quality of dental care di klinik gigi puskesmas …€¦  · web view · 2015-02-15clinical...

45
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Telaah Pustaka 1. Clinical practice guidelines a. Pengertian clinical practice guidelines Prinsip-prinsip dan filosofi praktik klinis yang berbasis bukti sudah banyak diterapkan dalam berbagai bidang pelayanan kesehatan di berbagai negara. Prinsip inilah yang kemudian dituangkan secara formal dan sistematis dalam suatu dokumen yang disebut dengan clinical practice guidelines (CPG) (Sutherland dan Matthews, 2004). Jadi CPG merupakan suatu instrumen yang menyajikan bukti-bukti ilmiah dalam format yang mudah diakses oleh para klinisi (Bahrami, 2004). CPG didefinisikan sebagai suatu pernyataan (statement) yang disusun secara sistematis dan dirancang untuk membantu para dokter dan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai tindakan yang tepat dalam kondisi klinis yang spesifik (Sutherland dkk. 2001a; Broughton dan Rathbone, 2003). Van der Sanden dkk. (2004) menyatakan bahwa CPG disusun untuk meningkatkan kualitas perawatan (quality of care), khususnya dalam keadaan yang tidak pasti. Dalam pengembangannya, CPG disusun dan disintesis dari bukti-bukti ilmiah terbaik yang tersedia dari berbagai penelitian klinik. Bukti-bukti ini kemudian dikombinasikan dengan keahlian klinis dari para klinisi yang kemudian menghasilkan rekomendasi klinis, yang disebut CPG. Jadi, CPG adalah rekomendasi bagi profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan kepada seorang individu, yang didasarkan atas bukti-bukti terbaik yang tersedia, yang bersifat saran 9

Upload: doduong

Post on 13-Apr-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Clinical practice guidelines

a. Pengertian clinical practice guidelines

Prinsip-prinsip dan filosofi praktik klinis yang berbasis bukti sudah banyak diterapkan

dalam berbagai bidang pelayanan kesehatan di berbagai negara. Prinsip inilah yang kemudian

dituangkan secara formal dan sistematis dalam suatu dokumen yang disebut dengan clinical

practice guidelines (CPG) (Sutherland dan Matthews, 2004). Jadi CPG merupakan suatu

instrumen yang menyajikan bukti-bukti ilmiah dalam format yang mudah diakses oleh para

klinisi (Bahrami, 2004).

CPG didefinisikan sebagai suatu pernyataan (statement) yang disusun secara

sistematis dan dirancang untuk membantu para dokter dan pasien dalam pengambilan

keputusan mengenai tindakan yang tepat dalam kondisi klinis yang spesifik (Sutherland dkk.

2001a; Broughton dan Rathbone, 2003). Van der Sanden dkk. (2004) menyatakan bahwa

CPG disusun untuk meningkatkan kualitas perawatan (quality of care), khususnya dalam

keadaan yang tidak pasti. Dalam pengembangannya, CPG disusun dan disintesis dari bukti-

bukti ilmiah terbaik yang tersedia dari berbagai penelitian klinik. Bukti-bukti ini kemudian

dikombinasikan dengan keahlian klinis dari para klinisi yang kemudian menghasilkan

rekomendasi klinis, yang disebut CPG.

Jadi, CPG adalah rekomendasi bagi profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan

kepada seorang individu, yang didasarkan atas bukti-bukti terbaik yang tersedia, yang bersifat

saran untuk membantu praktik profesi kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan keputusan

klinis dan tidak untuk mengganti pengetahuan dan kemampuan mereka (Sutherland dkk.,

2001a; Dutchak, 2004). CPG bermanfaat baik bagi dokter maupun bagi pasiennya, karena

CPG meningkatkan kualitas informasi yang tersedia bagi para dokter gigi, membantu dalam

pengambilan keputusan, dan oleh karenanya akan meningkatkan kualitas pelayanannya

(Sutherland dkk., 2001a).

Dutchak (2004) menyatakan bahwa CPG dapat mencakup seluruh proses tata laksana

dari suatu penyakit atau kondisi, atau bagian dari tata laksana, mulai dari pencegahan dan

perawatan diri, pelayanan primer, pelayanan sekunder, sampai pada pelayanan spesialistik.

Jadi kondisi yang direkomendasikan dalam suatu CPG bisa sangat luas, atau sebaliknya,

sangat spesifik. Sebagai contoh, CPG dapat memberi rekomendasi tentang tatalaksana suatu

9

10

gejala, misalnya rasa sakit, atau sebuah alat, misalnya kateter, atau suatu kondisi spesifik,

misalnya psikosis (Editorial, 2004).

Darling (2002) menyatakan bahwa suatu CPG dikembangkan untuk berlaku bagi

sebagian besar pasien dalam situasi klinis tertentu. Suatu CPG tidak selalu cocok dengan

setiap situasi klinis yang terjadi. Long (2001) menyebutkan bahwa dipandang dari ilmu

statistika, maka suatu CPG adalah suatu ukuran pemusatan dan ukuran-ukuran deskriptif dari

suatu set data. Oleh karena itulah maka implementasi CPG masih menyisakan ruang bagi para

klinisi untuk membuat keputusan klinis.

Dalam proses perawatan klinik, CPG dapat digunakan sebagai suatu peta jalan

(roadmaps) yang mencegah para klinisi berjalan menjauhi jalur yang seharusnya dilalui. Jadi

CPG bukan sebagai suatu resep masakan yang ramuannya bervariasi dan sering sukar

difahami dan diimplementasikan (Sutherland dkk., 2001b). Dalam proses perawatan klinik,

CPG juga berperan untuk memberikan informasi, yang akan memperkuat keputusan klinis

yang diambil oleh seorang klinisi. Hasil yang lebih baik akan tercapai, karena dengan

menggunakan CPG, dalam pengambilan keputusan klinis, akan diintegrasikan bukti-bukti

terbaik dari penelitian-penelitian klinik dengan keahlian klinis dan juga dengan keinginan

pasien (Glenny dan Simpson, 2004).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri suatu CPG adalah: suatu

dokumen (statement) yang disusun secara sistematis, dikembangkan berbasis pada hasil

penelitian terbaru dan terbaik, merupakan rekomendasi yang tidak mengikat, dapat mencakup

seluruh proses atau bagian dari tatalaksana suatu penyakit atau kondisi. CPG bukan

merupakan protokol yang bersifat kaku. Dalam penggunaannya, CPG akan dikombinasikan

dengan keahlian klinis seorang dokter serta preferensi (keinginan) pasien, bertujuan untuk

mendapatkan hasil perawatan terbaik dan termurah dari alternatif lain yang ada, berfungsi

untuk mengurangi variasi dalam perawatan klinik, dan dapat diaudit.

b. Clinical practice guidelines di bidang kedokteran gigi

Sejak dicanangkannya satu dekade yang lalu, beberapa CPG di bidang kedokteran gigi

telah dikembangkan oleh para peneliti maupun institusi kesehatan. Beberapa di antaranya

disajikan di bawah ini.

The Canadian Collaboration on Clinical Practice Guidelines in Dentistry (CCCD)

telah mengembangkan sebuah guidelines yang bertujuan untuk membantu para klinisi untuk

pengobatan untuk pengurangan rasa sakit pada pasien yang menderita periodontitis apikal akut

dan abses apikal akut. Guidelines ini disetujui dan diimplementasi oleh CCCD pada 6

Desember 2002 (Glenny dan Simpson, 2004).

Berbeda dengan guidelines tersebut di atas yang terbatas pada pemberian obat untuk

mengurangi rasa sakit, the Faculty of Dentistry The Royal College of Dental Surgeon of

11

England yang bekerjasama dengan British Society for Disability and Oral Health, pada tahun

2001 menerbitkan guidelines yang mencakup perawatan yang lebih komprehensif. Dalam

dokumen yang berjudul: Clinical Guidelines and Integrated Care Pathways for The Oral

Health Care of People with Learning Dissabilities tersebut dikembangkan guidelines yang

mencakup aspek-aspek: pelayanan kesehatan gigi bagi anak-anak pra sekolah dan anak

sekolah, pelayanan kesehatan pada masa transisi, pelayanan kesehatan gigi pada usia dewasa

dan lansia, tata laksana masalah komplikasi spesifik, penggunaan bahan sedatif untuk

penderita dengan gangguan belajar, penggunaan anestesi umum bagi penderita dengan

gangguan belajar (Faculty of Dental Surgery The Royal College of Surgeons of England,

2001).

Empat tahun sebelumnya, institusi ini bahkan telah menyusun suatu guidelines yang

jauh lebih komprehensif, yang tersaji dalam National Clinical Guidelines 1997. Pedoman

yang tercakup di dalamnya meliputi: tata laksana pasien dengan gigi molar tiga impaksi, tata

laksana perikoronitis, tata laksana dan pencegahan dry socket, dan tata laksana fraktur sendi

rahang unilateral, tata laksana kaninus rahang atas ektopik palatal, tata laksana gigi seri rahang

atas yang tidak tumbuh, pencegahan karies pada anak, pelayanan gigi permanen pada anak

yang terlepas, dan pelayanan gigi insisivus bawah intrusi karena trauma pada anak. Selain itu,

pedoman ini juga mencakup: pelayanan gigi dan mulut berkelanjutan, skrining untuk

mendeteksi penyakit periodontal, pemilihan pasien yang cocok untuk menerima pelayanan

dengan implantasi gigi, restorasi gigi dengan vinir porselein (Faculty of Dental Surgery The

Royal College of Surgeons of England, 1997a).

Pada tahun 1997, American Association of Orthodontics (1997) mengembangkan

guidelines bagi perawatan ortodonsi dan ortopedi dentofasial. Guidelines ini meliputi:

pertimbangan pra perawatan, diagnosis dan perawatan, serta tujuan perawatan dan faktor

penyulit (limiting factors). Selain itu, guidelines ini juga memberikan pedoman tentang:

konsultasi perawatan dan informed consent, evaluasi pasca perawatan, dan penilaian hasil

perawatan, pemakaian retensi, pengelolaan kartu rekam medik, serta rujukan pasien ortodonsi.

Di bidang ilmu kedokteran gigi anak, Faculty of Dental Surgery The Royal College of

Surgeons of England pada tahun 2002 menerbitkan CPG dalam penggunaan sedatif dalam

perawatan gigi anak (Hosey, 2002). Guidelines ini mencakup: definisi dari conscious sedation,

pilihan jenis obat sedatif bagi anak yang menjalani perawatan gigi dan mulut, cara pemberian

obat sedatif, masalah polifarmasi, komplikasi yang mungkin muncul dalam perawatan

menggunakan sedatif, cara melakukan pengawasan, dan penggunaan anestesi umum. Masih di

bidang kedokteran gigi anak, Royal Children’s Hospital Melbourne menyusun CPG untuk

beberapa topik, yakni: karies gigi/sakit gigi, abses, trauma pada gigi, dan trauma berat di

daerah wajah dan maksila (Royal Children’s Hospital Melbourne, tanpa tahun).

