proposal kel. 1

55
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria adalah salah satu penyakit yang menjadi penyebab kematian dan dapat mengakibatkan anemia secara langsung di Indonesia. Pada tahun 2009 angka kematian per 1000 penduduk adalah 1,85 . MDGs menargetkan untuk dapat menghentikan penyebaran dan mengurangi prevalensi malaria pada tahun 2015 dan bebas tertular malaria pada tahun 2030 ke depan (Kemenkes 2011). Plasmodium penyebab malaria ada beberapa jenis, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium ovale, Palsmodium vivax, dan ada yang gabungan. Plasmodium falciparum menjadi penyebab tertinggi pada tahun 2010 (Riskesdas 2010 dalam Kemenkes 2011). Yang kita kenal obat anti malaria adalah terapi kombinasi berbasis artermisinin (ATC) dan obat ini sangat mahal (WHO 2009 dalam Ratnani dkk 2012). Sehingga hal tersebut dapat diatasi dengan

Upload: krismadha

Post on 02-Feb-2016

42 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Proposal Kel. 1

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Kel. 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria adalah salah satu penyakit yang menjadi penyebab kematian dan dapat

mengakibatkan anemia secara langsung di Indonesia. Pada tahun 2009 angka

kematian per 1000 penduduk adalah 1,85 . MDGs menargetkan untuk dapat

menghentikan penyebaran dan mengurangi prevalensi malaria pada tahun 2015

dan bebas tertular malaria pada tahun 2030 ke depan (Kemenkes 2011).

Plasmodium penyebab malaria ada beberapa jenis, yaitu Plasmodium falciparum,

Plasmodium ovale, Palsmodium vivax, dan ada yang gabungan. Plasmodium

falciparum menjadi penyebab tertinggi pada tahun 2010 (Riskesdas 2010 dalam

Kemenkes 2011). Yang kita kenal obat anti malaria adalah terapi kombinasi

berbasis artermisinin (ATC) dan obat ini sangat mahal (WHO 2009 dalam Ratnani

dkk 2012). Sehingga hal tersebut dapat diatasi dengan pengupayaan produksi obat

anti malaria yang mudah ditemukan, dan berasal dari kearifan lokal.

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan bahan alam. Penelitian tentang

manfaat bahan alam juga sudah banyak dilakukan, termasuk salah satunya

penelitian pada Carica papaya. Carica papaya adalah tumbuhan yang berasal dari

Amerika yang kemudian tersebar ke daerah Afrika dan Asia, termasuk Indonesia

(Setiaji 2009 dalam Farid 2015). Daun papaya sudah banyak dimanfaatkan pada

berbagai jenis penyakit. Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang

dapat meningkatkan kekuatan total antioksidan di dalam darah dan menurunkan

perooxidation level, seperti papain, chymopapain, cystatin, α-tocopherol, ascorbic

Page 2: Proposal Kel. 1

acid, flavonoid, cyanogenic glucosides dan glucosinolates (Seigler 2002 dalam

Wardani 2012). Ekstrak etanol daun papaya memiliki efek inhibisi yang paling

kuat pada Plasmodium sp. dibandingkan dengan ekstrak daun johar, biji mahoni,

dan daun tapak dara (Fitriningsih dkk 2010). Daun Pada penelitian secara in vitro,

ekstrak daun papaya dengan etil asetat secara signifikan dapat menyaring

Plasmodium falciparum dengan index 249,25 untuk strain D10 dan 185,37 untuk

strain DD2 (Melariri dkk 2011).

Seperti halnya daun papaya, daun sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

juga sangat mudah ditemukan di seluruh daerah di Indonesia, bahkan sejak zaman

dahulu sudah digunakan sebagai obat antipiretik, dan juga telah diteliti daun

sambiloto memiliki efek sebagai analgesik, anti inflamasi, antibakteri,

antiperiodic, antiviral, vermicidal dan memperbaiki imunitas (Zein 2005).

Beberapa penelitian daun sambilito memiliki senyawa andrographolide bersinergi

dengan kurkumin yang memiliki aktivitas anti malaria 81% dibandingkan kontrol

dan mampu memperpanjang umur 2-3 hari (Mishra 2011). isolat sambiloto

mampu menghambat Plasmodium falciparum pada stadium gametosit in vitro

(Widyowati 2003 dalam Ratnani dkk 2012).

Berdasarkan uraian di atas kami ingin mengetahui efek daun papaya (Carica

papaya) dan daun sambiloto (Andrographis paniculata) pada Plasmodium

falciparum sebagai alternatife pencegahan penyakit malaria di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah kombinasi ekstrak daun papaya dan daun sambiloto akan

memberikan efek inhibisi terhadap Plasmodium falciforum pada mencit?

Page 3: Proposal Kel. 1

2. Apakah kombinasi ekstrak daun papaya dan daun sambiloto dapat digunakan

sebagai alternatif pengobatan penyakit malaria?

1.3 Tujuan

1. Membuktikan bahwa kombinasi ekstrak daun papaya dan daun sambiloto

dapat memberikan efek inhibisi terhadap Plasmodium falciforum pada

mencit.

2. Membuktikan efek kombinasi ekstrak daun papaya dan daun sambiloto dapat

digunakan sebagai alternative pengobatan penyakit malaria.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Keilmuan

1. Mengetahui efek inhibisi dari kombinasi ekstrak daun papaya dan daun

sambiloto terhadap Plasmodium falciforum.

2. Sebagai salah satu dasar teori tentang pengaruh pemberian kombinasi

ekstrak daun papaya dan daun sambiloto terhadap Plasmodium falciforum.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif malaria yang disebabkan

oleh Plasmodium falciforum.

Page 4: Proposal Kel. 1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Malaria

2.1.1 Definisi

Malaria adalah penyakit yang banyak mengancam jiwa manusia

didaerah subtropics. Penyakit ini menjadi ancaman serius. Malaria

adalah penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles

betina yang mengandung parasite Plasmodium. Parasit ini berkembang

dalam sel darah merah manusia . Gejala awal malaria adalah panas tinggi

secara berkala dan sakitkepala yang hebat, terasa mual muntah yang

disertai dengan penurunan nafsu makan. Selain itu badan terasa lemah

dan wajah menjadi pucat karena kekurangan sel darah merah. Mata

berwarna kuning dan air seni berwarna coklat tua jika tidak mendapatkan

pertolongan langsung akan menjadi kejang-kejang (WHO 2008).

