pustaka-indo.blogspot · b. pengertian hukum acara perdata ..... 3 c. perbedaan antara hukum acara...
TRANSCRIPT
A S A S - A S A S
H U K U M
PEMBUKTIAN
PERDATA
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, seba-
gaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang
No. 12 Tahun 1997, bahwa:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu
ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah).
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
A S A S - A S A S
H U K U M
PEMBUKTIAN
PERDATA
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA© 2012 Achmad AliEdisi Pertama. Cetakan Ke-1
Kencana. 2011.0075Hak Penerbitan pada Prenada MediaDilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Cover Irfan FahmiPercetakan Fajar Interpratama OffsetLay-out SatuCahayapro
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H.Hukum Pembuktian PerdataJakarta: Kencana, 2012Ed. 1. Cet. 1; xii, 177 hlm; 21 cm1. Hukum I. Judul
ISBN 978-602-8730-74-7 001.42
Cetakan ke-1, Januari 2012
K E N C A N APRENADA MEDIA GROUPJl. Tambra Raya No. 23Rawamangun - Jakarta 13220Telp: (021) 478-64657, 475-4134Faks: (021) 475-4134Email: [email protected]: www.prenadamedia.comINDONESIA
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
KATA PENGANTAR ....................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ................................................. ix
BAGIAN PERTAMA
PEDAHULUAN ............................................................. 1
A. Hukum sebagai Suatu Sistem ...................................... 1
B. Pengertian Hukum Acara Perdata ............................. 3
C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Pidana ........................................... 8
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum
Acara Pidana Internasional ....................................... 13
BAGIAN KEDUA
HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA ........................................ 15
A. Arti Membuktikan ..................................................... 15
B. Pengertian Hukum Pembuktian ............................... 22
C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian
Ilmiah Lainnya ............................................................ 23
D. Letak Hukum Pembuktian ........................................ 25
E. Hukum Pembuktian dalam Sollen dan Sein ............ 30
F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quad Erat
Demostrandum) dan Apa yang Tidak Perlu
Dibuktikan ................................................................ 32
DAFTAR ISI
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdatavi
G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti .......................... 44
H. Siapa yang Menilai Pembuktian ............................... 51
BAGIAN KETIGA
TUJUAN PEMBUKTIAN ............................................. 57
BAGIAN KEEMPAT
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN ........................ 61
A. Asas Audi Et Alteram Partem .................................... 61
B. Asas Ius Curia Novit ................................................... 63
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propris Causa .......... 64
D. Asas Ne Ultra Petits .................................................... 65
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum ................. 65
F. Asas Nemo Plus Juris Transferra Potest Quam
Ipse Habet ................................................................ 66
BAGIAN KELIMA
ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES ....................... 69
A. Pengertian Alat Bukti .................................................... 73
B. Klasiikasi Alat Bukti ..................................................... 73
C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh
Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? ................................ 77
D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti ........................... 78
E. Kekuatan Pembuktian (Visprobandi) dari
Alat-Alat Bukti ............................................................... 80
F. Bagaimana Kekuatan Pembuktian dari Alat Bukti
di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk buku IV BW) ...... 85
G. Teori-Teori Pembuktian ................................................ 87
H. Teori-teori Pembuktian ................................................. 90
I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) ............................... 92
J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan ......................... 93
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Isi vii
K. Pengakuan (Confession, Bakentenis) .......................... 95
L. Sumpah Sebagai Alat Bukti ........................................... 95
BAGIAN KEENAM
PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN ...................... 99
BAGIAN KETUJUH
ASAS BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 119
BAGIAN KEDELAPAN
TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN .................... 117
A. Teori Negative Non Sun Probanda ............................. 117
B. Teori Hak ...............................................................118
C. Teori De Lege Late (Menurut Hukum Positip .......... 120
D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) ......................... 121
E. Toori Audi Et Alteram Partom ................................... 122
BAGIAN KESEMBILAN
SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN ................................... 123
A. Sifat Yang Kasuistis ...................................................... 123
B. Sifat Yang Yuridis ......................................................... 127
BAGIAN KESEPULUH
BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN
PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK .... 131
A. Permasalahan Teoretis ................................................ 131
B. Permasalahan Dalam Yurisprudensi ......................... 136
BAGIAN KESEBELAS
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM
TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN ....................... 141
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum ........... 141
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum ... 145
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdataviii
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum .... 148
BAGIAN KEDUA BELAS
PERRJANJIAN PEMBUKTIAN .................................. 153
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian ............................ 153
B. Isi Perjanjian Pembuktian ........................................... 153
C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan ........... 154
D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat
Bukti Tulisan ...............................................................155
E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian ...... 155
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG ......................... 157
DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG ........... 163
DAFTAR ISTILAH ASING ......................................... 167
DAFTAR NAMA ORANG .......................................... 173
DAFTAR PERATURAN/UNDANG-UNDANG ........ 173
DAFTAR YURISPRUDENSI ...................................... 177
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
DAFTAR SINGKATAN
No = nomor
hn = tahun
Prof = Prefessor
S.H. = Sarjana Hukum
M.A. = Master of Art
R.M. = Raden Mas
M.A = Mahkamah Agung
P.N. = Pengadilan Negeri
P.T. = Pengadilan Tinggi
hlm = halaman
vs = versus
Mr. = Master in de Rechten
KUH Perdata = Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata
KUH Dagang/KUHD = Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
BPHN = Badan Pembinaan Hukum Na-
sional
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdatax
UU = undang-undang
R.I = Republik Indonesia
H.R. = Hoge Raad
BW = Burgelijk Wetboek
S. = Staatsblad
Stbl. = Staatsblad
R.M. hemis = Rechtgeleerd Magazijn he mis
(nama majalah)
N.J.B. = Nederland Juristenbland (na ma
majalah)
A.A. = Ars Aequi (nama majalah)
WvK = wetboek van koophandel
Rv. = Wetboek van Burgelijke Rechts-
vordering
Km = kilometer
DD = tanda plat Sulawesi Selatan untuk
kendaraan bermotor darat
Bag. = Bagian
Ed. = Editor
Pdt. = perdata
K = Kasasi
AS = Algemene Bepaling van Wetgeving
CV = Comenditaire Vennootschap
HIR = Herzien Indonesis Reglement
I.S. = Indische Staatsregeling
P4D = Panitia Penyelesaian Perselisihan
Per buruhan Daerah
PP = Peraturan Pemerintah
SK = surat keputusan
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Singkatan xi
R.bg. = Rechtsregkement Buitengewesten
RD = Reglement op de Rechterlijke Or
ganitatie
S.E.M.A. = Surat Edaran Mahkamah Agung
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Ius Vigilanticus Scriptum est“Hukum ditulis untuk orang-orang yang berjaga-jaga”
PENDAHULUAN
Bagian Pertama
A. Hukum sebagai Suatu Sistem
Di dalam setiap karya penulis tentang hukum, selalu
yang pertama penulis kemukakan adalah “Hukum sebagai
Suatu Sistem” karena cari fokus inilah munculnya berbagai
masalah, berbagai bidang hukum.
Hukum sebagai suatu sistem berarti hukum itu harus
dilihat, harus diterima, dan harus diterapkan sebagai suatu
keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling kait-
mengait satu sama lain.
Atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
R.M. Soedikno Martokusumo, S.H.1 bahwa sistem adalah
suatu ke sa tuan, suatu kebulatan di mana setiap problem baru
mendapatkan jawabannya atau penyelesaiannya. Juga yang
dirumuskan oleh Van Vollenhoven bahwa, “Innerlijke samen
hang waarin ieder nieww probleem zijn antwoord vindt.”
Sehubungan dengan hukum sebagai suatu sistem maka
sistem hukum itu sendiri memiliki unsur-unsurnya, yang
secara garis besarnya terbagi atas:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata2
1. lembaga legislatif;
2. lembaga peradilan;
3. kebiasaan.
Jadi,terlihat bahwa lembaga peradilan adalah salah satu
unsur dari sistem hukum. Peradilan merupakan salah satu
pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang kon -
krit melalui pengadilan.
Tuntutan hak yang konkret itu sehubungan dengan asas
“hakim yang pasif ” yang didasarkan pada asas “Wo kein Kla
ger ist, ist kein Richter” (di mana tidak ada tuntutan/penuntut,
maka tidak ada hakim).
Setiap masalah hukum tidak bisa kita lepaskan dari sistem
hukum itu secara keseluruhan, sehingga setiap yuris harus se-
nantiasa mengingat hukum sebagai sistem. Hal ini dapat kita lihat
bahwa seorang petugas hukum tidak boleh membuat statement
ataupun aturan dalam bentuk ataupun isi yang bertentangan
dengan konstitusi misalnya, sekalipun statementnya atau atur-
an nya itu tidak berada dalam bidang hukum publik.
Atau di bidang peradilan misalnya tidak mungkin pu-
tus an pengadilan negeri dapat membatalkan putusan Mah-
kamah Agung.
Setiap sistem hukum selalu mengenal pembagian, hanya
saja pembagian itu selalu dilihat dari berbagai sudut.
Pembagian yang konvensional, yang paling banyak di-
terima orang sementara ini adalah:
a. hukum publik;
b. Hukum privat.
Sehubungan dengan tempat “hukum acara perdata” itu
sendiri, pada umumnya para ahli hukum memasukkannya
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 3
di bidang hukum privat, termasuk penulis sendiri.
Walaupun di dalam kenyataannya memang ada beberapa
ahli hukum isinya yang memasukkan hukum acara perdata
sebagai bagian hukum publik, dengan alasan bahwa ditinjau
dari segi lembaga pengelolanya serta aparat termasuk hakim,
maka hukum acara perdata termasuk hukum administrasi
ne gara, dalam hal ini hukum publik tentunya.2
Penulis sendiri menganggap hukum acara perdata se-
ba gai bagian dari hukum privat, tidaklah secara konsekuen.
Hanya saja jika pembagian hukum atas publik dan privat ma-
sih mau dipertahankan, maka letaknya hukum acara per data
dimaksudkan untuk mempertahankan hukum per data/privat
materiil.
Tetapi, seandainya kita mau keluar dari pembagian hu-
kum publik dan privat, maka penulis lebih cenderung me-
nem patkan hukum acara perdata dalam bidang “hukum per
adilan”.
Penulis cenderung untuk membuat suatu bidang hukum
baru, yang disebut “hukum peradilan” yang mencakupi hu-
kum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara
lain nya. Sebab, menurut pandangan penulis pembagian
atas publik dan privat dewasa ini sulit untuk dipertahankan,
meng ingat batasan antara kepentingan umum dan kepen ting-
an perorangan sudah sulit dipisahkan secara tegas. Apalagi de-
ngan munculnya bidang-bidang hukum baru, se perti hukum
lingkungan hidup, hukum angkasa, dan sebagainya.
B. Pengertian Hukum Acara Perdata
Salah satu pembagian hukum secara ortodoks (the or
tho dox classiication) adalah pembedaan antara dua bidang
hu kum:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata4
a. substantive law;
b. procedural law.
Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hu-
kum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negara-
negara comonwealth-nya.
Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, ter-
masuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun
hukum perdata materiil dan hukum dagang ter masuk dalam
bidang substantive law (hukum materiil).
George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan
di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies
does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in
the realm procedure just as in that of substantive law....” Jadi,
pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hu kum
proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam
hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan ke wajiban.
Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka
kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive
law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga ber-
sifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses (procedural
law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan
hak dan kewajiban.
Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan
antara “substantive law dengan procedural law” adalah ke sa-
lahan pembuat undang-undang.
Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A
power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu
kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti
kerugian.
Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 5
wa baik di dalam “substantive law” maupun “procedural law”
ti dak berisikan hak dan kewajiban, tetapi keduanya bersifat
pe mulihan hak.
Di dalam kenyataannya, hukum proses (the law pro ce
dural) pun menciptakan hak dan kewajiban, atau lebih te pat-
nya lagi menciptakan:
a. hak untuk menuntut ganti kerugian;
b. kebebasan untuk menutut;
c. kebebasan untuk memulihkan haknya;
d. kekebalan (immunities).
Antara lain diketahui bahwa walaupun di dalam hukum
acara ada suatu hak untuk menuntut jawaban dari seorang
saksi, di mana saksi itu berkewajiban untuk memberi jawab-
an, tetapi seorang saksi pun memiliki hak istimewa (the pri
vilege) untuk menolak memberi jawaban, jika dengan ja-
wab annya nanti ia bisa terlibat sebagai terdakwa. (Ini contoh
dalam hu kum acara pidana)
Oleh karena itulah, penulis berpendapat bahwa pem-
be daan antara hukum materiil (substantive law) dan hu kum
acara (procedural law) jangan atas kriteria “hak dan ke wa-
jiban” serta “pemulihan”.
Suatu cara pembedaan lain adalah apa yang dikemukakan
oleh Charles F. Hamphill J.R. & Phyllis D. Hamphill5 yang
membedakan atas:
a. substantive law;
b. adjective law (procedural law).
Dikatakan bahwa substantive law adalah:
“...hat area of the law which sets forth, deines. And creates rights, as
distinguished from so called ADJECTIVE LAW, or PRO CE DURAL
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata6
LAW, which provides the legal and method for enfor cing or obtaining
those rights.
For example, the substantive law states that RAPE is an un lawful and
forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may
provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross
examined as to whether she was previously chaste, unless some other
witness testiies in open court that the victim was of questionable
morals.
Jadi, mereka memberikan batasan tentang substantive
law sekaligus dengan membandingkannya dengan adjective
law. Tetapi mereka pun memberikan penjelasan tersendiri
lagi tentang adjective law:
“...hat body of the law which provides procedure and methods for
enforcing legal rights. Adjective law is synonymous with procedural
law. It is that part of the law concerned with methods for enforcing or
maintaining rigths. Adjective (pro cedural) law is distinguished from
substantive law that body of law which the courtc are established to
administer.”
Dengan mengetahui perbedaan antara hukum materiil
dan hukum proses (hukum acara), juga dengan mengetahui
letak persamaannya, akan lebih mudah kita memahami pe-
ngertian daripada hukum acara perdata sendiri sebagai
bagian dari hukum pada umumnya.
Menurut Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,S.H.,6 bah-
wa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-per-
aturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak
ter hadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana peng-
adilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum perdata.
Deinisi di atas kurang menjelaskan apa kaitan hukum
acara perdata dengan hukum sebagai satu sistem tersendiri.
Kait an antara pengertian hukum acara perdata dengan hu -
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 7
kum sebagai satu sistem, dapat lebih telihat dalam pe ngertian
hukum acara perdata yang diberikan oleh Prof. Dr. R.M.
Soedikno Martokusumo, S.H7.
“Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana
caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.”
Selanjutnya beliau menjelaskan lagi, bahwa:8
“...Lebih konkret lagi, dapatkah dikatakan bahwa hukum acara per-
data mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan
hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada pu-
tus annya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan
yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan
oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan
meng hakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan
tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri
yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh
ka rena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan, dalam
hal ini kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.”
Mengapa penulis mengatakan bahwa pendapat dari Prof.
Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. di atas lebih me nam-
pakkan kaitan yang erat antara pengertian hukum acara per-
data di satu pihak dan hukum sebagai satu sistem di pihak
lain, tidak lain karena di dalam uraian tersebut tampak pem-
ba gian atas:
a. Hukum materiil.
b. Hukum formal.
Dengan memerhatikan apa yang telah dikemukakan di
atas, penulis tiba pada kesimpulan, bahwa Hukum acara per
data adalah serangkaian aturanaturan hukum bagi warga
ma syarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata8
de ngan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan,
da lam rangka melaksanakan aturanaturan hukum materiil.
Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan
istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “per-
aturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka,
sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum
tidak tertulis (di Indonesia adalah hukum adat).
Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di
muka persidangan pengadilan”, karena hukum for mal ti dak
ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang mem pro-
sesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian
daripada hukum acara yang tidak ber langsung di muka sidang
pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris.
Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di
muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang
ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung
pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.
C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Jika kita ingin memberdakan antara hukum acara per -
data dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan ba nyak
sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat me nge mu-
kakan beberapa di antaranya di bawah ini:
1. Perbedaan dari segi inisiatif pengajuan perkaranya
Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk meng aju kan
perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa
selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum,
sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk meng-
ajukan perkara perdata ke muka persidangan peng adilan ada-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 9
lah pihak penggugat (the plaintif) yang mewakili ke pen ting-
annya sendiri secara perorangan.
Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hu-
kum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hu-
kum acara perdata.
2. Perbedaan dari segi keterikatan hakim
pada alat-alat pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata
terikat pada alat bukti yang sah, tetapi di sam ping terikat pada
alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya
sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem
Hukum Anglo Saks dinamakan “beyond reasonable doubt”,
se dangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya se-
mata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dika ta-
kan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan “pre
ponderance of evidence” sebagaimana yang dikatakan oleh
Mc Cormich,9 bahwa:
“Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than
the opposing evidence”.
3. Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai
Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi
dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga
di katakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan
untuk mencari “kebenaran materi”, sedangkan di dalam hu-
kum acata perdata, karena hakim hanya semata-mata terikat
pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari
“kebenaran formal”.
Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebas-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata10
kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang
yang tak salah.
4. Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya dan hukumnya
Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan an-
tara penetapan peristiwa dan penemuan hukum, sedang kan di
dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya
membuktikan “peristiwa” yang diperseng ketakannya saja, se-
dang soal “hukumnya” adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas
IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap akan hukumnya).
Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak mem-
buk tikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam
tu duh annya menentukan tema ke arah aman proses harus
di arahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama
ke dudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi
per sidangan. Karena itu, menurut Enschede,10 dalam hukum
acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang
membuktikan.
5. Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara
Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pi-
dana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka per si-
dangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara
itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa
atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang un-
tuk men cabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara
perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara be bas un-
tuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum ha kim
menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada per da mai-
an antara penggugat dan tergugat.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 11
Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian ter-
tentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan ber-
ikutnya akan penulis bahas secara khusus.
6. Perbedaan mengenai beban pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pem buk-
tian (the burden of proof) tidak sepenting dan seserius dalam
hukum acara perdata: untuk menjelaskan lebih lanjut dapat
ditemukan dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini.
7. Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim
Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupa-
kan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup per-
sengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terli-
hat sikap pasif dari hakim (verhanlungs maxim), jadi proses
perdata merupakan “penyelesaian persengketaan”, sedang kan
di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian perseng-
ketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana,
walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim
tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, te-
tapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, se dang
tadi di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima
peng akuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum
acara pidana hakim bersifat aktif (eventual maxim).
8. Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi
Dari sudut kepentingan yang dilindungi, maka di dalam
hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan:
1. kepentingan umum;
2. kepentingan hukum.
Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata12
yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga ber -
laku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM,11 yaitu baik pi-
hak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sa ma.
Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, ter gan-
tung nantinya pada pembuktian mereka sehingga ke dua nya
memiliki kepentingan hukum yang sama.
Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Ke pen -
ting an yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, se -
dang kan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah ke -
pen tingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini
mem butuhkan kepastian hukum yang menuntut per lin dung-
an hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah
dihukum, sedangkan kepentingan hukum meng hen daki agar
yang tidak salah tidak dihukum.
9. Perbedaan dari segi sanksinya
Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi deinitif se-
per ti hukum penjara, denda dan lain-lain dikenal juga ada nya
sanksi yang bersifat sementara, misalnya pe nahanan se be lum
vonis dengan pertimbangan untuk mem perlancar per si dang an
atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa di kha watir-
kan melarikan diri atau meng ulangi perbuatannya. Ada pun di
dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara.
Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan bahwa sita
konservatoir bukanlah sanksi sementara.
10. Perbedaan dari segi sifat hukum
Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah
dengan sengaja membebankan nestapa kepada si pelaku.12
Ada pun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman ada-
lah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pendahuluan 13
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Perdata Internasional
Hal yang paling menonjol yang membedakan antara hu-
kum acara perdata dean hukum acara perdata inter nasional
adalah:
– Di dalam hukum acara perdata, para pihak hanya ber-
kewajiban membuktikan peristiwanya, sedangkan me-
nyangkut hukumnya adalah menjadi tugas hakim.
– Adapun di dalam hukum acara perdata internasional,
para pihak di samping harus membuktikan peristiwa nya
yang dipersengketakan, juaga harus dapat membuktikan
“HUKUM APA YANG BERLAKU”. Dengan kata lain,
hu kum negara manakah yang berlaku? Negara penggu-
gat kah? Ataukah negara tergugat? Ataukah negara lain-
nya lagi?
Endnote:1. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”.
Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor,
Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981...............
2. Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum”,
Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72.
3. George Whitecross Patton, “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford
at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535.
4. Ibid. hlm. 535.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indo
nesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13.
7. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Per
data Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2.
8. Ibid.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata14
9. Edward W. Cleary. “Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”.
St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793.
10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 al. 5/6,
hlm. 506.
11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara
perdata.
12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu
Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA
Bagian Kedua
A. Arti Membuktikan
Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Ing-
gris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan
evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”.
Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu
sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pe -
nger tian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita ter-
lebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau
mem buktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan
pe ngertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”.
Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang
sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum
saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti
membuktikan secara umum.
Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah
dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo,1
sebagai berikut:
Juris Ignerantia Nocet,Facti Non Nocet“Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal
fakta-fakta tidak merugikan”
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata16
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian
di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mu t lak,
karena berlaku bagi setiap orang dan tidak me mung -
kinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksi-
oma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu
pe ngetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang
ber sifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti
lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis
yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan
bah wa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar.
Ter hadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya
buk ti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap
orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan
lo gika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh
dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang
memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional.
Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian,
hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang
nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan-
ting katan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Ka-
rena didasarkan atas perasaan belaka maka ke pas tian
ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal,
maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yu-
ridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan ada nya
pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi
se tiap orang serta menutup segala kemungkinan akan
bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 17
kon vensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam
arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang
ber perkara atau yang memperoleh hak dari mereka. De-
ngan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak
menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa
ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau
surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam
hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Suatu pendapat yang menarik di kemukakan oleh H.
Drion.2 Bahwa pembuktian yuridis itu adalah pembuktian
yang “historis”.
Dari uraian H. Drion, penulis dapat menjelaskannya
sebagai berikut; bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah
pembuktian historis, karena ada yang hendak dibuktikan da-
lam suatu persengketaan perdata ataupun perkara pidana ada-
lah sesuatu yang “sudah terjadi”, sesuatu yang sudah ber ada di
masa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang bersifat his toris ini
mencoba menetapkan apa yang terjadi secara inconcreto.
Suyling3 menyatakan bahwa pembuktian secara yuridis
tidak hanya berarti memberi kepastian kepada hakim, tetapi
juga berarti terjadinya suatu peristiwa yang tidak tergantung
pada tindakan para pihak (seperti pada pe rseng ketaan) dan
tidak pula tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada
peng akuan dan sumpah).
Di lain pihak, Eggens4 mengatakan bahwa membuktikan
seperti menetapkan peristiwa hukum, tetapi juga dalam arti
luas menetapkan hubungan hukumnya sendiri.
Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri,
pe nulis tertarik dengan apa yang diuraikan secara panjang
lebar oleh Sir Roland Burrows.5 Yang memberikan deinisi
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata18
tentang pembuktian itu, deinisi mana pula diikutinya de-
ngan penjelasan, dituliskannya bahwa:
“Evidence, as used in judicial proceeding, has several meanings.
he two mainsenses of the word are: irstly, the means, apart from
argument and inference, whereby the court is informed as to the
issues of fact as ascertained by the pleadings; secondly, the subject
matter of such means. he word is also use to denote that some fact
may be admitted as proof and also in some cases that some fact has
relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which
may be placed before the court in order that it may decide the issues of
fact. here also are other shades of meaning that it is not necessary to
discuss here. hus it has bean held that “evidence” in the inheritance
(Family Provision) Act, 1938, covers all the material that persons
outside a court of law take into consideration when deciding how to
act (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920). Evidence, in the
irst sense, means the testimony, whether oral, documentary or real,
which may be lagally received in order to prove or disprove some fact
in dispute....”
Deinisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows di
ata memang cukup panjang, tetapi dari deinisi itu menjadi
sangat jelaslah pengertian dari “evidence” itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Sir Roland bahwa ada dua pe-
nger tian yang utama dari kata “evidence”, yaitu:
1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, dengan jalan mana
pe ngadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketaan
sebagai suatu kepastian.
2. Pokok dari persoalan apa saja.
Jadi, arti kedua ini adalah arti luasnya.
Selain itu, perkataan “evidence” juga menurut Sir Roland
digunakan:
a. Untuk menunjukkan beberapa fakta yang mungkin di-
kenali sebagai bukti.
b. Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 19
yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang di per-
sengketakan.
Dari sekian banyak pengertian tentang “evidence itu
Sir Roland memberi arti yang paling khusus, yaitu bah-
wa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka peng-
adilan agar pengadilan dapat memutus peristiwa yang diper-
sengketakan, jadi pengertian utamanya adalah selaku alat
yang menghasilkan putusan.
Dalam arti alat bukti, maka mencakupi:
– kesaksian;
– whether oral;
– documentary atau real.
Yang mana menurut hukum agar peristiwa yang diper seng-
ketakan itu terbukti ataukah tidak terbukti.
Adapun pengertian “evidence” di dalam “INHERI TAN
CE” (Family Provision) Act 1938, dikatakan sebagai me li puti
seluruh alat-alat tentang person yang di luar suatu peng adil-
an, dan digunakan untuk menjatuhkan putusan.
Sir Roland mengakui masih banyak lagi pengertian pem -
buktian lain, tetapi tidak relevan dibicarakan dalam pem bi-
caraan mengenai hukum pembuktian ini.
Berlainan dengan Sir Roland, maka Milton C. Jacobs6
mengemukakan pengertian pembuktian dari segi tujuannya,
rumusan mana didasarkan pada putusan pengadilan dalam
perkara Clark melawan Brooklyn Heights R. Co.:
“he object of evidence is to inform the trial tribunal of the material
facts, which are relevant as bearing upon the issues, in oder that the truth
may be elicited and a just determination of the controversy reached.”
Jadi, dari segi tujuannya Milton C. Jacobs melihat adanya
dua tujuan pembuktian:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata20
1. untuk mencapai kebenaran;
2. untuk dapat menghasilkan puusan.
Kedua tujuan itu dicapai dengan jalan memberikan ba-
han-bahan tentang peristiwa yang dipersengketakan kepada
peng adilan. Bahan-bahan mana tentu saja yang relevan de-
ngan persoalan yang dipersengketakan.
Dengan membedakan antara istilah “proof” dan isti-
lah “evidence”, maka Milton C. Jacobs membedakan sebagai
berikut:7
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence.”
Jadi, dalam hubungan ini “evidence” itu adalah alat buktinya,
se dangkan “proof” adalah hasil atau akibat yang timbul dari
alat bukti. Lebih lanjut dikatakan oleh Milton C. Jacobs,8 bah wa
istilah evidence merupakan penggunaan umum bagi pem buk-
tian yang terjadi di muka pengadilan atau proses peng adilan.
Di kalangan ahli hukum Indonesia, maka Prof. Dr. R.
Su pomo9 mengemukakan pengertian pembuktian dengan
mem bedakannya sebagai berikut:
a. Pengertian yang luas.
Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan
hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan peng gu-
gat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim me na rik
kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh peng gu gat
sebagai hubungan hukum antara penggugat dan ter -
gugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka mem -
buktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat ke -
simpulan hakim dengan syarat bukti yang sah.
b. Pengertian yang terbatas.
Bararti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 21
hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui ter-
gugat tidak perlu dibuktikan lagi.
Menurut Anema,10 membuktikan adalah memberi ke-
pas tian kepada hakim tentang peristiwa-peristiwa hukum
de ngan alat-alat tertentu untuk dapat mengabulkan akibat
hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu
oleh hukum.
Prof. R. Subekti, S.H.11 memberikan arti membuktikan
de ngan mengikat hakim untuk membenarkan kebenaran
pe ris tiwa/hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam
suatu perkara.
Penulis sendiri berpendapat bahwa pengertian mem-
buk ti kan yang perlu kita persoalkan di sini hanyalah pe-
nger tian membuktikan dalam hukum acara perdata, karena
pembicaraan kita saat ini berada dalam bidang hukum acara
perdata.
Penulis dalam hal ini, dapat memberikan batasan seka-
dar sebagai pegangan, bahwa pembuktian dalam proses per-
data adalah:
“Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk me nye lesaikan per-
seng ketaan mareka atau untuk memberi ke pas tian tentang benar
terjadinya peristiwa hukum tertentu, de ngan menggunakan alat
bukti yang ditentukan hukum, se hingga dapat dihasilkan suatu
pe ne tapan atau putusan oleh pengadilan.”
Mengapa penulis harus membatasi dengan dua hal:
a. untuk menyelesaikan persengketaan; atau
b. untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya pe-
ris tiwa hukum tertentu.
Karena, kalau hanya untuk menyelesaikan persengke ta an
saja, bagaimana halnya dengan pembuktian dalam perkara-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata22
perkara voluntair di mana di situ tidak ada persengketaan.
Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pem -
buktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada
umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi peng-
adilan yang sesungguhnya (contentieuse jurisdicte), yaitu da -
lam hal persengketaan ada, sedangkan dalam peradilan vo-
luntair hanya dihasilkan “penetapan”.
B. Pengertian Hukum Pembuktian
Sama halnya dengan pengertian “pembuktian”, maka pe-
ngertian hukum pembuktian pun terdapat banyak pendapat
di kalangan yurist.
Prof. R. Subekti, S.H12 mengemukakan bahwa hukum
pem buktian memberikan aturan tentang bagaimana berlang-
sung nya suatu perkara di muka hakim.
Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum
itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberi-
kan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu per kara
di muka hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara,
baik hukum acara perdata maupun hukum acara lain nya, ju-
ga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya
sua tu perkara di muka hakim.
Penulis lebih setuju deinisi yang dikemukakan oleh
Edward W. Cleary,12 bahwa:
“he law of evidence is the system of rules and standards by which
the admission of proof at the trial of law suit is regulated.”
Deinisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hu-
kum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian di
muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hu kum
dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 23
Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumus-
kan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai
berikut:
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang
pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah se bagai alatnya
dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau
penetapan hakim.”
C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya
Sehubungan dengan terdapatnya perbedaan pembuktian
yuridis dan pembuktian ilmiah, maka menurut Lord Jus tice
Danning.14 Baik dalam pembuktian yuridis maupun pem -
buktian ilmiah lainnya adalah:
“he degree of probality which a reasonable and just man wuld
reqiure to come to a conclusion....depens on the conclusion to which
he is required to come ...”
Mengapa ada perbedaan antara pembuktian dan pem-
buk tian ilmiah? Semuanya akan penulis kemukakan secara
terperinci di bawah ini. Sehubungan dengan itu, Edwin C.
Concrad15 menyatakan bahwa:
“He learns early in his practice that legal rules of evidence are not and
never will be based on principles of science. He does comprehend, that
science is science and law is law and never the twain shall meet.”
