rantai penjelas konflik-konflik agraria yang …

14
RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA Noer Fauzi Rachman * Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The article offers an framework to identify causes, effects, perpetuating conditions, and structural roots of agrarian conflicts. Systemic agrarian conflicts were defined as everlasting contradictory claims on who had the rights over access to lands, natural resources, and territories between rural community and concession holders in the business of plantation, forestry, mining, infrastructure, etc. The conflicting claims are perpetuated by significant efforts to delegitimize the existence of others’ claims. Being different from various mainstream analysis promoting global market as opportunity, I prefer to use what Ellen M. Wood notion of “market-as-imperative”. Using the illustration of the expansion of oil palm plantation in Indonesia, the article shows the consequence of global capitalist markets to the emergence of the agrarian conflicts. Keywords Keywords Keywords Keywords Keywords: agrarian conflicts, market, agrarian capitalism. Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami sebab, akibat, kondisi yang melestarikan, dan akar- akar masalah dari konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Pertentangan klaim tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dari klaim pihak lain. Berbeda dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan, penulis mendayagunakan pemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada konflik-konflik agraria berkenaan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar kapitalis. Kata K Kata K Kata K Kata K Kata Kunci unci unci unci unci: Konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria. A. Pengantar Konflik agraria struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/penge- lola tanah 2 yang bergerak dalam bidang pro- duksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pi- Hukum memenjarakan laki-laki dan perempuan, tersangka yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama. Namun tersangka yang lebih besar lolos begitu saja, yakni mereka yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu Dan para angsa terus hidup dalam kekurangan tanah bersama Sampai mereka masuk dan mencurinya kembali. 1 * Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB). 1 “The law locks up the man or woman; Who steals the goose from off the common; But leaves the greater villain loose; Who steals the common from off the goose;

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIAYANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA

Noer Fauzi Rachman*

Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: Abstract: The article offers an framework to identify causes, effects, perpetuating conditions, and structural roots of agrarianconflicts. Systemic agrarian conflicts were defined as everlasting contradictory claims on who had the rights over access to lands,natural resources, and territories between rural community and concession holders in the business of plantation, forestry,mining, infrastructure, etc. The conflicting claims are perpetuated by significant efforts to delegitimize the existence of others’claims. Being different from various mainstream analysis promoting global market as opportunity, I prefer to use what Ellen M.Wood notion of “market-as-imperative”. Using the illustration of the expansion of oil palm plantation in Indonesia, the articleshows the consequence of global capitalist markets to the emergence of the agrarian conflicts.KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: agrarian conflicts, market, agrarian capitalism.

Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Intisari: Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami sebab, akibat, kondisi yang melestarikan, dan akar-akar masalah dari konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim yang berkepanjanganmengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaandengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya.Pertentangan klaim tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dariklaim pihak lain. Berbeda dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan, penulis mendayagunakanpemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada konflik-konflik agraria berkenaandengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai konsekuensi dariperkembangan pasar kapitalis.Kata KKata KKata KKata KKata Kunciunciunciunciunci: Konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria.

A. Pengantar

Konflik agraria struktural yang dimaksuddalam artikel ini merujuk pada pertentanganklaim yang berkepanjangan mengenai siapa yangberhak atas akses pada tanah, sumber daya alam

(SDA), dan wilayah antara suatu kelompokrakyat pedesaan dengan badan penguasa/penge-lola tanah2 yang bergerak dalam bidang pro-duksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pi-

Hukum memenjarakan laki-laki dan perempuan,tersangka yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama.

Namun tersangka yang lebih besar lolos begitu saja,yakni mereka yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu

…Dan para angsa terus hidup dalam kekurangan tanah bersama

Sampai mereka masuk dan mencurinya kembali.1

* Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur SajogyoInstitute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium PembaruanAgraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik danGerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas EkologiManusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

1 “The law locks up the man or woman; Who stealsthe goose from off the common; But leaves the greatervillain loose; Who steals the common from off the goose;

Page 2: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

2 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

hak-pihak yang bertentangan tersebut berupayadan bertindak, secara langsung maupun tidak,menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agrariayang dimaksud dimulai oleh surat keputusanpejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan,Menteri ESDM (Energi Dan Sumber Daya Min-eral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional),Gubernur, dan Bupati, yang memberi ijin/hak/lisensi pada badan usaha tertentu, dengan me-masukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaanrakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yangbergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, mau-pun konservasi berbasiskan sumberdaya alam.

Konflik agraria yang dimaksud dalam artikelini dimulai dengan pemberian ijin/hakpemanfaatan oleh pejabat publik yang meng-ekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, danwilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyaisekelompok rakyat itu dibatasi, atau dihilangkansepenuhnya. Dalam literature studi agraria ter-baru, konsep akses dan ekslusi adalah dua kon-sep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satumata uang. Akses diberi makna sebagai “kemam-puan untuk mendapat manfaat dari sesuatu,termasuk objek-objek material, orang-orang,institusi-institusi dan simbol-simbol”3, sedangkaneksklusi dimaknakan sebagai “cara-cara dimanaorang lain dicegah untuk mendapatkan manfaat

dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”.4 Proseseksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, keku-atan, dan legitimasi, sebagaimana dijelaskandengan panjang lebar dan secara ilustratif dalambuku Derek Hall, Philip Hirsch, dan TaniaMurray Li dalam Power of Exclusion, Land Di-lemmas in Southeast Asia, 2001.

