publikasi ilmiah-dion kumhan

15
BENTUK DAN MAKNA SIMBOLIS: KAITAN ANTARA PROSES RITUAL DENGAN ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL SUKU LAMAHOLOT DI ILE APE PULAU LEMBATA - NTT Dionisius Kumhan, ST 1 , Dr. Ir. Agus Saladin, MA 2 , dan Ir. Enny Supriati S., MA 3 1 Mahasiswa Program Studi Magister Arsitektur, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta 2 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta 3 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta Email: [email protected] ABSTRAK Bangunan tradisional merupakan salah satu wujud fisik sebuah kebudayaan yang mencerminkan seperti apa masyarakat yang membuatnya. Bangunan tersebut tidak hanya menyediakan wadah untuk aktivitas penggunanya tetapi juga menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis. Faktor kepercayaan atau religi cukup berpengaruh dalam hadirnya bentuk dan makna pada bangunan tradisional meskipun fakor iklim, ekonomi, politik, sosial dan budaya juga berpengaruh tetapi tidak terlalu dominan. Sama seperti bangunan tradisional suku Lamaholot yang ada di Ile Ape Pulau Lembata, bangunan tersebut juga menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis lewat elemen-elemen arsitektur seperti Bale (Nathan Belen) yang ada dalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan. Elemen-elemen arsitektur tersebut merupakan wadah yang digunakan untuk melakukan ritual atau pemujaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan makna simbolis pada elemen-elemen arsitektur yang ada pada bangunan tradisional suku Lamaholot di Ile Ape Pulau Lembeta serta menemukan hubungan antara Bale (Nathan Belen) yang ada didalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan dalam kaitannya dengan proses ritual atau pemujaan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data fisik dan data non fisik. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dilapangan serta data hasil wawancara dengan Kepalah Suku, Belen Raya, Pemuka Adat dan Pemuka Agama untuk mendapatkan informasi yang mendukung hasil penelitan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menunjukan keterkaitan antara elemen-elemen arsitektur yang ada didalam bangunan dan diluar bangunan serta upacara ritual/pemujaan yang dipengaruhi oleh konsep Lera Wulan Tanah Ekan (penguasa langit dan bumi) serta kepercayaan akan asal usul nenek moyang mereka. Kata Kunci: Bentuk dan Makna, Makna Simbolis, Elemen-Elemen Arsitektur Rumah Tradisional, Suku Lamaholot I. PENDAHULUAN Arsitektur tidak hanya menyediakan wadah untuk aktifitas manusia tetapi juga menciptakan ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan simbolik. Bangunan tempat tinggal sebagai salah satu bentuk ruang arsitektur biasanya mewakili kebiasaan masyarakat yang membuatnya, masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang berhubungan dengan fungsi publik dan ritual ke dalam lingkungan tempat tinggalnya dengan cara yang berbeda dan membentuk variasi-variasi tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam (Roxana Waterson, 1990: III, 43).

Upload: otong-abung

Post on 11-Jul-2016

36 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

publikasi

TRANSCRIPT

Page 1: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

BENTUK DAN MAKNA SIMBOLIS: KAITAN ANTARA PROSES RITUAL

DENGAN ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL

SUKU LAMAHOLOT DI ILE APE PULAU LEMBATA - NTT

Dionisius Kumhan, ST1, Dr. Ir. Agus Saladin, MA

2, dan Ir. Enny Supriati S., MA

3

1 Mahasiswa Program Studi Magister Arsitektur, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta

2 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta

3 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta

Email: [email protected]

ABSTRAK

Bangunan tradisional merupakan salah satu wujud fisik sebuah kebudayaan yang mencerminkan seperti

apa masyarakat yang membuatnya. Bangunan tersebut tidak hanya menyediakan wadah untuk aktivitas

penggunanya tetapi juga menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis. Faktor kepercayaan atau

religi cukup berpengaruh dalam hadirnya bentuk dan makna pada bangunan tradisional meskipun fakor

iklim, ekonomi, politik, sosial dan budaya juga berpengaruh tetapi tidak terlalu dominan. Sama seperti

bangunan tradisional suku Lamaholot yang ada di Ile Ape Pulau Lembata, bangunan tersebut juga

menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis lewat elemen-elemen arsitektur seperti Bale (Nathan

Belen) yang ada dalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan. Elemen-elemen arsitektur

tersebut merupakan wadah yang digunakan untuk melakukan ritual atau pemujaan. Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui bentuk dan makna simbolis pada elemen-elemen arsitektur yang ada pada

bangunan tradisional suku Lamaholot di Ile Ape Pulau Lembeta serta menemukan hubungan antara Bale

(Nathan Belen) yang ada didalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan dalam kaitannya

dengan proses ritual atau pemujaan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data fisik dan data

non fisik. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dilapangan serta data hasil

wawancara dengan Kepalah Suku, Belen Raya, Pemuka Adat dan Pemuka Agama untuk mendapatkan

informasi yang mendukung hasil penelitan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menunjukan

keterkaitan antara elemen-elemen arsitektur yang ada didalam bangunan dan diluar bangunan serta

upacara ritual/pemujaan yang dipengaruhi oleh konsep Lera Wulan Tanah Ekan (penguasa langit dan

bumi) serta kepercayaan akan asal usul nenek moyang mereka.

Kata Kunci: Bentuk dan Makna, Makna Simbolis, Elemen-Elemen Arsitektur Rumah Tradisional, Suku

Lamaholot

I. PENDAHULUAN

Arsitektur tidak hanya menyediakan wadah

untuk aktifitas manusia tetapi juga menciptakan

ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan

simbolik. Bangunan tempat tinggal sebagai salah

satu bentuk ruang arsitektur biasanya mewakili

kebiasaan masyarakat yang membuatnya,

masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang

berhubungan dengan fungsi publik dan ritual ke

dalam lingkungan tempat tinggalnya dengan cara

yang berbeda dan membentuk variasi-variasi

tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam

(Roxana Waterson, 1990: III, 43).

