proposal tiku

31
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sebagai negara kepulauan yang besar di dunia dengan wilayah laut sangat luas, Indonesia memiliki sumber daya alam hayati laut yang besar. Seperti halnya daratan, laut juga dihuni oleh biota, yakni tumbuh- tumbuhan, hewan dan mikrorganisme hidup. Biota laut menghuni hampir semua bahagian laut, mulai dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut terjauh. Keberadaan biota laut sangat menarik perhatian manusia (Romimoharto & Juwana, 2009). Biota laut menghasilkan produk alam yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Di antara biota laut, spon merupakan suatu komponen biota penyusun terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif, akan tetapi belum banyak dimanfaatkan (Piel, et all., 2004). Hewan laut ini mengandung senyawa aktif yang persentase keaktifanya lebih besar dibandingkan 1

Upload: koncek-badasi

Post on 14-Aug-2015

110 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal Tiku

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Sebagai negara kepulauan yang besar di dunia dengan wilayah laut sangat

luas, Indonesia memiliki sumber daya alam hayati laut yang besar. Seperti halnya

daratan, laut juga dihuni oleh biota, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan dan

mikrorganisme hidup. Biota laut menghuni hampir semua bahagian laut, mulai

dari pantai, permukaan laut sampai dasar laut terjauh. Keberadaan biota laut

sangat menarik perhatian manusia (Romimoharto & Juwana, 2009).

Biota laut menghasilkan produk alam yaitu metabolit primer dan metabolit

sekunder. Di antara biota laut, spon merupakan suatu komponen biota penyusun

terumbu karang yang mempunyai potensi bioaktif, akan tetapi belum banyak

dimanfaatkan (Piel, et all., 2004). Hewan laut ini mengandung senyawa aktif

yang persentase keaktifanya lebih besar dibandingkan dengan senyawa-senyawa

yang dihasilkan oleh tumbuhan darat (Muniarsih & Rachmanir, 1999).

Spon tergolong kedalam filum porifera yang merupakan hewan

mutiseluler paling sederhana dengan bentuk tubuh dan warna yang beraneka

ragam (Jasin,1984). Spon diketahui dapat menghasilkan sejumlah produk laut

yang bersifat alami dan mampu menunjukan keanekaragaman senyawa kimia

yang sangat besar, antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, fenolik, dan lain-lain

(Rivai, et all .,2005). Beberapa jenis spon yang memiliki biokatifitas yang

menarik seperti aktifitas antibakteri dari Petrosia nigran (Handayani, et al.,2008),

aktifitas anti inflamasi dari Axinella brentyla (Yalcin, 2007) dan aktifitas

1

Page 2: Proposal Tiku

sitotoksik dari Spongia sp dan Petrosia sp (Mayer & Gustafon, 1982). Usaha

ekspolrasi senyawa-senyawa antikanker terus dilakukan dengan target

penghambatan yang lebih baik dan efek samping yang lebih rendah (Astuti, et

al.,2005).

Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai uji

toksisitas terhadap spons Petrosia sp menunjukkan dua senyawa yang

menunjukkan tingkat toksisitas cukup tinggi terhadap larva Artemia salina dengan

LC50 sebesar 5,69 μg/mL. Identifikasi yang dilakukan terhadap senyawa tersebut

menunjukkan bahwa senyawa yang diisolasi merupakan golongan senyawa

alkaloid (Astuti, et al.,2005). Penelitian terdahulu menunjukkan ekstrak kloroform

spons Kaliapsis sp mengandung senyawa sitotoksik dengan aktivitas tertinggi

pada fraksi dengan harga LC50 sebesar 0,18 μg/mL. Nilai LC50 ekstrak metanol

euchema mencapai 23,3346 ppm, sedangkan LC50 dari ekstrak kloroformnya

adalah 89,7429 ppm (Brummer, et al., 2007).

