publikasi ilmiah-dion kumhan
DESCRIPTION
publikasiTRANSCRIPT
BENTUK DAN MAKNA SIMBOLIS: KAITAN ANTARA PROSES RITUAL
DENGAN ELEMEN-ELEMEN ARSITEKTUR RUMAH TRADISIONAL
SUKU LAMAHOLOT DI ILE APE PULAU LEMBATA - NTT
Dionisius Kumhan, ST1, Dr. Ir. Agus Saladin, MA
2, dan Ir. Enny Supriati S., MA
3
1 Mahasiswa Program Studi Magister Arsitektur, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta
2 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta
3 Staff Pengajar, FTSP, Universitas Trisakti, Jakarta
Email: [email protected]
ABSTRAK
Bangunan tradisional merupakan salah satu wujud fisik sebuah kebudayaan yang mencerminkan seperti
apa masyarakat yang membuatnya. Bangunan tersebut tidak hanya menyediakan wadah untuk aktivitas
penggunanya tetapi juga menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis. Faktor kepercayaan atau
religi cukup berpengaruh dalam hadirnya bentuk dan makna pada bangunan tradisional meskipun fakor
iklim, ekonomi, politik, sosial dan budaya juga berpengaruh tetapi tidak terlalu dominan. Sama seperti
bangunan tradisional suku Lamaholot yang ada di Ile Ape Pulau Lembata, bangunan tersebut juga
menyampaikan beberapa pesan dan makna simbolis lewat elemen-elemen arsitektur seperti Bale (Nathan
Belen) yang ada dalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan. Elemen-elemen arsitektur
tersebut merupakan wadah yang digunakan untuk melakukan ritual atau pemujaan. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui bentuk dan makna simbolis pada elemen-elemen arsitektur yang ada pada
bangunan tradisional suku Lamaholot di Ile Ape Pulau Lembeta serta menemukan hubungan antara Bale
(Nathan Belen) yang ada didalam bangunan dan Koker Bale yang ada diluar bangunan dalam kaitannya
dengan proses ritual atau pemujaan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data fisik dan data
non fisik. Data tersebut diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dilapangan serta data hasil
wawancara dengan Kepalah Suku, Belen Raya, Pemuka Adat dan Pemuka Agama untuk mendapatkan
informasi yang mendukung hasil penelitan. Hasil dari penelitian ini diharapkan akan menunjukan
keterkaitan antara elemen-elemen arsitektur yang ada didalam bangunan dan diluar bangunan serta
upacara ritual/pemujaan yang dipengaruhi oleh konsep Lera Wulan Tanah Ekan (penguasa langit dan
bumi) serta kepercayaan akan asal usul nenek moyang mereka.
Kata Kunci: Bentuk dan Makna, Makna Simbolis, Elemen-Elemen Arsitektur Rumah Tradisional, Suku
Lamaholot
I. PENDAHULUAN
Arsitektur tidak hanya menyediakan wadah
untuk aktifitas manusia tetapi juga menciptakan
ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan
simbolik. Bangunan tempat tinggal sebagai salah
satu bentuk ruang arsitektur biasanya mewakili
kebiasaan masyarakat yang membuatnya,
masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang
berhubungan dengan fungsi publik dan ritual ke
dalam lingkungan tempat tinggalnya dengan cara
yang berbeda dan membentuk variasi-variasi
tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam
(Roxana Waterson, 1990: III, 43).
Pada mulanya bangunan hanya berfungsi
sebagai tempat untuk berlindung. Seiring dengan
berkembangnya pengetahuan manusia, bangunan
mengalami perubahan bentuk dan fungsi. Pada
bangunan dan pemukiman tradisional, bentuk dan
fungsi merupakan hasil kesepakatan antara suatu
komunitas dan biasanya memberikan suatu pesan
dan makna tertentu yang dapat dimengerti oleh
komunitas tersebut atau orang yang memiliki satu
rumpun budaya.
Sama halnya dengan bangunan tradisional
suku lamaholot yang ada di Ile Ape pulau
Lembata, bentuk dan fungsi bangunan tradisional
tersebut merupakan hasil dari kesepakatan
bersama dan pada awalnya memberikan sebuah
pesan dan makna yang dapat dimengerti oleh
komunitas tersebut. Dalam perkembangannya,
pesan dan makna tersebut diartikan berbeda-beda
khususnya oleh generasi muda dan bahkan ada
juga yang tidak terlalu mengetahuinya.
Menurut Choen A. P. (1985) dalam
Triyanto (2001) mengatakan bahwa faktor yang
paling berpengaruh dalam bentuk dan pola rumah
adalah faktor kepercayaan, bahkan dalam
masyarakat tradisional merupakan faktor yang
dominan dibandingkan faktor yang lain. Sama
halnya dengan rumah tradisional suku Lamaholot
yang ada di Kecamatan Ile Ape, bentuk dan
maknanya banyak dipengaruhi oleh faktor
kepercayaan.
Elemen-elemen arsitektur yang ada pada
bangunan tradisional suku Lamaholot seperti
bentuk atap dengan tusuk bambu yang berjumlah
tujuh dan lima memberikan makna yang berbeda.
Selain tusuk bambu pada atap, pemakaian
material juga menjadi pembeda siapa pemilik
rumah tersebut. Meskipun memiliki beberapa
perbedaan tersebut namun ada kesamaan pada
pola ruang dalam bangunan. Ruang yang paling
dianggap sakral ada pada area Bale dengan sebuah
tiang yang biasa disebut Rie wanan (sebuah kayu
bercagak).