Page 2: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Pada mulanya bangunan hanya berfungsi

sebagai tempat untuk berlindung. Seiring dengan

berkembangnya pengetahuan manusia, bangunan

mengalami perubahan bentuk dan fungsi. Pada

bangunan dan pemukiman tradisional, bentuk dan

fungsi merupakan hasil kesepakatan antara suatu

komunitas dan biasanya memberikan suatu pesan

dan makna tertentu yang dapat dimengerti oleh

komunitas tersebut atau orang yang memiliki satu

rumpun budaya.

Sama halnya dengan bangunan tradisional

suku lamaholot yang ada di Ile Ape pulau

Lembata, bentuk dan fungsi bangunan tradisional

tersebut merupakan hasil dari kesepakatan

bersama dan pada awalnya memberikan sebuah

pesan dan makna yang dapat dimengerti oleh

komunitas tersebut. Dalam perkembangannya,

pesan dan makna tersebut diartikan berbeda-beda

khususnya oleh generasi muda dan bahkan ada

juga yang tidak terlalu mengetahuinya.

Menurut Choen A. P. (1985) dalam

Triyanto (2001) mengatakan bahwa faktor yang

paling berpengaruh dalam bentuk dan pola rumah

adalah faktor kepercayaan, bahkan dalam

masyarakat tradisional merupakan faktor yang

dominan dibandingkan faktor yang lain. Sama

halnya dengan rumah tradisional suku Lamaholot

yang ada di Kecamatan Ile Ape, bentuk dan

maknanya banyak dipengaruhi oleh faktor

kepercayaan.

Elemen-elemen arsitektur yang ada pada

bangunan tradisional suku Lamaholot seperti

bentuk atap dengan tusuk bambu yang berjumlah

tujuh dan lima memberikan makna yang berbeda.

Selain tusuk bambu pada atap, pemakaian

material juga menjadi pembeda siapa pemilik

rumah tersebut. Meskipun memiliki beberapa

perbedaan tersebut namun ada kesamaan pada

pola ruang dalam bangunan. Ruang yang paling

dianggap sakral ada pada area Bale dengan sebuah

tiang yang biasa disebut Rie wanan (sebuah kayu

bercagak).

Suku Lamaholot di Kecamatan Ile Ape

Kabupaten Lembata memiliki 5 kampung

tradisional yang sampai saat ini masih

mempertahankan tradisi yang ditinggalkan oleh

nenek moyangnya. Kelima kampung tersebut

adalah: Kampung Napaulun, Kampung

Lewotolok, Kampung Lewohala, Kampung

Lamarian, dan Kampung Atawatung. Keberadaan

kelima kampung tradisional tersebut sampai saat

ini masih jauh dari publikasi sehingga masyarakat

yang ada di Nusa Tenggara Timur khususnya

yang ada di Pulau Flores bagian timur, sebagian

Pulau Alor, Pulau Solor, dan Pulau Adonara yang

merupakan satu rumpun Suku Lamaholot secara

keseluruhan kurang mengetahui mengenai

keberadaan kelima kampung tersebut.

Seiring dengan perkembangan zaman,

keberadaan kelima kampung ini khususnya

bangunan tradisional yang ada pada kampung

tersebut perlahan mulai di tinggalkan beberapa

kepala keluarga karena merantau atau alasan yang

lain. Beberapa bangunan tradisional terpaksa tidak

dibangun lagi karena hampir sebagian kepala

keluarganya yang menjadi Beruin Kolen (anak

sulung dalam suku) pergi dari kampung tersebut

dan tidak diketahui keberadaannya. Tidak hanya

rumah, tetapi ada sebagian koker bale (tempat

melakukan pemujaan diluar bangunan) yang juga

tidak dibangun kembali karena yang menjadi

pemimpin dalam koker bale tersebut pergi

merantau atau tidak diketahui keberadaannya

sehingga tidak ada yang bisa menggantikan peran

tersebut.

Hilangnya beberapa bangunan dan Koker

Bale yang ada pada kampung tersebut serta

minimnya pengetahuan generasi sekarang dalam

mempelajari warisan budaya nenek moyang

berakibat pada ketidaktahuan akan wujud asli dari

kampung tersebut serta ketidaktahuan akan

hubungan antara semua elemen-elemen ruang

yang dianggap sakral terkait dengan proses ritual.

Semua elemen yang digunakan dalam ritual tentu

memiliki pesan dan makna simbolis, namun

karena minimnya pengetahuan generasi sekarang

dalam mempelajari semua itu berakibat pada

hilangnya beberapa pesan dan makna simbolis

Page 3: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Hal ini

berakibat juga pada pelanggaran aturan yang

sudah menjadi tradisi mereka seperti teknik

membangun dan penggunaan material pada

bangunan.

Dalam upaya untuk mengetahui dan

mempertahankan bentuk dan makna simbolis pada

elemen arsitektur rumah tradisional suku

lamaholot yang ada di kecamatan Ile Ape

Kabupaten Lembata seperti yang telah menjadi

kesepakatan nenek moyang mereka maka perlu

dilakukan penelitian pada bangunan tradisional

yang ada pada kelima kampung tersebut dengan

fokus pengamatan pada kampung Napaulun.

Berdasarkan uraian dari latar belakang

diatas menunjukan bahwa pada awalnya bentuk

dan makna yang ada pada bangunan tradisional

suku Lamaholot di Kecamatan Ile Ape

menyampaikan sebuah pesan dan makna kepada

masyarakat yang ada disana. Namun dalam

perkembangannya, bentuk dan makna yang ada

pada bangunan tersebut tidak lagi di maknakan

sebagaimana awalnya oleh sebagian besar

masyarakat yang ada disana karena minimnya

pengetahuan generasi sekarang dalam

mempelajari warisan budaya nenek moyang.

Dari rumusan masalah yang sudah diuraikan

tersebut maka masalah penelitian yang akan

diangkat adalah:

1. Bagaimana bentuk dan makna simbolis pada

elemen-elemen arsitektur yang ada pada

bangunan tradisional Suku Lamaholot di

kampung Napaulun Kecamatan Ile Ape -

Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tengara

Timur.