Metoda Brine Shrimp lethality Test (BSLT) merupakan suatu pengujian

toksisitas dengan menggunakan Artemia salina terhadap ketoksikan ekstrak yang

merupakan syarat sebagai uji pendahuluan untuk obat kanker. Artemia salina

termasuk organisme omnivore dan bersifat non selective feeder sehingga semua

bahan yang masuk ke dalam tubuhnya dianggap sebagai makanan, begitu juga

dengan senyawa toksik sehingga Artemia salina dapat digunakan dalam penelitian

uji toksisitas (Mayer & Gustafon, 1982).

Berdasarkan potensi sitotoksik dari spon laut tersebut maka perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut dari spon laut jenis lain untuk mengetahui

2

Page 3: Proposal Tiku

aktifitas sitotoksik fraksi aktif dengan menggunakan metoda Brine Shrimp

Lethality Test (BSLT).

1.2 Rumusan Masalah

1) Ekstrak spon laut manakah yang memiliki aktifitas sitotoksik ?

2) Fraksi dari ekstrak spon laut manakah yang memiliki aktifitas sitotoksik ?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitiaan ini bertujuan untuk menguji aktifitas sitotoksik dari ekstrak

dan fraksi spon laut yang di ambil dari perairan pantai Tiku dan pantai Pasir

dengan metoda Brine Shrimp Lethality Test.

1.4 Hipotesis Penelitian

Ekstrak dan fraksi spon laut memiliki aktivitas aktifitas sitotoksik.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat :

1. Untuk mengeksplorasi potensi sumber daya alam kelautan sebagai sumber

penghasil obat-obatan.

2. Inventarisir spon laut dengan kandungan senyawa sitotoksik.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan kimia bahan alam kelautan dan memberikan

informasi tentang senyawa aktivitas sitotoksik yang dapat dikembangkan lebih

lanjut sehingga bermanfaat dibidang farmasi dan kesehatan.

3

Page 4: Proposal Tiku

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spon (Porifera) (Jasin, 1984)

Spon merupakan hewan multiseluler dan termasuk dalam golongan

invertebrata. Spon merupakan filum porifera dimana berasal dari kata latin,

phorus = lubang kecil dan ferre = mengandung, membawa. Jadi kata tersebut

menunjukkan kekhususan hewan yang bersangkutan, yaitu memiliki banyak

lubang kecil.

Spon merupakan hewan multiseluler, bersifat simetris radial atau

asimetris, tubuhnya memiliki banyak pori, belum memiliki sistem saluran

pencernaan makanan, dimana pencernaan makanan berlangsung di dalam sel atau

intraseluler, spon tidak memiliki organ khusus untuk respirasi dan ekskresi, spon

berkembang biak secara aseksual maupun seksual. Perkembangbiakan secara

aseksual dilakukan dengan membentuk tunas. Sedangkan pada perkembangbiakan

secara seksual melalui pembuahan sel telur oleh spermatozoid, makanan hewan

spon berupa partikel organik dan organisme kecil.

Habitat dari spon umumnya terdapat di laut, tapi ada beberapa genus yang

hidup di air tawar. Spon hidup mulai dari perairan laut dangkal sampai beberapa

meter di bawah permukaan laut. Penyebaran hampir di seluruh laut di dunia

(Marwa & Hamann, 2003). Hewan porifera (spon) mempunyai rongga di dalam

tubuhnya yang disebut spongosoel. Di ujung spongosoel terdapat lubang terbuka

tempat keluarnya air yang disebut oskulum. Spongosoel dikelilingi oleh dinding

yang tersusun atas 2 lapisan yaitu :4

Page 5: Proposal Tiku

Lapisan luar yang disebut lapisan epidermis atau ephitelium dermal. Sering

juga disebut pinakosit yang kadang-kadang mempunyai satu flagellum. Pada

epidermis tertentu terdapat porus atau lubang kecil yang disebut ostium.

Lapisan dalam yang terdiri dari jajaran sel-sel berleher yang disebut koanosit

yang berbentuk botol dan berflagellum.

