proposal skripsi pendekatan problem solving
TRANSCRIPT
1
SKRIPSI
A. Judul
Penerapan Pendekatan Problem Solving dengan Model Pembelajaran
Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Matematis
Siswa SMP
B. Latar Belakang Masalah
Tujuan umum diberikannya mata pelajaran matematika pada pendidikan dasar
dan pendidikan menengah adalah untuk mempersiapkan siswa agar sanggup
menghadapi perubahan keadaan didalam kehidupan yang selalu berkembang
melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis,
cermat, jujur, efisien, dan efektif. Di samping itu, pembelajaran matematika
diharapkan dapat memberikan penataan nalar, berpikir kritis, pembentukan sikap
siswa, serta kemampuan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari maupun
dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdiknas, 2004).
Dalam Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika yang diterbitkan oleh
Depdiknas (2003), pembelajaran matematika bertujuan menyiapkan siswa untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari, melibatkan siswa dalam aktivitas
pengumpulan data, eksplorasi, interpretasi, reasoning, pendesainan model,
penganalisaan, memformulasi hipotesis, menggeneralisasi, dan memeriksa
outcome. Dengan demikian, dalam pembelajaran matematika, disamping untuk
pencapaian tujuan yang ada dalam setiap materi matematika, siswa perlu dibekali
pula dengan kemampuan-kemampuan tertentu sehingga mampu mengembangkan
1
2
dan mengevaluasi argumen dalam suatu pemecahan masalah tertentu. Dengan
memperhatikan tujuan pembelajaran matematika di SMP dan melihat kenyataan
yang ada di lapangan, maka perlu dilakukan langkah-langkah konkrit untuk
membantu siswa dalam belajar matematika.
Berpikir kritis merupakan kemampuan berpikir siswa yang sangat penting
untuk dikembangkan di sekolah, guru diharapkan mampu merealisasikan
pembelajaran yang mengaktifkan dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis
pada siswa. Setiap siswa memiliki potensi kritis, tetapi masalahnya bagaimana
cara mengembangkan potensi tersebut melalui proses pembelajaran di kelas.
Kemampuan berpikir kritis siswa dapat dilatih dengan pembelajaran yang
menuntut siswa untuk melakukan eksplorasi, inkuiri, penemuan dan memecahkan
masalah serta melalui belajar dalam kelompok kecil. Sehingga pada dasarnya
selama pembelajaran, siswa dituntut untuk aktif. Namun beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa siswa cenderung hanya menerima pengetahuan dari guru,
demikian pula guru pada saat kegiatan pembelajaran hanya sekedar
menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa secara aktif untuk
menggunakan kemampuan berpikir kritis matematiknya. Dengan demikian
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis siswa belum terlatih
secara optimal.
Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa kemampuan berpikir kritis
dapat dilatih dengan pembelajaran yang menuntut siswa untuk melakukan
eksplorasi, inkuiri, penemuan dan memecahkan masalah sehingga salah satu
model pembelajaran yang dapat diasumsikan mampu meningkatkan kemampuan
3
berpikir kritis matematis siswa model pembelajaran berbasis masalah dengan
pendekatan problem solving. Hal ini dikarenakan pada pembelajaran berbasis
masalah untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi
pelajaran, siswa diberikan suatu permasalahan yang merupakan masalah dalam
kehidupan. Pembelajaran ini memberikan terlebih dahulu masalah kepada siswa
untuk diinvestigasi, inkuiri dan pemecahan masalah siswa membangun konsep
dan prinsip dari suatu materi dengan kemampuannya sendiri yang
mengintegrasikan keterampilan dan pengetahuan yang sudah dipahami
sebelumnya. Selain itu, model pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa
aktif dalam proses pembelajaran dan memiliki kesempatan untuk menemukan dan
menerapkan ide mereka sendiri dalam memecahkan masalah sehingga menunjang
siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya. Sementara untuk
menentukan benar tidaknya pengetahuan yang diperoleh atau cara pemecahan
masalah yang dilakukan, siswa harus mengceknya kembali langkah-perlangkah
sehingga kemampuan berpikir kritisnya terlatih.
Asumsi bahwa model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan
problem solving mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa lebih
baik dibandingkan model pembelajaran langsung berdasarkan pendapat-pendapat
ahli. Menurut Sanjaya (Sunaryo, 2014) bahwa pembelajaran berbasis masalah
dapat diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan
kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Pada
pelaksanaan model pembelajaran berbasis masalah, siswa berkelompok dan
berdiskusi dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata.
4
Sutawidjaja dan Jarnawi (Sunaryo, 2014) menyatakan “Problem solving akan
banyak mencapai kesuksesan manakala problem yang disajikan dalam bahan ajar
berbentuk masalah realistik dan reasonably yang kompleks.” Penyelesaian
masalah yang diberikan tidak tujuan akhir dari pembelajaran karena pada
pembelajaran ini tidak hanya bermaksud membantu siswa menemukan
penyelesaian suatu masalah, tetapi juga membantu siswa memahami fakta,
konsep, keterampilan dan prinsip matematika melalui masalah.
Mengingat begitu pentingnya kemepuan berfikir kritis dimiliki siswa namun
kenyataan dilapangan menyatakan kemampuan berfikir kritis matematis siswa
sangat rendah. Seperti yang dikutip dari (kompas, 2012) Pencapaian prestasi
belajar siswa Indonesia di bidang sains dan matematika, menurun. Siswa
Indonesia masih dominan dalam level rendah, atau lebih pada kemampuan
menghafal dalam pembelajaran sains matematika. Demikian hasil Trends in
Mathematics and Science Study TIMSS (kompas, 2012) yang diikuti siswa kelas
VIII Indonesia tahun 2011. Penilaian yang dilakukan International Association for
the Evaluation of Educational Achievement Study Center Boston College
tersebut, diikuti 600.000 siswa dari 63 negara. Untuk bidang Matematika,
Indonesia berada di urutan ke-38 dengan skor 386 dari 42 negara yang siswanya
dites. Skor Indonesia ini turun 11 poin dari penilaian tahun 2007. Hasil penelitian
ini menunjukan bukti bahwa soal-soal matematika tak rutin yang memerlukan
berfikir kritis (kemampuan berfikir tingkat tinggi) tidak mampu dijawab oleh
siswa.