2. Bagaimana hubungan antara Bale (Nathan

Belen) didalam rumah dan Koker Bale diluar

rumah dalam kaitan dengan proses

ritual/pemujaan.

3. Pesan-pesan apa saja yang terkandung didalam

elemen-elemen arsitektur bangunan tradisional

suku Lamaholot di kampung Napaulun

kecamatan Ile Ape.

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk memahami bentuk dan makna simbolis

pada elemen-elemen arsitektur yang ada pada

rumah tradisional Suku Lamaholot di

Kecamatan Ile Ape - Kabupaten Lembata,

Propinsi Nusa Tengara Timur.

2. Untuk mengetahui hubungan antara Bale

(Nathan Belen) didalam rumah dan Koker Bale

diluar rumah dalam kaitan dengan proses

ritual/pemujaan.

3. Untuk mengetahui Pesan-pesan apa saja yang

terkandung didalam elemen-elemen arsitektur

bangunan tradisional suku Lamaholot di

kampung Napaulun kecamatan Ile Ape.

II. METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

penelitian kualitatif, dimana kesimpulan

dirumuskan berdasarkan temuan yang ada

dilapangan. Hasil temuan tersebut dikaitkan

dengan budaya setempat dan proses

ritual/pemujaan yang dilakukan setiap tahun oleh

masyarakat suku lamaholot di Ile Ape pulau

Lembata. Lokasi penelitian berada di kampung

Napaulun Kecamatan Ile Ape, Kabupaten

Lembata, NTT.

Data penelitian diperoleh dari hasil

observasi baik itu pengamatan, pengukuran dan

dokumentasi langsung di lapangan dan data hasil

wawancara dengan informan untuk mendapatkan

informasi yang mendukung hasil penelitian.

Informan yang diwawancarai yaitu: Tokoh

masyarakat /sesepuh yang ada di kelima kampung

tradisional seperti kepala suku, belen raya

(pemimpin kampung) pemuka agama, kepala desa

dan mantan kepala desa. Data sekunder diperoleh

dari studi pustaka pada buku, dokumen, artikel

dan jurnal.

Page 4: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Gambar 1, Peta Lokasi Penelitian

Sumber : http://www.google.co.id/, diakses 10 November 2014

III. TINJAUAN PUSTAKA

Arsitektur Tradisional dan Vernakular

Arsitektur tradisional dan arsitektur

vernakular memiliki latar belakang dan

karakteristik yang hampir sama sehingga

keduanya sering disamakan. Keduanya diartikan

sebagai sesuatu yang dilakukan secara turun

temurun dari generasi ke generasi. Namun ada

sedikit perbedaan diantara keduanya, arsitektur

vernakular lebih kepada lokalitas sedangkan

arsitektur tradisional dapat juga mencakup pada

rancang bangun kelompok elite seperti tempat

pemujaan, kuil dan candi.

Berdasarkan kesamaan latar belakang

tersebut maka ada arsitektur tradisional yang

vernakular dan ada arsitektur tradisional yang

tidak vernakular. Arsitektur tradisional yang

dikatakan vernakular adalah arsitektur yang

dirancang bangun oleh seorang amatir untuk

keperluan ritual dengan menggunakan sumber

daya lokal. Sedangkan arsitektur tradisional yang

tidak termasuk vernakular adalah arsitektur yang

sudah dirancang bangun oleh seorang profesional

meskipun bangunan tersebut berfungsi sebagai

tempat ritual.

Sebagai contoh bangunan tradisional yang

ada di TMII, bangunan-bangunan tersebut tidak

termasuk dalam arsitektur tradisional yang

vernakular karena sudah dirancang bangun oleh

profesional. Sedangkan bangunan tradisional suku

lamaholot yang ada di Kecamatan Ile Ape

merupakan bangunan yang termasuk dalam

arsitektur tradisional vernakular karena dirancang

bangun oleh amatir dengan menggunakan material

lokal dan digunakan untuk keperluan ritual.

a. Arsitektur Tradisional

Tradisi berasal dari kata tradition (latin:

tradere) yang berarti melimpahkan ke pelanjut

sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang telah

dilakukan secara terus menerus oleh suatu

masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa

melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang

bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah

tidak dilakukan lagi (Handler & Linnekin, 1988).

5Ile Ape

Page 5: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Sedangkan menurut Shils (1981), tradisi

merupakan sesuatu yang dilakukan oleh suatu

masyarakat secara terus menerus setelah

mengalami seleksi secara alami, minimal tiga

generasi.

Istilah tradisional merujuk pada prosedur

dan objek material yang telah diterima sebagai

norma pada suatu masyarakat, dimana elemen-

elemen tersebut diturunkan dari generasi ke

generasi, umumnya secara verbal atau melalui

dokumen-dokumen yang disusun berdasarkan

cerita verbal, yang mentransfer pengetahuan,

instruksi, dan prosedur (Nobel, 2009). Namun, hal

ini tidak berarti bahwa proses tradisional maupun

objek tradisional tidak dapat berubah seiring

waktu. Ley dan Duncan (dalam Pratiwi 2009)

menyatakan bahwa tradisi berakar pada budaya,

dan budaya berakar pada tempat. Kebiasaan-

kebiasaan dan praktek yang diwariskan secara

turun-temurun ini merupakan bagian dari evolusi

budaya. Ini menunjukkan keberlanjutan dari

„proses perbaikan‟ pada suatu peradaban atau

komunitas.

Menurut Amos Rapoport (1960),

arsitektur tradisional merupakan bentukan

arsitektur yang diturunkan dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Mempelajari bangunan

tradisional berarti mempelajari tradisi masyarakat

yang lebih dari sekedar tradisi membangun secara

fisik. Sedangkan menurut Ismunandar dalam

Marcus Gartiwa (2010:41), arsitektur dan

bangunan tradisional merupakan hasil seni

budaya, yang merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kehidupan masyarakat

tradisional, yang mampu memberikan ikatan lahir

dan batin.

b. Arsitektur Vernakular

Secara etimologis kata Verna berasal dari

bahasa latin yang berarti home born slave

(Nuttgents, 1993). Kata Vernakular juga berasal

dari vernaculus (latin) berarti asli (native). Dalam

ilmu bahasa (linguistik), bahasa vernakular

mengacu pada penggunaan bahasa untuk waktu,

tempat atau kelompok lokal/tertentu. Dalam

kebudayaan khususnya arsitektur, terminologi

tersebut merujuk pada jenis kebudayaan, atau

arsitektur yang berlaku di tempat tertentu/lokal

(tidak meniru dari tempat lain). Kata Vernakular

sebenarnya lebih mengacu kepada konsep struktur

sosial dan ekonomi masyarakat kebanyakan (Alan

Colquhoun, 1989), sehingga lokalitas,

kesederhanaan, pewarisan nilai-nilai (regenerasi)

merupakan 3 hal utama dalam kebudayaan

vernakular.