Diantara kedua lapisan itu terdapat zat antara yang berbahan gelatin yang

disebut mesoglea. Mesoglea merupakan lapisan nonseluler. Pada mesoglea

terdapat:

1. Amoebosit yang berfungsi mengambil dan mengedarkan zat-zat makanan

yang telah dicerna oleh sel-sel koanosit ke sel-sel lainnya dan menghasilkan

gelatin.

2. Porosit (sel pori) atau miosit yang terletak disekitar pori yang berfungsi

membuka dan menutup pori.

3. Skleroblast yang berfungsi membentuk spikula (kerangka tubuh).

4. Arkeosit merupakan sel amoebasit embrional yang tumpul dan berfungsi

melaksanakan reproduksi sel, membentuk sel-sel tunas gamet, mengganti sel

rusak.

5. Spikula merupakan unsur pembentuk tubuh. Biasanya spikula tersusun dari

zat kapur dan serat-serat organik.

Ditinjau dari bahan pembentuk rangkanya, maka spon ini dapat dibedakan

atas tiga golongan:

1. Porifera lunak, porifera jenis ini kerangka tubuhnya tersusun dari bahan

spongin (organis).

5

Page 6: Proposal Tiku

2. Porifera kapur, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan Kristal

zat kapur atau CaCO3.

3. Porifera silikat, porifera jenis ini kerangka tubuhnya terbuat dari bahan

Kristal.

2.2 Sitotoksik

2.2.1 Pengertian Sitotoksik

Sitotoksik adalah suatu senyawa atau calon obat yang bekerja dapat

membunuh dan menghambat pertumbuhan sel yang sedang berkembang (Mayer

& Gustafon, 2004). Sel kanker adalah golongan penyakit yang di tandai dengan

pembelahan sel yang tidak terkendali dan kemampuan sel-sel tersebut menyerang

jaringan biologis lainya (Astana, 2009).

2.2.2 Uji Efek Sitotoksik

Pengujian efek sitotoksik dapat dilakukan dengan beberapa metode

diantaranya: metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), metode Crown-Gall

Potato Disc (CGPD) dan metode Microculture Tetrazolium (MTT) assay. Brine

Shrimp Lethality Test merupakan suatu metode untuk menguji bahan-bahan yang

bersifat sitotoksik. Metode ini menggunakan larva Artemia salina L. sebagai

hewan percobaan. Metode Brine Shrimp Lethality Test dapat dipercaya untuk

menguji aktifitas sitotoksik dari suatu bahan. Crown-Gall Potato Disc merupakan

suatu metode pengujian toksisitas yang relatif cepat pengerjaanya, tidak mahal,

6

Page 7: Proposal Tiku

tidak memerlukan hewan percobaan serta menunjukan korelasi yang sangat baik

dengan uji aktifitas sitotoksik lainya. Crown-Gall merupakan suatu penyakit

noeplastik pada tumbuhan yang disebabkan bakteri gram negatif Agrobacterium

tumefacies yang selanjutnya menyebabkan pertumbuhan jaringan tumor secara

otonom dan tidak dipengaruhi oleh mekanisme kontrol normal tumbuhan.

Pengujian dilakukan dengan mengukur kemampuan suatu senyawa menghambat

pertumbuhan tumor Crown-Gall pada umbi kentang yang diinfeksikan dengan

bakteri Agrobacterium tumefacies.

Sedangkan metode Microculture Tetrazolium (MTT) assay merupakan

metode pengujian aktifitas sitotoksik dengan menggukan sel limfoma tikus.

Metode ini merupakan metode lanjutan setelah suatu senyawa diketahui

mempunyai aktifitas sitotoksik. Pada penelitian ini digunakan metode Brine

Shrimp Lethalyti Test (BSLT). Metode ini dapat digunakan untuk skrining awal

senyawa-senyawa yang di duga berkhasiat sebagai antikanker (Mayer &

Gustafon, 1982).

