referat dr.aditomo ca colorectal (henny)

65
LEMBAR PENGESAHAN HALAMAN PENGESAHAN REFERAT Tumor Kolorectal Oleh: Henny Wijaya 030.08.119 Telah dipresentasikan tanggal : 18 September 2012 Tempat : RS Otorita Batam Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing/Penguji 1

Upload: brandedlovers-onlineshop

Post on 31-Dec-2015

61 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

LEMBAR PENGESAHAN

HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT

Tumor Kolorectal

Oleh:

Henny Wijaya

030.08.119

Telah dipresentasikan tanggal : 18 September 2012

Tempat : RS Otorita Batam

Disetujui Oleh:

Dosen Pembimbing/Penguji

dr. Aditomo, Sp.B KBD

1

Page 2: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas

Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat “kanker kolorectal”.

Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada dr. Aditomo, Sp.B KBD selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini, serta kepada

dokter-dokter pembimbing lain di bagian Penyakit Dalam RS Otorita Batam. Tujuan

dari pembuatan referat ini selain untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembacanya, juga

ditujukan untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah. Penulis sangat berharap

bahwa referat ini dapat menambah wawasan mengenai hipertensi dan gagal jantung. Dan

diharapkan, bagi para pembacanya dapat meningkatkan kewaspadaan mengenai keadaan

kesehatan yang berhubungan dengan kedua hal tersebut.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput dari

kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap adanya masukan, kritik maupun saran yang

membangun.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga tugas ini dapat

memberikan tambahan informasi bagi kita semua.

Batam, September 2012

Penulis,

Henny Wijaya

2

Page 3: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering terjadi di

dunia. Di seluruh dunia 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan

pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1

Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.3

Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat

pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua

kasus kanker.4 Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia

terdapat kenaikan jumlah kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.5

Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden yang ditemukan,

yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara

maju dan berkembang.6 Di Indonesia frekuensi kanker kolorektal yang ditemukan sebanding

antara pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar 75% dari

kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid.3 Letak kanker kolorektal paling sering terdapat pada

kolon rektosigmoid.3

Prof. K.L. Goh dari departement of medicine University of Malaysia mengatakan bahwa

masyarakat di Asia telah mengikuti pola penyakit gastrointestinal yang muncul pada masyarakat

di negara Barat beberapa dekade yang lalu, hal ini dikarenakan adanya perubahan pada kondisi

sosial ekonomi. Perubahan sosial ekonomi tersebut membawa dua dampak yaitu perubahan gaya

hidup dari masyarakat serta peningkatan usia harapan hidup akibat kemajuan pembangunan.9

Perubahan gaya hidup yang diasosiasikan dengan masalah kesehatan adalah diet,

merokok, gaya hidup yang sedentari serta obesitas. Peningkatan usia harapan hidup yang ada

beserta populasi Indonesia yang menduduki peringkat 4 dunia akan menjadikan Indonesia pada

tahun 1990-2025 akan mempunyai jumlah usia lanjut paling tinggi di dunia.10

3

Page 4: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi, Histologi dan Tinjauan pustaka

Gambar 2. Kolon hingga sigmoid

Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m

( 5 ft ) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih

besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm ( 2.5 inci ), tetapi semakin dekat anus diameternya

menjadi mengecil.Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum, terdapat

katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar 2 –

3inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum kedalam

sekum dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.

Kolon di bagi lagi menjadi kolon asenden, transversum, desenden dan sigmoid. Tempat

kolon membentuk kelokan tajam disebut sebagai fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon

sigmoid dimulai setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk huruf – S. Lekukan

bagian bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum, dan hal ini

merupakan alasan anatomis mengapa memposisikan pasien ke sisi kiri saat memberikan enema.

Pada posisi ini, gaya gravitasi membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura

sigmoid.Bagian utama usus besar yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari

4

Page 5: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

kolon sigmoid hingga anus ( muara ke bagian luar tubuh ). Satu inci terakhir dari rektum disebut

kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan

kanalis ani adalah sekitar 15 cm ( 5.9 inci ). Secara ringkas, usus besar terdiri dari :

1.kolin asendens ( kanan ), berjalan kedinding depan perut pada sisi kanan bawah hati.

2.kolon transversum, usus besar berjalan sepanjang dinding depan rongga perut menuju sudut k

iri atas rongga perut

3.kolon desendens ( kiri ), tertutup oleh kelok – kelok usus halus, lalu menuju ke bawah dan

posterior sepanjang dinding lateral kiri rongga perut.

4.kolon sigmoid ( berhubungan dengan rektum ), terletak di fossa iliaka kiri danmemasuki

panggul kecil dalam jerat berbentuk huruf –S

5.rektum, mulai di depan vertebrae sakralis ke 2 – 3 dan berakhir pada anus.

