prroo poossaall npeenneelliittiiaan p en nee llii...
TRANSCRIPT
i
MAK :018.09.648680.1800.19.050
PPRROOPPOOSSAALL PPEENNEELLIITTIIAANN
PPEENNEELLIITTIIAANN PPEENNGGEEMMBBAANNGGAANN TTEEKKNNOOLLOOGGII
PPEENNGGEELLOOLLAAAANN LLAAHHAANN SSUUBBOOPPTTIIMMAALL DDII LLAAMMPPUUNNGG
UUNNTTUUKK MMEENNIINNGGKKAATTKKAANN PPRROODDUUKKTTIIVVIITTAASS KKEEDDEELLAAII
Dr. Wiwik Hartatik
Satker 648680
BALAI PENELITIAN TANAH BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2012
ii
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPT : Penelitian Pengembangan Teknologi Pengelolaan Lahan Suboptimal di Lampung untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai
2. 3. 4. 5. 6.
Unit Kerja Alamat Unit Kerja Sumber Dana Status Penelitian (L/B) Penanggungjawab
: : : : :
Balai Penelitian Tanah Jln. H. Juanda 98 Bogor DIPA/RKAKL Satker: Balai Penelitian Tanah Tahun Anggaran 2012 Lama
a. N a m a : Dr. Wiwik Hartatik
b. Pangkat/Golongan : Pembina Utama Muda/ IV/c
c. Jabatan : Peneliti Madya
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Lokasi Agroekosistem Tahun Mulai Tahun Selesai Output Tahunan Output Akhir Biaya
: : : : : : : :
Lampung Lahan kering T.A. 2011 T.A. 2014 1. Satu paket informasi karakteristik lokasi on farm 2. Satu paket teknologi ameliorasi dan pemupukan
untuk meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan suboptimal
3. Satu paket teknologi konservasi tanah pada lahan suboptimal untuk meningkatkan produktivitas tanaman kedelai
Paket teknologi pengelolaan lahan suboptimal pada tanaman kedelai yang berkelanjutan dan menguntungkan melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Rp. 181.000.000 (Seratus delapan puluh satu juta rupiah)
Koordinator Program Penanggung jawab RPTP Dr. Husnain Dr. Wiwik Hartatik NIP. 19730910 100112 2 001 NIP. 19620416 198603 2 001 Mengetahui : Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Kepala Balai Penelitian Tanah
iii
Dr. Ir. Muhrizal Sarwani, MSc Dr. Ir. Sri Rochayati, MSc NIP.19600329 198403 1 001 NIP. 19570616 198603 2 001
RINGKASAN USULAN PENELITIAN 1. a. Judul RPTP : Penelitian Pengembangan Teknologi Pengelolaan Lahan
Suboptimal di Lampung untuk Meningkatkan Produktivitas Kedelai
b. Judul kegiatan :
1. Penelitian on-farm Research teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan produktivitas kedelai
2. Penelitian ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan suboptimal
3. Penelitian inovasi teknologi konservasi tanah untuk peningkatan produktivitas kedelai di lahan suboptimal
2. Nama dan alamat unit Kerja
: Balai Penelitian Tanah Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123
3. Sifat Usulan Penelitian : Lama
4. Penanggungjawab : Dr. Wiwik Hartatik
5. Justifikasi : Lahan suboptimal mempunyai kesuburan tanah (sifat fisik, kimia dan biologi tanah) yang rendah. Kendala untuk budidaya kedelai pada lahan suboptimal (tanah mineral masam) yaitu kandungan Al dapat ditukar yang tinggi, pH masam, kandungan bahan organik, basa-basa dapat ditukar, kejenuhan basa, kapasitas tukar kation yang rendah dan adanya fiksasi P yang tinggi. Penerapan pengelolaan lahan (ameliorasi, pemupukan, konservasi tanah dan pengelolaan air) terhadap tanaman kedelai pada lahan suboptimal belum optimal.
6. Tujuan :
a. Jangka pendek : 1. Merakit teknologi pengelolaan lahan suboptimal melalui penerapan pengelolaan hara secara terpadu
2. Mendapatkan teknologi konservasi tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.
b. Jangka panjang : Mengembangkan teknologi pengelolaan lahan suboptimal pada
tanaman kedelai yang berkelanjutan dan menguntungkan melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah.
7. Luaran yang diharapkan
:
a. Jangka pendek : 1. Satu paket informasi karakteristik lokasi on farm 2. Satu paket teknologi ameliorasi dan pemupukan untuk
meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan suboptimal
iv
3. Satu paket teknologi konservasi tanah pada lahan suboptimal untuk meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.
b. Jangka panjang : Paket teknologi pengelolaan lahan suboptimal pada tanaman kedelai yang berkelanjutan dan menguntungkan melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah, sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
8. Outcome : Peningkatan produktivitas tanaman kedelai dan pendapatan petani pada lahan suboptimal melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah.
9. Sasaran akhir : Mengembangkan teknologi pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah yang tepat dan efisien untuk meningkatkan produksi kedelai dan pendapatan petani pada lahan suboptimal.
10. Lokasi penelitian : Lampung
11. Jangka waktu : 4 tahun, mulai T.A. 2011, berakhir T.A. 2014
12. Sumber dana : DIPA/RKAKL Satker: Balai Penelitian Tanah, T.A. 2012
v
SUMMARY
1. Title of RPTP/RDHP
: Research and Development of Suboptimal Land Management Technology to Increased Productivity Soybean in Lampung
2. Implementation unit : Indonesia Soil Research Institute (ISRI)
Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123
3. Location : Lampung
4. Objective
a. Short term : 1. To assemble land management technology on sub optimal land through nutrient management
2. To assemble soil conservation which it can increase soybean productivity.
b. Long term : To increase land management technology of sub optimal land on soybean productivity continuesly and profitable through the implementation of nutrient management and soil conservation.
5 Expected output
a. Short term : 1. 1 packet characteristic information of on farm location
2. 1 packet technology of amelioration and fertilization that can increase soybean productivity
3. 1 packet technology of soil conservation on suboptimal land that can increase soybean productivity
b. Long term : Sustainable and profitable technology of land management on suboptimal land through the implementation of nutrient management and soil conservation to increase soybean productivity and farmer’s income.
6. Outcome : Increasing of soybean productivity and farmer’s income on suboptimal land through the implementation of nutrient management and soil conservation.
7. Final Goal : To develop technology of nutrient management and soil
conservation in order to increase soybean productivity more
than 20% and farmer’s income on sub optimal land.
7. Duration : 4 years, from F.Y 2011 to F.Y 2014
8. Budget/ fiscal year : 200,000,000 IDR
9. Source of budget : DIPA/RKAKL 648680 Indonesia Soil Research Institute (ISRI), Fiscal Year 2012
vi
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh potensi sumberdaya lahan
dan teknologi pengelolaan lahan yang tepat. Indonesia mempunyai potensi sumberdaya lahan
yang sangat besar untuk petanian, namun karena teknologi pengelolaan lahan belum diterapkan
secara optimal maka potensi sumberdaya lahan juga belum dapat dimanfaatkan secara optimal
pula.
Kedelai merupakan salah satu komoditas strategis untuk memenuhi kebutuhan pangan
dan industri. Kebutuhan kedelai di Indonesia terus meningkat dibandingkan tingkat produksi
nasional, bahkan 10 tahun terakhir cenderung menurun baik luas panen maupun produksinya,
sehingga harus dipenuhi dari impor. Luas panen kedelai Pada tahun 2008 sebesar 549.412 ha
dengan produksi sebesar 723.535 ton tidak mencukupi kebutuhan kedelai nasional sekitar 2,12
juta ton pada tahun 2006 (BPS, 2008).
Peluang untuk peningkatan produksi kedelai cukup besar karena sumberdaya lahan
Indonesia sekitar 94,1 juta ha diantaranya merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian, untuk
tanaman semusim di lahan kering seluas 25,1 juta ha. Berdasarkan kesesuaian lahan untuk
tanaman kedelai di 17 provinsi menunjukkan bahwa terdapat lahan yang sesuai untuk kedelai
seluas 16,7 juta ha, dominan berada di lahan sawah sekitar 5 juta ha dan lahan terlantar seluas
5,5 juta ha, sisanya berada di lahan tegalan, perkebunan dan kebun campuran (Mulyani et al.,
2009).
Lahan suboptimal didefinisikan sebagai lahan yang telah mengalami degradasi atau lahan
yang mempunyai tingkat kesuburan yang rendah dan tidak dapat mendukung pertumbuhan
tanaman secara optimal. Lahan suboptimal terdiri dari tanah mineral dan tanah rawa. Untuk
tanah mineral diantaranya dapat berupa tanah mineral masam baik lahan kering maupun lahan
sawah bukaan baru.
Salah satu lahan suboptimal yang diusahakan untuk tanaman kedelai yaitu lahan kering
masam. Luas lahan kering masam di Indonesia sekitar 102,8 juta hektar yang tersebar di
Kalimantan (39 juta ha), Sumatera (29 juata ha), Papua dan Maluku (21 juta ha) serta Bali dan
NTT (102 juta ha) (Puslittanak, 2000). Lahan kering masam Ultisols dan Oxisols sebesar 59,9 juta
ha menempati areal terluas di Indonesia. Lahan tersebut umumnya merupakan lahan suboptimal
untuk budidaya tanaman kedelai karena reaksi tanah masam, kadar Al dapat ditukar dan fiksasi P
tinggi, kandungan bahan organik, basa-basa dapat ditukar, kapasitas tukar kation dan kejenuhan
2
basa dan aktivitas biologi yang rendah. Faktor pembatas sifat fisik tanah yaitu BD tanah yang
tinggi, kapasitas menahan air yang rendah dan mudah memadat.
Lahan suboptimal berupa lahan kering berlereng umumnya relatif peka terhadap erosi,
namun sebagian besar petani belum menerapkan praktek konservasi tanah. Rendahnya
penerapan teknik konservasi tanah pada usahatani disebabkan sulit dalam pengerjaannya, lebih
banyak memerlukan tenaga kerja dan mengurangi populasi tanaman (Haryati et al., 2000).