Naskah ini akan secara lugas mengungkapdan membahas rantai penjelas dari konflik agra-ria (sebab langsung, sebab struktural, dan kon-disi-kondisi yang melestarikannya—lihat Bagan1 di bawah), dengan mengambil ilustrasi konflikagraria yang diakibatkan oleh ekspansiperkebunan kelapa sawit.

B. Kerangka Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria

Konflik agraria akan terus-menerus meletusdi sana-sini, bila sebab-sebabnya belum dihi-langkan. Dengan tetap adanya kondisi-kondisiyang melestarikannya, konflik-konflik agraria inimenjadi kronis dan berdampak luas. Pelajaranpokok yang hendak dikemukakan tulisan iniadalah bahwa dalam menangani konflik-konflikagraria struktural, yang kronis, sistemik danberdampak luas, kita tidak bisa mengandalkancara-cara tambal-sulam dengan sekedar menga-tasi secara cepat dan darurat, terutama sehu-bungan dengan eskalasi dan ekses yang tampakdari konflik-konflik itu. Artikel ini mengan-jurkan bahwa untuk memahami konflik-konflikagraria seperti ini secara memadai, kita memer-lukan pendekatan yang memadai pula, yangmendasarkan diri pada rerantai sebab-akibat dankondisi-kondisi yang melestarikannya.

… And geese will still a common lack; Till they go andsteal it back”, demikian bait-bait protes atas enclosure(perampasan tanah) yang merupakan gejala umum di Inggrismulai abad 17. Dalam literature terbaru, kalimat-kalimat inidikutip kembali untuk menunjukkan relevansi konsep analitik“enclosure’. Lihat misalnya Ollman (2008: 8), Kloppenburg(2010: 367).

2 Dalam pengertian badan penguasa/pengelola tanahini mencakup baik perusahaan-perusahaan milik Negara,maupun milik pribadi/swasta, domestik maupun asing; danjuga badan-badan pemerintah pengelola tanah luas, sepertitaman-taman nasional yang berada langsung dibawahKementerian Kehutanan.

3 Jesse Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “ATheory of Access”. Rural Sociology, 68 (2), hlm. 153.

4 Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, 2011, Pow-ers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singaporeand Manoa: NUS Press, hlm. 7.

Page 3: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

3Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Sebab-sebab

• Pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat pub-lik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM,Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang me-masukkan tanah/wilayah kelola/SDA ke-punyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesibadan-badan usaha raksasa dalam bidangproduksi, ekstraksi, maupun konservasi.

• Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan pe-nipuan dalam pengadaan tanah skala besaruntuk proyek-proyek pembangunan, perusa-haan-perusahaan raksasa, dan pemegangkonsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi,konservasi.

• Ekslusi sekelompok rakyat pedesaan dari ta-nah/wilayah kelola/SDA yang dimasukkan kedalam konsesi badan usaha raksasa tersebut.

• Perlawanan langsung dari kelompok rakyatsehubungan ekslusi tersebut.

Akibat-akibat

• Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki, atastanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan

secara langsung berakibat hilangnya (seba-gian) wilayah hidup, mata pencaharian, dankepemilikan atas harta benda.

• Menyempitnya ruang hidup rakyat, yangdiiringi menurunnya kemandirian rakyatdalam memenuhi kebutuhan hidupnya, uta-manya pangan.

• Last but not least, transformasi dari petanimenjadi buruh upahan.

Akibat-akibat Lanjutan

• Konflik yang berkepanjangan menciptakankrisis sosial ekologi yang kronis, termasukmendorong penduduk desa bermigrasi kewilayah-wilayah baru untuk mendapatkan ta-nah pertanian baru atau pergi ke kota menjadigolongan miskin perkotaan.

• Dalam krisis sosial ekologis ini secara khususperhatian perlu diberikan pada berbagai ben-tuk ketidakadilan gender, dimana perempuandari kelompok marginal menghadapi danmenanggung beban yang jauh lebih besar.

• Merosotnya kepercayaan masyarakat setem-

Bagan 1. Kerangka penjelas sebab-akibat konflik agraria struktural, kondisi-kondisi yang melestarikan,dan akar masalahnya

Page 4: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

4 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

pat terhadap pemerintah yang pada gilirannyadapat menggerus rasa ke-Indonesia-an parakorban.

• Meluasnya artikulasi konflik agraria ke ben-tuk-bentuk konflik lain seperti: konflik etnis,konflik agama, konflik antar kampung/desa,dan konflik antar “penduduk asli” dan pen-datang.

Kondisi-kondisi yang Melestarikan

• Tidak adanya koreksi atas putusan-putusanpejabat publik yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesibadan usaha atau badan pemerintah raksasauntuk produksi, ekstraksi, maupun konser-vasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses pemberian ijin/hak padabadan-badan raksasa tersebut.

• Lembaga-lembaga pemerintah tidak pernahmembuka informasi kepada publik, apalagidikontrol oleh publik, perihal penerbit hak/ijin/lisensi yang berada pada kewenangannya.

• Ketiadaan kelembagaan yang memilikiotoritas penuh, lintas sektor dalam lembagapemerintah, yang memadai dalam menanga-ni konflik agraria yang telah, sedang, danakan terjadi.

• Badan-badan usaha atau badan-badan peme-rintah bersikap defensif apabila rakyat meng-artikulasikan protes sebab hilang atau berku-rangnya akses rakyat atas tanah, sumber dayaalam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari hak/ijin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebihlanjut, protes rakyat disikapi dengan keke-rasan, kriminalisasi, dan intimidasi.

• Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnyapelaksanaan program yang disebut “ReformaAgraria” dalam membereskan ketimpanganpenguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu,kita menyaksikan berbagai skandal dalamimplementasi redistribusi tanah, misalnyapemberian tanah bukan pada mereka yang

memperjuangkan, pengurangan jumlahtanah yang seharusnya diredistribusi, peni-puan dan manipulasi nama-nama penerimamaupun objek redistribusi, dan tanah-tanahyang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuantanah (rekonsentrasi).

Akar Masalah

• Tidak adanya kebijakan untuk menyediakankepastian penguasaan (tenurial security) bagiakses atas tanah-tanah/SDA/wilayah kelolamasyarakat, termasuk pada akses yang beradadalam kawasan huatn negara.

• Dominasi dan ekspansi badan-badan usaharaksasa dalam industri ekstraktif, produksiperkebunan dan kehutanan, serta konservasi.

• Instrumentasi badan-badan pemerintahansebagai “lembaga pengadaaan tanah” melaluirejim-rejim pemberian hak/ijin/lisensi atastanah dan sumber daya alam.

• UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkansebagai UU Payung, pada prakteknya disem-pitkan hanya mengurus wilayah non-hutan(sekitar 30% wilayah RI), dan prinsip-prinsip-nya diabaikan. Peraturan perundang-un-dangan mengenai pertanahan/kehutanan/PSDA lainnya tumpang tindih dan berten-tangan antara satu dengan yang lain.

• Hukum-hukum adat yang berlaku di ka-langan rakyat diabaikan atau ditiadakankeberlakuannya oleh perundang-undanganagraria, kehutanan dan pertambangan.

• Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanis-me, dan administrasi yang mengatur perta-nahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakinmenjadi-jadi.

• Last but not least, Semakin menajamnya ke-timpangan penguasaan, pemilikan, penggu-naan, dan peruntukan tanah/hutan/SDAlainnya.

Page 5: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

5Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

C. Ilustrasi Konflik-konflik Agrariasebagai Akibat Ekspansi PerkebunanKelapa Sawit

Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesiaterus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indo-nesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia.Pemantauan dari Indonesian Commercial NewsLetter (Juli 2011) produksi CPO meningkat men-jadi 21,0 juta pada 2010 dari tahun sebelumnya19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakanakan naik 4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton.Sementara itu, total ekspor juga meningkat, yak-ni pada 2010 sekitar 15,65 juta ton, dan diper-kirakan akan melonjak menjadi 18,0 juta tonpada 2011. Dari total produksi tersebut diperki-rakan hanya sekitar 25% atau sekitar 5,45 jutaton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Pro-duksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luaskonsesi perkebunan kelapa sawit yang terusbertambah yaitu menjadi 7,9 juta hektar pada2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.

Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasanperkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 8,1juta (Dirjenbun 2012 sebagaimana dikutip olehSawit Watch 2012). Luas perkebunan ini, lebihkecil dari yang sesungguhnya sebagaimanadiperkirakan oleh Sawit Watch (2012), telah men-capai 11,5 juta hektar. Perkebunan-perkebunankelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legal-nya. Dari luasan ini berapa persen partisipasipetani-petani yang bertanam kelapa sawit ditanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan,Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milikpetani di atas 40 % (sebagaimana dikutip olehSawit Watch 2012). Sementara menurut SawitWatch sendiri (2012), jumlahnya adalah kurangdari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia yangdigenjot pemerintah, perusahaan-perusahaanswasta, dan petani-petani sawit, luasan kebunsawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta

hektar pada tahun 2025.Menarik sekali memperhatikan data dari

Direktur Pascapanen dan Pembinaan UsahaDirektorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan padaKementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja(2012), sebagaimana dimuat dalam Kompas 26Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan Konflik”. Dalamrapat koordinasi perkebunan berkelanjutan diKota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal25 Januari 2012, ia menyampaikan data bahwasekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawitdi seluruh daerah Indonesia terlibat konflikdengan masyarakat terkait lahan. Tim dari DitjenPerkebunan sudah mengidentif ikasi konflik itudi 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya adasekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah menem-pati urutan pertama dengan 250 kasus konflik,disusul Sumatera Utara 101 kasus, KalimantanTimur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, danKalimantan Selatan 34 kasus.

Dalam banyak konflik-konflik agraria kitajuga menyaksikan instrumentasi hukum, peng-gunaan kekerasan, kriminalisasi (tokoh) pendu-duk, manipulasi, penipuan, dan pemaksaaanpersetujuan, yang dilakukan secara sistematikdan meluas. Kesemua ini sering menyertai upayapenghilangan klaim rakyat atau pengalihanpenguasaan atas tanah, SDA dan wilayah kelolarakyat setempat ke konsesi yang dipunyai olehbadan-badan usaha raksasa termaksud. Hal inisekaligus merupakan ekslusi atau pembatasanakses rakyat terhadap tanah, SDA, maupun wila-yah kelolanya. Sebaliknya, terjadi perlawananlangsung dari rakyat maupun yang difasilitasioleh organisasi-organisasi gerakan sosial, lem-baga swadaya masyarakat (LSM), maupun elitepolitik, dilakukan untuk menentang eksklusi,atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.

