puspita deswina - repository.ipb.ac.id · informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang...
TRANSCRIPT
i
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK
FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA
GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
PUSPITA DESWINA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi judul ―STUDI KEAMANAN
LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA
GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)‖ adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Januari 2014
Puspita Deswina
NRP P062090101
iii
ABSTRACT
PUSPITA DESWINA, Environmental Safety Study for Policy Formulation of
Genetically Engineered Products (Case Study of Bt Rice). Supervised by RIZAL
SYARIEF, LATIEF M. RACHMAN and M. HERMAN.
Sustainable development in agriculture needs to be strengthened by doing
technological innovation. One of the advances that have been achieved to improve
the quality and quantity of rice production is the carrying out of Bt rice resistant to
stem borer attack. Before being released or commercialized, genetically
engineered Bt rice plant must meet the biosafety requirements like food,
environmental and/or feed safety. It takes a considerable cost for the development
of Genetic Engineered Plant (GEP) technology, including biosafety testing of
GEP after being generated. The objective of this research is the study of
environmental safety to make the analysis of the policy strategy of sustainable
GEP management especially Bt rice containing gene CryIA(b). Environmental
safety testing has been conducted in a limited field trials since 2003 to 2007. The
test results data of the impact on non- target pests and natural enemies as well as
testing gene flow derived, become the composisitions in making environmental
safety assessment of GEP crop. In formulating the management policies of Bt
rice, instead of the environmental safety assessment only; the analysis of financial
sustainability with social aspects of community; the analysis sustainability
multidimensional and regulations assessment; laws of legislation and related
institutions based on decision-making method; were also made. Based on the
results of environmental safety testing, it turns out there was no difference in the
number of non- target insect and natural enemies populations in Bt Rice and non-
GE rice’s cropping land. From the selection results of hygromycin and PCR
analysis of non- GE rice first generation (T0), there was no intersection between
Bt Rice to non- GE rice on 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 and 15 treatment spacing from
Bt rice plants. Financial feasibility of Bt rice farming business was moderate to be
continued. Sustainability analysis of multidimensional GEP management policy
was around 58.99 % which is quite sustainable. The role of regulations and laws
of legislation based on institutions; is crucial to the success of GEP crop
introductions. The research was conducted in the laboratory of the Research
Center for Biotechnology, LIPI and field surveys at four locations in Cianjur ,
Sukabumi , Karawang and Subang; being started in January 2012 until May 2013.
The research methods are descriptive methods, partial budget analysis, MDS
(Multidimensional Scaling), AHP (Analytical Hierarchy Process), ISM
(Interpretative Structural Modeling) and content analysis.
Keywords: environmental safety of GEP, Bt Rice, gene flow, policy formulation of
Bt Rice, GEPs management
iv
RINGKASAN
PUSPITA DESWINA, STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK
FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI
KASUS PADI Bt PRG). Dibimbing oleh RIZAL SYARIEF, LATIEF M.
RACHMAN dan M. HERMAN
Pertambahan jumlah penduduk, terutama di negara-negara berkembang
diperkirakan terus meningkat pesat. Di dunia, Indonesia menempati urutan nomor
empat terpadat setelah China, India dan Amerika. Indonesia harus terus
mengupayakan berbagai alternatif pengadaan pangan agar dapat memenuhi
kebutuhan pangan nasional. Konsumsi rata-rata per kapita masyarakat Indonesia
terhadap kebutuhan beras sebesar 139 kg per orang per tahun atau 0.38 kg beras
per hari per orang. Secara nasional angka tersebut menjadi 100 ribu ton per hari,
jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi beras
terbesar di dunia.
Masalah serangan hama masih menjadi kendala utama dalam peningkatan
produksi padi. Kerugian yang diakibatkan oleh serangga hama, dapat
menyebabkan penurunan produksi padi dari 5 – 10% dari total produksi padi di
Asia. Serangan hama penggerek batang bisa menyebabkan kerugian sampai 20%.
Usaha pengendalian dengan penyemprotan insektisida untuk hama penggerek
batang kurang efektif, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam batang
tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas.
Sehubungan dengan masalah tersebut maka salah satu usaha yang dapat dilakukan
adalah inovasi teknologi dengan menerapkan teknik rekayasa genetik untuk
mengembangkan tanaman tahan hama. Sumber gen untuk sifat ketahanan
terhadap hama tidak terdapat pada tanaman itu sendiri, sehingga diperlukan
organisme lain sebagai sumber gen ketahanan seperti bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt) yang bersifat toksik terhadap serangga-serangga spesifik.
Melalui teknologi rekayasa genetik telah dihasilkan tanaman Padi Bt hasil
rekayasa genetik yang terbukti tahan terhadap hama penggerek batang kuning
(Scircophaga incertulas). Tanaman Padi Bt memberikan harapan terhadap
perbaikan kondisi lingkungan akibat penggunaan insektisida secara terus menerus.
Kesepakatan dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on
Biological Biodiversity) di Montreal tahun 1994, dituangkan konsep Protokol
Cartagena tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (PRG),
mewajibkan setiap negara yang menandatanganinya untuk membuat peraturan
dan pedoman bagi PRG sebelum dimanfaatkan atau dilepas ke lingkungan.
Pengkajian risiko keamanan lingkungan merupakan bagian dari proses
pengambilan keputusan terhadap kelayakan pemanfaatan tanaman PRG.
Kekhawatiran sebagian masyarakat akan kemungkinan dampak negatifnya
terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati berdasarkan hasil kajian ini,
tidak terbukti, meskipun kegiatan komunikasi risiko kepada petani pengguna
belum berjalan intensif sesuai dengan kesepakatan global dalam Protokol
Cartagena. Kajian keamanan lingkungan tanaman PRG meliputi kemungkinan
dampaknya terhadap organisme yang berada di atas permukaan tanah, pada
permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah. Target pengujian lebih
v
diutamakan kepada organisme potensial yang paling terkait dengan sifat yang
diintroduksikan pada tanaman. Pada kasus Padi Bt telah dilakukan pengujian
dampak terhadap serangga non target termasuk musuh alami. Selain itu, pengujian
keamanan lingkungan juga meliputi kemungkinan terjadinya perpindahan material
genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non PRG yang diuji pada tanaman
generasi kesatu (T0).
Penelitian dan pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG, yang
membawa sifat protein Bt harus dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya
terhadap organisme non target, seperti musuh alami, predator dan parasitoid.
Pengetahuan terhadap sifat agronomis (familiarity) tanaman Padi Bt harus
dipahami sebelum melakukan kajian risiko, karena berhubungan dengan dampak
ekologis terhadap tanaman lain, kerabat liar serta interaksi dan pengaruhnya pada
keanekaragaman hayati, ekosistem atau organisme tanah. Prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) berdasarkan kasus per kasus perlu dilakukan dalam
pengaturan dan pengelolaan PRG supaya tidak terjadi dampak yang merugikan
terhadap manusia, hewan dan lingkungan. Diperlukan suatu kajian yang bersifat
holistik dan sistemik terkait dengan kebijakan pengelolaan tanaman PRG,
sehingga diperoleh rekomendasi kebijakan pengelolaan untuk perencanaan
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Dalam menyusun formulasi kebijakan pengelolaan Padi Bt, telah
dilakukan kajian keamanan lingkungan, analisis keberlanjutan finansial dengan
aspek sosial kemasyarakatan, analisis keberlanjutan multidimensi serta kajian
peraturan dan perundang-undangan terkait, berdasarkan metode pengambilan
keputusan. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Puslit Bioteknologi, LIPI dan
survei lapangan di empat lokasi Kabupaten Cianjur, Sukabumi, Karawang dan
Subang, dimulai bulan Januari 2012 sampai dengan Mei 2013. Metode penelitian
menggunakan metode deskriptif, analisis anggaran parsial (partial budget
analysis), MDS (Multidimensional Scaling), AHP (Analytical Hierarchy Process),
ISM (Interpretative Structural Modelling) dan analisis isi (content analysis). Data
yang dikumpulkan berupa data primer terhadap tanaman generasi kesatu (T0)
hasil pengujian keamanan lingkungan terhadap kemungkinan terjadinya
persilangan (crossing) dari Padi Bt kepada Padi non PRG di Lapangan Uji
Terbatas (LUT) yang telah dilakukan sebelumnya oleh Puslit Penelitian
Bioteknologi LIPI. Pengujian dilakukan dengan uji higromisin dan analisis PCR
(Polymerase Chain Reaction) di Laboratorium dan Rumah Kaca Fasilitas Uji
Terbatas (FUT). Data primer lainnya diperoleh melalui survei lapangan dan
wawancara dengan pakar terkait. Data sekunder dikumpulkan dari hasil studi
literatur, media elektronik dan data-data dari hasil pengujian keamanan
lingkungan terhadap serangga non target dan musuh alami dari Puslit
Bioteknologi LIPI yang dijadikan sebagai bahan kajian keamanan lingkungan
dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan
oleh Puslit Bioteknologi LIPI terhadap serangga non target dan musuh alami di
pertanaman Padi Bt, ternyata tidak terdapat perbedaan jumlah populasi di lahan
Padi Bt dan lahan Padi non-PRG. Tetapi berdasarkan kajian keamanan lingkungan
yang pernah dilakukan pada tanaman Bt yang lain, perlu dibuat kategori dan
daftar spesies serangga non target berdasarkan fungsi ekologis serta menyusunnya
berdasarkan prioritas potensi dalam menimbulkan efek samping sebelum
vi
penanaman Padi Bt dilakukan. Kegiatan ini bermanfaat untuk mengetahui
perubahan komposisi atau kehilangan jenis atau populasi serangga tertentu yang
memiliki fungsi ekologis di lokasi penelitian sebelum dan sesudah penanaman
Padi Bt. Pada kasus Padi Bt, prosedur pengujian keamanan lingkungan tersebut
belum dilaksanakan, tetapi dari hasil pengujian dapat diketahui bahwa tidak
terdapat pengaruh negatif penanaman Padi Bt terhadap keberadaan serangga non-
target yang terdapat di lapangan uji terbatas. Hasil pengujian keamanan
lingkungan terhadap empat kultivar Padi non-PRG (Rojolele, Rojolele KA,
Ciherang dan Pandan Wangi) generasi kesatu (T0), tidak terdapat gen Cry IA(b)
pada semua semaian benih padi yang diuji untuk semua perlakuan jarak
1,2,3,5,7,9,11,13 dan 15 meter dari tanaman Padi Bt. Pengujian dilakukan
menggunakan seleksi higromisin dan analisis PCR.
Kelayakan finansial usahatani Padi Bt dilakukan melalui analisis terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi akibat penggunaan teknologi dalam
pengembangan tanaman PRG. Metode yang paling sesuai untuk membuat analisis
kelayakan usaha adalah analisis anggaran parsial yang dapat dipakai untuk
mengetahui apakah usahatani Padi Bt terkategori layak atau tidak untuk
dilanjutkan. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh hasil selisih ratio manfaat dan
biaya (B/C ratio) lebih besar dari satu, berarti usahatani Padi Bt termasuk kategori
layak untuk dilanjutkan.
Analisis keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG, untuk multidimensi
menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan multidimensional sebesar 58.99% yang
tergolong cukup berkelanjutan. Indeks dan status keberlanjutan masing-masing
dimensi adalah dimensi ekologi 73,02% (cukup berkelanjutan), dimensi ekonomi
69,30% (cukup berkelanjutan), dimensi sosial 51,22% (cukup berkelanjutan);
dimensi teknologi (46,71%) dan dimensi hukum kelembagaan (54,74%). terdapat
15 faktor pengungkit yang sifatnya dapat diintervensi kearah perbaikan maupun
dapat dipertahankan.
Peraturan perundang-undangan dan kelembagaan mempunyai peran
penting dalam keberhasilan introduksi PRG. Dari hasil pengambilan keputusan
strategi kebijakan pengelolaan PRG, telah diidentifikasi dua belas (12) elemen
dalam menentukan alternatif kebijakan yaitu tujuan, faktor, kriteria dan alternatif
kebijakan. Lembaga yang paling berperan adalah BPOM, KLH dan Kementan,
sedangkan faktor kendala yang ditemukan terdiri dari sepuluh sub elemen dengan
elemen kunci adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam melakukan
pengujian keamanan hayati serta penyelesaian pembuatan pedoman teknis untuk
pengujian keamanan hayati. Hasil penelitian studi keamanan lingkungan dengan
mengambil studi kasus Padi Bt diharapkan dapat memberikan masukan dan
rekomendasi kepada pemerintah sebagai salah satu strategi memajukan
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Kata kunci: Keamanan lingkungan tanaman PRG, Padi Bt, gene flow, formulasi
kebijakan Padi Bt, Pengelolaan Padi Bt.
vii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2014
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
viii
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK
FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA
GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
PUSPITA DESWINA
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ix
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr.Ir. Sutrisno
2. Prof.Dr. Cecep Kusmana MS
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof.Dr.Ir. Bambang Prasetya
2. Prof.Dr.Ir. Surjono H.Sutjahjo MS
x
Judul Disertasi : STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK
FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA
GENETIK (STUDI KASUS PADI Bt PRG)
Nama : Puspita Deswina
NRP : P 062090101
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Rizal Syarief, DESS
Ketua
Dr. Ir. Latief M. Rachman, M.Sc, MBA
Anggota
Prof. Muhammad Herman, M.S, PhD
Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi/Mayor
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dan Lingkungan Hidup
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
Dekan Sekolah Pacsasarjana,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :
ludul Diseliasi
Nama
NRP
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKA Y ASA GENETIK (STUDI K4SUS PADI Bt PRG)
Puspita Deswina
P 062090101
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
JJD'Lr.JILr.JL~altj·~M!:fu~~n1lM1:.:SS£cJM~B~A~-PEr~o . Muhammad Herman, M.S, PhD Anggota Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi/Mayor Pengelolaan Sumber Daya Alam
Lingkungan Hidup
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS
,,+JIl!.MJ~:It~~~lh P acsasarj ana,
Tanggal Ujian : Tanggal Lulus : f 6 DEC 2 13 2 7 JA N 2014
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat dan karuniaNya, serta salam dan salawat kepada Rasulullah Muhammad
SAW atas tuntunan dan bimbingan beliau, akhirnya disertasi ini dapat penulis
selesaikan. Disertasi ini berjudul STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK
FORMULASI KEBIJAKAN PRODUK REKAYASA GENETIK (STUDI
KASUS PADI Bt PRG) yang merupakan akhir dari rangkaian penelitian program
doktor yang mulai dilakukan sejak Tahun 2011.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada Prof. Dr. Rizal Syarief DESS, Dr.Ir. Latief M. Rachman, MBA dan Prof.
Muhammad Herman BS,MS,PhD. selaku pembimbing atas segala saran,
bimbingan, kritik dan nasehat yang tak terhingga selama studi dan penulisan
disertasi. Terima kasih kepada Kepala Puslit Bioteknologi LIPI atas kesempatan
yang diberikan dalam menjalankan pendidikan serta kepada Kementerian Riset
dan Teknologi yang telah memberikan bantuan beasiswa selama pendidikan.
Ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Rachman Kurniawan, Shiddiq
Ardhi Irawan dan Yeka Hendra Fatika yang telah banyak membantu pengolahan
data dan diskusi hasil penelitian. Terima kasih kepada Bapak Dr. Soetrisno, Dr.
Buang Abdullah, Prof.Dr. Bahagiawati, Dr. Damayanti Buchori, Ibu Nurmala
Darsono, Dewi Fadilla, M.Sc atas bantuan penyediaan informasi selama
penelitian. Terima kasih kepada Dr. Inez H. Slamet-Loedin, Dr. Satya Nugroho
dan Dr. Amy Estiati (Puslit Bioteknologi LIPI) atas bantuan ketersediaan akses
data, bahan kimia dan fasilitas Laboratorium. Terima kasih sebesar-besarnya
kepada Siti Munggah yang telah setia membantu selama penelitian di
laboratorium dan di rumah kasa, kepada Bapak Oco dari Balitpa Sukamandi,
Bapak/Ibu dari Kementerian Pertanian Kabupaten Cianjur dan Sukabumi, Dr.
Enung S.Mulyaningsih atas bantuan pelaksanaan survei lapangan.
Terima kasih kepada semua teman di Kelti padi atas dukungan,
persahabatan dan pengertiannya serta semua rekan di Puslit Bioteknologi LIPI
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tidak lupa kepada sahabat
seperjuangan Dr Heny Hindriani, Ita Junita, Diane, serta teman-teman angkatan
2009 yang selalu memberi semangat dan inspirasi dalam penyelesaian studi ini.
Dengan setulus hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua
orang tua terkasih, papa Yuzar Akmam BA, mama Djawanis, atas doa, kesabaran
dan petuah dalam menempuh pendidikan dan menjalani kehidupan selama ini,
kakakku Dodi Indra P.hD (beserta keluarga), Dr. Media Sandra Kasih (almh)
(beserta keluarga) dan adikku Ir. Jecky Aulia (beserta keluarga) yang telah
memberikan semangat dan inspirasi dalam kehidupan, putra-putri Uni Med
tersayang, Nadya Intan Kemala dan Berlian Naufal yang tiada henti memberikan
dorongan dan dukungan.
xii
Dengan segenap cinta dan kasih sayang, penulis sampaikan terima kasih
kepada suamiku Drs. Heroriki, cahaya hidupku, ananda Ibnu Khalil Ibram yang
selalu setia dan tiada lelah mendampingi dan memberi semangat dalam
menempuh pendidikan S3 ini, terima kasih untuk doa-doa dan kesabaran kalian.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan kebaikan kepada
semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian disertasi ini
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Amin.
Bogor, Januari 2014
Puspita Deswina
xiii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Solok (Sumatera Barat) pada tanggal 2 Desember 1966
sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Papa Yuzar Akmam BA
dan Mama Djawanis. Pendidikan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat
Atas diselesaikan di Kota Padang – Sumatera Barat. Pendidikan Sarjana ditempuh
di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Andalas – Padang, lulus pada tahun 1990. Lulus Program Magister Bidang
Bioteknologi pada Tahun 2001 di University Putra Malaysia (UPM) - Malaysia.
Studi Program Doktor dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor sejak tahun 2009,
pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PS -
PSL) dengan biaya selama studi dari Kementerian Riset dan Teknologi
(Kemenristek).
Sejak Tahun 1992 penulis telah bekerja sebagai staff peneliti di Pusat
Penelitian Bioteknologi, LIPI dan bergabung di kelompok penelitian padi
(Laboratorium Genomik dan Perbaikan Mutu Tanaman) sejak tahun 1996. Diberi
kesempatan sebagai pengelola dan koordinator Balai Kliring Keamanan Hayati
Indonesia (BKKH-Indonesia) sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011.
Selama menjalankan studi S3 ini, penulis memperoleh kesempatan melakukan
kegiatan pemagangan di Jepang (Plant Genetic Diversity, Environmental
Biosafety and Bioethics Division of Bioindustrial Sciences & Gene Research
Center Graduate School of Life and Environmental Sciences University of
Tsukuba, Japan), untuk mempelajari metode pengujian keamanan lingkungan
tanaman produk rekayasa genetik selama lebih kurang 3 bulan dengan biaya dari
Kemenristek. Beberapa karya ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi telah
disampaikan dan diterbitkan dalam jurnal ilmiah. Makalah tersebut adalah:
1. Pengaruh padi transgenik yang mengandung gen Cry IA(b) terhadap
populasi serangga nontarget di lapangan uji terbatas di Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan Vol 28(2): 95-100.
2. Merintis Pelepasan Tanaman Padi Transgenik di Indonesia di Journal of
Applied and Industrial Biotechnology in Tropical Region Vol. 4: 28-32
3. Analisis Ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Persepsi Petani terhadap Padi Bt
Produk Rekayasa Genetik di Indonesia dalam Prosiding Lokakarya
Nasional dan Seminar Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian
Indonesia. Bogor 2-4 September 2013
4. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Tanaman Padi Produk Rekayasa
Genetik di Indonesia akan diterbitkan di Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan.
xiv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xxi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ………....................................................................... 1
Kerangka Pikir …………................................................................... 7
Perumusan Masalah............................................................................ 10
Tujuan Penelitian................................................................................ 11
Manfaat Penelitian ………................................................................. 12
Kebaruan (Novelty)............................................................................. 12
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul dan Sebaran Tanaman Padi……………………………… 14
Hama Penting Tanaman Padi………................................................. 15
Status dan Perkembangan Bioteknologi Padi..................................... 16
Pengkajian Risiko Keamanan Lingkungan........................................ 21
Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Keamanan Hayati PRG……. 25
Kajian sosial ekonomi terhadap Keberlanjutan Introduksi PRG…... 26
JUDUL 1. Studi Keamanan Lingkungan Padi Bt PRG
Abstrak …………………................................................................... 30
Abstract…………………................................................................... 31
Metode Analisis Data……... ............................................................. 35
Hasil dan Pembahasan ....................................................................... 38
Kesimpulan…………………………………..................................... 51
Saran ...………………....................................................................... 52
JUDUL 2. Analisis Ex-Ante Kelayakan Ekonomi Padi Bt PRG Berkelanjutan
Abstrak ………………….....................................................................
Abstract………………….....................................................................
Metode Analisis Data……... ................................................................
Hasil dan Pembahasan ..........................................................................
Kesimpulan…………………………………........................................
Saran …………………..........................................................................
53
54
57
62
77
78
xv
JUDUL 3. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Tanaman Padi Produk
Rekayasa Genetik Di Indonesia
Abstrak………………........................................................................ 79
Abstract …………….......................................................................... 80
Metode Penelitian …………….…………………………………..... 83
Hasil dan Pembahasan ……………………………………………... 87
Kesimpulan ……..………………………………………………….. 109
Saran …………………...................................................................... 109
JUDUL 4. Analisis Kebijakan Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik
Berkelanjutan dengan Metode Pengambilan Keputusan
Abstrak………………........................................................................ 110
Abstract …………............................................................................. 111
Metode Analisis Data ………….…………………………………... 113
Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. 117
Kesimpulan …..……………………………………………………. 148
Saran ……………….......................................................................... 149
PEMBAHASAN UMUM ……….………………………………………… 151
KESIMPULAN …………………………….………………………………. 159
SARAN-SARAN…………………………………………………………… 161
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………… 162
DAFTAR LAMPIRAN…………………….………………………………. 174
xvi
DAFTAR TABEL
No Teks Hal
1 Tahapan dan metode analisis data untuk formulasi kebijakan
PRG................................................................................................. 10
2 Daftar negara-negara penghasil beras di dunia ………….............. 15
3 Jumlah benih Padi non-PRG hasil penelitian gene flow di
LUT………………………………………………………............. 46
4 Uraian produktifitas dan biaya pengolahan usahatani Padi Bt dan
Padi non-Bt di lahan pertanaman………………………………… 59
4 Biaya (cost) pengembangan Padi Bt PRG mengandung gen Cry
IA(b) tahan hama penggerek batang di Puslit Bioteknologi
LIPI………………………………………………......................... 63
5 Analisis anggaran partial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar
Rojolele dengan asumsi harga benih premium (50%)…………… 65
6 Analisis anggaran partial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar
Rojolele dengan asumsi harga benih tidak berubah……………… 65
7 Kategori status keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG ……..… 84
8 Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo
dengan analisis Rap-PRG ……………………………………….. 105
9 Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis Rap-
PRG …………….……………………………………………….. 106
10 Atribut sensitif keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG
sebagai faktor pengungkit dari setiap dimensi ............................... 108
11 Peraturan-peraturan terkait pemanfaatan PRG di Indonesia…….. 118
12 Proporsi sebaran aspek kunci dalam regulasi terkait kebijakan
pengelolaan PRG …………………..……………………………. 120
13 Daftar PRG yang telah memperoleh keamanan hayati dari
pemerintah pada tahun 2011-2012……………………………….
122
xvii
14 Nilai pembobotan untuk elemen-elemen alternatif berdasarkan
kriteria agregat lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi……... 137
15 Nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan
berpasangan …………..……………………………………….… 140
xviii
DAFTAR GAMBAR
No Teks Hal
1 Kerangka pemikiran penelitian keamanan lingkungan untuk
membuat formulasi kebijakan pengelolaan produk rekayasa
genetik…………………………………………………………….. 7
2 Diagram alir rancangan masalah penelitian……………………... 9
3 Diagram teknologi transformasi dan teknologi konvensional…… 18
4 Pembangunan berkelanjutan……………………………………… 28
5 Model disain penelitian gen flow untuk tanaman padi transgenik
di Nepal tahun 2003………………………………………………. 33
6
7
Model disain penelitian gen flow untuk tanaman anggur PRG di
LUT pada tahun 2002-2004 di Jerman……………………………
Tanaman padi umur 2-3 minggu untuk persiapan seleksi
higromisin…………………………………………………………
34
37
8 Populasi serangga wereng punggung putih (Sogatella furcifera)
pada galur Padi Bt PRG dan Padi non PRG di tiga lokasi
Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu…………………... 39
9 Populasi serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis)
pada galur Padi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi yang
berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu……………………… 40
10
11
Populasi serangga hama wereng coklat (Nilaparvata lugens
Stahl.) pada galur padi Bt PRG dan Padi non-PRG di dua lokasi
yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu………………...
Populasi laba-laba pada galur PAdi Bt PRG dan Padi non-PRG di
dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu……..
40
42
12 Populasi Paederus sp pada galur Padi Bt PRG dan Padi non-PRG
di dua lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu….. 43
13 Kemampuan tumbuh kultivar Rojolele dan Pandan Wangi hasil
penelitian gen flow di wilayah Karawang untuk seleksi
higromisisn dan analisis PCR…………………………………….. 47
14 Kemampuan tumbuh benih padi kultivar Rojolele KA dan
Ciherang hasil penelitian gen flow di wilayah Karawang untuk
seleksi higromisisn dan analisis PCR…………………………….. 48
15 Hasil seleksi higromisisn pada daun tanaman padi………………. 49
16 Hasil analisis PCR menggunakan primer Cry IA(b) pada tanaman
generasi kesatu (T0) Padi non PRG cv Rojolele (A) dan Ciherang
(B) hasil penelitian gene flow di LUT……………………………. 49
17 Skema lokasi pengambilan responden petani di Propinsi Jawa
Barat………………………………………………………………. 62
xix
18 Distribusi kelompok usia petani di wilayah penelitian Jawa Barat. 68
19 Distribusi tingkat pendidikan petani di wilayah penelitian
Propinsi Jawa Barat………………………………………………. 69
20 Distribusi tingkat penghasilan petani di wilayah penelitian Jawa
Barat………………………………………………………………. 70
21 Persepsi petani terhadap keamanan Padi Bt PRG di wilayah
penelitian Jawa Barat…………………………………………….. 71
22 Persepsi petani terhadap dampak Padi Bt PRG terhadap
lingkungan di Propinsi Jawa Barat……………………………….. 72
22 Penerimaan petani terhadap keberadaan Padi Bt PRG di wilayah
Propinsi Jawa Barat………………………………………………. 73
23 Tindakan petani dalam mengatasi serangan hama di wilayah
penelitian Jawa Barat……………………………………………... 74
24 Kriteria petani dalam memilih Padi Bt PRG di wilayah penelitian
Jawa Barat………………………………………………………… 75
25 Kesediaan petani untuk membeli benih Padi Bt PRG di wilayah
penelitian Jawa Barat……………………………………………... 76
26 Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi………… 85
27 Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi……..………… 86
28 Elemen proses aplikasi Rap-PRG dengan pendekatan MDS…….. 87
29 Indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan PRG………… 89
30 Hasil analisis leverage dimensi ekologi pengelolaan PRG………. 90
31 Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan PRG…. 92
32 Hasil analisis leverage dimensi ekonomi pengelolaan PRG……... 94
33 Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan PRG…….. 96
34 Hasil analisis leverage dimensi sosial pengelolaan PRG………… 98
35 Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan PRG… 99
36 Hasil analisis leverage dimensi teknologi pengelolaan PRG…….. 101
37 Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum kelembagaan
pengelolaan PRG…………………………………………………. 102
38 Hasil analisis leverage dimensi hukum kelembagaan pengelolaan
PRG………………………………………………………………. 103
39 Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan Padi Bt PRG………………………………………… 107
40 Diagram alir pengajuan izin keamanan hayati PRG……………… 123
41 Hirarki regulasi terkait kebijakan keamanan hayati PRG ……….. 125
42 Time line penetapan kebijakan nasional terkait pengelolaan PRG
di Indonesia……………………………………………………….. 128
43 Struktur hirarki dengan analisis AHP untuk kebijakan
pengelolaan PRG di Indonesia…………………………………… 131
44 Prioritas dari level faktor yang mempengaruhi pengelolaan PRG
dengan nilai bobot dari setiap aspek yang dikaji…………………. 132
xx
45 Prioritas kriteria dari faktor lingkungan dengan nilai bobot untuk
setiap kriteria yang dikaji………………………………………… 133
46 Prioritas kriteria dari aspek ekonomi dan nilai bobot masing-
masing elemen yang dikaji………………………………………. 134
47 Prioritas kriteria dari aspek sosial masyarakat dan nilai bobot
masing-masing elemen yang dikaji………………………………. 135
48 Prioritas kriteria dari faktor teknologi dan nilai bobot setiap
kriteria yang dikaji……………………………………………….. 136
49 Matriks driver power-dependence untuk elemen-elemen alternatif
yang diperlukan dalam pengelolaan PRG berkelanjutan di
Indonesia…………………………………………………………. 139
50 Struktur hirarki sub elemen alternatif yang berperan dalam
pengelolaan PRG………………………………………………… 141
51 Matriks driver power-dependence untuk elemen lembaga yang
berperan dalam pengelolaan PRG berkelanjutan di Indonesia….. 143
52 Struktur hirarki sub elemen lembaga yang berperan dalam
pengelolaan PRG…………………………………………………. 143
53 Matriks driver power-dependence untuk elemen kendala yang
berpengaruh dalam pengelolaan PRG di Indonesia……………… 145
54 Struktur hirarki sub elemen kendala yang mempengaruhi
pengelolaan PRG berkelanjutan………………………………….. 147
55 Diagram input-output strategi pengelolaan PRG berkelanjutan…. 156
56 Bagan alir model konseptual strategi kebijakan pengelolaan PRG. 157
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
No Teks Hal
1 Model penanaman untuk penelitian gen flow di daerah
Karawang Tahun 2006.. ……………………………………… 174
2 Komposisi larutan untuk Reaksi PCR………………………... 175
3 Contoh kuisioner untuk persepsi dan penerimaan petani
terhadap Padi Bt PRG………………………………………… 176
4 Uraian isi peraturan dan undang-undang yang menyebut
penggunaan dan pemanfaatan produk rekayasa genetik……… 180
5 Kuisioner AHP untuk responden pakar………………………. 184
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kebutuhan manusia terhadap peningkatan produksi pangan sangat
mendesak, terutama di negara-negara berkembang. Terjadinya hal ini karena
pertambahan jumlah populasi penduduk diperkirakan terus meningkat pesat.
Menurut publikasi BPS pada bulan Agustus 2010, jumlah penduduk Indonesia
berdasarkan hasil sensus ini adalah sebanyak 237.556.363 orang. Dengan jumlah
penduduk nomor empat (4) terpadat di dunia, Indonesia harus terus
mengupayakan berbagai alternatif pengadaan pangan agar dapat memenuhi
kebutuhan pangan nasional. Konsumsi rata-rata per kapita masyarakat Indonesia
terhadap kebutuhan beras sebesar 139 kg per tahun, kira-kira setengah kilogram
beras per hari per kapita. Secara nasional angka tersebut menjadi 100 ribu ton per
hari. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengkonsumsi beras
terbesar di dunia (FAPRI 2004; Slette 2010). Mempertimbangkan pertambahan
penduduk yang tidak seimbang dengan produksi pangan, maka upaya
meningkatkan produksi secara cepat, tepat dan efisien merupakan keharusan.
Tantangan masa sekarang antara lain adalah berkurangnya luas lahan pertanian
karena alih fungsi lahan dan dampak perubahan iklim global. Penambahan luas
lahan pertanian sangat sulit dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan terhadap
lingkungan (Sharma et al. 2002). Sehubungan dengan masalah tersebut maka
salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menerapkan teknologi modern
terutama dibidang pertanian. Banyak pihak mengakui bahwa peningkatan pangan
melalui bioteknologi pertanian memiliki kelebihan dalam memperkuat ketahanan
pangan, dapat mengurangi kebutuhan pembukaan lahan pertanian, meningkatkan
produksi dan lebih ramah lingkungan. Teknologi ini menjanjikan ketersediaan
pangan dunia agar seimbang dengan tingkat pertambahan penduduk (Soemarwoto
2002; Khan & Liu 2009).
Padi sebagai komoditas pertanian utama di Indonesia, memerlukan
perbaikan kualitas melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi untuk memenuhi
kebutuhan penduduk akan pangan yang berkualitas. Teknologi pemuliaan
2
tanaman konvensional yang selama ini digunakan tidak lagi efisien dalam
mengatasi kebutuhan pangan karena sifat-sifat yang diperoleh sangat terbatas,
perlu waktu lebih lama, sumber gen ketahanan terbatas, tidak dapat diketahui
apakah hanya sifat yang diinginkan saja yang diintroduksi pada tanaman target,
karena dengan teknologi konvensional semua sifat yang ditransfer akan terbawa,
oleh karena itu diperlukan waktu untuk seleksi lebih lama agar diketahui sifat
yang diinginkan sudah dipindahkan pada tanaman target (Novak & Brunner
1992). Berdasarkan prediksi kebutuhan pangan terutama beras di tahun 2025,
diperlukan 70% lagi peningkatan produksi. Kenyataan ini tidak mungkin tercapai
tanpa memanfaatkan bioteknologi. Di Indonesia, kegiatan pengembangan
bioteknologi modern dimulai sejak tahun 1990 di beberapa pusat penelitian milik
pemerintah dan swasta. Sifat baru yang banyak ditambahkan adalah sifat
ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik. Sifat ketahanan terhadap hama
merupakan sifat utama yang banyak digunakan pada tanaman pertanian, terutama
tanaman padi (Prasetya & Deswina 2009). Melalui bioteknologi pertanian para
ilmuwan mencari dan memperoleh sifat-sifat baru yang lebih baik dan unggul.
Sifat tersebut bisa berasal dari organisme itu sendiri atau species lain yang
berbeda (Breitler et al. 2000; Redona 2006). Sebelumnya revolusi hijau telah
menimbulkan kejenuhan pada lahan pertanian, dengan metode pemupukan dan
penggunaan insektisida yang terus menerus. Alternatif bioteknologi tanaman
diharapkan dapat mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang
semakin memprihatinkan dari waktu ke waktu. Diharapkan teknologi baru ini
pada akhirnya mampu menjawab kebutuhan pangan dunia, sehingga tercapai
kebutuhan pangan tanpa merusak kelestarian lingkungan (James 2010; Stein &
Rodriguez-Cerezo 2010).
Kendala utama tanaman pertanian di negara beriklim tropis dan lembab
seperti Indonesia adalah serangan organisme pengganggu seperti hama dan
penyakit tumbuhan. Pada tanaman padi, serangan hama masih menjadi kendala
utama dan masalah serius di lapangan, misalnya hama wereng coklat dan
penggerek batang. Kerugian yang diakibatkan oleh kedua serangga hama ini
menyebabkan penurunan produksi padi dari 5 – 10% dari total produksi padi di
Asia. Serangan hama penggerek batang sendiri bisa menyebabkan kerugian
3
sampai 20% (Ghareyazie et al. 1997). Kerugian akan bertambah besar jika terjadi
serangan serentak pada suatu wilayah pertanaman padi, contohnya di Sri Lanka
yang bisa menyebabkan kerugian sampai 50%. Usaha pengendalian yang selama
ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida yang kurang efektif terhadap
hama penggerek batang, karena serangga ini hidup dan berkembang di dalam
batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan insektisida sangat terbatas.
Serangga bisa menyerang tanaman pada fase awal (vegetatif) dan fase
pembungaan (generatif) (Amuwitagama 2002). Tanaman tahan serangga dapat
diperoleh dengan teknologi rekayasa genetik. Sumber gen ketahanan dapat berasal
dari organisme itu sendiri atau organisme lain seperti bakteri, jamur atau tanaman
lain yang berbeda spesies. Sifat ketahanan terhadap serangga hama penggerek
batang tidak terdapat pada tanaman padi itu sendiri, sehingga diperlukan
organisme lain sebagai sumber gen ketahanan seperti bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt) yang bersifat toksik terhadap serangga (MacMahon 2000;
Gatehouse 2008; Lemaux 2009;).
Insektisida biologis yang telah digunakan sejak 40 tahun yang lalu dalam
mengendalikan serangga hama adalah bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) yang
tergolong bakteri tanah. Secara konvensional, penggunaan bakteri ini telah
dikomersialisasikan dalam bentuk hasil fermentasi yaitu spora dan kristal protein
(Baum et al. 1996). Namun secara komersial produksi Bt ini masih terbatas, dan
pengaruh perlindungannya berumur pendek. Bakteri ini merupakan bakteri gram
positif yang membentuk spora selama proses sporulasi. Spora dan kristal protein
Cry bersifat insektisidal dan toksik terhadap larva serangga dari Ordo
Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Kuo & Chak 1996; Cheng et al. 1998).
Introduksi gen Cry yang menyandikan ketahanan terhadap hama telah berhasil
dilakukan pada beberapa tanaman seperti jagung (Lynch et al. 1999), kelapa sawit
(Lee et al. 2006) dan tanaman padi (Rahman et al, 2007, Cheng et al. 1998, Ho et
al. 2001). Kelas Cry dikelompokkan berdasarkan virulensi yang spesifik terhadap
kelompok serangga sasaran. Kelompok protein Cry sebagai insektisida, ditandai
dengan gen Cry dan diklassifikasikan menjadi Cry I, II, III dan IV tergantung
pada inang yang spesifik dan homologi dari asam aminonya (Hofte et al. 1989 ;
Lenin et al. 2007). Seperti gen Cry IA(b) atau Cry IA(c) yang diekspresikan pada
4
padi sangat efektif dalam mengendalikan serangan larva serangga penggerek
batang kuning (Scirpophaga. incertulas) dan penggerek batang bergaris (Chilo
suppressalis) (Nayak et al. 1997; Datta et al. 1998; Wang et al. 2002; Ghareyazie
et al. 1997). Gen Cry IB dibawah kontrol promoter ubiquitin dari jagung
dilaporkan sangat efektif mengendalikan penggerek batang bergaris baik pada
fase vegetatif maupun generatif (Marfa et al. 2002).
Ketahanan tanaman produk rekayasa genetik (PRG) dapat dipatahkan,
seperti halnya tanaman hasil pemuliaan konvensional. Berbagai strategi
dikembangkan untuk memperlambat laju pematahan ketahanan oleh serangga.
Beberapa upaya yang telah dilakukan diantaranya adalah diversifikasi sumber gen
ketahanan, yaitu penggunaan dua gen yang berbeda binding site (pyramiding
genes) (Herman 2009). Alcantara et al (2000) melaporkan bahwa beberapa toxin
cry mempunyai “binding site” yang berbeda dalam pencernaan larva serangga dua
species penggerek batang bergaris dan penggerek batang kuning. Kombinasi
penggunaan protein Cry yang berbeda binding site dalam memperoleh tanaman
transgenik merupakan alternatif untuk memperoleh tanaman yang memiliki
ketahanan lebih lama. Misalnya kombinasi gen Cry IA(b) dengan Cry I C (Salm et
al. 1994), Cry IA(b) dengan Cry IB (Ho et al. 2001). Penemuan ini memberikan
keuntungan dalam mengembangkan strategi untuk memperlambat laju pematahan
ketahanan oleh serangga, karena kemungkinan mutasi dua receptor yang berbeda
pada serangga lebih kecil. Dalam upaya mengatasi serangga hama penggerek
batang pada tanaman padi, telah dilakukan perakitan tanaman padi PRG
mengandung gen Cry IA(b) yang efektif terhadap hama penggerek batang kuning
( Laporan Teknik Puslit Bioteknologi-LIPI 2004).
Sebelumnya dilaporkan bahwa modifikasi gen perlu dilakukan untuk
meningkatkan ekspresinya pada tanaman sehingga dapat mengendalikan
serangga-serangga penting dalam pertanian. Salah satu tujuan dari strategi
pengendalian hama terpadu atau insect resistance management (IRM) adalah
memperlambat terjadinya ketahanan hama terhadap toksin tanaman seperti toksin
Bt. Selain itu juga dengan menanam tanaman PRG mengandung toxin Bt dosis
tinggi (high dose toxin) bersamaan dengan tanaman non-PRG (refuge), serta
menggabungkan kristal protein Bt yang berbeda (stacking genes) juga diperlukan
5
untuk memperlambat munculnya ketahanan serangga terhadap toksin Bt (Salm et
al. 1994; Tang et al. 2006; Yang et al. 2011).
Dengan dihasilkannya beberapa produk tanaman PRG telah menimbulkan
beberapa tanggapan dari masyarakat baik positif maupun negatif. Isu keamanan
lingkungan sebelum komersialisasi tanaman PRG mendapat perhatian khusus,
meskipun telah dilakukan pengujian-pengujian yang akurat dengan metode ilmiah
yang benar (Lu & Sweet 2010). Pengujian keamanan lingkungan, keamanan
pangan dan keamanan pakan merupakan komponen dari pengujian risiko
keamanan hayati. Persyaratan ini telah ditetapkan dan diputuskan dalam Protokol
Cartagena tentang Keamanan Hayati yang juga telah disepakati Indonesia dengan
ditandatanganinya Protokol tersebut sejak Tahun 2000 (Herman 2009).
Pengujian keamanan lingkungan dilaksanakan sesuai dengan sifat alami
yang diintroduksikan, karakteristik tanaman PRG dibandingkan dengan tanaman
non-PRG, kondisi lingkungan penerima tanaman PRG serta interaksi dari elemen-
elemen tersebut (Sharma et al 2002; McCammon 2006; Raybould 2006, Lu &
Sweet 2010). Lembaga pemerintahan yang berwenang akan melakukan evaluasi
sesuai dengan peraturan dan pedoman yang tersedia terhadap penelitian risiko
keamanan lingkungan sebelum tanaman PRG tersebut dikomersialisasikan (Auer
2008). Pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG mengandung Bt,
difokuskan pada pengaruh toksisitas Bt (Bacillus thuringiensis) terhadap
organisme non-target, dampak ekologis yang disebabkan oleh transfer gen pada
tanaman satu kerabat dan kerabat liarnya, serta interaksi dan pengaruh tanaman
PRG terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Lu & Sweet 2010).
Pengujian risiko keamanan lingkungan terutama dampaknya terhadap
organisme non target dilakukan berdasarkan informasi ilmiah terkini
menggunakan ilmu–ilmu dasar maupun ilmu terapan dan pembahasan terhadap
risiko yang ditimbulkannya (Pauwels et al. 2010; Garcia-Alonso et al. 2006).
Pengujian risiko keamanan lingkungan harus sejalan dengan peraturan disetiap
negara yang akan melepas produk hasil rekayasa tersebut. Oleh karena itu
pertimbangan keamanan hayati harus menjadi bagian yang terintegrasi dengan
perkembangan produk bioteknologi pertanian khususnya produk pertanian PRG.
Posisi suatu negara terhadap bioteknologi dilihat dari sisi kebijakan/regulasi
6
sangat bergantung dari beberapa hal seperti kebijakan, tingkat risiko yang dapat
diterima, kapasitas melakukan kajian atau evaluasi risiko implementasi
kelembagaan yang memadai, persepsi dari manfaat secara ekonomi yang dapat
diperoleh yang dihubungkan dengan kaitannya pada ketergantungan impor produk
pertanian serta investasi litbang yang telah dialokasikan pada produk ini. Dalam
dokumen Agenda 21 Indonesia (KMLH 1997) pada salah satu bab dikemukakan
bahwa bioteknologi memiliki potensi dan peranan dalam (1) memecahkan
masalah pertanian, kesehatan dan lingkungan; dan (2) mempertimbangkan aspek
keamanan hayati (biosafety) sehingga dampak negatif bisa dicegah. Puslit
Bioteknologi LIPI telah merintis penelitian Padi PRG mengandung gen Cry IA(b)
yang memiliki sifat tahan terhadap hama penggerek batang sejak tahun 1996.
Telah dilakukan pengujian keamanan lingkungan terhadap Padi Bt PRG pada tiga
lokasi yang berbeda, yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu, untuk
mengetahui pengaruhnya terhadap lingkungan khususnya organisme non target.
Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan kesepakatan Indonesia dalam meratifikasi Protokol
Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati,
maka Indonesia berkewajiban menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary
principles) dalam pelepasan PRG. Oleh karena itu perlu dilakukan studi yang
menyeluruh terkait dengan rencana pelepasan Padi Bt PRG ke lingkungan. Puslit
Bioteknologi LIPI telah menghasilkan Padi Bt PRG tahan hama penggerek batang
kuning yang telah dibuktikan berdasarkan pengujian bioassay di Fasilitas Uji
Terbatas (FUT) (contained field trial) dan di Lapangan Uji Terbatas (LUT)
(confined field trials) khusus tanaman PRG. Untuk mengetahui kemungkinan
dampak negatifnya terhadap lingkungan terutama organisme non target potensial,
harus dilakukan pengujian di LUT. Secara komprehensif, produk dari teknologi
baru yang dikenal dengan Padi Bt PRG, perlu kajian ilmiah terkait manfaatnya.
Sebelum komersialisasi kepada masyarakat, perlu diketahui aspek ekologi, aspek
ekonomi dan aspek sosial, Aspek ekologi lebih diutamakan terhadap keamanan
lingkungan dari pengaruh negatif PRG terhadap keanekaragaman hayati. Aspek
ekonomi diwakili oleh indikator peningkatan output dan peningkatan daya saing.
7
Aspek sosial umumnya diukur dari tingkat kenyamanan dan ketenangan dalam
menentukan pilihan produk yang diinginkan. Untuk mencapai ketiga tujuan
tersebut perlu diperhatikan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat
(Munasinghe 1993).
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian keamanan lingkungan untuk membuat
formulasi kebijakan pengelolaan produk rekayasa genetik (PRG).
Riset
Tidak Tidak
Ya
Keamanan ling-kungan dan keber-lanjutan Padi Bt PRG
Kajian Keber-lanjutan Padi Bt PRG
Introduksi Padi Bt PRG ke lingkungan
Analisis peraturan dan Kelembagaan pengel-olaan Padi Bt PRG
Kajian kea-manan ling-kungan
Data & Informasi (cukup)
Advokasi kebijakan
Rekomendasi
Implementasi
Gabungan dari kajian ilmiah dan
kebijakan
Strategi pengel-olaan Padi Bt PRG
Kajian sosial ekonomi untuk melihat kelayakan finansial dan persepsi petani
8
Selain itu juga diperlukan kajian kelembagaan dan peraturan yang berperan dalam
pengelolaan PRG. Sehingga dihasilkan suatu strategi dalam kebijakan
pengelolaan PRG yang utuh dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam pengembangan kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG di
Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian studi keamanan lingkungan untuk
membuat formulasi kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG disajikan pada Gambar 1.
Perumusan Masalah Melalui rekayasa genetik telah dihasilkan tanaman yang memiliki sifat
baru yang lebih unggul dari sebelumnya, tujuannya adalah meningkatkan kualitas
dan produktifitas tanaman. Sebagai hasil teknologi baru, karena kemajuan di
bidang bioteknologi rekayasa genetik, perlu diterapkan prinsip kehati-hatian
berdasarkan kasus per kasus dan metode ilmiah yang akurat dan terukur dalam
melakukan pengujian dan pengkajian risiko keamanan hayati. Menurut Peraturan
Pemerintah No 21 Tahun 2005, keamanan hayati meliputi keamanan lingkungan,
keamanan pangan dan/atau keamanan pakan sesuai amanat Protokol Cartagena.
Suatu kajian yang bersifat holistic dan sistemik terkait dengan rencana pelepasan
tanaman Padi Bt PRG, perlu dilakukan untuk membuat rekomendasi kebijakan
pengelolaan tanaman PRG. Selain kajian ilmiah terkait aspek teknologi dan riset
untuk mengetahui pengaruh Padi Bt PRG terhadap lingkungan, juga diperlukan
kajian aspek ekonomi, sosial dan regulasi dalam melihat prospek kelayakan
pemanfaatan Padi Bt PRG dalam penyelenggaraan pertanian berkelanjutan
(Protokol Cartagena pasal 23 dan pasal 26).
Tanaman Padi Bt PRG telah diintroduksi dengan gen Cry IA(b) dan fusi
gen cry IB - cry IA(a) tahan terhadap hama penggerek batang kuning telah
dikembangkan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Puslit Bioteknologi
LIPI). Tanaman ini secara genetik terbukti memiliki sifat ketahanan terhadap
hama penggerek batang kuning berdasarkan hasil penelitian bioassay di FUT
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI. Selain itu strategi penggunaan gen Bt sangat
menguntungkan dalam mengurangi penggunaan insektisida sehingga dapat
memperbaiki kualitas lingkungan (Roush 1998; Herman 2009). Sedangkan secara
ekonomi lebih menguntungkan karena akan mengurangi jumlah biaya pembelian
pestisida (Yang et al 2011).
9
Hipotesis dari penelitian adalah tanaman Padi Bt PRG yang memiliki sifat
ketahanan terhadap serangga hama penggerek batang kuning, tidak memberikan
pengaruh negatif terhadap serangga non target dan musuh alami potensial, serta
memiliki potensi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai
alternatif peningkatan ketahanan pangan di Indonesia. Rincian dari konsep
penelitian ini beserta metode dan utilitas yang digunakan ditampilkan pada
Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir rancangan masalah penelitian
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian meliputi data primer dan
sekunder. Data primer dikumpulkan melalui pengujian di laboratorium, survei
lapangan, hasil wawancara, survei responden dan survei pakar. Sedangkan data
sekunder diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya mengenai data keamanan
hayati Padi Bt PRG mengandung Cry IA(b) tahan serangan hama penggerek
batang.dari Puslit Bioteknologi LIPI, data-data ekologi dan survei literatur atau
10
regulasi melalui studi pustaka. Uraian jenis dan sumber data yang diperlukan
disajikan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tahapan dan metode analisis data untuk formulasi kebijakan PRG
Tujuan Jenis
data
Sumber data Metode
analisis
Output yang
diharapkan
(1) Studi keamanan lingkungan : a. Analisis dampak Padi Bt PRG terhadap serangga non-target dan musuh alami b. Persentase kemungkinan terjadinya perpindahan gen di LUT
Sekunder Primer
Hasil pengujian LUT Puslit Bioteknologi LIPI
Analysis of Variance dengan menggunakan Duncan Test Analisis deskriptif dan uji Laboratorium dengan seleksi higromisisn dan analisis PCR
Persentase populasi serangga non target dan musuh alami pada Padi Bt PRG dan non-PRG Persentase terjadinya gen flow ke tanaman padi non PRG
(2)Kajian kelayakan
finansial pengembangan Padi PRG dan persepsi petani
Sekunder Primer
Dinas/Instansi terkait Responden terpilih
Analisis anggaran parsial (B/C ratio)
Diketahui manfaat finansial dan kelayakan usaha Padi Bt PRG
(2) Analisis
keberlanjutan terhadap pengelolaan Padi Bt PRG
Primer
Responden terpilih
Analisis MDS dengan Rap -PRG
Diketahui status keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dalam kerangka membangun kebijakan pengelolaan PRG
(3) Kajian peraturan dan kebijakan terkait dengan pengelolaan PRG di Indonesia
Sekunder Primer
Peraturan terkait dan subyek yg relevan Wawancara pakar dan kuesioner
Legal review dan analisis isi (content analysis) AHP dan ISM
Analisis kebijakan dan implementasi pengelolaan PRG
11
Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penulisan disertasi ini adalah menyusun bahan,
informasi, hasil kajian dan rekomendasi sebagai masukan dan pertimbangan
dalam penyusunan formulasi kebijakan dalam mengelola pemanfaatan PRG,
khususnya tanaman Padi Bt. Pengujian keamanan lingkungan telah dilakukan
terhadap serangga non target dan musuh alami di Lapangan Uji Terbatas (LUT)
hasil kerja sama antara Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi)
Sukamandi dengan Puslit Bioteknologi LIPI, sedangkan pengujian terhadap benih
Padi non-Bt generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow dilakukan dengan
seleksi higromisin dan analisis PCR (Polymerase Chain Reaction) di
Laboratorium dan Rumah kasa padi. Selain kajian aspek teknologi keamanan
lingkungan, juga dilakukan kajian sosial ekonomi meliputi analisis finansial,
persepsi dan penerimaan petani, analisis keberlanjutan serta kajian peraturan
kelembagaan. Studi ini merupakan gabungan antara kajian ilmiah dan sosial yang
bersifat holistik dan terpadu terhadap prospek pengembangan Padi Bt PRG, agar
strategi pembangunan pertanian berkelanjutan yang menjadi tujuan pembangunan
nasional dapat diwujudkan dan ketahanan pangan nasional tercapai. Secara rinci
tujuan penelitian adalah untuk:
1. Mengetahui status keamanan lingkungan Padi Bt PRG yangmengandung
gen Cry IA(b) tahan terhadap hama penggerek batang.
