembangan. Perkembangan anak merupakan proses

perubahan perilaku dari tidak matang menjadi matang, dari sederhana menjadi

kompleks, suatu proses evolusi manusia dari ketergantungan menjadi makhluk

dewasa yang mandiri. (Kemendikbud, 2013).

Sedangkan menurut Joyce Engel (2008) yang dikatakan anak usia pra sekolah

adalah anak-anak yang berusia 3-6 tahun. Menurut Wong 2008 dan Sayoga 2007,

anak prasekolah adalah anak yang berusia 3 sampai 5 tahun. Pada masa ini, terjadi

pertumbuhan biologis, psikososial, kognitif, dan spiritual yang begitu signifikan.

Kemampuan mereka dalam mengontrol diri, berinteraksi dengan orang lain, dan

penggunaan bahasa dalam berinteraksi merupakan modal awal anak dalam

mempersiapkan tahap perkembangan berikutnya, yaitu tahap sekolah (Whaley dan

Wong, 1995)

Masa prasekolah menurut Munandar (1992) merupakan masa-masa untuk

bermain dan mulai memasuki taman kanak-kanak. Waktu bermain merupakan

sarana untuk tumbuh dalam lingkungan dan kesiapannya dalam belajar formal

3

4

(Gunarsa, 2004). Pada tahap perkembangan anak usia prasekolah ini, anak mulai

menguasai berbagai ketrampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa

percaya diri untuk mengeksplorasi kemandirianya (Hurlock, 1997).

2.1.1 Karakteristik Perkembangan Anak Usia Dini

a. Perkembangan Fisik-Motorik

Pertumbuhan fisik pada setiap anak tidak selalu sama. Ada yang mengalami

pertumbuhan secara cepat, ada pula yang lambat. Pada masa kanak-kanak

pertumbuhan tinggi dan petambahan berat badan relatif seimbang. Perkembangan

motorik anakterdiri dari dua, ada yang kasar dan ada yang halus. (John, 1995)

Perkembangan motorik kasar seorang anak pada usia 3 tahun adalah

melakukan gerakan sederhana seperti berjingkrak, melompat, berlari ke sana ke

mari dan ini menunjukkan kebanggaan dan prestasi. Sedangkan usia 4 tahun, si

anak tetap melakukan gerakan yang sama, tetapi sudah berani mengambil resiko

seperti jika si anak dapat naik tangga dengan satu kaki lau dapat turun dengan cara

yang sama dan memperhatikan waktu pada setiap langkah. Lalu, pada usia 5 tahun

si anak lebih percaya diri dengan mencoba untuk berlomba dengan teman

sebayanya atau orangtuanya.

Adapun perkembangan ketrampilan motorik halus dapat dilihat pada usia 3

tahun yakni kemampuan anak-anak masih terkait dengan kemampuan bayo untuk

menempatkan dan memegang benda-benda. Pada usia 4 tahun, koordinasi motorik

halus anak-anak telah semakin meningkat dan mennjadi lebih tepat seperti bermain

balok, kadang sulit menyusun balok sampai tinggo sebab khawatir tidak akan

sempurna susunannya. Sedangkan pada usia 5 tahun, mereka sudah memiliki

5

koordinasi mata yang bagus dengan memadukan tangan, lengan, dan anggota tubuh

lainnya untuk bergerak.

b. Perkembangan Kognitif

Istilah kognitif (cognitive) berasal dari kata congnition atau knowing berarti

konsep luas dan inklusi yang mengacu pada kegiatan mental yang tampak dalam

pemerolehan, organisasi atau penataan, dan penggunaan pengetahuan (Paul dkk.,

1994). Dalam arti yang luas, kognitif merupakan rana kejiwaan yang berpusat di

otak dan berhubungan dengan konasi (kehendak), afeksi (perasaan).

Proses perkembangan kognitif ini dimulai sejak lahir. Namun, campur tangan

sel-sel otak dimulai setelah seorang bayi berusia 5 bulan saat kemampuan

sensorisnya benar-benar tampak.

Ada 2 teori utama perkembangan kognitif (Paul dkk., 1994). Konsep utama

dari teori pembelajaran adalah pelaziman, pertama , pelaziman klasik berlangsung

ketika suatu stimulus yang semula netral, seperti bunyi bel yang muncul bersamaan

dengan stimulus tidak bersyarat seperti susu yang mengalir dari dot ke dalam mulut

si anak sehingga si anak akan terbiasa, jika bunyi bel berulangkali dihubungkan

dengan pengalaman mendapatkan susu dari dot, maka bayi akan mulai mengisap

begitu ia mendengar bunyi bel. Kedua, pelaziman instrumental, seperti bila bayi

tersenyum di saat ayah menggelitik perutnya lalu bayi tersenyum kembali, maka

pelaziman itu mungkin sedang berlangsung.

Sementara jika mengacu pada teori yang dikemukakan Peaget, seorang pakar

psikologi kognitif dan psikologi anak,dapat disimpulkan 4 tahap perkembangan

kognitif, yaitu:

6

Tahap sensori motor, terjadi pada usia 0-2 tahun

Tahap pra operasional, terjadi usia 2-7 tahun

Tahpa konkrit operasional, terjadi pada usia 7-11 tahun

Tahap formal operasional, terjadi pada usia 11-15 tahun (Paul dkk., 1994).