Suku Lamaholot di Kecamatan Ile Ape
Kabupaten Lembata memiliki 5 kampung
tradisional yang sampai saat ini masih
mempertahankan tradisi yang ditinggalkan oleh
nenek moyangnya. Kelima kampung tersebut
adalah: Kampung Napaulun, Kampung
Lewotolok, Kampung Lewohala, Kampung
Lamarian, dan Kampung Atawatung. Keberadaan
kelima kampung tradisional tersebut sampai saat
ini masih jauh dari publikasi sehingga masyarakat
yang ada di Nusa Tenggara Timur khususnya
yang ada di Pulau Flores bagian timur, sebagian
Pulau Alor, Pulau Solor, dan Pulau Adonara yang
merupakan satu rumpun Suku Lamaholot secara
keseluruhan kurang mengetahui mengenai
keberadaan kelima kampung tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman,
keberadaan kelima kampung ini khususnya
bangunan tradisional yang ada pada kampung
tersebut perlahan mulai di tinggalkan beberapa
kepala keluarga karena merantau atau alasan yang
lain. Beberapa bangunan tradisional terpaksa tidak
dibangun lagi karena hampir sebagian kepala
keluarganya yang menjadi Beruin Kolen (anak
sulung dalam suku) pergi dari kampung tersebut
dan tidak diketahui keberadaannya. Tidak hanya
rumah, tetapi ada sebagian koker bale (tempat
melakukan pemujaan diluar bangunan) yang juga
tidak dibangun kembali karena yang menjadi
pemimpin dalam koker bale tersebut pergi
merantau atau tidak diketahui keberadaannya
sehingga tidak ada yang bisa menggantikan peran
tersebut.
Hilangnya beberapa bangunan dan Koker
Bale yang ada pada kampung tersebut serta
minimnya pengetahuan generasi sekarang dalam
mempelajari warisan budaya nenek moyang
berakibat pada ketidaktahuan akan wujud asli dari
kampung tersebut serta ketidaktahuan akan
hubungan antara semua elemen-elemen ruang
yang dianggap sakral terkait dengan proses ritual.
Semua elemen yang digunakan dalam ritual tentu
memiliki pesan dan makna simbolis, namun
karena minimnya pengetahuan generasi sekarang
dalam mempelajari semua itu berakibat pada
hilangnya beberapa pesan dan makna simbolis
yang ditinggalkan oleh nenek moyang. Hal ini
berakibat juga pada pelanggaran aturan yang
sudah menjadi tradisi mereka seperti teknik
membangun dan penggunaan material pada
bangunan.
Dalam upaya untuk mengetahui dan
mempertahankan bentuk dan makna simbolis pada
elemen arsitektur rumah tradisional suku
lamaholot yang ada di kecamatan Ile Ape
Kabupaten Lembata seperti yang telah menjadi
kesepakatan nenek moyang mereka maka perlu
dilakukan penelitian pada bangunan tradisional
yang ada pada kelima kampung tersebut dengan
fokus pengamatan pada kampung Napaulun.
Berdasarkan uraian dari latar belakang
diatas menunjukan bahwa pada awalnya bentuk
dan makna yang ada pada bangunan tradisional
suku Lamaholot di Kecamatan Ile Ape
menyampaikan sebuah pesan dan makna kepada
masyarakat yang ada disana. Namun dalam
perkembangannya, bentuk dan makna yang ada
pada bangunan tersebut tidak lagi di maknakan
sebagaimana awalnya oleh sebagian besar
masyarakat yang ada disana karena minimnya
pengetahuan generasi sekarang dalam
mempelajari warisan budaya nenek moyang.
Dari rumusan masalah yang sudah diuraikan
tersebut maka masalah penelitian yang akan
diangkat adalah:
1. Bagaimana bentuk dan makna simbolis pada
elemen-elemen arsitektur yang ada pada
bangunan tradisional Suku Lamaholot di
kampung Napaulun Kecamatan Ile Ape -
Kabupaten Lembata, Propinsi Nusa Tengara
Timur.
2. Bagaimana hubungan antara Bale (Nathan
Belen) didalam rumah dan Koker Bale diluar
rumah dalam kaitan dengan proses
ritual/pemujaan.
3. Pesan-pesan apa saja yang terkandung didalam
elemen-elemen arsitektur bangunan tradisional
suku Lamaholot di kampung Napaulun
kecamatan Ile Ape.
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk memahami bentuk dan makna simbolis
pada elemen-elemen arsitektur yang ada pada
rumah tradisional Suku Lamaholot di
Kecamatan Ile Ape - Kabupaten Lembata,
Propinsi Nusa Tengara Timur.
2. Untuk mengetahui hubungan antara Bale
(Nathan Belen) didalam rumah dan Koker Bale
diluar rumah dalam kaitan dengan proses
ritual/pemujaan.
3. Untuk mengetahui Pesan-pesan apa saja yang
terkandung didalam elemen-elemen arsitektur
bangunan tradisional suku Lamaholot di
kampung Napaulun kecamatan Ile Ape.
II. METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif, dimana kesimpulan
dirumuskan berdasarkan temuan yang ada
dilapangan. Hasil temuan tersebut dikaitkan
dengan budaya setempat dan proses
ritual/pemujaan yang dilakukan setiap tahun oleh
masyarakat suku lamaholot di Ile Ape pulau
Lembata. Lokasi penelitian berada di kampung
Napaulun Kecamatan Ile Ape, Kabupaten
Lembata, NTT.
Data penelitian diperoleh dari hasil
observasi baik itu pengamatan, pengukuran dan
dokumentasi langsung di lapangan dan data hasil
wawancara dengan informan untuk mendapatkan
informasi yang mendukung hasil penelitian.
Informan yang diwawancarai yaitu: Tokoh
masyarakat /sesepuh yang ada di kelima kampung
tradisional seperti kepala suku, belen raya
(pemimpin kampung) pemuka agama, kepala desa
dan mantan kepala desa. Data sekunder diperoleh
dari studi pustaka pada buku, dokumen, artikel
dan jurnal.
