refer at

20
BAB I PENDAHULUAN Reasi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering di temukan dokter dalam tatalaksana pasien sehari hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang di jual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta obat topikaldapat pula menyebabkan reaksi simpang ringan sehingga mengancam jiwa. Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat dipredeksi karena sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat di prediksi dan terjadi pada populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas. Salah satu reaksi simpang obat adalah erupsi obat alergik (EOA) dengan manifestasi klinis yang bervarias. Dewasa ini, angka kejadaian erupsi obat alergik meningkat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, praktik polifarmasi, serta kondisi imunokompromais. Insiden EOA sekitar 6-10% dari keseluruhan simpang obat yang di laporkan. BUKU UI

Upload: moehfariz

Post on 10-Feb-2016

220 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

erupsi obat

TRANSCRIPT

Page 1: Refer At

BAB I

PENDAHULUAN

Reasi simpang terhadap obat atau produk diagnostik merupakan kasus yang sering di temukan

dokter dalam tatalaksana pasien sehari hari. Selain obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang

di jual bebas, termasuk herbal dan suplemen serta obat topikaldapat pula menyebabkan reaksi

simpang ringan sehingga mengancam jiwa.

Terdapat dua jenis reaksi simpang obat, yaitu reaksi tipe A yang dapat dipredeksi karena

sifat farmakologik obatnya, dan tipe B yaitu reaksi yang tidak dapat di prediksi dan terjadi pada

populasi tertentu, misalnya idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas. Salah satu reaksi simpang

obat adalah erupsi obat alergik (EOA) dengan manifestasi klinis yang bervarias.

Dewasa ini, angka kejadaian erupsi obat alergik meningkat, disebabkan konsumsi obat

meningkat pada masyarakat, disebabkan konsumsi obat meningkat pada masyarakat, praktik

polifarmasi, serta kondisi imunokompromais. Insiden EOA sekitar 6-10% dari keseluruhan

simpang obat yang di laporkan. BUKU UI

Page 2: Refer At

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Erupsi obat alergik (Cutaneus adverse drug eruptions, cutaneous drug hypersensitivity)

atau adverse cutaneus drug eruption adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat

dengan manifestasi pada kulit yang dapat diseratai maupun tidak keterlibatan mukosa.

Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis,

profilaksis, dan pengobatan. BUKU UI

B. IMUNOPATOGENESIS

Beberapa studi menunjukkan hubungan kuat antara human lymphocyte allele (HLA)

dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada kasus sindroma Steven-Johnson yang

disebabkan karbamasepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA B*5701 pada

kasus sindrom ipersensitivas obt yang disebabkan oleh Abacavir.

Berdasarkan klasifiaasi Coombs dan Gel, patomekanisme yang mendasari EOA

dibagi menjadi 4 tipe mekanisme. Tipe 1 dimediasi oleh imunohlobulin (ig) E yang dapat

menyebabkan reaksi anafilaksis, urtika dan angiodema, timbul sangat cepat, terkadang

dapt urtika/angiodema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan. Tipe II

merupakan mekanisme sitotoksik yang diperantarai oleh reaksi antigen, IgG dan

konplemen terhadap eritrosi, leukosit, trombosit, atau sel prekursor hematologik lain.

Obat yang dapat menyebabkan hipersensitifitas tipe ini antara lain golongan penisilin,

sfalosporin, analgesik, dan antipiretik. Sedangkan tipe III adalah reaksiimun kompleks

yang sering terjasdi akibat penggunaan obat sistemik dosis tinggi dan terapi jangka

panjang, menunjukkan manifestasi berupa vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun

yang diinduksi oleh obat. Tipe terakhir dan yang paling sering mendasari insidens EOA

adalah tipe IV ( tipe lambat) yang diperantarai oleh limfosit T dengan manifestasi klinis

erupsi ringan hingga berat. Selain pada kulit, reaksi hipersensitivitas dapat melibatkan

Page 3: Refer At

hati, ginjal, dan organ tubuh lain. Reaksi hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel T

terbagi atas 4 subklas, yaitu tipe Iva hingga Ivd.

Terdapat dua konsep patomekanisme pengenalan obat oleh sel T, yaitu:

1. Konsep Hapten/Prohapten

Pada umumnya obat merupakan prohapten,, artinnya tidak bersifat reaktif bila tidak

berkaitan dengan protein. Sehingga obat dietabolisme terlebih dahulu untuk dapat

membentuk ikatan kovalen dan menjadi imunologik sehingga mampu menstimulasi

respon imun. Contohnnya adalah obat golongan beta-laaktam, yaitu golongan penisilin

dan sefalosporin. Contoh lain adalah obat golongan sulfametoksasol yang

dimetabolisme oleh sitokrom P450 di hati menjadi bentuk reaktif.