5
Menurut Noer (2009) pada studi TIMSS terungkap bahwa siswa Indonesia lemah
dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan jastifikasi atau
pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematika, menemukan
generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang
diberikan. Sedang dalam studi PISA, siswa Indonesia lemah dalam menyelesaikan soal-
soal yang difokuskan pada mathematics literacy yang ditunjukkan oleh kemampuan siswa
dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan fakta diatas, dapat dikatakan bahwa
kemampuan pemecahan masalah, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif
siswa pada umumnya masih rendah.
Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan harapan
yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya yang inovatif
untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika melalui perbaikan
proses pembelajaran. Untuk meningkatkan kemapuan berfikir kritis siswa
pendekatan yang butuhkan adalah dengan menggunakan pendekatan problem
solving. menurut Blane & Evans (martyanti, 2013) bahwa Problem solving dalam
matematika adalah proses dimana seorang siswa atau kelompok siswa
(cooperative group) menerima tantangan yang berhubungan dengan persoalan
matematika dimana penyelesaiannya dan caranya tidak langsung bisa ditentukan
dengan mudah dan penyelesaiannya memerlukan ide matematika. Dalam problem
solving, biasanya, permasalahan-permasalahan tidak tersajikan dalam peristilahan
matematika. Permasalahan yang digunakan dapat diangkat dari permasalahan
kehidupan nyata (real life situation) yang pemecahannya memerlukan ide
6
matematika sebagai sebuah alat (tool). Senada dengan pendapat di atas, Taplin
(martyanti,2013) mengungkapkan bahwa pendekatan problem solving adalah
suatu pendekatan yang mendorong fleksibilitas, kemampuan untuk menanggapi
situasi tak terduga yang tidak memiliki solusi yang segera, dan membantu untuk
mengembangkan ketekunan dalam mengahadapi kegagalan.
Selain menggunakan pendekatan problem soving untuk meningkatkan kemampuan
berfikir kritis siswa juga diperlukan model pembelajaran berbasis masalah. Noer (2009)
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) adalah suatu pembelajaran yang menjadikan
masalah sebagai basisnya. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu
menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi
alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Lingkungan belajar PBM memberikan
banyak kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka,
untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan merubah prosedur penyelesaian, termasuk
memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan dalam penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah pencapaian kemampuan pemahaman matematis siswa SMP yang
menggunakan penerapan pendekatan problem solving dengan model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan
pembelajaran biasa?
7
2. Apakah peningkatan kemampuan berfikir kritis matematis siswa SMP yang
menggunakan penerapan pendekatan problem solving dengan model
pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan
pembelajaran biasa?
3. Bagaimana Implementasi langkah-langkah pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan problem solving dengan model pembelajaran
berbasis masalah dikelas?
4. Bagaimana kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal-
soal berfikir kritis matematis?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan
menelaah :
1. Untuk menelaah pencapaian kemampuan berfikir kritis matematis siswa SMP
yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan problem solving dan
model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan yang
menggunakan pembelajaran biasa.
2. Untuk menelaah peningkatan kemampuan berfikir kritis matematis siswa
SMP yang dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan problem
solving dengan model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan
yang menggunakan pembelajaran biasa.
8
3. Untuk menelaah implementasi langkah-langkah pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan problem solving dengan model pembelajaran
berbasis masalah dikelas.
4. Untuk menelaah kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam mengerjakan
soal berfikir kritis matematis.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti lainnya, dapat digunakan sebagai referensi penulis lain dalam
menyusun proposal skripsi.
2. Bagi guru, dapat membantu dalam memilih dan menentukan alternatif
pendekatan pembelajaran apa yang sebaiknya digunakan dalam proses
pembelajaran agar sasaran pencapaian penanaman konsep matematika benar-
benar tepat dan efektif.
3. Bagi peserta didik, untuk membantu menumbuhkembangkan sikap kritis dan
aktif dalam proses pembelajaran.
4. Bagi sekolah, agar hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam proses pengembangan pembelajaran matematika peserta
didik yang akan disampaikan oleh guru.
F. Definisi Operasional
1. Kemampuan berfikir kritis matematis
Susanto (Normaya,2015) menyatakan bahwa upaya untuk pembentukan
kemampuan berpikir kritis siswa yang optimal mensyaratkan adanya kelas yang
9
interaktif, siswa dipandang sebagai mediator, fasilitator, dan motivator yang
membantu siswa dalam belajar bukan mengajar. Sedangkan kemampuan berfikir
kritis matematis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan
pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan.
