referat dr.aditomo ca colorectal (henny)
TRANSCRIPT
LEMBAR PENGESAHAN
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT
Tumor Kolorectal
Oleh:
Henny Wijaya
030.08.119
Telah dipresentasikan tanggal : 18 September 2012
Tempat : RS Otorita Batam
Disetujui Oleh:
Dosen Pembimbing/Penguji
dr. Aditomo, Sp.B KBD
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas
Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat “kanker kolorectal”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Aditomo, Sp.B KBD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada
dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan
dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga
ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah. Penulis sangat berharap
bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi dan gagal jantung. Dan
diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan
kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang
membangun.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat
memberikan tambahan informasi bagi kita semua.
Batam, September 2012
Penulis,
Henny Wijaya
2
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di
dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan
pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.3
Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat
pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua
kasus kanker.4 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia
terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.5
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan,
yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara
maju dan berkembang.6 Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding
antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari
kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid.3 Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada
kolon rektosigmoid.3
Prof. K.L. Goh dari departement of medicine University of Malaysia mengatakan bahwa
masyarakat di Asia telah mengikuti pola penyakit gastrointestinal yang muncul pada masyarakat
di negara Barat beberapa dekade yang lalu, hal ini dikarenakan adanya perubahan pada kondisi
sosial ekonomi. Perubahan sosial ekonomi tersebut membawa dua dampak yaitu perubahan gaya
hidup dari masyarakat serta peningkatan usia harapan hidup akibat kemajuan pembangunan.9
Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet,
merokok, gaya hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada
beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada
tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia.10
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi, Histologi dan Tinjauan pustaka
Gambar 2. Kolon hingga sigmoid
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m
( 5 ft ) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih
besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm ( 2.5 inci ), tetapi semakin dekat anus diameternya
menjadi mengecil.Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum, terdapat
katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar 2 –
3inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum kedalam
sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon di bagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid. Tempat
kolon membentuk kelokan tajam disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon
sigmoid dimulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk huruf – S. Lekukan
bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini
merupakan alasan anatomis mengapa memposisikan pasien ke sisi kiri saat memberikan enema.
Pada posisi ini, gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura
sigmoid.Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari
4
kolon sigmoid hingga anus ( muara ke bagian luar tubuh ). Satu inci terakhir dari rektum disebut
kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan
kanalis ani adalah sekitar 15 cm ( 5.9 inci ). Secara ringkas, usus besar terdiri dari :
1.kolin asendens ( kanan ), berjalan kedinding depan perut pada sisi kanan bawah hati.
2.kolon transversum, usus besar berjalan sepanjang dinding depan rongga perut menuju sudut k
iri atas rongga perut
3.kolon desendens ( kiri ), tertutup oleh kelok – kelok usus halus, lalu menuju ke bawah dan
posterior sepanjang dinding lateral kiri rongga perut.
4.kolon sigmoid ( berhubungan dengan rektum ), terletak di fossa iliaka kiri danmemasuki
panggul kecil dalam jerat berbentuk huruf –S
5.rektum, mulai di depan vertebrae sakralis ke 2 – 3 dan berakhir pada anus.
Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan
pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus
besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi berkumpul dalam tiga pita
yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rektum
mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada
usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong – kantong kecil yang disebut
haustra. Apendises epiploika adalah kantong – kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan
melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan
mukosa usus besar dan jauhlebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak
mengandung sili atau rugae. Kripta lieberkuhn ( kelenjar intestinal ) terletak lebih dalam dan
mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Berikut ciri – ciri usus
besar secara ringkas :
1. Otot – otot longitudinal eksternal tertekan menjadi 3 pita longitudinal selebar 1 cm,yakni
taenia libera yang terletak di anterior, taenia omentalis, terletak di posterior dan medial kolon
transversum di bawah asal omentum majus.
2. Mempunyai kantung ( haustra ) dan lipatan yang menonjol ke dalam lumen
3. Mempunyai lipatan semilunar
4. Terdapat tambahan lemak kecil yang terproyeksi dari sub serosa kolon yaitu apendices
epiploika.
5
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra
sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah
ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens
ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal
abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra.11 Arterialisasi colon
ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica
superior (gambar 2.1).11
Gambar 2.1. Arteri Mesenterica Superior
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai
flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di
sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi
daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang
mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian
caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica
media.11,12 Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari
arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal (gambar 2.1), sedangkan 1/3 distal dari colon
6
transversum mendapat arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica
inferior (gambar 2.2).12
Gambar 2.2. Arteri Mesenterica Inferior
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai
fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya
dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan
erat hubungannya dengan ren sinistra.Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica
sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior
(gambar 2.2).11,12
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal, dan
terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel
pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya
didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui
aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya
ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada
aditus pelvis di sebelah depan os sacrum.