Walaupun antara pembuktian yuridis dan pembuktian
ilmiah adalah “never the twain shall meet”, tetapi bukan ber-
arti tidak bisa dibuktikan, karena itu penulis memberikan
tiga perbedaan antara keduanya:
1. Pembuktian yuridis adalah bersifat historis (lihat pen-
dapat H. Drion,15 artinya yang ingin dibuktikan secara
yuridis itu adalah suatu peristiwa yang telah terjadi, se-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata24
suatu yang berada di masa lampau. Adapun pem buk tian
eksakta khususnya dan pembuktian ilmiah lain nya adalah
untuk membuktikan sesuatu yang di masa sekarang.
2. Di dalam pembuktian ilmiah, tidak dibedakan antara
pi hak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang
me nilai pembuktian. Walaupun ada perbedaannya te ta-
pi tidak secara tegas terpisah. Lain halnya de ngan pem-
buk tian yuridis, di mana antara pihak yang meng ajukan
pem buktian dan pihak yang menilai pem buktian itu di-
bedakan secara terpisah, yaitu:
a. Yang mengajukan alat bukti adalah:
(i) dalam perkara perdata: para pihak;
(ii) dalam perkara pidana: Jaksa.
b. Yang menilai pembuktiannya itu adalah hakim.
3. Hasil dari pembuktian ilmiah lebih pasti dan eksak da-
ripada hasil pembuktian yuridis. Misalnya, dalam pem-
buktian yuridis, jika seorang tergugat mengakui telah
berutang kepada penggugat, maka sekalipun tergugat
ber dusta, oleh hakim hal itu harus diterima sebagai ter-
bukti benar telah berutang.
Sehubungan dengan hal ini, perlu diketahui adanya perbedaan
antara sistem peradilan Anglo Saks di negara-negara com
mon law, dengan sistem peradilan kontinental, seperti yang
dianut di Indonesia (sebagai akibat warisan penjajahan Be-
landa). Perbedaannya yang sehubungan dengan masalah
pem buktian ini adalah:
– Dalam sistem kontinental, hakimlah yang memeriksa
baik peristiwanya maupun hukumnya.
– Dalam sistem Anglo Saks, hakim memeriksa segi hu kum -
nya dan juri menangani segi fakta atau peristiwanya. Dalam
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 25
hal ini juri hanya menyatakan “guilty or not guilty”, selanjut-
nya tugas hakim untuk followup masalah hukumnya.
Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan
atas:
1. Siapa yang mengajukan alat bukti.
2. Siapa yang menilai alat bukti.
D. Letak Hukum Pembuktian
Sering timbul keraguan kita, apakah hukum pembuktian
hanya merupakan bagian dari hukum acara perdata atau kah
bagian hukum perdata materiil? Pertanyaan ini timbul de-
ngan pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH
per data kita.
Sebenarnya pengaturan masalah pembuktian dalam bu-
ku IV KUH perdata adalah sama dengan penempatan se se-
orang yang “salah kamar”, karena hukum pembuktian adalah
bagian dari hukum acara perdata, bukan hukum perdata
materiil.
Penyebab dari “salah kamar” itu adalah harus ditinjau
dari segi historis hukum acara perdata di Eropa.
Dahulu dikenal adanya:
a. Hukum Formal dengan unsur-unsur materiil.
b. Hukum Formal dengan unsur-unsur formal.
Penulis sadar, hal ini mungkin akan membingungkan
be berapa pembaca. Penulis sendiri pun sebelumnya pernah
mengkaji benar-benar masalahnya dan menjadi bingung
sendiri. Sebab, bukankah hukum formal adalah formal, dan
yang materiil itu adalah hukum materiil?
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata26
Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpan-
dangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis
hukum materiil.
Hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil adalah
hukum formal yang memuat tentang hak dan kewa jiban,
misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki
unsur-unsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur ten-
tang hak dan kewajiban para pihak untuk mem buktikan.
Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki
unsur-unsur formal, adalah semata-mata hal yang murni
pro sesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pi-
hak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya.
Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian ada-
lah hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, maka
dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW).
Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian se-
ma cam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya
me nimbulkan kebingungan belaka.
Pembuat undang-undang di negeri Belanda pun, sebagai
tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian
demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi
me masukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW
baru itu.
Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya,
pe nulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA
da lam sistematikanya;17
– Yang telah diundangkan:
Buku I : Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga
Buku II : Badan-badan Hukum
– Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundang kan:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 27
Buku III : Hukum Harta Benda Umumnya
Buku IV : Hukum Warisan
Buku V : Hak-hak Benda
Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan
– Yang masih dalam persiapan:
Buku VII : Perjanjian-perjanjian Khusus
Buku VIII : Alat-alat Pengangkutan dan Pengangkutan
Buku IX : Hak-hak atau hasil pikiran
Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum
acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi
ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokok-
pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan ke-
pada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asas-
asas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya
hu kum pembuktian....”
Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan pe-
nu lis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah ba-
gian dari hukum acara perdata.
Dewasa ini, selama belum ada Undang-Undang Hukum
acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW
masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian.
Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW di-
susun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hu-
kum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi
acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak
tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali
diperlakukan secara analog.19
Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pem-
buktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para
ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata28
diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita ke lak
diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan se suai zaman.
Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pem-
buk tian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku
untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi
perkara-perkara voluntair atau declaratoir.
Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang
diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun
a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu).
Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV
BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg.
maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya
ber laku bagi perkara-perkara contradictoir, demikian pula
HIR dan R.bg.
Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian
yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya ber laku
bagi perkara-perkara contradictoir? Ini diatur oleh yu ris-
prudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932
bahwa BW Buku IV semata-mata hanya diperuntukkan bagi
perkara-perkara contradictoir.
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai
perkara-perkara contradictoir adalah perkara persengketaan
perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang
ber sengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal
ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dime-
nang kan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat,
entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga
yang melakukan intervensi.
Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di ba-
wah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam
hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 29
berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan
penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan
agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya.
Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu
“penetapan”, bukan “putusan”.
Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian
dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan
bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi
atau a contrario bagi perkara decralatoir.
Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah
jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata.
Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa:
– analogi memperluas suatu aturan hukum;
– a contrario mempersempit suatu aturan hukum.
Contoh klasik dari analogi, ialah:
BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hu-
bungan sewa-menyewa. Kemudian dianalogikan bahwa wa-
lau pun undang-undang hanya mengatur tentang “jual-beli”—
adalah suatu bentuk “peralihan hak”—maka pengadilan
se jak puluhan tahun yang lampau telah mem per luas undang-
undang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual
beli” yang tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, me-
lainkan semua bentuk peralihan hak lain nya pun, tidak me-
mutuskan hubungan sewa-menyewa. Jadi, hibah pun misalnya,
juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa.
Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Un-
dang-Undang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang
ber cerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di
ma na dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh
melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah wa-
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata30
nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undang-undang
tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, di per oleh hasil-
nya aturan yang menganggap bahwa karena undang-undang
hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawan nya,
yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah.
Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur ten-
tang perkara-perkara yang decralatoir atau peradilan vo lun-
tair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal
145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya
tentang penge cualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca
sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hu-
kum pem buktian bagi perkara contradictoir berdasarkan
analogi dan a contrario tadi.
Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu
adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh
Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus
sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak
sama.
Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban
hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang
telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI,
di mana walaupun undang-undang tidak mengaturnya, ha-
kim harus menciptakan hukumnya.
E. Hukum Pembuktian dalam Sollen Sein
Ada semacam pembagian dunia penelitian hukum atas:
a. Dunia sollen (dunia cita).
b. Dunia sein (dunia nyata).
Untuk jelasnya, penulis menggambarkannya dengan se-
cara skematik.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 31
Jika kita membandingkan skema di atas dengan letak
da ripada hukum pembuktian itu sendiri, dapatlah pe nu-
lis mengatakan bahwa hukum pembuktian terletak di dalam
dunia sollen maupun di dalam dunai sein. Ter utama karena
hukum pembuktian adalah termasuk pada hukum formal
yang lebih menonjol peranannya sebagai pelaksanaan.
Jadi, sebagai aturan tentang pembuktian, yang meru-
pa kan bagian dari aturan hukum acara perdata, maka dapat
di katakan hukum pembuktian ini termasuk dalam dunia
sollen.
Adapun sebagai “law enforcement” maka pembuktian itu
termasuk dalam dunia sein.
Pengertian “law enforcement” sendiri berarti pelaksanaan
hukum. Tetapi dalam hal ini penulis perlu menggarisbawahi
bahwa pelaksanaan hukum itu ada dua macam:
1. Pelaksanaan hukum secara otomatis (tanpa sengketa).
2. Pelaksanaan hukum dalam hal ada persengketaan (pada
umumnya melalui peradilan).
Pelaksanaan hukum secara otomatis dapat kita rasakan
sen diri dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita mengendarai
mo bil atau motor di arah jalan kiri, kita mengasuh anak-
Undang-undang
TERTULIS
Putusan
NORM pengadilan
Sollen
TIDAK TERTULIS
KEBIASAAN
PERILAKU PERJANJIAN
Sein LAW ENFORSEMENT
KESADARAN HUKUM
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata32
anak kita, kita membayar ketika kita membeli barang dan se-
bagainya.
Maka dalam hubungan ini, hukum pembuktian yang
ter masuk dalam dunia sein adalah termasuk dalam jenis pe-
laksanaan hukum di dalam hal ada sengketa perdata.
Karena itulah mempelajari hukum pembuktian harus
pula menghayati sein.
F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quoderat Demonstrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan
Pada zaman dahulu, ada yang beranggapan bahwa yang
dapat dibuktikan hanyalah “peristiwa”, sedangan “hak” tidak
dapat dibuktikan. Pendapat tersebut sudah tidak diterima
dewasa ini.18
Sehingga dewasa, ini hal-hal yang dapat dibuktikan
(Quod Erat Demonstrandum) adalah:
a. Peristiwa (factum).
b. Hak (ius).
Dapat dibuktikannya hak kita bisa lihat pada Pasal 163 HIR
(Pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) yang isinya me nyatakan:
“Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan
suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah
adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
hak atau peristiwa itu.”
Selain itu, yurisprudensi pun menerima pendapat ten-
tang dapat dibuktikannya hak.
Sekarang penulis terlebih dahulu ingin melihat, apakah
yang dimaksudkan peristiwa dan apa pula yang dimaksud
hak.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 33
1. Pengertian peristiwa
Pengertian “peristiwa” yang dapat dibuktikan di dalam
hukum pembuktian ini berbeda dengan pengertian “peristi-
wa hukum”.
Peristiwa hukum sebagaimana yang kita ketahui adalah
“Peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum.”
Adapun peristiwa yang harus dibuktikan jauh lebih luas
lagi, yaitu sesuatu yang kompleks sifatnya, karena peristiwa
ini merupakan suatu keseluruhan dari keadaan, ke jadian,
hu bungan dan sebagainya. Jadi, bukan ha nya suatu kejadian,
bahkan sering kali tidak dilihat secara keseluruhan oleh pan-
caindra.
2. Pengertian hak
Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hu-
kum”:
a. Hukum objektif.
b. Hukum subjektif.
Sebenarnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indo-
nesia, maka hukum objektif itu adalah “hukum” itu sendiri,
sedangkan hukum subjektif adalah “hak”.
Menurut Prof. Holand20 yang dimaksudkan sebagai
“hak” adalah:
“One man’s capasity of inluencing the acts of an other, by means,
nota of his own strength, but of the opinion or the force of society.”
Jadi, menurut Prof. Holand, hak merupakan kemampuan
seseorang untuk memengaruhi perbuatan/tindakan orang
lain, bukan dengan jalan kekuatannya sendiri, melainkan di-
da sar kan pada pendapat atau kekuatan masyarakat.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata34
Atau seperti yang dikatakan oleh Ernest Barker21, bahwa:
“My right in general are my part and portions of a whole system of
right, as expressed an embodied in my particular person, an they are
part and portion”.
Jadi pada asasnya, kata Ernest Barker, hak adalah bagian
dari keseluruhan sistem hukum.
Atau menurut Dias22 bahwa:
“A right is a claim, whether enforceable or not, which resides by
virtue of a rule of law in any given person, that another person, also
by virtue of law, shall behave in a particular way.”
Jadi, Dias lebih memandang hak itu sebagai suatu tun-
tutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang di pu-
nyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain itu
berbuat/ber tindak menurut suatu kaidah tertentu itu.
Bagi sistem hukum Barat, hak adalah alat untuk me-
mung kinkan manusia memperkembangkan jiwa raganya se-
cara sepenuhnya. Demikian kata Ernest Barker.23
Adapun bagi kita di Indonesia, hak itu bukanlah un tuk
digunakan secara sepenuhnya, melainkan juga ha rus me mer-
hatikan kepentingan kolektif. Menurut pe nu lis, ke bebasan
yang sebebas-bebasnya justru ada lah ke ti dakbebasan. Marilah
penulis mem berikan sebah con toh se bagai berikut: Jika si A
dengan sebebas-bebasnya meng gu nakan haknya untuk meng-
gunakan mobil pribadinya de ngan kecepatan maksimal 120
kilometer perjam ditengah ke ra maian kota, apakah yang ter-
jadi? Malapetakalah yang akan menimpa orang lain yang juga
adalah pemakai jalan ra ya, sehingga kebebasan bagi si A adalah
ketidak bebasan bagi orang lain.
Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengartikan
hak itu sebagai:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 35
“Kebebasan untuk berbuat sesuatu menurut hukum, dengan me
merhatikan kepentingan kolektif.”
Perkataan memerhatikan kepentingan kolektif di sini,
bukan berarti lantas kepentingan pribadi si pemilik hak su-
dah diatasi sama sekali oleh kepentingan kolektif, karena itu
penulis tidak menggunakan kata “tunduk” ke pada kepentin-
gan kolektif, tetapi “memerhatikan” ke pen ting an kolektif. Ini
berarti antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif
harus selaras.
Sehubungan dengan hal di atas, ada pepatah hukum
yang menyatakan:
“Quod licet jovi non licet bovi”, apa yang boleh dilakukan oleh
seseorang belum berarti yang lain juga boleh melakukannya.”
Setelah kita mengetahui pengertian “peristiwa” dan
“hak”, timbullah pertanyaan, dari suatu peristiwa, apanya
yang harus dibuktikan?.
Jawabannya adalah bahwa yang harus kita buktikan pa-
da suatu peristiwa adalah “kebenarannya”. Bahwa peristiwa
tersebut benar telah terjadi.
Di dalam hukum pembuktian, tidak semua peristiwa itu
harus dibuktikan. Untuk mengetahui mana yang harus di-
buktikan dan mana yang tidak perlu dibuktikan, maka penu-
lis di bawah ini menjelaskannya dengan gambar berikut.
Jadi, ada dua macam peristiwa dalam hubungannya
dengan pem buktian ini:
1. Peristiwa yang irelevan (tidak relevan).
2. Peristiwa yang relevan.
Sehubungan dengan peristiwa yang relevan dan irele van
ini, ada ahli hukum lain yang menggunakan istilah:
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata36
1. Ratio Decidendi.
2. Obitar Dictum.
a. Ratio Deciendi
Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuri-
dis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang
menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah
faktor yang sejati (material fact), faktor esensi yang jus-
tru mengakibatkan suatu putusan demikian.
b. Obiter Dictum
Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini.
Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang ti-
dak penting diperhatikan.
(mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada
hlm. 30-31, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pe do
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia).
Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuk-
tikan, berdasarkan asas “MINIMA NON CURAT PRAETOR”,
yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan hal-hal yang remeh,
atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM”, yaitu banyak
Keterangan gambar:A = Peristiwa yang tidak relevan.B = Peristiwa yang relevan. B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 37
dalam jumlah, tetapi tidak ada yang penting.
Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua peristiwa
yang relevan yang perlu dibuktikan.
Ada empat peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan
(dalam gambar penulis sebagai B1, B2, B3, dan B4), yaitu:
1. Peristiwa prosesuil.
2. Peristiwa notoir.
3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum.
4. Peristiwa yang oleh undang-undang sendiri telah diten-
tukan bahwa tidak perlu dibuktikan lagi.
Baiklah, di bawah ini penulis menjelaskan masing-ma-
sing dengan lebih mendetail.
ad. 1. Peristiwa prosesuil
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil
adalah peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadil-
an yang memeriksa perkara yang bersangkutan yang harus
di buk tikan tadi.
Penulis dalam hal ini dapat membagi peristiwa prosesuil
itu atas:
a. Peristiwa prosesuil murni.
b. Peristiwa Prosesuil yang tidak murni.
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil
mur ni, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka per si -
dangan pengadilan, yang bersifat yuridis prosesuil, mi sal nya
peng gugat mengadakan pengakuan murni, sehingga per kara
itu bisa diputus dengan dasar pengakuan murni dari ter gugat
itu.
Adapun yang penulis maksudkan sebagai peristiwa pro-
sesuil yang tidak murni adalah peristiwa-peristiwa yang ter-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata38
jadi di muka persidangan, yang sebenarnya hanya peristiwa
biasa, tetapi karena mempunyai pengaruh terhadap peristiwa
pemeriksaan, maka harus dicatat dalam berita acara. Misal-
nya, si tergugat atau si penggugat ketika sedang diperiksa
di muka persidangan, tiba-tiba menguap dengan membuka
mulut lebar-lebar, yang berakibat secara kebetulan seekor
lalat masuk menyangkut di kerongkongannya, sehingga ia
ke labakan dan berjingkrak-jingkrak, atau mungkin pingsan
karena sesak nafas, sehingga menimbulkan kegemparan di
persidangan, atau menyebabkan terjadinya gangguan pada
pemeriksaan perkara tersebut.
Peristiwa prosesuil ini dianggap diketahui hakim se-
hingga tidak perlu dibuktikan lagi.
ad. 2. Peristiwa notoir
Ini harus berhati-hati untuk menyatakan atau meng-
galangkan suatu peristiwa ke dalam NotoirFeiten atau pe-
ris tiwa notoir ini, karena kadang-kadang suatu peristiwa ke-
lihatannya adalah peristiwa notoir, padahal bukan.
Peristiwa notoir itu sendiri adalah suatu peristiwa yang
di anggap peristiwa yang sudah diketahui oleh orang yang
me miliki penidikan cukup dan telah mengenal keadaan
masa di mana ia hidup, tanpa mengadakan penelitian lebih
lan jut lagi, termasuk pula peristiwa yang diketahuinya dari
sumber-sumber umum (mass media misalnya) tanpa meng-
adakan peristiwa yang cukup untuk digunakan sebagai
argu mentasi pembenaran bagi suatu tindakan yang sifatnya
merupakan sifat yang memiliki arti. (Bandingkan pula pen-
dapat P.A. Stein24 dan pendapat Prof.Dr. R.M. Sudikno Mer-
tokusumo.25
Atau pendapat Prof. Mr. A. Pitlo,26 bahwa tidaklah ter-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 39
masuk dalam peristiwa notoir jika peristiwa-peristiwa yang
secara kebetulan diketahui hakim yang bersangkutan, atau
hakim yang menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang
bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian
atau keadaan.
Ini berarti bahwa “private knowledge” dari hakim atau
yang dalam istilah hukum kontinental disebut “Eigen Weten
schap des Rechters”, masih memerlukan pembuktian dan
tidak termasuk peristiwa notoir.
Misalnya, hakim kebetulan melihat tergugat mengadakan
perjanjian jual beli rumah yang kini dipersengketakan, di
mana hakim itu sendiri yang kebetulan memeriksa per kara-
nya, maka dalam hal ini terjadinya perjanjian jual beli rumah
itu masih tetap harus dibuktikan oleh para pihak, karena
ini hanya merupakan “Eigen Wetenschap des Rechters” dan
bukan Notoir Feiten.
Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai pe ris-
tiwa yang diketahui umum. Oleh sebab itu, maka hakim ber-
pendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap ber pe nge tahuan
luas juga, harus tahu juga peristiwa notoir ini, sehingga tidak
perlu dibuktikan lebih lanjut.
Sebagai contoh, bahwa hari kemerdekaan Republik
Indo nesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini tidak
me merlukan pembuktian lagi di muka pengadilan. Adalah
tidak eisien apabila harus didatangkan seorang saksi sejarah
yang membuktikan bahwa proklamasi Indonesia itu benar
tang gal 17 Agustus 1945.
Dalam hal timbul perselisihan akan hal semacam itu
su lit untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”,
sehingga dalam hal demikian perselisihan akan timbul, peris-
tiwa yang bersangkutan masih harus dibuktikan. Demikian
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata40
pendapat Prof. R. Soekardono, S.H.27
Tadi penulis mengemukakan bahwa sering suatu peris-
tiwa dianggap notoir feit, padahal sebenarnya bukan. Penulis
da pat memberikan sebuah contoh: jika si X dikatakan se-
bagai orang terkaya di kota Ujungpandang, ini belum me-
ru pakan peristiwa notoir, karena kriteria kaya tidaknya se-
se orang masih merupakan sesuatu yang relatif dan masih
me mungkinkan diperdebatkan. Lain halnya dengan tanggal
17 Agustus 1945 sebagai hari diproklamasikannya Republik
Indo nesia, tidak mungkin diperdebatkan lagi.
Penulis membagi ada tiga macam peristiwa notoir:
a. Peristiwa notoir yang bersifat internasional.
b. Peristiwa notoir yang bersifat nasional.
c. Peristiwa notoir yang bersifat lokal/kedaerahan.
Peristiwa notoir yang bersifat internasional misalnya,
bahwa Israel melakukan invasi militer ke wilayah Lebanon,
atau Partai Buruh Solidaritas dibubarkan oleh pemerintah
Polandia. Peristiwa notoir yang sifatnya internasional ini pada
umumnya berlaku bagi hukum acara perdata internasional,
tetapi bukan berarti bahwa dalam hukum acara perdata biasa
tidak mungkin berarti.
Sebagai contoh: jika tergugat ingin membuktikan keti-
dak beradaannya di Indonesia, karena berada di Lebanon
pada saat tentara Israel melakukan invasinya, ini sudah me-
ru pakan peristiwa notoir intenasional, yaitu tentang saat
tentara Israel melakukan invasi itu.
Adapun peristiwa notoir yang bersifat nasional, misal nya
meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat. Atau bahwa
Menteri Pertahanan Republik Indonesia sekarang (ta hun
1982) adalah Jenderal TNI M. Yusuf.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 41
Dan peristiwa notoir lokal/kedaerahan, misalnya bahwa
Kantor Pengadilan Negeri Ujungpandang terletak di Jalan
Kar tini persimpangan/pojok jalan Jenderal Sudirman, bah-
wa bioskop artis terletak di jalan G. Lompabatang dan lain-
lainnya.
Ini hanya merupakan peristiwa notoir yang berlaku bagi
penduduk tetap Ujungpandang atau Makasar. Tidak perlu
dibuktikan lagi bahwa bioskop artis itu apakah benar ter letak
di jalan G. Lompobatang atau tidak.
Yang dewasa ini masih merupakan polemik dalam lite-
ratur-literatur hukum pembuktian antara para ahli hukum
adalah apakah termasuk pula dalam pengertian peristiwa
notoir, peristiwa yang merupakan desas-desus?
Atau secara lengkap penulis mempertanyakan, apakah
peristiwa-peristiwa:
a. desas-desus,
b. rumor (desas-desus buruk bagi seseorang),
c. fama, juga sejenis desas-desus,
d. communis, opinie doctorum (pendapat umum para ahli),
dapat dimasukkan sebagai peristiwa notoir atau bukan?
Masih diperdebatkan kini.
ad. 3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum
Yang penulis maksudkan di sini, sebagai peristiwa yang
sudah merupakan pengetahuan umum adalah peristiwa yang
berdasarkan pengalaman, atau dengan kata lain kesim pulan
yang didasarkan pada pengetahuan umum.
Pengalaman yang dimaksudkan di sini adalah tidak ber-
sifat normatif, jadi merupakan ketentuan umum berdasar-
kan pengalaman manusia yang digunakan untuk menilai pe-
ris tiwa yang diajukan untuk dibuktikan itu.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata42
Pengetahuan tentang pengalaman, misalnya:
– bahwa seorang manusia yang berlari nonstop selama
dua jam, pasti akan kepayahan;
– bahwa mobil yang dilarikan dengan kecepatan 100 kilo-
meter per jam, kemudian tiba-tiba direm, pasti me ning-
galkan “remspoor” (bekas rem di aspal);
– jika seorang manusia ditembak kepalanya sehingga kena
dengan sebutir peluru, maka orang itu pasti mati.
Semua contoh di atas tidak membutuhkan pem buk tian
lagi, sesuai asas “MANIFESTA NON EGENT PRO SATIONE”
(fakta-fakta yang dikenal umum tidak perlu me merlukan pem-
buktian). Coba dibayangkan jika untuk mem buktikan bahwa
seorang yang ditembak kepalanya akan mati, harus dibuktikan
dengan menampilkan seorang “suka relawan” yang bersedia
benar-benar ditembak kepalanya di muka persidangan, bu-
kankah suatu hal yang tidak mungkin?.
Lalu di mana letak perbedaan antara peristiwa notoir de-
ngan peristiwa yang berdasarkan pengetahuan umum?
Perbedaannya adalah:
– peristiwa notoir, hakim mengenal peristiwanya secara
konkret, misalnya warna emas adalah kuning;
– peristiwa yang didasarkan pengetahuan umum, hakim
menerapkan suatu pengetahuan umum, misalnya mobil
lebih cepat larinya dari manusia.
ad. 4. Peristiwa yang oleh undangundang sendiri
telah ditentukan bahwa tidak perlu dibuktikan
Dalam hal ini ada yang juga termasuk peristiwa prosesuil.
Sebagai contoh:
– dengan telah dilaksanakannya sumpah pemutus (sum-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 43
pah decisoir), yang oleh undang-undang tidak me mung-
kinkan pembuktian perlawanan lagi, maka peristiwa
yang dipersengketakan tidak memerlukan pembuktian
lebih lanjut;
– jika seorang tergugat mengakui gugatan penggugat
dalam bentuk pengakuan murni, berarti peristiwa yang
dipersengketakan yang telah diakui secara murni oleh
ter gugat tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut,
dan perkara itu dianggap selesai;
– dalam hal tergugat tidak datang, padahal telah dipanggil
secara patut, lalu hakim menjatuhkan hukuman verstek
yang menyatakan tergugat kalah, maka peristiwa yang
di persengketakan yang dimuat dalam gugatan peng gu-
gat tanpa diadakan pembuktian sudah dianggap benar,
dan kemudian tanpa mendengar serta di luar hadir nya
tergugat dijatuhkan hukuman verstek. (sebagai ca tat an,
perlu diketahui, bahwa tidak mesti seorang ha kim men
jatuhkan hukuman putusan yang menyatakan ka lahnya
ter gugat secara verstek jika tergugat tidak hadir, mes ki
pun telah dipanggil secara patut, bisa saja dengan per
tim bangan bahwa gugatan si penggugat tidak ada dasar
hu kumnya, maka hakim dalam ketidak hadiran ter gugat
me nyatakan penggugat yang kalah, bukan tergugat).
Mengenai hal ini, lihat Pasal 8 dari Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 atau Pasal 200 R.bg.
Untuk menjelaskan mana peristiwa yang relevan dan
mana yang irelevan, penulis memisalkan sebagai berikut:
Terjadi tabrakan antara mobil Mercy putih milik Tuan A dan
mobil Toyota milik Tuan B, sehingga Tuan B meminta ganti
rugi. Terjadinya tabrakan pada Jumat kliwon. Dan loka si-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata44
nya di perempatan jalan Kartini, jalan G. Sawakarang, Jalan
Sudirman, Tuan A memakai baju safari merah muda, ber-
ka ca mata, sedangkan Tuan B memakai Jean sepasang warna
biru. Pada saat kecelakaan, di atas mobil Tuan A ikut anak-
ananya. Adapun di atas mobil Tuan B ikut pacarnya Miss X,
seorang aktris jelita. Cepat kendaraan 50 kilometer per jam,
baik Tuan A maupun Tuan B.
Dari keseluruhan yang dikemukakan di atas, yang termasuk
peristiwa relevan hanyalah bahwa yang mengemudikan mobil
adalah Tuan A dan Tuan, kecepatannya masing-masing 50
kilometer per jam, lokasinya di jalan-jalan tersebut.
Adapun isinya, seperti baju Tuan A dan Tuan B, pacar
Tuan B yang aktris jelita dan sebagainya adalah peristiwa
yang irelevant, sehingga tidak perlu dibuktikan.
G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti?
Buat kita di Indonesia, jelas kita tidak dapat menerima
ajar an Jhon Austin, yang menganggap hukum sebagai di pi-
sah kan secara tegas dari keadilan, hukum tidak di dasarkan
pada nilai-nilai yang baik dan buruk, tetapi atas dasar da-
ri pada penguasa, atau seperti yang dituliskan oleh Judith
Shklar27 bahwa:
“Treating law as an isolate block of concepts that have no relevant
characteristic or function—apart from their possible validity or
invalidity within a hyppthatical system.”
Buat kita di Indonesia, hukum tidak dapat dipisahkan
dari keadilan, dan hukum itu harus menciptakan kemanfaat-
an yang sebenar-benarnya bagi sebanyak-banyaknya rakyat
Indonesia.
Karena itulah di dalam proses peradilan Indonesia, pa ra
pihak yang berperkara (dalam proses perdata) maupun ter-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 45
tuduh (dalam proses pidana) senantiasa dijamin hak-haknya
untuk membuktikan ketidakbersalahannya (he Presumption
of Innocemce).
Hal ini sejalan dengan pandangan Roscoe Pound yang
berpendapat bahwa hukum harus dilihat atau dipandang se-
bagai lembaga yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial,
serta adalah tugas ilmu hukum untuk memperkembangkan
suatu kerangka dalam mana kebutuhan sosial dapat dipenuhi
secara maksimal. Terbukti dari apa yang dituliskannya:
“....he record of a continually wider recognizing and satisfying of
human wants or claims or desires through social control, a more
embracing and more efective security of social interest, a continually
more complete and efective elimination of waste and precluding of
friction in human enjoyment of the goods of existence—in short a
continually more aicacious social engineering.”29
Roscoe Pound meganjurkan agar mempelajari hukum
se bagai suatu proses.
Di dalam hukum acara perdata, yang berhadapan ada lah
dua pihak yang terlibat dalam suatu persengketaan perdata.
Keduanya memiliki kedudukan yang sama di muka hukum,
termasuk di muka pengadilan (hakim), berdasarkan asas
AUDI ET ALTERAN PARTEM.
Walaupun demikian, terlebih dahulu kita harus jelas
mengetahui siapakah yang dimaksudkan para pihak dalam
suatu perkara perdata?
Hal ini sangat penting, karena yang harus mengajukan
alat bukti ini adalah para pihak itu.
Pada asasnya setiap orang mempunyai hak, dan karena
itu adalah suatu kewajaran jika setiap orang berusaha untuk
mempertahankan atau membela haknya, berwanang untuk
bertindak selaku pihak dalam perkara perdata, baik sebagai
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata46
penggugat maupun tergugat atau dalam hal tertentu sebagai
pihak yang melakukan intervensi, hal ini sesuai dengan asas:
“Legitima persona standi in jidicio.”
Tetapi selain manusia, kita harus ingat bahwa pengertian
“orang” menurut hukum, juga termasuk badan hukum atau
yang lazim disebut “RECHTAPERSOON”.