Indikator kemampuan berfikir kritis menurut Ennis(Sunaryo,2014)
menyatakan bahwa dalam berpikir kritis terdapat enam indikator yaitu Fokus
(fokus), Reason (alasan), Inference (menyimpulkan), Situasion (situasi), Clarity
(kejelasan), and Overview (pandangan menyeluruh). Penjelasannya menurut Ennis
yaitu:
a. Fokus
Dalam memahami masalah adalah menentukan hal yang menjadi fokus
(Fokus) dalam masalah tersebut. Hal ini dilakukan agar pekerjaan menjadi lebih
efektif, karena tanpa mengetahui fokus permasalahan, kita akan membuang
banyak waktu.
b. Reason (alasan)
Reason (alasan) yaitu memberikan alasan terhadap jawaban atau simpulan.
c. Inference (simpulan)
Inference (simpulan) yaitu memperkirakan simpulan yang akan didapat.
d. Situation (situasi)
Situation (situasi) yaitu menerapkan konsep pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya untuk menyelesaikan masalah pada situasi lain.
e. Clarity (kejelasan)
10
Clarity (kejelasan) yaitu memberikan contoh masalah atau soal yang serupa
dengan yang sudah ada.
f. Overview (pemeriksaan atau tinjauan)
Overview (pemeriksaan atau tinjauan)yaitu memeriksa kebenaran jawaban
2. Pendekatan Problem Solving
Pendekatan Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2013 Nomor 65 tentang standar
proses, mengungkapkan bahwa pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus
dalam pembelajaran matematika. Pendekatan pemecahan masalah mengacu pada
pengalaman yang berbeda bahwa guru memilih untuk melibatkan siswa
memecahkan masalah dalam belajar matematika(Martyanti, 2013)
Taplin (Martyanti,2013) mengungkapkan bahwa pendekatan problem solving
adalah suatu pendekatan yang mendorong fleksibilitas, kemampuan untuk
menanggapi situasi tak terduga yang tidak memiliki solusi yang segera, dan
membantu untuk mengembangkan ketekunan dalam mengahadapi kegagalan.
Pendekatan pemecahan masalah dapat menyediakan kendaraan bagi siswa untuk
membangun ide mereka sendiri tentang matematika dan mengambil tanggung
jawab untuk pembelajaran mereka sendiri. Terdapat hal positif yang diperoleh
siswa baik ketika menyelesaikan masalah maupun setelah berhasil menyelesaikan
masalah. Ketika menyelesaikan masalah siswa memperoleh kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir realistis dan rasional. Sedangkan hal positif
lain yang diperoleh ketika siswa berhasil menyelesaikan masalah adalah
timbulnya rasa puas dan senang dalam diri siswa. Hal ini akan memberikan
11
kontribusi terhadap sikap positif siswa terhadap matematika dan akan menambah
kepercayaan diri siswa dalam pembelajaran matematika.(Haylock & Tangata,
dalam martyanti 2013).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem
Solving adalah suatu pendekatan yang membagi siswa kedalam kelompok kecil,
siswa diberikan soal-soal yang berisi permasalahan yang harus dipecahkan, siswa
dituntut secara aktif mencari cara memecahkan masalah baik dari buku ataupun
diskusi kelompok, kemudian siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan dari
pemecahan masalah serta siswa diarahkan untuk mempresentasikan jawaban dari
persoalan yang telah diberikan.
3. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang
berorientasi pada masalah. Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah
kontekstual dan bermakna, mamahami masalah untuk memulai mancari
penyelesaian masalah, proses penyelidikan individu maupun kelompok, analisis
hasil yang diperoleh, dan mempresentasikan hasil yang diperoleh. Dengan tahapan
PBL, siswa dituntut menghasilkan gagasan baru serta dapat mengaitkan konsep
yang telah dimiliki sebelumnya dalam meyelesaikan masalah yang diberikan.
Dengan demikian, kemampuan berpikir kritis siswa dapat dikembangkan memalui
model PBL( Khairuntika, 2015)
Model Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan model pembelajaran yang
dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih bermakna, tanpa
harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada. Diharapkan siswa akan menjadi
12
lebih aktif dan senang dalam pembelajaran matematika sehingga akan berdampak
pada hasil belajar siswa. Menurut Amir(liyandari, et al) karakteristik model
pembelajaran berbasis masalah yaitu:
a. masalah digunakan sebagai awal pembelajaran,
b. masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara
mengambang
c. masalah biasanya menuntut perspektif majemuk,
d. masalah membuat pemelajar tertantang akan pengetahuan baru,
e. mengutamakan belajar mandiri,
f. memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi,
g. pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif
G. Studi Literatur
1. Kemampuan Berfikir Kritis Matematis
Menurut Fisher (Noordyana,2013) berpikir kritis adalah menjelaskan apa
yang dipikirkan. Belajar untuk berpikir kritis berarti: belajar bagaimana bertanya,
kapan bertanya, apa pertanyaannya, bagaimana nalarnya, kapan menggunakan
penalaran, dan metode penalaran apa yang dipakai
Menurut Ennis (dalam Supriyono, 2011), berpikir kritis adalah berpikir secara
beralasan dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang
apa yang harus dipercayai atau dilakukan. Oleh karena itu, indikator kemampuan
berpikir kritis dapat diturunkan dari aktivitas kritis siswa sebagai berikut :
a. Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pertanyaan.
13
b. Mencari alasan.
c. Berusaha mengetahui informasi dengan baik.
d. Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkannya.
e. Memperhatikan situasi dan kondisi secara keseluruhan.
f. Berusaha tetap relevan dengan ide utama.
g. Mengingat kepentingan yang asli dan mendasar.
h. Mencari alternatif.
i. Bersikap dan berpikir terbuka.
j. Mengambil posisi ketika ada bukti yang cukup untuk melakukan sesuatu.
k. Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.
l. Bersikap secara sistimatis dan teratur dengan bagian-bagian dari keseluruhan
masalah.
Menurut Ennis (Supriyono,2011) Indikator kemampuan berpikir kritis yang
diturunkan dari aktivitas kritis no. 1 adalah mampu merumuskan pokok-pokok
permasalahan. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 3, 4, dan 7 adalah
mampu mengungkap fakta yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu masalah.
Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis no. 2, 6, dan 12 adalah mampu
memilih argumen logis, relevan dan akurat. Indikator yang diturunkan dari
aktivitas kritis no. 8 dan 10, dan 11 adalah mampu mendeteksi bisa berdasarkan
pada sudut pandang yang berbeda. Indikator yang diturunkan dari aktivitas kritis
no. 5 dan 9 adalah mampu menentukan akibat dari suatu pernyataan yang diambil
sebagai suatu keputusan.