2. Mengetahui kelayakan finansial serta persepsi dan penerimaan petani
terhadap Padi Bt PRG dengan melakukan studi ex ante.
3. Mengetahui status keberlanjutan kebijakan pengelolaan Padi Bt PRG
berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum
kelembagaan
4. Menganalisis dan melakukan tinjauan terhadap peraturan dan kelembagaan
serta kebijakan pengambilan keputusan dalam pengelolaan PRG
12
Manfaat Penelitian Penelitian terhadap kajian keamanan lingkungan meliputi pengaruh
langsung terhadap serangga non target (predator dan musuh alami), mengetahui
potensi terjadinya perpindahan gen (gene flow), dan kajian-kajian sosial ekonomi
untuk mengetahui kelayakan dan potensi keberlanjutan Padi Bt PRG berdasarkan
kajian peraturan perundang-undangan dan kebijakan dalam pengelolaan dan
pemanfaatannya untuk:
1. Merekomendasikan keamanan keamanan lingkungan Padi Bt PRG
mengandung gen Cry IA(b), sebelum pemanfaatan kepada masyarakat,
berdasarkan hasil kajian ilmiah.
2. Memberikan masukan kepada pemerintah terutama pembuat kebijakan
terhadap potensi kelayakan ekonomi pemanfaatan padi Bt PRG
3. Memberikan alternatif pemanfaatan padi Bt yang lebih ramah lingkungan
dengan mengurangi penggunaan insektisida berdasarkan hasil kajian
keamanan lingkungan
4. Mengetahui potensi keberlanjutan padi Bt PRG berdasarkan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
Kebaruan (Novelty) Penelitian
Penelitian mengenai bioteknologi khususnya perakitan tanaman PRG di
Indonesia masih sangat terbatas, karena terkait dengan kemampuan dalam
penguasaan teknologi yang berkaitan dengan infrastruktur, dana dan sumber daya
manusia. Persyaratan sebelum tanaman PRG dilepas atau dikomersialisasikan
adalah sertifikat keamanan hayati meliputi keamanan pangan, lingkungan
dan/atau pakan. Khusus untuk tanaman PRG, pengujian keamanan lingkungan
dilakukan untuk mengetahui kemungkinan pengaruh negatifnya terhadap
keanekaragaman hayati seperti organisme non target dan terjadinya persilangan
(crossing) dengan tanaman sejenis atau kerabat liar di lokasi pertanaman PRG.
Kebaruan yang muncul dari penelitian ini adalah, rekomendasi kebijakan
kepada pemerintah mengenai pengelolaan tanaman PRG, khususnya tanaman Padi
Bt berdasarkan studi keamanan lingkungan di Laboratorium dan LUT. Pengujian
13
keamanan lingkungan Padi Bt PRG di Indonesia adalah penelitian pertama yang
pernah dilakukan untuk tujuan memperoleh sertifikat dan pernyataan keamanan
lingkungan.
Sebagai produk bioteknologi baru melalui teknik rekombinan DNA,
tanaman Padi Bt PRG harus disosialisasikan kepada masyarakat, sebelum dilepas
atau dikomersialisasikan, sebab keberhasilan suatu teknologi adalah bagaimana
masyarakat menerima dan memanfaatkannya. Secara holistik penelitian ini
meliputi; (1) Kajian keamanan lingkungan (environmental risk assessment) (2)
Pengujian benih hasil penelitian gene flow di LUT (3) Studi kelayakan pelepasan
Padi Bt PRG (4) Status keberlanjutan dalam pengelolaan tanaman Padi Bt PRG
dan (5) Studi kebijakan pengambilan keputusan berdasarkan peraturan dan
kelembagaan terhadap pengelolaan tanaman PRG.
14
TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul dan Sebaran Tanaman Padi
Padi termasuk genus Oryza dari family Gramineae (Poaceae). Genus
Oryza terdiri dari 25 species dan hanya dua species yang banyak dibudidayakan
yaitu Oryza sativa dan Oryza glaberrima. Genus O. glaberrima hanya ditanam di
daerah Afrika barat (Vaughan et al. 2003). Jenis padi yang paling banyak ditanam
dan dibudidayakan hampir di seluruh dunia termasuk Asia adalah Oryza sativa L.
Jenis ini dapat beradaptasi pada berbagai kondisi dan tumbuh pada kondisi
lingkungan yang bervariasi mulai dari daerah dataran rendah sampai daerah
dataran tinggi, kecuali di daerah Antartika (Jeong et al. 2005; Abdullah et al.
2005).
Tanaman padi dengan produksi berasnya merupakan sumber nutrisi utama
bagi hampir dua pertiga (Vaughan et al. 2003) sampai separo populasi penduduk
di seluruh dunia (Abdullah et al. 2005), dengan total nilai produksi beras dunia
pada tahun 2010 mencapai lebih dari 400 juta ton per tahun, berarti mengalami
kenaikan 1,8% dibandingkan tahun 2009. Terjadinya bencana alam di beberapa
negara produsen beras di dunia ternyata belum memberikan dampak penurunan
yang nyata terhadap produksi beras secara global. Peningkatan produksi beras
dunia pada tahun 2011 diperkirakan dari India dan China, dengan prediksi tidak
terjadi perubahan iklim yang ekstrim (FAO 2010). Indonesia menempati urutan
ketiga dari negara-negara penghasil beras di dunia dengan jumlah produksi sekitar
50 juta ton per tahun (Tabel 2).
Sentra produksi beras terbesar di dunia berasal dari benua Asia, hampir
90% berasal dari China, India, Vietnam, Thailand dan Indonesia. Sekitar 75% dari
produksi beras tersebut dikonsumsi oleh penduduk di wilayah Asia sendiri
(Mohanty 2010). Kebutuhan beras di masa yang akan datang akan terus
meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk, terutama di negara-
negara berkembang dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang terus bertambah.
15
Tabel 2. Daftar negara-negara penghasil beras di dunia
No Negara Jumlah Produksi (ton/tahun) Persentase
1 China 166,417,000 32,7
2 India 132,013,000 26,0
3 Indonesia 52,078,832 10,2
4 Bangladesh 38,060,000 7,5
5 Vietnam 34,518,600 6,8
6 Thailand 27,000,000 5,3
7 Myanmar 24,640,000 4,8
8 Philippines 14,031,000 2,8
9 Brazil 10,198,900 2,0
10 Japan 9,740,000 1,9
(Sumber: FAO 2010).
Hama Penting Tanaman Padi
Masalah utama pada pertanaman padi adalah serangan hama dan penyakit.
Serangan hama penggerek batang masih menjadi masalah serius terutama
didaerah tropis seperti Indonesia. Hama ini dapat menimbulkan kerugian sampai
10 juta ton per tahun atau mendekati 10 - 30% produksi di lapangan (Ho et al.
2001; Moghaieb 2010). Pada saat terjadi serangan berat, dapat menurunkan
produksi hingga lebih dari 65 % pertahun (Tu et al. 2000). Sampai saat ini belum
ditemukan varietas padi yang tahan terhadap serangan hama penggerek batang.
Serangga termasuk jenis hewan yang paling banyak di muka bumi, hampir
¾ dari jenis hewan adalah serangga. Salah satu dari jenis serangga tersebut adalah
serangga penggerek batang yang termasuk ke dalam ordo Lepidoptera (Howell et
al. 1998). Secara morfologi serangga ini memiliki mulut pengisap yang
menyerupai belalai dengan tanda khusus berbentuk spot atau sisik di bagian sayap
(Amuwitagama. 2002). Penggerek batang diketahui dapat merusak tanaman pada
semua fase pertumbuhan, baik fase di pembibitan, anakan dan fase pembungaan
(Srivastava et al. 2003). Gejala kerusakan yang ditimbulkan berbeda-beda sesuai
dengan fase pertumbuhan tanaman. Bila serangan terjadi pada fase pembibitan
16
sampai anakan disebut sundep sedangkan pada saat pembungaan disebut beluk.
Kerusakan pada bagian batang akan menghasilkan lubang (entry hole) sehingga
merusak jaringan pembuluh tanaman yang mengakibatkan bagian pangkal
tanaman mati, sedangkan serangan di waktu pembungaan akan mengakibatkan
malai hampa dan berwarna putih (Amuwitagama 2002). Serangga penggerek
batang padi dapat menyerang tanaman sepanjang musim terutama di daerah tropis,
daerah sebarannya melingkupi hampir disemua wilayah.
Serangga penggerek batang padi terdiri dari empat jenis yaitu serangga
penggerek batang putih (Scirphopaga innotata), serangga penggerek batang
kuning (Scirphopaga incertulas), serangga penggerek batang bergaris (Chilo
suppressalis) dan serangga penggerek batang padi merah jambu (Sesamia
inferens) (Kartasapoetra 1993 ; Daly et al. 1998). Siklus hidup serangga ini
dimulai dari telur, larva, pupa dan dewasa memerlukan masa sekitar 46 hari.
Perbedaan morfologi serangga penggerek batang dewasa antara yang jantan
dengan yang betina kelihatan sangat berbeda. Serangga penggerek batang jantan
memiliki warna lebih kecoklatan bila dibandingkan dengan betina (Reissig et al.
1986).
Status dan Perkembangan Bioteknologi Tanaman Padi
Kebutuhan terhadap peningkatan produksi dan perbaikan mutu tanaman
padi sangat mendesak karena pertumbuhan populasi penduduk yang tidak
seimbang dengan jumlah produksi serta terjadinya perubahan iklim global dunia.
Kondisi ini dapat memicu timbulnya ancaman akan krisis pangan. Oleh karena itu
sebagai negara berkembang, Indonesia memerlukan teknologi baru dalam
mempercepat terealisasinya peningkatan produksi dan kualitas hasil tanaman
utama seperti padi. Terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan
pertambahan jumlah penduduk memerlukan alternatif dan metode baru yang
mampu mempercepat tercapainya kenaikan produksi. Beberapa teknik telah
dilakukan sebelumnya, mulai dari teknik konvensional sampai era revolusi hijau,
akan tetapi belum terjadi kenaikan hasil yang nyata .
Teknik rekayasa genetik merupakan salah satu dari beberapa alternatif
penerapan bioteknologi pada tanaman pertanian yang bertujuan untuk
17
meningkatkan produksi dengan memperbaiki sifat ketahanan terhadap hama dan
penyakit. Melalui teknologi ini diharapkan terjadi kenaikan produksi yang
berkelanjutan, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan akibat
penggunaan pestisida secara berlebihan, terutama pada padi yang rentan terhadap
serangan hama (Thiagarajasubramanian 2005).
Konsep awal dalam melakukan rekayasa pada tanaman adalah
memindahkan sifat-sifat yang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas dan mutu
tanaman pertanian, hortikultura dan tanaman hias. Selain itu teknologi ini juga
dimanfaatkan untuk memahami proses-proses biologis tertentu pada tanaman
(Greenberg & Glick 1993). Teknologi rekayasa genetik memungkinkan untuk
memanfaatkan sifat-sifat tanaman yang unggul baik yang berasal dari tanaman itu
sendiri maupun dari spesies lain yang berbeda, sehingga memungkinkan untuk
introduksi sejumlah sifat baru yang dikehendaki ke dalam tanaman budidaya
seperti padi (Thomson 2000). Selain itu, sumber materi genetik dan sifat-sifat lain
yang bermanfaat, telah digunakan dengan berbagai kombinasi yang berbeda untuk
memenuhi kebutuhan dalam perbaikan mutu dan meningkatkan efisiensi pada
pemuliaan tanaman padi (Thomson 2000; Baihaki 2002). Proses pembuatan
tanaman rekayasa genetik dibandingkan dengan tanaman hasil pemuliaan
konvensional, memerlukan waktu yang lebih singkat dengan kepastian sifat yang
lebih akurat. Perbedaan dari kedua proses tersebut dapat digambarkan seperti pada
Gambar 3.
Beberapa sifat baru yang diinginkan seperti toleran terhadap kekeringan,
salinitas dan rendaman, meningkatkan kualitas nutrisi tanaman (seperti kadar
protein dan kadar asam amino), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
serangan hama dan penyakit, serta memperbaiki tampilan tanaman (warna bunga,
tinggi tanaman) lebih mudah dan lebih efisien dilakukan dengan teknik rekayasa
genetik (Kropff & Struik 2002).
18
Sumber: Sharma et al. 2005
Gambar 3. Diagram teknologi transformasi dan teknologi konvensional
Rekayasa genetik pada tanaman telah dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan seperti; meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama,
penyakit, gulma dan herbisida; meningkatkan kandungan zat-zat gizi,
mengendalikan tingkat kematangan dan masa penyimpanan setelah panen serta
modifikasi genom tanaman untuk produksi bahan-bahan kimia tertentu dari
tanaman tersebut (MacMahon 2000). Rekayasa genetik pada tanaman padi
bertujuan untuk memperoleh tanaman tahan serangan hama dari jenis Lepidoptera
dengan memanfaatkan protein Bt toxins (Brookes & Barfoot 2003). Keberhasilan
teknologi ini juga telah diterapkan pada tanaman kedelai (52%), jagung (31%),
kapas (12%) dan canola (5%). Sifat-sifat unggul yang paling banyak dimanfaatkan
pada tanaman adalah ketahanan terhadap herbisida dan serangan hama, serta
gabungan dari dua atau lebih sifat tersebut pada satu tanaman (Groote et al. 2011).
Masalah utama pada tanaman padi adalah meningkatkan ketahanan tanaman
19
terhadap serangan hama dan penyakit selain perbaikan kandungan nutrisi yang
juga menjadi prioritas.
Karena umumnya sel tanaman bersifal totipotensi (totipotent), yang berarti
memiliki kemampuan dalam memperbanyak diri dari satu sel menjadi banyak sel.
Khususnya tanaman hasil transformasi, akan memiliki kombinasi gen baru yang
juga dapat memperbanyak diri dan diturunkan pada generasi berikutnya, baik
melalui bunga atau biji. Sifat yang ditambahkan tersebut harus dapat diturunkan
pada generasi berikutnya (Manshardt 2004). Saat ini telah banyak tanaman
pertanian hasil rekayasa genetik yang dihasilkan seperti kentang, tomat, canola,
kedele, jagung, kapas dan padi.
Tanaman hasil rekayasa genetik monokotil seperti padi umumnya lebih
sulit diregenerasikan bila dibandingkan dengan tanaman hasil rekayasa genetik
dikotil. Tetapi karena padi merupakan tananaman pertanian utama, lebih
memerlukan teknologi modern dalam perbaikan sifat untuk memperoleh kenaikan
hasil yang nyata. Salah satu strategi dalam meningkatkan produksi tanaman padi
adalah meningkatkan ketahanan tanaman tersebut terhadap serangan hama dan
penyakit. Fungsi insektisida dalam tanaman padi dapat direkayasa secara genetik
dengan mengintroduksikan gen Bt dari Bacillus thuringiensis. Selama insektisida
biologis tersebut bersifat spesifik, umumnya tidak akan membahayakan terhadap
manusia sebagai pangan ( Greenberg & Glick 1993).
Pada awal transformasi genetik dilakukan pada tanaman padi, telah
digunakan metode transformasi secara langsung dengan metode penembakan
(particle bombardment). Kemudian beberapa metode dikembangkan seperti
metode PEG (Poly Ethylene Glycol) yang dapat meningkatkan jumlah kalus tahan
Higromicin. Akhir-akhir ini metode Agrobacterium tumefaciens semakin banyak
digunakan karena lebih efisien (Ignacimuthu et al. 2000). Metode ini dimulai
dari DNA target yang disisipkan ke dalam plasmid yang mampu menginduksi
tumor pada tanaman, selanjutnya plasmid ditransfer kedalam bacteria yang akan
menginfeksi sel tanaman. Potongan DNA di dalam plasmid yang membawa sifat
atau target gen yang diinginkan akan ditransfer ke dalam sel atau genome tanaman
(Thiagarajasubramanian 2005). Transformasi dengan A tumefaciens yang
memiliki sifat binary vector, telah berhasil digunakan dalam memproduksi padi
20
PRG sampai generasi kedua dengan integrasi dan ekspresi gen yang stabil (Wang
et al. 2002). Penelitian terbaru pada tanaman padi PRG yang memiliki sifat
ketahanan terhadap penggerek batang (Chilo agamemnon Bles.) dengan introduksi
gen Bt (Cry 1la5), memperlihatkan sifat-sifat agronomi dan fenotip yang sama
dengan tanaman non-PRG (kontrol) (Moghaieb 2010).
Melalui penerapan teknologi rekayasa genetik pada tanaman, aspek
keamanan terhadap lingkungan dan kesehatan manusia harus menjadi prioritas
utama, jika produk tersebut akan diintroduksi ke lingkungan atau dikonsumsi oleh
manusia (Sharma et al. 2002). Meskipun saat ini belum ada padi hasil rekayasa
genetik mengandung gen Bt yang dikomersialisasikan di Asia Tenggara (Ye et al.
2003; Chen et al. 2006; Redona 2006), tetapi pengujian di lapangan uji terbatas
telah dilakukan di China sejak tahun 1997 - 1998 untuk padi tahan serangan hama
penggerek batang dan ulat penggulung daun. Sampai tahun 2001 pengujian
keamanan lingkungan untuk padi hasil rekayasa genetik yang membawa sifat
ketahanan terhadap hama dan penyakit telah dikembangkan di lapangan uji
terbatas. Hasil penelitian di lapangan uji terbatas, yang ditanam pada kondisi
serangan alami, dapat menghasilkan produksi 28,9% lebih tinggi dibandingkan
dengan padi non - Bt (Tu et al. 2000).
Status penelitian rekayasa genetik di Indonesia telah dimulai sejak tahun
1990-an. Penelitian yang tadinya masih di laboratorium dan rumah kaca khusus
untuk tanaman hasil rekayasa genetik di FUT, saat ini telah sampai pada tahap
pengujian di LUT untuk mengetahui kemungkinan dampaknya terhadap
lingkungan terbatas (Herman 2009). Salah satu tanaman PRG hasil penelitian
dalam negeri yang telah memperoleh pengakuan keamanan lingkungan adalah
tanaman tebu PRG dari PT Perkebunan Nusantara XI (Balai Kliring Keamanan
Hayati Indonesia 2010).
Penelitian Padi Bt PRG, yang mengandung gen Cry IA(b) tahan terhadap
penggerek batang yang dilakukan di Puslit Bioteknologi LIPI sejak tahun 1996
telah diuji di LUT untuk mengetahui kemungkinan dampak negatifnya terhadap
lingkungan, tetapi benih hasil pengujian untuk mengetahui apakah terjadi
persilangan dengan tanaman Padi non-Bt belum diketahui hasilnya, oleh karena
itu perlu dilakukan pengujian dengan seleksi Higromisin dan analisis PCR
21
(Polymerase Chain Reaction) terhadap semua benih yang telah ditanam pada
jarak yang berbeda-beda sebagai perlakukan sebelumnya. Penelitian tanaman
PRG di LUT harus melalui prosedur pengajuan izin kepada Kementerian
Lingkungan Hidup melalui Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pertanian. Seperti yang dinyatakan oleh Hilbeck & Andow (2004)
bahwa sebelum komersialisasi, tanaman PRG harus dilakukan pengujian
keamanan lingkungan terlebih dulu untuk mengetahui dampaknya terhadap
lingkungan tempat tumbuh yang dikategorikan pada mahkluk hidup yang berada
di atas permukaan tanah dan di bawah permukaan tanah seperti serangga non
target, musuh alami, mikroba tanah dan aktivitas enzim tanah.
China adalah negara kedua setelah Iran yang telah mengeluarkan keputusan
keamanan lingkungan (environmental safety) pada Padi Bt PRG. China
melakukan pengujian keamanan lingkungan di LUT pada tahun 1997 sampai
1998. Meskipun sampai saat ini belum ada varietas Padi Bt yang siap dipasarkan
kepada petani (Marfä et al. 2002; Huang et al. 2007) namun melalui teknologi
DNA, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, juga telah berhasil melakukan
introduksi gen Cry IA(b) yang berasal dari bakteri Bacillus thuringiensis ke dalam
genom padi kultivar Rojolele. Gen ini menghasilkan kristal protein yang bersifat
toksik terhadap serangga lepidoptera, namun tidak berbahaya bagi kesehatan
manusia (Bravo et al. 2011).
Pengkajian Risiko Keamanan Lingkungan (Environmental Risk
Assessment)
Berdasarkan kesepakatan negara-negara pada Konvensi Keanekaragaman
Hayati (Convention on Biological Biodiversity) di Montreal tahun 1994, telah
dituangkan konsep Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati Produk
Rekayasa Genetik, yang mewajibkan setiap negara yang menandatangani
kesepakatan tersebut untuk membuat peraturan dan pedoman bagi setiap produk
rekayasa genetik sebelum dimanfaatkan dan dilepas ke lingkungan (Newell &
Mackenzie 2000). Pengkajian risiko keamanan lingkungan merupakan bagian dari
proses pengambilan keputusan terhadap kelayakan penanaman tanaman PRG ke
22
lingkungan. Adanya issu mengenai keamanan hayati, diawal produk ini dilepas
merupakan persoalan yang penting untuk melibatkan masyarakat melalui kegiatan
pendidikan publik yang konsisten dan transparan.
Penelitian-penelitian tentang keamanan hayati tanaman PRG, lebih
difokuskan pada pengaruh sifat toksik dari Bt (Bacillus thuringiensis) terhadap
organisme non target, dampak ekologis tanaman PRG terhadap tanaman lain dan
kerabat liar, serta interaksi dan pengaruh tanaman PRG tersebut pada
keanekaragaman hayati, ekosistem dan mikroba tanah (Lu & Sweet 2010)
Karena dianggap lebih ramah lingkungan, maka bioteknologi modern
menjadi harapan baru dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil
pertanian yang belum dapat diselesaikan secara konvensional. Seperti tanaman
tahan serangan hama, akan mengurangi penggunaan insektisida, sehingga
menyelamatkan lingkungan dari pencemaran udara dan air. Dampak jangka
panjangnya akan mengurangi pencemaran pestisida yang terakumulasi di dalam
tanah sehingga menguntungkan bagi lingkungan (Barratt et al, 2010).
Berdasarkan fakta terbaru dari ISAAA (2013), angka perkiraan global luas
areal tanam PRG di negara-negara berkembang sejak tahun 1996 sampai 2012
meningkat sampai 100 kali, dari 1,7 juta ha menjadi 170 juta ha. Bertambahnya
jumlah petani yang menanam tanaman PRG seperti kapas Bt, jagung Bt di negara-
negara berkembang telah berhasil meningkatkan pendapatan petani, sehingga
program ini diharapkan mampu mendukung Sasaran Pembangunan Milenium
dengan mengurangi angka kemiskinan. Harapan untuk mengangkat taraf hidup
petani diharapkan tercapai dengan terjadinya peningkatan produksi sebesar 10–
20%, diikuti dengan efisiensi pengeluaran untuk insektisida dan biaya perawatan.
(James 2012).
Upaya membangun kepercayaan publik dalam pemanfaatan produk
rekayasa genetika memerlukan usaha yang cukup serius dari pemerintah,
mengingat masih rendahnya tingkat pemahaman dan pengetahuan publik
mengenai hal ini. Sebelumnya penemuan-penemuan varietas unggul baru melalui
proses teknologi pemuliaan konvensional tidak pernah mendapat reaksi negatif
yang serius dari masyarakat petani, maupun masyarakat konsumen pada
umumnya. Sedangkan varietas unggul baru dari tanaman transgenik mendapat
23
reaksi yang keras dan beragam dari berbagai kalangan yang mengkhawatirkan
dampak negatif terhadap keamanan hayati. Reaksi yang muncul dari masyarakat
dapat diterima asalkan tidak berlebihan dan disampaikan melalui prosedur yang
semestinya. Terdapat beberapa pemikiran dari kelompok yang kontra terhadap
tanaman PRG seperti; potensi bahaya produk sehingga tidak ada antisipasi yang
dapat dilakukan jika terjadi penyimpangan, risk assessment dan risk management
masih lemah, sehingga berdampak luas. Di dalam PP 21 tahun 2005 disebutkan
bahwa setiap produk bioteknologi yang akan dimanfaatkan secara luas harus diuji
dan dikaji terlebih dahulu terhadap kemungkinan risiko yang akan
ditimbulkannya.
Informasi ilmiah mengenai hasil pengujian dari pengembangan dan
pemanfaatan tanaman PRG yang tersedia saat ini masih rendah, sehingga
pengetahuan masyarakat terkait PRG sangat terbatas. Persepsi publik terutama
terhadap tanaman PRG terbagi dua kelompok, antara pro dan kontra. Kelompok
yang kontra terhadap PRG memprediksi jika tanaman PRG dilepas ke alam dan
terjadi persilangan, maka gen yang akan mencemari lingkungan hayati tidak
dapat ditarik kembali. Pandangan ini tidak dapat dibenarkan karena adanya aturan
yang telah dibuat untuk menjamin keamanan hayati setiap PRG yang akan dilepas
atau dimanfaatkan. Menurut Herman (2009) sebelum tanaman PRG dimanfaatkan
untuk di tanam ke lingkungan harus melalui pengkajian keamanan lingkungan
dengan melakukan percobaan di lapangan uji terbatas, dengan lingkungan fisik
yang dapat dikontrol dan dikendalikan. Tindakan isolasi genetik dengan
pembatasan materi/bahan yang digunakan dalam membatasi penggunaan bahan
tanaman PRG hanya untuk area spesifik dari suatu lingkungan di lokasi
percobaan. Percobaan lapangan terbatas adalah kegiatan penelitian skala kecil
dan pra komersial, dengan menyediakan teknologi untuk mengevaluasi tampilan
tanaman PRG serta mengkoleksi data yang diperlukan dalam pengkajian
keamanan lingkungan, pengujian varietas, registrasi, dan tujuan untuk sertifikasi
benih (Halsey 2006).
Berdasarkan pada pemikiran-pemikiran tersebut maka metode pengkajian
risiko (risk assessment) untuk PRG dilaksanakan berdasarkan kasus per kasus,
karena setiap produk PRG yang ditanam pada ekosistem yang berbeda
24
memerlukan sistem pengkajian risiko yang berbeda juga (Hilbeck & Andow
2004). Oleh karena itu PRG yang dihasilkan dari kegiatan penelitian dan
pengembangan yang telah dilakukan di laboratorium, fasilitas uji terbatas dan/atau
lapangan uji terbatas sebelum diusulkan untuk dilepas dan/atau diedarkan harus
diuji efikasi dan memenuhi persyaratan keamanan hayati (PP No 21 2005)
Peraturan yang telah dibuat sesuai dengan PP No 21 tahun 2005 dimana
unsur pengujian dan penilaian kelayakan PRG harus melalui risk assessment dan
risk management yang sangat teliti dan hati-hati sehingga berbagai kemungkinan
dampak negatif yang muncul dapat diantisipasi. Bioteknologi pertanian dalam
bidang rekayasa genetik bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan, dan
memperbaiki sistim kehidupan tanpa melakukan eksploitasi terhadap alam agar
tercapai kesejahteraan hidup manusia.
Terdapat beberapa peraturan yang terkait dengan pengaturan keamanan PRG
yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dan
keputusan menteri. Dalam undang-undang yang dikeluarkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melepaskan PRG
ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau izin lingkungan. Pada pasal 101 dari Undang-Undang tersebut,
ditulis adanya sanksi bagi yang melanggar, baik sanksi uang maupun tahanan.
Oleh karena itu pemanfaatan PRG di tengah-tengah masyarakat harus mengikuti
prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan kesepakatan dalam
Protokol Cartagena. Meskipun kelembagaan yang terkait dengan keamanan hayati
telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No 39 tahun 2010, tetapi belum
dilakukan kajian mengenai fungsi kelembagaan yang terkait serta kebijakan yang
ditetapkan dalam peraturan tersebut, apakah cukup efektif terhadap pelepasan dan
komersialisasi PRG di Indonesia.
Beberapa kendala dalam penelitian dan pengembangan PRG di Indonesia
adalah waktu yang cukup lama untuk penelitian, minimal 3 – 5 tahun, belum
terlaksananya keseluruhan regulasi yang telah ditetapkan sampai pada koordinasi
antar kelembagaan serta sikap dan konsistensi pemerintah dalam pengembangan
tanaman PRG yang mempengaruhi kinerja penelitian sehingga menghasilkan arah
25
yang kurang fokus. Ketersediaan dana dan grand strategy dalam pengembangan
PRG juga menjadi kendala dalam pengembangannya. Teknologi rekayasa genetik
ini memerlukan biaya yang cukup besar termasuk biaya pengujian keamanan
hayati sebelum dilepas. Keterbatasan dana untuk melakukan pengujian keamanan
hayati khususnya tanaman PRG menjadi salah satu kendala dalam upaya
pemanfaatan dan pelepasan tanamab PRG kepada masyarakat, terutama di
lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah dimana sumber dana untuk
melakukan penelitian berasal dari dana APBN. Selain itu, beberapa aturan
pendukung pemanfaatan PRG belum dapat diselesaikan seperti pedoman teknis
pelaksana. Termasuk pedoman untuk pengujian hewan PRG dan pakan PRG serta
pedoman untuk penelitian dan pengembangan PRG di Laboratorium.
Analisis Kelembagaan dan Kebijakan Keamanan Hayati
Kelembagaan merupakan suatu aturan main (rule of the game) dalam
interaksi interpersonal. Dalam hal ini kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan
aturan baik formal maupun informal, yang tertulis maupun tidak tertulis mengenai
tata hubungan manusia dan lingkungannya, menyangkut hak-hak dan
perlindungan hak-hak serta tanggung jawab. Sedangkan menurut Pakpahan (1990)
dalam Kartodihardjo (2009) kelembagaan atau institusi merupakan sistem yang
kompleks, rumit dan abstrak yang mencakup ideologi, hukum adat, aturan,
kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang
dilarang untuk dikerjakan oleh individu (perorangan atau organisasi) atau dalam
bentuk bagaimana indvidu dapat mengerjakan sesuatu. Karena itu kelembagaan
adalah instrumen yang mengatur individu. Kelembagaan merupakan sistem
organisasi dan kontrol masyarakat terhadap penggunaan sumberdaya. Batasan
tersebut menunjukkan bahwa organisasi dapat dipandang sebagai perangkat keras
dari kelembagaan sedangkan aturan main merupakan perangkat lunak.
Dalam sistim keamanan hayati di Indonesia, kelembagaan terkait
pengaturan dan pengelolaan PRG melibatkan beberapa Kementerian dan Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sesuai dengan produk PRG yang akan
dilepas, seperti tanaman PRG melibatkan Kementerian Pertanian dan Kementerian
Lingkungan Hidup, sedangkan untuk produk makanan, melibatkan Badan
26
Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). Kelembagaan independen yang bersifat
non struktural yang bertugas dalam memberikan sertifikat dan rekomendasi
pelepasan atau/dan peredaran PRG kepada Kementerian dan LPNK terkait adalah
Komisi Keamanan Hayati PRG (KKH PRG) yang telah ditetapkan
keanggotaannya dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 39 tahun 2010. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, KKH PRG dibantu oleh Tim Teknis
Keamanan Hayati PRG (TTKH PRG) yang keanggotaannya terdiri dari pakar
berbagai disiplin ilmu untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan
pengujian keamanan hayati lanjutan jika diperlukan, sesuai dengan tugas dan
fungsi yang telah ditetapkan pada Perpres 39 tahun 2010.
Implementasi kebijakan pemanfaatan PRG di Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati PRG,
yang sebelumnya masih menggunakan Keputusan Bersama Empat Menteri, yaitu
Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan serta
Menteri Pangan dan Hortikultura tentang Keamanan Hayati dan Keamanan
Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik No
998.1/Kpts/OT.210/9/99;790.a/Kpts-IX/1999. Sebagai negara yang memiliki
keanekaragaman hayati terbesar di dunia, Indonesia ikut meratifikasi dan akhirnya
menandatangani kesepakatan Protokol Cartagena tentang keamanan hayati PRG.
Kesepakatan yang tertuang dalam Protokol Cartagena bertujuan untuk menjamin
tingkat proteksi yang memadai dalam hal perpindahan, penanganan, dan
pemanfaatan yang aman dari perpindahan lintas batas PRG meliputi pangan,
pakan, dan pengolahan.
Kajian Sosial Ekonomi terhadap Keberlanjutan Introduksi PRG
Pertimbangan sosial ekonomi masyarakat terhadap penerapan PRG, harus
menjadi perhatian berbagai pihak, karena hasil teknologi baru memerlukan waktu
untuk sosialisasi, agar dapat dipahami dan akhirnya diputuskan oleh masyarakat
itu sendiri, apakah akan memanfaatkan atau menolaknya. Keterlibatan masyarakat
secara sosial dalam pembangunan bioteknologi sangat rendah di Indonesia. Hal ini
dapat diungkapkan melalui persepsi dan partisipasi sebagian besar masyarakat
yang belum memahami dan mengerti tentang PRG (Bermawie et al. 2003).
27
Menurut kajian yang dilakukan oleh Adiwibowo et al. 2005, beberapa peluang
yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
terhadap introduksi PRG ke lingkungan adalah melalui kampanye, advokasi
bersama dengan kelompok LSM serta memberikan akses yang lebih luas kepada
masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan kebijakan
pembangunan bioteknologi. Di dalam Protokol Cartagena Pasal 26, dicantumkan
pertimbangan sosial ekonomi menjadi aspek perhatian setelah keamanan hayati
terpenuhi, karena kepentingan ekonomi masyarakat pengguna PRG perlu
diperjuangkan, agar kemandirian pangan dapat diwujudkan melalui PRG produksi
nasional.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan model pembangunan
yang berorientasi lingkungan, sosial dan ekonomi. Pembangunan yang
berorientasi ekonomi semata dinilai gagal menyelesaikan agenda pembangunan
yaitu kemiskinan dan kerusakan lingkungan (Salim, 2005). Konsep pembangunan
berkelanjutan mengeksplorasi kaitan antara pembangunan ekonomi, kualitas
lingkungan dan keadilan sosial (Rogers et al. 2007).
Konsep ini berawal dari pertemuan konferensi internasional lingkungan
hidup di Stockholm, Swedia tahun 1972. Konfrensi ini pertama kali dalam sejarah
yang digagas oleh PBB. Sepuluh tahun kemudian PBB kembali menggelar
konferensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Usul
yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa kesidang umum
PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Comission on
Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland.
Komisi ini menghasilkan dokumen "Our Common Future" pada tahun 1987, yang
memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam
dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut suatu konsep
pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhan mereka sendiri.
28
Gambar 4. Pembangunan berkelanjutan Sumber : Munasinghe (1993)
Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan terdapat tiga faktor utama
yang membangun pembanguan berkelanjutan (Gambar 4) yaitu faktor ekonomi
yang efisien dan memiliki pertumbuhan yang positif bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat pengguna (konsumen) serta masyarakat petani. Faktor
lingkungan sebagai sumber daya keanekaragaman hayati yang merupakan modal
dalam pembangunan berkelanjutan serta faktor sosial yang menyangkut
penerimaan, pemerataan dan hak yang sama bagi masyarakat dalam memperoleh
kesejahteraan dan rasa aman dari kemajuan teknologi modern. Pembangunan
berkelanjutan mengandung pengertian perubahan positif terhadap kondisi sosial
ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial dimana masyarakat
sangat bergantung dan membutuhkannya. Agar tercapai keberhasilan dan
keberlanjutan dalam penerapannya, diperlukan kebijakan, perencanaan dan proses
pembelajaran sosial yang bersifat terpadu dan menyeluruh melalui kebijakan atau
keputusan pemerintah melalui kelembagaan sosial dan perekonomian.
Untuk mencapai kemajuan di bidang bioteknologi pertanian diperlukan
perubahan kebijakan beberapa bidang pembangunan seperti bidang teknologi,
sosial ekonomi, dan lingkungan yang bermanfaat untuk pengembangan kebijakan
dimasa yang akan datang.
29
Untuk menjamin keberlanjutan produksi tanaman PRG perlu keterlibatan
pemerintah secara intensif dengan masyarakat, melalui komunikasi dan sosialisasi
yang interaktif dan bersifat terbuka, sehingga informasi teknologi yang akan
diterapkan dapat diterima dan dipahami dengan baik sesuai dengan tingkat
pendidikan dan kemampuan masyarakat itu sendiri. Di dalam Protokol Cartagena
interaksi antara kelembagaan dengan pemangku kepentingan sangat penting,
dimana kegiatan ini menjadi bagian dari analisis risiko PRG yaitu komunikasi
risiko.
Dalam melakukan kajian terhadap dampak ekonomi sosial, diperlukan
penilaian dampak dari aplikasi teknologi. Penilaian dapat dibedakan antara kajian
ex-post ( teknologi yang sudah digunakan) dan ex-ante (teknologi yang belum di
pergunakan). Penggunaan dua jenis kajian ini bergantung pada ketersediaan data
yang dimiliki. Kajian ex-post biasanya lebih andal bila dibandingkan dengan
kajian ex-ante karena lebih bergantung pada penilaian percobaan penelitian.
Pemilihan metode atau analisis yang tepat, merupakan hal kunci untuk
memperoleh hasil yang baik. Untuk permasalahan lingkungan disumbang oleh
keadaan iklim, kondisi social masyarakat dan keterbatasan teknologi. Strategi
permasalahan tersebut ialah dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan yang disebut dalam UU 32 Tahun 2009 tentang
Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu upaya sadar dan terencana
dengan memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam
strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan
generasi masa depan.
Beberapa peneliti menguraikan keberlanjutan lebih rinci lagi dalam lima
dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi
kelembagaan dan dimensi teknologi (Fauzi & Anna 2005). Dimensi ekologi lebih
terkait pada aspek menjaga daya dukung, serta meningkatkan kapasitas dan
kualitas ekosistem. Dimensi sosial ekonomi terkait pada keberlanjutan dan
kesejahteraan masyarakat dalam rangka keberlanjutan. Dimensi kelembagaan
ialah terkait kelembagaan yang mendorong keberlanjutan. Dimensi sosial ialah
terkait keberlanjutan penerimaan dan kenyamanan pada masyarakat.
30
STUDI KEAMANAN LINGKUNGAN PADI Bt PRODUK
REKAYASA GENETIK
Study of Environmental Safety for Genetically Engineered Bt Rice
Deswina P1), Syarief R
2), Rachman LM
3), Herman M
4)
1)Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan
Lingkungan Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, 4 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber
Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Perkembangan teknologi rekayasa genetik pada tanaman pertanian telah
menghasilkan tanaman Padi Bt mengandung gen Cry IA(b) tahan serangan hama
penggerek batang (Scirphopaga incertulas) yang dikembangkan oleh Puslit
Bioteknologi LIPI. Sebagai tanaman hasil rekayasa genetik, maka Padi Bt harus
melalui pengujian keamanan hayati sebelum dilepas atau dikomersialisasikan
kepada masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk membuat analisis keamanan
lingkungan Padi Bt Produk Rekayasa Genetik (PRG) berdasarkan data-data
sekunder dan primer. Data sekunder berasal dari hasil pengujian terhadap
serangga non target di lapangan uji terbatas (LUT) di tiga lokasi wilayah
pengujian, hasil kerja sama antara Balai Penelitian Padi Sukamandi dengan Puslit
Bioteknologi LIPI. Data primer diambil dari hasil seleksi higromisin dan analisis
PCR (Polymerase Chain Reaction) terhadap benih tanaman padi hasil penelitian
gene flow (persilangan) tanaman Padi Bt PRG ke tanaman Padi non-PRG. Metode
analisis data menggunakan analisis deskriptif dan evaluatif. Berdasarkan hasil
kajian, meskipun tidak terdapat perbedaan jumlah populasi serangga non target
seperti musuh alami di lahan Padi Bt PRG dan lahan Padi non PRG, tetapi
kelengkapan data untuk pengkajian keamanan lingkungan belum dipenuhi.
Sedangkan hasil pengujian terhadap benih- tanaman Padi non PRG yang telah
disemai sebagai tanaman generasi kesatu hasil penelitian gene flow, tidak terbukti
terjadinya persilangan karena tidak terdapat benih yang positif membawa gen Cry
I A(b).
Kata kunci: Padi Bt, gen Cry IA(b), gene flow, keamanan lingkungan, serangga
non target.
31
Abstract
The development of genetically engineered technology on agricultural
crops has produced Bt rice containing genes Cry IA(b) resistant to stem borer
(Scirphopaga incertulas Walk.) developed by the Research Center for
Biotechnology LIPI . As genetically engineered crop, Bt rice has to go through
biosafety testing before being released or commercialized to the public. This study
aims to make the analysis for the environmental safety of Genetically Engineered
Products (GEPs ) Bt Rice, based on secondary and primary data. Secondary data
derived from the results of tests on non-target insects in the Confined Field Trials
(CFTs) in three locations of testing area, a collaboration results between
Sukamandi Rice Research Institute with Research Center for Biotechnology LIPI.
Primary data were taken from the hygromycin selection and PCR analysis
(Polymerase Chain Reaction) on rice seed as gene flow ( crosses ) research
results of GEP Bt Rice and non-GEP Bt Rice. The methods of data analysis were
descriptive and evaluative method. Based on the results of the study, although
there was no difference in the number of non-target insect populations such as
natural enemies in GEP Bt rice field and non-GEP rice field, but the complement
data for environmental safety assessment still have not been fulfilled yet. While
the tests results on non-GEP rice seed that has been sown as first generation of
gene flow research, the cross still has not been proven yet to be happened because
there is no positive seeds that containing Cry IA(b) protein.
Keywords: Bt Rice, Gene Cry IA (b), gene flow, environmental safety, non- target
insect
PENDAHULUAN
Perbaikan mutu tanaman pertanian secara konvensional, telah
meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil, akan tetapi sistim ini tidak dapat
dipertahankan karena terbatasnya sifat-sifat yang dimiliki oleh satu spesies yang
dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Contohnya sifat ketahanan terhadap
hama dan penyakit, tidak ditemukan pada tanaman itu sendiri, sehingga harus
diambil dari spesies lain yang memiliki sifat ketahanan atau sifat toksin terhadap
serangga hama. Salah satu teknik yang dapat memindahkan sifat tertentu dari satu
spesies kepada spesies lain yang berbeda jenisnya adalah teknologi rekayasa
genetik (Thomson 2000). Produk yang dihasilkan dari teknologi rekayasa genetik
dikhawatirkan dapat menimbulkan efek samping terhadap lingkungan dan
32
kesehatan manusia, oleh karena perlu dilakukan pengujian secara ilmiah sebelum
dilepas atau dikomersialisasikan. Tanaman PRG sebagai hasil bioteknologi
modern, harus memenuhi persyaratan keamanan hayati. Kajian risiko lingkungan
(environmental risk assessment) sebagai bagian dari keamanan hayati, harus
dilakukan berdasarkan pengujian ilmiah untuk pengambilan keputusan oleh
pemerintah sebelum tanaman dikomersialisasikan (Garcia-Alonso et al. 2006).
Keamanan lingkungan merupakan ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 21 Tahun 2005, yang harus dilakukan untuk
mengetahui kemungkinan dampak negatifnya terhadap ekosistim dan
keanekaragaman hayati. Definisi keamanan lingkungan yang disebut dalam PP
No 21 tahun 2005 adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
kemungkinan timbulnya risiko yang merugikan keanekaragaman hayati sebagai
akibat pemanfaatan produk rekayasa genetik.
Terdapat beberapa kemungkinan dampak tanaman PRG terhadap
keanekaragaman hayati yang menurut Konvensi Keanekaragaman Biologi
(Convention on Biological Diversity) yang ditetapkan pada tahun 1992 memiliki
banyak manfaat, termasuk peran pentingnya dalam mencukupi kebutuhan bahan
makanan bagi kehidupan, kesehatan dan manfaat lainnya bagi pertumbuhan
populasi dunia. Nilai ekologis dari keanekaragaman hayati dapat dihubungkan
dengan fungsi ekosistem (Birch et al. 2004). Kemungkinan tanaman PRG dapat
memberikan dampak terhadap organisme di atas permukaan tanah seperti
serangga non target, burung dan hewan lain yang bermanfaat bagi ekosistem.
Demikian juga terhadap organisme yang berada di bawah permukaan tanah seperti
mikroba tanah dan hewan (fauna) bawah tanah. Selain itu kekhawatiran terjadinya
perpindahan gen berupa material genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non
PRG, telah menjadi isu yang menimbulkan polarisasi pendapat pro dan kontra di
kalangan masyarakat. Terjadinya perpindahan gen (gene flow) yang dalam
pengertian konvensional adalah persilangan (crossing) merupakan peristiwa alami
yang selalu terjadi di alam, sehingga menambah keragaman genetik yang telah
ada sebelumnya (Hüsken et al. 2010). Terjadinya kemungkinan transfer material
genetik dari tanaman PRG kepada tanaman non-PRG secara konvensional biasa
terjadi di alam dengan beberapa persyaratan seperti cara penyerbukan dan
33
kompatibalitas seksual diantara tanaman asal dan tanaman penerima yang
berdekatan (Herman 2009).
Terdapat kekhawatiran pada tanaman PRG karena PRG dianggap individu
asing yang sama sekali berbeda dengan yang lainnya. Kemungkinan terjadinya
perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non PRG dianggap
dapat menimbulkan sifat weediness dan invasiveness di alam (Herman 2008).
Penyebaran serbuk sari tanaman padi yang memiliki sifat menyerbuk sendiri
(cleistogamy), terdapat kekhawatiran terjadinya persilangan dengan kerabat liar
dan jarang terjadi dengan sesama tanaman pertanian (Hüsken et al. 2010).
Beberapa percobaan tentang kemungkinan terjadinya persilangan atau
pindahnya material genetik seperti serbuk sari dari tanaman PRG kepada tanaman
non-PRG telah dilakukan dengan menggunakan disain percobaan yang berbeda-
beda sesuai dengan jenis tanaman yang diuji. Penelitian terhadap perpindahan
serbuk sari tanaman padi menggunakan metode langsung, yaitu memasang
perangkap serbuk sari pada jarak 0.2,0.4,0.8,1.6,2.4, 3.2,4.0, 4.8,5.6, 6.4,7.2,
8.0,8.8, 9.6,10.4 meter dari padi PRG yang memiliki warna dasar bunga ungu.
Model pemasangan perangkap serbuk sari dan disain penelitian di LUT seperti
pada Gambar 1.
Gambar 1. Model desain penelitian gene flow untuk tanaman padi PRG di Nepal
tahun 2003.
Sedangkan penelitian yang pernah dilakukan oleh Harst et al. (2009) untuk
pengujian penyebaran serbuk sari dan persilangan pada tanaman anggur PRG ke
Padi PRG
Padi Non-
PRG
34
tanaman anggur non-PRG menggunakan desain penelitian seperti Gambar 2. Jarak
isolasi yang digunakan mulai dari 5, 10, 20, 50, 100 dan 150 meter dari tanaman
PRG. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih terjadi persilangan antara
tanaman anggur PRG ke tanaman anggur non-PRG pada jarak isolasi 20 meter
sebesar 2.0-2.7%.
Gambar 2. Model desain penelitian gene flow untuk tanaman anggur PRG di LUT
pada tahun 2002-2004 di Jerman
Untuk pengujian keamanan lingkungan terutama dampaknya terhadap
organisme tanah yang berada di atas dan di bawah permukaan tanah perlu
diidentifikasi melalui pengujian lapangan. Selanjutnya Birch et al. (2004)
menjelaskan bahwa persyaratan pelaksanaan pengujian tanaman PRG sebelum
dilepas, harus dalam kondisi yang tertutup, lingkungan yang terkontrol
(terkendali), seperti rumah kaca khusus atau lapangan pengujian terbatas.
Pengujian harus dilakukan dengan memperhatikan kasus per kasus sesuai dengan
sifat tanaman yang diintroduksikan berdasarkan metode penelitian yang jelas dan
transparan. Untuk pengujian spesies-spesies yang berada di bawah permukaan
tanah, seperti mikroba tanah dan komunitas fauna makro, melibatkan spesies-
spesies yang sangat beragam dan terkadang hanya memiliki sedikit keterkaitan
dengan fungsi ekologis atau dampaknya pada ekosistem. Sehingga pengujian
untuk mengetahui dampak tanaman PRG pada keragaman hayati di bawah
permukaan tanah berdasarkan pada kelompok spesies yang terkait dengan fungsi
ekosistem tanah.
Anggur PRG
Anggur Non-
PRG
35
Model pengujian risiko lingkungan untuk spesies non target yang
dikembangkan oleh Birch et al. (2004) meliputi lima tahapan yaitu; (1) Membuat
kategori (klasifikasi) organisme non-target berdasarkan fungsi, (2) Membuat
daftar spesies-spesies non-target potensial berdasarkan prioritas ekologis, (3)
Membuat analisis lintasan exposure dari tanaman PRG terhadap organisme non-
target atau dampak potensial dari tanaman PRG, (4) Identifikasi dampak dan
pengembangan hipotesa, (5) Mengembangkan metodologi atau protokol pengujian
risiko. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat kajian ilmiah berdasarkan data-
data primer dan sekunder terhadap pengujian keamanan lingkungan tanaman Padi
Bt PRG yang telah dilakukan sebagai persyaratan memperoleh izin keamanan
lingkungan dari lembaga terkait yaitu Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
berdasarkan rekomendasi Kementerian Pertanian. Selain itu kajian risiko
lingkungan menurut Garcia-Alonso (2006) harus dilakukan berdasarkan kasus per
kasus dengan pendekatan kehati-hatian sesuai dengan informasi ilmiah dan data
yang diperlukan termasuk pendapat pakar dalam pengambilan keputusan.