Sudah diakui bahwa masalah pengadaan ta-nah untuk perkebunan sawit di Indonesia cende-rung berujung pada konflik agraria. Perten-

Page 6: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

6 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

tangan klaim hak atas tanah terjadi antarapengusaha yang telah mengantongi Hak GunaUsaha (HGU) dari pemerintah dengan masya-rakat petani yang telah hidup bertahun-tahundi sebuah wilayah dengan sistem tenurialnyasendiri.5

D. Sebab-sebab Struktural KonflikAgraria

Konf lik agraria belum banyak diungkapsebab-sebab strukturalnya, yakni yang berhu-bungan dengan bagaimana ekonomi pasarkapitalistik bekerja. Harus dipahami bahwaekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekaliberbeda dengan ekonomi pasar sederhana dima-na terjadi tukar-menukar barang melalui tin-dakan belanja dan membeli yang diperantaraioleh uang. Dalam ekonomi pasar kapitalis,“bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hu-bungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sis-tem ekonomi kapitalis itu”.6 Pasar kapitalis memi-liki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisamengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimanaditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negaralah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalisdemikian itu bisa bekerja.

Ekonomi pasar kapitalis terus bergerak. Kalautidak bergerak dia mati. Gerakan pasar dapatdibedakan sebagai penyedia kesempatan danjuga dapat sebagai kekuatan pemaksa. EllenWood (1994) mengistilahkannya sebagai mar-ket-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),

dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keha-rusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melaluiproses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhanmanusia pada gilirannya dibentuk agar dapatmengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Seba-gai suatu sistem produksi yang khusus, ia men-dominasi cara pertukaran komoditas melaluipasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalismesanggup membentuk bagaimana cara sektorekonomi dikelola oleh badan-badan pemerin-tahan hingga ke pemikiran cara bagaimana caraekonomi pasar itu diagung-agungkan.7

Negara Indonesia secara terus-menerus di-bentuk menjadi negara neoliberal dalam rangkamelancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalisdi zaman globalisasi sekarang ini. Hal ini perludipahami dengan kerangka pasar-sebagai-keha-rusan. Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahamimulai dari karakter sistem produksi kapitalissebagai yang paling mampu dalam mengakumu-lasikan keuntungan melalui kemajuan dansof istikasi teknologi, serta peningkatan produk-tivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan ef isiensihubungan sosial dan pembagian kerja produksidan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanyamengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yangtelah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidakkompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yangtidak lagi dapat dipakai.

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapi-talisme ini memberi tempat hidup dan insentifbagi semua yang ef isien, dan menghukum matiatau membiarkan mati hal-hal yang tidaksanggup menyesuaikan diri dengannya. Selan-jutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-lebur-kan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang

5 M. Colchester, N. Jiwan, M.T. Sirait, A.Y. Firdaus,A. Surambo, & H. Pane, 2006, Promised Land: Palm Oiland Land Acquisition in Indonesia - Implications for LocalCommunities and Indigenous Peoples (published by ForestPeople Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA,World Agroforestry Centre (ICRAF) – SEA.

6 Karl Polanyi, 1967 (1944). The Great Transforma-tion: The Political and Economic Origins of Our Time. Bos-ton: Beacon Press, 1967/(1944), hlm. 57.

7 Perihal asal-mula dari keharusan-pasar (market-im-peratives), dan cara bagaimana keharusan-keharusan inimembentuk kebijakan-kebijakan ekonomi utama saat inisilakan lihat karya-karya Wood (1994, 1995:284–93; 1999a;1999b; 2001,:283–6; 2002a:193–8; 2002b; and 2009)

Page 7: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

7Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

dapat lebih menjamin keberlangsungan akumu-lasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86)menyebut hal ini sebagai the process of creativedestruction (proses penghancuran yang kreatif).

Sejarah penguasaan agraria di Indonesia ham-pir mirip dengan sejarah yang terjadi di negara-negara pasca-kolonial di Asia, Amerika Latinhingga Afrika. Pemberlakuan hukum agrariayang baru, termasuk di dalamnya hukum yangmengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan,dan pertambangan, merupakan suatu cara agarperusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapatmemperoleh akses eksklusif atas tanah dankekayaan alam, yang kemudian mereka def ini-sikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.

Di Indonesia pasca-kolonial, kran liberalisasisumberdaya alam tersebut sangat jelas ketikaOrde Baru pimpinan Jenderal Soeharto mulaiberkuasa, tahun 1967. Liberalisasi ini telah me-rampas kedaulatan rakyat atas tanah untukkedua kalinya setelah pemerintah kolonial mela-kukan cara serupa semasa penjajahan sebelum-nya. Badan-badan pemerintahan dan perusaha-an-perusahaan mulai mengkapling-kaplingtanah-air Indonesia untuk konsesi perkebunan,kehutanan dan pertambangan, dan mengelu-arkan penduduk yang hidup di dalam konsesiitu. Hubungan dan cara penduduk menikmatihasil dari tanah dan alam telah diputus melaluipemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan,pemagaran wilayah secara f isik, hingga peng-gunaan simbol-simbol baru yang menunjukkanstatus kepemilikan yang bukan lagi dipangku olehmereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukanprotes dan perlawanan untuk menguasai danmenikmati kembali tanah dan wilayah yang telahdiambil alih pemerintah dan perusahaan-peru-sahaan itu, mereka akan merasakan akibat yangsangat nyata: kriminalisasi, sanksi oleh birokrasihukum, atau tindakan kekerasan lainnya yangseringkali dibenarkan secara hukum.

Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itupada intinya adalah penghentian secara paksaakses petani atas tanah dan kekayaan alam ter-tentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masukke dalam modal perusahaan-perusahaan kapi-talistik.8 Jadi, perubahan dari alam menjadi “sum-ber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagirakyat petani yang harus tersingkir dari tanahasalnya dan sebagian dipaksa berubah menjaditenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah prosespaksa menciptakan orang-orang yang tidak lagibekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yangmelekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pe-kerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanahmereka di desa-desa ke kota-kota untuk menda-patkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinandi kota-kota dilahirkan oleh proses demikian ini.9

David Harvey (2003, 2005) mengemukakanistilah accumulation by dispossession (akumulasi

8 Karl Marx dalam Das Capital (1867) mengembangkanteori “the so-called primitive accumulation”, yang mendu-dukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi darimata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisilainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas. Marx menger-jakan kembali temuan Adam Smith (pemikir ekonomi terkenalyang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak terlihat” [in-visible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasarbekerja), bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulusebelum pembagian kerja”, sebagaimana tertulis dalam karyaterkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). MichaelPerelman memecahkan misteri penggunaan kata “primitive”dalam “primitive accumulation”. Seperti yang secara tegastercantum dalam tulisan Marx, kata primitive berasal dariistilah previous accumulation- Adam Smith. Marx yangmenulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata “previ-ous” dari karya Adam Smith menjadi “ursprunglich”, dimanapenerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudianmenerjemahkannya menjadi kata “primitive” (Perelman2000:25). Uraian menarik mengenai konsep “original accu-mulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation”dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahamiperkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalamPerelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007).

9 Mike Davis, 2006, Planet of Slums. New York: Verso.

Page 8: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

8 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dengan cara perampasan) yang dibedakandengan accumulation by exploitation, yakni aku-mulasi modal secara meluas melalui eksploitasitenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasibarang dagangan. Dalam proses akumulasidengan cara perampasan, dia menekankan pen-tingnya “produksi ruang, organisasi pembagiankerja yang secara keseluruhannya baru dalamwilayah yang baru pula, pembukaan berbagaimacam cara perolehan sumberdaya baru yangjauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayahbaru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruangakumulasi modal, dan penetrasi terhadap forma-si sosial yang ada oleh hubungan-hubungan so-sial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (con-tohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi)membuka jalan bagi penyerapan surplus modalmaupun tenaga kerja”.10 Reorganisasi dan rekon-struksi geograf is untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini di-mulai dengan menghancur-lebur hubungankepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah,kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala hal-ihwal kebudayaannya yang hidup, melekat seca-ra sosial pada tempat-tempat itu.

Reorganisasi dan rekonstruksi geograf is ini-lah yang sedang kita alami dengan pemberiankonsesi-konsesi tanah dan sumber daya alamuntuk menghasilkan komoditas-komoditas glo-bal seperti yang dirancang secara terpusatdengan Masterplan Percepatan dan Pengem-bangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.Dalam MP3EI itu, tiap koridor ekonomi diran-cang untuk menghasilkan andalan-andalankomoditas global tertentu (lihat table 1 di bawah).

Tabel 1. Pembagian Koridor Ekonomimenurut MP3EI

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomo-dif ikasi menjadi barang dagangan. Namun,khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasarkapitalis tidak akan pernah berhasil mengko-modif ikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percayabahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesung-guhnya bukanlah komoditi atau barang da-gangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlaku-kan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanahmelekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial.Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam)sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnyabertentangan dengan hakekat tanah (alam) itusendiri. Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagaikomoditi. Polanyi mengistilahkannya: f ictitiouscommodity (barang dagangan yang dibayang-kan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah(alam) sebagai barang dagangan dengan memi-sahkannya dari ikatan hubungan-hubungansosial yang melekat padanya, niscaya akan meng-hasilkan guncangan-guncangan yang menghan-curkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masya-rakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tan-dingan untuk melindungi masyarakat dari keru-sakan yang lebih parah.

10 David Harvey, 2003, The New Imperialism. Ox-ford: Oxford University Press, hlm. 116.

Koridor Ekonomi Produksi Komoditas Global yang Diandalkan

Sumatera, Banten Utara Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbungenergi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapasawit/CPO, Karet, dan Batubara

Jawa Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektorpada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut

Kalimantan Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbungenergi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyakkelapa sawit, dan batubara

Sulawesi, Maluku Utara Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan,dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanamanpangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel

Bali, Nusa Tenggara Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasionaldengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian danpeternakan

Papua, Maluku Pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDMyang sejahtera dengan fokus sektor pada pertambangan sertapertanian dan perkebunan

Page 9: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

9Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakansyarat hidup dari masyarakat. Memasukkan ta-nah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanismepasar adalah merendahkan hakekat masyarakat,dan dengan demikian menyerahkan begitu sajasepengaturan kehidupan masyarakat pada meka-nisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akanmenimbulkan gejolak perlawanan, demikianPolanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bah-wa kelembagaan pasar demikian “tak dapathidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiahdan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secaraf isik merusak manusia dan mengubah ling-kungannya menjadi demikian tak terkendalikan.Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upayaperlindungan diri”.11

Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis“selama berabad dinamika masyarakat moderndiatur oleh suatu gerakan ganda (double move-ment): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri,tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatugerakan tandingan (counter-movement) meng-hadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang ber-

beda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tan-dingan ini adalah untuk melindungi masyarakat,yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) takcocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiridari pasar, dan dengan demikian tidak cocokpula dengan sistem pasar itu sendiri”.12 Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaatatau bisa juga berkepanjangan dari sekelompokrakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bah-kan melawan proses komodif ikasi yang dilan-carkan oleh pasar kapitalis itu.13

E. Kesimpulan

Merujuk pada puisi yang dikutip di awaltulisan ini, di kalangan kaum terdidik, termasukpara ahli hukum, baik di Indonesia maupun diberbagai belahan bumi lainnya, kita dihadapkanoleh dua macam pemikiran yang bertentangansatu sama lain, yakni mereka yang mempelajari“orang-orang yang mencuri seekor angsa daritanah milik bersama”, dan mereka yang mempe-lajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama

11 Karl Polanyi, 1944, The Great Transformation: ThePolitical and Economic Origins of Our Time. Boston: Bea-con Press, hlm. 3.

12 Ibid, hlm. 130.13 Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa. Dinamika

Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: PustakaPelajar-Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Page 10: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

10 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

dari angsa itu”14. Tulisan ini mengajak kitamengerti mereka yang “mencuri angsa” dari“tanah milik bersama” itu, dengan berusahamengemukakan cara kerja mereka “yang men-curi tanah milik bersama dari angsa itu”.

Kita sudah saksikan bahwa jika konf lik-konflik agraria struktural, seperti yang terjadisehubungan dengan ekspansi perkebunankelapa sawit, dipahami hanya sebatas problemkriminalitas rakyat, maka pendekatan polisionilyang diterapkan sebagai konsekuensi dari pema-haman itu berakibat pada semakin rumitnyakonflik-konflik agraria tersebut. Penulis mengan-jurkan mendudukkan konflik-konflik agrariayang berhubungan dengan perluasan perke-bunan sawit di Indonesia dalam perspektif yanglebih luas. Akibat lanjutan dari konflik agrariaini adalah meluasnya konflik itu sendiri, darisekedar konflik klaim atas tanah, sumberdayaalam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain.Konflik agraria yang berkepanjangan mencipta-kan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendo-rong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah perta-nian baru, atau pergi dan hidup menjadi go-longan miskin kota. Hal ini menjadi sumbermasalah baru di kota-kota.

Lebih jauh dari itu, artikulasi konflik agrariadapat membentuk-bentuk konflik lain sepertikonflik antara para petani pemilik asal tanahdengan pekerja perkebunan, konf lik antarkelompok etnis, antar “penduduk asli” dan pen-datang, bahkan hingga konflik antar kampung/desa. Ketika konflik-konflik itu berlangsungdalam intensitas yang tinggi, rakyat mencariakses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD,Badan Pertanahan Nasional, Kementrian Kehu-

tanan, hingga DPR Pusat, Komnas HAM, dll.Dalam sejumlah kasus klaim dan keperluanrakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewe-nangan dan kapasitas masing-masing lembaga.Namun, tidak demikian halnya untuk kasus-kasus dengan karakteristik konfliknya yangbersifat struktural, dan sudah kronis, serta aki-bat-akibatnya telah meluas.

Konflik agraria struktural macam ini diles-tarikan oleh tidak adanya koreksi/ralat atas pu-tusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehu-tanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Men-teri ESDM, Bupati dan Gubernur) yang mema-sukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyatke dalam konsesi badan usaha raksasa untukproduksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kitatahu bahwa berdasarkan kewenangannya,pejabat publik itu dimotivasi oleh keperluanperolehan rente maupun untuk pertumbuhanekonomi, mereka melanjutkan dan terus-mene-rus memproses pemberian ijin/hak pada badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahupula bahwa bila suatu koreksi demikian dilaku-kan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balikoleh perusahaan-perusahaan yang konsesinyadikurangi atau apalagi dibatalkan. Resiko keru-gian yang bakal diderita bila kalah di PengadilanTata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari olehpejabat publik yang bersangkutan.

Dalam situasi konflik agraria yang berkepan-jangan, rakyat korban bertanya mengenai posisidan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai padaperasaan tidak adanya pemerintah yang melin-dungi dan mengayomi. Pada tingkat awal merekaakan memprotes pemerintah. Ketika krimina-lisasi diberlakukan terhadap mereka, merekamerasa dimusuhi pemerintah. Kalau hal iniditeruskan, mereka merasakan pemerintah dimasa Reformasi berlaku sebagai penguasa danbertindak semaunya saja, termasuk menjadi pela-yan pasar kapitalis. Kalau hal ini diteruskan, yangakan terjadi adalah merosotnya legitimasi peme-

14 Bertell Ollman, 2008, “Why Dialectics? WhyNow?”, Dialectics for the New Century. Edited by BertellOllman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan,hlm. 8.

Page 11: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

11Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

rintah di mata rakyatnya. Hal ini tentunya akanmembuat negara kita semakin jauh dari yangdicita-citakan oleh proklamasi kemerdekaanNegara Republik Indonesia sebagaimana dike-mukakan dalam pembukaan Undang-undangDasar 1945.

