referat anestesi_tya

15
REFERAT ANESTESI PENGGUNAAN SODIUM LAKTAT PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK AKIBAT TRAUMA Oleh: Ni Made Reditya Noviyani H1A 006 030 Pembimbing: dr. Erwin Kresnoadi, SpAn DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ANESTESI DAN REANIMASI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB 1

Upload: anggy-novitasari

Post on 15-Jul-2016

215 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hdsakdnajsk

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT ANESTESI_tya

REFERAT ANESTESI

PENGGUNAAN SODIUM LAKTAT PADA PASIEN DENGAN CEDERA OTAK

AKIBAT TRAUMA

Oleh:

Ni Made Reditya Noviyani

H1A 006 030

Pembimbing:

dr. Erwin Kresnoadi, SpAn

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN / SMF ANESTESI DAN REANIMASI

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2010

1

Page 2: REFERAT ANESTESI_tya

PENDAHULUAN

Cedera otak akibat trauma merupakan salah satu penyebab morbiditas dan

mortalitas di dunia, terutama pada dewasa muda yang berusia kurang dari 45 tahun.1

Mortalitas cedera otak akibat trauma berkisar antara 15 – 20% pada pasien yang berusia

5 – 35 tahun dan 1% pada pasien dewasa. Sekitar 1,4 juta penduduk Inggris mengalami

cedera otak akibat trauma setiap tahunnya, 150.000 pasien dirawat di rumah sakit dan di

antaranya 3500 pasien dirawat di ICU.2 Mayoritas pasien mengalami cedera yang

ringan, sedangkan 8 – 10% mengalami cedera yang sedang dan berat.1

Determinan utama yang menentukan prognosis pasien cedera otak adalah

beratnya cedera primer yang bersifat ireversibel. Walaupun demikian, cedera otak

sekunder, terutama iskemia serebral yang terjadi post-injury phase akibat peningkatan

tekanan intrakranial, hipotensi, hipoksia, hiperpireksia, hipokapnea, dan hipoglikemia,

dapat memperburuk keadaan pasien setelah mengalami cedera otak.2

Dalam upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan

cedera otak akibat trauma, berbagai penelitian neurologis dilakukan untuk mengetahui

penatalaksanaan cedera otak yang tepat.3 Terapi ditujukan untuk memelihara perfusi

serebral agar tetap stabil, oksigenasi yang adekuat, serta mencegah terjadinya hiper- dan

hipokapnea serta hiper- dan hipoglikemia.1 Terapi hiperosmoler merupakan salah satu

terapi yang efektif untuk pasien cedera otak dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Terapi ini dapat membawa cairan intraseluler dan interstisial menuju ke vaskular. Saline

hipertonis (sodium laktat, 500 mOsm/liter) termasuk dalam terapi hiperosmoler dan

dapat digunakan pada pasien cedera otak akibat trauma untuk menurunkan tekanan

intrakranial yang dapat menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder.3

2

Page 3: REFERAT ANESTESI_tya

TINJAUAN PUSTAKA

I. Biomekanika dan Neuropatologi Cedera Otak Akibat Trauma

Mekanisme prinsip dari cedera otak akibat trauma, meliputi:4

1. kerusakan otak fokal, cedera otak akibat kontak dengan struktur di sekitar dan

menyebabkan timbulnya kontusio, laserasi, dan perdarahan intrakranial.

2. Kerusakan otak difus, terjadi akibat reaksi akselerasi-deselerasi yang

menyebabkan cedera akson difus atau edema otak.

Prognosis dari cedera otak akibat trauma ditentukan oleh dua proses, yaitu:2,4

1. Cedera primer (mechanical damage)

Cedera otak primer merupakan cedera yang terjadi pada otak saat timbulnya

impact akibat trauma. Cedera otak primer terjadi secara cepat dan bersifat

ireversibel.

