prosiding bimbingan dan konselinge-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/4798/1/qurrotu...
TRANSCRIPT
1
2
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
BIMBINGAN DAN KONSELING
PERGURUAN TINGGI
“Mengokohkan Peran Program Bimbingan dan
Konseling di Perguruan Tinggi dalam Rangka
Menyongsong Generasi Emas 2045”
BANDUNG, 6 APRIL 2018
Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling & Pengembangkan Karir (UPT-BKPK)
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
3
Prosiding Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi
Editor: Prof. Dr. Syamsu Yusuf, LN, M.Pd.
Sofwan Adiputra, M.Pd
Reviewer: Dr. Anne Hafina, M.Pd.
Dody Hartanto, M.Pd.
Wahidin, M.Pd.
Muhamad Rifa’i Subhi, M.Pd.I. Mujiyati, M.Pd
Diselenggarakan atas kerjasama: Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling
& Pengembangkan Karir (UPT-BKPK) Ikatan Bimbingan Konseling Perguruan Tinggi (IBKPT) Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN)
Diterbitkan Oleh: Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling
& Pengembangkan Karir (UPT-BKPK)
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
2018
ii
4
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil’alamin. Segala puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga prosiding ini
dapat terselesaikan dengan baik. Prosiding yang telaha tersusun ini berisi kumpulan
artikel dari berbagai daerah yang telah dipaparkan dalam Seminar Nasional Bimbingan
dan Konseling Perguruan Tinggi oleh Unit Pelaksana Teknis Bimbingan dan Konseling & Pengembangkan Karir (UPT-BKPK) bekerjasama dengan Ikatan Bimbingan
Konseling Perguruan Tinggi (IBKPT) Asosiasi Bimbingan Konseling Indonesia
(ABKIN) di Bandung pada Jumat, 6 April 2018. Seminar ini mengangkat tema “Mengokohkan Peran Program Bimbingan dan
Konseling di Perguruan Tinggi dalam rangka menyongsong generasi emas tahun 2045”.
Pada periode usia mahasiswa sering kali menghadapi dua persoalan, yakni tuntutan
akademik dan tuntutan sosioemosional. Mahasiswa sering kali belum mampu mengatasi
persoalan dirinya dengan baik sehingga membutuhkan bimbingan dalam membantu
menyelesaikan masalahnya. Dosen pembimbing akademik (dosen PA) atau konselor di PT
memiliki peran penting untuk membimbing dan memfasilitasi mahasiswa untuk
mengembangkan potensi dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
Kegiatan ini bertujuan menghasilkan gambaran pelaksanaan layanan bimbingan dan
konseling di perguruan tinggi. Artikel-artikel yang disajikan diharapkan dapat menambah
wawasaan keilmuaan dalam upaya membantu mahasiswa di perguruan tinggi.
Kami menyampaikan ucapan terimakasi atas partisipasi para pembicara pada sesi
paralel. Kami menyadari bahwa prosiding ini tentu saja tidak luput dari kekurangan,
untuk itu segala saran dan kritik kami harapkan demi perbaikan pada masa yang akan
datang.
Hormat Kami
Editor
iii
5
DAFTAR ISI
Pemakalah Utama
No Judul/ Penulis Halaman
1 Program Bimbingan dan Konseling di perguruan Tinggi 1
(Syamsu Yusuf LN)
2 Tim Pelaksana Bimbingan dan Konseling (TPBK) Universitas 19
Padjadjaran (Lynna Lidyana)
Pemakalah Pendamping
No Judul/ Penulis Halaman
3 Dinamika Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Perguruan 23
Tinggi
(Ali Rachman, Muhammad Andri Setiawan)
4 Urgensi Pelaksanaan Konseling Pra Nikah Bagi Mahasiswa di 29
Perguruan Tinggi
(Muhammad Bisri)
5 Road Map Pelaksanaan Layanan Konseling di Perguruan Tinggi 37
(Zaen Musyirifin)
6 Membangkitkan Moral Religiusitas Konselor di Perguruan Tinggi 49
(Muhamad Rozikan)
7 Teknologi Informasi Berbasis Media Grafis Dalam Upaya 59
Peningkatan Inovasi di Perguruan Tinggi
(Restu Dwi Ariyanto)
8 Peningkatan Kapasistas Konselor di Perguruan Tinggi dalam 69
Kompleksitas Problematika Mahasiswa
(Agus Wibowo, Nurul Atieka, Hadi Pranoto)
9 Analisis Kebutuhan Pengembangan Diri Mahasiswa: Asessmen 77
dalam Pendidikan, Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi
(Triana Lestari)
10 Menumbuhkan Karakter Optimis Melalui Konseling Bagi 87
Mahasiswa (Refleksi Bimbingan dan Konseling di Biro Tazkia IAIN Salatiga)
(Wahidin)
v
6
11 Profil Kematangan Karier Mahasiswa STAI Siliwangi Bandung 99
(Ahmad Rifqy Ash Shiddiqy)
12 Perencanaan Karier Mahasiswa Ditinjau dari Orientasi Locus of 111
Control Self Management
(Eko Sujadi, Bukhari Ahmad, Donal , Raja Rahima MRA)
13 Need Assessment Layanan Bimbingan Dan Konseling Pada 123
Mahasiswa Instika
(Sunhiyah)
14 Mengenal Defence Mechanism di Kalangan Mahasiswa 135
(Andar Ifazatul Nurlatifah)
15 Bimbingan dan Konseling Pranikah untuk Meningkatkan 147
Persiapan Pernikahan Pada Masa Dewasa Awal
(Mardia Bin Smith, Mohamad Awal Lakadjo)
16 Strategi Coping Remaja pada Perilaku Menyimpang 159
(Ririanti Rachmayanie J., M. Arli Rusandi)
17 Keterampilan Konselor dalam Melepas Emosi Negatif Anak 167
dengan Terapi Reframing
(Hengki Yandri, Dosi Juliawati, Alfaiz, Nofrita)
18 Expressive Art Therapy pada Mahasisawa 179
(Ninil Elfira)
19 Sex Counseling untuk Mengatasi Disfungsi Seksual dalam 187
Hubungan Seks Pasangan Suami-Istri
(Irvan Usman, Mohamad Awal Lakadjo)
20 Multicultural Considerations in Group PlayTherapy 197
(Hartini)
21 Pre-Marriage Counseling Trough Transactional Analysis 211
Approach
(Selvia Tristianty Hidajat)
22 Identifikasi Masalah pada Mahasiswa Program Studi Bimbingan 221