METODE ANALISIS DATA
a. Kajian Pengaruh Padi Bt PRG terhadap Keberadaan Serangga Non
Target dan Musuh Alami Potensial
Pengujian keamanan lingkungan untuk Padi Bt PRG mengandung
gen Cry IAb telah dilakukan oleh Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI (Puslit
Bioteknologi LIPI) bekerja sama dengan Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
(BB Penelitian Tanaman Padi), Kementerian Pertanian pada tahun 2003 sampai
dengan tahun 2007 di LUT (Confined Field Trial) pada tiga lokasi yang berbeda
di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Indramayu dan Pusaka
Negara. Hasil penelitian dalam bentuk data sekunder dikaji dan dianalisis untuk
membuat suatu rekomendasi kebijakan pelepasan Padi Bt PRG. Lokasi yang
menjadi wilayah penelitian termasuk daerah yang merupakan wilayah endemik
serangan hama penggerek batang kuning di Jawa Barat, sehingga lokasi ini sangat
sesuai dijadikan lokasi percobaan LUT untuk mengetahui kemungkinan pengaruh
Padi Bt PRG terhadap keberadaan serangga target dan non target.
36
Analisis yang digunakan pada penelitian adalah analisis deskriptif yang
digunakan untuk kajian dan menjelaskan hasil penelitian menurut kriteria tertentu
sehingga bisa memberikan gambaran yang sesungguhnya untuk kemudian dibuat
generalisasi. Analisis data yang dipakai merupakan proses penyederhanaan data
ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami dan diinterpretasikan. Hasil
pengujian keamanan lingkungan terhadap serangga non target dan pengujian gene
flow yang telah dilakukan sebelumnya oleh Puslit Bioteknologi LIPI digunakan
sebagai bahan kajian untuk analisis deskriptif evaluatif yang disajikan dalam
bentuk Grafik, sedangkan pengujian terhadap benih hasil penelitian gene flow
dilakukan di laboratorium dengan metode seleksi higromisisn dan analisis PCR
(Polymerase Chain Reaction).
b. Pengujian Benih Hasil Penelitian Gene flow di LUT
1. Seleksi Higromisisn
Sebelum dilakukan pengujian terhadap benih hasil penelitian gene flow
yang telah dilakukan pada tahun 2006-2007 oleh Puslit Bioteknologi LIPI bekerja
sama dengan BB Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Kementerian Pertanian
pada tahun 2006-2007, benih-benih tersebut diidentifikasi dan dihitung jumlahnya
sesuai dengan ulangan dan perlakuan di LUT. Selanjutnya benih-benih tersebut
direndam selama 1x 24 jam dan kemudian ditumbuhkan di dalam bak semai
sebelum selanjutnya diseleksi menggunakan larutan higromisin. Evaluasi benih
Padi non-Bt hasil pengujian gene flow terdiri dari beberapa kultivar padi yaitu
Rojolele, Rojolele KA, Pandan Wangi dan Ciherang. Untuk mengetahui apakah
benih-benih Padi non-PRG tersebut telah disilangi oleh Padi Bt PRG selama
penelitian, dilakukan seleksi higromisin sebelum analisis PCR.
Seleksi higromisin merupakan seleksi awal yang dilakukan pada saat
benih berumur sekitar 21 hari, dimana sebelumnya benih disemai secara bertahap
sesuai dengan kapasitas rumah kasa yang tersedia. Benih-benih tersebut disemai
di bak plastik berukuran 40 cm x 30 cm x 10 cm dengan media pembibitan terdiri
dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1. Benih-benih
tersebut direndam di dalam air aquades selama lebih kurang 24 jam, kemudian
ditiriskan dan siap di tanam. Benih yang ditanam di pelihara dan dijaga agar
37
kebutuhan airnya mencukupi, setelah berumur sekitar 2 – 3 minggu, semaian telah
memiliki lebih kurang 3-4 lembar daun (Gambar 3). Semaian kemudian siap
untuk ditandai dengan spidol dan ditetesi dengan larutan higromisin (100 mg/l).
Larutan penguji ini terdiri dari: 0,01% gelrite 1000 µl yang telah dipanaskan, 780
µl air steril, 1% triton X-00 200 µl, setelah suhu mencapai 30o C, ditambahan 20
µl hygromisin (stok 50 µg/ml). Larutan control dibuat dan digunakan tanpa
higromisin. Pada helaian daun yang telah diberi tanda sebelumnya dengan spidol
warna hitam, diolesi dengan larutan higromisin tadi, untuk kontrol digunakan
larutan penguji tanpa ditambahi dengan hygromisin. Pengamatan ketahanan daun
tanaman pada higromisin dilihat setelah tiga hari perlakuan. Jika daun yang
diolesi higromisin berubah menjadi nekrotik, berarti tanaman peka terhadap
antibiotik higromisin, dan tidak perlu dilanjutkan dengan analisis PCR. Apabila
diperoleh semaian yang tidak mengalami nekrotik, dilanjutkan dengan analisis
PCR
Gambar 3. Tanaman padi umur 2 – 3 minggu untuk persiapan seleksi
higromisin
2. Analisis PCR (Polymerase Chain Reaction)
Analisis PCR digunakan untuk mengetahui apakah telah terjadi integrasi
gen pada tanaman Padi non-PRG karena adanya persilangan (crossing) dengan
tanaman Padi Bt PRG. Pada analisis PCR digunakan DNA tanaman kontrol positif
mengandung gen Cry IA(b) dan DNA tanaman kontrol negatif yang tidak
mengandung gen Cry IAb. Sampel daun dari tanaman Padi non PRG yang tidak
mengalami nekrotik pada uji higromisin diisolasi dengan menggunakan metode
Zheng et al. (1995). DNA sampel tanaman hasil penelitian gene flow di LUT yang
38
tidak lolos seleksi higromisisn, diisolasi dari daun. Daun sepanjang ± 2 cm
dipotong-potong, kemudian ditambah 750 µl dapar isolasi DNA (0.2 M Tris-HCl
pH 7.5, 0.05 M EDTA, 2 M NaCl dan 2% CTAB), dapar ekstraksi (sorbitol 0.35
M, Tris-HCl pH 7.5, 0.1 M dan 5 mM EDTA) ditambah 5% sarkosil. Selanjutnya
reaksi diinkubasi pada suhu 650C selama 1 jam. Kemudian ditambahkan 750 µl
chloroform:isoamylalkohol (24:1) dan disentrifugasi selama 5 menit pada
kecepatan 8.000 rpm pada suhu 40C. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan
ditambah dengan 400 µl isopropanol dingin, dan disentrifugasi selama 8 menit
dengan kecepatan 8.000 rpm pada suhu 40oC. Supernatan dibuang dan pellet
dicuci dengan 70% etanol. Pelet dalam tabung dikeringkan dan dilarutkan dengan
30-50 µl dapar TE pH 8.0. Untuk uji PCR, volume 1 x reaksi PCR ialah 20 µl
dengan komposisi seperti pada Lampiran 2. Primer yang digunakan adalah hpt 5’–
GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan 5’ – GCACTCCCCGCCTGCAC-3’.
Volume 1 x reaksi PCR ialah 20 µl dengan komposisi seperti pada
Lampiran 1. Primer yang digunakan adalah hpt 5’–
GATGCCTCCGCTCGAAGTAGCG-3’ dan 5’ – GCACTCCCCGCCTGCAC-3’.
Kemungkinan terjadinya persilangan atau perpindahan material genetik
dari tanaman Padi Bt ke tanaman Padi non-Bt, yang diamati untuk setiap
perlakuan berdasarkan jarak isolasi di lapangan yaitu 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15
meter dari tanaman Padi Bt PRG, dengan menggunakan pola penanaman
berbentuk lingkaran, dimana pada linkaran bagian dalam ditanami dengan padi Bt
PRG dan seterusnya pada setiap jari-jari lingkaran ditanam dengan beberapa
kultivar tanaman padi non-PRG. Secara keseluruhan pola penanaman padi yang
dilakukan Puslit Bioteknologi LIPI berbentuk pola lingkaran menyerupai baling-
baling (Lampiran 2).
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kajian Keamanan Lingkungan terhadap Pengaruh Padi Bt PRG terhadap
Serangga non-target di LUT
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Pusat Penelitian
Bioteknologi LIPI di LUT yang bekerja sama dengan Balitpa Padi Sukamandi,
telah diperoleh hasil penelitian, terhadap pengaruh tanaman Padi Bt PRG pada
39
populasi serangga non target dan musuh alami potensial di LUT di tiga lokasi
berbeda yaitu Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu seperti disajikan pada
Gambar 4.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2004
Gambar 4.Populasi serangga wereng punggung putih (Sogatella furcifera)
pada galur Padi Bt PRG (11.21.39;6.11) dan Padi non-PRG di tiga
lokasi Kabupaten Subang, Karawang dan Indramayu.
Hama padi non target seperti wereng punggung putih (Sogatella furcifera)
ditemukan di tiga lokasi pengujian dengan tingkat populasi yang tidak berbeda
pada pertanaman Padi Bt PRG dan pertanaman Padi non–PRG. Populasi tertinggi
untuk tiga lokasi tersebut terdapat pada 4 MST. Di awal pengamatan belum
ditemukan populasi wereng punggung putih, kecuali di daerah Karawang,
sedangkan di daerah Indramayu, sudah tidak ditemukan populasi wereng
punggung putih sejak pengamatan ke 8 sampai dengan pengamatan ke 10 MST
(Laporan akhir Puslit Bioteknologi-LIPI 2006). Hama-hama lain yang tergolong
hama non target adalah hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) (Gambar 5)
dan hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.) (Gambar 6).
40
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 5. Populasi serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis) pada
galur Padi Bt PRG (6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua lokasi
yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2007
Gambar 6. Populasi serangga hama wereng coklat (Nilaparvata lugens Stahl.)
pada galur Padi Bt PRG(6.11;11.21.39) dan Padi non-PRG di dua
lokasi yang berbeda Kabupaten Subang dan Indramayu.
41
Diketahui bahwa tiga jenis serangga non target ini merupakan jenis-jenis
serangga potensial dan dominan di lokasi pertanaman. Berdasarkan hasil
pengujian yang telah dilakukan di LUT, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan populasi serangga hama lain atau serangga non target di lokasi Padi Bt
maupun di lokasi Padi non Bt. Hal ini disebabkan karena Padi Bt PRG tidak
mempengaruhi atau meracuni serangga non target di lokasi pertanaman, sehingga
populasinya tidak berbeda, baik pada Padi Bt PRG maupun Padi non PRG.
Menurut Chen et al. (2006) tidak ditemukan perbedaan terhadap komposisi
spesies dan kerapatan populasi serangga non target seperti wereng coklat dan ulat
penggulung daun (leafhopper) pada pertanaman Padi Bt yang mengandung gen
Cry IAb – Cry IAc dan pertanaman Padi non Bt di Propinsi Zhejiang, China pada
tahun 2003 dan 2004.
Gen Cry dikelompokkan berdasarkan tingkat virulensi yang spesifik
terhadap kelompok serangga sasaran. Senyawa toksin yang berasal dari kristal
protein Cry hanya akan bekerja dan aktif jika bertemu dengan receptor yang tepat
di dalam sistem pencernaan serangga dari golongan yang sesuai dengan kelas
virulensinya, seperti Cry I yang hanya akan bersifat racun pada serangga dari
kelompok Lepidoptera (Sanahuja et al. 2011). Pada padi aromatik yang
mengandung gen Cry1A(b) menunjukkan ketahanan terhadap penggerek batang
padi merah jambu (Chilo suppressalis) dan penggerek batang padi kuning
(Ghareyazie et al. 1997), dan padi japonica terhadap hama penggerek batang padi
kuning (Wu et al. 1997).
Tidak ditemukan populasi serangga hama putih palsu dan wereng coklat di
daerah pengamatan Karawang, hanya wereng punggung putih yang paling
dominan ditemukan pada saat pengamatan. Selain hama wereng punggung putih
di LUT daerah Tempuran, Karawang, juga ditemukan walang sangit (Leptocorisa
oratorius) sebagai hama non target generalis , berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan pada padi Rojolele non PRG (isogenik) dan Padi Bt PRG di Karawang,
terbukti tidak terdapat perbedaan populasi yang nyata terhadap kedua jenis hama
non target tersebut di LUT (Mulyaningsih et al. 2009).
Pengamatan untuk serangga hama putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis)
juga memperlihatkan kondisi yang sama dengan hama non target WPP, dimana
42
tidak ditemukan perbedaan populasi antara tanaman Bt dan tanaman non Bt.
Perbedaan populasi hanya terdapat pada waktu pengamatan, dimana di daerah
Subang, populasi hama putih palsu (HPP) paling tinggi terdapat pada pengamatan
6 MST, sebaliknya di daerah Indramayu populasi tertinggi dari serangga HPP
terdapat pada awal pertanaman atau pada waktu tanaman masih muda yaitu 2
MST. Populasi hama wereng coklat tertinggi terdapat pada 8 MST baik di lokasi
Kabupaten Subang maupun Indramayu.
Pengaruh tanaman Padi Bt PRG terhadap musuh alami yang ditemukan di
lapangan seperti laba-laba (Arachnida), dan Paederus (Paederus sp), disajikan
pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 7. Populasi laba-laba pada galur padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan
padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda
Kabupaten Subang dan Indramayu
43
Sumber :Laporan teknik penelitian Puslit Bioteknologi 2006
Gambar 8. Populasi Paederus sp pada galur Padi Bt PRG (6.11 dan 11.21.39) dan
Padi non-PRG (Rojolele dan Ciherang) di dua lokasi yang berbeda
Kabupaten Subang dan Indramayu.
Populasi laba-laba sebagai musuh alami di daerah Subang dan Indramayu
dapat ditemukan di pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt, dengan jumlah populasi
yang tidak berbeda nyata. Di daerah Subang, sampai pengamatan 10 MST masih
ditemukan populasi laba-laba tetapi pada pengamatan 2 MST belum ditemukan.
Untuk daerah Indramayu tidak ditemukan lagi laba-laba pada pengamatan ke 8
dan 10 MST.
Terdapat juga populasi Paederus sp sebagai musuh alami di daerah
Subang dan Indramayu pada pengamatan 4 MST sampai 8 MST dengan jumlah
populasi yang tidak berbeda nyata baik pada Padi Bt maupun Padi non Bt. Selain
laba-laba dan Paederus sp, musuh alami yang ada selama percobaan di LUT
daerah Indramayu berlangsung adalah Coccinella sp dan Cyrtorhinus sp. Keempat
predator tersebut merupakan predator dari wereng coklat. Sedangkan laba-laba
selain predator wereng juga predator banyak serangga hama (generalis) (Deswina
et al. 2009). Dari keempat musuh alami tersebut, populasi laba-laba cukup tinggi
dan tidak banyak berbeda antar galur Padi Bt dan Padi non Bt yang diuji. Menurut
laporan akhir BB Penelitian Tanaman Padi dan Puslit Bioteknologi LIPI, tingkat
parasitasi Trichogramma yang merupakan parasitoid dari telur penggerek batang
44
padi, yang tertinggi terdapat pada galur Padi Bt PRG (galur 6.11) dan tidak
berbeda nyata dengan padi lain yang non PRG.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, di tiga lokasi pada
musim yang berbeda, menghasilkan kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan
jumlah populasi serangga non target dan musuh alami dari serangga yang berada
di atas permukaan tanah. Pengamatan pada organisme atau serangga di permukaan
tanah belum dilakukan, akan tetapi penelitian serupa telah banyak dilakukan
terhadap organisme yang berada di bawah permukaan tanah seperti mikroba
dengan hasil yang bervariasi, mulai dari pengaruh minor sampai nyata yang
diakibatkan oleh tanaman Bt terhadap komunitas mikroba di dalam tanah. Tetapi
perbedaan yang muncul lebih disebabkan karena berbedanya geografi, temperatur,
varietas tanaman dan tipe tanah, dan perubahan struktur komunitas mikroba
bersifat sementara, dan tidak berhubungan dengan keberadaan protein Cry di
dalam jaringan tanaman (Rahman et al. 2007, Icoz & Stotzky 2008). Menurut
hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI pada tahun
2006 terhadap pengaruh Padi Bt PRG terhadap populasi mikroba tanah di
pertanaman Padi Bt dan Padi non Bt dari lokasi pertanaman Padi Bt di LUT, tidak
terdapat perbedaan nyata populasi mikroba pada dua lokasi pertanaman Padi Bt
dan non-Bt (Slamet-Loedin, komunikasi pribadi).
Pengujian keamanan lingkungan untuk tanaman PRG yang membawa sifat
ketahanan terhadap serangga lebih diutamakan jika dibandingkan dengan sifat
toleran herbisida, karena kemungkinan pengaruh negatif tanaman toleran
herbisida terhadap serangga non target hanya bersifat tidak langsung (Lottmann &
Berg 2001). Lebih jauh disebutkan bahwa faktor abiotik lingkungan lebih besar
memberikan pengaruh terhadap mikroba tanah bila dibandingkan dengan faktor
genotip tanaman (Mimura et al. 2008).
Organisme yang terdapat di dalam tanah sangat bervariasi dan kompleks
baik dari jumlah, jenis dan fungsinya di dalam tanah. Untuk mengetahui pengaruh
negative tanaman Bt PRG terhadap keseluruhan organisme tanah akan
membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu
pengujian dilakukan hanya terhadap organisme tanah yang langsung terpengaruh
(terpapar) oleh residu yang dihasilkan langsung bagian tanaman PRG seperti
45
toksin Cry (IAb) yang terdapat di dalam tanah. Jika tidak memungkinkan semua
organisme tanah dapat diketahui pengaruhnya terhadap residu tanaman PRG,
maka yang paling penting diketahui adalah kemungkinan dampak negatifnya
terhadap organisme tanah dan yang paling besar perannya dalam kehidupan
tanaman itu sendiri. Pengaruh tanaman Bt tahan hama terhadap ekosistem tanah
meliputi organisme invertebrate (seperti cacing tanah, colembola, serangga tanah
dan nematode) dan mikroorganisme (mikrobiota) tanah (meliputi bakteri,
actinomycetes dan fungi) (Icoz & Stotzky 2008).
Berdasarkan pengujian keamanan lingkungan pengaruh protein Cry I Ab
yang diintroduksi pada tanaman, tidak terbukti dampak negatifnya terhadap
organisme invertebrata yang hidup di permukaan tanah. Tetapi terdapat pengaruh
terhadap mikrobiota tanah seperti jamur (fungi) pada tanah yang ditanami dengan
tanaman PRG ternyata mengandung protein Cry I Ab, sedangkan tanah yang
ditanami dengan tanaman non-PRG diketahui tidak mengandung protein Cry I Ab
setelah diuji secara molekuler, tetapi belum diketahui dampaknya terhadap jamur
itu sendiri (Icoz & Stotzky 2008). Kemungkinan terjadinya dampak atau risiko
tanaman PRG terhadap lingkungan, tidak hanya bergantung pada kualitas hasil
penelitian, tetapi juga dari interaksi antara penilai, pembuat peraturan dan
pengembang teknologi (McCammon 2010).
b. Pengujian terhadap Benih Padi non-PRG Hasil Penelitian Gene Flow di
Lapangan Uji Terbatas.
Semua benih Padi non-PRG hasil penelitian gene flow dihitung dan
dipisahkan berdasarkan jenis dan ulangan, hasilnya disajikan pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil identifikasi, tidak diperoleh benih padi Rojolele untuk ulangan
III, diperkirakan benih tersebut tidak berhasil dipanen pada waktu penelitian
berlangsung karena penelitian yang telah lama berlangsung sejak tahun 2006-
2007.
46
Tabel 1. Jumlah benih padi non PRG hasil percobaan perpindahan gen (gene flow) di LUT
No Kultivar Ulangan Jarak tanaman Padi non PRG dari tanaman Padi Bt PRG
1 mtr 2 mtr 3 mtr 5 mtr 7 mtr 9 mtr 11 mtr 13 mtr 15 mtr
1 Rojolele I 281 77 154 268 126 156 50 50 283
II 0 0 0 215 306 141 80 196 78
III 0 0 0 0 0 0 0 0 0
IV 46 0 0 0 0 60 122 0 109
Total 327 46 154 483 432 357 252 246 470
Rata-rata 81,75 19,25 38,5 120,75 108 89,25 63 123 117,5
2 Rojolele KA I 537 990 780 1006 1705 825 1717 1551 980
II 170 440 598 526 739 476 0 844 836
III 300 447 0 248 213 561 1035 235 495
IV 4031 0 1406 0 1656 663 975 0 523
Total 5790 1877 2784 1780 4313 2525 3727 2630 2834
Rata-rata 1447.5 625.67 928.00 593.33 1078.25 631.25 1242.33 876.67 708.50
3 Pandan Wangi I 126 0 0 0 0 84 119 118 70
II 63 170 100 143 75 100 0 165 0
III 552 1070 1376 592 708 307 456 417 126
IV 349 418 0 56 0 50 50 92 61
Total 1090 1658 1476 791 783 541 625 792 257
Rata-rata 272.5 552.67 738.00 263.67 391.50 135.25 208.33 198.00 85.67
4 Ciherang I 0 0 330 320 349 714 526 564 0
II 123 163 123 56 0 122 148 66 86
III 376 667 585 0 0 307 750 343 260
IV 1260 2490 1960 2459 1780 789 1078 1608 960
Total 1759 3320 2998 2835 2129 1932 2502 2581 1306
Rata-rata 879.50 1660.00 1199.20 1417.50 1419.33 772.80 1000.80 1032.40 653.00
47
Setelah semua benih padi hasil pengujian gene flow di LUT di hitung dan
dicatat, kemudian setiap kultivar berdasarkan jarak isolasi ditumbuhkan dengan
menggunakan media semai tanah sawah yang dilumpurkan dalam bak plastik.
Jumlah benih yang berhasil ditumbuhkan atau tidak dapat lagi tumbuh diamati
dan dicatat sesuai dengan jenis masing-masing kultivar seperti yang disajikan
pada Gambar 9 dan Gambar 10.
Gambar 9. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar Rojolele
dan Pandan Wangi hasil penelitian gene flow di wilayah Karawang
untuk seleksi higromisin dan analisis PCR.
Jumlah benih yang paling banyak dari hasil identifikasi adalah Rojolele KA (5790
butir), tetapi kemampuan benih untuk tumbuh hanya sekitar 1.89% (110 butir).
Tetapi sebaliknya untuk benih Ciherang dengan jumlah benih 3320 butir memiliki
kemampuan tumbuh paling tinggi yaitu sekitar 35.3% (1174 butir). Benih Pandan
Wangi memiliki kemampuan tumbuh paling kecil yaitu sekitar 0.4% (8 butir) dari
1658 butir benih yang disemai.
48
Gambar 10. Kemampuan tumbuh benih padi generasi kesatu (T0) kultivar
Rojolele KA dan Ciherang hasil penelitian gene flow di wilayah
Karawang untuk seleksi higromisin dan analisis PCR.
Seleksi Higromisin
Seleksi awal untuk benih-benih hasil penelitian gene flow menggunakan
higromisin dengan cara menetesi daun tanaman dengan larutan Higromisin
100mg/l. Setelah 2x24 jam, daun tanaman yang ditetesi larutan higromisin
tersebut terbakar atau berwarna coklat (Gambar 11), maka tidak perlu dilanjutkan
lagi dengan analisis PCR, sebaliknya apabila daun tanaman tidak terbakar, maka
dilanjutkan dengan analisis PCR untuk memastikan apakah benih yang tidak
terbakar dengan uji higromisin tersebut mengandung gen Cry IA(b).
Larutan higromisin termasuk pada salah satu sistem penanda (marker)
ketahanan antibiotik yang umum digunakan pada tanaman monokotil seperti padi
(kelompok gramineae). Keberadaan gen hpt (hygromycin phosphotransferase),
sebagai salah satu gen penanda pada padi Rojolele PRG dapat diuji menggunakan
antibiotik higromisin. Cara kerja antibiotik ini adalah menghambat sintesis protein
melalui gangguan translokasi, sehingga terjadi kesalahan pada ribosom 80S
(Rodriguez & Nottenburg 2002).
49
Gambar 11. Hasil seleksi higromisin pada daun tanaman padi A lingkaran yang diberi larutan higromisin
B lingkaran yang tidak diberi larutan higromisin
Analisis PCR
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada semua benih padi hasil
pengujian gene flow, tidak ditemukan tanaman Padi non Bt generasi kesatu, yang
positif mengandung Cry I A(b). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil evaluasi
menggunakan higromisisn dan analisis PCR yang dilakukan pada benih padi
dengan berdasarkan perlakuan jarak isolasi yang berbeda-beda. Beberapa hasil
pengujian dengan analisis PCR terhadap tanaman Padi non-PRG yang ditanam di
sekitar tanaman Padi Bt PRG di LUT disajikan pada Gambar 11.
Gambar 12. Hasil analisis PCR menggunakan primer Cry IA(b) pada tanaman
generasi kesatu (T0) Padi non-PRG cv. Rojolele (A) dan Ciherang
(B) hasil penelitian gene flow di LUT. λ hind III;P plasmid;+ DNA cry IA(b); A sampel air;1(sampel tanaman Rojolele
non PRG); 2-39 sampel DNA tan padi non-PRG cv. Rojolele hasil penelitian gene
flow.
B
λ P + - A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11121314 15 16 17181920 2122232425 26272829303132333435363738
λ P + - A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213 141516 17181920 212223 242526 272829303132333435363738
B A
A
1012 bp Cry IAb
1012 bp Cry IAb
50
Pada analisis PCR digunakan sampel DNA yang mengandung gen Cry IA(b)
sebagai kontrol positif untuk pembanding dengan sampel-sampel DNA tanaman
yang diuji, sedangkan kontrol negatif digunakan tanaman padi kultivar Rojolele
non PRG.
Pengujian untuk mengetahui apakah terjadi persilangan antara tanaman
Padi Bt dengan tanaman Padi non-Bt, telah dilakukan sesuai dengan perlakuan
jarak isolasi yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil seleksi higromisin dan analisis
PCR terhadap semua sampel dari benih tanaman Padi non Bt generasi kesatu (T0)
kultivar Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi yang dianalisis,
ternyata tidak terdapat satupun sampel yang positif mengandung gen Cry IAb
(Gambar 12). Kemungkinan terjadinya hal ini karena sifat tanaman padi yang
menyerbuk sendiri (kleistogami), sehingga proses penyerbukan sudah terjadi di
dalam bunga sebelum bunga sempat membuka (Harst et al. 2009). Selain faktor
fisiologis dari tanaman itu sendiri, terdapat kemungkinan faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya persilangan seperti model desain percobaan di lapangan
dan proses seleksi dan analisis yang dilakukan (Harst et al. 2009). Pada percobaan
penelitian gene flow untuk tanaman padi yang dilakukan oleh Puslit Bioteknologi
LIPI, menggunakan model desain lingkaran, menyerupai baling-baling, dimana
setiap jari-jarinya ditanami dengan Padi non-PRG sedangkan tanaman Padi Bt
PRG ditanam ditengah-tengah lingkaran. Sebagai perlakuan, digunakan jarak
tanam 1,2,3,5,7,9,11 dan 13 meter dari tanaman Padi Bt PRG (Lampiran 1). Di
luar lingkaran tadi ditanam padi Rojolele isogenik sebagai barier sesuai dengan
rekomendasi penanaman Padi PRG di LUT dengan luas 3 meter untuk tanaman
padi. Berdasarkan hasil pengujian terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow
tersebut, diduga jarak tanam antara Padi Bt dengan Padi non Bt mempengaruhi
untuk terjadinya persilangan, selain itu perbedaan umur tanaman Padi non-Bt
dengan umur tanaman Padi Bt termasuk salah satu faktor yang menghalangi
persilangan. Walaupun waktu penanaman dibedakan, supaya masa pembungaan
bersamaan antara Padi Bt PRG dengan Padi non-PRG, tetapi faktor fisiologis dan
sifat kleistogami pada tanaman padi menjadi faktor penghalang untuk persilangan.
Perbedaan jarak tanam dan ketinggian tanaman sangat mempengaruhi terjadinya
persilangan pada tanaman padi (Chen et al. 2004).
51
Dari hasil penelitian terhadap frekwensi terjadinya gene flow yang pernah
dilakukan oleh Chen et al. (2004) pada padi kultivar Minghui-63 dengan jenis
padi liar Oryza rufipogon, terdeteksi sekitar 1,1-2,2 % dalam lahan percobaan
seluas 5 x 5 m2 dan jarak antar tanaman di dalam plot 30 x 50 cm. Sedangkan
frekuensi terjadinya gene flow dari jenis padi Nam29/TR 48 kepada jenis-jenis
gulma padi (weedy rice) sangat rendah, yang berkisar antara 0,011-0,046 %.
Berdasarkan hasil analisis terhadap pola terjadinya transfer material genetik antara
tanaman PRG dengan tanaman non-PRG dipengaruhi oleh banyak faktor, oleh
karena itu diperlukan sikap kehati-hatian dan berdasarkan kasus per kasus
tergantung dari jenis dan sifat tanaman yang dikaji. Menurut Snow et al. (2003)
identifikasi prioritas pada penelitian gene flow, meliputi risk assessment, risk
management, mitigasi dan membuat urutan penelitian baik di fasilitas uji terbatas
atau lapangan uji terbatas.
KESIMPULAN
1. Tidak terjadi dampak Padi Bt PRG terhadap non target organisme
berdasarkan perbedaan populasi serangga hama non target seperti wereng
punggung putih (Sogatella furcifera), hama putih palsu (Cnaphalocrosis
medinalis) dan wereng coklat (Nilaparvata lugens) pada pertanaman Padi Bt
PRG dan pertanaman Padi non-PRG di lokasi pengamatan LUT.
2. Populasi musuh alami yang berfungsi sebagai predator seperti laba-laba
(Arachnida) dan Paederus sp tidak berbeda nyata, baik pada pertanaman Padi
Bt dan pertanaman Padi non-Bt di LUT lokasi Kabupaten Subang dan
Indramayu.
3. Berdasarkan seleksi higromisin dan analisis PCR pada empat kultivar
tanaman Padi non-PRG generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow, tidak
ditemukan tanaman yang positif membawa gen Cry IA(b) pada perlakuan
jarak 1,2, 3, 5, 7, 9, 11, dan 13 meter dari pertanaman Padi Bt.
52
Saran
1. Berdasarkan hasil kajian terhadap keamanan lingkungan Padi Bt PRG,
disarankan untuk melengkapi variabel pengujian dengan membuat kategori
atau daftar spesies non-target potensial berdasarkan fungsi ekologis sebelum
dilakukan pengujian keamanan lingkungan. Selanjutnya disusun prioritas
serangga non-target potensial, terutama yang berpotensi terkena dampak
negatif tanaman Padi Bt PRG.
2. Hasil pengujian laboratorium terhadap benih-benih hasil penelitian gene flow,
tidak memperlihatkan terjadinya persilangan antara Padi Bt PRG dengan Padi
non-PRG pada perlakuan jarak tanam 1, 2, 3, 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 meter.
Oleh karena itu dapat disarankan bahwa jarak tanam Padi Bt dengan Padi non
PRG minimal 1 meter, belum terjadi persilangan, meskipun untuk mengatasi
terjadinya gene flow, di dalam peraturan Pedoman Pengkajian Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik Seri Tanaman Tahun 2005 jarak minimal
adalah 3 meter untuk tanaman padi.
53
ANALISIS EX-ANTE KELAYAKAN EKONOMI PADI Bt
PRODUK REKAYASA GENETIK BERKELANJUTAN
Sustainable Ex- Ante Analysis of Economic Feasibility on GEP Bt Rice
Deswina P1), Syarief R
2), Rachman LM
3), Herman M
4)
1)Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2)
Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)
Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, 4)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Teknologi rekayasa genetik di bidang pertanian telah menghasilkan
tanaman yang memiliki keunggulan dari kualitas maupun kuantitas. Salah satunya
adalah Padi Bt Produk Rekayasa Genetik (PRG) yang memiliki sifat ketahanan
terhadap hama penggerek batang. Meskipun pengujian keamanan lingkungan
(environmental risk assessment) telah dilakukan, seperti yang telah ditetapkan di
dalam Protokol Cartagena tentang keamanan hayati PRG, tanaman PRG harus
melalui pertimbangan sosial ekonomi dan dampak sosialnya terhadap kehidupan
masyarakat. Pertimbangan ini perlu mendapat perhatian sesuai dengan amanat
dalam Protokol Cartagena pasal 26. Tujuan dari penelitian adalah membuat
analisis ex-ante kelayakan ekonomi Padi Bt PRG berkelanjutan dan mengetahui
persepsi petani, sebagai bagian dari analisis risiko dalam pemanfaatan Padi Bt.
Metode analisis menggunakan kajian anggaran partial (partial budget analysis)
dan survei langsung kepada petani pengguna menggunakan kuisioner dan
wawancara. Hasil analisis anggaran partial berdasarkan asumsi ex ante harga
benih normal dan harga premium 50%, menunjukkan bahwa usahatani Padi Bt di
Indonesia masih terkategori layak dilanjutkan, meskipun biaya investasi
pengembangan teknologi cukup tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan
kuisioner, diketahui bahwa umumnya petani kurang mengetahui tentang tanaman
Padi Bt, tetapi mereka bersedia menanam dengan harapan terjadi kenaikan
produksi dan biaya pengelolaan dapat dikurangi.
Kata kunci: Padi Bt, persepsi petani, analisis ex ante, keamanan hayati,
analisis anggaran parsial
54
Abstract
Genetically engineered technology in agriculture has resulted some
plants that are advance both on their quality and quantity. One of them is the
Genetically Engineered Products (GEPs) of Bt rice, which has been through
environmental safety testing process. On Cartagena Protocol about biosafety
of GEPs, states the importance of risk assessment for each GEP plant before
being released or commercialized. As the product of new technology, GEP Bt
rice has the resistance in facing stem borer, therefore it must meet the
requirements of environmental safety. Besides, socio-economic considerations
and the impacts on society require some attentions in accordance with the
mandate of Article 26 on Cartagena Protocol. One of policy strategy based on
ex- ante analysis of the economic feasibility and the farmers perception, as the
part of risk analysis in the sustainable use of GEP Bt rice has been done.
Analysis methods used, were partial budget analysis and directly survey to
user farmers through questionnaires and interviews. Partial budget analysis
results based on the ex- ante assumption on normal price seeds and 50%
premium price seeds, showed that Bt rice farming in Indonesia was still
categorized as worth to be continued, despite the relatively high cost for its
technology development. Based on interviews and questionnaires, it was known
that most farmers were not informed well about Bt rice plants, but they were
willing to plant in hope for an increase in production and a decreace in
management costs.
Keywords : Bt rice, farmer’s perceptions, ex-ante analysis, biosafety, partial
budget analysis
PENDAHULUAN
Meningkatkan produksi pertanian dengan melakukan inovasi teknologi
merupakan salah satu strategi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan.
Tetapi program ini mendapat tantangan dari kelompok pengamat sosial dan
lingkungan, terutama dampaknya terhadap organisme non target. Kurangnya
informasi dan pemahaman terhadap teknologi baru, dapat menjadi hambatan
dalam pengembangan produk rekayasa genetik (PRG) (Sharma et al. 2002).
Penerapan keamanan hayati untuk setiap PRG, merupakan salah satu persyaratan
sebelum pelepasan dan komersialisasi PRG kepada masyarakat. Faktor sosial
ekonomi termasuk salah satu pertimbangan penting dan menjadi perhatian
berbagai pihak dalam menerapkan pemanfaatan tanaman PRG. Pada
55
komersialisasi setiap hasil teknologi baru, memerlukan kajian terhadap dampak
negatif, terutama bagi keberlanjutan hidup dan kesejahteraan manusia (Qaim
2009). Selain dampak yang berhubungan dengan teknologi dan lingkungan,
dampak sosial ekonomi bagi kehidupan masyarakat harus menjadi salah satu
bahan kajian. Berdasarkan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap PRG, sangat
diperlukan sosialisasi dan pemahaman yang berkelanjutan sesuai dengan
perbaikan terhadap sifat yang diintroduksi pada PRG, agar manfaatnya dapat lebih
optimal (Araya-Quesada et al. 2010). Tujuan pendidikan masyarakat adalah, agar
mereka dapat memutuskan sendiri apakah akan memanfaatkan atau tidak
memanfaatkan PRG tersebut bagi kepentingan mereka. Kegiatan sosialisasi dan
informasi ilmiah yang mudah dan murah diakses merupakan hak setiap warga
negara dalam menerima teknologi baru, kewajiban pemerintah untuk
menyediakan akses dan fasilitas terkait dengan keperluan tersebut (Qaim 2009).
Terjadinya perbedaan pendapat dengan munculnya polarisasi antara
kelompok yang pro dan kelompok yang kontra terhadap PRG, terus terjadi
mengiringi keberhasilan PRG dalam mengatasi beberapa permasalahan di bidang
pertanian. Kelompok yang kontra mengklaim bahwa terdapat dampak negatif dari
PRG seperti dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia Hal ini bisa
diakibatkan karena kurangnya komunikasi dan informasi antara pihak produsen
dan pengembang teknologi dengan kelompok pengguna (konsumen).
Keterlibatan masyarakat secara sosial dalam pembangunan bioteknologi
sangat rendah di Indonesia. Hal ini terungkap melalui persepsi dan partisipasi
sebagian besar masyarakat yang terbukti belum memahami dan mengerti
mengenai PRG (Bermawie et al 2003). Menurut kajian yang dilakukan oleh
Adiwibowo et al. (2005), beberapa peluang yang dapat dilakukan pemerintah
untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap introduksi PRG ke
lingkungan adalah melalui kampanye, advokasi bersama dengan kelompok LSM
serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dalam mengambil keputusan kebijakan pembangunan bioteknologi. Di dalam
Protokol Cartagena Pasal 26, dicantumkan bahwa negara sebagai pihak yang
terlibat dalam konvensi mengenai keamanan hayati, perlu bekerja sama dalam
penelitian dan pertukaran informasi mengenai dampak sosial ekonomi organisme
56
hasil modifikasi genetik khususnya terhadap masyarakat asli dan masyarakat
setempat. Karena kepentingan ekonomi masyarakat yang menjadi target
pemanfaatan PRG perlu diperhatikan, dan diharapkan kemandirian pangan dapat
diwujudkan melalui PRG produksi nasional.
Setiap jenis investasi memerlukan analisis untuk mengetahui bahwa hasil
yang akan diperoleh sepadan dengan risiko yang ditimbulkannya. Tingkat
kelayakan ekonomi dalam rencana pemanfaatan padi Bt PRG perlu dilakukan
supaya diketahui apakah rencana pengembangannya nanti dapat berkelanjutan
atau dalam jangka waktu tertentu baru diperoleh hasil sesuai dengan pengeluaran
(investasi) yang telah digunakan berdasarkan manfaat ekonomi. Parameter dari
manfaat ekonomi dapat diukur berdasarkan data statistik produksi dan harga jual
produk (Groote et al. 2011) Untuk pengembangan teknologi diperlukan
pendanaan dan perencanaan yang tepat sesuai dengan manfaat dan kebutuhan.
Demikian juga dengan tingkat risiko yang dihasilkannya, tidak ada suatu
teknologi baru yang tidak memiliki risiko. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan
adalah pengelolaan risiko (risk management) serta komunikasi risiko (risk
communication) kepada masyarakat (Sharma et al. 2002). Apabila diketahui
terdapat kemungkinan risiko dari PRG yang akan dilepas, maka risiko yang
mungkin terjadi harus dikelola dan diminimalisir agar manfaatnya lebih besar
daripada risiko yang ditimbulkannya. Pengelolaan risiko berkaitan dengan
komunikasi risiko yang transparan dan mudah dipahami oleh kelompok pengguna
teknologi. Oleh karena itu pemanfaatan teknologi baru memerlukan kajian dan
analisis risiko yang meliputi pengkajian, pengelolaan dan komunikasi risiko
(Sharma et al. 2002). Komunikasi risiko merupakan proses pengumpulan
informasi dan pendapat terkait bahaya dan risiko dari pihak-pihak yang
berkepentingan selama proses analisis risiko, serta membuat forum komunikasi
hasil penilaian risiko dan tindakan manajemen risiko yang diusulkan kepada
pihak-pihak yang berkepentingan (PerMen LH 25 Tahun 2012).
Analisis kajian ekonomi untuk tanaman pertanian bertujuan untuk
membuat evaluasi dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam metode produksi
atau pengelolaan usaha pertanian. Faktor-faktor yang diperhitungkan dan
dijadikan bahan analisis adalah yang memiliki kaitan dengan perubahan tersebut.
57
Analisis yang tepat digunakan adalah analisis anggaran partial (partial budget
analysis), yang digunakan untuk membuat perbandingan dari dampak perubahan
teknologi dan kelayakannya, terutama di bidang pertanian. Pendekatan ini
mempunyai beberapa manfaat yaitu tidak memerlukan banyak data bila
dibandingkan dengan anggaran usahatani keseluruhan (whole farm budgeting).
Selain itu, tidak diperlukan informasi mengenai segi-segi usahatani yang tidak
dipengaruhi oleh perubahan yang sedang diamati karena keragaan bagian ini tidak
berubah untuk diterapkan pada keadaan usahatani yang lebih luas daripada
anggaran usahatani keseluruhan. Analisis anggaran parsial dibuat untuk
menunjukkan pengaruh suatu perubahan terhadap ukuran keuntungan seperti
pendapatan bersih usahatani. Menurut Soekartawi (1995), penggunaan analisis
anggaran parsial juga dapat dimanfaatkan untuk mengambil suatu keputusan
penting di bidang pertanian termasuk adopsi teknologi baru yang meliputi
modifikasi atau perubahan dalam proses produksi tanaman. Secara umum tujuan
dari penelitian adalah mengetahui kelayakan finansial usaha tani Padi Bt PRG dan
mengetahui persepsi dan penerimaan petani terhadap pemanfaatannya di lapangan
melalui studi ex-ante.
METODE ANALISIS DATA
a. Analisis ex-ante Kelayakan Finansial Padi Bt PRG
Analisis kelayakan finansial dilakukan dalam menetapkan alternatif, apakah
pemanfaatan Padi Bt PRG layak atau tidak untuk dilanjutkan. Analisis ini
berbeda dengan analisis ekonomi yang lebih mengutamakan keberhasilan suatu
usaha dengan menilai besarnya pendapatan (keuntungan) yang diperoleh.
Besarnya keuntungan, dapat diketahui berdasarkan manfaat (benefit) yang didapat
dan besarnya biaya (cost) yang dikeluarkan. Pada kasus Padi Bt PRG, karena
produk belum tersedia di tingkat petani, maka analisis dilakukan pada variabel
yang mengalami perubahan akibat introduksi teknologi. Komponen-komponen
yang diperkiraan mengalami perubahan seperti produktifitas, harga jual benih,
biaya pembelian insektisida dan penurunan biaya tenaga kerja. Metode kajian
menggunakan data primer dengan melakukan wawancara terhadap kelompok tani
di desa Jaten, Kecamatan Juwiring Kabupaten Klaten, Jawa Tengah yang khusus
58
menanam padi kultivar Rojolele dan kelompok tani di Sukamandi, Kabupaten
Subang. Pengisian kuisioner juga dilakukan untuk mengetahui biaya pengelolaan
di lapangan dan harga benih padi sejenis non-PRG. Data primer untuk biaya
produksi padi, dibandingkan dengan data ex-ante Padi Bt PRG jika nanti dilepas
kepada masyarakat. Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode survei
dengan responden petani. Data yang dikumpulkan juga meliputi data kesediaan
membayar (willingness to pay, WTP) dan kesediaan untuk menerima (willingness
to accept, WTA).
Metode analisis data menggunakan analisis anggaran parsial untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya dari perubahan teknologi yang dipakai
sebelumnya yaitu tanaman padi konvensional kepada tanaman Padi Bt tahan
serangan hama penggerek. Analisis dilakukan pada variabel yang mengalami
perubahan dengan adanya introduksi teknologi pada tanaman padi, seperti
produktifitas, harga jual benih unggul, biaya pembelian insektisida dan penurunan
biaya tenaga kerja. Sifat agronomis tanaman Padi Bt PRG sama dengan Padi non-
PRG, mulai dari kondisi biologi tanaman, proses pengolahan tanaman di lahan
pertanian hingga panen dan pascapanen, kecuali terhadap sifat baru yang
diintroduksi kepada tanaman, dalam hal ini adalah sifat tahan terhadap hama
penggerek batang. Oleh karena itu yang perlu dibuat simulasi terhadap Padi Bt
hanya mengenai pembiayaan untuk produksi, harga jual benih dan penurunan
biaya pengolahan usaha pertanian yang didasarkan pada asumsi ex-ante seperti
tertera pada Tabel 1.
59
Tabel 1. Uraian produktifitas dan biaya pengolahan usahatani Padi Bt dan
Padi non-Bt di lahan pertanaman
Instrumen Padi Bt PRG Padi non-Bt
Produksi (ton/ha) 4 - 4,9 4 - 4,9
Biaya-biaya (cost)
Harga per kg (Rp)
- Skenario tidak berubah
- Premium 50%
20.000
30.000
20.000
20.000
Tenaga kerja (pemeliharaan) (Rp/ha) 100.000 200.000
1.286.875
1.787.000
1.787.000
Pemupukan (Rp/ha) 1.286.875
Insektisida (Rp/ha) (10%) 178.700
Insektisida (Rp/ha) (50%) 893.500
Pada simulasi ex-ante ini, asumsi produktifitas harga jual benih yang
digunakan adalah benih murni dari kultivar Rojolele non Bt yang ditanam petani
di desa Jaten, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Produktifitas
Padi Bt untuk saat ini masih menggunakan asumsi sama dengan produksi Padi
non-Bt, karena berdasarkan hasil pengujian di lapangan belum diperoleh
peningkatan produksi, kecuali sifat yang diintroduksikan pada tanaman untuk sifat
ketahanan terhadap hama penggerek batang. Sedangkan untuk sifat meningkatkan
produksi belum diperoleh. Alasan ini dikemukakan karena pada proses awal
penelitian, padi kultivar Rojolele yang memiliki umur dalam lebih panjang yang
lebih responsif saat pengujian kultur jaringan, sehingga kultivar inilah yang
dipakai sebagai model penelitian Padi Bt PRG di laboratorium (Loporan Teknik
Puslit Bioteknologi LIPI 2004). Selanjutnya Padi Bt PRG kultivar Rojolele ini
akan disilangkan dengan jenis padi lain yang telah diketahui produksi tinggi dan
umur lebih pendek sehingga bisa dipanen lebih dari dua kali setahun. Tetapi pada
kasus Padi Bt PRG, sifat ketahanan yang dimiliki tanaman tersebut, diharapkan
lebih memiliki kesempatan untuk berproduksi lebih baik dibandingkan dengan
jenis tanaman yang sama tetapi tidak memiliki sifat ketahanan terhadap serangan
hama, terutama di daerah endemis serangan hama penggerek batang. Untuk harga
benih dibuat simulasi dalam dua tingkat harga yakni tidak berubah dan
60
peningkatan 50% dari harga rata-rata benih non-Bt. Disamping perubahan harga
jual benih, diperkirakan juga terjadi pengurangan penggunaan insektisida yang
berdampak pada pengurangan biaya untuk tenaga kerja. Sedangkan biaya
pemupukan tidak dibedakan dengan padi non-PRG.
Biaya (cost) pengembangan teknologi dengan teknik rekayasa genetik
merupakan anggaran atau pendanaan yang tidak dapat dipisahkan dari pengadaan
Padi Bt PRG, karena biaya tinggi merupakan salah satu konsekuensi dari investasi
teknologi yang dapat dimanfaatkan di masa depan dalam meningkatkan mutu
tanaman agar memiliki keunggulan sesuai dengan kebutuhan di masa sekarang
dan masa depan.
Menurut Roth & Hyde (2002) metode perhitungan dengan analisis anggaran
parsial menggunakan benefit cost ratio (B/C Ratio), yang sering disebut dengan
profitability index, yaitu merupakan rasio antara aliran kas bersih dengan nilai
investasi (produksi) pada saat sekarang (present value).
b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Pemanfaatan Padi
Bt PRG
Data yang dikumpulkan didasarkan pada perangkat kuisioner yang dibuat
dan disusun secara khusus untuk mengetahui persepsi (perception) dan
penerimaan (acceptance) petani dalam rencana pelepasan Padi Bt PRG ke
lingkungan. Kuisioner disusun dengan pertanyaan-pertanyaan yang mudah
dipahami dan dimengerti petani terhadap tingkat pengetahuan mereka tentang
PRG (Lampiran 6).
Teknik pengumpulan data sebagai sumber informasi, dilakukan dengan
wawancara dan kuisioner. Isian kuisioner dari responden digunakan sebagai data
primer yang diolah menggunakan program Microsoft Excell 10. Lokasi
pengambilan responden dari wilayah sentra produksi padi utama di Propinsi Jawa
Barat yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Subang. Pertimbangan jarak lokasi dan operasional wawancara seperti;
transportasi, waktu, tenaga dan biaya, menjadi pertimbangan dalam pemilihan
lokasi penelitian.
61
Pengambilan contoh/responden dilakukan secara purposive radom
sampling (Brockett & Levine 1984) berdasarkan beberapa pertimbangan populasi
yang tersebar menurut wilayah geografis secara alami pada kelompok wilayah
administratif, tidak merupakan bagian unit observasi yang sulit dan membutuhkan
biaya mahal untuk memperoleh data sesuai dengan target informasi. Responden
yang dipilih dianggap telah mewakili kelompok petani dari Propinsi Jawa Barat,
karena berdasarkan sentra produksi padi utama. Pemilihan responden disesuaikan
dengan jumlah kelompok tani di lokasi penelitian, yang dianggap dapat mewakili
dan memahami permasalahan yang diteliti. Di setiap Kabupaten dipilih satu desa
yang dianggap mewakili dan responden petani dipilih secara acak untuk
menghindari kesamaan persepsi dan pendapat terkait dengan topik yang ditanya.
Pengambilan responden menggunakan metode purposive random
sampling secara proporsional (Walpole, 1995) dengan rumus sebagai berikut:
Nx
nx = — n …………………………….. (1)
N
Dimana: nx = jumlah responden (sample) setiap strata
N =jumlah seluruh populasi (kepala keluarga petani)
Nx = jumlah populasi setiap strata
N = ukuran responden secara keseluruhan
Data yang diperoleh dari kuesioner disusun berdasarkan kriteria keperluan
penelitian dan ditabulasi berdasarkan wilayah dan lokasi penelitian. Dilakukan
penghitungan nilai minimal, nilai maximal, median dan nilai rata-rata dari seluruh
kuisioner. Seluruh data kemudian disajikan dalam bentuk grafik dan tabel dengan
menggunakan single tabulation bagi butir-butir pertanyaan yang dianggap
memiliki korelasi.
Lokasi penelitian menurut pembagian wilayah dan pembatasan lokasi
penelitian diwakili oleh daerah-daerah sebagai berikut (Gambar 1).