Arsitektur vernakular merupakan

arsitektur yang tidak dirancangbangun oleh

pengrajin (craftsman), tanpa peran seorang arsitek

profesional (architecture without architects),

dengan teknik dan material lokal, lingkungan

lokal: iklim, tradisi, ekonomi (Rudofsky, 1965).

Bentuk bangunan vernakular bersifat kasar, asli,

lokal, jarang menerima inovasi dari luar, karena

didasarkan pada kebutuhan manusia (human

demand) dan ketersediaan material bangunan

setempat. Sehingga fisik dan kualitas estetika,

bentuk dan struktur, serta tipologi bangunannya

dipengaruhi oleh kondisi geografi setempat

(Masner, 1993).

Menurut Paul Oliver (1993), Arsitektur

yang dirancang oleh arsitek profesional, biasanya

tidak dianggap vernakular. Proses yang secara

sadar dalam merancang bangunan membuatnya

tidak vernakular. Sedangkan menurut Brunskill

(2000), mengatakan bahwa arsitektur vernakular

adalah sebuah bangunan yang di rancang bangun

oleh seorang amatir tanpa pengetahuan dalam

merancang bangun.

Bentuk dan Makna Elemen Arsitektur

Tradisional dan Vernakular

Berdasarkan sumber-sumber referensi

arsitektur vernakular yang dikutip dari Mentayani

(2012) maka dapat disimpulkan bahwa arsitektur

vernakular memiliki 2 (dua) ranah dan unsur,

yaitu: bentuk dan makna. Unsur bentuk berada

dalam ranah fisik, sedangkan unsur makna berada

dalam ranah abstrak. Baik unsur bentuk maupun

Page 6: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

unsur makna, masing-masing memiliki 3 (tiga)

aspek, yaitu: teknis, budaya, dan lingkungan.

Dalam aspek teknis, baik pada unsur

bentuk maupun makna adalah hal-hal yang

berkaitan dengan keteknikan, seperti: cara

membangun, teknik konstruksi yang digunakan,

dan pemilihan material. Dalam aspek budaya, baik

pada unsur bentuk maupun makna ada pada

bentuk bangunan beserta elemen-elemen

arsitekturnya. Semua itu dibuat berdasarkan

kepercayaan masyarakat setempat. Aspek budaya,

pada ranah fisik biasanya berupa simbol,

sedangkan pada ranah abstrak berupa pesan yang

ingin disampaikan. Sedangkan dalam aspek

lingkungan, yang menjadi faktor

vernakularitasnya adalah adaptasi bangunan

terhadap kondisi lingkungan sekitar, baik itu pada

unsur bentuk maupun makna.

Dari uraian tersebut diatas maka dapat

diketahui bahwa bentuk dan makna dalam

arsitektur tradisional/vernakular saling berkaitan

dan tidak dapat dipisahkan. Bentuk sebagai media

untuk menyampaikan makna dan makna

menyampaikan sebuah pesan melalui bentuk.

Menurut Alexander (1977) dalam Mentayani,

bentuk yang bagus bukan hanya indah tetapi juga

cocok dengan kondisi lingkunan sekitar, bukan

hanya memikirkan bangunan itu saja tetapi harus

memikirkan konteksnya.

Makna merupakan alat untuk melihat,

memahami, dan mengartikan secara verbal

(bahasa) atau melalui kata-kata dan non verbal

melalui benda atau tanda. Selain keterkaitan

antara bentuk dan makna, simbol dan makna juga

memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.

Makna sebagai pesan yang ingin disampaikan

dan simbol sebagai media fisiknya. Makna dan

simbol pada karya arsitektur dapat diungkap

melalui bentuk, ritme, warna, dan tekstur.

Menurut Rapoport (1969) dalam Mentayani,

sebuah karya arsitektur diciptakan bukan hanya

untuk mengemban simbol semata yakni sebagai

tempat tinggal, akan tetapi mengandung makna

yang lebih dalam. Dalam masyarakat tradisional,

arsitektur selalu dikaitkan dengan hal-hal yang

bersifat religius.

Bangunan dan Pemukiman Tradisional

a. Bangunan Tradisional

Salah satu kebudayaan fisik yang dapat

dilihat adalah bentuk bangunan tradisional.

Menurut Machmud (2006:180), rumah tradisional

dapat diartikan sebagai sebuah rumah yang

dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa

generasi. Sedangkan menurut Amos Rapoport

(1960), perumahan tradisional dibangun tidak

berdasarkan teori rancang bangun tapi lebih

berorientasi pada budaya serta pengaruh

kepercayaan yang mereka anut. Mempelajari

bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi

masyarakat yang lebih dari sekedar tradisi

membangun secara fisik. Kriteria dalam menilai

keaslian rumah–rumah tradisional antara lain

kebiasaan–kebiasaan yang menjadi suatu

peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan

ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual

tertentu misalnya upacara pemancangan tiang

pertama, selamatan dan penentuan waktu yang

tepat. Selain hal tersebut, masih banyak tata cara

atau aturan yang dipakai, misalnya arah hadap

rumah, bentuk, warna, motif hiasan, bahan

bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau

mantera yang harus dibaca dan sebagainya sangat

erat terkait pada rumah tradisional (Marcus

Gartiwa, 2010)

Masih menurut Gartiwa (2010), konsep

tatanan ruang dalam bangunan umumnya sama

dengan konsep tatanan ruang dalam satu

perkampungan. Pembagian ruang dapat

dikategorikan secara vertikal dan horisontal.