Daerah endemic malaria terletak pada daerah yang terletak pada

posisi 64oLintang Utara sampai 32oLintang Selatan dengan ketinggian

400 meter dibawah permukaaan laut dan 2600 meter di atas permukaan

laut. Sebagian besar wilayah Indonesia merupakan daerah endemic

infeksi malaria, Indonesia bagian timur seperti Papua, Maluku, Nusa

tenggara, Sulawesi dan Kalimantan (Harijanto 2011)

Page 5: Proposal Kel. 1

Sumber : WHO

2.1.2 Etiologi

Penyebab dari malaria adalah parasit protozoa Plasmodium.

Plasmodium ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Nyamuk ini menggigit manusia pada waktu antara senja dan fajar. Ada

empat jenis Plasmodium yang ditularkan nyamuk anopheles betina :

1. Plasmodium Falciparum

2. Plasmodium malariae

3. Plasmodium ovale

4. Plasmodium vivax

Diantara keempatnya yang paling banyak menginfeksi adalah

plasmodium falciparum. Plasmodium jenis ini juga mudah resisten

terhadap obat-obatan yang telah ditemukan. Selain itu plasmodium

falciparum penyebab kematian yang paling banyak dibanding

plasmodium lainnya (WHO 2008).

Page 6: Proposal Kel. 1

Berikut adalah gambar dari masing-masing plasmodium dari fase

tropozoit, schizont dan gametosit.

2.1.3 Klasifikasi

Berdasarkan parasite yang menginfeksi malaria dibedakan

menjadi :

1. Malaria tertiana disebabkan Plasmodium vivax , malaria ini memiliki

gejala demam muncul setiap hari ketiga.

2. Malaria quartana disebabkan Plasmodium falciparum, malaria ini

memiliki gejala demam setiap hari keempat

3. Malaria serebral disebabkan Plasmodium Falciparum, malaria ini

ditandai gejala demam tidak teratur dengan terserangnya bagian otak

dan sering kali terjadi kematian mendadak

4. Malaria pernisiosa disebabkan Plasmodium vivax menimbulkan

gejala mirip stroke dan koma yang mendadak disertai gejala malaria

yang berat (Depkes 2008).

2.1.4 Patofisiologi

Page 7: Proposal Kel. 1

Faktor parasite, faktor penjamu dan faktor sosial lingkungan

saling berkaitan dalam manifestasi klinik malaria dari yang paling ringan

sampai yang berat biasanya disertai dengan komplikasi gagal organ

(Sutanto 2009).

Diawali dengan gigitan nyamuk anopheles betina yang membawa

sporozoit ke peredaran darah kemudian akan menginfeksi sel-sel hati

dan memasuki tahapan ekso-eritrosit. Sporozoit yang lolos dari system

imun akan berkembangbiak dalam sel hati. Sporozoit akan menuju

eritrosit. Eritrosit yang mengandung parasite akan di fagositosis

sehingga menyebabkan anemia. Parasit malaria melepaskan factor

nekrosis tumor (TNF) . TNF dan sitokin lainnya akan menimbulkan

gejala demam. TNF juga mempunyai tugas untuk menghancurkan

P.falciparum in vitro dan meningkatkan perlekatan eritrosit yang

mengandung parasite pada endotel kapiler. Hal itu akan menimbulkan

tonjolan-tonjolan pada permukaan endotel. Tonjolan itu mengandung

antigen malaria yang berinteraksi dengan antibody. Hal tersebut akan

menyebabkan gumpalan dalam pembuluh darah dan akan memperlambat

mikrosirkulasi dan menghambat fungsi ginjal, otak dan syok (Syaifuddin

2005).

Malaria memepengaruhi sebagian besar siklus darah dan

menyebabkan anemia, trombositopenia, splenomegaly, limfositosis

ringan hingga berat. Gejala yang paling sering dilaporkan adalah anemia

dan trombositopenia dan mempengaruhi mortalitas. Semua jenis malaria

menginfeksi eritrosit. Eritrosit yang terinfeksi akan pecah dan

Page 8: Proposal Kel. 1

menyebabkan hemolysis. Jika kejadian tersebut terjadi berulang akan

mengalami anemia hemolitik hipokromik mikrositik (Dinkes 2010).

2.1.5 Pengobatan malaria

Pengobatan diberikan untuk membunuh semua stadium parasite

yang ada dalam tubuh penderita. Pengobatan radikal ini bertujuan untuk

mendapatkan kesembuhan klinis dan parasitologik dan memutuskan

rantai penularan (Depkes 2013).

1. Pengobatan malaria tanpa komplikasi disebut juga pengobatan lini

pertama berikut ini merupakan pengobatan lini pertama menurut

kelompok umur:

Hari JenisObat

Jumlah tablet perharimenurutkelompokumur

0-1 Bulan2-11

Bulan1-4 Tahun

5-9

Tahun

10-14

Tahun

≥15

Tahun

1

Artesunat ¼ 1/2 1 2 3 4

Amodiakuin 1/4 1/2 1 2 3 4

Klorokuin *) *) 3/4 1 1/2 2 2-3

2

Artesunat 1/4 1/2 1 2 3 4

Amodiakuin 1/4 1/2 1 2 3 4

3

Artesunat 1/4 1/2 1 2 3 4

Amodiakuin 1/4 1/2 1 2 3 4

2. Pengobatan lini kedua diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak

efektif dimana ditemukan: gejala klinis tidak memburuk tetapi

Page 9: Proposal Kel. 1

parasite aseksual tidak berkurang (persisten) atau timbul kembali

(rekrudesensi)

Tabel III.1.2. Lini kedua = Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin +

Primakuin

Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria Falsiparum

Hari JenisObat

Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-11 Bulan 1-4 Tahun 5-9 Tahun10-14

Tahun>15 Tahun

1

Kina *) 3 X 1/2 3 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Tetrasiklin - - - *) 4 X 1**)

Primakuin - 3/4 11/2 2 2-3

2 - 7

Kina *) 3 X 1/2 3 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Tetrasiklin - - - *) 4 X 1**)

Hari JenisObat

Jumlah tablet perharimenurutkelompokumur

0-11 Bulan 1-4 Tahun 5-9 Tahun10-14

Tahun>15 Tahun

1

Kina *) 3 X 1/2 3 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Doksisiklin - - - 2 X 1**) 2 X 1**)

Klorokuin - 3/4 11/2 2 2-3

2

Kina *) 3 X 1/2 3 X 1 3 X 11/2 3 X (2-3)

Doksisiklin - - - 2 X 1**) 2 X 1**)

Page 10: Proposal Kel. 1

*) Dosisdiberikan kg/bb

**) 2x50 mg Doksisiklin

***) 2x100 mg Doksisiklin

2.2 Plasmodium falciparum

2.2.1 Taksonomi dan morfologi

Kalsifikasi Plasmodium dalam taksonomi

Kingdom : Protista

Subkingdom : Protozoa

Phylum : Apicomplexa

Class :Sporozoasida

Ordo :Eucoccidiorida

Family :Plasmodiidae

Genus : Plasmodium

Spescies :Falciparum, malariae, ovale, vivax

Dari klasifikasi diatas kita dapat menyimpulkan bahwa

plasmodium adalah organisme sel tunggal yang mirip hewan,

mempunyai selubung inti sel, mempunyai kemampuan hidup di sel lain

yaitu eritrosit (Sarkar 2008).