Sehingga yang dimaksud pihak dalam perkara perdata
ada dua macam:
1. Manusia.
2. Badan hukum.
Di dalam suatu persengketaan perdata sekurang-kurang-
nya terdapat dua pihak, yaitu: penggugat (eiser, plaintif), dan
tergugat (gedaagde, defendant).
Mengenai orang yang aktif bertindak sebagai pihak di
muka persidangan pengadilan, dapat kita bagi atas:
a. Orang yang mempunyai kepentingan langsung.
b. Orang yang tidak mempunyai kepentingan langsung.
Jika orang yang berkepentingan langsung yang bertin-
dak sendiri di muka pengadilan disebut sebagai “pihak ma-
teriil”, tetapi sekaligus juga merupakan “pihak for mal”, karena
mereka sendiri yang beracara.
Yang dimaksudkan sebagai orang yang tidak mempunyai
kepentingan langsung adalah:
a. Wali
b. Pengampu
c. Pengacara
Wali ini mewakili orang yang masih di bawah umur. Di
Indonesia terdapat banyak peraturan mengenai batas umur
kedewasaan. Batas umur itu berkisar antara 15 tahun hingga
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 47
21 tahun. Batas umur untuk perkawinan saja ada berbagai
macam, menurut BW bagi laki-laki adalah 18 tahun dan bagi
wanita 15 tahun, sedang menurut U. U No. 1 Tahun 1974
bagi laki-laki 19 tahun dan wanita 16 tahun.
Batas-batas umur dewasa itu adalah
a. Dewasa untuk memilih: 17 tahun (berdasarkan Pasal 9
UU No. 5 Tahun 1975).
b. Dewasa menurut Undang-Undang Kerja adalah 18 ta-
hun (Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1951 jo. UU. No. 12 Tahun
1948).
c. Dewasa untuk menjadi saksi di muka persidangan
pengadilan adalah 15 tahun (Pasal 145 ayat 1 No. 3, 145
ayat 4 HIR, 172 ayat (1) No. 4 jo. 173 R.bg.m 1912 BW).
d. Dewasa untuk dapat dituntut pidana adalah 16 tahun.
Bagi golongan pribumi, maka di dalam S. 1931 No. 54
diatur bahwa jika ketentuan undang-undang menggunakan
istilah “belum cukup umur” maka bagi golongan Indonesia
yang dimaksud adalah semua orang yang belum mencapai
umur 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya.
Walaupun di dalam praktik peradilan di Indonesia de-
wasa ini belum pernah terjadi masalah umur dalam penga-
juan gugatan di muka persidangan pengadilan, tetapi untuk
ke pas tian hukum perlu adanya ketentuan atau pedoman bagi
batas umur untuk orang yang hendak mengajukan gugatan.
Menurut penulis, untuk saat ini pedomannya adalah Pasal
330 BW dan S. 1931 No. 54 yang menentukan batas umur 21
ta hun sebagai batas umur dewasa.
Pengampu atau kurator adalah orang yang mewakili ke-
pentingan orang yang berada di bawah kuratele atau peng-
ampuan.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata48
Orang yang biasanya ditempatkan di bawah kuratele
adalah:
a. sakit ingatan;
b. pemboros;
c. pemabuk.
Tetapi, perlu diketahui bahwa pada umumnya mereka
yang diletakkan di bawah pengampuan karena pemboros
atau pemabuk, ketidakmampuannya hanyalah terbatas pada
perbuatan-perbuatan di lapangan hukum harta kekayaan.
(Bandingkan pendapat Asser Scholten29)
Demikian pula seorang istri yang tunduk pada BW
tidak dapat bertindak sebagai pihak tanpa bantuan daripada
suami nya, sesuai ketentuan Pasal 110 BW, kecuali dalam hal
per ceraian atau apabila ia dituntut dalam perkara pidana.
Adapun kuasa yang merupakan juga pihak yang tidak
ber kepentingan langsung biasanya diarahkan kepada peng a -
cara. perlu penulis tegaskan di sini, bahwa pengertian penga-
cara di satu pihak, dengan pengertian advokat di lain pi hak,
tidaklah identik.
Penulis dapat membedakannya sebagai berikut:
ADVOKAT : adalah pengacara profesional, seorang pe-
ngacara yang memang pengerjaan pokok-
nya adalah kepengacaraan, dan telah resmi
diangkat oleh negara sebagai advokat. (li-
hat peraturan menteri kehakiman No. 1
Ta hun 1965 tertanggal 28 Mei 1965, Jo.
Ke putusan Menteri Kehakiman No. J.P.
14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965).
PENGACARA: adalah lebih luas pengertiannya, karena
di samping termasuk di dalamnya advokat,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 49
juga tercakup setiap badan hukum yang
menjalankan fungsi pengacara, misal nya
dosen-dosen fakultas hukum yang aktif di
biro bantuan hukum fakultas hukum ma-
sing-masing.
Selain itu ada istilah lain yaitu “POKROL” yang penulis arti-
kan sebagai: setiap orang yang bukan sarjana hukum, yang
menjalankan fungsi kepengacaraan. Dalam hubungan ini, me-
nurut hemat penulis, seyogianya pokrol dilarang berpraktik
untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan hukum.
Kapan seseorang boleh bertindak sebagai kuasa? Kalau
memenuhi salah satu persyaratan atau beberapa persyaratan
di bawah ini.
Untuk menjadi kuasa penggugat:
a. Harus mempunyai surat khusus seperti yang diatur oleh
pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
b. Ditunjuk selaku kuasa dalam surat gugatan, seperti yang
diatur oleh Pasal 123 ayat 1 HIR, Pasal 147 ayat 1 R.bg.
c. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan
jika gugatan diajukan secara lisan, diatur oleh pasal yang
sama di atas.
d. Ditunjuk oleh penggugat sebagai kuasa atau wakil di
persidangan, juga diatur oleh pasal yang sama di atas.
e. Memenuhi syarat dalam Peraturan Menteri Kehakiman
1/1965 tanggal 28 Mei Jo. Keputusan Menteri Keha-
kiman No. J.P. 14/2/11 tanggal 7 Oktober 1965 tentang
Pokrol.
f. Telah terdatar sebagai advokat atau memenuhi syarat
se tempat tentang izin untuk membela perkara.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata50
Untuk dapat menjadi kuasa tergugat:
Pada asasnya memiliki persyaratan yang sama dengan
per syaratan untuk menjadi kuasa bagi penggugat di atas.
Sebagaimana jika negara/pemerintah yang bertindak
se laku pihak di muka persidangan perdata selaku QUASI
STAATRECHT? Sebagai warga negara semu? Siapa yang di-
syaratkan dapat menjadi kuasanya? Ini ditentukan oleh S.
1922 No. 522 dan Pasal 123 ayat 2 HIR, Pasal 147 2 R.bg.
a. Pengacara yang diangkat oleh pemerintah.
b. Jaksa.
c. Orang-orang tertentu atau para pejabat yang diang kat
atau ditunjuk.
Juga yang sering dipertanyakan, bagaimana dengan
suatu Badan Hukum Privat? Siapa yang harus mewakilinya
di depan sidang pengadilan? Dalam hal ini diatur oleh psal
1655 BW dan pasal 8 no. 2 Rv., bahwa adan hukum bertindak
melalui pengurusnya atau wakilnya. Adapun nama pengurus
dari badan hukum itu tidak harus di muat dalam gugatan,
oleh karena itu badan hukum dapat bertindak se ba gai pihak
ma teri ataupun pihak formal dalam perkara. De mikian pen-
dapat dari star bubwann.31
Semua orang yang dianggap tidak cakap untuk bertindak
disebut dengan istilah “PERSONAE MISERABILE”. Sehingga
dapatlah kita nyatakan bahwa didakannya lembaga Personae
Miserabile itu adalah bertujuan untuk melindungi orang-
orang tersebut sendiri.
Dewasa ini yang sering menjadi pertanyaan, bagaimana
halnya dengan orang tua? sampai batas umur berapa baru
tergolong sebagai “Personae Miserabile”? Belum ada keten-
tuannya hingga saat ini. Tetapi menurut hemat penulis seyo-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 51
gia nya jika kelak diatur oleh undang-undang tidak dibatasi
dari segi usianya, karena ada orang tua yang berusia 70-90
tahun tetapi belum pikun, sedangkan ada yang baru 50 tahun
sudah pikun.
Karena itulah pengaturannya harus di atur dari segi “pi-
kun nya”. Tentu saja ini pun bukan persoalan yang terlalu mu-
dah, karena kriteria kepikunan masih bisa diperdebatkan lagi.
Jadi, kita kembali kepada masalah siapakah yang harus
mengajukan alat bukti, jawabannya adalah semua orang yang
menjadi pihak formal di depan pengadilan, termasuk pula
pihak yang sekaligus adalah pihak materiil.
H. Siapakah yang Menilai Pembuktian
Dalam sistem peradilan kita di Indonesia, satu-satunya
yang menjadi pihak penilai pembuktian adalah hanyalah
“HA KIM”. Berbeda dengan sistem peradilan Anglo Saks di
negara-negara common law, di mana selain hakim yang me-
nilai segi hukumnya, ada lagi “JURI” yang menilai segi fakta
atau peristiwanya.
Hakim di dalam menilai pembuktian ini, di dalam proses
perdata semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, jadi
seperti yang berulang-ulang penulis tuliskan di bagian depan,
hanya bersifat “propederence evidence”, tidak harus “Beyond
Ressonable Doubt” seperti halnya dalam perkara pidana.
Asas yang mewajibkan hakim untuk menilai pem buk-
tian, dan bukan para pihak adalah asas “UNTER BUCHUNG
S MAXIME”, yaitu asa yang mewajibkan hakim untuk me-
ngumpulkan alat bukti dan menilainya. Alat bukti yang
dikumpulkan itu adalah alat bukti yang diajukan oleh para
pihak yang berperkara. Adapun para pihak diwajibkan meng-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata52
ajukan dan meyakinkan hakim dan alat buktinya, sesuai asas
“VERHANDLUNGO MAXIME”.
Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas ha-
kim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan ma-
sa lah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian
kepada para pihak yang berperkara.
Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tugas ha -
kim yang utama dalam kaitannya dengan masalah pem buk-
tian ini adalah:
a. Membebani pembuktian kepada para pihak.
b. Menilai pembuktian yang diajukan para pihak.
Dan justru kedua tugas hakim itulah yang paling ber-
pengaruh pada putusan akhirnya.
Tugas-tugas hakim yang lain tentunya masih banyak,
antara lain:32
a. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
meng gali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.
b. Hakim yang sudah diserahi perkara tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa
hu kum tidak atau kurang jelas, tetapi wajib untuk me-
me riksa dan mengadilinya.
c. Tugas hakim itu tidak berakhir hanya dengan menjatuh-
kan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan pada
pelak sanaannya (eksekusi).
d. Khususnya dalam perkara perdata, hakim harus mem-
bentuk pihak-pihak yang berperkara dan berusaha se-
mak simal mungkin untuk mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk terwujudnya peradilan sederhana,
cepat, dan biaya ringan.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 53
Jika kita ingin menyimpulkan tugas hakim pada garis
besarnya, dapatlah kita bagi menjadi tiga, yaitu:
1. mengonstatir;
2. mengkualiisir;
3. mengkostituir.
Agar bagi pembaca awam jelas, baiklah penulis mem be-
rikan suatu contoh imajiner;
Si A menggugat si B, bahwa pada tanggal 17 Agustus
1981, ketika mobil Mercy berplat DD 952 diparkir oleh si A
di depan rumahnya yang terletak di tepi Jl. G. Lampobatang
No. 5 Ujungpandang, tiba-tiba ditabrak oleh mobil Toyota
biru dengan plat DD 511 milik si B yang dikendarai oleh si
B sendiri. Kecepatan mobil si B itu adalah sangat kencang
dan diperkirakan melebihi kecepatan maksimum yang di-
tentukan bagi kendaraan jika berada dalam kota.
Akibatnya mobil milik si A rusak berat dan menderita
kerugian seharga mobil Mercy itu. Untuk itu si A menggugat
pada si B agar si B antara lain dihukum untuk membayar ganti
kerugian sejumlah mobil Mercy itu...bdan seterusnya....
Menghadapi perkara di atas, hakim pertama-tama harus
mengonstatir, benarkah telah terjadi peristiwa tarakan de-
ngan kronologis dan akibat yang sesuai dengan yang dinya-
takan si A dalam gugatannya?
Untuk ini, hakim harus dapat membuktikan terjadinya
peristiwa tadi. Dalam hal ini, bukanlah kewajiban hakim
untuk aktif mengadakan penyelidikan agar memperoleh
bukti-bukti, melainkan pihak pengugatlah yaitu si A yang ha-
rus mampu mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan
bahwa benar peristiwa tabrakan itu telah terjadi.
Sebaliknya bagi si B, jika menyangkali perbuatan si A,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata54
juga harus mampu mengajukan alat bukti yang mem buktikan
ketidakbenaran gugatan ini.
Dalam hal ini, misalnya si A berhasil membuktikan ter-
jadinya peristiwa tabrakan tadi, maka tugas hakim se lan-
jutnya adalah mengadakan kualiikasi peristiwa. Jadi meng-
kualiisir.
Peristiwa tabrakan itu, kemudian dapat dikualiisir oleh
hakim, sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtma
tigdaad) berdasarkan Pasal 1365 BW (KUH Perdata).
Atas dasar kualiikasi sebagai perbuatan melawan hukum
itulah, hakim kemudian melakukan konstituiring, memutus
perkara itu dengan menghukum si A selaku penggugat.
Di dalam tahap konstituiring inilah hakim melakukan
penalaran silogisme atas logika.
Melihat keseluruhan tugas hakim yang telah penulis
ke mukakan di atas, dapatlah jelas diketahui bahwa hakim
tidak hanya bertugas untuk menemukan dan mengharapkan
hukum, tetapi jauh lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum
dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Karena itulah
Cardozo33 menyatakan:
“he law which is the resulting product is not found but made. he
process in its highest reaches is not discovery, but creation”
Yang lebih berat lagi, bahwa hakim dalam menjalankan
tugas-tugasnya itu senantiasa mempertahankan posisi ob-
jek tifnya yang merupakan hal yang paling prinsip dalam ke -
se luruhan jabatan dan fungsinya selaku hakim. Apalagi jika
dikaitkan dengan pepatah yang bersifat asas pula, bahwa “Nemo
judex idoneus in proris cause,” yaitu bahwa tidak se orang pun
dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri.
Mungkin asas tersebut kekecualiannya hanyalah bagi
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Hukum Pembuktian Pada Umumnya ... 55
orang-orang pilihan, seperti para rasul dan nabi, paling tidak
para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab misalnya.
Untuk menjamin terlaksananya posisi objektif para ha-
kim, penulis menyarankan kira-kira sudah tepatlah jika segi
inansial dan kesejahteraan ekonomis para hakim men jadi
perhatian dari pemerintah kita, agar godaan untuk me-
nyimpang dari prinsip objektivitas itu bisa dicegah, paling
ti dak dikurangi seminimal mungkin, sehingga asas lain
yang juga merupakan asas penting dalam hukum pem buk-
tian perdata, “AUDI ET ALTERAM PARTEN”, juga bisa ter-
wujudkan dalam dunia sein.
Endnote:1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 96-97.
2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht”. R.M. hemis 1966 af1
5/6.
3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding”. R.M.
hemis 1966 af1 5/6.
4. Ibid.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632,
hlm. 13.
6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York,
hlm. 1.
7. Ibid.
8. Ibid.
9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”.
Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 88-85.
10. Asser-Anema-Verdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij
W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35.
11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.
12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata56
13. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.
St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 1.
14. Prof. H. Drion, Op.Cit. hlm. 416.
15. Journal of Forensic Science, vol. 9. No. 4, hlm. 445.
16. Prof. H. Drion, opcit.
17. Conpendium Hukum Belanda, hlm. 9.
18. Achmad Ali, S.H. “Pembuktian Dalam Proses Perdata”.Ujung pan-
dang, 1980, hlm. 6.
19. Ibid.
20. Wisa B. R. “Gutlines of Jurisprudence”. 1959, hlm. 31.
21. Ernest Baker. “Principles of Social and Political heory”. 1963, hlm.
137.
22. Wisa, B. R, Op.Cit., hlm. 34.
23. Ernest Baker, opcit, hlm. 137.
24. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S. H. Op.Cit, hlm. 86.
25. Ibid.
26. Prof. Mr. A. Pitlo. “Pembuktian dan Daluarsa”(terjemahan). Pe-
nerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hlm. 16.
27. Prof. R. Sukardono, S.H, “Penggunaan Upayaupaya Pembuktian
dalam Prosedur Perdata”. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional, 1971 No. 12, hlm. 49.
28. Judith Bhklar. Legalism. Cambridge, Harvard University Press,
1964, hlm. 34.
29. Roesco Pound. “An Introduction to the Philosophy of Law”. New
Haven”. Yale University Press, 1959, hlm. 47.
30. Asser-Scolten-WIARDA. “Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening
van het Nederland Bugerlijk Recht”. Earste Deel Earste Stuk: Familia
recht, N, V. Witgevers Mastschappij N. E. J. TjeenkWillink, Zwolle,
1947, hlm. 539.
31. Star Bussmann. “Hoofdstukkan van burgerlijk Rechtsvardering”.
Harlem Deerven F. Bahn, N. V. 1948. 131.
32. Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman. (UU No. 14 Tahun
1978).
33. Benyamin N. Cardozo LLD. “he Narure of Judicvial Process”. New
Haven, Yale University Press, 1977.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
TUJUAN PEMBUKTIAN
Bagian Ketiga
Pada hakikatnya tujuan pembuktian adalah untuk meng -
hasilkan suatu putusan, yang menyatakan salah satu pi hak
menang, dan pihak yang lain kalah (jika merupakan per adilan
yang sebenarnya), atau untuk menghasilkan suatu penetapan
(jika pengadilan voluntair atau peradilan semu). Jadi, tujuan
pembuktian adalah putusan hakim yang dida sar kan pada
pem buktian itu.
Segi yang kalah dalam perkara perdata tentunya secara
formal yuridis menjadi pihak yang merugi atau menjadi pihak
yang dikenakan hukuman. Sama halnya jika terdakwa dalam
perkara pidana terbukti bersalah, akan dijatuhi sanksi pidana.
Sehubungan dengan hal tersebut, apakah dihukumnya
pihak itu merupakan akibat dari perbuatan hukum yang per -
nah dilakukannya? Dengan perkataan lain, apakah perbuat
an yang dilakukan dengan hukuman yang diterimanya meru
pakan suatu hubungan sebab akibat?
Mengenai permasalahan ini, Hans Kelsen mengemuka-
kan salah satu teori yang terkenal sebagai “Toerekeningstheoris”
Lex Meminen Cogit Ad Impossibilia“Undang-undang tidak memaksa seorang pun untuk melakukan
sesuatu yang tidak mungkin”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata58
(teori pertanggung jawab).
Menurut teori Hans Kelsen yang kemudian diikuti oleh
Paul Scholten itu, tindakan yang dilakukan seseorang se hing-
ga ia di hukum, bukan merupakan hubungan sebab akibat.
Artinya bahwa hukuman yang diterimanya bukanlah
aki bat dari perbuatannya, melainkan bahwa hukuman itu
me rupakan pertanggungjawaban atau perbuatannya sen-
diri. Berbeda dengan batu yang dilemparkan ke atas, maka
aki batnya pasti akan jatuh kembai ke bawah. Berlainan de-
ngan tindakan seseorang yang membeli suatu barang, be lum
tentu akibatnya ia harus membayar dan kemudian ia me-
mang tidak membayar. Apakah akibatnya ia akan di hu kum?
Belum tentu. Oleh karena itu, dalam hal ini lebih te pat lah
jika dikatakan bahwa ia membeli suatu barang, maka se bagai
pertanggungjawabannya ia harus membayar harga ba rang
yang dibeli tadi.
Atau, kalau ia tidak membayarnya sehingga berakibat ia
dijatuhi hukuman oleh hakim, maka hukuman itu meru pa-
kan pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak mem ba-
yarnya harga barang yang dibelinya. Jadi tidak berda sarkan
hukum kausalitas seperti jatuhnya batu ke bawah yang dilem-
parkan ke atas.
Oleh karena itu, pembuktian adalah putusan hakim yang
didasarkan pada pembuktian itu, maka di sini terbukti lagi
be tapa besarnya peranan hukum pembuktian di dalam me-
netukan kalah menangnya pihak-pihak yang berperkara.
Sebagai tujuan akhir dari pembuktian itu tentu saja se-
jalan dengan tujuan dari hukum pada umumnya, di sini kita
ha rus ingat lagi, bahwa hukum pembuktian hanya subsis tem
dari sistem hukum secara keseluruhan.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tujuan Pembuktian 59
Apakah tujuan hukum itu? Tujuan hukum adalah:
a. Gerachtgkeit (keadilan).
b. Zwegkmassigkeit (kemanfaatan).
c. Rechtsicherheit (kepastian hukum).
Hukum itu timbul pada hakikatnya disebabkan karena
terjadinya konlik di antara berbagai kepentingan manusia
(conlict of human interest).
Akibat konlik antar-kepentingan itu, sehingga meng-
hendaki adanya penyelesaian fungsi hukum.
Khususnya hukum acara perdata, tujuan pembuktian di
dalamnya untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak
yang berperkara. Kita selalu harus ingat, bahwa proses per-
data adalah proses penyelesaian persengketaan antara dua
pihak. Berbeda dengan proses pidana, di mana tidak ter dapat
persengketaan antara jaksa dan terdakwa.
Karena itulah selaras dengan tujuan hukum pada haki-
kat nya, maka dengan pembuktian dalam proses perdata, ber -
tujuan menyelesaikan persengketaan antara pihak yang ber-
perkara, dengan jalan yang seadil-adilnya, dengan mem beri
kepastian hukum baik bagi pihak yang berperkara mau pun
terhadap masyarakat pada umumnya, dengan tidak me lu-
pakan kemanfaatan putusan hakim itu terhadap ma sya rakat
pada umumnya. Itulah tujuan pembuktian perdata me nurut
hemat penulis.
Secara ilosoinya dapat dikatakan tujuan pembuktian
adalah:
“QUOD BONUM FELIX FAURTUMQUE”, apa yang baik,
bahagia dan karunia (oleh Allah).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Judex Ne Prucedat Ex Oicio“Di mana tidak ada yang menggugat, di sana tidak ada hakim”
Khususnya di dalam hukum pembuktian perdata di ke-
nal asas-asas tersendiri, yang berbeda dengan apa yang di ke-
nal dalam hukum pembuktian lainnya.
Hukum acara perdata sendiri memiliki karakte ris tik ter-
sendiri selaku bagian dari hukum privat (privaatrecht [Be-
landa], private law [Inggris], droit prive [Perancis], privatrecht
[Jerman]).
Asas-asas ini selaras dengan sifat hukum acara perdata
itu sendiri, seperti tersebut di atas.
A. Asas Audi Et Ateram Partem
Milton C. Jacobs1 mengatakan bahwa: “General rules of
evidence are the same in equity as at law.”
Inilah yang dalam istilah klasiknya dinamis asas “AUDI
ET ALTERAN PARTEN”, atau “EINES MANRES REDE IST
KEINES MANNES REDE”. Asas kesamaan kedua pihak yang
berperkara di muka pengadilan.
ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN
Bagian Keempat
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata62
Hal ini berarti, bahwa hakim tidak boleh memberi pu-
tusan dengan tidak memberi kesempatan untuk men dengar
kedua belah pihak.
Acara “verstek” pun bukan kekecualian dari asas ini, ka-
rena putusan verstek dijatuhkan hanya jika tergugat sudah
di panggil secara patut, tetapi tetap tidak mau hadir ke per si-
dang an. Ini berarti bahwa putusan verstek dijatuhkan se telah
tergugat diberi kesempatan untuk tampil, hanya tidak mau
menggunakan kesempatan yang diberikan oleh hukum itu.
Justru menurut penulis, lembaga verstek itu diadakan
ada lah sebagai perwujudan dari asas Audi Et Alteram Partem.
Di mana dengan adanya lembaga verstek, dengan adanya an-
cam an untuk menjatuhkan putusan verstek, putus an kerana
tergugat tidak hadir, merupakan dorongan bagi ter gugat un-
tuk hadir menggunakan haknya berdasarkan asas Audi Et
Alteram Partem.
Dengan asas Audi Et Alteram Partem ini, hakim harus
adil dalam memberikan beban pembuktian pada pihak yang
berperkara, agar kesempatan untuk kalah atau menang bagi
kedua belah pihak tetap sama, tidak pincang atau berat se be-
lah. Di sini perlunya hakim memerhatikan asas-asas beban
pembuktian (lihat bagian ketujuh buku ini).
Sebagai akibat telah diberinya kesempatan yang sama
bagi kedua pihak yang berperkara secara adil, maka suatu
per kara tidak dapat disidangkan dua kali (Bisde eadem re
ne sit actio), dalam hal ini pembuktian tidak dikenal adanya
“Be neicium” atau hak istimewanya.
Aturan hukum pembuktian berlaku sama, baik bagi
peng gugat maupun tergugat.
Baik penggugat maupun tergugat dapat membuktikan
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian 63
se mua alat bukti, kecuali dalam hal-hal khusus, misalnya
an ta ra penggugat dan tergugat mengadakan perjanjian pem-
buktian (lihat Bag. XII).
B. Asas Ius Curia Novit
Asas “Ius Curia Novit” ini adalah asas yang memiksi-
kan bahwa setiap hakim itu harus di anggap tahu akan hu-
kum nya perkara yang di periksanya. Hakim sama sekali ti dak
boleh untuk memutus perkara, dengan alasan bahwa ha kim
itu tidak mengetahui hukumnya. Demikian juga ha kim harus
men ciptakan hukumnya jika memang harus di ha dapinya be-
lum diatur oleh undang-undang atau yu ris prudensi. Pencip-
ta an hukum oleh hakim ini biasanya de ngan menggunakan
me tode analogi atau argumentum a contrario.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, sehingga para pihak
di dalam pembuktian, hanya wajib untuk membuktikan fakta
yang dipersengketakan, sedangkan pembuktian masalah hu-
kum nya adalah menjadi kewajiban hakim.
Berdasarkan asas Ius Curia Novit ini, maka pada sistem
hu kum Anglo Saks (common law) dibedakan pemeriksaan
per data ataupun pidana atas:
a. Pertanyaan tentang fakta (Quaestio facti) adalah tugas juri.
b. Pertanyaan tentang hukumnya (Quaestio juris) adalah
tu gas hakim.
Asas Ius Curia Novit ini dianut juga oleh hukum positif
kita di Indonesia, antara lain lihat ketentuan Pasal 14 Ayat 1
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14
Tahun 1970.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata64
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propria Causa
Asas “Nemo Testis Indoneus In Propria Causa” ini berarti
bahwa tidak seorang pun yang boleh menjadi saksi dalam
perkaranya sendiri.
Jadi sudah jelas, bahwa baik penggugat maupun tergugat
sama sekali tidak dibolehkan sekaligus manjadi saksi di da-
lam pembuktian, untuk perkara mereka sendiri.
Saksi sebagai alat bukti, harus didatangkan orang lain
yang bukan pihak dalam perkara yang bersangkutan.
Sehubungan dengan asas ini pun, ada ketentuan yang
me la rang beberapa golongan orang yang dianggap “tidak
mam pu” manjadi saksi (recusatio) adalah:
a. orang yang tidak mampu secara mutlak;
b. orang yang tidak mampu secara nisbi.
ad. 1. Orang yang tidak mampu secara mutlak
Hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai
saksi:
1. keluarga atau dan keluarga sementara menurut garis ketu-
runan yang lurus dari salah satu pihak yang ber perkara.
2. suami atau isteri dari salah satu pihak yang berperkara,
meskipun sudah bercerai.
(lihat pasal-pasal: 145 HIR, 172 RBG, 1910 BW).
ad. 2. Orang yang tidak mampu secara nisb
Mereka ini dapat didengar sebagai keterangannya, tetapi
tidak sebagai keterangan kesaksian:
1. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun.
2. Orang gila, walaupun kadang-kadang ingatannya sehat.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian 65
D. Asas Ultra Ne Petita
Asas “Ultra ne petita” ini adalah asas yang membatasi
ha kim sehingga hakim hanya boleh mengabulkan sesuai
yang dituntut. Hakim dilarang mengabulkan lebih daripada
yang dituntut oleh penggugat.
Berbeda dalam hukum pembuktian pidana di mana
ha kim dapat menyelidiki perkara itu lebih dari fakta yang
ter ungkap oleh jaksa, bahkan kalau perlu saksi yang ke mu-
dian ternyata terlibat dalam tindak pidana itu, dapat ganti
dijadikan terdakwa.
Asas Ne Ultra Petita dalam hukum pembuktian ini mem-
batasi hakim perdata untuk “preponderance of evidence”, hanya
terikat pada alat bukti yang sah. Berbeda dengan hukum acara
pidana, di mana hakim harus “beyond rea sonable doubt”, harus
yakin benar akan kebenaran alat bukti.
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya
suatu asas yag aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas
ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat diperseng-
ketakan.
Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak
mutlak” pihak tergugat. Di mana sebagai contoh:
Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada
si A sejumlah Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali
ti dak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam
pemeriksaan di muka persidangan pengadilan perdata, si B
mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa
ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A.
Hakim berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata66
tidak boleh menolak pengakuan si B, meskipun misalnya,
hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah
ber utang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian
per data, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam
hal pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas
lainnya. (Lihat asas ke VI di bawah ini).
Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama
saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah
Rp 10.000,- kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang
seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.
D. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat
mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki.
Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “De Gus
tibus Non Est Diputandum”, maka dapatlah penulis mem beri
contoh sebagai berikut:
Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No
5 adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara
ini, yang digugat adalah si B, yang kebetulan menguasai rumah
itu. Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan
pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalahmilik si
A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya
menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah
itu sendiri adalah Tuan A.
Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan meru-
pakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas
“Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet” ini,
karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai milik
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian 67
orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu.
Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu
adalah benar milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum
pembuktian diartikan sebagai sumbangan si B kepada si A.
Endnote:
1. Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York,
hlm. 2.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
G. W. Paton1 menyatakan bahwa:
“In a civil case a reasonable preponderance of propability is suicient
for a ferdict, but in criminal case the crown must prove the guilt of
the prisoner beyond reasonable doubt.....”
Dan karena keterikatan hakim perdata akan alat-alat
bukti itulah, sehingga peranan alat bukti dalam proses per-
data sangat menentukan, berbeda dengan hakim pidana yang
“beyond reasonable doubt”.
Masalah alat bukti, seperti halnya dengan masalah pem-
buktian pada umumnya senantiasa merupakan permasalah-
an yang rumit untuk diselesaikan.
Kesukaran itu terutama dapat dilihat pada zaman dahulu
kala pada peradilan yang masih primitif.
Ada tiga kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan pri mi-
tif, sehingga ia hampir-hampir tidak dapat dan tidak mam pu
menyelesaikan masalah pembuktian itu, yaitu:
1. Sebagai akibat kurang mampunya mereka mengadakan
analisis terhadap alat-alat bukti.
ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES PERDATA
Bagian Kelima
Errare Humanum Est, Turpe In Errope Perseverare“Membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik
untuk terus mempertahankan kekeliruan ....”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata70
2. Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu
(per jury) pada masa itu.
3. Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan ke -
mungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak ke -
pentingan warga masyarakat melalui putusannya.