2. Cedera sekunder (delayed non-mechanical damage)

Cedera otak sekunder merupakan cedera pada otak yang terjadi pada tahap

lanjut. Cedera otak sekunder dapat disebabkan oleh adanya iskemik jaringan,

gangguan ionik, neurokimia maupun imunologi. Iskemia serebral dapat terjadi

post-injury phase akibat peningkatan tekanan intrakranial, hipotensi, hipoksia,

hiperpireksia, hipokapnea, dan hipoglikemia.

II. Patofisiologi Cedera Otak akibat Trauma

a. Patofisiologi umum dari cedera otak akibat trauma

Tahap pertama dari cedera otak akibat trauma adalah kerusakan jaringan secara

langsung dan terganggunya regulasi dari aliran darah otak dan metabolisme. Pola

kerusakan yang terjadi, seperti proses iskemia, menyebabkan penumpukan asam laktat

akibat glikolisis yang terjadi secara anaerob, peningkatan permeabilitas membran, dan

pembentukan edema. Metabolisme anaerob tidak dapat memenuhi kebutuhan energi

seluler secara adekuat sehingga cadangan ATP yang tersedia untuk energi berkurang

dan terjadi kegagalan pompa ion pada membran yang bergantung pada energi.

3

Page 4: REFERAT ANESTESI_tya

Tahap kedua dari cedera otak adalah depolarisasi membran terminal bersamaan

dengan pelepasan neurotransmiter yang bersifat eksitasi secara berlebihan, seperti

glutamat dan aspartat, dan terjadilah aktivasi Ca2+- dan Na+-channel. Inluks Ca2+- dan

Na+-channel menyebabkan terjadinya proses self-digesting intraselular (katabolik).

Ca2+-channel mengaktivasi lipid peroksidase, protease, dan phospolipase sehingga

terjadi peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas intraseluler. Hal ini

menyebabkan degradasi membran vaskular dan struktur sel serta terjadi nekrosis dan

apoptosis.

b. Patofisiologi spesifik dari cedera otak akibat trauma

Patofisiologi spesifik dari cedera otak akibat trauma, yaitu:4

1. Aliran darah otak

Nilai ambang kritis dari aliran darah otak yang dapat menyebabkan kerusakan

jaringan secara ireversibel adalah 15 ml/100gram jaringan/menit. Mekanisme

iskemia post trauma meliputi cedera morfologis seperti distorsi pembuluh darah,

hipotensi akibat kegagalan autoregulasi, neurotransmiter kolinergik dan nitrit

oksida yang tidak adekuat, dan vasokonstriksi yang disebabkan oleh

prostaglandin. Cedera otak akibat trauma juga dapat menyebabkan hiperperfusi

serebral dimana aliran darah otak >55 ml/100 gram jaringan/menit pada stadium

awal terjadinya trauma. Hal ini dapat meningkatkan volume darah otak dan

tekanan intrakranial.

2. Autoregulasi serebrovaskular dan reaktivitasi CO2

Autoregulasi dan reaktivasi CO2 sangat penting untuk menjaga agar aliran darah

otak tetap adekuat. Trauma menyebabkan autoregulasi aliran darah otak dan

reaktivasi CO2 (seperti konstriksi atau dilatasi serebrovaskular sebagai respon

terhadap penurunan CPP (cerebral perfusion pressure) dan hipo- atau

hiperkapnea) terganggu.

3. Vasospasme serebral

Mekanisme terjadinya vasospasme meliputi depolarisasi kronis dari otot polos

vaskular yang disebabkan oleh berkurangnya aktivitas K+-channel, pelepasan

endotelin, berkurangnya nitrit oksida, deplesi c-GMP pada otot polos vascular,

vasokonstriksi akibat prostaglandin, dan pembentukan radikal bebas.