2.2.3 Skrining Bioaktifitas

Berbagai disiplin ilmu seperti: kimia, biokimia, mikrobiologi,

farmakologi, enzimalogi dan lainya sangat dibutuhkan dalam melakukan skrining

bioaktifitas (Mc Laughlin, 1991). Akhir-akhir ini penelitian terhadap senyawa-

senyawa metabolit sekunder yang berasal dari organisme laut semakin menjadi

pusat perhatian para ahli. Hal ini disebabkan karena organisme laut mampu

memproduksi senyawa kimia yang berguna sebagai bahan obat-obat baru (Carte,

7

Page 8: Proposal Tiku

et al.,1996). Usaha pencarian obat baru dari organisme laut pada umumnya

ditunjukan untuk mengatasi penyakit-penyakit yang hingga kini belum ditemukan

obatnya, seperti kanker dan AIDS (Rangel, et al.,2001).

Organisme laut sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber senyawa

kimia baru, khususnya yang bersifat aktif biologis. Senyawa-senyawa ini

digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, salah satunya adalah penyakit

kanker (Mayer, et all.,2009). Suatu metode yang berguna untuk mendeteksi

aktifitas biologis adalah bioassay primer. Ekstrak spon laut diujikan aktifitasnya

dengan berbagai konsentrasi secara in vitro, ekstrak yang memperlihatkan

aktifitas yang kuat dilanjutkan pengujian terhadap komponenya. Apabila masih

menunjukan aktifitas yang nyata maka di lanjutkan pengujian secara in vivo pada

hewan percobaan yang ditransplantasikan dengan sel tumor manusia (Djamal, et

al.,2003).

Beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk skirining bioassay yaitu :

cepat, tepat, dapat dipercaya, murah, sensitif, membutuhkan sedikit sampel dan

bisa mengidentifikasikan aktifitas secara luas serta dapat dilakukan sendiri oleh

peneliti yang memiliki pengalaman yang terbatas dalam melakukan bioassay

secara mendalam (Mc Laughlin, 1991).

Banyak faktor yang mempengaruhi dalam usaha mendapatkan senyawa

aktif biologis melalui pendekatan aktifitasnya, diantaranya adalah kecilnya

kelarutan dari suatu ekstrak atau fraksi dalam pelarut yang digunakan. Untuk

mengatasi hal ini, ekstrak tersebut biasanya disuspensikan dalam

polivinilpirolidon atau menggunakan pelarut yang cocok seperti dimetilsulfoksida

8

Page 9: Proposal Tiku

(DMSO). Faktor lain yang mempengaruhi adalah kombinasi efek sinergis,

perubahan kimia selama ektraksi, manipulasi ekstrak dan hilangnya aktifitas suatu

senyawa yang di sebabkan oleh adanya senyawa lain yang mempunyai efek yang

berlawanan (Harbone, 1987).

2.2.4 Metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metoda untuk

menguji bahan-bahan yang bersifat aktif. Metoda ini pertama kali dilakukan oleh

Meyer.,dkk (1982). Pengujian dengan cara ini mempunyai beberapa keuntungan

yaitu cepat, murah, mudah pengerjaanya, tidak memerlukan kondisi yang aseptis

dan dapat dipercaya. Uji ini digunakan untuk skrining awal senyawa-senyawa

yang diduga berkhasiat sebagai antikanker (Mayer & Gustafon, 1982).

Metoda ini menggunakan larva Artemia salina Linn sebagai hewan

percobaan, telur Artemia salina Linn dimasukan dalam air laut yang telah

disiapkan, dan setelah 24 jam larva dapat digunakan untuk pengujian aktifitas

sitotoksik. Larva Artemia salina Linn dikenal juga dengan nama Brine Shrimp

yang merupakan Zooplanton, Filum Arthopoda, Kelas Crustacea dan Famili

Artemidae. Kista Artemia salina Linn merupakan telur yang terbungkus

cangkang. Telur Artemia salina Linn yang kering berbentuk bulat cekung,

berwarna coklat, berdiameter 200-300 µm dan di dalamya terdapat embrio yang

tidak aktif (Hafera, 1997; Mujiman, 1987).

