proposalseminar kesling pipiit
DESCRIPTION
proposal kesling pipitTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh
virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp. Penyakit ini
ditemukan di daerah tropis dan subtropis, dan menjangkit luas di banyak
negara di Asia Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-
masing dapat menyebabkan demam berdarah, baik ringan maupun fatal.
Setiap tahun selalu dilaporkan adanya kejadian luar biasa di sejumlah
kota besar di Indonesia walaupun tindakan khusus terhadap penderita
sampai sekarang tidak ada namun dengan penatalaksanaan yang tepat
oleh para tenaga medis dan paramedis yang berpengalaman sering jiwa
penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat terselamatkan (WHO,
2002).
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) telah dikenal di
Indonesia sebagai penyakit yang dapat menyebabkan kematian serta
menimbulkan kegelisahan pada masyarakat. Pada umumnya penyakit ini
berjangkit pada anak-anak terutama di kota-kota yang berpenduduk
padat. Penyakit ini sangat umum ditemui di Indonesia. Lingkungan alam
tropis, sanitasi buruk, yang potensial sebagai sarang nyamuk, dan
rendahnya kesadaran masyarakat menajdi alasan utama. Indonesia
bahkan menempati posisi tertinggi dalam kasus penyakit Dengue di Asia
Tenggara dengan 10.000 kasus pada tahun 2011.
Pada tahun 2012 angka kejadian DBD di Indonesia masih cukup
tinggi, dari 497 kota yang terdapat di seluruh Indonesia masih terdapat
kasus DBD pada 374 kota yang tersebar diberbagai macam propinsi
dengan jumlah kasus total 65.432 dan jumlah kasus meninggal 595 jiwa.
Angka kejadian DBD di propinsi Lampung pun dapat dikatakan cukup
tinggi dengan kasus sebanyak 1494 dan angka kematian sebanyak 24
jiwa (Ditjen PP&PL,2012).
Program penanggulangan DBD lebih banyak bertumpu pada
pengendalian vektor, yaitu nyamuk dewasa Aedes sp. Pengendalian
vektor merupakan salah satu upaya pemberantasan DBD yang dilakukan
guna memutus rantai penularan. Pemberantasan demam berdarah yang
utama adalah pemberantasan sarang nyamuk, pengendalian vektor
dengan 3M Plus bukan dengan fogging (Depkes, 2011).
Salah satu bentuk penaggulangan DBD dengan pengendalian
vektor adalah dengan menggunakan insektisida sintetik sebagai
larvasida. Terdapat dua kategori besar insektisida yang sering digunakan
sebagai insektisida rumah tangga, yaitu insektisida yang berfungsi untuk
membunuh serangga dan insektisida yang berfungsi untuk mengusir
serangga (repellent) (Ware, 2004).
Upaya pengendalian populasi nyamuk saat ini lebih banyak
menggunakan insektisida sintetik. Efek dari penggunaan insektisida
sintetik adalah toksik terhadap serangga bukan sasaran, hewan lain, dan
manusia. Usaha untuk mengendalikan serangga ini menjadi sulit karena
adanya resistensi terhadap insektisida sintetik.
Penggunaan bahan alami dari tanaman (insektisida nabati)
merupakan cara alternatif dalam upaya pengendalian nyamuk. Insektisida
nabati mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari
lingkungan. Kelebihan insektisida nabati dibandingkan dengan insektida
sintetik adalah komponen senyawanya lebih kompleks. Ekstrak suatu
tanaman terdapat zat aktif utama dan zat lain yang dapat meningkatkan
efektivitas ekstrak secara keseluruhan (sinergi). Hal ini memungkinkan
serangga tidk mudah menjadi resisten. Kemampuan serangga
membentuk sistem pertahanan terhadap beberapa senyawa yang
berbeda secara bersamaan lebih kecil daripada senyawa insektisida
tunggal.
Tanaman yang berpotensi sebagai larvasida adalah jengkol
(Pithecellobium lobatum).Tanaman ini juga terbukti mempunyai efek
mematikan pada wereng coklat. Kulit jengkol bersifat toksik karena
mengandung senyawa kimia alkaloid, terpenoid, saponin dan asam
fenolat.Di dalam asam fenolat terdiri atas flavonoid dan tanin yang
terdapat pada tumbuhan berkayu dan herba. Tanin dapat berperan
sebagai pertahanan tumbuhan dengan cara menghalangi serangga
dalam mencerna makanan. Serangga yang memakan tumbuhan dengan
kandungan tanin tinggi akan menyebabkan sedikit makannya sehingga
mengakibatkan terjadinya penurunan populasi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan masalahnya adalah Apakah Ekstrak Kulit Jengkol
(Pithecellobium lobatum) Efektif Sebagai Larvasida Nyamuk Aedes sp
Instar III?