4

Page 5: REFERAT ANESTESI_tya

4. Disfungsi metabolisme otak

Metabolisme otak (konsumsi oksigen dan glukosa) dan status energi

(konsentrasi fosfokreatin dalam jaringan dan ATP atau secara tidak langsung

melalui rasio laktat/piruvat) menurun pada cedera otak akibat trauma. Derajat

kegagalan metabolisme berhubungan dengan beratnya cedera primer.

5. Oksigenasi serebral

Cedera otak akibat trauma menyebabkan ketidakseimbangan antara pengiriman

dan konsumsi oksigen di otak. Hal ini berhubungan dengan gangguan vaskular

dan hemodinamik sehingga terjadi hipoksia jaringan otak. Nilai ambang kritis

tekanan oksigen jaringan otak pada cedera otak adalah 15-10 mmHg PtO2. Bila di

bawah nilai ambang kritis maka akan terjadi infark jaringan saraf.

6. Eksitotoksisitas dan stres oksidatif

Cedera otak akibat trauma berhubungan dengan pelepasan neurotransmiter yang

bersifat eksitasi secara berlebihan, terutama glutamat. Hal ini akan

mempengaruhi neuron dan astrosit sehingga mengakibatkan overstimulasi

reseptor glutamat yang bersifat ionotropik dan metabotropik. Katabolik proses

meningkat dan terjadi blood–brain barrier breakdown. Sel mengkompensasi

dengan meningkatkan aktivitas Na+/K+-ATPase sehingga menyebabkan

penurunan kebutuhan metabolime. ROS (reactive oxygen species) meningkat

pada cedera otak disebabkan oleh eksitotoksisitas dan kelelahan dari sistem

antioksidan endogen. Hal ini menyebabkan terjadinya peroksidasi struktur sel

dan vaskular, oksidasi protein, pemisahan DNA, dan menghambat rantai

transpor elektron mitokondria.

7. Edema

Edema pada otak akibat trauma terdiri atas edema otak vasogenik dan edema

otak sitotoksik. Edema otak sitotoksik lebih sering terjadi dibandingkan edema

otak vasogenik. Pada edema otak sitotoksik terjadi akumulasi cairan intraselular

(dalam neuron, astrosit, dan mikroglia). Hal ini disebabkan oleh peningkatan

permeabilitas membran sel dan reabsorpsi zat larut yang aktif osmotik.

8. Inflamasi

Cedera otak akibat trauma mengaktivasi pelepasan mediator seluler termasuk

sitokin proinflamasi, prostaglandin, radikal bebas, dan komplemen.

5

Page 6: REFERAT ANESTESI_tya

9. Nekrosis dan apoptosis

Nekrosis terjadi sebagai respon terhadap kerusakan jaringan secara mekanik

maupun iskemik/hipoksia, pelepasan neurotrasmiter eksitasi yang berlebihan,

dan kegagalan metabolisme. Phospolipase, protease, dan lipid peroxidase aktif

dan melisiskan membran biologis. Sel dianggap sebagai antigen dan

dihancurkan melalui proses inflamasi.

III. Penatalaksanaan Cedera Otak akibat trauma

Prinsip umum penatalaksanaan cedera otak akibat trauma, meliputi pemeliharaan

perfusi serebral agar tetap stabil, oksigenasi yang adekuat, serta mencegah terjadinya

hiper- dan hipokapnea serta hiper- dan hipoglikemia. Penatalaksanaan cedera otak

terdiri dari:1

1. Pemeliharaan tekanan arteri

Target systemic arterial pressure (SAP) bervariasi pada setiap negara

bergantung pada pedoman yang digunakan. The American pre-hospital

management guidelines menganjurkan untuk memelihara SAP pada rentang

normal dan mencegah terjadinya hipotensi (SAP ≤ 90 mmHg). The European

guidelines menganjurkan SAP ≥ 120 mmHg dan MAP ≥ 90 mmHg. UK transfer

guidelines menganjurkan MAP ≥ 80 mmHg.