dan Konseling FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin
(Nina Permata Sari, Akhmad Sugianto)
23 Depresi sebagai Dampak Kegagalan Penyesuaian Diri pada 225
Mahasiswa
(Qurrotu Ayun)
24 Efforts oo Improve The Self Esteem of The LGBT Community 241
Medan City Through Service Mentoring and Counseling Technique Self-Management
(Gusman Lesmana)
vi
7
25 Program Layanan BK untuk Mahasiswa Mengalami Mental Block 247
dalam Proses Penulisan Skripsi
(Arif Taufiq Dani Abdillah)
26 Perkembangan Karier dan Perkembangan Psikososial Mahasisw 257
di Masa Dewasa Awal
(Yudi Kusyadi)
27 Couple Therapy: Sebuah Pendekatan Integratif Konseling 271
Pernikahan Perspektif Islam
(Sofwan Adiputra, Mujiyati)
28 Pendekatan Sufistik dalam Bimbingan dan Konseling 281
(Muhamad Rifa’i Subhi, Nur Alfiah)
vii
1
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
DEPRESI SEBAGAI DAMPAK KEGAGALAN
PENYESUAIAN DIRI PADA MAHASISWA
Qurrotu Ayun Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Email: [email protected]
Abstract
Students college ideally have the physical and psychological readiness to adapt to the
new environment. Many complaints are experienced by students such as too heavy
academic burden, family problems, financial problems, problems in friendship, have
unattended psychiatric problems, traumatic events, immaturity, substance abuse and lack
of life skills. The inability to seek solu tation of the problems experienced has an impact
on serious mental health such as depression. Depression is a common mental disorder in
the community. Starting from unresolved stress, then a person can fall into the depression
phase. a person who is depressed generally has a disorder that includes emotional state,
motivation, functional, and behavioral movement and cognition. Depression is a disorder
of the heart feeling characterized by distorted affects or loss of interest or excitement in
daily activities accompanied by other findings such as sleep disorders and appetite
changes. Handling and prevention to overcome depression in students is to provide a
means of counseling and psychotherapy. Some of the therapies that can be given to treat
depression are psychodynamic therapy, CBT and social skills therapy.
Keywords: Adjustment, Depression, Student.
© Published by Panitia SNBKPT 2018
1. PENDAHULUAN
Menjadi mahasiswa bukanlah merupakan hal yang mudah bagi sebagian remaja yang
telah lulus dari SMA. Menjadi mahasiswa mengharuskan remaja yang bersangkutan untuk
melakukan penyesuain-penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan baru.
Kekurangmampuan dalam melakukan penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang
ada dapat menimbulkan tekanan-tekanan bagi remaja yang bersangkutan. Hal ini bila
dibiarkan akan mempengaruhi kesehatan mental yang bersangkutan. Banyak keluhan yang
muncul yang dialami oleh mahasiwa seperti beban akademik yang terlalu berat, masalah
keluarga, masalah finansial, masalah dalam pertemanan, memiliki problematika kejiwaan
yang belum tertangani, peristiwa traumatik, ketidakmatangan diri, penyalahgunaan zat serta
kurangnya ketrampilan hidup. Ketidakmampuan dalam
2
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
mencari soluasi terhadap masalah yang dialami berdampak pada kesehatan mental yang
serius.
Brouwer (Alisjahbana,dkk, 1983) mencatat beberapa masalah yang harus
diperhatikan oleh mahasiswa dalam kaitannya penyesuaian diri dengan situasi dan
status baru yang dihadapi. Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri dari beberapa
masalah tersebut dapat menimbulkan tekanan mental bagi mahasiswa yang
bersangkutan. Masalah pertama yang perlu diperhatikan adalah mengenai perbedaan
cara balajar. Pelajar SMA biasanya memiliki cara belajar yang lebih pasif dibandingkan
mahasiswa. Hampir semua materi pelajaran SMA diberikan oleh guru. Asalkan siswa
menyimak baik-baik materi yang diberikan dan belajar hanya dari materi tersebut,
biasanya itu sudah cukup. Berbeda dengan perguruan tinggi yang menuntut mahasiswa
untuk lebih aktif dalam memahami dan mempelajari materi. Materi yang diberikan oleh
dosen biasanya bersifat pengantar, sedangkan pendalaman lebih lanjut diberikan kepada
mahasiwa yang bersangkutan. Ini menyebabkan kedalaman dalam memahami suatu
materi tergantung dari keaktifan mahasiswa dengan usahanya mencari referensi-
referensi yang berkaitan dengan materi yang diajarkan. Belum lagi perbedaan sistem
paket yang diterapkan di SMA dan sistem SKS yang berlaku diperguruan tinggi, yang
betul-betul menuntut mahasiswa untuk lebih aktif kalau ingin lulus dengan nilai yang
memuaskan dan dalam jangka waktu yang singkat.
Masalah kedua adalah berkaitan dengan perpindahan tempat. Bagi sebagian besar
mahasiswa, memasuki perguruan tinggi berarti juga harus berpindah tempat dari yang
tinggal bersama dengan orang tua, menjadi tinggal bersama dengan orang lain, entah itu
kost, mondok, kontrakan atau tinggal bersama saudara. Belum lagi bila situasi di tempat
asal ternyata berbeda sama sekali dengan situasi di tempat baru. Misalnya dari
lingkungan desa ke kota besar, tempat biasanya perguruan tinggi yang baik berada.
Perpindahan tempat semacam ini membutuhkan energi yang besar untuk melakukan
penyesuaian diri pada awalnya.