Hal-hal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan
titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tang gung jawab
pu tusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia,
dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui
an caman doa dan siksaan yang dapat me nimpa orang yang
me lakukan sumpah palsu.
Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemerik-
saan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga ba nyak
kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W.
Pato2 bahwa:
“he ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no
evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one
party, but there is always the danger that a weak court my resort to
it, even where there is evidence, in order to avoid either the diiculty
of deciding or the danger which my result from a decision againts a
popular igure.....” Demikianlah juga pendapat dari Diamond3.
Jadi kegunaan yang utama dari sumpah sebagai alat buk-
ti itu, jika di dalam satu kasus memang tidak terdapat alat
bukti lain sama sekali.
Di zaman dahulu, hingga pada tahun 1833 di Inggris
berlaku apa yang dinamai Compurgation (wager of law)
dalam pelaksanaan utang piutang, di mana para pihak di atas
mana diletakkan beban pembuktian (the burden of proof) di-
pe rintahkan untuk bersumpah bersama dengan dua belas
orang saksi yang dipercaya.
Apa yang dimaksudkan sebagai Compurgation dijelas-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 71
kan oleh Peter J. Dorman4 sebagai berikut:
“..... In England, a type of trial in which a defence consisted of the
defendand’s swearing that the claim against him was unfouded and
producing the requisite number (usually eleven) of compurgators, or
oath helpers, to swear that they believed the defendant. he efect of the
defense was a vardict for the devendant. Wager of law or compurgation
was allowed only in cases of debt on simple contract and only on be half of
people of good character. Also called compurgation. Abolished in 1833”.
Mungkin lebih jelas lagi jika kita melihat rumusan
compurgator yang dituliskan Charles F. Hemphill J.R. &
Phillis D. Hamphill5 bahwa:
“..... An individual who takes the witness stand and testiies as a cha
racter witness in favour of someone accused of crime, or for a de
fendant in a civil action.”
Mengapa penulis secara panjang lebar membicarakan
ten tang compurgation atau wager of law ini, karena menurut
para ahli justru compurgation inilah merupakan permulaan
dari “lisensi sumpah palsu”, hal mana kemudian memang se-
kali terjadi dan digunakan orang semata-mata agar ia dapat
mengalahkan gugatan lawannya.
Di zaman dahulu di Eropa, khususnya di Inggris, masih
ada lagi cara-cara untuk pembuktian yang berkaitan dengan
kepercayaan, antara lain:
– Besi yang sangat panas.
– Air.
– Meneguk roti suci.
Yang bagaimana pelaksanaannya secara mendetail, hing-
ga kini masih merupakan teka-teki.
Efektivitas dari alat-alat bukti yang berkaitan dengan ke-
per cayaan itu adalah karena dapat mempengaruhi psikologis
seseorang yang memang merasa bersalah. Sebagai contoh:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata72
ka rena seseorang menyadari bahwa dirinya bersalah, maka
ke tika ia disuruh menelan roti suci untuk membuktikan ke -
ju jurannya dalam menyatakan sesuatu, mulutnya sudah ter-
lebih dahulu kering karena ketakutan, sehingga berakibat
su lit nya ia menelan roti suci itu. Ini sebagai pengaruh psiko-
lo gis dari rasa bersalahnya.
Kemudian karena perkembangan dan kemajuan zaman,
maka dunia peradilan pun khususnya mengenai alat-alat
buk ti nya mengalami kemajuan.
Pembuktian kemudian tidak lagi di serahkan pada Tuhan
Yang Maha Kuasa semata-mata seperti sumpah, tetapi juga
kem bali diserahkan efektivitas manusia dan benda-benda
lain sebagai alat untuk membuktikan, atau yang lazim nya di-
namai “alat bukti” (evidence).
Mulailah peranan alat bukti tertulis atau surat (writings)
men jadi lebih menonjol, khususnya dalam lalu lintas ke per -
dataan. Karena di dalam lalu lintas keperdataan, dua pihak yang
me la kukan perhubungan hukum senantiasa de ngan sengaja
te lah menyiapkan alat bukti terlebih da hulu, seandainya ke-
lak mereka terlibat dalam perselisihan. Dan bukankah ha ki-
kat dari hukum itu sendiri untuk me nye lesaikan konlik ke-
pentingan yang terjadi di dalam masyarakat.
Logika manusia pun mulai digunakan, jika ternyata
alat bukti lain sukar atau tidak ada sam sekali. Maka dikenal
“persangkaan-persangkaan” (prasumption) sebagai alat bukti
yang tidak bersifat langsung.
Di samping itu, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa
manusia pun muncul sebagai salah satu atau beberapa alat
bukti. Ini terlihat dalam alat bukti kesaksian, di mana pihak
ketiga yang terjun kepersengketaan untuk membuktikan
ter jadi atau tidak terjadinya suatu hubungan hukum atau
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 73
pe ristiwa yang dipersengketakan. Juga pihak yang terlihat
lang sung bisa menjadi alat bukti, dalam hal pihak tergugat
me ngadakan pengakuan.
A. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti jelas adalah alat untuk membuktikan ke be-
nar an hubungan hukum, yang dinyatakan baik oleh peng gu-
gat maupun oleh tergugat dalam perkara perdata.
Lebih jelas lagi apa yang dikatakan oleh Milton C. Jacobs6
bahwa:
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence”.
Adapun Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertukusumo, S.H.7 me-
nyatakan bahwa: apakah sesuatu itu merupakan alat bukti,
tidak tergantung apakah sesuatu itu terjadi/diajukan dalam
persidangan, tetapi ditentukan oleh sifatnya dan tidak di tetap-
kan oleh kenyataan apakah sesuatu itu diajukan atau tidak di
persidangan.
Jadi, alat bukti itu adalah sesuatu yang sebelum diajukan
ke persidangan, memang sudah berfungsi sebagai alat bukti.
Sebagai contoh: akta notaris, walaupun belum diajukan ke
muka persidangan, sudah merupakan bukti.
Sering di kalangan yuris sendiri terjadi kesalahpaham -
an, dikiranya yang dimaksudkan sebagai alat bukti itu ha nya -
lah alat bukti tertulis, pada hal tidak demikian halnya, se lain
alat bukti tertulis, pengertian alat bukti masih banyak. Untuk
itu ber ikut ini penulis memberikan klasiikasi alat bukti.
B. Klasiikasi Alat Bukti
Di dalam doktrin atau ilmu hukum, dikenal banyak kla -
siikasi mengenai alat bukti atau evidence ini. Antara lain
beberapa di antaranya penulis kemukakan di bawah:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata74
1. Klasiikasi G. W. Paton8
Alat bukti dapat terbagi atas:
i. Oral
ii. Documentary
iii. Material
Yang dimaksudkan oleh Paton sebagai alat bukti yang
ber sifat oral adalah alat bukti yang diucapkan secara lisan.
Jadi, termasuk kesaksian dan sumpah.
Adapun alat bukti yang tergolong “documentary” ada lah
yang dunia hukum kita Indonesia dinamai “alat bukti tertulis”.
Dan alat bukti “material” adalah alat bukti dalam wu-
jud benda konkret, selain pada alat bukti tertulis. Mengenai
alat bukti “material” ini perlu penulis kemukakan, bahwa
ka dang-kadang suatu surat pun bisa tergolong di dalamnya,
dalam hal surat itu bukan dalam hal fungsi alat bukti tertulis,
melainkan dalam fungsi benda biasa.
Contoh yang paling jelas, jika kita ambil dalam kasus
pidana misalnya selembar surat yang berlumuran darah kor-
ban, dalam hal ini fungsinya sebagai alat bukti “material”, bu-
kan selaku “documentary”
2. Klasiikasi Sir Rolan Burrows9
Klasiikasi yang dikemukakan oleh Sir Roland dalam
bukunya “Phipson on the Law of Evidence” cukup banyak,
antara lain:
a. Pembagian atas alat bukti yang orisinal (original
evidence) dan alat bukti yang tidak orisinal (unoriginal
evidence)
Yang dimaksudkan sebagai original evidence adalah alat
bukti kesaksian, yaitu saksi yang langsung mengucapkan ke-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 75
saksiannya secara lisan di muka persidangan pengadilan.
Yang dimaksudkan “unoriginal evidence” adalah kete-
rangan saksi yang dilakukan secara tertulis.
Buat kita di Indonesia, keterangan saksi yang dilakukan
secara tertulis, tidak termasuk dalam alat bukti “kesaksian”,
tetapi termasuk alat bukti tertulis (istilah lainnya: writing
atau evidence in writing).
b. Pembagian alat bukti primer (primary evidence) dan
alat bukti sekunder (secondary evidence)
Alat bukti primer adalah alat bukti yang diutamakan,
se dangkan alat bukti sekunder adalah alat bukti yang baru
di butuhkan jika alat bukti primer tidak ada.
Dalam hukum acara perdata Indonesia, alat bukti pri-
mernya adalah alat bukti tertulis. Khususnya alat bukti akta
otentik.
c. Pembagian atas “direct evidence” dan “indirect evi dence”
Di Indonesia, yang termasuk alat bukti yang “direct”
ada lah semua alat bukti yang secara langsung dapat dibuk-
ti kan adanya hubungan hukum atau peristiwa yang ingin
di buktikan, jadi tidak berdasarkan kesimpulan belaka. Ka-
rena itu termasuk dalam “direct evidence” adalah: alat bukti
tertulis, kesaksian, sumpah, dan pengakuan.
Adapun “indirect evidence” adalah persangkaan-per-
sang kaan (presumptions).
Indirect evidence ini sering disebut juga “Circumstantial
Evidence” atau juga “Presumptive Evidence”.
Selain dari pembagian di atas, maka dalam ilmu hu-
kum Anglo Saks dikenal lagi cara pengklasiikasian lain yang
menghasilkan istilah-istilah alat bukti lain, yang pen ting di-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata76
ketahui pembaca, terutama calon ilmuwan, agar di da lam mem-
baca literatur hukum Anglo Saks tidak bingung ka renanya.
Yang penulis maksudkan antara lain oleh Edward W.
Cleary10 menyebutkan suatu jenis alat bukti yang disebut
“DE MONSTRATIVE EVIDENCE”. Jika kita bandingkan de-
ngan klasiikasi Paton. Maka “demonstrative evidence” ini
bisa disamakan dengan alat bukti “metrial”
Hamphill11 memberikan suatu deinisi tentang apa yang
di maksud sebagai “demonstrative evidence”, yaitu:
“...Any kind of evidence, or legal proof, other than that given by
oral testimony: evidence that is directed toward the senses such as
sight, touch or smell. A knife found at the scene of a crime, a human
hair cought in the ingernail of the slain ictim, a ingerprint, are all
examples of demonstrative evidence.”
Jadi, “demonstrative evidence” ini merupakan beberapa
macam alat bukti lain selain daripada yang diberikan dengan
kesaksian lisan, pembuktian mana didasarkan pada indra
yang sehat, seperti: penglihatan, sentuhan, atau penciuman.
Sebilah pisau yang ditemukan di tempat terjadinya pembu -
nuhan, sehelai rambut manusia yang melekat pada kuku
ta ngan dari korban pembunuhan, atau suatu sidik jari, se-
mua nya merupakan contoh dari demonstrative evidence. Wa-
laupun contoh-contoh itu dari perkara pidana, tetapi yang
je las pembaca dapat memperoleh gambaran dari contoh itu.
Selain itu, ada lagi yang disebut sebagai “Real Evidence”,
yaitu:12
1. evidence from things as distinct from persons;
2. material object produced for the inspection of the court;
3. perception by the court (or its result) as distinct from the
facts perceived.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 77
Masih ada lagi istilah-istilah lain, seperti second hand
evi dence, extrinsic evidence, conliting evidence, admissible
evi dence, cumulative evidence, dan lain-lainnya.
d. Pembagian menurut Prof. R. Subekti, S.H.13
1. Alat bukti langsung: misalnya alat bukti tertulis dan ke-
saksian.
2. Alat bukti yang tidak langsung: yaitu.
e. Pembagian alatalat bukti menurut undangundang
Undang-undang (BW, HIR, dan R.bg.) pada dasarnya
membagi alat bukti dalam hukum acara perdata atas:
1. Alat bukti tertulis atau surat.
2. Kesaksian.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. pengakuan.
5. Sumpah.
6. Keterangan ahli (expertise).
7. Pemeriksaan setempat (descente).
C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu?
Secara tegas memang undang-undang hanya mengatur
ketujuh alat bukti di atas, tetapi apakah ini berarti tidak ada
alat bukti lain yang dapat digunakan dalam pembuktian per-
data?
Menurut pendapat penulis, dengan diaturnya lima alat
bukti secara tersendiri dalam satu pasal khusus, yaitu Pasal
164 HIR (sama dengan pasal 284 R.bg., Pasal 1866 BW)
mengenai alat bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-per sang-
kaan, pengakuan dan sumpah, baru disusul dengan pasal-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata78
pasal tersendiri mengenai keterangan ahli dan tersendiri lagi
mengenai pemeriksaan setempat, ini membuktikan bahwa
pembuat undang-undang tidak ber maksud secara limitatif
hanya mengakui adanya sejumlah alat bukti tertentu.
Bukti lain adalah dengan dicantumkannya tentang alat
bukti “tongkat berkelar” pada Pasal 1524 BW, yang bukan
merupakan salah satu alat bukti yang tujuh di atas.
Oleh kerana itu, menurut hemat penulis sudah seyogia-
nya dipikirkan mengenai alat-alat bukti baru kini muncul
dalam lalu lintas keperdataan dunia modern, sejauh mana
daya pem buktiannya dalam hukum pembuktian perdata
yang modern dewasa ini.
Alat-alat bukti yang baru muncul itu, misalnya:
a. pembicaraan telepon;
b. testing darah;
c. hasil komputer;
d. fotocopy;
e. rekaman kaset;
f. hasil fotograi;
g. dan sebagainya.
Tentu saja menjadi tugas para ilmuwan hukum untuk mem-
bahas
D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti
Di dalam hal kita mengajukan alat bukti itu ada empat
cara untuk mengajukannya:
a. Mengajukan secara langsung mengenai apa yang harus
dibuktikan. Jadi, pertama ini memperlihatkan pe ris-
tiwanya (tentu saja potongan peristiwa, sebab peris ti-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 79
wanya secara keseluruhan adalah mustahil untuk di-
perlihat kan). Dalam hal cara pertama ini, contohnya:
Si A melempari kaca jendela si B dengan batu merah.
Dalam hal ini si B menuntut ganti rugi atas perbuatan si
A yang menjadi kualiisir sebagai “onrechtmatigedaad”
(Pasal 1365 BW).
Dengan cara pertama, yang dibawa ke persidangan oleh
si B untuk membuktikan perbuatan si A adalah berupa
batu merah yang dijadikan alat mengakibatkan kaca jen-
dela si B pecah.
Jika dihubungkan dengan pengklasiikasian alat bukti,
maka alat bukti yang dapat digunakan dengan cara per-
tama ini adalah “MATERIAL EVIDENCE” atau “DE-
MON STRATIVE EVIDENCE”.
b. Menjadikan surat yang menggambarkan peristiwa yang
lampau. Dalam hal ini contohnya: Si A untuk mem buk-
tikan benar telah terjadi perjanjian jual beli si C, dengan
mengajukan akta jual beli.
Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara kedua ini,
adalah alat bukti tertulis atau surat (writing).
c. Cara ketiga untuk membuktikan adalah dengan men-
datang kan orang-orang tertentu ke muka persidangan
peng adilan untuk memberikan keterangan tentang pe-
ris tiwa.
Sebagai contoh:
Si A untuk membuktikan benar si B-lah yang menabrak
mobilnya, mengajukan tiga orang yang melihat si B me-
nabrak mobil si A dengan mobilnya si B.
Jadi, alat bukti yang digunakan dengan cara ketiga ini ada-
lah alat bukti kesaksian atau expertise (keterangan ahli).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata80
d. Cara keempat untuk membuktikan sesuatu adalah de-
ngan jalan membuktikan hal lain. Biasanya cara ini di-
gu nakan dalam hal membuktikan sesuatu yang sulit
untuk dibuktikan.
Sebagai contoh:
Jika si A ingin membuktikan bahwa pada tanggal 9
November 1952 ia tidak berada di Yogyakarta, adalah
de ngan cara membuktikan bahwa pada tanggal dan
waktu yang bersangkutan, ia berada di Makasar. Jadi
pem buktian cara keempat ini menggunakan alat bukti
per sangkaan-persangkaan (persumptions).
Dari keempat cara untuk membuktikan itu, dapat kita
simpulkan ke dalam dua kelompok:
1. Cara pembuktian langsung: yaitu cara pertama, kedua,
dan ketiga.
2. Cara yang membuktikan tidak langsung: yaitu cara ke-
empat.
E. Kekuatan Pembuktian (Vis Probandi) dari Alat-alat Bukti
Setelah para pihak mengajukan alat buktinya, maka
adalah tugas hakim untuk mengadakan penilaian terhadap
alat bukti, sejauh mana kekuatan alat bukti itu berdasarkan
ketentuan yang berlaku.
Ada lima jenis kekuatan pembuktian atau daya bukti
dari alat bukti, yaitu:
1. Kekuatan pembuktian yang sempurna, yang lengkap
(vol ledig bewijsracht).
2. Kekuatan pembuktian lemah, yang tidak lengkap (on
volledig bewijsracht).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 81
3. Kekuatan pembuktian sebagian (gedeeltelijk bewijsracht).
4. Kekuatan pembuktian yang menentukan (beslissende
be wijsracht).
5. Kekuatan pembuktian perlawanan (tegenbewijs atau
kracht van tegen bewijs).
Baiklah kita akan meninjau satu persatu kekuatan pem buk-
tian di atas.
Ad. 1. Kekuatan pembuktian sempurna
Kekuatan pembuktian sempurna ini adalah kekuatan
yang memberi kepastian yang cukup kepada hakim, kecuali
kalau ada pembuktian perlawanan (tegenbewijs) sehingga
ha kim akan menberi akibat hukumnya.
Contoh: Akta.
Jadi, dalam hal ini bilamana akta tersebut digunakan
sebagai alat bukti dan akta ini berisi perjanjian jual beli, pihak
penggugat telah berhasil membuktikan dengan akta tersebut
bahwa benar ada perjanjian jual beli antara penggugat dan
tergugat. Dan bila tergugat menyangkali kebenaran itu, ter-
gugatlah yang dibebani pembuktian untuk membuktikan ti-
dak adanya perjanjian.
Yang penting digarisbawahi dalam hal kekuatan pem-
buktian sempurna ini adalah alat bukti sudah tidak perlu di-
lengkapi dengan alat bukti lain, tetapi masih memungkinkan
pembuktian lawan.
Suatu contoh bahwa kekuatan pembuktian sempurna
ma sih dapat dilawan dengan pembuktian lawan adalah ka-
sus yang pernah terjadi di dunia peradilan.
Seorang juru sita telah mendapat tugas melakukan pe-
mang gilan terhadap penggugat yang bernama Tuan B. Kemu-
dian di dalam pemeriksaan ternyata Tuan B tidak datang,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata82
padahal di dalam pemeriksaan itu relas panggilan dihaturkan
sebagai bukti, bahwa Tuan B telah dipanggil secara patut
untuk menghadap pada sidang tersebut, di mana dalam relas
panggilan itu juga telah disebutkan bahwa juru sita telah
ber temu dengan Tuan B sendiri. Pada hari persidangan itu
tergugat Tuan C telah hadir, sehingga hakim tidak ragu lagi
dan menggugurkan gugatan karena ketidakhadiran penggu-
gat (Tuan B). Tetapi setelah putusan dijatuhkan, beberapa hari
kemudian datanglah Tuan B kepengadilan itu menanyakan
kapan perkaranya disidangkan. Ternyata juru sitanya sama
se kali tidak pernah bertemu dengan si penggugat ini, karena
hari itu si penggugat baru saja tiba dari luar negeri.
Si B selaku penggugat dapat membuktikan keberadaan-
nya di luar negeri selama waktu-waktu pemanggilan hingga
peng guguran perkaranya. Pemeriksaan kemudian diadakan
ter hadap juru sita itu dan ternyata juru sita itu sesungguhnya
tidak pernah memanggil Tuan B selaku penggugat. Akibat-
nya ketua pengadilan negeri tersebut melakukan tindakan ad-
ministratif terhadap juru sita tersebut, dan untuk penggugat
dianjurkan untuk mengajukan gugatan baru.
Dari contoh di atas, ternyata bahwa kekuatan bukti sem-
purna masih dapat digugurkan dengan kekuatan pembukti-
an lawan yang kuat.
Demikian juga dalam hal akta notaris, jika pada minuut
yang disimpan oleh notaris terdapat tanda-tangan palsu dan
perihal kepalsuan tanda tangan tersebut dapat dibuktikan, maka
gugurlah kekuatan pembuktian dari akta notaris ter sebut.
Kekuatan pembuktian sempurna itu, juga memiliki daya
berlaku yang terbatas, sebagai contoh: kekuatan pembuktian
sempurna dari akta autentik yang bersifat akta partij itu
hanya berlaku bagi kedua pihak atau ahli warisnya serta
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 83
orang-orang yang memperoleh hak dari mereka.
Terhadap pihak ketiga, kekuatan pembuktian sempurna
dari suatu akta autentik adalah tidak berlaku. Dari suatu akta
autentik, kekuatan yang berlaku bagi pihak ketiga hanyalah
kekuatan pembuktian bebas, artinya kekuatannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim sepenuhnya.
Berbeda dengan kekuatan pembuktian yang menentu-
kan, tidak memungkinkan pembuktian perlawanan.
ad. 2. Kekuatan pembuktian lemah
Kekuatan pembuktian lemah atau tidak lengkap ini ada-
lah tidak memberikan kepastian yang cukup, sehingga hakim
tidak memberikan akibat hukum hanya atas dasar alat bukti
yang lemah. Gugatan yang hanya didasarkan pada alat bukti
demikian itu harus ditolak.
ad. 3. Kekuatan pembuktian sebagian
Kekuatan pembuktian sebagian ini memang sepintas lalu
mirip dengan kekuatan pembuktian lemah, tetapi berbeda.
Untuk menjelaskan sekaligus penulis memberikan con-
toh untuk keduanya:
Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang ke -
pada si A sejumlah Rp 1000.000,- pada tanggal 1 januari
1978, dan dengan perjanjian utang itu akan dibayar oleh si B
paling lambat tanggal 27 Maret 1981.
Dalam kasus ini, ternyata si A hanya dapat mangajukan
alat bukti berupa satu orang saksi saja, padahal berdasarkan
asas kesaksian UNUS TESTIS NULLUS TESTIS, kesaksian
demikian tidak dapat diterima sebagai kesaksian, karena
SATU SAKSI BUKAN SAKSI.
Apakah kekuatan pembuktian itu lemah atau merupakan
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata84
kekuatan pembuktian sebagian, tergantung dari tanggapan
tergugat.
a. Jika tergugat menyangkali sama sekali gugatan si A, jadi
si B menyatakan bahwa si B sama sekali tidak pernah
ber utang kepada si A dalam jumlah berapa pun, maka
ke kuatan pembuktian si A itu bersifat lemah dan karena-
nya harus ditolak.
b. Adapun si B selaku tergugat menyangkali sebagian, te-
tapi mengakui bagian, jadi misalnya si B mengakui bah-
wa benar ia telah berutang pada si A sejumlah yang di-
gu gat oleh si A, yaitu Rp 1000.000,- tetapi tidak benar si
B menjanjikan untuk dibayar paling lambat tanggal tang-
gal 27 Maret 1981, melainkan tanggal 9 November 1982,
inilah yang merupakan kekuatan pembuktian sebagian.
ad. 4. Kekuatan pembuktian menentukan
Kekuatan pembuktian yang bersifat menentukan ada lah
kekuatan pembuktian yang tidak memungkinkan pembuk-
tian perlawanan sama sekali. Jadi, inilah bedanya dengan ke-
kuatan pembuktian sempurna, yang masih memungkinkan
pembuktian lawan.
Contoh dari alat bukti yang mempunyai kekuatan pem-
buktian yang menentukan adalah alat bukti SUMPAH.
ad. 5. Kekuatan pembuktian perlawanan
Kekuatan pembuktian perlawanan adalah kekuatan dari
alat bukti yang melumpuhkan pembuktian dari pihak lawan.
Sebagai contoh:
Si A menggugat si B bahwa pada tanggal 15 Agustus
1960, si B telah menabrak mobil si A yang diparkirkan di
depan toko buku Hidayat di Jl. G. Lampobatang 5 Ujung pan-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 85
dang, sehingga mobil si A rusak berat, si A mengajukan tiga
orang saksi untuk membuktikan gugatannya itu.
Tetapi si B mengajukan pembuktian perlawanan, dengan
mengemukakan sejumlah alat bukti bahwa pada tanggal 14
Agustus 1960 hingga tanggal 17 Agustus 1960, ia tidak berada
di Ujungpandang tetapi berada di luar negeri.
F. Bagaimana Kekuatan dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk Buku IV BW)
Pada umunya mengakui, bahwa alat bukti selain: alat
bukti tertulis, kesaksian, persangkaan-persangkaan, peng-
aku an, dan sumpah, maka di luar dari itu masih ada alat
bukti lain, misalnya expertise (keterangan ahli) dan descente
(pe meriksaan setempat) yang juga diatur dalam HIR.
Tetapi, selain expertise dan descente biasa masih diper-
debatkan. Misalnya antara lain:
a. fotokopi;
b. kaset;
c. gramaphone (phonograph)’
d. potret;
e. ilm;
f. radar;
g. komputer;
h. televisi;
i. tes darah;
j. dan sebagainya.
Mengenai alat bukti di atas, pada umumnya kekuatan
pem buktiannya adalah kekuatan pembuktian bebas, artinya
di serahkan sepenuhnya kepada pertimbangan hakim.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata86
Pada dasarnya alat-alat di atas dapat merupakan alat
bukti jika merupakan suatu objek jual beli, misalnya per-
janjian jual beli televisi atau kaset. Dalam hal ini televisi atau
ka set ini dapat dijadikan alat bukti jika terjadi persengketaan
me ngenai perjanjian itu.
Adapun jika alat-alat itu bukan sebagai objek, melainkan
untuk membuktikan suatu peristiwa, misalnya:
Si X seorang suami mengugat bercerai untuk si Z istri-
nya, yang digugatnya telah melakukan perzinaan dengan le-
laki si B, sebagai alat bukti untuk membuktikan bahwa istri-
nya telah berzina dengan si B, maka si X mengajukan ka set
yang berisikan suara rekaman, suara-suara erotik saat si Z
bercumbu dengan si B di dalam kamar. Atau si X meng aju-
kan ilm yang menunjukkan adegan persetubuhan antara
si Z dan si B yang di ilmnya secara diam-diam tanpa se pe-
ngetahuan istrinya si B.
Dalam hal ini, alat bukti kaset atau ilm itu kekuatan
pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim.
Kalau hakim memastikan bahwa adegan ilm atau suara kaset
itu asli atau gambar dari si Z dan B, maka hakim akan me nerima
alat bukti itu. Tetapi jika hakim meragukan, karena kaset, ilm,
dapat dimanipuasi dengan trik-trik tertentu, maka alat bukti itu
ditolak. Demikian juga fotokopi, biasanya baru diterima selaku
alat bukti jika sudah dilegalisir oleh pengadilan bahwa benar-
benar fotokopi itu sesuai dengan aslinya. Jadi aslinya harus
di bawa dahulu untuk disesuaikan dengan kopinya, barulah
kopi itu bisa dijadikan sebagai alat bukti. Hal ini pun masuk
akal, karena memang fotokopi paling gampang di manipu lasi,
sehingga sama sekali berbeda dengan aslinya.
Jadi kesimpulannya, bahwa pada dasarnya alat-alat buk-
ti hasil teknologi modern itu memberi kekuatan pem buk -
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 87
tian bebas kepada hakim yang memeriksa perkara yang ber-
sangkutan.
G. Teori-teori Pembuktian
Sejauh mana hakim itu seyogianya diikat oleh hukum
positif di dalam perkara perdata, ada tiga teori yang paling
berbeda:
1. Teori negatif.
2. Teori positif
3. Teori bebas.
ad. 1. Teori negatif
Teori negatif ini menginginkan adanya ketentuan-ke-
ten tuan yang mengikat bagi hakim di dalam pembuktian.
Ke tentuan-ketentuan tersebut bersifat “larangan-larangan
bagi hakim yang merupakan pembatasan bagi kebebasan ha-
kim di dalam pembuktian.
ad. 2. Teori positif
Teori Posotif ini menginginkan adanya ketentuan-ke-
ten tuan yang mengikat hakim, selain berupa “larangan-la-
rangan” juga berupa perintah-perintah.
ad. 3. Teori bebas
Teori ini menginginkan hakim sama sekali tidak diikat
dengan hukum positif tertulis dalam hal pembuktian, tetapi
penilaian pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada pe r-
tim bangan hakim.
Kelihatannya Keneth Culp Davis14 salah satu pengikut
yang menginginkan kebebasan hakim dalam hal pembuktian,
terlihat dalam pandangan di bawah ini mengenai beban
pembuktian:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata88
“he concept of burden of proof or burden of going forward is almost
always irrelevant to the judge’s assumption of extra record fact in
his thinking about pleadings, evidence, law, policy, or discreation.
At every step the judge uses relevant portions of his education and
experience, and he does not conine his thinking in anymold such as
burden of proof ….”
Kenneth Culp Davis mengikuti pendapat hayer dan
Nigmore.
Kenneth Culp Davis menampakkan kecenderungannyaa
bahwa sebaiknya hakim di dalam setiap langkahnya adalah
menggunakan hasil pendidikan yang pernah diperolehnya
serta hasil pengalamannya sendiri, dan tidak dibatasi dengan
pemikiran-pemikiran yang mengikat, misalnya ke tentuan-
ketentuan mengenai beban pembuktian.
Selain Kenneth Culp Davis, maka masih banyak ahli
hu kum yang menganut teori bebas itu, mungkin tidak pada
ma salah beban pembuktiannya tetapi pada masalah pem-
buk tian lainnya.
Tentu saja masing-masing teori ada kelemahan dan ada
kelebihannya.
Kebaikan jika hakim bebas dalam pembuktian.
1. Dengan kebebasan dapat menutupi keku rangan hakim
akan pengetahuan mengenai penguasaan undang-un-
dang. Terutama bagi hakim yang kebetulan “kurang begitu
senang membaca dan belajar”, memudah kan dirinya jika
tidak diikat oleh hukum positif dalam hal pembuktian.
2. Dalam hal menilai keterangan kesaksian, maka jika ha-
kim bebas, hakim dapat melakukan penilaian secara
“ka rakter evidence” pada pribadi saksi, sehingga bagi
saksi yang tidak dapat dipercayai hakim bebas untuk
me lakukan penilaian sendiri.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 89
3. Dengan memberi hakim kebebasan di dalam pembukti an,
maka perkembangan hukum pembuktian kita akan lebih
cepat daripada harus menunggu proses perkembangan
hu kum tertulis yang tentu jauh lebih lamban, dari per-
kembangan hukum tidak tertulis. Dengan demikian
ha kim dalam putusannya dapat lebih menyesuaikan de-
ngan kebutuhan hukum warga masyarakat.