Page 11: Proposal Kel. 1

Sumber :Lab. Parasitologi UNAIR

Gambar diatas menunjukkan plasmodium falciparum dalam

eritrosit. gambaran P. falciparum seperti koma

2.2.2 SiklushidupPlasmodium falciparum

Sumber : (WHO 2008)

1. Nyamuk betina anopheles menggigit manusia dan meginjeksikan

sporozoit kemudian sporozoit memasuki aliran darah menuju ke

hepar. Setelah sampai di liver sporozoit akan menginfeksi sel hepar

dan membentuk schizont. Daur hidup ini disebut siklus eksoeritrosit.

2. Schizont yang ada di hepar sewaktu-waktu bisa pecah kemudian

akan ikut aliran darah dalam bentuk tropozoit. Tropozoit yang matur

akan memasuki eritrosit dan membentuk schizont dalam eritrosit dan

begitu seterusnya. Fase ini disebut dengan siklus eritrosit.

Page 12: Proposal Kel. 1

3. Tropozoit yang matur dalam eritrosit akan membentuk fase

gametosit kemudian gametosit akan menjadi gamet betina yang

termasuk gamet betina. Jika nyamuk betina anopheles menggigit lagi

maka plasmodium dalam fase gamet akan ikut terhisap ke dalam

tubuh nyamuk.

4. Di dalam tubuh nyamuk anopheles betina gametosit dari plasmodium

berkembang menjadi macrogametosit kemudian berkembang

menjadi ookinet kemudian menjadi oosit dan oosit akan pecah

menjadi sporozoit yang akan ditularkan kembali ke manusia. Siklus

ini disebut siklus sporogonic (WHO 2010).

2.3. Pepaya (Carica papaya L.)

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk salahsatu jenis tanaman obat

yang produktif, dengan laju pertumbuhan cepat dan masa hidup yang

singkat. (Peter 1991 dalam Wardani 2012). Di daerah Jawa, tanaman ini

dikenal dengan nama kates. Daunnya mengandung metabolit sekunder

alkaloid yang cukup banyak dibandingkan dengan yang terdapat dalam

buah. Banyak masyarakat yang menggunakan pepeya sebagai pelunak

daging karena daunnya memiliki kandungan enzim papain. Dan juga,

banyak masyarakat Indonesia dan Australia yang memanfaatkan daunnya

sebagai antikanker. (Dalimartha, 2003; Tietze, 2002 dalam Sukardiman,dkk

2006). Bunga pepaya sudah dibuktikan dapat digunakan sebagai antibakteri,

sedangkan daunnya banyak terbukti efektif melawan ulcer gastrik dan

antisikling pada menggunakan tikus pada beberapa studi penelitian. (Halim,

et al, 2011 dalam Wardani 2012).

Page 13: Proposal Kel. 1

2.3.1. Taksonomi dan Morfologi Pepaya

Tanaman pepaya diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)

Sub-Divisi : Angiosperma (Biji Tertutup)

Kelas : Dicotyledonae (Biji berkeping dua)

Ordo : Caricales

Famili : Caricaceae

Spesies : Carica papaya L.(Rukmana 1995 dalam Wardani

2012)

Tanaman pepaya merupakan perdu tinggi kurang lebih 10

meter, tidak berkayu, silindris, berongga, putih, kotor. Daun

tunggal, bulat, ujung runcing, pangkal bertoreh, tepi bertoreh, tepi

bergerigi, diameter 25-75 cm, pertulangan menjari, panjang tangkai

25-100 cm, hijau. Bunga tunggal, bertekuk bintang, di ketiak

daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan terletak pada

tandan yang serupa malai, kelopak kecil, kapala sari bertangkai

pendek atau duduk, kuning, mahkota bentuk terompet, tepi bertajuk

lima, bertabung panjang, putih kekuningan. Bunga betina berdiri

sendiri, mahkota lepas, kepala putik lima, duduk, bakal buah beruang

satu, putih kekuningan. Biji bulat atau bulat panjang, kecil, bagian

luar dibungkus selaput tipis yang berisi cairan, masih muda putih,

setelah tua hitam. Akarnya tunggang, bercabang bulat, putih

kekuningan (Depkes 2000 dalam Astuti 2009).

Page 14: Proposal Kel. 1

2.3.2. Kandungan Kimia Pepaya (Carica papaya)

Daun pepaya mengandung sejumlah komponen aktif yang

dapat meningkatkan kekuatan total antioksidan di dalam darah dan

menurunkan level perooxidation level, seperti papain,

chymopapain, cystatin, α-tocopherol, ascorbic acid, flavonoid,

cyanogenic glucosides dan glucosinolates (Seigler, 2002 dalam

Wardani 2012). Daun pepaya mengandung enzim papain, alkaloid

karpain, pseudo karpain, glikosida, karposid, dan saponin.

(Muhlisah, 2001 dalam Wardani 2012).

Tabel 2.1 : Pemeriksaan Kimia dari Daun Pepaya

Konstitusi Bioassay

Daun Hijau Daun Kuning Daun Kuning

Saponin + + +

Tannins - - -

Cardiac glycoside + + +

Alkaloid + + +

Sumber: (Ayoola dan Adeyeye 2010 dalam Wardani 2012)

Tabel 2.2 Kandungan Biochemical Daun Pepaya

Bahan Aktif Kandungan (ppm)

Alkaloid 1.300-4.000

Flavonoid 0-2.000

Tannin 5.000-6.000

Dehydrocarpaine 1.000

Pseudocarpaine 100

Sumber : (Cornell University 2009 dalam Wardani 2012)

2.3.3. Ekstrak Daun Pepaya sebagai Anti Malaria

Page 15: Proposal Kel. 1

Kandungan alkaloid carpine yang banyak ditemukan pada akar,

bunga dan juga daun pepaya yang menyebabkan muncul rasa pahit

ketika dimakan. Obat-obat dengan struktur kimia yang berbeda

sangat mungkin memiliki target obat yang berbeda. Senyawa

flavonoid memiliki berbagai aktivitas farmakologis dan memiliki

struktur kimia yang berbeda dengan obat malaria lain (Nuri 2005

dalam Rehena, 2010 ). Dalam penelitian (Rehena, 2010) yang

dilakukan secara invitro, terlihat ekstrak etanol daun pepaya

menunjukkan potensi aktif sebagai antimalaria. Hal ini bisa dilihat

dari bentuk morfologi plasmodium falcifarum dari pembuatan slide

sediaan darah tipis pewarnaan giemsa pada stadium ring (cincin)

yang menginfeksi eritrosit darah manusia golongan darah O yang

diinkubasi selama 48 jam secara in vitro. Hasil pengujian invitro

ekstrak etanol jauh lebih kecil dari batas ideal, sehingga dapat

dikatakan ekstrak etanol daun pepaya secara invitro aktif sebagai

antimalaria.