Namun untuk kategori anaka usia dini, maka tahapan perkembangan yang

paling bisa dilihat adalah tahap 1 dan tahap 2. Pada usia 2-7 tahun, si anak berada

dalam periode perkembangan kognitif pra-operasional yakni usia di mana

penguasaan sempurna akan objek permanen dimiliki. Artinya, si anak memiliki

kesadaran akan eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada. Juga

mengembangkan peniruan yang tertunda seperti ketika ia melihat perilaku orang

lain sepeti saat orang merespons barang, orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi

pada asa lalu. (Muhibbin, 2004)

Disamping itu anak juga mulai mampu memahami sebuah keadaan yang

mengandung masalah, setelah berpikir sesaat, lalu menemukan reaksi ‘aha’ yaitu

pemahaman atau ilham spontan untuk memcahkan masalah versi anak-anak. Akan

tetapi, si anak belum bisa memahami jika terjasi perbedaan pandangan dengan

orang lain.

c. Perkembangan Sosio Emosional

Para psiokolog mengemukakan bahwa terdapat tiga tipe temperamen pada

anak, yaitu:

Pertama, anak yang mudah diatur, mudah beradaptasi dengan pengalaman

baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan disekitarnya.

7

Kedua, anak yang sulit diatur sepeti sering menolak rutinitas sehari-hari,

sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah saat

tidur.

Ketiga, anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya

terlihat agak malas dan pasif, jarang berpartisipasi secara aktif dan seringkali

menunggu semua hal diserahkan kepadanya. (Ariavita, 2005)

Dari pendapat di atas diketahui bahwa kepribadian dan kemampuan anak

berempati dengan orang lain merupakan kombinasi antara bawaan dengan pola

asuh ketika ia masih anak-anak. Ketika anak berusia satu tahun, senang dengan

permainan yang melibatkan interaksi sosial, senang bermain dengan sessama jenis

kelamin jika berada dalam kelompok yang berbeda. Namun, ketika berumur 1

sampai dengan 1,5 tahun, biasanya menunjukkan keinginan untuk lebih mandiri

yakni melakukan kegiatan sendiri, seperti main sendiri, makan dan berpakaian

sendiri, cemburu, tantrum (marah jika kemauannya tidak dipenuhi)

Sedangkan saat usia 1,5 sampai dengan 2 tahun, ia mulai berinteraksi dengan

oramg lain, tetapi butuh waktu untuk bersosialisasi, ia amsih sulit berbagi dengan

orang lain, sehingga ia akan menangis bila berpisah dengan orang tuanya meski

hanya sesaat.

Sedangkan untuk usia 2,5 tahun sampai 6 tahun, perkembangan emosi mereka

sangat kuat seperti ledakan amarah, ke-takut-an yang hebat, iri hati yang tidak

masuk akal karena ingin emiliki barang orang lain dan biasanya terjadi dalam

lingkungan keluarga yang besar. Demikian pula dengan rasa cemburu muncul

karena kurangnya perhatian yang diterima dibanding dengan yang lainnya, dan

8

terjadi dalam keluarga yang kecil. Terjadi sebagai akibat dari lamanya bermain,

tidak mau tidur siang dan makan terlalu sedikit (Elizabeth, 2005)

d. Perkembangan Bahasa

kemampuan setiap orang dalam berbahasa berbeda-beda. Ada yang

berkualitas baik dan ada yang rendah. Perkembangan ini mulai sejak awal

kehidupan. Sampai anak berusia 5 bulan (0-1 tahun), seorang anak akan mengoceh

seperti orang yang sedang berbicara dengan rangkaian suara yang teratur, walaupun

suara dikeluarkan ketika berusia 2 bulan. Disini terjadi penerimaan percakapan dan

diskriminasi suara percakapan. Ocehan dimulai untuk menyusun dasar bahasa.

(Aliah, 2006)

Lalu pada usia 18-24 bula, anak mengalami percepatan perbendaharaan kata

dengan memproduksi kalimat dua atau tiga kata. Selannjutnya pada usia 2,5 sampai

dengan 5 tahun, pengucapan kata meningkat. Bahasa anak mirip orang dewasa.

Anak mulai memproduksi ujaran yang lebih panjang, kkadang secara gramatik,

kadang tidak. Lalu, pada usia 6 tahun ke atas, mereka mengucapkan kata seperti

orang dewasa. (Elizabeth, 1980)

e. Perkembangan Moral

Perkembangan penilaian moral anak kecil sedang beada pada tingkat paling

dasar. Terdapat sdikit, jika ada, perhatian mengenai suatu kesalahan. Mereka

berperilaku sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu

tindakan. Pada orientasi hukuman dan kepatuhan anak (berusia sekitar 2 sampai 4

tahun) meilai apakah suatu tindakan baik atau buruk tergantung dari apakah

hasilnya berupa hukuman atau penghargaan. Apabila anak dihukum, maka tindakan

9

tersebut berarti buruk. Apabila anak tidak dihukum, tindakan tersebut berarti baik,

tanpa memperthitungkan makna tindakan tersebut. Misalnya, jika orangtua

memperbolehkan memukul, anak akan menganggap bahwa memukul adalah baik

karena tidak berhubungan dengan hukuman.

Dari sekitar usia 4 sampai 7 tahun anak-anak berada pada tahap orientasi

instrumental naif, yang segala tindakan ditujukan ke arah pemuasan kebutuhan

mereka dan lebih jarang ditujukan pada kebutuhan orang lain. Mereka memiliki

rasa keadilan yang sangat konkret. Timbal balik atau keadilan melibatkan filsafat

“Kamu mencakar punggungku, dan aku akan mencakar punggungmu” tanpa

berpikir mengenai loyalitas atau rasa terimakasih. (Wong, 2008)

2.1.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan

a. Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik yang mempengaruhi kegagalan berkembang terutama

berkaitan dengan terjadinya penyakit pada anak, yaitu:

- Kelainan kromosom (misalnya sindroma Down dan sindroma Turner)

- Kelainan pada sistem endokrin, misalnya kekurangan hormon tiroid, kekurangan

hormon pertumbuhan atau kekurangan hormon lainnya

- Kerusakan otak atau sistem saraf pusat yang bisa menyebabkan kesulitan dalam

pemberian makanan pada bayi dan menyebabkan keterlambatan pertumbuhan

- Kelainan pada sistem jantung dan pernafasan yang bisa menyebabkan gangguan

mekanisme penghantaran oksigen dan zat gizi ke seluruh tubuh

- Anemia atau penyakit darah lainnya

10

- Kelainan pada sistem pencernaan yang bisa menyebabkan malabsorbsi atau

hilangnya enzim pencernaan sehingga kebutuhan gizi anak tidak terpenuhi.