Pembagian ruang ini merupakan respon terhadap

sistem sosial kekerabatan, kosmologi, dan kondisi

alam sekitar. Secara horisontal terdapat bagian

rumah yang dianggap paling sakral atau suci,

yaitu bagian yang paling dalam atau belakang,

sehingga menjadi tempat pemujaan atau

penyimpanan benda-benda keramat. (Marcus

Gartiwa, 2010).

Page 7: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Bangunan tradisional mempunyai

beberapa ciri yang dapat dilihat secara visual.

Ciri-ciri ini hampir semuanya terdapat di beberapa

daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa

lokasi sedikit mempunyai perbedaan. Beberapa

ciri arsitektur tradisional menurut Utomo (dalam

Dewi et al. 2008:33-35): 1). Berlatar belakang

religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional

tidak lepas dari faktor religi, baik secara konsep,

pelaksanaan pembangunannya maupun wujud

bangunannya. Hal ini disebabkan oleh cara

pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam

menempatkan bagian integral dari alam, yaitu

alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil

(mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat

tradisional adalah bagaimana agar kestabilan dan

keseimbangan alam tetap terjaga. Bentuk

perujukan dengan alam tersebut dilakukan dengan

berbagai cara, yaitu sebagai berikut: Menganggap

arah-arah tertentu memiliki kekuatan magis.

Adapula yang menghubungkan arah dengan

simbolisme dunia (baik dan suci), tengah (sedang)

dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik

ini mempengaruhi pola tata letak bangunan dalam

satu tapak. Bangunan-bangunan harus dihadapkan

pada arah baik dan membelakangi arah buruk; dan

menganggap ruang-ruang tertentu memiliki

kekuatan magis: adakalanya ruangan tertentu di

dalam bangunan dianggap mempunyai nilai

sakral. Kesakralan ini diwujudkan dengan

memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. 2).

Pengaruh hubungan kekeluargaan

/kemasyarakatan: Hubungan kekeluargaan dalam

struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan

menjadi beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian

darah (genealogi) kelompok masyarakat

tradisional dibedakan menjadi: - Sistem bilateral

atau parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini

terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Di dalam

perkembangannya jumlah anggota keluarga pada

sistem ini semakin lama semakin banyak,

sehingga anggota keluarga yang tinggal bersama

akan semakin besar, bahkan sampai rumah tinggal

mereka tidak memuatnya lagi; dan - Sistem

unilateral: Susunan keluarga dalam sistem ini

ditarik dari garis keturunan hanya dari pihak ayah

saja (patrilineal/patrilokal) atau dari pihak ibu

(matrilokal). 3). Pengaruh iklim: Karena posisi

Indonesia berada pada zona yang beriklim tropis

lembab, maka mau tidak mau keberadaan

arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim

tropis lembab. Konsep adaptasinya terhadap iklim

setempat yang diterapkan pada bangunan rumah

tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh

yang baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi),

pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan

bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-

benar memperhatikan kondisi iklim tropis

sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi

penghuni rumah.

b. Pemukiman Tradisional

Pemukiman tradisional sering

direpresentasikan sebagai tempat yang masih

memegang nilai-nilai adat dan budaya yang

berhubungan dengan nilai kepercayaan atau

agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu

masyarakat tertentu yang berakar dari tempat

tertentu pula di luar determinasi sejarah

(Sasongko 2005). Menurut Sasongko (2005),

bahwa struktur ruang permukiman digambarkan

melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas

sebagai komponen utama, selanjutnya

diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau

lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan

binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik

yang tidak hanya mementingkan orientasi saja

tetapi juga objek nyata dari identifikasi.

Menurut Habraken dalam Fauzia

(2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk

komunitas, bentuk lingkungan permukiman

merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan

merupakan produk orang per orang. Artinya

komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri

permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah

yang memberikan keunikan tersendiri pada

bangunan tradisional, yang antara lain dapat

dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan

serta konsep religi yang melatarbelakanginya.

Page 8: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu

daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu

Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa

benda–benda hasil karya manusia merupakan

wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya

adalah permukiman dan bangunan tradisional.

Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya

Bentuk dan Makna Arsitektur Tradisional

dan Vernakular

Menurut Miarsono (1997) dalam

Budihardjo (1997:149), bahwa arsitektur dan

lingkungan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial

budaya, bukan hanya dipengaruhi oleh iklim,

teknologi, bahan bangunan dan ekonomi, dimana

semua faktor ini menghasilkan wujud bangunan.

Bangunan bukan sekedar objek atau suatu bentuk

struktur saja, melainkan sebagai suatu institusi

dasar suatu budaya. Sementara Rapoport (1969:

18-26) dalam buku House Form and Culture

menjelaskan tentang teori alternatif wujud. Ia

menyatakan bahwa:

Terciptanya suatu wujud atau model disebabkan

oleh beberapa faktor yaitu faktor primer dan

faktor sekunder. Faktor primer meliputi faktor

sosial budaya, sedangkan faktor sekunder

mencakup faktor iklim, faktor bahan atau

material, faktor konstruksi, faktor teknologi dan

faktor lahan.

Faktor iklim bukanlah faktor utama yang

menentukan wujud karena pada kenyataannya

terdapat banyak variasi wujud yang lahir di daerah

yang beriklim sama. Faktor bahan atau material,

konstruksi dan teknologi juga tidak

mempengaruhi bentuk secara langsung. Bahan

dapat ditentukan kemudian setelah wujud yang

diinginkan sudah terbayang. Akan tetapi ketiga

faktor tersebut tetap memberikan perbedaan

tertentu terutama karena dengan

mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dapat

membantu mewujudkan wujud yang diinginkan.

Faktor sosial budaya meliputi

pertimbangan-pertimbangan tentang agama dan

kepercayaan, keluarga dan struktur masyarakat,

organisasi sosial, hubungan sosial antar individu

dan pandangan hidup. Pandangan hidup setiap

orang yang salah satunya dipengaruhi oleh

hubungan manusia dan alam tentunya berbeda

sehingga berdampak pada cara setiap orang

bertingkahlaku dalam menjalani hidup. Hal ini

yang melahirkan keistimewaan suatu kebudayaan.

