proposal luas lahan sawah.doc
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas
dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Dari sisi ekonomi lahan
merupakan input tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas
pertanian dan nonpertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap
kegiatan produksi tersebut secara umum merupakan permintaan turunan dari
kebutuhan dan permintaan komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu
perkembangan kebutuhan lahan untuk setiap jenis kegiatan produksi akan
ditentukan oleh perkembangan jumlah permintaan setiap komoditas.
Pada umumnya permintaan komoditas pertanian terutama komoditas
pangan kurang elastis terhadap pendapatan dibandingkan permintaan komoditas
nonpertanian. Konsekuensinya adalah pembangunan ekonomi yang membawa
kepada peningkatan pendapatan cenderung menyebabkan naiknya permintaan
lahan untuk kegiatan di luar pertanian (Rauf, 2010).
Ketersediaan lahan semakin berkurang seiring dengan pertumbuhan
jumlah penduduk. Masalah yang ditimbulkan dari pertumbuhan jumlah penduduk
juga dijelaskan oleh Thomas Robert Malthus bahwa pertumbuhan penduduk
mengalami peningkatan yang lebih cepat menurut deret ukur dari ketersediaan
bahan pangan yang pertambahannya hanya menurut deret hitung sehingga lambat
laun manusia akan mengalami krisis bahan pangan. Dengan bertambahnya jumlah
penduduk, maka kebutuhan akan perumahan juga akan meningkat. Sementara itu
1
jumlah lahan yang tersedia jumlahnya tetap sehingga otomatis dalam penyediaan
perumahan mengorbankan lahan sawah untuk tempat pembangunan perumahan
(Sihaloho, 2007).
Proses alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, juga mengurangi
kesempatan usaha yang pada akhirnya mengancam pendapatan petani. Dengan
terjadinya alih fungsi lahan tersebut luas lahan sawah semakin menyempit, hal
tersebut sangat memprihatinkan, sebab kondisi perubahan fungsi pertanian ke
non-pertanian sangat signifikan, sehingga proses alih fungsi tersebut sangat
membawa dampak yang cukup besar bagi masyarakat petani pada umumnya
(Yusuf, 2013).
Walaupun secara kualitas sumber daya lahan dapat ditingkatkan, tetapi
secara kuantitas sumber daya lahan yang tersedia di setiap daerah praktis tetap.
Pada kondisi keterbatasan tersebut, maka peningkatan kebutuhan lahan untuk
permukiman, industri, pembangunan prasarana ekonomi umum, fasilitas sosial,
dan lain-lain, akan mengurangi ketersediaan lahan untuk pertanian. Karena
pembangunan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan di luar sektor
pertanian dengan laju lebih besar dibandingkan permintaan lahan di sektor
pertanian maka pertumbuhan ekonomi cenderung merangsang terjadinya konversì
lahan pertanian ke penggunaan di luar pertanian, terutama di daerah dengan
kelangkaan lahan tinggi (Simatupang dan Irawan, 2001).
Alih fungsi lahan sawah pada dasarnya merupakan suatu proses alamiah
yang terkait dengan tiga faktor dasar yaitu: kelangkaan lahan, dinamika
pembangunan, dan pertumbuhan penduduk. Konversi lahan sawah merupakan
2
dinamika tataguna dan alokasi sumber daya lahan akibat terjadinya pergeseran
struktural dalam perekonomian dan tekanan penduduk. Pergeseran struktural ini
secara umum merupakan ciri perkembangan ekonomi suatu negara dan bersamaan
dengan itu sektor pertanian yang berbasis sumber daya lahan secara bertahap
dihadapkan pada sewa lahan dan biaya produksi serta opportunity cost yang
semakin tinggi akibat meningkatnya permintaan lahan untuk sektor lain yang
lebih menguntungkan. Dengan demikian konversi lahan sawah dapat dikatakan
sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama pembangunan
masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami
peningkatan dan tekanan terhadap lahan meningkat maka konversi lahan sawah
sangat sulit dihindari (Simatupang dan Irawan, 2001).
Di Indonesia dari tahun 2005 diperkirakan terjadi alih fungsi lahan sawah
beririgasi 42,40% (Salama, 2010). Alih fungsi lahan ini bersifat permanen, artinya
setelah lahan sawah beralih fungsi tidak dapat dikembalikan lagi menjadi lahan
sawah seperti semula. Di sisi lain pencetakan sawah baru sangat sedikit, biayanya
mahal dan perlu waktu yang lama. Luas lahan sawah di Indonesia jauh lebih
sedikit dibanding lahan kering. Akan tetapi meskipun luasnya jauh lebih sedikit,
namun kontribusinya terhadap produksi beras jauh lebih besar. Lahan sawah yang
ada di Indonesia hanya 7,78 juta hektar (BPS Indonesia, 2006) dan untuk lahan
kering mencapai 87,16 juta hektar (Utomo, 2006).
Konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, dalam jangka pendek
memang belum terasakan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Namun, bila
terus terjadi tanpa ada langkah-langkah komprehensif menghentikannya akan
3
mengganggu ketahanan pangan nasional. Bagaimana tidak, konsumsi beras per
kapita dari tahun 2001 hingga tahun 2006 diperkirakan terus meningkat dari
153,56 kilogram per kapita/tahun akan menjadi 154,14 kilogram per kapita/tahun,
dan tahun 2021 diprediksikan sampai kepada angka konstan 147 kilogram per
kapita/tahun. Dengan asumsi produktivitas sama dengan saat ini, tahun 2020 areal
sawah yang diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia sekitar 9,3 juta hektar.
Seluruh areal sawah di Indonesia saat ini sekitar 8,9 juta hektar, 45% di antaranya
di Pulau Jawa dan Bali, diikuti Sumatera 22,4%, Sulawesi 11,1%, Nusa Tenggara
dan Maluku 6,4%, Kalimantan 14%, dan Irian Jaya 0,32% (Balitbang Propinsi
Sumatera Utara, 2005).
Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian di
Sumatera Utara saat ini terus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan
kebutuhan lahan untuk pembangunan meningkat. Oleh karena itu Sumatera Utara
diperkirakkan terancam kehilangan seluruh lahan pertanian dalam kurun waktu 20
tahun mendatang jika tidak ada komitmen dari seluruh pemerintah kabupaten kota
untuk membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Berkurangnya luas lahan
pertanian disebabkan karena maraknya pembangunan kawasan pemukiman.
Alih fungsi lahan pertanian di Provinsi Sumatera Utara mempengaruhi
usaha pertanian di Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil pencacahan
lengkap Sensus Pertanian 2013 (ST2013), jumlah rumah tangga usaha pertanian
tahun 2013 sebesar 1.327.759 rumah tangga. Subsektor tanaman pangan, padi,
palawija dan hortikultura mengalami penurunan hingga 478.838 rumah tangga.
Secara rinci, di sektor tanaman pangan, ada 834.394 rumah tangga, lalu turun
4
11,19% atau 93.327 menjadi 741.067 rumah tangga, padi turun 13,49% dari
658.552 menjadi 569.686 rumah tangga.
Dinas Pertanian Sumut (2014), menyebutkan bahwa produksi padi wilayah
Sumatera Utara naik 10,56% pada triwulan I tahun 2014 dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2013. Saat ini produksi padi Sumatera Utara mencapai
1.470.231 ton, sedangkan pada tahun sebelumnya di periode yang sama produksi
padi Sumatera Utara masih 1.329.835 ton. Kondisi ini akan terus dipertahankan
hingga akhir tahun yang ditargetkan akan mencapai 4 juta ton dan ditargetkan
produktivitas lahan meningkat dari 48,56 kwintal/Ha tahun 2013 menjadi 5,00
kwintal/Ha pada tahun 2014. Dinas pertanian Sumut telah melakukan tindakan
antisipasi untuk menjaga agar produksi padi Sumut mencapai target yang telah
ditetapkan termasuk upaya menekan terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Pada
2012 tercatat terdapat pengurangan areal pertanian baik sawah irigasi maupun
non-irigasi mencapai 4,16% dari awal luasnya 484.994 Ha pada 2011 menjadi
468.827 Ha pada 2012.
Kondisi peralihan fungsi lahan sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi
Sumatera Utara berdasarkan BPS Sumut (2006), bahwa telah terjadi alih fungsi
lahan sawah selama 3 tahun (2003-2006) menjadi lahan pertanian bukan sawah
sebesar 5.665 Ha (31,86%), lahan untuk perumahan sebesar 8.567,7 Ha (48,16%),
lahan untuk bangunan industri sebesar 1.204,2 Ha (6,77%), lahan untuk bangunan
perusahaan/perkantoran sebesar 693,1 Ha (3,90%), dan untuk keperluan lain-lain
sebesar 1.651,3 Ha (9,29%). Kondisi tersebut menjunjukkan bahwa luasan lahan
sawah telah terjadi penurunan, terjadinya alih fungsi lahan sawah sebagai salah
5
satu unsur produksi akan memberikan pengaruh terjadinya penurunan produksi
pangan. Untuk selanjutnya, harus ada upaya untuk tetap meningkatkan produksi
pangan, meskipun alih fungsi lahan sawah di Sumatera Utara sulit dicegah,
sehingga memerlukan upaya keras untuk pengendalian alih fungsi lahan sawah di
Sumatera Utara.
Faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab terjadinya alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal
ini mendorong para pemilik lahan pertanian khususnya sawah untuk menjual
lahan yang dimilikinya karena terdesak kebutuhan hidup. Iming-iming harga jual
lahan yang tinggi juga akan menjadi daya tarik yang kuat dari para makelar tanah
(Simatupang dan Irawan, 2001). Hidayat (2008), dalam penelitiannya menemukan
bahwa variabel pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap alih fungsi lahan sawah ini ditunjukkan dari nilai sig. 0,000 < α = 0,05.
Pengaruhnya terhadap alih fungsi lahan sawah adalah bila pertumbuhan ekonomi
bertambah sebanyak satu satuan (satu persen), maka lahan akan mengalami alih
fungsi seluas 540,68 satuan (540,68 Hektar). Penelitian Syafa’at et al. (2001) pada
sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain
faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan
sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap
komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan,
dan daya saing usahatani meningkat.
Menurut Simatupang dan Irawan (2001), terjadinya peralihan fungsi lahan
sawah juga terjadi sebagai akibat dari perkembangan penggunaan lahan untuk
6
pemukiman sebagai dampak dari perkembangan jumlah penduduk. Peralihan
fungsi lahan kondisi tersebut akan bersifat permanen sehingga proses upaya
peningkatan produksi melalui perluasan areal tanam akan menjadi tidak mungkin
lakukan.
Sumatera Utara merupakan provinsi keempat terbesar jumlah
penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990, penduduk
Sumatera Utara berjumlah 10,81 juta jiwa, dan pada tahun 2010 jumlah penduduk
Sumatera Utara telah meningkat menjadi 12,98 juta jiwa. Kepadatan penduduk
Sumatera Utara pada tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan pada tahun 2010
meningkat menjadi 178 jiwa per km². Dengan Laju Pertumbuhan Penduduk dari
tahun 2000-2010 sebesar 1,10 persen. Data jumlah penduduk, pendapatan
perkapita, produksi padi sawah, dan produksi padi ladang di Sumatera Utara
Tahun 2002-2012 dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1. Jumlah Penduduk, Pendapatan Perkapita, Produksi Padi Sawah, dan Produksi Padi Ladang di Sumatera Utara Tahun 2002-2012
TahunJumah Penduduk
(Jiwa)Pendapatan
Perkapita (Rp)Produksi PadiSawah (Ton)
Produksi PadiLadang (Ton)
2002 11.847.076 6.385.069 3.153.305 2.981.8892003 11.890.399 6.609.292 3.403.075 3.195.5152004 12.123.360 6.873.420 3.418.782 3.214.7822005 12.326.678 7.130.696 3.447.394 3.240.2092006 12.643.494 7.381.671 3.007.636 2.870.9442007 12.834.371 7.775.393 3.265.834 3.107.5702008 13.042.317 8.140.606 3.340.794 3.189.7582009 13.248.386 8.420.590 3.527.899 3.382.0662010 12.982.204 9.138.730 3.582.302 3.422.2642011 13.103.596 9.650.070 3.607.403 3.440.2622012 13.326.307 10.174.790 3.715.514 3.552.373
Sumber: Badan Pusat Statistik Sumatera Utara tahun 2013
7
Bertambahnya jumlah penduduk di Sumatera Utara secara otomatis akan
bertambah pula kebutuhan untuk pembangunan pemukiman, dan pembangunan
sarana-sarana lainnya untuk kepentingan penduduk. Dengan demikian
ketersediaan lahan yang relatif tetap sementara kebutuhan lahan yang terus
bertambah membuat peralihan lahan dari fungsi sebelumnya pun tidak bisa
dihindari.Sehingga lahan pertanian di Sumatera Utara semakin berkurang atau
terjadi penurunan.