Hampir seluruh usus besar memiliki empat lapisan morfologik seperti yang ditemukan

pada bagian usus lain. Namun demikian, ada beberapa gambaran yang khas terdapat pada usus

besar saja. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi berkumpul dalam tiga pita

yang disebut sebagai taenia koli. Taenia bersatu pada sigmoid distal, sehingga rektum

mempunyai satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek daripada

usus, sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong – kantong kecil yang disebut

haustra. Apendises epiploika adalah kantong – kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan

melekat di sepanjang taenia. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan

mukosa usus besar dan jauhlebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak

mengandung sili atau rugae. Kripta lieberkuhn ( kelenjar intestinal ) terletak lebih dalam dan

mempunyai lebih banyak sel goblet dibandingkan dengan usus halus. Berikut ciri – ciri usus

besar secara ringkas :

1. Otot – otot longitudinal eksternal tertekan menjadi 3 pita longitudinal selebar 1 cm,yakni

taenia libera yang terletak di anterior, taenia omentalis, terletak di posterior dan medial kolon

transversum di bawah asal omentum majus.

2. Mempunyai kantung ( haustra ) dan lipatan yang menonjol ke dalam lumen

3. Mempunyai lipatan semilunar

4. Terdapat tambahan lemak kecil yang terproyeksi dari sub serosa kolon yaitu apendices

epiploika.

5

Page 6: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra

sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah

ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens

ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal

abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra.11 Arterialisasi colon

ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica

superior (gambar 2.1).11

Gambar 2.1. Arteri Mesenterica Superior

Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai

flexura coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di

sebelah dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi

daripada yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang

mobile. Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian

caudal) yang terletak di sebelah ventralnya. Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica

media.11,12 Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari

arteri mesenterica superior pada 2/3 proksimal (gambar 2.1), sedangkan 1/3 distal dari colon

6

Page 7: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

transversum mendapat arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica

inferior (gambar 2.2).12

Gambar 2.2. Arteri Mesenterica Inferior

Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai

fossa iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum. Terletak retroperitoneal karena hanya

dinding ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan

erat hubungannya dengan ren sinistra.Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica

sinistra dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior

(gambar 2.2).11,12

Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperi toneal, dan

terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel

pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya

didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui

aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya

ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada

aditus pelvis di sebelah depan os sacrum.

7

Page 8: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Suplai darah tambahan ke rektum berasal dari arteri hemoroidales media dan inferior

yang dicabangkan dari arteri iliaka interna danaorta abdominalis. Aliran balik vena dari kolon

dan rektum superior adalah melalui vena mesenterika superior, vena mesenterika inferior, dan

vena hemoroidales superior (bagian sistem portal yang mengalirkan darah ke hati). Vena

hemoroidaled media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka sehingga merupakan bagian

sirkulasi sistemik. Terdapat anastomosis antara vena hemoroidales superior, media dan inferior

sehingga tekanan portal yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya aliran balik ke dalam

vena dan mengakibatkan terjadinya hemoroid.

Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter

eksterna yang berada dalam pengendalian volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf

vegus ke bagian tengah kolon tranversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral

menyuplai bagian distal. Serabut saraf simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf

splangnikus. Serabut saraf ini bersinaps dalam ganglia seliaka dan aortikorenalis, kemudian

serabut paska ganglionik menuju kolon. Rangsangan simpatis menghambat sekresi dan

kontraksi, serta merangsang sfingter rektum. Rangsangan parasimpatis mempunyai efek yang

berlawanan.

Usus besar dilayani oleh banyak jalinan pembuluh limfe serta saluran limfe mengikuti

arteria regional ke nodi limfatici pre aorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior.

Kemudian limfe di drainase ke dalam sisterna cili (bagian system duktus torasikus) yang

kemudian bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subclavia dan jugularis sinistra.

Karena hubungan ini maka karsinoma metastatik dari traktus gastrointestinalis bisa ada di dalam

kelenjar limfe leher (kelenjar limfe Virchow).