Faktor sosial budaya merupakan faktor yang

sangat penting dalam proses lahirnya wujud

arsitektural. Namun demikian lahirnya suatu

wujud tidak cukup dengan hanya menjelaskan

salah satu diantara sekian banyak faktor yang

disebutkan sebelumnya. Jauh lebih baik

memperhatikan interaksi dari setiap faktor

sekunder yang berpengaruh dan juga

memperhatikan fenomena budaya setempat yang

Amos Rapoport sebutkan sebagai faktor primer.

IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kampung Tradisional

Napaulun di Ile Ape

Secara administratif kampung tradisional

Napaulun berada diantara Desa Bunga Muda dan

Desa Napasabok Kecamatan Ile Ape Kabupaten

Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur.

Kampung lama Napaulun atau sering di kenal

dengan kampung “Ulun Lela Koli Weran Nara

Wayong” merupakan sebuah kampung tradisional

yang terletak diatas gunung Ile Ape, sekitar 2000m

dpl. Kampung ini tidak dihuni tapi hanya

ditempati atau dipakai pada saat upacara ritual

tahunan atau sering disebut dengan Hamang Utan.

Kampung tradisional Napaulun terdiri dari

14 suku/klan dan memiliki 36 rumah dan satu

rumah Taran Wanan yang dijadikan untuk tempat

untuk melakukan ritual/pemujaan. Setiap suku

memiliki lebih dari satu rumah kecuali suku Laper

Making dan suku Lemanuk. Selain rumah yang

dijadikan tempat ritual/pemujaan, terdapat juga 7

buah Koker Bale yang merupakan bagian daripada

tempat untuk melakukan ritual/pemujaan tersebut.

Page 9: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Gambar 2, Layout Kampung Tradisional Napaulun Suku Lamaholot di Kec. Ile Ape Kab. Lembata

Sumber : penulis

Suku-suku yang menempati satu Koker

Bale biasanya memiliki asal usul yang sama atau

berasal dari satu keturunan, hal ini dapat diketahui

dari cerita asal usul nenek moyang setiap suku.

Suku Lemanuk dan Koli Making tergabung dalam

satu Koker Bale, suku Laga Making, Balawala,

dan Nimanuho satu Koker Bale, suku Waolangun

sendiri menempati satu Koker Bale, begitu juga

dengan suku Lado Purab satu Koker Bale, suku

Niha Making, Laper Making, dan Belaon Making

satu Koker Bale, suku Hurek Making, Paokuma,

dan Lama Rongan memiliki dua buah Koker Bale.

Kondisi topografi dari kampung Napaulun

merupakan daerah berkontur, penempatan

bangunan mengikuti kondisi tapak yang datar

dengan pola perkampungan terpusat pada

Namang. Namang merupakan tempat berkumpul

untuk melakukan musyawarah dan menerima tamu

sewaktu melakukan upacara Hamang Utan. Selain

berfungsi seperti itu, Namang juga dipercaya

sebagai pusat kekuatan dari kampung Napaulun

dengan Nude sebagai Lewo Puhuren (pusar

kampung),

Gambar 3, Nude, berada dipojok kanan Namang sebagai pusar kampung.

Sumber: penulis

1 2 2 3

4 3 4

5 1

3 4

Namang

KB

1

9 10

3 5

6

2

7

8

8

11

10

8

13

10

12

9 8

12

11 8 10 12

14 TW

KB KB

KB

KB KB

KB

1: Laga Making (2) 10: Niha Making (4 )

2: Koli Making (3) 11: Waolangun (2) 3: Nimanuho (4) 12: Lado Purab (3)

4: Lopot Making (3) 13: Belaon Making (1)

5: Balawala (2) 14: Lama Rongan (1)

6: Laper Making (1) 7: Lemanuk (1) KB: Koker Bale

8: Hurek Making (5) TW: Taran Wanan

9: Paokuma (2)

Page 10: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Wujud Bangunan Tradisional Suku Lamaholot

di Ile Ape

Seperti bangunan tradisional nusantara

pada umumnya, bangunan tradisional suku

lamaholot di Ile Ape juga dibangun untuk

keperluan ritual/pemujaan. Dibangun

menggunakan sumberdaya lokal dengan

menyesuaikan kondisi iklim setempat, kondisi site,

dan kebiasaan atau tradisi setempat. Bangunan ini

tidak ditempati sehari-hari tetapi hanya ditempati

pada saat upacara Hamang Utan, setiap klan/suku

memiliki rumah tradisional tersebut.

Bangunan dengan atap yang tinggi dan

curam, konstruksi atap sebagian besar dari bambu

dengan penutup atap dari alang-alang, daun

kelapa, daun tuak/lontar. Bentuk atap yang curam

merupakan tanggapan akan kondisi iklim

setempat, dimana suhu yang panas diatasi dengan

konstruksi atap yang tinggi. Tidak hanya itu,

menggunakan penutup atap dari alang-alang, daun

kelapa dan daun tuak/lontar membuat aliran air

hujan menjadi tidak lancar kalau tidak diatasi

dengan atap yang curam. Dinding menggunakan

daun kelapa, ikatan daun tuak/lontar, dan ikatan

alang-alang yang tidak tertutup sampai ketanah

merupakan solusi untuk mengalirkan udara

kedalam bangunan pada musim panas. Lantai dari

tanah, tidak ditinggikan tetapi hanya ada

peninggian menggunakan batu atau tanah

disekeliling bangunan untuk menghindari

masuknya air hujan.

Gambar 4, denah & tampak perspektif bangunan tradisional suku Lamaholot di kampung Napaulun, Ile Ape

Sumber: penulis

Bentuk bangunan ini terlihat cukup

sederhana, berbeda dengan bangunan tradisional

yang ada di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.