Menurut Soetjiningsih secara umum terdapat dua faktor yang mempengaruhi

tumbuh kembang anak yaitu faktor genetik (instrinsik) dan faktor lingkungan

(ekstrinsik). Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir

proses tumbuh kembang anak. Faktor ini adalah bawaan yang normal dan

patologis, jenis kelamin, suku bangsa / bahasa, gangguan pertumbuhan di negara

maju lebih sering diakibatkan oleh faktor ini, sedangkan di negara yang sedang

berkembang, gangguan pertumbuhan selain di akibatkan oleh faktor genetik juga

faktor lingkungan yang kurang memadai untuk tumbuh kembang anak yang

optimal.

b. Faktor Ekstrinsik

Yang merupakan faktor ekstrinsik:

- Faktor psikis dan sosial (misalnya tekanan emosional akibat penolakan atau

kekerasan dari orang tua).

- Depresi bisa menyebabkan nafsu makan anak berkurang. Depresi bisa terjadi

jika anak tidak mendapatkan rangsangan sosial yang cukup, seperti yang dapat

terjadi pada bayi yang diisolasi dalam suatu inkubator atau pada anak yang kurang

mendapatkan perhatian dari orang tuanya.

- Faktor ekonomi (dapat mempengaruhi masalah pemberian makanan kepada

anak, tempat tinggal dan perilaku orang tua). Keadaan ekonomi yang pas-pasan

dapat menyebabkan anak tidak memperoleh gizi yang cukup untuk perkembangan

dan pertumbuhannya

11

- Faktor lingkungan (termasuk pemaparan oleh infeksi, parasit atau racun).

Lingkungan merupakan faktor yang menentukan tercapai atau tidaknya potensi

bawaan. Lingkungan yang cukup baik akan memungkinkan tercapainya potensi

bawaan sedangkan lingkungan yang kurang baik akan menghambatnya.

Lingkungan ini merupakan lingkungan “bio-psiko-fisiko-sosial” yang

mempengaruhi individu setiap hari, mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.

c. Faktor Pendukung

Faktor – faktor pendukung perkembangan anak, antara lain :

1) Terpenuhi kebutuhan gizi pada anak tersebut

2) Peran aktif orang tua

3) Lingkungan yang merangsang semua aspek perkembangan anak

4) Peran aktif anak

5) Pendidikan orang tua (Soetjiningsih, 1998).

2.1.3 Fase Perkembangan Pada Usia Pra Sekolah

Pada masa usia pra sekolah ini dapat diperinci lagi menjadi 2 masa, yaitu

masa vital dan masa estetik.

1. Masa Vital

Pada masa ini, individu menggunakan fungsi-fungsi biologis untuk menemukan

berbagai hal dalam dunianya. Untuk masa belajar, Freud menamakan tahun pertama

dalam kehidupan individu ini sebagai masa oral, karena mulut dipandang sebagai

sumber kenikmatan. Anak memasukkan apa saja yang dijumpai ke dalam mulutnya,

12

tidaklah karena mulut merupakan sumber kenikmatan utama tetapi karena waktu

itu mulut merupakan alat untuk melakukan eksplorasi dan belajar (Elizabeth B.

Hurlock, 1999).

Pada tahun kedua telah belajar berjalan, dengan mulai berjalan anak akan

mulai belajar menguasai ruang. Mula-mula ruang tempatnya saja, kemudian ruang

dekat dan selanjutnya ruang yang jauh. Pada tahun kedua ini umumnya terjadi

pembiasaan terhadap kebersihan (kesehatan). Melalui latihan kebersihan ini, anak

belajar mengendalikan impuls-impuls atau dorongan- dorongn yang datang dari

dalam dirinya (umpamanya buang air kecil dan air besar) (Elizabeth B. Hurlock,

1999).

2. Masa Estetik

Pada masa ini dianggap sebagai masa perkembangan rasa keindahan. Kata estetik

disini dalam arti bahwa pada masa ini perkembangan anak yang terutama

adalah fungsi panca inderanya. Pada masa ini, panca indera masih peka

karena itu Montessori menciptakan bermacam – macam alat permainan untuk

melatih panca inderanya (Yusuf, 2001).

2.2 Kecemasan

Kecemasan (anxiety) dapat dideinisikan sebagai ketakutan terhadap sesuatu

dari sumber yang sebagian besar tidak diketahui atau tidak dikenal (Koch dkk.,

1991). Bisa dikatakan pula kecemasa merupakan reaksi terhadap ancaman yang

terjadi secara tidak langsung (Sutandi dan Heriandi, 1994). Kecemasan

memberikan sinyal kepada kita bahwa akan ada suatu bahaya dan kalau tidak

melakukan tindakan yang tepat, bahaya itu akan terus meningkat hingga kita kalah

13

(Pratiwi, 2010). Demikian pula yang dikatakan Welbury, kecemasan adalah

perasaan yang tidak enak yang disertai pertanda bahwa sesuatu yang tidak

diinginkan akan terjadi. Dengan kata lain, kecemasan berhubungan dengan apa

yang dirasakan seseorang (kecemasan bersifat subyektif) (Wellbury, 1997)

Kecemasan dapat terlihat sebagai suatu kesatuan dengan rasa takut (fear) dan

kedua hal ini sulit dipisahkan (Welbury, 1997). Begitupun Homburger Erikson,

mengatakan bahwa rasa takut dan cemas selama masa kanak-kanak sangat dekat

sehingga tidak dapat dipisahkan (Koch dkk., 1991). Namun, kecemasan lebih

merupakan perasaan umum yang tidak enak, sedangkan rasa takut merupakan

reaksi kuat terhadap kejadian yang spesifik.

