referar etwien tht-kl
DESCRIPTION
etwien reskinta p, S.kedTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rinosinusitis kronis masih merupakan penyakit yang sering ditemukan dan
penyebab utama morbiditas pada sebagian besar penderitanya. Banyak faktor yang
berperan dalam patogenesisnya, yaitu faktor lokal (variasi anatomi), faktor individu
dan faktor non individu. Prevalensi rinosinusitis mencapai 14 % dari populasi secara
global. Variasi anatomi dan proses patologi dalam hidung dan sinus paranasal telah
banyak diteliti oleh para ahli. Banyak variasi anatomi meyebabkan penyakit sinus
kronis dengan menimbulkan obstruksi pada kompleks osteomeatal (KOM) dan
mempengaruhi pola transport mukosilier.(1,9)
Rinosinusitis kronis merupakan salah satu dari penyakit otorinolaringologik,
dengan demikian penyakit ini adalah kondisi medis yang cukup umum, tetapi
merupakan salah satu penyakit dimana diagnosis dan prognosisnya tergantung pada
gejala, tanda-tanda, penilaian klinis dan evaluasi radiologis. Hal ini sering tidak
sangat mudah; banyak peneliti telah berusaha untuk mengkarakterisasi kondisi ini
berdasarkan pada berbagai faktor. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Skor
gejala, skor Computed Tomography, temuan endoskopi, temuan bedah, hasil kultur
dan hasil Histopatologi.(8)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Sinus
Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
didekripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada 4 pasang
sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu, sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid , dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga didalam tulang. Semua
sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung. Secara embriologik,
sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannnya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan
sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada sejak bayi lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada ank yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sphenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal
dari bagian posterior superior rongga hidung. Sinus- sinus ini umumnya mencapai
besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun.(1)
Gambar 1.Proyeksi Sinus Paranasales
2
Gambar 2. Rongga Hidung, Cavitas Nasi, dan Lubang-lubang muara sinus paranasales
2.1.1 Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
berbentuk pyramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila
yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal
maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga dan dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi
klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1). Dasar sinus
maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1,P2,M1,M2 dan
M3. 2). Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. 3). Ostium
maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung
3
dari gerak silia, sementara itu drainase juga harus melalui infundibulum yang
sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan
akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus
maksila dan selanjtunya menyebabkan sinusitis.(9)
2.1.2 Sinus Frontalis
Sinus frontalis terletak yang terletak di Os frontal mulai terbentuk sejak
bulan ke 4 fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia
8-10 tahun dana akan mencapai ukuran maksima sebelum usia 20 tahun.
Ukuran sinus frontal adal 2,8 cm tingginya, lebar 2,4 cm dan dalamnya 2 cm.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang tipis dari orbita dan fosa serebri anterior,
sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal
berdrenase melalui ostium yang terletak di resesu frontal, yang berhubungan
dengan infundibulum etmoid.(1,9)
2.1.3 Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid
dengan dasarnya dibagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5
cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm dibagian anterior dan 1,5 cm dibagian
posterior. (1,9)
2.1.3 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sphenoid dibelakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
4
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1, 7 cm.
Volumenya bervariasi dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus ini berkembang,
pembuluh darah dan nervus dibagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat
berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding
sinus sphenoid. (1,9)
2.2 Komplek Osteo-Meatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-
muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini
rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteo-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, resesus frontalis,
bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.(1,9)
Gambar 3. kompleks osteo-meatal
2.3 Sistem Mukosiliar
Seperti pada mukosa hidung, didalam sinus juga terdapat mukosa bersilia.