Praktek pengelolaan lahan oleh petani pada lahan suboptimal berlereng diharapkan dapat
menerapkan teknik konservasi tanah dan air yang murah dan mudah dilaksanakan sesuai dengan
indegenous knowledge para petani. Praktek pengelolaan lahan tanpa menerapkan teknik
konservasi, umumnya rentan menimbulkan erosi dan aliran permukaan tanah (run-off) yang
besar. Besarnya erosi, aliran permukaan dan kehilangan hara disebabkan karena pada umumnya
petani belum sepenuhnya melakukan praktek konservasi tanah.
Praktek pemupukan di tingkat petani sangat bervariasi, mulai dari input rendah sampai
sedang. Untuk tanaman kedelai biasanya petani masih menggunakan pupuk N dengan dosis
berlebih sebaliknya untuk pupuk P dan K diberikan dengan dosis terbatas. Sering kali suatu jenis
unsur diberikan secara berlebihan sedangkan unsur lain diberikan kurang, sehingga efisiensi
penggunaan pupuk menjadi rendah. Lahan suboptimal umumnya mempunyai kadar C organik
yang rendah sehingga pemberian pupuk kandang sangat diperlukan, namun sebagian petani
dalam budidaya kedelai tidak memberikan pupuk kandang.
Pemupukan yang berimbang (berdasarkan status hara) adalah pemberian pupuk yang
memperhatikan status hara tanah dan kebutuhan tanaman untuk mendukung tingkat produksi
tertentu dalam bentuk pupuk anorganik, organik dan pupuk hayati. Disamping pemupukan rotasi
tanaman dalam budidaya kedelai perlu diperhatikan dalam rangka pengendalian hama dan
penyakit tanaman tertentu (soil born disesease). Selama ini banyak petani melakukan
penggunaan pestisida secara berlebihan, sehingga menyebabkan penurunan atau musnahnya
beberapa biota tanah dan pencemaran lingkungan.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas kedelai pada lahan suboptimal maka diperlukan
pengelolaan lahan yang memperhatikan penerapan pengelolaan hara secara terpadu baik dari
sumber pupuk anorganik, organik dan hayati yang berdasarkan konsep pemupukan berimbang
serta teknik konservasi tanah dan pengelolaan air yang tepat.
3
1.2 Dasar Pertimbangan
1. Lahan suboptimal merupakan salah satu lahan yang dapat dimanfaatkan untuk usahatani
pertanian khususnya untuk tanaman kedelai.
2. Sebagian lahan suboptimal terdapat pada agro-ekosistem yang umumnya didominasi
oleh lahan dengan kemiringan yang relatif curam dengan intensitas curah hujan tinggi
3. Jenis tanah pada lahan suboptimal umumnya pada tanah Ultisol dan Oxisol yang
mempunyai kesuburan tanah rendah diantaranya kadar bahan organic rendah, pH
masam, kandungan aluminium dapat ditukar yang tinggi dan fiksasi P oleh oksida besi
dan aluminium, basa-basa dapat ditukar, kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang
rendah. Sifat fisik ultisol yang buruk tanah diantaranya berkadar liat tinggi, draenasi buruk
dan rentan terhadap erosi.
4. Pengelolaan lahan suboptimal untuk tanaman kedelai umumnya belum optimal, antara
lain belum menerapkan ameliorasi, pengelolaan hara terpadu (kombinasi pupuk
anorganik, organik dan pupuk hayati) dan kaidah konservasi tanah yang tepat, sehingga
produktivitas tanah dan tanaman rendah.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai teknologi
pengelolaan lahan suboptimal untuk tanaman kedelai yang lumintu dan menguntungkan
(sustainable and profitable vegetables farming system). Teknologi ini diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas tanaman, pendapatan petani, dan memelihara kualitas lingkungan
pertanian. Pendekatan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah dengan memadukan
pendekatan pengelolaan hara tanah dan konservasi tanah dalam suatu hamparan sentra
produksi
kedelai. Dari penelitian ini diharapkan agar hara tanaman dapat diberikan secara seimbang dan
kehilangan hara baik melalui pencucian maupun erosi dapat diminimalkan.
Untuk mengetahui pengelolaan lahan terhadap peningkatan produktivitas tanaman kedelai
yaitu dengan membandingkan tingkat produktivitas kedelai pada perlakuan praktek petani dan
introduksi/perbaikan teknologi. Dari segi produktivitas lahan dapat dilihat dari perbaikan
kesuburan tanah (sifat kimia, fisika dan biologi tanah) pada perlakuan penerapan pemupukan
berimbang dan teknik konservasi tanah. Perbaikan dosis pemupukan yang berdasarkan status
hara tanah dan kebutuhan tanaman dapat menurunkan biaya produksi melalui peningkatan
efisiensi pemupukan sehingga pendapatan petani meningkat.
4
1.3. Tujuan
- Jangka tahunan:
3. Merakit teknologi pengelolaan lahan suboptimal melalui penerapan pengelolaan hara secara
terpadu
4. Mendapatkan teknologi konservasi tanah yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman
kedelai.
- Jangka panjang:
Mengembangkan teknologi pengelolaan lahan suboptimal pada tanaman kedelai yang
berkelanjutan dan menguntungkan melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan
konservasi tanah.
1.4. Luaran yang diharapkan
- Jangka tahunan:
1. Satu paket informasi karakteristik lokasi on farm.
2. Satu paket teknologi ameliorasi dan pemupukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai
pada lahan suboptimal.
3. Satu paket teknologi konservasi tanah pada lahan suboptimal untuk meningkatkan
produktivitas tanaman kedelai.
- Jangka Panjang:
Paket teknologi pengelolaan lahan suboptimal melalui penerapan pengelolaan hara terpadu
dan konservasi tanah pada tanaman kedelai yang berkelanjutan dan menguntungkan,
sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani.
1.5. Perkiraan manfaat dan dampak
Pengelolaan lahan melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan teknik konservasi
tanah mampu meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas kedelai serta meningkatkan
pendapatan petani. Kegiatan penelitian di lahan petani memungkinkan komunikasi yang intensif
dengan petani dan petani dapat melihat, memahami dan mempraktekkan teknologi pengelolaan
lahan yang tepat sehingga adopsi teknologi meningkat.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka teoritis
Lahan suboptimal merupakan lahan yang mempunyai tingkat kesuburan rendah atau
lahan yang telah mengalami penurunan produktivitas/terdegradasi yang tidak mampu
mendukung pertumbuhan tanaman diatasnya secara optimal. Lahan suboptimal umumnya
mempunyai kandungan C organik yang rendah, kandungan hara makro dan mikro yang rendah,
sifat fisik tanah yang padat dan terbatasnya aktivitas mikroorganisme. Untuk meningkatkan
produktivitas tanah pada lahan suboptimal khususnya untuk budidaya kedelai yaitu dengan
pengapuran untuk mencapai kejenuhan Aluminium 20% dan pemberian bahan organik. Pada
umumnya petani kedelai belum menerapkan pemupukan berimbang dan teknik konservasi tanah.
Sebagian petani memupuk kedelai hanya dengan urea dan SP-36 tanpa disertai penggunaan
pupuk KCl, pupuk organik, pupuk hayati dan kapur, sehingga pertumbuhan tanaman kedelai
kerdil dan produksinya rendah.
Penggunaan kapur atau dolomit dan pupuk organik telah terbukti mampu meningkatkan
produktivitas Lahan suboptimal (lahan kering masam) dan mampu meningkatkan efisiensi
pemupukan. Penelitian yang dilakukan Hartatik dan Sri Adiningsih (1987) menggunakan tanah
Tropudult dari Sitiung, pemberian pupuk hijau Crotalaria juncea 20 ton/ha dan pengapuran 1x Al-
dd meningkatkan hasil kedelai. Pengaruh pemberian kapur sampai 2 x Al-dd berkurang setelah
mencapai maksimum, berturut-turut pada takaran 6,5; 5,7; 4,8 dan 4,2 ton CaCO3/ha dan pada
takaran pupuk hijau 5, 10, 15, dan 20 ton/ha. Semakin tinggi takaran pupuk hijau yang
diberikan, semakin rendah kapur yang dibutuhkan untuk mencapai takaran maksimum.
Pemberian pupuk hijau dapat mengurangi jumlah kebutuhan kapur, meniadakan pengaruh buruk
aluminium dan meningkatkan ketersediaan fosfat. Burbey et al, (1988) menyatakan bahwa
pemberian bahan organik 5 ton/ha dan kapur 3 ton/ha dapat meningkatkan hasil kedelai 2 kali
lipat dibandingkan kontrol. Pemberian pupuk NPK disertai pupuk hijau dan kapur meningkatkan
hasil jagung, ubi kayu dan padi gogo lebih dari 3 kali lipat dibandingkan kontrol (Vy dan Trong
Thi, 1989). Abdurachman et al (2000) melaporkan pemberian beberapa jenis pupuk kandang
sapi, kambing dan ayam dengan takaran 5 ton/ha pada Ultisol Jambi nyata meningkatkan kadar
C-organik tanah, hasil jagung dan kedelai.
Lahan suboptimal umumnya mempunyai sifat fisik tanah yang padat sehingga diperlukan
pengolahan tanah dan penerapan teknik konservasi tanah yang tepat agar ketersediaan air
meningkat dan aliran permukaan dan erosi tanah berkurang. Dari aspek konservasi tanah
6
dilakukan penerapan pengolahan tanah dan teknik konservasi tanah yang ditujukan untuk
mengurangi aliran permukaan dan erosi tanah serta meningkatkan kelembapan tanah.
Penggunaan mulsa pada tanah Latosol Citayam, Bogor dan Podsolik Lampung dapat
mempengaruhi suhu tanah, kemampuan tanah menahan air, kekuatan penetrasi, kemantapan
agregat dan aerasi tanah. Mulsa dapat mengurangi kisaran suhu maksimum dan minimum tanah
(Suwardjo, 1981).