Dari lima ekstrak etanol simplisia yang diteliti (daun johar, biji

mahoni, daun pepaya, daun tapak dara dan akar tapak liman),

kelimanya memberikan aktivitas antiplasmodium yang bermakna

(α=0,01) dibandingkan dengan kontrol. Ekstrak etanol yang memiliki

aktivitas antiplasmodium terbaik adalah ekstrak etanol daun pepaya

dengan potensi inhibisi sebesar 42,45%. Diikuti oleh ekstrak etanol

biji mahoni, daun johar, daun tapak darah dan akar tapak liman yaitu

Page 16: Proposal Kel. 1

masing-masing sebesar 33,53%, 31,44%, 24,84%, dan 20,67%.

(Fitrianingsih, dkk. 2010)

2.4. Sambiloto Andrographis panuculata Ness

Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.) Wall. ex

Nees) (Acanthaceae) merupakan salah satu dari 9 tanaman obat

potensial yang diprioritaskan penelitian dan pengembangannya oleh

Badan POM untuk kebutuhan nasional, selain kunyit, daun salam, jati

belanda, temulawak, jambu biji, cabe jawa, jahe merah dan

mengkudu (SAMPURNO, 2003 dalam Djiwanti & Supriyadi 2007).

Dalam buku resmi tanaman obat Indonesia, herba sambiloto

digunakan sebagai diuretika dan antipiretika. Saat ini sambiloto telah

ditetapkan sebagai tanaman obat yang dikembangkan sebagai obat

fitofarmaka. Secara alami, sambiloto mampu tumbuh mulai dari dataran

pantai sampai dataran tinggi dengan kondisi jenis tanah dan iklim beragam

(Yusron, 2005 dalam Ratnani, Hartati, & Kurniasari, 2012).

2.4.1. Taksonomi dan Morfologi Sambiloto

Berikut ini adalah klasifikasi dari tanaman sambiloto :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan Berpembuluh)

Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae (berkeping dua)

Subkelas : Asteridae

Ordo : Scrophulariales

Page 17: Proposal Kel. 1

Familia : Acanthaceae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata Ness. (Prapanza & Lukito

2012).

Sambiloto (Andrographis paniculata Ness) ialah tumbuhan

semusim yang termasuk dalam suku Acanthaceae. Sambiloto ialah

herba tegak, yang tumbuh secara alami di daerah dataran rendah

hingga ketinggian ±1600 dpl. Habitat sambiloto ialah di tempat

terbuka seperti ladang, pinggir jalan, tebing, saluran atau sungai,

semak belukar, di bawah tegakan pohon jati atau bambu. Masyarakat

memanfaatkan bagian tajuk (daun dan batang) tumbuhan sambiloto

sebagai bahan obat tradisional untuk obat penguat, demam, disentri,

kolera, diabetes, sakit paru- paru, influensa dan bronkitis. Tumbuhan

sambiloto dipanen dari habitat aslinya oleh masyarakat untuk sumber

bahan obat tradisional. Pengambilan sambiloto yang dilaksanakan

terus menerus tanpa upaya budidaya yang tepat maka akan

mengancam keberadaan plasma nutfah sambiloto (Hanan, 1996;

Anonymous, 2001; Winarto, 2003 dalam Pujiasmanto,dkk. 2007).

2.4.2. Kandungan Kimia Daun Sambiloto

Sambiloto (Andrographis paniculata Nees), famili

Acanthaceae, adalah salah satu tanaman obat yang cukup berpotensi

untuk dikembangkan. Kandungan kimia yaitu andrografolid, neo-

Page 18: Proposal Kel. 1

andrografolid, panikulin, mineral (kalium, kalsium, natrium), asam

kersik, dan damar. Zat aktif (berkhasiat obat) ialah andrografolid yang

rasanya sangat pahit. Kadar andrografolid 2,5-4,6 % dari bobot kering.

Kadar kalium juga relatif cukup tinggi (Santa, 1996 dalam Setyawati,

2009).

Andrographis paniculata mengandung diterpene, laktone,

dan flavanoid. Flavanoid terutama ditemukan diakar tanaman,

tetapi juga ditemukan pada bagian daun. Bagian batang dan daun

mengandung alkana, ketone dan aldehid. Meskipun di awal diduga

bahwa senyawa yang menimbulkan rasa pahit adalah senyawa

lakton andrographolide, lebih lanjut diketahui bahwa daun

sambiloto mengandung dua senyawa yang menimbulkan rasa pahit

yakni andrographolide dan senyawa yang disebut dengan

kalmeghin. Empat senyawa lakton yang ditemukan dalam daun

sambiloto (Akbar, 2011 dalam Ratnani, Hartati & Kurniasari, 2012)

adalah:

1. Deoxyandrographolide,

2. Andrographolide,

3. Neoandrographolide, dan

4. 14-deoxy-11, 12-didehydroandrographolide

Secara kimia mengandung flavonoid dan lakton. Pada

lakton, komponen utamanya adalah andrographolide, yang juga

merupakan zat aktif utama dari tanaman ini. Andrographolide

sudah diisolasi dalam bentuk murni dan menunjuk-kan

Page 19: Proposal Kel. 1

berbagai aktivitas farmakologi. Zat aktif herba ini dapat

ditentukan dengan metode gravimetrik atau dengan high

performance liquid chromatography [HPLC] (Hu & Zhou 1982

dalam Widyawati, 2007).

Berdasarkan penelitian lain yang telah dilakukan,

kandungan yang di-jumpai pada tanaman sambiloto diantaranya

diterpene lakton dan glikosidanya, seperti andrographolide

deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14- eoxyandro-

grapholide, dan neoandrographolide. Flavonoid juga dilaporkan ada

terdapat pa-da tanaman ini daun dan percabangannya lebih

banyak mengandung lakton sedangkan komponen flavonoid

dapat diisolasi dari akarnya, yaitu polimetok-siflavon, androrafin,

panikulin, mono-0-metilwithin dan apigenin-7,4 dimetileter.

