referat crohn

44
REFERAT DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM CROHN DISEASE Penyusun : Sheila Rosita F., S.Ked. 2007.04.0.0058 Shallaint Prisella T., S.Ked. 2009.04.0.0066 Sonya Selly H., S.Ked. 2009.04.0.0097 Stevy Liliana, S.Ked. 2009.04.0.0128 Pembimbing : dr.Zainal Udin, Sp.PD

Upload: sonyasellyh

Post on 25-Sep-2015

43 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Interna

TRANSCRIPT

Definisi :

REFERAT

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

CROHN DISEASE

Penyusun :

Sheila Rosita F., S.Ked. 2007.04.0.0058

Shallaint Prisella T., S.Ked.2009.04.0.0066

Sonya Selly H., S.Ked.2009.04.0.0097

Stevy Liliana, S.Ked.2009.04.0.0128

Pembimbing :

dr.Zainal Udin, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2014

BAB I

INFLAMATORY BOWEL DISEASE DAN CROHNS DISEASE

1.1. DEFINISI

IBD (Inflamatory Bowel Disease) adalah kondisi kronis intestinal yang immune-mediated (Friedman, 2013). Idiopathic IBD merupakan kondisi yang dikarakteristikkan dengan aktivasi imun dan inflamasi kronis atau berulang. Bentuk Idopathic IBD yang utama adalah ulcerative colitis dan Crohn disease. Keduanya memiliki karakteristik klinis dan epidemiologis yang mirip. Kadang keduanya sulit dibedakan secara klinis, tapi keduanya adalah sindrom yang berbeda dengan penanganan dan prognosis yang berbeda pula (Feldman, 2010).

Crohn disease adalah suatu kondisi inflamasi kronis yang memiliki potensi melibatkan posisi apapun dari traktus digestivus mulai dari mulut sampai anus, tapi dengan tendensi untuk intestinum distal dan colon proksimal. Inflamasi tersebut biasanya diskontinyu pada aksis longitudinal intestinum dan bisa mengenai semua lapisan dari mukosa sampai serosa. (Feldman, 2010).

1.2. EPIDEMIOLOGI

Meskipun IBD jarang terjadi, insiden IBD terus meningkat. Mortalitas tertinggi terjadi pada tahun pertama dan penyakit dengan durasi lama karena kanker kolon. Beberapa poin epidemiologi terlampir pada tabel 1 (Friedman, 2013).

Tabel 1.1. Epidemiologi IBD

Epidemiologi IBD

Ulcerative Colitis (UC)

Crohn Disease (CD)

Insiden (Amerika Utara) per person-years

2,2 14,3 : 100.000

3,1 14,6 : 100.000

Age of onset

15-30 dan 60-80

Etnisitas

Jewish > non-Jewish white > Afrika Amerika > Hispanik > Asia

Male / Female ratio

1 : 1

1,1 1,8 : 1

Merokok

Mungkin bisa mencegah penyakit

Mungkin bisa menyebabkan penyakit

Kontrasepsi oral

Tidak ada peningkatan resiko

Odds ratio 1,4

Appedectomy

Protektif

Non-protektif

Kembar monozigotik

6% terjadi pada keduanya

58% terjadi pada keduanya

Kembar dizigotik

0% terjadi pada keduanya

4% terjadi pada keduanya

(Dikutip dengan modifikasi dari Friedman, 2013)

Meskipun UC dan CD terjadi pada usia 15-30 dan 60-80 tahun, UC dan CD masih bisa terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun, meskipun insidennya jarang. UC lebih sering terjadi pada anak yang berusia kurang dari 10 tahun dibandingkan CD. Pada usia tersebut, dikatakan bahwa rasio terjadinya UC dan CD pada laki laki dan perempuan adalah sama. Studi lain menunjukkan bahwa insiden CD pada anak perempuan lebih tinggi 30% dibandingkan laki-laki, sedangkan penderita UC pada usia ini didominasi oleh laki-laki (Yamada, 2009). Selain daripada itu, perbedaan usia onset juga menunjukkan adanya perbedaan presentasi klinis antara orang tua dan anak-anak. Meskipun secara penampakan patologis tidak didapatkan perbedaan antara orang tua dan anak-anak, beberapa studi menunjukkan predominansi yang lebih besar untuk penyakit di kolon dan distal pada orang tua, sedangkan predominansi untuk penyakit ileocolonic pada anak-anak (Feldman, 2010).

Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya IBD adalah keadaan sosioekonomik, riwayat merokok dan genetik. Area urban memiliki prevalensi lebih tinggi untuk terjadinya IBD daripada area rural, dan kelas sosioekonomik tinggi memiliki prevalensi lebih tinggi daripada kelas sosioekonomik lebih rendah (Friedman, 2013). Menurut Yamada (2009), sanitasi yang buruk pada masa kanak-kanak adalah faktor protektif untuk CD, meskipun tidak protektif untuk UC.

Efek dari merokok berbeda antara UC dan CD. Resiko UC pada perokok adalah 40% lebih tinggi daripada yang tidak merokok (Friedman, 2013). Beberapa studi mendapati bahwa resiko terkena UC lebih tinggi pada orang yang tidak merokok dibandingkan yang merokok (Yamada, 2009). Sebagai tambahan, mantan perokok memiliki resiko 1,7 kali lebih tinggi daripada orang yang tidak pernah merokok (Friedman, 2013). Jadi, menurut Yamada (2009), faktor resiko terkena UC lebih tinggi pada non-smoker dibandingkan perokok aktif, dan meningkat jauh lebih banyak pada mantan perokok bila dibandingkan dengan orang yang seumur hidup tidak merokok. Berhenti merokok bisa memicu timbulnya UC, meskipun itu hanya efek yang lebih kecil dibandingkan dengan efek rokok pada kesehatan secara umum (Yamada, 2009). Pada CD, merokok meningkatkan resiko 2 kali lipat (Friedman, 2013). Perokok memiliki perjalanan penyakit yang lebih berat, sehingga memerlukan medikasi imunosupresif yang lebih baik dan memiliki rekurensi lebih cepat setelah operasi. Berhenti merokok bisa memperingan perjalanan klinis meskipun keuntungan terbesar dari pemberhentian merokok terlihat pada perokok berat. Zat aktif rokok yang berpengaruh pada terjadinya UC dan CD. Melalui percobaan, ditemukan bahwa nikotin transdermal dan nicotine gum bisa membantu untuk pengobatan UC (Yamada, 2009).

Apendektomi memberikan perlindungan terhadap perkembangan dari UC, tapi tidak pada CD. Apendektomi memiliki efek terutama bila dilakukan karena penyakit inflamasi seperti apendisitis atau limfadenitis, dan dilakukan sebelum usia 21 tahun (Yamada, 2009).

IBD adalah penyakit familial pada 5-10% pasien. Beberapa pasien bisa memiliki manifestasi penyakit sejak dini selama dekade pertama kehidupannya dan pada CD, bisa ada kesamaan letak anatomis dan tipe klinis dalam sekeluarga. Sisanya terjadi secara sporadik. Jika pasien terkena IBD, terdapat 1 cm

Dalam

Linear

Apthoid

Bridging

+

+

+

0

+

+++

++

+++

++++

++

Spesifisitas: 0 (tidak terlihat) sampai ++++ (diagnostik)

(Dikutip dengan perubahan dari Yamada, 2009)

BAB IV

PENATALAKSANAAN DAN KOMPLIKASI

4.1. MANAGEMENT

Crohns disease merupakan suatu penyakit yang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian terapi pada Crohns disease adalah untuk mengurangi gejala (menginduksi remisi) dan menjaga remisi.

4.1.1. DIET DAN NUTRISI.

Pasien harus mengkonsumsi makanan sehat yang seimbang, yaitu cukup kalori, cukup protein dan vitamin dari berbagai jenis makanan. Tidak ada diet spesifik yang dapat membuat gejala Crohns disease menjadi lebih baik atau buruk. Masalah dari tipe makanan akan berbeda dari satu pasien dengan pasien yang lain. Beberapa makanan dapat menyebabkan diare dan terbentuknya gas. Untuk membantu mengatasi gejala yang ringan, dapat dicoba :

Makan makanan dalam porsi kecil sepanjang hari

Minum banyak air (minum dalam jumlah kecil sepanjang hari)

Menghindari makanan dengan serat yang tinggi (gandum, kacang-kacangan, biji-bijian, popcorn)

Menghindari makanan berlemak tinggi, berminyak atau makanan yang digoreng (butter, mentega, dan krim berlemak)

Membatasi produk susu jika mempunyai masalah mencerna produk susu.

Menghindari makanan yang dapat menghasilkan gas seperti kacang polong.