Dalam penelitian ini untuk memperbaiki atau meningkatkan produktivitas lahan
suboptimal akan dilakukan pemberian kapur untuk mencapai kejenuhan Al 20% dan bahan
organik ditujukan untuk memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologi tanah serta efisiensi
pemupukan. Penerapan konsep pemupukan berimbang yaitu pemupukan yang berdasarkan
status hara tanah dan kebutuhan tanaman kedelai melalui pengelolaan hara secara terpadu dari
sumber pupuk anorganik, organik dan hayati.
2.2. Hasil-hasil Penelitian
Hasil penelitian dan pengembangan teknologi pengelolaan lahan suboptimal untuk
meningkatkan produktivitas kedelai pada T. A. 2011 menunjukkan bahwa pada onfarm research
perlakuan praktek petani memberikan hasil biji kedelai lebih rendah dari perlakuan praktek petani
yang diperbaiki dan perlakuan introduksi teknologi ameliorasi, pemupukan dan konservasi tanah.
Perbaikan cara pemupukan dengan dilarik dan aplikasi mulsa jerami mampu meningkatkan
produksi kedelai. Hasil penelitian super imposed ameliorasi dan pemupukan menunjukkan bahwa
dolomit memberikan pertumbuhan tanaman kedelai lebih baik dari soil neutralizer. Pemberian
rizobium, pupuk NPK dan pupuk organik nyata meningkatkan hasil tanaman kedelai. Hasil
penelitian super imposed inovasi teknologi konservasi air untuk peningkatan produktivitas kedelai
di lahan suboptimal menunjukkan bahwa secara statistik tidak terjadi interaksi nyata antara
perlakuan pemberian mulsa dengan pembenah tanah. Pemberian mulsa konvensional dan
Biochar memberikan pertumbuhan kedelai yang cukup baik.
Pemanfaatan bahan organik merupakan salah satu teknologi yang dapat diaplikasikan
dalam pengelolaan lahan kering masam. Hasil penelitian yang dilaksanakana oleh Basri dan Zaini
(1992) pada Oxisol Sitiung dan Taman Bogo menunjukkan bahwa penggunaan pupuk NPK yang
dikombinasikan dengan pupuk hijau dan kapur menunjukkan respon yang nyata secara statistik
dalam meningkatkan hasil padi. Penggunaan pupuk hijau yang berat keringnya sama dengan
berat kapur ternyata memberikan hasil padi setara dengan penggunaan kapur. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk hijau dapat mensubstitusi sebagian kebutuhan kapur.
7
Hasil demonstrasi plot penggunaan BioPhos untuk tanaman kedelai di 12 lokasi
transmigrasi Lambale, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, menunjukkan bahwa penggunaan
BioPhos pada pemupukan takaran rekomendasi pola bantuan (100 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50
kg KCl) meningkatkan hasil kedelai sebesar 12,5%. Selanjutnya penggunaan BioPhos pada
setengah takaran pola bantuan (50 kg Urea, 25 kg SP-36 dan 25 kg KCl) mampu meningkatkan
hasil kedelai sebesar 28,3% (Kurnia et al., 2004).
Selain melalui aplikasi bahan organik, teknologi lainnya yang dapat diterapkan di lahan
suboptimal yaitu melalui pemanfaatn tanaman legum yang nantinya juga akan berperan sebagai
sumber bahan organik. Budidaya tanaman legum stylo (Stylosanthes guyanensis, cultivar CIAT
184) dapat dilaksanakan dalam sistem pertanian lahan kering, dimana budidaya tanaman legum
ini dapat memperbaiki kesuburan tanah. Hasil penelitian terkait dengan hal tersebut diatas yang
dilakukan oleh Santoso et al., (2001) menunjukkan bahwa hasil pangkasan stylo yang berkisar
antara 1 – 5 t.ha-1 dan biomassa ini mempunyai kandungan hara yang bagus, dimana kandungan
P-nya termasuk tinggi. Hasil biomassanya yang tinggi pada tanah mineral masam memberikan
harapan karena dapat dikembalikan langsung ke tanah sebagai mulsa atau digunakan sebagai
pakan ternak.
Untuk melengkapi paket teknologi yang diterapka pada lahan sub optimal, maka dilakukan
juga penerapan teknik konservasi tanah. Hasil penelitian penerapan teknik konservasi tanah
untuk pencegahan erosi pada tanah masam, terutama pada Ultisols dengan kemiringan antara 3
– 15% menunjukkan hasil yang nyata (Tabel 1). Strip rumput, teras gulud dan sisa-sisa tanaman
berupa jerami padi, batang dan daun jagung serta hijauan lainnya yang digunakan sebagai mulsa
di atas permukaan tanah mampu menurunkan erosi 80 hingga 100% (Kurnia et al., 2004).
Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan sub optimal juga dapat dilakukan dengan
menggunakan varietas tanaman yang toleran dengan kondisi lahan sub optimal. Berdasarkan
hasil penelitian dari Badan Litbang Pertanian menginformasikan bahwa untuk komoditi kedelai
yang sesuai untuk dibudidayakan di lahan sub optimal adalah varietas Leuser dan Kawi. Dimana
kedua varietas tersebut tergolong agak tahan terhadap penyakit karat dan sesuai untuk
dibudidayakan pada tanah masam (Hafsah, 2003).
8
Tabel 1. Pengaruh teknik konservasi terhadap erosi pada beberapa tanah masam (Ultisols dan Oxisols) Sumsel, Lampung dan Jawa Barat.
Konservasi tanah Ultisols Batumarta (Sumsel)a
Ultisols Metro (Lampung)b
Oxisols Bogor (Jabar)c
Ultisols Jasinga (Jabar)d
------------------------t/ha/tahun---------------------------- Kontrol 423,6 97,7 340,7 115,2 Teras bangku 4,7 - - - Strip rumput bede - - 10,6 - Hedgerow F. Congesta
- - - 29,0
Mulsa sisa tanaman 46,2 0,3 - 6,9 aAbdurachman et al., 1985; bSudirman et al., 1986; cAbujamin et al., 1983; dUndang Kurnia,
1996
Sunarlim et al., (2000), menyatakan bahwa penggunaan pupuk mikroba pelarut fosfat
(PMPF) di lokasi yang belum pernah di tanami kedelai, di Seputih Banyak, Lampung dapat
menekan kebutuhan pupuk P pada kedelai hingga 50 – 60 %. Pada tanaman kedelai dengan
menggunakan PMPF hanya memerlukan 50 kg SP-36.ha-1 sedangkan pada tanaman kedelai tanpa
menggunakan PMPF membutuhkan 125 kg SP-36.ha-1.
Hal yang sama terjadi pula pada usahatani sayuran dataran tinggi di mana penerapan
teknik konservasi tanah mampu mengurangi sedimen yang terangkut erosi sehingga mampu
menekan kehilangan hara. Kehilangan hara dari usaha tani sayuran pada Andisol Cipanas dengan
menerapkan bedengan searah kontur mencapai 146 kg N ha-1, 58 kg P2O5 ha-1 dan 13 K2O kg ha-
1, lebih kecil dari bedengan searah lereng sebesar 241 kg N ha-1, 80 kg P2O5 ha-1, 18 K2O kg ha-1
(Suganda et al., 1999). Banuwa (1994) mendapatkan besarnya kehilangan hara C dan N pada
Andisol Pangalengan sebesar 3120 kg C ha-1 th-1 dan 333 kg N ha-1 th-1. Semakin intensif
pengusahaan sayuran tanpa disertai penerapan teknik konservasi maka dikhawatirkan jumlah
hara yang hilang akan semakin besar. Pada akhinya pemiskinan tanah akan berlangsung secara
perlahan dan konsekuensinya kebutuhan input produksi makin meningkat. Alasan umum yang
dikemukakan petani mengapa enggan menerapkan teknik konservasi tanah adalah khawatir
produksi tanaman sayuran akan menurun, akibat terjadinya peningkatan kelembaban tanah dan
berkurangnya populasi tanaman. Kekhawatiran tersebut tidak sepenuhnya benar.
Penerapan teknik konservasi tanah pada lahan sayuran di daerah pegunungan seperti
bedengan/guludan searah kontur dan bedengan 450 terhadap kontur tidak hanya mampu
mempertahankan dan meningkatkan hasil, tetapi penurunan kesuburan tanah dapat dihindari.
9
Hal ini disebabkan jumlah hara yang hilang dan tanah tererosi dapat dikurangi. Kelestarian
lingkungan jangka panjang dapat dicapai tanpa merugikan petani.
Aplikasi Teknik Irigasi di Lahan Kering
Lahan kering dapat dibedakan atas lahan kering beriklim basah dan beriklim kering.
Menurut Las et al. (1991), lahan kering beriklim kering dicirikan oleh curah hujan tahunan yang
relatif rendah , yaitu < 2000 mm/tahun. Irianto et al. (1998) menyebutkan bahwa lahan kering
beriklim kering dicirikan oleh curah hujan tahunan yang relatif rendah yaitu < 1500 mm. Hujan
tersebut tercurah dalam masa yang pendek (3-5 bulan), sehingga masa tanamnya pendek.
Selain itu turunnya hujan sangat eratik, sehingga sulit menyusun pola tanam yang tepat.
Permasalahan lain yang dihadapi yaitu keterbatasan sumberdaya air yang merupakan
potret klasik hidrologis di lahan kering. Kekeringan dan kelangkaan air (water scarcity)
merupakan faktor utama penurunan produksi dan kegagalan panen di lahan kering. Krishnappa
et al. (1999) mengemukakan bahwa produksi tanaman di lahan kering merupakan fungsi
kelembaban tanah baik secara spatial maupun temporal selama periode pertumbuhan tanaman.
Distribusi hujan yang tidak pasti merupakan faktor yang paling memberikan kontribusi terhadap
rendahnya produktivitas tanaman dibandingkan terhadap potensi produksinya. Untuk
meningkatkan produktivitas di lahan kering, maka kepastian tentang ketersediaan air dalam hal
kuantitas, kualitas dan kontinuitas perlu diupayakan. Perbaikan ketersediaan air merupakan
prioritas dalam pengelolaan lahan kering pada musim kemarau. Irigasi di daerah tropika sering
memberikan keuntungan terhadap produksi tanaman (Bakker et al., 1999; Renault et al., 2001).