12

Dalam topik pewarnaan gigi, Wray dan Welbury (tanpa tahun) menyusun CPG untuk

diagnosis dan tata laksana diskolorisasi intrinsik pada gigi depan permanen pada anak dan

remaja. Guidelines lainnya yang menyangkut topik noninfeksi adalah mengenai tatalaksana

pasien dengan molar tiga terbenam. Guidelines ini meliputi: indikasi pencabutan, faktor-faktor

yang meningkatkan risiko yang merugikan, dan cara pengobatannya (Faculty of Dental Surgery

The Royal College of Surgeons of England, 1997b).

Glenny dkk. (2010) menyusun CPG pelayanan gigi dan mulut bagi pasien yang

mendapatkan terapi kanker pada kelompok usia anak-anak, remaja, dan dewasa muda. Berry

dkk. (2011) melakukan penelitian untuk menyusun CPG perawatan higiene mulut bagi pasien

yang menderita sakit kritis. Pengembangan CPG dilakukan melalui penelusuran dan kajian

literatur yang dikombinasi dengan konsensus dari kelompok perawat penyakit kritis dan

akademisi. Guidelines ini mencakup sebelas rekomendasi berkenaan dengan perawatan

higiene mulut pada pasien kritis. Momoi dkk. (2012) menyusun CPG pelayanan karies gigi

pada kelompok usia dewasa pasca adanya kebijakan intervensi minimal.

Yuasa dkk. (2013) mengembangkan suatu CPG untuk perawatan gangguan sendi

temporomandibular. Guidelines ini dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip

evidence-based dentistry (EBD) dan pendekatan GRADE (the grading of recommendations

assessment, development and evaluation approach). Dalam CPG ini tercakup rekomendasi

untuk jenis pelayanan: terapi splint, latihan membuka mulut, dan penyesuaian oklusal

(occlusal adjustment).

Dari semua contoh CPG, yang dipandang paling komprehensif adalah CPG dalam

penggunaan fluor di Amerika Serikat (US Department of Health and Human Services, 2001).

Guidelines yang tersaji dalam dokumen yang disusun oleh Centers for Disease Control and

Prevention (CDC) ini adalah suatu CPG yang berlaku secara nasional di Amerika Serikat. Di

dalam CPG ini tercakup rekomendasi terhadap berbagai macam penggunaan fluor, baik di

klinik dokter gigi, fluoridasi sebagai program kesehatan masyarakat, penggunaan fluor oleh

diri sendiri, dan rekomendasi untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.

c. Kontroversi dalam implementasi CPG

Manfaat dan kerugian implementasi CPG. CPG bertujuan untuk meningkatkan

kualitas pelayanan dan luaran klinis dengan menggunakan bukti-bukti terbaru dan terbaik

yang dikombinasi dengan keahlian klinis para klinisi serta preferensi dari pasien demi

kepentingan pasien yang terbaik. Sutherland dkk. (2001a) mencatat bahwa di Inggris, CPG

yang dikembangkan oleh NHS akan memberikan saran untuk membantu pengambilan

keputusan oleh dokter dan pasiennya. Jadi CPG adalah suatu alat bantu pengambilan

keputusan yang tidak mempunyai kekuatan untuk mewajibkan. Di Kanada, pengembangan

CPG juga menggunakan filosofi ini.

13

Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan CPG yang dilakukan oleh NHS semata-

mata demi untuk kepentingan pasien. Kenyataannya tidaklah sesederhana itu, karena

pengembangan dan implementasi CPG tidak terlepas dari berbagai konflik kepentingan. Selain

itu, Woolf dkk. (1999) mencatat bahwa CPG tidak hanya memberikan manfaat, tetapi juga

kerugian-kerugian. Kerugian dari implementasi CPG inilah yang juga menimbulkan

kontroversi bagi implementasi CPG.

Kerugian dari pengembangan dan implementasi CPG berkaitan dengan asumsi yang

digunakan dalam pengembangan dan implementasi CPG. Haycox dkk. (1999) menyatakan

bahwa tercapainya tujuan CPG untuk meningkatkan best practice dalam rangka untuk

meningkatkan outcomes of treatment didasarkan pada dua asumsi. Pertama, bahwa outcome

dalam penelitian klinis bisa direproduksi (memberikan hasil yang sama) jika diberlakukan

pada keadaan normal praktik klinis. Dan kedua, metode perawatan yang dinyatakan efektif

dalam suatu penelitian klinis akan bisa digeneralisasikan menjadi treatment yang optimal di

populasi.

Kenyataannya tidaklah selalu demikian. Seperti diketahui, sebagian besar CPG

didasarkan atas bukti-bukti yang berasal dari suatu randomized controlled trial. Dalam praktek

klinik di situasi nyata, terdapat perbedaan dengan setting penelitian, misalnya: terdapatnya

keterbatasan sumber daya, rendahnya kepatuhan pasien, dan perawatan tidak dapat dilakukan

hanya pada kelompok pasien dengan pembatasan yang sempit, sehingga tidak bisa menyamai

kondisi yang sangat terkendali dalam suatu eksperimen. Oleh karena itu, manfaat yang

diinginkan dari suatu CPG jarang bisa dicapai. Secara metodologis, hal ini adalah disebabkan

karena validitas eksternal hasil penelitian efektifitas CPG rendah (Haycox dkk., 1999).

Di lain pihak, Woolf dkk. (1999) dan Miller dan Kearney (2004) menyebutkan

terdapat tiga keuntungan CPG, yakni bagi pasien, bagi para klinisi, dan bagi sistem pelayanan

kesehatan. Bagi pasien, CPG mempunyai tiga manfaat. Pertama, CPG akan meningkatkan

clinical outcome, dan dengan sendirinya juga akan mengurangi morbiditas dan mortalitas, dan

akan meningkatkan kualitas hidup pasien. Kedua, CPG dapat disajikan dalam bentuk leaflet

yang diberikan kepada para pasien, dan di dalamnya, para pasien dapat mengetahui pilihan-

pilihan perawatan beserta keuntungan dan kerugiannya. Jadi CPG dapat memberdayakan

pasien untuk memilih perawatan terbaik dengan mempertimbangkan kebutuhan dan keinginan

pribadi mereka. Ketiga, CPG bermanfaat bagi pasien dengan cara meningkatkan kesadaran

publik mengenai suatu masalah kesehatan atau pelayanan klinis yang kurang dikenali, atau

tentang intervensi pencegahan penyakit dan juga meningkatkan perhatian masyarakat terhadap

populasi pasien yang terpinggirkan atau yang berisiko tinggi.

Feder dkk. (1999) mencatat beberapa manfaat CPG bagi para klinisi. Manfaat-manfaat

tersebut adalah: (1) CPG merupakan sumber informasi dalam proses continuing medical

education, (2) CPG memberi pemahaman tentang penatalaksanaan suatu kondisi atau

14

penggunaan suatu intervensi tertentu, (3) CPG biasanya mempunyai lingkup yang lebih luas

daripada systematic review, yang berfokus kepada masalah individual atau intervensi

individual, (4) CPG juga bisa memberikan gambaran yang terintegrasi dan logis tentang

bagaimana menatalaksana suatu kondisi klinis tertentu, (5) CPG dapat dipergunakan untuk

melakukan evaluasi diri atau peer review, dalam rangka untuk mempelajari kekurangan dalam

kinerja praktek klinis sehari-hari. Manfaat yang satu ini terutama berlaku bagi rekomendasi

yang sudah dioperasionalisasikan dalam kriteria-kriteria terukur, dan (6) klinisi dapat

menggunakan CPG untuk menjawab masalah klinis yang khusus, yang muncul dalam praktik

klinis sehari-hari.

Woolf dkk. (1999) menyatakan bahwa selain bermanfaat bagi pasien dan bagi profesi

kesehatan, CPG juga bermanfaat bagi sistem pelayanan kesehatan. Bagi sistem pelayanan

kesehatan, CPG bermanfaat dalam meningkatkan efisiensi dalam penganggaran.

Woolf dkk. (1999) dan Miller dan Kearney (2004) menyatakan bahwa di samping

manfaatnya, CPG juga menyimpan potensi kerugian bagi pasien, bagi profesi kesehatan, dan

bagi sistem pelayanan kesehatan. Bagi pasien, CPG akan berbahaya bagi pasien jika

rekomendasi dalam CPG tidak berbasis bukti yang berkualitas tinggi. CPG yang tidak

fleksibel juga dapat meninggalkan ruang bagi klinisi untuk berkreasi dalam memberikan

pelayanan klinis kepada seorang pasien, yang mungkin justru membahayakan pasien tersebut.

Bagi para profesi kesehatan, CPG akan membahayakan jika CPG tersebut

memberikan informasi ilmiah yang tidak akurat, atau rekomendasi klinis yang tidak tepat,

sehingga akan mengorbankan kualitas pelayanan klinis. Hal ini didukung oleh Darling (2002)

yang juga menyebutkan bahwa: (1) dalam beberapa kasus, CPG dikembangkan oleh tim yang

tidak kompeten, dan (2) CPG didasarkan atas bukti-bukti ilmiah, tetapi rekomendasinya

didasarkan atas pendapat pribadi para ahli yang tergabung di dalam tim pengembangan CPG.

Jika demikian halnya, maka para auditor dan para manager institusi pelayanan kesehatan,

mungkin akan melakukan penilaian terhadap klinisi dengan menggunakan CPG yang tidak

valid.

Sistem pelayanan kesehatan dan pembayar jasa pelayanan kesehatan juga akan

dirugikan oleh CPG, jika CPG tersebut meningkatkan utilisasi, berkompromi dengan efisiensi

operasional, atau sebaliknya, menghamburkan sumberdaya yang sangat terbatas. Sebagai

contoh, Haycox dkk. (1999) menyajikan suatu studi kasus dalam manajemen dispepsia. Telah

dikembangkan suatu CPG dalam tata laksana dispepsia di suatu distrik, yang

merekomendasikan bahwa seorang pasien yang mengalami gejala dispepsia dan berusia lebih

dari 45 tahun akan secara otomatis dirujuk ke dokter spesialis.

Kerugian dalam pengembangan dan implementasi CPG juga diungkapkan oleh

Darling (2002). Peneliti ini menyatakan bahwa beberapa hambatan dalam implementasi CPG

adalah karena CPG dirasakan kurang fleksibel, terlalu kompleks, dan bermakna ganda. Selain

15

itu, terdapat CPG yang berlawanan dengan CPG sejenis (conflicting guidelines). Contohnya

adalah CPG untuk kanker paru yang dikembangkan dan dipublikasi oleh Clinical Oncology

Information Network (COIN) yang berlawanan dengan CPG yang sama yang dikembangkan

oleh American Society of Clinical Oncology (ASCO) dan Cancer Care Ontario (CCO). Sudah

barang tentu, hal ini akan membingungkan para klinisi.