2.2.1 Faktor Predisposisi Kecemasan

Faktor predisposisi kecemasan dijelaskan oleh beberapa teori yang telah

dikembangkan, untuk menjelaskan asal kecemasan, menurut Stuart (2002) yaitu :

1. Pandangan Psikoanalitis

Dalam pandangan ini, dijelaskan bahwa kecemasan adalah konflik

emosional, yang terjadi antara dua elemen kepribadian, yaitu id dan superego. Id

mewakili dorongan insting dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan

hati nurani dan dikendalikan oleh norma budaya. Ego atau keakuan, berfungsi

menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi

kecemasan adalah meningkatkan ego bahwa ada bahaya.

2. Pandangan Interpersonal

Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari perasaan takut

terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal. Kecemasan juga

14

berhubungan dengan perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan,

yang menimbulkan kerentanan tertentu.

3. Pandangan Perilaku

Berdasarkan pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk frustasi,

yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan individu, untuk mencapai

tujuan yang diinginkan.

4. Kajian Keluarga

Teori ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan biasanya terjadi dalam

keluarga. Gangguan kecemasan juga tumpang tindih, antara gangguan kecemasan

dan depresi.

5. Kajian Biologis

Teori ini menunjukkan bahwa otak mempunyai reseptor khusus, yang

berperan penting dalam mekanisme biologis, yang berhubungan dengan

kecemasan. Kesehatan umum individu dan riwayat kecemasan pada keluarga,

memiliki efek yang nyata sebagai predisposisi kecemasan.

2.2.2 Respon Kecemasan

Menurut Stuart (2002) respon kecemasan dapat diekspresikan secara

langsung, melalui perubahan fisiologis dan psikologis, seperti perilaku yang secara

tidak langsung mempengaruhi timbulnya gejala, atau mekanisme koping, atau cara

seseorang dalam menyelesaikan masalah, sebagai upaya melawan kecemasan.

15

1. Respon Fisiologis

Respon sistem saraf otonom terhadap rasa takut dan kecemasan menimbulkan

aktivitas involunter pada tubuh termasuk dalam pertahanan diri. Serabut saraf

simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap tanda bahaya untuk

mempersiapkan pertahanan tubuh. Pada anak usia sekolah, nilai normal denyut nadi

adalah 75- 110 kali permenit, tekanan darah berkisar 94- 112/56- 60 mmHg, dan

nilai suhu tubuh 37°C (Muscari, 2001). Kelenjar adrenalin melepas adrenalin

(epineprin), yang menyebabkan tubuh mengambil lebih banyak oksigen,

mendilatasi pupil, dan meningkatkan tekanan arteri, serta frekuensi jantung.

Membuat kontriksi pembuluh darah perifer memacu darah dari sistem

gastrointestinal, serta reproduksi, dan meningkatkan glikogenolisis guna

menyokong jantung, otot, dan sistem saraf pusat (Videbeck, 2008).

Anak yang mengalami gangguan kecemasan akibat perpisahan, akan

menunjukkan sakit perut, sakit kepala, mual, muntah, demam ringan, gelisah,

kelelahan, sulit berkonsentrasi, mudah marah, dan beberapa anak juga menyatakan

mengalami vertigo dan palpitasi (Pott dan Modleco, 2007). Manifestasi klinik pada

anak kecemasan juga dapat berupa kesulitan tidur dan tantrum (ledakan kemarahan

dan kekesalan) dipagi hari (Pott dan Modleco, 2007). Sistem kardiovaskular akan

memunculkan tanda palpitasi, jantung berdebar, dan tekanan darah meningkat.

Respon kardiovaskular ini memberikan data yang sangat bermanfaat, terkait

pengaruh stresor kehidupan nyata pada anak (Tsai, 2007). Respon parasimpatis juga

dapat muncul seperti rasa ingin pingsan, tekanan darah menurun, dan denyut nadi

menurun (Stuart, 2002). Tetapi pada penelitian lain, menunjukkan bahwa anak

16

sekolah yang menjalani prosedur pembedahan menunjukkan peningkatan tekanan

darah dan denyut nadi (Tsai, 2007).

2. Respon Psikologis

Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat

ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi, menarik

diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari masalah, menghindar, dan

sangat waspada (Stuart. 2007). Respon kognitif akibat kecemasan adalah

konsentrasi memburuk, perhatian terganggu, pelupa, salah dalam memberikan

penilaian, lapang persepsi menurun, kreativitas menurun, produktivitas menurun,

bingung, sangat waspada, kehilangan objektifitas dan takut kehilangan kendali,

takut pada gambaran visual, takut pada cedera, atau kematian, dan mimpi buruk.

Respon efektif akibat kecemasan adalah tidak sabar, gelisah, tegang, gugup,

ketakutan, waspada, khawatir, mati rasa, rasa bersalah, atau malu (Stuart, 2002).

2.2.3 Tingkatan Kecemasan

Menurut Stuart (2002), kecemasan terbagi menjadi 4 tingkatan yaitu :

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan tingkat ini berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan

sehari-hari. Kecemasan ini menyebabkan individu menjadi waspada dan

meningkatkan lapang persepsi. Kecemasan ini dapat memotivasi belajar, dan

menumbuhkan kreativitas.

2. Kecemasan Sedang

17

Kecemasan tingkat ini memungkinkan individu untuk berfokus pada hal yang

penting, dan mengesampingkan hal yang lain. Kecemasan ini mempersempit lapang

persepsi individu. Dengan demikian, individu tidak perhatian dan kurang selektif,

namun dapat berfokus lebih banyak pada area lain, jika diarahkan untuk

melakukannya.