1. Kabupaten Karawang Desa Tegal Waru
2. Kabupaten Cianjur Desa Sukataris, Kecamatan Karang Tengah
3. Kabupaten Subang Desa Ranca Jaya Kecamatan Patokbeusi
4. Kabupaten Sukabumi Desa Sumberjaya Kecamatan Tegalbuleud
62
Gambar 1. Skema lokasi pengambilan responden petani di Propinsi Jawa Barat
Analisis data berdasarkan hasil pengumpulan dan rekapitulasi data yang
diisi oleh responden melalui wawancara dan kuisioner. Analisis data kualitatif dan
kuantitatif dalam bentuk deskriptif berdasarkan pada tingkat pengetahuan dan
persepsi petani dalam memanfaatkan tanaman Padi Bt hasil inovasi teknologi.
Pengolahan data selanjutnya dilakukan dengan menggunakan program Microsoft
Excel vers 10.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kelayakan Finansial Padi Bt PRG vs Padi non-PRG
Sebelum melakukan kajian terhadap kelayakan finansial Padi Bt PRG,
telah dilakukan penelitian dengan membuat rincian biaya investasi penelitian dan
pengembangan tanaman Padi Bt PRG yang diintroduksi dengan gen Cry IA(b).
Penelitian Padi Bt PRG telah dilakukan mulai dari Laboratorium Puslit
Bioteknologi LIPI sejak tahun 1996. Penelitian terhadap Padi Bt ini, merupakan
penelitian Padi Bt pertama di Indonesia, meskipun sampai saat ini belum dapat
1
4
3
2
63
dilepas dan dikomersialisasikan kepada masyarakat. Selain biaya pengembangan
tanaman dengan teknologi rekayasa genetik di laboratorium, juga diperlukan
biaya yang cukup besar untuk pengujian keamanan lingkungan di LUT.
Biaya pengembangan teknologi Padi Bt selama masa penelitian sampai
pengujian keamanan lingkungan, di rumah kaca FUT Puslit Bioteknologi LIPI
maupun LUT di beberapa lokasi Jawa Barat seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Biaya (cost) pengembangan Padi Bt PRG mengandung gen Cry I A(b)
tahan hama penggerek batang di Puslit Bioteknologi LIPI.
No Kegiatan Waktu
(tahun)
Biaya
(x juta)
Keterangan
1. Kultur jaringan tanaman 2 200 Kegiatan
penelitian padi
Bt telah
dilaksanakan
pada tahun
1997 s/d 2007
2. Kloning gen, transformasi
dan regenerasi tanaman
3 450
3. Pengujian bioassay, uji
ketahanan di FUT
1 75
4. Uji segregasi, stabilitas dan
ekspresi gen
2 200
5. Pengujian LUT untuk
keamanan lingkungan (3
lokasi x 150 juta) dan (2
lokasi untuk penelitian gene
flow)
2 750 Pengujian
LUT padi Bt
dilakukan pada
tahun 2004-
2007.
Total 1.675**
Ket :
** Biaya ril untuk tahun pelaksanaan 1997-2007 dan diluar biaya pengujian
keamanan pangan
(Sumber:pengembang teknologi Padi Bt PRG, Puslit Bioteknologi LIPI)
Dari Tabel 2 diatas, dapat diketahui biaya yang harus dikeluarkan mulai
dari tahap penelitian sampai pada tahap pengujian keamanan hayati, memerlukan
modal yang cukup besar agar teknologi Padi Bt dapat diaplikasikan kepada
masyarakat. Nilai yang tertera tidak memperhitungkan nilai keuangan sekarang
serta kenaikan suku bunga yang terjadi setiap tahunnya. Agar pembangunan
pertanian berkelanjutan dapat terlaksana, teknologi rekayasa genetik tanaman
terutama untuk tanaman pangan harus dapat dikuasai, agar peningkatan produksi
64
pangan dapat tercapai dan kerusakan lingkungan berkurang terutama penggunaan
insektisida yang berlebihan.
Dari rincian biaya pengembangan Padi Bt PRG, diketahui bahwa total
biaya yang diperlukan untuk penelitian sampai pengujian sebesar lebih kurang Rp
1.675.000.000,- berdasarkan nilai mata uang pada tahun pelaksanaan penelitian
dilakukan. Nilai ini akan semakin bertambah besar jika dikonversikan dengan
nilai mata uang sekarang dengan memperhitungkan tingkat kenaikan suku bunga.
Analisis ekonomi yang memperhitungkan nilai kembalian dan keuntungan belum
dapat diprediksi, karena produk belum tersedia di pasaran. Menurut Soekartawi
(1995) analisis kelayakan usaha dapat dilakukan dengan membuat evaluasi dari
akibat-akibat yang disebabkan oleh terjadinya perubahan dalam proses teknologi,
sedangkan perhitungan ekonomi digunakan jika ingin mengetahui hasil total dari
produksi dan nilai ekonomi secara keseluruhan. Analisis yang tepat untuk
mengetahui dampak perubahan teknologi pada tanaman Padi Bt PRG adalah
analisis anggaran parsial (partial budget analysis) yang lebih sederhana dan tidak
memerlukan data usaha tani keseluruhan khususnya untuk tanaman pertanian.
Usaha pertanian dengan penanaman padi di sawah membutuhkan biaya
pengelolaan meliputi biaya tenaga kerja dan pembelian pupuk serta obat-obatan
yang cukup besar untuk mengatasi serangan hama dan penyakit. Penanaman Padi
Bt PRG akan mengurangi biaya saprotan dalam pengelolaan, terutama biaya
pembelian pestisida. Data-data primer yang diperoleh dan data secara ex ante,
kemudian diolah dan dianalisis untuk mengetahui kelayakan dan keberlanjutan
Padi Bt PRG jika akan dilepas atau dikomersialisasikan.
Hasil analisis data primer terhadap padi kultivar Rojolele non PRG
dibandingkan dengan Padi Bt PRG disajikan pada dua Tabel di bawah, dengan
membuat asumsi terhadap harga benih tanam, dan jumlah produksi Padi Bt PRG
dibandingkan dengan benih Padi non-PRG, termasuk efisiensi biaya jika produk
ini sudah tersedia ditingkat petani.
65
Tabel 3. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar
Rojolele dengan asumsi harga benih premium (50%)
Instrumen Padi Bt PRG Padi non-Bt Ratio B/C
Elemen pendapatan
Produksi (ton/ha) 4 - 4,9 4 - 4,9 -
Biaya-biaya (cost)
Harga per kg (Rp) 30.000 20.000 -
Tenaga kerja 100.000 200.000 -
Pemupukan 1.286.875 1.286.875 -
Insektisida (10%) 178.700 1.787.000 1,52
Insektisida (50%) 893.500 1.787.000 1,50
Tabel 4. Analisis anggaran parsial Padi Bt PRG vs Padi non-Bt kultivar
Rojolele dengan asumsi harga benih tidak berubah
Instrumen Padi Bt PRG Padi non-Bt Ratio B/C
Elemen pendapatan
Produksi (ton/ha) 4 - 4,9 4 - 4,9 -
Biaya-biaya (cost)
Harga per kg (Rp) 20.000 20.000 -
Tenaga kerja 100.000 200.000 -
Pemupukan 1.286.875 1.286.875 -
Insektisida (10%) 178.700 1.787.000 1,02
Insektisida (50%) 893.500 1.787.000 1,01
Hasil analisis anggaran parsial disusun berdasarkan asumsi, bahwa padi
kultivar Rojolele non-PRG sama dengan Padi Bt PRG, kecuali perubahan yang
terjadi akibat introduksi sifat gen Bt yang ditambahkan seperti berkurangnya
penggunaan insektisida dengan dua skenario yaitu penggunaan insektisida 10%
dan 50%. Penggunaan insektisida tetap diperlukan terutama jika terjadi serangan
hama lain selain penggerek batang, karena gen Bt yang ditambahkan bersifat
66
spesifik dan efektif hanya terhadap hama penggerek batang dan tidak bersifat
toksik terhadap serangga lain (non target) (Tu et al. 2000).
Dari hasil analisis parsial yang dilakukan, dengan menggunakan asumsi
harga jual benih tanam yang berbeda, diketahui bahwa kisaran manfaat dan biaya
(∆ B/C) yang diperoleh adalah 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50
untuk aplikasi insektisida 50%. Hasil ini diperoleh untuk harga jual benih tanam
Padi Bt PRG sebesar Rp 30.000 dengan harga premium 50% lebih tinggi
dibandingkan dengan benih tanam Padi non Bt dari kultivar Rojolele sebesar Rp
20.000. Sedangkan pada Tabel 7, dengan harga jual benih tanam Padi Bt PRG
sama dengan benih padi tanam non-Bt sebesar Rp 20.000, hasil kisaran manfaat
dan biaya untuk kedua jenis tanaman pangan ini adalah 1,02 untuk aplikasi
insektisida 10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50%. Nilai profitability index
menunjukkan angka lebih besar dari 1, hal ini memberi arti bahwa rencana
kegiatan penanaman Padi Bt PRG nantinya dapat menghasilkan pendapatan yang
lebih besar dari pada biaya-biaya pengelolaan yang diperlukan. Bentuk usaha di
bidang pertanian dapat diterima apabila kisaran manfaat dan biaya (benefit cost
ratio) lebih besar dari angka satu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
usahatani Padi Bt kultivar Rojolele termasuk kategori layak untuk dilanjutkan,
jika Padi Bt tersebut telah tersedia di pasaran.
Biaya produksi tanaman pertanian di negara berkembang lebih mahal bila
dibandingkan dengan negara maju seperti USA. Contohnya di China untuk biaya
(cost) produksi tanaman padi membutuhkan dana sekitar 40 – 60 % dari total
produksi, sedangkan di USA dan Kanada hanya memerlukan dana sekitar 6 – 10%
(Huang et al. 2001). Untuk mengatasi serangan hama dan penyakit pada tanaman
padi, petani di China menghabiskan biaya sekitar 4.34 milliar dolar US utk
pembelian pestisida per tahunnya. Biaya paling besar terutama berasal dari
pengeluaran untuk pembelian insektisida (Pray et al. 2001 dan Huang et al. 2001).
Penggunaan pestisida per ha untuk tanaman Padi PRG hanya menghabiskan
sekitar 2.0 kg/ha dibandingkan dengan Padi non PRG yang menghabiskan 21.2
kg/ha (Rozelle et al. 2000). Diharapkan dengan dilepasnya Padi Bt PRG tahan
serangan hama penggerek batang, akan mengurangi penggunaan pestisida
khususnya insektisida pada tanaman padi di lahan pertanian Indonesia.
67
b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Keberlanjutan Pemanfaatan
Padi Bt PRG
Analisis mengenai persepsi (perception) atau penerimaan (acceptance)
merupakan kajian yang berhubungan langsung dengan pengguna (user), dimana
teknologi tidak ada artinya jika tidak memperoleh pengakuan atau penerimaan
dari masyarakat. Dalam kasus Padi Bt PRG, upaya untuk memperkenalkan produk
bioteknologi baru ini masih menjadi tantangan dan tanggung jawab pemerintah
melalui pengembang teknologi, agar produk lebih dikenal dan dipahami oleh
masyarakat seperti petani. Beberapa upaya yang perlu dilakukan adalah sosialisasi
dan komunikasi terhadap keunggulan dan risiko yang mungkin timbul dari Padi
Bt PRG jika nanti diterapkan dan dikomersialisasikan kepada mereka.
Komunikasi kepada pengguna dapat dilakukan dengan cara yang lebih sederhana
agar produk bioteknologi ini mudah diterima dan dipahami.
Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai
tanaman PRG akan selalu terjadi jika program sosialisasi dalam bentuk
komunikasi risiko tidak intensif dilakukan, sehingga menimbulkan
kesalahpahaman karena ketidakmengertian akan PRG. Sebagai produk
bioteknologi modern, terdapat kesulitan dalam memberi respon dan implementasi
produk kepada masyarakat, karena sangat terkait dengan aturan dan regulasi yang
berlaku disetiap negara (McCammon 2007).
Untuk mengetahui tingkat persepsi, pengetahuan dan partisipasi petani
terhadap Padi Bt PRG telah dilakukan survei dengan melakukan wawancara dan
pengarahan dalam bentuk pengenalan sederhana tanaman Padi Bt PRG kepada
petani serta meminta petani mengisi langsung kuisioner yang telah disiapkan.
Responden petani yang disurvei mewakili empat wilayah penelitian, yang berasal
dari wilayah sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Hasil survei dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian utama yaitu: a) karakteristik petani sebagai
responden dan b) persepsi serta penerimaan petani terhadap rencana pelepasan
Padi Bt PRG berdasarkan informasi yang diperoleh dari isian kuisioner (Lampiran
3).
68
a. Karakteristik Petani Padi Sawah
Karakteristik petani padi sawah di wilayah penelitian disajikan pada
Gambar 2. Berdasarkan kelompok usia, kebanyakan petani padi sawah berada
pada usia yang tergolong tidak muda lagi yakni antara 41-58 tahun, dimana
jumlah mereka lebih dari 50% untuk semua wilayah penelitian, kecuali untuk
wilayah Cianjur jumlah responden tertinggi masih tergolong pada usia muda (23-
40 tahun) dengan jumlah melebihi 40% dari total responden di wilayah tersebut.
Sedangkan usia yang tergolong cukup tua untuk bekerja di lahan pertanian masih
cukup banyak di setiap lokasi penelitian dengan kisaran 10 – 30% pada setiap
wilayah penelitian.
Gambar 2. Distribusi kelompok usia petani di wilayah penelitian Propinsi
Jawa Barat.
0
10
20
30
40
50
60
70
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
de
n
Usia
23-40 th
41-58 th
59-76 th
69
Gambar 3. Distribusi tingkat pendidikan petani di wilayah penelitian
Propinsi Jawa Barat
Yang cukup menarik dari hasil pendataan terhadap tingkat pendidikan dari
responden petani (Gambar 3), yakni wilayah Karawang ternyata memiliki tingkat
pendidikan SMU keatas lebih banyak (mendekati 40%) bila dibandingkan dengan
wilayah penelitian lain, meskipun yang berpendidikan SD-SMP tetap lebih
mendominasi. Hal ini terkait dengan jumlah penghasilan rata-rata yang diperoleh
petani dari wilayah Karawang berkisar antara satu juta sampai dengan 5 juta
rupiah per bulan, yang merata diantara semua responden dengan jumlah melebihi
angka 80% (Gambar 4). Umumnya tingkat penghasilan di kalangan petani
berdasarkan kuisioner masih kurang dari satu juta rupiah, dengan angka melebihi
50% di setiap wilayah penelitian. Tingkat pendidikan yang lebih merata yaitu SD-
SMP berada di wilayah penelitian Sukabumi, kurang dari 10% yang memiliki
tingkat pendidikan diatas SMP, dan tidak ada yang lebih tinggi dari SMU,
demikian juga dengan penghasilan yang mereka peroleh dengan jumlah kurang
dari satu juta sampai satu juta rupiah untuk lebih dari 90% jumlah responden.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah/tidaklulus SD
SD-SMP
SMU-akademi/PT
S2 ke atas
70
Gambar 4. Distribusi tingkat penghasilan petani di wilayah penelitian
Propinsi Jawa Barat
b. Persepsi dan Penerimaan Petani terhadap Padi Bt PRG
Berdasarkan hasil analisis persepsi dan penerimaan petani secara umum
terhadap produk teknologi baru, sangat baik dan responsif. Tetapi terdapat
kesenjangan informasi yang mereka terima, karena sangat kurangnya sosialisasi
dan komunikasi antara pengembang teknologi dengan petani sebagai pengguna
pertama dari teknologi ini. Umumnya petani sangat tertarik dengan keunggulan
dari tanaman PRG, tetapi tidak begitu mengerti dengan adanya risiko yang
mungkin dapat ditimbulkan oleh tanaman PRG tersebut. Jika dapat meningkatkan
produksi, rata-rata petani tidak keberatan menanam dan memanfaatkan Padi Bt di
lahan mereka. Oleh karena itu sangat diperlukan sosialisasi dan komunikasi risiko
kepada petani sebelum tanaman PRG dikomersialisasikan, agar manfaat jangka
panjang tetap dapat diperoleh. Secara umum hasil rangkuman dari persepsi dan
penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG disajikan pada
Gambar 5, Gambar 6 dan Gambar 7. Dari hasil survei yang telah dilakukan,
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Penghasilan
≤ 1 juta rupiah
1 juta-5 juta rupiah
> 5 juta rupiah
71
diketahui tingkat pengetahuan petani yang sangat rendah terhadap keamanan
tanaman PRG terutama terhadap lingkungan. Meskipun persyaratan tanaman PRG
sebelum dilepas harus memenuhi keamanan hayati yang meliputi keamanan
pangan, keamanan lingkungan dan/atau keamanan pakan, tetapi umumnya petani
hanya memahami bahwa tanaman PRG aman untuk dikonsumsi dan tidak
membahayakan kesehatan manusia.
Gambar 5. Persepsi petani terhadap keamanan Padi Bt PRG di wilayah
penelitian Jawa Barat
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa, persepsi petani terhadap
keamanan tanaman PRG hanya untuk kesehatan manusia, kebanyakan (hampir
melebihi 60%) menyatakan tidak tahu tentang prinsip keamanan yang harus
dipahami untuk tanaman PRG. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya akses
informasi yang dapat mereka peroleh terkait dengan tanaman PRG sebagai
pangan. Terdapat sekitar 30% responden dari wilayah Sukabumi yang
menyatakan tahu tentang tanaman PRG dan hanya lebih kurang 20% yang
mengetahui tanaman PRG dari wilayah Cianjur dan Subang (Gambar 5). Dari
hasil wawancara yang dilakukan dengan petani, meskipun mereka menjawab tahu
tentang tanaman PRG, itupun hanya sebatas pernah mendengar saja tanpa
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Keamanan Padi Bt PRG
Aman
Tidak aman
Tidak tahu
72
memahami maksudnya. Seiring dengan kebutuhan peningkatan produksi pangan
yang cukup mendesak, dikhawatirkan kelompok masyarakat seperti petani kurang
memperhatikan dampak tanaman PRG terhadap lingkungan, oleh karena itu
sangat diperlukan sosialisasi dan pemahaman yang intensif kepada petani,
terutama usaha pengelolaan tanaman Padi Bt PRG sebelum komersialisasi, agar
pemanfaatannya lebih optimal. Karena beberapa dampak jangka panjang tanaman
PRG terhadap lingkungan belum dapat diprediksi dan diketahui dengan pasti
(Tietenberg & Lewis 2010).
Sebagian besar petani menyatakan tidak tahu mengenai tanaman PRG jika
dilepas ke lingkungan apakah lebih menguntungkan atau merugikan, karena
ketidakmengertian mereka terhadap Padi Bt PRG yang dikembangkan. Tujuan
dilepasnya Padi Bt kepada petani, diharapkan dapat mengurangi penggunaan
insektisida yang mencemari lingkungan seperti udara, air dan tanah, sehingga Padi
Bt lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan Padi non-Bt (Tietenberg &
Lewis 2010).
Gambar 6. Persepsi petani terhadap dampak Padi Bt PRG terhadap
lingkungan di Propinsi Jawa Barat
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
de
n
Padi Bt PRG Ramah Lingkungan
Tahu
Tidak tahu
73
Gambar 7. Penerimaan petani terhadap keberadaan Padi Bt PRG di wilayah
Propinsi Jawa Barat.
Dari hasil survei kepada petani, hampir seluruh wilayah penelitian
menyatakan tidak tahu, dan hanya dari wilayah Subang (± 20%) yang mengetahui
jika Padi Bt seharusnya lebih ramah lingkungan (Gambar 6). Hasil yang diperoleh
menggambarkan kondisi dari tingkat pengetahuan petani terhadap tanaman PRG
sangat rendah sehingga mereka tidak mengetahui kelebihan dan keuntungan dari
pengembangan tanaman ini, terutama manfaatnya terhadap lingkungan.
Kesediaan petani untuk menanam Padi Bt PRG jika tersedia di pasaran
lebih dominan dibandingkan dengan kelompok yang tidak bersedia atau ragu-
ragu. Pada tiga lokasi penelitian, responden menyatakan kesediaan (60%-96%)
menanam Padi Bt PRG. Kecuali di wilayah Subang, hanya sekitar 38% responden
menyatakan bersedia menanam, 48% bersikap ragu-ragu dan 6% responden
menyatakan tidak bersedia menanam Padi Bt (Gambar 7).
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Kesediaan Menanam Padi Bt PRG
Bersedia
TidakBersedia
Ragu-ragu
74
Gambar 8. Tindakan petani dalam mengatasi serangan hama di wilayah
penelitian Propinsi Jawa Barat
Berdasarkan hasil survei terhadap cara petani dalam mengatasi serangan
hama pada lahan pertanaman padi yang mereka miliki rata-rata dengan
menggunakan insektisida (Gambar 8). Di wilayah Subang, hampir 67% petani
menggunakan insektisida jika tanamannya mendapat serangan hama, 14%
melakukan pengendalian biologis dan hanya 3% yang tertarik menanam tanaman
tahan hama. Pada wilayah karawang, 62% mengatasi serangan hama dengan
insektisida, 36% lebih tertarik menanam varietas yang tahan hama dan hanya
sekitar 2% saja yang tidak memberi perlakukan dengan obat-obatan. Pada wilayah
penelitian Cianjur, dapat dilihat tindakan petani dalam mengatasi hama melalui
tiga cara dengan persentase hampir merata yaitu menggunakan insektisida (44%),
menanam varietas tahan (31%) serta melakukan pengendalian biologis (25%).
Sedangkan di wilayah Sukabumi hampir sama dengan wilayah lainnya, lebih
menyukai insektisida dalam mengatasi serangan hama, tetapi masalah hama bukan
merupakan persoalan utama di wilayah tersebut, pada umumnya mereka lebih
tertarik pada tanaman padi yang mampu berproduksi tinggi.
Pada umumnya petani lebih menyukai produk tanaman unggul yang
menjanjikan peningkatan produksi atau tanaman padi yang dapat mengurangi
pengeluaran dalam pengolahan tanaman di lapangan, seperti biaya tenaga kerja,
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Tindakan menghindari hama
Menggunakaninsektisida
Menggunakan varietastahan hama
Pengendalian biologis
Tanpa Obat
75
pemupukan dan pembelian insektisida. Terjadinya penurunan biaya jika menanam
Padi Bt seperti yang dijelaskan pada analisis anggaran parsial ternyata dapat
memberikan dampak terhadap pemanfaatan Padi Bt di masa depan.
Gambar 9. Kriteria petani dalam memilih Padi Bt PRG di propinsi Jawa
Barat
Dilihat dari pilihan petani terhadap kriteria tanaman Padi Bt yang mereka
harapkan, terlihat bahwa jawaban yang diberikan sangat bervariasi (Gambar 9),
kecuali kelompok petani dari wilayah Sukabumi, yang sepakat menyatakan harga
benih merupakan pilihan paling utama. Pada wilayah penelitian lainnya seperti
Karawang, tidak mempermasalahkan harga benih Padi Bt jika sudah tersedia di
tingkat petani nantinya, bahkan sekitar 51% dari responden lebih peduli terhadap
isu keamanan dan risiko Padi Bt. Hal ini diduga berhubungan dengan tingkat
pendidikan responden yang hampir 40% memiliki pendidikan setara SMU dan
Perguruan Tinggi dengan penghasilan rata-rata antara 1-5 juta rupiah per bulan,
sehingga mereka diperkirakan lebih memiliki akses terhadap nformasi-informasi
baru. Di wilayah penelitian Subang, hanya 27% dari responden yang peduli
terhadap isu keamanan dan risiko tanaman PRG, dan terdapat hanya 3% yang
lebih memperhatikan aspek harga benih padi. Meskipun ditampilkan kriteria
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Kriteria memilih Padi Bt PRG
Harga benih
Jenis (varietas padi)
Kandungan Gizi
Keunggulan sifat
Isu resiko dankeamanan
76
kandungan gizi yang tidak berkaitan langsung dengan sifat yang diintroduksi,
tetapi dapat menggambarkan pandangan dan harapan petani terhadap Padi Bt
seperti hasil yang diperoleh untuk wilayah penelitian Subang dan Cianjur, dimana
hampir 30% petani lebih memperhatikan aspek kandungan gizi, hanya sekitar
29% petani dari wilayah Cianjur yang lebih memilih harga benih sebagai kriteria
kedua yang diutamakan.
Gambar 10. Kesediaan petani untuk membeli benih Padi Bt PRG di
wilayah Propinsi Jawa Barat
Kriteria selanjutnya dalam mengetahui penerimaan petani terhadap Padi Bt
PRG adalah kesediaan mereka untuk membeli benih Padi Bt PRG jika nanti
produk sudah tersedia di tingkat petani. Dari data yang tersaji pada Gambar 10,
masih banyak petani yang membeikan jawaban tidak tahu terhadap harga yang
mau mereka bayarkan jika Padi Bt sudah tersedia di pasaran. Diduga hal ini
terjadi karena mereka tidak memahami atau belum mengerti dengan sifat-sifat
tanaman PRG. Contohnya petani dari wilayah Karawang menjawab 100% tidak
tahu, demikian juga dengan wilayah Sukabumi, hampir 79% menjawab tidak tahu
dan hanya 7% yang menjawab mau membeli benih tanaman Padi Bt dengan harga
benih lebih murah dibandingkan dengan harga benih padi hibrida. Petani dari
wilayah Subang memberikan hasil jawaban sama, yaitu harga benih lebih murah
dibanding padi hibrida serta menjawab tidak tahu sebesar 38%, dan hanya 4%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Cianjur Karawang Subang Sukabumi
Pe
rse
nta
se R
esp
on
den
Kesediaan Membeli Padi Bt PRG
Harga sama denganbenih hibrida
Lebih mahal dibandingdengan hibrida
lebih murah dibandingdengan hibrida
Tidak tahu
77
yang menjawab harga sama dengan benih padi hibrida. Petani di wilayah Cianjur
menjawab lebih murah dari harga benih hibrida (76%) responden dan hanya 6%
yang menjawab mau membeli dengan harga lebih mahal, atau sama dengan benih
padi hibrida. Disamping keutamaan sifat yang diintroduksi, persoalan harga jual
dan pengelolaan risiko perlu mendapat perhatian dalam komersialisasi tanaman
PRG (Sharma et al. 2002). Karena biaya dalam memproduksi Padi Bt PRG cukup
tinggi, maka harga yang lebih mahal bila dibandingkan dengan harga benih
konvensional masih dapat diterima, asal benih padi tersebut dapat menjanjikan
peningkatan produksi yang lebih baik dibandingkan dengan benih padi sejenis
yang non PRG.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan analisis anggaran parsial terhadap Padi Bt PRG dengan
pengurangan penggunaan insektisida 10% sampai dengan 50%, usahatani
Padi Bt PRG tergolong layak untuk dilanjutkan.
2. Hasil analisis anggaran parsial (partial budget analysis) dengan asumsi harga
benih tanam (benih pokok) Padi Bt PRG sama dengan Padi non-PRG yakni
Rp 20.000, diperoleh nilai investasi (B/C ratio) 1,02 untuk aplikasi insektisida
10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida 50%. Jika harga benih pokok Padi Bt
PRG lebih tinggi 50% yakni sebesar Rp 30.000, diperoleh nilai investasi (B/C
ratio) 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50 untuk aplikasi insektisida
50%. Angka ini terkategori usahatani dapat dilanjutkan untuk komersialisasi.
3. Berdasarkan karakteristik responden petani, diperoleh kisaran usia terbanyak
antara 41-58 tahun dengan tingkat pendidikan SD-SMP, memiliki penghasilan
rata-rata setiap bulan kurang atau sama dengan satu juta rupiah. Sedangkan
wilayah penelitian Karawang sebagian besar telah memiliki penghasilan diatas
satu juta sampai lima juta rupiah.
78
4. Persepsi petani terhadap keamanan tanaman PRG sebagian besar ( ≥ 60%
responden) menyatakan tidak tahu, hanya 20%-35% responden yang
menyatakan bahwa tanaman PRG tersebut aman dikonsumsi.
5. Pengetahuan petani terhadap tanaman Padi Bt PRG lebih ramah lingkungan
masih sangat rendah, dimana lebih dari 65% petani menyatakan ketidaktahuan
mereka tentang Padi Bt, dan hanya sekitar 20% petani dari wilayah Subang
yang mengetahui padi Bt PRG lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman
Padi non-PRG
6. Penerimaan petani terhadap rencana pelepasan Padi Bt PRG sangat baik dan
mereka sebagian besar menyatakan bersedia menanam Padi Bt PRG jika
produk sudah tersedia di pasaran, hanya wilayah Subang yang menyatakan
kesediaan menanam Padi Bt PRG jauh lebih sedikit yaitu sekitar 35%
responden.
Saran
1. Persepsi petani terhadap Padi Bt PRG tidak dapat dijadikan acuan dalam
mengambil kebijakan, karena tujuan petani menggunakan tanaman PRG lebih
kepada keuntungan secara ekonomi, dibandingkan manfaat terhadap
lingkungan, sehingga keutamaan tanaman Padi Bt yang lebih ramah
lingkungan kurang diketahui.
3. Upaya meningkatkan pengetahuan petani terhadap Padi Bt PRG melalui
kegiatan sosialisasi yang berkelanjutan, sangat diperlukan sebelum tanaman
dilepas atau dikomersialisasikan.
4. Ketersediaan informasi yang murah dan mudah diakses masyarakat mengenai
Padi Bt PRG perlu difasilitasi oleh pemerintah dan sosialisasi terhadap
komunikasi risiko tanaman PRG harus dilakukan secara berkelanjutan agar
pemanfaatan Padi Bt PRG dapat tercapai.
79
ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN TANAMAN
PADI PRODUK REKAYASA GENETIK DI INDONESIA
Sustainable Analysis of Genetically Engineered Rice Management in Indonesia
Deswina P1, Syarief R
2, Rachman LM
3, Herman M
4
1) Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Institut Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2)
Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)
Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor, 4)
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Kementerian Pertanian
Abstrak
Pengelolaan produk rekayasa genetik (PRG) di Indonesia melibatkan
beberapa lembaga pemerintah sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.
Koordinasi diantara lembaga pemerintah tersebut sangat menentukan dalam
keberlanjutan pengelolaan PRG. Selain persyaratan keamanan hayati,
pertimbangan sosial ekonomi yang berdampak langsung terhadap masyarakat
perlu mendapat perhatian, sesuai dengan amanat Protokol Cartagena pasal 26.
Pengembangan tanaman PRG hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri
umumnya masih berada di tahap penelitian, baik laboratorium, Fasilitas Uji
Terbatas atau di Lapangan Uji Terbatas. Sedangkan tanaman PRG yang berasal
dari luar Indonesia telah banyak yang masuk dan memperoleh izin pelepasan dan
komersialisasi di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan
kajian kebijakan pengelolaan PRG yang berorientasi keterpaduan dan
keberlanjutan. Hasil kajian ini dapat menjadi rekomendasi dan bahan
pertimbangan dalam membuat formulasi kebijakan pengelolaan PRG
berkelanjutan, khususnya tanaman Padi Bt. Penelitian ini juga bertujuan
untukmengetahui status keberlanjutan pengelolaan PRG ditinjau dari dimensi
ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan kelembagaan. Analisis data yang
digunakan adalah metode Multidimensional Scaling (MDS) dimana hasilnya
dinyatakan dalam bentuk indeks berkelanjutan. Berdasarkan hasil kajian diperoleh
nilai dimensi lingkungan 73,02%, dimensi ekonomi 69,30%, dimensi sosial
51,22%, dan dimensi hukum kelembagaan 54,74%, semua tergolong pada kriteria
cukup berkelanjutan. Kecuali untuk dimensi teknologi 46,71% termasuk kurang
berkelanjutan. Dari hasil analisis atribut-atribut utama yang tergolong faktor
pengungkit (leverage factor) disetiap dimensi, maka perlu dilakukan perbaikan
dan perubahan, agar diperoleh peningkatan dari nilai indeks keberlanjutan.
Kata kunci: Padi Bt PRG, analisis keberlanjutan, MDS, faktor pengungkit.
80
Abstract
Management of Genetically Engineered Product (GEP) in Indonesia
involved some government institutions that were accordance with the functions
and roles in both GEP’s variety and aim that would be released and
commercialized. The coordinations among the government agencies were so
important for the sustainability of GEP management. Cartagena protocol
mandated the need of risk assessment to each GEP before being released. As the
result of new technology, GEP had to meet the biosafety requirements inculded
the safety of food, environmental and / or feed. Beside of the biological safety,
socio-economic considerations and impacts to the societies had to be noticed too.
Because of that, it was required the policy strategy as the part of risk analysis in
the usage management of GEP plant. The studies held on the dimensions of
environment, economic, social, technology and institutional law. Data analysis
used was the method of Multidimensional Scaling (MDS) and the results were
expressed in index form of sustainable management of GEP. Results of studies,
with score 58,99% showed that multidimensional assessment considered as
sustainable criteria. There was also sustainable value for environmental
dimensions in 73.02% while the technology dimensions was on less sustainable
value (46.71%). Although for social, economic and institutional law dimensions
were quite sustainable, but tended to be less sustainable, so it was necessary to
repair the main attributes of each dimensions. Retrieved fifteen leverage factors
that might affect the increasing the sustainability index of all the five dimensions.
Keywords: Genetically Engineered Product (GEP), biosafety, sustainability,
MDS, leverage factor, Rap GEP
PENDAHULUAN
Kegiatan pembangunan di bidang pertanian mengacu kepada
pembangunan pertanian berkelanjutan, dengan memperhatikan aspek sarana dan
prasarana melalui pendanaan dan inovasi teknologi. Kondisi ini sangat diperlukan
agar kebijakan pembangunan pertanian lebih mengedepankan kepentingan sosial
dan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan berkaitan dengan
pembangunan ekonomi, sosial, lingkungan serta melibatkan teknologi dan hukum
kelembagaan (Kementan 2013). Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini
menyebabkan terjadinya pemanasan global yang menimbulkan dampak
penurunan produksi pertanian.
81
Sebagai komoditas pertanian utama di Indonesia, tanaman padi perlu
peningkatan kualitas dan kuantitas, melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan berkualitas. Teknologi
pemuliaan tanaman konvensional yang selama ini digunakan tidak lagi efisien
dalam mengatasi permasalahan tanaman, karena sifat-sifat atau sumber gen yang
tersedia sangat terbatas, perlu waktu lebih lama untuk memperoleh jenis baru
(Khan & Liu 2009). Metode konvensional, tidak dapat lagi dipertahankan kerena
beberapa keterbatasan tadi, terutama dalam mengatasi tekanan lingkungan yang
semakin komplek (Manshardt 2004).
Sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit, merupakan salah satu sifat
yang tidak dimiliki setiap tanaman, sehingga diperlukan inovasi teknologi yang
mampu memanfaatkan sumber gen yang berasal dari individu lain baik yang
sejenis atau berbeda jenis. Salah satu teknik yang digunakan adalah teknologi
rekayasa genetik yang dapat memanfaatkan spesies yang berbeda sama sekali.
Teknologi ini telah dipakai untuk perbaikan sifat/karakter tanaman, yang meliputi
ketahanan terhadap cekaman biotik seperti sifat ketahanan terhadap hama dan
penyakit. Demikian juga dengan sifat toleransi terhadap kondisi lingkungan
tertentu (Shah et al. 2011). Di Indonesia, kegiatan pengembangan bioteknologi
modern dimulai sejak tahun 1990 di beberapa pusat penelitian milik pemerintah
dan swasta, dengan perbaikan sifat-sifat tanaman sesuai dengan kebutuhan di
lapangan, seperti sifat toleran kekeringan, kadar garam tinggi atau sifat ketahanan
terhadap hama dan penyakit. Sifat ketahanan terhadap hama merupakan sifat
utama yang banyak digunakan pada tanaman pertanian (Prasetya & Deswina
2009).
Kendala utama tanaman pertanian di negara beriklim tropis dan lembab
seperti Indonesia adalah serangan organisme pengganggu seperti hama dan
penyakit. Khusus tanaman padi, serangan hama masih menjadi masalah serius di
lapangan, misalnya hama wereng coklat dan penggerek batang. Kerugian yang
diakibatkan oleh kedua serangga hama ini menyebabkan penurunan produksi padi
5 – 10% dari total produksi padi di Asia. Serangan hama penggerek batang sendiri
bisa menyebabkan kerugian sampai 20% (Ho et al. 2001). Usaha pengendalian
yang selama ini dilakukan dengan penyemprotan insektisida kurang efektif
82
terutama terhadap hama penggerek batang, karena serangga ini hidup dan
berkembang di dalam batang tanaman padi, sehingga waktu kontak dengan
insektisida sangat terbatas (Amuwitagama 2002).
Melalui teknologi rekayasa genetik, dapat diperoleh tanaman tahan
serangan hama dengan melakukan introduksi gen Cry dari bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt) (Gatehouse 2008; Lemaux 2009). Padi Bt adalah tanaman yang
telah diintroduksi dengan gen Cry yang berupa protein Bt, efektif mengendalikan
serangga hama dari jenis Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera (Bravo et al. 2011).
Sifat toksin dari protein Bt, sangat spesifik (highly selective spectrum), yang
hanya bekerja pada jenis serangga tertentu dengan range yang sangat sempit
(narrow range) (Bravo et al. 2011). Oleh karena itu tanaman Padi Bt
dikembangkan dengan tujuan mengurangi aplikasi insektisida. Penelitian Padi Bt
telah dilakukan oleh banyak negara, di Asia seperti China dan Iran telah diperoleh
izin keamanan lingkungan untuk padi produksi rekayasa genetik, bahkan Iran
telah mengkomersialisasikan Padi Bt sejak tahun 2004 (Herman 2009).
Penerapan teknologi rekayasa genetik pada tanaman, harus memperhatikan
aspek keamanan lingkungan dan kesehatan manusia (Sharma et al. 2002). Untuk
pengujian keamanan lingkungan tanaman PRG mengandung Bt, difokuskan pada
pengaruh toksisitas Bt terhadap organisme non-target, dampak ekologis yang
disebabkan oleh transfer gen dan kerabat liarnya, serta interaksi dan pengaruh
tanaman PRG terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem (Pauwels et
al. 2010).
Dengan dihasilkannya beberapa tanaman PRG telah menimbulkan
beberapa tanggapan dari masyarakat baik positif maupun negatif terutama isu
keamanan lingkungan. Pro dan kontra terus berlangsung meskipun telah dilakukan
pengujian-pengujian berdasarkan metode ilmiah yang benar (Lu & Sweet 2010).
Pengujian keamanan hayati yang menjadi persyaratan dalam Protokol Cartagena
tentang Keamanan Hayati PRG, juga terdapat faktor ekonomi sosial yang harus
diperhatikan, karena terkait langsung dengan kehidupan masyarakat (Garcia-
Alonso et al. 2006). Meskipun masih diperdebatkan, tetapi dari laporan statistik
terhadap luas areal tanaman PRG di dunia, telah mencapai 170 juta ha pada tahun
83
2012, berarti meningkat hampir seratus kali lipat dibandingkan dengan tahun 1996
yang hanya 1.7 juta ha (James 2013).
Peran teknologi dalam pembangunan pertanian berkelanjutan merupakan
faktor penunjang yang cukup penting, oleh karena itu program berkelanjutan
dalam pengelolaan PRG, harus melalui kebijakan, perencanaan dan proses
pembelajaran dari kondisi sosial yang terjadi (Soemarwoto 2006). Ketahanan
pangan nasional yang sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (ekologi,
sosial dan ekonomi) menjadi tantangan generasi masa sekarang dalam
meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kesempatan generasi masa
depan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan mereka (Rogers et al. 2007).
Tujuan penelitian adalah memformulasikan kebijakan pengelolaan terpadu produk
hasil rekayasa genetik terutama tanaman PRG yang berkelanjutan berdasarkan
dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan, serta mengetahui
faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kebijakan
pengelolaan PRG.
METODE PENELITIAN
a. Teknik Penentuan Responden
Penentuan responden untuk penelitian dilakukan melalui wawancara
mendalam (indepth interview) dan kuisioner terstruktur kepada pakar-pakar
terkait, yang memiliki kompetensi di bidang teknologi rekombinan DNA dan
keamanan hayati PRG. Jumlah pakar terkait berasal dari institusi dan profesi yang
berbeda, yaitu pengembang teknologi/peneliti (6 orang), Perguruan Tinggi (2
orang) dan pihak swasta (2 orang) (Lampiran 8). Penentuan responden untuk
survei pakar dilakukan dengan teknik secara sengaja (purposive sampling).
Responden yang dipilih memiliki kepakaran terhadap bidang yang dikaji dengan
kriteria sebagai berikut.
1. Memiliki pengalaman yang relevan dan kompeten dengan bidang kajian;
2. Memiliki profesi yang relevan dengan bidang yang dikaji;
3. Memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi dan memahami bidang
yang dikaji.
84
Lokasi responden pakar berada di wilayah Propinsi Jawa Barat dan Jawa
Timur. Waktu penelitian berlangsung dari bulan November 2011 – April 2012.
b. Analisis Data
Analisis data keberlanjutan terhadap kebijakan pengelolaan PRG,
menggunakan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan
software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlements) yang merupakan
penyesuaian dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) yang dikembangkan
oleh Pitcher & Preikshot (2001). Pendekatan ini lebih didasarkan pada prinsip
Multi Criteria Analysis (MCA) dengan mengandalkan algoritma yang disebut
sebagai algoritma MDS. Teknik aplikasi RapPRG adalah metode multi disiplin
yang digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan
berdasarkan jumlah atribut yang banyak akan tetapi mudah dinilai. Ordinasi
Rapsettlement dapat mengakomodasi dimensi lebih dari tiga yaitu dimensi
ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum kelembagaan dengan atribut yang
relatif lebih banyak.
Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu:
1. Penentuan atribut keberlanjutan pemanfaatan padi Bt PRG mencakup lima
dimensi yaitu: dimensi ekologi, ekonomi, sosial masyarakat, teknologi dan
hukum kelembagaan.
2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan
setiap dimensi. Masing-masing atribut dari setiap dimensi dilakukan
penilaian berdasarkan scientific judgment oleh responden pakar berdasarkan
persyaratan yang telah ditentukan. Pemberian skor ordinal pada penelitian ini
dengan rentang 0-2 sesuai dengan karakter atribut yang menggambarkan
strata penilaian dari terendah (0) sampai yang tertinggi (2). Skor 0 adalah
buruk (bad) dan skor 2 adalah baik (good). Penilaian atribut dilakukan
dengan membandingkan kondisi atribut dengan memberikan penilaian buruk
(0), sedang (1), baik (2).
3. Menghitung indeks dan menganalisis status keberlanjutan. Hasil skor dari
setiap atribut dianalisis dengan multi dimensional untuk menentukan suatu
85
titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pemanfaatan padi Bt PRG di
Indonesia. Titik tersebut merupakan posisi relatif keberlanjutan yang dikaji
terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor
definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik
yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem yang dikaji relatif terhadap
titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi statistik MDS. Skor perkiraan
setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% sampai yang
terbaik (good) 100%.
Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kategori status keberlanjutan pemanfatan padi Bt PRG
Nilai Indeks Kategori Keterangan
0,00 - 25,00
25,01 - 50,00
50,01 - 75,00
75,01 - 100,00
Buruk tidak berkelanjutan
Kurang kurang berkelanjutan
Cukup cukup berkelanjutan
Baik sangat berkelanjutan
Sumber: Fauzi dan Anna (2005)
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses
rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai
indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) hingga 100% (baik). Ilustrasi
hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan terlihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Ilustrasi nilai indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi
Keluaran (output) dari analisis RAP/MDS adalah indeks keberlanjutan dari
0 sampai 100 yang bisa ditampilkan dalam bentuk leveraging (faktor yang relatif
sensitif terhadap indeks keberlanjutan), dan diagram layang (kite diagram).
Simetris diagram layang-layang ditentukan oleh indeks masing-masing dimensi.
Dimensi utama terdiri dari ekologi, ekonomi, dan sosial. Disamping itu nilai
Buruk Baik
0 50 100 25 75
86
indeks dari masing-masing dimensi dapat dimunculkan pada diagram tersebut.
Diagram layang-layang keberlanjutan disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi
Analisis sensitivitas digunakan untuk melihat atribut yang paling sensitif
memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan dengan melihat bentuk
perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar
perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut. Dari analisis-
analisis yang dilakukan akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh
berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman
terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian, variasi skor akibat perbedaan opini
atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan
pemasukan data atau terdapat data yang hilang, dan tingginya nilai stress (nilai
stress dapat diterima jika nilai < 25%) (Pitcher & Preikshot 2001). Sehingga
dalam mengevaluasi pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi akan
digunakan analisis Monte Carlo.
Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang
dihitung berdasarkan nilai S di atas dan R2. Nilai stress yang rendah menunjukkan
good fit, Nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Dalam pendekatan Rap-
Fish, model yang baik ditunjukkan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25
00,20,40,60,8
1Lingkungan
Ekonomi
SosialTeknologi
HukumKelembagaan
87
atau S < 0,25 (Fauzi dan Anna 2005). Nilai R2 yang baik adalah yang nilainya
mendekati 1.
Secara keseluruhan maka tahapan dalam analisis keberlanjutan
menggunakan MDS dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Start
Identifikasi dan
Pendefenisian Atribut
(didasarkan pada
kriteria yang konsisten)
Gambaran Umum
Skoring (mengkonstruksi
reference point untuk good
dan bad serta anchor)
Multidimensional
Scaling Ordination
(untuk setiap atribut)
Simulasi Montecarlo
(Analisis Ketidakpastian)
Analisis Leverage
(Analisis Anomali)
Analisis Keberlanjutan
(Asses Sustainability)
Gambar 3. Elemen proses aplikasi Rap-PRG dengan pendekatan MDS
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Status keberlanjutan Padi Bt PRG
Analisis keberlanjutan tanaman Padi Bt PRG yang dibuat berdasarkan
hasil kuisioner dari responden pakar terpilih (expert justification), dianalisis dan
diverifikasi. Kajian keberlanjutan ini dilihat melalui manfaat ekologis, ekonomi,
sosial, teknologi dan kelembagaan. Manfaat yang diperoleh sangat ditentukan
oleh interaksi antar lima faktor yang ditetapkan sebelumnya berdasarkan tujuan
88
pelepasan PRG. Uraian dari hasil analisis setiap dimensi yang dikaji sebagai
berikut:
1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Atribut atau faktor-faktor yang diperkirakan memberikan pengaruh
terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri atas tujuh atribut,
yaitu : 1) Keamanan PRG terhadap kesehatan manusia, 2) Perbaikan kualitas
lingkungan, 3) Kemungkinan perpindahan material genetik dari Padi PRG ke Padi
non PRG, 4) Potensi Padi Bt PRG menjadi gulma, 5) Dampaknya terhadap
organisme perairan, 6) Pengaruhnya terhadap ekosistem, 7) Pengaruhnya terhadap
organisme non target dan keanekaragaman hayati potensial. Berdasarkan hasil
analisis Rap-PRG terhadap tujuh atribut diperoleh nilai indeks keberlanjutan dari
dimensi ekologi sebesar 73.018% (terletak antara 50.01–75.00%) berarti cukup
berkelanjutan. Nilai indeks berkelanjutan yang menunjukkan angka diatas 50%
menunjukkan bahwa pengelolaan lingkungan tanaman Padi Bt PRG masih
termasuk berkelanjutan dan belum memberikan pengaruh negatif terhadap
lingkungan dan keanekaragaman hayati. Kerusakan dan pencemaran lingkungan
akibat penanaman Padi Bt PRG yang dikembangkan untuk tahan hama penggerek
batang bertujuan mengurangi penggunaan bahan kimia seperti pestisida yang
dapat mengganggu kesehatan dan mencemari lingkungan (Chen et al. 2010). Oleh
karena itu indeks keberlanjutan diatas 50% menunjukkan dukungan terhadap
pengelolaan lingkungan berkelanjutan.
Penggunaan insektisida Bt sebagai biopestisida telah dimanfaatkan di
banyak negara sejak puluhan tahun yang lalu. Aktivitas toksin yang dihasilkan
oleh protein Cry dari sejenis bakteri gram positif (Bacillus thuringiensis) efektif
mengendalikan serangga hama dari jenis Lepidoptera, Diptera dan Coleoptera
(Cohen et al. 2008; Chen et al. 2006; Bravo et al. 2011). Sebelumnya protein Bt
diaplikasikan langsung kepada tanaman dan diketahui sejak tahun 1995 telah
terdaftar 182 produk insektisida Bt di United States Environmental Protection
Agency, akan tetapi petani tidak banyak menggunakannya sebagai insektisida
alami disebabkan ketidakstabilan dari sifat toksisitas Bt tersebut di lapangan
(Chen et al. 2010). Akhirnya peneliti berusaha melakukan introduksi protein Bt
dari Bacillus thuringiensis kepada tanaman pertanian, agar diperoleh tanaman
89
yang tahan terhadap hama. Tujuannya adalah mengurangi aplikasi insektisida dan
menjadikan kualitas lingkungan lebih baik. Karena sifat toksin dari protein Cry
(Bt), yang sangat spesifik (highly selective spectrum), maka toksin ini hanya
bekerja pada jenis serangga tertentu dengan kisaran yang sangat sempit (narrow
range) (Bravo et al. 2011).
Beberapa kriteria keamanan lingkungan digunakan sebagai atribut dalam
analisis keberlanjutan Padi Bt PRG, agar diketahui kemungkinan terjadinya
dampak yang merugikan terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan.
Atribut yang digunakan dibuat berdasarkan indikator ilmiah berdasarkan prinsip
keamanan lingkungan (Nelson et al. 2004) dalam Hilbeck & Andow 2004).
Kemampuan ekologis di suatu lokasi akan berkurang karena adanya kegiatan
pengolahan tanah dan penanaman, akan tetapi dapat menjadi lebih baik jika
faktor-faktor yang mengurangi potensi tersebut dapat di kelola sesuai dengan
prinsip pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan
dimensi ekologi disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan PRG
Analisis sensitivitas pada dimensi ekologi dengan metode analisis leverage
pada RAP-PRG (Gambar 5) memperlihatkan bahwa atribut terjadinya
perpindahan (crossing) material genetik dari Padi Bt PRG ke tanaman Padi non
90
PRG merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap atribut-atribut lainnya
dengan nilai root mean square change (RMS) lebih dari 10% (10.21%).
Pertimbangan terjadinya transfer material genetik dari tanaman PRG kepada
tanaman non-PRG menjadi perhatian khusus pakar dalam keamanan lingkungan,
meskipun secara konvensional persilangan dapat terjadi pada kondisi alami
dengan beberapa persyaratan seperti kompatibalitas diantara tanaman yang
berdekatan, dan juga viabilitas dari serbuk sari yang pindah (Harst et al. 2009).
Gambar 5. Hasil analisis leverage dimensi ekologi pengelolaan PRG
Demikian juga dengan pengaruh Padi Bt PRG terhadap lingkungan
terutama organisme perairan dan serangga non target potensial (RMS= 4.45). Dari
hasil penelitian LUT yang pernah dilakukan oleh Puslit Bioteknologi LIPI
terhadap serangga non target, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan populasi
serangga non target dan musuh alami di lahan penanaman Padi Bt PRG dengan
lahan Padi non PRG di wilayah penelitian Kabupaten Subang (Deswina et al.
2009) dan Kabupaten Karawang (Mulyaningsih et al. 2010). Faktor pengungkit
selanjutnya adalah potensi tanaman PRG menjadi gulma (RMS=3.65).
Kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap munculnya kemungkinan tanaman
91
PRG menjadi gulma (weediness) atau menguasai/menginvasi suatu areal pertanian
(invasiveness) merupakan isu yang cukup penting. Isu ini menjadi semakin
menarik dengan dikembangkannya tanaman yang toleran terhadap tekanan abiotik
(abiotic stress tolerance), karena kemampuan bertahan hidup dari tanaman PRG
tersebut menjadi semakin baik terhadap tekanan lingkungan. Pada kenyataannya
tanaman yang diintroduksi dengan sifat baru tidak boleh memiliki perbedaan
dengan tanaman asal sejenis. Apabila tanaman asal, sebelum diintroduksi dengan
sifat tertentu tidak memiliki sifat weediness dan invasiveness, maka tanaman PRG
juga akan memiliki sifat yang sama dan setara. Kesamaan sifat ini dapat
dibuktikan dengan pola pertumbuhan seperti lamanya dormansi benih dan sifat-
sifat agronomis lainnya. (Raybould 2011).
Faktor pengungkit selanjutnya yang dapat mempengaruhi indeks
keberlanjutan adalah keamanan PRG terhadap kesehatan manusia (RMS=3.50).
Pengaruh terhadap kesehatan manusia merupakan pertimbangan utama yang harus
diperhatikan, karena merupakan persyaratan utama dalam keamanan pangan PRG,
dan sangat sensitif terhadap perubahan indeks keberlanjutan PRG.
2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
Keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG ditinjau dari dimensi ekonomi
menggunakan studi ex ante dengan menyusun tujuh atribut utama yaitu: 1)
Kesejahteraan petani, 2) Jumlah tenaga kerja, 3) Tingkat ketergantungan petani,
4) Harga jual benih PRG, 5) Peningkatan pendapatan petani, 6) Berkurangnya
biaya dalam produksi karena berkurangnya biaya saprotan, 7) Stabilitas produksi.
Kajian terhadap keberlanjutan dimensi ekonomi perlu diperhatikan sebagai bahan
untuk membuat kebijakan pengelolaan, karena langsung berhubungan dengan
masyarakat. Nilai skor yang ditetapkan untuk setiap atribut berdasarkan pada
survei terhadap kondisi di lapangan dan wawancara langsung. Berdasarkan hasil
analisis Rap-PRG diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan dari dimensi
ekonomi sebesar 69.29% berarti cukup berkelanjutan karena terletak diantara
50.01-75.00%. Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi disajikan pada
Gambar 6.
92
Gambar 6. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan PRG
Berdasarkan nilai indeks keberlanjutan ini berarti bahwa secara ekonomi,
pengelolaan dan pemanfaatan Padi Bt PRG masih tergolong berkelanjutan,
meskipun terdapat biaya pengembangan teknologi yang cukup tinggi. Diharapkan
manfaatnya lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
investasi teknologi.
Dari hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 7, diperoleh lima
atribut yang sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu: 1)
Tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG (RMS=9.49), 2) Harga beli
benih PRG yang terjangkau (RMS = 6.45), 3) Peningkatan pendapatan petani
(RMS = 5.13), Stabilitas produksi (RMS=4.25) dan berkurangnya biaya produksi
(4.00).
Tingkat ketergantungan petani terhadap benih PRG memperoleh nilai
leverage yang paling tinggi diantara atribut lainnya. Dalam hal ini adalah
ketergantungan petani terhadap Padi Bt hibrida, jika Padi Bt ini telah memperoleh
status keamanan hayati, akan disilangkan kembali dengan tanaman padi hibrida
yang dapat berproduksi tinggi. Benih padi hibrida hanya dapat mempertahankan
keunggulannya pada generasi kesatu, selanjutnya harus membeli benih dengan
kualitas yang sama dengan benih asal. Kekhawatiran akan terjadinya
93
ketergantungan terhadap benih Padi Bt hibrida menjadi pertimbangan utama,
seperti halnya benih tanaman hibrida yang tidak dapat diperbanyak atau ditangkar
oleh petani secara mandiri. Sebaliknya untuk benih PRG, dapat diperbanyak
dengan kualitas yang sama dengan benih induk, karena kestabilan sifat yang
diintroduksi pada tanaman PRG menjadi persyaratan sebelum tanaman dilepas
atau dikomersialisasikan (Herman 2009). Kurangnya tingkat pengetahuan di
kalangan petani menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan benih
tanaman PRG.
Biaya pengembangan teknologi tanaman PRG sangat besar, sehingga
diperlukan pengaturan dan pengakuan terhadap kepemilikan teknologi tersebut.
Berbeda dengan benih hibrida, kestabilan sifat yang diintroduksi pada tanaman
PRG, merupakan keharusan dan dapat dibuktikan berdasarkan pengujian
laboratorium. Pada pengkajian risiko tanaman PRG harus dapat dibuktikan bahwa
gen yang diintroduksi kepada tanaman telah memenuhi persyaratan keamanan
hayati berdasarkan peraturan di negara tempat tanaman PRG akan dilepas dan
dikomersialisasikan (Newell & Mackenzie 2000). Dalam penetapan harga jual
benih PRG, akan lebih tinggi dibandingkan dengan harga benih tanaman
konvensional. Oleh karena itu faktor harga yang terjangkau menjadi atribut
pengungkit yang sensitif dalam kajian dimensi ekonomi. Diperlukan intervensi
seperti pemahaman yang baik kepada petani sehingga diperoleh manfaat dari
penggunaan benih tanaman PRG ini. Berdasarkan hasil survei di lapangan,
kebanyakan petani tidak keberatan dengan harga yang lebih mahal, tetapi dengan
jaminan produksi lebih baik dibandingkan dengan produk konvensional. Petani
lebih mengutamakan keuntungan secara ekonomi bila dibandingkan dengan biaya
pengelolaan. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pengembang teknologi, agar
tanaman PRG yang dikembangkan benar-benar mencapai sasaran, sehingga biaya
pengelolaan dapat ditekan sesuai dengan sifat tanaman yang diintroduksi,
sehingga manfaat dapat lebih optimal. Jika produksi meningkat, akan terjadi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Jika kondisi ini tidak tercapai, maka
pengembangan teknologi untuk tanaman PRG akan mengalami hambatan.
Faktor pengungkit selanjutnya adalah peningkatan pendapatan petani
dengan menggunakan benih PRG yang memperoleh nilai 51,3%. Masih
94
diharapkan perubahan kearah yang lebih baik agar pendapatan petani menjadi
lebih baik dari yang mereka terima saat ini. Karena itu intervensi terhadap factor
ini akan meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Demikian juga kestabilan
produksi dengan menggunakan tanaman PRG menjadi faktor pengungkit
berikutnya yang harus diperhatikan. Karena kestabilan sifat yang diintroduksi
pada tanaman PRG, diharapkan terjadi kenaikan produktifitas tanaman PRG.
Berkurangnya biaya yang dikeluarkan untuk saprotan, karena
memanfaatkan tanaman PRG tahan serangan hama menjadi faktor sensitif yang
juga harus diintervensi. Atribut ini menjadi indikator terhadap pemahaman
manfaat tanaman Padi Bt PRG di lapangan, yang dapat mengurangi penggunaan
insektisida jika terdapat serangan hama penggerek batang. Seperti kasus pada
tanaman jagung Bt yang dikembangkan untuk ketahanan hama Busseola fusca,
hanya efektif dan memberikan keuntungan besar jika ditanam pada areal dengan
kelembaban sedang (Groote et al. 2011).
Gambar 7. Hasil analisis leverage dimensi ekonomi pengelolaan PRG
Pada kasus tanaman Padi Bt PRG, belum dapat diketahui produksi
maksimal di lapangan untuk skala usaha tani, karena produk belum memperoleh
95
sertifikat keamanan lingkungan, tetapi dapat dibuat asumsi produksi sama dengan
Padi non-PRG. Dari hasil analisis finansial, usahatani Padi Bt terkategori layak
untuk dilanjutkan, tetapi belum diketahui jumlah keuntungan secara ekonomi
yang akan diperoleh. Untuk meningkatkan produksi tanaman Padi Bt PRG, dapat
dilakukan skenario dengan menyilangkan tanaman Padi Bt PRG dengan jenis padi
unggul yang berumur pendek dan produksi tinggi, sehingga diharapkan hasilnya
lebih baik dan diminati petani. Berkurangnya penggunaan insektisida dalam
mengatasi serangan hama, akan menghemat pengeluaran petani untuk biaya
produksi, yang akhirnya memberikan dampak positif dalam peningkatan
pendapatan petani sebagai atribut kunci pada dimensi ekonomi.
3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial
Apabila diperhatikan hasil analisis Rap-PRG terhadap sembilan atribut
dimensi sosial kemasyarakatan diperoleh bahwa nilai indeks tingkat keberlanjutan
pada dimensi sosial sebesar 51.22% (berada di antara 50.01-75.00%) berarti
cukup berkelanjutan. Meskipun kategori cukup berkelanjutan, akan tetapi
keadaan ini sangat rentan untuk menjadi kurang berkelanjutan dengan nilai yang
sedikit di atas 50.00%. Karena itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan kearah
keberlanjutan, supaya pemanfaatan Padi Bt PRG di lapangan dapat diterima dan
dimanfaatkan oleh petani dan masyarakat sebagai konsumen. Hasil analisis
keberlanjutan dimensi sosial disajikan pada Gambar 8.
Nilai keberlanjutan untuk setiap atribut dimensi sosial berdasarkan
asumsi dengan studi ex ante, karena produk Padi Bt belum tersedia di tingkat
petani. Selanjutnya responden pakar diminta membuat penilaian terhadap faktor-
faktor yang menentukan pada dimensi sosial.
96
Gambar 8. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan PRG
Berdasarkan hasil analisis leverage pada dimensi sosial, diperoleh tiga
atribut yang memiliki nilai RMS hampir sama yaitu: 1) Ketersediaan informasi
bagi masyarakat (RMS = 1.01), 2) Penerimaan dan persepsi masyarakat (RMS =
1.06), dan 3) Keikutsertaan publik dalam pengambilan keputusan pelepasan PRG
(RMS = 1.01). Hasil leverage terhadap dimensi sosial kemasyarakatan disajikan
pada Gambar 9.
Dari hasil analisis leverage, tiga atribut tersebut tidak termasuk pada faktor
yang perlu diintervensi. Tetapi secara keseluruhan atribut-atribut ini perlu
diperbaiki atau ditingkatkan fungsinya agar dapat meningkatkan indeks
keberlanjutan. Atribut ketersediaan informasi yang benar bagi masyarakat
mengenai PRG dianggap memberikan pengaruh yang paling besar terhadap
atribut lainnya. Terkait dengan ketersediaan informasi yang benar dan mudah
diakses oleh masyarakat tentang PRG sampai saat ini masih sangat terbatas,
sehingga terjadi polarisasi pendapat antara yang kontra dan pro terhadap PRG.
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti ekonomi
terhadap sekelompok masyarakat Eropa, yaitu 100 orang responden dari negara
Perancis, menghasilkan data yang cukup mengejutkan. Karena sebelumnya
97
masyarakat Eropa menolak kehadiran PRG di negara mereka, akan tetapi hasil
dari survey yang mereka lakukan, memperlihatkan hasil bahwa sebanyak 35%
responden sama sekali tidak mau membeli produk yang merupakan PRG,
sedangkan 42% menyatakan kesediaan mereka membeli PRG dengan syarat
harganya lebih murah dibandingkan dengan produk konvensional. Sisanya 23%
menyatakan tidak tahu (Tietenberg & Lewis 2010). Survei ini dilaksanakan
setelah dilakukan sosialisasi dengan memberi informasi ilmiah mengenai PRG
dengan teknologi rekombinan DNA dalam merakit PRG berdasarkan sifat-sifat
tertentu yang diintroduksi. Hasil survei menggambarkan bahwa peran informasi
terhadap cara pandang seseorang dapat mempengaruhi perubahan sikap dalam
menentukan pilihan.
Diharapkan nilai keberlanjutan untuk dimensi sosial kemasyarakatan dapat
ditingkatkan melalui kegiatan-kegiatan sosialisasi dan pendidikan mengenai PRG
berdasarkan informasi yang bersifat ilmiah dan terbuka. Di Indonesia telah
tersedia pusat informasi terkait PRG dalam bentuk situs web
(www.indonesiabch.org ) atau Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH). Akan
tetapi sejauh ini, belum banyak masyarakat yang memanfaatkan dan mengakses
situs ini sebagai salah satu sumber informasi tentang PRG. Hal ini dapat
dibuktikan dari hasil forum diskusi dan pengambilan keputusan pada saat PRG
akan dilepas atau dikomersialkan oleh pemerintah, yang mengharuskan
keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan sebelum pelepasan atau
komersialisasi PRG yang merupakan implementasi PP 21/2005. Keikutsertaan
masyarakat dalam pengambilan keputusan terhadap rencana pelepasan PRG masih
sangat sedikit, bahkan tidak ada sama sekali yang memberikan pendapat atau
saran terkait dengan hal rencana pemerintah untuk melepas PRG
(www.indonesiabch.org. 2011). Di dalam salah satu kajian yang pernah dilakukan
oleh Adiwibowo et al. (2005), disebutkan bahwa partisipasi masyarakat dan
keikutsertaan masyarakat dalam konsultasi publik untuk pemanfaatan PRG
seharusnya menjadi prioritas, tetapi kegiatan ini masih menjadi hambatan yang
belum dapat diselesaikan. Oleh karena itu pelaksanaan sosialisasi yang intens
melalui berbagai media cetak atau elektronik mengenai manfaat dan risiko PRG
secara sederhana dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan masyarakat
98
mendesak untuk segera dilaksanakan. Diperlukan komitmen yang berkelanjutan
terhadap penyediaan informasi yang mudah diakses serta sumber daya manusia
yang memiliki kemampuan terutama di bidang keamanan hayati tanaman PRG.
Gambar 9. Hasil analisis leverage dimensi sosial pengelolaan PRG
4. Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi
Analisis keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dari dimensi teknologi
telah dilakukan dengan mempelajari kasus-kasus dalam pengembangan PRG di
Indonesia. Selanjutnya atribut-atribut tersebut dinilai pakar sesuai dengan
perkembangan di bidang teknologi rekayasa genetik. Terdapat empat atribut yang
menjadi bahan kajian yaitu: 1) Jumlah PRG yang telah dilepas atau
dikomersialisasikan, 2) Jumlah SDM yang memiliki kemampuan dalam
melakukan riset rekombinan DNA, 3) Kemampuan (capacity building) dalam
melakukan pengujian dan pengkajian keamanan hayati, 4) Kemampuan SDM
dalam melakukan riset rekombinan DNA.
Kajian bidang teknologi melengkapi kajian ekologi, ekonomi dan sosial
yang dapat menentukan keberlanjutan pemanfaatan PRG. Sebagai hasil teknologi
baru, pengembangan PRG memerlukan kemampuan penguasaan teknologi baik
dalam pengembangan, pengujian, pengkajian dan pengelolaan risiko, terutama
99
terhadap kemungkinan dampaknya pada lingkungan dan kesehatan manusia.
Kemampuan dan jumlah SDM yang belum memadai, merupakan salah satu
hambatan dalam pengembangan tanaman PRG. Indikasinya dapat dilihat dari
jumlah PRG yang dapat dihasilkan oleh Litbang sendiri yang sangat terbatas.
Sejak kegiatan pengembangan PRG dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1990-
an sampai tahun 2012, hanya satu PRG yang dapat dilepas dan dinyatakan aman
lingkungan dan aman pangan yaitu tanaman tebu toleran kekeringan (event NXI-
1T, NXI-4T dan NXI-6T), yang dihasilkan oleh Perseroan Terbatas Perkebunan
Nusantara XI (PTPN XI) di Jawa Timur (Laporan KKH PRG 2012). Menurut
hasil penelitian Bahagiawati et al. (2003), selain faktor teknologi, terdapat faktor
pembiayaan yang menjadi hambatan dalam pengembangan PRG di Indonesia.
Selanjutnya ditambahkan oleh Bahagiawati et al. (2008), bahwa pembiayaan
penelitian bidang bioteknologi belum menjadi prioritas utama pemerintah.
Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG pada dimensi teknologi, diperoleh
nilai indeks keberlanjutan sebesar 46.71% berarti dengan status kurang
berkelanjutan karena nilainya berada antara 25.01-50.00%. Hasil analisis
keberlanjutan dimensi teknologi disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Nilai indeks keberlanjutan dimensi teknologi pengelolaan PRG
100
Kondisi kurang berkelanjutan untuk dimensi teknologi, akan
mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan PRG di Indonesia, oleh karena itu perlu
dilakukan perubahan dan intervensi terhadap atribut-atribut pengungkit, supaya
indeks keberlanjutan dapat ditingkatkan. Selain jumlah PRG yang dapat
dihasilkan sendiri, terdapat faktor keterbatasan kemampuan dalam melakukan
riset di bidang rekayasa genetik (RMS=2.68). Atribut ini perlu diperbaiki dengan
memacu dan meningkatkan kemampuan dalam menguasai teknologi tersebut
melalui pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan. Sugandhy & Hakim (2009)
menyatakan bahwa salah satu strategi dan kegiatan yang harus dilakukan dalam
pengembangan teknologi pembangunan berkelanjutan adalah meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, mengembangkan pusat-pusat penelitian,
meningkatkan kerja sama antara instansi yang terkait dalam merumuskan
kebijakan, membuat perumusan dan pengembangan kebijakan dalam
mengantisipasi dampak kerusakan terhadap lingkungan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi berwawasan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai
yang berlaku di Indonesia. Di dalam PP 21/2005 khususnya pasal 3 dijelaskan
bahwa pengaturan keamanan hayati di Indonesia, untuk PRG menggunakan
pendekatan kehati-hatian dalam rangka mewujudkan keamanan lingkungan,
keamanan pangan dan/atau keamanan pakan yang berdasarkan pada metode
ilmiah yang sahih dengan mempertimbangkan kaidah agama, etika, sosial budaya
dan estetika.
101
Gambar 11. Hasil analisis leverage pada dimensi teknologi pengelolaan PRG
Dari hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 11, diperoleh dua
atribut sensitif yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi
teknologi yaitu: 1) Jumlah PRG yang telah dilepas dan memperoleh izin
peredaran di Indonesia (RMS=3.60), 2) Kemampuan SDM dalam riset
rekombinan DNA (RMS = 2.68). Dari dua atribut sensitif tersebut, diketahui
bahwa perubahan yang dilakukan, diharapkan dapat merubah dimensi teknologi
secara keseluruhan dengan nilai indeks keberlanjutan yang lebih tinggi.
Implementasinya akan dan berimplikasi terhadap jumlah PRG yang dapat
dihasilkan, sehingga kemandirian di bidang teknologi bisa tercapai. Perubahan
yang dilakukan pada dua atribut kunci, dapat memberikan pengaruh yang besar
terhadap indeks keberlanjutan dimensi teknologi.
5. Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Berdasarkan analisis keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG dari dimensi
kelembagaan, telah disusun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberlanjutan
di bidang kelembagaan. Selanjutnya responden pakar diminta memberi penilaian
terhadap faktor-faktor yang berpengaruh tersebut, hasil dalam bentuk rata-rata
102
geometris diolah dan dianalisis. Terdapat sembilan atribut pada dimensi hukum
kelembagaan untuk diketahui tingkat keberlanjutannya.
Berdasarkan hasil analisis Rap-PRG diperoleh nilai indeks keberlanjutan
dari dimensi hukum kelembagaan sebesar 54.74% yang berarti cukup
berkelanjutan karena terletak antara 50.01-75.00% (Gambar 12). Keadaan ini
merupakan gambaran kondisi hukum kelembagaan terhadap kebijakan
pengelolaan PRG. Status keberlanjutan sebesar 54.74%, sangat rentan untuk
menjadi kurang berkelanjutan. Di dalam UU No 32/2009 telah dicantumkan
sanksi denda dan hukuman pidana terhadap seseorang atau kelompok yang
melanggar pemanfaatan PRG di Indonesia. Demikian juga dengan peraturan dan
regulasi yang mengatur keamanan hayati PRG telah cukup tersedia, hanya perlu
dilengkapi dan dilaksanakan secara tegas oleh masing-masing kelembagaan
terkait. Selain itu diperlukan perbaikan pada faktor-faktor kunci supaya angka
keberlanjutan dapat diperbaiki. Kelengkapan peraturan serta kelembagaan
mengenai keamanan hayati dalam pengelolaan PRG dianggap telah mencukupi.
Pengaturan dan koordinasi diantara lembaga pemerintahan yang terkait dengan
pengelolaan PRG sangat menentukan keberlanjutan pengembangan teknologi
rekayasa genetik di Indonesia.
Gambar 12. Nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum kelembagaan pengelolaan
PRG
103
Gambar 13. Hasil analisis leverage pada dimensi hukum kelembagaan
pengelolaan PRG
Berdasarkan hasil analisis leverage yang disajikan pada Gambar 13,
diperoleh dua atribut utama yang memiliki pengaruh sensitif terhadap indeks
keberlanjutan hukum kelembagaan yaitu: 1) Peraturan perundang-undangan
tentang PRG (RMS=2.50), dan 2) Pelabelan (labelling) untuk PRG (RMS = 2.29).
Hasil analisis leverage atau analisis sensitivitas pada kedua atribut utama
berkaitan dengan status keberlanjutan, jika dilakukan perbaikan dengan
menerapkan setiap aturan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan terhadap
dua atribut ini, maka indeks keberlanjutan dapat berubah menjadi lebih baik.
Untuk atribut peraturan dan perundang-undangan PRG, di Indonesia sudah
dapat terakomodir dari sejumlah peraturan dan undang-undang yang tersedia saat
ini. Tetapi masih terdapat beberapa aspek terkait pengelolaan PRG yang belum
dicantumkan dalam peraturan. Secara umum peraturan mengenai keamanan hayati
PRG dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 21/2005 telah memuat ketentuan
pengelolaan PRG di Indonesia. Tetapi dalam menerapkan peraturan tersebut
diperlukan pedoman teknis pengujian PRG. Pedoman teknis yang telah
diselesaikan sampai tahun 2013 ini adalah pedoman pelaksanaan teknis untuk
keamanan pangan dan lingkungan, sedangkan pedoman pengujian keamanan
104
pakan dan pedoman pelaksanaan penelitian dan pengembangan PRG di
Laboratorium dan FUT belum dapat diselesaikan. Selain itu sesuai dengan
ketentuan di dalam PP 21/2005 terdapat ketentuan monitoring terhadap
pelaksanaan penelitian dan pengembangan PRG di lapangan, yang perlu
dibuatkan peraturan pelaksanaannya. Karena belum lengkapnya pedoman teknis
dalam pelaksanaan pengujian PRG di Indonesia, menjadi hambatan dalam strategi
pengelolaan berkelanjutan PRG.
Pada atribut pelabelan (labelling) terhadap PRG baik dalam bentuk olahan
atau produk segar, yang telah ditetapkan jauh sebelumnya didalam PP 69/1999,
masih belum diterapkan di lapangan sampai saat sekarang oleh lembaga yang
berwenang. Hal ini disebabkan karena berbagai permasalahan yang belum dapat
diselesaikan. Keadaan ini semakin menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan
masyarakat sehingga melahirkan kelompok-kelompok yang kontra dan menentang
keberadaan PRG sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan pembangunan
pertanian berkelanjutan.
Ketertinggalan negara-negara berkembang dalam mengadopsi teknologi
modern lebih disebabkan karena kurangnya kemampuan dalam pengujian
keamanan hayati dan mekanisme peraturan terkait perkembangan bioteknologi,
sehingga menjadi kelemahan dan keterlambatan aplikasi PRG di negara pihak
pengimpor (Araya-Quesada et al. 2005). Negara pengimpor berhak mengambil
suatu keputusan yang sesuai sehubungan dengan impor PRG dengan maksud
untuk menghindari atau meminimalkan potensi yang mengakibatkan kerugian,
seperti yang dicantumkan pada pasal 11 Protokol Cartagena terutama
pemanfaatan langsung PRG sebagai pangan atau pakan.
6. Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan Kebijakan PRG
Hasil analisis dengan menggunakan Rap-PRG terhadap nilai indeks
keberlanjutan untuk masing-masing dimensi. sebagai berikut yaitu dimensi
ekologi sebesar 73.02% dengan status cukup berkelanjutan. Dimensi ekonomi
69.30% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial kemasyarakatan
51.22% dengan status cukup berkelanjutan, dimensi teknologi sebesar 46.71%
dengan status kurang berkelanjutan, dimensi hukum kelembagaan 54.74% dengan
105
status cukup berkelanjutan. Berdasarkan uji multidimensi keberlanjutan
pemanfaatan padi Bt PRG yang merupakan gabungan dari seluruh dimensi yang
dikaji, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 58.99% yang tergolong pada
status cukup berkelanjutan.
Uji validitas dengan analisis Monte Carlo dan analisis MDS pada taraf
kepercayaan 95% diperoleh bahwa nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan Padi
Bt PRG menunjukkan adanya selisih nilai rata-rata kedua analisis tersebut
berkisar dari 0.19 – 1.37% (Tabel 2). Menurut uji validitas, model analisis MDS
yang dihasilkan memadai untuk menduga nilai indeks keberlanjutan pemanfaatan
Padi Bt PRG. Perbedaan nilai yang diperoleh tidak banyak mengalami perubahan
dengan hasil analisis Rap-PRG. Hal ini berarti bahwa kesalahan dalam analisis
dapat diperkecil dengan memperbaiki pemberian skoring setiap atribut. Variasi
pemberian scoring karena perbedaan opini dan proses analisis data yang
dilakukan secara berulang-ulang relatif stabil, serta kesalahan dalam menginput
data dan data hilang dapat dihindari (Fauzi & Anna 2005). Analisis Monte Carlo
juga dapat digunakan sebagai metoda simulasi untuk mengevaluasi dampak
kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan
terhadap seluruh dimensi (Pitcher & Preikshot 2001).
Tabel 2. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan
analisis Rap-PRG
Dimensi Keberlanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan (%)
Perbedaan MDS Monte Carlo
Ekologi 73.02 71.65 1.37
Ekonomi 69.30 68.26 1.04
Sosial Masyarakat 51.22 51.31 0.09
Teknologi 46.71 47.05 0.34
Hukum dan Kelembagaan 54.74 54.93 0.19
Hasil analisis Rap-PRG menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji
terhadap status keberlanjutan dalam pengelolaan pemanfaatan Padi Bt PRG,
cukup akurat sehingga diperoleh hasil analisis untuk uji ketepatan (goodness of
106
fit) yang dapat dipertanggungjawabkan. Nilai stress berkisar antara 13.35 sampai
15.16% dan nilai koefisien determinasi (R2) berkisar antara 0.94 dan 0.95. Hasil
analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25%) dan nilai
koefisien determinasi (R2) mendekati 1.0 (100%). Adapun nilai stress dan
koefisien determinasi seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) hasil analisis Rap-PRG
No Dimensi Keberlanjutan Parameter
Stress (%) R2
Ekologi 13.35 0.95
Ekonomi 13.48 0.95
Sosial Masyarakat 15.16 0.94
Teknologi 14.30 0.95
Hukum dan Kelembagaan 14.80 0.95
Agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat meningkat mencapai
status berkelanjutan (sustainable), perlu perbaikan terhadap atribut-atribut yang
sensitif dan memberi pengaruh terhadap nilai dari indeks dimensi ekologi,
ekonomi, sosial masyarakat, teknologi serta hukum dan kelembagaan. Gambar
diagram layang (kite diagram) yang menggambarkan status keberlanjutan secara
terintegrasi antara dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi
teknologi dan dimensi hukum kelembagaan dari Rap-PRG yang disajikan pada
Gambar 14.
107
Gambar 14. Diagram layang ( kite diagram) nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan Padi Bt PRG
b. Faktor Pengungkit dalam Kebijakan Pengelolaan Padi Bt PRG
Berkelanjutan
Hasil analisis tiga puluh enam atribut dari lima dimensi (ekologi, ekonomi,
sosial, teknologi dan hukum kelembagaan) diperoleh 15 atribut sensitif sebagai
faktor pengungkit (leverage factor) terhadap masing-masing dimensi secara
parsial. Sebagai faktor pengungkit, ada atribut yang perlu ditingkatkan kinerja dan
sebagian yang lain perlu dijaga kinerja dalam pengelolaan pemanfaatan Padi Bt
PRG sehingga nilai indeks keberlanjutan ke depan menjadi lebih baik. Oleh sebab
itu perlu intervensi dalam meningkatkan kinerja atribut untuk menaikkan status
keberlanjutan pemanfaatan Padi Bt PRG.
Faktor pengungkit (leverage factor) yang perubahannya dapat
mempengaruhi secara sensitif terhadap peningkatan indeks keberlanjutan. Lima
belas atribut sensitif yang dikumpulkan dari setiap dimensi, dengan jumlah lima
atribut pengungkit dari dimensi ekologi, empat atribut pengungkit dari dimensi
ekonomi, dua atribut pengungkit dari dimensi sosial, dua atribut pengungkit dari
dimensi teknologi dan dua atribut pengungkit dari dimensi kelembagaan.
Terhadap faktor-faktor pengungkit tersebut dapat dilakukan perbaikan atau
108
perubahan sesuai dengan tujuan keberlanjutan pada masing-masing dimensi.
Perbaikan yang dilakukan harus berdasarkan hasil penelitian dan data ilmiah yang
telah tersedia sebelumnya agar keberlanjutan dari atribut-atribut sensitif dapat
ditingkatkan sesuai dengan target keamanan hayati dalam pelaksanaan pengujian
dan pengkajian risiko PRG. Kebijakan pengelolaan tanaman PRG juga dapat
dijaga keberlanjutannya dengan memperbaiki atribut-atribut yang sensitif, kecuali
untuk dimensi teknologi yang masih termasuk kategori kurang berkelanjutan,
harus dilakukan intervensi dan perubahan supaya keberlanjutan di bidang
teknologi rekayasa genetik dapat tercapai dengan memanfaatkan sumber daya
alam yang kita miliki. Faktor-faktor pengungkit tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Atribut sensitif keberlanjutan kebijakan pengelolaan PRG sebagai
faktor pengungkit dari setiap dimensi
No. Dimensi Faktor Pengungkit (leverage factor) RMS
1 Ekologi (5) 1. Perpindahan (crossing) material genetik dari
Padi Bt PRG ke tanaman padi non PRG
10.21
2. Dampak Padi Bt PRG terhadap organisme
perairan.
4.45
3. Pengaruh Padi Bt PRG pada organisme non
target dan keanekaragaman hayati potensial
4.04
4. Potensi tanaman PRG menjadi gulma 3.65
5. Keamanan PRG terhadap kesehatan
manusia
3.50
2 Ekonomi (5) 6. Tingkat ketergantungan petani terhadap
benih PRG
9.49
7. Harga beli benih PRG yang terjangkau 6.45
8. Peningkatan pendapatan petani 5.13
9. Stabilitas produksi 4.25
3 Sosial ( 2) . 10. Ketersediaan informasi bagi masyarakat
mengenai PRG
1.01
11. Penerimaan dan persepsi masyarakat 1.06
4. Teknologi (2) 12. Jumlah PRG yang telah dilepas dan
memperoleh izin peredaran di Indonesia
3.60
13. Kemampuan SDM dalam riset rekombinan
DNA
2.68
5. Hukum
Kelembagaan (2)
14. Peraturan perundang-undangan tentang
PRG
2.50
15. Pelabelan (labelling) terhadap PRG 2.29
109
KESIMPULAN
1. Status keberlanjutan kebijakan pengelolaan tanaman PRG secara multidimensi
menunjukkan kondisi yang tergolong cukup berkelanjutan dengan nilai
58.99%. Sedangkan kondisi keberlanjutan untuk masing-masing dimensi
adalah 73.02% untuk dimensi ekologi, dimensi ekonomi 69.30%, dimensi
sosial 51.22% dan dimensi hukum kelembagaan 54.74%, semuanya tergolong
cukup berkelanjutan. Sedangkan untuk dimensi teknologi, diperoleh nilai
keberlanjutan 46.71%, nilai ini tergolong kurang berkelanjutan.
2. Terdapat 15 atribut sensitif yang merupakan faktor pengungkit untuk setiap
dimensi yang dikaji. Lima belas faktor ini memiliki potensi untuk
dipertahankan atau diintervensi agar berubah menjadi lebih baik dengan
indikasi terjadinya kenaikan indeks keberlanjutan.
Saran
1. Disarankan untuk menambah atribut keefektifan Padi Bt terhadap terhadap
serangan hama target, karena pemanfaatan Padi Bt secara terus menerus di
lapangan tanpa melakukan pengelolaan risiko dapat meningkatkan resistensi
hama pada tanaman Padi Bt. Atribut ini bisa dimasukkan pada dimensi
teknologi, karena melalui teknologi rekayasa genetik dapat dikembangkan
tanaman yang dapat mematahkan ketahanan hama terhadap Padi Bt.
2. Atribut pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur yang lebih memadai,
juga disarankan untuk ditambahkan pada dimensi teknologi, untuk
memperbaiki indeks keberlanjutan pada dimensi teknologi. Karena
pengembangan teknologi rekayasa genetik tidak mungkin dilakukan tanpa
ketersediaan fasilitas dan pendanaan yang cukup.
110
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PRODUK
REKAYASA GENETIK BERKELANJUTAN DENGAN
METODE PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Policy Analysis of Sustainable Genetically Engineered Product Management
Using Decision Making Method
Deswina P1), Syarief R
2), Rachman LM
3), Herman M
4)
1)
Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor dan Staf Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, 2)
Fakultas
Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, 3)
Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, 4)
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan
Sumber Daya Genetik Pertanian Kementerian Pertanian
ABSTRAK
Produk rekayasa genetik (PRG) merupakan hasil teknologi modern yang
membutuhkan strategi kebijakan dalam pengelolaan mulai dari tahap penelitian
dan pengembangan sampai tahap pengujian keamanan hayati. Pendekatan secara
terpadu dan holistik berdasarkan kajian ilmiah terhadap lingkungan, kajian sosial
ekonomi berdasarkan peraturan dan kelembagaan telah dilakukan agar
pemanfaatan PRG tidak merugikan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan.
Kajian ini bertujuan untuk mengetahui prioritas kebijakan terhadap pengelolaan
PRG berkelanjutan dengan metode pengambilan keputusan. Hasil perumusan
kebijakan berdasarkan justifikasi pakar dengan AHP (Analytical Hierarchy
Process) terbagi atas empat level yaitu level tujuan, faktor, kriteria dan alternatif.
Hasil sintesis pakar terhadap faktor lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi,
memberikan nilai eigen (bobot) yang hampir sama. Terjadinya perpindahan
material genetik (gene flow) dari tanaman PRG ke tanaman non PRG merupakan
elemen yang paling penting untuk diperhatikan pada kriteria lingkungan, dengan
nilai bobot 0.278. Sedangkan peningkatan pendapatan petani dengan nilai eigen
0.358, yang tertinggi untuk kriteria ekonomi. Keamanan PRG terhadap kesehatan
manusia (0.464) adalah elemen yang lebih diutamakan untuk kriteria sosial.
Terakhir kemampuan SDM dalam melakukan pengujian keamanan hayati (0.580)
merupakan elemen paling penting untuk aspek teknologi. Berdasarkan alternatif
yang disusun pakar, elemen law enforcement terhadap peraturan dan undang-
undang memperoleh nilai paling tinggi (0.187). Dari matriks kuadran ISM
(Interpretative Structural Modelling), elemen-elemen alternatif tersebar pada tiga
kuadran dependence, linkage dan independent.
Kata kunci: Analisis kebijakan, tanaman PRG, keamanan hayati, nilai eigen, AHP, ISM
111
ABSTRACT
Genetically engineered product (GEPs) is the result of modern technology
that require policy strategies on its management ranging from research and
development stage to biosafety testing stage. An integrated and holistic approach;
based on scientific to environment, socio-economic studies based on rules and
institutions, has been done in order to the usage of GEP to be not detrimental for
the human health and for the environment. This study aims to determine policy
priorities for sustainable management of GEPs using decision-making method .
The outputs of policy making based on experts justification by AHP (Analytical
Hierarchy Process) method, are divided into four levels, they are: Focus, Factor,
Criteria and Alternative ways level. The synthesized of experts justifications on
environmental, economic, social and technological factors, give a nearly equal
eigen values to the previous four levels, so they are concluded in having the same
priority in managing GEP. The gene flow of Genetically Engineered Crop (GEC)
to non GEC is the most important element to be considered with the eigen values
0.278. The increase of farmer’s income with eigen values 0.358 is considered as
the most important criteria of economic factor. GEPsafety to human health
(0.464) is the preferred social elements. Last but not least, the human resource
capability in doing biosafety test (0.580) is the most important criteria for the
technology factor. Based on the alternatives compiled by the experts, law
enforcement elements of the rules must be done by 0.187 eigen values. Also based
on ISM (Interpretative Structural Modelling) quadrant matrix, alternative
elements are scattered into three quadrants; dependence, linkage and
independent.
Keywords: Genetically Engineered Products (GEPs), Policy analysis of GEPs,
biosafety, environmental safety, eigen value, AHP, ISM
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan salah satu industri paling strategis dalam
pembangunan nasional berkelanjutan di Indonesia, maka perlu dilakukan
pengembangan dengan inovasi teknologi dalam rangka meningkatkan produksi
untuk ketahanan pangan nasional. Selama ini sektor pertanian turut memberikan
kontribusi keuntungan terhadap perekonomian nasional sebesar lebih kurang 20%
(Mitchel et al. 2007). Permasalahan sektor pertanian di Indonesia sangat
bervariasi terutama rentan (vulnerable) terhadap variabilitas dan perubahan iklim
akibat pemanasan global sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi
112
pertanian. Faktor-faktor eksternal lainnya banyak mempengaruhi terhadap
penurunan produksi pertanian yang diprediksi akan menurunkan produksi padi
dunia sampai 41% (Ceccarelli et al. 2010, Shah et al. 2011).
Berbagai upaya perbaikan mutu tanaman telah dilakukan untuk
meningkatkan kualitas dan produktifitas tanaman, tetapi keterbatasan lahan dan
cepatnya pertambahan penduduk masih menjadi kendala. Diperlukan inovasi
teknologi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul. Salah satu
teknologi yang dapat dipergunakan untuk mengatasi permasalahan ini adalah
teknik bioteknologi modern dengan rekayasa genetik (Manshardt 2004).
Teknologi ini telah dimanfaatkan untuk perbaikan sifat/karakter tanaman, meliputi
sifat ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik (Josine et al 2011).
Diperlukan kebijakan nasional dalam mengelola produk rekayasa genetik
(PRG) sebelum produk tersebut dilepas atau dikomersialisasikan kepada
masyarakat agar sistem pertanian berkelanjutan tercapai. Kebijakan pengelolaan
PRG meliputi di bidang ekonomi, lingkungan, sosial, teknologi dan kelembagaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Analisis kebijakan pengelolaan
merupakan bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi yang
relevan sebagai landasan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat suatu
keputusan terkait dengan masalah-masalah publik (Dunn 2003).
Kebijakan merupakan perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap
pelaksanaan strategi pembangunan berkelanjutan dan berfungsi untuk
memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas agar dapat
mencapai tujuan pembangunan dengan efektif. Analisis kebijakan merupakan
suatu analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat
memberikan landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan.
Pengambilan keputusan dalam sebuah kebijakan hampir dapat dipastikan
didasarkan pada adanya berbagai masalah yang saling terkait dan kompleks. Oleh
karena itu analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dan
profesi yang tujuannya bersifat deskriptif, valuatif dan prospektif sehingga dapat
memberikan rekomendasi kepada pemerintah (Quade 1975 dalam Dunn 2003).
Kebijakan terhadap pengelolaan PRG berkelanjutan diwujudkan dalam
bentuk produk hukum seperti Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah (PP)
113
dan lain sebagainya. Terkait dengan hal ini telah dikeluarkan PP mengenai
Keamanan Hayati PRG dan peraturan pendukung lainnya. Untuk aturan
kelembagaan terhadap pengelolaan PRG telah ditetapkan dalam Peraturan
Presiden (Perpres) No 39/2010.
Menyangkut sanksi hukum terhadap pelanggaran pelaksanaan dalam
pengelolaan PRG telah dicantumkan di dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi hukum yang terdapat di
dalam UU 32/2009, diberlakukan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan
pemanfaatan PRG, dimana ancaman hukuman berupa denda uang dan hukum
pidana (kurungan). Sanksi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan
terhadap keselamatan lingkungan dan keanekaragaman hayati serta proteksi
terhadap kesehatan manusia. Setiap kebijakan yang dibuat harus memiliki regulasi
yang jelas, sehingga dapat digunakan sebagai landasan hukum dalam pengelolaan
PRG berkelanjutan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat analisis dan arahan
kebijakan yang kemudian distrukturisasi ke dalam nilai-nilai kuantitatif guna
memperoleh strategi dan alternatif dalam pengelolaan PRG.
METODE ANALISIS DATA
Metode analisis data yang digunakan dalam mengkaji kebijakan dan
regulasi terkait pengelolaan PRG adalah analisis isi (content analysis) yang
bersifat deskriptif evaluatif yang berhubungan dengan masa lalu sekaligus
prediktif dan preskriptif yang berhubungan dengan masa depan. Analisis
Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Interpretative Structural Modelling
(ISM) digunakan dalam pengambilan keputusan terhadap strategi prioritas dalam
kebijakan pengelolaan tanaman PRG.
a. Analisis Isi (Content analysis)
Analisis ini merupakan salah satu teknik penelitian yang digunakan untuk
menganalisis dokumen-dokumen tertulis yang dapat digunakan untuk
menjelaskan berbagai kelembagaan atau peraturan terkait dengan pengelolaan
PRG. Selain itu juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi karakter-karakter
lainnya serta mengungkapkan fokus perhatian dari masalah yang dikaji. Teknik
114
penelitian dengan analisis isi dapat berupa teknik kualitatif dan kuantitatif yang
sistematis dan dapat diaplikasikan untuk memahami dan menjelaskan aspek-aspek
yang dikaji. Teknik ini merupakan teknik kualitatif yang menjelaskan dan
menganalisis frekuensi kata, frasa, atau kalimat yang terkandung dalam dokumen
tertulis yang mengasumsikan bahwa frekuensi tertinggi dapat diartikan sebagai
refleksi dari perhatian yang besar dari variabel tersebut (Saaty 2008). Hasil
penelaahan dan tingkat intensional, fokus kebijakan dan aturan dari kebijakan
tersebut dapat dipetakan menurut frekuensi dan proporsi dari aspek kunci yang
terkait dengan topik yang dibahas. Hasil dapat disajikan dalam bentuk tabel atau
tabulasi yang menunjukkan kecenderungan proporsi aspek kunci dari setiap
peraturan yang dikaji.
Untuk mengetahui fokus kebijakan yang diambil pemerintah terhadap
PRG, telah dilakukan telaah yang lebih dalam dan detail dari peraturan-peraturan
yang terkait dengan pengelolaan PRG. Hasil penelaahan ditampilkan dalam tabel
yang menunjukkan kecenderungan aspek-aspek kunci dalam setiap peraturan yang
dipetakan. Analisis isi dilakukan pada peraturan-peraturan terkait PRG yaitu UU
No 12/ 1992 tentang Sistem Budidaya Pertanian, yang diikuti dengan Permentan
No.67/2006 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan SDG Tanaman serta Permentan
No 61/2011 tentang Pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas
tanaman. Mengenai keamanan hayati PRG, telah ditetapkan dalam UU No.
21/2004 tentang Pengesahan Protokol Cartagena, UU 32/ 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Pertanian
1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik, Surat Keputusan Bersama (SKB) Mentan, Menhutbun,
Menkes, dan Meneg Pangan dan Hortikultura 29 September 1999 tentang
Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan, yang diikuti dengan PP No 21/2005
tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Di dalam Peraturan Menteri
LH No 25 Tahun 2012 telah diatur tatacara dan Pedoman Analisis Risiko
Lingkungan PRG. Terkait dengan keamanan pangan telah dibuat UU No.18/2012
mengenai Pangan menggantikan UU No 7/1996, selanjutnya PP No.28/2004
mengenai Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan, serta Peraturan Kepala Badan POM
mengenai Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan PRG No HK
115
03.1.23.03.12.1563 Tahun 2012. Mengenai aturan kelembagaan pengelolaan PRG
telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 39 / 2010 tentang
Kelembagaan KKH PRG, yang diikuti oleh Surat Keputusan KKH PRG No
1/2011 tentang pembentukan TTKH PRG.
b. Analisis Hirarki Proses (AHP)
AHP (Analytical Hierarchy Process) digunakan untuk menentukan
elemen-elemen kunci untuk ditangani. Analisis ini diharapkan mampu
menyelesaikan persoalan-persoalan yang komplek sehingga dapat
disederhanakan.dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. Metode ini
menggunakan knowledge sebagai alat analisis dan interpretasi dalam memecahkan
situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun
secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Penggunaan metode ini didasarkan
pada sistem yang diamati, bersifat kompleks dengan jumlah pelaku yang lebih
majemuk (Marimin 2004). Dalam AHP didasarkan pada hasil pendapat pakar
(expert judgement) untuk menjaring berbagai informasi dari beberapa elemen-
elemen yang berpengaruh dalam penyelesaian suatu persoalan. Metode AHP yang
digunakan dalam pengambilan keputusan yang diidentifikasi oleh pakar,
dikembangkan oleh Saaty (2008).
Metode AHP memiliki keunggulan dan keunikan dalam pengambilan
keputusan, yang terdapat dalam kemampuannya untuk menguraikan masalah secara
terstruktur dalam bentuk hirarki. Masalah yang sebelumnya terdapat dalam sebuah
sistem yang kompleks akan diuraikan secara hirarki menjadi sub elemen yang lebih
sederhana, selain itu dengan AHP juga dapat dilihat relasi antar sub-sub elemen yang
komplek. Penguraian persoalan secara hirarki akan mempermudah pemahaman
penyelesaian masalah sampai ke akar penyebabnya. Penguraian secara hirarki dalam
metode AHP didasarkan pada pencapaian tujuan, faktor yang berpengaruh, penentuan
kriteria dan penetapan alternatif kebijakan (Marimin 2005). Keharusan nilai numerik
pada setiap variabel masalah membantu pengambil keputusan mempertahankan pola
pikiran yang kohesif dan mencapai suatu kesimpulan. Penilaian alternatif dan
kriteria ini didapatkan dari kuisioner yang diberikan dan diisi oleh pakar yang
116
berkepentingan dari berbagai multi disiplin keilmuan mewakili kelompok dari
lembaga penelitian, perguruan tinggi dan perusahaan swasta. Penyusunan secara
hirarki dalam AHP mencerminkan pemikiran untuk memilahkan elemen sistem
dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa pada tiap
tingkat. Tingkat puncak yang disebut fokus hanya satu elemen yaitu sasaran
keseluruhan yang sifatnya luas. Tingkat berikutnya masing–masing dapat memiliki
beberapa elemen. Pada analisis AHP ini, urutan prioritas setiap elemen dinyatakan
dalam nilai numerik atau persentase.
c. Interpretative Structural Modeling (ISM)
Dalam menentukan lembaga yang paling berperan terhadap kebijakan
pengelolaan PRG serta kendala-kendala yang ditemukan dalam
penyelenggaraannya ditentukan dengan menggunakan pendekatan metode
Interpretative Structural Modeling (ISM) yang dikembangkan oleh Saxena (1992)
dalam Eriyatno (2007). Metode ini dapat digunakan dalam mengidentifikasi
hubungan kontekstual antar sub elemen dari setiap eleman yang membentuk suatu
sistem berdasarkan gagasan atau struktur penentu dalam sebuah masalah yang
kompleks. Beberapa kategori struktur atau gagasan tadi mencerminkan hubungan
kontekstual antar elemen dapat dikembangkan dengan menggunakan ISM, seperti
struktur pengaruh (misal; sub elemen Ei mempengaruhi munculnya sub elemen
Ej), struktur prioritas (misal; sub elemen Ei lebih prioritas daripada sub elemen
Ej), atau gagasan kategori (misal; sub elemen Ei memiliki kategori yang sama
dengan sub elemen Ej).
Data-data dalam pengolahan ISM merupakan kumpulan pendapat
beberapa pakar sewaktu dilakukan wawancara mendalam mengenai institusi atau
lembaga yang terkait dalam pengelolaan PRG sehingga diperoleh formulasi
kebijakan pengembangan PRG yang berkelanjutan dan sesuai dengan peraturan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan
analisis kebijakan kelembagaan ini adalah elemen aktor/lembaga yang paling
berperan dan kendala atau permasalahan utama yang mempengaruhi kebijakan
pengelolaan PRG.
117
Klasifikasi sub elemen dalam satu elemen berdasarkan pada olahan
Reachability Matrix (RM) diperoleh nilai Driver Power Dependence. Klasifikasi
sub elemen dikelompokkan dalam empat sektor:
1. Sektor 1:Weak driver-weak dependent variabels (Autonomous): Peubah
disektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem, dan
kemungkinan memiliki hubungan sedikit, meskipun bisa saja
hubungan tersebut menjadi kuat.
2. Sektor 2:Weak driver-strongly dependent variabels (Dependent): Umumnya
peubah yang terdapat disini merupakan peubah yang tidak bebas
3. Sektor 3:Strong driver-strongly dependent variables (Linkage): Peubah di
sektor III ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar
peubah tidak stabil. Setiap tindakan yang terdapat dalam peubah
tersebut akan memberikan dampak terhadap yang lainnya dan
kebalikan pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
4. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variable (Independent): Peubah pada
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut juga dengan
peubah bebas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kajian Peraturan dan Undang-undang Keamanan Hayati PRG
Analisis isi terhadap peraturan dan perundang-undangan dimulai dengan
menyusun dan mengidentifikasi peraturan-peraturan yang terkait dengan obyek
yang diteliti, selanjutnya mencari (spotlight) pasal-pasal yang menyebut tentang
PRG, kemudian dianalisis dan diidentifikasi kaitannya dengan PRG. Hasil
identifikasi, telah diperoleh sejumlah peraturan-peraturan yang dapat dipetakan
menjadi sebelas peraturan dan undang-undang yang terkait dengan pengelolaan
keamanan hayati PRG di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut disajikan pada
Tabel 1, sedangkan kandungan isi menurut pasal-pasal terkait dari setiap peraturan
dan undang-undang tersebut ditampilkan pada Lampiran 4.
118
Tabel 1. Peraturan-peraturan terkait pemanfaatan PRG di Indonesia
No Peraturan perundang-
undangan terkait
Kajian Isi Keterangan
terkait PRG
1. UU No 12/ 1992 Sistim Budidaya
Tanaman
Pasal 8 dan 12
2. SKB Mentan, Menhutbun,
Menkes, dan Meneg
Pangan dan Hortikultura 29
September 1999
Keamanan Hayati dan
Keamanan Pangan
Produk Pertanian Hasil
Rekayasa Genetik
Semua pasal
3. PP No 69/ 1999 Label dan Iklan Pangan Pasal 35 ayat
1-2
4. UU No. 21/2004 Pengesahan Protokol
Cartagena
Semua pasal
5. PP No.28/2004 Keamanan, Mutu, dan
Gizi Pangan
Pasal 14 ayat
1-5
6. PP No 21/2005 Keamanan Hayati
Produk Rekayasa
Genetik
Semua pasal
7. UU 32 / 2009 Perlindungan dan
Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Pasal 69 ayat
1 dan 101
8. Perpres No 39/2010 Komisi Keamanan
Hayati
Semua pasal
9. Surat Keputusan (SK) Ketua
KKH PRG No 1/2011
Pembentukan TTKH
PRG
Semua pasal
10. PerMenTan No 37/ 2011 Pelestarian dan
Pemanfaatan SDG
Tanaman
Pasal 58
11. PerMenTan No 61/2011 Pengujian,
Penilaian,Pelepasan
dan Penarikan Varietas
Tanaman
Pasal 1, 8-10,
13,16, 23, 25
12. Permen LH No 25/2012 Pedoman Analisis
Risiko Lingkungan
Semua pasal
13. UU No 18/2012 Pangan Pasal 69 dan
77
14. Peraturan Kepala Badan
POM RI No HK.