Merosotnya legitimasi rakyat terhadap peme-rintah itu membuat mereka yang pada mulanyaberada dalam posisi korban dalam konf lik-konflik agraria itu sampai pada pertanyaanapakah mereka “berhak mempunyai hak”?15

Ilustrasi terbaik dari krisis legitimasi pemerintahdan pentingnya “hak untuk memiliki hak” iniadalah apa yang diperjuangakan oleh AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagai-mana terpantul dari motonya, “Kalau negaratidak mengakui kami, kami pun tidak mengakuinegara”. Menurut penulis, tuntutan AMAN agarnegara mengakui eksistensi masyarakat adatbeserta pemastian hak atas tanah-air masyarakatadat adalah suatu panggilan untuk pejabat danbadan-badan negara untuk memenuhi kewa-jiban konstitusional untuk “melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahIndonesia dan untuk memajukan kesejahteraanumum” demi tujuan “mewujudkan suatu ke-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hasilamandemen atas Undang-undang Dasar 1945menghasilkan tiga ketentuan baru berkenaandengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat,yaitu pasal 18B ayat (2), pasal 28i ayat (3), danayat (2). Pengakuan eksistensi dan perlindunganhak-hak masyarakat adat ini dipersyarati dengan

empat ketentuan, yakni sepanjang masih hidup,sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuaiprinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,dan diatur dalam undang-undang. Namunpengakuan konstitusional ini tidak dengan sen-dirinya (secara otomatis) mendorong penyesu-aian perundang-undangan di bawahnya. Masihbanyak pekerjaan pembaruan perundang-un-dangan untuk meralat penyangkalan dan mewu-judkan pengakuan atas eksistensi masyarakatadat itu dan segenap hak-hak dasarnya.16 Lebihjauh, agenda utama perjuangan AMAN adalah(i) mendorong ralat kebijakan-kebijakan yangmenyangkal eksistensi masyarakat adat itu,dengan memastikan bahwa masyarakat adat ada-lah suatu subjek hukum yang sah, dan peme-rintah Republik Indonesia wajib mengadminis-trasikan hak-hak khusus yang melekat padanya,termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, danwilayah kelolanya; dan (ii) mewujudkan hakmemperoleh pemulihan atas kerusakan sosial-ekologis yang diderita masyarakat adat akibatkekeliruan kebijakan pemerintah yang menyang-kal eksistensinya sebagai subjek hukum, dan hak-hak dasar yang melekat padanya.17

15 Penulis mengambil konsep “hak untuk memiliki hak”(the rights to have rights) dari filsuf politik Hannah Arendt(1951) The Origins of Totalitarianism (1951). Arendt lahyang membuat konsep “hak untuk memiliki hak” ini populersebagai hak politik yang paling fundamental bagi seorangwarganegara (Arendt 1951/1968: 177. Untuk pembahasanterbaru mengenai konsep ini dalam konteks perjuangan hakasasi manusia, kewajiban Negara, dan rejim pasar bebas,lihat Somerr (2008), dan Kesby (2012).

16 Lihat Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadapMasyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP, MyrnaA. Safitri, “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah danKekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undanganNasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”,dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: BeberapaGagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan,Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hlm. 15-35, YanceArizona, 2010, “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat:Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indone-sia (1999-2009)”, Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010.

17 Noer Fauzi Rachman, 2012, “Masyarakat Adat danPerjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangkaKongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).Tobelo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp(Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013) dan “MasyarakatAdat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.

Page 12: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

12 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998)mewariskan cara bagaimana pemerintah yangberkuasa menekankan kewajiban-kewajibansosial penduduk, dan bukan memenuhi hak-haksipil-politik dan ekonomi, sosial dan budayapenduduk. Indonesia saat ini bukan hanya me-merlukan Reformasi atas pemerintahan yangotoritarian dan sentralistik dan digantikan olehsuatu pemerintahan demokratis dan desentra-listis, melainkan juga transformasi kelembagaanyang menyeluruh.18 Dalam konteks pokok ba-hasan artikel ini, menjadi jelas bahwa satu agendautama dari transformasi kelembagaan itu adalahmemulihkan posisi kewarganegaran dari rakyatmiskin pedesaan, termasuk mereka yang beradadalam situasi konflik agraria dan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat.

Ucapan Terima kasih

Versi-versi terdahulu atau bagian-bagian ter-tentu dari naskah ini disajikan sebagai brief ingpaper, bahan presentasi dan/atau makalah dibanyak forum diskusi/lokakarya/seminar semen-jak penulis aktif sebagai peneliti senior di SajogyoInstitute. Forum-forum itu diselenggarakan olehberbagai unit/proyek dalam organisasi-organisasisebagai berikut: Konsorsium Pembaruan Agra-ria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perkum-pulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakatdan Ekologis (HuMA), Program Studi Pasca Sar-jana Sosiologi Universitas Indonesia, Unit KerjaPresiden Bidang Pengawasan dan PengendalianPembangunan (UKP4), Yayasan Perspektif Baru,Badan Legislatif DPR-RI, Komisi PemberantasanKorupsi, dan lainnya. Sebagian isi naskah initelah disajikan dalam Rachman dan Swanvri

(2012). Versi lain akan dimuat dalam Jurnal IlmuPemerintahan Universitas Indonesia, 2013. Teri-ma kasih untuk Didi Novrian dan Mia Siscawatidan semua kolega lain di Sajogyo Institute yangmemberi banyak kritik, komentar, usulan daninspirasi untuk pengembangan naskah ini.