2. Konsep pharmalogical interaction (p-i concept)

Pichler et.al. mengemukakan konsep baru yang dikenal dengan p-i concept

(pharmacologikal interaction of drugs with immune reseptors), yaitu obat dapat

membentuk ikatan spesifik secara langsung dan reversibel dengan berbagai macam

reseptor abtigen spesifik dan berinteraksi sehingga mampu menstimulasi respon imun.

Menurut konsep ini obat inert yang tidak mampu membentuk ikatan kovalen dengan

protein atau peptida, masih dapat merangsang sistem imun melalui ikatan langsung

dengan reseptor sel T.

Bukti klinis yang mendukung konsep p-i adalah

1. Interval waktu antara pajanan obat dan timbul gejala klinis sangat singkat untuk

membangkitkan repspon imunspesifik, sehingga di duga respon imun yang terjadi

timbul melalui fase sensitisasi.

2. Beberapa obat yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV)

diketahui tidak mengalami metabolisme menjadi bentuk rreaktif, misalnnya pada

media kontras. Konsep hapten juga tidak dapat menjelaskan mekanisme alergi pada

kontras.

3. Beberapa obat innert yang tidak mampu membentuk kompleks hapten di kulit

ternyata menunjukkan hasil positif pada uji kulit dan ditemukan infiltrat limfosit T.

Page 4: Refer At

C. MANIFESTASI KLINIS

1. Urtikaria dan Angioedema

Urtikaria adalah reaksi vascular pada kulit, ditandai dengan adanya

edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,

berwarna pucat atau kemerahan, umumnya dikelilingi oleh halo kemerahan

(flare) dan disertai rasa gatal yang berat, rasa tersengat dan tertusuk.

Angioedema adalah reaksi yang menyerupai urtikaria, namun terjadi

pada lapisan kulit yang lebih dalam, dan secara klinis ditandai dengan

pembengkakan jaringan. Rasa gatal tidak lazim terdapat pada angioedema,

lebih sering disertai rasa terbakar. Angioedema dapat terjadi di bagian tubuh

manapun, namun lebih sering ditemukan di daerah perioral, periorbital,

lidah, genitalia, dan ekstremitas.

Gambaran klinisnya berupa rasa gatal yang hebat hampir selalu

merupakan keluhan subyektif urtikaria, dapat juga timbul rasa terbakar atau

rasa tertusuk. Secara klinis terdapat lesi urtika (eritema dan edema setempat

yang berbatas tegas) dengan berbagai bentuk dan ukuran. Kadang-kadang

bagian tengah lesi tampak lebih pucat. Bila terlihat urtika dengan bentuk

popular, patut dicurigai adanya gigitan serangga atau sinar ultraviolet

sebagai penyebab.

Bila lesi melibatkan jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan subkutis

atau submukosa, akan terlihat edema dengan batas difus dan disebut

angioedema. Rasa gatal umumnya tidak dijumpai pada angioedema, anamun

terdapat rasa terbakar. Angioedema sering dijumpai di kelopak mata dan

bibir. Bila angioedema terjadi di mukosa saluran napas dapat terjadi sesak

napas, suara serak dan rhinitis. Angioedema di saluran cerna bermanifestasi

sebagai rasa mual, muntah, kolikabdomen dan diare.

Urtikaria akibat tekanan mekanis dapat dijumpai pada tempat-tempat

tertekan pakaian misalnya di sekitar pinggang, bentuknya sesuai dengan

Page 5: Refer At

tekanan yang menjadi penyebab. Pada pasien yang seperti ini, uji

dermografisme menimbulkan lesi urtika yang linear pada kulit setelah

digores dengan benda tumpul.

Urtikaria kolinergik memberikan gambaran klinis yang khas, yaitu urtika

dengan ukuran kecil 2-3 mm, folikuler, dan dipicu oleh peningkatan suhu

tubuh akibat latihan fisik, suhu lingkungan yang sangat panas dan emosi.

Urtika koninergik terutama dialami oleh remaja dan dewasa muda. (UI)

2. Erupsi Makulopapular

Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis,

merupakan bentuk EOA paling sering di temukan, timbul dalam 2-3 minggu

stelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa di mulai dari batang tubuh

kemudian menyebar ke perifer secara simetris dan generilisata, dan hampir

selalu di sertai pruritus. Erupsi makulopapular akan hilang dengan cara

deskuamasi , dan terkadang meninggalkan bekas hiperpigmentasi. Erupsi

jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid, fenitoin, serta

karbamazepin.