Hasil penelitian Tulenan (2014), menunjukkan bahwa jumlah penduduk
meningkat sampai dengan tahun 2020 dan luas lahan pertanian berkurang sampai
dengan tahun 2020 di Kabupaten Minahasa Selatan. Tulenan menyimpulkan
bahwa jumlah penduduk memiliki hubungan yang erat dengan luas lahan
pertanian karena peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan berkurangnya luas
lahan pertanian yang disebabkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Sutrisno (2013), di
Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah, diketahui bahwa faktor wilayah yang
mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian diantaranya adalah laju pertumbuhan
penduduk, besarnya PDRB sektor non pertanian, dan jumlah industri, sedangkan
faktor individu petani meliputi pendapatan petani dari usahatani dan luar
usahatani, produktivitas lahan dan harga lahan.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penulis beranggapan bahwa
penelitian mengenai “faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi luas lahan
pertanian padi sawah di Sumatera Utara”. Hal ini penting untuk dilakukan
mengingat sektor pertanian merupakan sektor yang amat penting sebagai penyedia
8
bahan pangan terutama beras yang merupakan makanan pokok bagi sebagian
besar masyarakat di Sumatera Utara pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya.
1.2. Permasalahan
Luas lahan pertanian padi sawah didapat dipengaruhi oleh peningkatan
jumlah penduduk, pendapatan, produksi padi sawah, dan produksi padi ladang.
Keempat faktor tersebut akan mengurangi lahan pertanian padi sawah yang ada di
Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan
masalah penelitian ini adalah: faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi luas
lahan pertanian padi sawah di Sumatera Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi luas lahan pertanian padi sawah di Sumatera Utara.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pengaruh jumlah penduduk terhadap luas lahan pertanian
padi sawah di Sumatera Utara.
2. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan terhadap luas lahan pertanian padi
sawah di Sumatera Utara.
3. Untuk mengetahui pengaruh produksi padi sawah terhadap lusa lahan
pertanian padi sawah di Sumatera Utara.
4. Untuk mengetahui pengaruh produksi padi ladang terhadap luas lahan
pertanian padi sawah di Sumatera Utara.
9
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintahan Sumatera Utara dalam
menetapkan kebijakan dan startegi dalam upaya mencegah/ meminimalkan
penurunan luas lahan pertanian padi sawah.
2. Sebagai referensi bagi peneliti-peneliti lain dalam mengkaji masalah
penelitian lembaga pendidikan dimasa mendatang.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan Pertanian
Lahan pertanian dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain
memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan
manfaat yang bersifat sosial. Lahan pertanian memiliki fungsi yang sangat luas
yang terkait dengan manfaat langsung, manfaat tidak langsung, dan manfaat
bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal penyediaan pangan,
penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi masyarakat
dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana
pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana
pariwisata. Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu
wahana pelestari lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai
sarana pendidikan, dan sarana untuk mempertahankan keragaman hayati
(Rahmanto, dkk, 2002).
2.2. Alih Fungsi Lahan
2.2.1. Pengertian
Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut
sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang
menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu
sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk
11
penggunaan lain disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi
keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
2.2.2. Fakta Alih Fungsi Lahan
Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat
seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan
tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi
lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi
secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu
lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996)
menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk
setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara
umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara
nasional, luas lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa
sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI
tidak kurang dari 61.000 Ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan
12
nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut telah beralih fungsi menjadi perumahan
(30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.
Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih
fungsi lahan di luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Pulau Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen
alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan untuk kegiatan nonpertanian dan
sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan sebagian besar untuk
kegiatan pembangunan perumahan dan sarana publik.
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan
terhadap alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan
sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih inggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah
persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan
sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar,
dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua
pihak. Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar
13
187.720 Ha sawah beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di
Pulau Jawa. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan total lahan sawah
beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar 4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat
dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta Ha (42,4%) terancam
beralih fungsi ke penggunaan lain.
2.2.3. Aspek Kebijakan dalam Alih Fungsi Lahan
Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih
fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga kini
implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan
Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena kurangnya dukungan data dan
minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan
sawah tersebut. Terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa
peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang
terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih
fungsi lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan
sektor nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah
pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi
lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-
perusahaan atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan
merubah lahan pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan
penggunaan lahan sawah ke nonpertanian yang dilakukan secara
14
individual/perorangan belum tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut,
dimana perubahan lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat
luas.
3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan
mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam
pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi
teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan
untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) dalam
konteks pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang
hidup dari sektor nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang
berpengaruh pada perubahan pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa
yaitu faktor privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman
skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan kemudahan perizinan.
Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan
pertanian ke nonpertanian ialah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan
industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak
kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak
tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari
ketersediaan infrastruktur ekonomi.
15
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan
fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar
dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya
spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.
Sehingga terlihat bahwa sering sekali terjadi ketidakserasian antar
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi alih fungsi yang justru
sering sekali justru meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.
2.3. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak
terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang
lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi,
sosial, budaya, dan politik masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002),
ditinjau dari aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa
selama kurun waktu 18 tahun (1981-1998) diperkirakan telah menyebabkan
hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta ton/tahun atau sebanding dengan jumlah
impor beras tahun 1984-1997 yang berkisar antara 1,5- 2,5 juta ton/tahun.