Selain komponen lakton dan flavonoid, pada tanaman

sambiloto ini juga terdapat komponen alkane, keton, aldehid,

mineral (kalsium, natrium, kalium), asam kersik dan damar.

Apabila didalam daun terdapat kadar senyawa andrographolide

keringnya (Papanza & Marianto, 2004 dalam Widyawati,

2007) .

Page 20: Proposal Kel. 1

2.4.3. Ekstrak Daun Sambiloto sebagai Anti Malaria

Ekstrak herba sambiloto menunjukkan efek antimalaria

falcifarum baik secara invitro maupun secara invivo. Secara invitro,

ketika dibandingkan dengan efek klorokuin atau artemisinin baik

tersendiri maupun kombinasi, tidak terlihat adanya perbedaan yang

berarti. Efek anti malaria ekstrak sambiloto dengan dosis masing-

masing 250 mg, 500 mg, kombinasi dengan klorokuin dan kombinasi

dengan artesunat yang diberikan tiga kali sehari selama lima hari

pada pasien malaria falsifarum dewasa tanpa komplikasi mempunyai

hasil yang sama. Memperbesar dosis ekstrak herbal sambiloto

menjadi 500 mg, tidak meningkatkan efikasi antimalaria falsifarum,

meskipun dosis dilipatgandakan tidak meningkatkan kejadian efek

samping yang berarti. (Zein, 2009).

Dari penelitian uji antimalaria ekstrak sambiloto terstandar

(parameter kadar androrgrafolida) terhadap pertumbuhan

Plasmodium berghei secara in vivo pada mencit dapat diambil

kesimpulan bahwa ekstrak sambiloto terstandar (kadar

andrografolida (10,82 ± 0,37)%) memiliki aktivitas antimalaria

terhadap pertumbuhan Plasmodium berghei secara in vivo pada

mencit dilihat dari harga ED50-nya sebesar 12,2223 mg ekstrak

sambiloto terstandar/kg BB yang setara dengan 1,3200 mg senyawa

andrografolida (Kusumawadhani, Widyawaruyanti, & kusumawati,

2005).

2.5. Mencit

Page 21: Proposal Kel. 1

2.5.1 Taksonomi dan Morfologi

Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta

ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang dari pada

badan dan kepala. Mencit memiliki warna bulu yang berbeda

disebabkan perbedaan dalam proporsi darah mencit liar dan memiliki

kelenturan pada sifat-sifat produksi dan reproduksinya (Nafiu, 1996).

Mencit memiliki taksonomi sebagai berikut (Arrington, 1972):

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rotentia

Famili : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

2.5.2 Siklus Hidup dan Cara Hidup

Mencit harus diberikan makan dengan kualitas tetap karena

perubahan kualitas dapat menyebabkan penurunan berat badan dan

tenaga. Seekor mencit dewasa dapat mengkonsumsi pakan 3-5 gram

setiap hari. Mencit yang bunting dan menyusui memerlukan pakan

yang lebih banyak. Jenis ransum yang dapat diberikan untuk mencit

adalah ransum ayam komersial (Smith, 1988).

Kandungan protein ransum yang diberikan minimal 16%.

Kebutuhan zat-zat makanan yang diperlukan untuk pemeliharaan

mencit adalah protein kasar 20-25%, kadar lemak 10-12%, kadar pati

Page 22: Proposal Kel. 1

44-55%, kadar serat kasar maksimal 4% dan kadar abu 5-6% (Smith,

1988).

Air minum yang diperlukan oleh setiap ekor mencit untuk

sehari berkisar antara 4-8ml. Seekor mencit mudah sekali kehilangan

air sebab evaporasi tubuhnya tinggi. Konsumsi air minum yang

cukup akan digunakan untuk menjadi stabilitas suhu tubuh dan untuk

melumasi pakan yang dicerna. Air minum juga dibutuhkan untuk

menekan stress pada mencit yang dapat memicu kanibalisme (Malole

& Pramono, 1989).

Hewan percobaan yang dipelihara untuk tujuan penelitian,

umumnya berada dalam suatu lingkungan yang sempit dan terawasi.

Walaupun kehidupannya diawasi, namun diusahakan agar proses

fisiologis dan reproduksi termasuk makan, minum, bergerak dan

istirahat tidak terganggu. Hewan percobaan ditempatkan dalam

kandang-kandang yang disusun pada rak-rak didalam suatu ruangan

khusus. Kandang harus dirancang untuk dapat memberikan

kenyamanan dan kesejahteraan bagi hewan tersebut (Anggorodi,

1973).

2.5.3 Mencit setelah dipapar Plasmodium berghei

Malaria akibat infeksi Plasmodium berghei analog dengan

malaria yang terjadi pada manusia dan hewan primata lain, terutama

pada aspek-aspek penting seperti struktur, fisiologi, dan siklus hidup.

Infeksi Plasmodium berghei juga berpengaruh pada otak dan dapat

menyebabkan komplikasi serebral pada hewan coba. Gejala-gejala

Page 23: Proposal Kel. 1

yang terjadi pun hampir mirip dengan serebral malaria pada manusia

yang terinfeksi Plasmodium falciparum (Leids Universitair Medisch

Centrum, 2008).

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep

Page 24: Proposal Kel. 1

3.2 Hipotesis

Page 25: Proposal Kel. 1

1. H0 : efek kombinasi ekstrak daun pepaya dan daun sambiloto tidak

berpengaruh lebih kuat dibandingkan kloroquinon pada mencit

yang di infeksi plasmodium berghei

2. H1 : efek kombinasi ekstrak daun pepaya dan daun sambiloto

berpengaruh lebih kuat dibandingkan kloroquinon pada mencit

yang di infeksi plasmodium berghei

3.3 Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel

1. Variabel control :

Klorokuinon

2. Variabel bebas :

Efek ekstrak kombinasi daun pepaya dan daun sambiloto

3. Variabel tergantung :

Mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei

3.3.2 Definisi Operasional

1. Kombinasi ekstrak daun sambiloto dan daun pepaya merupakan

hasil penyarian herbal melalui teknik maserasi shacker yang

dilakukan dengan cara perendaman ekstrak kasar 100 gram dengan

pelarut etanol 80% sebanyak 500 ml lalu diaduk selama 5-6 jam,

dan di diamkan selama 24 jam dengan perbandingan dosis 1:3 (400

mg/kg BB:100 mg/kg BB), 1:1 (250 mg/kg BB:250 mg/kg BB),

dan 3:1 (100 mg/kg BB:400 mg/kg BB).