14
Beyer (Supriyono, 2014) mengatakan bahwa keterampilan berpikir kritis
meliputi beberapa kemampuan sebagai berikut :
a. Menentukan kredibilitas suatu sumber.
b. Membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan.
c. Membedakan fakta dari penilaian.
d. Mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi yang tidak terucapkan.
e. Mengidentifikasi bias yang ada.
f. Mengidentifikasi sudut pandang.
g. Mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung pengakuan.
Sementara itu Ellis (Supriyono, 2004) mengemukakan bahwa keterampilan
berpikir kritis meliputi kemampuan-kemampuan sebagai berikut :
a. Mampu membedakan antara fakta yang bisa diverifikasi dengan tuntutan
nilai.
b. Mampu membedakan antara informasi, alasan, dan tuntutan-tuntutan yang
relevan dengan yang tidak relevan.
c. Mampu menetapkan fakta yang akurat.
d. Mampu menetapkan sumber yang memiliki kredibilitas.
e. Mampu mengidentifikasi tuntutan dan argumen-argumen yang ambiguistik.
f. Mampu mengidentifikasi asumsi-asumsi yang tidak diungkapkan.
g. Mampu menditeksi biasa.
h. Mampu mengidentifikasi logika-logika yang keliru.
i. Mampu mengenali logika yang tidak konsisten.
j. Mampu menetapkan argumentasi atau tuntutan yang paling kuat.
15
Sedangkan menurut Ennis(Sunaryo, 2014) menyatakan bahwa dalam berpikir
kritis terdapat enam indikator yaitu Fokus (fokus), Reason (alasan), Inference
(menyimpulkan), Situasion (situasi), Clarity (kejelasan), and Overview
(pandangan menyeluruh). Penjelasannya menurut Ennis yaitu:
a. Fokus
Dalam memahami masalah adalah menentukan hal yang menjadi fokus
(Fokus) dalam masalah tersebut. Hal ini dilakukan agar pekerjaan menjadi lebih
efektif, karena tanpa mengetahui fokus permasalahan, kita akan membuang
banyak waktu.
b. Reason (alasan)
Reason (alasan) yaitu memberikan alasan terhadap jawaban atau simpulan.
c. Inference (simpulan)
Inference (simpulan) yaitu memperkirakan simpulan yang akan didapat.
d. Situation (situasi)
Situation (situasi) yaitu menerapkan konsep pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya untuk menyelesaikan masalah pada situasi lain.
e. Clarity (kejelasan)
Clarity (kejelasan) yaitu memberikan contoh masalah atau soal yang serupa
dengan yang sudah ada.
f. Overview (pemeriksaan atau tinjauan)
Overview (pemeriksaan atau tinjauan) yaitu memeriksa kebenaran jawaban.
16
2. Pendekatan Problem Solving
Menurut Suryadi et al (Benny, 2009) dalam surveynya tentang “current
situation on mathematics and science education in Bandung” yang disponsori
oleh JICA, antara lain menemukan bahwa pemecahan masalah merupakan salah
satu kegiatan matematika yang dianggap penting baik olek para guru maupun
siswa di semua tingkatan mulai dari Sekolah Dasar sampai SMU. Akan tetapi, hal
tersebut masih dianggap sebagai bagian yang paling sulit dalam matematika baik
bagi siswa dalam mempelajarinya maupun bagi guru dalam mengajarkannya.
Sebagaimana tercantum dalam kurikulum matematika sekolah bahwa tujuan
diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan
keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar
pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. Hal ini jelas
merupakan tuntutan sangat tinggi yang tidak mungkin bisa dicapai melalui
hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran
biasa. Untuk menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu
dikembangkan materi serta proses pembelajarannya yang sesuai.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika, yang menyangkut masalah tertutup, mempunyai solusi tunggal,
terbuka atau masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Depdiknas 2006
(Amilafizone, 2012).
Branca (Amilafizone, 2012) menegaskan bahwa dalam pembelajaran
matematika problem solving merupakan tujuan(goal), proses dan keterampilan
dasar(basic skill). Adapun langkah-langkah pendekatan problem solving dalam
17
pembelajaran matematika, menurut Polya (Yuliana, 2015), dalam pemecahan
suatu masalah terdapat empat langkah, yaitu :
1. Memahami masalah
Dalam hal ini, siswa harus dapat menentukan dengan jeli apa yang diketahui
dan apa yang ditanyakan untuk memecahkan suatu masalah. Jika ada hal-hal
penting hendaknya di catat di dalam buku untuk mengantisipasi jikalau suatu saat
lupa.
2. Merencanakan masalah
Dalam pembelajaran pemecahan masalah, siswa dikondisikan untuk memiliki
pengalaman menerapkan berbagai macam setrategi atau metode pemecahan
masalah. Strategi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah matematika
cukup banyak dan bervariasi seperti diantaranya : membuat gambar atau diagram,
menentukan pola, melakukan eksperimen, coba-coba, menyederhanakan masalah
dan lain.
3. Menyelesaikan masalah
Sesuai rencana langkah ke-dua proses inti dari pemecahan masalah adalah
melaksanakan rencana pemecahan yang telah dibuat. Pada tahap ini siswa perlu:
a. Mengecek langkah proses pemecahan masalah, apakah masing-masing
langkah sudah benar.
b. Memeriksa kembali hasil yang diperoleh setelah mendapatkan jawaban
dari suatu masalah, pengecekan atau melihat kembali jawaban adalah
18
sesuatu yang sangat penting. Apakah penyelesaiannya sudah benar?
Apakah sudah lengkap? Apakah sudah sesuai denga langkah-langkah
yang seharusnya.