03.1.23.03.12.1563/ 2012
Pedoman Pengkajian
Keamanan Pangan
PRG
Semua pasal
Dari hasil identifikasi isi peraturan dan perundang-undangan, dapat
dikategorikan 18 aspek kunci. Aspek-aspek kunci tersebut adalah bioteknologi,
proses rekayasa genetik atau organisme hasil modifikasi genetik, produk rekayasa
genetik (PRG), pengujian, dampak, keamanan lingkungan, keamanan pangan,
119
keamanan pakan, keanekaragaman hayati, pengkajian risiko (Risk assessment),
pengelolaan risiko (Risk management), komunikasi risiko (Risk communication),
analisis risiko, pengendalian, keberlanjutan, perpindahan gen (persilangan),
kesehatan manusia, dan (masukan) masyarakat. Hasil pembahasan terhadap
kandungan isi dari regulasi-regulasi tersebut, beserta kajian proporsi sebaran
aspek kunci digambarkan lebih jelas di dalam Tabel 2.
Dari hasil pembahasan menggunakan metode analisis isi terhadap
peraturan dan perundang-undangan yang disajikan pada Tabel 2, yang terdiri atas
delapan belas aspek kunci yang ditelaah berdasarkan persentase proporsi kata atau
frasa yang terkandung dalam peraturan-peraturan tersebut, diperoleh jumlah aspek
kunci terbanyak di dalam PP No 21/2005 tentang Keamanan Hayati PRG (15
buah) dan PerPres No 39/2010 mengenai Kelembagaan PRG (13 buah). Kedua
peraturan tersebut dikeluarkan khusus untuk menangani pengelolaan PRG dan
menyempurnakan atau melengkapi peraturan-peraturan sebelumnya khususnya
hal-hal yang belum tercantum dalam peraturan tersebut.
Pada undang-undang 12/1992 mengenai sistim budidaya pertanian, belum
digunakan istilah PRG, tetapi lebih dikenal dengan istilah produk introduksi yang
memiliki kesamaan makna dengan PRG saat ini. Pemerintah melalui Departemen
Pertanian (sebelum berganti nama menjadi Kementerian Pertanian, yang memiliki
wewenang terhadap pengelolaan tanaman PRG saat itu) mencantumkan dalam
pasal 8 dan pasal 12 istilah produk introduksi dari luar negeri , harus diuji
sebelum diedarkan dan digunakan oleh masyarakat. Kehadiran dua pasal dalam
undang-undang ini membuktikan perhatian pemerintah terhadap kemungkinan
masuknya PRG ke wilayah Indonesia, sehingga pemeriksaan harus dilakukan
terlebih dahulu, meskipun belum ada petunjuk teknis pelaksanaan pengkajian,
akan tetapi kekhawatiran pada kemungkinan munculnya dampak PRG terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan sudah tergambar dalam undang-undang
tersebut. Pada undang-undang No 18/2012 tentang pangan telah dibuat pasal
khusus (pasal 69) yang mencantumkan keamanan pangan PRG yang merupakan
bagian dari keamanan hayati. Setiap pangan yang memiliki kandungan bahan
PRG, harus memperoleh izin keamanan pangan terlebih dahulu sebelum pangan
tersebut dapat diedarkan kepada masyarakat.
120
Tabel 2 Proporsi sebaran aspek kunci dalam regulasi utama terkait kebijakan pengelolaan PRG
No Aspek kunci
Peraturan dan Perundang-undangan terkait pengelolaan PRG (%)
Rat
a-r
ata
pro
po
rsi
Jum
lah
ke
bija
kan
te
rkai
t
UU
N
o
12
/19
92
Si
stim
bu
did
aya
Tan
ama
n
UU
18
/ 2
01
2
Pan
gan
UU
No
21
/20
04
Pe
nge
sah
an
pro
toko
l ca
rtag
en
a U
U
No
3
2/2
00
9
Pe
rlin
du
nga
n
dan
pe
nge
lola
an
lingk
un
gan
hid
up
SK
B
Me
nta
n,
Me
nh
utb
un
,
Me
nke
s, d
an M
en
eg P
anga
n
dan
H
ort
iku
ltu
ra
29
Se
pt
19
99
PP
N
o
69
/19
99
Lab
el
dan
ikla
n p
an
gan
PP
N
o
28
/20
04
K
eam
ana
n,
mu
tu d
an g
izi p
an
gan
PP
N
o
21
/20
05
Ke
ama
nan
hay
ati P
RG
Pe
rpre
s N
o
39
/20
10
Ke
lem
bag
aan
PR
G
Pe
rMe
nta
n
No
3
7
20
11
Pe
lest
aria
n d
an p
em
anfa
atan
SDG
tan
aman
Pe
rMe
nta
n
No
6
1/2
01
1
Pe
ngu
jian
, p
en
ilaia
n
dan
pe
lep
asan
var
ieta
s ta
nam
an
1 Bioteknologi 0.00 0.00 20.37 0.00 4.00 0.00 0.00 4.51 7.02 0.00 3.28 5.00 5
2 Proses rekayasa genetic 0.00 2.48 0.00 0.00 0.00 2.86 2.88 0.00 0.00 0.00 0.00 2.33 3
3 Produk rekayasa genetic (PRG) ,organisme hasil modifikasi genetic
0.00 0.00 5.56 3.16 0.00 0.00 9.62 12.78 14.04 57.14 22.95 8.43 7
4 Pengujian 5.56 9.92 0.00 0.00 6.00 0.00 13.46 12.03 1.75 14.29 29.51 8.50 8
5 Dampak 0.00 5.79 9.26 33.68 2.00 11.43 2.88 0.75 3.51 0.00 0.00 6.88 8
6 Keamanan lingkungan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 15.79 17.54 0.00 13.11 13.00 3
7 Keamanan pangan 0.00 11.57 0.00 0.00 66.00 2.86 25.96 14.29 21.05 0.00 6.56 15.71 7
8 Keamanan pakan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 12.78 17.54 0.00 4.92 10.00 3
9 Keanekaragaman hayati 0.00 0.00 38.89 3.16 0.00 0.00 0.00 7.52 3.51 14.29 3.28 6.50 6
10 Pengkajian risiko 0.00 0.00 1.85 1.05 0.00 0.00 0.00 1.50 0.00 0.00 0.00 1.33 3
11 Pengelolaan resiko 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.26 3.51 0.00 0.00 2.50 2
12 Komunikasi risiko 0.00 0.00 0.00 1.05 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1
13 Analisis risiko 0.00 0.00 0.00 5.26 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 5.00 1
14 Pengendalian 20.37 1.65 0.00 11.58 14.00 0.00 0.96 4.51 3.51 0.00 1.64 5.86 7
15 Keberlanjutan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.01 0.00 14.29 0.00 2.50 2
16 Perpindahan gen,persilangan 5.56 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3.28 2.50 2
17 Kesehatan manusia 1.85 20.66 12.96 2.11 6.00 17.14 11.54 8.27 3.51 0.00 3.28 7.10 10
18 (Masukan) masyarakat 66.67 47.93 11.11 38.95 2.00 65.71 32.69 0.00 3.51 0.00 8.20 22.44 9
Jumlah aspek kunci 5 7 7 9 7 6 8 13 12 4 10 4.83
121
Di dalam UU 18/2012 telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap pangan
yang mempunyai kandungan ataupun memiliki bahan dasar PRG, harus
memenuhi persyaratan keamanan pangan sebelum diedarkan, dengan persentase
aspek kunci untuk keamanan pangan 11.57%. Undang-undang tentang pangan
dilengkapi dengan PP No 69/1999 tentang label dan iklan pangan serta PP No
28/2004 mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan. Selain itu, khusus mengenai
pangan PRG, telah dibuat pedoman pengkajian keamanan pangan PRG yang
disahkan oleh Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sejak tahun
2008 dan telah direvisi kembali pada tahun 2012. Penetapan pedoman pengkajian
ini memerlukan waktu yang cukup lama, jika dilihat dari waktu penetapan PP
21/2005.
Prinsip keamanan hayati dalam PP No 21 tahun 2005 telah mencakup
keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan. Sedangkan
pedoman (guideline) merupakan perangkat operasional dalam melakukan
pengkajian risiko PRG sebelum dilepas atau diedarkan kepada masyarakat.
Sampai saat ini beberapa pedoman teknis pengkajian terhadap keamanan PRG
masih belum dapat diselesaikan, seperti pedoman pengkajian keamanan pakan dan
pedoman pelaksanaan penelitian rekayasa genetik. Pedoman pengkajian
keamanan lingkungan khusus tanaman yang sebelumnya menggunakan Pedoman
Pengkajian Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik. Seri Tanaman yang telah
ditetapkan sejak tahun 2005, telah diganti dengan Pedoman Penyusunan Dokumen
Analisis Risiko Lingkungan Produk Rekayasa Genetik yang telah ditetapkan
menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PerMen LH) No 25 Tahun 2012.
Lambatnya proses pengesahan beberapa pedoman keamanan hayati PRG,
berakibat terhadap izin keamanan hayati yang dikeluarkan pemerintah. Contohnya
adalah impor kedelai PRG yang telah dijalankan lebih kurang sejak lima belas
tahun yang lalu, akan tetapi pengkajian terhadap keamanan pangan di Indonesia
baru dilakukan setelah ditandatanganinya Pedoman Pengkajian Keamanan Pangan
pada tahun 2008 dan terakhir direvisi lagi tahun 2012. Daftar tanaman PRG yang
telah memperoleh izin keamanan hayati dari Kementerian yang berwenang/LPNK
terkait disajikan pada Tabel 3.
122
Tabel 3. Daftar PRG yang telah memperoleh keamanan hayati dari
pemerintah pada tahun 1999-2013
No Nama tanaman Sifat yang direkayasa Jenis keamanan
hayati
1. Kapas MON event
53/757/076
Tahan serangan hama Aman hayati
2. Kapas event MON
1445/1698
Toleran herbisida Aman hayati
3. Jagung event MON 810 Tahan serangan hama Aman hayati
4. Jagung event GA 21 Toleran herbisida Aman hayati
5. Kedelai event GTS 40-3-2 Toleran herbisida Aman hayati
6. Tebu event NXI-1T, NXI-
4T, dan NXI-6T
Toleran kekeringan Aman lingkungan
7. Tebu NXI-IT, NXI-4T dan
NXI-6T
Toleran kekeringan Aman pangan
8. Jagung event MON 89034 Tahan lepidoptera
Aman pangan
9. Jagung event MON NK 603
Toleran glifosat Aman pangan
10. Kedelai event GTS 40-3-2
Toleran glifosat Aman pangan
11. Jagung event MON 89788
Toleran glifosat Aman pangan
12. Jagung event MIR 162
Tahan hama Aman pangan
13. Jagung Event GA 21
Toleran glifosat Aman pangan
14. Jagung Event MIR 604
Tahan hama Aman pangan
15. Jagung Bt 11
Tahan hama
Lepidoptera
Aman pangan
16. Jagung Event 3272 Toleran enzim
α-amilase
Aman pangan
17. Ice Structuring Protein (ISP)
Bahan tambahan
Pangan
Aman pangan
18. Ronozym AX (CT) Food additive utk
pakan
Aman pakan
19. Jagung event NK 603 Toleran glifosat Aman pakan
20. Jagung event MON 89034 Tahan Lepidoptera Aman pakan
Sumber:Herman (2009) dan Laporan Sekretariat KKH PRG (2013)
Peran peraturan dan kelembagaan dalam menetapkan suatu keputusan,
mengenai PRG sangat penting. Sejak diberlakukannya PP 21/2005 dan
123
dibentuknya kelembagaan PRG berdasarkan Perpres 39/2010, pemerintah telah
mengeluarkan surat keputusan dan sertifikat keamanan hayati menurut jenis dan
sifat PRG yang diajukan kepada Komisi Keamanan Hayati PRG (KKH PRG).
KKH PRG merupakan lembaga independen yang dibentuk langsung oleh Presiden
dan keanggotaannya ditetapkan oleh Presiden, atas usulan dari KLH. Susunan
KKH PRG terdiri dari satu orang ketua dan tiga orang ketua lainnya mewakili
kelompok bidang keamanan lingkungan, keamanan pakan dan keamanan pangan.
Anggota KKH PRG berasal dari lembaga pemerintah dan non pemerintah. Tugas
KKH PRG secara garis besar adalah memberikan rekomendasi, sertifikat hasil uji
keamanan hayati, memberikan saran dan pertimbangan terhadap pemantauan
dampak, pengelolaan risiko dan penarikan PRG dari peredaran serta
melaksanakan pengawasan terhadap pemasukan dan pemanfatan PRG kepada
Menteri Lingkungan Hidup, Menteri yang berwenang dan Kepala LPNK. Dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya, KKH PRG dapat dibantu oleh Tim Teknis
Keamanan Hayati (TTKH PRG) yang melakukan pengkajian dokumen teknis dan
uji lanjutan keamanan hayati. Keanggotaan TTKH PRG terdiri dari para pakar
berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan keamanan hayati serta memiliki
keahlian di bidang ilmu mereka masing-masing. Hirarki kelembagaan yang
berperan dalam pemberian izin keamanan hayati untuk tanaman PRG dapat
digambarkan seperti pada diagram alir yang disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir pengajuan izin keamanan hayati PRG
124
Bentuk pengajuan keamanan hayati dari proponen dapat berupa
permohonan izin keamanan lingkungan untuk tanaman diajukan kepada
Kementerian Lingkungan Hidup melalui Kementerian Pertanian, untuk izin
keamanan pangan diajukan kepada Kepala BPOM, dan izin keamanan pakan
kepada Kementerian Pertanian. Selanjutnya dokumen yang telah diisi dan
disiapkan oleh proponen akan diserahkan kepada KKH PRG yang kemudian
meminta TTKH PRG melakukan kajian terhadap permohonan yang diajukan.
Hasil kajian TTKH PRG disampaikan kepada KKH PRG yang selanjutnya
ditelaah sebelum diputuskan apakah izin keamanan hayati dapat dikeluarkan atau
tidak. Rekomendasi dari KKH PRG disampaikan kepada Menteri yang
berwenang/Kepala LPNK terkait, untuk dibuatkan surat keputusan
pelepasan/peredaran atau sertifikat hasil uji keamanan hayati. Sebelum KKH PRG
memutuskan untuk mengeluarkan rekomendasi kepada Menteri yang berwenang
atau Kepala LPNK, harus dilakukan komunikasi publik melalui forum komunikasi
Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) dalam bentuk situs web BKKH
Indonesia (www.indonesiabch.or.id). Hasil masukan masyarakat akan dijadikan
salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Proses komunikasi terkait
kemungkinan timbulnya risiko PRG terhadap lingkungan dan kesehatan manusia
perlu dikomunikasikan agar masyarakat memahami mengenai penerapan
teknologi rekayasa genetic pada tanaman. Dalam salah satu kebijakan sistim
pertanian dan bioindustri terdapat kebijakan terhadap sarana produksi pertanian
yaitu kemampuan dalam mengembangkan benih/bibit hasil rekayasa genetik yang
harus dimonitoring dan dievaluasi secara ketat pelaksanaan dan dampaknya
(Kementan 2013). Pernyataan ini juga dikuatkan dalam UU 39/2009 mengenai
PPLH, yang mencantumkan sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG.
Sampai akhir tahun 2013 telah dikeluarkan 20 sertifikat keamanan hayati,
dimana untuk produk tanaman Kapas MON event 53/757/076 tahan serangan
hama, Kapas event MON 1445/1698 toleran herbisida, Jagung MON 810, Jagung
GA 11 dan Kedelai event GTS 40-3-2 telah dinyatakan aman hayati sejak tahun
1999 oleh Komisi Keamanan Hayati Keamanan Pangan (KKHKP), karena pada
waktu tersebut Indonesia belum memiliki peraturan mengenai keamanan hayati
125
seperti PP 21/2005. Selanjutnya 10 sertifikat keamanan pangan untuk tanaman
PRG dan satu produk bahan tambahan pangan juga telah dikeluarkan oleh
BPOM. Sedangkan untuk keamanan lingkungan, meskipun masih menggunakan
pedoman keamanan lingkungan seri tanaman yang ditetapkan tahun 2005, telah
ditetapkan satu sertifikat keamanan lingkungan untuk Tebu event NXI-IT, NXI-
4T dan NXI-6T toleran kekeringan dan tiga sertifikat keamanan pakan untuk
produk Rhonozym dan dua tanaman Jagung PRG event NK 603 dan Jagung event
MON 89034 yang akan digunakan sebagai pakan ternak telah memperoleh
sertifikat untuk aman pakan. Izin keamanan hayati untuk tebu toleran kekeringan
yang dikembangkan oleh perusahaan swasta nasional PTPN XI telah memberikan
semangat pada lembaga-lembaga penelitian milik pemerintah lainnya untuk
menghasilkan tanaman PRG yang memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas
dan kuantitas hasil tanaman.
Identifikasi kerangka peraturan tentang kebijakan pengelolaan PRG,
khususnya menyangkut keamanan hayati PRG tertuang dalam tiga (3) undang-
undang yang secara garis besar terdiri dari Sistem budidaya tanaman (UU No
12/1992), Pengaturan pangan (UU No 18/2012) dan Keamanan hayati (UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No 39/2009).
Sedangkan UU No 21/2004 mengenai pengesahan protokol Cartagena, merupakan
payung atau acuan pembuatan PP No 21/2005 tentang keamanan hayati PRG.
Hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia mengenai
keamanan hayati disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Hirarki regulasi terkait kebijakan keamanan hayati PRG
126
Terdapat tiga undang-undang yang terkait langsung dengan keamanan
lingkungan dan pangan yaitu UU 12/1992 tentang Budidaya tanaman, yang
dilengkapi dengan Permentan 37/2011 mengenai pelestarian dan pemanfaatan
sumber daya genetik tanaman yang mengatur pemasukan dan pengeluaran sumber
daya genetik hasil rekayasa genetik dengan mengikuti peraturan keamanan hayati
yang telah ditetapkan dalam PP 21/2005. Sedangkan Permentan 61/2011 yang
mengatur tentang pengujian, penilaian, pelepasan dan penarikan varietas, yang
juga meliputi tanaman PRG. Menurut Permentan 61/2011 tanaman PRG meliputi
tanaman pangan PRG, tanaman perkebunan PRG dan tanaman hijauan pakan
ternak PRG (pasal 8). Di dalam peraturan ini dijelaskan tata cara pelepasan
tanaman PRG sebagai varietas baru sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
sebelum pelepasan varietas. Uji adaptasi atau uji observasi terhadap tanaman PRG
dapat dilakukan setelah proses pengujian keamanan hayati atau bersamaan dengan
pengujian keamanan hayati (pasal 9).
Keamanan pangan telah diatur di dalam undang-undang pangan
No18/2012 yang merupakan perbaikan dari UU 7/1996 yang dianggap sudah tidak
relevan dengan perkembangan teknologi saat sekarang. Keamanan pangan
khususnya pangan yang menggunakan PRG sebagai bahan dasar, tambahan atau
pelengkap harus memenuhi persyaratan keamanan pangan sebelum diedarkan dan
dikomersialisasikan kepada masyarakat. Keharusan pengujian keamanan pangan
untuk produk pangan yang dibuat dengan proses rekayasa genetik merupakan
persyaratan yang ditulis dalam PP No 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan, yang menyatakan bahwa keamanan pangan ditangani dan ditetapkan oleh
BPOM sebagai Lembaga Otoritas Kompeten Nasional berdasarkan rekomendasi
Komisi Keamanan Hayati PRG (KKH PRG) yang ditetapkan berdasarkan
Peraturan Presiden No 39 tahun 2010 tentang Kelembagaan PRG. Jika terdapat
pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap pemanfaatan pangan berbahan PRG
tanpa melalui izin keamanan pangan akan dikenakan sanksi denda dan pidana
seperti yang telah ditetapkan dalam UU 32/2009 mengenai PPLH.
Peraturan pemerintah No 21/2005 tentang kemaanan hayati PRG telah
melengkapi dan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Surat Keputusan
Bersama (SKB) Empat Menteri. Demikian juga dengan kelembagaan yang
127
mengatur pengelolaan PRG telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres)
No 39/2010. Dua peraturan ini mengacu kepada UU 32/2009 yang mencantumkan
sanksi denda dan pidana terhadap pelanggaran penggunaan PRG yang tidak
memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Terdapat periode kekosongan dalam
mengeluarkan keputusan keamanan hayati sebelum ditetapkannya Perpres
39/2010, sebelumnya hanya keputusan keamanan lingkungan dari Menteri terkait
untuk tanaman jagung, kedelai dan kapas PRG. Selain permasalahan penetapan
kelembagaan yang baru dikeluarkan tahun 2010, keterlambatan pengambilan
keputusan dalam pengajuan keamanan hayati PRG adalah peralihan kewenangan
dalam penyelenggaraan pengelolaan keamanan hayati PRG, seperti yang
dicantumkan dalam Perpres 39/2010 yaitu kedudukan KKH PRG yang
sebelumnya merupakan koordinatif dan melibatkan empat departemen, kemudian
menjadi mandat atau wewenang langsung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH)
seperti yang tertulis dalam Perpres 39/2010 pasal 5 ayat 3 bahwa pengangkatan
ketua dan anggota KKH PRG ditetapkan oleh presiden berdasarkan usulan dari
KLH. Perubahan lainnya adalah kedudukan sekretariat KKH PRG yang
sebelumnya di Kementan dialihkan ke KLH, demikian juga kedudukan dari Balai
Kliring Keamanan Hayati (BKKH) yang berfungsi sebagai pengelola dan penyaji
informasi kepada publik, sebelumnya fungsi tersebut dilaksanakan oleh Puslit
Bioteknologi, LIPI yang dirintis sejak diratifikasinya Protokol Cartagena pada
tahun 2004. Akhirnya BKKH dibangun pada tahun 2005 dan berfungsi sebagai
sumber informasi keamanan hayati PRG. Karena pendirian BKKH merupakan
kewajiban maka penyelenggaraannya pada saat itu diserahkan pada institusi
pelaksana sebagai pengelola. Kedudukan BKKH dialihkan kepada KLH sesuai
dengan ketentuan yang ditulis pada Perpres 39/2010 Bab IV pasal 10. Kondisi
nyata yang terjadi pada masa peralihan kewenangan dan kedudukan adalah
ketidaksiapan di institusi pelaksana dalam mempersiapkan masa transisi sehingga
terjadi kevakuman pengelolaan BKKH sejak tahun 2010. Pengelolaan BKKH
akhirnya secara administrasi dipegang KLH, mulai 2012. Pemusatan kewenangan
oleh KLH sebagai pelaksana keamanan hayati di Indonesia, diharapkan dapat
didukung dengan kemampuan sumber daya manusia dan infrastruktur yang
128
memadai agar pengelolaan PRG dapat berjalan dengan baik dan memenuhi
prinsip keberlanjutan.
Berdasarkan kerangka waktu penetapan peraturan-peraturan dan
perundang-undangan yang telah ditetapkan pemerintah dapat disimpulkan bahwa
kebijakan yang diterapkan dalam peraturan-peraturan terkait PRG dapat
ditampilkan dalam kerangka waktu (time line) untuk memperjelas urutan
penetapannya dalam strategi kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah selama
ini (Gambar 3).
30-Apr-92 30-Aug-13
30-Apr-92
UU N0 12/19924-Nov-96
UU No 7/1996
29-Sep-99
SKB 4 Menteri
26-Nov-02
PP No 28/2004
28-Oct-03
UU No 21/2004
28-Sep-04
PP No 21/2005
15-Jan-07
UU No 32/2009
13-Aug-09
Perpres No 39/2010
7-Mar-11
PerMentan No 61/2011
7-Oct-98
PP No 69/1999
13-Apr-12
UU No 18/201231-Oct-12
Permen LH 25/2012
20-Sep-10
PerMenTan No 37/2011
Gambar 3. Time line penetapan kebijakan nasional terkait pengelolaan PRG di
Indonesia
B. Prioritas Kebijakan dalam Pengelolaan PRG dengan AHP
Susunan hirarki kebijakan pengelolaan PRG menurut justifikasi pakar dari
institusi pemerintah, perguruan tinggi dan swasta, telah dilakukan pengambilan
keputusan terhadap permasalahan yang komplek berdasarkan tujuan strategi
pengelolaan PRG, maka disusun level hirarki menjadi empat tingkatan yaitu level
tujuan, faktor, kriteria dan alternatif, yang memberikan gambaran atau keadaan
pengelolaan PRG saat sekarang.
Susunan hirarki tersebut disusun menjadi:
Level pertama adalah fokus kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan.
Level kedua merupakan faktor-faktor yang berperan dalam mempengaruhi
pengelolaan PRG yang terdiri atas faktor lingkungan, ekonomi, sosial
kemasyarakatan dan teknologi.
Level ketiga adalah kriteria dari masing-masing faktor yang mempengaruhi
pengembangan kebijakan keberlanjutan pengelolaan PRG antara lain keamanan
129
PRG terhadap organisme non target, keanekaragaman hayati potensial,
perpindahan material genetik, perbaikan kualitas lingkungan dan PRG yang
aman untuk lingkungan, yang merupakan elemen-elemen lingkungan. Untuk
faktor ekonomi terdiri dari kriteria stabilitas produksi, berkurangnya biaya
produksi dan meningkatnya pendapatan petani. Selanjutnya kriteria-kriteria
untuk faktor sosial masyarakat terdiri dari persepsi dan penerimaan masyarakat,
pendidikan masyarakat, keamanan PRG terhadap kesehatan manusia dan
labeling untuk PRG yang sudah dikomersialisasikan. Terakhir faktor teknologi
yang terdiri atas elemen kemampuan SDM melakukan pengujian keamanan
hayati dan kemampuan SDM dalam riset dasar sampai diperoleh PRG.
Level keempat adalah alternatif-alternatif yang telah direstriksi oleh pakar
menjadi duabelas alternatif yang dapat dipertimbangkan dalam pengambilan
keputusan kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan.
Setiap elemen pada setiap level selanjutnya diboboti oleh pakar dengan
menggunakan nilai bobot seperti yang telah ditetapkan oleh Saaty (1993).
Pengolahan data untuk menentukan elemen prioritas dalam pengambilan
keputusan kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan menggunakan software
Expert Choice 2000
Hasil sintesis menghasilkan nilai eigen (bobot) untuk setiap pilihan yang
ada di dalam struktur AHP. Untuk memudahkan dalam interpretasi hasil terhadap
nilai eigen maka nilai tersebut dimasukkan dalam struktur hirarki AHP secara
kumulatif sebagaimana yang disajikan pada Gambar 4.
- Kontribusi Peran Berdasarkan Level
Tingkat kepentingan berdasarkan peran dari masing masing level yaitu
level faktor, level kriteria dan level alternatif, yang selanjutnya dianalisis terhadap
perannya dalam pengembangan kebijakan pengelolaan PRG berbasis kajian
berkelanjutan (Gambar 4). Berdasarkan keputusan (judgement) pakar, secara
hirarki pada level faktor yang berpengaruh dalam pengelolaan PRG, tidak terdapat
perbedaan penilaian yang nyata, karena nilai bobot yang diberikan hampir sama
besar nilainya. Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan adalah 0.258, faktor
ekonomi 0.232, faktor sosial 0.278 dan faktor teknologi 0.232, nilai yang
130
diberikan pakar hampir tidak ada perbedaan. Berdasarkan hal ini, dapat
disimpulkan bahwa keempat faktor tersebut memiliki peran yang sama pentingnya
dalam kebijakan pengelolaan PRG di Indonesia. Nilai pembobotan yang tidak
jauh berbeda diantara empat faktor tersebut sangat sesuai dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan yang harus memperhatikan tiga faktor utama sebagai
pilar pembangunan yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial (Rogers et al. 2008).
Dalam mengelola dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber daya alam
dalam hal ini keanekaragaman hayati merupakan sumber plasma nutfah yang
harus dijaga kelestariannya. Supaya tercapai tujuan pemanfaatan keanekaragaman
hayati yang berkelanjutan, diperlukan perangkat teknologi yang dapat mengurangi
eksploitasi terhadap lingkungan. Dalam hal ini peran teknologi terutama rekayasa
genetik dalam pengembangan kualitas dan kuantitas tanaman Padi Bt PRG dapat
diterima dengan persyaratan keamanan lingkungan terhadap organisme non target
di lokasi penanaman terpenuhi dan telah dinyatakan aman lingkungan setelah
melalui pengujian dan pengkajian risiko oleh kelembagaan berwenang.
131
Gambar 4. Struktur hirarki dengan analisis AHP untuk kebijakan pengelolaan PRG di Indonesia
132
Sebagai produk teknologi baru, keberhasilan dalam pengelolaan PRG tidak
terlepas dari kemampuan penguasaan teknologi baik infrastruktur maupun
kemampuan SDM, sehingga manfaat ekonomi yang diindikasikan pada tingkat
pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas bisa berakhir pada kesejahteraan
masyarakat tercapai (Cogoy and Steininger 2007). Jika terjadi ketidakseimbangan
pada salah satu faktor diatas akan berakibat pada ketidakberlanjutan pembangunan
dalam pemanfaatan PRG.
Gambar 5. Prioritas dari level faktor yang mempengaruhi pengelolaan PRG
dengan nilai bobot dari setiap aspek yang dikaji.
Berdasarkan keputusan (judgement) pakar, hirarki pada level faktor atau
aspek yang berpengaruh dalam pengelolaan PRG, menghasilkan nilai bobot yang
hampir sama nilainya (Gambar 5). Hasil penilaian terhadap faktor lingkungan
dengan nilai bobot (eigen) 0.258, faktor ekonomi 0.232, faktor sosial 0.278 dan
faktor teknologi 0.232. Nilai pembobotan yang hampir sama untuk keempat faktor
tersebut sangat sinkron dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang harus
memperhatikan tiga faktor utama sebagai pilar yaitu ekonomi, lingkungan dan
sosial (Barbier 2005). Sementara UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH
menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana
yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi penanganan kebijakan
dalam pengelolaan PRG, maka setiap level faktor terdiri dari kriteria-kriteria
sesuai dengan faktor/aspek yang dikaji. Level kriteria dari masing-masing faktor
133
hasil justifikasi pakar, telah diperoleh nilai pembobotan menggunakan pendekatan
AHP. Nilai bobot tertinggi dari faktor lingkungan adalah kriteria perpindahan
material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non PRG (0.278) (Gambar 6).
Munculnya kekhawatiran pakar terhadap kemungkinan terjadinya perpindahan
material genetik (gene flow) pada tanaman PRG cukup beralasan karena akan
berakibat terjadinya perubahan dalam keseimbangan ekosistem. Di lapangan,
terjadinya perpindahan material genetik antara tanaman PRG dengan tanaman
sejenis non PRG dapat terjadi dengan terpenuhinya beberapa persyaratan seperti;
kesamaan jenis tanaman, memiliki kompatibalitas yang tinggi secara sexual
(sexually compatible), terutama terhadap kerabat liar (wild relatives) (Rissler &
Mellon 1996). Jika semua persyaratan sudah terpenuhi, maka dapat terjadi
persilangan (crossing) sehingga dihasilkan dapat menghasilkan keturunan yang
fertil (Gambar 6).
Gambar 6. Prioritas kriteria dari faktor lingkungan dengan nilai bobot untuk
setiap kriteria yang dikaji.
Pada kasus tanaman padi, perpindahan material genetik anatara tanaman
PRG dengan non PRG secara alami dapat terjadi melalui pollen yang terbawa oleh
angin, meskipun kemungkinan terjadinya sangat kecil, sebab padi termasuk
tanaman yang menyerbuk sendiri (self-pollination). Menurut pakar, pada elemen
terjadinya gene flow paling penting untuk diperhatikan dari aspek lingkungan
Hasil analisis AHP terhadap kriteria-kriteria yang membangun aspek ekonomi
(Gambar 7), memberikan nilai tertinggi untuk elemen peningkatan pendapatan
petani (0.358). Sedangkan elemen-elemen pengurangan biaya dalam produksi
tanaman (0.333) serta stabilitas produksi tanaman PRG (0.309). Berdasarkan
penilaian secara ekonomis, berkurangnya biaya produksi dan kestabilan produksi
134
pada waktu panen akan memberikan peningkatan penghasilan dan menambah
kesejahteraan petani. Menurut James (2012) pemanfaatan tanaman hasil
bioteknologi (tanaman PRG) di beberapa negara berkembang telah meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani penanam. Khususnya untuk tanaman yang
memiliki ketahanan terhadap serangan hama, mampu mengurangi pengeluaran
petani terhadap penggunaan insektisida. Pertimbangan faktor ekonomi penting
sebelum memanfaatkan tanaman PRG, karena perbaikan mutu dari kualitas dan
kuantitas PRG menjadi target utama dalam pengembangan PRG. Menurut Sharma
et al (2002) manfaat ekonomi akan diperoleh jika pemanfaatan produk
bioteknologi tersebut sesuai dengan sifat yang ditambahkan serta diaplikasikan
pada areal tanam yang luas. Selain itu, penelitian ekonomi memegang peranan
penting dalam penerapan bentuk mekanisme regulasi yang efisien serta inovasi
yang diperlukan dalam teknologi di bidang pertanian (Qaim 2009)
Gambar 7. Prioritas kriteria dari aspek ekonomi dan nilai bobot masing-masing
elemen yang dikaji.
Dari kriteria-kriteria aspek sosial masyarakat, hasil analisis AHP
memberikan nilai faktor keamanan terhadap kesehatan manusia dengan bobot
tertinggi (0.464) bila dibandingkan dengan pendidikan masyarakat tentang PRG
(0.319), persepsi dan penerimaan masyarakat (0.125), dan faktor pelabelan
terhadap PRG (0.091), secara lengkap urutan prioritas disajikan pada Gambar 8.
Prioritas utama untuk keamanan PRG terhadap kesehatan manusia sama
dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang No 7 tahun 1996
pasal 13 ayat 1, “bahwa setiap orang yang memproduksi pangan atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan dan atau bahan bantu lain
135
dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetik wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan
manusia sebelum diedarkan”. Sebagai prioritas utama hasil analisis AHP,
keamanan pangan, sangat penting untuk diperhatikan, mengingat hal ini sangat
berhubungan dengan keberlanjutan kehidupan manusia, sesuai dengan
persyaratan pelepasan PRG yang harus memenuhi keamanan lingkungan, aman
pangan dan/atau aman pakan (PP No 21 / 2005).
Gambar 8. Prioritas terhadap kriteria-kriteria faktor sosial masyarakat dengan nilai
bobot masing-masing.
Agar pelaksanaan prinsip keamanan hayati PRG tercapai, perlu
peningkatan pengetahuan dan pendidikan masyarakat terhadap PRG itu sendiri,
sehingga dapat memberikan persepsi dan penerimaan yang seimbang antara
manfaat dan kerugian PRG. Sedangkan faktor pelabelan (labelling), meskipun
telah ditetapkan melalui PP 69/1999, akan tetapi menurut pendapat pakar hal
tersebut masih belum menjadi prioritas bila dibandingkan dengan faktor
keamanan terhadap kesehatan manusia, pendidikan dan persepsi masyarakat.
Dalam penyelenggaraan kebijakan pengelolaan PRG yang berkelanjutan,
selain aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial, kriteria peningkatan teknologi telah
menjadi program yang melengkapi tiga aspek utama tersebut. Tanpa kemampuan
di bidang teknologi, selamanya Indonesia akan selalu bergantung pada negara lain
yang telah menguasai teknologi pembuatan PRG. Berdasarkan pendapat pakar,
faktor kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan pengujian dan
pengkajian PRG mendapat nilai bobot lebih tinggi (0.580) dibandingkan dengan
kemampuan untuk melakukan riset atau penelitian untuk memperoleh PRG itu
sendiri (0.420). Urutan prioritas disajikan pada Gambar 9.
136
Gambar 9. Prioritas kriteria dari faktor teknologi dengan nilai bobot untuk setiap
kriteria yang dikaji
Pentingnya kemampuan dalam melakukan pengujian sangat terkait dengan
persyaratan keamanan PRG, sebelum dapat dimanfaatkan bagi kepentingan
manusia. Hal ini sangat berhubungan dengan pengujian dalam menentukan
apakah PRG tersebut memenuhi kriteria keamanan hayati yang meliputi
keamanan pangan, lingkungan dan/atau pakan.
Berdasarkan justifikasi pakar, alternatif yang dapat dilakukan dalam
penanganan kebijakan pengelolaan PRG terdiri dari duabelas elemen yang
dianggap dapat memberikan solusi dan kontribusi penanganan masalah. Penilaian
diberikan berdasarkan tingkat prioritas yang lebih diutamakan. Hasil pembobotan
pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas dari elemen
tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa prioritas utama dengan nilai bobot
tertinggi adalah untuk elemen law enforcement pada peraturan dan undang-
undang. Prioritas utama ini berlaku baik terhadap faktor lingkungan, ekonomi,
sosial dan teknologi, dengan nilai masing-masing 0.178, 0.191, 0.185, dan 0.198.
137
Tabel 4. Nilai pembobotan untuk elemen-elemen alternatif berdasarkan kriteria
agregat, lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi
Alternatif kedua tertinggi yang dapat dilakukan setelah mengikuti
peraturan dan regulasi adalah kemampuan sumber daya manusia (SDM) baik
anggota TTKH PRG yang ditunjuk untuk melakukan pengkajian risiko maupun
SDM terlatih lainnya seperti pakar atau peneliti yang harus memiliki kemampuan
dalam pengujian risiko PRG. Kepedulian pakar terhadap kemampuan TTKH PRG
melakukan pengujian dan pengkajian risiko menggambarkan bahwa potensi ini
No
Alternatif kebijakan Nilai
agregat
Nilai Konstribusi Faktor
Lingkungan Ekonomi Sosial Teknologi
1 Revisi pedoman keamanan
lingkungan 0.085 0.085 0.086 0.082 0.089
2 Membuat pedoman
keamanan pakan 0.071 0.073 0.068 0.072 0.071
3 Membuat pedoman
penelitian &
pengembangan
0.104 0.101 0.106 0.104 0.106
4 Meningkatkan
kemampuan SDM untuk
pengujian keamanan
hayati
0.096 0.100 0.093 0.100 0.090
5 Meningkatkan
kemampuan TTKH dalam
pengkajian risiko 0.162 0.153 0.163 0.167 0.164
6 Mengembangkan fasilitas
penelitian utk riset 0.069 0.079 0.066 0.067 0.063
7 Konsistensi pendanaan 0.077 0.082 0.081 0.072 0.070
8 Studi sosial ekonomi
untuk keberlanjutan PRG 0.028 0.028 0.029 0.028 0.028
9 Sosialisasi PRG kepada
masyarakat 0.031 0.028 0.030 0.033 0.033
10 Pendidikan dan informasi
ilmiah 0.056 0.058 0.052 0.056 0.056
11 Program studi keamanan
hayati di PT 0.034 0.035 0.035 0.032 0.032
12 Law enforcement thd
peraturan dan undang-
undang 0.187 0.178 0.191 0.185 0.198
138
harus dikuasai terlebih dahulu sebelum pemanfaatan PRG dapat dioptimalkan.
Hasil pembobotan untuk semua elemen alternatif disajikan pada Tabel 4.
Hasil proses hirarki analisis (AHP) menunjukkan penilaian gabungan
kriteria alternatif agregat, dengan lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi yang
dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang
cukup baik (Tabel 5). Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR)
berkisar antara 0.00-0.089 pada semua elemennya. Nilai inkonsistensi dari indeks
pembandingan berpasangan harus dibawah 0.1.
Tabel 5. Nilai indexs inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan
berpasangan
No Sub elemen Indeks
Inkonsistensi No Sub elemen Indeks
Inkonsistensi 1 Revisi pedoman
keamanan lingkungan
0.02 7 Konsistensi pendanaan 0.01
2 Membuat pedoman
keamanan pakan
0.02 8 Studi sosial ekonomi
untuk keberlanjutan PRG
0.01
3 Membuat pedoman
penelitian &
pengembangan
0.02 9 Sosialisasi PRG kepada
masyarakat
0.02
4 Meningkatkan
kemampuan SDM
untuk pengujian
keamanan hayati
0.01 10 Pendidikan dan
informasi ilmiah
0.02
5 Meningkatkan
kemampuan TTKH
dalam pengkajian
risiko
0.01 11 Program studi keamanan
hayati di PT
0.02
6 Mengembangkan
fasilitas penelitian utk
riset
0.01 12 Law enforcement thd
peraturan dan undang-
undang
0.02
Pada alternatif peningkatan kemampuan TTKH PRG dalam melakukan
pengkajian risiko tanaman PRG, menurut pendapat pakar perlu mendapat
perhatian. Karena kompetensi dan keahlian harus dimiliki oleh anggota TTKH
PRG sebagai tim ahli yang akan melakukan pengkajian sesuai dengan kepakaran
mereka masing-masing. Kemandirian dan keahlian menjadi bagian dari ciri-ciri
anggota TTKH, sehingga tidak boleh memiliki keterkaitan dengan proponen yang
mengajukan izin pelepasan PRG. Oleh sebab itu kemampuan TTKH dalam
melakukan pengkajian sangat penting, agar diperoleh hasil pengkajian dengan
metode ilmiah yang benar dan memiliki akurasi yang tinggi.
139
Penanganan kebijakan pengelolaan PRG seharusnya memiliki perencanaan
jangka panjang karena merupakan bagian dari pembangunan pertanian
keberlanjutan yang dapat memberi pengaruh cukup besar terhadap perekonomian,
kesejahteraan masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan. Selain itu
keterlibatan banyak pihak termasuk masalah yang perlu ditangani melalui
koordinasi lintas sektoral.
C. Analisis Pengambilan Keputusan terhadap Alternatif Kebijakan
Hasil sintesis AHP menetapkan bahwa alternatif law enforcement terhadap
peraturan dan undang-undang harus menjadi hal utama yang dilaksanakan terlebih
dahulu sebelum elemen-elemen lainnya. Dari dua belas elemen alternatif yang
telah diberi bobot oleh pakar, kemudian dinilai kembali untuk mengetahui pola
hubungan diantara sesama elemen dan perannya dalam kebijakan yang telah
dipilih menggunakan aplikasi teori grafis atau metode ISM. Pada Gambar 10
dapat dilihat bahwa semua elemen yang dipilih pakar sebagai alternatif
keberlanjutan pengelolaan PRG, tersebar pada sector II, III dan IV, tidak ada yang
berada pada sektor I (Autonomous). Sub elemen law enforcement terhadap
peraturan (A12), peningkatan kemampuan TTKH dalam melakukan pengkajian
keamanan hayati (A5) dan peningkatan kemampuan SDM melakukan pengujian
keamanan hayati (A4) berada pada sektor IV (independent sector) yang
merupakan sub elemen kunci dan merupakan alternatif yang paling penting
diperhatikan serta akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap sub elemen
lain dalam keberlanjutan pengelolaan PRG di Indonesia. Selain itu ketiga sub
elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap
sub elemen lainnya, sehingga perubahan yang terjadi pada tiga sub elemen kunci
ini dapat mempengaruhi elemen lainnya. Elemen kunci yang berada pada sektor
IV ini perlu memperoleh perhatian dan kajian yang serius dalam implementasi di
lapangan.
140
Gambar 10. Matriks driver power–dependence untuk elemen-elemen alternatif
yang diperlukan dalam pemanfaatan PRG berkelanjutan di
Indonesia.
Elemen-elemen yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi
terhadap elemen lainnya berada pada sektor II yaitu; pengembangan fasilitas
penelitian (A6), studi sosial ekonomi sebelum pemanfaatan PRG (A8) dan
membuat program studi keamanan hayati di perguruan tinggi (A11). Ketiga
elemen ini berada pada sektor dependence yang berarti ketiga alternatif ini bisa
dilaksanakan jika diperkuat oleh elemen-elemen lainnya sebagai pendukung.
Tersedianya pedoman keamanan lingkungan dan pakan (A1,A2),
konsistensi pendanaan (A7), sosialisasi kepada masyarakat (A9) dan pendidikan
yang benar mengenai PRG (A10) termasuk pada sektor III yaitu peubah linkage.
Pada sektor ini, semua elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang cukup
besar, sehingga keberhasilan dalam pelaksanaannya akan memberikan kesuksesan
pada pemanfaatan PRG, dan sebaliknya jika elemen-elemen ini diabaikan akan
menimbulkan kegagalan dalam pemanfaatan PRG di Indonesia. Kejadian seperti
ini pernah dialami Indonesia pada waktu percobaan penanaman terbatas kapas Bt
di daerah Sulawesi Selatan, yang mengalami kegagalan karena tidak melakukan
studi yang menyeluruh sebelum pemanfaatan PRG tersebut di lapangan.
141
Diharapkan dengan adanya kajian sistem kebijakan sebelum pemanfaatan PRG
dapat mengurangi kegagalan seperti sebelumnya. Dari analisis ISM, tidak ada
elemen yang berada pada sektor I, hal ini berarti tidak ada alternatif yang berada
diluar sistem.
Gambar 11. Struktur hirarki sub elemen alternatif yang berperan dalam
pengelolaan PRG
Berdasarkan struktur hirarki pada Gambar 11, terdapat enam tahapan yang
bisa diambil sebagai alternatif kebijakan dalam pengembangan pengelolaan PRG
berkelanjutan. Pada tahap pertama yang paling penting dilakukan adalah
pelaksanaan kebijakan pengelolaan PRG yang sesuai dengan aturan dan regulasi
yang telah ditetapkan pemerintah (A12). Pendapat pakar ini dikuatkan oleh
ketentuan yang tercantum dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pasal 101 bahwa pelanggaran terhadap peredaran
atau pelepasan PRG akan dikenakan sanksi hukuman penjara atau denda. Pasal ini
memperlihatkan keseriusan pemerintah terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG
yang tidak sesuai dengan prosedur atau ketentuan yang berlaku. Pada level
berikutnya adalah meningkatkan kemampuan sumber daya manusia terutama
anggota TTKH PRG dalam melakukan pengkajian dan pengujian PRG (A4, A5).
Level 1
Level 4
Level 3
Level 5
Level 6
Level 2
142
Pada tahapan keempat yaitu penetapan pedoman teknis untuk keamanan
lingkungan, keamanan pakan dan pedoman pengembangan dan penelitian PRG
(A1,A2, A3), kemudian melakukan sosialisasi mengenai PRG (A9), pendanaan
untuk penelitian dan pengembangan PRG (A7) serta pendidikan ilmiah yang
benar kepada masyarakat . Terakhir alternatif yang dapat dilakukan adalah
melengkapi fasilitas penelitian untuk pengembangan PRG nasional (A6),
melakukan studi sosial ekonomi terhadap PRG sebelum pelepasan (A8) dan
menambah kurikulum di PT tentang keamanan hayati PRG (A11).
Pada tahun 2012 telah ditetapkan pedoman teknis untuk pengujian
keamanan lingkungan dalam Peraturan Menteri No 25/2012 tentang Pedoman
Analisis Risiko Lingkungan untuk tanaman dan jasad renik (mikroorganisme),
karena penelitian telah berlangsung sejak tahun 2011, maka alternatif untuk
pedoman keamanan lingkungan tetap muncul di dalam analisis keberlanjutan.
D. Lembaga yang Berperan dalam Pengelolaan PRG Berkelanjutan
Berdasarkan hasil justifikasi pakar, diperoleh 12 sub elemen lembaga yang
berperan dalam pengelolaan PRG dan mempunyai peranan yang cukup penting
dalam penyelenggaraan keamanan hayati PRG yaitu: 1) KKH PRG, 2) TTKH
PRG, 3) BPOM, 4) Kementerian Pertanian (Kementan), 5) Kementerian
Lingkungan Hidup (KLH), 6) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), 7)
Kementerian Kehutanan (Kemenhut), 8) Perguruan Tinggi (PT), 9) Masyarakat,
10)Petani, 11) Perusahaan Swasta dan 12) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) .
Hasil pengolahan dengan metode ISM, menunjukkan pembagian sebaran setiap
sub elemen masing-masing pada tiga sektor II, III dan IV seperti yang disajikan
pada Gambar 12. Sub elemen KKH (L1), TTKH (L2), BPOM (L3), Kementerian
Pertanian (Kementan) (L4) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) (L5)
berada pada sektor IV yang berarti lembaga-lembaga ini memiliki peran penting
dan menjadi elemen penggerak dalam pengelolaan dan pengambil kebijakan
terhadap perizinan pelepasan dan peredaran PRG. Lembaga-lembaga yang berada
pada sektor IV atau kuadran Driver Power Independen merupakan elemen kunci
yang memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi elemen-elemen lainnya.
143
Gambar 12. Matriks driver power–dependence untuk elemen lembaga
yang berpengaruh pada pengelolaan PRG di Indonesia
Gambar 13. Struktur hirarki sub elemen lembaga yang berperan dalam
pengelolaan PRG
Peran penting yang dipegang oleh lembaga-lembaga tersebut karena fungsi
dan wewenangnya dalam mengeluarkan izin peredaran dan sertifikat untuk
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
L1
L2
L3
L4
L5
L6
L7
L8
L9
L10
L11
L12
LINGKAGE : L9, L10
DEPENDENT : L6, L7,L8,L11,L12 AUTONOMOUS
INDEPENDENT : L1, L2, L3,L4,L5
DEPENDENCE
DR
IVER
PO
WER
L1
L2
L6
L10
L7
L9
L8
L3 L4 L5
L11 L122
Level 1
Level 4
Level 3
Level 5
Level 6
Level 2
144
keamanan pangan, lingkungan dan pakan bagi tanaman pertanian dan bahan
pakan.
Adapun lembaga yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap
lembaga lainnya berada pada sektor II (Dependent) yaitu lembaga KKP,
Kemenhut, Perguruan tinggi, perusahaan swasta dan LSM. Pada sector III
(Linkage) terdapat kelompok masyarakat dan petani yang tergolong pada peubah
pengait, yang berarti setiap tindakan yang dilakukan pada kedua kelompok ini
akan menentukan keberhasilan atau kegagalan dari suatu program, terutama
kebijakan pengelolaan PRG. Oleh karena itu bentuk tindakan atau perlakuan yang
dibuat terhadap kelompok masyarakat dan petani ini harus melalui kajian yang
mendalam dan lebih hati-hati karena lembaga yang berada pada kelompok ini
kurang stabil.
Secara hirarki kelembagaan yang tersaji pada Gambar 13, BPOM,
Kementan dan KLH memiliki peran penting dan menentukan, terutama dalam
wewenang pemberian izin keamanan hayati yang berada pada tahap pertama.