Ke arah proksimal rectum sinambung dengan colon sigmoideum dan ke arah distal

dengan canalis analis. Rectum berawal ventral dari vertebra sacrum ke tiga, mengikuti lengkung

os sacrum dan os coccygis, dan berakhir di sebelah ventrokaudal ujung oscoccygis dengan

beralih menjadi canalis analis. Bagian akhir rectum yang melebar ialah ampulla recti yang

menopang dan menyimpan massa tinja. Rectum berbentuk S dan memiliki tiga lengkungan yang

tajam. Perdarahan arterial melalui arteria rectalis superior, lanjutan dari arteria mesenterica

inferior, memasok darah pada bagian proksimal rectum. Kedua arteria rectalis media mengantar

darah ke rectum bagian tengah dan bagian distal, dan arteria rectalis inferior mengatur

perdarahan bagian distal rectum. Darah disalurkan kembali melalui vena rectalis superior, vena

8

Page 9: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

rectalis media dan vena rectalis inferior. Karena vena rectalis superior bermuara ke dalam sistem

vena portal,dan vena rectalis media dan vena rectalis inferior menyalurkan isinya ke dalam vena

sistemik, hubungan ini merupakan anastomosis porto-kaval yang penting. Plexus venosus rectalis

di sebelah dalam epitel rectum, dan plexus venosus rectalis externus yang terdapat di sebelah

luar dinding otot rectum. Pembuluh limfe dari bagian proximal rectum melintas ke kranial,

mengikuti pembuluh rectalis superior ke nodi lymphoidei pararectales(anorectales), lalu limfe

disalurkan ke kelenjar-kelenjar limfe dalam bagian kaudal mesokolon sigmoideum dan

selanjutnya ke nodi lymphoidei mesenterici inferiores dan nodi lymphoidei lumbales. Pembuluh

limfe dari bagian distal rectum melintas ke kranial bersama arteria rectalis media dan ditampung

oleh nodi lymphoidei iliaca interni. Persarafan rectum berasal dari sistem simpatis dan sistem

parasimpatis Persarafansimpatis berasal dari truncus simphaticus bagian lumbal dan plexus

hypogastricus superior (nervus presacralis) melalui plexus-plexus sekitar cabang arteria

mesenterica inferior. Persarafan parasimpatis berasal dari nervi splancnici pelvici (nervi

erigentes). Serabut saraf ini melintas ke plexus hypogastricus inferior dexter dan plexus

hypogastricus inferior sinistra untuk mempersarafi rectum.

Usus besar memiliki berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi

usus. Fungsi usus besar yang paling penting adalah absorbsi air dan elektrolit, yang Tugas

penting utama kolon adalah penyerapan kembali air dan elektrolit yang telahmemasuki usus

bersama getah pencernaan. Mukosa usus besar terdiri dari kriptus dan tidakterdapat vilus. Epitel

kriptus terdiri dari hampir seluruhnya ( paling banyak pada permukaannya ) atas sel – sel goblet

yang menghasilkan mukus pelumas. Epitel – epitel lain mempunyai batas silia dari mikrovilus

yang merupakan gambaran faal penyerapan air yang besar.Kolon mengabsorbsi sekitar 800 ml

air per hari, bandingkan dengan usus halusyang mengabsorbsi sekitar 8000 ml. Namun, kapasitas

absorbsi usus besar adalah sekitar 1500 – 200 ml /hari. Bila jumlah ini dilampaui ( misalnya

akibat hantaran cairan berlebihan dari ileum ) akan mengakibatkan diare. Berat akhir feses yang

dikeluarkan per hari sekitar 200 gram, dan 80 – 90 % diantaranya adalah air. Sisanya terdiri dari

residu makanan yang tidak terabsorbsi, bakteri, sel epitel yang terlepas, dan mineral yang tidak

terabsorbsi.

Sejumlah kecil pencernaan dalam usus besar terutama disebabkan oleh bakteri dan bukan

oleh kerja enzim. Usus besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim. Mukus ini

bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa. Bakteri usus besar mensintesis vitamin K dan

9

Page 10: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

beberapa vitamin B. Pembusukan oleh bakteri dari sisa protein menjadi asam amino dan zat yang

lebih sederhana seperti peptida, indol, skatol, fenol dan asam lemak. Bila asam lemak dan HCl

dinetralisasi oleh bikarbonat, akan dihasilkan karbondioksida (CO2 ). Pembentukan berbagai gas

seperti NH3, CO2, H2, H2S, dan CH4 membantu pembentukan gas ( flatus ) dalam kolon.

Beberapa substansi ini dikeluarkan dalam feses, sedangkan zat lain diabsorbsi dan diangkut ke

hati untuk diubah menjadi senyawa yang kurang toksik dan dieksresikan melalui urin.

Fermentasi bakteri pada sisa karbohidrat juga melepaskan CO2, H2, dan CH4 yang juga

berperan dalam pembentukan flatus dalam kolon. Dalam sehari secara normal dihasilkan sekitar

1000 ml flatus, kelebihan gas dapat terjadi pada aerofagia ( menelan udara secara berlebihan )

dan dari peningkatan gas dalam lumen usus ( yang biasanya berkaitan dengan jenis makanan

yang dimakan ). Makanan yang mudah membentuk gas seperti kacang – kacangan mengandung

banyak karbohidrat yang tidak dapat dicerna.