7
Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidales media dan inferior
yang dicabangkan dari arteri iliaka interna danaorta abdominalis. Aliran balik vena dari kolon
dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan
vena hemoroidales superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena
hemoroidaled media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian
sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidales superior, media dan inferior
sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam
vena dan mengakibatkan terjadinya hemoroid.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter
eksterna yang berada dalam pengendalian volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf
vegus ke bagian tengah kolon tranversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral
menyuplai bagian distal. Serabut saraf simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf
splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian
serabut paska ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan
kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang
berlawanan.
Usus besar dilayani oleh banyak jalinan pembuluh limfe serta saluran limfe mengikuti
arteria regional ke nodi limfatici pre aorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior.
Kemudian limfe di drainase ke dalam sisterna cili (bagian system duktus torasikus) yang
kemudian bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subclavia dan jugularis sinistra.
Karena hubungan ini maka karsinoma metastatik dari traktus gastrointestinalis bisa ada di dalam
kelenjar limfe leher (kelenjar limfe Virchow).
Ke arah proksimal rectum sinambung dengan colon sigmoideum dan ke arah distal
dengan canalis analis. Rectum berawal ventral dari vertebra sacrum ke tiga, mengikuti lengkung
os sacrum dan os coccygis, dan berakhir di sebelah ventrokaudal ujung oscoccygis dengan
beralih menjadi canalis analis. Bagian akhir rectum yang melebar ialah ampulla recti yang
menopang dan menyimpan massa tinja. Rectum berbentuk S dan memiliki tiga lengkungan yang
tajam. Perdarahan arterial melalui arteria rectalis superior, lanjutan dari arteria mesenterica
inferior, memasok darah pada bagian proksimal rectum. Kedua arteria rectalis media mengantar
darah ke rectum bagian tengah dan bagian distal, dan arteria rectalis inferior mengatur
perdarahan bagian distal rectum. Darah disalurkan kembali melalui vena rectalis superior, vena
8
rectalis media dan vena rectalis inferior. Karena vena rectalis superior bermuara ke dalam sistem
vena portal,dan vena rectalis media dan vena rectalis inferior menyalurkan isinya ke dalam vena
sistemik, hubungan ini merupakan anastomosis porto-kaval yang penting. Plexus venosus rectalis
di sebelah dalam epitel rectum, dan plexus venosus rectalis externus yang terdapat di sebelah
luar dinding otot rectum. Pembuluh limfe dari bagian proximal rectum melintas ke kranial,
mengikuti pembuluh rectalis superior ke nodi lymphoidei pararectales(anorectales), lalu limfe
disalurkan ke kelenjar-kelenjar limfe dalam bagian kaudal mesokolon sigmoideum dan
selanjutnya ke nodi lymphoidei mesenterici inferiores dan nodi lymphoidei lumbales. Pembuluh
limfe dari bagian distal rectum melintas ke kranial bersama arteria rectalis media dan ditampung
oleh nodi lymphoidei iliaca interni. Persarafan rectum berasal dari sistem simpatis dan sistem
parasimpatis Persarafansimpatis berasal dari truncus simphaticus bagian lumbal dan plexus
hypogastricus superior (nervus presacralis) melalui plexus-plexus sekitar cabang arteria
mesenterica inferior. Persarafan parasimpatis berasal dari nervi splancnici pelvici (nervi
erigentes). Serabut saraf ini melintas ke plexus hypogastricus inferior dexter dan plexus
hypogastricus inferior sinistra untuk mempersarafi rectum.
Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi
usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorbsi air dan elektrolit, yang Tugas
penting utama kolon adalah penyerapan kembali air dan elektrolit yang telahmemasuki usus
bersama getah pencernaan. Mukosa usus besar terdiri dari kriptus dan tidakterdapat vilus. Epitel
kriptus terdiri dari hampir seluruhnya ( paling banyak pada permukaannya ) atas sel – sel goblet
yang menghasilkan mukus pelumas. Epitel – epitel lain mempunyai batas silia dari mikrovilus
yang merupakan gambaran faal penyerapan air yang besar.Kolon mengabsorbsi sekitar 800 ml
air per hari, bandingkan dengan usus halusyang mengabsorbsi sekitar 8000 ml. Namun, kapasitas
absorbsi usus besar adalah sekitar 1500 – 200 ml /hari. Bila jumlah ini dilampaui ( misalnya
akibat hantaran cairan berlebihan dari ileum ) akan mengakibatkan diare. Berat akhir feses yang
dikeluarkan per hari sekitar 200 gram, dan 80 – 90 % diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari
residu makanan yang tidak terabsorbsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak
terabsorbsi.