2. Ventilatory support

Pasien yang dapat menjaga jalan napasnya sendiri agar tetap terbuka dapat

diberikan terapi suplementasi oksigen, sedangkan pasien yang tidak dapat

menjaga jalan napas atau oksigenasinya maka diperlukan pemasangan ETT

(endotracheal tube).

3. Kontrol glikemik

Hiperglikemia sering terjadi dan berhubungan dengan prognosis yang buruk.

Penelitian oleh Van ded Berghe menyatakan mortality benefit dari penggunaan

insulin intensif (glukosa darah < 6.1 mmol/liter) pada pasien yang berada dalam

kondisi kritis.

6

Page 7: REFERAT ANESTESI_tya

IV. Penggunaan sodium laktat sebagai terapi cedera otak akibat trauma

Terapi hiperosmoler merupakan intervensi yang sangat penting dalam

penatalaksanaan edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial setelah terjadinya

cedera otak akibat trauma. Edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial berpotensi

menyebabkan terjadinya iskemia, herniasi, bahkan kematian. Terapi hiperosmoler

terutama ditujukan pada peningkatan tekanan intrakranial yang terjadi secara akut.2,5

Manitol, suatu diuresis osmotik, membentuk gradien osmotik antara plasma dan sel

otak sehingga mengurangi edema otak dengan membawa cairan melalui sawar darah

otak menuju ke kompartemen vaskular. Penggunaan manitol secara repetitif dapat

menimbulkan efek samping neurologis dan ginjal, terutama pada kadar serum > 320

mOsm/liter. Manitol juga dapat menimbulkan komplikasi seperti deplesi volume

intravaskular yang berat, hipotensi, hiperkalemia, dan peningkatan kembali tekanan

intrakranial setelah terapi manitol dihentikan.2

Saline hipertonis merupakan alternatif terapi terhadap manitol. Larutan ini dapat

digunakan untuk mengontrol tekanan intrakranial pada pasien yang refrakter terhadap

manitol. Saline hipertonis bekerja dengan meningkatkan sodium dan osmolaritas dalam

serum sehingga akan terbentuk gradien osmotik. Hal ini akan menyebabkan cairan

mengalami difusi pasif dari intraseluler dan spatium interstisial menuju ke kapiler

sehingga mengurangi jumlah cairan dan menurunkan tekanan intrakranial. Saline

hipertonis juga menstabilkan potensial membran istirahat dan volume sel dengan

mengatur keseimbangan elektrolit intraseluler pada sel yang mengalami cedera.2,6

Efek saline hipertonis terhadap cairan pada edema otak dapat dilihat dari

berkurangnya lateral displacement otak pada CT-scan serial pasien dengan cedera otak

akibat trauma. Saline hipertonis dapat memperbaiki aliran darah otak dengan

mengurangi volume sel endotel, meningkatkan diameter dari lumen kapiler, dan

mengurangi ukuran eritrosit. Larutan ini efektif sebagai volume expander dan tidak

menyebabkan hiperkalemia serta gangguan fungsi ginjal seperti yang ditimbulkan oleh

manitol.2

Sodium laktat merupakan salah satu saline hipertonis yang digunakan pada cedera

otak akibat trauma untuk mengurangi edema otak dengan menurunkan tekanan

intrakranial. Sodium laktat mempunyai osmolaritas sebesar 500mOsm/liter, sebagian

besar terdiri atas sodium serta sedikit kalium dan laktat.7 Pada penelitian yang dilakukan