Konsumsi vitamin atau suplemen ekstra yang dibutuhkan, seperti

Suplemen besi (bila anemia)

Suplemen Calsium dan Vitamin D untuk menjaga tulang tetap kuat

Vitamin B12 untuk mencegah anemia

4.1.2. MEDIKAMENTOSA

5-ASA AGENTS (Aminosalisilate). Terapi utama untuk Crohns disease ringan sampai sedang adalah sulfasalazine dan agen 5-ASA lain (azulfidine, dipentum, pentasa). Agen ini efektif dalam menginduksi remisi baik pada Ulcerative Colitis maupun pada Crohns disease. Sulfasalazine mengandung antibacterial (sulfapyridine) dan anti inflamasi (5-ASA). Meski sulfasalazine lebih efektif pada dosis tinggi yaitu 6-8 gram/hari, 30% dari pasien akan mengalami reaksi alergi seperti ruam, demam, hepatitis, agranulositosis, pancreatitis, perburukan colitis dan abnormalitas sperma yang reversible. Selain itu, dapat terjadi pula efek samping yang tidak diinginkan seperti sakit kepala, anoreksia, mual dan muntah. Sulfasalazine juga dapat mengganggu absorpsi dari asam folat sehingga pasien perlu diberi suplemen untuk menambah asam folat.

GLUCOCORTICOIDS. Glukokortikoid yang berperan sebagai anti-inflamasi yang lebih kuat, efektif dalam mengobati Crohns disease sedang sampai berat dan menginduksi 60-70% kecepetan remisi. Budesonide digunakan untuk 2-3 bulan dengan dosis 9 mg/hari kemudiang tappering off. Budesonide 6 mg/hari efektif mengurangi kekambuhan dalam 3-6 bulan. Efek samping yang ditimbulkan meliputi retensi cairan, striae abdominal, osteonecrosis, myopathy, hiperglikemi, subkapsular katarak, gangguan emosi.

ANTIBIOTICS. Biasanya diberikan untuk mengatasi abscess dan fistula. Metronidazole efektif pada Crohns disease dengan inflamasi aktif, fistula dan perianal, serta dapat mencegah kekambuhan setelah reseksi ileum. Dosis yang paling efektif adalah 15-20 mg/kg per hari dalam dosis terbagi tiga dan biasanya dilanjutkan sampai beberapa bulan. Efek samping yang paling sering muncul termasuk mual, metallic taste. Penggunaan jangka lama (beberapa bulan) dapat menyebabkan peripheral neuropathy.

Ciprofloxacin (500 mg bid) juga efektif untuk Crohns disease dengan inflamasi, fistula dan perianal.

Metronidazole dan Ciprofloxacin dapat diberikan sebagai second-line drugs pada Crohns disease aktif dan sebagai first-line drugs pada Crohns disease perianal dan fistula.

AZATHIOPRINE AND 6-MERCAPTOPURINE. Azathioprine dan 6-Mercaptopurine merupakan analog purin yang sering digunakan untuk glucocorticoid-dependent Inflammatory Bowel syndrome. Azathioprine 2-3 mg/kg perhari atau 6-MP 1-1,5 mg/kg perhari terbukti dapat digunakan agar glucocorticoid dapat dihentikan pemberiannya.

METHOTREXATE. Methotrexate (MTX) menghambat dihidrofolat reduktase yang akhirnya mempengaruhi sintesis DNA. MTX 25 mg/minggu secara intramuscular atau subcutan terbukti dapat menginduksi remisi dan menurunkan dosis glukokorticoid. MTX 15 mg/minggu efektif dalam menjaga remisi pada Crohns disease aktif. Memiliki potensi tiksisitas seperti leukopenia dan hepatic fibrosis.

CYCLOSPORINE. Cyclosporine (CSA) adalah peptida lipofilik dengan efek inhibisi baik pada sistem imun selular maupun humoral. CSA memblok produksi IL-2 oleh limfosit T-helper. Paling efektif diberikan pada dosis 2-4 mg/kg perhari secara iv. Efek samping yang timbul dapat berupa hipertensi, gingival hyperplasia, hyperthricosis, paresthesias, tremors, sakit kepala dan abnormalitas elektrolit. Harus dilakukan monitoring fungsi renal. Peningkatan creatinine mengindikasikan dosis harus diturunkan atau pemberian dihentikan.

TACROLIMUS. Tacrolimus adalah antibiotik macrolide dengan properti immunomodulator yang mirip dengan CSA. 100 kali lebih potent dibanding CSA dan tidak tergantung pada integritas mukosa atau empedu dalam penyerapannya, sehingga memungkinkan tacrolimus dapat diberikan secara oral. Terbukti efektif pada steroid-dependent or refractory Crohns disease.

ANTI-TNF ANTIBODY. TNF merupakan kunci sitokin inflamasi dan mediator dari inflamasi intestinal. Pada inflammatory bowel disease terjadi peningkatan TNF. Infliximab memblok TNF pada serum dan pada permukaan sel. Selain itu, infliximab juga melisis makrofag dan sel T penghasil TNF melalui fiksasi komplemen dan antibody-dependent cytotoxicity.