Didalam sinus, silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium,
5
normalnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral
hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari
kelompok sinus anterior yang bergabung diinfundibulum etmoid dialirkan ke
nasofaring didepan muara tuba Eustacius, lendir yang berasal dari kelompok sinu
posterior bergabung diresesus sfenoetmoidalis dialairkan ke nasofaring dipostero-
superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca-natal (post
nasal drip), tetapi belum tentu ada secret dirongga hidung.(1,4)
2.4 Fungsi Sinus Paranasal
Sampai saat ini belum ada kesesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Beberapa pendapat mengenai fungsi sinus paranasal antara lain (4,9) :
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning), Sinus berfungsi sebagai
ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara
inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati
pertukaran udara yang definitive antara sinus dan rongga hidung. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang sebanyak
mukosa hidung.
b. Sebagai penahan suhu (termal insulators), Sinus paranasal berfungsi sebagai
penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga
hidung yang berubah-ubah.
c. Membantu keseimbangan kepala, Sinus membantu keseimbangan kepala
karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus
diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1%
dari berat kepala, sehingga teori dianggap tidak bermakna.
d. Membantu resonansi suara, Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk
resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang
berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi
6
sebagai resonator yang efektif. Lagipula tidak ada korelasi antara resonansi
suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara, Fungsi ini berjalan bila ada
perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin
atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus, Jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus
dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut
masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.
2.5 Rinosinusitis Kronis
2.5.1 Defenisi
Rinosinusitis Kronis adalah sekelompok gangguan yang ditandai dengan
peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal dengan durasi minimal 12
minggu berturut-turut. Selain itu, osteitis pada tulang didasarnya dapat pula
terjadi. Beberapa faktor, baik intrinsik dan ekstrinsik berkontribusi pada
perkembangan Rinosinusitis kronis. .(7,8)
2.5.2 Epidemiologi
Rinosinusitis merupakan penyakit yang umum dijumpai dalam praktek sehari-
hari. rinosinusitis tersebar luas dan diperkirakan mengenai 10 % hingga 30 %
individu di Eropa. Di Amerika Serikat hampir 15 % penduduk pernah menderita
paling sedikit sekali episode rinosinusitis dalam hidupnya.(12)
Insiden dan prevalensi rinosinusitis sebenarnya tidak diketahui secara pasti
pada beberapa kasus. Perkiraan prevalensi rhinosinusitis didasarkan pada hasil Ct
scan yang menunjukkan bahwa 90% terjadi pada pasien yang pilek karena virus
dan bakteri bersamaan. Setiap tahun, anak-anak dan orang deawasa rata-ratan
7
antara 6 dan 8 atau 2 sampai 3 mengalami infeksi saluran peranfasan atas. Oleh
karena itu , lebih dari 1 milliar kasus rinosinusitis terjadi setiap tahun. (5)
Bila suatu rinosinusitis merupakan peradangan dari lapisan mukosa hidung
dan sinus paranasalis, maka dapatlah dikatakan bahwa rinosinusitis dapat terjadi
pada setiap infeksi saluran nafas atas .Tetapi pada anak-anak dimana rongga sinus
paranasalis relatif kecil dengan ukuran ostium sinus paranasalis yang relatif
besar, maka tidak terdapat retensi sekret, sehingga meskipun terjadi rinitis karena
virus yang dapat meluas ke lapisan mukosa sinus paranasalis, mukus yang
terdapat dalam rongga sinus akan dengan cepat dikeluarkan oleh gerakan silia.
Oleh karena itu pada anak-anak usia 2 – 3 tahun jarang timbul masalah klinis.
Infeksi dari sinus paranasalis lebih mungkin terjadi pada anak yang lebih besar,
namun demikian ini tidak berarti bahwa insiden infeksi sinus paranasalis pada
anak-anak lebih jarang daripada orang dewasa karena anak-anak lebih sering
terkena infeksi saluran nafas atas daripada orang dewasa.(10)
2.5.3 Etiologi
Faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya rinosinusitis kronis adalah :
Udema mukosa hidung : infeksi saluran nafas atas rinitis alergi, rinitis non alergi,
merokok, berenang. Obstruksi mekanik : hipertofi adenoid, deviasi septum nasi,
konka bulosa, polip nasi, trauma, benda asing, neoplasma. Faktor tersering adalah
infeksi saluran nafas atas oleh virus rinitis alergi. Udem mukosa hidung merupakan
karakteristik infeksi akut atau rinitis alergi yang mengakibatkan obstruksi ostium,
penurunan kerja silia dalam sinus paranasalis dan meningkatnya produksi mukus
serta kekentalannya. Rinitis non alergi dapat mengalami efek yang serupa dengan
rinitis alergi. Faktor fisiologis dapat menjadi faktor predisposisi terkena rinosinusitis.