Penyelesaian masalah menurut J.Dewey (Yuliana, 2015) dapat dilakukan
melalui enam tahap yaitu :
Tabel 1. Tahap – Tahap Penyelesaian Masalah
Tahap-Tahap Kemampuan yang diperlukan
a. Merumuskan masalah Mengetahui dan merumuskan masalah
secara jelas
b. Menelaah masalah Menggunakan pengetahuan untuk
memperinci menganalisa masalah dari
berbagai sudut
c. Merumuskan hipotesis Berimajinasi dan menghayati ruang
lingkup, sebab – akibat dan alternative
penyelesaian
d. Mengumpulkan dan
mengelompokkan data sebagai
bahan pembuktian hipotesis
Kecakapan mencari dan menyusun data
menyajikan data dalam bentuk
diagram,gambar dan tabel
e. Pembuktian hipotesis Kecakapan menelaah dan membahas
data, kecakapan menghubung –
hubungkan dan menghitung
Ketrampilan mengambil keputusan dan
kesimpulan
19
f. Menentukan pilihan penyelesaian Kecakapan membuat altenatif
penyelesaian kecakapan dengan
memperhitungkan akibat yang terjadi
pada setiap pilihan
Menurut Wina Sanjaya (Kurnianingsih, 2014) dijelaskan bahwa pembelajaran
pemecahan masalah (problem solving) memiliki keunggulan dan kelemahan.
Berikut ini akan diuraikan masing-masing keunggulan dan kelemahannya :
1. Keunggulan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving)
a. Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus
untuk lebih memahami isi pelajaran.
b. Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa
serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi
siswa.
c. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas
pembelajaran siswa.
d. Pemecahan masalah (Problem solving) dapat membantu siswa bagaimana
mentransfer pengetahuannya untuk meahami masalah dalam kehidupan
nyata.
e. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk
mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam
pembelajaran yang dilakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga
20
dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil
maupun proses belajarnya.
f. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada
siswa bahwa setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berpikir,
dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya seedar belajar
dari guru atau dari buku-buku saja.
g. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan
disukai siswa.
h. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan
siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan untuk
menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
i. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimiliki dalam
dunia nyata.
j. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa
untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal
telah berakhir.
2. Kelemahan pembelajaran pemecahan masalah (problem solving)
a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan
bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahnkan, maka siswa akan
merasa enggan untuk mencoba.
b. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan
cukup waktu untuk persiapan.
21
c. Tanpa pemahaman mengapa siswa berusaha untuk memecahkan masalah
yang sedang dipelajari, maka siswa tidak akan belajar apa yang ingin
dipelajari.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas pembelajaran problem solving ini
memiliki keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan pendekatan problem
solving diantaranya yaitu:
a. Pendekatan problem solving membuat pembelajaran disekolah lebih relevan
dengan kehidupan atau realistis
b. Proses belajar mengajar melalui pemecahan masalah dapat melatih siswa
menghadapi masalah secara terampil, baik permasalahan didalam kehidupan
seperti dalam keluarga, bermasyarakat, dan dalam dunia kerja
c. Dapat meningkatkan kemampuan berfikir siswa secara kreatif karena siswa
dapat mencari pemecahan masalah dari setia masalah yang dihadapi.
Adapun kekurangan metode problem solving :
a. Mencari pemecahan masalah yang harus sesuai dengan tingkat berfikir siswa
membutuhkan keterampilan guru dalam membimbing
b. Proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan problem solving
dengan jumlah siswa yang banayak membutuhkan waktu yang cukup lama
karena menuntut siswa memecahkan masalah.
c. Mengubah kebiasaan siswa belajar dari yang tadinya pasif hanya
mendengarkan ceramah dari guru menjadi beajar berfikir mandiri untuk
22
memecahkan masalah individu ataupun kelompok yang dapat menjadi beban
masalah tersendiri bagi siswa.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Pendekatan Problem
Solving adalah suatu pendekatan yang membagi siswa kedalam kelompok kecil,
siswa diberikan soal-soal yang berisi permasalahan yang harus dipecahkan, siswa
dituntut secara aktif mencari cara memecahkan masalah baik dari buku ataupun
diskusi kelompok, kemudian siswa dibimbing untuk menarik kesimpulan dari
pemecahan masalah serta siswa diarahkan untuk mempresentasikan jawaban dari
persoalan yang telah diberikan.
3. Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Finkle dan Torp (Khairuntika, 2015) menyatakan bahwa Pembelajaran PBL
atau PBM merupakan pengembangan kurikulum dan system pengajaran yang
mengembangkan secara simultan strategi pemecahan masalah dan dasar-dasar
pengetahuan dan keterampilan dengan menempatkan peserta didik dalam peran
aktif sebagai pemecah permasalahan sehari-hari yang tidak terstruktur dengan
baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Barrows (Khairuntika, 2015) bahwa
pembelajaran berbasis masalah adalah metode yang melibatkan sekelompok kecil
orang yang bekerja bersama-sama pada tugas sebagai perwakilan fenomena
kehidupan nyata. Sedangkan Menurut Arends (Khairuntika, 2015) pembelajaran
berbasis masalah adalah pembelajaran yang menyuguhkan berbagai situasi
masalah yang autentik dan bermakna kepada siswa, yang dapat berfungsi sebagai
batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan. Sedangkan Sanjaya
23
(Khairuntika, 2015) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masaah dapat
diartikan sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Pembelajaran berbasis
masalah telah mempengaruhi dunia penelitian dan dalam beberapa kasus
dinyatakan dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa, motivasi, dan minat
dalam materi pelajaran.
Langkah-langkah PBL menurut Amir (Khairuntika 2015) adalah:
1. Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas
2. Merumuskan masalah
3. Menganalisis masalah
4. Menata gagasan secara sistematis dan menganalisinya secara dalam
5. Memformulasikan tujuan pembelajaran
6. Mencari informasi tambahan dari sumber lain (diluar diskusi kelompok)
7. Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru.