Sejumlah kecil pencernaan dalam usus besar terutama disebabkan oleh bakteri dan bukan
oleh kerja enzim. Usus besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus ini
bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan
9
beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa protein menjadi asam amino dan zat yang
lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol, fenol dan asam lemak. Bila asam lemak dan HCl
dinetralisasi oleh bikarbonat, akan dihasilkan karbondioksida (CO2 ). Pembentukan berbagai gas
seperti NH3, CO2, H2, H2S, dan CH4 membantu pembentukan gas ( flatus ) dalam kolon.
Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam feses, sedangkan zat lain diabsorbsi dan diangkut ke
hati untuk diubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan dieksresikan melalui urin.
Fermentasi bakteri pada sisa karbohidrat juga melepaskan CO2, H2, dan CH4 yang juga
berperan dalam pembentukan flatus dalam kolon. Dalam sehari secara normal dihasilkan sekitar
1000 ml flatus, kelebihan gas dapat terjadi pada aerofagia ( menelan udara secara berlebihan )
dan dari peningkatan gas dalam lumen usus ( yang biasanya berkaitan dengan jenis makanan
yang dimakan ). Makanan yang mudah membentuk gas seperti kacang – kacangan mengandung
banyak karbohidrat yang tidak dapat dicerna.
2.2 Epidemiologi
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan
mortalitas.1,13 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat
mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan
pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;
sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel.2,14
Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang
berusia lanjut, yang meningkat seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal
seiring dengan kepadatan penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah
dibandingkan dengan pria lainnya.
Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya
3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang
dilaksanakan oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo
menunjukkan kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit.
Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di
Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal
merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.14
10
Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia
Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal,
meskipun belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8
per 100 ribu penduduk.5 Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang
berobat ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247
penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita
berusia antara 20-71
2.3 Faktor Resiko
2.3.1 Polip
Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker
kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana
proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia
menuju transformasi maligna dan invasif kanker (gambar 2.3). Aktifasi onkogen, inaktifasi
11
tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi
adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.2
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-
onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-
onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat
pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini
dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada
pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi
DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi
kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor
membuka peluang terbentuknya kanker.
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui
siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan
gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah
satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan
penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat
terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan
lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses
apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus
proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus
sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga
tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada
manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan,
tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.
Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non
neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip
hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan
inflamatory polip.
12
Gambar 2.4 Adenoma Carcinoma Sequences
Neoplastik polip atau adenomatous polip (gambar 2.4) berpotensial berdegenerasi
maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous
adenoma dan villous adenoma (gambar 2.5).Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,
dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma
dibawah 5%.2
Gambar 2.5 Adenomatous Polip
Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari
adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma
13
pada saat terdiagnosa.Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,
tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan
secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan
meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika
polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari
penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan
risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun.
Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga
koma lima tahun untuk displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.2
Gambar 2.6 Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous
adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari
sebuah villous adenoma.
14
2.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease
2.3.2.1 Ulseratif Kolitis
Ulseratif kolitis (gambar 2.6) merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon
sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan
kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan
keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8%
pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang
dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan
kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis
yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi
displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif
menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua
pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling
penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya
invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan
sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.2
Gambar 2.7 Ulseratif Colitis
15
2.3.2.2 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s (gambar 2.7) mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.2
Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan
striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi
fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari
dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan
crohn’s disease.
Gambar 2.8 Penyakit Crohn’s
2.3.3 Faktor Genetik
2.3.3.1 Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker
kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker
kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila
dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada
keluarganya.2
16
2.3.3.2 Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa
kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar
berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari
sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada
adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh
kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma
yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini
menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai
predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial
adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).2
2.3.3.2.1 FAP
Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom
5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan
pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah
berlangsung cukup lama (gambar 2.9), didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat
dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,
direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi
pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu
banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat
mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia
muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan
mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom
FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan
medulloblastomas otak.20 Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.2
17
Gambar 2.9 Familial Adenomatous Poliposis
2.3.3.2.2 HNPCC
Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi
multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (±45 tahun),
dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan.2 Abnormalitas genetik ini terdapat pada
mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating
sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari
squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh
frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan
seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.2 Pasien dengan HNPCC mungkin juga
memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk
kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris.2 Jika
dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly
differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul
lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran
infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC,
pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3
tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan
18
waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi dari kanker
kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar 1-6 % (tabel 2.1).