Misalnya, rokok yang memiliki efek yang sangat besar karena dapat meningkatkan
produksi mukus dan memperlambat gerak silia.
8
Hal ini berdasarkan fakta yang menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di
alam rumah dimana salah satu atau kedua orang tuanya merokok, mengalami
peningkatan insiden kelainan pernafasan dan rinosinusitis. Obstruksi mekanis juga
dapat menjadi predisposisi bagi individu untuk terkena rinosinusitis. Beberapa
keadaan seperti hipertrofi adenoid, deviasi septum nasi, konka bulosa, polip nasi,
trauma, benda asing dan neoplasma harus dikesampingkan dengan pemeriksaan
endoskopi pada pasien rinosinusitis berulang. Pada anak, hipertrofi adenoid
merupakan faktor terpenting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoktomi
untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi
adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. (1,5,6,8)
Tabel 1
Faktor Penyebab Rinosinusitis.9,10
Faktor Lingkungan Infeksi Microbial pathogen
Alergi/atopi/asma
Polusi udara
Faktor Anatomi Konka bullosa
Deviasi septum
Gangguan Mukosiliar
Penyakit Sistemik Ganngguan genetic
Immunodefisiensi
Gangguan metabolic
Refluks laringofaringeal.
Resistensi Obat-obatan
Cemas dan Depresi
9
Telah diketahui bahwa berbagai faktor fisik, kimia, saraf, hormonal, dan
emosiaonal dapat mempengaruhi mukosa hidung, demikian juga mukosa sinus dalam
derajat yang lebih rendah. Secara umum sinusitis kronik lebih lazim pada iklim yang
dingin dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang tidak bugar, dan penyakit
sistemik perlu dipertimbangkna dalam etiologi sinusitis. Perubahan dalam faktor-
faktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembaban, dan kekeringan, demikian
pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan predisposisi infeksi.
Agen etiologi sinusitis dapat berupa virus, bakteri atau jamur.(7)
2.5.4 Klasifikasi dan Penemuan Mikrobiologi
Rinosinusitis diklasifikasikan menjadi :
a. Akut : infeksi yang berlangsung dengan batas sampai 4 minggu, dan dibagi
menjadi gejala yang berat dan non berat.
b. Akut berulang : berlangsung 4 atau lebih episode dalam 1 tahun.
c. Subakut : berlangsung antara 4 sampai 12 minggu, dan meupakan transisi
anatara infeksi akut dan kronis.
d. Kronik : Jika lebih dari 12 minggu.
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari
sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor
predisposisi harus dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut beberapa penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), H.influenzae (20-40%), dan Moraxella
catarrhalis (4%). Pada anak, M. catarrhais lebih banyak ditemukan (20%). Pada
sinusitis kronik , faktor predisposisi lebih berperan, tetapi umumnya bakteri yang ada
lebih condong kearah bakteri gram negatif dan anaerob.(1,3,4)
2.5.5 Patogenesis
10
Kegagalan transport mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor
utama berkembangnya rhinosinusitis. Patofisiologi rhinosinusitis digambarkan
sebagai lingkaran tetutup, dimulai dengan inflamasi mukosa hidung khususnya
kompleks ostiomeatal (KOM). Secara skematik patofisiologi rhinosinusitis sebagai
berikut: Inflamasi mukosa hidung -> pembengkakan (udem) dan eksudasi ->
obstruksi (blokade) ostium sinus -» gangguan ventilasi & drainase, reabsorpsi
oksigen yang ada di rongga sinus -> hipoksi (oksigen menurun, pH menurun,
tekanan negatif) -> permeabilitas kapiler meningkat, sekresi kelenjar meningkat -
transudasi, peningkatan eksudasi serus, penurunan fungsi silia -> retensi sekresi
di sinus dan pertumbuhan kuman. Sebagian besar kasus rinosinusitis kronis
disebabkan karena inflamasi akibat dari colds (infeksi virus) dan rinitis alergi yang
berulang. Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan
udem mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering
adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial virus
(RSV). Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada kerentanan
individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan udem berat.
Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus
normal menjadi terjebak (sinus stasis). Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus
masih mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat
yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak
segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada
mukosa dan cairan sinus paranasal.
11
gambar 4. Peradangan pada sinus maksilaris
Pada pasien rinitis alergi, alergen menyebabkan respons inflamasi dengan
memicu rangkaian peristiwa yang berefek pelepasan mediator kimia dan
mengaktifkan sel inflamasi. Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan
sejumlah sitokin yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel
ini kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak
mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium sinus.
Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang kondusif untuk
pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi virus.
Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang sehat.
Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat penebalan mukosa disertai
kerusakan silia sehingga ostium sinus makin buntu. Mukosa yang tidak dapat kembali
normal setelah inflamasi akut dapat menyebabkan gejala persisten dan-mengarah
pada rhinosinusitis kronik.11
2.5.6 Gejala Klinis
Keluhan utama rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat disertai nyeri / rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip) yang berlangsung lama. Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tertekan didaerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
12
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain).
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola
mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri didahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri dirasakan diverteks, oksipital,
belakang bola mata dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada
nyeri alih ke gigi dan telinga.(7)
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halithosis, postnasaldrip yang
menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas,
sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah
ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara Tuba Eustachius, gangguan ke paru
seperti bronchitis (sino-brnkhitis), bronkhiektasis dan yang penting adalah serangan
asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat
menyebabkan gastroenteritis.(9)
2.5.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.(6,7)
a. Anamnesis :
Dapat kita tanyakan riwayat penyakit pasien sebelumnya seperti : 1. Apakah
pasien sebelumnya pernah mengalami hidung tersumbat, flu, atau meler; 2.
Apakah pasien mengalami nyeri pada sekitar dahi, pipi, atau di belakang bola
mata; 3. Apakah kejadian ini sering berulang; 4. Berapakali intensitas kejadian
ini perbulannya. Berapa lama waktu penyembuhan yang dibutuhkan sampai
keluhan ini hilang; 5. Apakah pasien pernah berobat ke dokter dan mengkonsumsi
antibiotik dari dokter; 6. Apakah antibiotik yang diminum memberikan efek yang
baik.
13
b. Pemeriksaan fisik dengan :
1. Inspeksi : yang diperhatikan adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan dipipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-
merahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila. Pembengkakan dikelopak
mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal. Sinusitis etmoid jarang
menyebabkan pembengkakan diluar, kecuali bila telah terbentuk abses.
2. Palpasi : Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunujukkan adanya
sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan didasar sinus
frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan
rasa nyeri tekan didaerah kantus medius.
3. Perkusi : Melakukan perkusi pada area sinus paranasal seperti pada
Os.Frontalis dan Os.Maxilaris, kita lihat respon pasien apakah nyeri atau
tidak.
Gambar 5. Teknik Pemeriksaan Sinus
4. Rinoskopi anterior dan posterior, Pada rinoskopi anterior tampak mukosa
konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, sinusitis frontal dan
sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus medius,
sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sfenoid nanah
tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan
polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus
melakukan penatalaksanaan yang sesuai. Pada rinoskopi posterior tampak
mukopus di nasofaring (post nasal drip). Pada posisional test yakni pasien
mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit dan provokasi test yakni
14
suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien
kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat,
jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.