Pertanian beririgasi merupakan pengguna air terbesar. Pada umumnya diatas 80% dari air
yang ada dicurahkan khusus untuk pertanian, tetapi penggunaannya sangat tidak efisien (Pereira
et al, 2002; Middleton, 2005), dan efisiensinya di bawah 40% (Middleton, 2005). Di Indonesia,
penggunaan air untuk pertanian masih sangat tinggi sekitar 76 % (Sosiawan dan Subagyono,
2007) bahkan 80-90 % (Partowijoto, 2002) dari seluruh penggunaan air. Indonesia termasuk
salah satu negara yang diproyeksikan mengalami krisis air pada tahun 2025 (World Water Forum
II di Denhaag, Maret 2000) yang penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah
satunya adalah pemakaian air yang kurang efisien (Sosiawan dan Subagyono, 2007).
Irigasi dengan menggunakan air tanah dan atau air permukaan pada musim kemarau di
lahan kering Lampung Tengah telah terbukti meningkatkan produksi palawija dan hortikultura,
indeks pertanaman dari 200 menjadi 300 % serta pendapatan petani (Sutono et al., 2001;
10
Soelaeman et al., 2001; Talao’hu et al., 2003). Namun irigasi tersebut masih belum efisien,
Sutono et al. (2001) mengemukakan di Lampung Tengah terjadi pemborosan air irigasi sebanyak
10.5 mm/hari. Diperlukan tindakan nyata guna mengurangi kebutuhan air irigasi menjadi 65 – 70
% dengan menekan kehilangan air dan meningkatkan efisiensi. (Partowijoto, 2002).
Pada umumnya pertanian lahan kering di Indonesia merupakan pertanian tadah hujan.
Tanpa penerapan teknologi irigasi suplemen dan teknologi hemat air, sistim pertanian
konvensional ini peka terhadap deraan kekeringan baik pada periode pendek di musim hujan,
apalagi pada musim kemarau. Dengan menggunakan tenologi irigasi suplemen, musim tanam
(untuk tanaman semusim) pada sebagian besar wilayah Indonesia tidak terbatas hanya pada
musim hujan saja, tetapi bisa diperpanjang sampai pada pertengahan musim kemarau. Hal ini
dimungkinkan karena sekitar 83 % wilayah Indonesia mempunyai curah hujan tahunan > 2.000
mm. Jika teknologi panen hujan dan hemat air serta irigasi suplemen secara teknis dan sosial
ekonomis dapat diterapkan, maka masalah kekurangan air, sebagai akibat perubahan iklim, akan
dapat diatasi.
Irigasi tanaman secara teoritis diperlukan sebagai pelengkap (complementary) apabila
curah hujan tidak mencukupi untuk mengkompensasikan kehilangan air tanaman yang
disebabkan oleh evapotranspirasi. Irigasi suplemen bertujuan untuk memberikan air yang
dibutuhkan tanaman pada waktu, volume dan interval yang tepat. Dengan menghitung neraca
air tanah harian di zona perakaran, maka volume dan interval irigasi dapat direncanakan. Untuk
meminimalkan peluang terjadinya cekaman air tanaman, maka irigasi sudah harus diberikan
sebelum mencapai batas bawah air yang siap digunakan tanaman (readily available water).
Untuk meminimalkan kehilangan air dalam bentuk aliran permukaan dan perkolasi, maka jumlah
irigasi suplemen yang diberikan harus sama atau lebih kecil dari kapasitas tanah menyimpan air
di zona perakaran (Camp et al., 1996 dalam Irianto dan Surmaini, 2002).
Jumlah hari kering berturut-turut selama musim tanam merupakan indikator yang berguna
dalam menentukan apakah tanaman akan mengalami cekaman air atau tidak. Periode tanpa
hujan selama 7 hari atau lebih dapat menyebabkan terganggunya tanaman terutama pada awal
pertumbuhan tanaman dimana akar tanaman masih terbatas pada beberapa sentimeter lapisan
permukaan tanah (Agus et al, 2005). Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan
kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia/ yang
akan digunakan.
Sistim irigasi yang berbeda akan memberikan kebutuhan air yang berbeda. Pemberian air
rata-rata kumulatif untuk sistim irigasi penggenangan (flooding) dan sistim alur (furrow irrigation)
11
dengan interval pemberian air yang berbeda pada tanaman kacang tanah (Arachis hypogea L) di
D. I. Sampean Baru, Jawa Timur, disajikan pada Tabel 2. Sistim irigasi penggenangan
membutuhkan air yang lebih banyak dibanding irigasi alur. Hasil tanaman tertinggi dicapai pada
interval 15 hari untuk sistim penggenangan (3,35 ton/ha polong kering) dan interval 7 hari untuk
sistim irigasi alur yaitu 3,03 ton/ha polong kering (Nugroho dan Partowijoto, 1988).
Tabel 2. Pemberian air rata-rata kumulatif (mm) pada sistim irigasi penggenangan dan alur dengan interval yang berbeda untuk tanaman kacang tanah
Cara irigasi
Interval irigasi (hari)
7 1
0 15 20 30
Metoda gravimetri :
Penggenangan seluruh areal petak 5849,5 5181,5 3865,0 33 97,5 2843,5
Alur 5133,0 3995,5 3207,5 2767,5 2286,0
Metoda sekat ukur Tipe Thompson :
Penggenangan seluruh areal petak 5907,5 5263,5 3944,5 3455,0 2860,0
Alur 5185,5 4029,0 3250,0 2812,5 2334,0
Sumber : Nugroho dan Partowijoto (1988)
Konservasi Kelembaban Tanah dan Peningkatan Kemampuan Tanah Memegang Air
Dalam pemberian air irigasi perlu diperhatikan kemampuan tanah untuk menyerap dan
menyimpan air, yang dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh keadaan tekstur, struktur dan
keadaan profil tanah (Hansen et al, 1979). Kemampuan tanah memegang air perlu
diperhitungkan, karena pemberian air diatas kemampuan tanah memegang air,menyebabkan air
akan dialirkan sebagai aliran permukaan atau bergerak ke lapisan tanah yang lebih dalam melalui
perkolasi.
Tanah yang ideal strukturnya adalah yang mempunyai perimbangan antara pori aerasi
dan pori penahan air. Pada tanah bertekstur pasir air akan mudah terdrainase dan mudah pula
terevapitranspirasi, sebaliknya pada tanah liat berat, drainase dan penyerapan air oleh tanaman
lebih terhambat. Tanah bertekstur halus dan mempunyai struktur remah akan lebih mampu
menahan air tersedia. Menurut Agus et al (2005) Tanah yang ideal untuk penyediaan air adalah
yang selisih pori pada kondisi kapasitas lapang dan titik latu permanen cukup besar (18 – 23 %).
12
Kemampuan tanah untuk menyimpan air pada berbagai tekstur tanah disajikan pada Tabel 3 dan
penyerapan air tanah rata-rata oleh akar tanaman dengan pemberian irigasi di daerah kering
disajikan pada Gambar 1.
Penyerapan air tanah
Kedala
man
(cm
)
0 40 %
25 30 %
50 20 %
75 10 %
100
Gambar 1. Penyerapan air tanah rata-rata oleh akar tanaman dengan pemberian
irigasi di daerah kering (Hansen et al., 1992) Tabel 3 . Kemampuan Tanah Menyimpan Air untuk berbagai Tekstur Tanah.
Tekstur tanah Kemampuan menyimpan (mm/ m kedalaman tanah)
Tekstur sangat kasar – pasir sangat kasar 33 - 62
Tekstur kasar – pasir kasar, pasir halus dan pasir berlempung
62 – 104
Tekstur agak kasar – lempung berpasir dan lempung berpasir halus
104 – 145
Tekstur sedang – lempung berpasir sangat halus, lempung dan lempung berpasir halus
125 – 191
Tekstur agak halus – lempung berliat, lempung, liat berdebu dan lempung liat berpasir
145 – 208
Tekstur halus – liat berpasir, liat berdebu dan liat
133 – 208
Tanah gambut dan serasah 166 - 250
Sumber : Keller dan Bliesner (1990)
Kemampuan tanah menahan air dapat bervariasi antara satu tempat dengan tempat
lainnya, yang salah satunya disebabkan oleh kandungan bahan organik yang berbeda. Demikian
juga pemberian bahan organik ke dalam tanah untuk peningkatan kemampuan menahan air
sangat ditentukan oleh takaran dan macam bahan organik yang diaplikasikan. Dari hasil
penelitiannya di Kali Gesik, Jateng pada tanah berskeletal volkanik, Sukmana et al. (1986)
melaporkan bahwa tanah yang diberi bahan organik dari opo-opo (Jawa)/hahapaan (Sunda)
(Flemingia congesta) mampu menahan air hingga 5–6% lebih tinggi (dibandingkan dengan
kondisi tanah sebelum penanaman) setelah 14 tahun penanaman legum tersebut. Sementara
vegetasi alami hanya mampu meningkatkan kandungan air tanah 2% dari kondisi tanah tanpa
13
vegetasi. Dari hasil penelitiannya di Kuamang Kuning-Jambi dan Ketahun-Bengkulu, Erfandi et al.
(1993) melaporkan bahwa hijauan mukuna mampu meningkatkan kadar air tersedia sampai 6%,
dan umumnya makin lama umur mukuna, makin besar kontribusinya dalam menahan air (Tabel
4).
Pada prinsipnya konservasi air merupakan tindakan yang diperlukan untuk melestarikan
sumber daya air. Namun dalam konteks pemanfaatan, Agus et al. (2002) mengemukakan bahwa
penggunaan air hujan yang jatuh ke permukaan tanah secara efisien merupakan tindakan
konservasi air. Strategi konservasi air diarahkan untuk mengupayakan peningkatan cadangan air
pada zona perakaran tanaman melalui pengendalian air aliran permukaan (runoff) yang biasanya
merusak, dengan cara pemanenan air aliran permukaan, peningkatan infiltrasi dan mengurangi
evaporasi. Agus et al. (2002) mengemukakan bahwa ada dua pendekatan yang dapat ditempuh
untuk mengefisienkan penggunaan air yaitu (a) melalui pemilihan tanaman yang sesuai dengan
keadaan iklim dan (b) melalui teknik konservasi air seperti penggunaan mulsa, gulud dan teknik
tanpa olah tanah.