3. Fixed Drug Eruption (FDE)

FDE adalah terjadinya pembengkakan merah kecoklatan pada bagian kulit

tertentu setiap kali mengkonsumsi obat tertentu. Mekanisme dari fenomena

dari FDE tidak jelas, erupsinya akan muncul 1 -2 minggu setelah paparan

pertama dari obat tersebut dan muncul dalam 24 jam.

Penyebab utamanya adalah obat laksatif (terutama phenolphthalein),

barbiturate, NSAID, sulfonamide, tetrasiklin, griseofulvin, penasetin,

contrasepsi oral, phenilbhutason, carbamazepine, phenitoin.

Gambaran histologi pada fase akut yaitu sama dengan gambaran

histologi pada eritema multiforme yaitu hilangnya garis sel dan nekrosis dari

epidermis bagian bawah. Pada lesi yang aktif epidermis relative normal,

tetapi di dermis terjadi udematous dan disitu terdapat infiltrate perivascular

Page 6: Refer At

limfositik. Setelah itu terjadi peningkatan melanin dalam epidermis dan

dalam malanopak pada dermis. Gambarannya sangat khas, pada reaksi

multiple bullosa lesinya menyerupai sebuah epidermal nekrolisis.

Gejalannya yaitu terjadi kekambuhan pada tempat yang sama. Morfologi

dari fixed drug erupsion single atau multiple, bulat atau oval, dapat terlihat

jelas, berwarna merah kecoklatan, hiperpigmentasi pada plak yang

edematouse. Hipermelanosis difus kadang terlihat pada pasien dengan kulit

yang gelap. Area yang paling sering terkena yaitu pada wajah, bibir, mulut,

punggung tangan, area genitalia, dan pada tungkai. (clinical dermatology)

Fixed drug eruption sering tidak dapat didiagnosis oleh sebagian besar

dokter karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Fixed drug eruption

dapat muncul dengan gejala yang ringan seperti lesi hiperpigmentosa yang

segera hilang jika obat penyebab dihentikan sampai gejala yang menyerupai

SSJ dan NET. Reaksi inflamasi pada kulit akibat FDE dapat berlangsung kronik

hingga beberapa tahun. Sebagian besar gejala klinis pada FDE bersifat ringan

tetapi dapat berlangsung dalam waktu lama. Gejala yang fatal dapat muncul

menyerupai SSJ dan NET. (GK FDE Jurnal)

4. Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan

erupsi pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang

diawai oleh demam, mual, dan malaise.

Kelainan kulit yang di temukan berupa pustul miler berjumlah banyak

diatas dasar eritematosa. Predileksi utama diwajah dan lipatan tubuh. PEGA

terkadang sulit dibedakan dengan psoriasis pustulosis dan dermatosis

pustulosis subkomeal (penyakit sneddon-wilkinson) sehingga

terkadangdibutuhkan pemeriksaan histopatologis. (UI)

Pustule dapat menghilang secara spontan dalam beberapa hari (4 – 10

hari)dan diikuti deskuamasi tepat pada post pustular. (AGEP)

Page 7: Refer At

5. Eritroderma

Eritroderma adalah sebuah kelainan kulit yang bersifat generalisata berupa

kemerahan pada kulit yang dalam. Melibatkan lebih dari 90% dari permukaan

tubuh dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.

(Fitzpatrick besar)

Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema

difus disertai skuama le Gebih dari 90% area tubuh. Bukan merupakan suatu

diaknosis spesifik dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakit lain selain

EOA, misalnya perluasan penyakit kulitt, penyakit sistemik termasuk

keganasan (penyakit Hodgkin) atau idiopatik. Perlu dilakukan pemeriksaan

teliti dan penunjang untuk membantu menyingkirkkan kemmungkinan

penyebab lain. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan elektrolit,

gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan

indikasi pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah

asetaminofen dan minosiklin. Buku ui

6. Sindrom Hipersensitivitas Obat

Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupakan bentuk EOA tipe berat

yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan. Dahulu SHO

dikenal dengan drug rektion with eosinophilia and systemic symptoms

(DRESS). Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas dan

dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein barr virus, dan

Page 8: Refer At

cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam di atas 38C, lesi

pada kulit, limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi

ginjal,leukositosisdan eosinophilia. Lesi kulit biasannya timbul 3 minggu

setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular paling sering ditemukan.