C. Hipotesis
Ho : Ekstrak Kulit Jengkol (Pithecellobium lobatum) Tidak Efektif
Sebagai Larvasida Nyamuk Aedes sp Instar III.
Ha : Ekstrak Kulit Jengkol (Pithecellobium lobatum) Efektif Sebagai
Larvasida Nyamuk Aedes sp Instar III.
C. Definisi Operasional dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional
Hasil Ukur Skala
Kadar Ekstrak Kulit Jengkol
Jumlah konsentrasi ekstraksi kulit jengkol yang digunakan
Numerik Rasio
Mortalitas Aedes sp Instar III
Banyaknya larva Aedes sp yang mati selama 24 jam setelah diberi perlakuan
Numerik Rasio
Lethal Concentration 50 (LC50)
Konsentrasi larvasida yang menyebabkan kematian 50% hewan uji
Numerik Rasio
Lethal Time 50 (LT50)
Lama waktu saat 50% hewan uji mati dan 50% lainnya masih hidup.
Numerik Rasio
Kecepatan Kematian
Jumlah larva mati persatuan waktu (kelipatan 3 jam). Satuan: ekor/jam.
Numerik Rasio
2. Ruang Lingkup Penelitian
a. Lingkup Waktu
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2014
b. Lingkup Lokasi
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan
UIN Alauddin Makassar.
D. Kajian Pustaka
No Nama Peneliti
Judul Penelitian
Karakteristik VariabelVariabel Jenis
PenelitianSampel Hasil
1 Danang Setia Budi, et al (2013)
Saat Parasit Membasmi Parasit : Uji Efektivitas Ekstrak Benalu Sebagai Terapi Malaria Baru
ekstrak Dendropthhoe pentandra
Eksperimental Quasi dengan rancangan percobaan postest only with non equivalent control group
Biakan P. falciparum strain FCR-3 dan sel Vero
Dendrophthoe pentandra memiliki aktivitas antiplasmodium yang baik terhadap P. falciparum FCR-3 dengan nilai IC50 sebesar45,4μg/mL untuk ekstrak air dan 169,7μg/mL untuk ekstrak etanol
2 Eka Cania, et al (2011)
Uji Efektifitas Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia) Terhadap Larva Aedes aegypti
Ekstrak Daun Legundi (Vitex trifolia) dan Larva Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
25 ekor larva instar III Aedes aegypti
Ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) memiliki efektivitas larvasida terhadap larvaAedes aegypti instar III . Konsentrasi ekstrak daun legundi (Vitex trifolia) yang paling efektif dalam membunuhlarva Aedes aegypti instar III adalah
konsentrasi 1%.3 Ismatullah
A, et al (2013)
Uji Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Binahong(Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) terhadap Larva Aedes Aegypti Instar III
Ekstrak Daun Binahong(Anredera Cordifolia (Ten.) Steenis) dan Larva Aedes Aegypti Instar III
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
larva instar III Aedes aegypti
Ekstrak daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) memilikiefektivitas yang lebih rendah dalam membunuh larva Aedes aegypti instar IIIdibandingkan abate 1%.
4 Raden Adityo HPP, et al (2011)
Uji Efek Fraksi Metanol Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingeraelatior) Sebagai Larvasida Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti
Fraksi Metanol Ekstrak Batang Kecombrang (Etlingeraelatior) dan Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
20 ekor larva instar III Aedes aegypti
fraksimetanol ekstrak batang kecombrang (Etlingera elatior) memiliki efek sebagailarvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III. Semakin tinggi konsentrasisemakin tinggi pula rerata kematian larva nyamuk Aedes aegypti.
5 Erwin Nofyan, et al (2013)
Ekspolrasi Biolarvasida Dari Tumbuhan Untuk Pengendalian Larva Nyamuk Aedes Aegypti di Sumatera Selatan
Biolarvasida Tumbuhan di Sumatera Selatan dan Larva Nyamuk Aedes Aegypti
Survei dan Ekperimen
250 gram simpiisida tumbuhan dan 30 ekor larva instar III Aedes aegypti
3 jenis tumbuhan yangberpotensi untuk dikembangkan sebagaisumber biolarvasida yaitu tumbuhanBabadotan, Bunga kenanga dan rimpanglengkuas putih.
6 Rofima Manurung, et al (2013)
Pengaruh Daya Tolak Perasan Serai Wangi (Cymbopogo
Serai Wangi (Cymbopogon nardus) dan Gigitan Nyamuk Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
240 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa
konsentrasi yangefektif yang digunakan sebagai repellentadalah minimal konsentrasi 3%.
n nardus) Terhadap Gigitan Nyamuk Aedes aegypti
Semakintinggi konsentrasi perasan serai wangi(Cymbopogon nardus) maka semakin baikdigunakan sebagai repellent. Kepada masyarakat dianjurkan untukmenggunakan perasan serai wangi sebagairepellent dengan konsentrasi minimal 3%.