Gambar 1, Peta Lokasi Penelitian
Sumber : http://www.google.co.id/, diakses 10 November 2014
III. TINJAUAN PUSTAKA
Arsitektur Tradisional dan Vernakular
Arsitektur tradisional dan arsitektur
vernakular memiliki latar belakang dan
karakteristik yang hampir sama sehingga
keduanya sering disamakan. Keduanya diartikan
sebagai sesuatu yang dilakukan secara turun
temurun dari generasi ke generasi. Namun ada
sedikit perbedaan diantara keduanya, arsitektur
vernakular lebih kepada lokalitas sedangkan
arsitektur tradisional dapat juga mencakup pada
rancang bangun kelompok elite seperti tempat
pemujaan, kuil dan candi.
Berdasarkan kesamaan latar belakang
tersebut maka ada arsitektur tradisional yang
vernakular dan ada arsitektur tradisional yang
tidak vernakular. Arsitektur tradisional yang
dikatakan vernakular adalah arsitektur yang
dirancang bangun oleh seorang amatir untuk
keperluan ritual dengan menggunakan sumber
daya lokal. Sedangkan arsitektur tradisional yang
tidak termasuk vernakular adalah arsitektur yang
sudah dirancang bangun oleh seorang profesional
meskipun bangunan tersebut berfungsi sebagai
tempat ritual.
Sebagai contoh bangunan tradisional yang
ada di TMII, bangunan-bangunan tersebut tidak
termasuk dalam arsitektur tradisional yang
vernakular karena sudah dirancang bangun oleh
profesional. Sedangkan bangunan tradisional suku
lamaholot yang ada di Kecamatan Ile Ape
merupakan bangunan yang termasuk dalam
arsitektur tradisional vernakular karena dirancang
bangun oleh amatir dengan menggunakan material
lokal dan digunakan untuk keperluan ritual.
a. Arsitektur Tradisional
Tradisi berasal dari kata tradition (latin:
tradere) yang berarti melimpahkan ke pelanjut
sesuatu yang bernilai. Sesuatu yang telah
dilakukan secara terus menerus oleh suatu
masyarakat pada masa lalu hingga kini tanpa
melihat dimensi waktunya serta melihat apa yang
bernilai dan masih dilakukan serta apa yang sudah
tidak dilakukan lagi (Handler & Linnekin, 1988).
5Ile Ape
Sedangkan menurut Shils (1981), tradisi
merupakan sesuatu yang dilakukan oleh suatu
masyarakat secara terus menerus setelah
mengalami seleksi secara alami, minimal tiga
generasi.
Istilah tradisional merujuk pada prosedur
dan objek material yang telah diterima sebagai
norma pada suatu masyarakat, dimana elemen-
elemen tersebut diturunkan dari generasi ke
generasi, umumnya secara verbal atau melalui
dokumen-dokumen yang disusun berdasarkan
cerita verbal, yang mentransfer pengetahuan,
instruksi, dan prosedur (Nobel, 2009). Namun, hal
ini tidak berarti bahwa proses tradisional maupun
objek tradisional tidak dapat berubah seiring
waktu. Ley dan Duncan (dalam Pratiwi 2009)
menyatakan bahwa tradisi berakar pada budaya,
dan budaya berakar pada tempat. Kebiasaan-
kebiasaan dan praktek yang diwariskan secara
turun-temurun ini merupakan bagian dari evolusi
budaya. Ini menunjukkan keberlanjutan dari
„proses perbaikan‟ pada suatu peradaban atau
komunitas.
Menurut Amos Rapoport (1960),
arsitektur tradisional merupakan bentukan
arsitektur yang diturunkan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Mempelajari bangunan
tradisional berarti mempelajari tradisi masyarakat
yang lebih dari sekedar tradisi membangun secara
fisik. Sedangkan menurut Ismunandar dalam
Marcus Gartiwa (2010:41), arsitektur dan
bangunan tradisional merupakan hasil seni
budaya, yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat
tradisional, yang mampu memberikan ikatan lahir
dan batin.
b. Arsitektur Vernakular
Secara etimologis kata Verna berasal dari
bahasa latin yang berarti home born slave
(Nuttgents, 1993). Kata Vernakular juga berasal
dari vernaculus (latin) berarti asli (native). Dalam
ilmu bahasa (linguistik), bahasa vernakular
mengacu pada penggunaan bahasa untuk waktu,
tempat atau kelompok lokal/tertentu. Dalam
kebudayaan khususnya arsitektur, terminologi
tersebut merujuk pada jenis kebudayaan, atau
arsitektur yang berlaku di tempat tertentu/lokal
(tidak meniru dari tempat lain). Kata Vernakular
sebenarnya lebih mengacu kepada konsep struktur
sosial dan ekonomi masyarakat kebanyakan (Alan
Colquhoun, 1989), sehingga lokalitas,
kesederhanaan, pewarisan nilai-nilai (regenerasi)
merupakan 3 hal utama dalam kebudayaan
vernakular.
Arsitektur vernakular merupakan
arsitektur yang tidak dirancangbangun oleh
pengrajin (craftsman), tanpa peran seorang arsitek
profesional (architecture without architects),
dengan teknik dan material lokal, lingkungan
lokal: iklim, tradisi, ekonomi (Rudofsky, 1965).
Bentuk bangunan vernakular bersifat kasar, asli,
lokal, jarang menerima inovasi dari luar, karena
didasarkan pada kebutuhan manusia (human
demand) dan ketersediaan material bangunan
setempat. Sehingga fisik dan kualitas estetika,
bentuk dan struktur, serta tipologi bangunannya
dipengaruhi oleh kondisi geografi setempat
(Masner, 1993).
Menurut Paul Oliver (1993), Arsitektur
yang dirancang oleh arsitek profesional, biasanya
tidak dianggap vernakular. Proses yang secara
sadar dalam merancang bangunan membuatnya
tidak vernakular. Sedangkan menurut Brunskill
(2000), mengatakan bahwa arsitektur vernakular
adalah sebuah bangunan yang di rancang bangun
oleh seorang amatir tanpa pengetahuan dalam
merancang bangun.