9

Page 10: Proposal Tiku

Untuk proses penetasan sebaiknya pH larutan berada pada kisaran 7,5-8,5.

pH diatas 8,5 dan pH dibawah 6,5 dapat mengakibatkan penurunan hasil

penetasan. Sedangkan pH dibawah 5 dan lebih dari 10 dapat membunuh biakan

larva Artemia salina. Temperatur untuk proses penetasan larva berkisar antara 25-

30ºC, dengan suhu optimal 25ºC. Pengaruh cahaya terhadap Artemia salina yang

diketahui adalah berkaitan dengan tingkatan keberhasilan penetasan. Sistem airasi

udara juga merupakan faktor penting dalam proses penetasan telur Artemia salina.

Disini sistem airasi mempunyai dua fungsi yaitu untuk pemeliharaan tingkat

oksigen dan untuk menjaga agar telur-telur tidak mengendap (Mayer & Gustafon,

1982).

Jumlah larva yang digunakan untuk pengamatan adalah 10 ekor untuk

masing-masing vial. Senyawa murni yang akan diuji dibuat larutan dengan

konsentrasi 1000, 100, dan 10 ppm. Kematian larva udang diamati setelah 24 jam.

Penggunaan Artemia salina Linn sebagai hewan uji mempunyai beberapa

keuntungan antara lain telurnya mudah didapat, murah, dapat disimpan beberapa

tahun ditempat kering, memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap senyawa aktif

dibandingkan dengan organisme lainya. Pertumbuhan yang cepat menjadi larva,

dan mempunyai range toleransi salinitas yang luas antara 10-220 g/l (Hafera,

1997). Data dapat dihitung menggunakan analisis probit atau dihitung secara

matematika sesuai yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV (Departemen

Kesehatan, 1995). Atau dapat juga diproses dengan menggunakan program

computer Finney (Mc Laughlin, 1991 ; Mayer & Gustafon, 2004). Suatu ekstrak

10

Page 11: Proposal Tiku

dinyatakan aktif jika memiliki lC50 < 1000 ppm dan untuk senyawa murni nilai

lC50 < 200 ppm (Mayer & Gustafon, 1982).

2.3 Metoda Penentuan LC50

Secara umum metoda penetuan LC50 ada 3 macam yaitu metoda

Farmakope Indonesia, metoda kurva dan metoda Finney. Ketiga metoda ini

berdasarkan pengukuran persentase individu yang kisaran konsentrasi tertentu

(Mc Laughin, 1991; Depertemen Kesehatan, 1995).

2.3.1 Metode Farmakope Indonesia

LC50 dihitung secara matematika sesuai yang tertera pada pada Farmakope

Indonesia edisi IV dengan rumus yaitu:

m = a-b ( ∑pi-0,5 )

Dimana:

m = log LC50

a = log konsentrasi terendah yang masih menyebabkan kematian 100% pada

hewan percobaan.

b = beda log konsentrasi yang berurutan.

Pi =Jumlah hewan yang mati setelah menerima zat dengan konsentrasi

tertentu dibagi dengan jumlah hewan seluruhnya yang menerima

konsentrasi tersebut.

11

Page 12: Proposal Tiku

Persyaratan untuk menggunakan metoda Farmakope Indonesia:

1. Menggunkan seri dosis atau konsentrasi dengan pengenceran kelipatan

tetap.

2. Jumlah hewan dalam kelompok harus sama.

3. Dosis atau konsentrasi diatur sedemikian rupa sehingga memberikan efek

dari 0% sampai 100% dan perhitungan dibatasi pada kelompok percobaan

yang memberikan efek 0% sampai 100%.

2.2.3 Metode Kurva

Metode ini dikembangkan oleh Miller dan Trainer menggunakan kertas

log probit yang didesain bagi perhitungan dosis/ respon. Garis vertikal

menyatakan nilai probit dan persentase respon, dimana nilai probit pada sisi kiri

sama dengan 3 sampai 7, sedangkan garis horizontal menyatakan

dosis/konsentrasi yang di gunakan. Plot garis lurus. Dari kurva baku dapat di

turunkan harga LC50 ( Mc Laughlin, 1991).

Table I. Nilai Probit Sesuai Persentase Kematian.