Menurut Sudirja (2008) alih fungsi lahan pertanian bukan hanya sekedar
memberi dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat
pula membawa dampak positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi
sejumlah petani terutama buruh tani yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
16
Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian
pada tingkat mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain.
Alih fungsi lahan yang dilakukan oleh pihak lain secara umum memiliki dampak
yang lebih besar terhadap penurunan kapasitas produksi pangan karena proses alih
fungsi lahan tersebut biasanya mencakup hamparan lahan yang cukup luas,
terutama ditujukan untuk pembangunan kawasan perumahan. Alih fungsi lahan
yang dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan
hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan,
pemanfaatan lahan tersebut untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi
lahan pertanian terhadap masalah pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada
tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut secara umum tidak akan terjadi tanpa
melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan pertanian dimiliki oleh petani.
Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk kepentingan pengadaan
pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu: 1)
Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain; dan 2)
Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap
keseimbangan pengadaan pangan.
2.4. Alih fungsi Lahan Pertanian Padi sawah di Sumatera Utara
Alih fungsi lahan mengandung pengertian perubahan pengunaan lahan
oleh manusia, yaitu mengubah perunbahan penggunaan lahan tertentu menjadi
penggunaan lainnya yang dapat menimbulkan dampak negatif. Disamping itu
peneliti lain mengartikan alih fungsi atau mutasi lahan secara umum menyangkut
17
transformasi dan pengalokasian sumberdaya lahan dari satu pengunaan ke
penggunaan yang lain.
Perubahan pengunaan lahan pada suatu wilayah disebabkan oleh berbagai
macam faktor dengan besaran yang berbeda pada masing-masing wilayah.
Besarnya perubahan pengunaan lahan (Konversi lahan) yang terjadi pada suatu
wilayah dapat dihitung dalam suatu bentuk perhitungan matematis, yaitu selisih
antara luas lahan tahun sebelumnya, dimana terjadi alih fungsi lahan di satu sisi
maupun percetakan sawah baru disisi lain.
Perhitungan tersebut dirumuskan sebagai berikut :
(Ct –At) = Lt –L t-1
Artinya luas lahan tahun t (Lt) adalah luas lahan tahun sebelumnya (Lt-1)
ditambah percetakan sawah baru (Ct) dikurangi alih fungsi lahan sawah (At).
Dengan demikian jika alih fungsi lahan sawah bernilai positif, berarti hanya
terjadi percetakan sawah baru, atau percetakan lahan sawah yang terjadi lebih luas
dari alih fungsi lahan sawah masing-masing pada tahun t. Sebaliknya konversi
lahan sawah bernilai negatif, bnerarti hanya terjadi konversi lahan sawah,atau
konversi lahan sawah hanya terjadi lebih luas daripercetakan sawah pada tahun t.
Di Sumatera Utara lahan pertanian pada umumnya terjadi koversi lahan
sawah menjadi lahan tanaman perkebunan atau pembangunan lainnya. Hal ini
disebabkan banyaknya lahan untuk padi sawah yang ada dialih fungsikan
sehingga produksi beras Sumatera Utara menurun bahkan mengancam produksi
beras nasional (Lusyantini, 2011.)
18
Luas areal panen padi dan produktifitas tanaman merupakan faktor utama
dalam usaha peningkatan produksi padi nasional. Beberapa tahun terakhir
pertumbuhan luas areal menjadi masalah yang sangat serius seiring dengan laju
pertumbuhan penduduk, karena lahan pertanian sawah telah dialih fungsikan ke
non pertanian dan perkebunan terutama tanaman kelapa sawit. Sehingga pada
daerah-daerah yang selama ini merupakan sentra produksi beras terus menurun,
seiring dengan terjadinya alih fungsi lahan. Terjadinya alih fungsi lahan sawah ke
tanaman kelapa sawit disebabkan oleh pendapatan usaha tani padi sawah lebih
tinggi, resiko kegagalannya, nilai jual gabah lebih tinggi daripada, biaya produksi
lebih rendah, ketersediaan air, teknologi budidaya dan dampak yang dihadapi
produksi beras menurun, konversi lahan menurun dan produktifitas lahan
menurun ( Kanisius, 1990).
Beberapa kelemahan berkaitan dengan sempitnya luas kepemilikan petani
yang menyebabkan pendapatan petani tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup
sehari-hari. Walaupun sebagian besar petani masih tetap menanam padi akan
tetapi hasil yang didapat tidak bisa menopang kehidupan yang layak bagi keluarga
mereka bahkan sampai tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pangan sendiri.
Akhir-akhir ini telah terjadi keprihatinan karena sebagian besar petani padi selain
menjadi produsen juga telah menjadi net consumer beras. Program RASKIN
(beras untuk masyarakat miskin) juga didistribusikan oleh pemerintah untuk
petani miskin (Riadil.A. Lubis, 2011).
Beberapa kelemahan berkaitan dengan sempitnya luas kepemilikan petani
yang menyebabkan pendapatan petani tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup
19
sehari-hari. Walaupun sebagian besar petani masih tetap menanam padi akan
tetapi hasil yang didapat tidak bisa menopang kehidupan yang layak bagi keluarga
mereka bahkan sampai tidak mampu memenuhi kebutuhan akan pangan sendiri.
Akhir-akhir ini telah terjadi keprihatinan karena sebagian besar petani padi selain
menjadi produsen juga telah menjadi net consumer beras. Program RASKIN
(beras untuk masyarakat miskin) juga didistribusikan oleh pemerintah untuk
petani miskin (Riadil.A. Lubis, 2011).
Sempitnya penguasaan lahan dikarenakan sistem warisan yang turun
temurun dan tidak beranjaknya nasib petani gurem. Sistem warisan yang membagi
rata lahan pertanian menyebabkan terjadinya fragmentasi lahan yang akhirnya
mendorong terjadinya konversi lahan dengan alasan ekonomi.