5. Transiluminasi
Transiluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai
untuk memeriksa sinus maksila dan frontalis, bila fasilitas pemeriksaan
radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit atau
radang akan menjadi suram atau gealap. Pemeriksaan ini suadah jarang
digunakan karena sangat terbatas kegunaannnya. (1)
Gambar 8. Transiluminasi pada Sinus Maksilar
c. Pemeriksaan penunjang :
1. Foto Polos kepala, Foto polos kepala merupakan pemeriksaan awal kelainan
sinus paranasal. Pada penderita rinosinusitis kronis pembacaan foto polos
kepala dapat mengidentifikasi penebalan mukosa (selaput lendir), batas cairan
dengan udara yang membentuk permukaan mendatar (air-fluid level) atau
perselubungan yang menutupi sebagian ataupun seluruh rongga serta sebagian
struktur tulang yang terlihat. Adanya erosi, atau destruksi tulang sinus
15
paranasal tidak tampak jelas karena terhalang gambaran perselubungan serta
air-fluid level.
2. CT-Scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena mampu
menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasanya. Namun karena mahal hanya dikerjakan
sebagi penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan
pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi
sinus. Potongan Ct scan yang rutin dipakai adalah koronal dan aksial.
Indikasi utama Ct scan Hidung dan sinus paranasal adalah sinusitis kronik,
trauma(frakur frontobasal), dan tumor.
Gambar 6. CT-Scan menunjukkan infeksi pada Sinus Etmoid
16
A B
Gambar 7. A. Sinus Maksila Normal; B. Sinus Maksila yang mengalami
peradangan
3. MRI, merupakan metode pencitraan yang paling baik pada pemeriksaan
sekitar dan komplikasi intrakranial dari penyakit rhinosinusitis kronis.
Dibandingkan denga CT-Scan, MRI lebih mampu memberikan visualisasi
yang lebih baik bagi jaringan lunak, tapi tidak dapat dengan mudah
menunjukan bagian yang terdapat batas cortical air bone.
4. Sinoskopi
Pemeriksaan ke dalam sinus maksila menggunakan endoskop. Endoskop
dimasukkan melalui lubang yang dibuat dimeatus inferior atau difosa kanina.
2.5.8 Penatalaksanaan
a. Prinsip Pengobatan rinosinusitis kronis adalah : Mencari sumber
predisposis, kemudian segera di obati ,Membuka sumbatan di KOM sehingga
drainase dan ventilasi sinus kembali normal dengan menghilangkan faktor
pencetus.
17
b. Antibiotik dan dekongestan. Merupakan terapi pilihan pada rinosinusitis
kronis, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibotik yang dipilih adalah golongan
penicillin sperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amiksisilin –klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke -2 . Pada sinusitis antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klini sudah hilang. Pada sinusitis kronik
diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman gram negatif dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain yang juga dapat diberikan jika
diperlukan, yaitu analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl. Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat
antikolinergiknya yang dapat menyebabkan secret jadi lebih kental. Bila ada
alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke -2. Irigasi sinus
maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tamabahan
yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien
menderita kelainan alergi yang berat.
c. Tindakan Operasi, Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF / FESS)
merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi.
Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu
karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
dan tidak radikal. Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik
setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelaianan yang
irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.(1)
d. Tatalaksana Rinosinusitis berdasarkan European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS )2012 :(13)
18
Penanganan Rhinosinusitis Kronik pada Dewasa (Pelayanan Primer dan
Dokter Spesialis non-THT)(13)
19
2 gejala atau lebih : salah 1 nya obstruksi hidung / kongestif / pilek
- Nyeri pada wajah / seperti tertekan- Berkurangnya atau kehilangan penghidu
Dilakukan pemeriksaan Rinoskopi Anterior, X-Ray/ CT-Scan tidak direkomendasikan
Pikirkan diagnosis lain:
- Gejala Unilateral- Perdarahan- Krusta- Gangguan Penciuman
Gejala Orbita:
- Edema Periorbita- Pendorongan Bola Mata- Penglihatan Ganda- Opthalmoplegi
Nyeri kepala hebat
Pembengkakan Frontal
Tanda meningitis
Tanda Neurologis
Nasoendoskopi tidak tersedia
Dilakukan pemeriksaan Rinoskopi Anterior, X-Ray/ CT-Scan tidak direkomendasikan
Tersedia Endoskopi
Ikuti skema penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik dengan/ tanpa polip hidung pada Dokter Spesialis THT
Penanganan Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Hidung untuk Dokter Spesialis
THT(13)
20
Irigasi Hidung + Steroid Topikal
Perbaikan
Lanjutkan terapi
Rujuk ke Dokter Spesialis THT jika
perlu pertimbangkan Operasi
Investigasi dan Intervensi
secepatnya
Evaluasi kembali setelah 4 minggu
2 gejala, salah 1 nya obstruksi/perubahan warna secret
- Nyeri pada bagian frontal- Penurunan Penghidu
Pemeriksaan spesialis THT termasuk Endoskopi (ukuran polip), pertimbangkan CT-Scan, diagnosis dan pengobatan penyakit penyerta
Ringan
VAS 0-3
Tidak ada penyakit yang serius pada mukosa
(nasoendoskopi)
Sedang
VAS 3-7
Kelainan di mukosa
Berat
VAS 7-10
Kelainan di Mukosa
Steroid Topikal Spray
Evaluasi setelah 3 bulan
Steroid Topikal Spray, Peningkatan dosis, pemberian tetes, pertimbangkan
doksisiklin
Steroid Topikal, Steroid Oral jangka pendek.
Pikirkan diagnosis lain:
- Gejala Unilateral- Perdarahan- Krusta- Gangguan
Penciuman
Gejala Orbita:
- Edema Periorbita- Pendorongan Bola
Mata- Penglihatan Ganda- Opthalmoplegi
Nyeri kepala hebat
Pembengkakan Frontal
Tanda meningitis
Tanda Neurologis
Perlu Investigasi dan Intervensi dengan cepat
Penanganan Rhinosinusitis Kronik dengan Polip Hidung pada anak untuk
Dokter Spesialis THT(13)
21
Perbaikan Tidak ada Perbaikan
Lanjutkan steroid Topikal
Evaluasi setiap 6 bulan
Evaluasi setelah 1 bulan.
Perbaikan Tidak ada Perbaikan
CT-Scan
Operasi
Follow up:
- Irigasi Hidung- Steroid
topical+Oral- Antibiotik jangka
panjang2 gejala : salah 1 nya obstruksi hidung atau perubahan warna secret (purulen)
- Nyeri di bagian frontal, pusing- Batuk
Pemeriksaan THT Endoskopi, CT-Scan, Cek Alergi, pengobatan penyakit penyerta
Irigasi hidung + Steroid Hidung Gagal setelah 3
bulan Pertimbangkan kultur + Antibiotik jangka panjang
Pikirkan diagnosis lain:
- Gejala Unilateral- Perdarahan- Krusta- Gangguan Penciuman
Gejala Orbita:
- Edema Periorbita- Pendorongan Bola
Mata- Penglihatan Ganda- Opthalmoplegi
Nyeri kepala hebat
Pembengkakan Frontal
Tanda meningitis
Tanda Neurologis
Perlu Investigasi dan
Intervensi dengan cepat
CT-Scan
Sedang-Berat VAS >3-10
Ringan VAS 0-3
2.5.9 Komplikasi
Komplikasi rinosinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada kasus dengan eksaserbasi akut,
berupa komplikasi orbita atau intracranial.(4,9,10)
a. Komplikasi Orbital
Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan
yang dapat timbul adalah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.
b. Komplikasi Intrakranial
Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural , abses otak, dan
thrombosis sinus kavernosus. Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis
berupa : Osteomielitis dan abses subperisotal.
c. Kelainan Paru
22
Follow up + Irigasi Hidung + Steroid
TopikalPertimbangkan
Adenoidektomi dan Irigasi Sinus
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
Follow up:
- Irigasi hidung- Steroid topical- Antibiotik
jangka panjang
Seperti bronchitis kronik dan bronkhiektasis. Adanya kelaian sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru ini disebut sebagai sino-bronkhitis. Selain itu juga
dapat menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitisnya disembuhkan.