Bentuk dan Makna Elemen Arsitektur
Tradisional dan Vernakular
Berdasarkan sumber-sumber referensi
arsitektur vernakular yang dikutip dari Mentayani
(2012) maka dapat disimpulkan bahwa arsitektur
vernakular memiliki 2 (dua) ranah dan unsur,
yaitu: bentuk dan makna. Unsur bentuk berada
dalam ranah fisik, sedangkan unsur makna berada
dalam ranah abstrak. Baik unsur bentuk maupun
unsur makna, masing-masing memiliki 3 (tiga)
aspek, yaitu: teknis, budaya, dan lingkungan.
Dalam aspek teknis, baik pada unsur
bentuk maupun makna adalah hal-hal yang
berkaitan dengan keteknikan, seperti: cara
membangun, teknik konstruksi yang digunakan,
dan pemilihan material. Dalam aspek budaya, baik
pada unsur bentuk maupun makna ada pada
bentuk bangunan beserta elemen-elemen
arsitekturnya. Semua itu dibuat berdasarkan
kepercayaan masyarakat setempat. Aspek budaya,
pada ranah fisik biasanya berupa simbol,
sedangkan pada ranah abstrak berupa pesan yang
ingin disampaikan. Sedangkan dalam aspek
lingkungan, yang menjadi faktor
vernakularitasnya adalah adaptasi bangunan
terhadap kondisi lingkungan sekitar, baik itu pada
unsur bentuk maupun makna.
Dari uraian tersebut diatas maka dapat
diketahui bahwa bentuk dan makna dalam
arsitektur tradisional/vernakular saling berkaitan
dan tidak dapat dipisahkan. Bentuk sebagai media
untuk menyampaikan makna dan makna
menyampaikan sebuah pesan melalui bentuk.
Menurut Alexander (1977) dalam Mentayani,
bentuk yang bagus bukan hanya indah tetapi juga
cocok dengan kondisi lingkunan sekitar, bukan
hanya memikirkan bangunan itu saja tetapi harus
memikirkan konteksnya.
Makna merupakan alat untuk melihat,
memahami, dan mengartikan secara verbal
(bahasa) atau melalui kata-kata dan non verbal
melalui benda atau tanda. Selain keterkaitan
antara bentuk dan makna, simbol dan makna juga
memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan.
Makna sebagai pesan yang ingin disampaikan
dan simbol sebagai media fisiknya. Makna dan
simbol pada karya arsitektur dapat diungkap
melalui bentuk, ritme, warna, dan tekstur.
Menurut Rapoport (1969) dalam Mentayani,
sebuah karya arsitektur diciptakan bukan hanya
untuk mengemban simbol semata yakni sebagai
tempat tinggal, akan tetapi mengandung makna
yang lebih dalam. Dalam masyarakat tradisional,
arsitektur selalu dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat religius.
Bangunan dan Pemukiman Tradisional
a. Bangunan Tradisional
Salah satu kebudayaan fisik yang dapat
dilihat adalah bentuk bangunan tradisional.
Menurut Machmud (2006:180), rumah tradisional
dapat diartikan sebagai sebuah rumah yang
dibangun dengan cara yang sama oleh beberapa
generasi. Sedangkan menurut Amos Rapoport
(1960), perumahan tradisional dibangun tidak
berdasarkan teori rancang bangun tapi lebih
berorientasi pada budaya serta pengaruh
kepercayaan yang mereka anut. Mempelajari
bangunan tradisional berarti mempelajari tradisi
masyarakat yang lebih dari sekedar tradisi
membangun secara fisik. Kriteria dalam menilai
keaslian rumah–rumah tradisional antara lain
kebiasaan–kebiasaan yang menjadi suatu
peraturan yang tidak tertulis saat rumah didirikan
ataupun mulai digunakan. Ada ritual–ritual
tertentu misalnya upacara pemancangan tiang
pertama, selamatan dan penentuan waktu yang
tepat. Selain hal tersebut, masih banyak tata cara
atau aturan yang dipakai, misalnya arah hadap
rumah, bentuk, warna, motif hiasan, bahan
bangunan yang digunakan, sesajen, doa atau
mantera yang harus dibaca dan sebagainya sangat
erat terkait pada rumah tradisional (Marcus
Gartiwa, 2010)
Masih menurut Gartiwa (2010), konsep
tatanan ruang dalam bangunan umumnya sama
dengan konsep tatanan ruang dalam satu
perkampungan. Pembagian ruang dapat
dikategorikan secara vertikal dan horisontal.
Pembagian ruang ini merupakan respon terhadap
sistem sosial kekerabatan, kosmologi, dan kondisi
alam sekitar. Secara horisontal terdapat bagian
rumah yang dianggap paling sakral atau suci,
yaitu bagian yang paling dalam atau belakang,
sehingga menjadi tempat pemujaan atau
penyimpanan benda-benda keramat. (Marcus
Gartiwa, 2010).
Bangunan tradisional mempunyai
beberapa ciri yang dapat dilihat secara visual.
Ciri-ciri ini hampir semuanya terdapat di beberapa
daerah di Indonesia, namun adakalanya beberapa
lokasi sedikit mempunyai perbedaan. Beberapa
ciri arsitektur tradisional menurut Utomo (dalam
Dewi et al. 2008:33-35): 1). Berlatar belakang
religi: Keberadaan bangunan arsitektur tradisional
tidak lepas dari faktor religi, baik secara konsep,
pelaksanaan pembangunannya maupun wujud
bangunannya. Hal ini disebabkan oleh cara
pandang dan konsep masyarakat tradisional dalam
menempatkan bagian integral dari alam, yaitu
alam raya, besar (makroskopis) dan alam kecil
(mikroskopis), yang diupayakan oleh masyarakat
tradisional adalah bagaimana agar kestabilan dan
keseimbangan alam tetap terjaga. Bentuk
perujukan dengan alam tersebut dilakukan dengan
berbagai cara, yaitu sebagai berikut: Menganggap
arah-arah tertentu memiliki kekuatan magis.