Kelemahan jika hakim bebas dalam pembuktian.
Tentu saja kelemahan yang paling mungkin dan paling
mencolok adalah “BELUM SIAPNYA” mental dan pe ngua-
saan ilmu hukum sebagian besar hakim kita di Indonesia
untuk menilai pembuktian itu secara terlalu bebas, terutama
ke sewenang-wenangan dapat terjadi karenanya.
Sehubungan teori pembuktian bebas yang mengingin-
kan hakim bebas dalam pembuktian, timbul pertanyaan,
dalam hal apa saja penganut teori pembuktian bebas itu
meng inginkan hakim bebas dalam masalah pembuktian nya?
Ja wabannya adalah:
1. Kebebasan hakim dalam hukum pembuktian merupa-
kan kebebasan di dalam menerima alat-alat bukti.
Sebagaimana diketahui bahwa di dalam hukum pem-
buk tian ada yang disebut “ADMISSIBILITY”, yaitu da-
pat tidaknya diizinkan suatu alat bukti tertentu dalam
pe ris tiwa tertentu. Jadi, hakim diberikan kebebasan se-
penuhnya untuk menentukan kapan alat bukti tertentu
digunakan.
2. Penilaian yang mandiri oleh hakim. Dalam hal ini ha-
kim mempunyai posisi yang objektif dan penilaiannya
objek tif pula. Dengan kebebasan yang lebih, hakim da-
pat melakukan penilaian yang mandiri.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata90
3. Penilaian secara mandiri pula ke arah kebenaran yang
sebenarnya dari peristiwanya.
Pendapat pribadi penulis sendiri tentang kebebasan ha-
kim ini adalah jika kita menginginkan menganut teori pem-
buktian bebas, maka untuk menjaga kepastian hukum dalam
memberikan kebebasan hakim, juga sedikit demi sedikit kita
harus mengarah kepada sistem “presedent”, yaitu mengikuti
putusan hakim yang terlebih dahulu. Karena di dalam sistem
Anglo Saks, yang mana hakimnya tidak terikat pada undang-
undang seperti sistem kontinental, lalu mengikatkan diri
pada “presedent”.
Setiap sistem hukum mempunyai cara sendiri untuk
mem pertahankan kepastian hukumnya. Sistem Anglo Saks
tidak diikat oleh undang-undang, tetapi diikat lagi oleh pre
sedent. Sistem kita di Indonesia pada hakikatnya tidak diikat
oleh presedent, tetapi diikat oleh ketentuan undang-undang.
Sebab bagaimana pun hakim tidak boleh dibiarkan terlalu
bebas, mengingat bahaya kebebasan itu pun banyak sekali,
apa lagi dalam negara yang masih berkembang seperti kita, di
mana masih banyak faktor-faktor kultur, maupun ekonomis
yang memengaruhi objektivitas hakim.
H. Alat Bukti Tertulis (Surat)
Walaupun dalam Buku II dan seterusnya penulis akan
membahas secara mendetail setiap jenis alat bukti, tetapi
dalam buku I ini pun tetap penulis akan mengutarakan secara
garis besarnya beberapa alat bukti yang lazim digunakan
dalam hukum pembuktian perdata, termasuk pertama-tama
ini alat bukti tertulis atau surat (geschrit, writings).
Suatu alat bukti termasuk sebagai alat bukti tertulis atau
surat jika memenuhi tiga unsur berikut ini:15
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 91
1. Harus memuat tanda-tanda bacaan.
2. Bermaksud untuk mencurahkan isi hati atau untuk me-
nyampaikan buah pikiran seseorang.
3. Sengaja dibuat untuk digunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti tertulis atau surat ini dapat digolongkan ke
dalam tiga jenis:
1. Akta autentik.
2. Akta dibawah tangan.
3. Surat-surat lain yang bukan akta.
Secara lebih umum, dapat dipersempit pembagian itu
menjadi:
1. akta.
2. bukan akta.
Pengertian akta
Akta adalah alat bukti tertulis yang diberi tanda tangan
serta memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari
suatu perikatan, atau menjadi dasar dari suatu hak dengan
ketentuan bahwa sejak semula akta ini sengaja dibuat untuk
pembuktian.
Jadi dapatlah kita menemukan 3 unsur yang harus ter-
dapat pada suatu akta, entah itu akta otentik, maupun akta di
bawah tangan, yaitu:
1. harus ada tanda tangan.
2. harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
dari suatu perikatan atau menjadi dasar dari suatu hak.
3. harus sejak dibuatnya sengaja dimaksudkan untuk pem-
buktian.
Akta itu sendiri terbagi lagi atas dua macam, yaitu:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata92
a. Akta autentik: yaitu akta yang dibuat oleh atau di ha-
dapan pejabat yang berwenang untuk itu.
b. Akta di bawah tangan: yaitu akta yang sengaja dibuat
untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari
pejabat yang berwenang.
Pengertian surat yang bukan akta
Yang termasuk dalam surat-surat yang bukan akta ada lah
semua alat bukti tertulis yang memenuhi unsur untuk ada nya
alat bukti tertulis, tetapi tidak memenuhi unsur-unsur untuk
diakuinya sebagai suatu akta. Lihat pendapat penulis.16
I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony)
Menurut penulis, kesaksian adalah alat bukti yang dibe-
ritahukan secara lisan dan pribadi oleh saksi, yang bukan
pihak dalam perkara tersebut, untuk memberikan kepastian
kepada hakim di muka persidangan tentang peristiwa yang
di persengketakan.
Dengan demikian, unsur yang harus ada pada alat bukti
kesaksian adalah:
1. Keterangan kesaksian itu diucapkan sendiri oleh saksi
secara lisan di muka persidangan.
2. Tujuannya untuk memberi kepastian kepada hakim ten-
tang peristiwa yang dipersengketakan.
3. Saksi itu bukan salah satu pihak yang beperkara.
Sesuai dengan pengertian di atas, jelaslah bahwa kete rang-
an yang diberikan secara tertulis oleh saksi bukan alat bukti ke-
saksian, melainkan bernilai alat bukti tertulis atau surat.
Mengenai keterangan yang diberikan oleh saksi itu, atau
yang dinamai “keterangan kesaksian” haruslah mengenai apa
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 93
yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri oleh saksi.
Sehingga keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga
atau “testimonium de auditu” pada umumnya tidak di per-
kenankan. Asas dari kesaksian ini adalah: “UNUS TESTIS
NULLUS TESTIS”, satu saksi bukan saksi. Ini berarti bahwa
jika hanya ada satu kesaksian, maka tidak boleh diterima
sebagai alat bukti. Minimal harus ada dua kesaksian.
Keterangan satu orang saksi, kalau keterangan itu dapat
dipercayai oleh hakim, barulah dapat menjadi alat bukti
sempurna jika dilengkapi alat bukti lain.
Pembahasan secara mendetail mengenai kesaksian ini,
akan penulis bahas dalam Buku III Seri Hukum Pem buktian
ini, dalam satu buku tersendiri.
J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan
Menurut E. W. Cleary17 persangkaan-persangkaan atau
PRE SUMTIONS adalah:
“he slipperiest member of the family of legal terms....”
Persangkaan-persangkaan itu adalah merupakan alat buk-
ti yang tidak langsung, karena dengan persangkaan-per sang ka-
an kita menarik kesimpulan dari peristiwa yang telah terbukti
ke arah peristiwa yang belum terbukti. Sebagai contoh: si
Chika terbukti ada di Makasar pada tanggal 9 November 1952,
berarti dari peristiwa yang telah terbukti di atas, kita menarik
kesimpulan bahwa karena si Chika ada di Makasar, tentunya si
Chika tidak berada di New York pada saat yang sama itu.
Menurut Ch. J. Enschede18 persangkaan-persangkaan ini
merupakan pembuktian yang bersifat sementara.
Dalam hukum positif kita di Indonesia, dapat dibedakan
dua jenis persangkaan:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata94
1. persangkaan-persangkaan menurut hakim.
2. persangkaan-persangkaan menurut undang-undang.
ad. 1. Persangkaanpersangkaan menurut hakim (pre sum-
tions facti, rechterlijke vermoedens)
Adalah persangkaan-persangkaan yang dilakukan oleh
hakim, berdasarkan kenyataan. Jadi hakimlah yang membuat
jenis persangkaan-persangkaan ini.
ad. 2. Persangkaanpersangkaan menurut undangundang
(presumptions juris, rechtsvermodens).:
Adalah persangkaan-persangkaan yang ditentukan oleh
undang-undang sendiri, dibagi lagi atas dua jenis:
a. Yang masih memungkinkan pembuktian lawan (presum
ptions juris tantum).
b. Yang tidak memungkinkan pembuktian lawan (presum
tiones juris et de jure).
Perbedaan antara persangkaan-persangkaan menurut
ha kim dan persangkaan-persangkaan menurut undang-un-
dang adalah:
a. Persangkaan-persangkaan menurut undang-undang
su dah ditetapkan terlebih dahulu sebelum peristiwa
konkret terjadi.
b. Persangkaan-persangkaan menurut hakim ditetapkan oleh
hakim, setelah adanya peristiwa konkret yang terjadi.
Penjelasan secara lebih luas tentang persangkaan-per sang-
kaan ini akan akan penulis bahas dalam Buku IV Seri Hu-
kum Pembuktian ini dalam satu buku tersendiri.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 95
K. Pengakuan (Confession, Bekentenis)
Pengakuan sebagai alat bukti ada tiga macam:
1. Pengakuan murni (aveu pur et simple).
2. Pengakuan dengan kualiikasi (aveu qualiie).
3. Pengakuan dengan klausuls (aveu complexe).
Penulis menjelaskan masing-masing dari ketiga jenis
peng akuan di atas:
ad. 1. Pengakuan murni:
Pengakuan tergugat mengenai seluruh isi gugatan peng-
gugat. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang
kepada sejumlah Rp 100.000,-, kemudian si B mengakui
bahwa benar ia telah berutang sejumlah Rp 100.000,- kepada
si A.
ad. 2. Pengakuan dengan kualiikasi:
Pengakuan tergugat tetapi disertai dengan sangkalan ter-
hadap sebagian gugatan. Contoh: Si A menggugat si B, bahwa
si B telah membeli rumahnya seharga Rp 45.000.000,- dan
belum dibayar oleh si B. B me ngakui telah membeli rumah
si A, tetapi bukan seharga Rp 45.000.000,- melainkan hanya
Rp 30.000.0000,-.
ad. 3. Pengakuan dengan klausul:
Pengakuan tergugat yang disertai dengan klausul yang
bersifat membebaskan. Contoh: Si A menggugat bahwa si B
telah membeli rumah si B seharga Rp 50.000.000,- dan belum
di bayar oleh si B. Kemudian si B mengakui, bahwa benar ia
telah membeli rumah si A seharga Rp 50.000.000,- tetapi ia
telah membayarnya lunas.
Baik pengakuan dengan kualiikasi maupun pengakuan
dengan klausul harus diterima secara bulat oleh hakim,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata96
tidak bias dipisahkan dari keterangan tambahannya. Hal
ini berdasarkan asas pengakuan “ONSPLITSBARE AVEU”
(peng akuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan).
Ulasan yang lebih mendetail tentang pengakuan, akan
dibahas secara tersendiri dalam Buku V Seri Hukum Pem-
buktian ini.
L. Sumpah sebagai Alat Bukti
Sebagaimana kita ketahui bahwa fungsi sumpah itu ada
dua:
1. Sebagai alat bukti yang termasuk dalam sumpah asser
toir, yaitu sumpah untuk memberi keterangan guna me-
neguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak.
2. Sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak melakukan
sesuatu, yang disebut sumpah promissoir, misalnya: sum-
pah seorang saksi. Jadi di sini, kesaksiannya yang alat bukti,
bukan sumpah itu sendiri yang hanya merupakan janji.
Sumpah sebagai alat bukti, yang umum dikenal adalah
tiga jenis:
1. Sumpah decisoir (sumpah pemutus)
2. Sumpah supletoir (sumpah pelengkap).
3. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksiran).
ad. 1. Sumpah decisoir
Sumpah decisoir ini adalah sumpah yang dibebankan ke-
pada salah satu pihak atas permintaan salah satu pihak lainnya.
Jadi, misalnya si penggugat meminta agar tergugat ber-
sum pah. Sumpah decisoir ini dapat dibebankan walaupun
tidak ada pembuktian sama sekali. Dan pembebanan sum-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Alat-Alat Bukti Dalam Proses Perdata 97
pah de cisoir ini dapat dilakukan pada setiap saat selama pe-
me rik saan di persidangan.
Sumpah decisoir ini mempunyai kekuatan pembuktian
yang menentukan (Beslissende bewijskracht). Jadi tidak me-
mung kinkan lagi pembuktian lawan (tegen bewijs).
Isi sumpah decisoir harus mengenai hal ini yang po kok dan
bersifat menyelesaikan persengketaan (LITIS DECI SOIR).
ad. 2. Sumpah supletoir
Sumpah supletoir ini adalah sumpah pelengkap, yang ber-
sifat melengkapi alat bukti yang sudah ada tetapi belum cukup.
Sumpah supletoir ini diperintahkan oleh hakim karena
jabatannya (ex oicio). Jadi misalnya hanya ada satu saksi
saja, padahal ada asas “UNUS TESTIS NULLUS TESTIS”,
maka untuk melengkapinya pihak yang mengajukan satu
saksi saja, di perintahkan oleh hakim untuk bersumpah.
Kepada pihak mana hakim memerintahkan untuk ber sum-
pah supletoir adalah tergantung pertimbangan hakim. Sum pah
supletoir ini masih memungkinkan pembuktian lawan.
ad. 3. Sumpah aestimatoir:
Sumpah aestimatoir ini adalah sumpah yang dipe rin-
tahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat un-
tuk me nen tukan jumlah uang ganti rugi yang dituntutnya.
Sumpah aestimatoir ini baru dibebankan hakim kepada
peng gugat, jika penggugat telah berhasil membuktikan hak-
nya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya masih simpang siur.
Kekuatan pembuktiannya sama dengan sumpah sup le-
toir, bersifat sempurna tetapi masih memungkinkan pem-
buk tian lawan.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata98
Endnote:
1. G. W. Paton. “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford, at the
Clarendon Press 1964, hlm. 545.
2. Ibid, hlm. 541.
3. A. B. Diamond. “Primitive Law”. Second editions, ch. xxx.
4. Peter J. Dorman. “Dictionary of Law”. Running Press, Phiadelphia,
Pennsylvania, USA, 1976. hlm. 37.
5. Charles F. Hemphill, J.R. & Phylle D. Hemphil. “he Dictionary of
Practical Law”. Prentice-hall, Inc. Englewood Clifs”, 1975 hlm. 49.
6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York,
1949, hlm. 1.
7. Prof. Dr. R.M. Sudik Mertokusumo S.H. “Kuliah Hukum Acara
Perdata untuk Program S-II Hukum Keperdataan Universitas
Gajah Mada Yogyakarta, Tahun 1982.
8. G. W. Paton. Op.Cit., hlm. 542.
9. Sir Roland Burrows. “Phipson on the Law of Evidence”. Ninth
Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952, hlm. 2, 3 dan 4.
10. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law or Evidence”.
Second Edition, St. Paul, Minn, West Publishing Co. 1972, hlm.
524-529.
11. Charles F. Hemphill, J.R… Opcit., hlm. 61.
12. Sir Roland Burrows. Op.Cit., hlm. 3.
13. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradnya-
paramita. Jakarta, 1978, hlm. 22. 14. Kenneth Culp Davis “A System Judicial Notice Based on Fairness
and Convenience”. Termuat dalam “perpective of law” Essay for
Austim Wakeman Scott, (Ad. Rescoe Pound dkk.), Little Brown
Company, Boston, Toronto, USA, 1964, hlm. 79.
15. Ahmad Ali. “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis,
serta Peranan dan Perkembanganya dalam Hukum Acara Perdata”.
(Makalah untuk Program S-II Universitas Gajah Mada Yogyakarta
1982), hlm. 32.
16. Ibid., hlm. 33.
17. E. W. Cleary. Op.Cit., hlm. 803.
18. Ch. J. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 af1.
5/6 hlm. 488.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Untuk mengetahui arti dan pengertian dari “Beban Pem-
buktian” (Burden of Proof, Bewijslast), terlebih dahulu kita
harus mengerti arti perkataan “bukti” (proof) itu dahulu.
Menurut Edward W. Cleary:1
“Proof, is an ambiguous word. We sometimes use it to mean evidence,
such as testimony or documents. Sometimes, when we say a thing is
“proved” we mean that we are convinced by the data submitted that
the alleged fact is true. hus, “proof ” is the end result of conviction or
persuasion produced by the evidence….”
Jadi, E. W. Cleary melihat arti perkataan “bukti” itu ber-
sifat rangkap. Di mana arti bukti itu bisa dua pengertian:
1. Sebagai alat bukti, misalnya kesaksian, dokumen, dan
lain-lain.
2. Sebagai terbukti, yang berarti bahwa kita meyakini akan
data yang diberikan tentang suatu fakta itu adalah me-
mang benar.
Sehingga E. W. Cleary menyimpulkan, bahwa perkataan
PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN
Bagian Keenam
Ut Sementem Feceris, Ita Meted“Siapa yang menanam sesuatu, dialah juga yang akan
memetik hasilnya.”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata100
“bukti” berarti hasil akhir dari keyakinan atau persuasi yang
diprodukkan oleh alat bukti.
Dari pengertian “bukti” di atas, E. W. Cleary bertitik tolak
untuk memberikan pengertian tentang “beban pembuktian”
itu sendiri sebagai berikut:2
“....he term encompasses two separate burdens of proof. One burden
is that of producing evidence satisfactory to the judge, of a particular
fact in issue. he second is the burden of persuading the trier of fact
that the alleged fact is true....”
Jadi menurut Cleary di atas, dapat dibedakan adanya
dua beban pembuktian yang terpisah, yaitu:
1. Beban untuk mengajukan alat bukti yang dapat me muas-
kan hakim, tentang suatu fakta tertentu (the burden of
pro ducing evidence).
2. Beban untuk meyakinkan “the trier of fact” bahwa apa
yang diajukan adalah benar (the burden of persuasion).
Lebih jauh Cleary menuliskan bahwa:3
“he burden of producing evidence on an issue means the liability to
an adverse ruling (generally a inding or directed verdict) if evidence
on the issue has not been produced. It Is usually cast irst upon the
par ty who has pleaded existence of the fact, but as we shall see, the
burden may shit to the adversary when the pleader has discharged
his initial duty. he burden of pruducing evidence is a critical mecha
nism in a jury trial, as it empowers the judge to decide the case wi
thout jury consideration when a party fails to sustain the bur den”.
Kemudian selanjutnya Cleary menjelaskan lagi bahwa:4
“he burden of persuasion becomes a crucial factor only if the parties
have sustaine a their burdens of producing evidence and only when
all of the evidence has been introduced...”
Jadi, yang terpenting dari uraian Cleary di atas adalah
bahwa:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pengertian Beban Pembuktian 101
a. Beban untuk mengajukan alat bukti merupakan “a cri
tical mechanism” di dalam peradilan juri.
b. Beban untuk mengajukan alat bukti walaupun pada ha-
ki katnya adalah kewajiban penggugat tetapi dapat ber-
pindah ke pihak lawan.
c. Beban untuk dinilai (burden of persuasion) barulah men-
jadi faktor yang berarti jika para pihak sudah mengaju-
kan alat buktinya.
Selain E. W. Cleary, maka beberapa ahli hukum lain
mem berikan batasan pengertian tentang beban pembuktian,
antara lain Charles F. Hemphill J.R. dan Phyllis D. Hemphill5
yang menuliskan bahwa:
“he burden of proof is:
1. In evidence law, the obligation or necessity to prove those facts
in dispute in the trial of a lawsuit. Most courts say that the
burden of proof involves two obligations:
a. the duty of producing evidence as the trial progresses,
and;
b. establishing the truth of the claim by a preponderance of
the evidence.
2. In a criminal prosecution, the burden of proof is on the pro
secutor (on the government) to prove all material issues that
may be in doubt. his is an airmative duty. At the outset of the
trial, the defendant has no duty to prove innocence.”
Jadi, pada dasarnya kedua ahli hukum ini pun sependapat
dengan E. W. Cleary yang memberi dua artian tentang beban
pem buktian itu. Pertama bahwa di dalam hukum pembukti-
an, fakta tentang persengketaan di buka persidangan di mana
pada umumnya pengadilan berpendapat bahwa beban pem-
buk tian meliputi dua kewajiban:
a) Kewajiban untuk mengajukan alat bukti ke muka persi-
dangan pengadilan; dan
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata102
b) Kewajiban untuk membuktikan kebenaran dari tun tut-
an itu dengan alat bukti yang benar-benar me ya kinkan.
Adapun pengertian kedua yaitu dalam hukum pi dana, be-
ban pembuktian itu ada pada jaksa (dalam hal ini me wa kili
pemerintah) untuk membuktikan semua hal yang berkaitan
dengan tuntutan pidana yang mungkin masih meragukan.
Kewajiban mana merupakan kewajiban yang sifatnya air-
ma tif. Dan para permulaan pemeriksaan di muka per si dang-
an pengadilan, tidak ada kewajiban terdakwa untuk mem-
buktikan ketidakbersalahannya.
Berbeda dengan itu, Mr. H. hesing6 menyatakan bahwa:
“Beban pembuktian adalah aktivitas untuk mengadakan atau men-
ciptakan proses psikis pada hakim untuk membenarkan/meyakini
adanya dan terjadinya fakta-fakta yang dikemukakan dan yang
daripadanya diinginkan suatu akibat hukum oleh salah suatu pihak
yang beperkara, di mana secara luas termasuk hal mengemukakan
dalil /fakta dan secara terbatas hanya yang sifatnya, bentuknya,
dan intinya khusus untuk meneguhkan dalil/fakta yang sudah di-
terangkan itu.”
Jadi, Mr. H. hesing melihat arti beban pembuktian dari segi
proses psikis pada diri hakim.
Peter J. Dorman7 memberikan arti beban pembuktian
secara sangat singkat, yaitu: “A regirement to prove a disputed
fact.”
Lewis Mayers8 menuliskan bahwa:
“At the trial, the burden of proof, as it is celled, may rest on one party
or the other as to a particular issue. hat burden is to adducu, on the
issue a preponderence of the credible evidance....”
Jadi oleh Lewis Mayers, beban pembuktian dilihat dari
fung sinya untuk menyakinkan hakim dengan alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Beban pembuktian ini bu-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pengertian Beban Pembuktian 103
kan suatu keharusan untuk dibebankan kepada para pi hak.
Ha nya “boleh”, jika dibutuhkan. Perhatikan perkataan “may
rest.”
Sehubungan dengan hal di atas, penulis menegaskan di
sini bahwa pembuktian itu barulah dilakukan jika:
a. sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan oleh baik
pihak penggugat maupun pihak tergugat ; atau
b. alat-alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat-
nya.
Perbedaan yang paling mencolok antara beban pem buk-
tian dalam perkara pidana dan perkara perdata adalah:
a. Dalam perkara pidana, beban pembuktian itu harus ber-
sifat “beyond reasonable doubt”;
b. Sedangkan dalam perkara perdata, beban pembuktian
itu sifatnya “preponderence evidence”.
Seperti apa yang dikemukakan oleh Stephen Gillers,9 bah-
wa hukum acara pidana “...yet other courts have said that the
charges must be sustained by proof that is reasonably cer tain, with
reasonably doubts being resolved in favor of the attorney....”
Adapun dalam hukum acara perdata dikatakannya:
“....In an ordinary civil action, it is generally not reguired that the
miscon duct be prove beyond a reasonable doubt....”
a. Beban mengajukan alat bukti.
Sebagaimana dijelaskan tadi, bahwa pengertian
beban pembuktian itu ada dua yaitu:
1. Beban untuk mengajukan alat bukti (the burden of
pro ducing evidence);
2. Beban untuk menyakinkan, untuk dinilai (the bur
den of persuasion).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata104
Mengenai beban untuk mengajukan alat bukti, da-
lam sis tem hukum Inggris adalah kewajiban per tama bagi
para pihak yang dibebani pembuktian. Tetapi di dalam
sis tem hukum kita di Indonesia, antara beban untuk
mengajukan alat bukti dan beban untuk meyakinkan,
untuk dinilai tadi tidak diadakan pemi sahan tahapan-
nya, sekaligus berlangsung dalam saat para pihak dibe-
bani pembuktian.
hayer10 menyebutkan beban untuk mengajukan
alat bukti itu dengan istilah lain yaitu “he duty of
going forward.” Adapun McNaughton11 menyebutkanya
dengan istilah “he burden of production of evidence,”
penggunaan istilah yang berbeda-beda di atas perlu kita
ketahui, khu susnya para ilmuwan. Di dalam bahan jika
membaca literatur-literatur dari sistem common law.
Sehubungan dengan beban untuk mengajukan alat
bukti ini, Dean McCormick12 menulis bahwa:
“In the writer (s view the burden of producing eviden has far more
inluence upon the inal outcome of cases than does the burden of
persuasion, which has become very largely a matter of the technigque
of the wording of instructions to juries. his wording may be chosen
in the particular case as a handle for reveral but will seldom have
been a factor ini the jury’s decision.”
Jadi, menurut penulisnya beban untuk mengajukan alat
bukti itu jauh lebih berpengaruh terhadap putusan, da-
ripada beban penilaian, beban untuk menyakinkan (the
burden of persuasion). Tentu saja bagi kita di Indonesia,
di mana antara kedua beban itu sekaligus dilaksanakan
ti dak mengenal penahapan seperti dalam sistem Inggris,
maka pengaruh yng lebih besar dari salah satunya tidak
ada. Keduanya berpengaruh sama besarnya terhadap
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pengertian Beban Pembuktian 105
pu tusan, karena beban pembuktian mengandung risiko
pembuktian.
Beban untuk mengajukan alat bukti ini, pada umumnya
dibebankan kepada pihak yang menyatakan mempunyai
suatu hak gugatanya, tetapi kemudian bisa saja beralih
pada pihak lawannya dalam proses selanjutnya.
Beban untuk mengajukan alat bukti ini merupakan sua-
tu “critical mechanism” di dalam suatu peradilan jury,
karena dengan adanya beban untuk mengajukan alat
bukti, membuktikan bagi hakim untuk memutus per-
kara tanpa pertimbangan juri, yaitu jika yang dibe bani
untuk mengajukan alat bukti ternyata tidak dapat me-
lak sanakannya.
b. Beban untuk meyakinkan, beban penilaian (the burden
of persuasion)
Penulis menerjemahkan istilah “the burden of persua
sion” dengan beban untuk penilaian, karena dengan beban
yang kedua ini pihak yang telah mengajukan alat bukti
dinilai alat buktinya oleh hakim (dan juri). Di nilai apakah
dengan alat bukti tersebut benar-benar meyakinkan
bahwa peristiwa yang dinyatakan adalah benar.
Karena itu pula sehingga di dalam sistim hukum
common law, beban penilaian ini barulah menjadi faktor
yang mem punyai arti, jika beban untuk mengajukan alat
bukti telah dilaksanakan.
Sebenarnya dengan sistem hukum kita di Indonesia
pun, apa yang mau di nilai jika alat bukti belum diajukan?
Adapun mengenai istilah beban penilaian ini, oleh
Wig more disebutnya “the risk of nonpersuasion.”13 Me-
nurut penulis hal mana mengandung arti bahwa jika
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata106
alat bukti yang diajukan itu tidak dapat meyakinkan ke-
benaran fakta yang dikemukakan, mengandung risiko
kalah ter hadap pihak yang bersangkutan.
Selanjutnya hayer14 menuliskan bahwa:
“... It marks ... the peculiar duty of him who has the risk of any
given pro position on which parties are at issue, who will lose the
case if he does not make this proposition out, when all has been
said and done ...”
Jadi, hayer juga menegaskan adanya risiko pembuktian
bagi siapa yang yang dibebani, tetapi ternyata tidak ber hasil
meyakinkan kebenaran proposisi yang dike mu kakan.
Suatu hal yang menarik dalam sistem peradilan
Anglo Saks (common law) adalah dimungkinkan suatu
per sengketaan berakhir tanpa putusan hakim. Hal de-
mikian itu tidak dimungkinkan di Indonesia, di mana
ha kim wajib untuk memberi putusan dalam setiap per-
kara yang dihadapinya.
Kesimpulan:
Dari pengertian beban pembuktian yang telah dikemu-
kakan secara panjang lebar di atas, dapatlah disimpulkan
bahwa beban pembuktian itu merupakan kewajiban air m atif
bagi para pihak untuk tampil ke muka persidangan peng adilan
dengan membuktikan tentang fakta-fakta me ngenai pokok
perkara yang dipersengketakan. Mengenai ini, perhatikan juga
pendapat Charles F. Hemphill J.R, & Phyllis D. Hemphill.15
Sebagai kesimpulan akhir yang dapat kita tarik, tentang
pengertian beban pembuktian itu adalah bahwa:
1. Beban pembuktian baru muncul jika:
a. sama sekali tidak ada alat bukti yang di ajukan para
pihak;
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Pengertian Beban Pembuktian 107
b. atau alat bukti yang diajukan para pihak sama kuat-
nya atau sama lemahnya.
2. Beban pembuktian adalah pembebanan dari hakim ke-
pada para pihak yang beperkara untuk:
a. Mengajukan alat-alat bukti sesuai ketentuan hu kum
acara yang berlaku.
b. Membuktikan kebenaran fakta yang dikemuka-
kan nya berdasarkan alat bukti yang diajukan itu,
sehingga hakim yakin akan kebenaran fakta yang
dikemuka kan itu (dalam hal proses perdata, ke-
yakinanya ber sifat preponderance of evidence)
Endnote:
1. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.
St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 783.
2. Ibid.
3. Ibid.
4. Ibid., hlm. 784.
5. Charlas F. Hemphill J.R. & Phillis D. Hemphill. “he Dictionary
of Practical Law”. Prantice Hall, Inc. Englewood Clifs, N.J. 1979,
hlm. 33.
6. Mr. H. hesing. “De grondslogan van de Bewijslast in de Civila
Procedure”. S’Graven hage, 1961 blz 54.
7. Peter J. Dorman. “Dictionary of law”. Runing Press Philadelphia,
Pennsylvania, 1976, hlm. 28.
8. Lewis Maers. “he Machinery of Justice; An Introduction to Legal
Structure and Process”. Foundations of law in a business socie,
series, Prentice Hall Inc. Englewood Clifs, New Jersey, 1963, hlm.
39.
9. Stephen Gillers. “An American Civil Liberties Union Handbook:
he Rights of Lawyers and Clients”. A Discus Book/Published by A
von Books, USA, 1979, hlm. 72.
10. James Bradley hayer. “Preliminary Treatise on Evidence”. 1898, ch.
9, hlm. 355.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata108
11. McNaughton, “Burden of Production of Evidence”. Dikutip oleh
Edward W. Cleary dalam “McCormick’s Handbook of the Law of
Evidence”, hlm. 783.
12. Dean McCormick. Terkutip Ibid., hlm. 784.
13. Wigmore. Terkutip Ibid., hlm. 784.
14. James Bradley hayer. Ibid., hlm. 784.
15. Charles F. Hemphill J.R. & Phyllis D Hemphill. Op.Cit., hlm. 33.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Ada suatu pepatah hukum Romawi, yang berbunyi: “SI
VIS PACEM PARA BELUM” yang berarti “hendak damai,
siap kan perang”.