2.2 Epidemiologi

Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan

mortalitas.1,13 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat

mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan

pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total jumlah penderita kanker.1

Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru;

sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel.2,14

Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang

berusia lanjut, yang meningkat seiring dengan usia; 2) meningkatnya insiden kanker kolorektal

seiring dengan kepadatan penduduk; 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah

dibandingkan dengan pria lainnya.

Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya

3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Program yang

dilaksanakan oleh proyek pengawasan kanker terpadu yang berbasis komunitas di Sidoarjo

menunjukkan kenaikan 10-20% dari kasus kanker yang menerima perawatan dari Rumah Sakit.

Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di

Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal

merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita.14

10

Page 11: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Gambar 2.3 Insiden Kanker di Indonesia

Dari berbagai laporan, di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus kanker kolorektal,

meskipun belum ada data yang pasti, namun data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8

per 100 ribu penduduk.5 Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang

berobat ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya didapatkan 247

penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria dan 169 (43,45%) wanita

berusia antara 20-71

2.3 Faktor Resiko

2.3.1 Polip

Kepentingan utama dari polip bahwa telah diketahui potensial untuk menjadi kanker

kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana

proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, adenoma formation, perkembangan dari displasia

menuju transformasi maligna dan invasif kanker (gambar 2.3). Aktifasi onkogen, inaktifasi

11

Page 12: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi

adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.2

Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-

onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-

onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat

pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini

dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada

pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat

molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi

DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi

kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor

membuka peluang terbentuknya kanker.

Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui

siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto-onkogen, TSG, dan

gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah

satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan

penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat

terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan

lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses

apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus

proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus

sel, yang sering terjadi adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga

tidak berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada

manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan,

tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.

Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non

neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip

hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan

inflamatory polip.

12

Page 13: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Gambar 2.4 Adenoma Carcinoma Sequences

Neoplastik polip atau adenomatous polip (gambar 2.4) berpotensial berdegenerasi

maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous

adenoma dan villous adenoma (gambar 2.5).Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous,

dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma

dibawah 5%.2

Gambar 2.5 Adenomatous Polip

Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari

adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma

13

Page 14: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

pada saat terdiagnosa.Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip,

tingkat displasia, dan umur. Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan

secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk

menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan

meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 fold jika

polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 fold pada pasien yang mempunyai multipel polip. Dari

penelitian didapatkan bahwa polip yang lebih besar dari 1 cm jika tidak ditangani menunjukkan

risiko menjadi kanker sebesar 2,5% pada 5 tahun, 8% pada 10 tahun dan 24% pada 20 tahun.

Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Tiga

koma lima tahun untuk displasia sedang dan 11,5 tahun untuk atypia ringan.2

Gambar 2.6 Polip Neoplastik. (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous

adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari

sebuah villous adenoma.

14

Page 15: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.3.2 Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

2.3.2.1 Ulseratif Kolitis

Ulseratif kolitis (gambar 2.6) merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon

sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan

kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan

keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8%

pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang

dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan

kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis

yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi

displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Sebuah studi prospektif

menyimpulkan bahwa kolektomi yang dilakukan dengan segera sangat esensial untuk semua

pasien yang didiagnosa dengan displasia yang berhubungan dengan massa atau lesi, yang paling

penting dari analisa mendemonstrasikan bahwa diagnosis displasia tidak menyingkirkan adanya

invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan

sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi.2

Gambar 2.7 Ulseratif Colitis

15

Page 16: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.3.2.2 Penyakit Crohn’s

Pasien yang menderita penyakit crohn’s (gambar 2.7) mempunyai risiko tinggi untuk

menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis.2

Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan

striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi

fibrosis. Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari

dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga

bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan

crohn’s disease.

Gambar 2.8 Penyakit Crohn’s

2.3.3 Faktor Genetik

2.3.3.1 Riwayat Keluarga

Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan riwayat kanker

kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga terdekat yang mempunyai kanker

kolorektal mempunyai kemungkinan untuk menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila

dibandingkan dengan seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada

keluarganya.2

16

Page 17: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.3.3.2 Herediter Kanker Kolorektal

Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal menuju mukosa

kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan adenokarsinoma yang besar

berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling penting dalam menegakkan diagnosa dari

sindrom kanker herediter yaitu riwayat kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada

adenoma yang lebih kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh

kanker kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan adenoma

yang besar.2 Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama dari sindrom ini

menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua sindrom ini, dimana mempunyai

predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki mekanisme yang berbeda, yaitu familial

adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).2

2.3.3.2.1 FAP

Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom

5q21. Adanya defek pada APC tumor supresor gen dapat menggiring kepada kemungkinan

pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun.2 Pada FAP yang telah

berlangsung cukup lama (gambar 2.9), didapatkan polip yang sangat banyak untuk dapat

dilakukannya kolonoskopi polipektomi yang aman dan adekuat; ketika hal ini terjadi,

direkomendasikan untuk melakukan prophylactic subtotal colectomy diikuti dengan endoskopi

pada bagian yang tersisa. Idealnya prophylactic colectomy harus ditunda kecuali terdapat terlalu

banyak polip yang dapat ditangani dengan aman. Prosedur pembedahan elektif harus sedapat

mungkin dihindari ketika memungkinkan. Screening untuk polip harus dimulai pada saat usia

muda. Pasien dengan FAP yang diberi 400 mg celecoxib, dua kali sehari selama enam bulan

mengurangi rata rata jumlah polip sebesar 28%. Tumor lain yang mungkin muncul pada sindrom

FAP adalah karsinoma papillary thyroid, sarcoma, hepatoblastomas, pancreatic carcinomas, dan

medulloblastomas otak.20 Varian dari FAP termasuk gardner’s syndrom dan turcot’s syndrom.2

17

Page 18: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Gambar 2.9 Familial Adenomatous Poliposis

2.3.3.2.2 HNPCC

Pola autosomal dominan dari HNPCC termasuk lynch’s sindrom I dan II.2 Generasi

multipel yang dipengaruhi dengan kanker kolorektal muncul pada umur yang muda (±45 tahun),

dengan predominan lokasi kanker pada kolon kanan.2 Abnormalitas genetik ini terdapat pada

mekanisme mismatch repair yang bertanggung jawab pada defek eksisi dari abnormal repeating

sequences dari DNA, yang dikenal sebagai mikrosatellite (mikrosatellite instability). Retensi dari

squences ini mengakibatkan ekspresi dari phenotype mutator, yang dikarakteristikkan oleh

frekuensi DNA replikasi error (RER+ phenotype), dimana predisposisi tersebut mengakibatkan

seseorang memiliki multitude dari malignansi primer.2 Pasien dengan HNPCC mungkin juga

memiliki adenoma sebaceous, carcinoma sebaceous, dan multipel keratocanthoma, Termasuk

kanker dari endometrium, ovarium, kandung kemih, ureter, lambung dan traktus biliaris.2 Jika

dibandingkan dengan sporadic kanker kolorektal, tumor pada HNPCC seringkali poorly

differentiated, dengan gambaran mucoid dan signet-cell, reaksi yang mirip crohn’s (nodul

lymphoid, germinal centers, yang berlokasi pada perifer inflitrasi kanker kolorektal), kehadiran

infiltrasi lymphocytes diantara tumor. Karsinogenesis yang terakselerasi muncul pada HNPCC,

pada keadaan ini adenoma kolon yang berukuran kecil dapat menjadi karsinoma dalam 2-3

tahun, bila dibandingkan dengan proses pada rata-rata kanker kolorektal yang membutuhkan

18

Page 19: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

waktu 8-10 tahun. Ketika kriteria amsterdam digunakan untuk menentukan proporsi dari kanker

kolorektal yang dikarenakan HNPCC, estimasi keakurasiannya sekitar 1-6 % (tabel 2.1).

Spesifik mutasi gen pada kromosom 2 dan 3, dikenal sebagai hMSH2, hMLH1, hPMS1

dan hPMS2, telah dihubungkan dengan HNPCC.2 Sembilan puluh persen dari seluruh mutasi gen

yang teridentifikasi adalah MLH1 dan MSH2. Pasien dengan RER+ phenotype kemungkinan

tidak mempunyai germ line abnormal dan mungkin mempunyai abnormal metilasi dari DNA

yang didapat sebagai sumber dari ketidakhadiran ekspresi dari gen tersebut. Metilasi abnormal

lebih sering pada orang yang lebih tua. Tes germ line untuk menentukan apakah RER+

phenotype merupakan keturunan atau didapat sangat penting sebagai bagian dari genetik

konseling. Imunohistochemical stains dapat digunakan untuk menentukan apakah tumor

bermanifestasi pada microsatellite instability dan kemudian pasien yang tidak mempunyai

ekspresi gen harus menjalani germ line testing untuk adanya konseling yang tepat pada anggota

keluarga.2

Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal

pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai pada umur 20 tahun atau lebih dini 5

tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang

berhubungan HNPCC. Angka rata-rata pasien dengan HNPCC yang didiagnosa menderita

kanker kolorektal pada umur 44 tahun, dibandingkan dengan pasien kontrol yang menderita

kanker kolorektal pada umur 68 tahun. Prognosis dari pasien HNPCC terlihat lebih baik daripada

pasien dengan sporadic kanker kolon. Dari penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan

HNPCC kurang mendapat manfaat dari adjuvant kemoterapi berdasarkan kombinasi fluorourasil

daripada pasien tanpa kelainan ini.2

2.3.4 Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat

berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan penelitian, meskipun

terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan antara serat dan kanker

kolorektal.2,13 Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan resiko

kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti epidemiologi untuk asosiasi

antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker kolorektal. Mekanismenya adalah

menkonsumsi diet yang berenergi tinggi mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti

19

Page 20: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

dengan peningkatan level insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor

sirkulasi ini mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga

memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut dapat

meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah identifikasi berkelanjutan

dari agen yang secara signifikan menghambat karsinogenesis kolon secara experimental. Dari

pengamatan tersebut dapat disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal

epitel disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin yang tak

dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini didapat dari bukti

teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil

dari proliferasi fokal dan mutagenesis dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan

aberrant crypt foci. Proses ini dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki

permukaan lumen kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme

tersebut, misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan fokal

epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet dan resiko kanker

kolorektal.10

2.3.5 Gaya Hidup

Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga kali untuk

memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar. Sedangkan merokok lebih dari

20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran

besar.2 Diperkirakan 5000-7000 kematian karena kanker kolorektal di Amerika dihubungkan

dengan pemakaian rokok.2 Pemakaian alkohol juga menunjukkan hubungan dengan

meningkatnya risiko kanker kolorektal.10

Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas, obesitas dan

asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap hewan, pembatasan asupan

energi telah menurunkan perkembangan dari kanker. Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik

menunjukkan penekanan pada aktifitas prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko

kanker kolorektal. The Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan

antara aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan aktifitas

fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.10

20

Page 21: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.3.6 Usia

Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan wanita adalah 61%

dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7 kali (2158 per 100.000 orang per

tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4 kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila

dibandingkan dengan orang yang berusia lebih muda (30-64 thn). Sekitar setengah dari kanker

yang terdiagnosa pada pria yang berusia lanjut adalah kanker prostat (451 per 100.000), kanker

paru-paru (118 per 100.000) dan kanker kolon (176 per 100.000). Sekitar 48% kanker yang

terdiagnosa pada wanita yang berusia lanjut adalah kanker payudara (248 per 100.000), kanker

kolon (133 per 100.000), kanker paru paru (118 per 100.000) dan kanker lambung (75 per

100.000).6

Usia merupakan faktor paling relevan yang mempengaruhi risiko kanker kolorektal pada

sebagian besar populasi.23 Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia,

terutama pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih,1 dan hanya 3% dari kanker kolorektal

muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.2 Lima puluh lima persen kanker terdapat pada

usia ≥ 65 tahun,23 angka insiden 19 per 100.000 populasi yang berumur kurang dari 65 tahun,

dan 337 per 100.000 pada orang yang berusia lebih dari 65 tahun.2

2.4 Manifestasi Klinik

2.4.1 Patologi

Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi, penanganan dan prognosis

dari kanker.7 Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai derajat differensiasi yang

berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang lain tetapi juga dari area ke

area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai morfologi yang heterogen.8

Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di

Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran

histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma

lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.

Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak

21

Page 22: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe

histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma sering

ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa,

signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk dan telah

bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan sarcoma yang sering

dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat terdiagnosa, sedangkan

small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering sudah bermetastase jauh

pada saat terdiagnosa.7

Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)

didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma

[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang adalah

musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). 13,8 Jika dari hasil penelitian

di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan derajat

differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Soeripto

et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat differensiasi kanker

kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik.14 Perbedaan pola demografik dan

klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat membantu untuk studi

epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.7 Berbagai varian gambaran

histopatologi kanker kolorektal berdasarkan klasifikasi World Health Organization diperlihatkan

pada tabel 2.3.23

22

Page 23: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Gambar 2.3 Gambaran Histopatologi Kanker Kolorectal

Mucinous Adenocarcinoma Signet ring adenocarcinoma Adenosquamous carcinoma Squamous carcinoma Small cell carcinoma Chorio carcinoma Medullary carcinoma

2.4.2 Lokasi Kanker

Dua pertiga dari kanker kolorektal muncul pada kolon kiri dan sepertiga muncul pada

kolon kanan (gambar 2.10).2 Sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh kolon

sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon ascendens

(7,8%), dan multifokal (0,28%). Data dari kanker statistik di Amerika Serikat terlihat bahwa

sekitar 60% dari kanker kolorektal ditemukan pada rektum, hal ini juga terlihat di China yaitu

sekitar 80% dari kanker kolorektal ditemukan di rektum, dengan > 60% kanker kolorektal hanya

terdapat pada rektum.14

Pada penelitian selama 14 tahun (1982-1995) di Australia yang melibatkan 9673 kasus

kanker kolorektal, didapatkan suatu pola hubungan antara lokasi kanker dengan jenis kelamin,

yaitu kanker yang terdapat pada rektum frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria

dibandingkan wanita (4:1).26 Pola seperti ini juga didapatkan di Indonesia, data yang

dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker yang terdapat pada rektum

frekuensinya lebih banyak terdapat pada pria dibandingkan wanita, dengan perbandingan sebesar

2:1.14

23

Page 24: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Gambar 2.10 Letak Kanker Kolorektal.