2. Suspensi Plasmodium berghei yang digunakan pada penelitian ini

merupakan suspensi P.berghei galur ANKA yang berasal dari

Page 26: Proposal Kel. 1

Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran UNAIR dan

diinjeksikan pada mencit albino galur Swiss sebanyak 1x104 / 01 cc

yang kemudian diperiksa angka paresitemia dengan apusan darah

tipis dari ekor mencit.

3. Mencit yang terinfeksi Plasmodium berghei adalah mencit jantan

sehat jenis albino galur swiss usia 8 – 12 minggu berat 20 – 30

gram yang diambil dari Pusat Veteriner Farma Surabaya yang

nantinya diinjeksi suspensi Plasmodium berghei.

4. Kloroquinne adalah obat anti malaria yang sudah diverifikasi oleh

laboratorium farmasi Universitas Brawijaya Malang yang nantinya

diberikan pada mencit yang telah diinjeksi Plasmodium berghei

secara oral sebanyak 5 mg/kg/hari pada kelompok kontrol positif.

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rencana Penelitian

Page 27: Proposal Kel. 1

Penelitian ini dilaksanakan secara ekperimental laboratorium

menggunakan desain control group post test only secara in vivo, dengan tujuan

mengetahui efek kombinasi ekstrak daun papaya (Carica papaya. LINN) dan

daun sambiloto (Andrographis paniculatae Nees) sebagai antimalarial pada

mencit albino jantan galur Swiss yang diinfeksi Plasmodium berghei.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas

Kedokteran Universitas Brawijaya, dan Laboratorium Riset Universitas Islam

Malang. Waktu penelitian selama 5 minggu, pada bulan Mei sampai dengan 1

minggu awal bulan Juni 2015.

4.3 Sampel Penelitian

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit albino jantan galur Swiss

dengan berat 20 – 30 gram. Pemilihan mencit jantan karena siklus

hormonalnya tidak berpengaruh pada hasil penelitian ().

Jumlah tikus untuk penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus Federer :

(t-1) (n-1) ≥ 15

n = jumlah atau sampel

t = jumlah perlakuan

Dalam penelitian ini digunakan 3 kelompok perlakuan (t=5), sehingga

jumlah pengulang (jumlah sampel) yang dibutuhkan :

(5-1) (n-1) ≥ 15

4(n-1) ≥ 15

Page 28: Proposal Kel. 1

4n - 4 ≥ 15

4n ≥ 19

n ≥ 4,75

Jadi, penelitian ini menggunakan 5 ekor tikus pada setiap perlakuan. Oleh

karena itu, jumlah hewan yang dibutuhkan untuk 5 kelompok perlakuan

adalah 25 ekor.

4.4 Alat dan Bahan Penelitian

a. Alat dan bahan pemeliharaan mencit

Kandang tikus ukuran 40 x 30 x 20

Timbangan digital OHAUS

Pakan standar tikus

Minum ad libitum

b. Alat dan bahan mencit model terinfeksi Plasmodium berghei

Spuit 5cc

Alat sonde

Serum yang mengandung Plasmodium berghei

Estraksi daun sambiloto dan daun pepaya

c. Alat dan bahan pembuatan estraksi sambiloto dan daun papaya dengan

maserasi shacker

Alat :

1. Shacker

2. Beaker glass

3. Timbangan digital OHAUS

Page 29: Proposal Kel. 1

4. Batang pengaduk

5. Gelas ukur

6. Kertas saring

7. Waterbath

8. Bejana

Uji Bahan :

1. Etanol 96%

2. Aquades

3. Daun sambiloto

4. Daun papaya

d. Alat dan bahan pembuatan preparat apusan darah tepi dengan pewarnaan

Giemsa

1. Gelas objek

2. Bak Pengecat

3. Pipet

4. Mikroskop

5. Larutan Giemsa dicampur dengan larutan Buffer

6. Etanol

4.5 Tahapan Kerja

4.5.1 Pemeliharaan Mencit Albino Jantan Galur Swiss

Mencit albino jantan galur swiss yang berusia 8-12 minggu,

sebanyak 25 ekor dengan berat 20-30 gram diadaptasi selama 2 minggu

dengan pemberian pakan standar dan minum ad libitum.

Page 30: Proposal Kel. 1

Setelah 2 minggu mencit diinjeksi oleh P. berghei dan dibagi

menjadi 5 kelompok (5 mencit setiap kelompok) yaitu 3 kelompok

perlakuan dan 2 kelompok control.

4.5.2 Pembuatan Ekstraksi Daun Sambiloto dan Daun Pepaya

a. Ektraksi Daun Sambiloto

1. Pembuatan larutan etanol 80 %

100 gram simplisia daun sambiloto dengan etanol 80% sebanyak

500 ml (Fitrianingsih, dkk., 2010).

N1 x V1 = N2 x V2

96 % x V1 = 80 % x 500 ml

V1 = 4000 / 96

= 416,6

= 417 ml

Untuk membuat larutan etanol 80 %, ambil etanol 96%

sebanyak 416,67 ml ke dalam gelas ukur. Selanjutnya

ditambahkan aquadest sampai mencapai 500 ml, sehingga

didapatkan larutan etanol 80% sebanyak 500 ml.

2. Pembuatan Simplisia kering

Daun Sambiloto yang bagus dan tidak busuk dipilih serta

dikumpulkan sebanyak 100 gram. Kemudian dipotong kecil-

kecil dan dikeringkan dibawah sinar matahari sampai kering.

Daun sambiloto yang sudah kering diblender hingga menjadi

serbuk.

3. Proses Ekstraksi, Maserasi Shacker

Page 31: Proposal Kel. 1

Ambil etanol 96% sebanyak 416,67 ml, ditambahkan dengan

aquades sampai mencapai 500 ml. Sehingga menjadi larutan

etanol 80% sebanyak 500 ml (untuk tiap 100 gram simplisia

yang dilarutkan dalam 500 ml larutan etanol 80%). Kemudian

diaduk hingga homogen. Setelah itu, dimasukkan ke dalam

shacker, diaduk selama 5-6 jam, dan diamkan selama 24 jam.

Kemudian saring dengan kertas saring dan diperoleh filtrat I

serta residu. Residu yang tersisa dilakukan perlakuan yang sama

dengan larutan etanol baru sebanyak 3-4 kali. Semua hasil

filtrate di gabungkan, kemudian dievaporasi sampai didapatkan

ekstrak pekat (Purnomo dalam Susilowati, 2010).

b. Ekstraksi Daun Pepaya

1. Pembuatan simplisia

Daun pepaya kering yang bagus, tidak busuk, dan sudah tua

dikering dibawah sinar matahari. Selanjutnya dijadikan serbuk

dengan cara di blender dan ditimbang sebanyak 100 gram.