Demikianlah suatu proses perdata. Dua pihak yang me-
miliki kepentingan yang berlawanan, tampil ke muka per-
si dangan pengadilan untuk menyelesaikan “perang” atau
“per seng ketaan” mereka, demi menuju penyelesaian per-
seng ke ta an itu melalui suatu putusan hakim.
Karena untuk kepastian hukum, maka tiap putusan ha-
kim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan
sah, kecuali jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi
yang membatalkannya. Hal ini sesuai asas “RES YDICATA
PRO VERI TATE HABETUR”; atau serupa tetapi tak sama, asas
lain yang bunyinya “res Judicata jus facit inter partes” (pu tusan
hakim menimbulkan hak antara para pihak yang beperkara);
atau juga asas yang bunyinya “res judicate pro veritate accip
itur” isi daripada suatu putusan hakim sebagai benar).
Kewajiban para pihak untuk membela kepentingannya
ASAS BEBAN PEMBUKTIAN
Bagian Ketujuh
Negativa non sunt probanda“Sesuatu yang negatie, Sulit untuk dibuktikan”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata110
ma sing-masing di muka persidangan pengadilan dengan
me nun jukkan alat bukti (the burden of producing evidence)
dan me ya kinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden
of persuasion).
Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang
diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim
untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan
beban pembuktian (the burden of proof).
Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur
dengan asas tertentu yang bersifat restrictief; bersifat mem-
batasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan pe-
nyalah gunaan jabatan atau wewenang; de tournament de
pouvoir.
Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal
283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya:
“Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang
mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya
itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membukti
kan adanya hak atau peristiwa itu.”
Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, da-
pat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib
untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk
membuktikan sangkalannya.
“Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat
tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membukti-
kannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gu-
gatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan.
Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai
kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo it
actor; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas Beban Pembuktian 111
kal. Dengan kata lain, ada kalanya tergugat pun dapat dibe-
bani pembuktian jika ia menyangkali gugatan penggugat.
Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran
sang kalan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak
diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang
diajukan oleh penggugat.
Secara terperinci, penulis dapat mengemukakan bebera-
pa asas yang terpenting dalam masalah beban pembuktian;
1. Yurisprudensi berpendapat bahwa hakim di dalam mem-
bebani pembuktian, hendaknya yang dibebani dengan
pem buktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan,
jika ia harus membuktikannya.
Sebagai contoh yang mudah, jika kita melihat dalam
kasus pidana. Jika si A dituduh oleh si B bahwa si A
mencuri cincin berlian milik si B. Maka tentu saja pihak
yang paling sedikit dirugikan jika dibebani untuk mem-
buktikan (seandainya ini adalah kasus perdata) adalah
si B. Adapun pihak yang paling banyak dirugikan jika
dibebani untuk membuktikan adalah si A yang dituduh.
Mengapa demikian?
Si A sebagai orang yang dituduh, berarti masih mengan-
dung dua kemungkinan;
a. ataukah ia benar mencuri;
b. ataukah ia sama sekali tidak mencuri.
Seandainya si A sama sekali tidak mencuri, bagaimana
mung kin ia membuktikannya bahwa ia benar tidak men-
curi? Terlalu berat bagi Si A untuk dibebani. Adapun bagi
si B, dengan tindakanya menuduh si B selaku pencuri
tentu mendasarkan pada suatu kecurigaan atau dugaan-
dugaan tertentu. Sehingga berdasarkan kecurigaan atau
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata112
dugaannya, bukanlah sesuatu yang berat baginya untuk
membuktikannya. Paling tidak masih lebih ringan bagi si
B untuk di bebani pembuktiaan daripada si A.
Walaupun kasus ini perkara pidana, tetapi pembaca pasti
dapat menerapkan jika dihadapkan pada kasus perdata.
2. Asas yang kedua, yang masih berkaitan erat dengan asas
pertama di atas, adalah asas “negative non sunt proban
da”, asas bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk
dibuktikan.
Sesuatu yang bersifat negatie biasanya ditandai dengan
perkataan “TIDAK”.
Misalnya: Si A menyatakan bahwa ia tidak ber utang ke-
pada si B. Atau si X menyatakan bahwa ia tidak menu-
bruk mobil si Z, dan lain-lain.
Sehubungan dengan hal ini, G.W. Paton1 menuliskan
bahwa: “Should not be forced on a person without very
strong reasons.”
Dalam hal ini, penulis meyetujui jika dikatakan bahwa
membuktikan sesuatu yang bersifat negatie itu, sulit
untuk dibuktikan. Tetapi, penulis tidak sependapat jika
dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang negatie itu
MUSTAHIL dibuktikan.
Mengapa penulis menganggap bahwa sesuatu yang ber-
sifat negatie, TIDAK MUSTAHIL untuk dibuktikan?
Di bawah ini penulis memberikan contoh:
Jika si Polan diwajibkan untuk membuktikan ketidak-
beradanya di Yogyakarta pada jam 12 siang, tanggal
27 Maret 1981. Berarti si Polan disuruh untuk mem-
buktikan sesuatu yang negatie. Maka si Polan dalam hal
ini dapat membuktikan ketidakberadaannya diYogya-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas Beban Pembuktian 113
karta pada saat tersebut diatas, dengan cara membukti-
kan keberadaannya pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret
1981 di Makassar.
Dari contoh yang penulis berikan di atas membuktikan
bahwa sesuatu sifatnya negatie, tidak mustahil untuk di-
buktikan. Tetapi tetap merupakan sesuatu yang sulit un-
tuk membuktikannya.
Karena itu penulis tetap sependapat, bahwa hakim ja-
ngan membebani suatu pihak untuk membuktikan se-
suatu yang negatie; kecuali jika terpaksa sekali dilihat
dari segi kasusnya.
Sehubungan dengan pendapat penulis ini, yurisprudensi
Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1972 (No. 547 K/
Sip/1971) memutuskan bahwa pembuktian yang dibe-
bankan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu
yang negatie adalah berat daripada beban pembuktian
pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif,
yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih
mampu untuk membuktikan.
3. Asas yang ketiga adalah asas iktikad baik.
Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus
dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu
benda. Barang siapa menggugat akan adanya iktikad bu-
ruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya.
Jadi, dengan asas ini adalah telah ditetapkan bahwa jika
peng gugat dalam gugatannya mendakwa/menyatakan
ada nya iktikad buruk pada si tergugat yang merupakan
be zitter dari barang yang digugat si penggugatlah yang
ha rus di bebani dengan pembuktian (lihat Pasal 533 BW).
4. Asas yang keempat adalah asas bahwa jika seseorang te-
lah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain maka
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata114
selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, ke-
cua li jika terbukti sebaliknya.
Sebagai kasus imajiner untuk menjelaskan asas ini, da-
pat penulis berikan contoh:
Si A dan si B sedang menunggu berangkatnya bus juru-
san Pdi stasiun bus. Karena si A ini ke kamar kecil, si A
menitipkan kopernya kepada si B yang kebetulan duduk
satu bangku dengannya. Si B menerima “tugas gra tis“
itu dari si B, dan bersedia untuk menjaga koper si A itu
selagi si A di kamar kecil. Ketika si A sudah/masih di
kamar kecil, datang seorang wanita yang meng aku pada
si B sebagai nyonya si A yang disuruh oleh si A untuk
mengambil koper yang tadi dititipkan si A kepada si B. Si
B percaya dan menyerahkan koper itu pada wanita yang
mengaku nyonya A tadi. Tetapi, setelah wanita itu pergi
dengan membawa koper si A, tiba-tiba muncul si A dari
kamar kecil meminta kopernya. Si B mau melepaskan
tanggung jawab.
Tetapi berdasarkan asas ini, maka si B tetap dianggap
bertanggung jawab atas kopor si A sehingga hukum se-
lalu menganggap si B meneruskan penguasaan itu (ber-
tanggung jawab) kecuali jika terbukti sebaliknya. Jadi,
dalam hal ini beban pembuktian untuk membuktian
bahwa koper itu benar telah diserahkan kepada wanita
itu, jatuh pada si B. (lihat Pasal 535 BW).
5. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang me-
nguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemilik-
nya. Sehingga, jika seseorang menggugat orang yang
me ng usai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang
sela manya harus dibebani dengan pembuktian (lihat
Pasal 1977 ayat 1 BW).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas Beban Pembuktian 115
6. Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan
oleh pihak debitur (lihat Pasal 1244 BW).
7. Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian
yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum,
ha rus membuktikan adanya kesalahan (lihat Pasal 1365
BW).
8. Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan
tiga kuitansi yang berturut-turut terakhir dianggap telah
membayar semua cicilan. Sehingga, jika ada sese orang
yang menggugat si pemegang tiga kuitansi ter akhir ber-
turut-turut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani
dengan pembuktian (lihat Pasal 1394 BW).
9. Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibe-
bani dengan pembuktian lalu ternyata tidak mampu un-
tuk membuktikan, harus dikalahkan dalam perkara itu.
10. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menya-
takan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal
yang tidak biasa itu. (Lihat putusan Mahkama Agung),
yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/
Sip/195).
11. Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat di-
artikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugi-
kan bagi si penanda tangan surat, maka si penanda tangan
yang harus dibebani untuk membuktikan positum nya.
(Li hat Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, No-
mor 74 K/Sip/1955)
Ednnote:
1. G.W. Paton “A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Claren-
don Press, 1964, hlm. 542.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Audi Et Alteram Partem “Dengarlah juga pihak lainnya”
Di samping adanya asas-asas beban pembuktian yang
merupakan hasil pemikiran para ahli hukum, juga undang-
undang dan yurisprudensi, maka di dalam ilmu pengetahuan
hukum dikenal juga “teori-teori beban pembuktian” yang
me ru pakan pedoman bagi hakim di dalam memutuskan sia-
pa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam setiap ka-
sus yang diperiksanya.
A. Teori Negativa Non Sunt Probanda
Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian
“Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa
sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan.
Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa
barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus
membuktikannya, jadi bukan pihak yang me nyang kalinya.
Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga
beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori
TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN
Bagian Kedelapan
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata118
bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam.1 Dan juga
Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.2
Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda”
ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir
selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian.
Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang si fat-
nya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk di buk ti -
kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo
obli gatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih da ri pada
kemampuannya), maka orang yang menyatakan/me nge mu ka-
kan sesuatulah yang harus dibebani dengan pem buktian.
Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap
kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah mem baca
keseluruhan buku ini.
B. Teori Hak
Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang men-
dasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu se-
nantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. De ngan
de mikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hu kum se -
cara perdata adalah semata-mata untuk mem per tahankan hak.
Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan
atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani
de ngan pembuktian.
Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda
adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus
membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini,
tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat.
Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser-Anema-Ver-
dam, membagi peristiwa itu ke dalam:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Teori-Teori Beban Pembuktian 119
a. Peristiwa umum.
b. Peristiwa khusus.
1. Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak
(rechtserzeugende Tatsachen).
2. Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbul-
nya hak (rechtshindernde Tatsachen).
3. Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak
(recht s vernichtende Tatsachen).
Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai
berikut:
a. Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya pe-
ris tiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak.
b. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan.
1. Tidak adanya peristiwa-peristiwa umum.
2. Adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat
me rintangi timbulnya hak.
3. Adanya peristiwa khusus yang bersifat mem batal-
kan hak.
Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus ima-
jiner sebagai berikut:
Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah
menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si
Basse dengan harga Rp 15.000.000,- dari si Baco, tetapi si
Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori
“hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si
Baco, beban pembuktiannya dibagi:
a. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa:
1. Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia
dengan si Basse.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata120
2. Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000
3. Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse
se laku pembeli.
b. Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa:
1. Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000,-
itu kepada si Baco selaku penjual.
2. Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian
kehendak.
P. A. Stein3 tidak menyetujui teori ini dengan alasan
bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika
gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”.
Bagaimana dalam gugatan perceraian?
Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.,4
kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu
banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban
atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam
suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.
C. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif)
Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gu-
gatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim
agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang ber laku
terhadap peristiwa yang diajukan.
Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pem-
buktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang
diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya
untuk diterapkan pada peristiwa itu.
Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu per -
janjian, maka si A harus mencari dalam undang-un dang apa
syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Teori-Teori Beban Pembuktian 121
Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal
1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan ada-
nya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun
tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian
kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian ke-
hendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini
berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsur-
unsur yang ditetapkan oleh hukum/undang-undang itu
ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam
undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.
D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik)
Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara
perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagai ma na-
pun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, ke pen-
tingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu,
teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi
wewe nang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran.
Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan
kewa jib an yang bersifat hukum publik, di mana ke wajiban
itu harus disertai dengan saksi pidana.
Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan
di Indonesia dewasa ini.
E. Teori Audi Et Alteram Partem
Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara
per data pada umumnya, yaitu asas “AUDI ET ALTERAM
PAR TEM”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari
kedua pihak yang beperkara.
Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan
yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata122
Ka rena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada
para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya
hanya tergugat, dan ada kalanya kedua-duanya.
Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi
beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat
ter gugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya ter-
gugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya per-
janjian tersebut antara penggugat dan tergugat.
Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli se-
suatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena
kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbah-
wa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat
dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mem-
punyai utang pada tergugat.
Endnote:
1. Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening
van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV,
Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm.
64.
2. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata
Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104.
3. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”,
Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118.
4. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sifat dari beban pembuktian itu sendiri dapat digo long-
kan ke dalam tiga sifat; penggolongan ke dalam tiga sifat ini
adalah se bagai penyempurnaan pembagian yang penulis
dahulu be dakan hanya atas dua sifat.1
Ketiga sifat beban pembuktian itu adalah masing-masing:
1. Sifatnya yang kasuistik.
2. Sifatnya yang yuridis.
3. Sifatnya yang historis.
A. Sifatnya yang Kasuistik
Hukum positip kita di Indonesia hanya mengatur satu
Pasal mengenai asas beban pembuktian secara umum yaitu
Pasal 163 HIR (sama bunyinya dengan Pasal 285 R.bg. Pasal
1865 – BW) yang bunyinya:
“Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau
menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya
atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang
itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesembilan
Si Duo Faciunt Idem Non Est Idem!“Kalau dua orang melakukan hal yang sama, maka hal itu
adalah tidak sama.”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata124
Dari ketentuan Pasal di atas, yang jelas hanyalah dua hal:
1. Yang dapat dibebani pembuktian adalah baik penggugat
maupun tergugat.
2. Yang dapat dibuktikan adalah peristiwa dan hak.
Tetapi selanjutnya, kapan penggugat yang dibebani, ka-
pan tergugat, dan kapan kedua-duanya, baik penggugat mau -
pun tergugat sekaligus? Semuanya itu tidak jelas.
Karena itulah, sehingga dikatakan bahwa beban pem-
buktian itu mempunyai sifat yang yuridis, artinya tergantung
pada kasusnya. Kita tidak dapat menentukan secara umum,
bahwa dalam hal beban pembuktian selalu penggugatlah
yang dibebani, atau selalu kedua pihaklah yang dibebani,
atau selalu tergugatlah yang dibebani. Penentuan semacam
itu jelas tidak mungkin. Malah akan menimbulkan kekakuan
dan ketidakadilan. Karena itulah sifat kasuistik dari beban
pem buktian perlu dipertahankan oleh pembuat undang-
undang. (Bandingkan pendapat penulis pada tahun 1980).2
Pada umumnya hakim cenderung untuk selalu membe-
ban i penggugat dengan pembuktian manakala tergugat me-
nyangkal, antara lain dapat penulis berikan tiga putusan peng -
adilan sebagai contohnya:
1. Putusan Pengadilan Negeri Pangkajene (Sulawesi Sela-
tan) tertanggal 5 Agustus 1964, Nomor 16/1962 yang
mempertimbangkan antara lain:
“Menimbang bahwa tergugat menyangkal kebenaran
dalil/dalil-dalil penggugat, maka pada penggugatlah ter-
letak kewajiban untuk membuktikan dalil-dalilnya.”3
2. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta tertanggal 3 Agus-
tus 1962, Nomor 243/1962/Pdt yang mempertimbang-
kan antara lain:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sifat Beban Pembuktian 125
“Menimbang bahwa di mana tergugat menyangkal gu-
gatan penggugat, maka penggugatlah yang wajib mem-
buktikannya.”4
3. Putusan Pengadilan Negeri Sengkang (Sulawesi Selatan)
tertanggal 1 Agustus 1964 Nomor 80/1964 yang memper-
tim bangkan antara lain:
“Menimbang bahwa oleh karena tergugat menyangkal
kebenaran isi gugatan tersebut, maka pihak penggugat
harus membuktikannya.”5
Kecenderungan hakim untuk selalu membebani peng-
gugat dengan pembuktian, jika tergugat menyangkal gugatan
adalah sebagai akibat kesalahpahaman tentang makna Pasal
163 HIR (285 R.bg., 1865 BW) dan ketidakmengertian
akan adanya sifat kasuistik dari beban pembuktian ini. Ini
pun tidak terlepas dari kesalahan pihak pengajar mata
kuliah Hukum Acara Perdata pada Fakultas Hukum yang
kurang memberikan pengalaman tentang masalah beban
pembuktian ini, dalam materi perkuliahannya; juga tidak
terlepas dari kurangnnya literatur berbahasa Indonesia yang
membahas secara luas masalah beban pembuktian ini.
Dari sifat kasuistik beban pembuktian ini, dapat di sim-
pulkan adanya tiga kemungkinan kepada siapa beban pem-
buktian itu diletakkan dalam suatu perkara, yaitu:
1. Penggugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
2. Tergugatlah yang dibebani dengan pembuktian.
3. Baik penggugat maupun tergugat, keduanya dibe bani
dengan pembuktian.
Untuk jelasnya, baiklah di bawah ini penulis memberikan
masing-masing sebuah contoh:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata126
1. Si A menggugat si B, karena si B sebagai orang yang diberi
hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko tidak
menyetorkan kepada si A yang menyuruhnya me mungut
uang sewa, dengan sangkalan si B selalu ter gugat, bahwa
pintu-pintu toko tersebut tidak selalu meng hasilkan
sewa. Dalam hal ini, karena si tergugat se bagai pihak
yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa, haruslah yang
dibebani pembuktian untuk mem buktikan hal yang tidak
biasa itu. (Lihat Putusan Mah kamah Agung tanggal 21
November 1956 Nomor 162 K/Sip, 1955).
2. Si A menggugat si B, bahwa si B selaku pihak penjual
dalam sengketa jual beli belum menyerahkan seluruh ba-
rang yang telah dibeli oleh si A selaku pembeli menurut
kontrak, sedang si B selaku penjual membantah dengan
mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan seluruh
ba rang yang diperjualbelikan. Dalam hal ini maka ke-
dua pihak dibebani pembuktian. Pihak pembeli harus
di bebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan
pem bayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual
harus membuktikan mengenai barang-barang yang telah
diserahkannya. (Lihat Putusan Mahkamah Agung tang-
gal 30 Desember 1957 No. 197 K/Sip/1956).
3. Jika si A menggugat si B, dengan gugatan bahwa arloji
Rolex yang dipakai dan dikuasai oleh si B sekarang ini
adalah arloji milik si A, sedang si B menyangkali gugatan
si A, maka dalam hal ini beban pembuktian hanya jatuh
pada diri penggugat, karena barang siapa menguasai
suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemiliknya.
(Lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).
Karena sifat beban pembuktian yang kasuistik ini, maka
hendaklah hakim di dalam melakukan pembagian beban
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sifat Beban Pembuktian 127
pembuktian, senantiasa memerhatikan asas-asas beban pem-
buktian pada khususnya dan asas-asas hukum pem buk tian
pada umumnya.
B. Sifatnya yang Yuridis
Sifat kedua dari beban pembuktian ini adalah sifat
yuridis yang melekat padanya.
Sifat yuridis dari beban pembuktian ini dapat kita lihat
dalam tiga hal:
1. Pada risiko pembuktian.
2. Pada pengaturan beban pembuktian baik dalam hukum
formil maupun hukum materiil.
3. Dapat dikasasinya masalah beban pembuktian ke Mah-
kamah Agung.
Ad. 1 Sifat yuridis dari risiko pembuktian
Dengan adanya pembebanan pembuktian, selalu diikuti
dengan risiko pembuktian, karena siapa yang memikul
beban pembuktian itu jika gagal membuktikannya akan
me nerima risiko berupa kalah dalam perkaranya. Jadi jelas
menunjukkan sifat yuridisnya, karena kalah atau menangnya
salah satu pihak adalah soal yuridis, yaitu sebagai akibat dari
suatu proses perkara yang diatur oleh hukum acara perdata.
Mengenai risiko pembuktian dapat dibaca lebih jelas
pada Bagian Kesebelas buku ini.
Ad. 2. Sifat yuridis pada pengaturannya dalam hukum
formil maupun hukum materiil
Mengenai sifat yuridis beban pembuktian, karena peng -
aturannya baik dalam hukum formal maupun hukum ma-
teriil, penulis akan menyebutkan beberapa pasal undang-un-
dang sebagai berikut:
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata128
a. Pasal 1244 BW: Jika ada alasan untuk itu, si berutang
harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apa-
bila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikat
itu, disebabkan karena suatu yang tak terduga pun tidak
dapat dipertanggungjwabkan padanya, kesemuanya itu
pun jika iktikad baik tidaklah pada pihaknya.
b. Pasal 1394 BW: Tentang pembayaran sewa rumah, se-
wa tanah, tunjangan tahunan untuk nakah, bunga aba-
di atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan
pada umumnya segala apa yang harus dibayar tiap ta-
hun atau tiap waktu tertentu yang lebih pendek, maka
de ngan adanya tiga surat tanda pembayaran, dari mana
ter nyata pembayaran tiga angsuran berturut-turut, ter-
bit lah suatu persangkaan bahwa angsuran-angsuran
yang lebih dahulu telah dibayar lunas, melainkan jika
di buktikan sebaliknya.
c. Pasal 1977 ayat 1 BW: Terhadap benda bergerak yang
tidak berupa bunga maupun piutang yang tidak harus
dibayar kepada si pembawa, maka barang siapa yang
menguasainya dianggap sebagai pemiliknya. (Jadi, siapa
yang menggugatnya, ialah yang dibebani pembuktian).
d. Pasal 1365 BW: Tiap perbuatan melawan hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu
mengganti kerugian tersebut (dalam hal itu, penggugat
yang dibebani pembuktian).
e. Pasal 468 ayat 2 KUHP Dagang: Si pengangkut diwa-
jibkan mengganti segala kerugian yang disebabkan ka-
rena barang tersebut seluruhnya atau sebagian tidak da-
pat diserahkannya, atau karena terjadi kerusakan pada
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sifat Beban Pembuktian 129
barang itu, kecuali jika dibuktikannya bahwa tidak dapat
diserahkannya barang atau kerusakan tadi dise bab-
kan oleh suatu malapetaka yang selayaknya tidak dapat
dicegah maupun dihindarinya, atau cacat daripada ba-
rang tersebut atau oleh kesalahannya dari yang me ngi-
rimkannya.
Ad. 3. Sifat yuridis dari dapat dikasasinya
Penulis sependapat dengan Prof. Dr. R. Subekti, S.H.,6
yang meyatakan bahwa soal pembagian beban pembuktian ini
di anggap sebagai suatu soal hukum atau soal yuridis yang da-
pat diperjuangkan sampai tingkat kasasi di muka pengadilan
kasasi, yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian be-
ban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pe-
langgaran hukum atau undang-undang yang merupakan
alas an bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan
hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan.
Hal tersebut sudah terbukti dengan banyaknya putusan
Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang me me-
riksa dan memutuskan perkara mengenai masalah beban
pembuktian.
Endnote:
1. Achmad Ali. Beban Pembuktian Dalam Praktik (Skripsi).
Ujungpandang, 1980, hlm. 18.
2. Achmad Ali. Ibid.
3. Hasil penelitian putusan-putusan pada Pengadilan Tinggi Ujung-
pandang menyangkut perkara-perkara perdata.
4. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
5. Achmad Ali. Op.Cit., hlm. 28.
6. Prof. Dr. R. Subekti, S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit Pradya-
paramita, Jakarta, 1978, hlm. 17.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Sekalipun beban pembuktian mempunyai asas-asas
yang telah tercantum pada Pasal 163 KIR, tetapi isi Pasal
163 KIR itu masih sering menimbulkan kekaburan tentang
beban pembuktian itu sendiri, baik secara teoritis maupun di
dalam praktik/Yurisprudensi.
Begitu banyaknya masalah yang sering timbul mengua sai
beban pembuktian ini, sehingga tidak mungkin pe nulis dapat
mencantumkannya secara lengkap sempurna dalam buku
se derhana ini, karena itu hanya beberapa di antara nya yang
pe nulis sempat kemukakan. Bagi mahasiswa, ten tu nya dapat
meng adakan penelitian tersendiri untuk me leng kapinya.
A. Permasalahan Teoretis
1. Masih adakah asas beban pembuktian lain yang dia-tur dalam HIR selain pasal 163 HIR?
Pada umumnya kalangan yuris di Indonesia sependapat,
jika dikatakan bahwa asas beban pembuktian yang diatur
BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM
TEORI DAN PRAKTIK
Bagian Kesepuluh
Ultra Posse Neno Obligator“Tiada orang berkewajiban, melakukan lebih dari kemampuannya.”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata132
oleh HIR, hanyalah pada Pasal 163 HIR, tetapi menurut
penulis selain Pasal 163 HIR tersebut, maka masih ada satu
pasal lain yang terdapat di dalam HIR yang merupakan asas
beban pembuktian, yang merupakan kekecualian bagi Pasal
163 KIR yang merupakan asas umum tadi. Pasal yang penulis
maksudkan adalah Pasal 176 KIR, yang isinya adalah:
“Tiaptiap pengakuan harus diterima segenapnya, dan
hakim tiada wenang akan menerima sebagiannya saja dan
me nolak yang sebagian lain, sehingga merugikan orang yang
mengaku itu; yang demikian itu hanya boleh dilakukan ka
lau orang yang berutang, de ngan maksud akan melepaskan
dirinya, menyebutkan per kara yang terbukti benar.”
Dengan merenungi isi Pasal 176 KIR di atas, yang me-
ru pakan pasal yang mengatur tentang pengakuan yang tidak
dapat dipisahkan-pisahkan (onsplitsbare bekentenis, onsplits
bare aveu), sebenarnya juga merupakan asas beban pem buk-
tian khusus.
Sebagai diketahui, bahwa pengakuan adalah salah satu
alat dalam hukum acara perdata. Sehingga, sebagai misal:
Jika si A menggugat si B, bahwa si B telah berutang se jumlah
satu juta rupiah kepada si A, sedang si B selaku tergugat
meng akui bahwa benar ia (si B) telah berutang sejumlah satu
juta rupiah dari si A; oleh hukum pembuktian perdata, peng-
akuan si B (tergugat yang merupakan “pengakuan murni”)
ha rus diterima oleh hakim. Dan penggugat kare na nya tidak
diwajibkan untuk membuktikan ber utangnya si B lagi.
Tetapi dalam hal dua jenis bentuk pengakuan lain yang
bukan pengakuan murni, yaitu:
a. Pengakuan dengan klausul.
b. Pengakuan dengan kualiikasi.
Berlaku Pasal 176 HIR ini.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 133
Penulis dapat menjelaskannya dengan sebuah contoh
ka sus imajiner sebagai berikut:
Si A menggugat bahwa si B telah berutang sejumlah Rp 50.000,-
kepada si A. Si B selaku tergugat mengakui bahwa benar ia
te lah berutang sejumlah Rp 50.000,- dari si A, tetapi telah
dibayarkan lunas. Jadi dalam hal ini pengakuan si B adalah
“pengakuan dengan klausul.”
Menurut Pasal 176 ini, tiap-tiap pengakuan harus dite-
rima keseluruhannya, apabila pada pengakuan itu dibutuh-
kan suatu keterangan yang membebaskan (klausul). Dari ka-
sus di atas:
1. Si B mengaku telah berutang sejumlah Rp. 50.000,-.
2. Si B menyatakan bahwa utang yang Rp. 50.000,- telah
dibayar lunas.
Berdasarkan Pasal 176 KIR ini, maka penggugat yang
dihadapkan kepada pengakuan yang tidak dapat dipisahkan
itu dapat mengambil dua macam jalan:
a. Pengakuan yang dibubuhi keterangan tadi boleh peng gu-
gat anggap sebagai suatu penyangkalan atas tuntutan nya,
dan atas dasar penyangkalan itu ia mengajukan bukti-
bukti yang diperlukan untuk menguatkan tuntutannya
itu.
b. Penggugat mengajukan alat bukti, bahwa pembubuhan ke-
terangan atas pengakuan tergugat itu tidaklah benar, dan
jika ia berhasil dalam pembuktiannya itu maka ia kemudian
meminta kepada hakim agar diadakan pe misahan terhadap
pernyataan tergugat. Setelah itu peng gugat meminta agar
tergugat dihukum atas da sar pengakuan yang sekarang
telah dibersihkan dari “klau sul” itu.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata134
2. Apakah Pasal 163 HIR hanya merupakan asas beban pembuktian saja?
Pada umumnya beberapa yuris kita menganggap bahwa
Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) hanyalah
pasal yang merupakan asas “beban pembuktian” (burden of
proof).
Memang jika melihat isi Pasal 163 HIR itu, yang paling
cepat tertangkap jelas adalah adanya asas “beban pembukti-
an” adalah para pihak yang beperkara. Yang membebani
pem buktian jelas adalah hakim.
Tetapi jika kita merenungi lebih teliti dan dalam isi Pasal
163 HIR, akan kita jumpai bahwa selain sebagai asas beban
pem buktian, juga berisikan beberapa asas lain, yaitu:
a. Asas pembagian beban pembuktian.
b. Asas dapat dibuktikannya HAK, selain daripada PE
RISTIWA.
c. Asas sifat kasuistiknya beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian harus dibedakan
dengan asas beban pembuktian sendiri.
Jadi, Pasal 163 HIR, sekaligus sebagai:
a. Asas beban pembuktian (burden of proof).
b. Asas pembagian beban pembuktian.
Asas pembagian beban pembuktian ini, tampak dari isi
Pasal 163 HIR itu bahwa penggugat wajib membuktikan pe-
ristiwa yang diajukannya, sedang tergugat wajib membukti-
kan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan
kebenaran bantahan tergugat, demikian pula membuktikan
kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 135
3. Risiko pembuktian
Sekalipun pada bagian-bagian terdahulu penulis telah
menyinggung sedikit tentang masalah risiko pembuktian ini,
tetapi ada baiknya penulis mengemukakannya di sini lebih
mendetail lagi.
Kalau salah satu pihak yang beperkara dibebani pem-
buk tian, dan ternyata tidak mampu untuk membuktikan,
maka pihak itu akan dikalahkan karenanya. Inilah yang di-
mak sudkan dengan risiko pembuktian.
Karena adanya risiko pembuktian inilah sebenarnya
se hingga masalah beban pembuktian sangat menentukan
ja lan nya peradilan. Hakim karenanya harus sangat berhati-
hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian.