Masalah ketiga adalah berkaitan dengan mencari teman baru dan hal-hal yang
berkaitan dengan pergaulan. Manjadi mahasiswa berarti hubungan dengan teman-teman
karib sewaktu SMA menjadi semakin renggang karena pertemuan yang semakin kurang dan
sekaligus ada tuntutan untuk mencari teman-teman baru. Mencari teman yang cocok
bukanlah merupakan hal yang mudah. Apalagi biasanya teman-teman kuliah maupun di
tempat sekitar tinggal biasanya juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Gagal
mendapatkan teman yang sesuai bisa berakibat timbulnya perasaan kesepian. Berkaitan
dengan masalah teman dan pergaulan ini adalah masalah seksualitas. Mahasiswa secara
biologis seksualitasnya telah matang. Namun norma-norma sosial dan agama masih
3
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
menghalangi aktualitas perilaku seksual secara penuh. Ketika masih dalam lingkungan
keluarga sedikit banyak masih ada kontrol dari orang tua, saudara dan lembaga
kemasyarakatan (organisasi, masjid, gereja, dan perkumpulan remaja) yang membantu
remaja yang bersangkutan untuk mengatasi masalah seksualitasnya. Namun ditempat
yang baru, ketika mahasiswa yang bersangkutan dituntut untuk membuat keputusan dan
pilihan sendiri, seksualitas dapat muncul menjadi masalah yang serius.
Masalah keempat berhubungan dengan masalah perubahan relasi. Relasi dengan
orang tua, saudara dan teman sewaktu tinggal di rumah merupakan relasi yang bersifat
pribadi. Namun relasi-relasi tersebut berubah menjadi lebih bersifat fungsional ketika
menjadi mahasiswa. Relasi orangtua-anak, antar saudara, antar teman sepermainan
diganti dengan relasi dosen-mahasiswa, mahasiswa-mahasiwa dan sebagainya.
Perubahan relasi ini juga dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa. Masalah
kelima berkaitan dengan pengaturan waktu. Menjadi mahasiswa untuk sebagian orang
berarti bebas mengatur waktu menurut kehendaknya sendiri, karena tidak ada orang lain
yang mengontrol. Ketidakmampuan untuk mengontrol waktu antara kuliah, belajar,
bermain dan aktivitas lainnya dapat mengakibatkan munculnya masalah lain terutama
dengan kegiatan tugas belajarnya.
Masalah lainnya menyangkut nilai-nilai hidup. Berbagai macam orang yang
ditemui serta berbagai macam informasi yang diterima di perguruan tinggi yang
biasanya lebih terbuka, bisa mengakibatkan mahasiswa ynag bersangkutan mengalami
krisis nilai. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi selama ini dihadapkan dengan
nilai baru yang ditemui yang dirasa lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini,
kehidupan mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa
dampak negatif bagi kesejahteraanya. Masalah-masalah diatas menjadi sumber
tekanan/stres dan membangkitkan emosi tersendiri bagi mahasiswa. Bila mahasiswa
yang bersangkutan berhasil menangani tekanan-tekanan yang dihadapinya tersebut
dengan sukses, maka dia akan dapat menjalani kehidupannya dan perannya sebagai
mahasiswa dengan baik dan lancar. Namun bila mahasiswa tersebut gagal mengatasi
tekanan yang ada, maka peranannya sebagai mahasiswa dan kehidupan pribadinya akan
mengalami gangguan dan hambatan. Gangguan dan hambatan tersebut bermacam-
macam bentuknya, mulai dari kekurangmampuan untuk menunjukkan hasil yang
optimal dalam belajar atau gangguan-gangguan psikis, seperti gangguan suasana
perasaan (Maslim, 1998) yang berakibat munculnya simptom-simptom depresi.
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian diri menyebabkan mahasiswa
mengalami Depresi bahkan yang lebih berat sampai melakukan tindakan bunuh diri.
Beberapa kasus yang terjadi yang perlu mendapat sorotan terkait kesehatan mental pada
4
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
mahasiswa adalah maraknya kasus bunuh diri pada mahasiwa. Berita tentang seorang
mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta (PTS) di Bogor mengakhiri hidupnya
dengan menggantung diri di dalam kamar di Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor.
Mahasiswa tersebut meninggalkan surat yang isinya meminta maaf kepada keluarganya
karena korban merasa terlambat sukses dan terjerumus dalam narkoba, judi, dan
pergaulan bebas sehingga membuat korban menderita (liputan 6.com, nov 2017). Kasus
bunuh diri lainnya dikarenakan putus cinta juga terjadi di Buleleng, Bali.
Ketidakmampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dialami membuat
seseorang mengambil tindakan jalan pintas yaitu bunuh diri. Padahal apabila dicermati
lebih jauh dan mendapatkan penanganan sejak awal sebenarnya mereka dapat keluar
dari masalah yang dialami.
2. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang menitik beratkan pada
penelitian kepustakaan (library research) dengan mengkaji buku-buku, dan naskah
yang bersumber dari khazanah kepustakaan yang relevan dengan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini (Efendy, 1989: 192). Sumber data yang digunakan terbagi
menjadi dua bentuk primer dan sekunder. Data primer adalah buku yang dijadikan
pegangan utama berupa kajian Kesehatan mental pada mahasiswa . Sedangkan data
sekunder adalah naskah, artikel yang masih dianggap relevan dengan kajian penelitian
(Arikunto, 2006: 131). Metode analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif, yang
difungsikan untuk menentukan hubungan antar kategori dengan yang lain, melalui
interpretasi yang sesuai dengan peta penelitian yang dibimbing oleh permasalahan yang
sedang di kaji dalam tujuan penelitian untuk mewujudkan kontruksi teoritis sesuai
dengan permasalahan penelitian (Surakhmand, 1980: 93).
3. PEMBAHASAN
Pengertian Depresi Menurut National Instiutte Of Mental Health gangguan depresi adalah merupakan
suatu penyakit”tubuh menyeluruh” (Whole-Body), yang meliputi tubuh, suasana perasaan
(mood), dan pikiran. Seseorang yang terkena depresi berdampak pada cara makan dan tidur,
cara seseorang merasa mengenai dirinya sendiri dan cara orang berpikir mengenai sesuatu.
Menurut World Health Organization (WHO), gangguan depresi menempati urutan ke
empat penyakit di dunia. Pada tahun 2020 diperkirakan depresi akan menempati urutan ke
dua untuk beban global penyakit tidak menular. Menurut data Badan Kesehatan Dunia
meningkatnya depresi yang tidak dapat dikendalikan dapat
5
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
menyebabkan banyak orang untuk bunuh diri karena tidak mampu menghadapi beban
hidup. Mereka yang masih mampu bertahan hidup, akan mengalami keterbelakangan
mental. Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah masyarakat.
Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang dapat jatuh ke fase depresi. Orang
yang mengalami depresi umumnya mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi,
motivasi, fungsional, dan gerakan tingkah laku serta kognisi. Depresi adalah suatu
gangguan perasaan hati (afek) yang ditandai dengan afek distorik atau kehilangan minat
atau kegembiraan dalam aktivitas sehari-hari disertai dengan temuan-temuan lain
seperti gangguan tidur dan perubahan selera makan (Mengel & Schwiebert, 2001).
Gejala-gejala Depresi Menurut Hadi, penderita depresi dapat dikenali melalui beberapa gejala, yaitu :
a. Secara fisik mereka mengalami beberapa gangguan seperti : gerakan jadi lamban,
tidur tidak nyenyak, nafsu makan jadi menurun atau bahkan meningkat, gairah
seksual menurun bahkan bisa hilang sama sekali, dan lain-lain.
b. Kehilangan perspektif dalam hidupnya, pandangannya terhadap hidup, pekerjaan
dan keluarga menjadi kabur. Aaron Beck (dalam Hadi, 2004) menggambarkan hal
ini sebagai ”tiga kognisi”, pertama, terhadap dunia : cenderung melihat kekalahan,
kerugian dan penghinaan. Kedua, terhadap diri sendiri : menganggap diri kurang
baik, tidak layak dan tidak berharga. Menganggap diri bercacat, tidak diingini,
tidak berguna, dan menolak diri. Ketiga, terhadap masa depan : penuh dengan
kesukaran, frustrasi dan kerugian. c. Perasaan yang berubah-ubah dan sulit dikendalikan. Berbagai perasaan seperti
putus asa, kehilangan harapan, sedih cemas, rasa bersalah, apatis dan marah sering
muncul tak menentu dan menciptakan suasana hampa dan mati.
d. Beberapa gejala psikologis seperti kehilangan harga diri, menjauhkan diri dari
orang lain karena takut ditolak atau takut tanpa alasan dan ingin melarikan diri dari
masalah atau hidupnya sendiri bahkan menjadi peka secara berlebihan sering
dialami oleh mereka yang mengalami depresi. Davison, dkk menjelaskan bahwa memusatkan perhatian dapat menjadi sesuatu
yang sangat melelahkan bagi orang-orang yang mengalami depresi. Mereka tidak dapat
dengan mudah memahami apa yang mereka baca dan apa yang dikatakan orang pada
mereka. Percakapan juga dapat menjadi suatu pekerjaan yang melelahkan. Orang-orang
yang depresi berbicara dengan lambat, setelah lama terdiam, hanya menggunakan
beberapa kata dan nada suara rendah serta monoton. Banyak yang suka duduk sendirian
dan berdiam diri. Beberapa penderita lain merasa sangat bersemangat dan tidak dapat
6
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
duduk tenang. Mereka bergerak cepat, meremas tangan, selalu mengeluarkan suara
mengeluh dan menyampaikan keluhan. Bila orang depresi dihadapkan dengan suatu
masalah, mereka tidak dapat memikirkan cara menyelesaikannya. Setiap momen menjadi
sangat berat dan kepala mereka terus menerus dipenuhi dengan pikiran menyalahkan diri
sendiri. Orang-orang yang depresi dapat mengabaikan kebersihan dan penampilan diri serta
mengeluhkan berbagai simtom somatik tanpa gangguan fisik yang jelas, Sangat berkecil
hati dan benar-benar tidak memiliki harapan serta inisiatif, mereka selalu merasa khawatir,
cemas, dan pesimis hampir sepanjang waktu. Beck (1985) menyebutkan bahwa gangguan
depresi tidak hanya gangguan afektif saja tapi meliputi: manifestasi emosional, kognitif,
motivasional, dan manifestasi vegetatif juga fisik. a. Dalam simtom emosional diartikan sebagai perubahan pada perasaan penderita
atau pada perilaku luar yang disebabkan perasaannya, manifestasinya berupa
kesedihan, berkurang bahkan hilangnya kesenangan, apatis berkurang bahkan
hilangnya perasaan cinta terhadap orang lain, kecemasan, hilangnya respon
terhadap kegembiraan. b. Simtom kognitif mengandung tiga bagian yang berbeda. Bagian pertama sikap
penderita yang menyimpang terhadap diri, pengalaman dan masa depannya.
Simtom ini termasuk menilai jelek diri sendiri. Penderita meyakini bahwa dirinya
adalah sumber berbagai permasalahan. Bagian ke tiga ditandai dengan
ketidakmampuan penderita dalam mengambil keputusan. c. Simtom motivasional diartikan dengan tidak adanya keinginan untuk melakukan
berbagai aktivitas seperti makan dan minum obat, timbulnya hasrat untuk mati dan
meningkatnya ketergantungan pada orang lain. d. Simtom perilaku dan vegetatif merupakan refleksi dari simtom-simtom di atas,
meliputi gangguan tidur, kepasifan seperti tiduran selama berjam-jam, menarik diri
dari hubungan dengan orang lain, retardasi dan agitasi pada perilakunya, gangguan
nafsu makan/anoreksia, gangguan aktivitas seksual. Beck menghubungkan tingkat
keparahan depresi dengan simtom-simtom sebagai berikut :
1) Menurunnya selera makan Tahap ringan muncul berupa ketidakinginan individu untuk makan,
tahap sedang ditandai dengan benar-benar hilangnya selera makan dan
individu lupa makan tanpa disadarinya, tahap berat individu harus memaksa
diri sendiri atau dipaksa orang lain untuk makan (beberapa kasus
menunjukkan kebalikannya, individu makan berlebihan).
7
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
2) Gangguan tidur Tahap ringan ditandai apabila individu tidur dengan jumlah jam yang
lebih banyak dari biasanya dan individu menyadarinya. Beberapa kasus
menunjukkan kebalikannya, penderita bangun tidur lebih awal beberapa menit
sampai setengah jam dari biasanya. Tahap sedang ditandai apabila individu
bangun satu atau dua jam lebih awal dari biasanya. Tahap berat ditandai
apabila individu hanya tidur sekitar empat atau lima jam, mengalami kesulitan
untuk tidur kembali, sedangkan pada beberapa kasus individu tidak dapat
tidur sama sekali di malam hari.