Tabel 4. Pengaruh hijauan mucuna terhadap kemampuan tanah menahan air (air tersedia)
Perlakuan Air tersedia (% vol)
Kuamang Kuning- Jambi (1991/1992) Sebelum ditanam mukuna Setelah ditanam mukuna
10,5 11,2
Ketahun-Bengkulu (1990/1991) Kontrol 2 bulan setelah tanam 4 bulan setelah tanam 5,5 bulan setelah tanam
6,1 10,4 12,6 12,7
Sumber: Erfandi et al. (1993) dengan modifikasi
Aliran permukaan merupakan komponen penting dalam hubungannya dengan konservasi
air (Troeh et al., 1991; Arsyad, 2000). Oleh sebab itu tindakan-tindakan yang berhubungan
dengan pengendalian dan pengelolaan aliran permukaan dapat diformulasikan dalam strategi
konservasi air. Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah sebanyak mungkin air hujan
meresap ke dalam tanah untuk ditahan sebanyak-banyaknya di daerah-daerah cekungan atau
lembah sehingga dapat digunakan sebagai sumber air untuk pengairan di musim kemarau (MK)
maupun pada periode pendek saat dibutuhkan oleh tanaman pada musim hujan (MH). Konservasi
air juga dapat dilakukan dengan mengurangi penguapan air melalui evaporasi dengan
meningkatkan penutupan permukaan tanah dengan mulsa (Suwardjo, 1981; Suwardjo et al.,
14
1989; Abdurachman dan Sutono, 2002) dan teknologi ini sudah sangat populer di kalangan
petani.
Beberapa teknik yang dapat diterapkan dalam upaya pemanenan air hujan dan aliran
permukaan adalah pembuatan saluran peresapan, rorak, mulsa vertikal, embung, dan sistem
drainase. Beberapa hasil penelitian menunjukkan efektivitas rorak sebagai bangunan pemanen air
diantaranya ditunjukkan oleh kemampuannya dalam mengurangi kehilangan air melalui aliran
permukaan (Noeralam, 2002; Tala'ohu et al., 1992; Tala’ohu et al., 2001).
Mulsa vertikal atau disebut juga jebakan mulsa adalah bangunan menyerupai rorak yang
dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan dengan rorak.
Jebakan mulsa ini merupakan tempat meletakkan sisa hasil panen atau rumput hasil penyiangan
dan sekaligus berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen. Setelah beberapa
kali hujan, jebakan mulsa ini biasanya terisi oleh sedimen. Rorak yang dikombinasikan dengan
mulsa dapat mengurangi erosi 94%, teknik tersebut juga dapat digolongkan sebagai suatu cara
pemanenan air yang tergolong efektif, salah satunya dicerminkan oleh kemampuannya dalam
pemeliharaan lengas tanah (Noeralam, 2002). Pemeliharaan lengas tanah akibat adanya teknik
pemanenan air berupa rorak yang dikombinasikan dengan gulud dan mulsa vertikal dibandingkan
tanah terbuka, setelah 5–7 hari tidak ada hujan dapat dilihat pada Tabel 5 .
Tabel 5. Pengaruh rorak yang dikombinasikan dengan mulsa dan atau gulud terhadap lengas tanah setelah 5–7 hari tidak hujan di Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Lama tidak hujan
Kedalaman tanah
Perlakuan* Tanah terbuka
T1 T2 T3
hari cm ...........................................(%)............................................
5 10 33,77 a * 33,57 a 33,44 a 29,15
20 33,77 a 33,81 a 33,93 a 30,70
40 34,53 a 34,50 a 34,42 a 30,53
50 34,16 a 34,32 a 34,28 a 34,92
7 10 28,08 a 26,76 b 25,30 c 23,83
20 28,42 a 27,61 b 27,05 b 25,21
40 30,99 a 26,70 b 30,34 a 28,92
50 29,66 a 28,95 b 28,24 b 30,83
*) Angka pada kolom perlakuan pada baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama , tidak berbeda nyata pada 5 % DMRT, T1 = rorak + mulsa vertikal, T2 = rorak + gulud + mulsa vertikal, T3 = rorak + gulud.
Sumber : Noeralam (2002)
Fairbourn dan Gardner (1972) dalam Noeralam (2002) berdasarkan pada hasil
penelitiannya di laboratorium mencatat bahwa alur yang diberi mulsa vertikal meningkatkan
15
infiltrasi lebih besar daripada alur tanpa mulsa, mulsa vertikal juga bisa mengurangi laju
evaporasi dari sekitarnya. Pada percobaan lapang selanjutnya Fairbourn dan Gardner (1974)
dalam Noeralam, (2002) melaporkan bahwa perlakuan mulsa vertikal dapat menghemat air 41%
lebih besar dari perlakuan tanpa mulsa serta meningkatkan hasil sorgum 37–150%. Kombinasi
mulsa vertikal dengan teras gulud juga sangat nyata dalam menekan aliran permukaan (67–
82%) (Brata, 1995a; Brata 1995b).
Dalam hubungannya dengan perbaikkan sifat fisik tanah, salah satu fungsi utama dari
mulsa vertikal adalah untuk menyediakan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya biofore di
dalam tanah (Brata, 2004). Biofore yang diciptakan oleh fauna tanah dan akar tanaman tersebut
sangat berperan dalam proses peresapan air ke dalam tanah. Hal ini sangat berguna dalam
hubungannya dengan pengendalian aliran permukaan dan erosi tanah. Beberapa hasil penelitian
telah menunjukkan efektivitas mulsa vertikal dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi
(Tabel 6).
Tabel 6. Efektivitas mulsa vertikal dalam mengendalikan aliran permukaan dan erosi
Perlakuan Lokasi/tanah/ lereng
Aliran permukaan (m3
ha-1)
Erosi (t ha-
1) Sumber
Teras gulud, jarak horizontal 11 m Mulsa konvensional1) Mulsa vertikal1), jarak antar saluran 11 m3) Mulsa vertikal1), jarak antar saluran 7,3 m3) Mulsa vertikal1), jarak antar saluran 5,5 m3)
Darmaga, Jabar/ Latosol/ 15%
381,004)
891,00 291,00 219,00 157,00
0,374) 2,70 0,21 0,17 0,11
Brata, 1995a
Mulsa konvensional Teras gulud, jarak horizontal 11 m Teras gulud,jarak horizontal 11 m+cacing tanah2) Mulsa vertikal1), jarak antar saluran 11 m3) Mulsa vertikal1), jarak antar saluran 11 m3)
+ cacing tanah2)
Darmaga, Jabar/ Latosol/ 15%
103,835) 35,07 15,55 8,40 0,81
0,235) 0,07 0,03 0,01 0,001
Brata, 1995b
Kontrol Strip rumput bahia Mulsa vertikal
Sitiung, Sumbar Ultisol/8-18%
108,006) 57,00 39,00
6,576) 1,75 0,81
Tala’ohu et al., 1989
Keterangan:1)Bahan mulsa yang digunakan jerami padi setara dengan 3 t ha-1, 2) cacing yang diberikan berjumlah 100 ekor, disebarkan merata ke setiap saluran,3) ukuran saluran saluran teras gulud dan saluran yang diisi mulsa (mulsa vertical) 25cmx25cmx200cm, 4)Pengukuran selama dua musim tanam (jagung dan kacang tanah), 5)satu musim tanam (padi gogo), 6) satu musim tanam (padi gogo).
16
Hasil penelitian pada tanah Typic Kanhapludult Tamanbogo, Lampung Timur, dosis mulsa
jerami berpengaruh nyata terhadap hasil buah segar cabai. Dosis mulsa 10 t/ha memberikan
hasil buah segar yang tertinggi dan berbeda dengan dosis 5 t/ha . Mulsa berkorelasi positif nyata
dengan buah segar. Hubungan tersebut agak berbeda pada setiap teknik irigasi, yang
direfleksikan oleh persamaan garis regresi dengan koefisien regresi yang berbeda . Keeratan
hubungan tersebut dicerminkan oleh adanya koefisien determinasi (R2) yang tinggi (>0,90) pada
semua teknik irigasi (gelontor, tetes dan curah) kecuali teknik sub-surface/bawah permukaan.
Pemberian mulsa jerami meningkatkan hasil tanaman dan efisiensi penggunaan air pada setiap
teknik irigasi kecuali teknik irigasi bawah permukaan/sub-surface (Haryati, 2010). Aplikasi teknik
irigasi suplemen di lahan kering, terutama untuk teknik irigasi gelontor/surface irrigation,
tetes/drip irrigation, dan curah/sprinkle irrigation sebaiknya dilakukan secara simultan dengan
teknik konservasi air (mulsa sisa tanaman).
Budidaya Tanaman Kedelai
Tanaman kedelai agar dapat tumbuh dengan baik, memerlukan tanah yang gembur, cukup
lembab dan ketersediaan hara cukup memadai. Di lahan sawah, penanaman kedelai setelah
panen padi dapat dilakukan tanpa pengolahan tanah apabila tanah cukup lembab, bersih dari
gulma dan tunggul jerami padi dipotong sampai dekat permukaan tanah. Kalau lahan masih
tergenang air atau terlalu becek, perlu dibuat saluran drainase sedalam 25-30 cm disekeliling dan
dalam petakan dengan jarak 2-3 meter antarsaluran. Apabila tanahnya telah mengering dan
banyak ditumbuhi gulma, lahan perlu pengolahan tanah minimum dan diairi sebelum tanam.
Penanaman kedelai, dianjurkan dengan cara ditugal dengan jarak tanam teratur. Dilahan
sawah bekas padi, penugalan untuk penempatan benih kedelai dilakukan disamping bekas
rumpun padi. Jarak tanam varietas kedelai berumur genjah dan sedang, pada kondisi lahan
berstatus hara sedang sampai tinggi dan rendah serta pada musim kemarau dan musim hujan
disajikan pada Tabel 7.