Terjadinya alih fungsi lahan padi tersebut tidak hanya karena keterbatasan
pemerintah Sumatera Utara dan Pemerintah Pusat membangun irigasi dan
memelihara irigasi yang telah ada sehingga ketersediaan air sangat tidak cukup
untuk bertanam padi itulah sebabnya areal panen pada musim kemarau sangat
rendah, gambaran indeks pertanaman padi di Sumatera Utara dibawah 2
sedangkan di jawa mendekati 3. Walaupun adanya upaya pemerintah mencetak
areal persawahan baru akan tetapi usaha tersebut tidak sebanding dengan
berkurangnya areal padi sawah. Kalau hal ini terjadi secara terus menerus maka
tidak bisa hindari akan kekurangan lahan pertanian sawah dan menjadi ancaman
ketahanan pangan (Lusyantini, 2011).
20
2.5. Faktor-Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor
penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal.
Faktor eksternal merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika
pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal.
Faktor internal lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi
rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan.
Faktor kebijakan adalah aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan
pertanian. Kelemahan pada aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama
terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi
objek lahan yang dilarang dikonversi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui
faktor penyebab alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan
ekonomi pada saat krisis ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani
menjual asetnya berupa sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak
meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan makin meningkatkan penguasaan lahan
pada pihak-pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan paling banyak mengalami
alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa dengan berbagai
21
jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing-masing sawah tadah hujan 310 ribu
Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan
sawah irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi
hanya terjadi pada sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih
fungsi lahan sawah beririgasi di Jawa makin menguatkan indikasi bahwa
kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah yang ada tidak efektif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan
pertanian terutama ditentukan oleh :
1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar
pusat pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman
dan industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan
asli daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability)
sumberdaya alam di era otonomi.
Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan
laju pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian
menjadi lahan nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai
salah satu penyebab utama melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda,
2006).
Menurut Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya
disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh
kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi
22
lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi
lahan itu sendiri.
Perubahan jenis lahan merupakan penambahan penggunaan jenis lahan di
satu sektor dengan diikuti pengurangan jenis lahan di sektor lainnya. Atau dengan
kata lain perubahan penggunaan lahan merupakan berubahnya fungsi lahan pada
periode waktu tertentu, misalnya saja dari lahan pertanian digunakan untuk lahan
non pertanian. Menurut Wahyunto (2001), perubahan penggunaan lahan dalam
pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi
karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk
yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya
tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Menurut Irawan (2005), ada dua hal yang mempengaruhi alih fungsi lahan.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu
lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga
harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya
dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan.
Menurut Pakpahan dalam Fanny Anugrah K (2005), menyebutkan bahwa
konversi lahan di tingkat wilayah secara tidak langsung dipengaruhi oleh : 1)
Perubahan struktur ekonomi; 2) Pertumbuhan penduduk; 3) Arus urbanisasi; dan
4) Konsistensi implementasi rencana tata ruang. Secara langsung konversi lahan
sawah dipengaruhi oleh: 1) Pertumbuhan pembangunan sarana transportasi; 2)
23
Pertumbuhan lahan untuk industri; 3) Pertumbuhan sarana pemukiman; dan 4)
Sebaran lahan sawah.
Meningkatnya jumlah penduduk akan mempengaruhi tingkat kebutuhan
akan papan, hal tersebut akan memicu terjadinya pembukaan lahan baru yang
akan dijadikan sebagai pemukiman baru. Saat ini banyak lahan-lahan pertanian
yang beralih fungsi menjadi pemukiman, sehingga menyebabkan berkurangnya
luas lahan pertanian karena pembangunan pemukiman yang terjadi, tidak hanya di
daerah yang memang layak dijadikan sebagai area pemukiman, sebagian besar
pemukiman saat ini dibangun dengan merubah lahan (alih fungsi lahan), yang
umumnya dari lahan pertanian menjadi lahan pemukiman.
Demikian juga dengan dampak akibat pertambahan penduduk terutama di
Provinsi Sumatera Utara adalah semakin berkurangnya luas lahan pertanian yang
berubah menjadi lahan pemukiman. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
non pertanian sebenarnya bukan masalah baru, peningkatan jumlah penduduk
menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan, industri dan
pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung dengan ketersediaan lahan.
Karena adanya faktor tersebut sewa lahan (land rent) pada suatu daerah
akan semakin tinggi. Menurut Barlowe dalam Fanny Anugrah K, (2005) sewa
ekonomi lahan mengandung pengertian nilai ekonomi yang diperoleh suatu
bidang lahan bila lahan tersebut digunakan untuk kegiatan proses produksi.
Urutan besaran ekonomi lahan menurut penggunaannya dari berbagai kegiatan
produksi ditunjukkan sebagai berikut: 1) Industri manufaktur; 2) Perdagangan; 3)
Pemukiman; 4) Pertanian; 5) Intensif; dan 6) Pertanian ekstensif
24
2.5. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Multifungsi Lahan Pertanian
Istilah "multifungsi" pertanian mulai muncul di dunia internasional pada
awal tahun 1992, di Rio Earth Summit (De Vries, 2000). Istilah "Multifungsi
Pertanian" telah dengan cepat berkembang untuk digunakan dalam diskusi
mengenai masalah lingkungan, pertanian dan perdagangan internasional,
Pendukung multifungsi di bidang pertanian umumnya menunjukkan manfaat lain
selain penghasil pangan atau serat yang bisa berasal dari pertanian, manfaat
tersebut sering kurang/tidak dihargai di pasar dan jenisnya bervariasi yang sangat
tergantung pada kondisi pertanian itu sendiri. Manfaat ini biasanya mencakup
kontribusi terhadap kepentingan masyarakat pedesaan (melalui pemeliharaan
pertanian keluarga, kesempatan kerja di pedesaan dan warisan budaya), biologis,
keanekaragaman, rekreasi dan pariwisata, kesehatan air tanah, bioenergi,
lansekap, pangan yang berkualitas dan aman, serta habitat bagi hewan-hewan
tertentu. Pemahaman yang komprehensif terhadap multifungsi lahan pertanian
sangat diperlukan agar kecenderungan "under valued" terhadap sumberdaya
tersebut dapat dihindarkan (Bappenas, 2006).