3. Kecemasan Berat

Kecemasan ini sangat mengurangi lapang persepsi individu. Individu

cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan spesifik, serta tidak berpikir

tentang hal lain. Semua perilaku dilakukan untuk mengurangi ketegangan. Individu

tersebut memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.

4. Kecemasan Tingkat Panik

Kecemasan ini berhubungan dengan rasa ketakutan dan teror. Hal yang terinci

terpecah dari proporsinya. Seorang individu dengan kecemasan tingkat panik,

mengalami kehilangan kendali, dan tidak mampu melakukan sesuatu, walaupun

dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi kepribadian, dan menimbulkan

peningkatan aktivitas motorik, menurunnya kemampuan untuk berhubungan

dengan orang lain, persepsi yang menyimpang, dan kehilangan pemikiran yang

rasional. Kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupannya, jika terus berlangsung

dalam waktu yang lama, dapat terjadi kelelahan dan kematian.

2.2.4 Alat Ukur Kecemasan

Pengukuran yang dipakai untuk mengukur kecemasan terhadap perawatan

gigi pada anak meliputi Children’s Fear Survey Schedule (CFSS), Venham Picture

18

Scale (VPT), Venham Anxiety and Behavior Rating Scales dan Behavior Profile

Rating Scale (Newton dan Buck, 2000)

2.2.4.1 Children’s Fear Survey Schedule (CFSS)

CFSS dibuat untuk meneliti kecemasan pada anak-anak secara umum. Ada

pula yang dibuat khusus dengan subskala yang berhubungan dengan perawatan gigi

yaitu Children’s Fear Survey Schedule – Dental Subscale (CFSS – DS) yang terdiri

dari 15 pertanyaan dengan 5 macam skala, dari 1 (tidak takut) hingga 5 (sangat

takut). Jawaban dijumlah, total nilai yang dihasilkan antara 15 sampai 75. Anak

dengan nilai > = 38 menandakan bahwa ia memiliki rasa takut terhadap perawatan

gigi, sedangkan nilai < 38 berarti tidak memiliki rasa takut (Newton dan Buck,

2000).

CFSS-DS lebih disukai dibandingkan DAS dan VPT karena mencakup lebih

banyak situasi dalam perawatan, mampu mengukur kecemasan lebih akurat.

2.2.4.2 Venham Picture Test (VPT)

Skala ini berisi 8 pasang gambar anak, tiap pasang menggambarkan sikap

anak yang takut dan tidak takut. Anak disuruh memilih, untuk tiap pasang, gambar

mana yang tepatnya mewakili perasaan mereka (Koch dan Poulsen, 2003). Nilai

yang didapat berkisar antara 0 sampai 8. VPT mudah diberikan, hanya memakan

waktu 1-2 menit dan cocok untuk anak yang kecil. Reliabilitas dan validitasnya

masih dipertanyakan.

2.2.4.3 Venham Anxiety and Behavior Rating Scales

Pengukuran ini terdiri dari dua skala untuk meneliti kecemasan dan sikap

yang tidak kooperatif. Tiap skala terdiri dari 5 sikap dengan kategori 0 sampai 5,

dengan ketentuan, jika nilai tinggi mengindikasikan besarnya tingkat kecemasan

19

atau kurangnya kooperatif. Reliabilitas dari cara ini baik meskipun dilakukan oleh

peneliti yang belum berpengalaman. Alwin dan koleganya menemukan bahwa

skala ini dapat digunakan untuk membedakan anak yang perlu dirujuk dengan

alasan tidak kooperatif dan anak dalam kelompok kontrol (Newton dan Buck,

2000).

2.2.4.4 Behavior Profile Rating Scale

Skala ini terdiri dari 27 sikap tidak kooperatif yang berhubungan dengan

kecemasan terhadap perawatan gigi. Sikap anak diobservasi selama 3 menit

diselingi 30 menit konsultasi, dan tiap pertanyaan dinilai jika didapati sikap anak

yang sesuai saat observasi kemudian nilai dijumlahkan. Skala ini cukup memiliki

reliabilitas dan validitas yang tinggi, serta dapat membedakan anak mana yang

perlu dirujuk dan yang tidak. Dibandingkan cara pengukuran yang lain, cara ini

banyak memakan waktu (Newton dan Buck, 2000).

2.3 Kecemasan dan Rasa Takut dalam Kedokteran Gigi

Kecemasan dalam kedokteran gigi merupakan masalah yang harus ditangani

dengan serius, terutama untuk anak-anak yang dapat mengingat tekanan dan rasa

sakit sehingga terbawa sampai dewasa (Aartman dkk., 1998). Rasa takut dan

kecemasan terhadap perawatan gigi membuat orang mengabaikan perawatan (Al-

Madi, 2002). Mereka hanya mencari pengobatan dengan sepengetahuannya

sendiri, yang akhirnya sering ditemukan gigi tersebut karies atau sudah berubah

menjadi lebih parah (Sutadi dan Heriandi.\, 1994) Orang yang mengabaikan

perawatan seperti ini bukan hanya menyulitkan diri sendiri tetapi juga juga dokter

20

gigi yang merawatnya, karena menjadi tidak kooperatif, menunda perjanjian dan

menurunkan ambang rasa sakit.

Selain rasa takut yang normal, terdapat pula rasa takut neurotik yang

merupakan suatu kelaianan, dimana rasa takut timbul secara berlebihan. Dokter gigi

sudah seharusnya dapat membedakan mana raa takut yang normal dan mana yang

merupakan rasa takut neurotik. Dental phobia didefinisikan sebagai jenis

ketakkutan khusus yang berada diluae proposi , suatu ketakutan tidak beralasan

yang muncul di luar kontrol dan mengarah pada penghindraan perawatan gigi saat

benar-benar dibutuhkan. Etiologi utama dari ketakutan “ekstrem” ini pada

umumnya yaitu dental trauma. Sebagian besar pasien yang memiliki dental phobia

mengalami trauma tersebut pada masa kanak-kanak (Marks, 1978)

Bentuk kecemasan terhadap perawatan gigi yang paling umum terjadi pada

anak-anak dapat berupa rasa takut akan sesuatu yang tidak diketahui (fear of the

unknown) dan kurangnya pengawasan (lack of control) (Chadwick dan Hosey,

2003).