2.4.3 Gejala

Gejala dan tanda dini karsinoma kolon rektal tidak ada. Umumnya gejala pertama timbul

karena penyulit yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan atau akibat penyebaran.

Pasien karsinoma kolorektal umumnya memberikan keluhan gangguan proses defekasi.

Keluhan yang diajukan bermacam-macam berlainan pada pasien yang satu dengan yang lain

bergantung pada lokasinya. Dari 291 penderita karsinoma kolorektal yang diteliti keluhan utama

pada waktu datang berobat ialah: 58,8% perdarahan segar per anal, 31,6% buang air besar darah

berlendir, dan 9,6 % obstruksi saluran makan.

Karsinoma kolon jarang ditemukan dalam skrining dan biasanya asimtomatik. Sekitar

50% pasien mengeluh nyeri perut, 35% dengan perubahan pola defekasi, 30% perdarahan samar

dan 15% gejala obstruksi usus. Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan kolon

yang kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik, sehingga lebih banyak menimbulkan

stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan

jarang terjadi stenosis dan feses masih cair sehingga tidak ada faktor obstruksi.

Karsinoma kolon kiri dan rectum menyebabkan perubahan pola defekasi, seperti

konstipasi atau edefkasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses semakin menipis

atau sepertti kotoran kambing arau lebih cair disertai darah dan lender. Nyeri pada kolon kiri

lebih nyata dari pada kolon kanan. Tempat yang dirasakan sakit berbeda karena asal

24

Page 25: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

embriologenik yang berlainan, yaitu dari mid gut dan hind gut. Nyeri dari kolon kiri bermula

dibawah umbilikus sedangkan dari kolon kanan di epigastrium. Gejala umum yang dikeluhkan

pasien adalah:

1. Perdarahan segar peranal (hematokezia)

Sebagian besar pasien karsinoma kolorektal yang terletak di di bagian distal sering

mempunyai keluhan buang besar berdarah segar. Sumber perdarahan segar yang terbanyak dari

kanker terletak di bagian distal kolon dari kanker, terutama di rektum 89 dari 137 penderita

(64,9%), menyusul dari sigmoid 62,7%, rektosigmoid 60,3% dan dari kolon descendens 28,6%.

Dari mereka yang mengalami perdarahan segar, ditemukan 7 pasien mengalami perdarahan

masif, yaitu yang lokasinya di rektum 4, rektosigmoid 1, dan sigmoid 2. Ketujuh penderita

dengan perdarahan masif mengalami renjatan hipovolemik, dan dilakukan pembedahan segera.

2. Buang air besar lendir darah

Seseorang yang mempunyai keluhan buang air besar darah lendir, perlu dipikirkan

adanya infeksi misal disentri basiler atau amoeba, kolitis ulseratif, selain disebabkan oleh

keganasan. Dari 291 pasien yang diteliti ditemukan 92 pasien (31,6%) mempunyai keluhan

buang air besar darah lendir. Dari hasil penelitian bahwa letak karsinoma kolorektal dibagian

proksimal lebih sering menimbulkan buang air besar darah lendir. Hal ini disebabkan karena

darah yang dikeluarkan oleh kanker tersebut sudah bercampur dengan tinja.

3. Obstruksi Saluran Cerna

Gejala klinis pasien karsinoma kolorektal sering menimbulkan gangguan kebiasaan

buang air besar, diantaranya dapat menimbulkan tanda obstruksi, baik sebagian (parsial) maupn

obstruksi total sehingga timbul tanda-tanda ileus, buang air besar darah lendir atau obstipasi

beberapa hari. Dari penelitian ditemukan 28 pasien (9,6%) dengan tanda-tanda obstruksi, yaitu

perut kembung yang makin kembung dan makin lama makin tegang, tidak dapat buang air besar

dan tidak dapat flatus. Hal ini juga dikuatkan dengan hasil rontgen polos abdomen terlentang dan

berdiri yang menunjukkan pelebaran usus halus dan kolon. Sebagai penyebab obstruksi

ditemukan kanker yang terletak di rektum 16 (11,7%) , rektosigmoid 4 (6,3%), sigmoid 7

(10,4%) dan kolon ascendens 1 (14,2%). Yang menimbulkan tanda-tanda obstruksi umumnya

kanker berbentuk sirkular dan anular yang menyebabkan terjadi penyempitan lumen usus.

