refer at
DESCRIPTION
erupsi obatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Reasi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering di temukan
dokter dalam tatalaksana pasien sehari hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang
di jual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta obat topikaldapat pula menyebabkan reaksi
simpang ringan sehingga mengancam jiwa.
Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat dipredeksi karena
sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat di prediksi dan terjadi pada
populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas. Salah satu reaksi simpang
obat adalah erupsi obat alergik (EOA) dengan manifestasi klinis yang bervarias.
Dewasa ini, angka kejadaian erupsi obat alergik meningkat, disebabkan konsumsi obat
meningkat pada masyarakat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, praktik
polifarmasi, serta kondisi imunokompromais. Insiden EOA sekitar 6-10% dari keseluruhan
simpang obat yang di laporkan. BUKU UI
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Erupsi obat alergik (Cutaneus adverse drug eruptions, cutaneous drug hypersensitivity)
atau adverse cutaneus drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat
dengan manifestasi pada kulit yang dapat diseratai maupun tidak keterlibatan mukosa.
Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,
profilaksis, dan pengobatan. BUKU UI
B. IMUNOPATOGENESIS
Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human lymphocyte allele (HLA)
dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada kasus sindroma Steven-Johnson yang
disebabkan karbamasepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada
kasus sindrom ipersensitivas obt yang disebabkan oleh Abacavir.
Berdasarkan klasifiaasi Coombs dan Gel, patomekanisme yang mendasari EOA
dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. Tipe 1 dimediasi oleh imunohlobulin (ig) E yang dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis, urtika dan angiodema, timbul sangat cepat, terkadang
dapt urtika/angiodema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan. Tipe II
merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai oleh reaksi antigen, IgG dan
konplemen terhadap eritrosi, leukosit, trombosit, atau sel prekursor hematologik lain.
Obat yang dapat menyebabkan hipersensitifitas tipe ini antara lain golongan penisilin,
sfalosporin, analgesik, dan antipiretik. Sedangkan tipe III adalah reaksiimun kompleks
yang sering terjasdi akibat penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka
panjang, menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun
yang diinduksi oleh obat. Tipe terakhir dan yang paling sering mendasari insidens EOA
adalah tipe IV ( tipe lambat) yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis
erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan
hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T
terbagi atas 4 subklas, yaitu tipe Iva hingga Ivd.
Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu:
1. Konsep Hapten/Prohapten
Pada umumnya obat merupakan prohapten,, artinnya tidak bersifat reaktif bila tidak
berkaitan dengan protein. Sehingga obat dietabolisme terlebih dahulu untuk dapat
membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunologik sehingga mampu menstimulasi
respon imun. Contohnnya adalah obat golongan beta-laaktam, yaitu golongan penisilin
dan sefalosporin. Contoh lain adalah obat golongan sulfametoksasol yang
dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.
2. Konsep pharmalogical interaction (p-i concept)
Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept
(pharmacologikal interaction of drugs with immune reseptors), yaitu obat dapat
membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan berbagai macam
reseptor abtigen spesifik dan berinteraksi sehingga mampu menstimulasi respon imun.
Menurut konsep ini obat inert yang tidak mampu membentuk ikatan kovalen dengan
protein atau peptida, masih dapat merangsang sistem imun melalui ikatan langsung
dengan reseptor sel T.
Bukti klinis yang mendukung konsep p-i adalah
1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat singkat untuk
membangkitkan repspon imunspesifik, sehingga di duga respon imun yang terjadi
timbul melalui fase sensitisasi.
2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)
diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi bentuk rreaktif, misalnnya pada
media kontras. Konsep hapten juga tidak dapat menjelaskan mekanisme alergi pada
kontras.
3. Beberapa obat innert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten di kulit
ternyata menunjukkan hasil positif pada uji kulit dan ditemukan infiltrat limfosit T.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Urtikaria dan Angioedema
Urtikaria adalah reaksi vascular pada kulit, ditandai dengan adanya
edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,
berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan
(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat dan tertusuk.
Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi
pada lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan
pembengkakan jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema,
lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh
manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral, periorbital,
lidah, genitalia, dan ekstremitas.
Gambaran klinisnya berupa rasa gatal yang hebat hampir selalu
merupakan keluhan subyektif urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau
rasa tertusuk. Secara klinis terdapat lesi urtika (eritema dan edema setempat
yang berbatas tegas) dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang
bagian tengah lesi tampak lebih pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk
popular, patut dicurigai adanya gigitan serangga atau sinar ultraviolet
sebagai penyebab.
Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis
atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut
angioedema. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada angioedema, anamun
terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan
bibir. Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak
napas, suara serak dan rhinitis. Angioedema di saluran cerna bermanifestasi
sebagai rasa mual, muntah, kolikabdomen dan diare.
Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat
tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan
tekanan yang menjadi penyebab. Pada pasien yang seperti ini, uji
dermografisme menimbulkan lesi urtika yang linear pada kulit setelah
digores dengan benda tumpul.
Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika
dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikuler, dan dipicu oleh peningkatan suhu
tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi.
Urtika koninergik terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda. (UI)
2. Erupsi Makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis,
merupakan bentuk EOA paling sering di temukan, timbul dalam 2-3 minggu
stelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa di mulai dari batang tubuh
kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan generilisata, dan hampir
selalu di sertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara
deskuamasi , dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi
jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin, serta
karbamazepin.
3. Fixed Drug Eruption (FDE)
FDE adalah terjadinya pembengkakan merah kecoklatan pada bagian kulit
tertentu setiap kali mengkonsumsi obat tertentu. Mekanisme dari fenomena
dari FDE tidak jelas, erupsinya akan muncul 1 -2 minggu setelah paparan
pertama dari obat tersebut dan muncul dalam 24 jam.
Penyebab utamanya adalah obat laksatif (terutama phenolphthalein),
barbiturate, NSAID, sulfonamide, tetrasiklin, griseofulvin, penasetin,
contrasepsi oral, phenilbhutason, carbamazepine, phenitoin.
Gambaran histologi pada fase akut yaitu sama dengan gambaran
histologi pada eritema multiforme yaitu hilangnya garis sel dan nekrosis dari
epidermis bagian bawah. Pada lesi yang aktif epidermis relative normal,
tetapi di dermis terjadi udematous dan disitu terdapat infiltrate perivascular
limfositik. Setelah itu terjadi peningkatan melanin dalam epidermis dan
dalam malanopak pada dermis. Gambarannya sangat khas, pada reaksi
multiple bullosa lesinya menyerupai sebuah epidermal nekrolisis.
Gejalannya yaitu terjadi kekambuhan pada tempat yang sama. Morfologi
dari fixed drug erupsion single atau multiple, bulat atau oval, dapat terlihat
jelas, berwarna merah kecoklatan, hiperpigmentasi pada plak yang
edematouse. Hipermelanosis difus kadang terlihat pada pasien dengan kulit
yang gelap. Area yang paling sering terkena yaitu pada wajah, bibir, mulut,
punggung tangan, area genitalia, dan pada tungkai. (clinical dermatology)
Fixed drug eruption sering tidak dapat didiagnosis oleh sebagian besar
dokter karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Fixed drug eruption
dapat muncul dengan gejala yang ringan seperti lesi hiperpigmentosa yang
segera hilang jika obat penyebab dihentikan sampai gejala yang menyerupai
SSJ dan NET. Reaksi inflamasi pada kulit akibat FDE dapat berlangsung kronik
hingga beberapa tahun. Sebagian besar gejala klinis pada FDE bersifat ringan
tetapi dapat berlangsung dalam waktu lama. Gejala yang fatal dapat muncul
menyerupai SSJ dan NET. (GK FDE Jurnal)
4. Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan
erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang
diawai oleh demam, mual, dan malaise.
Kelainan kulit yang di temukan berupa pustul miler berjumlah banyak
diatas dasar eritematosa. Predileksi utama diwajah dan lipatan tubuh. PEGA
terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan dermatosis
pustulosis subkomeal (penyakit sneddon-wilkinson) sehingga
terkadangdibutuhkan pemeriksaan histopatologis. (UI)
Pustule dapat menghilang secara spontan dalam beberapa hari (4 – 10
hari)dan diikuti deskuamasi tepat pada post pustular. (AGEP)
5. Eritroderma
Eritroderma adalah sebuah kelainan kulit yang bersifat generalisata berupa
kemerahan pada kulit yang dalam. Melibatkan lebih dari 90% dari permukaan
tubuh dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.