Adapun tahap-tahap PBL menurut Mariani, Wardono, dan kusumawardani
(khairuntika, 2015) dapat diartikan sebagai berikut:
1. Tahap 1 untuk memberi orientasi tentang masalah kepada para siswa
2. Tahap 2 untuk mengorganisir para siswa untuk melakukan riset.
3. Tahap 3 untuk membantu penyelidikan/investigasi secara individu dan
kelompok
4. Tahap 4 untuk meningkatkan dan untuk mempresentasikan hasil diskusi
24
5. Tahap untuk meneliti dan untuk mengevaluasi kemajuan memecahkan masalah.
Dalam buku Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013
Matematika SMP/MTs yang dikeluarkan BSDM P dan K dan PMP, 2013: 229
(wijaya, 2014) diuraikan dua definisi PBL sebagai berikut.
1. Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran
yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik
untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah,
peserta didik bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real
world).
2. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang
menantang peserta didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara
berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah
yang diberikan ini digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin
tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta
didik, sebelum peserta didik mempelajari konsep atau materi yang berkenaan
dengan masalah yang harus dipecahkan.
Selanjutnya, masih dalam buku Materi Pelatihan Guru Implementasi
Kurikulum 2013 Matematika SMP/MTs (Wijaya,2014), dalam penerapannya
pembelajaran berbasis masalah dikelompokkan kedalam 5 tahap. Kelima tahap
tersebut diuraikan dalam tabel sebagai berikut :
25
Tahapan-Tahapan Model PBM FASE-
FASE
PERILAKU GURU
Fase 1
Orientasi peserta didik kepada masalah. Menjelaskan tujuan
pembelajaran, menjelaskan logistik
yg dibutuhkan.
Memotivasi peserta didik untuk
terlibat aktif dalam pemecahan
masalah yang dipilih.
Fase 2
Mengorganisasikan peserta didik.
Membantu peserta didik
mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah
tersebut.
Fase 3
Membimbing penyelidikan individu dan
kelompok.
Mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
Fase 4
Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya.
Membantu peserta didik dalam
merencanakan dan menyiapkan
karya yang sesuai seperti laporan,
26
model dan berbagi tugas dengan
teman.
Fase 5
Menganalisa dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
Mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari
/meminta kelompok presentasi
hasil kerja.
PBL sebagai suatu model pembelajaran yang memiliki kelebihan dan
kekurangan, karena tidak ada lembaga yang dapat menjamin suatu model
pembelajaran mutlak memiliki kelebihan, pasti ada suatu kekurangan terhadap
model pembelajaran itu. Menurut Amir (Khairuntika,2015) pembelajaran berbasis
masalah, memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:
1. Punya keaslian seperti didunia kerja, karena masalah yang disajikan sedapat
mungkin memang merupakan cerminan masalah yang dihadapi di dunia kerja.
2. Dibangun dengan mempertahankan pengetahuan sebelumnya, karena masalah
yang dirancang dapat membangun kembali pemhaman pembelajar diatas
pengetahuan yang telah didapat sebelumnya.
3. Membangun pemikiran yang metakognitif dan konstruktif, karena masalah
dalam PBL akan membuat pembelajar terdorong melakukan pemikiran yang
metakognitif.
4. Meningkatkan minat dan motivasi pembelajar, karena dengan rancangan
masalah yang menarik dan menantang, pembelajar akan tergugah untuk
belajar.
27
5. Satuan Acara Pembelajaran (SAP) yang seharusnya menjadi sasaran mata
pelajaran tetap dapat terliputi dengan baik. Sasaran itu didapat pembelajar
dengan peliputan materi yang dilakukan sendiri oleh pembelajar.
Sedangkan kelemahan PBL menurut Shoimi (Khoiruntika,2015) yaitu:
1. tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian guru berperan
aktif dalam menyajikan materi; serta
2. dalam suatu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan
terjadi kesulitan dalam pembagian tugas. Dari keunggulan dan kelemahan yang
telah dikemukakan, guru, sebagai seorang pendidik hendaknya dapat
memaksimalkan keunggulan dari model PBL ini untuk meminimalisir
kelemahan pada model PBL.
H. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah dan studi literatur diatas hipotesis penelitian
ini yaitu:
1. Pencapaian kemampuan berfikir kritis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan problem solving dengan model pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.
2. Peningkatan kemampuan berfikir kritis siswa SMP yang pembelajarannya
menggunakan pendekatan problem solving dengan model pembelajaran
berbasis masalah lebih baik daripada yang menggunakan pembelajaran biasa.
28
I. Metodologi dan Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen yang dapat dilakukan guru setiap
saat sesuai dengan keadaan pembelajaran di kelas. Dalam hal ini peneliti
menggunakan metode kuasi eksperimen. Dalam metode eksperimen ini peneliti
menggunakan dua kelompok yakni kelompok pertama yang memperoleh
perlakuan pembelajaran matematika dengan pendekatan problem solving disebut
kelompok eksperimen, dan kelompok kedua yang memperoleh perlakuan
pembelajaran biasa disebut kelompok kontrol. Adapun desain penelitian yang
digunakan akan digambarkan seperti dibawah ini (Russeffendi, 2010:53)
O X O
----------------------------------
O O
Keterangan:
O : Postes = pretest
X : Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan problem solving
------ : Subjek diambil secara tidak acak
J. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMP di Kabupaten
Bandung dengan subjek sampelnya adalah kelas VIII disalah satu SMP swasta di
Kabupaten Bandung. Alasan pemilihan subjek sampel adalah karena karakteristik
sampel mewakili karakteristik populasi.
29
K. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan matematik. Soal-soal
untuk pretest dan soal untuk postes adalah sama dan sebelumnya akan
diujicobakan terlebih dahulu dikelas – kelas setingkat di SMP yang serupa.