Adalimumab merupakan recombinant human monoclonal IgG1 antibody. Adalimumab mengikat TNF-( dan menetralisir fungsi TNF dengan memblok interaksi antara TNF dengan reseptor permukaan sel. Adlimumab telah disetujui untuk pengobatan Crohns disease dan terbukti efektif pada pasien yang alergi pada infliximab.

4.1.3. TINDAKAN PEMBEDAHAN

Kebanyakan pasien dengan Crohns disease membutuhkan paling tidak satu kali operasi dalam masa hidupnya untuk menghilangkan bagian usus yang rusak. Dalam beberapa kasus, seluruh usus besar akan diambil dengan atau tanpa rectum. Operasi hanyalah merupakan pilihan ketika terapi dengan obat-obatan, perubahan diet dan gaya hidup telah gagal atau muncul komplikasi.

Indikasi Operasi pada Crohns Disease :

Usus halus

Striktur dan obstruksi yang tidak respon dengan terapi obat-obatan

Perdarahan masif

Refractory fistula

Abscess

Colon dan Rectum

Intractable disease

Fulminant disease

Perianal disease yang tidak respon dengan terapi obat-obatan

Refractory fistula

Colonic obstruction

Cancer prophylaxis

Colon dysplasia or cancer

4.2. KOMPLIKASI

Crohns disease merupakan proses transmural, adanya perlekatan serosa dapat menyebabkan terbentuknya fistula (jalur abnormal antara organ ke jaringan). Fistula dapat terbentuk di vesica urinaria, kulit dan vagina. Perforasi terjadi pada 1-2% pasien, biasanya terjadi di illeum namun dapat terjadi di jejunum sebagai komplikasi dari toxic megacolon. Peritonitis atau perforasi bebas yang terutama terjadi pada colon dapat bersifat fatal. Absces intraabdomen dan absces pelvis terjadi pada 10-30% pasien Crohns disease yang muncul bersamaan dengan waktu sakitnya. Komplikasi lain meliputi obstruksi intestinal pada 40% pasien, perdarahan masif (anemia), malabsorpsi dan penyakit perianal berat, kekurangan nutrisi penting (B12 dan Besi). Pasien dengan Crohns Disease juga mempunyai resiko tinggi untuk mengalami Carcinoma Colon dan Usus halus.

Crohns disease merupakan penyakit autoimun, sehingga bagian tubuh selain organ pecernaan juga dapat terkena, termasuk sendi, mata, mulut dan kulit. Pada anak-anak, Crohns Disease dapat menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan sexual.

4.3. PROGNOSIS

Saat ini, masih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan Crohns disease, namun terapi yang diberikan dapat memperbaiki symptom yang ada. Kualitas hidup pasien dengan Inflammatory Bowel Disease tergantung pada assessment, evaluasi dan terapi yang diberikan.

DAFTAR PUSTAKA

Braun, Carie A, Anderson, Cindy M, 2011, Pathophysiology : A Clinical Approach, edisi 2, United Kingdom : Lippincot William and Wilkins

Crohns Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm [ONLINE]

Feldman, Mark et. al., 2010, Sleisenger & Fordtrans Gastrointestinal and Liver Disease : Pathophysiology / Diagnosis / Management, edisi 9, Philadelphia : Saunders

Friedman, Sonia, Blumberg, Richard S., 2013, Inflammatory Bowel Disease in Harrisons Gastroenterology and Hepatology, edisi 2, United States : McGraw-Hill

Friedman,Sonia; Blumberg,S,Ricard. 2008. Inflammatory Bowel Disease in Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi 17. Mc-Graw Hills Company. United States of America.

Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus. Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp 1318 28.

Longstreth, F, George. 2013. Crohns Disease. Department of Gastroenterology, Kaiser Permanente Medical Care Program. San Diego. California. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000249.htm

Puylaert, Julien, 2007, Acute Abdomen-Role of Ultrasound in Radiology Assisstant, Netherland : Department of Radiology MCH Westeinde Hospital, [http://www.radiologyassistant.nl/en/p4613dde72e42c/acute-abdomen-role-of-ultrasound.html#i4613e1b9922d7]

Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia. 2002. pp 888 95.

Seibert, Andrew. 2012. Crohns Disease. WebMD Medical Reference. http://www.webmed.com/ibd-crohns-disease/crohns-disease/digestive-diseases-crohns-disease

Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CD-ROM. Lippincott-Raven. Philadelphia-Pennsylvania. 1994. [ONLINE]

Yamada, Tadataka, 2009, Textbook of Gastroenterology, edisi 5, United Kingdom : Willey-Blackwell

Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2004. http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm [ONLINE]