Kemudian disusul oleh kelembagaan KKH PRG dan TTKH PRG, sebagai dua
otoritas lembaga yang mengeluarkan rekomendasi dan melaksanakan pengkajian
keamanan hayati PRG. Pada tahap keempat terdapat kelompok masyarakat dan
petani, selanjutnya pada tahap kelima adalah KKP, Kemenhut dan perguruan
tinggi. Pada hirarki kelembagaan yang paling berperan, strata terakhir adalah
perusahaan swasta dan LSM.
E. Kendala yang Mempengaruhi Pengelolaan PRG Berkelanjutan
Dalam pelaksanaan pengelolaan pengkajian dan pelepasan PRG, terdapat
beberapa hambatan yang mempengaruhi keberlanjutan, berdasarkan justifikasi
pakar adalah sebagai berikut yaitu: 1) Pedoman keamanan lingkungan dan pakan
belum disahkan, 2) Polarisasi kelompok pro dan kontra terhadap PRG, 3)
Kerangka waktu dalam prosedur pengajuan belum sepenuhnya
diimplementasikan, 4) Koordinasi antar lembaga OKN masih lemah, 5)
Kewenangan yang terpusat pada satu OKN, 6) Kurangnya pemahaman holistic
terhadap PRG dan keamanan hayati, 7) Upaya pendidikan dan sosialisasi PRG
kepada masyarakat belum optimal, 8) Pemerintah belum konsisten terhadap riset
145
dan pendanaan PRG, 9) Besarnya biaya penelitian keamanan hayati PRG, 10)
Terbatasnya jumlah pakar di bidang keamanan hayati PRG. Berdasarkan pendapat
pakar yang dianalisis dengan ISM, maka posisi dari setiap elemen kendala
tersebut disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14. Matriks driver power–dependence untuk elemen kendala
yang berpengaruh pada pengelolaan PRG di Indonesia
Dari Gambar 14, elemen pedoman keamanan lingkungan dan pakan yang
belum ditetapkan (K1), terdapatnya polarisasi kelompok masyarakat yang pro dan
kontra terhadap PRG (K2), belum diterapkan sepenuhnya kerangka waktu dalam
prosedur pengajuan izin pelepasan PRG sesuai dengan peraturan yang tercantum
dalam PP 21/2005 (K3) serta keterbatasan jumlah pakar di bidang keamanan
hayati (K10) berada pada sector IV (independent sector) yang merupakan sub
elemen kunci dan memberikan pengaruh yang sangat besar pada sub elemen lain
dalam pengelolaan PRG yang berkelanjutan. Selain itu sub elemen yang berada
di sector IV memiliki kekuatan penggerak (driver power) yang besar terhadap
yang lainnya, tetapi sedikit ketergantungan terhadap program pengelolaan PRG.
Peran pedoman dalam pelaksanaan pengujian risiko sangat penting karena
merupakan acuan dalam proses pengkajian, baik bagi proponen maupun TTKH
PRG. Seperti halnya pedoman keamanan pangan yang telah ditetapkan sejak
AUTONOMOUS
INDEPENDENT:K1,K10,K2,K3
DR
IVER
PO
WER
DEPENDENCE
146
tahun 2008, pedoman keamanan lingkungan juga harus direvisi sesuai dengan PP
21/2005, demikian juga dengan pedoman keamanan pakan yang belum pernah
ditetapkan sejak PP 21/2005 dikeluarkan. Oleh karena itu pakar sepakat penetapan
pedoman teknis untuk keamanan hayati merupakan faktor kunci yang dapat
menghalangi keberlanjutan pengelolaan PRG. Dengan wewenang yang dimiliki
oleh KLH sebagai lembaga yang berhak mengeluarkan izin keamanan lingkungan,
maka menjadi tanggung jawab KLH membuat dan menetapkan pedoman
keamanan lingkungan yang sesuai dengan PP 21/2005, seperti halnya Kementan
yang bertanggung jawab terhadap pedoman keamanan pakan. Selanjutnya faktor
kemampuan sumber daya manusia dalam melakukan pengujian dan pengkajian
keamanan hayati termasuk faktor kunci yang juga menentukan keberhasilan
pengelolaan PRG. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pedoman untuk
pengkajian keamanan lingkungan telah ditetapkan menjadi pedoman penyusunan
analisis risiko lingkungan tanaman PRG yang diperkuat dengan Permen LH No
25/2012. Berarti untuk keamanan lingkungan telah dilengkapi implementasi PP
21/2005, seperti pedoman untuk pengkajian keamanan pangan.
Elemen-elemen koordinasi antar lembaga otoritas kompeten nasional yang
masih lemah (K4) serta kurangnya pemahaman masyarakat terhadap PRG (K6)
berada pada sector III atau linkage (pengait). Sub elemen yang berada pada sector
III ini merupakan peubah yang dapat menghasilkan perubahan kearah kebaikan
sehingga perhatian yang diberikan pada sub elemen ini akan memberikan
keberhasilan dalam mengatasi kendala dalam pengelolaan PRG. Tetapi jika tidak
ada perhatian dalam pelaksanaan perbaikan terhadap sub elemen ini, maka
program pengelolaan PRG berkelanjutan akan mengalami kemunduran dalam
pelaksanaan.
Adapun empat sub elemen yang berada di sector II (dependent) adalah:
kendala adanya kewenangan yang terpusat di satu kementerian (K5), kurangnya
upaya pemerintah dalam memberi pendidikan dan sosialisasi pada masyarakat
tentang PRG (K7), pendanaan tidak konsisten untuk mengembangkan PRG hasil
litbang sendiri (K8) serta mahalnya biaya untuk melakukan pengujian keamanan
hayati (K9). Sub elemen pada sektor II (dependent) memiliki ketergantungan pada
sub elemen lainnya dalam penanganan permasalahan pengelolaan PRG. Kendala
147
yang berada pada sektor ini dapat ditangani setelah kendala-kendala lainnya bisa
diatasi.
Gambar 15. Struktur hirarki sub elemen kendala yang mempengaruhi
pengelolaan PRG berkelanjutan
Adapun secara hirarki seperti yang disajikan pada Gambar 15,
penyelesaian revisi pembuatan pedoman teknis untuk keamanan lingkungan dan
keamanan pakan (K1) dan kendala keterbatasan sumber daya manusia (K10)
menempati level 1 yang merupakan kendala-kendala utama dan menjadi faktor
kunci permasalahan terhadap pengelolaan PRG, seperti yang sudah dibahas
sebelumnya. Penanganan terhadap kendala yang dihadapi dalam pengelolaan PRG
berkelanjutan ini dapat dilakukan dalam empat tahapan. Pada tahap pertama
adalah segera menyelesaikan pembuatan pedoman-pedoman teknis untuk
pengujian dan pengkajian risiko PRG serta meningkatkan kapasitas sumber daya
manusia yang memiliki kemampuan dalam melakukan pengkajian dan pengujian
keamanan hayati. Menurut analisis pakar dengan melakukan perubahan pada dua
hal utama ini, dapat memberikan pengaruh pada kendala-kendala lainnya.
Tahapan berikutnya adalah memberikan penerangan dan pendidikan ilmiah yang
benar kepada masyarakat terkait dengan kondisi polarisasi pendapat masyarakat
yang pro dan kontra terhadap PRG (K2). Disamping itu implementasi peraturan
Level 2
Level 3
Level 4
Level 1
148
yang telah ditetapkan seperti penetapan kerangka waktu dalam pengajuan izin
keamanan hayati (K3), harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Koordinasi antar lembaga pemerintah yang berkompeten (K4) dan
meningkatkan pengetahuan masyarakat pada teknologi PRG (K6) menjadi
langkah berikutnya yang perlu dilakukan. Selanjutnya adalah langkah keenam
dalam mengatasi kewenangan yang terpusat pada satu kelembagaan seperti KLH
dalam menangani keamanan hayati. Terpusatnya beberapa tugas dan wewenang
seperti mengeluarkan izin keamanan lingkungan, kesekretariatan KKH dan Balai
Kliring Keamanan Hayati (BKKH) serta focal point Protokol Cartagena yang
telah ditetapkan sepenuhnya berada di KLH dan hanya menjadi bagian dari salah
satu kedeputian di KLH. Kondisi riil yang terjadi adalah penumpukan tugas dan
tanggung jawab pada satu lembaga pemerintah tanpa persiapan dari sisi
infrastruktur dan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas di bidang
keamanan hayati. Terpusatnya beberapa kewenangan di satu lembaga pemerintah
bisa menjadi lebih baik dari sisi kemudahan koordinasi dan efisiensi waktu, jika
lembaga yang ditunjuk telah memiliki kesiapan dan kemampuan, jika hal ini
belum terpenuhi, maka akan menjadi halangan dan kendala dalam pengelolaan
PRG berkelanjutan di Indonesia. Seperti halnya sub elemen lain pada tahapan
keenam yang harus dilakukan adalah upaya meningkatkan pendidikan dan
sosialisasi kepada masyarakat tentang PRG (K7), pemberian alokasi dana yang
konsisten untuk penelitian dan pengembangan PRG nasional (K8) serta
mengurangi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengujian keamanan hayati PRG
(K9). Keberhasilan pembangunan pertanian berkelanjutan, memperhatikan tiga
hal, seperti yang ditegaskan dalam konsep strategi induk pembangunan pertanian
2013-2045 (Kementan 2013) yaitu berorientasi pada kesejahteraan social petani,
pekerja dan masyarakat, ramah lingkungan dan menciptakan nilai tambah
ekonomi bagi petani dan pengusaha.
KESIMPULAN
1. Secara garis besar pembagian peraturan dan undang-undang terkait kebijakan
dalam pengelolaan PRG terdiri dari UU 12/1992 mengenai sumber daya
genetik tanaman yang melingkupi tanaman PRG, UU 18/2012 tentang pangan
149
khususnya keamanan pangan PRG serta UU 32/2009 mengenai PPLH yang
membawahi peraturan dan pelaksanaan keamanan hayati PRG serta aturan
terhadap terhadap pelanggaran pemanfaatan PRG.
2. Analisis kebijakan pengelolaan tanaman PRG berdasarkan metode
pengambilan keputusan (AHP) menghasilkan 4 level hirarki yaitu tujuan,
faktor, kriteria dan alternatif. Faktor lingkungan, ekonomi, sosial, dan
teknologi merupakan faktor penting dalam pengelolaan PRG. Perpindahan
material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non-PRG merupakan faktor
penting untuk aspek lingkungan, peningkatan pendapatan petani adalah faktor
penting untuk aspek ekonomi, keamanan PRG terhadap kesehatan manusia
adalah kriteria penting untuk aspek social dan kemampuan dalam melakukan
pengujian keamanan hayati merupakan kriteria utama untuk aspek teknologi.
Prioritas utama pada level alternatif adalah law enforcement terhadap
peraturan dan undang-undang.
3. Terdapat lima lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan PRG
berdasarkan urutan struktur hirarki dan matriks ISM di Indonesia yaitu
Kementan, BPOM, KLH berada di level kesatu dan KKH PRG, TTKH PRG
pada level kedua.
4. Kendala pelaksanaan dalam pengelolaan PRG di level kesatu struktur hirarki
ISM adalah belum diselesaikannya revisi pedoman pengkajian keamanan
hayati dan terbatasnya jumlah pakar di bidang keamanan hayati.
Saran-Saran
1. Meskipun jenis dan jumlah peraturan dan undang-undang yang terkait dengan
pengelolaan PRG telah tersedia, tetapi belum sepenuhnya dilaksanakan seperti
pedoman teknis untuk penelitian dan pengembangan PRG di laboratorium dan
Fasilitas Uji Terbatas (Contained Field Trials) serta pedoman pelaksanaan
pengujian keamanan pakan yang belum diselesaikan sampai akhir tahun 2013.
Disarankan kepada lembaga pemerintah terkait untuk segera menetapkannya
agar pelaksanaan pengelolaan PRG dapat berjalan sesuai dengan peraturan.
2. Disarankan untuk segera menyelesaikan pedoman pelaksanaan untuk
pengawasan (monitoring) dan pengendalian PRG sesuai dengan ketentuan
150
yang telah ditetapkan dalam PP 21/2005 pasal 25 tentang keamanan hayati
PRG.
3. Sesuai dengan peraturan pemerintah mengenai pelabelan PRG, disarankan
untuk segera melaksanakannya, karena sudah ditetapkan sejak tahun 1999
dalam PP 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
151
PEMBAHASAN UMUM
Hasil nyata kemajuan di bidang bioteknologi rekayasa genetik tanaman,
salah satunya adalah tanaman padi tahan terhadap serangan hama penggerek
batang yang mengandung gen Cry IA(b). Tanaman ini diharapkan dapat
mengurangi penggunaan insektisida sehingga lebih ramah lingkungan, sesuai
dengan target pengembangan inovasi teknologi di bidang pertanian berkelanjutan.
Setiap tanaman hasil rekayasa genetik harus melalui tahapan pengujian keamanan
hayati yang meliputi keamanan pangan, keamanan lingkungan dan/atau keamanan
pakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No
21 Tahun 2005. Sedangkan tanaman non-PRG, tidak perlu melalui tahapan
pengujian keamanan hayati, karena proses pengembangannya secara alami
melalui persilangan konvensional. Karena tanaman PRG dikembangkan melalui
rekayasa genetik, dengan memanfaatkan sumber gen yang dapat berasal dari
spesies yang berbeda, maka tanaman PRG dianggap tidak melalui proses yang
alami. Dikhawatirkan terdapat pengaruh negatif dari tanaman PRG terhadap
lingkungan dan keanekaragaman hayati yang sampai saat ini selalu menjadi
perdebatan di kalangan masyarakat. Terjadinya perdebatan antara yang pro dan
kontra karena proses pembuatan tanaman PRG melalui teknologi rekayasa
genetik, serta banyak persoalan yang belum bisa dijawab, terutama pengaruh
jangka panjangnya terhadap lingkungan. Persoalan ini belum dapat diselesaikan
apabila masing-masing pihak tidak saling terbuka dan transparan dalam
memberikan penjelasan serta melakukan komunikasi berdasarkan fakta ilmiah
berdasarkan prinsip kehati-hatian.
Tanaman Padi Bt PRG yang dikembangkan oleh Puslit Bioteknologi LIPI,
telah melalui pengujian keamanan lingkungan di LUT sejak tahun 2003 – 2007.
Berdasarkan hasil kajian ilmiah terhadap kemungkinan pengaruhnya terhadap
serangga non target (wereng coklat, wereng punggung putih, hama putih palsu)
dan musuh alami (laba-laba, Paederus sp, Coccinella sp dan Cyrtorhinus sp) di
lapangan uji terbatas, dimana terbukti bahwa tidak terjadi perbedaan populasi
serangga non target di lahan atau plot penanaman Padi Bt PRG dengan plot Padi
non-PRG. Meskipun belum dilakukan verifikasi jenis-jenis serangga non target
152
dan musuh alami yang biasa berada di lokasi percobaan sebelum percobaan
penanaman Padi Bt PRG, tetapi hasil ini dapat memberikan gambaran dan
masukan terhadap dampak penanaman Padi Bt PRG terhadap lingkungan
terutama serangga non-target di lokasi pertanaman LUT. Pengujian keamanan
lingkungan terhadap organisme yang berada di permukaan dan bawah tanah,
belum dilengkapi karena pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan
hanya terhadap dampak yang sangat terkait dengan sifat yang diintroduksikan
kepada tanaman. Karena Padi Bt PRG mengandung gen Cry IA(b) yang berfungsi
untuk ketahanan terhadap hama, maka sifat ini sangat berhubungan dengan
organisme yang berada di atas permukaan tanah seperti serangga non target dan
musuh alami. Meskipun pernah dilakukan pengujian terhadap mikroba yang
berada di permukaan tanah, ternyata hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat
adanya perbedaan populasi mikroba di tanah tempat ditanamnya Padi Bt PRG
dengan tanah tempat Padi non PRG (komunikasi pribadi). Kemungkinan pengaruh
negatif lain dari residu tanaman Padi Bt PRG, adalah dampaknya pada jenis
mikroba tanah yang berfungsi sebagai pengurai, dimana gen Cry IA(b) yang
terdapat di dalam tanaman Padi Bt PRG akan terakumulasi di dalam sel mikroba
melalui proses horizontal transfer gen. Tetapi sampai saat ini belum terdapat
laporan mengenai pengaruhnya terhadap mikroba itu sendiri.
Selain kajian pengaruh Padi Bt pada lingkungan, juga perlu diketahui
pengaruh sosial ekonominya terhadap masyarakat jika Padi Bt PRG nantinya
dikomersialisasikan. Berdasarkan kajian finansial dengan menggunakan analisis
anggaran parsial dapat diketahui keberlanjutan usahatani Padi Bt PRG jika sudah
dikomersialisasikan kepada masyarakat. Dengan melakukan analisis anggaran
parsial, diperoleh selisih manfaat dan biaya menggunakan data-data yang
diperoleh dari hasil perubahan-perubahan yang terjadi akibat penerapan teknologi
pengembangan Padi Bt. Bedasarkan hasil pengolahan data, ternyata diperoleh
hasil kisaran (ratio) B/C > 1, yang berarti bahwa usahatani Padi Bt PRG termasuk
kategori layak untuk dilanjutkan. Hal ini dapat diterima meskipun jumlah
produksi belum meningkat, tetapi dengan berkurangnya biaya yang dikeluarkan
dengan adanya pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan, sehingga dapat dibuat
asumsi pengurangan penggunaan insektisida dan upah tenaga kerja di lapangan,
153
sehingga mampu menaikkan pendapatan petani. Berbeda dengan analisis ekonomi
yang lebih melihat pada keuntungan dan kerugian, tanpa perhitungan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi akibat teknologi baru yang digunakan.
Sedangkan persepsi petani terhadap rencana pengembangan Padi Bt PRG
sangat baik, dengan harapan jika padi ini sudah tersedia di pasaran dapat
diterapkan dan akhirnya mampu meningkatkan penghasilan dan kesejahteraan
mereka. Tetapi tingkat pengetahuan petani terhadap Padi Bt PRG sangat terbatas,
terbukti dari jawaban yang diberikan sebagian besar menjawab tidak tahu, apalagi
mengenai pengaruhnya terhadap lingkungan, belum mereka pahami dengan baik.
Petani lebih tertarik dengan keuntungan yang akan mereka peroleh jika dapat
memperoleh jenih tanaman baru yang akhirnya dapat meningkatkan produksi
tanaman. Keterbatasan informasi yang mereka ketahui, kemungkinan disebabkan
karena sangat terbatasnya sumber yang dapat diakses serta komunikasi antara
pengembang teknologi dengan petani kurang difasilitasi oleh pemerintah,
sehingga terjadi kesenjangan dan gap antara kedua kelompok ini. Karena itu perlu
dilakukan sosialisasi dan komunikasi terhadap tanaman PRG, dengan segala
keutamaan dan kemungkinan risikonya. Produktivitas akan menjadi solusi
fundamental dalam ketahanan pangan nasional. Beberapa cara dapat dilakukan
melalui peningkatan dan perbaikan lingkungan, dengan mengurangi penggunaan
insektisida, penggunaan benih unggul melalui inovasi bioteknologi. Selain itu
perubahan dalam pengelolaan dan pendidikan petani termasuk salah satu
pengaturan dan perhatian pemerintah terhadap perbaikan di bidang pertanian di
masa mendatang.
Analisis keberlanjutan dalam pengelolaan kebijakan Padi Bt PRG
berdasarkan dimensi ekonomi, dimensi lingkungan, dimensi sosial, dimensi
teknologi dan dimensi hukum kelembagaan telah diperoleh dengan hasil indeks
keberlanjutan yang berbeda-beda pada setiap dimensi. Dari lima dimensi yang
dikaji, ternyata dimensi teknologi memiliki indeks keberlanjutan hanya 46,01%.
Nilai ini termasuk kurang berkelanjutan, dan memerlukan perbaikan pada atribut-
atribut sensitif agar kondisi yang terjadi saat sekarang dapat diintervensi dan
ditingkatkan menjadi berkelanjutan. Sedangkan untuk dimensi lingkungan,
ekonomi, sosial dan hukum kelembagaan tergolong cukup berkelanjutan, akan
154
tetapi cenderung menjadi kurang berkelanjutan jika tidak dipertahankan atau
dilakukan perbaikan pada atribut-atribut sensitif.
Hasil analisis pengambilan keputusan berdasarkan strategi kebijakan
pengelolaan PRG memberikan nilai sama untuk semua aspek yang dikaji, yaitu
aspek lingkungan, aspek ekonomi, aspek sosial kemasyarakatan dan aspek
teknologi. Berdasarkan kriteria terhadap masing-masing aspek kajian, diperoleh
nilai tertinggi untuk menjadi perhatian bersama menurut analisis pakar terkait
adalah terjadinya perpindahan material genetik untuk aspek lingkungan,
peningkatan pendapatan petani untuk aspek ekonomi, perhatian terhadap
kesehatan manusia untuk aspek sosial kemasyarakatan serta kemampuan SDM
dalam melakukan pengujian keamanan hayati untuk aspek teknologi. Alternatif
utama yang menjadi prioritas pakar terkait adalah kepatuhan terhadap hukum (law
enforcement) dalam pelaksanaan pengelolaan PRG. Alternatif ini sudah menjadi
kesepakatan pemerintah yang dibuktikan dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 69 dan 101 yang memuat sanksi dan
hukuman terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan PRG yang bertentangan
dengan peraturan yang telah ditetapkan, terutama dalam PP 21/2005 mengenai
Keamanan Hayati PRG. Jenis sanksi yang dikenakan kepada pihak-pihak yang
melanggar aturan tersebut berupa hukuman pidana dan/atau hukuman denda.
Alternatif kedua yang telah dipilih oleh pakar adalah kemampuan TTKH dalam
melakukan pengkajian. Alternatif ini sangat penting karena keputusan yang dibuat
oleh TTKH merupakan rekomendasi bagi KKH dalam memberikan masukan
kepada Menteri terkait untuk mengeluarkan hasil keputusan atau izin pelepasan
dan pemanfaatan PRG kepada masyarakat atau lingkungan. TTKH sebagai
komponen yang menentukan, harus memiliki kemampuan ilmiah yang tinggi dan
luas sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing. Selain itu TTKH
harus melakukan pengkajian sesuai dengan prinsip kehati-hatian berdasarkan
kasus per kasus, seperti yang tercantum dalam Protokol Cartagena. Selain itu
prinsip kesetaraan substansial yang berarti tidak ada perbedaan dengan produk
sebelumnya, kecuali sifat yang diintroduksikan. Kepakaran dalam bidang keahlian
sangat diperlukan, karena proses pengkajian kelompok lingkungan lebih bersifat
multidisiplin keilmuan yang melibatkan beberapa bidang ilmu seperti ekologi,
155
mikrobiologi, entomologi, agronomi, biologi, fisiologi, fitopatologi, tanah dan
genetika tanaman. Kemungkinan terjadinya risiko pada saat pengujian atau risiko
untuk jangka panjang terhadap keanekaragaman hayati, harus dianalisis dan dikaji
sesuai dengan aturan dan persyaratan keamanan lingkungan, agar tidak
menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup.
Sistem kebijakan pengelolaan PRG dalam memacu pembanguan pertanian
berkelanjutan, dipengaruhi oleh beberapa komponen yang memiliki hubungan
saling keterkaitan. Komponen SDM dan peraturan merupakan komponen utama
yang dapat saling mempengaruhi. Selain itu komponen non fisik seperti
komponen sosial dan ekonomi, seperti persepsi dan penerimaan masyarakat
termasuk yang menentukan dalam keberlanjutan pemanfaatan PRG di pasaran.
Dalam rangka pemodelan strategi kebijakan pengelolaan PRG berkelanjutan
khususnya tanaman PRG, maka dirancang model yang memanfaatkan input
terkontrol, input tidak terkontrol, dan input lingkungan. Selain itu terdapat juga
output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi sistem
berdasarkan data primer, pendapat pakar, data sekunder dan pengamatan langsung
di lapangan yang mengelompokkan input terkontrol di dalam sistem meliputi
antara lain pengurangan penggunaan pestisida khususnya insektisida untuk hama,
memperbaiki kualitas dan kuantitas tanaman dan meningkatkan kemampuan SDM
dalam teknologi rekombinan DNA. Input tidak terkontrol yang dapat
mempengaruhi kinerja sistem antara lain harga benih tanaman PRG yang tinggi
akibat biaya yang harus dikeluarkan untuk pengujian keamanan hayati sebagai
persyaratan memperoleh izin pelepasan, biaya investasi teknologi pengembangan
tanaman PRG yang cukup besar serta keterbatasan infra struktur dalam
menghasilkan tanaman PRG. Input lain yang berpengaruh terhadap sistem antara
lain adalah UU No 12/1992 tentang Budidaya Tanaman, yang mengatur khusus
tanaman PRG adalah Peraturan Pemerintah No 21/2005 tentang Keamanan Hayati
PRG yang harus dilaksanakan sebelum pemanfaatan PRG kepada masyarakat,
yang diperkuat dengan PerPres N0 39/2010 tentang Kelembagaan Komisi
Keamanan Hayati PRG, UU No. 18/2012 tentang Pangan, dan UU No. 32/2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Input tersebut
diharapkan dapat menghasilkan output berupa peningkatan ketahanan pangan
156
nasional, memperbaiki kualitas lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan
petani. Identifikasi sistem input output (I-O) tersebut dapat disajikan sebagaimana
pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram input-output strategi pengelolaan PRG berkelanjutan
Pada sistem ini ada beberapa output yang tidak diharapkan tetapi
berpeluang terjadi sebagai akibat proses pemanfaatan pengembangan PRG, antara
lain terjadinya pengaruh negatif terhadap manusia dan hewan serta
keanekaragaman hayati pada lingkungan tempat di tanamnya tanaman PRG.
Faktor kemungkinan terjadinya output yang tidak dikehendaki dapat diantisipasi
dengan melakukan pengujian dan pengkajian terhadap tanaman PRG sebelum
dilepas dan dimanfaatkan dengan mengacu kepada pedoman pengujian tanaman
PRG di LUT. Selain itu faktor penerapan peraturan atau regulasi terkait tanaman
PRG menjadi salah satu output yang tidak diinginkan, karena belum dilaksanakan
dengan semestinya. Oleh karena itu fungsi pengelolaan, komunikasi, pengawasan
-Meningkatkan ketahanan pangan nasional -Memperbaiki kualitas lingkungan -Meningkatkan kesejahteraan petani
OUTPUT DIINGINKAN
-Pengaruh negatif PRG pada manusia dan hewan -Pengaruh negatif PRG thd keanekaragaman hayati & lingkungan -Pengawasan dan Implementasi peraturan dan undang-undang belum dilaksanakan
sepenuhnya
OUTPUT TIDAK
DIINGINKAN
STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN
TANAMAN PRG BERKELANJUTAN
UMPAN BALIK
UU 21/2004, UU18/2012, PP
21/2005, PerPres 39/2010, UU
32/2009
INPUT LINGKUNGAN
-Mengurangi penggunaan insektisida -Meningkatkan kualitas &kuantitas tanaman -Meningkatkan kemampuan SDM di bidang teknologi rekombinan DNA dan keamanan hayati
INPUT TERKONTROL
INPUT TIDAK
TERKONTROL
Harga benih tan PRG tinggi Besarnya biaya utk pengujian keamanan hayati Biaya investasi teknologi yg tinggi Keterbatasan infrastruktur
157
dan pelaksanaan peraturan harus dapat berjalan dengan seimbang, sehingga output
yang tidak diharapkan dapat dikelola menjadi input yang dapat dikendalikan.
Secara umum, kebijakan pengelolaan PRG dapat dituangkan dalam bentuk
model konseptual pengelolaan yang mengacu kepada pembangunan pertanian
berkelanjutan terdiri dari kelembagaan atau aktor pelaksana, adanya dukungan
pendanaan, sistem pengelolaan (management) yang berlandaskan pada peraturan
dan undang-undang (Gambar 2).
Legal review
Analisis Kelayakan
ekonomi
(Teknologi bru vs teknolgi
konvensional)
Pendidikan dan
Partisipasi Masyarakat
AHP- Faktor
- Kriteria
- Alternatif kebijakan
ISM(Interpretative
Structural Modelling)
Content
Analysis
MDS
Status
Keberlanjutan
Ekologi
EkonomiSosial
TeknologiHukum&
Kelembagaan
Peraturan dan Undang-
undang
Dukungan
Pendanaan
Kelembagaan &
Aktor Pengelola
Sistem
Pengelolaan
Struktur
aktor
Struktur
kendala
Struktur
alternatif
Pembangunan
pertanian
berkalanjutan
Gambar 2. Bagan alir model konseptual strategi kebijakan pengelolaan PRG
Model pengelolaan diawali dengan pembentukan lembaga pengelola
(institutional arrangement) yang telah diatur di dalam Perpres 39/2010,
tersedianya sumber pendanaan yang memadai dalam mengelola bidang
lingkungan, ekonomi, sosial dan teknologi yang berkelanjutan dengan melibatkan
peran serta masyarakat, institusi pemerintah dan pihak swasta. Penanganan sektor
lingkungan, teknologi, dan partisipasi masyarakat, sangat terkait dengan sistem
pengelolaan, pendanaan dan peraturan yang berkelanjutan.
158
Secara lebih rinci, beberapa hambatan atau kendala terkait dengan
pengelolaan PRG dan alternatif-alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengatasinya telah dibahas dalam analisis kebijakan pengelolaan PRG
menggunakan metoda pengambilan keputusan berdasarkan justifikasi pakar
dengan metoda AHP dan ISM. Dari hasil analisis diketahui bahwa kendala utama
dalam pengelolaan PRG adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam
melaksanakan penelitian dan penyelesaian pedoman teknis terkait keamanan
hayati PRG. Tetapi pedoman teknis keamanan lingkungan PRG telah disahkan
sejak tahun 2012 dalam Per Men LH 25/2012, diharapkan pedoman teknis pakan
dan pedoman untuk penelitian PRG juga dapat diselesaikan secepatnya. Hambatan
yang ditemukan dalam pengelolaan PRG, dapat diselesaikan jika terdapat
komitmen dan koordinasi di lembaga pelaksana, sesuai dengan prioritas
pembangunan pertanian yang telah ditetapkan.
Alternatif yang dipilih untuk mengatasi hambatan dalam pengelolaan PRG
adalah pelaksanaan yang sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang telah
ditetapkan serta meningkatkan kemampuan TTKH PRG dalam melakukan
pengkajian dokumen keamanan hayati PRG. Peraturan dan undang-undang yang
mengatur tentang keamanan hayati PRG telah tersedia, hanya diperlukan
komitmen dan monitoring terhadap pelaksanaan dari peraturan tersebut. Demikian
juga dengan keanggotaan TTKH PRG harus berdasarkan keahlian dan kepakaran
yang sesuai dengan bidang keamanan hayati PRG.
159
KESIMPULAN UMUM
1. Tidak terdapat pengaruh negatif Padi Bt PRG terhadap populasi serangga non
target dan musuh alami potensial yang ditemukan di LUT, berdasarkan
pengujian keamanan lingkungan.
2. Berdasarkan hasil seleksi higromisin dan analisis PCR pada tanaman Padi
non-PRG kultivar Rojolele, Rojolele KA, Ciherang dan Pandan Wangi
generasi kesatu (T0) hasil penelitian gene flow dengan perlakuan jarak tanam
yang berbeda-beda (1,2,3,5,7,9,11,13 dan 15 meter), tidak ditemukan tanaman
yang positif membawa gen Cry IA(b).
3. Tanaman Padi Bt PRG tahan serangan hama penggerek batang kuning,
termasuk kategori layak untuk diusahakan, berdasarkan analisis finansial ex
ante, dengan metode anggaran parsial. Dengan berkurangnya penggunaan
insektisida 10% sampai 50% dan asumsi harga benih tanam (benih pokok)
sama dengan Padi non-PRG yakni Rp 20.000, diperoleh nilai investasi (B/C
ratio) 1,02 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,01 untuk aplikasi insektisida
50%. Jika harga benih 50% lebih tinggi, maka diperoleh nilai investasi (B/C
ratio) 1,52 untuk aplikasi insektisida 10% dan 1,50 untuk aplikasi insektisida
50%. Angka ini termasuk pada kategori usahatani dapat dilanjutkan untuk
tujuan komersialisasi.
4. Persepsi petani terhadap keamanan tanaman PRG masih sangat rendah,
demikian juga dengan pengetahuan petani terhadap tanaman Padi Bt PRG
yang ramah lingkungan. Lebih dari 65% petani menyatakan tidak tahu tentang
Padi Bt, dan hanya sekitar 20% petani dari wilayah Subang yang mengetahui
bahwa Padi Bt PRG lebih ramah lingkungan dibandingkan tanaman Padi non-
PRG.
5. Umumnya petani bersedia menanam Padi Bt PRG (sekitar 90%) untuk
wilayah Karawang dan Sukabumi, kecuali petani dari wilayah penelitian
Subang, hanya 35% petani yang menyatakan bersedia menanam Padi Bt PRG.
6. Kebijakan pengelolaan PRG pada saat sekarang termasuk kategori cukup
berkelanjutan dengan nilai 58.99% pada skala ordinasi 1-100%. Dari lima
dimensi keberlanjutan yang dianalisis, dimensi ekologi, dimensi ekonomi,
160
dimensi sosial dan dimensi kelembagaan tergolong pada kondisi cukup
berkelanjutan, kecuali untuk dimensi teknologi, tergolong pada kondisi
kurang berkelanjutan.
7. Faktor-faktor sensitif sebagai pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan
pengelolaan PRG adalah:
a. Dimensi ekologi yaitu perpindahan (crossing) material genetik dari padi
Bt PRG ke tanaman padi non PRG, dampak Padi Bt PRG terhadap
organisme perairan, pengaruh Padi Bt PRG pada organisme non target
potensial dan keanekaragaman hayati, potensi tanaman PRG menjadi
gulma, dan keamanan PRG terhadap kesehatan manusia.
b. Dimensi ekonomi yaitu tingkat ketergantungan petani terhadap benih
PRG, harga jual benih PRG yang terjangkau, peningkatan pendapatan
petani, dan stabilitas produksi tanaman PRG.
c. Dimensi sosial yaitu ketersediaan informasi bagi masyarakat mengenai
PRG, dan persepsi dan penerimaan masyarakat terhadap PRG.
d. Dimensi teknologi yaitu jumlah PRG yang telah dilepas dan
memperoleh izin peredaran di Indonesia serta kemampuan SDM dalam
riset rekombinan DNA.
e. Dimensi kelembagaan yaitu peraturan perundang-undangan tentang
PRG dan pelabelan PRG.
8. Menurut analisis kebijakan dengan metode pengambilan keputusan (AHP)
diperoleh 4 level hirarki yaitu tujuan, faktor, kriteria dan alternatif. Untuk
faktor lingkungan, prioritas utama berdasarkan judgement pakar adalah
perpindahan material genetik dari tanaman PRG ke tanaman non-PRG.
Peningkatan pendapatan petani adalah prioritas utama untuk aspek ekonomi,
keamanan PRG terhadap kesehatan manusia merupakan prioritas utama untuk
aspek sosial dan kemampuan dalam melakukan pengujian keamanan hayati
untuk aspek teknologi.
9. Pada level alternatif , disepakati bahwa law enforcement terhadap peraturan
dan undang-undang merupakan prioritas dalam strategi pengelolaan PRG.
161
10. Lima lembaga yang paling berperan dalam pengelolaan PRG berdasarkan
metode ISM dengan matriks driver power adalah Kementan, BPOM, KLH
dan diikuti oleh KKH PRG, TTKH PRG pada level kedua.
11. Kendala utama dalam strategi pengelolaan PRG menurut hasil pengolahan
data dengan ISM, diperoleh elemen belum diselesaikannya pedoman teknis
pengkajian keamanan hayati dan terbatasnya jumlah pakar di bidang
keamanan hayati merupakan prioritas utama yang harus diselesaikan.
SARAN-SARAN
Berdasarkan hasil analisis, pembahasan, dan kesimpulan penelitian, beberapa
saran dapat disampaikan sebagai berikut:
1. Pada pengujian keamanan lingkungan yang telah dilakukan pada tanaman
Padi Bt PRG, disarankan untuk melengkapi data dengan justifikasi jenis-
jenis serangga non target potensial yang biasa berada di lokasi penelitian
sebelum penanaman Padi Bt PRG, sehingga dapat diketahui jenis-jenis
serangga yang biasa terdapat di lokasi sebelum penanaman dan setelah
ditanami dengan Padi Bt PRG.
2. Komunikasi risiko dan pengelolaan risiko sebagai bagian dari analisis
risiko terhadap PRG, harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
dan undang-undang yang telah ditetapkan agar pengelolaan PRG
berkelanjutan dapat tercapai. Pendidikan dan pengetahuan masyarakat
terkait PRG harus ditingkatkan melalui kegiatan sosialisasi dan informasi
yang murah dan mudah diakses.
3. Belum diselesaikannya sejumlah pedoman teknis dalam pelaksanaan
peraturan dan undang-undang terkait PRG, dapat menghambat pelaksanaan
pengelolaan PRG di Indonesia, maka disarankan untuk segera menetapkan
pedoman-pedoman teknis seperti pedoman keamanan pakan, pedoman
pelaksanaan penelitian di Laboratorium dan FUT, dan pedoman
pengawasan dan pengendalian terhadap peredaran PRG di Indonesia.
162
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah AB, Ito S, Adhana K. 2005. Estimate of rice consumption in Asian
countries and the world towards 2050. Tottori University.
http://www.ipni.net/ppiweb/bcropint.nsf/webindex/A6E539E7C275E3E4
85256BDC00731AA9/file/BCI-RICEp12.pdf. [12 Maret 2011]
Adiwibowo S, Buchori D, Santosa DA, Kartodiharjo H, Triwidodo H. 2005.
Partisipasi masyarakat dan kebijakan bioteknologi di Indonesia:
Tantangan, kendala dan peluang. Cetakan pertama. KEHATI. Jakarta
Alcantara EP et al. 2000. Investigation of Bacillus thuringiensis δ-endotoxin
binding to midgut receptors of rice stem borers. International Rice
Genetics Symposium. IRRI. 221 hlm.
Alvarez-Morales A. 2006. Session IV: Identifying and defining hazards and
potential consequences III: Concepts for problem formulation and non-
target risk assessment. Environ Biosafety Res. 5:189-192.
Amuwitagama I. 2002. Analysis of pest management method used for rice stem
borer (Scirpophaga incertulas) in Sri Lanka based on the concept of
sustainable development [tesis]. Lund University International Master’s
Programme in Environmental Sciences.
Araya-Quesada M, Degrassi G, Ripandelli D, Craig W. 2010. Key elements in a
strategic approach to capacity building in the biosafety of genetically
modified organisms. Environ Biosafety Res. 9(1): 59-65.
Ardjanhar A, SS Siwi, E Mahrub. 2004. Peranan parasitoid telur penggerek
batang padi pada lahan yang diaplikasi insektisida kimia di daerah
Indramayu. Dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam
Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor. Perhimpunan Entomologi
Indonesia. 5 Oktober 2004.
Auer C. 2008. Ecological risk assessment and regulation for genetically-modified
ornamental plants. Plant Sci. 27(4):255-271.
Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH). 2010. Keputusan Domestik dan Berita
keamanan produk bioteknologi dan status perakitan tanaman produk
bioteknolo[on line] http://www.indonesiabch.org/beritaindex.php.
Bahagiawati AH et al. 2003. Pembangunan kemampuan di bidang bioteknologi
dan keamanan hayati di Indonesia. Proyek National Biosafety Framework
GEF-UNEP. Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Bahagiawati AH, EM Lokollo, Supriyati, Sutrisno. 2007. The Cost of research
and development for producing a transgenic crop and Its biosafety
regulation compliance in Indonesia. Asian Biotechnol and Dev. 11(1): 5-
11.
163
Baihaki A. 2002. Rekayasa Genetik: Tantangan dan harapan dalam rekayasa
genetik: Tantangan dan Harapan Unpad Press, Bandung.
Barratt BIP, Howarth FG, Withers TM, Kean JM, Ridley GS. 2010. Progress in
risk assessment for classical biological control. Biological Control 52:
245-254.
Breitler JC et al. 2000. Expression of a Bacillus thuringiensis cry1B synthetic
gene protects Mediterranean rice against the striped stem borer. Plant
Cell Rep. 19:1195-1202.
Baum JA, Kakefuda M, Gawron-Burke C. 1996. Engineering Bacillus
thuringiensis bioinsecticides with an indigenous site-specific
recombination system. Appl Environ Microbiol. 62(12): 4367-4373.
Bermawie N et al. 2003. Survei perkembangan dan dampak pelepasan produk
rekayasa genetik (PRG) dan produk komersialnya. Final report. Nasional
Biosafety Framework GEF-UNEP. Ministry of Environment, Jakarta.
Indonesia.
Birch ANE et al. 2004. Biodiversity and non-target impacts: a case study of Bt
maize in Kenya. Di dalam: Hilbeck A and Andow DA, editor.
Environmental risk assessment of genetically modified organisms. A case
study of Bt maize in Kenya.CAB International 2004: 117-186.
Brockett P, Levine P. 1984. Statistics and probability and their applications.
Saunders college publishing. Philadelphia.
Brookes G, Barfoot P. 2003. GM Rice: Will this lead the way for global
acceptance of GM crop technology? ISAAA Brief No 28: 1-52.
Bravo A, Likitvivatanavong S, Gill SS, Soberon M. 2011. Bacillus thuringiensis:
A Story of a successful bioinsecticide. Insect Biochemistry and Molecular
Biol.(41) 423-431.
Ceccarelli S, Grando S, Maatougui M, Michael M, Slash M, et al. (2010) Plant
breeding and climate changes. Journal of Agricultural Science,
Cambridge 148, 627-637.
Chen LJ, Lee DS, Song ZP, Suh HS, Lu BR. 2004. Gene flow from cultivated
rice (Oryza sativa) to its weedy and wild relatives. Ann Bot 93:67-73.
Chen M et al. 2006. Field assessment of the effects of transgenic rice expressing
a fused gene of cryI Ab and cryI Ac from Bacillus thuringiensis Berliner
on nontarget planthopper and leafhopper populations. Environ Entomol
35 (1):127-134.
164
Chen Y et al. 2010. Transgenic rice plants expressing a fused protein of Cry
IAb/Vip3H has resistance to rice stem borers under laboratory and field
conditions. J Econ Entomol. 103(4):1444-1453.
Cheng X, Sardana R, Kaplan H, Altosaar I. 1998. Agrobacterium - transformed
rice plants expressing synthetic cry IA(b) and cry IA(c) gene are highly
toxic to striped stem borer and yellow stem borer. Proc Natl Acad Sci
95:2767-2772.
Conko G. 2003. The benefits of biotech. Regulation Spring: 20-25.
Cogoy M, Steininger KW. 2007. The economics of global environmental change.
International cooperation for sustainability. Edward Elgar Pub. Limited.
USA.
Cunningham WP, Saigo BW. 2001. Environmental Science: A global concern,
Sixth edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. 249-260.
Datta K et al. 1998. Constitutive and tissue-specific differential expression of the
cry IA(b) gene in transgenic rice plants conferring resistance to rice insect
pest. Theor Appl Genet 97: 20-30.
Daly HV, Doyen JT, Parcell A. 1998. Introduction to Insect Biology and
Diversity. Oxford New York – Oxford Univ. Press. 529 – 558.
Deswina P, Usyati N, Slamet-Loedin IH. 2009. Pengaruh padi transgenik
mengandung gen Cry 1A(b) terhadap populasi serangga non-target di
lapangan uji terbatas. J Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(2): 95-
100.
Dunn WN. 2003. Pengantar analisis kebijakan public. Ed ke-2. Wibawa S et al.
penerjemah; Darwin M, penyunting. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press. Terjemahan dari: Public policy analysis: An
Introduction 2nd
.
Environmental Protection Agency (EPA). 1999. Pesticide Fact Sheet: Bacillus
thuringiensis Cry IAb Delta-Endotoxin and The Genetic Material
Necessary for It’s Production (Plasmid vector pZ 01502) in corn (Bt 11).
Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan: Metode penelitian untuk pascasarjana.
IPB Press. Bogor.
Fauzi A dan Anna Z. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan.
Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta, Gramedia.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2010. Biotechnology and food
security. Rome, Italy [on line] www.fao.org. [12 Maret 2011]
165
[FAPRI] Food and Agricultural Policy Research Institute. 2004. The US and
world agricultural outlook, Iowa State University and the University of
Missouri.
Garcia-Alonso M et al. 2006. A tiered system for assessing the risk of
genetically modified plants to non-target organisms. Environ Biosafety
Res 5 (2):57-65.
Gatehouse GA. 2008. Biotechnological prospects for engineering insect-resistant
plant. Plant Physiol 146:881-887.
Ghareyazie B et al. 1997. Peningkatan ketahanan terhadap dua penggerek batang
pada padi aromatik yang memiliki gen cry IA(b) sintetik. Willy bayuardi
Suwarno, penerjemah; Mol Breeding 3: 401-404. Kluwer Academic Pub.
Belgium. Terjemahan dari: Enhanced resistance to two stem borer in an
aromatic rice containing a synthetic cry IA(b) gene.
Greenberg BM, Glick BR. 1993. The use of recombinant DNA technology to
produce genetically modified plants. Di dalam: Glick BR, Thompson JE,
editor. Methods in plant molecular biology and biotechnology. New
York. 1–10.
Groote HD, Overholt WA, Ouma JO, Wanyama J. 2011. Assessing the potential
economic impact of Bacillus thuringiensis (Bt) maize in Kenya. African J
of Biotechnol. 10(23):4741-4751.
Halsey ME. 2006. Integrated confined system for genetically engineered plants.
Program for Biosafety Systems. Donald Danforth Plant Science
Center.Washington D.C.
Hao C, YongJun L, Qi Fa Z. 2009. Review and prospect of transgenic rice
research – Document transcript. Review Chinese Science Bulletin.
Science In China Press. Wuhan 430070, China.
Harst M, Cobanov B, Hausmann L, Eibach R, Tӧ pfer R. 2009. Evaluation of
pollen dispersal and cross pollination using transgenic grapevine plants.
Environ Biosafety Res. 8: 87-99.
Herman M. 2009. Tanaman produk rekayasa genetik dan kebijakan
pengembangannya. Teknologi rekayasa genetik dan status penelitiannya
di Indonesia. Vol. 1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
166
Herman M. 2009. Tanaman produk rekayasa Genetik dan kebijakan
pengembangannya. Status global tanaman produk rekayasa genetik dan
regulasinya. Vol. 2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Ho NH, Uyen NV, Datta K, Datta SK. 2001. Production of transgenic rice plants
resistant to yellow stem borer and herbicide in two Vietnamese varieties
via Agrobacterium tumefaciens. Omonrice. 9:30-35.
Hofte H, Whiteley HR. 1989. Insectisidal crystal proteins of Bacillus
thuringiensis. Microbiol Rev. 53: 242-255.
Howell VD, John TD, Alexander P. 1998. Introduction to insect biology and
diversity. Oxford New York- Oxford Univ. Press: 3-20
Hilbeck D, Andow DA. 2004. Environmental risk assessment of genetically
modified organisms 1. CABI Publishing.
Huang J, Hu R, Rozelle S, Pray C. 2001. Insect resistant GM rice in farmer’s
field:Assessng productivity and health effects in China. Science: 688-690.
Hüsken A, Prescher S, Schiemann J. 2010. Evaluating biological containment
strategies for pollen-mediated gene flow. Environ Biosafety Res. 9:67-73.
[IRRI] International Rice Research Institute. 2003. Kinds of rice insect pest based
on modes of feeding. Rice doctor. http://knowledgebank.irri.org [26
Oktober 2011].
[ISAAA] International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applications.
2013. Summary. Global Review of Commercialized Transgenic Crops.
[on line] http://www.isaaa.org/ [23 November 2012].
Icoz I, Stotzky G. 2008. Fate and effects of insect-resistant Bt crops in soil
ecosystems. Soil Biol and Biochem J. 40: 559-586.
Ignacimuthu S, Arockiasamy S, Terada R. 2000. Genetic transformation of rice:
Current status and future prospects. Current Science. 79(2):186-195.
James C. 2010. Global status of commercialized biotech/GM crops: 2010. Brief
42 ISAAA.
James C. 2012. Global status of commercialized biotech/GM crops: 2011.
ISAAA. Seminar Nasional Jakarta Indonesia 20 Februari 2012.
Jeong et al. 2005. Cytologycal characterization of interspecific hybrids in rice
(Oryza sativa L.). Korean J Breed. 37(1):52-56.
167
Josine TL, Ji J, Wang G, Guan CF. 2011. Advances in genetic engineering for
plants abiotic stress control. African J of Biotechnol. 10(28): 5402-5413.
Kartasapoetra AG. 1993. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi aksara.
Jakarta.
Kartodiharjo, H. 2009. Sumberdaya Alam, Komoditi dan Arah Pengelolaannya.
Bahan Kuliah Pasca Sarjana PSL IPB.
Kementerian Pertanian. 2013. Konsep strategi induk pembangunan pertanian
2013-2045. Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Solusi pembangunan
Indonesia masa depan. Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal
Kementerian Pertanian. 2-26
Khan EU, Liu JH. 2009. Plant biotechnological approaches for the production and
commercialization of transgenic crops. Review. Biotechnol & Biotechnol
EQ. 23(3): 1281-1288.
Kropff MJ, Struik PC. 2002. Developments in Crop Ecology. NJAS. 50(2): 223-
237.
Kuo W, Chak K. 1996. Identification of novel cry-type genes from Bacillus
thuringiensis strains on the basis of restriction fragment length
polymorphism of the PCR amplified DNA. Appl Environ Microbiol
62(4): 1369-1377.
Laporan Teknik Kegiatan Penelitian Bioteknologi Tahun Anggaran 2006, 2007
Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia.
Laporan KKH PRG. 2012. Sekretariat KKH PRG. Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Jakarta.
Lee M, Yeun L, Abdullah R. 2006. Expression of Bacillus thuringiensis
insecticidal protein gene in transgenic oil palm. Electronic J of Biotechnol
9(2): 117-126.
Lemaux PG. 2009. Introduction to genetic modification. Agricultural
Biotechnology in California Series. Pub. 8178.
http://ucbiotech.org/resources/factsheets/8178.pdf [14 September 2011].
Lenin K, Udayasurian V, Kannaiyan S. 2007. Diversity in cry genes of Bacillus
thuringiensis. National Biodiversity Authority. Chennai Tamil Nadu.
India
Lottmann J, Berg G. 2001. Phenotypic and genotypic characterization of
antagonistic bacteria associated with roots of transgenic and non-
transgenic potato plants. Microbiol Res. 156:75-82.
168
Lu B-R, Sweet J. 2010. Challenges and opportunities in environmental biosafety
research. Environ Biosafety Res. 9:1-3
Lynch RE, Wiseman BR, Plaisted D, Warnick D. 1999. Evaluation of transgenic
sweet corn hybrids expressing cry IA(b) toxin for resistance to corn
earworm and fall armyworm (Lepidoptera: Noctuidae). J of Economic
Entomol. 2:26-32.
MacMahon RR. 2000. Genetic Engineering of crop plants. Yale-New Haven
Teachers Institute. Bioethics. VII.
http://yale.edu/ynhti/curriculum/units/2000/7/00.07.02.x.html. [12
Oktober 2011].