7

Page 8: REFERAT ANESTESI_tya

oleh Ichai et.al (2009) dinyatakan bahwa pemberian infus sodium laktat segera setelah

terjadinya trauma lebih efektif dalam menurunkan tekanan intrakranial dibandingkan

dengan manitol. Selain itu, Glasgow Outcome Scale (GOS) pada pasien yang mendapat

infus sodium laktat juga lebih baik dibandingkan manitol.8 Pada penelitian Shackford

et.al (1992) dinyatakan bahwa maintenance cairan menggunakan infus sodium laktat

selama 24 jam dapat menurunkan tekanan intrakranial, meningkatkan aliran darah otak

dan pengangkutan oksigen ke jaringan, serta membentuk osmolaritas dalam serum yang

lebih tinggi. Kemampuan sodium laktat dalam memperbaiki compliance intrakranial

dilakukan melalui dehidrasi korteks sehingga edema berkurang, sedangkan kemampuan

dalam memperbaiki aliran darah otak dilakukan melalui dehidrasi endotel vaskular otak

dan eritrosit. Penurunan tekanan intrakranial dan peningkatan aliran darah otak dapat

mencegah terjadinya cedera otak sekunder akibat trauma.7

8

Page 9: REFERAT ANESTESI_tya

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai “Penggunaan Sodium Laktat pada Pasien

dengan Cedera Otak akibat Trauma” dapat disimpulkan bahwa:

1. Mekanisme prinsip dari cedera otak akibat trauma, meliputi kerusakan otak

fokal dan kerusakan otak difus.

2. Prognosis dari cedera otak akibat trauma ditentukan oleh dua proses, yaitu

cedera primer (mechanical damage) dan cedera sekunder (delayed non-

mechanical damage).

3. Patofisiologi umum terjadinya cedera otak terdiri atas dua tahap, yaitu kerusakan

jaringan secara langsung dan terganggunya regulasi dari aliran darah otak dan

metabolisme serta depolarisasi membran terminal bersamaan dengan pelepasan

neurotransmiter bersifat eksitasi secara berlebihan.

4. Prinsip umum penatalaksanaan cedera otak akibat trauma, meliputi

pemeliharaan perfusi serebral agar tetap stabil, oksigenasi yang adekuat, serta

mencegah terjadinya hiper- dan hipokapnea serta hiper- dan hipoglikemia.

5. Sodium laktat merupakan salah satu saline hipertonis yang digunakan pada

cedera otak akibat trauma untuk menurunkan tekanan intrakranial serta

meningkatkan aliran darah otak dan pengangkutan oksigen ke jaringan sehingga

mencegah terjadinya cedera otak sekunder akibat trauma.

9

Page 10: REFERAT ANESTESI_tya

DAFTAR PUSTAKA

1. Moppett, I.K. 2007. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early

management. Br J Anaesth 99 (1): 18 – 31.

2. Helmy, A., Vizcaychipi, M., Gupta, A.K. 2007. Traumatic brain injury:

intensive care management. Br J Anaesth 99 (1): 32 – 42.

3. Griffin, L.J. 2010. Hypertonic Saline in the Treatment of Intracranial

Hypertension. Journal of Advanced Nursing Practice 11 (1).

4. Werner, C. Engelhard, K. 2007. Pathophysiology of traumatic brain injury. Br J

Anaesth 99 (1): 4 – 9.

5. Sorani, M., Manley, J. 2008. Dose–response relationship of mannitol and

intracranial pressure: a metaanalysis. J Neurosurg (108): 80 – 87.

6. Meyer, M., Lee, D., Aubut, J., Teasell, R., Megyesi, J., Bayona, N. 2008. Acute

Interventions for Acquired Brain Injury. Crit Care Med (28).

7. Shackford, S.R., Zhuang, J., Schmoker, J. 1992. Intravenous fluid tonicity:

effect on intracranial pressure, cerebral blood flow, and cerebral oxygen delivery

in focal brain injury. J Neurosurg 76 (1): 91 – 98.

8. Ichai, C., Armando, G., Orban, J.C., Berthier, F., Rami, L., Samat-Long, C.,

Grimaud, D., Leverve, X. 2009. Sodium lactate versus mannitol in the treatment

of intracranial hypertensive episodes in severe traumatic brain-injured patients.

Intensive Care Med 35 (3): 471 – 479.

10