2.5.10 Pencegahan
Untuk menghindari rhinitis menjadi sinusitis selama serangan dingin atau alergi,
dengan :
a. Menggunakan dekongestan oral atau kursus singkat semprot hidung
dekongestan
b. Menghindari perjalanan udara. Jika Anda harus terbang, menggunakan
dekongestan nasal spray sebelum lepas landas untuk mencegah penyumbatan
sinus memungkinkan untuk mengalirkan lendir.
c. menghindari penyelaman mendalam dalam kolam renang dapat membantu
mencegah infeksi sinus.
d. Jika Anda memiliki alergi, cobalah untuk menghindari kontak dengan hal-hal
yang memicu serangan. Jika Anda tidak bisa, gunakan antihistamin over-the-
counter atau resep dan / atau obat semprot hidung resep untuk mengendalikan
serangan alergi.(11)
2.5.11 Prognosis
Prognosis untuk infeksi sinus biasanya sangat baik, meskipun beberapa orang
mungkin menemukan bahwa mereka sangat rentan tertular infeksi tersebut setelah
terkena udara dingin. Dan pada Sinusitis jamur, bagaimanapun, memiliki tingkat
kematian yang relatif tinggi.
23
BAB III
KESIMPULAN
Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu
sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab
utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi
yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum
rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka
dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol (post nasal drip). Klasifikasi
dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut, subakut dan kronik, sedangkan
klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik dan dentogenik. Bahaya
dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial. Tatalaksana berupa
terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa
polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi.
24
Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai sinusitis dapat memberikan
prognosis yang baik.
DAFATAR PUSTAKA
1. Arsyad Soepardi,Effiaty,dkk.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok.Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FK UI. 2012.
2. Richard SS. Anatomi Laring dalam Anatomi Klinik, 6th ed. Jakarta: EGC; 2006.
3. David G, Bradley JG. Handbook of Otolaryngology Head and Neck Surgery. New
York: Thieme Medical Publishers Inc; 2011.\
4. James BS, Ashley WP. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,
17th ed. Shelton: BC Decker Inc; 2009.
5. John CW, Ralph WG. Stell & Maran’s Textbook of Head and Neck Surgery and
Oncology, 5th ed. London: Hodder Arnold; 2012.
6. Bachert C, Verhaeghe of pediatrics, 2002. Differential Diagnosis of
Rhinosinusitis. Enhancing the Treatment of Rhinosinusitis Family Practice
Recertification. p.24 (1)8 -13.
7. Erica R. Thaler,David W. Kennedy. Rhinosinusitis: A Guide for Diagnosis and
Management. Springer :2008. Diunduh pada tanggal : 1 April 2015.
8. Martin Desrosiers1*, Gerald A Evans2, Paul K Keith3, dkk.Canadian clinical
practice guidelines for acute and chronic rhinosinusitis Desrosiers et al. Allergy,
25
Asthma & Clinical Immunology 2011, http://www.aacijournal.com/content/7/1/2
diunduh tanggal 11 april 2015
9. Jonas T. Johnson, Clark A. Rosen. Bailey Head & Neck Surgery
OTOLARYNGOLOGY. Volume 5th.
10. Rachelfsky GS, 1984. Sinusitis in Children. Diagnosis and Treatment. Clin Rev
Allergy ; 2 : 397-408
11. George L,Adams,dkk. BOIES: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6.
Jakarta :EGC.1997.hal. 240-241.
12. Slavin RG, 2002. Rhinosinusitis Epidemilogy and Pathology. Enhancing the
Treatment of Rhimosinusitis Family Practice Recertification; p. 24 (1): 1 – 7
13. Wytske J. Fokkens,dkk. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps 2012. Volume 50.Suplement 23. March 2012.p.209-219. Diunduh pada
tanggal : 1 April 2015.
26