Dapat juga ditemukan lesi pustular atau epidermolisis.wajah biasannya

mengalami edema dan distribusi lesi makulopapula tersebar simetris hampir

diseluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan dan kaki. Beberapa

gambaran unik pada SHO adalah awitan yang lambat,gambaran klinis yang

tetap timbul walaupun obat sudah ditentukan, serta reaksi silang dengan

strukturkimia obat yang berbeda yang hingga saat ini belum bisa dijelaskan.

Bentuk EOA lain adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau

vaskulitis, eritema multiforma, sindroma multiforme, sindroma Steven-

Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik. BUKU UI

Paling sering disebabkan oleh obat obatan antiepilepsi, dan sulfonamid,

jarang diakibatkan oleh allopurinol, gold salts, sorbonil, minocycline,

zalcitabine, calcium-channel blockers, ranitidine, talidomide, mexiletine.

Manifestasi klinisnnya yaitu onsetnnya 2-6 minggu setelah pemakaian

obat, dan tidak lama kemudian akan timbul reaksi serius pada kulit. Terdapat

gejala prodromal berupa demam dan ruam atau menimbulkan gejala

sistemik berupa demam dan malaise, terdapat lesi kulit, awal mulannya

terbentuk lesi berupa erupsi morbiliformis pada wajah, badan bagian atas,

ekstremitas atas tetapi tidak dapat dibedakan dari exanthematous drug

eruption. Dapat berkebang menjadi generalisata exfoliative

dermatitis/erythroderma, terutama jika obat tidak dihentikan. Erupsi akan

menjadi infiltrat dengan exematousfollicular.edema pada wajah (terutama

periorbital) merupakan kerakteristik dari sidroma hipersensitivitas obat.

Erupsi bisa menjaadi purpura pada kaki, jika terdapat deskuama merupakan

tanda terjadinnya penyembuhan. Distribusinnya simetris, hampir selalu di

badan dan ekstremita. Fitz kecil

Page 9: Refer At

7. Dermatitis medikamentosa

Dermatitis medikamentosa merupakan penyakit yang terjadi karena

penggunaan obat kulit dan selaput lendir. Gejalanya dapat timbul akut,

subakut atau kronik. Keluhan utama biasanya gatal, dan suhu badan

meninggi. Pemeriksaan klinis didapatkan makulo-papular (morbiliformis)

urtikaria, vesikobulosa dan purpura (polimorf) atau berupa eritema

multiforme. Lokalisasinya pada seluruh tubuh dan simetris. (saripati)

8. Purpura atau Vaskulitis

Vaskulitis disebut juga necrotizing angiitis adalah peradangan dan nekrosis

sebagian pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah disebabkan proses

immunologic dan atau inflamasi. Obat-obat yang dapat mencetuskan

terjadinya vaskulitis, misalnya: propiltiourasil, hidralazin, granulocyte-

macrophage colony stimulating factor, allopurinol, cephaclor, minosiklin,

fenitoin, isotretinoin, streptokinase, radiocontrast, agen biologik dan

metotreksat. Gambaran klinis berupa kelainan polimorf yang utama ialah

palpable purpura berbentuk papul purpura multiple, lesi juga dapat berupa

plak, urtika, angioedema, pustule, vesikel, bula, ulkus, nekrosis dan livido

retikularis. Bila mengenai pembuluh darah sedang dapat berupa nodus

eritematosa. Kadang terdapat edema subkutandi bawah lesi dermal. Tempat

predileksinya di ekstremitas bawah, punggung dan bokong.

Lama lesi bertahan antara 1-4 minggu namundapat berulang secara

episodikberminggu-minggu atau tahunan. Keluhannya dapat gatal atau rasa

terbakar, kadang nyeri. Pada waktu timbul dapat disertai demam, malese,

arthralgia dan myalgia. Keterlibatan pembuluh darah kecil lain dapat

ditemukan pada sinovia, saluran cerna, otot lurik, saraf tepi dan ginjal. (UI)

9. Eritema multiforme

Eritema multiforme adalah reaksi mendadak di kulit dan selaput lendir

dengan efloresensi yang khas berupa gambaran iris. Gejalanya muncul tanpa

Page 10: Refer At

sebab yang jelas, mendadak demam, malaise, dan kesadaran menurun. Pada

kulit timbul macula, eritema berbatas tegas, disusul lepuh-lepuh. Kelainan ini

dapat melibatkan selaput lendir. Penderita mengeluh nyeri dan gatal.