Spesifik mutasi gen pada kromosom 2 dan 3, dikenal sebagai hMSH2, hMLH1, hPMS1
dan hPMS2, telah dihubungkan dengan HNPCC.2 Sembilan puluh persen dari seluruh mutasi gen
yang teridentifikasi adalah MLH1 dan MSH2. Pasien dengan RER+ phenotype kemungkinan
tidak mempunyai germ line abnormal dan mungkin mempunyai abnormal metilasi dari DNA
yang didapat sebagai sumber dari ketidakhadiran ekspresi dari gen tersebut. Metilasi abnormal
lebih sering pada orang yang lebih tua. Tes germ line untuk menentukan apakah RER+
phenotype merupakan keturunan atau didapat sangat penting sebagai bagian dari genetik
konseling. Imunohistochemical stains dapat digunakan untuk menentukan apakah tumor
bermanifestasi pada microsatellite instability dan kemudian pasien yang tidak mempunyai
ekspresi gen harus menjalani germ line testing untuk adanya konseling yang tepat pada anggota
keluarga.2
Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal
pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5
tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang
berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita
kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita
kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada
pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan
HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil
daripada pasien tanpa kelainan ini.2
2.3.4 Diet
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun
terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker
kolorektal.2,13 Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko
kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi
antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah
menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti
19
dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor
sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat
meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan
dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari
pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal
epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak
dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti
teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil
dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan
aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki
permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme
tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal
epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker
kolorektal.10
2.3.5 Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk
memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari
20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran
besar.2 Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan
dengan pemakaian rokok.2 Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan
meningkatnya risiko kanker kolorektal.10
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan
asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan
energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik
menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko
kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan
antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas
fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.10
20
2.3.6 Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61%
dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per
tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila
dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker
yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker
paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang
terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker
kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per
100.000).6
Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada
sebagian besar populasi.23 Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,
terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih,1 dan hanya 3% dari kanker kolorektal
muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.2 Lima puluh lima persen kanker terdapat pada
usia ≥ 65 tahun,23 angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun,
dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.2
2.4 Manifestasi Klinik
2.4.1 Patologi
Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan prognosis
dari kanker.7 Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang
berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke
area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.8
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di
Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
21
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering
ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,
signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah
bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering
dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan
small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh
pada saat terdiagnosa.7
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah
musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). 13,8 Jika dari hasil penelitian
di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat
differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto
et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker
kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik.14 Perbedaan pola demografik dan
klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi
epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.7 Berbagai varian gambaran
histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization diperlihatkan
pada tabel 2.3.23
22
Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi Kanker Kolorectal
Mucinous Adenocarcinoma Signet ring adenocarcinoma Adenosquamous carcinoma Squamous carcinoma Small cell carcinoma Chorio carcinoma Medullary carcinoma
2.4.2 Lokasi Kanker
Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada
kolon kanan (gambar 2.10).2 Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon
sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens
(7,8%), dan multifokal (0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa
sekitar 60% dari kanker kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu
sekitar 80% dari kanker kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya
terdapat pada rektum.14
Pada penelitian selama 14 tahun (1982-1995) di Australia yang melibatkan 9673 kasus
kanker kolorektal, didapatkan suatu pola hubungan antara lokasi kanker dengan jenis kelamin,
yaitu kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria
dibandingkan wanita (4:1).26 Pola seperti ini juga didapatkan di Indonesia, data yang
dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker yang terdapat pada rektum
frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan sebesar
2:1.14
23
Gambar 2.10 Letak Kanker Kolorektal.
2.4.3 Gejala
Gejala dan tanda dini karsinoma kolon rektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul
karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.
Pasien karsinoma kolorektal umumnya memberikan keluhan gangguan proses defekasi.
Keluhan yang diajukan bermacam-macam berlainan pada pasien yang satu dengan yang lain
bergantung pada lokasinya. Dari 291 penderita karsinoma kolorektal yang diteliti keluhan utama
pada waktu datang berobat ialah: 58,8% perdarahan segar per anal, 31,6% buang air besar darah
berlendir, dan 9,6 % obstruksi saluran makan.