Manshardt R. 2004. Crop improvement by conventional breeding or genetic
engineering: How different are they? Bio. 5:1-3.
Marfa V, Mele E, Vassal JM, Messeguer J. 2002. In vitro insect-feeding bioassay
to determine the resistance of transgenic rice plants transformed with
insect resistance genes againts striped stem borer (Chilo suppressalis).
In vitro Cellular and Dev Biol Plant. 38: 310-315.
Marimin, 2005. Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta
McCammon SL. 2010. Biosafey research and risk assessment (Session I). Environ
Biosafety Res. 5(4):177-182.
Mimura M, Lelmen KE, Shimazaki T, Kikuchi A, Watanabe KN. 2008. Impact of
environmental stress-tolerant transgenic potato on genotypic diversity
of microbial communities and soil enzyme activities under stress
conditions. Microbes Environ. 23(3):221-228.
Mitchell B, Setiawan B, Rahmi DH. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Gadjah Mada University Press. IKAPI. Yogyakarta
Moghaieb REA. 2010. Transgenic rice plants expressing cry 1la5 gene are
resistant to stem borer (Chilo agamemnon). GM Crops. 1(5): 288-293.
Mohanty S. 2010. Climate change and its impact on rice, the irrigation schemes
and the market. Di dalam: European Agricultural Economics
Association’s special seminar on Climate Change, Food Security and
Resilience of Food and Agricultural Systems in Developing Countries:
Mitigation and Adaptations 20-27 Nov 2010, Stuttgart, Germany. 86-
97.
Mulyaningsih ES, Deswina P, Slamet-Loedin IH. 2009. Dampak padi transgenic
mengekspresikan gen Cry IA(b) untuk ketahanan terhadap penggerek
batang di lapang terbatas terhadap serangga bukan sasaran. J Hama
dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 9 (2):85-91.
169
Munasinghe M. 1993. Environmental economics and sustainable development
Vol 3. World Bank Environment Paper. Washington DC. USA. 112 p.
Nasir. M. 2002. Bioteknologi: Potensi dan keberhasilannya dalam bidang
pertanian . PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 165-200.
Nayak P et al. 1997. Transgenic elite indica rice plant expressing cry IAc δ-
endotoksin of Bacillus thuringiensis are resistant against yellow stem
borer (Scirpophaga incertulas). Proc Natl Acad Sci USA 94: 211-216.
Newell P, Mackenzie R. 2000. The 2000 Cartagena Protocol on biosafety: legal
and political dimensions. Global Environ Change. 10: 313-317.
Novak FJ, Brunner H. 1992. Plant breeding: Induced mutation technology for
crop improvement. IAEA Bull 4: 25-33.
Pauwels K, Breyer D, De Schrijver A, Goossens M, Herman P. 2010.
Contributions from scientific research to the risk assessment of GMOs.
Lessons learned from a symposium held in Brussels, Belgium, 21-22
October 2010. Environ Biosafety Res. 9:113-121.
Prasetya B, Deswina P. 2009. Biotechnology research and integration with
industry. J of Biotech Res In Tropical Region. 2(2):2-6.
Pray ME, Ma D, Huang J, Qiao F. 2001. Impact of Bt Cotton in China. World
Dev. 29:813-825.
Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate
the sustainability status of fisheries. Fisheries Res. 49:255-270.
Qaim M. 2009. The economics of genetically modified crops. The annual review
of resource economics. 1: 665-693.
http://www.annualreviews.org/doi/pdf/ [5 Nopember 2011].
Rahman M et al. 2007. Insect resistance and risk assessment studies of advanced
generations of basmati rice expressing two genes of Bacillus
thuringiensis. Electronic J of Biotechnol. 10(2): 240-251.
Raybould A. 2006. Problem formulation and hypothesis testing for environmental
risk assessments of genetically modified crops. Environ Biosafety Res.
5 (4):119-125.
Raybould A. 2011. The bucket and the searchlight: formulating and testing risk
hypotheses about the weediness and invasiveness potential of
transgenic crops. Environ Biosafety Res. 9:123- 133.
170
Redona ED. 2006. Rice Biotechnology for Developing Countries in Asia.
Agricultural Biotechnology: Finding Common International Goals.
http://nabc.cals.cornell.edu/pubs/nabc_16/talks/redona.pdf.[18 Oktober
2011].
Reissig W et al. 1986. Illustrated guide to integrated pest management in rice in
tropical Asia. IRRI. Los Banos, Laguna, Philippines.
Rissler J, Mellon M. 1996. The ecological risks of engineered crops.
Massachusetts Institute of Technology. London. England.
Rodriguez RC, Nottenburg C. 2002. Antibiotic resistance genes and their use in
genetic transformation especially in plants. CAMBIA.
http:www.cambiaip.org/whitepapers/transgenic/ab_resistance/books/w
hole.pdf. [12 Nopember 2012].
Rogers P.P, Jalal K.F, Boyd J.A. 2007. An Introduction to Sustainable
Development. Earthscan, UK and USA.
Roth S, Hyde J. 2002. Partial budgeting for agricultural businesses. Agricultural
Research and Cooperative Extension College of Agricultural Sciences.
Penn State. http://www.cas.psu.edu {1 Oktober 2013}.
Roush RT. 1998. Two-toxin strategies for management of insecticidal transgenic
crops: can pyramiding succeed where pesticide mixtures have not? Phil
Trans Res Soc Lond B. 353: 1777-1786.
Rozelle S, Huang J, Hu R. 2000. Genetically modified rice in China: Effects on
farmers-in China and California. Giannini Foundation of Agricultural
Economics. Univ of California: 2-6
Saaty,R.W. and T.L. Saaty. 2003. Decision Making in Complex Environments:
The Analytical Hierarchy Process (AHP) for Decision Making and The
Analytical Network Process (ANP) for Decision Making with
Dependence and Feedback. Creative Decisions Foundation, Pittsburgh,
PA, http://www.SuperDecision,com [21 November 2012].
Salm T et al. 1994. Insect resistance of transgenic plants that express modified
Bacillus thuringiensis cry IA(b) and cry IC genes: a resistance
management strategy. Plant Mol Biol. 26: 51-59
Salim E.2005. Looking Back To Move Forward. Preface in Resosudarmo (edt):
The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. ISEAS,
Singapore.
Sanim B. 2003. Keterkaitan sumber daya alam dan lingkungan, pembangunan
ekonomi dan manajemen lingkungan. Materi kuliah ekonomi
sumberdaya alam dan lingkungan. Sekolah Pascasarjana IPB.
171
Sanahuja G, Banakar R, Twyman RM, Capell T, Christou P. 2011. Bacillus
thuringiensis: a century of research, development and commercial
aplications. Plant Biotech J. 9: 283-300.
Shah F, Huang J, Cui K, Nie L, Shah T, et al. (2011) Impact of high temperature
stress on rice plant and its traits related to tolerance. J of Agricultural
Sci. Cambridge. 10: 1-12
Sharma KK, Sharma HC, Seetharama N, Ortiz R. 2002. Development and
deployment of transgenic plants: Biosafety considerations. In vitro cell
Dev Biol Plant. 38:106-115.
Slette J. 2010. Rice and corn update. Global agricultural information network.
USDA Foreign Agricultural Service. Voluntary Public.
Snow A, MacBryde B, Wozniak C, Daniell H, Hall L, Horak M, Strauss S. 2003.
Research needs & priorities for plants: Impacts and management of
gene flow In: Workshop “Future directions & research priorities for
the USDA biotechnology risk assessment grants program. Washington
DC June 9-10, 2003.
Soemarwoto O. 2002. Sikap Kehati-hatian Rekayasa Genetik. Di dalam: Rekayasa
Genetika: Tantangan dan harapan Unpad Press, Bandung: 12-19.
Srivastava SK et al. 2003. Stem borer of rice – wheat cropping system: status,
diagnosis, biology and management. Rice-wheat Consorsium Bulletin
Series. Rice-Wheat Consortium for the Indo- Gangetic Plains. New
Delhi. India.
Stein AJ, Rodriguez-Cerezo E. 2010. International trade and the global pipeline of
new GM crops. Nat Biotechnol. 28(1):23-25.
Sugandhy A, Hakim R. 2009. Pembangunan berkelanjutan berwawasan
lingkungan. Bumi Aksara.Jakarta. Ed. 1. 158 hal.
Soekartawi.1995. Analisis Usahatani. UI Press. Jakarta
Thiagarajasubramanian A. 2005. Recent advances in the genetic engineering of
rice crops. MMG 445 e-journal 1:1. www.msu.edu/course/mmg/445
[26 Oktober 2011].
Thomson JA. 2000. Genetic engineering of plants. Biotechnol III.7 p.
Tietenberg T, Lewis L. 2010. Environmental Economics and Policy. Sixth
Edition. Pearson Education. Inc. 15-90.
Tu J, Zhang G, Datta K, Xu C, He Y, Zhang Q, Khush G S, Datta S K. 2000.
Field performance of transgenic elite commercial hybrid rice
expressing Bacillus thuringiensis δ- endotoxin. Nature Biotechnol 18:
1101–1104.
172
Undang-undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2004 Tentang Pengesahan
Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological
Diversity dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 21 Tahun
2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007.
Undang-undang No 32 Tahun 2009. Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Jakarta.
Undang-undang No 18 Tahun 2012. Tentang Pangan. Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Vaughan DA, Morishima H, Kadowaki K. 2003. Diversity in the Oryza genus.
Current opinion in: Plant Biology. 6: 139-146.
Wang Z et al. 2002. Genetic analysis of resistance of Bt rice to stripe stem borer
(Chilo suppressalis). Euphytica.123: 379-386
Walpole, R.E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi ke-3. Terjemahan, Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
World rice production 2009 -2010. http://www.rice- trade.com/articles/rice-
production.html . [20 Oktober 2011].
Wraigt DL, Zangerl AL, Carrol MJ, Berenbaum MR. 2000. Absence of toxicity of
Bacillus thuringiensis pollen to black swallowtails under field
conditions. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 97:7700-7703.
Wu C, Fan Y, Zhang C, Oliva N, Datta SK. 1997. Transgenic fertile japonica rice
expressing a modified cry1Ab gene resistant to yellow stem borer.
Plant Cell Rep. 17: 129–132.
Yang Z, Chen H, Tang W, Hua H, Lin Y. 2011. Development and characterisation
of transgenic rice expressing two Bacillus thuringiensis genes. Pest
Manag Sci. 67: 414-422.
Ye GY, Yao HW, Shu QY, Cheng X, Hu C, Xia YW, Gao MW, Altosaar I. 2003.
High levels on stable resistance intransgenic rice with a Cry IA(b) gene
from Bacillus thuringiensis Berliner to leaffolder Cnaphalocrosis
medinalis (Guence) under field conditions. Crop Protection. 22: 171-
178.
Zheng K, Huang N, Bennet P, Khush GS. 1995. PCR-based marker assisted
selection in rice breeding. IRRI News Letter 2.
173
Lampiran 1. Model penanaman untuk penelitian gene flow di daerah Karawang,
Jawa Barat, Tahun 2006
Padi non-PRG (border)
Padi PRG
174
Lampiran 2. Komposisi larutan untuk reaksi PCR
Tabel 1. Komposisi volume untuk 1x reaksi PCR (15 µl)
No Bahan Konsentrasi
1 dNTP 0.05 mM
2 Taq Polymerase 0.05 µl
3 Primer forward Cry IAb 2.5 ng/ µl
4 Primer reverse CryIAb 2.5 ng/ µl
5 DNA sampel hasil isolasi 1 µl
6 d H2O agar reaksi mencapai 20 µl
175
Lampiran 3: Contoh kuisioner untuk persepsi dan penerimaan petani terhadap
Padi Bt PRG
PERSEPSI DAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP
PADI Bt PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG)
PETUNJUK PENGISIAN
1. Setiap responden diharapkan dapat menjawab semua pertanyaan dalam
kuisioner ini.
2. Untuk pertanyaan yang telah tersedia alternatif jawabannya, pilih salah satu
jawaban yang telah tersedia dengan memberikan tanda x pada kotak di
sebelah jawaban yang dipilih
3. Jawaban yang benar adalah pilihan yang sesuai dengan masing-masing
pendapat pribadi Bapak/Ibu
4. Untuk pertanyaan isian, tulislah jawaban yang sesuai dengan kondisi dan
pendapat Bapak/Ibu di tempat yang telah disediakan.
I. IDENTITAS RESPONDEN
Nomor : ……………… (diisi oleh petugas)
Nama : …………………………………………………………………
-l
Umur : …………………………… tahun
Alamat RT/RW :…………….
Dusun/Kecamatan/Kabupaten :…………………………………………………..
Pekerjaan lain selain bertani (jika ada, tolong disebutkan) : ……………….
Kelompok Tani : ……………………………………………..
(diisi jika Bapak/Ibu terdaftar sebagai anggota)
II. KARAKTERISTIK PENGETAHUAN RESPONDEN
Tingkat Pendidikan : 1. Apakah pendidikan formal terakhir Bapak/Ibu?
- -
176
2. Berapakah kira-kira penghasilan yang Bapak/Ibu peroleh setiap bulan? -
3. Apakah Bapak/Ibu pernah mendengar tentang padi transgenik atau padi PRG?
4. Apakah Bapak/Ibu pernah mengikuti pelatihan/kursus/penataran/training yang berkaitan dengan produk transgenik (PRG) ?
5. Dari mana biasanya Bapak/Ibu memperoleh informasi tentang produk transgenik (PRG)
pe
1. Apakah menurut Bapak/Ibu, padi PRG tersebut aman untuk dikonsumsi oleh manusia?
2. Apakah Bapak/Ibu bersedia untuk membeli beras yang berasal dari benih transgenik (benih PRG) jika tersedia di pasaran?
3. Kriteria yang lebih diutamakan dalam membeli/mengkonsumsi padi PRG
dari isu risiko dan keamanannya
4. Untuk menghindari tanaman padi Bapak/Ibu terserang oleh hama, tindakan apa yang lebih disukai?
(sebutkan)……………………………………………………………..
1. Dari mana biasanya Bapak/Ibu memperoleh benih padi?
2. Apakah Bapak/Ibu mengetahui bahwa padi PRG lebih “ramah lingkungan”
dibandingkan dengan padi non PRG?
3. Apabila padi PRG telah tersedia di pasaran dengan sifat yang lebih unggul
(seperti tahan terhadap serangan hama) apakah Bapak/Ibu bersedia membeli
dengan harga
III. SIKAP DAN PENERIMAAN MASYARAKAT TERHADAP PRG
IV. OPINI DAN PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PADI PRG
177
4. Berapa harga yang selalu Bapak/Ibu bayar untuk memperoleh benih padi per
kg nya ? Rp ……………………………..
6. Berapa harga yang dapat Bapak/Ibu bayarkan seandainya padi PRG tahan
terhadap serangan hama tersebut sudah tersedia di pasaran: Rp………………..
5. Jenis padi varietas apa yang biasanya Bapak/Ibu beli untuk ditanam? Sebutkan ................................................. 7. Apa yang Bapak/Ibu harapkan dari padi PRG, pilih jawaban yang sesuai
dengan harapan Bapak/Ibu
No Sifat yang diinginkan dari padi PRG
Sangat setuju
setuju Tidak setuju
Tidak tahu
1. Produktifitas (hasil) tinggi
2. Tahan terhadap serangan hama
3. Tahan serangan penyakit
4. Bisa ditanam di lahan kering
5. Tahan rendaman
6. Tahan herbisida
7. Tahan naungan
8. Kandungan gizi
8. Apakah Bapak/Ibu bersedia menanam Padi PRG, jika produk sudah tersedia
di pasaran?
-ragu
9. Dalam membeli benih padi, kriteria/ pertimbangan apakah yang akan
Bapak/Ibu pilih ;
ama tertentu tapi panen 3 – 4 kali
setahun
– 4 kali setahun
Pilihan sendiri: ……………………………………………………………
TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASINYA
178
Lampiran 4. Uraian isi peraturan dan undang-undang yang menyebut penggunaan
dan pemanfaatan produk rekayasa genetic (PRG).
No Peraturan atau Undang-undang Ruang Lingkup
1. UU No 12 Tahun 1992 Pasal 8
Perolehan benih bermutu untuk
pengembangan budidaya tanaman
dilakukan melalui kegiatan penemuan
varietas unggul dan/atau introduksi dari
luar negeri
Pasal 12
1. Varietas hasil pemuliaan atau
introduksi dari luar negeri sebelum
diedarkan terlebih dahulu dilepas oleh
Pemerintah
2. Varietas hasil pemuliaan atau
introduksi yang belum dilepas
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilarang diedarkan
2. UU No.7/1996 Pasal 3
Tersedianya pangan yang memenuhi
persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi
kepentingan kesehatan manusia
Pasal 13 ayat 1-2
1. 1. Setiap orang yang memproduksi pangan
atau menggunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan dan atau bahan bantu lain
dalam kegiatan atau proses produksi pangan
yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetika wajib terlebih dahulu
memeriksakan keamanan pangan bagi
kesehatan manusia sebelum diedarkan.
Pemerintah menetapkan persyaratan dan
prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode rekayasa genetika
dalam kegiatan atau proses produksi pangan
serta menetapkan persyaratan bagi
pengujian pangan yang dihasilkan dari
proses rekayasa genetika.
3. PP No 69/ 1999 Pasal 35 ayat 1-2
1. Pada label untuk pangan hasil rekayasa
genetika wajib dicantumkan tulisan
PANGAN REKAYASA GENETIKA.
Dalam hal pangan hasil rekayasa genetika
179
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan bahan yang digunakan dalam
suatu produk pangan, pada Label cukup
dicantumkan keterangan tentang pangan
rekayasa genetika pada bahan yang
merupakan pangan hasil rekayasa genetika
tersebut saja.
4. PP No.28/2004 Pasal 14 ayat 1-5
1.Setiap orang yang memproduksi pangan
atau mengunakan bahan baku, bahan
tambahan pangan, dan/atau bahan bantu lain
dalam kegiatan atau proses produksi pangan
yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan
keamanan pangan tersebut sebelum
diedarkan.
2. Pemeriksaan keamanan pangan produk
rekayasa genetika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. informasi genetika, antara lain deskripsi
umum pangan produk rekayasa genetika dan
deskripsi inang serta penggunaannya sebagai
pangan;
b. deskripsi organisme donor;
c. deskripsi modifikasi genetika;
d. karakterisasi modifkasi genetika; dan
e. informasi keamanan pangan, antara lain
kesepadanan substansi, perubahan nilai gizi,
alerginitas dan toksisitas.
(3) Pemeriksaan keamanan pangan produk
rekayasa genetika sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh komisi yang
menangani keanaman pangan produk
rekayasa genetika.
(4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan
keamanan pangan produk rekayasa genetika
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh komisi yang menangani
keamanan pangan produk rekayasa genetika.
(5) Kepala Badan menetapkan bahan baku,
bahan tambahan pangan, dan/atau bahan
bantu lain hasil proses rekayasa genetika
yang dinyatakan aman sebagai pangan
dengan memperhatikan rekomendasi dari
komisi yang menangani keamanan pangan
produk rekayasa genetika.
5. UU 32 / 2009 Pasal 69 ayat (1)huruf g
Setiap orang dilarang melepaskan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan
hidup yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan atau izin
180
lingkungan
Pasal 101
Setiap orang yang melepaskan dan/atau
mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang
bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin
lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah)
6. PerMentan 37/ 2011 Pasal 58
Untuk pengeluaran SDG hasil rekayasa
genetik selain mengikuti ketentuan dalam
pasal 56 dan pasal 57 harus mengikuti
ketentuan perundang-undangan tentang
keamanan hayati produk rekayasa
genetik.
7. PerMentan 61/ 2011 Tanaman PRG
Pasal 8
Jenis tanaman PRG meliputi tanaman
pangan PRG, tanaman perkebunan
PRG dan tanaman hijauan pakan ternak
PRG.
Pasal 9
(1) Uji adaptasi atau uji observasi
tanaman PRG sesuai komoditas
seperti tercantum pada Lampiran 1
sebagai bagian tidak terpisahkan
dengan peraturan ini, dapat dilakukan
setelah melalui proses
pengkajian keamanan lingkungan
tanaman PRG di LUT atau
bersamaan dengan proses pengkajian
keamanan lingkungan
tanaman PRG di LUT dengan tetap
mengikuti ketentuan LUT dan
ketentuan pelepasan varietas tanaman.
(2) Permohonan uji adaptasi atau uji
observasi yang dilakukan bersamaan
dengan proses pengkajian keamanan
lingkungan tanaman PRG di LUT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan secara tertulis kepada Menteri
181
melalui Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian tembusan
kepada Menteri Negara Lingkungan
Hidup, Ketua KKH, Ketua BBN, dan
Kepala Badan Karantina Pertanian.
(3) Permohonan uji adaptasi atau uji
observasi tanaman PRG di LUT
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dilengkapi dengan:
a. isian formulir seperti tercantum pada
Lampiran 3 sebagai bagian
tidak terpisahkan dengan Peraturan ini;
b. jawaban daftar pertanyaan seperti
tercantum pada Lampiran 4 sebagai
bagian tidak terpisahkan dengan
Peraturan ini;
c. lampiran informasi dan data yang
diperlukan, serta proposal uji
adaptasi atau uji observasi tanaman PRG
di LUT;
(4) Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian dalam
waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak menerima permohonan, harus
sudah mengusulkan kepada Ketua KKH
untuk penerbitan rekomendasi pengujian
keamanan lingkungan tanaman
PRG yang dilakukan bersamaan dengan
uji adaptasi atau uji observasi di LUT.
Pasal 10
Tata cara pemberian rekomendasi dari
Ketua KKH dan ijin uji adaptasi
atau uji observasi yang dilakukan
bersamaan dengan pengujian keamanan
lingkungan tanaman PRG di LUT oleh
Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian atas nama
Menteri Pertanian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 seperti
tercantum pada Lampiran 2 sebagai
bagian tidak terpisahkan dengan
Peraturan ini.
Pasal 11
(1) Hasil uji adaptasi atau uji observasi
yang dilakukan oleh penyelenggara uji
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dan Pasal 9 dilampirkan pada dokumen
usulan pelepasan varietas.
182
(2) Usulan pelepasan varietas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dievaluasi dan dinilai oleh TP2V. (3)
Hasil evaluasi dan penilaian TP2V
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Ketua BBN sebagai
bahan pertimbangan usulan pelepasan
varietas oleh Menteri Pertanian.
Pasal 12
(1) Evaluasi dan penilaian oleh TP2V
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dilakukan terhadap keunggulan dan
kesesuaian calon varietas yang akan
dilepas.
(2) Keunggulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), antara lain:
a. daya hasil;
b. ketahanan terhadap organisme
pengganggu tumbuhan utama;
c. ketahanan terhadap cekaman
lingkungan;
d. kecepatan berproduksi;
e. mutu hasil tinggi dan/atau ketahanan
simpan;
f. toleransi benih terhadap kerusakan
mekanis;
g. tipe tanaman yang keindahan dan/atau
nilai ekonomis; dan/atau
h. batang bawah untuk perbanyakan
klonal, harus mempunyai perakaran yang
kuat, ketahanan terhadap hama/penyakit
akar dan kompatibilitas.
(3) Kesesuaian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), antara lain meliputi
sejarah, kebenaran silsilah, deskripsi dan
metoda pemuliaan.
Bab IV. Pelepasan
Pasal 13
(1) Calon varietas yang diusulkan untuk
dilepas dapat berasal dari pemuliaan di
dalam negeri atau berasal dari introduksi.
(2) Calon varietas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa galur murni,
komposit, kultivar, klon, mutan, hibrida,
tanaman PRG dan/atau hasil teknik
pemuliaan lain.
(3) Calon varietas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilepas apabila
183
memenuhi persyaratan:
a. silsilah tanaman meliputi asal usul,
nama tetua, daerah asal, nama pemilik
atau penemu, perkiraan umur bagi
tanaman tahunan atau lama penyebaran
bagi tanaman semusim yang telah
berkembang di masyarakat (varietas
lokal) dan metoda pemuliaan yang
digunakan;
b. tersedia deskripsi yang lengkap dan
jelas, untuk identifikasi dan pengenalan
varietas secara akurat; c. menunjukkan
keunggulan terhadap varietas
pembanding;
d. unik, seragam dan stabil;
e. pernyataan dari pemilik bahwa benih
penjenis (breeder seed) tersedia baik
dalam jumlah maupun mutu yang cukup
untuk perbanyakan lebih lanjut; dan
f. dilengkapi data hasil pengujian
lapangan seluruh lokasi dan/atau
laboratorium.
(4) Untuk varietas introduksi selain
memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus
melampirkan ijin dari pemilik varietas.
(5) Untuk hibrida selain memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) deskripsi tetua harus
dilampirkan.
Pasal 14
Calon varietas tanaman PRG yang
diusulkan untuk selain memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 harus memenuhi ketentuan
keamanan hayati.
Pasal 15
(1) Varietas dari pemuliaan silang balik
yang ditujukan untuk perbaikan
sifat dan/atau penambahan satu sifat baru
dengan tidak merubah sifat-sifat lain
sesuai deskripsi aslinya, dapat dilepas
tanpa melalui uji adaptasi atau uji
observasi.
(2) Varietas dari pemuliaan silang balik
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus mempunyai data bukti
kesesuaian deskripsi asli melalui uji
184
petak pembanding.
(3) Petak pembanding sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah varietas
asli yang dijadikan pembanding untuk
melihat kesamaan deskripsi dari varietas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Pelepasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tetap mengikuti prosedur
pelepasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13.
Pasal 16
(5) Tanaman PRG yang berasal dari
varietas non PRG dan telah dilepas,
selanjutnya dilakukan perbaikan sifat
dan/atau penambahan satu sifat baru
dengan tidak merubah sifat-sifat lain
sesuai deskripsi aslinya, dapat dilepas
tanpa melalui uji adaptasi atau uji
observasi dengan tetap mengikuti
ketentuan pelepasan varietassebagaimana
dimaksud dalam pasal 13. (6) Tanaman PRG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
mempunyai data bukti kesesuaian
deskripsi asli melalui uji petak
pembanding.
(7) Petak pembanding sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yaitu varietas asli
yang dijadikan pembanding untukmelihat
kesamaan deskripsi dari tanaman PRG
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8) Tanaman PRG sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilepas,
apabila dilengkapi bukti kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dan sertifikat dan rekomendasi
keamanan lingkungan, keamanan
pangan dan/atau keamanan pakan
terlebih dahulu.
Pasal 23
(1) Penamaan varietas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 untuk tanaman
PRG harus ditambahkan kode PRG
(event).
(2) Penamaan varietas yang berasal dari
varietas yang telah dilepas harus
menggunakan nama varietas yang telah
dilepas dengan ditambahkan kode PRG.
185
Pasal 25
Varietas tanaman PRG yang terbukti
tidak memberikan manfaat dan/atau
tidak layak sebagaimana dimaksud pada
Pasal 24 ayat (2)
a. Menteri Negara Lingkungan Hidup
mengusulkan kepada Menteri
Pertanian untuk mencabut keputusan
pelepasan atau peredaran varietas
tanaman PRG.
b. Tindakan pengendalian dan
penanggulangan serta penarikan varietas
tanaman PRG dari peredaran dilakukan
sesuai dengan ketentuan
UU No 18/2012 Pasal 77
(1) Setiap Orang dilarang memproduksi
Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa
Genetik Pangan yang belum mendapatkan
persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan
atau proses Produksi Pangan dilarang
menggunakan bahan
baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau
bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa
Genetik Pangan yang belum mendapatkan
persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan.
(3) Persetujuan Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diberikan oleh Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai tata cara
memperoleh persetujuan Keamanan Pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan
prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode
Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan
atau proses Produksi Pangan, serta
menetapkan persyaratan
bagi pengujian Pangan yang dihasilkan dari
Rekayasa Genetik Pangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan
prinsip penelitian, pengembangan, dan
pemanfaatan metode
Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 137
186
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan
yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik
Pangan yang belum
mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan
sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal
77 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan
atau proses Produksi Pangan dengan
menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain
yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik
Pangan yang belum mendapatkan
persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak
Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
187
Lampiran 5: Kuisioner AHP untuk responden pakar
KARAKTERISTIK RESPONDEN
1. Nama Lengkap :
2. Pekerjaan/Institusi : …………………………………………………………..…
3. Keahlian : □ Biologi/ Kultur Jaringan/ Mikrobiologi
□ Kebijakan pemerintah
□ Biologi molekuler/Pemuliaan
□ Ekologi/Konservasi
□ Sosial, budaya dan kelembagaan
□ Ekonomi sumberdaya alam
□ Keanekaragaman hayati (Biodiversiti)
□ Entomologi
□ Ilmu lingkungan
□ Lainnya:.................................................................
4. Penelitian di bidang pengelolaan produk rekayasa genetik / tanaman, hewan, jasad renik
5. Pendidikan di Bidang : S1 : …................................................………..........………. S2 : …................................................………..........……….
S3: …................................................………….........……. 6. Alamat :
…………………...................................................………….. 7. Alamat E-mail : 8. Telepon/HP/Fax : /....……..…………...../.............………….. 9. Tanggal Pengisian Kuesioner: .....................................................
PENENTUAN KRITERIA DAN ALTERNATIF
KEAMANAN LINGKUNGAN UNTUK FORMULASI KEBIJAKAN
PENGELOLAAN PRODUK REKAYASA GENETIK (PRG)
1. Penentuan Tujuan Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk
Padi Transgenik
Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masing-
masing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Tujuan Formulasi Kebijakan
Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik dimana:
A : Sangat setuju
B : Setuju
C : Cukup setuju
D : Kurang setuju
E : Tidak setuju
188
Kriteria tujuan pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik secara berkelanjutan adalah:
No Tujuan A B C D E
1 Menjamin perlindungan aspek ekologis terhadap keanekaragaman hayati
2 Meningkatkan ekonomi masyarakat dengan memacu produksi padi nasional untuk mendukung ketahanan pangan
3
Keselarasan sosial dengan memperhatikan komunikasi risiko (Risk communication) dan managemen risiko (Risk management)dengan masyarakat
4 Memacu kemampuan di bidang teknologi rekombinan DNA
5 .........................................................................
2. Penentuan Aktor yang Berpengaruh Dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik
Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masing-masing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Aktor Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik dimana: A : Sangat berpengaruh
B : Berpengaruh C : Cukup berpengaruh D : Kurang berpengaruh E : Tidak berpengaruh
Kriteria aktor yang berpengaruh dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik adalah:
No Aktor A B C D E
1 Komisi Keamanan Hayati PRG
2 Tim Teknis Keamanan Hayati PRG
3 Kementerian Pertanian
4 Kementerian Negara Lingkungan Hidup
189
5 Badan Pengawas Obat dan Makanan
6 Lembaga pemerintah Non Kementerian lainya
7 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
8 Pengembang teknologi
9 Petani
10 Masyarakat
11 Perusahaan Swasta Multinasional
12 Lainnya (jika ada mohon dituliskan):
3. Penentuan Faktor yang Diprioritaskan Dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik
Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masing-masing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Faktor yang menjadi prioritas dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik untuk Padi Transgenik, dimana:
A : Sangat diprioritaskan B : Diprioritaskan C : Cukup diprioritaskan D : Kurang diprioritaskan E : Tidak diprioritaskan
Kriteria faktor yang diprioritaskan dalam kebijakan pengelolaan Padi PRG secara berkelanjutan adalah:
No Faktor A B C D E
1 Kemampuan sumber daya manusia (SDM)
2 Kelengkapan infra struktur dan peralatan dalam penelitian
3 Ketersediaan budget penelitian, sampai tahap pengajuan keamanan hayati ( Financial)
4 Birokrasi atau prosedur memperoleh keamanan hayati dari Institusi terkait
5 Peraturan dan regulasi terkait PRG
6 Kerja sama nasional dan internaional
190
7 Pedoman (guidelines) untuk pengajuan keamanan hayati PRG
8 Kerangka waktu (time frame) yang jelas untuk proses pengajuan keamanan hayati PRG
4. Penentuan Alternatif Strategi Dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik (PRG) untuk Padi Transgenik
Mohon diberikan tanda () pada kolom A, B, C, D atau E pada masing-masing pernyataan sesuai dengan pendapat Bapak/Ibu jika pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai kriteria Alternatif yang diterapkan dalam Pengelolaan Produk Rekayasa Genetik untuk padi transgenik, dimana:
A : Sangat sesuai B : Sesuai C : Cukup sesuai D : Kurang sesuai E : Tidak sesuai
Kriteria alternatif strategi yang diterapkan dalam pengelolaan padi transgenik adalah:
No Alternatif A B C D E
1 Menetapkan pedoman pengajuan keamanan lingkungan untuk persiapan komersialisasi
2 Mengembangkan kemampuan SDM di bidang bioteknologi dan pengujian keamanan hayati
3 Membuat skala prioritas nasional untuk mengembangkan PRG dalam negeri
4 Mengembangkan penelitian dan pengujian keamanan hayati untuk padi PRG berdasarkan metode ilmiah
5 Melakukan analisis sosial ekonomi terhadap prospek keberlanjutan padi PRG
6 Persiapan dana yang memadai dan konsisten sejak awal penelitian sampai pengujian keamanan hayati
7 Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak luar
191
191
Lam
pir
an 6
. K
uis
ioner
untu
k a
nal
isis
keb
erla
nju
tan p
engel
ola
an t
anam
an P
RG
den
gan m
etode
MD
S
Dim
ensi
Ek
olo
gi
dan
Kes
eha
tan
N
o
Atr
ibu
t S
kala
B
uru
k
Baik
N
ilai
Ket
1
. K
ond
isi
mer
ugik
an t
erhad
ap o
rgan
ism
e
no
n t
arget
dan
kea
nekar
agam
an h
ayat
i
po
tensi
al
(PP
No
21
/2
00
5 p
asal
8 &
27)
0 =
mem
usn
ahkan
1 =
meng
ub
ah p
op
ula
si
2 =
tid
ak m
erub
ah p
op
ula
si
0
2
S
ehar
usn
ya
tid
ak a
da
per
bed
aan p
op
ula
si
org
anis
me
pad
a la
han
yan
g
dit
anam
i
tanam
an P
RG
den
gan n
on P
RG
2.
Pen
gar
uh t
idak
lan
gsu
ng (
ind
irec
t
imp
act
) d
ari
tanam
an P
RG
ter
had
ap
eko
sist
em
0 =
Mem
pengar
uhi
eko
sist
em
1 =
Kem
ung
kin
an m
em
pen
garu
hi
2 =
Tid
ak a
da
pen
gar
uh
0
2
P
engar
uh
tid
ak
lang
sun
g
tid
ak
dap
at
dip
red
iksi
pad
a sa
at s
ekar
ang
3.
Dam
pak
ter
had
ap o
rgan
ism
e p
erai
ran
di
lokas
i p
enanam
an P
RG
0 =
mem
usn
ahkan
1 =
ter
jad
i p
erub
ahan
ju
mla
h p
op
ula
si
2 =
tid
ak m
erub
ah p
op
ula
si
0
2
T
erca
ntu
m
dal
am
p
edo
man
p
eng
kaj
ian
kea
manan
hayat
i P
RG
ta
hu
n
20
05
S
eri
Tan
aman
4.
Po
tensi
tan
am
an P
RG
menja
di
gulm
a
pad
a ar
eal
per
tanam
an
0 =
Mem
ilik
i p
ote
nsi
u
ntu
k b
erko
mp
etis
i
1 =
Kem
ung
kin
an b
erp
ote
nsi
men
jd g
ulm
a
2 =
Tid
ak b
erpo
tensi
menja
di
gulm
a
0
2
B
erd
asar
kan
P
edo
man
P
engkaj
ian
Kea
manan
H
ayat
i P
RG
. S
eri
T
anam
an
20
05
5.
Ter
jad
inya
per
pin
dah
an m
ater
ial
gen
etik
dar
i ta
nam
an P
RG
kep
ada
tanam
an n
on P
RG
(Ped
om
an p
engkaj
ian k
eam
anan
hayat
i
PR
G S
eri
tanam
an 2
00
5)
0 =
ter
jad
i p
erp
ind
ahan
genet
ik d
an
per
sila
ngan d
gn t
anam
an n
on P
RG
1 =
ter
jad
i p
erp
ind
ahan
genet
ik t
api
tid
ak
ada
per
sila
ngan
2 =
ti
dak
ad
a p
erp
ind
ahan
mate
rial
gen
eti
c
0
2
B
elu
m a
da
kes
epakat
an j
um
lah p
erse
nta
se
mat
eria
l genet
ik
yan
g
am
an
ji
ka
terj
adi
per
sila
ngan d
gn t
anam
an n
on P
RG
6.
Per
bai
kan
kuali
tas
lin
gk
ungan
akib
at
ber
kura
ng
nya
pen
ggu
naa
n p
esti
sid
a
0 =
kual
itas
lin
gku
ngan
leb
ih b
uru
k
1=
ti
dak
ad
a p
erb
edaa
n
thd
kual
itas
lin
gk
ungan
2 =
kual
itas
lin
gku
ngan
menja
di
leb
ih b
aik
0
2
T
anam
an
PR
G
tahan
h
am
a ak
an
men
gura
ngi
pen
gg
unaa
n
inse
kti
sid
a sh
g
ko
nd
isi
lin
gku
ngan
leb
ih b
aik
7.
Kea
manan
PR
G t
erhad
ap k
esehat
an
man
usi
a
(PP
No
21
/200
5 d
an P
edo
man
pen
gkaj
ian k
eam
anan
pan
gan )
0 =
menim
bulk
an g
ang
guan
th
d k
eseh
atan
man
usi
a
1 =
tid
ak m
enim
bulk
an p
engaru
h
2 =
Mem
buat
kese
hat
an m
enja
di
leb
ih b
aik
0
2
192
192
Dim
ensi
Ek
on
om
i
No
Atr
ibu
t S
kala
B
uru
k
Baik
N
ilai
Ket
1
. S
tab
ilit
as p
rod
uk
si t
anam
an P
RG
leb
ih
terj
amin
0 =
tid
ak s
tab
il/l
ebih
ren
dah
1 =
tid
ak a
da
per
bed
aan j
um
lah
2 =
pro
duksi
tanam
an P
RG
leb
ih b
aik
0
2
D
engan
keun
ggula
n
sifa
t ta
nam
an
pad
i ta
han
ham
a,m
aka
kese
mp
ata
n
tanam
an b
erp
rod
uksi
leb
ih t
inggi
2.
Men
gura
ngi
bia
ya
pro
duksi
, k
aren
a
men
uru
nn
ya
bia
ya
sap
rota
n
0 =
bia
ya
pro
duksi
leb
ih t
ing
gi
1 =
tid
ak m
eng
ura
ngi
bia
ya
pro
duksi
2 =
bia
ya
pro
duksi
leb
ih r
end
ah
0
2
T
anam
an P
RG
tah
an s
erang
ga
ham
a
akan
m
en
gura
ngi
bia
ya
pem
beli
an
inse
kti
sid
a
3.
Ber
tam
bahn
ya
pen
dap
atan
pet
ani
pen
ggu
na
PR
G
0 =
pen
dap
atan
pet
ani
jad
i b
erkura
ng
1 =
tid
ak a
da
pen
ing
kat
an p
end
apat
an
2 =
pen
dap
atan
pet
ani
menin
gkat
0
2
4.
Har
ga
bel
i b
enih
pad
i P
RG
yang
terj
angkau o
leh p
etan
i
0 =
har
ga
ben
ih l
ebih
tin
ggi
1 =
har
ga
sam
a d
gn b
enih
no
n P
RG
2 =
har
ga
ben
ih l
ebih
mura
h
0
2
U
ntu
k m
em
per
ole
h b
enih
PR
G p
erlu
bia
ya
tin
ggi,
sehin
gga
har
ga
jual
juga
leb
ih
tin
ggi
dib
and
ing
kan
d
engan
ben
ih b
iasa
5.
Tin
gkat
ket
ergantu
ngan p
etan
i p
ada
ben
ih P
RG
0 =
har
us
sela
lu
mem
bel
i b
enih
b
aru ag
ar
dip
ero
leh k
ual
itas
yg s
am
a
1=
sa
ma
den
gan b
enih
no
n P
RG
2=
ti
dak
p
erlu
b
eli
ben
ih
seti
ap
kal
i ak
an
dit
anam
0
2
U
ntu
k
mem
per
ole
h
ben
ih
den
gan
kual
itas
op
tim
al h
aru
s m
em
beli
ben
ih
bar
u
6.
Jum
lah t
enaga
ker
ja d
i la
han
per
tania
n
0 =
le
bih
ban
yak
1 =
sa
ma
dengan l
ahan
per
tan
ian n
on P
RG
2 =
leb
ih s
edik
it
0
2
D
engan
keun
ggula
n
sifa
t ta
nam
an
PR
G,
dih
arap
kan
mam
pu
men
gura
ngi
jum
lah t
enaga
ker
ja
7.
Kes
ejah
tera
an p
etan
i p
eng
gun
a
0 =
menuru
n
1 =
tid
ak a
da
per
ub
ahan
2 =
menin
gkat
0
2
D
engan
keu
ngg
ula
n
sifa
t p
ada
tanam
an
PR
G,
akan
m
en
gura
ng
i
bia
ya
pro
duk
si.
193
193
Dim
ensi
Sosi
al
Kem
asy
ara
ka
tan
N
o
Atr
ibu
t S
kala
B
uru
k
Baik
N
ilai
Ket
1
. P
erse
psi
dan
pen
erim
aan m
asy
arak
at
0 =
per
sep
si n
egat
if (
meno
lak)
1 =
tid
ak m
em
aham
i
2 =
per
sep
si p
osi
tif
(men
erim
a)
0
2
M
em
per
hat
ikan
pas
al
23
d
ari
Pro
toko
l C
arta
gen
a t
tg k
esad
ara
n d
an
par
tisi
pas
i m
asy
arakat
2.
Pen
did
ikan
yan
g b
enar
bag
i m
asyar
akat
tenta
ng P
RG
0 =
tid
ak a
da
sam
a se
kali
1 =
bel
um
mencuk
up
i
2 =
masy
arakat
tel
ah t
erd
idik
0
2
K
elan
juta
n
dar
i p
asal
2
3
(ayat
1
b)
dar
i P
roto
ko
l C
arta
gen
a
3.
Per
ub
ahan
ter
had
ap p
rinsi
p p
ener
apan
PH
T
0 =
bel
um
dit
erap
kan
1 =
han
ya
seb
agia
n d
itra
pkan
2 =
sud
ah d
iter
apkan
0
2
P
rod
uk p
adi
PR
G b
elu
m t
erse
dia
di
pas
aran
.
4.
Su
mb
er i
nfo
rmas
i te
rkai
t P
RG
0
= t
idak
men
cu
kup
i
1 =
han
ya
pad
a kal
angan t
erte
ntu
2 =
sud
ah m
encuk
up
i
0
2
M
erup
akan b
agia
n d
ari
tugas
BK
KH
Ind
ones
ia
seb
agai
sum
ber
in
form
asi
terk
ait
PR
G
5.
Keb
ebas
an p
etan
i d
alam
mem
ilih
PR
G
atau
no
n P
RG
0 =
tid
ak a
da
keb
ebas
an
1=
ti
dak
men
get
ahu
i
2=
m
em
ilik
i keb
ebas
an d
alam
mem
ilih
0
2
6.
Tin
gkat
pen
did
ikan
fo
rmal
pet
ani
pen
ggu
na
PR
G
0 =
ti
dak
sek
ola
h-S
D
1 =
S
MP
-SM
A
2 =
Sar
jana-
dst
0
2
B
erd
asar
kan
has
il su
rvey p
enuli
s d
i
lap
angan
7.
Pem
ber
dayaa
n p
etan
i d
alam
keg
iata
n
sosi
alis
asi
PR
G
0 =
tid
ak p
ernah
1 =
kad
ang
-kad
ang
2 =
ser
ing
0
2
B
erd
asar
kan
has
il su
rvey p
enuli
s d
i
lap
angan
8.
Per
an k
elo
mp
ok t
ani
dal
am
so
sial
isasi
PR
G
0 =
tid
ak a
da
per
an
1 =
kad
ang
-kad
ang
2 =
ser
ing
0
2
B
erd
asar
kan
has
il su
rvey p
enuli
s d
i
lap
angan
9.
Kei
kuts
erta
an p
ub
lik d
alam
kep
utu
san
pem
an
faat
an P
RG
0 =
tid
ak d
ilib
atkan
1 =
kad
ang
-kad
ang
2=
sela
lu
dil
ibat
kan
pad
a se
tiap
pen
gam
bil
an k
eputu
san t
enta
ng P
RG
0
2
K
eik
uts
erta
an p
ub
lik,
sesu
ai d
gn P
P
21
/20
05
pas
al 1
7 a
yat
1 d
an p
asal
21
194
194
Dim
ensi
Tek
nolo
gi
N
o
Atr
ibu
t S
kala
B
uru
k
Baik
N
ilai
Ket
1
. K
em
am
puan S
DM
un
tuk m
elaku
kan
rise
t te
kno
logi
reko
mb
inan D
NA
0 =
bel
um
mm
ilik
i kem
am
puan
1 =
masi
h s
edik
it y
ang m
em
ilik
i
kem
am
puan
2 =
sud
ah b
anyak
yg m
em
ilik
i
kem
am
puan
0
2
T
erca
ntu
m d
alam
PP
21
/ 2
00
5 p
asal
11
d
an
20
te
nta
ng
kem
am
puan
mel
aku
kan
pen
elit
ian
d
an
pen
gem
ban
gan
utk
m
eng
has
ilkan
PR
G
Ber
das
arkan
surv
ey .
NF
P t
ahu
n 2
00
5
2.
Mem
ban
gun k
em
am
puan
(ca
pa
city
bu
ild
ing
) d
alam
mel
aku
kan
peng
uji
an
kea
manan h
ayat
i
0 =
bel
um
ad
a sa
ma
sekal
i
1 =
sud
ah a
da
tap
i b
elu
m m
em
adai
2 =
sud
ah m
encuk
up
i
0
2
M
em
ban
gun
kem
am
puan
d
an
kap
asit
as
SD
M
dan
kel
em
bagaa
n
mer
up
akan
am
anat
dar
i P
roto
ko
l
Car
tagena
pas
al
22
ser
ta P
P 2
1/2
005
pas
al 2
0
3.
Jum
lah S
DM
ter
lati
h y
ang m
em
ilik
i
kem
am
puan
dal
am
pen
elit
ian
reko
mb
inan D
NA
0 =
kura
ng d
ari
10
%
1 =
sek
itar
10
– 5
0 %
2 =
leb
ih d
ari
50
%
0
2
Ju
mla
h
SD
M
yan
g
mel
aku
kan
ri
set
reko
mb
inan D
NA
d
iam
bil
d
ari
tota
l
jum
lah p
enel
iti
bid
ang b
iote
kn
olo
gi
4.
Jum
lah P
RG
hasi
l L
itb
ang s
en
dir
i yan
g
tela
h d
ilep
as
0 =
bar
u s
atu p
rod
uk
1 =
1 –
10
2 =
leb
ih d
ari
10 P
RG
0
2
D
ata
dia
mb
il
dar
i has
il
kep
utu
san
KK
H y
ang t
elah d
ipub
likas
i m
elal
ui
BK
KH
Ind
ones
ia
195
195
F. D
imen
si H
uk
um
dan
Kel
em
bagaan
No
Atr
ibu
t S
kala
B
uru
k
Baik
N
ilai
Ket
1
. L
abel
ing u
ntu
k P
RG
yan
g s
ud
ah
dik
om
ersi
alis
asik
an
(UU
69
/199
9)
0 =
bel
um
dit
erap
kan
1 =
masi
h d
alam
per
enca
naa
n
2 =
sud
ah d
iim
ple
menta
sikan
0
2
B
erd
asar
kan
pasa
l 35:
Pad
a la
bel
untu
k
pan
gan
h
asil
rekayas
a gen
etik
a w
ajib
dic
antu
mkan
tuli
san P
an
gan
R
ekayasa
G
enet
ika
2.
Ket
erse
dia
an p
eran
gkat
huk
um
dal
am
pen
gel
ola
an P
RG
0 =
bel
um
ter
sed
ia
1 =
masi
h d
alam
per
enca
naa
n
2 =
sud
ah d
iim
ple
menta
sikan
0
2
B
erd
asar
kan
UU
32
Tah
un 2
00
9 p
asal
69
dan
10
1
tenta
ng
Per
lind
un
gan
dan
P
engel
ola
an
Lin
gk
un
gan H
idup
3.
Sin
kro
nis
asi
keb
ijak
an d
ianta
ra L
PN
K
den
gan k
elem
bag
aan t
erkai
t
0 =
bel
um
ter
lak
sana
sin
kro
nis
asi
1 =
bar
u s
ebag
ian t
erla
ksa
na
2 =
sud
ah t
erla
ksa
na
dgn b
aik
0
2
4.
Ket
erse
dia
an p
erat
ura
n p
eru
nd
angan
terk
ait
PR
G
0 =
tid
ak t
erse
dia
1 =
bel
um
len
gkap
2 =
sud
ah t
erse
dia
den
gan
len
gkap
0
2
S
ud
ah
ters
edia
d
alam
b
entu
k
PP
, K
ep
Men
dan
UU
5.
Ket
erse
dia
an p
edo
man
dal
am
pen
gel
ola
an
PR
G
0 =
tid
ak t
erse
dia
1 =
bel
um
len
gkap
2 =
sud
ah t
erse
dia
den
gan
len
gkap
0
2
B
erd
asar
kan
PP
21
/200
5 p
asal
20
ayat
3 d
an 4
6.
Pen
gat
ura
n k
ew
enan
gan
dal
am
pen
angan
an P
RG
0
=
kel
em
bag
aan
terk
ait
tid
ak
mem
ilik
i kew
enan
gan
1=
bel
um
dii
mp
lem
enta
sikan
2=
su
dah
ber
jala
n d
engan
bai
k
0
2
B
erd
asar
kan
Per
pre
s N
o 3
9 /
20
10
7.
Per
an k
elem
bagaa
n t
erkai
t P
RG
0
= b
elu
m m
em
ilik
i p
eran
1 =
han
ya
seb
agia
n y
an
g b
erper
an
2 =
sud
ah b
erp
eran
dgn b
aik
0
2
B
erd
asar
kan
P
erp
res
39
/
20
10
te
nta
ng
Kel
em
bag
aan K
KH
PR
G
8.
Mek
anis
me
ker
ja a
nta
r kel
em
bag
aan
terk
ait
0 =
bel
um
ber
jala
n
1 =
bel
um
sep
enu
hn
ya
ber
jala
n
2 =
sud
ah b
erja
lan d
gn b
aik
0
2
P
P 2
1 /
20
05
pas
al 2
8
9.
Pea
ksa
naa
n k
erang
ka
waktu
dal
am
pro
sed
ur
pen
gaj
uan
kea
manan
hayat
i
0 =
bel
um
dil
aksa
nakaa
n
1 =
bar
u
seb
agia
n
2=
sd
h b
erja
lan s
esuai
dg
n a
tura
n
0
2
B
erd
asar
kan
atu
ran d
alam
PP
21
tah
un 2
00
5
pas
al 1
4 s
/d p
asal
17
dan
pas
al 2
1
196