Setelah diperoleh hasil dari uji coba instrument kemudian akan dihitung validitas,
reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran dari butir soal.
1. Validitas Instrumen
Validitas adalah tingkat ketepatan soal dalam mengukur apa yang seharusnya
diukur. Dalam penelitian ini yang dilihat adalah validitas isi. Rumus yang
digunakan untuk menguji setiap butir soal adalah rumus korelasional product
moment (Ruseffendi, 2010:106)
r xy=N . ƩXY−(ƩX )(ƩY )
√ {N . Ʃ X2− (ƩX )2 }{N .Ʃ Y 2−( ƩY )2}
Keterangan:
r xy : koefisien validitas tes
X : nilai rata-rata soal-soal tes pertama perorangan
ƩX : jumlah nilai-nilai X
ƩX² : jumlah kuadrat nilai-nilai X
Y : nilai rata-rata soal-soal tes kedua perorangan
ƩY : jumlah nilai-nilai Y
ƩY² : jumlah kuadrat niali-nilai Y
XY : perkalian nilai X dan Y perorangan
ƩXY : jumlah perkalian nilai X dan Y perorangan
30
N : banyaknya pasangan nilai
Klasifikasi validitas instrumen menurut Suherman dan Sukjaya (Haq,
2014:16) adalah sebagai berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Validitas Instrumen
Koefisien Korelasi Interpretasi
0,80 < r xy ≤ 1,00 Validitas sangat tinggi
0,60 < r xy ≤ 0,80 Validitas tinggi
0,40 < r xy ≤ 0,60 Validitas sedang
0,20 < r xy ≤ 0,40 Validitas rendah
0,00 < r xy ≤ 0,20 Validitas sangat rendah
r xy < 0,00 Tidak valid
Selanjutnya dilakukan uji signifikan nilai r xy, adapun rumus untuk
menghitung uji nilai signifikan menurut Sugiyono (Haq, 2014:16)
t hit = r √ N−21−r xy ²
t tab=t (1−α ) ;(N−2)
Keterangan :
r : koefisien validitas tiap butir soal
N : jumlah peserta tes
Kriteria : Jika t hit ≥ t tab maka validitasnya signifikan.
2. Reabilitas Instrumen
31
Reabilitas instrumen adalah ketetapan instrumen dalam mengukur atau
ketetapan siswa dalam menjawab instrumen tersebut. Untuk mengetahui reabilitas
tes tipe uraian digunakan rumus Croanbach Alpha (Ruseffendi, 2010:172),
r p=b
b−1x
DB j ²−Ʃ DBi ²DB j²
Keterangan :
b : banyaknya soal
DB j ² : variansi skor seluruh soal menurut skor siswa perorangan
DBi² : variansi skor soal tertentu (soal ke-i)
ƩDBi ² : jumlah variansi seluruh skor soal tertentu
Klasifikasi reliabilitas menurut Arikunto(),sebagai berikut :
Tabel 3. Klasifikasi Reliabilitas Instrumen
Koefisien reliabilitas Tingkat reliabilitas
0,00 <r11≤0,20 Sangat rendah
0,20<r11≤ 0,40 Rendah
0,40<r11≤ 0,60 Sedang
0,60<r11≤ 0,80 Tinggi
0,80 <r11≤1,00 Sangat Tinggi
Adapun untuk Menghitung uji nilai signifikan menurut Sugiyono (Haq,
2014:16) digunakan rumus sebagai berikut :
t hit = r √ N−21−r xy ²
32
t tab=t (1−α ) ;(N−2)
Keterangan:
r : koefisien validitas tiap butir soal
N : jumlah peserta tes
Kriteria : Jika t hit ≥ t tab maka validitasnya signifikan
3. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara
siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah
(Arikunto, 1999: 211).
Dalam Arikunto (1999:213) daya pembeda butir soal dihitung dengan
menggunakan persamaan
DP =BAJA –
BBJB
Keterangan:
DP = Indeks daya pembeda
BA = Banyaknya pesrta tes kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB = Banyaknya peserta tes kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
JA = Banyaknya peserta tes kelompok atas
JB = Banyaknya peserta kelompok bawah
Dalam Arikunto (1999 : 213) kriteria indeks daya pembeda adalah sebagai
berikut :
33
Tabel 4. Kriteria Indeks Daya Pembeda
DP Kualifikasi
0,00 – 0,19 Jelek
0,20 – 0,39 Cukup
0,40 – 0,69 Baik
0,70 – 1,00 Baik Sekali
Negatif Tidak baik, harus dibuang
4. Indeks Kesukaran
Analisis tingkat kesukaran dimaksudkan untuk mengetahui apakah soal
tersebut tergolong mudah atau sukar. Tingkat kesukaran adalah bilangan yang
menunjukan sukar atau mudahnya sesuatu soal. (Arikunto, 1999: 207). Untuk
menghitung tingkat kesukaran tiap butir soal digunakan persamaan :
P = BJX
Keterangan:
P = Indeks kesukaran
B = banyaknya siswa yang menjawab soal dengan benar
Jx = Jumlah seluruh siswa peserta tes
Indeks kesukaran dalam Arikunto (1999, 210) diklasifikasikan seperti tabel
berikut :
Tabel 5. Klasifikasi Tingkat Kesukaran
P – P Klasifikasi
34
0,00 – 0,29 Soal Sukar
0,30 – 0,69 Soal Sedang
0,70 – 1,00 Soal Mudah
L. Prosedur Penelitian
Adapun prosedur penelitian yang akan dilakukan ialah sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Mempersiapkan perangkat pembelajaran dan memilih objek penelitian
b. Melakukan uji coba tes untuk mengetahui validitas, reliabilitas, daya
pembeda dan indeks kesukaran
2. Tahap Pelaksanaan
Melakukan uji coba untuk mengetahui kemampuan siswa, Apabila
kemampuan siswa rata maka kelas eksperimen dan kelas kontrol akan dipilih
secara acak. Tetapi apabila kemampuan siswa tiap kelas berbeda maka siswa akan
dipindahkelaskan, itupun apabila pihak sekolah mengijinkan tetapi bila tidak
diperbolehkan penelitian dipindahkan ke smp lain.
3. Tahap Evaluasi
Dalam tahap evaluasi akan disimpulkan mana yang lebih baik dalam
meningkatkan kemampuan pemahaman matematis yang menggunakan
pendekatan problem solving dan yang menggunakan pendekatan biasa.
M. Prosedur Pengolahan Data
35
Data dari hasil penelitian akan diolah dengan menggunakan bantuan aplikasi
SPSS 16, dimana langkah awal dari pengolahan data ini adalah data yang didapat
dilakukan uji normalitas terlebih dahulu, kemudian apabila data terbukti
berdistribusi normal maka dilanjutkan ke uji homogenitas, kemudian melakukan
uji signifikasi perbedaan dua raat-rata.
1. Melakukan Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian
berdistribusi normal atau tidak.
Jika P-Value > 0,05 maka data berdistribusi normal
2. Melakukan Uji Homogenitas
Data bersifat homogen jika P-Value > 0,05 dan irisan tidak kosong
3. Uji Signifikasi Perbedaan Dua Rata-Rata
Jika P-Value > 0,05 maka data memiliki kesamaan rata-rata
N. Jadwal Penelitian
Penelitian untuk pembuatan skripsi dilakukan selama kurang lebih sembilan
bulan dimulai dari tahap penyusunan proposal, persiapan sampai dengan
penyusunan laporan hasil penelitian.
Tabel 6. Jadwal Penelitian
36
No Jenis Kegiatan Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
1 Penyusunan
Proposal
2Penyusunan
Instrumen
Penelitian
3Uji Coba
Instrumen
Penelitian
4 Penelitian di
Lapangan
5 Pengolahan Data
6 Penulisan Bab I-
III
7 Penulisan Bab IV-
V
37
DAFTAR PUSTAKA
Amilafizone. (2012). Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika.Tersedia:
[Online]. https://amilafi226.wordpress.com/2012/01/11/problem-solving-
dalam-pembelajaran-matematika/.(23 Agustus 2016)
Liyandari, et al. 2012. Penggunaan Model PBM dalam peningkatan pembelajaran
Matematika Tentang Pecahan Siswa Kelas IV SD. Tersedia:[online]:
Arikunto, S. (1999). Prosedur Penelitian: suatu pendekatan praktek. ed. Rev. IV.
Yogyakarta. Rineka Cipta.
Benny, A dkk. (2009). Pendekatan Problem Solving. Tersedia: [Online].
http://www.matematics.blogspot.com/2009/03/pendekatan-problem-
solving.html.(23 Agustus 2016)
Depdiknas. (2003). Standar Kompetensi Matematika SMP. Jakarta: Depdiknas RI.
Depdiknas. (2004). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.
Haq, S. A. (2014). Pengaruh Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and
Learning Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP
Negeri di Kota Cimahi. Skripsi STKIP Siliwangi. Bandung: Tidak
diterbitkan.
38
Kesumawati, N. (2010). Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan
Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa SMP Melalui Pendekatan
Pendidikan Matematika Realistik. Tersedia: [Online]. http://repository.
upi.edu/id/eprint/7975(28 Agustus 2016)
Khairuntika, Tina Yunarti. 2015. Implementasi Model Problem Based Learning
dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Seminar
nasional matematika dan pendidikan matematika uny 2015.
Kompas. (2012). Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. Tersedia:
[Online] http://edukasi.ko2/12/14/09005434/ prestasi.Sains.dan. Mate
matika.Indonesia.Menurun (29 Agustus 2016)
Kurnianingsih, Erni. 2014. Pengembangan lembar kegiatan siswa pada materi
Peluang dengan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) untuk
siswa smk. Skripsi universitas negeri Yogyakarta.tidak diterbitkan
Martyanti, Adhetia. 2013. Membangun self-cofidence siswa dalam pembelajaran
matematika dengan pendekatan problem solving. Prosiding Seminar
Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Noer, sri hastuti. 2009. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
smp melalui Pembelajaran berbasis masalah. Prosiding Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY, 5 Desember 2009. Hlm 473-480. Tersedia [online] (24
oktober 2016)
Noordyana, Mega Achdisty. 2016. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis
Matematis Siswa melalui Pendekatan Metacognitive Instruction. Jurnal
39
“Mosharafa”, Volume 8, Nomor 2, April 2016. Tersedia:[online](24
oktober 2016)
Normaya, Karim. 2015. Kemampuan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran
matematika Dengan menggunakan model jucama di sekolah menengah
pertama. EDU-MAT Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 3, Nomor 1,
April 2015, hlm 92 – 104
Ruseffendi. E.T. (2010) Dasar – Dasar Penelitian Pendidikan & Bidang Non-
Eksanta Lainnya. Bandung: Tarsito.
Sunaryo, Yoni. 2014. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Kemampuan Berfikir Kritis dan Kreatif Matematik Siswa SMA di Kota
Tasikmalaya. Jurnal Pendidikan dan Keguruan Vol. 1 No. 2, 2014, artikel
5
Wijaya, Adi. 2014. Contoh penerapan model pembelajaran berbasis masalah
matematika smp kelas VII. Artikel pusat pengembangan dan
pemberdayaan pendidik dan Tenaga kependidikan (pppptk) matematika
Yogyakarta, 9 November 2013 .
Yuliana,Y. (2015). Pendekatan Problem Solving. Tersedia: [Online]. http://
yhunhayuliana.blogspot.com/2015/01/pendekatan-problem-solving.htm.
(26 Agustus 2016)
40