% 0 1 2 3 4 5 6 7 8 90 …. 2,674 2,946 3,119 3,249 3,355 3,445 4,524 3,595 3,65910 3,718 3,773 3,825 3,874 3,920 3,964 4,006 4,046 4,085 4,12220 4,158 4,194 4,228 4,261 4,294 4,326 4,357 4,387 4,417 4,44730 4,476 4,504 4,532 4,560 4,597 4,615 4,642 4,668 4,695 4,72140 4,747 4,773 4,798 4,824 4,849 4,900 4,925 4,950 4,950 4,97550 5,000 5,025 5,050 5,075 5,100 5,126 5,151 5,202 5,202 5,22760 5,253 5,279 5,305 5,332 5,358 5,358 5,413 5,468 5,468 5,49670 5,524 5,553 5,583 5,613 5,643 5,674 5,706 5,772 5,772 5,80680 5,842 5,878 5,915 5,954 5,994 6,036 6,080 6,175 6,175 6,22790 6,282 6,341 6,405 6,476 955 6,645 6,751 6,881 7,054 7,326- 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

99 7,326 7,37 7,41 7,46 7,51 7,58 7,65 7,75 7,88 8,0912

Page 13: Proposal Tiku

2.2.4 Metode Finney

Metode ini telah didesain sedemikian rupa dengan memasukan data dari

dosis yang di gunakan (minimal 3 dosis) kita akan memperoleh nilai LC50 ( Mc

Laughlin, 1991).

13

Page 14: Proposal Tiku

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Sekolah

Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM) Padang selama lebih kurang 4 bulan terhitung

bulan Mei – Agustus 2012.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat yang Digunakan

Botol gelap, kertas saring, corong, erlenmeyer, seperangkat alat Rotary

Evaporator (IKA®), gelas ukur, plat tetes, tabung reaksi, spatel, pipet tetes, corong

pisah, timbangan analitik, vial, wadah pembiakan larva, airasi (pembentuk

gelembung udara), dan pipet mikro ( Hamilton® ).

3.2.2 Bahan yang Digunakan

Empat belas jenis spon laut, metanol, aquadest, kloroform, besi (III)

klorida, norit, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, asam sulfat 2 N, asam

klorida pekat, amoniak, pereaksi Mayer, pereaksi Dragendorff, n-heksan, etil

asetat, butanol, air laut, dan dimetilsulfoksida (DMSO).

3.2.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah larva Artemia salina L. Telur

Artemia salina L. Sebelumya dibiarkan terlebih dahulu di dalam wadah biak yang

berisi air laut yang dilengkapi airasi dan cahaya. Untuk penetasan sebaiknya pH 14

Page 15: Proposal Tiku

larutan berada pada kisaran 7,5-8,5. Sedangkan temperatur untuk penetasan larva

berkisar antara 25-300C. Kemudian dibiarkan selama 48 jam sehingga terbentuk

larva Artemia salina L.

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Pengambilan dan Identifikasi Sampel Spon Laut

14 jenis spon laut yang dikoleksi dari perairan pulau Pasir kelurahan Nan

Tigo, kecamatan Koto Tangah dan Pulau Tangah Pantai Tiku, Sumatera Barat

dengan kedalaman 4-8 m. Spon dimasukkan ke dalam plastik dan diberi metanol

hingga semua bahagian terendam. Setelah dibawa ke laboratorium, spon

dipotong-potong, lalu dimasukkan ke dalam botol gelap dan dimaserasi dengan

metanol di dalam wadah tertutup rapat dan terlindung dari cahaya matahari.

Untuk identifikasi mengenai klasifikasi dari spon tersebut, sebagian

sampel dikirim ke Belanda dan diidentifikasi oleh Dr. Nicole J. de Voogd di

Museum Zoologi Amsterdam, Belanda.

3.3.2 Ekstraksi

Sampel segar (spon) dirajang kemudian dimaserasi dengan metanol sampai

terendam masing-masingnya selama 3x5 hari dan disaring dengan kertas saring.