7 Sonja V.T. Lumowa (2012)
Pengaruh Mat Serbuk Bunga Sukun (Artocarpus altilis L.) Sebagai isi Ulang Nyamuk Aedes aegypti .
Mat Serbuk Bunga Sukun (Artocarpus altilis L.) dan Nyamuk Aedes aegypti L
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
20 ekor nyamuk Aedes aegypti dewasa
Bunga sukun (Artocarpus altilis L.) berpengaruh terhadap pengendalian nyamuk Aedes aegypti yaitu dibuktikan dengan menggunakan dengan uji anava satu arah maka hasilnya Ftabel
(198,26) > Fhitung
(4,33) dan ditandai dengan kematian nyamuk Aedes aegypti saat dilakukan pengujian dengan kadar bunga sukun (0,5 gr, 1 gr, 1,5 gr, 2 gr). Kadar bunga sukun yang paling banyak membunuh nyamuk adalah kadar 2 gr yaitu membunuh nyamuk rata-rata 15,6 ekor dengan presentase kematian nyamuk sebesar 78%.
8 Handayani, et al (2013)
Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper batle L,)sebagai Bioinsektisida Terhadap Kematian Nyamuk Aedes aegypti
Ekstrak Daun Sirih (Piper batle L,) danNyamuk Aedes aegypti
Pre-Eksperimet dengan Rancangan the static-group comparison
Nyamuk Aedes aegypti
Ekstrak daun sirih terbukti efektif sebagai bioinsektisida terhadap nyamuk Aedes aegypti mulai pada konsentrasi 1000 ppm, lama waktu kontak yang dibutuhkan agar dapat membunuh nyamuk Aedes aegypti yaitu selama 45 menit.
9 Roy Nusa Rahagus Edo Santya, et al (2013)
Daya Proteksi Ekstrak Kulit Jeruk Purut (Citrus hystrix) terhadap Nyamuk Demam Berdarah
Ekstrak Kulit Jeruk Purut (Citrus hystrix) dan Nyamuk Demam Berdarah
Eksperimen Murni
25 ekor nyamuk Ae.aegypti dan Ae. Albopictus betina kenyang gula
Kulit jeruk purut mampu menolak nyamuk Ae. aegypti maupun Ae. albopictus. Meskipun kemampuan daya tolak kulit jeruk ini tidak seefektif bahan kimia namun bahan alami ini diharapkan lebih aman untuk digunakan, khususnya pada individu yang peka terhadap DEET.
10 Mutiara Wildawati, et al (2012)
Analisis Pengaruh Ekstraksi Non-Polar Batang Pohon Tanjung (Mimusops Elengi L.) terhadap Larva Aedes aegypti
Ekstraksi Non-Polar Batang Pohon Tanjung (Mimusops Elengi L.) dan Larva Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Larva Ae. aegypti instar 4
Adanya aktivitas ekstrak batang pohon Tanjung (Mimusops elengi) terhadap larva Aedes aegyptisehingga tanaman ini mempunyai potensi sebagai larvasida.
11 Siti Aisah, et al (2011)
Potensi Ekstrak Biji Bengkuang (Pachyrrhizus erosus urb.) sebagai Larvasida
Ekstrak Biji Bengkuang (Pachyrrhizus erosus urb.) dan Aedes aegypti L. Instar III
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
20 ekor larva Ae. aegypti instar III
Ekstrak biji bengkuang (P. erosus) mengakibatkan adanya efek sublethal pada larva A. aegypti, terlihat dari
Aedes aegypti L. Instar III
adanya kerusakan morfologi larva berupa rusaknya kepala (chepal), dada (thorak), perut (abdomen), anal gill, dan hilangnya rambut-rambut yang terdapat pada sisi tubuhnya. Posisi larva yang mengalami kematian berada di dasar media. Gerakan larva mengalami penurunan dari tiap 6 jam sampai 24 jam.
12 Nanang Hidayatulloh, et al (2012)
Efektivitas Pemberian Ekstrak Ethanol 70% Akar Kecombrang (Etlingera elatior)Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial
Ekstrak Ethanol 70% Akar Kecombrang (Etlingera elatior)Terhadap Larva Instar III Aedes aegypti sebagai Biolarvasida Potensial
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Larva Aedes aegypti Instar III.
Ekstrak akar Kecombrang (Etlingera elatior) mempunyai efek sebagailarvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III dengan konsentrasi efektifsebesar 1%.