Daftar Pustaka

Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade LegislasiMasyarakat Adat: Trend Legislasi Nasionaltentang Keberadaan dan Hak-hak Masya-rakat Adat atas Sumber Daya Alam di In-donesia (1999-2009). Kertas Kerja EPIS-TEMA No. 07/2010

Arendt, Hannah. 1951 (1968). The Origins of To-talitarianism. New York: Harcourt BraceJovanovich.

Colchester, M., Jiwan, N., Sirait, M.T., Firdaus,A.Y., Surambo, A. & Pane, H. ( 2006). Prom-ised Land: Palm Oil and Land Acquisitionin Indonesia - Implications for Local Com-munities and Indigenous Peoples (publishedby Forest People Programme (FPP), SawitWatch, HUMA, World Agroforestry Cen-tre (ICRAF) - SEA.

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York:Verso.

De Angelis, Massimo. 1999. “Marx’s Theory ofPrimitive Accumulation: A Suggested Re-interpretation.” University of East London.Available online at http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMACCA.htm (Unduh terakhir tanggal04 Oktober 2012).

____. 2007. The Beginning of History: ValueStruggles and Global Capital. London, PlutoPress

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Dina-mika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasamadengan Insist Press dan Konsorsium Pem-baruan Agraria.

Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Li. 2011.

18 Saich, Anthony, 2010, David Dapice, Tarek Masoud,Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Tho-mas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams, Indo-nesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke TransformasiKelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Page 13: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

13Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14

Powers of Exclusion: Land Dilemmas inSoutheast Asia. Singapore and Manoa: NUSPress.

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Ox-ford: Oxford University Press.

____. 2004. “The ‘New’ Imperialism: Accumula-tion by Disposession.” in Socialist Register2004, edited by L. Panitch and C. Leys. NewYork: Monthly Review Press.

____. 2005. A Brief History of Neoliberalism.Oxford: Oxford University Press.

Indonesian Commercial Letter. 2011. “IndonesianCommercial Letter, July 2011” http://www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html(Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).

____. 2011. From Reformasi to InstitutionalTransformation: A strategic Assessment ofIndonesia’s Prospects for Growth, Equity andDemocratic Governance. Harvard KennedySchool Indonesia Program, Harvard, USA.

Kementerian Koordinator Bidang Perekono-mian, 2011. Masterplan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indone-sia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordi-nator Bidang Perekonomian, 2011 .

Kesby, Alison. 2012. The Right to Have Rights:Citizenship, Humanity, and InternationalLaw, Oxford University Press,.

Kloppenburg, Jack. 2010. “Impeding disposses-sion, enabling repossession: biological opensource and the recovery of seed sovereignty”.Journal of Agrarian Change 10:3 (July): 367-388.

Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? WhyNow?”, Dialectics for the New Century. Ed-ited by Bertell Ollman dan Tony Smith.Hampshire: Palgrave Macmillan.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capi-talism: Classical Political Economy and theSecret History of Primitive Accumulation.Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transfor-mation: The Political and Economic Originsof Our Time. Boston: Beacon Press.

____. 2001 (1944) The Great Transformation: ThePolitical and Economic Origins of Our Time.

Boston: Beacon Press.Rachman, Noer Fauzi. 2012a. “Masyarakat Adat

dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskahkuliah dalam rangka Kongres AliansiMasyarakat Adat Nusantara (AMAN). To-belo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret2013).

____. 2012b. “Masyarakat Adat dan PerjuanganTanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.

Rachman, Noer Fauzi dan Swanvri. 2012. “Pasar-sebagai-Keharusan: Sebab StrukturalKonf lik Agraria”. Sawit Watch Journal.Vol.1:43-54.

Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “ATheory of Access”. Rural Sociology 68(2):153-81.

Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masya-rakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalamPeraturan Perundang-undangan NasionalIndonesia: Model, Masalah, dan Rekomen-dasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunalatas Tanah: Beberapa Gagasan untukPengakuan Hukum: Rekomendasi Kebi-jakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS,hal 15-35.

Sawit Watch. 2012. “Menerka Luasan KebunSawit Rakyat” http://sawitwatch.or.id/2012/07/menerka-luasan-kebun-sawit-rakyat/(Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012).

Saich, Anthony, David Dapice, Tarek Masoud,Dwight Perkins, Jonathan Pincus, JayRosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson,and Jeffrey Williams. 2010. IndonesiaMenentukan Nasib: dari Reformasi keTransformasi Kelembagaan. Jakarta: Pener-bit Buku Kompas.

Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukumterhadap Masyarakat Adat di Indonesia.Jakarta: UNDP.

Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citi-zenship: Markets, Statelessness and the Rightto Have Rights. Cambridge, CambridgeUniversity Press.

Page 14: RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG …

14 Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013

Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunityto Imperative: The History of the Market”.Monthly Review 46(3).

____. 1995, Democracy against Capitalism: Re-newing Historical Materialism, Cambridge:Cambridge University Press.

____. 1999a, “Horizontal Relations: A Note onBrenner’s Heresy”, Historical Materialism,4(1): 171–9.

____. 1999b, “The Politics of Capitalism”, MonthlyReview, 51(4): 12–26.

____. 2001. “Contradiction: Only in Capitalism?”,in The Socialist Register 2002, edited by LeoPanitch and Colin Leys, London: MerlinPress.

____. 2002a. The Origin of Capitalism. A LongerView. London, Verso.

____. 2002b, “The Question of Market Depen-dence”, Journal of Agrarian Change, 2: 50–87.

____. 2009, “Getting What’s Coming to Us: Capi-talism and Social Rights”, Against the Cur-rent, 140: 28–32.