3) Hilangnya gairah seksual Individu pada tahap ringan akan mengalami penurunan dalam merespon
Stimulus seksual, pada tahap sedang tidak memiliki hasrat seksual spontan
dan pada tahap berat individu benar-benar tidak memilki respon terhadap
stimulus seksual.
4) Timbulnya kelelahan Pada tahap ringan individu merasa cepat lelah dibanding dari biasanya,
tahap sedang penderita akan merasakan lelah saat bangun tidur pagi hari dan
tidak dapat diringankan dengan usaha-usaha seperti relaksasi, istirahat atau
rekreasi, pada tahap berat individu merasa terlalu lelah untuk melakukan
apapun. Dengan pemberian dorongan dari luar individu kadangkala mampu
mengerjakan tugas, tanpa dorongan dari luar individu tidak mampu
memobilisasi energi untuk mengerjakan tugas-tugas ringan sekalipun,
mengeluh bahwa ia tidak memiliki energi, bahkan untuk mengangkat tangan
sekalipun.
Depresi Sebagai Dampak Dari Gagalnya Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa
Mahasiswa merupakan individu yang berada pada masa usia perkembangan masa
dewasa awal, yang merupakan periode penuh dengan tantangan, penghargaan, dan
krisis (Potter n Perry, 2005). Michael dkk dalam penelitiannya kepada 1445 mahasiswa
menyebutkan bahwa mahasiswa mengalami gejala depresi sejak awal masa kuliah
dengan berbagai penyebab masalah, seperti masalah akademik, kesendirian, masalah
ekonomi, dan sulit membangun hubungan. Untari (2005) menyebutkan bahwa masalah-
masalah yang dihadapi mahasiswa bersifat akademis dan non akademis dapat
menimbulkan gangguan mental emosional.
Dengan hal-hal baru yang terdapat di lingkungan perguruan tinggi mahasiswa
butuh kesiapan secara psikologis maupun sosial. Karena penyesuaian diri menuntut
231
8
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
kemampuan mahasiswa untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya,
sehingga remaja merasa puas terhadap diri sendiri dan lingkungannya (Willis, 2005).
Penyesuaian diri sangat diperlukan oleh semua orang khususnya remaja karena menurut
(Santrock, 2002) kegoncangan dan perubahan diri banyak dialami oleh remaja, sehingga
tidak sedikit mahasiswa yang gagal dalam menyesuaikan diri di lingkungannya. Menjadi
mahasiswa bukanlah merupakan hal yang mudah bagi sebagian remaja yang lulus dari
Sekolah Menengah Atas, dan melanjutkan perguruan tinggi. Mahasiswa dituntut untuk
mampu melakukan penyesuai-penyesuaian diri dengan situasi dan tuntutan yang baru.
Apabila penyesuaian yang dilakukan mahasiswa buruk dengan kehidupan di Universitas
mungkin memaksa mahasiwa untuk meninggalkan lembaga (Mudhovozi, 2012).
Schneiders (1964) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu proses
yang melibatkan respon-respon mental serta perbuatan individu dalam upaya mengatasi
dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, frustrasi,
dan konflik-konflik dengan memperhatikan norma atau tuntutan lingkungan di tempat
individu tinggal. Menurut Sunarto dan Hartono (2008) individu yang mampu
melakukan penyesuaian diri akan mampu melakukan penyesuaian dengan menghadapi
masalah secara langsung, mampu melakukan penyesuaian dengan cara eksplorasi
(penjelajahan), mampu melakukan penyesuaian dengan cara trial and error, mampu
melakukan penyesuaian dengan substitusi (mencari pengganti), mampu melakukan
penyesuaian diri dengan menggali kemampuan diri, mampu melakukan penyesuaian
dengan belajar, mampu melakukan penyesuaian dengan perencanaan yang cermat, dan
mampu melakukan penyesuaian dengan inhibisi serta pengendalian diri. Seseorang
yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan memiliki emosi yang cenderung stabil,
menyadari penuh siapa dirinya, menerima dan mengenali kelebihan maupun
kekurangan yang ada pada dirinya dan mampu belajar dari pengalaman.
Seseorang yang telah berhasil menyesuaikan dirinya dengan baik menurut Baron
(dalam Sarwono dan Meinarno, 2009) memiliki daya tarik atau penampilan yang menarik,
memiliki sifat-sifat yang menyenangkan, sehingga memiliki interpersonal attraction yang
positif bagi orang lain. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Baron dan Byrne (dalam
Sarwono dan Meinarno, 2009) menyatakan bahwa orang lain akan lebih menyukai
seseorang yang memiliki perasaan senang, gembira dan mengucapkan kalimat yang
menyenangkan atau positif daripada seseorang yang memiliki perasaan negatif seperti kesal
dan marah. Perasaan senang dan gembira membuat individu lebih dapat berpikir lebih sehat
dan berperilaku dengan baik. Jadi, individu akan lebih mudah berinteraksi dengan orang
lain ketika dirinya merasa senang dan bahagia, sehingga dapat
9
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
lebih terbuka untuk melakukan komunikasi dibandingkan dengan seseorang yang
cenderung memiliki perasaan-perasaan negatif.
Pada umumnya, setiap individu cukup mampu mengatasi permasalahan-
permasalahan dalam hidupnya, meskipun mungkin ada beberapa peristiwa tertentu yang
cukup berat sehingga membutuhkan waktu yang agak lama untuk akhirnya bisa
melakukan penyesuaian. Ada juga yang membutuhkan pendampingan berupa saran,
nasehat, maupun dukungan dari keluarga dan teman yang mereka miliki. Bahkan
karena ketidakmampuan untuk melakukan penyesuaian tersebut justru menyebabkan
relasi-relasi yang mereka miliki semakin rusak sehingga sumber-sumber dukungan
tersebut maalah semakin berkurang dan akhirnya habis.Menurut Siswanto (2007:70)
Terdapat beberapa gejala yang dapat diamati pada individu yang mengalami kesulitan
dan gagal melakukan penyesuaian diri yang efektif. Gejala-gejala tersebut adalah : a. Tingkah laku yang “aneh, eksentrik”karena menyimpang dari norma atau standar
sosial yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Biasanya individu yang
bersangkutan menampakkan tindakan-tindakan yang tidak umum, aneh bahkan
dirasakan mengancam bagi sekitarnya sehingga orang2 di sekelilingnya
mengalami ketakutan dan tidak percaya pada individu yang bersangkutan. Ini
disebabkan karena tingkah laku yang dimunculkan tidak bisa diprediksi; b. Individu yang bersangkutan tampak memiliki kesulitan, gangguan atau
ketidakmampuan dalam melakukan penyesuaian diri secara efektif dalam
kehidupan sehari-hari. Ini tampak pada prestasinya yang tidak optimal dengan
potensi yang dimiliki;
c. Individu yang bersangkutan memiliki distres subyektif yang sering atau kronis.