13 Lasmini Nangune, et al (2011)
Pengaruh Filtrat Daun Tanaman Bunga Pagoda (Clerodendrum squamatum Vahl) terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Aedes
Filtrat Daun Tanaman Bunga Pagoda (Clerodendrum squamatum Vahl) dan Mortalitas Larva Nyamuk Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL
250 larvainstar III Aedes aegypti
Filtrat daun tanamanbunga pagoda berpengaruh terhadapmortalitas larva nyamuk Aedes aegyptidan Konsentrasi yang efektif terhadapmortalitas larva Aedes aegypti adalah 5 %.
aegypti14 Koech
Peter Kiplang, et al (2013)
Repellent Activities of Ocimun basilicum, Azadirachta indica and Eucalyptus citriodora Extracts on Rabbit Skin against Aedes aegypti
Ekstrak basilicum, Azadirachta indica and Eucalyptus citriodora dan Aedes aegypti
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
50 nyamuk dewasa
Ocimum basilicum and Eucalyptus citriodora dapat menjadi alternatifekstrak Chrysanthemum cinerariefolium.
15 Hubullah Fuadzy, et al (2012)
Potensi Daun Dewa (Gynurapseudochina L. DC) Sebagai Larvasida Aedes aegypti (Linn.)
Daun Dewa (Gynurapseudochina L. DC) dan Larvasida Aedes aegypti (Linn.)
Eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
450 larva nyamuk Ae. aegypti instar III
Ekstrak air daun dewa dapat membunuh larva Ae. aegypti dengan nilai LC50 adalah 6,271%. Hasil tersebut membuktikan bahwa daun dewa berpotensi sebagai larvasida Ae. aegypti Linn.
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terdiri dari
1. Tujuan Umum
Diketahui bahwa ekstrak kulit jengkol (Pithecellobium lobatum) efektif
sebagai larvasida Aedes sp Instar III.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui adanya senyawa pada ekstrak kulit jengkol
(Pithecellobium lobatum) sehingga efektif sebagai larvasida Aedes
sp Instar III.
b. Diketahui efek ekstrak kulit jengkol (Pithecellobium lobatum)
dengan melihat nilai LC50 dan LT50.
c. Diketahui adanya hubungan antara jumlah ekstrak kulit jengkol
(Pithecellobium lobatum) terhadap mortalitas larva Aedes sp Instar
III.
F. Manfaat Penelitian
1. Bagi Civitas Akademika
Hasil penelitian ini diharapkan menambah khazanah ilmu
pengetahuan dan sebagai bahan perbandingan bagi penelitian yang
lebih luas dan mendalam.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
pengetahuan bagi masyarakat tentang kulit jengkol (Pithecellobium
lobatum) terhadap kesehatan.
3. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu sumber informasi
bagi Dinas Kesehatan, tentang pentingnya pemanfaatan kulit jengkol
(Pithecellobium lobatum) untuk mengurangi angka DBD.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tumbuhan Jengkol
1. Morfologi Tumbuhan Jengkol
Tumbuhan jengkol atau lebih dikenal dengan tumbuhan Jering
adalah termasuk dalam famili Fabaceae (suku biji-bijian). Tumbuhan ini
memiliki nama latin Pithecellobium jiringa dengan nama sinonimnya yaitu
A.Jiringa, Pithecellobium lobatum Benth., dan Archindendron pauciflorum.
Tumbuhan ini merupakan tumbuhan khas di wilayah Asia Tenggara
dengan ukuran pohon yang tinggi yaitu ± 20m, tegakbulat berkayu, licin,
percabangan simpodial, cokelat kotor. Bentuk majemuk,
lonjong,berhadapan, panjang 10 – 20 cm, lebar 5 – 15 cm, tepi rata, ujung
runcing, pangkal membulat, pertulangan menyirip, tangkai panjang 0,5 –
1 cm, warna hijau tua. Struktur majemuk, berbentuk seperti tandan,
diujung dan ketiak daun, tangkai bulat, panjang ± 3 cm, berwarna ungu
kulitnya, bentuk buah menyerupai kelopak mangkok, benag sari kuning,
putik silindris, kuning mahkota lonjong, putih kekuningan. Bulat pipih
berwarna coklat kehitaman, berkeping dua dan berakar tunggang. Pohon
Jengkol sangat bermanfaat dalam konservasi air di suatu tempat hal ini
dikarenakan ukuran pohonnya yang sangat tinggi (Hutauruk, 2010).
Gambar 1. Tanaman Jengkol
2. Klasifikasi Ilmiah Tumbuhan Jengkol
Klasifikasi tumbuhan jengkol yang digunakan dalam penelitian ini
memiliki taksonomi sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Rosales
Suku : Fabacceae
Genus : Pithecellobium
Spesies : Pithecellobium jiringa (Jack) Prain
(Nurussakinah, 2010)
3. Kandungan Kimia Jengkol dan Kulit Jengkol
Kulit buah tumbuhan jengkol (Pithecollobium lobatum Benth.)
dinyatakan mengandung senyawa flavonoida berdasarkan hasil skrinning
fitokimia yang dilakukan dengan pereaksi FeCl3 1%, NaOH 10%, Mg-HCl,
dan H2SO4(p). Terhadap kulit buah tumbuhan jengkol tersebut dilakukan
ekstraksi maserasi menggunakan pelarut metanol (pelarut polar) dan
selanjutnya dilakukan ekstraksi partisi dengan menggunakan pelarut n-
heksan (non polar) dengan tujuan untuk memisahkan senyawa yang
bersifat non polar misalnya lemak (lipid) (Hutauruk, 2010).