17
Tabel 7. Jarak tanam (cm) kedelai menurut kondisi lahan, musim tanam dan umur tanaman
Status hara P dan
K
Musim tanam Umur genjah Umur sedang
Sedang-tinggi Musim kemarau 40 x 10 40 x 15
Musim hujan 40 x 15 40 x 20
Rendah Musim kemarau 30 x 10 40 x 10
Musim hujan 30 x 15 40 x 15
Untuk lahan sawah pada MK I, dianjurkan menggunakan varietas yang berumur sedang
(80-90 hari), seperti varietas Wilis, Kerinci, Tampomas, Krakatau, dan Jayawijaya. Pada MK II
untuk menghindari tanaman dari ancaman kekeringan dianjurkan menanam varietas berumur
genjah (70-75 hari), misalnya varietas Lokon, Tidar, Malabar, Lawu, Dieng, Tengger, Petek dan
Lumajang Bewok.
18
III. METODOLOGI
3.1. Pendekatan
Penelitian akan dilakukan dengan tiga tahapan utama, yakni penelitian pendahuluan, on-
farm research dan superimposed trial (SIT). Penelitian pendahuluan bertujuan untuk identifikasi
dan karakterisasi wilayah lokasi penelitian, dilakukan dengan pendekatan survey lapangan dan
PRA (Participatory Rural Appraisal). Data yang akan digali mencakup kondisi biofisik dan sosial-
ekonomi wilayah, termasuk praktek pertanian kedelai, khususnya berkenaan dengan pengelolaan
lahan. Lokasi penelitian di lokasi SLPTT kedelai atau sentra pengembangan kedelai.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan akan dirumuskan alternatif perbaikan teknologi
(selanjutnya untuk perlakuan) pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah, dengan
semaksimal mungkin memanfaatkan sumberdaya lokal. Pengelolaan lahan praktek petani,
praktek petani yang diperbaiki, dan teknologi pengelolaan lahan introduksi berupa pengelolaan
hara terpadu dan teknik konservasi tanah yang tepat yang akan dilaksanakan dalam bentuk on
farm research. Kemudian teknologi pengelolaan lahan yang belum mantap/masih membutuhkan
informasi yang lebih mendetil akan dilakukan penelitian dalam bentuk superimposed trial.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Penelitian ini merupakan kegiatan penelitian jangka panjang yang dimulai pada TA. 2011
sampai dengan TA 2014. Pada 3 tahun pertama, penelitian akan diarahkan pada agro-ekosistem
lahan sawah/ kering suboptimal pada tanah Ultisol, sedangkan tahun selanjutnya pada
agroekosistem lahan sawah masam dengan pola tanam padi-kedelai.
SL- PTT kedelai di Lampung umumnya pada lahan sawah suboptimal dengan pola tanam
padi- kedelai/jagung, sehingga pada T.A. 2011 penelitian dilakukan pada lahan sawah suboptimal
dengan pola tanam padi- kedelai. Pada T.A. 2012 penelitian direncanakan akan dilakukan pada
lahan kering suboptimal yang merupakan tanah mineral masam sentra produksi kedelai dengan
pola tanam jagung- kedelai. Karena lokasi penelitian pada agroekosistem lahan kering masam
sehingga untuk mengetahui biofisik, sosial ekonomi, pengelolaan lahan oleh petani dan inovasi
teknologi pengelolaan lahan yang diminati petani maka akan dilakukan PRA kembali.
Pada penelitian onfarm research, perlakuan yang akan dicoba adalah 1) Praktek Petani
(Farmer Practices), 2) Praktek Petani yang diperbaiki (Partially improved farmer practices), dan 3)
Teknologi pengelolaan lahan yang diintroduksi/perbaikan teknologi (Fully improved technology).
Penelitian superimposed trial akan dilakukan untuk meneliti lebih lanjut tentang pengelolaan
19
hara terpadu dan teknik konservasi tanah yang membutuhkan informasi lebih detil. Praktek
petani didefinisikan sebagai kebiasan petani setempat dalam berusaha tani kedelai. Praktek
petani yang diperbaiki diartikan sebagai praktek petani dengan perbaikan teknologi konservasi
air. Sedangkan teknologi pengelolaan lahan yang diintroduksi/perbaikan teknologi didefinisikan
sebagai pengelolaan lahan suboptimal melalui penerapan ameliorasi, pengelolaan hara terpadu
dan konservasi air untuk meningkatkan produktivitas tanaman kedelai.
3.3. Bahan dan Metode Penelitian
3.3.1. Bahan
Bahan – bahan kimia untuk analisis sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Bahan pendukung
lapang berupa kapur/dolomit, soil netralizer, zeolit, pupuk organik, pupuk hayati Nodulin/ Smesh,
dan mikroba tanah multiguna (MTM) dan pupuk anorganik Urea, SP-36 dan KCl. Benih kedelai
varietas Wilis atau varietas yang diminati petani. Kayu, seng, cat, paku, tali rafia, penakar hujan,
flume wier, staf gate, ember, timbangan, kantong plastik, karung dan lainnya.
3.3.2. Metode Penelitian
3.3.2.1. Penelitian Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan berupa penilaian praktek pertanian tentang pengelolaan tanah
yang ada sekarang, kondisi dan masalah tanah menurut persepsi petani, strategi petani dalam
memecahkan masalah, dan pengembangan alternatif pengelolaan tanah akan dilakukan melalui
pendekatan participatory rural appraisal (PRA). Dalam PRA akan dikaji juga rekomendasi (bahan
penyuluhan) yang sudah tersedia serta sumber rekomendasinya, perbedaan tingkat rekomendasi
dengan praktek petani serta alasan petani memilih suatu teknik pengelolaan tanah, dan analisis
alternatif teknik pengelolaan tanah yang lebih efisien dan mempunyai prospek penerapan lebih
tinggi. Selain penilaian sistem pengelolaan tanah, juga akan dilakukan analisis contoh tanah dan
tanaman untuk memberikan gambaran awal keadaan sebelum perlakuan diterapkan. Dalam PRA
juga menggali status existing produktivitas kedelai dihubungkan dengan penerapan teknologi
khususnya pengelolaan tanah.
Penelitian pendahuluan juga akan mengamati sifat kimia tanah pada kedalaman 0-20 cm
meliputi pH tanah, kandungan C organik, N total, kandungan Al dapat ditukar, P ekstrak Bray-1,
dan P2O5 dan K2O terekstrak HCl 25%, basa-dapat ditukar, KTK dan kejenuhan basa (KB), Fe
dapat dipertukarkan, Zn, dan Cu dengan pengekstrak DTPA (Dietilene Triamine Penta Accetic
Acid). Dari jaringan tanaman akan diamati kadar N, P, K, Mg, Zn, Fe, dan Cu. Sifat fisik tanah
20
pada kedalaman 0-20 cm dari contoh ring meliputi tekstur tanah, berat volume, distribusi ukuran
pori (pF), kelembapan tanah dan konduktivitas hidrolik tanah. Dari contoh tanah bongkahan
(clod) akan ditentukan bentuk dan ukuran agregat dan kemantapan agregat di laboratorium.
3.3.2.2. Kegiatan on-farm research
Penelitian dilaksanakan pada lahan petani sentra produksi kedelai di Sukadana, Lampung
Timur dengan luasan sekitar 1 ha untuk 3 perlakuan yaitu pengelolaan lahan praktek petani (P1),
pengelolaan lahan praktek petani yang diperbaiki (P2= pemupukan praktek petani + teknik
konservasi) dan teknologi pengelolaan lahan yang diintroduksi (P3= ameliorasi + pengelolaan
hara terpadu + teknik konservasi). Penelitian onfarm research dilakukan tanpa ulangan. Lokasi
Penelitian di area SL-PTT kedelai Sukadana, Lampung Timur.
Teknologi pengelolaan lahan berdasarkan praktek petani (P1) merupakan teknologi
pemupukan dan teknologi konservasi air yang diterapkan petani di lokasi penelitian, sedangkan
perlakuan pengelolaan lahan praktek petani yang diperbaiki (P2) merupakan praktek pemupukan
sesuai praktek petani dan teknik konservasi air berupa mulsa konvensional. Perlakuan teknologi
pengelolaan lahan yang diintroduksi (P3) merupakan teknologi perbaikan tanah/ameliorasi dan
pengelolaan hara secara terpadu dengan memadukan sumber pupuk anorganik, organik dan
hayati serta teknik konservasi air mulsa konvensional. Parameter yang diamati adalah fisik tanah
yaitu bulk density, permeabilitas, porositas tanah, dan air tersedia, sifat kimia tanah yaitu C-
organik, N-total, P dan K ekstrak HCl 25%, P tersedia, kation tukar, kejenuhan basa dan
kapasitas tukar kation dan sifat biologi tanah yaitu total bakteri, bakteri penambat N, mikroba
pelarut P dan aktivitas mikroba tanah (enzim dehydrogenase). Pada penelitian ini akan dianalisis
juga keragaan finansil usahataninya.
3.3.2.3. Kegiatan Penelitian Superimposed Trial
Kegiatan superimposed trial terdiri atas dua kegiatan yaitu (1) Penelitian ameliorasi dan
pemupukan untuk peningkatan produktivitas kedelai di lahan suboptimal dan (2) Inovasi
teknologi konservasi air untuk peningkatan produktivitas kedelai di lahan suboptimal. Ukuran plot
5 m x 6 m dengan jarak tanam kedelai 15 cm x 40 cm. Khusus untuk kegiatan penelitian
ameliorasi dan pemupukan untuk peningkatan produktivitas kedelai dilahan suboptimal dilakukan
di 2 lokasi yaitu Sukadana, Lampung Timur dan KP. Taman Bogo, Lampung Timur.
21
3.3.2.3.1. Penelitian ameliorasi dan pemupukan untuk peningkatan produktivitas kedelai di lahan suboptimal
Dalam rangka meningkatkan produktivitas lahan suboptimal dan efisiensi pemupukan
dilakukan penelitian ameliorasi dan pemupukan untuk peningkatan produktivitas kedelai. Dalam
perbaikan tanah dilakukan ameliorasi dengan menggunakan bahan amelioran berupa
kapur/dolomit, Bio Soil Netralizer, pupuk organik dan Zeolit. Bio Soil Netralizer merupakan
formula pembenah tanah yang bermanfaat memperbaiki struktur tanah, menambah unsur hara,
memicu pertumbuhan mikroba penyubur tanah. Pemanfaatan pupuk organik dan hayati
ditujukan untuk perbaikan lingkungan tumbuh kedelai dan meningkatkan efisiensi pupuk
anorganik.