Fungsi utama lahan pertanian adalah untuk mendukung pengembangan
produksi pangan, khususnya padi dan palawija. Namun justifikasi tentang
perlunya pengendalian alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian harus berbasis
pada pemahaman bahwa lahan pertanian mempunyai manfaat ganda (multifungsi)
(Irawan, 2005). Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai
penggunaan (use values), dan (2) manfaat bawaan (non use values). Nilai
penggunaan dapat pula disebut sebagai personal use values. Manfaat ini
dihasilkan dari kegiatan eksploitasi atau kegiatan usahatani yang dilakukan pada
25
sumberdaya lahan pertanian. Manfaat bawaan dapat pula disebut sebagai intrinsic
values, yaitu berbagai manfaat yang tercipta dengan sendirinya walaupun bukan
merupakan tujuan dari kegiatan eksploitasi yang dilakukan oleh pemilik lahan
pertanian. Manfaat bawaan mencakup kontribusinya dalam mempertahankan
keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya.
Nilai penggunaan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu manfaat
langsung (direct use values) dan manfaat tidak langsung (indirect use values).
Manfaat langsung mencakup dua jenis manfaat, yaitu : (1) Manfaat yang nilainya
dapat diukur dengan harga pasar atau marketed output, yaitu berbagai jenis barang
yang nilainya dapat terukur secara empirik dan diekspresikan dalam harga output,
misalnya berbagai produk yang dihasilkan dari kegiatan usahatani. Jenis manfaat
ini bersifat individual, berarti manfaat yang diperoleh secara legal hanya dapat
dinikmati oleh para pemilik lahan. (2) Manfaat yang nilainya tidak dapat diukur
dengan harga pasar (unpriced benefit). Jenis manfaat ini tidak hanya dapat
dinikmati oleh pemilik lahan tetapi dapat pula dinikmati oleh masyarakat luas,
misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, dan penciptaan lapangan kerja di
pedesaan (Irawan, 2005).
Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya terkait
dengan aspek lingkungan. Yoshida (1994) dan Kenkyu (1998) dalam Irawan
(2005) menguraikan bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan
memberikan lima jenis manfaat, yaitu : kontribusinya dalam mencegah banjir,
pengendali keseimbangan tata air, mencegah terjadinya erosi, mengurangi
pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga dan mencegah
pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Seluruh jenis manfaat dapat
dinikmati oleh masyarakat umum dengan cakupan wilayah yang lebih luas, karena
26
masalah lingkungan yang ditimbulkan dapat bersifat lintas daerah. Alih fungsi
lahan pertanian akan mengakibatkan tidak hanya hilangnya potensi produksi
pangan nasional, tetapi mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya multifungsi
lahan pertanian tersebut.
2.6. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan latar belakang masalah, maka kerangka pemikiran dapat
digambarkan sebagai berikut
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
27
Permasalahan Lahan
Implikasi Kebijakan
Permintaan terhadap Lahan Meningkat, Persediaan Lahan
Terbatas
Luas Lahan Berkurang
Faktor Pendorong Faktor Penghambat
Internal
Lokasi lahan Produktivitas lahan Saluran irigasi Mutu tanah
Lluas lahan Biaya produksi. Risiko usaha tani Peningkatan
pendapatan masy. Perubahan perilaku masy. Penanganan pasca panen Pemenuhan kebutuhan
Eksternal
Pertambahan penduduk Warga lain Pihak swasta Nilai jual Kebutuhan tempat tinggal Pembangunan sarana
prasarana Peluang kerja Fluktuasi harga Pajak Subsidi pemerintah Tenaga kerja Kesempatan membeli
lahan lain
Internal
Warisan
Kepercayaan masyarakat
Kondisi saluran irigasi
Kondisi lahan masih subur
Kesempatan kerja di
sektor lain
Eksternal
Regulasi pemerintah
tentang jalur hijau
Subsidi pemerintah
Kepastian harga hasil
pertanian
Kompensasi dari
pemerintah
PertumbuhanPenduduk Meningkat
2.7. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari sebuah penelitian yang akan
dilakukan oleh sipeneliti. Oleh karena itu jawaban sementara yang menjadi
hipotesis dari penelitian ini adalah:
Ha : Ada pengaruh jumlah penduduk, pendapatan perkapita, produksi padi
sawah, dan produksi padi ladang terhadap luas lahan pertanian padi sawah di
Sumatera Utara.
H0 : Tidak ada pengaruh jumlah penduduk, pendapatan perkapita, produksi padi
sawah, dan produksi padi ladang terhadap luas lahan pertanian padi sawah di
Sumatera Utara.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bagian ini akan diuraikan ruang lingkup penelitian, jenis dan sumber
data dan metode alat analisis yang digunakan. Penelitian ini akan menguji
signifikansi variabel-variabel penelitian berdasarkan teori ekonometrika sesuai
dengan hipotesis.
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Secara spesifik penelitian ini mengidentifikasi pengaruh jumlah penduduk
(X1), pendapatan (X2), produksi padi sawah (X3), dan produksi padi ladang (X4)
terhadap luas lahan pertanian padi sawah (Y) di Sumatera Utara.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Dalam melaksanakan penelitian, data yang dipergunakan adalah data
sekunder dengan jenis data yang digunakan dalam bentuk runtun waktu (time
series) pada kurun waktu 23 tahun (1990 – 2012), yang bersifat kuantitatif yaitu
berbentuk angka-angka.
Data bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian
Sumatera Utara, dan sumber lain yaitu: jurnal dan hasil-hasil penelitian. Data
yang dikumpulkan mencakup semua variabel yang relevan untuk keperluan
estimasi.
29
3.3. Batasan Operasional
Untuk memudahkan pemahaman terhadap istilah dan variabel yang
digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diberikan batasan operasional sebagai
berikut:
1. Luas lahan pertanian padi sawah merupakan besarnya lahan pertanian padi
sawah dalam satuan hektar yang bersumber dari data Badan Pusat Statistik
(BPS), Dinas Pertanian Sumatera Utara tahun 1990 – 2012.