(Fitzpatrick besar)
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema
difus disertai skuama le Gebih dari 90% area tubuh. Bukan merupakan suatu
diaknosis spesifik dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain selain
EOA, misalnya perluasan penyakit kulitt, penyakit sistemik termasuk
keganasan (penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaan
teliti dan penunjang untuk membantu menyingkirkkan kemmungkinan
penyebab lain. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit,
gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan
indikasi pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah
asetaminofen dan minosiklin. Buku ui
6. Sindrom Hipersensitivitas Obat
Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EOA tipe berat
yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan. Dahulu SHO
dikenal dengan drug rektion with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS). Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas dan
dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein barr virus, dan
cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam di atas 38C, lesi
pada kulit, limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi
ginjal,leukositosisdan eosinophilia. Lesi kulit biasannya timbul 3 minggu
setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular paling sering ditemukan.
Dapat juga ditemukan lesi pustular atau epidermolisis.wajah biasannya
mengalami edema dan distribusi lesi makulopapula tersebar simetris hampir
diseluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan dan kaki. Beberapa
gambaran unik pada SHO adalah awitan yang lambat,gambaran klinis yang
tetap timbul walaupun obat sudah ditentukan, serta reaksi silang dengan
strukturkimia obat yang berbeda yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan.
Bentuk EOA lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau
vaskulitis, eritema multiforma, sindroma multiforme, sindroma Steven-
Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. BUKU UI
Paling sering disebabkan oleh obat obatan antiepilepsi, dan sulfonamid,
jarang diakibatkan oleh allopurinol, gold salts, sorbonil, minocycline,
zalcitabine, calcium-channel blockers, ranitidine, talidomide, mexiletine.
Manifestasi klinisnnya yaitu onsetnnya 2-6 minggu setelah pemakaian
obat, dan tidak lama kemudian akan timbul reaksi serius pada kulit. Terdapat
gejala prodromal berupa demam dan ruam atau menimbulkan gejala
sistemik berupa demam dan malaise, terdapat lesi kulit, awal mulannya
terbentuk lesi berupa erupsi morbiliformis pada wajah, badan bagian atas,
ekstremitas atas tetapi tidak dapat dibedakan dari exanthematous drug
eruption. Dapat berkebang menjadi generalisata exfoliative
dermatitis/erythroderma, terutama jika obat tidak dihentikan. Erupsi akan
menjadi infiltrat dengan exematousfollicular.edema pada wajah (terutama
periorbital) merupakan kerakteristik dari sidroma hipersensitivitas obat.
Erupsi bisa menjaadi purpura pada kaki, jika terdapat deskuama merupakan
tanda terjadinnya penyembuhan. Distribusinnya simetris, hampir selalu di
badan dan ekstremita. Fitz kecil
7. Dermatitis medikamentosa
Dermatitis medikamentosa merupakan penyakit yang terjadi karena
penggunaan obat kulit dan selaput lendir. Gejalanya dapat timbul akut,
subakut atau kronik. Keluhan utama biasanya gatal, dan suhu badan
meninggi. Pemeriksaan klinis didapatkan makulo-papular (morbiliformis)
urtikaria, vesikobulosa dan purpura (polimorf) atau berupa eritema
multiforme. Lokalisasinya pada seluruh tubuh dan simetris. (saripati)
8. Purpura atau Vaskulitis
Vaskulitis disebut juga necrotizing angiitis adalah peradangan dan nekrosis
sebagian pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah disebabkan proses
immunologic dan atau inflamasi. Obat-obat yang dapat mencetuskan
terjadinya vaskulitis, misalnya: propiltiourasil, hidralazin, granulocyte-
macrophage colony stimulating factor, allopurinol, cephaclor, minosiklin,
fenitoin, isotretinoin, streptokinase, radiocontrast, agen biologik dan
metotreksat. Gambaran klinis berupa kelainan polimorf yang utama ialah
palpable purpura berbentuk papul purpura multiple, lesi juga dapat berupa
plak, urtika, angioedema, pustule, vesikel, bula, ulkus, nekrosis dan livido
retikularis. Bila mengenai pembuluh darah sedang dapat berupa nodus
eritematosa. Kadang terdapat edema subkutandi bawah lesi dermal. Tempat
predileksinya di ekstremitas bawah, punggung dan bokong.
Lama lesi bertahan antara 1-4 minggu namundapat berulang secara
episodikberminggu-minggu atau tahunan. Keluhannya dapat gatal atau rasa
terbakar, kadang nyeri. Pada waktu timbul dapat disertai demam, malese,
arthralgia dan myalgia. Keterlibatan pembuluh darah kecil lain dapat
ditemukan pada sinovia, saluran cerna, otot lurik, saraf tepi dan ginjal. (UI)
9. Eritema multiforme
Eritema multiforme adalah reaksi mendadak di kulit dan selaput lendir
dengan efloresensi yang khas berupa gambaran iris. Gejalanya muncul tanpa
sebab yang jelas, mendadak demam, malaise, dan kesadaran menurun. Pada
kulit timbul macula, eritema berbatas tegas, disusul lepuh-lepuh. Kelainan ini
dapat melibatkan selaput lendir. Penderita mengeluh nyeri dan gatal.
(saripati)
10. Sindrom Stevens-Johnson
Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara
lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,
Analgesik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat ,Pirazolon, Metamizol, Metampiron
dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital), Kinin
Antipirin ,Chlorpromazin ,Karbamazepin dan jamu-jamuan. (sindroma stevens
johnson)
Gejalanya didahului panas tinggi dan nyeri kontinu. Erupsi timbul
mendadak. Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bullosa atau erosi,
eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias: stomatitis,
konjungtivitis dan urethritis. Gejala prodromal tak spesifik, dapat
berlangsung sehingga 2 minggu. Keadan ini dapat menyembuh 3-4 minggu
tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen.
Kelainan di sekitar lubang badan (mulut, alat genital, usus) berupa erosi,
ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pda selaput lender, mulut dan bibir
selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat
pendrita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta
hemoragik. (saripati)
11. Nekrolisis epidermal toksik (NET)
Nekrolisis epidermal toksik adalah suatu penyakit kulit akut yang ditandai
dengan epidermolisis menyeluruh. Gejala perjalanan penyakit di mana
penderita tampak sakit berat disertai demam tinggi dengan kesaran
menurun. Lesi kulit berupa eritema menyeluruh yang diikuti vesikel dan bula
dalam jumlah banyak. Pada wajah timbul erosi dan ekskoriasi. Lokasi lesi
dapat terjadi pada seluruh tubuh (generalisata) dan efloresensi berupa
eritema, vesikel dan bula generalisata. Erosi dan akskoriasi mukosa.
Epidermolisis nummular sampai plakat, dan purpura yang tersebar di seluruh
tubuh. (saripati)
D. PENDEKATAN DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencrugai terjadi reaksi
hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut
didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis
dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi
tantangan adalah bila pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu
jenis. Langkah yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:
a. Riwayat alergi obat sebelumnya.
b. Riwayat atopi pada pasien dan keluarga.
c. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topical.
Jangan abaikan penggunaan obat herbal dan suplemen. Buatlah peta
kronologis sejak obat dimulai dan dihentikan, serta peningkatan
dosis.
d. Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat bereaksi
silang.
e. Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan hasil
laboratorium.
2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan focus terhadap:
a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan
onset timbulnya erupsi pada kulit.
b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivitas.
3. Pertimbangkan farmaepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan
berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan
data publikasi.
4. Hentikan dan/atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal
yang kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.
5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah
memenuhi syarat-syarat uji.
6. Jika uji negative, lakukan provokasi oral dengan dosis yang dinaikkan
perlahan (bila tidak ada kontraindikasi).
Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemungkinan lain
dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis EOA.
(UI)
E. TATALAKSANA
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan obat penyebab
dan bereaksi silang. Tetapi suportif yang diberikan adalah:
1. Terapi sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi untuk kasus
EOA berat memberikan respons sangat baik dan angka mortalitis menurun.
Pada EOA ringan kortikosterod diberikan 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada
EOA berat 1-4 mg/kg/BB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai
efek samping yang terjadi misalnnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan
peningkatan gula darah.
b. Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan angiodema.
Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain yang disertai
rasa gatal yang berat, misalnnya eritroderma atau eksantematosa
2. Topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kodisi dan luas lesi kult
sesuai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat epidermolisis
pada SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam salisilat 1-2%.
Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan
siklosporin, plasmaferesis, dan imunoglobulin intravena (IVIg). (fkUI)
F. PROGNOSIS
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan
segera dihentika. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis
epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi
misalnya sepsis. (UI dan 03mb3)
sindroma stevens-johnson dan necrolysis epidermal toksik merupakan bentuk
drug eruption yang berat dan dapat mengancam jiwa. Rata – rata mortality rate
yang dilaporkan dari SJS sebanyak 1 – 5 %, dan NET berjumalah 25 - 35 %, bahkan
angka mortality dapat lebih tinggi pada pasien yang lebih tua dan pada mereka yang
mengalami pelepasan epidermal pada area tubuh yang lebih luas. (1750)