2. Proses Ekstraksi, Maserasi Shacker

Serbuk daun pepaya kering 100 gram direndam dengan pelarut

etanol 96% sebanyak 500 ml, diaduk hingga homogen.

Kemudian dimasukkan ke dalam shacker, diaduk selama 5-6

jam. Setelah pengadukan didiamkan selama 24 jam. Setelah

didiamkan disaring dengan kertas saring dan diperoleh filtrat I

serta residu. Residu yang tertinggal dimaserasi ulang dengan

etanol 500 ml baru sebanyak 4 kali (Rehena, 2010). Ekstrak

Page 32: Proposal Kel. 1

yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotavator

sampai diperoleh ekstrak kental.

4.5.3 Pemberian Injeksi Plasmodium berghei pada Mencit Albino Jantan

Galur Swiss

Setelah adaptasi selama 2 minggu yaitu hari ke 15 dihitung sebagai

hari pertama perlakuan (D0). Pada D0 dilakukan uji Rane test dengan

semua mencit diinjeksi Plasmodium berghei secara intraperitoneal dan

dibiarkan selama 72 jam (Chandel, dan Bagai, 2008). Mencit diinjeksi

P. berghei sebanyak 1x104/0,1cc (Sihardo dan Dharmawan, 2006).

Kemudian diperiksa angka paresitemia dengan membuat apusan darah

tipis dari ekor mencit yang diwarnai dengan pewarnaan Giemsa.

4.5.4 Perlakuan terhadap Mencit yang Terinfeksi Plasmodium berghei

dengan Pemberian Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Sambiloto dan

Daun Pepaya.

Pada D2 (hari ke 17) setelah diinjeksi dan positif terinfeksi, mencit

dibagi menjadi 5 kelompok perlakuan dimana masing-masing terdiri

dari 5 mencit. Kelompok perlakuan ini terdiri dari 3 kelompok

perlakuan dan 2 kelompok control (kelompok kontrol positif serta

kelompok kontrol negatif). Perlakuan dilakukan selama 5 hari

(D2,D3,D4,D5,D6) dimana setiap harinya diberikan kombinasi ekstrak

daun sambiloto dan daun papaya secara per oral dengan sonde lambung.

Dengan kelompok perlakuan sebagai berikut :

Kelompok perlakuan Jenis perlakuan

Kontrol negatif = 5 ekor Mencit yang sudah diinjeksi

Page 33: Proposal Kel. 1

Plasmodium berghei dan tidak

diberikan perlakuan.

Kontrol positif = 5 ekor Mencit yang sudah diinjeksi

Plasmodium berghei dan diberikan

kloroquinne 5mg/kg/hari (Chandel

dan Bagai, 2008).

Perlakuan 1 = 5 ekor Mencit yang sudah diinjeksi

Plasmodium berghei dan diberikan

ekstrak daun sambiloto dan daun

pepaya 3:1, sambiloto 400 mg/kg/hari

: daun pepaya 100 mg/kg BB

Perlakuan 2 = 5 ekor Injeksi plasmodium berghei +

ekstraksi sambiloto dan daun pepaya

2:2, sambiloto 250 mg/kg/hari : daun

pepaya 250 mg/kg/hari

Perlakuan 3 = 5 ekor Injeksi plasmodium berghei +

ekstraksi sambiloto dan daun pepaya

3:3, sambiloto 100 mg/kg/hari : daun

pepaya 400 mg/kg/hari

Selanjutnya dinilai angka parasitemia dengan membuat preparat

ulas darah tepi pada gelas obyek, yang difiksasi menggunakan etanol,

kemudian diwarnai dengan larutan Giemsa yang dicampur dengan

larutan Buffer hematologi (1:3) (Winarno, dkk., 2005). Darah diambil

dari ekor mencit. Selanjutnya dihitung angka parasitemianya dengan

Page 34: Proposal Kel. 1

menggunakan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Pemeriksaan

dilakukan selama 5 hari berturut-turut, setelah diberikan kombinasi

ekstrak daun sambiloto dan daun papaya selama 3 hari awal

(D5,D6,D7,D8,D9).

4.6 Teknik Analisis Data

Yang dilakukan pertama kali adalah memasukkan data, setelah itu

dilakukan proses uji normalitas data dan homogenitas. Apabila data itu

bersifat terdistribusi normal dan bersifat homogen, bisa dilanjutkan dengan

analisa data berupa metode statistik parametrik yaitu one way ANOVA yang

bentuk penyajiannya dalam table dan diagram. Uji parametrik menggunakan

one way ANNOVA karena mempunyai lebih dari 2 kelompok uji dengan

syarat data terdistribusi normal dan homogen. Hasil dikatakan bermakna

apabila p ≤ 0,05 (Winarno, dkk., 2005). Uji selanjutnya dengan uji LSD 5%

untuk mengetahui perbandingan seluruh pasangan rata-rata perlakuan setelah

uji analisis data ragam dilakukan. Hasil uji LSD 5% digambarkan dengan

grafik yang menunjukkan perbandingan jumlah plasmodium tiap kelompok

perlakuan. Analisis data menggunakan SPSS.

4.7 Alur Diagram Penelitian

Penghitungan tingkatan parasitemia:

apusan darah tepi dengan pewarnaa giemsa

Hitung plasmodium dibawah mikroskop

Analisis Data

Kelompok control (+)

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok Perlakuan 2

Kelompok Perlakuan 3

Kelompok control (-)

Mencit albino jantan galur Swiss

DiInjeksi Plasmodium berghei

Dibagi 5 kelompok perlakuan

Uji positif terinfeksi: apusan darah tepi pewarnaan Giemsa

Tanpa perlakuan

Diberikan Klorokuin 5 mg/Kg BB tiap hari (5

hari) per-oral

Diberikan kombinasi

ekstrak daun sambiloto dan daun papaya

(3:1); 400 mg/kg

BB+100 mg/kg BB tiap

hari (5 hari) per-oral

Diberikan kombinasi

ekstrak daun sambiloto dan daun papaya

(1:1); 250 mg/kg

BB+250 mg/kg BB tiap

hari (5 hari) per-oral

Diberikan kombinasi

ekstrak daun sambiloto dan daun papaya

(1:3); 100 mg/kg

BB+400 mg/kg BB tiap

hari (5 hari) per-oral

Page 35: Proposal Kel. 1

DAFTAR PUSTAKA

Anggorodi, R. 1973. Ilmu Makanan Ternak Umum. Jakarta: Gramedia.

Page 36: Proposal Kel. 1

Arrington, L. 1972. Introductory Laboratory Animal. The Breeding, Care, and Management of Experimental Animal Science. New York: The Interstate Printers and Publishing, Inc.