Maserat kemudian diuapkan in vacuo dengan Rotary evaporator sampai terbentuk

ekstrak kental. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat ekstrak kental.

15

Page 16: Proposal Tiku

III.3.3 Pembuatan Pereaksi (Tarmizi & Naim, 1993)

1. Pereaksi Mayer

Ditimbang sebanyak 1,35 g HgCl2 dan KI sebanyak 5 g dilarutkan dengan

aquadest dalam labu ukur 1000 mL, cukupkan dengan aquadest sampai tanda

batas, homogenkan.

2. Pereaksi Dragendorff

Larutan A: ditimbang sebanyak 4 g Bi(NO3). 5H2O kemudian dilarutkan

dengan asam nitrat sampai 10 mL. Larutan B: ditimbang 13,6 g KI kemudian

dilarutkan dengan aquadest sampai 25 mL. Larutan A dan B dicampurkan dan

didiamkan sampai memisah. Ambillah cairan jernih (orange), dilarutkan dalam

aquadest sampai 50 mL.

3. Pereaksi FeCl3

Ditimbang sebanyak 1 g FeCl3.6H2O, dilarutkan dengan aquadest dalam

labu ukur 100 mL, cukupkan dengan aquadest sampai tanda batas, homogenkan.

4. Ammoniak 0,05 N

Ammoniak 0,05 N dibuat dengan cara pengenceran yaitu dengan cara

memipet sebanyak 0,4 mL ammoniak pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur,

ditambahkan aquadest dan dihomogenkan. Kemudian volume dicukupkan hingga

100 mL.

16

Page 17: Proposal Tiku

5. H2SO4 2N

H2SO4 2N dibuat dengan cara pengenceran yaitu dengan cara memipet

sebanyak 1,5 mL H2SO4 pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur yang sebelumnya

telah diisi dengan sedikit aquadest. Ditambahkan sedikit aquadest dan

dihomogenkan. Kemudian volume dicukupkan hingga 25 mL.

3.3.4 Pemeriksaan Pendahuluan Kandungan Kimia ( Harbone, 1987)

Pemeriksaan terhadap kandungan metabolit sekunder dilakukan terhadap

ekstrak kental dan fraksi, dimana ditambahkan air suling dan kloroforom sama

banyak (1:1), lalu dikocok kuat dan dibiarkan sampai terbentuk dua lapisan.

Lapisan air digunakan untuk uji senyawa fenolik dan sponin. Lapisan kloroforom

digunakan untuk uji senyawa terpenoid, steroid dan alkaloid.

a. Identifikasi Fenolik

Beberapa tetes lapisan air pada plat tetes ditambah 1-2 tetes larutan besi

(III) klorida 1%. Bila terbentuk warna hijau sampai biru, berarti terdapat senyawa

fenolik.

b. Identifikasi Saponin

Identifikasi saponin dilakukan dengan mengocok lapisan air dalam tabung

reaksi, bila terbentuk busa yang tahan selama ± 10 menit berarti positif adanya

saponin.

17

Page 18: Proposal Tiku

c. Identifikasi Terpenoid dan Steroid

Lapisan kloroforom disaring melalui pipet yang berisi norit. Hasil saringan

dipipet 2-3 tetes dan dibiarkan mengering pada plat tetes. Setelah kering

ditambahkan pereaksi Lieberman-Burchad (2 tetes asam asetat anhidrat dan 1

tetes asam sulfat pekat). Terbentuknya warna merah / merah jambu / violet berarti

positif terpenoid, sedangkan jika berwarna hijau atau biru berarti positif adanya

steroid.

d. Identifikasi Alkaloid

Beberapa tetes lapisan kloroform lalu ditambahkan amoniak 0,05 N,

dikocok, diamkan hingga terjadi pemisahan lapisan, diambil lapisan kloroform

ditambahkan beberapa tetes asam sulfat 2N, dikocok kuat, kemudian didiamkan

hingga terjadi pemisahan. Lapisan asam diambil dan ditambahkan 1-2 tetes

pereaksi Mayer atau pereaksi Dragendorff, jika terbentuk endapan putih dengan

pereaksi Mayer atau warna jingga dengan pereaksi Dragendorff menunjukkan

hasil yang positif untuk alkaloid.