Masalah-masalah yang umum bagi kebanyakan orang dan mudah diselesaikan menjadi
masalah yang luar biasa bagi individu tersebut. Misalnya, individu menjadi ketakutan
untuk menjalin relasi dengan orang lain, padahal orang umumnya tidak terlalu masalah
dalam menjalin hubungan. Distres subjektif tersebut pada akhirnya mengakibatkan
munculnya gejala-gejala lanjutan seperti kecemasan, panik, depresi
dan marah tanpa sebab yang jelas. Hasil penelitian dari Ashari & Hartati (2017) menyebutkan bahwa terdapat
hubungan antara stres, depresi dan kecemasan terhadap perilaku agresif. Individu yang
mengalami depresi lebih rentan untuk melakukan tindakan agresif atau marah tanpa ada
sebab yang jelas.
10
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
Penanganan Depresi Pada Mahasiswa Sebagai Dampak Dari Gagalnya
Penyesuaian Diri Untuk memiliki kesehatan mental yang prima, tidaklah mungkin terjadi begitu
saja. Selain menyediakan lingkungan yang baik untuk mengambangkan potensi, dari
individu sendiri dituntut untuk melakukan berbagai usaha menggunakan berbagai
kesempatan yang ada untuk mengembangkan dirinya. Individu perlu merefleksikan
kembali penyebab dari berbagai perilakunya, mengevaluasi kembali kehidupan
beragamanya, menggunakan berbagai sarana yang selama ini telah tersedia, yaitu
berbagai macam teknik konseling dan psikoterapi serta mengembangkan kebiasaan
pribadi, dalam hal ini dengan mencoba berlatih menggunakan sarana menulis untuk
mendeskripsikan emosi yang dialami. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
memberikan penanganan kepada mahasiswa yang mengalami gagal penyesuaian diri
hingga memiliki simptom depresi adalah sebagai berikut :
Konseling dan Psikoterapi Menurut Corsini (1989), konseling dan psikoterapi tidak berbada secara kualitatif,
tetapi pada tingkat kuantitatifnya. Corey (1988). Menggunakan istilah konseling untuk
menunjuk proses dimana klien diberi kesempatan untuk mengeksplorasi diri yang bisa
mengarah kepada peningkatan kesadaran dan kemudian memilih. Proses konseling
biasanya berjangka pendek, difokuskan pada masalah dan membantu individu untuk
menyingkirkan hal-hal yang menghambat pertumbuhannya. Konseling dimaksudkan
agar individu dibantu untuk menemukan sumber-sumber pribadi agar bisa hidup lebih
efektif. Sementara psikoterapi sering difokuskan pada proses-proses tidak sadar serta
lebih banyak berurusan dengan perubahan struktur kepribadian. Psikoterapi lebih
mengarah pada pemahaman diri yang intensif tentang dinamika-dinamika yang
bertanggung jawab atas terjadinya krisis-krisis kehidupan daripada hanya berurusan
dengan usaha mengatasi krisis kehidupan tertentu. Konseling lebih sebagai pemecahan
msalah yang disediakan oleh konselor (dominan pada tataran kognitif), sedangkan
psikoterapi lebih sebagai koreksi pengalaman emosi.
Tujuan Konseling dan Psikoterapi Memperkuat Emosi
Seringkali individu sebenarnya sudah memiliki pemecahan terhadap persoalan yang
diahdapinya. Namun yang terjadi adalah kurangnya keberanian untuk melaksanakan apa
yang sudah dipikirkan sebagai jalan keluar. Konseling disini berperan membantu individu
untuk memberikan dukungan, memperkuat keyakinanya bahwa jalan keluar yang dipikirkan
meruapakan alternatif yang memang layak untuk dicoba, dan
11
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
menunjukkan hal-hal positif yang berkaitan dengan dirinya sehingga diperoleh rasa
percaya diri yang lebih baik. Mengurangi Tekanan Emosi
Individu yang mengalami suatu persoalan yang dipendam cukup lama dan
bahkan menumpuk dari waktu ke waktu, akan menyebabkan menggumpalnya emosi
yang makin lama makin mengental dan membesar. Akibatnya cara berpikirnya menjadi
terganggu dan persepsinya terhadap persoalan yang sedang dihadapi dan bahkan
keseluruhan realita terpengaruh. Emosi yang tidak dapat dikeluarkan juga berdampak
pada gejala penyakit fisik seperti pusing, dada sesak, masalah pencernaan. Konseling
dalam hal ini membantu individu untuk mencapai katarsis, yaitu membantu individu
untuk melepaskan emosi yang selama ini ditahannya, memungkinkan individu itu
sendiri untuk mendapatkan jalan keluar dari persoalan yang selama ini dihadapi. Membantu Individu Mengembangkan Potensi yang Dimiliki
Konseling dan Psikoterapi pada dasarnya menyediakan kesempatan bagi individu
yang melakukannya untuk melakukan refleksi, introspeksi atau mawas diri yang
mendalam mengenai dirinya dan pengalaman hidupnya. Melalui proses yang dijalani,
banyak unsur-unsur pengalaman di masa lalu yang sebenarnya penting tapi kurang
begitu mendapatkan perhatian sebelumnya, akan bisa disadari dan dimunculkan
kembali. Ini berguna bagi individu untuk mengerti dirinya semakin mendalam dan