Bagian dalam bangunan juga tidak terdapat ruang-

ruang yang terlihat secara fisik, meskipun

demikian bagian pojok kanan yang terdapat

Bale/Nathan Belen merupakan area sakral yang

digunakan untuk pemujaan/ritual.

Gambar 5, Bale/nathan belen: tempat melakukan pemujaan/ritual bagi satu suku/klan

Page 11: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Sumber: penulis

Area Bale/Nathan Belen hanya bisa

ditempati oleh Beruin Kolen (anak laki-laki sulung

pada klan tersebut). Selain Bale, dalam bangunan

ini juga terdapat dua buah Luran (tungku), salah

satu tungku tidak bisa digunakan sehari-hari tetapi

hanya dapat digunakan pada saat ritual atau

upacara Hamang Utan. Api yang digunakan juga

api yang bersumber dari hasil gesekan antara dua

buah bambu yang diperoleh dari Nuba (tempat

awal memulai ritual Hamang Utan).

Gambar 6, Atang Lakin (symbol pria)& Atang Ronen (symbol wanita): Atang merupakan balok keliling

Sumber: penulis

Pada bangunan ini tidak memisahkan

ruang sesuai gender tetapi ada beberapa elemen

bangunan yang dijadikan symbol pria dan wanita.

Hal ini dapat terlihat pada pemberian nama ring

balk, dimana Atang Ronen (ring balk-wanita)

merupakan symbol dari wanita dan ditempatkan

berada dibawah Atang Lakin (ring balk-pria)

sebagai symbol pria. Sama halnya dengan Atang

(ring balk), pada konstruksi atap juga terdapat

elemen bangunan yang menjadi symbol pria dan

wanita. Wolar Ronen (balok bubungan-wanita)

berada dibawah Wolar Lakin (balok bubungan-

pria). Fungsi dari Wolar Ronen pada bangunan ini

adalah sebagai tumpuan noreng/atew (reng) pada

bagian paling atas, sedangkan fungsi dari Wolar

Lakin adalah sebagai dudukan dari bubungan atap.

Setiap sambungan dan teknik perkuatan pada

konstruksi atap bangunan ini menggunakan ikatan

dari Lepha (kulit daun tuak/lontar).

Gambar 7, kiri: detail sambungan pada balok bubungan, kanan: detail sambungan pada kolom & ring balk

Sumber: penulis

ATANG RONEN ATANG LAKIN ATANG LAKIN

Page 12: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Selain elemen-elemen yang menjadi

symbol pria dan wanita, pada bangunan ini juga

terdapat elemen bangunan yang melambangkan

siapa pemilik bangunan tersebut. Elemen

bangunan tersebut adalah Nun Maen (tiang kuda-

kuda), dimana pada konstruksi kuda-kuda yang

terdapat dua buah Nun Maen maka bangunan

tersebut adalah pemilik dari suku/klan Belen Raya

(suku yang menjadi pemimpin atau suku yang

memiliki kedudukan lebih tinggi pada kampung

tersebut), sedangkan bangunan dengan konstruksi

kuda-kuda hanya memiliki satu Nun Maen maka

bangunan tersebut adalah pemilik dari suku/klan

biasa.

Gambar 8, Nun maen (tiang kuda-kuda): rumah dengan konstruksi kuda-kuda menggunakan dua nun maen

menandakan rumah tersebut milik dari suku belen raya

Sumber: penulis

Untuk membedakan siapa suku/klan

pemilik rumah tersebut bisa juga dikenali dari

symbol yang ada pada atap berupa jumlah batang

bambu yang ditusuk diatas bubungan atap.

Bubungan atap dengan tusuk bambu berjumlah 7

menandakan bahwa pemilik rumah tersebut

berasal dari suku/klan Belen Raya, sedangkan

bubungan atap dengan tusuk bambu berjumlah 5

maka pemilik rumah tersebut berasal dari

suku/klan biasa.

Hubungan Antara Ruang Dalam dan Ruang

Luar Dalam Kaitannya Dengan Proses Ritual

Hamang Utan merupakan sebuah upacara

syukuran dan sekaligus pemujaan kepada nenek

moyang atas segalah berkat dan penyertaan

mereka selama setahun yang diadakan pada

kampung ini. Upacara ini dimulai dengan

mengundang arwah nenek moyang untuk hadir

bersama-sama dalam perayaan tersebut dan

diakhiri dengan Ohong Gapu (mandi dan keramas)

kepada para arwah sebelum diantar kembali ke

tempat mereka. Karena upacara ini dihadiri juga

oleh arwah nenek moyang maka setiap ucapan dan

perbuatan selama upacara ini berlangsung selalu

dijaga atau selalu berhati-hati karena sedikit

kesalahan dalam ucapan dan perbuatan bisa

mendatangkan malapetaka. Selain Hamang Utan,

ada lagi upacara Uran Apun (permohonan hujan)

yang dilakukan pada kampung ini.

Upacara Hamang Utan dan Uran Apun

yang dilakukan pada kampung tradisional

Napaulun sangat erat kaitannya dengan ruang yang

ada didalam bangunan dan diluar bangunan.

Ruang-ruang tersebut merupakan area sakral yang

tidak sembarangan ditempati oleh semua orang.

WOLAR RONEN

NUN MAEN NUN MAEN NUN MAEN

Page 13: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Ruang sakral yang dipakai dalam upacara Hamang

Utan adalah Bale/Nathan Belen yang ada didalam

bangunan, Koker Bale, dan Nuba yang ada diluar

bangunan.

Gambar 9, kiri: Bale/Nathan Belen kanan: Koker Bale

Sumber: penulis

Bale/Nathan Belen dan Koker Bale

memiliki kesamaan bentuk dan fungsi keduanya

memiliki sebuah Rie Wanan (Kayu Bercagak)

yang dilengkapi dengan Mahang (Ranting dari

bambu yang diikat di Rie Wanan untuk

kelengkapan dalam ritual). Bale/Nathan Belen

merupakan tempat yang dianggap paling sakral

didalam bangunan dan berada pada pojok kanan.