Bagi beberapa pasien, merasa tidak tahu apa yang akan terjadi merupakan

sebagian besar dari kecemasan mereka. Hal ini ditunjukkan oleh pasien yang cemas

pada saat pertama kali bertemu dengan dokter gigi, tetapi mereka dapat mengatasi

kecemasan tersebut saat sudah mengenal dokter gigi tersebut. Berada di dental chair

dapat menciptakan perasaan tidak berdaya bagi kebanyakan pasien. Pasien yang

tidak mampu berbicara karena mulutnya “penuh” instrument, dapat menghasilkan

perasaan kalau pasien tersebut kurang diawasi atau diperhatikan oleh dokter

giginya. Pasien tersebut dapat menganggap bahwa ia tidak akan memiliki

21

kesempatan untuk menghentikan proses yang sedang berjalan jika sesuatu yang

salah terjadi (Chadwick dan Hosey, 2003).

Perasaan takut semacam ini dapat diatasi dengan memberi informasi kepada

pasien (misalnya dengan brosur) bahwa mereka dapat menginterupsi apa yang

sedang dilakukan dokter gigi. Banyak dokter gigi menggunakan cara sederhana

(misalnya mengangkat tangan), dan terbukti bahwa hal ini dapat berguna sekali

pada anak-anak maupun dewasa (Hmud dan Walsh, 2007). Pada anak yang kecil,

jika rasa sakit yang dirasa tidak terlalu berat, suara dan getaran bur serta tekanan

instrumen saat preparasi kavitas menjadi sumber ketakutan mereka (Fimm, 1973)

2.3.1 Etiologi Kecemasan dalam Kedokteran Gigi

Weiner dan Sheehan (1990) mengelompokkan etiologi kecemasan dalam

kedokteran gigi menjadi dua, yaitu eksogen (exogenous) dan endogen

(endogenous). Faktor eksogen meliputi pengalaman traumatik dan pengaruh orang

lain. Sedangkan, faktor endogen meliputi kecenderungan terkena gangguan

kecemasan, tanda kecemasan secara umum dan gangguan mood. Kecemasan yang

terjadi pada anak-anak cenderung terjadi karena faktor eksogen dan pada orang

dewasa cenderung karena faktor endogen (Locker, 1999). Kecemasan terhadap

perawatan gigi merupakan fenomena kompleks multidimensional, tidak ada

variabel yang berdiri sendiri dalam perkembangan rasa cemas (Hmud dan Walsh,

2007)

Rasa takut /cemas terhadap perawatan yang dilakukan oleh dokter gigi, pada

umumnya merupakan faktor penderita/pasien dan faktor dokter gigi itu sendiri

22

termasuk perawatan yang dilakukannya serta situasi dan keadaan lingkungan

perawatan gigi.

a. Faktor Pasien

Faktor penderita meliputi asumsi pribadi, ketidaktahuan penderita akan

perawatan yang dilakukan dokter gigi, serta faktor pengalaman pribadi (Sutadi dan

Heriandi, 1994). Kepribadian, takut akan sakit, pengalaman perawatan sebelumnya,

pengaruh dari anggota keluarga atau teman sebaya (vicarious learning) dan takut

terluka, juga termasuk faktor penderita yang mempengaruhi kecemasan (Hmud dan

Walsh, 2007).

Kepribadian menentukan bagaimana seseorang merespon situasi yang baru.

Respon tersebut dapat berupa positif (seperti tersenyum ataupun menghadapi

tantangan), dan mungkin juga negatif (seperti menarik diri). Perilaku yang berada

di luar karakter bisa jadi merupakan tanda kecemasan (Chadwick dan Hosey, 2003).

Ada salah satu hal yang merupakan bagian kepribadian yang merupakan

keyakinan seseorang bahwa apa yang mereka lakukan dapat mempengaruhi suatu

kejadian. Hal ini disebut locus of control. Seseorang yang percaya bahwa mereka

dapat mengontrol apa yang akan terjadi disebut internal. Sedangkan, yang

seseorang yang percaya bahwa apa yang terjadi adalah tergantung keadaan disebut

eksternal. Seseorang yang merupakan tipe internal membutuhkan informasi

lengkap tentang perawatannya agar dia tidak merasa cemas, dan sebaliknya,

seorang tipe eksternal menjadi lebih cemas jika diberi keterangan yang rinci. Selain

itu, terdapat pula trait anxiety di mana seseorang menjadi lebih cemas daripada

23

yang lainnya. Hal ini juga mempengaruhi kecemasan dalam perawatan gigi

(Chadwick dan Hosey, 2003).

Secara umum, perkiraan pasien bahwa dia akan merasakan sakit, terluka atau

tersedak dapat menjadi pemicu utama kecemasan terhadap perawatan gigi. Takut

akan sakit berhubungan erat dengan kecemasan dan penghindaran perawatan gigi.