Bahan aktif dari kulit jengkol seperti alkaloid, terpenoid, saponin,
dan asam fenolat dapat digunakan sebagai larvasida dengan cara
mengekstrak kulit jengkol. Kulit jengkol digiling sampai berupa simplisia.
Lalu, simplisia direbus dan dimaserasi selama tiga hari. Hasil maserasi
disaring digunakan sebagai larutan ekstrak air kulit jengkol. Dalam hal ini,
pelarut yang dipakai adalah menggunakan air biasa, karena dapat
dengan mudah diperoleh dan mudah untuk pembuatan ekstrak. Hasilnya,
kemampuan ekstrak air kulit jengkol dalam, mengendalikan populasi
Aedes aegypti dapat diamati melalui kemampuannya menurunkan indeks
pertumbuhan jentik Aedes aegypti (Dinata, 2009)
Hasil skrinning fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol kulit
buah jengkol menunjukkan adanya kandungan senyawa kimia alkaloid,
flavonoid, tanin, saponin, glikosida, dan steroid/triterpenoid. Tanin dan
flavonoid adalah senayawa aktif antibakteri. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Nurussakinah di tahun 2010, ekstrak etanol kulit buah
jengkol dapat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans,
Staphylococcus aureus, dan Eschericia coli. Hasil uji aktivitas dari ekstrak
etanol diperoleh konsentrasi terkecil pada bakteri Streptococcus mutans
sebesar 30 mg/mL, konsentrasi terkecil bakteri Staphylococcus aureus
sebesar 20 mg/mL dan konsentrasi terkecil pada bakteri Eschericia coli
sebsesar 20 mg/mL. Ekstrak juga memberikan batas daerah hambat yang
efektif dengan diameter 15,66 nm pada konsentrasi 90 mg/mL untuk
bakteri Streptococcus mutans, diameter 14,26 nm pada konsentrasi 90
mg/mL untuk bakteri Staphylococcus aurenus, diameter 14,67 nm pada
konsentrasi 60 mg/mL untuk bakteri Eschericia coli (Nurussakinah, 2010).
Sesuai dengan ayat Al Qur’an Surah Luqman Ayat 10 :
Terjemahannya :
Ia menciptakan langit dengan tidak bertiang sebagaimana yang kamu melihatnya dan Ia mengadakan di bumi gunung ganang yang menetapnya supaya bumi itu tidak menghayun-hayunkan kamu dan Ia biakkan padanya berbagai jenis binatang. Dan Kami menurunkan hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan di bumi berbagai jenis tanaman yang memberi banyak manfaat.
Berdasarkan ayat diatas, bahwa tanaman yang ada di bumi
memiliki manfaat dan tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia.Seperti
kulit jengkol yang memiliki manfaat sebagai insektisida nabati. Manusia
sebagai khalifah di bumi memiliki kewajiban untuk mempelajari karunia
Allah SWT.
B. Nyamuk Aedes sp
Aedes merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus
dengue penyebab penyakit demam berdarah. Aedes sp tersebar luas di
wilayah tropis dan subtropis Asia Tenggara, terutama di sebagian besar
wilayah perkotaan. Penyebaran Aedes sp di pedesaan akhir-akhir ini
relatif sering terjadi yang dikaitkan dengan pembangunan sistem
persediaan air pedesaan dan perbaikan sistem transportasi.
1. Klasifikasi (taxonomi) Aedes sp
Klasifikasi Aedes sp adalah sebagai berikut
Golongan : Animalia
Filum : Arthropoda
Klas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Subfamili : Culicinae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes sp
2. Siklus hidup nyamuk Aedes sp
Nyamuk Aedes sp, meletakkan telur pada permukaan air bersih
secara individual. Setiap hari nyamuk Aedes dapat bertelur rata-rata 100
butir. Telurnya berbentuk elips berwarna hitam dan terpisah satu dengan
yang lain. Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi
larva.Terdapat empat tahapan dalam perkembangan larva yang disebut
instar. Perkembangan dari instar satu ke instar yang empat memerlukan
waktu selama lima hari. Setelah mencapai instar keempat, larva berubah
menjadi pupa di mana larva memasuki masa dorman (inaktif, tidur).
Telur Aedes sp tahan terhadap kondisi kekeringan, bahkan bisa
bertahan hingga satu bulan dalam keadaan kering.Telur nyamuk Aedes
sp di dalam air dengan suhu 20-40oC akan menetas menjadi larva dalam
waktu 1-2 hari. Kecepatan pertumbuhan dan perkembangan larva
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu temperatur, tempat, keadaan air,
dan kandungan zat makanan yang ada di dalam tempat perindukan.
Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9
hari, kemudian pupa menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi
pertumbuhan dan perkembangan telur, larva, pupa, sampai dewasa
memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari. Pupa bertahan selama dua hari
sebelum akhirnya nyamuk keluar dari pupa. Perkembangan dari telur
hingga nyamuk dewasa membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari,
tetapi dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak mendukung.
3. Morfologi Nyamuk Aedes sp
3.1 Telur Aedes sp
Telur nyamuk Aedes berbentuk elips atau oval memanjang, warna
hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, telur diletakkan satu
persatu pada permukaan yang basah tepat di atas batas permukaan
air/tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan
permukaan air. Perkembangan embrio biasanya selesai dalam 48 jam di
lingkungan yang hangat dan lembab. Begitu proses embrionasi selesai,
telur akan menjalani masa pengeringan yang lama (lebih dari satu tahun).
Telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur
terendam air, tetapi tidak semua telur akan menetas pada waktu yang
sama. Kapasitas telur untuk menjalani masa pengeringan akan
membantu mempertahankan kelangsungan spesies ini.
Gambar 2. Telur Nyamuk Aedes sp
3.2 Larva Aedes sp
Larva nyamuk Aedes sp tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan
bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit
(ecdysis), dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II,
III dan IV. Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan,
panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu
jelas, dan corong pernafasannya (siphon) belum menghitam. Larva instar
II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan
corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap
struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala
(chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang
antena tanpa duri-duri dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing).
Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris.
Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas
yang disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri-duri,
berwarna hitam dan ada seberkas bulu-bulu (tuft). Ruas ke-8 juga
dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan
gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1
baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva
ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaktis
negatif dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan
bidang permukaan air.
Gambar 3. Larva Nyamuk Aedes sp
3.3 Pupa Aedes sp
Pupa nyamuk Aedes sp bentuk tubuhnya bengkok, dengan bagian
kepala-dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan
bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca “koma”. Pada
bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernafas seperti terompet.
Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengayuh yang berguna
untuk berenang. Alat pengayuh tersebut berjumbai panjang dan bulu di
nomor 7 pada ruas perut ke-8 tidak bercabang. Pupa adalah bentuk tidak
makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan larva. Waktu
istirahat posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air
Gambar 4. Pupa Nyamuk Aedes sp
3.4 Nyamuk Aedes sp Dewasa
Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm,
dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi
sisik dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal)
tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan
yang menjadi ciri dari nyamuk spesies ini.Sisik-sisik pada tubuh nyamuk
pada umumnya mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan
identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini
kerap berbeda antarpopulasi, bergantung pada kondisi lingkungan dan
nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan.
Aedes albopictus
Aedes albopictus merupakan nyamuk kebun (forest mosquito), nyamuk
yang bertelur dan berkembang di lubang pohon, ruas bambu dan
pangkal daun sebagai habitat hutannya serta penampung buatan di
daerah perkotaan. Nyamuk ini merupakan nyamuk yang bersifat zoofilik
(lebih memilih hewan) dari pada Aedes aegypti. Jarak terbangnya bisa
mencapai 500 meter.
C. Peran Nyamuk Aedes sp Dalam Penularan Penyakit DBD
Di negara-negara di Asia Tenggara, epidemi DBD terutama terjadi
pada musim penghujan. Di Indonesia, Thailand, Malaysia dan Filipina
epidemi DBD terjadi beberapa minggu setelah datangnya musim
penghujan. Periode epidemi yang terutama berlangsung selama musim
penghujan erat kaitannya dengan kelembaban tinggi pada musim
penghujan yang memberikan lingkungan optimal bagi masa inkubasi dan
peningkatan aktivitas vektor dalam menggigit. Kedua faktor tersebut
meningkatkan aktivitas vektor dalam mentransmisikan infeksi virus
dengue.
Virus-virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes yang terinfeksi, terutama Aedes aegypti, dan karenanya
dianggap sebagai arbovirus (virus yang ditularkan melalui artropoda). Bila
terinfeksi, nyamuk tetap akan terinfeksi sepanjang hidupnya, menularkan
virus ke individu rentan selama menggigit dan menghisap darah. Nyamuk
betina terinfeksi juga dapat menurunkan virus ke generasi nyamuk
dengan penularan transovarian, tetapi ini jarang terjadi dan kemungkinan
tidak memperberat penularan yang signifikan pada manusia.