Bentuk striktura merupakan tumor yang sering menonjol dan mengisi seluruh lumen usus

sehingga menyebabkan sumbatan total.

25

Page 26: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

4. Pasien karsinoma kolorektal mempunyai keluhan lain seperti pasien kanker umumnya,

yaitu anoreksia, berat badan menurun, rasa nyeri perut ditempat kanker, buang air besar tidak

teratur, walaupun sudah buang air besar yang berupa tinja dengan darah lendir tetapi masih

meraskan banyak kotoran didalam perut yang sukar keluar seperti ada sumbatan. Selain itu juga

timbul tenesmus.

Manifestasi dari karsinoma kolon dapat dibagi menjadi :

2.4.3.1 Manifestasi Subakut

Tumor-tumor pada kolon ascendens tidak menimbulkan perubahan kebiasaan defekasi

(walaupun besar, tumor yang sekresi mukus menyebabkan diare). Pasien mungkin mengeluh

feses berwarna hitam dan seperti ter, tetapi tumor tersebut sering mengakibatkan occult bleeding,

yang sering tidak terdeteksi oleh pasien. Perdarahan kronis dapat menyebabkan anemia

defesiensi besi, yang menimbulkan gejala fatigue, dizzines, atau palpitasi. Perdarahan kerena

karsinoma colon sering intermitten, hasil negatif occult bleeding tes pada feses tidak

menyingkirkan kecurigaan kanker pada usus besar.

Nyeri perut bagian bawah lebih sering berhubungan dengan tumor-tumor yang terletak di

colon descendens. Nyeri perut berupa kram dan mereda dengan pergerakan usus. Karsinoma

kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan perubahan pola defekasi seperti konstipasi atau

defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis atau seperti kotoran

kambing atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmus merupakan gejala yang biasa

didapat pada karsinoma kolon. Perdarahan akut jarang dialami, demikian juga nyeri di daerah

panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita flatus terasa lega di perut.

Gejala umum karsinoma kolon non akut lainnya adalah termasuk kehilangan berat badan

dan demam. Sekitar 50% pasien mengeluh penurunan berat badan, namun hal tersebut bukan

manifestasi khas pada karsinoma kolon. Demam gejala yang jarang dikeluhkan. Septikemia

jarang terjadi tetapi bisa terjadi pada setiap derajat tumor colon. Pada orang dewasa apabila

ditemukan obstruksi atau obstruksi partial yang disebabkan intusepsi, dilakukan colonoskopi

atau air-kontras barium enema untuk menyingkirkan ca colon.

26

Page 27: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.4.3.2 Manifestasi Akut

Gejala yang signifikan pada gejala akut adalah obstruksi atau perforasi pada usus besar.

Obstruksi kolon dapat memberikan kesan kanker, terutama pada orang tua. Pasien dengan

obstruksi komplit mengeluh tidak bisa flatus dan BAB, kram dan distensi perut. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan perut distended, tympani pada perkusi, biasanya pada tumor

ditemukan masa abdominal pada palpasi.

Jika obstruksi tidak berkurang dan kolon terus distensi, tekanan pada dinding intestinal

dapat melebihi tekanan kapiler, dan darah yang membawa O2 tidak mencapai dinding usus, yang

akan mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Pada situasi ini pasien akan mengeluhkan nyeri perut

hebat dan pada pemeriksaan fisik ditemukan rebound tenderness dan menurunnya atau

menghilangnya suara usus. Jika tidak di terapi segera, nekrosis akan berkembang menjadi

peritonitis dengan fecal peritonitis dan sepsis.

Usus besar dapat terjadi perforasi pada sisi tumor, mungkin disebabkan tumor transmural

kehilangan suplai darah dan menjadi nekrotik. Kasus seperti ini mudah salah pada akut

divertikulitis dan proses inflamasi dapat terbatas pada sisi yang perforasi, akan tetapi pada

beberapa kasus perforasi tidak dapat diketahui, yang mengakibatkan peritonitis generalisata.

2.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan

penunjang yang mendukung diagnosis karsinoma kolon.

2.5.1 Anamnesis

Dari anamnesis kita dapat menduga seseorang menderita karsinoma kolorektal, pada mereka

yang usia lanjut yang mempunyai keluhan fungsi buang air besar terganggu yaitu bila buang air

besar disertai darah lendir, atau buang air besar disertai darah segar.

Dapat juga untuk menggali riwayat :

· Perubahan kebiasaan defekasi seperti diarea, konstipasi

· Perdarahan rectal atau occult bleeding(meskipun demikian, feses sering normal)

· Kram atau nyeri perut

· Kelelahan dan fatigue

· Riwayat kanker kolorektal pada keluarga

· Riwayat menderita polip kolorektal

27

Page 28: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

· