rabiatul adawiyah
TRANSCRIPT
CINTA RABIATUL ADAWIYAH
Sikap zuhud yang diterapkan dalam kehidupan dunia adalah cikal bakal tumbuhnya
tasawuf, sedangkan zuhud itu sendiri adalah bersumber dari ajaran Islam. Pemahaman dan
pengamalan zuhud yang berkembang sejak abad pertama hijriah, benar- benar berdasarkan ajaran
Islam, baik yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah maupun kehidupan sahabat nabi. Sikap hidup
dan keberagamaan yang mereka anut adalah berkisar pada usaha yang sungguh- sungguh untuk
memperoleh kebahagian akhirat dengan memperbanyak ibadah serta menghindarkan diri dari
kehidupan dunia (zuhud dunia).
Dari konsep zuhud lahirlah tasawuf, salah satu di antaranya adalah tasawuf sunni. Salah
satu tujuan terpenting dari ajaran tasawuf adalah berada sedekat mungkin dengan Allah. Makna
dekat dengan Allah akan melahirkan tiga ajaran dasar sufisme yaitu; al-Hubb al-Ilahi (kecintaan
dan kerinduan kepada Allah), al-wahdat as-syuhud (menyatu dengan Allah), al-mukasyafah
(penangkapan langsung terhadap Allah, tanpa ada penghalang).
Al-Hubb al-Ilahi (kecintaan dan kerinduan kepada Allah) adalah salah satu ajaran yang
dikembangkan oleh Rabiah Adawiyah, sedangkan al-mukasyafah digambarkan oleh Zunnun Al-
Misri bahwa ia berada bersama Allah, karena keberadaan itulah ia mengenal Allah secara hakiki
(al-ma’rifah). Adapun dalam tulisan ini penulis akan menguraikan tentang seorang tokoh saja
yaitu Rabiatul Adawiyah dan konsep al-Hubb al-Ilahi yang diajarkannya. Untuk lebih rincinya,
perhatikan pembahasan berikut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Rabi’ah al-Adawiyah (95 H/ 713 M-185 H/ 801 M)
Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Rabiah al-Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah, juga
digelari Ummu al-Khair. Dia disebut Rabi’ah karena ia putri keempat dari Ismail. Sedangkan
Adawiyah adalah karena dia berasal dari bani Adawiyah. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H dan
meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Bashrah. Diceritakan bahwa sejak masa kanak-
kanak ia telah hapal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana. Ajarannya
dikenal dengan istilah teori hubb (cinta) kepada Allah SWT ada yang menyebutnya “al-hubb”.
Sumber lain mengatakan bahwa, Rabiah al- Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang
amat besar dari Basrah, di Irak. Ada para ahli yang menyebut Basra dan ada lagi yang
menyebutnya Basrah, selanjutnya penulis menyebutnya Basrah.
Zahidah (Rabi’ah al-Adawiyah) yang berumur lebih kurang 90 tahun hitungan tahun
hijriyah dan 88 tahun menurut hitungan tahun masehi. Menurut Hamka, Rabi’ah al-Adawiyah
meninggal dunia dalam tahun 185/796 M.Bila Hamka ini yang kita ikuti dengan hitungan tahun
masehinya, maka Rabi’ah al- Adawiyah berusia lebih kurang 83 tahun, namun dari hitungan
tahun Hijriah tidak ada perbedaan dengan sumber sebelumnya. Dalam hal ini penulis
berpendapat bahwa Hamka barang kali salah tulis angka tahun masehinya. Tetapi yang jelas,
berapa pun umurnya tidaklah terlalu penting dibahas di sini, karena yang sangat diperlukan
adalah pemikirannya.
Kedua orang tuanya meninggal sewaktu dia masih kecil. Menurut pendapat lain, Rabi’ah
al-Adawiyah pernah dijual sebagai seorang hamba (budak)/ penyanyi seharga 6 dirham yang
kemudian dibebaskan dan memperoleh kemerdekaannya kembali. Dalam hidup selanjutnya ia
banyak beribadah, bertaubat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan
menolak menolak segala bantuan material yang diberikan orang kepadanya. Dalam berbagai doa
yang dipanjatkannya, ia tidak mau meminta hal- hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-
betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin berada dekat dengan Tuhan.Di dalam
Tazkirah al- Auliya, disebukan bahwa pada suatu malam ketika Rabi’ah al- Adawiyah sedang
asyik beribadah, majikannya melihat lantera tanpa rantai berada di atas kepalanya, sementara
cahaya menyinari segenap ruangan rumah. Menyaksikan hal tersebut, majikannya merasa takut,
ketika hari telah terang ia memanggil Rabi’ah al-Adawiyah lalu membebaskannya. Setelah itu
rabia’ah meninggalkan rumah tuanya tersebut dan menuju kesuatu padang pasir ke suatu tempat
pertapaan. Semenjak itu Rabi’ah benar-benar hidup dalam kemiskinan, dan ketika teman- teman
ingin membantunya, bahkan ada yang ingin memberikan rumah kepadanya. Ia mengatakan :
“Aku takut kalau- kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu melaksanakan
amal untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi nasihat: “pandanglah dunia ini
sebagai sesuatu yang hina dan tak berharga itu adalah lebih baik bagimu”. Penulis meyakini
bahwa sulit “manusia” untuk menerima pernyataan Rabi’ah al-Adawiyah ini. Karena di samping
masih memakai akal pikiran yang masih memikirkan dunia dan juga masih memiliki jasmani
yang masih membutuhkan kebutuhan jasmaniyah (makan, minun, pakaian, tempat tinggal dan
lain- lain). Dalam hal ini sulit dibayangkan siapa dia yang sebenarnya.
Juga riwayat yang menceritakan bahwa ia juga selalu menolak lamaran- lamaran pria
shaleh dengan mengatakan, “ akad nikah bagi kepemilikan kemaujudan luar biasa. Sedangkan
pada diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku
maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya,
Akad nikah mesti diminta dari-Nya bukan dariku.Rabi’ah al-Adabiyah tenggelam dalam
cintanya kepada Tuhan. Ketika sakit ia berkata kepada tamu yang menanyakan sakitnya, maka
dia mengatakan bahwa “Demi Allah aku tidak merasa sakit, lantaran surga telah ditampakan
bagiku sedangkan aku merindukannya dalam hati, dan aku merasa bahwa Tuhanku cemburu
kepadaku, lantas mencelaku. Dia lah yang dapat membuatku bahagia. Penjelasan tentang pribadi
Rabi’ah al-Adawiyah, serta berbagai ucapannya yang lahir dilatarbelakangi oleh rasa cintanya
kepada Allah yang melahirkan ajarannya yaitu al-hubb al-ilahi dan apa jalan yang ditempuhnya
untuk mewujudkan ajarannya tersebut, jawabannya ada dalam pembahasan berikut.
B. Konsep al-Hubb al-Ilahi menurut Rabi’ah al-Adawiyah
Menurutnya, al-hubb al-ilahi merupakan cetusan dari perasaan jiwa yang rindu dan
pasrah terhadap Allah. Seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Hal ini tergambar
dalam ungkapan prosanya (syair) berikut ini:
“Wahai Tuhanku!, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu,sehingga tidak
membimbangkan aku dari pada-Mu. Ya Tuhan, bintang di Langit telah gemerlapan, mata telah
bertiduran, pintu- pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang
dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu. Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera
datang, aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah engkau
tolak sehingga aku merasa sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang aku lakukan sehingga
engkau beri hayat (hidup). Sekiranya engkau usir aku dari hadapan-Mu aku tidak akan pergi,
karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku”.
Cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah telah terpatri dengan kuat, tertulis dengan tinta
emas, tergantung direlung- relung hati, dan bahkan semua pintu- pintu cinta untuk selain Allah
telah tertutup rapat. Hal ini juga tergambar dari syairnya berikut ini :
“Buah hatiku, hanya Engkaulah yang aku kasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang
datang kehadirat-Mu. Engkau harapanku, kabahagian dan kesenanganku. Hatiku telah enggan
mencintai selain dari Engkau.
Cinta rabi’ah kepada tuhannya adalah cinta yang suci, murni, dan sempurna. Perasaan
cinta itu telah tertanam di hatinya. Hidupnya tenggelam dalam zikir, beribadah dan membaca al-
Quran. Keadaan ini selalu disenandungkan dalam syair yang dijiwai oleh ketinggian imannya.
Hal ini juga tercermin dari syainya berikut ini:
“aku mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta
karena diriku ialah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena diri-Mu, adalah keadaan-
Mu mengungkapkan tabir hingga Engkau ku lihat. Baik untuk ini dan untuk itu pujian bukanlah
bagiku. Dan bagi-Mu lah pujian untuk semuanya”.
Penulis beranggapan bahwa, Rabi’ah al-Adawiyah telah melihat Tuhannya dalam batasan
“penghayalan” karena cintanya yang terlalu larut. Tidak mungkin dalam bayangan akal pikiran,
karena bagaimana pun pandangan zahir tetap terbatas sebatas alam nyata. Tetapi pandangan
batin yang dilakukan oleh cahaya nurani saat berada di alam bawah sadar yang aktif secara
sempurna itulah pandangan yang sempurna (ma’rifat). Hai inilah yang seakan-akan telah
berpandangan dengan Tuhan, sebagaimana yang telah dirasakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah.
Tetapi bagaimanapun, perasaan Rabiah al-Adawiyah melihat Tuhannya tidak akan dapat
dirasakan oleh orang lain, karena setiap orang kekuatan iman dan makrifatnya berbeda-beda.
Iman dan ma’rifat Rabiah al-Adawiyah berada di atas segalanya. Sehingga kalau dalam syairnya
dia mengungkapkan seperti hal di atas.
Namun bila dipahami apa yang dikemukakan oleh Imam Sya’rani sebagaimana yang
dikutip oleh Hamka mengatakan bahwa, suatu ketika orang menyebut- menyebut tentang azab
neraka di hadapan Rabi’ah al-Adawiyah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu,
pingsan dalam menyebut- menyebut istigfar, memohon ampunan Tuhan. Setelah beliau siuman
dan sadar dari pingsannya, beliau berkata :”saya mesti meminta ampun lagi dari pada cara saya
minta ampun yang pertama”. Kata Sya’rani, sajadah tempat beliau sujud senantiasa basah oleh
air mata.
Bila Rabi’ah minta ampun kepada Allah karena takut kepada azab neraka maka jelaslah
bahwa tujuan utama bagi Rabi’ah di sini bukanlah Allah tetapi takut kepada neraka. Bila
ketakutan kepada neraka yang menyebabkan dia berurai air mata, maka cintanya kepada Allah
hanya lah sebatas penyamaran saja. Karena cinta kepada Allah telah dikalahkan oleh ketakutan
kepada neraka. Tetapi kalau Allah yang menjadi tujuan utamanya, itulah cinta yang murni
tersebut. Tetapi penulis yakin barangkali maksudnya bukanlah seperti ini, melainkan lebih dari
itu. Tetapi bila dilihat dari dialognya dengan al-Tsauri, maka cinta Rabi’ah kepada Allah
bukanlah karena takut azab neraka dan juga bukan karena nikmatnya surga.
Pada suatu ketika, Rabi’ah al-Adawiyah pernah ditanya oleh al-Tsauri, apakah hakekat
iman engkau ?. Rabiah al-Adawiyah menjawab, aku menyembah-Nya bukan karena takut
siksaan neraka-Nya, dan bukan pula karena ingin masuk surga-Nya, karena dengan demikian
jadilah aku bagaikan menerima upah yang jahat, tetapi aku menyembah-Nya semata- mata cinta
dan rindu kepada-Nya. Lebih lanjut, hal ini tergambar dalam syair Rabi’ah al-Adawiyah yang
berbunyi :
“Tuhanku, jika kupuji engkau karena takut neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan
jika ku puji engkau karena mengharap surga-Mu jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi bila ku
puji Engkau karena semata- mata karena Engkau, maka jangan lah sembunyikan kecantikan-Mu
yang kekal itu dari ku”.
Dari syair Rabi’ah al-Adawiyah di atas, dapatlah dipahami bahwa yang menjadi harapan
dan dambaan Rabi’ah adalah memandang “wajah Allah” Yang Maha Agung dan Mulia serta
perasaan bahagi berada di sisi-Nya. Bukanlah karena takut kepada azab neraka dan harap kepada
nikmat surga, tetapi lebih dari itu. Rabi’ah membayangkan andaikan surga dapat dibakar dengan
api neraka, lalu api neraka dapat disiram dengan air, maka ia akan melakukannya, sehingga tidak
ada lagi surga dan neraka. Dengan demikian dapatlah diketahui siapa hamba Allah yang hakiki
dalam pengabdiannya. Pengabdiannya tidaklah didasarkan kepada mengharap surga dan takut
akan siksa neraka.
Ada orang bertanya kepada Rabi’ah, apa pendapatmu tentang surga ?. dia menjawab:
“yang penting tangga dulu baru rumah (surga)”.jawaban yang singkat dari Rabi’ah mengandung
makna bahwa yang terpenting adalah beramal terlebih dahulu baru mengharap balasan. Disana
juga tersirat bahwa beramal adalah urusan manusia sedangkan balasan serahkan saja kepada
kehendak Allah SWT terhadap amalan manusia tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep al-hubb berdasarkan pengalaman Rabi’ah al-
Adawiyah dalam ritual tasawufnya adalah dengan menjadikan Allah sebagai segala- galanya,
tidak ada yang melebihi dari-Nya sesuatu pun makhluk yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian
dan pikiran selalu tercurah kepada-Nya sebagai bukti cinta-kasih hanya semata-mata untuk-Nya.
Bahkan pengabdian hidup yang diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan
balasan apa-apa dari-Nya, baik berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun
pengabdian itu semata-mata karena Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan hingga mencapai persatuan dengan-Nya.
Berdasarkan pengalaman rohaniah yang dilakukan Rabi’ah al-Adawiyah dalam
menggapai al-hubb al-Ilahi, terdapat beberapa cara sebagai jembatan yang dapat menghantarkan
seseorang menuju tingkat tersebut, yaitu:
1). Bangun di waktu malam
Rabi’ah telah menepati janjinya kepada Allah, ia selalu dalam keadaan beribadah kepada
Allah sampai meninggal dunia. Bahkan ia selalu melaksanakan shalat tahajjud di malam hari.
Dengan amal ibadahnya, wajah Rabi’ah al-adawaiyah berseri, dengan selalu mendekatkan diri
kepada Allah akan mendapatkan limpahan cahaya dari Ilahi. Pada hakikatnya cahaya wajah
orang yang taat beribadah adalah cahaya Allah yang wujud padanya sehingga meliputi langit dan
bumi serta segala isinya.
2). Perawan selama hidup
Rabia’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidup dengan cara zuhud dan beribadah
kepada Allah. Selama hidup ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik
dan menarik. Juga seorang yang cerdas dan luas ilmunya. Rabi’ah sadar kalau perkawinan adalah
perintah agama. Pada suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rabi’ah, mengapa Anda
tidak mau menikah ?. Rabi’ah menjawab; ada tiga keprihatinanku. Bila ada orang yang bisa
menghilangkan keprihatinanku tersebut, maka aku akan menikah dengannya. Kemudian ia
mengemukakan ketiga masalah tersebut; pertama, apa bila aku meninggal dunia, maka aku akan
menghadap Tuhanku, apakah dalam keaadan beriman atau suci ?, kedua, apakah aku akan
menerima kitab amalanku dengan tangan kanan ku ?. ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang-
orang dari kelompok kanan telah masuk surga dan kelompok kiri masuk neraka. Maka dalam
kelompok manakah aku ?. orang itu menjawab : “aku tidak tahu apa- apa tentang pertanyaanmu
itu, masalah itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian halnya maka
aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin. Bagaimana aku akan mampu berumah tangga.
Alasan Rabi,ah tersebut menggambarkan bahwa memang tidak ada niat baginya untuk membagi
cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
3). Meningkatkan kesucian jiwa
Rabi’ah al-Adawiyah berhasil mencapai kesucian jiwa dengan cara mengumpulkan ilmu
pengetahuan, pengamblengan jiwa dan watak. Penerapan sikap zuhud dalam kehidupan dunia
telah menyebabkan kemurnian cintanya kepada Allah semakin subur. Bukti zuhudnya, dapat
dilihat dari suatu riwayat yang menceritakan bahwa suatu hari pencuri masuk ke rumah
Rabia’ah, tetapi pencuri itu tidak mendapatkan apa- apa di rumahnya kecuali sebuah kendi.
Ketika pencuri itu mau keluar, Rabi’ah menegurnya: “jika engkau seorang yang cerdas, maka
engkau jangan ke luar dengan tangan kosong”. Pencuri itu menjawab: “aku tidak menemukan
apa- apa”. Rabiah berkata: “sayang sekali berwuduklah dengan air kendi ini, lalu masuklah ke
kamar ini dan lakukan lah shalat dua rakaat, maka engkau akan keluar membawa sesuatu.
Pencuru itu melakukan apa yang diperintahkan oleh Rabi’ah al- Adawiyah. Ketika ia sedang
shalat, rabiah menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa: ya Allah, orang ini telah dating
ke rumahku, tetapi ia tidak mendapatkan apa- apa dirumahku, karena itu aku telah menahannya
di depan pintumu. Oleh karena itu janganlah Engkau biarkan dia pergi dengan tangan hampa
tanpa mendapatkan karunia dan pahala dari-Mu.
Terlepas dari benar atau salahnya riwayat tersebut, disana menggambarkan bahwa sangat
sederhananya kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah di atas dunia. Selanjutnya juga tergambar
kesabaran yang sangat agung dari dirinya, walaupun datangnya seseorang ke rumahnya untuk
membinasakan diri rabiah sendiri namun dibalasnya dengan doa dan rasa kasih saying kepada
sang pencuri tersebut. Dari kebersihan hati dan jiwanya sangat tepatlah kalau yang menjadi
tujuan hidupnya adalah keredhaan Allah semata.
Percikan-percikaan Cinta Para Sufi
Sebetulnya tokoh-tokoh sufi dengan teori kesufiaannya, sesuai dengan pengamalan
tertualangan spitualnya, telah banyak mengemukakan hal yang sama pula. Di bawah ini penulis
uraikan makna-makna cinta menurut para sufi yang yang bersifat filsosofi selain Rabi'ah al-
Adawiyah sebagai pencetus konsep cinta kepada Tuhan, antara lain:
1. Abu Yazid Al-Bustami berkata ‘cinta adalah menganggap sedikit pemberian yang
dikeluarkan dan menganggap banyak pemberiaan kekasih walaupun sedikit’.
2. Junaidi al-Baghdadi pernah ditanya tentang arti cinta ia menjawab ‘cinta adalah
masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintainya’. Maksudnya orang yang
mencintai itu selalu memuji dan mencintainya.
3. Asy-Sybli berkata cinta itu adalah ‘menghapus hati dari ingatan semua selain yang
dicintainya’
4. Yahya Bin Muadz berkata ‘cinta adalah tidak bisa berkurang karena kurangnya
pemberian dan tidak bisa bertambah karena kebaikan yang diberikan kepadanya’.
5. Muhammad bin Ali Al-Kattani berkata ‘cinta adalah harus lebih mengutamakan yang
dicintai’.
6. Abu Ya'kub al-Susi berkata ‘hakikat cinta adalah itu terwujud jika seorang hamba
mampu melukapakan bagiannya dari Allah dan melupakan kebutuhan-kebutuhan kepada
Allah’.
7. Muhammad bin Al-Fadhal Al-Farawi berkata ‘cinta adalah runtuhnya semua cinta dalam
hati kecuali kepada kekasih (Allah)’.
8. Abu Bakar r.a seperti yang dikutip oleh Al-Gazali dalam kitabnya al-Mahabbah wa asy-
Syauq mengatakan ‘barang siapa merasakan kelezatan kecintaan yang murni kepada
Allah, niscaya akan disibukan dengan urusan iu daripada sekedar mencari dunia dan
disingkirkan dunia’.
9. Al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa ‘barang siapa yang mengenal Tuhannya niscaya
mencintainya. Dan barang siapa mengenal tabiah dunia secara detail niscaya ia akan
berzuhud daripadanya’.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Rabiah al-Adawiyah adalah anak perempuan dari Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah,
Rabiah al-Adawiyah juga digelari Ummu al-Khair. Dia disebut Rabi’ah karena ia putri keempat
dari Ismail. Sedangkan Adawiyah adalah karena dia berasal dari bani Adawiyah. Ia lahir di
Bashrah tahun 95 H dan meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Bashrah. Diceritakan
bahwa sejak masa kanak-kanak ia telah hapal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup
sederhana. Ajarannya dikenal dengan istilah teori hubb (cinta) kepada Allah SWT ada yang
menyebutnya “al-hubb”. Sumber lain mengatakan bahwa, Rabiah al- Adawiyah adalah seorang
zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak.
Menurutnya, al-hubb al-ilahi merupakan cetusan dari perasaan jiwa yang rindu dan
pasrah terhadap Allah. Seluruh ingatan dan perasaan tertuju kepada-Nya. Cinta rabi’ah kepada
tuhannya adalah cinta yang suci, murni, dan sempurna. Perasaan cinta itu telah tertanam di
hatinya. Hidupnya tenggelam dalam zikir, beribadah dan membaca al-Quran.
Konsep al-hubb berdasarkan pengalaman Rabi’ah al-Adawiyah dalam ritual tasawufnya
adalah dengan menjadikan Allah sebagai segala- galanya, tidak ada yang melebihi dari-Nya
sesuatu pun makhluk yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian dan pikiran selalu tercurah kepada-
Nya sebagai bukti cinta-kasih hanya semata-mata untuk-Nya. Bahkan pengabdian hidup yang
diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan balasan apa-apa dari-Nya, baik
berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun pengabdian itu semata-mata karena
Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya,
bahkan hingga mencapai persatuan dengan-Nya.
v