(saripati)

10. Sindrom Stevens-Johnson

Berbagai obat yang diduga dapat menyebabkan Sindrom Stevens-Johnson antara

lain: Penisilin dan derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide, Tetrasiklin,

Analgesik/antipiretik (misalnya Derivat Salisilat ,Pirazolon, Metamizol, Metampiron

dan Paracetamol), Digitalis, Hidralazin, Barbiturat(Fenobarbital), Kinin

Antipirin ,Chlorpromazin ,Karbamazepin dan jamu-jamuan. (sindroma stevens

johnson)

Gejalanya didahului panas tinggi dan nyeri kontinu. Erupsi timbul

mendadak. Gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bullosa atau erosi,

eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias: stomatitis,

konjungtivitis dan urethritis. Gejala prodromal tak spesifik, dapat

berlangsung sehingga 2 minggu. Keadan ini dapat menyembuh 3-4 minggu

tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen.

Kelainan di sekitar lubang badan (mulut, alat genital, usus) berupa erosi,

ekskoriasi, dan perdarahan. Kelainan pda selaput lender, mulut dan bibir

selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat

pendrita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta

hemoragik. (saripati)

11. Nekrolisis epidermal toksik (NET)

Nekrolisis epidermal toksik adalah suatu penyakit kulit akut yang ditandai

dengan epidermolisis menyeluruh. Gejala perjalanan penyakit di mana

penderita tampak sakit berat disertai demam tinggi dengan kesaran

menurun. Lesi kulit berupa eritema menyeluruh yang diikuti vesikel dan bula

dalam jumlah banyak. Pada wajah timbul erosi dan ekskoriasi. Lokasi lesi

dapat terjadi pada seluruh tubuh (generalisata) dan efloresensi berupa

Page 11: Refer At

eritema, vesikel dan bula generalisata. Erosi dan akskoriasi mukosa.

Epidermolisis nummular sampai plakat, dan purpura yang tersebar di seluruh

tubuh. (saripati)

D. PENDEKATAN DIAGNOSIS

Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencrugai terjadi reaksi

hipersensitivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut

didukung oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis

dan morfologi lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi

tantangan adalah bila pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebih dari satu

jenis. Langkah yang penting diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:

a. Riwayat alergi obat sebelumnya.

b. Riwayat atopi pada pasien dan keluarga.

c. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topical.

Jangan abaikan penggunaan obat herbal dan suplemen. Buatlah peta

kronologis sejak obat dimulai dan dihentikan, serta peningkatan

dosis.

d. Riwayat pajanan obat yang dicurigai atau obat yang dapat bereaksi

silang.

e. Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan hasil

laboratorium.

2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan focus terhadap:

a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan

onset timbulnya erupsi pada kulit.

b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensitivitas.

3. Pertimbangkan farmaepidemiologik obat yang digunakan. Urutkan

berdasarkan obat yang paling berpotensi menyebabkan alergi berdasarkan

data publikasi.

Page 12: Refer At

4. Hentikan dan/atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal

yang kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.

5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah

memenuhi syarat-syarat uji.

6. Jika uji negative, lakukan provokasi oral dengan dosis yang dinaikkan

perlahan (bila tidak ada kontraindikasi).

Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemungkinan lain

dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis EOA.

(UI)

E. TATALAKSANA

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan obat penyebab

dan bereaksi silang. Tetapi suportif yang diberikan adalah:

1. Terapi sistemik

a. Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi untuk kasus

EOA berat memberikan respons sangat baik dan angka mortalitis menurun.

Pada EOA ringan kortikosterod diberikan 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada

EOA berat 1-4 mg/kg/BB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai

efek samping yang terjadi misalnnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan

peningkatan gula darah.

b. Antihistamin

Antihistamin terutama diberikan EOA tipe urtikaria dan angiodema.

Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain yang disertai

rasa gatal yang berat, misalnnya eritroderma atau eksantematosa

2. Topikal

Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kodisi dan luas lesi kult

sesuai dengan prinsip dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat epidermolisis

pada SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam salisilat 1-2%.

Page 13: Refer At

Terapi sistemik lain yang pernah dilaporkan adalah penggunaan

siklosporin, plasmaferesis, dan imunoglobulin intravena (IVIg). (fkUI)

F. PROGNOSIS

Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi dan

segera dihentika. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis

epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi

misalnya sepsis. (UI dan 03mb3)

sindroma stevens-johnson dan necrolysis epidermal toksik merupakan bentuk

drug eruption yang berat dan dapat mengancam jiwa. Rata – rata mortality rate

yang dilaporkan dari SJS sebanyak 1 – 5 %, dan NET berjumalah 25 - 35 %, bahkan

angka mortality dapat lebih tinggi pada pasien yang lebih tua dan pada mereka yang

mengalami pelepasan epidermal pada area tubuh yang lebih luas. (1750)