mengenali kemmapuan-kemampuan yang selama ini sudah ada dan sudah muncul tapi
kurang disadari. Selain itu konseling juga memungkinkan individu mengeskplorasi
kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukannya. Rasa aman yang muncul dalam
suasana konseling maupun psikoterapi membantu individu untuk menjadi lebih kreatif
dan berani menyingkapkan dirinya lebih dalam lagi. Ini pada akhirnya membantu
individu untuk bisa melihat keunikannya serta menyadari potensinya sendiri. Mengubah Struktur Kognitif
Persoalan tidak bisa dipecahkan dan masalah tidak bisa terselesaikan juga bisa
berkaitan dengan struktur kognitif individu yang bersangkutan. Ada individu yang begitu
kaku dalam memamndang kehidupan ini. Kehidupan hanya dilihat hitam dan putih saja,
benar dan salah serta serba pasti seperti matematika. Individu semacam ini seringkali
banyak menemui persoalan dan ketidakbahagiaan karena menemukan banyak hal yang
tidak sesuai dengan apa yang diperkirakan. Dia tidak mampu melihat persoalan dari sudat
pandang/perspektif yang lain. Tujuan konseling dan psikoterapi dalam hal ini adalah
membantu individu untuk menjadi toleran terhadap keberdwiartian, membantu individu
untuk mendapatkan pemahaman dan kesadaran bahwa kehidupan tidaklah hanya terdiri
12
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
dari hitam dan putih saja, banyak hal yang seringkali terlihat abu-abu sehingga sulit
dicari benar salahnya saja. Meningkatkan Pengetahuan dan Kapasitas Untuk Mengambil Keputusan dengan Tepat
Individu tidak selalu membuat keputusan yang tepat dan baik terkait dengan persoalan
yang dihadapi. Keputusan yang diambil dapat saja tidak sesuai dengan persoalan yang
sebenarnya. Keputusan itu tidak mengatasi persoalan bahkan dalam beberapa hal
semakin menambah tingkat keruwetan msalah. Kekurangmampuan dalam mengambil
keputusan yang tepat bisa terjadi bila individu tidak mendapatkan informasi atau
pengetahuan yang cukup mengenai sifat persoalan yang sedang dihadapi maupun
pengetahuan untuk melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda. Apalagi bila
persoalan yang timbul berkaitan dengan hal-hal yang bersumber yang timbul berkaitan
dengan hal-hal yang bersumber dari emosi. Konseling memungkinkan individu untuk
melihat keputusan dari sudut pandang yang berbeda. Konselor dapat berperan sebagai
cermin bagi individu untuk melihat suatu persolan dan bahkan mengandai-andai akibat dari keputusan yang akan diambil. Meningkatkan Hubungan Antar Pribadi
Suasana hangat yang terjalin selama proses konseling memungkinkan individu
untuk mengembangkan sikap lebih terbuka dan hangat terhadap orang lain. Pada
akhirnya tanpa disadari akan memungkinkan individu untuk muncul sebagai pribadi
yang lebih bisa menerima, lebih hangat dan lebih terbuka terhadap orang lain. Individu
menjadi terlihat lebih ramah selama mengikuti proses konseling dan ini membuat reaksi
sekitarnya pun berubah lebih positif. Hal ini juga dapat menjadi penguatan positif yang
baik bagi individu yang bersangkutan maupun lingkungannya.
Psikoterapi untuk Penanganan Depresi Terapi Obat
Ada tiga kategori utama obat-obat antidepresan yaitu a. Trisiklik, seperti imipramin (Tofranil) dan amitriptilin (Elavil) b. Penghambat pengembalian serotonin selektif (SSRI-Selective serotonin reuptake
inhibitors), seperti fluoksetin (Prozac) dan sertralin (Zoloft)
c. Penghambat monoamin oxidase (MAO), seperti tranilsipromin (Parnate) Meskipun
berbagai macam antidepresan mempercepat kesembuhan pasien terhadap suatu episode depresi, kekambuhan masih umum terajadi setelah pemberian obat-
obatan tersebut dihentikan, Reimher, dkk (dalam Davison, dkk 2006). Mengkonsumsi
imipramin terus menerus setelah sembuh bermanfaat untuk mencegah kekambuhan, bila
dosis yang diberikan untuk mempertahankan kesembuhan tersebut sama tingginya dengan
dosis efektif selama penanganan (bukannya lebih rendah, seperti
13
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
yang biasanya terjadi) dan selama menjalani terapi obat pasien dilibatkan dalam suatu penanganan psikologis. Terapi Electrokonvulsif
Davison, dkk (2006) menganggap bahwa penanganan yang paling dramatis dan
controversial untuk depresi parah adalah terapi elektrokonvulsif (ECT-
electroconvulsive therapy). ECT diciptakan oleh dua orang dokter berkebangsaan Italia,
Cerletti dan Bini, pada awal abad ke-20. dalam dekade-dekade berikutnya ECT
diberikan kepada pasien yang mengalami skizofrenia sekaligus depresi parah, biasanya
dilakukan di rumah sakit. Sebagian terbesar penggunaannya dewasa ini terbatas pada
individu yang mengalami depresi parah. Terapi psikodinamika.