Bahwa beberapa CPG dikembangkan oleh tim yang tidak kompeten juga diungkapkan

oleh Savoie dkk. (2000) cit. Darling (2002). Peneliti ini melakukan analisis terhadap CPG

untuk tes kolesterol. Dari lima CPG, ternyata empat di antaranya tidak mencerminkan

hubungan antar rekomendasi dan bukti-bukti ilmiah. Hal ini terjadi karena dalam

pengembangan CPG, kadang-kadang anggota kelompok penyusun CPG tidak memerhatikan

bukti-bukti dari hasil penelitian, tetapi menggunakan dasar pengalaman pribadinya. Jadi, CPG

tidak mencerminkan bukti-bukti terbaru dari literatur ilmiah.

Berkaitan dengan validitas CPG, respon oleh para klinisi terhadap CPG tidak selalu

positif. Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa suatu survei terhadap 3.000 dokter

keluarga dilakukan untuk mengetahui sikap mereka terhadap CPG. Hasilnya menunjukkan

bahwa sebagian besar responden menyatakan kepercayaan yang tinggi terhadap CPG yang

dikembangkan oleh para klinisi, sementara sekitar 51%-77% tidak percaya terhadap CPG yang

dikembangkan oleh kementerian kesehatan atau oleh dinas kesehatan provinsi, atau oleh badan

penyelenggara asuransi kesehatan. Hanya 6% yang percaya terhadap guidelines yang

dikembangkan oleh Blue Cross, dan sekitar 68% percaya bahwa guidelines hanyalah alat

untuk mendisiplinkan para dokter. Sebaliknya, jika CPG dikembangkan secara terbuka dan

bersifat kolaborasi dengan mempertimbangkan banyak umpan balik dari para praktisi, CPG

akan diterima oleh para klinisi.

Kontroversi dalam aspek finansial. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengembangan

CPG berkaitan dengan aspek finansial. Woolf (1999) menyatakan bahwa CPG akan

meningkatkan efisiensi dan mengoptimalkan anggaran di bidang pelayanan kesehatan.

Implementasi CPG juga akan mengurangi hari rawat inap, mengurangi peresepan obat,

mengurangi jumlah operasi, dan mengurangi prosedur klinis yang lain. Memublikasi

kepatuhan terhadap CPG juga akan meningkatkan imej masyarakat tentang komitmen

terhadap mutu pelayanan kesehatan. Imej tersebut juga akan meningkatkan dukungan politis.

Bagi pelayanan kesehatan swasta, hal ini akan dapat meningkatkan penghasilan. Diyakini

bahwa oleh Woolf (1999) bahwa CPG menjadi terkenal karena ada motif ekonomi (finansial)

dibaliknya.

Namun aspek finansial dari CPG ini seperti pisau bermata dua, yang di satu pihak

menguntungkan, dan di pihak lain merugikan. Miller dan Kearney (2004) misalnya

menyatakan bahwa dengan mengimplementasi CPG, penghasilan dokter justru menurun.

Darling (2002) menyatakan bahwa oleh para klinisi, CPG dicurigai akan menjadi alat untuk

16

mengontrol pembiayaan perawatan, atau akan membawa para klinisi menuju kearah

pertanggungjawaban hukum.

Sutherland dkk. (2001a) juga menyatakan bahwa para dokter beranggapan bahwa

CPG memiliki implikasi ekonomi yang tidak adil. Hal ini terjadi jika rekomendasi di dalam

CPG (yang mungkin didasarkan atas bukti-bukti yang kurang terpercaya, atau CPG yang

metodologinya meragukan) akan digunakan oleh pihak asuransi kesehatan untuk menolak

pembiayaan atas beberapa jenis pelayanan dan perawatan gigi.

Sutherland dkk. (2001a) menambahkan bahwa keharusan menggunakan CPG telah

digunakan untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan di Perancis. Di Amerika, CPG telah

digunakan sebagai protokol yang kaku yang harus diikuti oleh para dokter yang dalam sistem

managed care plan untuk menagih biaya pelayanan kepada penyelenggara asuransi. Padahal

Gibson (2004) menyatakan bahwa jika dalam pengembangan CPG ada motif pembatasan

biaya, kualitas pelayanan mungkin justru akan berkurang.

CPG dan otonomi profesional klinisi. Haycox dkk. (1999) menyatakan bahwa CPG

dianggap membatasi keleluasaan profesional. Dalam hal ini, CPG akan memberikan ambang

untuk pelayanan kepada para klinisi, yang sebelumnya sangat bergantung pada keleluasaan

profesional yang dibangun dari pengalaman klinis yang bertahun-tahun. Dalam era banyaknya

tuntutan hukum sekarang ini, para dokter mungkin akan memilih tindakan yang sifatnya aman

(safety first), dan menganggap CPG sebagai suatu batas minimum. Akibatnya CPG justru akan

meningkatkan peresepan, mengesampingkan keleluasaan profesional, dan juga

mengesampingkan bukti-bukti hasil penelitian yang tersedia.

Sutherland dkk. (2001a) juga menyatakan bahwa para dokter gigi menganggap bahwa

penyusunan CPG bagi para dokter gigi dinilai sebagai suatu kegiatan akademik yang tidak

efektif, dan dianggap sebagai suatu pelanggaran terhadap keputusan profesional dan otonomi

para klinisi. Gibson (2004) juga menyatakan bahwa oleh sebagian klinisi, CPG dianggap

sebagai cookbook dentistry yang mengurangi keleluasaan dan otonomi profesional seorang

dokter gigi. Hal ini juga didukung oleh Sutherland dkk. (2001a) yang menyatakan bahwa salah

satu hambatan untuk menerima implementasi CPG adalah perasaan bahwa CPG tersebut akan

digunakan oleh para pengambil keputusan, terutama pemberi biaya pihak ketiga, yang akan

mengurangi otonomi para klinisi.

Liabilitas pengembangan dan implementasi CPG. Sutherland dkk. (2001a)

menyatakan bahwa implikasi hukum pengembangan CPG mempunyai dua sisi. Pertama,

adalah menyangkut pertanggungjawaban dari individu atau organisasi yang menyusun

rancangan CPG. Jika metodologi yang digunakan untuk menyusun CPG tidak ketat dan tidak

transparans, maka akan menghasilkan CPG yang bias. Jika suatu CPG tidak tepat guna atau

menyebabkan kerugian pada pasien, terutama jika CPG terlalu kaku dan menghambat

17

keputusan profesional (sebagai contoh: melalui pemaksaan regulatori ataupun finansial), akan

muncul potensi untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penyusun rancangan CPG.

Kedua, menyangkut pertanggungjawaban para dokter. Beberapa praktisi mungkin berfikir

bahwa CPG dapat menjadi standar perawatan yang bisa digunakan untuk melawan para dokter

dalam kasus-kasus malpraktik.

Sutherland dkk. (2001a) berpendapat bahwa CPG dalam bidang kedokteran tidak akan

dipertimbangkan untuk digunakan sebagai standar hukum perawatan kesehatan oleh

pengadilan. Kecuali bila CPG tersebut diterima secara luas sebagai suatu perawatan yang logis

dan perawatan yang diharapkan oleh sebagian besar anggota komunitas praktisi kesehatan.

CPG akan sangat jarang bersifat tegas. Jadi hanya akan dipertimbangkan sebagai suatu opini.

Akan tetapi, Gibson (2004) berpendapat sebaliknya. Menurutnya, dalam kaitannya

dengan sidang malpraktik, dibutuhkan suatu SC. Berkaitan dengan SC, CPG dapat digunakan

untuk membangun SC. Untuk menentukan SC dalam suatu persidangan malpraktik, CPG

dapat digunakan sebagai bukti yang pembobotannya bisa rendah (di samping adanya bukti-

bukti yang lain), atau bisa dibobot sangat tinggi (CPG dipandang setara dengan SC). Jadi

sangat beralasan jika para dokter merasa bahwa CPG bisa digunakan untuk melawan para

dokter gigi dalam kasus-kasus disiplin, atau tuntutan hukum (Sutherland dkk., 2001a).

Konflik kepentingan. Haycox dkk. (1999) menyatakan bahwa terdapat konflik

kepentingan dalam pengembangan dan implementasi CPG. Dalam hal ini, implementasi CPG

sering menjadi konflik antara penetapan prioritas dalam pelayanan kesehatan yang

anggarannya terbatas, dengan kepentingan sempit dari para klinisi dan industri farmasi. Oleh

perusahaan farmasi, CPG sering digunakan sebagai suatu alat yang ideal untuk mendapatkan

pangsa pasar suatu produk obat. Secara ringkas, dapat disebutkan beberapa pihak yang bisa

terlibat dalam konflik kepentingan pengembangan dan implementasi CPG, yakni: para

profesional klinis yang akan terus berusaha untuk menunjukkan eksistensi dan pengaruhnya,

asosiasi profesi, perusahaan asuransi, industri farmasi yang akan berjuang untuk mendapatkan

pangsa pasar, dan otoritas kesehatan publik yang berupaya untuk meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat dengan anggaran yang biasanya terbatas (Haycox dkk., 1999).

Pertimbangan ekuitas mendapatkan pelayanan kesehatan dalam pengembangan

CPG. Kontroversi yang lainnya berkaitan dengan pengembangan CPG adalah kurang

dipertimbangkannya prinsip ekuitas. Dans dkk. (2007) menyatakan bahwa pengembangan CPG

sering hanya mempertimbangkan efektifitas dari intervensi CPG atau lebih mempersoalkan

cost effectiveness. CPG sering tidak mempertimbangkan ekuitas, dalam arti kelompok tertentu

mendapatkan keuntungan dari CPG, dan kelompok yang lain akan termarjinalkan dan tidak

mendapat manfaat apapun.

Jadi pengembangan CPG tidak boleh hanya berlandaskan efektifitas dan efisiensi,

tetapi juga pertimbangan dimensi sosiopolitik yang meliputi faktor ekuitas dan ketepatan

18

dengan kondisi lokal. Dans dkk. (2007) menyatakan bahwa terdapat lima kriteria yang akan

menjamin bahwa CPG meningkatkan ekuitas, yakni: (1) Apakah rekomendasi terhadap

kesehatan masyarakat mencakup masalah prioritas pada populasi miskin? (2) Apakah ada

alasan mengantisipasi adanya kemungkinan perbedaan efek dari CPG antara kaum miskin dan

kaya? (3) Apakah efek dari intervensi bernilai berbeda antara mereka yang miskin dan mereka

yang kaya? (4) Apakah ada perhatian khusus untuk meminimalkan hambatan terhadap

implementasi CPG pada masyarakat miskin? dan (5) Apakah rencana untuk menilai dampak

rekomendasi dalam CPG mengikut-sertakan kaum miskin?

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, adalah bahwa CPG

mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan dan kerugian tersebut berlaku untuk pasien,

untuk klinisi, dan juga untuk sistem pelayanan kesehatan. Kedua, bahwa upaya pengembangan

dan implementasi CPG, terutama yang berlaku pada skala nasional, tidak lepas dari konflik

berbagai macam kepentingan. Kepentingan-kepentingan tersebut bisa berupa pemaksaan

kehendak dari kelompok profesi tertentu untuk menjadi pemimpin dalam pengembangan CPG,

ketakutan terhadap liabilitas hukum bagi mereka yang menjalankan atau tidak menjalankan

CPG, dan penolakan melaksanakan CPG karena merasakan adanya penurunan penghasilan

oleh beberapa profesi akibat pemberlakuan CPG. Selain itu, konflik kepentingan juga bisa

berupa ketidakadilan yang terjadi akibat CPG bias dan memihak pada mereka yang lebih kaya

daripada kelompok yang miskin (dalam issue ekuitas), kecurigaan bahwa CPG akan membatasi

otoritas profesional para klinisi, kecurigaan terhadap pembatasan jenis pelayanan oleh industri

asuransi, sampai pada industri farmasi yang berusaha untuk merebut pangsa pasar.

2. Proses pengembangan CPG

Sutherland dkk. (2001a) menyatakan bahwa CPG yang baik adalah CPG yang berbasis

bukti, yaitu yang didasarkan atas review sistematis (meta analisis). Darling (2002) menyatakan

bahwa CPG yang baik adalah yang membuat perawatan klinis menjadi lebih konsisten,

sehingga outcome klinis lebih bisa diprediksi, dan lebih murah (cost effective). Namun van der

Sanden dkk. (2004) menyatakan hal itu adalah belum cukup. Untuk memungkinkan

pengembangan CPG yang baik dan bermanfaat, dan untuk meminimalkan hambatan dalam

pelaksanaan secara praktis, maka CPG juga harus didukung oleh organisasi profesi yang

terpercaya, serta didiseminasi secara sistematis dalam suatu format yang mudah difahami dan

dilaksanakan oleh para klinisi.

Menurut Dutchak (2004), format suatu CPG yang lengkap adalah mencakup:

a. Aspek pelayanan yang akan dicakup.

b. Latar belakang epidemiologi.

c. Populasi yang akan dicakup.

d. Institusi pelayanan kesehatan yang dicakup.

19

e. Prosedur diagnostik, perawatan, dan intervensi yang akan dimasukkan atau dikeluarkan.

Namun menurut Miller dan Kearney (2004) tidak ada keseragaman format penyajian

CPG. Ada CPG yang menyajikan format lengkap seperti yang disebutkan di atas, ada yang

berupa lembar rangkuman, atau berupa lembar pengingat (reminder sheet) dalam catatan

pasien. Kombinasi teks dengan algoritma dan daftar pilihan juga sering digunakan. Yang

penting adalah, teknik penyajian CPG harus disesuaikan dengan populasi sasaran, tujuan

penggunaan, dan topik CPG. Jika dimungkinkan, sebaiknya CPG disertai dengan alasan yang

mencakup bukti-bukti yang digunakan, dan bagaimana bukti-bukti tersebut disintesis.

Proses pengembangan CPG bukanlah merupakan proses yang mudah, mengingat

adanya beberapa hambatan yang bisa terjadi. Hambatan-hambatan tersebut adalah (Broughton

dan Rathbone, 2003):

a. CPG tidak disusun oleh suatu tim yang multidisipliner, yakni mereka yang mewakili

pihak-pihak yang akan menggunakannya. Jadi, dalam hal ini, CPG tersebut menjadi ‘tidak

bertuan’.

b. Rekomendasi di dalam CPG yang tidak berdasarkan bukti, akan menghasilkan praktik

yang kurang optimal, tidak efektif, dan membahayakan pasien.

c. Sering terjadi, rekomendasi yang diberikan dalam CPG didasarkan atas interpretasi

terhadap bukti ilmiah yang kurang tepat, dan menyesatkan.

d. Tim pengembangan CPG sering kurang memiliki cukup waktu, sumber daya, dan

kemampuan untuk mengumpulkan dan meneliti bukti-bukti ilmiah secara detail.

e. Keputusan yang dibuat oleh tim pengembangan CPG mungkin merupakan pilihan yang

salah bagi pasien secara individual.

f. Jika tim pengembangan CPG tidak benar-benar multidisiplin dan mewakili

(representatif), rekomendasi yang disusun akan sangat dipengaruhi oleh pendapat,

pengalaman klinis, dan komposisi anggota tim.

g. Kebutuhan pasien mungkin bukan merupakan satu-satunya prioritas dalam menyusun

rekomendasi. Kepentingan para dokter, para manajer risiko, dan bahkan para politisipun

bisa terlibat.

h. CPG yang saling bertentangan dari profesi yang berbeda akan membingungkan dan

membuat frustrasi para praktisi.

i. CPG yang tidak fleksibel dapat membahayakan pasien dalam arti tidak memberikan

keleluasaan bagi para klinisi untuk merancang pelayanan kepada kebutuhan pasien secara

individual dan juga keadaan-keadaan yang sifatnya personal.

Untuk menghindari hambatan-hambatan tersebut, salah satu upayanya adalah

membentuk tim yang benar-benar mewakili para stakeholders. Menurut Sutherland dkk.

(2001a), stakeholders dalam penyusunan CPG adalah:

20

a. Otoritas pembuat regulasi di bidang kedokteran gigi. Badan ini memiliki mandat untuk

melindungi masyarakat dan untuk menjamin kualitas pelayanan yang tinggi, tetapi juga

dapat dirasakan sebagai ancaman bagi para dokter gigi.

b. Asosiasi dokter gigi. Badan ini mendapat mandat untuk mewakili dan mendukung

anggota-anggota mereka, tidak hanya dalam memberikan pelayanan yang berkualitas,

tetapi juga dalam mencapai hasil praktik yang secara ekonomi dapat terus bertahan hidup.

c. Insitusi pendidikan kedokteran gigi. Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) bertanggung jawab

untuk mendidik dokter gigi masa depan dan juga memproduksi banyak penelitian di

bidang kedokteran gigi. Tetapi masukan dari FKG dapat dirasakan terlalu akademis, dan

tidak cocok dengan kebutuhan dokter gigi praktek.

d. Dokter gigi spesialis. Dokter gigi spesialis adalah mereka yang membawa pengetahuan

keahlian ke dalam proses. Kehadiran dokter gigi spesialis ini bisa dirasakan oleh dokter

gigi umum akan bersikap bias, karena ada kecenderungan bahwa mereka akan melayani

para dokter spesialis sendiri.

e. Dokter gigi umum. Oleh dokter gigi spesialis, dokter gigi umum sering dianggap tidak

memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk memberikan saran kepada pasien. Dokter umum

juga sering dianggap sebagai fihak yang seharusnya merujuk pasien kepada spesialis,

tetapi tidak merujuk.

f. Pasien, adalah mereka yang pada akhirnya akan mendapat keuntungan dari

pengembangan CPG.

Jika para stakeholder yang terdiri dari wakil-wakil profesi multidisipliner terwakili di

dalam kelompok pengembang CPG, maka menurut Dutchak (2004) akan diperoleh jaminan

bahwa:

a. Evaluasi dan interpretasi terhadap bukti-bukti yang spesifik dan spesialistik dapat

dilakukan secara tepat.

b. Relevansi CPG bagi realitas praktik klinik sehari-hari tinggi.

c. Ada rasa memiliki dan kerjasama dari semua stakeholder.

d. Pandangan dan pilihan pasien juga didengar.

CPG akan efektif dan menghasilkan outcome yang diinginkan jika CPG tersebut valid.

Grimshaw and Russel (1993) cit. Rycroft-Malone (2001) menyatakan validitas suatu CPG

sebagai:

“CPG are valid if, when followed, they lead to the health gains and costs predicted for them”.

Validitas suatu CPG merupakan salah satu ciri CPG yang baik. Rycroft-Malone (2001)

menyatakan bahwa suatu CPG dikatakan valid secara saintifik jika CPG tersebut: (1)

dikembangkan dari suatu systematic review atau lebih baik lagi, meta-analysis, (2) melibatkan

21

sedikit pengguna CPG, tetapi dalam disiplin keilmuan yang lebih banyak, dan (3) memastikan

adanya hubungan eksplisit antara rekomendasi dengan bukti-bukti ilmiah.

Ciri-ciri suatu CPG yang baik menurut Broughton dan Rathbone (2003) adalah

sebagai berikut:

a. Valid, yakni CPG akan menuntun ke tujuan yang diinginkan.

b. Reproducible, yakni jika dua kelompok menyusun guidelines yang sama, dan

menggunakan evidence yang sama, akan diperoleh CPG yang sama.

c. Cost-effective, artinya CPG tersebut mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak

perlu.

d. Representative/multidiciplinary, yakni penyusunan CPG melibatkan tokoh-tokoh dari

kelompok-kelompok profesi dan kepentingan-kepentingan mereka.

e. Clinically applicable, yakni populasi pasien yang terdampak oleh CPG harus teridentifikasi

dengan jelas.

f. Flexible, yakni CPG harus disusun dengan mengidentifikasi harapan-harapan yang

berkaitan dengan rekomendasi dan keinginan pasien.

g. Clear, yakni menggunakan bahasa yang jelas yang tidak ambigu, yang difahami baik oleh

klinisi maupun pasien.

h. Reviewable, yakni harus dijelaskan kapan dilakukan review dan bagaimana prosesnya.

i. Amenable to clinical audit, yakni CPG harus bisa diterjemahkan menjadi kriteria audit

yang eksplisit.

Selain memiliki ciri-ciri yang baik, suatu CPG juga harus efektif. Suatu CPG

dikatakan efektif jika CPG tersebut mencapai indikator-indikator yang meliputi: (1)

tercegahnya terjadinya komplikasi, dengan menjamin bahwa pasien akan terbebas dari luka,

infeksi, atau komplikasi lainnya, (2) terjadi peningkatan outcome klinis, (3) terjadi

peningkatan pengetahuan pasien tentang penyakit dan perawatannya, seperti proses penyakit,

obat-obatan, sikap hidup sehat, kepatuhan terhadap instruksi dari klinisi dalam proses

perawatan, (4) terjadinya peningkatan outcome kesehatan fungsional dari pasien yang meliputi

fungsi fisik, sosial, peran, kognitif, mental, pengawasan/pembatasan diri, perawatan diri,

mobilitas, dan kualitas hidup (quality of life), (5) terjadi peningkatan kepuasan pasien dan

peningkatan persepsi pasien terhadap perawatan klinis yang diberikan, dan (6) digunakannya

secara terus menerus CPG tersebut (Editorial, 2004).

Agar bisa dihasilkan suatu CPG yang ideal, maka diperlukan suatu proses

pengembangan yang sistematis dan komprehensif. Dutchak (2004) dan Editorial (2004)

menggambarkan proses pengembangan suatu CPG dengan suatu urut-urutan kegiatan yang

terdiri dari sepuluh langkah sebagai berikut:

22

a. Memilih topik, yang didasarkan atas frekuensi dari suatu kondisi, besar dan kecilnya

variasi dalam praktik klinis, outcome yang diinginkan, keinginan pasien, pertimbangan

biaya, dan pertimbangan aspek-aspek yang lain seperti sosial dan hukum.

b. Melakukan systematic literature review dengan menggunakan strategi penelusuran hasil-

hasil penelitian, baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan. Pemangku

kepentingan kemudian melakukan penilaian terhadap hasil-hasil penelitian tersebut dalam

aspek kekuatannya dan relevansinya dengan menggunakan suatu intrumen penilaian

(assessment tool). Salah satu assessment tool yang bisa digunakan adalah Appraisal of

Guidelines Research and Evaluation (AGREE).

c. Menyusun daftar rekomendasi (guidelines) untuk di-review oleh panel ahli.

d. Mengkategorikan masukan dari panel ahli.

e. Mereview daftar guidelines dengan literatur-literatur terbaru oleh stakeholder eksternal.

f. Melakukan revisi, sesuai dengan masukan dari stakeholder eksternal.

g. Melakukan uji coba guidelines.

h. Melakukan revisi lagi jika dibutuhkan, berdasarkan hasil uji coba.

i. Melakukan peluncuran dan diseminasi guidelines.

j. Melakukan evaluasi tentang bagaimana guidelines tersebut di didistribusikan dan

bagaimana penggunannya.

Langkah pertama dan yang merupakan langkah terpenting dalam proses

pengembangan CPG adalah pemilihan topik. Dalam proses pemilihan topik, van der Sanden

dkk. (2002) melakukan penelitian yang membandingkan empat metode pemilihan topik untuk

pengembangan CPG. Keempat metode tersebut adalah: survei pendapat dengan pengiriman

kuesioner kepada para dokter gigi, analisis topik yang dibahas dalam diskusi kelompok dokter

gigi (peer group), screening topik melalui literatur kedokteran gigi, dan menggunakan

persamaan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode survei kepada para dokter gigi

adalah metode terbaik dalam menentukan topik untuk pengembangan CPG.

Di lain pihak, Glenny dan Simpson (2004) menyebutkan bahwa pemilihan topik CPG

harus menggunakan tiga kriteria. Kriteria pertama adalah prevalensi yang tinggi dari kondisi

yang akan dibuat CPG-nya. Kriteria kedua adalah beban sakit dari kondisi yang akan dibuat

CPG-nya. Kriteria ketiga adalah besar kecilnya variasi praktik dan biaya untuk menangani

kondisi tersebut.

Berkaitan dengan pemilihan topik CPG ini, Sutherland dan Matthews (2004)

menggunakan kriteria yang lebih luas, yakni:

a. Prevalensi dari kondisi klinis.

b. Beban sakit

c. Besarnya variasi dalam praktek klinis untuk menatalaksana kondisi.

d. Memiliki relevansi dengan pola praktek klinis lokal.

23

e. Kemungkinan untuk mempengaruhi perubahan dalam praktek klinis.

f. Ketersediaan bukti-bukti yang berkualitas tinggi untuk mendukung praktik klinis.

g. Biaya untuk menata laksana kondisi tersebut.

Dutchak (2004) menambahkan dua kriteria lain yang harus digunakan dalamn

pemilihan topik CPG, yakni: (1) potensinya untuk meningkatkan taraf kesehatan, dan (2) harus

sesuai dengan prioritas pemerintah, dalam hal ini kementerian kesehatan.

Dalam proses pengembangan CPG, kualitas CPG harus terjaga. Untuk menjamin

kualitas CPG, dibentuklah suatu kelompok yang terdiri dari para peneliti dan pembuat

kebijakan publik di bidang kesehatan yang disebut dengan AGREE Collaboration. Jadi AGREE

Collaboration adalah kelompok yang berkepentingan dengan peningkatan kualitas dan

efektifitas dari CPG (Glenny dan Simpson, 2004). Oleh AGREE Colaboration, kualitas CPG

didefinisikan sebagai:

“confidence that the potential biases of guideline development have been addressed adequately and that the recommendations are both internally and externally valid, and are feasible to practice”.

Untuk mengevaluasi kualitas CPG, AGREE Collaboration menyusun suatu daftar tilik

yang disebut AGREE yang terdiri dari 23 butir yang dikelompokkan ke dalam enam ranah. Setiap

ranah dimaksudkan untuk menangkap dimensi terpisah dari kualitas CPG (van der Sanden dkk.,

2004).

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan quality of care

Gembrowski dkk. (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan quality of care di pelayanan kesehatan primer. Variabel pengaruh dalam

penelitiannya tersebut meliputi: karakteristik pasien (termasuk umur, jenis kelamin, jenis

pekerjaan, pendidikan, dan penghasilan), karakteristik dokter (meliputi jenis kelamin, lama

bekerja, beban kerja, dan ras), karakteristik tempat praktik (type praktik, jumlah dokter,

kemudahan merujuk pasien ke pelayanan spesialistik). Variabel terpengaruh dalam penelitian

ini adalah: kepuasan kerja dokter dan quality of care yang dipersepsikan oleh pasien (dengan

enam skala : jelek, cukup, bagus, sangat bagus, exellent, dan luar biasa). Disimpulkan dalam

penelitian ini bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja dokter dengan quality of care yang

dipersepsi oleh pasien.

Akan tetapi, Zuckerman dkk. (2004) mendapatkan hasil penelitian yang berbeda, pada

saat melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

berhubungan dengan kualitas pelayanan preventif. Dari hasil penelitian yang disajikan, tidak

terdapat hubungan antara karakteristik demografi pasien dengan kualitas perawatan preventif.

Dari penelitian Gembrowski dkk (2004) tersebut di atas terlihat bahwa hubungan

antara karakteristik pasien dan karakteristik dokter dengan quality of care dimediasi oleh faktor

24

kepuasan kerja dokter. Sebelumnya, Gembrowski dkk. (2003) menyatakan bahwa insentif

finansial berhubungan dengan kepuasan kerja dokter. Bovier dan Perneger (003) dalam

penelitiannya menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja

dokter adalah: adanya hubungan profesional, kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan,

suasana tempat kerja, beban kerja, waktu yang tersedia untuk keluarga, penghasilan, dan

prestise; sedangkan faktor umur dan jenis kelamin dokter tidak berhubungan dengan kepuasan

kerja.

West (2001) yang mereview 34 artikel sejenis, telah menyimpulkan bahwa ada

hubungan antara faktor organisasi dan manajemen dengan quality of care di rumah sakit.

Bahwa faktor organisasi berpengaruh terhadap quality of care didukung oleh Pellegrini dkk.

(2003). Dalam penelitiannya, Pellegrini dkk. (2003) membandingkan outcome klinis pada

perawatan hipertensi pada pasien dengan diabetes type 2 antara mereka yang datang ke klinik

diabetes dan ke dokter umum. Disimpulkan bahwa ada hubungan antara faktor struktural dan

organisasi dengan quality of care yang diukur dengan outcome klinis.

Lieu dkk. (2004) meneliti pasien anak penderita asma yang dilindungi oleh asuransi

Medicaid. Berdasarkan hasil penelitiannya, peneliti ini kemudian menyusun suatu kerangka

konsep yang di antaranya menghubungkan antara jenis organisasi pelayanan kesehatan,

kebijakan yang dibuat oleh unit pelayanan kesehatan, dan karakteristik pasien berhubungan

dengan outcome klinis penderita asma. Furr dkk. (2004) dalam penelitiannya menyimpulkan

bahwa quality of care dipengaruhi oleh peranan perawat dalam asuhan keperawatan. Dikatakan

oleh peneliti ini bahwa quality of care dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan perawat,

waktu yang cukup, dan memprioritaskan penyakit yang diderita oleh pasien. Kesimpulan ini

dikuatkan oleh hasil penelitian Hall dan Doran (2004), yang menyatakan bahwa nurse staffing

model dan care delivery model berpengaruh terhadap quality of care.

Dalam kerangka konsep yang diproposisikan oleh Lieu dkk. (2004), faktor demografi

pasien merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap quality of care. Hal ini didukung

oleh Heaman dkk. (2005) dan Sutton dan McLean (2006) yang berdasarkan penelitiannya juga

menyimpulkan bahwa karakteristik demografi pasien berhubungan dengan quality of care.

Teori tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan quality of care juga diajukan

oleh Berwick (2002). Peneliti ini mengajukan teori tentang model peningkatan quality of care.

Pemikirannya ini didasarkan atas fakta bahwa di Amerika Serikat, terdapat jurang (chasm)

antara kualitas pelayanan kesehatan yang diterima dengan yang seharusnya diterima oleh

masyarakat. Untuk mengatasi masalah ini, diajukanlah suatu teori perubahan sistem. Dalam

teori yang dikenal dengan The Chain of Effect ini, diproposisikan bahwa dalam upaya

peningkatan mutu perawatan kesehatan, terdapat empat tingkat faktor yang memengaruhinya.

Keempat tingkat tersebut adalah : patient and the community (Level A), microsystem (Level B),

organizational context (Level C), dan environmental context (Level D).

25

Berdasarkan empat tingkat dalam konsep peningkatan quality of care, maka

diperlukan empat tingkat perubahan pula, yakni: (1) Level A memperjelas tujuan nasional

dalam hal peningkatan quality of care. (2) Level B adalah merubah perawatan itu sendiri. (3).

Level C, adalah merubah organisasi yang memberikan pelayanan, dan (4) Level D merubah

lingkungan yang akan berpengaruh terhadap perilaku oraganisasi (pemberi pelayanan) dan

perilaku profesional (para klinisi).

Gambar 1. The Chain of Effect in Improving Health Care Quality (Berwick, 2002)

Hal yang menarik adalah bahwa Level B (sistem mikro) adalah unit kerja kecil yang

memberikan perawatan kepada pasien. Berwick (2002) menyatakan bahwa perubahan dalam

Level B didasarkan atas tiga kerangka kerja (frameworks) atau prinsip, yakni : 1. berbasis

pengetahuan, 2. berpusat pada pasien, dan 3. berorientasi pada sistem. Kerangka kerja ini

memberikan sepuluh aturan baru yang sederhana (simple rules) dalam perawatan kesehatan.

Sepuluh aturan baru ini merubah aturan lama yang sudah tidak sesuai lagi.

Aturan kelima dari sepuluh aturan tersebut adalah bahwa pengambilan keputusan

didasarkan atas bukti, menggantikan aturan sebelumnya yang menyatakan bahwa pengambilan

keputusan klinis didasarkan atas pendidikan (kedokteran) dan pengalaman klinis. Di dalam

aturan yang baru ini, tercermin pengertian bahwa pasien haruslah menerima pelayanan yang

Patient and Community

Experience Aims (safe, effective, patient-centered, timely, efficient,

equitable)

Micro-system Process Simple Rules/Design Concepts (Knowledge-based

customized, cooperative)

Organizational Context

Facilitator of Processes

Design Concepts (HR, IT, finance, leadership)

Enviromental Context

Facilitator of Facilitators

Design Concepts (financing, regulation, accreditation,

education)

26

didasarkan pada bukti-bukti pengetahuan ilmiah yang terbaik yang tersedia. Oleh karenanya,

pelayanan haruslah tidak bervariasi secara tidak logis dari klinisi yang satu ke klinisi lainnya,

atau dari satu tempat praktik ke tempat praktik lainnya.

4. Efektifitas CPG dalam meningkatkan quality of care

Hu dkk. (2006) dalam penelitiannya mengkaji implementasi CPG dalam penghentian

kebiasaan merokok, yang dilakukan oleh para dokter gigi terhadap para pasien mereka. Seperti

dilaporkan oleh Hu dkk. (2006), pada tahun 2003, Asosiasi Dokter Gigi Amerika (American

Dental Association – ADA), memberlakukan suatu CPG bagi para dokter gigi untuk

memberikan konseling berhenti merokok kepada pasien-pasiennya, yang tercantum dalam The

ADA Guide to Dental Therapeutics. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para dokter yang

mempunyai pemahaman tinggi terhadap CPG tersebut cenderung lebih patuh untuk

melaksanakan CPG tersebut, dibandingkan dengan para dokter gigi yang tidak memahami CPG

tersebut. Jadi faktor pengetahuan dan pemahaman tentang CPG dan tentang teknik konseling

berperanan dalam kepatuhan melaksanakan CPG. Dalam hal hambatan yang dihadapi oleh para

dokter gigi dalam melaksanakan CPG ini adalah: kurangnya pengetahuan, kurangnya

ketrampilan (skills), kepercayaaan diri untuk membantu papsien berhenti merokok, tidak

adanya financial reward, keterbatasan waktu, dan resistensi pasien.

Penelitian tentang pengembangan dan implementasi CPG juga dilakukan oleh Massie

dkk. (2003). Dalam penelitiannya, Massie dkk. (2003) melakukan pengembangan dan menguji

efektifitas CPG dalam tata laksana asthma pada anak (usia 2-18 tahun) di sebuah rumah sakit

pendidikan terhadap outcome klinis. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa implementasi CPG

meningkatkan perencanaan penatalaksanaan asma, tetapi tidak meningkatkan frekuensi

kunjungan ulang, tidak menurunkan morbiditas, dan tidak meningkatkan quality of life.

Van der Sanden dkk. (2005) melakukan penelitian untuk melihat efektifitas

implementasi CPG dalam tata laksana gigi molar tiga rahang bawah impacted yang

asimptomatik. Penelitian ini menggunakan rancangan cluster randomized controlled trial.

Perlakuan yang diberikan kepada kelompok kontrol adalah suatu intervensi yang multifaset.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi CPG meningkatkan pengetahuan para

dokter gigi, akan tetapi tidak meningkatkan keterampilan dalam pengambilan keputusan klinis.

Bahrami dkk. (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas dan

efektifitas biaya (cost-effectiveness) dari beberapa metode implementasi CPG tentang tata

laksana gigi molar tiga impacted. Tiga metode implementasi CPG digunakan dalam penelitian

ini yakni: audit and feedback (A and F), computer aided learning (CAL), dan kombinasi dari A

and F dan CAL, dibandingkan dengan kelompok pembanding yang tanpa perlakuan.

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa baik A and F, CAL, dan kombinasinya tidak efektif

27

untuk meningkatkan kepatuhan para dokter gigi terhadap SIGN guidelines dalam manajemen

gigi molar ketiga impaksi.

Prior dkk. (2008) melakukan sintesis terhadap 33 systematic review yang dipublikasi

antara 1987-2007, yang mengkaji efektifitas strategi implementasi CPG dalam hal peningkatan

proses klinis dan efektifitas biaya. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan guidelines

meliputi: rekomendasi, protokol, algoritma klinis, atau statement yang berbasis bukti lainnya

yang serupa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi implementasi CPG yang efektif

adalah yang menggabungkan beberapa metode (multifacet), yang berupa edukasi interaktif, dan

clinical reminder systems. Di lain pihak, edukasi didaktik, dan diseminasi yang pasif (seperti

mem-post CPG di dalam website, atau sekedar memberikan CPG kepada para klinisi dalam

bentuk cetakan) ternyata tidak efektif dalam implementasi CPG. Strategi implementasi CPG ini

merupakan isu yang penting, karena jika suatu CPG tidak berhasil meningkatkan quality of

care, mungkin lebih disebabkan oleh strategi implementasinya, dan bukan karena efektifitas

dari CPG-nya sendiri.

Cranney dkk. (2001) melakukan penelitian untuk mengetahui hambatan untuk

mematuhi CPG oleh para dokter umum dalam manajemen hipertensi pada pasien usia lanjut.

Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif, yang melibatkan sebanyak 34 dokter umum.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam penanganan hipertensi, beberapa faktor telah

diidentifikasi menjadi hambatan untuk mematuhi CPG. Faktor-faktor tersebut adalah: keraguan

terhadap aplikabilitas dari data hasil penelitian terhadap pasien tertentu, rendahnya kepatuhan

terhadap protokol perawatan, perilaku yang mendiskriminasi terhadap pasien dalam usia

tertentu (ageist attitude), pengaruh keterbatasan waktu dan pertimbangan finansial yang

menyebabkan implementasi CPG sebagai prioritas yang rendah, ketiadaan dukungan sistem

komputer yang efektif, dan ketiadaan pembimbing (mentor) bagi dokter yang lebih muda.

Berkaitan dengan metode edukasi dalam implementasi CPG, Cranney dkk. (2001) memberikan

rekomendasi untuk digunakannya metode yang multifaset (gabungan dari beberapa metode

sekaligus) yang terbukti efektif untuk meningkatkan kepatuhan para dokter untuk melaksanakan

dan mematuhi CPG.

Bonetti dkk. (2006) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabel-

variabel psikhologis yang berhubungan dengan perilaku untuk melaksanakan praktik yang

berbasis bukti (evidence based practice). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel-

variabel intensi rencana aksi (action planning), planned behavior, dan persepsi risiko

berhubungan dengan jumlah foto radiograf yang diambil pada setiap perawatan dengan nilai

prediksi sebesar 16%. Di lain pihak, variabel-variabel kebiasaan (habit), persepsi risiko (risk

perception), kemujaraban diri (self-efficacy), outcome expectancies, dan control of caries,

berhubungan dengan variabel keinginan untuk mengambil foto radiograf, dengan nilai prediksi

sebesar 53%. Berdasarkan hasil penelitian ini, Bonetti dkk. (2006) mengambil kesimpulan

28

bahwa perilaku dokter gigi dalam pengambilan foto radiograf dapat ditingkatkan melalui

intervensi yang berupa pemberian statemen persuasif melalui surat atau dalam suatu kursus

pengembangan profesional.

Berbicara mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap CPG

dan perilaku klinisi, Fort dan Voltero (2004) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor-

faktor yang berhubungan dengan kinerja klinis para perawat dan bidan dalam pelayanan

antenatal, postpartum, dan pelayanan neonatal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja

klinis yang mencakup pelayanan antenatal dan pelayanan postpartum dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yakni: pengetahuan praktis dan ketrampilan mengenai penggunaan instrumen

pemeriksaan, pemberian penghargaan atas hasil kinerja, dan mendapatkan umpan balik terhadap

kinerja mereka.

Hambatan dalam perubahan perilaku para dokter ini menjadi perhatian dari Cabana

dkk. (1999). Peneliti ini melakukan penelitian untuk mengetahui hambatan bagi para dokter

untuk mematuhi CPG. Dalam penelitian ini, Cabana dkk. (1999) melakukan systematic review

terhadap penelitian-penelitian yang meneliti hambatan kepatuhan terhadap CPG.

Sejumlah 76 artikel (dari 5658 artikel yang teridentifikasi pada awal seleksi) dipilih

untuk diidentifikasi hambatan yang dihasilkan oleh masing-masing penelitian. Faktor-faktor

penghambat terhadap kepatuhan yang teridentifikasi di dalam review tersebut kemudian disusun

secara sistematis dalam suatu kerangka konsep. Kerangka konsep tersebut mendasarkan proses

Sequence of Behavior Change

Barries to Guideline Adherence

Knowledge Attitudes Behavior

Lack of FamiliarityVolume of InformationTime Needed to Stay InformedGuideline Accessibility

Lack of AwarenessVolume of InformationTime Needed to Stay InformedGuideline Accessibility

Lack of Agreement With Specific Guidelines

Interpretation of EvidenceApplicability to PatientNot Cost-BeneficialLack of Confidence in

Guideline Developer

Lack of Agreement With Guidelines in General

“Too Cookbook”Too Rigid to ApplyBiased SynthesisChallenge to AutonomyNot Practical

Lack Of Outcome ExpenctancyPhysican Believes That Perfomance of GuidelineRecommendation Will Not Lead to Desired Outcome

Lack of Self-EfficacyPhysican Believes thatHe/She Cannot PerfomGuideline Recommendation

Lack of Motivation/ Inertia of Previous Practice

HabitRoutines

External BarriesPatient Factors

Inability to ReconcilePatient Preferences WithGuideline Recommendations

Guideline FactorsGuideline CharacteristicPresence of Contradictory

Guidelines

Enviromental FactorsLack of TimeLack of ResourcesOrganizational ConstraintsLack of ReimbursementPerceived Increase in

Malpractice Liability

Gambar 2. Barriers to Physician Adherence to Practice Guidelines in Relation to Behavior Change (Cabana dkk., 1999)

29

adopsi CPG yang baru melalui proses yang secara teoritis mempunyai urutan: pengetahuan,

sikap, dan perilaku. Hambatan-hambatan tersebut dibagi menjadi tiga kelompok, yang masing-

masing mengarah kepada tiga simpul urutan proses perubahan perilaku, yakni pengetahuan,

sikap, dan perilaku, seperti yang disajikan di dalam Gambar 5 di atas.