Kegiatan pengujian Zeolit dilakukan di lokasi Sukadana, Lampung Timur dengan
Rancangan percobaan adalah Petak Terpisah dengan 4 ulangan.
Petak utama: Ameliorasi (A)
1. A1 = Kontrol 2. A2 = Zeolit 1 t/ha
Anak petak: Pemupukan (B)
1. B1 = NPK 2. B2 = ¾ NPK 3. B3 = ¾ NPK + pupuk organik 2 t/ha 4. B4 = ¾ NPK + pupuk organik 2 t/ha + MTM 200g/ha
Kegiatan pengujian Bio Soil Netralizer dilakukan di lokasi Taman Bogo, Lampung Timur
dengan Rancangan percobaan adalah Petak Terpisah dengan 4 ulangan.
Petak utama: Ameliorasi (A)
1. A1 = Kapur/dolomit (untuk mencapai kejenuhan Al dapat ditukar 20%) 2. A2 = Bio Soil Netralizer 3 l/ha
Anak petak: Pemupukan (B)
1. B1 = kontrol 2. B2 = NPK 3. B3 = ¾ NPK 4. B4 = ¾ NPK + pupuk organik 2 t/ha
Untuk kedua kegiatan diatas parameter kimia tanah yang diamati adalah C organik, N
total, P tersedia (Bray I), P dan K terekstrak HCl 25%, kation dapat dipertukarkan, kejenuhan
basa, kapasitas tukar kation. Pengamatan biologi tanah adalah bakteri total dan aktivitas mikroba
tanah (enzim dehydrogenase), mikroba fungsional pelarut P dan penambat N. Analisis jaringan
22
tanaman yaitu kadar N, P dan K. Pengamatan agronomis yaitu pertumbuhan dan hasil tanaman
kedelai. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan analisis ragam (ANOVA) untuk setiap
parameter yang diamati. Pengujian beda antar perlakuan dengan uji beda nyata Duncan pada
taraf uji 5%.
Cara aplikasi amelioran kapur/dolomit disebar dipermukaan tanah kemudian diaduk
merata dengan tanah sampai kedalaman lapisan olah 0-20 cm dan dinkubasi 1 minggu sebelum
tanam. Khusus untuk Bio Soil Netralizer cara aplikasinya yaitu setiap 2 cc Bio Soil Netralizer
dicampur dengan 1 liter air, kemudian disemprotkan ke tanah dan diaduk sampai kedalaman
lapisan olah (15 - 20 cm). Sedangkan Zeolit dan pupuk organik diberikan dengan cara dilarik
disamping barisan tanaman. Pupuk dasar berdasarkan status hara dan kebutuhan tanaman
kedelai yaitu Phonska 200 kg/ha dan 50 KCl/ha. Pupuk dasar diberikan dengan cara dilarik
disamping tanaman (5-7 cm). Biobus sebagai perlakuan dasar dengan dosis sebesar 250g/ha,
MTM sebesar 200g/ha. Cara aplikasi Biobus dengan cara dicampur dengan benih kedelai yang
telah dibasahi secara merata. Pemberian MTM (Bionutrient) dengan cara dicampurkan dengan
pupuk organik dengan dosis 200 g untuk 1 ton pupuk organik dengan kelembapan 50% dan
diinkubasi selama 1 minggu.
3.3.2.3.2. Inovasi teknologi konservasi tanah untuk peningkatan produktivitas
kedelai di lahan suboptimal
Penelitian ditujukan untuk mempelajari teknik konservasi tanah untuk meningkatkan
kelembapan tanah dan peningkatan kapasitas tanah memegang air bagi tanaman kedelai.
Penelitian menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Adapun perlakuannya
adalah :
Petak Utama : Pemberian mulsa brangkasan jagung
M1 = Tanpa Mulsa M2 = Mulsa konvensional Anak Petak : Pembenah Tanah (Soil Conditioner) (SC)
memegang air
SCo = Kontrol SC1 = Biochar I (SP 50) 2,5 t/ha SC2 = Beta 2,5 t/ha SC3 = Biochar II (Arang Sekam) 2,5 t/ha SC4 = Pupuk kandang 5 t/ha
23
Parameter sifat fisika tanah yang diamati yaitu: bulk density, air tersedia, pori draenase, ruang
pori total, permeabilitas, agregat tanah, kadar air tanah, ketahanan tanah dan sifat kimia tanah
(pH tanah, P dan K ekstrak HCL 25 %, P ekstrak Bray I, kadar C-organik, basa-basa dapat
ditukar, KTK dan kejenuhan basa) Parameter agronomis yang diamati pertumbuhan dan hasil
tanaman, perkembangan akar tanaman, persentase penutupan tanah, pertumbuhan dan berat
gulma. Cara aplikasi pembenah tanah disebar ke permukaan tanah kemudian diaduk sampai
kedalaman lapisan olah 5-15 cm. Inkubasi pembenah tanah dilakukan selama 15 hari kemudian
baru dilakukan penanaman kedelai. Dosis pupuk NPK sesuai dengan status hara tanah dan
kebutuhan tanaman.
24
IV. ANALISIS RISIKO
Dalam pelaksanaan kegiatan penelitian terdapat resiko yang harus ditanggung atau
setidaknya dapat diantisipasi. Beberapa risiko, penyebab dan dampak serta penanganan risiko
disajikan dalam Tabel dibawah.
DAFTAR RISIKO
N0. RISIKO PENYEBAB DAMPAK
1. Gagal panen Hama dan penyakit
tanaman
Data hasil/produksi
tanaman tidak diperoleh
2. Gagal panen Kekeringan Pertumbuhan tanaman
kedelai tidak optimal
3. Gagal panen Terlambat tanam Pertumbuhan dan produksi
tanaman tidak optimal
DAFTAR PENANGANAN RISIKO
N0. RISIKO PENYEBAB PENANGANAN RISIKO
1. Gagal panen Hama dan penyakit
tanaman
Penyemprotan insektisida
secara berkala
2. Gagal panen Kekeringan Pengairan
3. Gagal panen Terlambat tanam Tanam sesuai dengan
jadwal tanam yang berlaku
di lokasi penelitian
25
V. TENAGA DAN ORGANISASI PELAKSANAAN
5.1. Tenaga yang terlibat dalam kegiatan
Penelitian ini akan melibatkan peneliti dari berbagai disiplin ilmu yaitu konservasi tanah,
kesuburan tanah, dan biologi tanah dengan komposisi tim seperti pada tabel berikut:
No
Nama lengkap, gelar dan NIP Peneliti
Jabatan Kedudukan dalam RPTP
Alokasi Waktu (OB) Fungsional Struktural
1 Dr. Wiwik Hartatik NIP 19620416 198603 2 001
Peneliti Madya
- Penanggung
jawab 6
2 Dr. Irawan NIP 19581128 198303 1 002
Peneliti Madya
- Pj. Kegiatan 4
3 Ir. Ishak Juarsah Inan NIP. 19570912 198104 1 001
Peneliti Muda - Pj. Kegiatan 4
4 Septiyana, SP NIP. 19820928 200912 2 004
PNK - Peneliti 3
5 Dr. Umi Haryati NIP 19601017 198903 2 001
Peneliti Madya
- Peneliti 3
6 Drs. Edi Santosa, M.S. NIP. 19570205 198403 1 001
Peneliti Madya
- Peneliti 3
7 Ir. Jati Purwani NIP. 19620304 199203 2 001
Peneliti Muda - Peneliti 3
8 Ir. Maryam NIP. 19561021 198303 2 001
PNK - Peneliti 3
9 Heri Wibowo, ST NIP. 19770121 201101 1 007
PNK - Peneliti 3
10 Dra. Sri Widati NIP. 19580726 198903 2 001
PNK - Peneliti 3
11 Ahmad Hasanudin NIP. 19570211 198203 1 001
Litkayasa - Teknisi 4
12 Pardiyo, SP NIP. 19590901 198903 1 001
Litkayasa - Teknisi 2
13 Ridha Nurlaily, SP NIP. 19820219 200912 2 006
PNK - Teknisi 2
14 Suwandi, SP NIP. 19610721 198503 1 002
Litkayasa - Teknisi 2
15 Eri Nurvitasari, AMd NIP. 19790807 200501 2 001
Litkayasa - Teknisi 2
16 Rachmat Hidayat NIP. 19581022 198203 1 002
Litkayasa - Teknisi 2
17 Suhartono NIP. 19570901 198203 1 001
Litkayasa - Teknisi 2
18 V. Kasmini NIP. 19620522 199203 2 001
Administrasi - PUMK 4
19 Prof. Didi Ardi NIP 19481210 197603 1 002
Ahli Peneliti Utama
- Nara
Sumber 2
20 pm (Balitkabi) - - Peneliti 2
21 pm (BPTP Lampung) - - Peneliti 2
26
5.2. Jangka waktu kegiatan (Jadwal palang)
No. Kegiatan 2010
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept Okt Nov Des
1. Persiapan, konsultasi dan koordinasi
x x x x
2. Penelitian pendahuluan/PRA
x
3. Analisis tanah x x x x x
4. Pelaksanaan demplot dan SIT
x x x x x x x x
5. Analisis data x x x x x x
6. Penyusunan laporan
x x x
5.3. Pembiayaan x Rp. 1.000,-
Sub. Pengeluaran Triwulan Total (Rp.)