Sebagai contoh-contoh kasus imajinasi yang menam pak-
kan risiko pembuktian ini, dapat penulis kemukakan sebagai
berikut:
a. Baik penggugat maupun tergugat sama-sama tidak
mam pu mengajukan alat-alat bukti berupa alat bukti ter-
tulis, saksi. Karena itu pengugat meminta agar si ter gugat
melakukan “Sumpah Delicior” atau sumpah pe mutus.
Jika tergugat bersedia dan melakukan sumpah yang di-
min takan oleh penggugat, maka sebagai risiko pem buk-
tiannya penggugat harus diputus oleh hakim se bagai pi-
hak yang kalah.
b. Jika si tergugat menolak untuk melakukan sumpah yang
dibebankan padanya itu, maka sebagai risiko pem buk-
tiannya adalah hakim harus menyatakan/memutuskan
tergugatlah sebagai pihak yang kalah.
c. Kalau tergugat mengembalikan sumpah itu kepada peng-
gugat, yaitu bahwa penggugatlah; sedangkan penggugat
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata136
menolak pengembalian sumpah dari tergugat, maka se-
bagai risiko pembuktiannya hakim harus memutuskan
pihak penggugat yang kalah.
d. Adapun kalau penggugat menerima pengembalian sum-
pah tergugat, maka tergugatlah yang menjadi pihak yang
kalah.
Itulah sedikit gambaran tentang risiko pembuktian yang
mengikuti beban pembuktian.
B. Permasalahan dalam Yurisprudensi
Masalah beban pembuktian dianggap sebagai masalah
hukum, karenanya dipersoalkan di tingkat kasasi (Mahka-
mah Agung)
Banyak putusan kasasi dari Mahkamah Agung Republik
Indo nesia yang memeriksa masalah beban pembuktian itu, an-
tara lain beberapa di antaranya penulis kemukakan berikut ini.
1. Onsplitsbaar aveu
Dalam hal penggugat asli menuntut kepada tergugat asli
penyerahan sawah sengketa kepada penggugat asli, bersama
kedua anaknya atas alasan bahwa sawah tersebut adalah bu-
del warisan dari almarhum suaminya yang kini dipegang oleh
tergugat asli tanpa hak. Yang atas gugatan tersebut tergugat
asli menjawab bahwa sawah itu kira-kira lima belas tahun
yang lalu telah dibeli plas dari penggugat asli oleh almarhum
suami tergugat asli.
Jawaban tergugat asli tersebut merupakan suatu jawaban
yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbaar aveu), maka
sebenarnya penggugat aslilah yang harus dibebani untuk
mem buktikan kebenaran dalilnya, i.c. bahwa tanah sawah
sengketa adalah milik almarhum suaminya.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 137
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Mei 1958 Nomor 8
K/Sip/1957, dalam perkara Bok Ngali melawan Bok Maji Siti
Fatimah).
2. Membuktikan sesuatu yang tidak biasa
Pihak yang menyatakan sesuatu yang tidak biasa harus
mem buktikan hal yang tidak biasa itu, i.c. orang yang diberi
hak untuk memungut uang sewa pintu-pintu toko meng-
ajukan bahwa pintu toko tersebut tidak selalu meng hasilkan
sewa.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 21 November 1956 No mor
162 K/Sip/1955, dalam perkara: Pr. Halijah binti Wan Abdoer-
rachman Albasi melawan para ahli waris dari Laisengh).
3. Isi surat diartikan dua macam
Apabila isi surat dapat diartikan dua macam, yaitu me-
nguntungkan dan merugikan bagi penanda tangan surat, pe-
nanda tangan surat ini patut dibebani untuk membuktikan
positumnya.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1957
Nomor 74 K/Sip/1955 dalam perkara M. Soleh Unding bin
Haji Abdullah lawan Herman Uzir bin Arsjat).
4. Kontrak jual beli
Dalam persengketaan jual beli, di mana pihak pembeli
mendalilkan bahwa ia belum menerima seluruh barang yang
dibelinya menurut kontrak, sedang pihak penjual memban-
tah dengan mengemukakan bahwa ia telah menyerahkan
seluruh barang yang diperjualbelikan, pihak pembeli ha rus
dibebani pembuktian mengenai adanya kontrak dan pem-
bayaran yang telah dilakukan, sedang pihak penjual me-
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata138
ngenai barang-barang yang telah diserahkan.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Desember 1957 No-
mor 197 K/Sip/1956, dalam perkara Saleh Bisjir melawan
N.V. Cultur Maats chappy “Bayabang”).
5. Cap dagang
Pihak yang mendalilkan bahwa cap dagang yang telah di-
datarkan oleh pihak lawan telah tiga tahun lamanya tidak di-
pakai harus membuktikan adanya non-usus selama tiga tahun
itu.
Dan tidaklah tepat bila dalam hal ini beban pembuktian
diserahkan kepada pihak lawan, yaitu untuk membuktikan
bahwa ia selama tiga tahun itu secara terus-menerus
menggunakan cap dagang termaksud.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor
108 K/Sip/1954 dalam perkara Handelsvereniging Hermsen
Verwey & Dunlop N.V. melawan Sie Kian Bing).
6. Sengketa tanah perkarangan
Dalam hal penggugat mendalilkan ia menuntut penye-
rahan kembali tanah pekarangan tersengketa yang kini di-
duduki oleh tergugat, oleh karena pekarangan tersebut dahulu
hanya di pinjamkan saja oleh penggugat kepada tergugat.
Adapun tergugat membantah dengan dalil bahwa pe ka -
rangan tersebut dahulu benar milik penggugat, tetapi pe ka-
rangan itu telah dibelinya lepas dari penggugat; pembebanan
pem buktian haruslah sebagai berikut:
1. penggugat diberi kesempatan untuk membuktikan hal
peminjaman tanah tersebut kepada tergugat; dan
2. kepada tergugat diberi kesempatan untuk membuktikan
tentang pembelian lepas tanah tersebut.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Beberapa Permasalahan Beban Pembuktian 139
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor 94
/K/Sip 1956 dalam perkara Sani ban melawan Bok Karsija).
7. Terguggat asal menyangkal
Karena tergugat asal menyangkal, penggugat asal harus
mem buktikan dalilnya; alasan pengadilan tinggi untuk mem-
bebankan pembuktian pada penggugat asal karena tergugat
asal menguasai sawah sengketa bukan karena pembuatan
melawan hukum; tidak berdasarkan hukum.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1975 No-
mor 540 K/Sip/1972 dalam perkara Lai Masina melawan
Lomo Dea dan Tori’buta).
8. Tentang Pasal 176 HIR
Perkembangan Yurisprudensi mengenai Pasal 176 HIR
(peng akuan yang terpisah) ialah bahwa dalam hal ada peng-
akuan yang terpisah-pisah hakim bebas menentukan pada
siapa harus dibebankan kewajiban pembuktian.
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 November 1975 No-
mor 272 K/Sip/1973, dalam perkara Sjarifudin Gafar al. Pak
Ekut Sepik melawan Haji Abdul Hamid & Haji Achmad M.)
9. Juga tentang Pasal 175 HIR
Penggunaan Pasal 176 HIR ada baiknya dalam praktik
peradilan terutama dalam hal-hal tergugat adalah pihak yang
ekonomis lemah.
Sebaliknya, di dalam hal lain-lainnya sebaiknya harus
diberi kesempatan kepada hakim untuk di dalam tiap-tiap
per kara tersendiri mempertimbangkan, pihak manakah
yang layak dapat dilindungi, sehingga lawannyalah yang ha-
rus dibebani pembuktian.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata140
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 30 Agustus 1958 Nomor
134 K/Sip/1958, dalam perkara A.8. Papilaya melawan Lie
Boen Ong).
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum bukan cabang ilmu hukum yang ber diri
sendiri, melainkan hanya salah satu cara untuk mempela jari
hukum. Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Su-
dikno Mertokusumo, S.H.,1 bahwa hukum dapat ditinjau dari
tiga cara yang ketiga-tiganya dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah masing-masing:
1. Menanyakan tentang lahirnya/jadinya lembaga-lembaga
hukum dan pandangan-pandangan hukum, yang disebut
juga mengarangkan lahirnya hukum secara kausal ge-
netis. Metode ini melihat hukum sebagai perilaku serta
pertimbangan-pertimbangan manusia yang hendak me -
ne rangkan kenyataan yang phisis-psychis secara his toris
sosiologis, dihubungkan dengan gejala-gejala lain. Ini
ada lah metode sejarah hukum-hukum sosiologi hukum.
2. Menanyakan apa hukum itu (bukan bagaimana menjadi
hukum) dan sekaligus menjawab pertanyaan apa yang
TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesebelas
Melius est accipere quamfacere injuriam“Lebih baik mengalami ketidak-adilan daripada
melakukan ketidak-adilan.”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata142
sah, apa yang dalam keadaan konkret tertentu harus
terjadi menurut hukum. Metode ini disebut metode yu-
ridis yang melihat peraturan hukum yang berlaku se-
bagai satu kesatuan yang dapat diterangkan dari dirinya
sendiri, menerangkan secara logis sistematis.
3. Menerangkan bagaimanakah (apakah) hukum itu se ha-
rusnya? Mencari ukuran untuk menilai hukum. Me na-
nyakan tentang keadilan. Ini merupakan metode ilsafat
hukum yang menilai hukum.
Sosiologi hukum adalah sangat berguna bagi kalangan
hukm, yaitu kaum profesi hukum. Yang penulis maksudkan
sebagai kaum profesi hukum adalah para sarjana hukum;
yang profesinya di bidang:
a. Pendidikan hukum: Dosen Fakultas Hukum.
b. Pembinaan hukum: antara lain yang aktif di BPHN.
c. Perancangan hukum: ahli hukum yang duduk dalam
lembaga legislatif.
d. Pelaksanaan hukum: jaksa, hakim, pengacara, dan lain-
lainnya.
Di sini perlu penulis tegaskan bahwa pengertian profesi
itu tidak sesederhana yang sering digunakan orang awam,
yang sering mengindentikkan “profesi” dengan “pekerjaan”.
Bandingkan pendapat penulis dalam harian Pedoman Rakyat
1982.2
Pengertian profesi menurut Dietrich Rueschemeyer3
adalah:
“he professions are conceived of as service occupations that:
(1) apply a systematics body of knowledge to problems which;
(2) are highly relevant to central value of the society.”
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tinjauan Sosiologi Hukum ... 143
Jadi, profesi itu adalah lebih sempit dari pengertian pe ker jaan.
Sebab profesi adalah pekerjaan harus merupakan pene rap-
an suatu ilmu untuk pemecahan problem dan harus sangat
relevan dengan nilai-nilai sentral dari suatu masyarakat.
Karena itu, Districh Rueschemeyer mengatakan lagi:4
“heir high degree of learned competence creates special problems of
social control, laymen cannot judge the professional performance; in
many cases they cannot evenset the concrets goals for the professional’s
work ....”
Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan
Rues chemeyer di atas, karena dalam kenyataannya memang
pekerjaan profesional itu sulit untuk dinilai oleh masyarakat
awam. Katakanlah, suatu putusan pengadilan dengan bahasa
profesi khas hukum akan membingungkan bagi orang awam
yang membacanya.
Sama saja dengan pengertian profesi yang dikemukakan
oleh H. P. Fairchild5 bahwa yang dimaksudkan dengan profesi
itu adalah kegiatan-kegiatan yang mempunyai khas:
“... A high degree of technical skill, entailing specialized preparation
generally at recognized instituions of learning, oicial regulation and
licensure, a stong feeling of class honour and solidarity, manifested
ini vocational associations to secure a monopoly of the service, and
in codes of ethics enjoining the responsibility of the profession to the
collective it serves.”
Kegunaan sosiologi hukum bagi kaum profesi hukum
antara lain adalah:
1. bagaimana memahami hukum dengan mengaitkannya de-
ngan konteks kemasyarakatan, dengan kenyataan sosial;
2. menganalisis sejauh mana efektivitas hukum di dalam
masyarakat, baik sebagai alat “sosial kontrol” maupun
sebagai “social engineering”;
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata144
3. mengkonkretkan kaidah hukum dan pengertian hukum
yang belum jelas atau kurang pasti;
4. secara tidak langsung dapat menjadi bahan bagi pem-
bentukan hukum yang merupakan hukum yang hidup
(living law) oleh hakim di dalam putusannya;
5. dan sebagainya.
Masih banyak lagi kegunaan sosiologi hukum ini, tetapi
yang penulis cantumkan di atas yang erat kaitannya dengan
dunia hukum acara saja, khususnya bagi hakim.
Mengapa harus dengan sosiologi hukum, mengapa tidak
dengan ilmu hukum dogmatis saja?
Hal ini karena sesuai apa yang dikemukakan oleh Harold
Laski,6 bahwa:
“he supreme problem for the jurists of this epoch is the need to
awaken to the responsibilities of the issues they confront. For only a
realistic awareness of what that issue fully implies can save us from
the grim regours of a new dark age.”
George Gurvitch7 membagi sosiologi hukum itu atas tiga
macam:
1. Sosiologi hukum sistematis.
2. Sosiologi hukum diferensial.
3. Sosiologi hukum genetis.
Dua lainnya tidak akan kita persoalkan di sini, tetapi
hanya “Sosiologi Hukum Sistematis” atau yang disebut juga
“Mikrososiologi Hukum” yaitu yang objek pembahasannya
antara lain: lembaga-lembaga hukum, termasuk tugas hakim
di Pengadilan.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tinjauan Sosiologi Hukum ... 145
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum
Pada bagian-bagian terdahulu, penulis telah mengemu-
ka kan tugas-tugas hakim secara optik ilmu dogmatik hukum
atau menurut teori ilmu hukum, yang didasarkan pada bunyi
perundang-undangan dalam arti luas. Misalnya, menurut
Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14
Tahun 1970).
Tetapi, optik sosiologi hukum tidak ingin melihat ba gai-
mana tugas hakim di dalam undang-undang atau apa yang
tertulis, tetapi bagaimana tugas hakim di dalam ke nya taannya.
Sebab, pandangan sosiologi hukum adalah seperti yang
di kemukakan oleh tokoh Eugen Echrlich8 bahwa:
“he centre of gravity of legal developmentlies not in legislation, no
in juristic science not in judicial decision but in society it self”.
Menurut Dr. Soerjono Sukanto, S.H., M.A.,9 di dalam
ilmu hukum sebenarnya dikenal paling sedikit ilmu hukum
tiga pendekatan terhadap ke putusan pengadilan, yaitu:
1. Approach tradisional.
2. Approach konvensional.
3. Approach behavioral.
Kadang-kadang dipecah menjadi dua saja:
1. Yang tradisional.
2. Yang modern.
Dengan yang tradisional dimaksudkan sebagai pende-
katan aliran “analytical jurisprudence” dari John Austin.
Adapun pendekatan yang modern adalah aliran-aliran Sosio
logical Jurisprudence dan Realistic Jurisprudence, yang ber-
kembang di USA.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata146
Seberapa pandangan sosiologis tentang tugas hakim,
antara lain adalah:
1. Tugas hakim adalah sebagai policy makers. Dalam hu-
bungannya sebagai policy makers hakim tidak hanya
ber tugas untuk menemukan dan menerapkan hukum,
tetapi juga untuk membentuk hukum. Dasar pandangan
ini adalah bahwa hukum adalah bagian dari sistem sosial,
se hingga kalau hakim semata-mata hanya menemukan
hukum, tidak akan ada political jurisprudence, oleh
karena pusat perhatian politik adalah kekuasaan dan ke-
kuasaan berarti memilih.
2. Tugas hakim adalah mengkonkretkan aturan hukum
de ngan kombinasi cara berpikir hakim itu sendiri, serta
faktor-faktor sosial lainnya yang membentuk pribadi
ha kim itu selaku seorang warga masyarakat. Dalam hal
ini, walaupun dikatakan bahwa tugas hakim di dalam
jabatannya selaku hakim harus dipisahkan secara tu gas
dari faktor pribadi hakim, tetap saja di dalam ke nya-
taannya adalah sangat sulit memisahkan antara faktor
pribadi hakim dengan tugas jabatannya. Pan dangan
ini bertitik tolak bahwa hakim sebagai ma nusia adalah
makh luk sosial yang mustahil bisa dile paskan bagai ro-
ket yang terlepas dari induknya.
Sehubungan dengan pandangan kedua di atas, maka
para ahli sosiologi hukum sependapat bahwa faktor sosial
yang turut memengaruhi hakim di dalam memeriksa dan
menjatuhkan putusan-putusannya adalah antara lain:
a. faktor etnis si hakim itu sendiri;
b. faktor etnis dari nyanyanya;
c. faktor latar belakang pendidikan dari hakim itu;
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tinjauan Sosiologi Hukum ... 147
d. Faktor kondisi ekonomisnya (gaji serta penghasilan lain-
nya);
e. faktor keyakinan agamanya;
f. faktor latar belakang status sosial keluarga/orang tua si
hakim;
g. dan sebagainya.
Penulis tentu saja tidak akan membahas secara luas satu
per satu faktor-faktor di atas, tetapi sebagai contoh hanya akan
mengemukakan tiga contoh konkret yang terjadi dalam fakta:
1. Berdasarkan hasil penelitian seorang sosiolog di Ame ri-
ka Serikat, diperoleh data bahwa hakim yang berasal dari
ke luarga kaya pada umumnya cenderung “memihak”
pada pihak yang juga berasal dari keluarga kaya di da lam
per kara perdata. Dikatakan pada umumnya kalau data
membuktikan lebih dari 50% hakim-hakim yang men -
ja di sampelnya terbukti demikian.
2. Menurut seorang ahli sosiologi hukum kita di Indonesi,
Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.,10 seorang hakim ke-
nal annya (penulis sengaja tidak mencantumkan na-
ma nya) terkenal sangat jujur dalam menjalankan tu-
gas-tugas nya sebagai hakim, kejujurannya itu akibat
pe ngaruh “keimanannya” yang kuat dari hakim itu akan
kepercayaan agama yang dianutnya, sehingga cara ber-
pikir yang dibentuk oleh ajaran agamanya membuat pu-
tusan-putusannya senantiasa objektif.
Masih sehubungan dengan tugas hakim ini, ada suatu
pendapat yang menarik dari Lawrence Friedman11 yang telah
mencoba untuk menarik garis persamaan antara pengadilan
dengan suatu depertement store (Toserba). Menurut Prof.
Friedman, pengelolaan kedua badan itu akan tampak dalam
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata148
bentuk reaksi yang hampir sama pada waktu keduanya
menghadapi kenaikan dalam jumlah persoalan yang datang
kepada mereka. Lembaga pengadilan pada waktu menghadapi
kenaikan dalam jumlah perkara masuk, sedangkan Toserba
pada waktu menghadapi kenaikan dalam jumlah (volume)
kegiatan bisnisnya. Kenaikan dalam jumlah kegiatan tersebut
tidak serta merta menimbulkan kesulitan. Bahkan ampai
pada satu tingkat tertentu, kenaikan itu bagi Toserba yang
bersangkutan merupakan suatu pahala. Dengan demikian,
sejumlah pekerja akan memperoleh tempat, cabang-cabang
dibuka dan penambahan-penambahan akan ditambah, maka
langganan akan mengalami perlakuan atau pelayanan yang
kurang menyenangkan. Tempat menjadi berjubel, pelayan
merosot, tempat parkir sulit, dan sebagainya.
Selanjutnya, oleh Profesor Friedman dikatakan12 bahwa
kedudukan pengadilan di Amerika Serikat adalah sama dengan
toserba yang menghadapi kenaikan dalam jumlah bisnisnya,
tetapi tidak mampu memperluas fasilitas dan stafnya. Di ka-
takan bahwa respons yang diberikan oleh lambaga-lembaga
pengadilan di situ terhadap tuntutan-tuntutan baru adalah
bagaikan rayapan seekor kura-kura, artinya lamban sekali.
Hal ini disebabkan oleh karena penguasaan atas urusan ke-
pegawaian tidak ada di tangan lembaga itu sen diri. Pasaran
kerja relatif tetap; pengadilan-pengadilan tidak mungkin
mem buka cabang-cabang atas kemauan sendiri oleh karena
terikat oleh birokrasi dengan prosedurnya yang sering ber-
belit-belit. Dan lain-lain persoalannya yang semacamnya.
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum
Hakim yang membebani para pihak dengan pembuktian,
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tinjauan Sosiologi Hukum ... 149
dan hakim adalah seorang manusia, makhluk sosial, warga
masyarakat.
Penggugat dan tergugat adalah yang dapat dibebani
de ngan pembuktian, dan baik tergugat maupun penggugat
kedua adalah manusia biasa yang juga adalah “zoon politican”
atau makhluk sosial.
Memang sudah ada Pasal 163 HIR sebagai asas beban
pem buktian, tetapi jika salah satu pihak menggunakan faktor-
faktor X untuk memengaruhi perasaan subjektivitas hakim
yang juga adalah manusia biasa, maka hakim dapat me main-
kan beban pembuktian ini untuk keuntungan salah satu pihak.
Hal-hal yang menyangkut beban pembuktian, yang da-
pat dimainkan oleh seorang hakim yang sudah a’priori cukup
banyak, mengingat betapa abstraknya asas umum beban
pem buktian yang terdapat dalam Pasal 163 HIR.
Suatu keuntungan untuk menutupi kelemahan undang-
undang ini adalah karena masalah pembagian pembuktian
dianggap sebagai masalah yuridis yang dapat dikasasi ke
Mahkamah Agung, sehingga meskipun pengadilan negeri
atau pengadilan tinggi salah menerapkan pembagian beban
pembuktian, entah kesalahan itu dikarenakan keti dak tahuan
ataupun kesalahan yang diakibatkan faktor-faktor subjek-
tivitas, maka pada tingkat kasasi kesalahan tersebut dapat
di pulihkan kembali.
Karena itu, sepatutnyalah Mahkamah Agung lebih ba-
nyak memberikan aturan-aturan konkret melalui putusan
kasasinya dalam hal beban pembuktian ini.
Adanya asas yang berdasarkan yurisprudensi, bahwa pi-
hak yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit
dirugikan jika harus membuktikan, belum menjamin ter lak-
sananya pembagian beban pembuktian secara adil dan patut;
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata150
karena biasa saja disalahtafsirkan oleh beberapa oknum hakim.
Bagaimana upaya untuk mencegah adanya penyalah-
gunaan wewenang (onrechtmatige overheidsdaad) dari ok-
num hakim dalam hal membagi beban pembuktian ini?
Apa kah cukup dengan sanksi-sanksi melalui perundang-un-
dang an saja?
Faul Bohannan,13 seorang ahli antropologi, pernah me-
ngatakan bahwa: “Hukum adalah cara yang ditempuh oleh
masyarakat untuk mengobati dan mempertahankan dirinya.”
Dengan demikian, untuk mencegah masalah yang tim-
bul di dalam ruang lingkup pengadilan (termasuk oknum
ha kimnya) tidaklah cukup hanya dengan penanganan dari
segi hukum saja.
Yang penting diperhatikan adalah banyak faktor, misalnya:
a. bagaimana meningkatkan penghasilan resmi para ha-
kim, sehingga keadaan ekonomis rumah tangganya
cukup; sehingga merupakan rem untuk “mencari tam-
bahan penghasilan” dengan cara melanggar hukum atau
de tournament de pouvoir;
b. bagaimana meningkatkan pengetahuan hukum para ha-
kim (terutama hakim junior) dengan melengkapi kan tor/
ruang para hakim di pengadilan dengan per pustakaan
yang memadai;
c. bagaimana meningkatkan minat membaca para hakim
kita;
d. dan sebagainya.
(Secara lebih jelas, baca artikel penulis tentang Aspek So-
silogis Hakim.14
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Tinjauan Sosiologi Hukum ... 151
Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H., dikutip oleh Achmad
Ali, dalam “Beberapa Permasalahan Mengenai Alat Bukti Tertulis,
serta Peranan dan Perkembangannya dalam Hukum Acara Perdata”.
(Sebuah Makalah) dalam program Pendidikan Pascasarjana UGM
Yogyakarta, 1982, hlm. 6.
2. Achmad Ali, “.... termuat dalam harian Pedoman Rakyat tgl ...
1982, Ujungpandang.
3. Districh Rueschemeyer. “Lawyers and Docters: A Comparison
of Two Professions”, termuat dalam “Sociology of Law”. (Selected
Readings), Edited by Vilhelm Aubert, Penguin Books, Baltimore,
Maryland, 1969, hlm. 200.
4. Ibid.
5. M.P. Fairchild. “Dictionary of Sociology and Related Scineces”.
Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959, hlm. 235.
6. Laski, N. J. “A Grammar of Politics”. Fith Editons, Londong: Steven
& Sons, 1966, hlm. XXVII.
7. George Gurvitch. “Sosiologi Hukum” (terjemahan Sumantri
Mertodipura). Bharatara, Jakarta, 1961, hlm. 233-240.
8. Eugen Echrlich, dikutip oleh Achmad Ali dalam artikel, “Aspek
aspek Sosiologis dari Putusan Hakim”, termuat dalam harian
Pedoman Rakyat, tanggal 22 Maret 1982.
9. Dr. Soerjono Sukanto, S.H., dalam kuliah sosiologi hukum bagi
peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981
yang diikuti oleh penulis antara lain.
10. Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., kuliah sosiologi hukum bagi
peserta pendidikan Pascasarjana Hukum UGM Yogyakarta 1981
yang diikuti oleh penulis antara lain.
11. Lawrence Friedman, dikutip dari Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
S.H. Hukum Masyarakat dan Pembangunan”. Penerbit Alumni,
Bandung, 1976, hlm. 88-89.
12. Ibid.
13. Paul Bohannan, dikutip dari Achmad Ali. “Peranan Sarjana Hu
kum dalam Era Pembangunan”. Harian Pedoman Rakyat, tanggal
23 Februari 1981.
14. Achmad Ali, “Aspekaspek Sosiologis dari Putusan Hakim”. Harian
Pedomana Rakyat, tanggal 22 Maret 1982.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian
Perjanjian pembuktian (Bewijsovereenkomst) adalah
per janjian antara dua pihak yang menentukan aturan pem-
buktian yang bagaimanakah yang akan dilakukan dalam
prosedur tertentu.
Jadi, perjanjian pembuktian ini merupakan keke cualian
dari ketentuan umum mengenai pembuktian yang berlaku
dalam hukum acara perdata.
Perjanjian pembuktian ini adalah perjanjian yang di ada-
kan oleh kedua pihak yang mengadakan hubungan ke per-
dataan, yang dilakukan sebelum terjadinya per seng ketaan.
B. Isi Perjanjian Pembuktian
Isi dari suatu perjanjian pembuktian itu ada tiga:
1. Untuk menyampingkan alat-alat tertentu.
2. Justru untuk mengizinkan alat-alat bukti tertentu yang
dalam keadaan normal tidak digunakan.
3. Mengatur kekuatan pembuktiannya.
Jadi, perjanjian pembuktian ini dapat mengambil atur-
an-aturan di luar BW; tetapi dapat juga sepakat untuk meng-
PERJANJIAN PEMBUKTIAN
Bagian Kedua Belas
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata154
gunakan aturan-aturan tertentu di dalam BW, misalnya me-
reka mengadakan perjanjian bahwa satu saksi saja sudah
cu kup; jadi bertentangan dengan asas-asas umum kesaksian,
Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukan saksi).
Perjanjian pembuktian ini bisa juga bahwa mereka meng-
adakan perjanjian bahwa jika kelak timbul perselisihan antara
mereka berdua, maka satu-satunya alat bukti ter tulis misal-
nya, sedang pembuktian dengan saksi tidak di bo lehkan.
C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan
Sekalipun hukum kita di Indonesia membolehkan orang
mengadakan perjanjian pembuktian ini, tetapi tetap ada
batas an atau larangan hal-hal apa yang dilarang untuk di-
perjanjikan.
Hal-hal yang terlarang untuk diperjanjikan dalam per-
janjian pembuktian ini adalah:
1. Membolehkan para pihak menggunakan bukti-bukti
lain di mana undang-undang dengan tegas telah mene-
tap kan suatu alat bukti sebagai satu-satunya yang ber-
laku, misalnya apa yang ditetapkan dalam Pasal 180
BW bahwa dalam hal tidak adanya persatuan harta
ke ka yaan dalam perkawinan, maka masuknya barang-
barang tidak da pat dibuktikan dengan cara lain hanya
de ngan mencantumkannya dalam perjanjian kawin,
atau dengan surat pertelahan yang ditandatangani oleh
no taris dan para pihak yang bersangkutan, surat mana
harus dilekatkan pula pada surat asli perjanjian ka win.
Dalam hal di atas, kedua pihak tidak boleh mem buat
perjanjian pembuktian bahwa satu-satunya alat bukti
yang digunakan adalah saksi misalnya, karena ber ten-
tangan dengan Pasal 150 BW tadi.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Perjanjian Pembuktian 155
2. Meniadakan kemungkinan-kemungkinan pembuktian
la wan di mana undang-undang secara tegas menjamin
ada nya hak mengadakan pembuktian lawan itu, misalnya
yang ditetapkan di dalam Pasal 274 ayat 2 KUH Dagang
yang menegaskan bahwa si penanggung (perusahaan asu-
ransi) selaku berhak untuk membuktikan di muka hakim
bahwa harga yang disebutkan dalam polis terlalu tinggi.
3. Mengadakan perjanjian yang bermaksud menutup sama
sekali kemungkinan pembuktian lawan (tegenbewijs). Per-
janjian semacam ini dianggap sebagai melanggar ketertiban
umum dan kesusilaan, karena berarti me nye rah kan suatu
pihak kepada kesewenang-wenangan pihak lawannya.
D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan
Perjanjian pembuktian ini sangat erat kaitannya de ngan
“alat bukti tertulis”, karena hampir semua perjanjian pem-
buktian cenderung memperjanjikan bahwa satu-satunya alat
bukti yang boleh digunakan adalah alat bukti tertulis.
Jadi, dengan diperbolehkannya para pihak mengadakan
perjanjian pembuktian, juga merupakan salah satu faktor
yang lebih memperbesar peranan alat bukti tertulis.
E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian
Suatu hal yang penting diketahui adalah bahwa perjan-
jian pembuktian ini berbeda dengan suatu jenis perjanjian
lain, di mana diperjanjikan bahwa sesuatu unsur dari per jan-
jian itu akan ditetapkan dengan suatu cara tertentu. Misalnya,
banyak terdapat dalam perjanjian asuransi, bahwa besarnya
kerugian harus ditetapkan oleh beberapa ahli.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata156
Perjanjian semacam ini tidak mengenai pembuktian,
te tapi mengatur mengenai cara menetapkan sesuatu. KUH
Perdata (BW) sendiri membolehkan bahwa perjanjian jual
beli harga dapat diserahkan kepada perkiraan seorang pihak
ke tiga (Pasal 1465 BW).
Di dalam perjanjian pembuktian dibolehkan untuk
mem perjanjikan, bahwa suatu alat bukti bebas dalam per-
janjian bagi kedua belah pihak merupakan suatu alat bukti
yang mengikat antara kedua pihak, misalnya antara penjual
dan pembeli diperjanjikan bahwa surat timbang, yaitu su rat
yang dibuat oleh seorang pihak ketiga, dan karena itu me-
nurut hukum pembuktian hanya mempunyai kekuatan pem-
buktian mengikat tentang diserahkannya sejumlah barang
kepada pihak pembeli.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
1. Achmad Ali. Bahan Pembuktian dalam Proses Perdata.
Skripsi, Ujungpandang, 1980.