Dari uraian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa efektifitas suatu CPG

akan sangat tergantung dari kepatuhan (adherence) para klinisi dalam melaksanakan

rekomendasi dalam CPG. Oleh karenanya, pengukuran quality of care sebagai output dari

implementasi CPG adalah suatu proses untuk mengukur kepatuhan klinisi dalam proses

perawatan klinis, seperti yang digambarkan oleh Long (2001):

“The integrity of any guidelines is drawn from its capacity to reflect what many providers did with many clients” (Long, 2001).

Kesimpulan berikutnya adalah bahwa kepatuhan dokter terhadap CPG dalam

memberikan pelayanan kepada pasien dipengaruhi oleh metode intervensi (implementasi)nya.

Metode intervensi multifacet (metode yang mengkombinasikan lebih dari satu pendekatan)

lebih efektif untuk meningkatkan kepatuhan. Kesimpulan lainnya adalah bahwa terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Faktor-faktor tersebut sebagian bersifat

mendukung, seperti: faktor finansial, komitmen, pengetahuan yang tinggi, dan sebagian

lainnya merupakan penghambat, misalnya: CPG yang tidak mudah diakses, kesadaran yang

rendah, kurangnya motivasi, ketidakyakinan diri (lack of self efficacy), dan beberapa faktor

yang berkaitan dengan pasien.

5. Odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.

a. Definisi, epidemiologi, dan jenis-jenis impaksi gigi molar ketiga.

Gigi impaksi didefinisikan sebagai gigi yang tidak berhasil bererupsi untuk mencapai

posisi fungsional yang seharusnya, dalam lengkung gigi, dalam waktu tertentu (Obimakinde,

2009). The Faculty of Dentistry The Royal College of Dental Surgeon of England (1997)

mendefinisikan gigi impaksi bahwa impaksi terjadi jika ada hambatan dalam erupsi sebuah

gigi secara paripurna ke dalam posisi fungsional yang normal yang terhambat oleh gigi

lainnya, atau kurangnya tempat dalam lengkung rahang, atau tertutup oleh gigi lainnya, atau

disebabkan oleh pertumbuhannya yang abnormal. Lebih jauh The Faculty of Dentistry The

Royal College of Dental Surgeon of England (1997) menyatakan bahwa gigi impaksi dapat

berupa gigi impaksi total (completely impacted), erupsi sebagian (partially erupted), atau

ankilosis. Dikatakan impaksi total, jika suatu gigi tertutup oleh jaringan lunak dan sebagian

atau seluruhnya tertutup oleh tulang alveolus. Sebuah gigi dikatakan sebagai erupsi sebagian,

jika gigi tersebut tidak berhasil erupsi ke dalam posisi fungsional yang normal.

SIGN (1999) mendefinisikan gigi impaksi sebagai sebuah gigi yang erupsinya ke

dalam posisi fungsional yang normalnya terhambat baik oleh kurangnya tempat, tertutup oleh

30

gigi lainnya, atau oleh arah pertumbuhannya yang abnormal. SIGN (1999) juga membedakan

antara gigi impaksi dengan gigi yang tidak erupsi (unerupted tooth) dan gigi yang erupsi

sebagian (partially erupted). Yang dimaksud dengan unerupted tooth adalah gigi yang

terbenam di dalam tulang rahang, yang seluruhnya tertutup oleh jaringan lunak, dan sebagian

atau seluruhnya tertutup oleh tulang. Gigi yang erupsi sebagian, maksudnya adalah gigi yang

tidak berhasil erupsi secara sempurna ke dalam posisi normal, yang berarti bahwa gigi tersebut

sebagian sudah terlihat atau sebagian sudah berada di rongga mulut. Menurut SIGN (1999)

selanjutnya, gigi yang tidak erupsi dan gigi yang erupsi sebagian bisa impaksi atau tidak

impaksi.

Gigi molar ketiga merupakan satu-satunya jenis gigi yang seluruh pertumbuhannya

terjadi setelah kelahiran dan satu-satunya gigi yang masih terus mengalami proses

pertumbuhan bahkan pada saat seseorang sudah berusia 18 tahun seiring dengan

bertambahnya usia, dan belum tentu selesai sempurna pada usia 22 tahun (Silvestri dan Singh,

2003; Lopez dkk., 2013). Oleh karenanya, gigi molar ketiga menjadi gigi yang paling sering

mengalami impaksi dibandingkan dengan jenis gigi lainnya. Dilaporkan bahwa prevalensi gigi

molar ketiga rahang bawah impaksi adalah antara 9,5% - 50%, karena diperkirakan, sekitar

65% populasi manusia di dunia mempunyai sedikitnya satu gigi molar ketiga impaksi pada

usia 20 tahun (Silvestri dan Singh, 2003). Gigi molar ketiga rahang bawah merupakan gigi

yang paling sering mengalami impaksi, diikuti dengan gigi molar ketiga rahang atas, gigi

taring rahang atas, dan gigi taring rahang bawah (Obimakinde, 2009).

Untuk menentukan posisi dan kedalaman impaksi khususnya gigi molar ketiga rahang

bawah, telah disusun klasifikasi impaksi yang telah digunakan secara luas, yakni adalah

kategori impaksi menurut posisi gigi yang dikembangkan oleh Winter (Bui dkk., 2003;

Blondeau dan Daniel, 2007) dan klasifikasi impaksi menurut kedalamannya, dikembangkan

oleh Pell dan Gregory (Peterson, 2002; Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007). Winter

(Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007) mengklasifikasi gigi impaksi menjadi: posisi

gigi impaksi vertikal, horizontal, mesioangular, dan distoangular. Di lain pihak Pell dan

Gregory (Peterson, 2002; Bui dkk., 2003; Blondeau dan Daniel, 2007) mengklasifikasi gigi

impaksi yang meliputi kategori I, II, dan III, serta kategori A, B, dan C. Kategori gigi impaksi

I adalah jika mahkota gigi seluruhnya tidak berada di dalam ramus mandibula (yang berarti

berada di luar ramus mandibula). Termasuk dalam kategori II adalah jika kurang dari setengah

mahkota gigi berada di dalam ramus mandibula. Kategori III adalah jika lebih dari setengah

mahkota gigi berada di dalam ramus mandibula.

Quek dkk. (2003) dalam penelitiannya terhadap 1000 radiograf orthopantomogram

(OPG) dari pasien usia 20-40 tahun menunjukkan bahwa sebesar 68,8% OPG menunjukkan

terjadinya gigi molar ketiga impaksi. Persentase terjadinya impaksi lebih banyak terjadi

rahang bawah (94,9%) dibandingkan dengan di rahang atas (28,4%). Dilihat dari jenis kelamin

31

pasien, wanita lebih sering menderita gigi molar ketiga impaksi (56%) daripada laki-laki

(44%). Dilihat dari posisi impaksinya, diperoleh fakta bahwa sebagian besar adalah

mesioangular, dan dari seluruh gigi impaksi, 80% di antaranya terbenam sebagian.

Obimakinde (2009) menyatakan bahwa prevalensi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi

adalah sebesar 9,5-50%. Impaksi pada jenis gigi ini lebih banyak terjadi pada wanita daripada

laki-laki. Di Saudi Arabia, Hasan (2010) melaporkan bahwa prevalensi gigi molar ketiga

impaksi adalah 40,62%, dengan prevalensi pada laki-laki sebesar 41,42% dan pada perempuan

sebesar 39,76%.

b. CPG odontektomi gigi molar ketiga impaksi.

Terdapat 2 CPG dalam tindakan odontektomi gigi molar ketiga impaksi yang sampai

saat ini digunakan secara luas, yakni yang dikembangkan oleh NICE tahun 2000, dan yang

dikembangkan oleh SIGN tahun 1999 (Friedman dan Presson, 2010). Kedua CPG tersebut

adalah CPG yang evidence based. Dibandingkan dengan guidelines yang dikembangkan oleh

NICE (2000), guidelines yang dikembangkan SIGN (1999) lebih komprehensif dan lebih

terinci.

Pada tahun 2010 terjadi suatu pertentangan pendapat tentang perlunya dilakukan

tindakan odontektomi pada gigi molar ketiga impaksi yang tidak menunjukkan gejala

patologis. Diskusi tersebut terjadi antara Dodson (2010) dan Friedman dan Presson (2010).

Dalam komunikasi antara ilmuwan di Amerika Serikat yang dimuat di dalam jurnal Dental

Abstract tersebut, kedua fihak menggunakan SIGN guidelines sebagai referensi untuk

menjustifikasi pendapat masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya sampai saat

itu, SIGN guidelines digunakan secara meluas.

c. Frekuensi dan jenis-jenis komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang

bawah impaksi.

Bui dkk (2003) menyebutkan bahwa insidensi terjadinya komplikasi

pascaodontektomi adalah berkisar antara 2,6-30,9%. Blondeau dan Daniel (2007) melaporkan

bahwa insidensi kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga, khususnya

alveolitis, adalah berkisar antara 0,5-68,4% (meskipun sebagian besar peneliti mengatakan

antara 5-10%), komplikasi infeksi antara 1,5-5,8%, dan komplikasi parestesia sekitar 0,4-

8,4%. Dwipayanti dkk. (2009) dalam penelitiannya di salah satu rumah sakit gigi dan mulut di

Indonesia melaporkan bahwa insidensi terjadinya komplikasi edema adalah yang tertinggi,

yakni 58,73%, diikuti oleh trismus sebesar 47,62% dan yang ketiga adalah paresetesi.

Komplikasi yang terjadi pada satu hari pascaodontektomi adalah sebesar 68,25%. Menurut

jenis kelaminnya, komplikasi pada pasien perempuan adalah 47,62%, sedangkan pada laki-

32

laki yang sebesar 20,62%. Komplikasi pada hari keempat pascaodontektomi jauh lebih rendah

daripada satu hari pascaodontektomi, yakni sebesar 36,51%.

Susarla dkk. (2003) menyatakan bahwa pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi,

kejadian komplikasi perdarahan ringan, edema, trismus, dan nyeri hampir selalu terjadi.

Komplikasi yang sering terjadi adalah dry socket, infeksi, perdarahan pascaoperasi, dan

keterlambatan penyembuhan. Dry socket merupakan komplikasi yang paling sering terjadi,

dengan insidensi sekitar 1-30%. Komplikasi yang jarang terjadi adalah fraktur, kerusakan pada

gigi disebelahnya, dan komunikasi oro-antral. Komplikasi kerusakan serabut syaraf termasuk

dalam kategori komplikasi yang serius, khususnya yang terjadi pada syaraf alveolaris inferior

dan syaraf lingualis sebagai komplikasi dari odontekktomi gigi molar ketiga rahang bawah

impaksi.