Bale ini berfungsi untuk melakukan pemujaan

kepada nenek moyang dan untuk mencari

kebenaran dan kesalahan yang ada didalam satu

klan serta tempat untuk melakukan penghitungan

keturunan dari setiap anak laki-laki, dalam upacara

ini anak perempuan tidak dihitung. Sama seperti

Bale, Koker Bale juga memiliki fungsi yang

serupa dengan Bale. Hanya saja, Koker Bale

merupakan gabungan dari beberapa klan/suku

yang memiliki asal usul yang sama atau berasal

dari satu keturunan.

Selain sebagai tempat untuk melakukan

upacara Hamang Utan, kampung tradisional

Napaulun juga melakukan upacara Uran Apun.

Upacara ini dimulai dari merenovasi Taran Wanan

sebelum melakukan upacara permintaan air hujan

kepada Lera Wulan Tana Ekan (sang penguasa

langit dan bumi) yang dilakukan diatas puncak

gunung Ile Ape. Taran Wanan adalah sebuah

rumah yang didalamnya terdapat sebuah batu

hitam bernama Bani, rumah ini sangat sakral

sehingga masyarakat setempat hampir tidak berani

menyentuhnya apalagi merusaknya. Mereka

percaya bahwa merusak atau mematahkan sehelai

atap/dinding dari rumah tersebut akan

mendapatkan malapetaka. Tidak hanya Taran

Wanan yang dijadikan sebagai tempat ritual, salah

satu tempat yang menjadi penyembahan dalam

upacara Uran Apun adalah Wawe Sigo (sebuah

batu besar yang ada di Namang), batu ini juga

dianggap sakral oleh masyarakat setempat

sehingga jarang untuk didudukin ketika ada

upacara Hamang Utan atau ada upacara keramaian

yang lain, bahkan orang yang memiliki lukia di

tubuh tidak berani menyentuhnya karena

dipercaya luka yang ada tersebut tidak akan

sembuh. Selain kedua tempat yang sudah

disebutkan diatas, ada lagi tempat yang digunakan

untuk melakukan ritual Uran Apun, yakni: Nuba,

dan Nara. Nara merupakan tempat terakhir

melakukan ritual Uran Apun dimana seorang gadis

dari suku Balawala akan dijadikan korban.

Masyarakat setempat mempercayai bahwa dengan

mengorbankan seorang gadis setelah proses ritual

yang panjang maka permohonan mereka akan

dikabulkan oleh sang penguasa langit dan bumi.

Page 14: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

Gambar 10, kiri: Taran wanan, kanan: Bani (tempat awal memulai ritual Uran Apun)

Sumber: penulis

Gambar 11, kiri: Wawe sigo, sebuah batu yang dipercaya menjadi jelmaan dari babi sigo (binatang yang suka

dengan air). Ritual pada batu ini dilakukan setelah upacara permintaan air hujan diatas puncak gunung. Kanan:

Nuba: tempat awal melakukan ritual dalam upacara Hamang Utan

Sumber: penulis

Tradisi Membangun Pada Bangunan

Tradisional Suku Lamaholot di Ile Ape

Langkah pertama dalam proses

mendirikan atau merenovasi rumah tradisional

suku Lamaholot yang ada pada kampung

Napaulun adalah mengumpulkan semua kebutuhan

material yang diperlukan dalam membangun.

Material tersebut diperoleh dari hutan sekitar

kampung tradisional yang dimiliki oleh masing-

masing anggota keluarga atau hutan milik

suku/klan. Setelah material terkumpul maka

langkah selanjutnya adalah menghubungi kerabat

atau anggota suku yang lain untuk membantu

dalam proses mendirikan. Setelah rumah selesai

dibangun atau direnovasi maka dilanjutkan dengan

Bekang Lango (upacara peresmian rumah).

Dalam membangun rumah tradisional

suku Lamaholot di kampung Napaulun, terdapat

aturan atau tradisi yang harus dipatuhi oleh

masyarakat setempat. Seperti dalam menggunakan

material pada bangunan, klan/suku yang berasal

dari Belen Raya memiliki aturan yang berbeda

dengan suku/klan biasa, seperti dalam

menggunakan material yang boleh dan tidak boleh

dipakai. Teknik penyambungan dalam semua

konstruksi pada bangunan ini menggunakan sistem

ikat dari Lepha dan raghe (tali hasil olahan dari

daun tuak) serta menggunakan Tilo pada

Page 15: Publikasi Ilmiah-dion Kumhan

penyambungan kolom dan balok. Teknik

penyambungan tersebut tidak bisa diganti dengan

menggunakan bahan dari teknik olahan industri

modern, pelanggaran aturan dalam menggunakan

material dipercaya akan mendapatkan kutukan

berupa sakit yang tidak bisa disembukan secara

medis. Untuk konstruksi kolom dan balok pada

bangunan tradisional suku Lamaholot di Ile Ape

khususnya di kampung Napaulun menggunakan

kayu jenis Papha, Buntura dan Ru, ketiga jenis

kayu ini merupakan tanaman lokal yang banyak

dijumpai kampung tersebut dan jarang ditemui di

daerah lain.

Setiap klan/suku dengan status Belen Raya

membuat konstruksi atap rumah tradisionalnya

dengan semua bahannya dari Au (jenis bambu

yang berwarna kuning), sedangkan klan/suku yang

bukan Belen Raya tidak diwajibkan untuk harus

menggunakan Au sebagai konstruksi atapnya

tetapi bisa menggunakan Tering (jenis bambu

yang berwarna hijau). Selain aturan dalam

menggunakan material, ada sebuah aturan dalam

memperoleh material untuk membuat Bale/Nathan

Belen dan Koker Bale. Material tersebut adalah

Rie Wanan dan Mahang, kedua material ini tidak

bisa diambil atau diperoleh langsung oleh pemilik

rumah tetapi hanya dapat dilakukan oleh Winahi

(orang dari suku/klan yang lain). Setiap suku

memiliki Winhai, peran dari Winhai ini selain

untuk mengambil material khusus dari

Bale/Nathan Belen dan Koker Bale juga

membantu dalam ritual Bekang Lango karena

dalam ritual ini ada beberapa hal yang hanya dapat

dilakukan oleh Winhai.

V. KESIMPULAN DAN SARAN