Adapula yang menghubungkan arah dengan
simbolisme dunia (baik dan suci), tengah (sedang)
dan bawah (jelek, buruk, kotor). Arah-arah baik
ini mempengaruhi pola tata letak bangunan dalam
satu tapak. Bangunan-bangunan harus dihadapkan
pada arah baik dan membelakangi arah buruk; dan
menganggap ruang-ruang tertentu memiliki
kekuatan magis: adakalanya ruangan tertentu di
dalam bangunan dianggap mempunyai nilai
sakral. Kesakralan ini diwujudkan dengan
memberikan nilai lebih dalam suatu ruangan. 2).
Pengaruh hubungan kekeluargaan
/kemasyarakatan: Hubungan kekeluargaan dalam
struktur masyarakat tradisional dapat dibedakan
menjadi beberapa kriteria. Berdasarkan pertalian
darah (genealogi) kelompok masyarakat
tradisional dibedakan menjadi: - Sistem bilateral
atau parental: Kesatuan keluarga dalam sistem ini
terdiri dari bapak, ibu dan anak-anak. Di dalam
perkembangannya jumlah anggota keluarga pada
sistem ini semakin lama semakin banyak,
sehingga anggota keluarga yang tinggal bersama
akan semakin besar, bahkan sampai rumah tinggal
mereka tidak memuatnya lagi; dan - Sistem
unilateral: Susunan keluarga dalam sistem ini
ditarik dari garis keturunan hanya dari pihak ayah
saja (patrilineal/patrilokal) atau dari pihak ibu
(matrilokal). 3). Pengaruh iklim: Karena posisi
Indonesia berada pada zona yang beriklim tropis
lembab, maka mau tidak mau keberadaan
arsitektur tradisional harus merujuk kepada iklim
tropis lembab. Konsep adaptasinya terhadap iklim
setempat yang diterapkan pada bangunan rumah
tinggalnya, diyakini sebagai salah satu contoh
yang baik. Susunan massa, arah hadap (orientasi),
pemilihan bentuk atap, pemilihan bahan
bangunan, teknik komposisi, semuanya benar-
benar memperhatikan kondisi iklim tropis
sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi
penghuni rumah.
b. Pemukiman Tradisional
Pemukiman tradisional sering
direpresentasikan sebagai tempat yang masih
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang
berhubungan dengan nilai kepercayaan atau
agama yang bersifat khusus atau unik pada suatu
masyarakat tertentu yang berakar dari tempat
tertentu pula di luar determinasi sejarah
(Sasongko 2005). Menurut Sasongko (2005),
bahwa struktur ruang permukiman digambarkan
melalui pengidentifikasian tempat, lintasan, batas
sebagai komponen utama, selanjutnya
diorientasikan melalui hirarki dan jaringan atau
lintasan, yang muncul dalam suatu lingkungan
binaan mungkin secara fisik ataupun non fisik
yang tidak hanya mementingkan orientasi saja
tetapi juga objek nyata dari identifikasi.
Menurut Habraken dalam Fauzia
(2006:32), ditegaskan bahwa sebagai suatu produk
komunitas, bentuk lingkungan permukiman
merupakan hasil kesepakatan sosial, bukan
merupakan produk orang per orang. Artinya
komunitas yang berbeda tentunya memiliki ciri
permukiman yang berbeda pula. Perbedaan inilah
yang memberikan keunikan tersendiri pada
bangunan tradisional, yang antara lain dapat
dilihat dari orientasi, bentuk, dan bahan bangunan
serta konsep religi yang melatarbelakanginya.
Keunikan tersebut sekaligus menjadi salah satu
daya tarik bagi wisatawan. Oleh karena itu
Koentjaraningrat (1987) menjelaskan bahwa
benda–benda hasil karya manusia merupakan
wujud kebudayaan fisik, termasuk di dalamnya
adalah permukiman dan bangunan tradisional.
Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya
Bentuk dan Makna Arsitektur Tradisional
dan Vernakular
Menurut Miarsono (1997) dalam
Budihardjo (1997:149), bahwa arsitektur dan
lingkungan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial
budaya, bukan hanya dipengaruhi oleh iklim,
teknologi, bahan bangunan dan ekonomi, dimana
semua faktor ini menghasilkan wujud bangunan.
Bangunan bukan sekedar objek atau suatu bentuk
struktur saja, melainkan sebagai suatu institusi
dasar suatu budaya. Sementara Rapoport (1969:
18-26) dalam buku House Form and Culture
menjelaskan tentang teori alternatif wujud. Ia
menyatakan bahwa:
Terciptanya suatu wujud atau model disebabkan
oleh beberapa faktor yaitu faktor primer dan
faktor sekunder. Faktor primer meliputi faktor
sosial budaya, sedangkan faktor sekunder
mencakup faktor iklim, faktor bahan atau
material, faktor konstruksi, faktor teknologi dan
faktor lahan.
Faktor iklim bukanlah faktor utama yang
menentukan wujud karena pada kenyataannya
terdapat banyak variasi wujud yang lahir di daerah
yang beriklim sama. Faktor bahan atau material,
konstruksi dan teknologi juga tidak
mempengaruhi bentuk secara langsung. Bahan
dapat ditentukan kemudian setelah wujud yang
diinginkan sudah terbayang. Akan tetapi ketiga
faktor tersebut tetap memberikan perbedaan
tertentu terutama karena dengan
mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dapat
membantu mewujudkan wujud yang diinginkan.
Faktor sosial budaya meliputi
pertimbangan-pertimbangan tentang agama dan
kepercayaan, keluarga dan struktur masyarakat,
organisasi sosial, hubungan sosial antar individu
dan pandangan hidup. Pandangan hidup setiap
orang yang salah satunya dipengaruhi oleh
hubungan manusia dan alam tentunya berbeda
sehingga berdampak pada cara setiap orang
bertingkahlaku dalam menjalani hidup. Hal ini
yang melahirkan keistimewaan suatu kebudayaan.