Manusia adalah penjamu utama yang dikenai virus, meskipun
studi telah menunjukkan bahwa monyet pada beberapa bagian dunia
dapat terinfeksi dan mungkin bertindak sebagai sumber untuk nyamuk
menggigit. Virus bersirkulasi dalam darah manusia terinfeksi pada kurang
lebih waktu dimana mereka mengalami demam, dan nyamuk tak
terinfeksi mungkin mendapatkan virus bila mereka menggigit individu saat
ia dalam keadaan viraemik. Virus kemudian berkembang di dalam
nyamuk selama periode 8-10 hari sebelum ini dapat ditularkan ke
manusia lain selama menggigit atau menghisap darah berikutnya. Lama
waktu yang diperlukan untuk inkubasi ekstrinsik ini tergantung pada
kondisi lingkungan, khususnya suhu sekitar.
Di dalam tubuh nyamuk, virus dengue akan berkembang biak
dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh
nyamuk. Sebagian besar virus itu berada dalam kelenjar liur nyamuk.
Dalam tempo 1 minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan
ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan/dipindahkan kepada orang
lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk itu menggigit orang lain, maka
setelah alat tusuk nyamuk (probosis) menemukan kapiler darah, sebelum
darah orang itu diserap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar
liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku.
Bersama dengan liur nyamuk inilah, virus dengue dipindahkan
kepada orang lain. Tidak semua orang yang digigit nyamuk Aedes sp
yang membawa virus dengue itu, akan terserang penyakit demam
berdarah. Orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus
dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun dalam darahnya
terdapat virus itu. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai
kekebalan yang cukup terhadap virus dengue, dia akan sakit demam
ringan atau bahkan sakit berat, yaitu demam tinggi disertai pendarahan
bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang
dimilikinya.Penyakit DBD disebabkan 4 serotipe virus dengue di
Indonesia, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Virus tersebut
termasuk group B Arthropoda borne viruses (arboviruses).
D. Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat
larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut
cair. Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstrak
senyawa aktif daari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan
pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikan
sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Utami, 2009).
Ada beberapa cara metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut (Hamdani, 2009), yaitu: (1) Cara Dingin: (a) Maserasi adalah
proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan
beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar.
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya, (b) Perkolasi
adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, yang umumnya
dilakukan pada temperatur ruangan.
Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan
maserasi antara, tahap perlokasi sebenarnya (penetesan/penampungan
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat yang tidak
meninggalkan sisa bila 500 mg perkolat terakhir diuapkan pada suhu ±
50°C; (2) Cara Panas: (a) Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada
temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya
dilakukan pengulanagn proses pada residu pertama sampai 3-5 kali
sehingga proses ekstraksi sempurna, (b) Soxhlet adalah ekstraksi
menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan
alat khusus sehingga terjadi ekstrak kontinu dengan jumlah pelarut relatif
konstan dengan adanya pendingin balik, (c) Digesti adalah maserasi
kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi
dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-
50°C, dan (d) Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
96-98°C selama 15-20 menit si penangas air dapat berupa bejana infus
terselup dengan penangas air mendidih.
E. Kerangka Teori
F. Kerangka Konsep
Ekstrak Daun Jengkol (Pithecellobium lobatum) dalam
berbagai konsentrasi
Gangguan metamorfose pada
larva Aedes sp instar III
Jumlah mortalitas larva Aedes sp instar III persatuan waktu
Daun Jengkol (Pithecellobium lobatum)
Ekstraksi Ekstrak yang
mengandung Alkaloid, dan Terpenoid
Ekstrak yang mengandung Saponin
dan Asam Fenolat
Racun Perut (Stomach Poisoning)
Mempengaruhi susunan saraf
Efek Larvasida
LarvaMati Hidup
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang hendak dicapai,maka jenis
penelitian yang digunakan yaitu penelitian eksperimen (true eksperimen).
Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Fakultas
Ilmu Kesehatan UIN Alauddin Makassar.
B. Pendekatan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan post test only
control group design. Desain ini dipilih karena tidak dilakukan pretes terhadap
sampel sebelum perlakuan. Karena telah dilakukan randomisasi baik pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan desain ini
memungkinkan dilakukan (intervensi) pada kelompok eksperimen yang satu
dengan cara membandingkannya dengan kelompok kontrol.
C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah larva instar III Aedes sp yang
diperoleh dari Laboratoriun FKM Universitas Hasanuddin.
2. Sampel
Besar sampel 20 ekor larva Aedes sp instar III. Diletakkan dalam 6
kontainer, yang masing-masing kontainer berisi 20 ekor larva.
Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali pada tiap bahan uji.
3. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan secara
Simple Random Sampling terhadap larva Aedes sp.
D. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas atau independent penelitian ini adalah ekstrak kulit
jengkol dan larva Aedes sp instar III.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat atau dependent dalam penelitian ini adalah Lethal
Concentratin 50 (LC50), Lethal Time 50 (LT50), dan kecepatan kematian
larva.