Davison, dkk (2006) menjelaskan karena depresi dianggap terjadi karena rasa kehilangan yang direpres dan kemarahan yang secara tidak sadar diarahkan ke dalam diri,
terapi psikoanalisis berupaya membantu pasien memperoleh pemahaman atas
konflik yang direpres dan sering kali mendorong pelepasan agresivitas yang selama ini diasumsikan terarah ke dalam diri. Dalam bahasa yang paling umum tujuan terapi psikoanalisis adalah mengungkap motivasi laten atas depresi yang dialami pasien. Hanya terdapat sedikit penelitian mengenai efektivitas psikoterapi dinamika untuk menyembuhkan depresi. Craighead, dkk (dalam Davison, dkk 2006) dan hasilnya bervariasi, sebagian karena tingkat variabilitas yang tinggi diantara berbagai pendekatan dalam psikoterapi psikodinamika atau psikoanalisis. Inti terapi adalah membantu pasien yang mengalami depresi mempelajari bagaimana perilaku interpersonalnya saat ini dapat menjadi hambatan untuk mendapatkan kegembiraan dalam hubungan dengan orang lain. Contohnya, pasien dapat diajari untuk memperbaiki komunikasi dengan orang lain agar kebutuhannya dapat terpenuhi dengan lebih baik dan agar memperoleh interaksi dan dukungan sosial yang lebih memuaskan. Terapi psikodinamika ini tidak bersifat sangat intrapsikis. Terapi ini menitikberatkan pada pemahaman yang lebih baik terhadap berbagai masalah interpersonal yang diasumsikan memicu terjadinya depresi dan bertujuan memperbaiki hubungan dengan orang lain. Fokusnya terletak pada komunikasi yang lebih baik, pengujian realitas, mengembangkan keterampilan sosial yang efektif, dan memenuhi persyaratan sosial saat ini. Terapi kognitif dan perilaku
Untuk menyesuaikan dengan teori kognitif tentang depresi yang telah disusun, bahwa
kesedihan mendalam dan harga diri yang hancur yang dialami para individu yang menderita
depresi disebabkan oleh skema negatif dan kesalahan pola pikir, Beck dkk (dalam Davison,
dkk 2006) menyusun terapi kognitif yang bertujuan untuk mengubah
14
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
pola pikir maladaptif. Terapis mencoba mempersuasi orang yang depresi untuk
mengubah pendapatnya tentang berbagai peristiwa dan tentang dirinya sendiri. Beck
(dalam Davison, dkk 2006) juga melibatkan berbagai komponen behavioral dalam
penanganan depresi yang dilakukannya. Terutama pada saat klien dalam kondisi sangat
depresi, Beck mendorongnya untuk melakukan berbagai hal, seperti bangun dari tempat
tidur pada pagi hari atau pergi berjalan-jalan. Ia memberikan tugas-tugas untuk
melakukan aktivitas pada para pasiennya agar mereka memperoleh pengalaman
keberhasilan dan memungkinkan mereka menilai baik diri mereka sendiri. Namun, titik
berat secara keseluruhan terletak pada restrukturisasi kognitif, mempersuasi pasien
untuk berpikir secara berbeda. Jika perubahan perilaku yang tampak akan membantu
mencapai tujuan tersebut.
Adapun penanganan depresi melalui terapi kognitif dan perilaku diantaranya
adalah Penelitian Retnowati meneliti tentang depresi pada mahasiswa dengan
menggunakan terapi kognitif dan terapi perilakuan, tujuan dari penelitian Retnowati
tersebut menguji perbedaan efek antara terapi kognitif dan terapi perilakuan dalam
menurunkan depresi pada mahasiswa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa adanya
perbedaan simtom depresi pada kelompok kognitif antara sebelum dan setelah diberi
terapi, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kelompok terapi kognitif menunjukkan
penurunan simtom depresi, yang ditunjukkan dengan menurunnya skor BDI maupun
ZSRS, setelah diberi terapi dibandingkan dengan sebelum diberi terapi.
4. KESIMPULAN
Kegagalan seorang mahasiswa dalam menyesuaikan diri dengan persoalan atau
situasi yang dihadapi ketika memasuki perguruan tinggi dalam jangka panjang
berakibat munculnya gangguan mental pada diri mahasiswa yang bersangkutan. Akibat
dari gangguan mental berpengaruh terhadap mahasiswa yang bersangkutan, keluarga
maupun masyarakat sekitarnya. mahassiwa yang mengalami gangguan mental menjadi
kurang bisa berperan optimal dan dalam tingkatan tertentu menjadi tidak prosuktif serta
menjadi beban keluarga dan masyarakat. Salah satu gangguan mental yang dialami
mahassiwa sebagai dampak ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri adalah
“depresi”. Beberapa penanganan yang dapat diberikan sebagai wujud pencegahan
munculnya simptom depresi pada mahasiswa adalah melalui kegiatan konseling dan
psikoterapi. Beberapa macam terapi yang dapat diberikan adalah melalui : Terapi obat,
Terapi ECT, Terapi Psikodinamika serta CBT .
15
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BK PERGURUAN TINGGI
BANDUNG, 6 APRIL 2018
5. DAFTAR PUSTAKA Alisjahbana, A, Brouwer , dkk. (1983). Menuju Kesejahteraan Jiwa. Jakarta : Penerbit
PT Gramedia Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Sebuah Pendekatan Praktik, Jakarta :
Penerbit Rineka Cipta.
Ashari, A. M., & Hartati, S. (2017) . Hubungan Antara Stres, Kecemasan, Depresi
Dengan Kecenderungan Aggressive Driving Pada Mahasiswa. Empati, 6(1), 1-6.
Beck, Aaron T. (1985). Depression, Causes and Treatment. Philadelphia : University of
Pennsylvania press
Corey, G. (1988). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung : Penerbit PT
Eresco
Corsini, R.J. (1989). Current Psychotherapies (4 th. Ed). Itasca, III : Peacock
Davinson, dkk. (2004). Psikologi Abnormal (Edisi 9). Jakarta : Rajawali Pers
Effendy, Uchjana Onong. (1989). Hubungan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hadi, P. (2004). Depresi dan solusinya. Yogyakarta : Tugu publisher
Maslim, R. (1998). Penuntun Praktis Diagnosis dan Terapi Sindroma Somatik
Psikogenik, Semarang : Simposium Penatalaksanaan Mutakhir Psikosomatik
Mengel, M. B., & Schwiebert, L. P. (2001). Ambulatory medicine: the primary care of
families. McGraw-Hill/Appleton & Lange. Mudhovozi, P. (2012). Social and academic adjustment of first-year university
students. Journal of Social Sciences, 33(2), 251-259. Potter n Perry. (2005).
Fundamental Keperawatan, Jakarta : EGC Santrock. (2002). Perkembangan Anak Jilid 1. Jakarta : PT Erlangga
Sarwono, S. W., & Meinarno, E. A. (2009). Psikologi sosial. Jakarta: Salemba
Humanika, 77.
Schneider Alexander A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York:
Winston.
Siswanto. (2007). Kesehatan Mental : Konsep, Cakupan dan Perkembangannya.
Yogyakarta : Andi Offset
Sunarto, H., & Hartono, A. (2008). Perkembangan peserta didik. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Surakhmad, Winarno. (1980). Metodologi Pengajaran Nasional, Bandung: Jemmars.
Untari, TD. (2005). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan terjadinya depresi pada mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
Willis, S. S. (2005). Remaja dan permasalahannya. Bandung: Alfabeta.
16