Bui dkk. (2003) menyatakan bahwa komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga

impaksi dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni komplikasi operatif dan komplikasi

inflamasi. Komplikasi operatif meliputi: perdarahan, luka pada serabut syaraf, perforasi sinus

(komunikasi oro-antral), sisa akar tertinggal di dalam alveolus, fraktur tulang alveolus, fraktur

tulang mandibula, dan fraktur tulang tuberosity. Komplikaksi inflamasi meliputi: alveolitis

(dry socket), keterlambatan penyembuhan, komunikasi oro-antral persisten, infeksi

pascaoperasi, hematoma, bony spicule, osteomielitis, rasa sakit dan edema.

Pitekova dkk. (2010) menyatakan bahwa komplikasi pascaodontektomi gigi molar

ketiga impaksi yang paling sering terjadi adalah: dry socket, infeksi, perdarahan, gangguan

inervasi, radix in antro Highmori, fraktur mandibula, dan fraktur tuberis maksila. Dinyatakan

oleh Pitekova dkk. (2010) bahwa insidensi komplikasi bervariasi menurut umur. Pada usia di

bawah atau sama dengan tiga puluh tahun, insidensinya sebesar 11,8%, sedangkan pada usia

lebih dari tiga puluh tahun, insidensinya adalah 21,5%. Hal ini disebabkan oleh karena struktur

tulang yang lebih elastis pada pasien yang lebih muda. Dilihat dari jenis komplikasinya,

dikatakan bahwa insidensi komplikasi dry socket adalah sebesar 3%, infeksi sebesar 2,6%, dan

perdarahan sebesar 1,5%.

d. Faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang

bawah impaksi.

Bui dkk. (2003) menyatakan bahwa faktor risiko kejadian komplikasi

pascaodontektomi gigi molar ketiga dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yakni:

demografi, kesehatan umum dan gigi, anatomi gigi, dan tindakan operasinya. Blondeau dan

Daniel (2007) menyatakan bahwa faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi

molar ketiga rahang bawah impaksi adalah: umur, kesehatan pasien, derajat impaksi,

ketrampilan dokter spesialis bedah mulut, teknik operasi, kebiasaan merokok, dan penggunaan

kontrasepsi oral. Di antara faktor-faktor tersebut, faktor umur, kesehatan pasien dan derajat

33

impaksi adalah yang paling dominan terhadap terjadinya komplikasi. Disebutkan pula oleh

Blondeau dan Daniel (2007) bahwa wanita lebih berisiko untuk mengalami komplikasi

daripada laki-laki, dengan OR sebesar 4,97. Dilihat dari faktor risiko posisi gigi molar ketiga

rahang bawah impaksi, posisi distoangular dan mesioangular lebih meningkatkan risiko

terjadinya komplikasi.

Bahwa ketrampilan dokter merupakan faktor risiko kejadian komplikasi pasca

odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi, telah dikonfirmasi oleh Evans dkk.

(2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara ketrampilan dokter dengan

kejadian komplikasi yang dipersepsikan oleh penderita. Pitekova dkk. (2010) melaporkan

bahwa usia yang lebih tua, jenis kelamin perempuan, dan rahang bawah merupakan faktor

risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi. Peneliti ini juga

menyatakan bahwa faktor risiko terjadinya komplikasi dry socket adalah: irigasi pasca operasi

yang terlalu banyak, kebiasaan merokok, waktu operasi yang lebih lama, dan kandungan

bahan vasokonstriktif dalam obat anestesi lokal. Hubungan antara konsumsi obat kontrasepsi

oral dengan terjadinya dry socket belum terbukti, tetapi bila dibandingkan pada laki-laki, efek

penggunaan obat kontrasepsi pada perempuan meningkatkan terjadinya dry socket sebesar

empat kali.

Bello dkk. (2011) membagi faktor risiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi gigi

molar ketiga impaksi menjadi tiga kelompok, yakni faktor pasien, faktor yang berhubungan

dengan gigi, dan faktor operasi. Yang termasuk ke dalam faktor pasien adalah: umur, jenis

kelamin, etnis, kebiasaan merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan higiene mulut. Faktor

yang berhubungan dengan gigi meliputi: adanya infeksi, jenis impaksi, kedalaman impaksi,

kedekatan akar gigi impaksi dengan syaraf alveolaris inferior, kepadatan tulang di sekitar gigi

impaksi, dan adanya kondisi patologis seperti kista atau neoplasma. Faktor risiko operasi

mencakup: penggunaan obat-obatan, jenis dan luasnya insisi, teknik penutupan luka operasi,

pengalaman dan ketrampilan dokter spesialis bedah mulut, dan lamanya operasi.

Leung dan Cheung (2011) melakukan kajian literatur yang bertujuan untuk

mengetahui faktor risiko kejadian gangguan sensori pada syaraf alveolaris inferior dan syaraf

lingualis, sebagai komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.

Peneliti ini menyimpulkan bahwa faktor risiko kejadian gangguan sensori pada syaraf

alveolaris inverior adalah: usia yang lebih tua, impaksi yang dalam, dan teknik operasi dengan

mengunakan metode lingual split. Faktor risiko kejadian gangguan sensori pada serabut syaraf

lingualis adalah: usia yang lebih tua, impaksi kearah distal, dan pembuatan flap di sisi lingual.

Osunde dkk. (2012) dalam penelitiannya membandingkan kejadian komplikasi

inflamasi pascaodontektomi (nyeri, edema, dan trismus) antara operasi yang menggunakan

jahitan dan tanpa jahitan luka operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan

34

satu dan dua hari pascaoperasi, kelompok tanpa jahitan menunjukkan nyeri, edema, dan

trismus yang lebih ringan daripada kelompok yang menggunakan jahitan.

Briguglio dkk. (2011) melakukan penelitian untuk melihat pengaruh jenis flap dalam

odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi dengan kejadian komplikasi.

Komplikasi yang diteliti adalah komplikasi jangka panjang, yakni: pocket probing depth

(PPD) dan clinical attachment level (CAL). Tiga jenis flap dibandingkan dalam penelitian ini,

yakni: envelope flap, Laskin triangular flap, dan envelope flap modified by Laskin. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Laskin triangular flap memberikan komplikasi yang paling

tinggi dibandingkan dengan kedua flap lainnya.

Pemberian profilaksis antibiotika merupakan faktor yang berhubungan dengan

kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga impaksi. Monaco dkk. (2009)

melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pemberian profilaksis antibiotika (2 g

amoksisilin tablet satu jam sebelum operasi) untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Komplikasi yang diamati adalah nyeri, edema, dan infeksi luka operasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian profilaksis antibiotika mengurangi nyeri, mengurangi

konsumsi obat analgetika, dan mencegah infeksi, tetapi tidak mengurangi kejadian edema.

Bergdahl dan Hedstrom (2004) dalam penelitiannya mendapatkan hasil yang

sebaliknya. Peneliti ini memberikan metronidazole (Flagyl®) 1600 mg dosis tunggal pada

kelompok perlakuan, yang dibandingkan dengan plasebo di kelompok kontrol. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pemberian antimikrobial tidak efektif untuk mencegah terjadinya dry

socket pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi.

Gordon (2007) dalam review terhadap artikel yang dilaporkan oleh Aoki dkk (2006),

mengkaji pemberian dextromethorphan untuk mengurangi kejadian nyeri pascaodontektomi

gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Disimpulkan, bahwa pemberian dextromethorphan

dosis rendah (30 mg) 90 menit sebelum operasi, tidak mengurangi nyeri sampai pada hari ke-

14.

Hasil yang berbeda telah dilaporkan oleh Beirne (2008) dalam reviewnya terhadap

artikel yang ditulis oleh Halpern dan Dodson (2007). Dalam penelitian ini, telah dilakukan

pemberian profilaksis antibiotika yakni penisilin dengan dosis 15.000 unit per kilogram berat

badan, atau 600 mg klindamisin bagi mereka yang alergi terhadap penisilin, secara intravena,

satu jam sebelum operasi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Disimpulkan bahwa

profilaksis antibiotika mengurangi kejadian komplikasi infeksi pascaodontektomi gigi molar

ketiga rahang bawah impaksi.

Santos dkk. (2012) melakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pemberian

analgetik sebagai upaya preemtif untuk mencegah terjadinya komplikasi pascaodontektomi

gigi molar ketiga, yakni nyeri, edema, dan trismus. Perlakuan yang diberikan adalah

pemberian 50 mg tramadol + 4 mg deksametason atau 50 mg tramadol + 50 mg sodium

35

diklofenak satu jam sebelum odontektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua

kombinasi mengurangi nyeri dari jam ke-4 sampai jam ke-12 pasca odontektomi. Disimpulkan

pula bahwa kelompok yang menerima kombinasi tramadol + deksametason menunjukkan

komplikasi nyeri, trismus, edema, dan inflamasi yang lebih ringan daripada kelompok yang

mendapatkan kombinasi tramadol + sodium diklofenak.

B. Kerangka Teori

Gambar 3. Kerangka Teori (Diadaptasi dari Berwick, 2002; Cabana dkk., 1999; Williams dan Skinner, 2003; Lieu dkk.,

2004; Forsner dkk., 2010; dan Bello dkk., 2011).

C. Kerangka Konsep Penelitian

Patient and

Community

Workload

Micro-system Guidelines

Organizational Context Equipments

Environmental Context

Knowledge Attitude Behavior Patient Characteristics

Medical/Dental Past

Clinical Care Process(Quality of Care)

MedicationClinician Practices

Physician Job Satisfaction

Clinical Outcome

Characteristic of

Treatments

Practice Site Policies & Features

36

Berdasarkan uraian dalam Telaah Pustaka, dan Kerangka Teori, maka disusunlah

kerangka konsep penelitian ini, sebagaimana yang tersaji di bawah ini.

Gambar 4. Kerangka Konsep Penelitian

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian di dalam Telaah Pustaka, Kerangka Teori, dan Kerangka Konsep,

dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut :

Hipotesis mayor:

Implementasi CPG menurunkan frekuensi kejadian komplikasi pascaodontektomi gigi molar ketiga

rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.

Hipotesis minor:

1. Implementasi CPG menurunkan frekuensi kejadian komplikasi hari ketiga

pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.

2. Implementasi CPG menurunkan frekuensi kejadian komplikasi hari ketujuh

pascaodontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi di RSGM Prof. Soedomo.

Faktor Pasien

Jenis KelaminUmur

Kebiasaan MerokokKonsumsi Alkohol

Faktor Riwayat Dental

Kondisi Klinis DentalHigiene Mulut

Cadase

Implementasi Clinical Practice Guidelines

Komplikasi Pascaodontektomi Gigi Molar Ketiga Rahang

Bawah Impaksi

Faktor Medikasi

Medikasi PraoperasiAINS Pascaoperasi

Faktor Operasi

Lama OperasiJenis OperasiJenis Impaksi

Pengalaman Operator