Faktor sosial budaya merupakan faktor yang
sangat penting dalam proses lahirnya wujud
arsitektural. Namun demikian lahirnya suatu
wujud tidak cukup dengan hanya menjelaskan
salah satu diantara sekian banyak faktor yang
disebutkan sebelumnya. Jauh lebih baik
memperhatikan interaksi dari setiap faktor
sekunder yang berpengaruh dan juga
memperhatikan fenomena budaya setempat yang
Amos Rapoport sebutkan sebagai faktor primer.
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kampung Tradisional
Napaulun di Ile Ape
Secara administratif kampung tradisional
Napaulun berada diantara Desa Bunga Muda dan
Desa Napasabok Kecamatan Ile Ape Kabupaten
Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Kampung lama Napaulun atau sering di kenal
dengan kampung “Ulun Lela Koli Weran Nara
Wayong” merupakan sebuah kampung tradisional
yang terletak diatas gunung Ile Ape, sekitar 2000m
dpl. Kampung ini tidak dihuni tapi hanya
ditempati atau dipakai pada saat upacara ritual
tahunan atau sering disebut dengan Hamang Utan.
Kampung tradisional Napaulun terdiri dari
14 suku/klan dan memiliki 36 rumah dan satu
rumah Taran Wanan yang dijadikan untuk tempat
untuk melakukan ritual/pemujaan. Setiap suku
memiliki lebih dari satu rumah kecuali suku Laper
Making dan suku Lemanuk. Selain rumah yang
dijadikan tempat ritual/pemujaan, terdapat juga 7
buah Koker Bale yang merupakan bagian daripada
tempat untuk melakukan ritual/pemujaan tersebut.
Gambar 2, Layout Kampung Tradisional Napaulun Suku Lamaholot di Kec. Ile Ape Kab. Lembata
Sumber : penulis
Suku-suku yang menempati satu Koker
Bale biasanya memiliki asal usul yang sama atau
berasal dari satu keturunan, hal ini dapat diketahui
dari cerita asal usul nenek moyang setiap suku.
Suku Lemanuk dan Koli Making tergabung dalam
satu Koker Bale, suku Laga Making, Balawala,
dan Nimanuho satu Koker Bale, suku Waolangun
sendiri menempati satu Koker Bale, begitu juga
dengan suku Lado Purab satu Koker Bale, suku
Niha Making, Laper Making, dan Belaon Making
satu Koker Bale, suku Hurek Making, Paokuma,
dan Lama Rongan memiliki dua buah Koker Bale.
Kondisi topografi dari kampung Napaulun
merupakan daerah berkontur, penempatan
bangunan mengikuti kondisi tapak yang datar
dengan pola perkampungan terpusat pada
Namang. Namang merupakan tempat berkumpul
untuk melakukan musyawarah dan menerima tamu
sewaktu melakukan upacara Hamang Utan. Selain
berfungsi seperti itu, Namang juga dipercaya
sebagai pusat kekuatan dari kampung Napaulun
dengan Nude sebagai Lewo Puhuren (pusar
kampung),
Gambar 3, Nude, berada dipojok kanan Namang sebagai pusar kampung.
Sumber: penulis
1 2 2 3
4 3 4
5 1
3 4
Namang
KB
1
9 10
3 5
6
2
7
8
8
11
10
8
13
10
12
9 8
12
11 8 10 12
14 TW
KB KB
KB
KB KB
KB
1: Laga Making (2) 10: Niha Making (4 )
2: Koli Making (3) 11: Waolangun (2) 3: Nimanuho (4) 12: Lado Purab (3)
4: Lopot Making (3) 13: Belaon Making (1)
5: Balawala (2) 14: Lama Rongan (1)
6: Laper Making (1) 7: Lemanuk (1) KB: Koker Bale
8: Hurek Making (5) TW: Taran Wanan
9: Paokuma (2)
Wujud Bangunan Tradisional Suku Lamaholot
di Ile Ape
Seperti bangunan tradisional nusantara
pada umumnya, bangunan tradisional suku
lamaholot di Ile Ape juga dibangun untuk
keperluan ritual/pemujaan. Dibangun
menggunakan sumberdaya lokal dengan
menyesuaikan kondisi iklim setempat, kondisi site,
dan kebiasaan atau tradisi setempat. Bangunan ini
tidak ditempati sehari-hari tetapi hanya ditempati
pada saat upacara Hamang Utan, setiap klan/suku
memiliki rumah tradisional tersebut.
Bangunan dengan atap yang tinggi dan
curam, konstruksi atap sebagian besar dari bambu
dengan penutup atap dari alang-alang, daun
kelapa, daun tuak/lontar. Bentuk atap yang curam
merupakan tanggapan akan kondisi iklim
setempat, dimana suhu yang panas diatasi dengan
konstruksi atap yang tinggi. Tidak hanya itu,
menggunakan penutup atap dari alang-alang, daun
kelapa dan daun tuak/lontar membuat aliran air
hujan menjadi tidak lancar kalau tidak diatasi
dengan atap yang curam. Dinding menggunakan
daun kelapa, ikatan daun tuak/lontar, dan ikatan
alang-alang yang tidak tertutup sampai ketanah
merupakan solusi untuk mengalirkan udara
kedalam bangunan pada musim panas. Lantai dari
tanah, tidak ditinggikan tetapi hanya ada
peninggian menggunakan batu atau tanah
disekeliling bangunan untuk menghindari
masuknya air hujan.
Gambar 4, denah & tampak perspektif bangunan tradisional suku Lamaholot di kampung Napaulun, Ile Ape
Sumber: penulis
Bentuk bangunan ini terlihat cukup
sederhana, berbeda dengan bangunan tradisional
yang ada di Nusa Tenggara Timur pada umumnya.
Bagian dalam bangunan juga tidak terdapat ruang-
ruang yang terlihat secara fisik, meskipun
demikian bagian pojok kanan yang terdapat
Bale/Nathan Belen merupakan area sakral yang
digunakan untuk pemujaan/ritual.