2. —————. Peranan Pengadilan dalam Sistem Kodii
ka si. (Makalah), Pendidikan Pascasarjana UGM., Yog-
yakarta, 1981.
3. —————. Beberapa Permasalahan Mengenai Alat
Buk ti Tertulis, serta Peranan dan Perkembanganya da
lam Hukum Acara Perdata. (Makalah), Pendidikan Pas-
casarjana, UGM. Yogyakarta, 1982.
4. —————. Peranan Sarjana Hukum dalam Era
Pembangunan. (Artikel), termuat dalam Pedoman Rak
yat, Ujung pandang, tanggal 23 Februari 1981.
5. —————. Aspekaspek Sosiologis dari Putusan Hakim.
(Artikel), termuat dalam harian Pedoman Rakyat, Ujung-
pandang, tanggal 22 Maret 1982.
6. Asser-Anema-Verdam. Mr. C. Asser’s Handleiding tot de
beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht. Vijfde –
Deel: Van Bewijs, N.V. Witgevers Maat schappij, W.E.J.
Tjeenk Uillink, Zwolle 1953.
7. Asser-Scolten-Viarda. Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de
beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht, Earste Deel
Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG (Yang Terdapat dalam Kutipan)
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata158
N.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1947.
8. Burrows, Sir Roland. Phipson on the Law of Evidence.
Ninth Edition, London, Sweet & Maxwell Limited, 1952.
9. Busmann, Mr. C.U. Star: Hoofdstukken van Burgerlijke
Rechtsvordering, Haarlem, De erven F. Bohn N.V.,
1948.
10. Baker, Ernest. Principles of Social and Political heory.
1963.
11. Cleary, Edward W. McCormick’s Handbook of the Law of
Evidence. St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972.
12. Cardozo LLD, Benyamin N. he Nature of Judicial
Process. New Haven, Yale University Press.
13. Dorman, Peter J. Dictionary of Law. Running Press,
Philadelphia, Pennsylvania, USA, 1976.
14. Drion, Prof. Mr. H. Bewijzen in hetrecht. R.M. hemis
1966 af1. 5/6.
15. Diamond, A.S.. Primitive Law. Second Editions, Ch. xxx.
16. Enschede, Prof. Mr. Ch. J. Bewijzen in het strafrecht. R.M.
hemis 1966 af1. 5/6.
17. Fairchild, H.P. Dictionary of Sociology and Related
Scineces. Ames, Iowa: Littleield, Adam & Co. 1959.
18. Gurvitch, George. Sosiologi Hukum. (Terjemahan
Sumantri Mertodipura), Bharatara, Jakarta, 1961.
19. Gillers, Stephen. An American Civil Liberties Union
Handbook: he Rights of Lawyers and Clients. A Discus
Book, Published by A von Books, USA, 1979.
20. Jacobs, Milton C. Civil Trial Evidence, Second Edition,
New York, 1949.
21. Laski, N.J. A Grammar of Politics. Fith Editions, London,
Steven & Sons, 1966.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 159
22. Mayers, Lewis. he Machinery of Justice; An Introduction
to Legal Structure and Process. Foundations of law in a
business Socies, Series, Prentice Hall Inc. Englewood
Clifs, New Jersey, 1963.
23. Paton, G. W. A Text Book of Jurisprudence. Oxford, at the
clarendon Press, 1964.
24. Pound, Roesco. Perspective of Law. Essay for Austin
Wakeman Scott, Little Brown and Company, Boston,
Toronto, USA, 1964.
25. Pound, Roesco. An Introduction to the Philosophy of Law.
New Haven, Yale, University Press, 1959.
26. Pitlo, Prof. Mr. A. Pembuktian dan Daluwarsa.
(Terjemahan), PT Intermassa, Jakarta, 1976.
27. Sunarjati Hartono, Dr.S.H. Kapita Selekta Perbandingan
Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
28. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Hukum Acara
Perdata Indonesia. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981.
29. Sudikno Metokusumo Prof. Dr., S.H. Beberapa Asas
Pembuktian Perdata dan Penerapannya dalam Praktik.
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1980.
30. Supomo, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Acara Perdata Peng
adilan Negeri. Penerbit Fasco, Jakarta, 1958.
31. Subekti, Prof. Dr. R. S.H. Hukum Pembuktian. Penerbit
Pradyaparamita, Jakarta, 1978.
32. Sukardono, Prof. R. S.H. Penggunaan Upayaupaya
Pembuktian dalam Prosedur Perdata. Majalah Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12.
33. Bhklar, Judith. Legalism. Cambridge, Harvard University
Press, 1964.
34. Stein, Mr. P.A. “Compendium van het–Burgelijk Pro
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata160
cesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973.
35. Soejono Sukanto, Dr. S.H. Kegunaan Sosiologi Hukum
bagi Kalangan Hukum. Penerbit Alumni, Bandung, 1979.
36. Satjipto Rahardjo, Prof. Dr. S.H. Hukum Mayarakat dan
Pembangunan. Penerbit Alumni, Bandung, 1976.
37. Hemphill & Hemphill. he Dictionary of Practical Law.
Prentice Hall, Inc. Englewood Clifs.
38. hesing, Mr. H. De Grondslogan van de Bewijslast in de
Civila Procedure”. S’Gravenhage, 1961.
39. hayer, James Bradley. Preliminary Treatise on Evidence,
1898.
40. Wirjono Prodjodikoro, hayer, Prof. Dr. R. S.H. Hukum
Acara Perdata Indonesia. Penerbit Sumur Bandung, 1980.
41. Wiersma, Prof. Mr. H. Bewijzen in het Burgelijk Geding,
R.M. hemis, 1966.
42. Wise. B. R. Cutlines of Jurisprudence. 1959.
43. ——————. Compendium Hukum Belanda.
44. ——————. Journal of Forensic Science. Vol. 9. No. 4.
45. ——————. UndangUndang Pokok Kekuasaan Keha
kiman.
46. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab UndangUndang Hukum
Perdata (BW). Penerbit Pradnyaparamita, Jakarta, 1978.
47. Subekti, Prof. R., S.H. Kitab UndangUndang Dagang dan
UndangUndang Kepailitan. Penerbit Pradnyaparamita,
Jakarta, 1973.
48. Chidir Ali. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Pem
buktian. Jilid 1, Binacipta, 1981.
49. ——————. Idem, Jilid 2.
50. Retnosupartinah & Kunthoro Basuki. Kumpulan Un
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 161
dangundang dan Peraturanperaturan Pemerintah yang
Berhubungan dengan Masalah Peradilan. Penerbit Seksi
Peradilan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1980.
51. Tresna, Mr. R. Komentar HIR. Penerbit Pradnyaparamita,
Jakarta, 1975.
52. Wantjik Saleh, K. S.H. Intisari Yurisprudensi Pidana dan
Perdata. PT Ichtiar Baru, Jakarta, 1973.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
1. Apeldoorn, Prof. Mr. L.J, Van. Pengantar Ilmu Hukum.
(Terjemahan Utarid Sandino). Penerbit Nooedhof Kolf
N.V., Jakarta 1957.
2. Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H. Pengantar Ilmu Hukum dan
Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito, Bandung, 1977.
3. Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum di Indonesia.
Penerbit LP3ES,Jakarta, 1981.
4. Amin, S.M. Hukum Acara Pengadilan Negeri. Penerbit
Pradnyaparamita, Jakarta, 1976.
5. —————. Bertamasya Ke Alam Hukum. Penerbit
Fasco, Jakarta, 1954.
6. A.T Hamid. Caracara Beperkara dan Praktik Pengadilan.
Penerbit Dana Kesejahteraan Pegawai Pengadilan Negeri
Ujungpandang,1980.
7. Clad.J.C. Beberapa catatan tentang pengalaman Selandia
Baru dalam pelayanan hukum kepada mereka yang eko-
no minya lemah. Termuat dalam majalah hukum dan
keadilan, No. 14, 1980.
8. Hapsoro, Prof. B. R. M. S.H., “Sistem Peradilan di
Kraton-Kraton Jawa Tengah,” termasuk dalam majalah
Sangkakala Peradilan, No. 5, 1972.
DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG
(Daftar Literatur yang Merupakan
Bahan Bacaan dalam Menyusun Buku Ini,
Tetapi Tidak Terdapat dalam Kutipan)
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata164
9. Hermin Hadati Koeswadji. Beberapa Permasalahan
Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan
Hukum, Hukum dan Bantuan Hukum. Penerbit PT Bina
Ilmu, Surabaya, 1980.
10. Kusumandi Pudjosewojo. Pedoman Pelajaran Tata Hu
kun Indonesia. Penerbitan Aksara Baru Jakarta, 1976.
11. Karjadi, M. Peradilan di Indonesia. Penerbit Politeia
Bogor, 1975.
12. Katz, June. Masalah Bantuan Hukum bagi orang miskin
di Amerika Serikat. Termasuk dalam majalah hukum
dan keadilan, No. 5/5 Tahun 1973.
13. Ko Tjay Sing, Prof. Rahasia Pekerjaan Doktor dan
Advokat. Penerbit Gramedia, Jakarta,1978.
14. Lev, Daniel,S., Bushlayer (Pokrol Bambu)in Indonesia.
termuat dalam majalah hukum dan keadilan, No. 5
tahun 1973.
15. Lintoong Oloan Siahaan. Jalanan Peradilan Perancis Le
bih Cepat dari Peradilan Kita. Penerbit Ghalia, Indonesia,
1981.
16. Moraland, Caroll C. Equal Justice Under Law, Oceana
Publications, Inc. New York, 1957.
17. ———————. Jurimetrie. Ars Aequi, Beutler Publicite,
Amsterdam.
18. ———————. Susunan pengadilan dalam Negara
Republik Indonesia. Pustaka Rakyat N.V. Jakarta, 1952.
19. Rubini S.H dan Chidir Ali S.H. Pengantar Hukum Acara
Perdata. Penerbit Alumni, Bandung, 1952.
20. Ruslan Salah, Prof., Jurimetrie, Suatu Cara Berpikir dan
Berbuat dalam Hukum. Penerbit Aksara Baru, Jakarta,
1979.
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
165
21. Surrency, Erwin C. A Guide to Legal Research. Supplement
ed. Edition, Oceana Publication Inc Dobbs Ferry, New
York, 1966.
22. Subekti, Prof. R. S. H. Praktik Hukum. Penerbit Alumni,
Bandung 1974.
23. Subekti, Prof. R. S.H. Hukum Acara Perdata. Penerbit
Binacipta, 1977.
24. Soerjono Sukanto, Dr, S.H, MA dan Purnadi. Perundang
undangan dan Yurisprudensi. Penerbit Alumni, Bandung,
1972.
25. Sri Soemantri, S.H. Hak Menguji Material di Indonesia.
Penerbit Alumni, Bandung, 1972.
26. Soemarno P. Wirjanto, Mr. Profesi Advokat. Penerbit,
Alumni, Bandung, 1976.
27. Sudikno Pertokusumo, Pro. Dr. R.M. S.H. Meningkatkan
Kesadaran Hukum Masyarakat. Penerbit Liberty,
Yogyakarta 1981.
28. Subekti, Prof. R. S.H. Kekuasaan Mahkama Agung RI.
Penerbit Alumni Bandung, 1980.
29. Soerjono Sukanto, DR. S.H, M.H. Pendidikan Hukum,
Penelitian dan Profesi yang Berhubungan dengan Hukum.
Termuat dalam majalah hukum dan keadilan No. 5/6
tahun 1973.
30. Sri Uindojati. Kesankesan dari Australia. Termuat dalam
majalah Sangkakala Peradilan, No. 4.197131.
31. Sudikno Mertokumo, Prof. Dr. R.M. S.H. Bunga Rampai
Ilmu Hukum. Penerbit Seksi Peradilan Falkutas Hukum
UGM, Yogyakarta, 1981.
32. Wantjik Saleh, S.H. Kehakiman dan Peradilan. Ghalia
Indonesia, 1977.
Daftar Literatur Tidak Langsung
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Istilah Asing 167
1. a caontrario 29
2. a critical mechanism 105
3. Act 20
4. Admissibility 92
5. Admissible evidence 79
6. Advokat 49
7. Aestimatoir 99
8. airmatif 107
9. akta partij 86
10. Analisis 72
11. analog 28
12. analogi 29
13. Anglo Saks 4
14. Arbitrase 9
15. argumentasi 39
16. argumentum a contrario 30
17. assertair 99
18. Audi et Alteram Partem 12
19. Autentik 78
20. aveu complexe 98
21. Aveu pur et simple 68
22. aveu qualiie 98
23. Behaviour 252
24. Bekentenis 98
25. Beneicium 65
26. Beslissende Bewijskracht 83
27. Bewijs 16
28. beyond reasonable doubt 10
29. bezitter 118
30. Bis de eadem re ne sit actio 65
DAFTAR ISTILAH ASING
31. bloot airmatif 122
32. Circumstantial evidence 78
33. Common Law 4
34. Commonwealth 4
35. Communis Opinio Doctorum
42
36. Compurgation 74
37. Compurgator 74
38. Confession 98
39. Conlic of human interest 62
40. Conlicting evidence 79
41. Contentieuse jurisdictie 23
42. Contradictoir 28
43. Conviction intime 17
44. Conviction raisonnee
45. Cumulative evidence 79
46. De gustibus non est Dis
putandum 68
47. De lege lata 125
48. De tournament de pouvoir 115
49. debitur 119
50. Decisoir 43
51. Declaratoir 28
52. defendant 47
53. deinisi 23
54. Demonstrative evidence 79
55. Diferesial 151
56. Direct evidence 78
57. documentary 20
58. Documentary 77
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata168
59. Dogmatik hukum
60. doktrin 28
61. Dosen 49
62. Droit Prive 64
63. Eigen Wetenschap des Rechters
39
64. Eigenrichting 8
65. Eines Mannes Rede Ist Keines
Mannes Rede 64
66. eiser 47
67. eksekusi 53
68. Equity 64
69. Errare Humanum Est, Turpe
in Errore Perseverare 71
70. esensi 31
71. Eventual maxim 12
72. Evidence 16
73. Evidence in writing 78
74. ex oicio 100
75. Expertise 80
76. Extrinsic evidence 79
77. factum 33
78. Fama 42
79. Family Provision 20
80. Fenomenologik 2
81. Fiksi 66
82. Finansial 55
83. fokus 2
84. Follow up 25
85. Formal yuridis 60
86. Fructus stantes 4
87. gedaagde 47
88. Gedeeltelijk Bewijskracht 83
89. General rules 64
90. Genetis 151
91. Gerechtigkeit 61
92. Geschrit 91
93. guilty or not guilty 25
94. HandBook 4
95. historis sosiologis 148
96. Hukum Objektif 34
97. Hukum Positif Quaestio facti
66
98. Hukum Subjektif 34
99. Immunities 6
100. in concreto 18
101. Inderect evidence 78
102. Inheritance 20
103. Innerlijke samenhang waarin
ieder nieuw probleem zijn
antwoord vindt 2
104. intervensi 29
105. intuitif 17
106. irrelevant 36
107. Ius 33
108. Ius curia novit 11
109. Ius Publicum 125
110. Ius Vigilantibus Scriptum Est
6
111. Judex ne Procedat ex Oicio
63
112. Juris Ignorantia Nocet, Facti
Non Nocet 15
113. Jury 25
114. karakter evidence 92
115. kasasi 134
116. Kasuistis 130
117. klassik 30
118. kolektif 35
119. kompleks 34
120. Konlik 62
121. konstatir 53
122. konstituir 53
123. Konstitusi 28
124. Kontinental 25
125. Kracht van tegenbewijs 84
126. kuratele 48
127. kurator 48
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 169
128. kwaliisir 53
129. law enforcement 32
130. legitima persona standi in
judicio 46
131. Lex Neminem Cogit Ad
Impossiblia 59
132. lisensi 74
133. Litis Decisoir 100
134. living law 150
135. Manifesta non egent Proba
tione 43
136. Material 77
137. Material evidence 82
138. material facts 37
139. Melius est accipere quam
facere in jurism 145
140. Membuktikan secara kon-
vensional 17
141. Mikro Sosiologi Hukum
151
142. Minima non curat praetor
37
143. minuut 85
144. Multa sed non Multum 37
145. Ne Ultra petita 67
146. negatie 117
147. Negative non sunt probanda
113
148. Neme judex odoneus in
propria cause 55
149. Nemo plus juris Transferre
Potest Quam Ipse Habet 69
150. Nemo Testis Indoneus in
Propris Causa 66
151. norm 32
152. Normatif 42
153. Notaris 9
154. Notoir 37
155. Notoir Feiten 39
156. Obiter Dictum 37
157. Onrechtmatigedaad 55
158. onsplitsbare aveu 99
159. Onvolledig Bewijskracht 83
160. optik 151
161. Oral 76
162. Original evidence 77
163. orthodox classiications 4
164. pembuktian historis 18
165. Pendentes 4
166. Perjury 72
167. Personae miserabile 51
168. pihak formal 47
169. pihak materiil 47
170. Pokrol 49
171. Policy maker 252
172. Political Jurisprudence 252
173. Posisi Ubyektif 55
174. positum 120
175. praecumptiones juris et
dejure 97
176. praesumptiones juris tantum
97
177. precedent 93
178. preponderance of evidence
10
179. Presumptions 75
180. Presumptions Facti 97
181. Presumptions juris 97
182. Presumtive evience 78
183. Pride is the Beginning of
Destruction 5
184. Primary evidence 78
185. Primitif 72
186. Privastrecht 64
187. private knowledge 39
188. Private Law 64
189. procedural law 4
190. profesi 149
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata170
191. profesional 150
192. promissoir 99
193. Proof 16
194. Prosesuil 27
195. psychis 107
196. Quad Erat Demonstrandum
33
197. Quaestio facti 66
198. Quaestio juris Quaestio facti
66
199. Quasi Staatrecht 50
200. Quod Bonum Felix Faus
tumque 62
201. Quod Licet Jovi non licet
bovi 36
202. ratio decidendi 37
203. real 20
204. Real evidence 79
205. Realistic Jurisprudence 152
206. Rechterlijke vermoedens 97
207. Rechtserzeugende Tetsachen
123
208. Rechtshindernde Tetsachen
123
209. Rechtsicherheit 62
210. Rechtspersoon 46
211. rechtsvermedens 97
212. Rechtsvernichtende m Tatsa
chen 124
213. Recusatio 67
214. relevant 23
215. remspoor 42
216. Reo negante actitori in
cumbit prabatic 115
217. Res judicata jus facit inter
partes 114
218. Res judicata pro veritate ac
cipitur 114
219. Res judicata provery tate
habatur 114
220. restrictief 115
221. Reus excipiendo it actor 115
222. Rumor 42
223. schematik 31
224. Second hand evidence 79
225. Secondary evidence 78
226. Si due faciunt iden non est
idem 129
227. Si vis pacem para bellum
114
228. Sita konservatoir 13
229. social control 150
230. social engineering 150
231. Socialogical Jurisprudence
152
232. Soilensein 3
233. standar 23
234. substantive law 4
235. supletoir 99
236. Syllogisme 55
237. Testimonium de Auditu 96
238. Testimony 95
239. the burden of persuasion 105
240. the burden of producing
evidence 105
241. the burden of producing of
evidence 109
242. he burden of proof 11
243. the duty of going forward
109
244. he law of procedure 5
245. the plaintif 9
246. he presumption of Inno
cence 45
247. he privilege 6
248. he risk of nonpersuasion
110
249. Toerekeningstheoris 60
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 171
250. Togenbewijs 84
251. Ultra posse nemo obligatur
123
252. Unoriginal evidence 77
253. Untersuchungsmaime 52
254. Unus testis, nullus testis 87
255. Ut sementem feceris, its metis
103
256. Verhandlungsmaxim 12
257. verstek 44
258. Vis Probandi 83
259. Volledig Bewijskracht 83
260. voluntair 23
261. Wager of Law 74
262. whether oral 20
263. wo kein klager ist, ist kein
Richter 3
264. Writings 75
265. yuridis 17
266. yurisdiksi 29
267. yurisprudensi 28
268. yurist 23
269. zoom politican 155
270. Zweekmassigkeit 62
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
1. Asser-Anema-Verdam
2. Anema
3. Aristoteles
4. Asser Scholten
5. Charles F. Hamphill
6. Codoza
7. Districh Rueschamayer
8. Diamond
9. Dias
10. Drion
11. Enschede
12. Eggens
13. Edward Cleary
14. Eugen Echlich
15. Fairchild
16. Friedman
17. Ernest Baker
18. Edwin Baker
19. Edwin C. Caared
20. Hollad, Prof
21. Hans Kelsen
22. John Austin
23. Judith Shklar
24. Kenneth Culp Davis
25. Kusumadi Pudjosewojo
26. Lod Justice Denning
27. Laski
28. Lewis Meyer
29. N. Naguhtan
30. MC. Cormick
31. Milton C. Jacobs
32. Paton
33. P.A. Stein
34. Pittle, Prof
35. Peter J. Darman
36. Paul Bohenran
37. Roscoe Pound
38. Sudikno Mertokusumo
39. Suyling
40. Sir Roland Burrows
41. Supomo, Prof
42. Subekti, Prof
43. Sukardono Prof
44. Star Bushman
45. Stephen Giller
46. Satjipto Rahardjo, Prof
47. Echalten
48. Surjono Sukanta
49. hesing
50. hayur
51. Umar bin Chattab
52. Wugmaer
53. Wirjono Pradjodikara
54. Van Vollenhoven
DAFTAR NAMA ORANG
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
KUH Perdata (BW)
Pasal 1365
Pasal 1910
Pasal 1866
Pasal 1924
Pasal 1465
Pasal 533
Pasal 535
Pasal 1977 ayat 1
Pasal 1244
Pasal 1394
Pasal 1320
Pasal 150
Pasal 1865
Pasal 1912
Pasal 330
Pasal 110
Pasal 1655
Buku IV
Peraturan Mentri Kehakiman No.
1 Tahun 1965
Keputusan Mentri Keha Pasal 145
ayat kiman No. J.P. 14/2/11
HIR
Pasal 145 ayat 2
Pasal 163
Pasal 145 ayat 1
Pasal 145 ayat 4
Pasal 123 ayat 183
Pasal 123 ayat 2
Pasal 176
RBG
Pasal 172
Pasal 284
Pasal 283
Pasal 200
Pasal 147 ayat 1
Pasal 172
Pasal173
Peraturan Lain:
U.U. No. 1 Tahun 1974
Pasal 8 U.U. No. 1 h. 1947
Pasal 9 U.U. No. 1 h. 1975
U.U. No. 1 Tahun 1948
Pasal 8 No. 2 Rv
K.U.H Dagang:
Pasal 274 ayat 2
Pasal 468 ayat 2
U.U. No. 1 Tahun 197
B. 1922 No. 522
DAFTAR PERATURAN/ UNDANG-UNDANG
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
1. Putusan Pengadilan Negeri
Sengkang Tertanggal 1
Agustus 1964, Nomor
80/1964/pdt.
2. Putusan Pengadilan Negeri
Pangkajene Tertanggal
5 Agustus 1964, Nomor
16/1962/pdt.
3. Putusan Pengadilan Negeri
Surakarta Tertanggal 3
Agustus 1962, Nomor
243/1961/pdt.
4. Putusan H.R., 19 Desember
1932
5. Putusan M.A. 15 Maret 1972
Nomor: 547 K/Sip/1971
6. Putusan M.A. 21 Nopem-
ber 1956, Nomor 162 K/
Sip/1955.
7. Putusan M.A. 11 September
1957, Nomor 74 K/Sip/1955.
8. Putusan M.A. tanggal 30
Desember 1957 Nomor 197
K/Sip/1956.
9. Putusan M.A. tanggal 28
Mei 1958 Nomor 8 K/
Sip/1957.
10. Putusan M.A. tanggal 10
Januari 1957 Nomor 108 K/
Sip/1954.
11. Putusan M.A. tanggal 10
Januari 1957 Nomor 94 K/
Sip/1956.
12. Putusan M.A. tanggal 11
September 1975 Nomor 540
K/Sip/1972.
13. Putusan M.A. tanggal 27
Nopember 1975 Nomor 272
K/Sip/1973.
14. Putusan M.A. tanggal 30
Agustus 1958 Nomor 134 K/
Sip/1958.
DAFTAR YURISPRUDENSI
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata178
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Indeks 179
rtokusumo, R.S. Soedikno,
Prof. Dr.: 1, 16, 73, 141
Adjective law: 5-6
Advokat: 48
Akta
- dalam Alat bukti; tertulis:
91-92
Alat bukti: 73-77
- Dalam Hukum acara
pidana: 9
- Tertulis: 90-92
Anema: 21
Audi Et Alteram Partem
- dalam Beban pembuk-
tian: 121-122
Audi et alteram partem: 12,
4561-63
Austin, Jhon: 44, 145
Barker, Ernest: 34
Batas umur: 46-47
Beban pembuktian: 11, 99-
107, 110-111, 131-139
- Asas: 110-115
Behavioral, approach
- dalam Keputusan penga-
dilan: 145
Bohannan, Faul: 150
Burrows, Roland, Sir: 17-19,
74
BW Baru: 26
Circumstatial evidence: lihat
indirect evidence
Cleary, Edward W.: 22, 56,
93, 100
Compurgation: 70-71
Contentieuse jurisdicte: 22
Contradictoir: 27-29
Curia novit: 63
Danning, Lord Justice: 23
Davis, Kenneth Culp: 88
De gustibus non est dispi-
tandum: 65
De Lege Lata, Teori
- dalam Beban pembuk-
INDEKS
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata180
tian: 120-121
Declaratoir: 28
Demonstrative evidence: 76
Descente: 85
Documentary
- dalam Klasiikasi; alat
bukti: 74
Dorman, Peter J.: 71, 102
Drion. H.: 17
Eggens: 17
Enschede, Ch., J.: 93
Eventual maxim: 11
Evidence: 17-19
Expertise: 85
Fiardchild, H.P. 143
Friedman, Lawrence: 147-
148
Gillers, Stephen: 103
Gurvitch, George: 144
Hak
- Dalam Pembuktian: 32-
35
Hak, Teori
- dalam Beban pembuk-
tian: 118-120
Hamphill, Charles F.: 5, 71,
76, 101
Hamphill, Phyllis D.: 5, 71,
76, 101
Holand, Prof.: 33
Hukum acara perdata: 8-14
Hukum acara pidana inter-
nasional: 13-15
Hukum acara pidana: 8-12
Hukum materiil: 4
Hukum perdata: 3
Hukum privat
- Dalam Sistem Hukum: 2
Hukum proses: 4, 5
Hukum publik
- Dalam Sistem Hukum: 2
Indirect evidence: 75
Ius Curia Novit: 10
Jacobs, Milton C.: 19, 73
Jaksa
- Dalam hukum acara
pidana: 8
Kasuistik
- dalam Beban pembuk-
tian: 123-127
Kebenaran formal: 9
Kebenaran materi: 9
Kebiasaan
- Dalam Sistem Hulum: 2
Kekuatan pembuktian: 80-
87
- sempurna: 80-83
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Indeks 181
- lemah: 80, 83
- sebagian: 80, 83
- menentukan: 84
- perlawan: 84
Kelsen, Hans: 58
Konvensional,. Approach
- dalam Keputusan penga-
dilan: 145
Kuasa: 49-50
Kuratele: 48
Laski, Harold: 144
Law enforcement: 31
Legislatif, lembaga
- Dalam Sistem Hukum: 2
Legitima persona standi in
judicio: 46
Lus Publicum, Teori
- dalam Beban pembuk-
tian: 121
Martokusumo, Soedikno: 7
Material
- dalam Klasiikasi, alat
bukti: 74
Mayers, Lewis: 102
McCormick, Dean: 104
Negativa Non Stunt Proban-
da, Teori
- dalam Beban pembuk-
tian: 117-118
Nemo plus juris transferre
potest quam ipse habet:
66
Nemo testis indoneus in
propria causa: 64
Obitar dictum: 36
Onsplitsbaar aveu: 136-137
Oral
- dalam Klasiikasi, Alat
bukti: 74
Patton, George Whitecross:
4, 69-70, 74
Pembuktian ilmiah: 23-24
Pembuktian: 15-56
- Tujuan: 20
Pemulihan hak: 4
Pengacara
- dalam Persengketaan
perdata: 46, 48
Pengakuan
- dalam Alat buklti: 95
- dalam Beban pembuk-
tian: 132-1133
o dengan klausul: 132
o dengan kualiikasi: 132
- pembagian: 134
Pengampu
- dalam Persengketaan
perdata: 46, 47-48
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata182
Penggugat
- Dalam Hukum acara
perdata: 9
- Dalam Persengketaan
perdata: 46
Penyalahgunaan wewenang:
150
Peradilan, Lembaga
- Dalam Sistem Hukum: 2
Peradilan: 2
Peristiwa
- Dalam Pembuktian: 32-
33, 35
- Prosesuil: 37
- Notoir: 37-40
- Pengetahuan umum: 41-
42
- Tidak perlu di buktikan:
42-44
Perjanjian pembuktian:
153-156
Pound, Roscoe: 45
Presumptive evidence: lihat
indirect evidence
Procedural law: 4
Prodjodikoro, R. Wiryono,
Prof. Dr.: 6
Profesi: 143
Proof: 20, 99
Ratio decidendi: 36
Real evidence: 76`
Rechtapersoon: 46
Resiko pembuktian: 135-136
Rueschemenyer, Dietrich:
143
Saksi
- tidak mampu: 64
Scholten, Paul: 58
Shklar; Judith: 44
Sistem hukum: 1-2
Soekardono, R. Prof.: 39
Sollen sein: 30-32
Sosiologi hukum
- dalam Beban pembuk-
tian: 141-148
- macam: 144
Subekti, R. Prof. Dr.: 21, 22
Subtantive law: 4
Subtantive law: 5-6
Sukanto. Soerjono, DR.: 145
Sumpah
- dalam Alat bukti: 96
- decisoir: 96-97
- supletoir: 96-97
- aestimatoir: 96-97
Supomo, Prof. Dr.:20
Suyling: 17
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Indeks 183
Teori Bebas
- dalam Pembuktian: 87-
90
Teori negatif
- dalam Pembuktian: 87
Teori positif
- dalam Pembuktian: 87
Tergugat
- Dalam Persengketaan
perdata: 46
hayer: 104
hesing, H.: 102
Tradisional, approach
- dalam Keputusan penga-
dilan: 145
Tugas hakim
- dalam Pembuktian: 52-
55
Tugas hakim
- dalam Sosiologi hukum:
145-148
Tujuan hukum: 59
Ultra ne petita: 65
Unterbuchungsmaxime: 51
Unus testis nullus testis
- dalam Alat bukti, Pem-
buktian: 93
Van Vollenhoven: 1
Verhandlungo maxime: 52
Verhanlung maxim: 11
Vis Probandi: lihat Kekuatan
pembuktian
Voluntair: 28
Wager law: 70-71
Wali
- dalam Persengketaan
Perdata: 46
Yuridis
- dalam Beban pembuk-
tian: 127-129
Kesaksian
- dalam Alat bukti: 92-93
Persangkaan
- dalam Alat bukti: 93-94
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata184
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 185
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata186
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om
Daftar Literatur Langsung 187
pustaka-indo.blogspot.com
http
://pu
stak
a-in
do.b
logs
pot.c
om