Astuti, SD. 2009. “Efek Ekstrak Etanol 70% Daun Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Aktivitas AST & ALT pada Tikus Galur Wistar Setelah Pemberian Obat Tuberkulosis (Isoniozid & Rifamisin)”. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Setya Budi.

Chandel, S. dan Bagai, U. 2010. “Antiplasmodial activity of Ajuga bracteosa against Plasmodium berghei infected BALB/c mice”. Indian J Med Res, 131, hal. 440-444. Departemen Zoologi, Universitas Panjab, Chandigarh, India.

Dinas Kesehatan Kalimantan Barat. 2010. Profil Kesehatan Kalimantan Barat 2010. Pontianak.

Djiwanti, S.P., & Supriyadi. 2007. “Determinasi Nematoda Parasit Aphelenchoides sp. Penyebab penyakit Hawar Daun Sambiloto (Andrographis paniculata)”. Majalah Kedokteran Nusantara, volume 40, no.03. hal. 61.

Farid AM. 2015. “Effectivity Of Papaya Leaves (Carica Papaya L) As Inhibitor Of Aedes Aegypti Larvae”. Vol.4. No. 5. Hal 2.

Fitrianingsih, S.P., Supriyatna, Diantini, A., dan Muis, A. 2010. “Aktivitas Antiplasmodium Ekstrak Etanol Beberapa Tanaman Obat terhadap Mencit yang Diinfeksi Plasmodium berghei”. Prosiding SNaPP2010 Edisi Eksakta, hal. 1-13. ISSN: 2089-3582.

Harijanto,P. 2011. “Tatalaksanan Malaria untuk Indonesia”. Di dalam: Sekretaris JendralnKemkes RI, BuletinnJendela Data dan Informasi Kesehatan.;1(1):23-28.

Ivan, P. & Lukito. 2012. Khasiat & Manfaat Sambiloto Raja Pahit Penakhluk Penyakit. Available at : <www.plantamor.com/index.php?plant=96>. [Diakses tanggal 11 juni 2015]

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Epidemiologi Malaria di Indonesia.

Kusumawardhani, D., Widyawaruyanti, A., & Kusumawati., I. 2005. “Efek Antimalaria Ekstrak Sambiloto Terstandar (Parameter Kadar Andrografolida) Pada Mencit Terinfeksi Plasmodium Berghei”. Majalah Farmasi Airlangga, vol.5, no.1. hal. 29.

Leids Universitair Medisch Centrum. The genome of P. berghei. <On line at: https://www.lumc.nl/con> [ diakses tanggal 25 Januari 2013].

Page 37: Proposal Kel. 1

Malole, M., & Pramono, C. S. (1989). Penggunaan Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Bogor: IPB.

Melariri, P., Campbell, W., Etusim, P., and Smith, P. 2011. “Antiplasmodial Properties and Bioassay-Guided Fractionation of Ethyl Acetate Extracts from Carica papaya Leaves”. Journal of Parasitology Research. Vol. 2011. Hal 3.

Mishra, K., Dash, A.P., dan Dey, N. 2011. “Andrographolide: Anovel Antimalarial Diterpene Lactone Compound from Andrographis paniculata and Its Interaction With Curcumin and Artesunate”, Journal of Tropical Medicine, vol 2011, 1-6

Nafiu, L. O. (1996). Kerenturan Fenotipik Mencit Terhadap Ransum Berprotein Rendah. Bogor: IPB.

Pujiasmanto, B., Moenandir, J., Bahri, S., & Kuswanto. 2007. “Kajian Agro dan Morfologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) pada Berbagai Habitat”. Biodiversitas, vol.8, no. 4, hal. 327.

Ratnani, RD., Hartati, I., & Kurniasari, L. 2012. “Potensi Produksi Andrographolide dari Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) melalui Proses Ekstraksi Hidrotropi”. Semarang Momentum, vol.8, no.1 hal.6-10.

Rehena, J.F. 2010. “Uji Aktivitas Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya. LINN) sebagai Antimalaria in vitro”. Jurnal ILMU DASARI, vol. 11, no. 1, hal. 96 –100. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pattimura.

Setyawati, I. 2009. “Morfologi Fetus Mencit (Mus muculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)”. Jurnal Biologi, vol. XII, no. 2, hal.41.

Sihardo, L., dan Dharmana, E. 2006. Pengaruh Pemberian Minyak Pandanus conoideus Terhadap Gambaran Histologis Ginjal Pada Mencit Swiss Yang Diinfeksi Plasmodium berghei ANKA. Skripsi. Departmen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Smith, B. (1988). Pemeliharaan, pembiakan, dan Penggunaan Hewan Coba di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press.

Sukardiman, Ekasari, W., & Hapsari PP. 2006. “Aktivitas Antikanker dan Induksi Apoptosis Fraksi Kloroform Daun Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Kultur Sel Kanker Mieloma”. Media Kedokteran Hewan, volume.22, no. 2.

Page 38: Proposal Kel. 1

Sutanto I. Pribadi W. 2009. Parasit Malaria. Di dalam: Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, Ed ke-4. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI;

Wardani FR. 2012. “Potensi Perasan Daun Pepaya (Carica Papaya L.) terhadap Jumlah Makrofag Pasca Gingivektomi Pada Tikus Wistar Jantan”. Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember.

WHO. 2009. “Antimalarial Drug Combination Therapy”.

Widyawati, T. 2007. “Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)”. Majalah Kedokteran Nusantara, volume 40, no.03. hal.217-218

Widyowati, R., Santa, I.G.P., Rahman, A., Tantular, I., Widyawaruyanti, A., 2003. “Uji In Vitro aktivitas Antimalaria Isolat Dari Andrographis paniculata Terhadap Plasmodium Falciparum Pada Stadium Gametosit”, Majalah Farmasi Erlangga, Vol 3 No 3, 99-102

Winarno, M.W., Hargono, D., dan Murdiani L.S. 2005. “Efek Antimalaria Ekstrak Daun Pepaya Gantung (Carica papaya L.) pada Tikus Terinfeksi Plasmodium berghei”. Jurnal Bahan Alam Indonesia, vol. 4, no. 1, hal. 219-220.

World Health Organization (WHO).Guidelines for the Treatment of Malaria. 2nded.Jeneva: WHO; 2010

Zein, U. 2005. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Dalam Upaya Pemeliharaan Kesehatan. Universitas Sumatra Utara: Palembang

---------. 2009. Perbandingan Efikasi Antimalaria Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) Tunggal dan Kombinasi Masing-masing dengan Artesunat dan Klorokuin Pada Pasien Malaria Falcifarum Tanpa Komplikasi. Sumatra Utara: Fakultas Kedokteran Univesitas Sumatra Utara.