2. Jumlah penduduk merupakan banyaknya penduduk yang tinggal dan menetap
di Sumatera Utara. Jumlah ini terdiri dari gabungan antara penduduk laki-laki
dan perempuan yang sudah tercatat oleh pemerintah Sumatera Utara. Satuan
jumlah penduduk yang digunakan adalah per jiwa. Data jumlah penduduk
bersumber dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian Sumatera
Utara tahun 1990 – 2012.
3. Pendapatan perkapitan adalah gambaran rata-rata pendapatan dalam satuan
rupiah yang diterima setiap penduduk. Data pendapatan perkapitan bersumber
dari data Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian Sumatera Utara tahun
1990 – 2012.
4. Produksi padi sawah adalah produktivitas padi sawah setiap tahun dalam
satuan ton. Data produksi padi sawah bersumber dari data Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pertanian Sumatera Utara tahun 1990 – 2012.
5. Produksi padi ladang adalah produktivitas padi ladang setiap tahun dalam
satuan ton. Data produksi padi ladang bersumber dari data Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Pertanian Sumatera Utara tahun 1990 – 2012.
30
3.4. Metode Analisis Data
3.4.1. Metode Regresi Linier Berganda (Multiple Linier Regression)
Regresi merupakan metode estimasi yang mempelajari bagaimana
pengaruh satu variabel independent (bebas) terhadap variabel dependent (tidak
bebas). Dalam penegertian modern regresi merupakan studi mengenai bagaimana
variabel dependent dipengaruhi oleh satu atau lebih dari variabel indepent dengan
tujuan untuk mengestimasi dan atau memprediksi nilai rata-rata variabel
dependent didasarkan pada nilai variabel independen yang diketahui.
Metode regresi dibedakan menjadi metode regersi linier sederhana dan
metode regeresi linier berganda. Perbedaanya adalah pada regresi sederhana
hanya menggambarkan hubungan antara satu variabel dependent dengan saru
variabel indepent. Secara matematis bentuk umum hubungan tersebut dapat
dirumuskan sebgai berikut:
Yi = ß0 + ß1Xi +µi ß1 < 0 Regresi populasi
Ŷi = ß0 + ß1Xi +µi ß1 < 0 Regresi sampel
Sedangkan pada regresi berganda menggambarkan hubungan antara satu variabel
depedent dengan lebih dari satu variabel independent. Secara matematis bentuk
umum hubungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yi = ß0 +ß1X1i+ ß2X2i + ... +ßkXki +µi Regresi Populasi
Ŷi = ß0 + ß1X1i+ß2X2i + ... + ßkXki + µi Regresi sampel
Pada metode regresi untuk menganalisis bentuk hubungan anatara
variabel.dependent dengan variabel Idependent digunakan fungsi regresi sampel
(Sampel Regression Function/SRF) yang ditentukan berdasarkan fungsi regresi
31
populasi (Population Regression Function/ PRF). Hal ini dikarenakan
pengestimasian fungsi populasi sulit dilakukan. Oleh karena itu digunakan fungsi
sampel yang dapat menggambarkan kondisi populasi dengan tingkat keslahan
(error =µ) yang minimum. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah
Ordinary Least Square (OLS).
Dengan metode OLS diupayakan agar garis regresi sampel dapat
mengambbarkan garis regresi yang baik, yang mendekati garis regresi
populasinya, dengan asumsi dari metode OLS yang digunakan dalam regresi
berganda yaitu :
1. Hubungan antara Variabel dependent dengan variabel Independent adalah
linier dalam parameter.
2. Nilai variabel independent tetap untuk observasi yang berulang-ulang (non-
stochastic). Karena variabel yang digunakan lebih dari satu, maka
diasumsikan bahwa tidak ada hubungan linier antar variabel Indpendent yang
satu dengan lainnya.
3. Nilai Harapan (expected value) atau rata-rata dari variabel gangguan µ1adalah
nol.
4. Varian dari variabel gangguan µi adalah sama (homoskedastitas).
5. Tidak ada serial kolerasi antara variabel gangguan yang satu dengan yang
lainnya.
6. Variabel gangguan µi berdistribusi normal.
Jika keenam asumsi tersebut terpenuhi, maka metode OLS akan mampu
memberikan garis regresi sampel yang sedekat mungkin dengan data aktualnya.
Model regresi dikatakan menghasilkan penaksiran yang tidak bias, linier dan
32
mempunyai varian yang minimum atau bersifat BLUE (Best Linier Unibased
Estimator).
3.4.2. Pengujian Asumsi Klasik
Formulasi regresi berganda dipergunakan karena secara teoritis variabel
dependen yang diteliti dianggap mempunyai kecenderungan hubungan linier
dengan masing-masing variabel independennya. Regresi linier berganda
mencocokkan model prediksi ke dalam sebuah model yang telah dimasukkan ke
dalam serangkaian data, masalah ini disebut dengan pengujian asumsi klasik yang
di dalamnya termasuk pengujian normalitas, multikolinieritas, heterokedastisitas.
1. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2005), uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
variabel independen dan variabel dependen berdistribusi normal. Model regresi
yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau mendekati normal. Untuk
melihat normalitas data dapat dilakukan dengan melihat histogram atau pola
distribusi data normal. Normalitas dapat dideteksi dengan melihat penyebaran
data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan melihat histogram dari
nilai residualnya. Dasar pengambilan keputusannya adalah:
a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal
atau garis histogramnya menunjukkan pola berdistibusi normal, maka model
regresi memenuhi asumsi normalitas,
b. Jika data menyebar jauh dari diagonal dan tidak mengikuti arah garis diagonal
atau grafik histogram tidak menunjukkan data berdistribusi normal, maka
model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
33
Dalam penelitian ini, Peneliti menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov (K-
S) untuk menguji normalitas data. Uji K-S dibuat dengan membuat hipotesis:
Ho : data residual berdistribusi normal,
Ha : data residual tidak berdistribusi normal.