3.3.5 Pengujian Aktifitas Sitotoksik Ekstrak Kental dengan Metoda Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)

Pengujian pendahuluan terhadap aktifitas ekstrak kental metanol sampel di

lakukan sebagai berikut: ekstrak kental ditimbang sebanyak 30 mg, kemudian

dilarutkan dalam 3 mL metanol dan ini merupakan larutan induk sampel.

Pengujian dilakukan dengan cara 3 variasi konsentrasi yaitu 1000, 100, dan 10

18

Page 19: Proposal Tiku

ppm, dan setiap konsentrasi dibuat rangkap 3. Larutan uji disiapkan dengan

memipet masing-masing 500, 50 dan 5 µL dari larutan induk, setelah itu larutan

uji dimasukan ke dalam desikator sampai semua pelarutnya menguap. Sebagai

kontrol disiapkan 3 vial yang hanya diisi 50 µL larutan DMSO, ekstrak yang

sudah kering dari masing-masing vial dilarutkan dengan 50 µL DMSO, kemudian

ditambahkan air laut 2 mL. Sebanyak 10 ekor larva udang dimasukan ke dalam

vial tersebut, kemudian volume dicukupkan 5 mL dengan air laut. JumLah larva

yang hidup dihitung setelah 24 jam, maka dapat diketahui jumLah larva yang

mati, nilai LC50 dihitung dengan menggunakan metoda kurva, selanjutanya ekstrak

yang menunjukan aktifitas sitotoksik difraksinasi.

3.3.6 Fraksinasi

Ekstrak kental metanol difraksinasi dalam corong pisah, dengan

menambahkan air dan n-heksan (1:2), kemudian dikocok dan dibiarkan sehingga

terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan n-heksan dan lapisan air, lapisan n-heksan

dipisahkan dari air. Kemudian fraksi n-heksan diuapkan dengan Rotary

evaporator dan didapatkan fraksi kental n-heksan. Kemudian ditimbang dan

didapatkan berat fraksi n-heksan.

Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan etil asetat, kemudian dikocok

dan dibiarkan sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan etil asetat dan lapisan

air. Fraksi etil asetat diuapkan dengan Rotary Evaporator dan didapatkan fraksi

kental etil asetat. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat fraksi etil asetat.

19

Page 20: Proposal Tiku

Fraksi air selanjutnya difraksinasi dengan butanol, kemudian dikocok dan

dibiarkan sehingga terbentuk 2 lapisan, yaitu lapisan butanol dan lapisan air.

Fraksi butanol diuapkan dengan Rotary Evaporator dan didapatkan fraksi kental

butanol. Kemudian ditimbang dan didapatkan berat fraksi butanol.

3.3.7 Uji Aktifitas Sitotoksik Fraksi

Fraksi kental ditimbang sebanyak 30 mg, kemudian dilarutkan dalam 3

mL metanol dan ini merupakan larutan induk sampel (10.000 ppm). Pengujian

dilakukan dengan cara 3 variasi konsetrasi yaitu 1000, 100, dan 10 ppm, dan

setiap konsentrasi dibuat rangkap 3. Larutan uji dibuat dengan memipet masing-

masing 500, 50, dan 5 µL dari larutan induk sampel, setelah itu larutan uji

dimasukan dalam desikator sampai semua pelarutnya menguap. Sebagai kontrol

disiapkan 3 vial yang hanya diisi 50 µL larutan DMSO. Fraksi yang sudah kering

dari masing-masing vial dilarutkan dengan 50 µL DMSO, kemudian ditambahkan

air laut 2 mL. Sebanyak 10 larva udang dimasukan kedalam vial tersebut dan

kemudian volumenya dicukupkan 5 mL dengan air laut. Jumlah larva yang hidup

di hitung setelah 24 jam, maka dapat diketahui jumLah larva yang mati, nilai LC50

dihitung dengan menggunkan metoda kurva.

20