Gambar 5, Bale/nathan belen: tempat melakukan pemujaan/ritual bagi satu suku/klan
Sumber: penulis
Area Bale/Nathan Belen hanya bisa
ditempati oleh Beruin Kolen (anak laki-laki sulung
pada klan tersebut). Selain Bale, dalam bangunan
ini juga terdapat dua buah Luran (tungku), salah
satu tungku tidak bisa digunakan sehari-hari tetapi
hanya dapat digunakan pada saat ritual atau
upacara Hamang Utan. Api yang digunakan juga
api yang bersumber dari hasil gesekan antara dua
buah bambu yang diperoleh dari Nuba (tempat
awal memulai ritual Hamang Utan).
Gambar 6, Atang Lakin (symbol pria)& Atang Ronen (symbol wanita): Atang merupakan balok keliling
Sumber: penulis
Pada bangunan ini tidak memisahkan
ruang sesuai gender tetapi ada beberapa elemen
bangunan yang dijadikan symbol pria dan wanita.
Hal ini dapat terlihat pada pemberian nama ring
balk, dimana Atang Ronen (ring balk-wanita)
merupakan symbol dari wanita dan ditempatkan
berada dibawah Atang Lakin (ring balk-pria)
sebagai symbol pria. Sama halnya dengan Atang
(ring balk), pada konstruksi atap juga terdapat
elemen bangunan yang menjadi symbol pria dan
wanita. Wolar Ronen (balok bubungan-wanita)
berada dibawah Wolar Lakin (balok bubungan-
pria). Fungsi dari Wolar Ronen pada bangunan ini
adalah sebagai tumpuan noreng/atew (reng) pada
bagian paling atas, sedangkan fungsi dari Wolar
Lakin adalah sebagai dudukan dari bubungan atap.
Setiap sambungan dan teknik perkuatan pada
konstruksi atap bangunan ini menggunakan ikatan
dari Lepha (kulit daun tuak/lontar).
Gambar 7, kiri: detail sambungan pada balok bubungan, kanan: detail sambungan pada kolom & ring balk
Sumber: penulis
ATANG RONEN ATANG LAKIN ATANG LAKIN
Selain elemen-elemen yang menjadi
symbol pria dan wanita, pada bangunan ini juga
terdapat elemen bangunan yang melambangkan
siapa pemilik bangunan tersebut. Elemen
bangunan tersebut adalah Nun Maen (tiang kuda-
kuda), dimana pada konstruksi kuda-kuda yang
terdapat dua buah Nun Maen maka bangunan
tersebut adalah pemilik dari suku/klan Belen Raya
(suku yang menjadi pemimpin atau suku yang
memiliki kedudukan lebih tinggi pada kampung
tersebut), sedangkan bangunan dengan konstruksi
kuda-kuda hanya memiliki satu Nun Maen maka
bangunan tersebut adalah pemilik dari suku/klan
biasa.
Gambar 8, Nun maen (tiang kuda-kuda): rumah dengan konstruksi kuda-kuda menggunakan dua nun maen
menandakan rumah tersebut milik dari suku belen raya
Sumber: penulis
Untuk membedakan siapa suku/klan
pemilik rumah tersebut bisa juga dikenali dari
symbol yang ada pada atap berupa jumlah batang
bambu yang ditusuk diatas bubungan atap.
Bubungan atap dengan tusuk bambu berjumlah 7
menandakan bahwa pemilik rumah tersebut
berasal dari suku/klan Belen Raya, sedangkan
bubungan atap dengan tusuk bambu berjumlah 5
maka pemilik rumah tersebut berasal dari
suku/klan biasa.
Hubungan Antara Ruang Dalam dan Ruang
Luar Dalam Kaitannya Dengan Proses Ritual
Hamang Utan merupakan sebuah upacara
syukuran dan sekaligus pemujaan kepada nenek
moyang atas segalah berkat dan penyertaan
mereka selama setahun yang diadakan pada
kampung ini. Upacara ini dimulai dengan
mengundang arwah nenek moyang untuk hadir
bersama-sama dalam perayaan tersebut dan
diakhiri dengan Ohong Gapu (mandi dan keramas)
kepada para arwah sebelum diantar kembali ke
tempat mereka. Karena upacara ini dihadiri juga
oleh arwah nenek moyang maka setiap ucapan dan
perbuatan selama upacara ini berlangsung selalu
dijaga atau selalu berhati-hati karena sedikit
kesalahan dalam ucapan dan perbuatan bisa
mendatangkan malapetaka. Selain Hamang Utan,
ada lagi upacara Uran Apun (permohonan hujan)
yang dilakukan pada kampung ini.
Upacara Hamang Utan dan Uran Apun
yang dilakukan pada kampung tradisional
Napaulun sangat erat kaitannya dengan ruang yang
ada didalam bangunan dan diluar bangunan.
Ruang-ruang tersebut merupakan area sakral yang
tidak sembarangan ditempati oleh semua orang.
WOLAR RONEN
NUN MAEN NUN MAEN NUN MAEN
Ruang sakral yang dipakai dalam upacara Hamang
Utan adalah Bale/Nathan Belen yang ada didalam
bangunan, Koker Bale, dan Nuba yang ada diluar
bangunan.
Gambar 9, kiri: Bale/Nathan Belen kanan: Koker Bale
Sumber: penulis
Bale/Nathan Belen dan Koker Bale
memiliki kesamaan bentuk dan fungsi keduanya
memiliki sebuah Rie Wanan (Kayu Bercagak)
yang dilengkapi dengan Mahang (Ranting dari
bambu yang diikat di Rie Wanan untuk
kelengkapan dalam ritual). Bale/Nathan Belen
merupakan tempat yang dianggap paling sakral
didalam bangunan dan berada pada pojok kanan.