Bila signifikasi > 0,05 dengan α = 5%, berarti distribusi data normal dan
Ho diterima, sebaliknya bila nilai signifikansi < 0,05 berarti distribusi data tidak
normal dan Ha diterima. Data yang tidak terdistribusi secara tidak normal dapat
ditransformasikan agar menjadi normal. Jika data tidak normal ada beberapa cara
mengubah model regresi menjadi normal menurut Jogiyanto (2004), yaitu:
a. Dengan melakukan transformasi data ke bentuk lain, yaitu Logaritma Natural,
akar kuadrat, dan Logaritma lo,
b. Lakukan trimming, yaitu mengubah observasi yang bersifat outlier,
c. Lakukan winsorizing, yaitu mengubah nilai-nilai data outlier menjadi nilai-
nilai minimum atau maksimum yang diizinkan supaya distribusinya menjadi
normal.
2. Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2005), “uji ini bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen.” Model regresi yang
baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen.
Multikolinearitas adalah situasi adanya korelasi variabel-variabel independen
antara yang satu dengan yang lainnya.
Jika terjadi korelasi sempurna diantar sesama variabel bebas, maka
konsekuensinya adalah:
34
a. Koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir,
b. Nilai standar error setiap koefisien regresi menjadi tak terhingga.
Ada tidaknya multikolinearitas dapat dideteksi dengan melihat nilai
tolerance dan variance inflation factor (VIF), serta dengan menganalisis matriks
korelasi variabel-variabel independen. Nilai cut off yang umum dipakai untuk
menunjukkan adanya multikolinearitas adalah jika nilai VIF tidak lebih dari 10
dan nilai tolerance tidak kurang 0,1 maka model dapat dikatakan terbebas dari
multikolinearitas.
Ada dua cara yang dapat dilakukan jika terjadi multikolinearitas, yaitu:
a. Mengeluarkan salah satu variabel, misalnya variabel independen A dan B
saling berkolerasi kuat, maka bisa dipilih A atau B yang dikeluarkan dari
model regresi.
b. Menggunakan metode lanjut seperti Regresi Bayesian atau Regresi Ridge.
3. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2005), “uji heteroskedastisitas bertujuan untuk melihat
apakah di dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variabel dari residual suatu
pengamatan ke pengamatan yang lain.” Suatu model regresi yang baik adalah
tidak terjadi heteroskedastisitas. Ada beberapa cara untuk menguji ada tidaknya
situasi heteroskedastisitas dalam varian error terms untuk model regresi. Dalam
penelitian ini menggunakan metode chart (Diagram Scatterplot), dengan dasar
pemikiran bahwa:
35
a. Jika ada pola tertentu seperti titik-titik (poin-poin), yang ada membentuk suatu
pola tertentu yang beraturan (bergelombang, melebar, kemudian menyempit),
maka terjadi heteroskedastisitas.
b. Jika ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar keatas dan dibawah 0 pada
sumbu Y maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah hubungan antara nilai-nilai yang dipisahkan satu sama
lain dengan jeda waktu tertentu. Pada saat melakukan deteksi Autokorelasi, tidak
akan terlepas dengan tabel Durbin Watson. Tabel Durbin Watson menjadi alat
pembanding terhadap nilai Durbin Watson hitung. Uji Durbin Watson adalah
sebuah test yang digunakan untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi pada nilai
residual (prediction errors) dari sebuah analisis regresi.
Cara membaca Tabel Durbin Watson
T : Jumlah sampel (n)
K : Jumlah variabel
dL : Batas Bawah Durbin Watson
dU : Batas Atas Durbin Watson
Cara menentukan atau kriteria pengujian autokorelasi adalah sebagai berikut:
Deteksi Autokorelasi Positif:
a. Jika d < dL maka terdapat autokorelasi positif,
b. Jika d > dU maka tidak terdapat autokorelasi positif,
c. Jika dL < d < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat
disimpulkan.
36
Deteksi Autokorelasi Negatif:
a. Jika (4 - d) < dL maka terdapat autokorelasi negatif,
b. Jika (4 - d) > dU maka tidak terdapat autokorelasi negatif,
c. Jika dL < (4 - d) < dU maka pengujian tidak meyakinkan atau tidak dapat
disimpulkan.
Untuk mendeteksi terjadinya autokorelasi pada nilai residual (prediction
errors) dari sebuah analisis regresi dapat diketahui dari hasil Durbin
Watson Hitung. Apabila hasil Durbin Watson Hitung terletak
antara -2 sampai +2, maka tidak ada autokorelasi.
3.4.3. Pengujian Hipotesis Penelitian
1. Persamaan Regresi Berganda
Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang
positif dari variabel independen (X1, X2, X3, X4) terhadap variabel dependen (Y)
dengan model regresi sebagai berikut:
Y= a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e
Dimana :
Y = Luas lahan pertanian padi sawah
a = Konstanta
b = Koefisien regresi
X1 = Jumlah penduduk dalam satuan jiwa
X2 = Pendapatan perkapita penduduk
X3 = Produksi padi sawah dalam satuan ton.
X4 = Produksi padi ladang dalam satuan ton.
e = Error
37
2. Koefisien Determinasi
Uji Koefisien Determinasi R2 bertujuan untuk mengukur seberapa besar
pengaruh variabel independen secara simultan mempengaruhi perubahan yang
terjadi pada variabel dependen. Jika R2 yang diperoleh dari hasil perhitungan
mendekati 1 (satu), maka semakin kuat model tersebut dapat menerangkan
variabel tergantungnya.
3. Uji Simultan (Uji F)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen
mempunyai pengaruh yang sama terhadap variabel dependen. Pada uji F ini
ditentukan nilai F tabel dapat dilihat pada tabel F dengan menggunakan rumus:
Dimana :
R2 = koefisien korelasi berganda
k = jumlah variabel independen
n = jumlah sampel
Dalam hal ini α = 0,05 atau Confidence Interval (CI) = 95%.
4. Uji Parsial (Uji-t)
Uji parsial (uji t) dilakukan untuk mencari tingkat dominansi pengaruh
setiap variabel bebas terhadap variabel terikat dengan rumus:
38
Dimana :
rs = korelasi parsial yang ditemukan
n = jumlah sampel
t = besarnya nilai thitung
Dalam hal ini α = 0,05 atau Confidence Interval (CI) = 95%.
39