Karsinoma kolon jarang ditemukan dalam skrining dan biasanya asimtomatik. Sekitar
50% pasien mengeluh nyeri perut, 35% dengan perubahan pola defekasi, 30% perdarahan samar
dan 15% gejala obstruksi usus. Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan kolon
yang kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik, sehingga lebih banyak menimbulkan
stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan
jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi.
Karsinoma kolon kiri dan rectum menyebabkan perubahan pola defekasi, seperti
konstipasi atau edefkasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses semakin menipis
atau sepertti kotoran kambing arau lebih cair disertai darah dan lender. Nyeri pada kolon kiri
lebih nyata dari pada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit berbeda karena asal
24
embriologenik yang berlainan, yaitu dari mid gut dan hind gut. Nyeri dari kolon kiri bermula
dibawah umbilikus sedangkan dari kolon kanan di epigastrium. Gejala umum yang dikeluhkan
pasien adalah:
1. Perdarahan segar peranal (hematokezia)
Sebagian besar pasien karsinoma kolorektal yang terletak di di bagian distal sering
mempunyai keluhan buang besar berdarah segar. Sumber perdarahan segar yang terbanyak dari
kanker terletak di bagian distal kolon dari kanker, terutama di rektum 89 dari 137 penderita
(64,9%), menyusul dari sigmoid 62,7%, rektosigmoid 60,3% dan dari kolon descendens 28,6%.
Dari mereka yang mengalami perdarahan segar, ditemukan 7 pasien mengalami perdarahan
masif, yaitu yang lokasinya di rektum 4, rektosigmoid 1, dan sigmoid 2. Ketujuh penderita
dengan perdarahan masif mengalami renjatan hipovolemik, dan dilakukan pembedahan segera.
2. Buang air besar lendir darah
Seseorang yang mempunyai keluhan buang air besar darah lendir, perlu dipikirkan
adanya infeksi misal disentri basiler atau amoeba, kolitis ulseratif, selain disebabkan oleh
keganasan. Dari 291 pasien yang diteliti ditemukan 92 pasien (31,6%) mempunyai keluhan
buang air besar darah lendir. Dari hasil penelitian bahwa letak karsinoma kolorektal dibagian
proksimal lebih sering menimbulkan buang air besar darah lendir. Hal ini disebabkan karena
darah yang dikeluarkan oleh kanker tersebut sudah bercampur dengan tinja.
3. Obstruksi Saluran Cerna
Gejala klinis pasien karsinoma kolorektal sering menimbulkan gangguan kebiasaan
buang air besar, diantaranya dapat menimbulkan tanda obstruksi, baik sebagian (parsial) maupn
obstruksi total sehingga timbul tanda-tanda ileus, buang air besar darah lendir atau obstipasi
beberapa hari. Dari penelitian ditemukan 28 pasien (9,6%) dengan tanda-tanda obstruksi, yaitu
perut kembung yang makin kembung dan makin lama makin tegang, tidak dapat buang air besar
dan tidak dapat flatus. Hal ini juga dikuatkan dengan hasil rontgen polos abdomen terlentang dan
berdiri yang menunjukkan pelebaran usus halus dan kolon. Sebagai penyebab obstruksi
ditemukan kanker yang terletak di rektum 16 (11,7%) , rektosigmoid 4 (6,3%), sigmoid 7
(10,4%) dan kolon ascendens 1 (14,2%). Yang menimbulkan tanda-tanda obstruksi umumnya
kanker berbentuk sirkular dan anular yang menyebabkan terjadi penyempitan lumen usus.
Bentuk striktura merupakan tumor yang sering menonjol dan mengisi seluruh lumen usus
sehingga menyebabkan sumbatan total.
25
4. Pasien karsinoma kolorektal mempunyai keluhan lain seperti pasien kanker umumnya,
yaitu anoreksia, berat badan menurun, rasa nyeri perut ditempat kanker, buang air besar tidak
teratur, walaupun sudah buang air besar yang berupa tinja dengan darah lendir tetapi masih
meraskan banyak kotoran didalam perut yang sukar keluar seperti ada sumbatan. Selain itu juga
timbul tenesmus.