Bale ini berfungsi untuk melakukan pemujaan
kepada nenek moyang dan untuk mencari
kebenaran dan kesalahan yang ada didalam satu
klan serta tempat untuk melakukan penghitungan
keturunan dari setiap anak laki-laki, dalam upacara
ini anak perempuan tidak dihitung. Sama seperti
Bale, Koker Bale juga memiliki fungsi yang
serupa dengan Bale. Hanya saja, Koker Bale
merupakan gabungan dari beberapa klan/suku
yang memiliki asal usul yang sama atau berasal
dari satu keturunan.
Selain sebagai tempat untuk melakukan
upacara Hamang Utan, kampung tradisional
Napaulun juga melakukan upacara Uran Apun.
Upacara ini dimulai dari merenovasi Taran Wanan
sebelum melakukan upacara permintaan air hujan
kepada Lera Wulan Tana Ekan (sang penguasa
langit dan bumi) yang dilakukan diatas puncak
gunung Ile Ape. Taran Wanan adalah sebuah
rumah yang didalamnya terdapat sebuah batu
hitam bernama Bani, rumah ini sangat sakral
sehingga masyarakat setempat hampir tidak berani
menyentuhnya apalagi merusaknya. Mereka
percaya bahwa merusak atau mematahkan sehelai
atap/dinding dari rumah tersebut akan
mendapatkan malapetaka. Tidak hanya Taran
Wanan yang dijadikan sebagai tempat ritual, salah
satu tempat yang menjadi penyembahan dalam
upacara Uran Apun adalah Wawe Sigo (sebuah
batu besar yang ada di Namang), batu ini juga
dianggap sakral oleh masyarakat setempat
sehingga jarang untuk didudukin ketika ada
upacara Hamang Utan atau ada upacara keramaian
yang lain, bahkan orang yang memiliki lukia di
tubuh tidak berani menyentuhnya karena
dipercaya luka yang ada tersebut tidak akan
sembuh. Selain kedua tempat yang sudah
disebutkan diatas, ada lagi tempat yang digunakan
untuk melakukan ritual Uran Apun, yakni: Nuba,
dan Nara. Nara merupakan tempat terakhir
melakukan ritual Uran Apun dimana seorang gadis
dari suku Balawala akan dijadikan korban.
Masyarakat setempat mempercayai bahwa dengan
mengorbankan seorang gadis setelah proses ritual
yang panjang maka permohonan mereka akan
dikabulkan oleh sang penguasa langit dan bumi.
Gambar 10, kiri: Taran wanan, kanan: Bani (tempat awal memulai ritual Uran Apun)
Sumber: penulis
Gambar 11, kiri: Wawe sigo, sebuah batu yang dipercaya menjadi jelmaan dari babi sigo (binatang yang suka
dengan air). Ritual pada batu ini dilakukan setelah upacara permintaan air hujan diatas puncak gunung. Kanan:
Nuba: tempat awal melakukan ritual dalam upacara Hamang Utan
Sumber: penulis
Tradisi Membangun Pada Bangunan
Tradisional Suku Lamaholot di Ile Ape
Langkah pertama dalam proses
mendirikan atau merenovasi rumah tradisional
suku Lamaholot yang ada pada kampung
Napaulun adalah mengumpulkan semua kebutuhan
material yang diperlukan dalam membangun.
Material tersebut diperoleh dari hutan sekitar
kampung tradisional yang dimiliki oleh masing-
masing anggota keluarga atau hutan milik
suku/klan. Setelah material terkumpul maka
langkah selanjutnya adalah menghubungi kerabat
atau anggota suku yang lain untuk membantu
dalam proses mendirikan. Setelah rumah selesai
dibangun atau direnovasi maka dilanjutkan dengan
Bekang Lango (upacara peresmian rumah).
Dalam membangun rumah tradisional
suku Lamaholot di kampung Napaulun, terdapat
aturan atau tradisi yang harus dipatuhi oleh
masyarakat setempat. Seperti dalam menggunakan
material pada bangunan, klan/suku yang berasal
dari Belen Raya memiliki aturan yang berbeda
dengan suku/klan biasa, seperti dalam
menggunakan material yang boleh dan tidak boleh
dipakai. Teknik penyambungan dalam semua
konstruksi pada bangunan ini menggunakan sistem
ikat dari Lepha dan raghe (tali hasil olahan dari
daun tuak) serta menggunakan Tilo pada
penyambungan kolom dan balok. Teknik
penyambungan tersebut tidak bisa diganti dengan
menggunakan bahan dari teknik olahan industri
modern, pelanggaran aturan dalam menggunakan
material dipercaya akan mendapatkan kutukan
berupa sakit yang tidak bisa disembukan secara
medis. Untuk konstruksi kolom dan balok pada
bangunan tradisional suku Lamaholot di Ile Ape
khususnya di kampung Napaulun menggunakan
kayu jenis Papha, Buntura dan Ru, ketiga jenis
kayu ini merupakan tanaman lokal yang banyak
dijumpai kampung tersebut dan jarang ditemui di
daerah lain.
Setiap klan/suku dengan status Belen Raya
membuat konstruksi atap rumah tradisionalnya
dengan semua bahannya dari Au (jenis bambu
yang berwarna kuning), sedangkan klan/suku yang
bukan Belen Raya tidak diwajibkan untuk harus
menggunakan Au sebagai konstruksi atapnya
tetapi bisa menggunakan Tering (jenis bambu
yang berwarna hijau). Selain aturan dalam
menggunakan material, ada sebuah aturan dalam
memperoleh material untuk membuat Bale/Nathan
Belen dan Koker Bale. Material tersebut adalah
Rie Wanan dan Mahang, kedua material ini tidak
bisa diambil atau diperoleh langsung oleh pemilik
rumah tetapi hanya dapat dilakukan oleh Winahi
(orang dari suku/klan yang lain). Setiap suku
memiliki Winhai, peran dari Winhai ini selain
untuk mengambil material khusus dari
Bale/Nathan Belen dan Koker Bale juga
membantu dalam ritual Bekang Lango karena
dalam ritual ini ada beberapa hal yang hanya dapat
dilakukan oleh Winhai.
V. KESIMPULAN DAN SARAN