I II III IV
Belanja bahan (521211) 2.650 23.850 11.650 2.500 40.650
Honor terkait dengan output kegiatan (521213) 10.750 28.050 18.450 6.750 64.000
Belanja perjalanan lainnya (524119) 20.000 30.000 30.000 10.000 90.000
Belanja sewa
2.140 1.605 1.605 - 5.350
Jumlah 35.540 83.505 61.705 19.250 200.000
27
V. DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press).
Abdurachman A., I. Juarsah, dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh pengunaan berbagai jenis dan takaran pupuk kandang terhadap produktivitas tanah Ultisols terdegradasi di Desa Batin, Jambi. Pros. Seminar Nasional Sumber Daya Tanah , Iklim dan Pupuk. Bogor, 6-8 Des.1999. Buku II. Puslittanak
Abdurachman, A. dan Sutono. 2002. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. hlm. 103-145
dalam Abdurachman, A., Mappaona, dan Arsil Saleh (eds.) Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Agus, F., E. Surmaini, dan N. Sutrisno. 2002. Teknologi hemat air dan irigasi suplemen. Hal. 239-
264 dalam Abdurachman et al. (eds.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
Agus, F., E. Surmaini dan N. Sutrisno. 2005. Teknologi Hemat Air dan Irigasi Suplemen.
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Deptan.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta
Bakker, M., R. Meinzen-Dick, and F. Konradsen. Eds. 1999. Multiple Uses of Water in Irrigated Areas. A case study from Srilanka. SWIM paper No. 8. 1999. IWMI. Colombo.
Banuwa, I. S. 1994. Dinamika aliran permukaan dan erosi akibat tindakan konservasi tanah pada Andisol pengalengan, Jawa Barat. Tesis Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Basri, I.H. and Z. Zaini. 1992. Research at the upland farming systems key site in Sitiung. P. 221-241. In Proceedings of the Upland Rice-Based Farming Systems Research Planning Meeting, 18 April – 1 May 1992, Chiangmay, Thailand. International Rice Research Institute, Manila. Philippines
Burbey, D. Alamsyah, A. Sahar, dan Z. Zaini. 1998. Tanggap Tanaman Kedelai terhadpa Pemberian Fosfor dan Pupuk Kandang pada Berbagai Takaran kapur. PP Sukarami. 13:30-35.
Brata, K. R. 1995 a. Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 5 (1) : 13-19. Institut Pertanian Bogor.
Brata, K. R. 1995 b. Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 5 (2) : 69 – 75. Institut Pertanian Bogor.
28
Erfandi, D. I P.G. Widjaja-Adhi, dan M. Ramli. 1993. Pengelolaan sistem usaha tani lahan masam tropika basah. hlm. 17-28 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 18-21 Februari 1993. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hansen, V. E., O. W. Israellsen dan G. E. Stringham. 1992. Dasar-dasar dan Praktek Irigasi. Terjemahan Erlangga. Jakarta.
Hafsah, M.J. 2003. Kebijakan pendayagunaan tanah masam untuk pengembangan komoditas tanaman pangan. Hlm. 97 – 112 dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam : Buku I. Bandar Lampung, 29 – 30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Agroklimat, Bogor.
Haryati, U., N.L. Nurida, H. Suganda dan U. Kurnia. 2000. Pengaruh arah bedengan dan tanaman penguat teras terhadap erosi dan hasil kubis (Brassica oleracea) di dataran tinggi. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. 411 – 424.
Haryati, U. 2010. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Air untuk Pertanian Lahan Kering Berkelanjutan melalui Berbagai Teknik Irigasi pada Typic Kanhapludult Lampung. Desertasi. Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.
Hartatik, W. dan J. Sri Adiningsih. 1987. Pengaruh Pengapuran dan Pupuk Hijau terhadap Hasil Kedelai pada Tanah Podsolik Sitiung di Rumah Kaca. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. Nomor 7. Pusat Penelitian Tanah.
Irianto, G., H. Sosiawan, dan A. S. Karama. 1998. Strategi Pembangunan Pertanian Lahan Kering untuk mengantisipasi Persaingan Global. Makalah Utama Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor 10 Februari 1998. Pusat penelitian tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Deptan.
_______. dan E. Surmaini. 2002. Analisis Potensi dan Kebutuhan Air untuk Menyusun rekomendasi Irigasi Suplementer tanaman Tebu Lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim. Nomor 20, Desember 2002. ISSN 1410-7244. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Keller, J. and Bliesner, R. D. 1990. Sprinkle and Tricle Irrigation. AVI Book. New York.
Krishnappa, A. M., Y. S. Arun Kumar, Murukannappa, and B. R. Hedge. 1999. Improve in situ Moisture Conservation Practises for Stabilized Crop yield in Drylands. In Singh et al., (eds). Fifty Years of Dryland Agricultural Research in India. Central Research Institut for Dryland Agriculture. Santoshnagar, Hyderabad – 500 059.
Kurnia, U., K. Subagyono, D. Setyorini dan R. Saraswati. 2004. Aspek lingkungan usaha tani pada tanah masam. Hlm. 67 – 93 dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam : Buku I. Bandar Lampung, 29 – 30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Agroklimat, Bogor.
Las, I., A.K. Makarim, A. Hidayat, A.K. Karama, dan I. Manwan. 1991. Peta Agroekologi Utama Tanaman Pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
29
Middleton, R. 2005. Air Bersih : Sumber Daya yang Rawan. Makalah Hijau. Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Indonesia. http: // www. Usembassy jakarta.org/ptp/airbrsi.html. 15 Juni 2005.
Mulyani, A., Sukarman, A. Hidayat. 2009. Prospek perluasan areal tanam kedelai di Indonesia. Hlm. 27 – 38 dalam Jurnal Sumberdaya Lahan Vol.3 No. 1. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Nugroho dan Partowijoto. 1988. Pengaruh cara dan interval irigasi terhadap penggunaan air dan hasil panen tanaman kacang tanah (Arachis hypogea L.) di D.I. Sampean Baru, Jawa Timur. Keteknikan Pertanian Th VI (2) : 68 – 78.
Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan Lengas Tanah Pada Usahatani Lahan Kering. Desertasi Doktor. Program Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor.
Partowijoto, A. 2002. Penelitian kebutuhan air lahan dan tanaman di beberapa daerah irigasi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan. Vol. 16 No. 49 Desember 2002. ISSN 02-1111. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air. Badan Litbang Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah.
Pereira, L. S., T. Oweis and A. Zairi. 2002. Irrigation management under water scarcity . Agric. Water Manage. 57: 175-206.
Puslittanak, 2000. Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia. Pusat Penelitian Tanah, Bogor
Renault, D., M. Hemakumara and D. Molden. 2001. Impacts of water consumption by perennial vegetation in irrigated areas of the humid tropics. A case for rethinking traditional views of irrigation design, management and ferformance assessment. Annual Report 2000 – 2001. Improving Water and Land Resources Management for Food, Livelihoods and Nature. IWMI. International Water Management Institute, Colombo.
Santoso, D., J. Purnomo, IG.P Wigena, Sukristiyonubowo, and R. D. B. Lefroy. 2001. Management of phosphorus and organic matter on an acid soil in Jambi, Indonesia. Jurnal Tanah dan Iklim 18: 64 – 72.
Suganda, H., H. Kusnadi dan U. Kurnia. 1999. Pengaruh arah bedengan dan penanaman dalam
mengontrol erosi pada pertanaman sayuran dataran tinggi. Jurnal Tanah dan Iklim. No. 17: 55-64.
Sukmana, S., H. Suwardjo, A. Abdurachman, and J. Dai. 1986. Prospect of Flemingia congesta Roxb. for reclamation and conservation of volcanic skeletal soils. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 4: 50-54.
Sunarlim, N., S. Hutami dan R. Saraswati. 2000. Aplikasi pupuk mikroba pelarut fosfat pada tanaman jagung di tanah Podsolik Merah Kuning. Dalam Prosiding Seminar Tahunan Agronomi.
Sutono,S., S. Wiganda, I. Isyafudin, dan F. Agus. 2001. Pengelolaan sumberdaya air dengan teknologi input tinggi. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2001. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian
30
Partisiaptif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. (Tidak dipublikasikan).
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam konservasi Tanah dan Air pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
Suwardjo, H., A. Abdurachman, and S. Abujamin. 1989. The use of crop residu mulch to minimize tillage frequency. Pembrit. Penel. Tanah dan Pupuk 8:31-37.
Soelaeman, Y., Anny Mulyani, Irawan, dan Fahmuddin Agus. 2001a. Evaluasi teknis dan ekonomis beberapa alternatif sistem irigasi lahan kering. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2001. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisiaptif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Soelaeman, Y., Anny Mulyani, Irawan, S. Sutono dan Sudrajat. 2001b. Potensi Irigasi Lahan Kering Tingkat Petani : Studi Kasus di Kecamatan Terbanggi Besar dan Bangunrejo, Lampung Tengah. Prosiding Seminar Nasional. Pengelolaan Sumberdaya Alam untuk Mencapai Produktivitas Optimum Berkelanjutan. Volume II. Bandar Lampung, 26 – 27 Juni 2001. Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Sosiawan, H., dan K. Subagyono. 2007. Pembagian Air Secara proporsional untuk Keberlanjutan Pemanfaatan Air. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol 1 no 4 hlm 15 – 24. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.
Tala’ohu, S. H., A. Abdurachman, dan H. Suwardjo. 1992. Pengaruh teras bangku, teras gulud, slot mulsa Flemingia dan strip rumput terhadap erosi, hasil tanaman dan ketahanan tanah Tropudult di Sitiung. hlm. 79-89 dalam Pros. Pertemuan Teknis Penelitian Tanah: Bidang Konservasi Tanah dan Air. Bogor, 22-24 Agustus 1989. Puslitbangtanak, Bogor.
Tala’ohu, S.H., F. Agus, Y. Soelaeman, dan Kartiwa. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Air dengan
Teknologi Input Rendah. Laporan Akhir Tahun Anggaran 2001. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat dan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisiaptif. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian (Tidak dipublikasikan).
Tala’ohu, S. H., S. Sutono, dan Y. Soelaeman. 2003. Peningkatan produktivitas lahan kering masam melalui penerapan teknologi konservasi tanah dan air. Hal. 45 – 63 dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam, Bandar Lampung, 29 – 30 September 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Troeh, F. R., J. A. Hobs, and R. L. Donahue. 1991. Soil and Water Conservation. Prentice Hall, Inc. A Division of Simon & Schuster. Enggewood Cliffs, New Jersey.
Vy., N and Trong Thi. N. 1989. Management of slopping soils for food production in Vietnam. In Management of Acid Soils in the Humid Tropics of Asia. Australian Centre for International Agnicultural Research and The International Board for Soil Research and Management.