Manifestasi dari karsinoma kolon dapat dibagi menjadi :
2.4.3.1 Manifestasi Subakut
Tumor-tumor pada kolon ascendens tidak menimbulkan perubahan kebiasaan defekasi
(walaupun besar, tumor yang sekresi mukus menyebabkan diare). Pasien mungkin mengeluh
feses berwarna hitam dan seperti ter, tetapi tumor tersebut sering mengakibatkan occult bleeding,
yang sering tidak terdeteksi oleh pasien. Perdarahan kronis dapat menyebabkan anemia
defesiensi besi, yang menimbulkan gejala fatigue, dizzines, atau palpitasi. Perdarahan kerena
karsinoma colon sering intermitten, hasil negatif occult bleeding tes pada feses tidak
menyingkirkan kecurigaan kanker pada usus besar.
Nyeri perut bagian bawah lebih sering berhubungan dengan tumor-tumor yang terletak di
colon descendens. Nyeri perut berupa kram dan mereda dengan pergerakan usus. Karsinoma
kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau
defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis atau seperti kotoran
kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmus merupakan gejala yang biasa
didapat pada karsinoma kolon. Perdarahan akut jarang dialami, demikian juga nyeri di daerah
panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita flatus terasa lega di perut.
Gejala umum karsinoma kolon non akut lainnya adalah termasuk kehilangan berat badan
dan demam. Sekitar 50% pasien mengeluh penurunan berat badan, namun hal tersebut bukan
manifestasi khas pada karsinoma kolon. Demam gejala yang jarang dikeluhkan. Septikemia
jarang terjadi tetapi bisa terjadi pada setiap derajat tumor colon. Pada orang dewasa apabila
ditemukan obstruksi atau obstruksi partial yang disebabkan intusepsi, dilakukan colonoskopi
atau air-kontras barium enema untuk menyingkirkan ca colon.
26
2.4.3.2 Manifestasi Akut
Gejala yang signifikan pada gejala akut adalah obstruksi atau perforasi pada usus besar.
Obstruksi kolon dapat memberikan kesan kanker, terutama pada orang tua. Pasien dengan
obstruksi komplit mengeluh tidak bisa flatus dan BAB, kram dan distensi perut. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan perut distended, tympani pada perkusi, biasanya pada tumor
ditemukan masa abdominal pada palpasi.
Jika obstruksi tidak berkurang dan kolon terus distensi, tekanan pada dinding intestinal
dapat melebihi tekanan kapiler, dan darah yang membawa O2 tidak mencapai dinding usus, yang
akan mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Pada situasi ini pasien akan mengeluhkan nyeri perut
hebat dan pada pemeriksaan fisik ditemukan rebound tenderness dan menurunnya atau
menghilangnya suara usus. Jika tidak di terapi segera, nekrosis akan berkembang menjadi
peritonitis dengan fecal peritonitis dan sepsis.
Usus besar dapat terjadi perforasi pada sisi tumor, mungkin disebabkan tumor transmural
kehilangan suplai darah dan menjadi nekrotik. Kasus seperti ini mudah salah pada akut
divertikulitis dan proses inflamasi dapat terbatas pada sisi yang perforasi, akan tetapi pada
beberapa kasus perforasi tidak dapat diketahui, yang mengakibatkan peritonitis generalisata.
2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang yang mendukung diagnosis karsinoma kolon.
2.5.1 Anamnesis
Dari anamnesis kita dapat menduga seseorang menderita karsinoma kolorektal, pada mereka
yang usia lanjut yang mempunyai keluhan fungsi buang air besar terganggu yaitu bila buang air
besar disertai darah lendir, atau buang air besar disertai darah segar.
Dapat juga untuk menggali riwayat :
· Perubahan kebiasaan defekasi seperti diarea, konstipasi
· Perdarahan rectal atau occult bleeding(meskipun demikian, feses sering normal)
· Kram atau nyeri perut
· Kelelahan dan fatigue
· Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
· Riwayat menderita polip kolorektal
27
· Riwayat menderita Chronic Inflammatory Bowel Desease
· Diet kurang serat
Kolon Kanan Kolon kiri Rectum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena Penyusupan Karena Obstruksi Tenesmi
Defekasi Diare atau diare
berkala
Konstipasi progresif Tenesmi terus
menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada feses Samar Samar atau
makroskopik
Makroskopik
Feses Normal atau diare Normal Perubahan bentuk
Dispepsi Sering Jarang Jarang
Memburuknya
keadaan umum
Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Karsinoma kolon disebelah kanan, kadang-kadang teraba suatu massa. Tumor sigmoid
sedikit dapat diraba diperut kiri bawah. Bila tumor sudah metastase ke hati, akan teraba hati yang
nodular dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Dapat ditemukan massa di abdomen, apabila
ada gejala-gejala obstruksi dari inspeksi dapat ditemukan dinding abdomen distensi, dumb
countur, dumb steifung. Dari palpasi ditemukan massa abdomen, dan hipertympani pada perkusi
abdomen, auskultasi usus bisa ditemukan peningkatan peristaltik yang kemudian diikuti dengan
burburigmi, metalik sound dan penurunan serta menghilangnya peristaltik Bisa juga ditemukan
nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen apabila terjadi perforasi usus.