Penelitian Kent melihat bahwa memori akan rasa sakit yang dialami

“terrekonstruksi” tiap waktu. Beliau menemukan bahwa pasien dengan kecemasan

tinggi cenderung menaksir terlalu tinggi rasa sakit yang akan dirasakan dan juga

rasa sakit yang sudah dirasakan, jika ditanya untuk mengingatnya lagi. (Hmud dan

Walsh, 2007)

Selain hal-hal di atas, jenis kelamin juga sering dilaporkan berpengaruh pada

kecemasan terhadap perawatan gigi, di mana wanita memiliki prevalensi rasa takut

yang lebih besar dan lebih parah dibandingkan pada pria. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa prevalensi tersebut adalah dua kali lebih tinggi pada wanita

dibandingkan pada pria (Armfield dkk., 2006)

Eli dkk juga memberi catatan bahwa wanita lebih mudah mengingat rasa sakit

yang dialaminya saat perawatan gigi dibandingkan pria. Locker dkk menambahkan,

wanita lebih cenderung melaporkan pengalaman yang negatif dalam perawatan

giginya. Hal lainnya yang seringkali dilaporkan memiliki hubungan dengan rasa

takut adalah usia. Meskipun hasil yang terdapat pada literatur mengenai hubungan

antara usia dan rasa takut terhadap perawatan gigi tidak pasti, orang yang lebih

muda umumnya lebih cemas dibandingkan orang yang lebih tua. Walaupun begitu,

hasil yang sebaliknya juga dapat ditemukan dan terdapat kejadian di mana orang

24

dewasa muda memiliki rasa takut yang paling rendah dibandingkan kelompok usia

dewasa lainnya (Armfield dkk., 2006).

b. Faktor Lingkungan

Rasa takut terhadap perawatan gigi semakin besar dan terasa, baik secara

sadar maupun tidak. Saat pasien membuat janji dengan dokter gigi, kecemasan dan

stress terbentuk dalam derajat yang tinggi. Saat duduk di ruang tunggu, kecemasan

semakin meningkat (Sharma, 1976)

Pertiwi, Nonong dan Sasmita (2010) menegaskan, pasien biasanya

mengatakan bahwa kecemasan mereka lebih tinggi ketika menunggu di ruang

tunggu daripada ketika mereka sudah duduk di unit kursi gigi. Menghadapi

bayangan yang akan terjadi seringkali lebih buruk daripada kejadian itu sendiri.

Sutadi (1994) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ruang tunggu merupakan

faktor utama timbulnya rasa takut/cemas. Hal ini memperjelas bahwa situasi dan

keadaan lingkungan perawatan gigi sangat berpengaruh terhadap timbulnya rasa

takut/cemas (Sutadi, 1992)

Ketika masuk ke ruang praktik, pasien tersebut mendapat rangsangan sensori,

yang meskipun normal, akan terasa tidak menyenangkan. Rangsangan ini dapat

berupa cahaya, instrumen, bau yang tidak enak dan rasa medikasi, seragam putih

dokter gigi, suara instrumen dan suara bur. Komunikasi juga seringkali

meningkatkan kecemasan pasien.

Waktu yang dihabiskan untuk menunggu dimulainya perawatanan juga

umumnya dirasakan pasien sebagai hal yang menimbulkan kecemasan, karena hal

ini meningkatkan waktu untuk memikirkan apa yang akan (atau mungkin) terjadi.

25

Hal ini menekankan perlunya dukungan staf dalam praktik untuk lebih tanggap

terhadap adanya pasien yang cemas (Hmud dan Walsh, 2007)

c. Faktor Dokter Gigi

Faktor yang penting untuk diperhatikan dari faktor dokter gigi, salah satunya

adalah penampilan dokter gigi itu sendiri dalam melakukan pelayanannya.

Merupakan hal yang wajar bila pasien menyatakan suka atau tidak bila dilakukan

perawatan oleh seorang dokter gigi karena mungkin adanya sikap atau penampilan

yang kurang berkesan atau tidak menyenangkan. Akan tetapi, mungkin juga sikap

dokter gigi tersebut timbul sebagai akibat reaksi dari pasien sendiri sehingga timbul

rasa suka atau tidak dari dokter gigi tersebut. Hal ini memang merupakan roda yang

sulit dicari ujung pangkalnya (Hmud dan Walsh, 2007).

Seperti yang kita ketahui, komunikasi antara dokter gigi dan pasien

memegang peranan penting. Sikap dokter gigi dapat mempengaruhi terjalinnya

komunikasi dengan pasien. Sikap-sikap dokter gigi yang ramah, mau

mendengarkan dan menerima kelakukan pasien adanya empati maupun memberi

rasa aman, dapat mendorong pasien untuk menemui dokter giginya (Atmodiwirjo,

1986).

Di sisi lain, pemicu kecemasan juga dapat termasuk sikap atau perkataan

yang diberikan oleh dokter gigi, yaitu jika ia marah atau membuat komentar yang

merendahkan pasien. Moore dkk membuktikan dokter gigi dengan sikap negatif 5-

10 kali lebih sering dilaporkan oleh pasien dengan kecemasan tinggi (Hmud dan

Walsh, 2007).

26

d. Faktor Tindakan Dokter Gigi

Di samping sikap dokter gigi, macam pengobatan itu sendiri juga dapat

memperberat keadaan, seperti halnya gerakan yang dilakukan dokter Faktor yang

penting untuk diperhatikan dari faktor dokter gigi, salah satunya adalah penampilan

dokter gigi itu sendiri dalam melakukan pelayanannya. Merupakan hal yang wajar

bila pasien menyatakan suka atau tidak bila dilakukan perawatan oleh seorang

dokter gigi karena mungkin adanya sikap atau penampilan yang kurang berkesan

atau tidak menyenangkan. Akan tetapi, mungkin juga sikap dokter gigi tersebut

timbl sebagai akibat reaksi dari pasien sendiri sehingga timbul rasa suka atau tidak

dari dokter gigi tersebut. Hal ini memang merupakan roda yang sulit dicari ujung

pangkalnya (Sutadi, 1992).

Seperti yang kita ketahui, komunikasi antara dokter gigi dan pasien

memegang peranan penting. Sikap dokter gigi dapat mempengaruhi terjalinnya

komunikasi dengan pasien. Sikap-sikap dokter gigi yang ramah, mau

mendengarkan dan menerima kelakukan pasien adanya empati maupun memberi

rasa aman, dapat mendorong pasien untuk menemui dokter giginya (Atmodiwirjo,

1986.