E. Alat dan Bahan
Alat
1. Neraca
2. Wadah Penyimpanan
3. Wadah plastik bervolume 30 mL
4. Labu takar 100 mL
5. Pipet plastik
6. Pipet ukur
7. Lidi/Jarum
8. Pengaduk
9. Beker Glass
10. Kertas Label
11. Nampan Plastik
12. Kain Kasa
Bahan
1. Daun Jengkol (Pithecellobium lobatum)
2. Cairan Etanol 70%
3. Larva Aedes sp Instar III
4. Aquadest
5. Temephos (abate)
F. Cara Kerja
1. Siapkan wadah (kontainer) masing-masing 6 buah dan beri label
sesuai jumlah konsentrasi yang diukur.
2. Daun jengkol dikeringkan kemudian dihaluskan.
3. Serbuk daun jengkol dimaserasi selama 3 jam, kemudian
dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi
sekat berpori, cairan penyaring (etanol 70%)
4. Ekstrak daun cengkeh diambil dan ditimbang sesuai dengan
konsentrasi yang akan dipakai lalu dimasukkan dalam labu takar.
5. Konsentrasi ekstrak daun cengkeh yang dipakai adalah 0%, 0,25%,
0,5%, 0,75% 0,1%, serta 1 kontainer diisi 1% temephos.
6. Air ditambahkan ke dalam labu takar yang telah dimasukkan ekstrak
hingga volume 100 ml kemudian dimasukkan ke dalam masing-
masing wadah plastik yang bervolume 300 ml.
7. Pada masing-masing wadah plastik 300 ml tersebut dimasukkan 20
ekor larva Aedes sp. instar III, termasuk kontrol dan tanpa diberi
makanan.
8. Jumlah larva yang mati dihitung setiap 3 jam sejak diberi perlakuan.
G. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer
yang didapt dari jumlah larva yang mati setiap 3 jam pada setiap
konsentrasi ekstrak daun jengkol (Pithecellobium lobatum). Data yang
dikumpulkan dicatat dalam bentuk tabel. Replokasi diulangi sebagayak 3
kali
H. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian seperti terlihat pada tabel berikut:
Jumlah mortalitas larva Aedes sp yang diberi ekstrak daun jengkol
(Pithecellobium lobatum).
Tabel 1. Pencatatan Jumlah Mortalitas Larva Aedes sp per 3 jam
Kelompok
Perlakuan
Konsentrasi
Ekstrak
Jumlah Larva Aedes sp yang mati
3 6 9 12 ... 72
Kelompok A Kontrol -Aquadest
0%Kelompok B 0,25%
Kelompok C 0.5%
Kelompok D 0.75%
Kelompok E 1%
Kelompok F Kontrol +(temephos 1%)
Pembagian ekstrak daun jengkol (Pithecellobium lobatum) ,
jumlah laeva, dan waktu pengamatan yang digunakan pada penelitian ini
sesuai dengan kriteria yang dipakai berdasarkan WHO Guideline For
Laboratory and Field Treating Mosquito Larvacides (2005).
J. Analisis Data
Setelah diperoleh data jumlah larva yang hidup dan yang mati, maka
dilakukan uji statistik, yaitu:
1. Uji Analisis Varian (ANOVA)
Untuk dilihat ada tidaknya perbedaaan jumlah kematian larva
Aedes sp semua kelompok uji. Uji ANOVA dapat digunakan apabila
sebaran data (distribusi data) normal dan varians data sama. Jika syarat
erpenuhi dilanjutkan dengan LSD Post Hoc Test. Jika sebaran data tidak
normal dan atau varians data tidak sama maka digunakan uji alternatif
yaitu uji Kurskal Wallis, yang kemudian dilanjutkan dengan uji Mann-
Whitney.
2. Uji Least Significance Difference (LSD)
Untuk mengetahui pasangan nilai mean yang perbedaannya
signifikan antar kelompok uji.
3. Kruskal Wallis
Untuk membandingkan perbedaan mean lebih dari dua kelompok.
4. Mann-Whitney
Untuk membandingkan perbedaan mean antar kelompok.
5. Analisis Probit
Untuk mengetahui daya bunuh ekstrak daun jengkol terhadap
larva Aedes sp yang dinyatakan dengan LC (Lethal Concentration).
K. Alur Penelitian
Kelompok A
Aquadest0%
-20 larva
Kelompok B
Ekstrak0.25%
20 larva
KelompokC
Ekstrak0.5%
20 larva
Kelompok D
Ekstrak0.75%
20 larva
Kelompok E
Ekstrak1%
20 larva
Kelompok F
Temephos1%+
20 larva
`
Larva Aedes sp
Randomisasi Sampel
Perlakuan selama 3 jam
Hitung Jumlah Larva Yang Mati
Replikasi sebanyak 3 kali
Uji ANOVA dan LSD
Uji Alternatif (Kruskal Wallis & Mann
Whitney)
Analisis Probit