28
Pemeriksaan Digital Rectal Examination (DRE) bisa ditemukan massa maligna (massa
berbenjol-benjol dengan striktura) direktum dan rektosigmoid teraba keras kenyal dan lendir
darah pada sarung tangan.
Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal
Kolon Kanan :
- Anemia dan kelemahan
- Darah okul di feses
- Dispepsia
- Perasaan kurang enak di perut kanan bawah
- Massa di perut kanan bawah
- Foto rontgen perut khas
- Penemuan kolonoskopi
Kolon Kiri :
- Perubahan pola defekasi
- Darah di feses
- Gejala dan tanda obstruksi
- Foto rontgen khas
- Penemuan kolonoskopi
Rektum :
- Perdarahan rektum
- Darah di feses
- Perubahan pola defekasi
- Pasca defekasi perasaan tidak puas atau rasa penuh
- Penemuan tumor pada colok dubur
- Penemuan tumor rektosigmoid
29
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang
2.5.3.1 Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat
sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan
sangat berguna.2
2.5.3.2 Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam
peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker
kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif
dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai
CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA
berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase
ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.
Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah
pembedahan.2
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering
diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna
sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA.
Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel
tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.2
2.5.3.3 Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru
oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna
dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di
dalam diet. Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk
menghindari hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari
occult blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg
hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu
dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber
30
perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara
intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses
pengolahan, manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood
dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini
sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.16
2.5.3.4 Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina
iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat
teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas
sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang
mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau
oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker
kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.11
2.5.3.5 Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema
(gambar 2.12), yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1
cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang
hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai
riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium
enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah
kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan
komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal
fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting
untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.11
2.5.3.6 Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.2
31
1. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.11
2. Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat
mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi
dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi
terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada
ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang
berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip
adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk
dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal
kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.11
32
3. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan
rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran
kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada
barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.
Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,
komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi
merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory
bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon
non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi
terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari
kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi
diagnostik.11
2.5.3.7 Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini
bukan merupakan screening tes.11
CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT
scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ
lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai
CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT
scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam
menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi
invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran
kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.11 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen
dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.2
33
MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada
klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang
lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke
hepar.
Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS (gambar 2.13) secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT
dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya
dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang
telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar
limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.2
Gambar 2.14 Endoscopy Ultrasound
34
2.6 Stadium dan Prognosis
2.6.1 Stadium
Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan
setelah pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor
primer kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan
tingkat prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa
regional dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade
terakhir, tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh dukes pada tahun 1982 terus dipakai
secara luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting
untuk informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel
tumor. Bagaimanapun juga kemudahan yang ditawarkan oleh sistem klasifikasi ini dan korelasi
konsisten dengan prognosis, menjamin bahwa sistem ini akan terus digunakan selama beberapa
waktu. 5-years survival rate mencerminkan prognosa dari staging penyakit. Pada dukes stage A
>90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada dukes stage B terjadi penurunan prognosis menjadi
60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (dukes stage C) maka prognosanya
adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (dukes stage D) maka prognosanya hanya <5%.
Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan dukes system yang telah
dimodifikasi oleh Astler Coller (tabel 2.4).2
Klasifikasi
Derajat keganasan karsinoma kolon berdasarkan gambaran histolik dibagi menurut
klasifikasi Dukes, berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus, yaitu :
Dukes A : dalamnya infiltrasi; terbatas pada dinding usus atau mukosa.
Dukes B : dalam infiltrasi; menembus lapisan muskularis mukosa.
Dukes C : dalamnya infiltrasi metastasi kelenjar limfe dengan :
C1 : beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer.
C2 : dalam kelenjar limfe jauh.
Dukes D : sudah metastasis jauh
35
Berdasarkan TNM
TNM Stadium Modified Dukes Stadium Deskripsi
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada
submucosa
T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada
muscularis propria
T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural
T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar
mesenteric
T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar
mesenteric
T4 C2 Penyebaran ke organ yang
berdekatan
T apapun, M1 D Metastasis jauh
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System
Berdasarkan besar diferensiasi sel, terdapat klasifikasi yang terdiri dari 4 tingkat, yaitu :
Grade I : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25%
Grade II : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25-50%
Grade III : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 50-75%
Grade IV : Sel-sel anaplastik lebih dari 75%
36
Tabel 2.4. MAC : Modified Astler Coller
2.6.2 Prognosis
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan
pada tabel 2.4. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping
stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year
survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).2
Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien
dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan
dengan tumor yang berada di kolon.
Tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa
yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon
rektosigmoid.Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk
bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan
allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan
allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic
pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada
kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada
kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk
adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan
efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.2
37
2.7 Screening dan Pencegahan
2.7.1 Screening
National Cancer Institute (NCI), American College of Surgeons, American College of
Physicians, dan American Cancer Society merekomendasikan pada pasien asymptomatic yang
berumur 50 tahun atau lebih untuk dilakukan pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 sampai 5
tahun. Screening dengan menggunakan kolonoskopi juga direkomendasikan untuk seseorang
dengan risiko sedang setiap 10 tahun. Screening kolonoskopi pada seseorang yang mempunyai
risiko tinggi dengan riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal tetapi tidak ada bukti
yang jelas dari FAP atau HNPCC harus mulai screening pada saat umur 40 tahun.2
38
2.7.2 Pencegahan
2.7.2.1 Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan
menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi
polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang
menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal,
meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid
dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan
kolonoskopi harus dilakukan.2
2.7.2.2 Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai
diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik
daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet
pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari
total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi
makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung
bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.13
2.7.2.3 Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis
150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan
dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap
meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin
mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker
kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat
membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1
tahun.2
2.7.2.4 Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002
orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker
39
kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita
kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah
pemakaian HRT dihentikan.
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas
dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon
sebisanya. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan biasanya ditangani dengan
reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat
ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari
tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure dari
kolostomi.2
2.8.2 Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi
tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan
eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan
stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat
tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya.
Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan
ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut
radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.
Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat
bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.
40
2.8.3 Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis
seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif
digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada
fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan
kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian
secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika
diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole
menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga
32%.11
2.8.4 Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi
tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Sekitar 70% rekurensi dari kanker
terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Deteksi dini
dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow
up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos
thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.2 Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya
akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau
beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer
telah diangkat.2
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
rekurensi.2
41
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3
sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal
di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,
suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi
dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi
dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi
metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.2
42
DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. 2006. Gaya hidup penyebab kolorektol, (Online),
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2,
diakses 26 agustus 2012).
3. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed. EGC: jakarta.
4. WHO. 2006. The Impact of Cancer, (Online), (http://www.who.int /ncd_
surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/ReporterFullView.aspx?id=5, diakses
26 agustus 2012).
5. Depkes. 2006. Deteksi Dini Kanker Usus Besar, (Online),
(http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm, diakses 25 agustus
2012).
6. Hansen J. Common Cancers In The Elderly. Drugs Aging, (online), 1998 Dec; 13(6):467-78,
(www.pubmed.com, diakses 25 agustus 2012).
7. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal
cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American
Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 27 agustus 2012).
8. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer
Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4,
(http://www.apocp.org/cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 26 agustus 2012).
9. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online), 2005
Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 25 agustus 2012).
10. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran, (Online),
2006; 153: 40, (28 agustus 2012).
43
11. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The
McGraw-Hill Companies.
12. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of
Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 28 agustus 2012).
13. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS, Colditz
GA,Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable consumption and incidence
of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst. (online). 2001 Jun 6; 93(11):879,
(www.pubmed.com, diakses 27 agustus 2012).
14. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette smoking
increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. (online). 2001Jul;
10(7):725-31, (www.pubmed.com, diakses 29 agustus 2012).
15. Semmens JB et al. A Population Based Study of the Incidence, Mortality and Outcomees in
Patient Following Surgery for Colorectal Cancer in Western Australia. Aust N Z J Surg, (Online),
2000 Jan; 70(1):11-8, (www.pubmed.com, diakses 30 agustus 2012).
16. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis
of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4,
(www.pubmed.com, diakses 29 agustus 2012).
17. Sung JJY, Lau JYW, Goh KL, Leung WK. Increasing Incidence of Colorectal Cancer in
Asia: Implications for Screening. The Lancet Oncology, (online), 2005 nov; 6(11): 871-876,
(http://www.sciencedirect.com, diakses 4 september 2012).
18. Depkes. 2005. World Population Data Sheet 2005. (online),
(http://www.litbang.depkes.go.id/download/05World DataSheet_Eng.pdf, diakses 25 agustus
2012).
44