27

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESA

3.1 Kerangka Konsep

3.2 Hipotesa

Terdapat tingkat kecemasan yang tinggi terhadap berbagai situasi

perawatan gigi pada anak TK.

27

Psikoanalitis Interpersonal Perilaku Keluarga Biologis

Respon Kecemasan

Psikologis dan Fisiologis

Anak TK Usia 4-6 Tahun

terhadap Perawatan Gigi

28

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penellitian

Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental cross-sectional.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi : TK di kecamatan Mojoroto Kediri yang murid-muridnya sudah

bersedia untuk diteliti.

Waktu : Pada tanggal 2 Desember 2013, waktu kosong seusai pelajaran

sekolah.

4.3 Sampel dan Populasi

4.3.1 Sampel

Metode pengambilan sampel pada penelitian ini adalah menggunakan

Judgemental Sampling, yaitu pemilihan sampel dengan cara memilih sampel

diantara populasi sesuai tujuan atau masalah dalam penelitian. (Sugiyono, 2001).

Sampel minimal 72 anak dengan rumus Taro Yamane dan Slovin :

𝑁

𝑁. 𝑑2 + 1

Dimana (Riduwan dan Akdon, 2010) :

n = Jumlah sampel

N = Jumlah Populasi

28

n =

29

𝑑2 = Presisi (ditetapkan 10%) dengan tingkat kepercayaan 95

Sampel diambil 80 anak dari 37 TK dimana 20 anak per-TK berpopulasi

terbanyak. Kriteria sampel adalah :

1. Anak TK usia 4-6 tahun, laki- laki maupun perempuan.

2. Memiliki kemampuan membaca dengan baik.

3. Bersedia menjadi responden.

4. Anak bersifat kooperatif.

5. Pernah berkunjung ke dokter gigi sebelumnya.

6. Tidak memiliki cacat mental atau fisik

4.3.2 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah anak TK usia sekolah umur 4-6 tahun,

yang sudah pernah melakukan perawatan gigi. Dimana menurut Muhibbin (2004)

si anak berada dalam periode perkembangan kognitif pra-operasional yakni usia di

mana penguasaan sempurna akan objek permanen dimiliki. Artinya, si anak

memiliki kesadaran akan eksisnya suatu benda yang harus ada atau biasa ada. Juga

mengembangkan peniruan yang tertunda seperti ketika ia melihat perilaku orang

lain sepeti saat orang merespons barang, orang, keadaan dan kejadian yang dihadapi

pada masa lalu. Perkembangan emosi mereka sangat kuat seperti ledakan amarah

dan ketakutan yang hebat.

4.4 Variabel

Varabel bebas : 8 situasi yang berkaitan dengan perawatan gigi.

Variabel tak bebas : Tingkat kecemasan terhadap perawatan gigi.

30

4.5 Definisi Operasional

1. Anak TK usia 4-6 tahun

2. Kuesioner: daftar yang berisi 8 pertanyaan yang dibuat berdasarkan situasi di

tempat praktik dokter gigi dan tindakan dokter gigi. (lihat lampiran)

3. Tingkat Kecemasan: skala yang digunakan adalah “Venham Picture Test

(VPT)” terdiri dari 8 kartu dengan dua tokoh disetiap kartu. Tokoh pertama

menunjukkan rasa cemas dan tokoh lainnya menunjukkan rasa tidak cemas.

Anak diminta untuk memilih salah satu tokoh pada setiap kartu. Jika anak

memilih Tokoh cemas maka diberi angka 1 dan jika anak memilih tokoh tidak

cemas maka diberi angka 0. (Skorminimum 0 dan maksimum 8)

Gambar 4.5 Venham Picture Test

31

Sumber: Sumber: Kent GG, Blinkhorn AS. Pengelolaan tingkah laku pasien pada

praktik dokter gigi. Jakarta: EGC;2005.hal.69

4.6 Alat dan Bahan

Bahan adalah kuesioner dengan 8 pertanyaan dan alat ukur kecemasan dental

dengan 8 kartu.

4.7 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian meliputi :

1) Sampel yang sudah sesuai dengan kriteria, dan bersedia dilakukan

penelitian, diberikan inform concent, untuk diterima dan disetujui orang

tua pasien .

2) Sampel dilakukan pengukuran kecemasan dengan alat ukur Venham

Picture Test (VPT)

3) Pengumpulan data primer, dilakukan setelah diperoleh data dari

pengisian kuesioner dari pengukuran VPT, dengan 8 item pertanyaan,

dan diklasifikasikan dengan nilai 0 dan 1, sehingga nilai yang diperoleh

dari instrumen ini dalam rentang nilai 0-8. Perbandingan jumlah takut

dan tidak takut digunakan untuk menentukan gambaran tingkat

kecemasan anak TK di kecamatan Mojoroto Kediri.

4.8 Pengolahan dan Analisis

Proses pengambilan dan pengumpulan data dilaksanakan oleh peneliti,

dengan menggunakan data primer, yang diperoleh dari hasil kuesioner, pada

pengukuran tingkat kecemasan VPT , di 37 TK kecamatan Mojoroto Kediri. Data

32

yang terkumpul kemudian ditabulasikan dengan menghitung data peluang masing-

masing sampel. Analisa data dilakukan dengan perhitungan presentase, sesuai

dengan hasil kuesioner pengukuran VPT. Selanjutnya hasil penelitian ditampilkan

dalam bentuk tabel umum, dan dilakukan pembahasan terhadap variabel.

4.9 Alur Penelitian

Membuat kuesioner

Mengajukan ethical clearance

Menentukan populasi

Mengambil data

Mengolah data

Membuat laporan penelitian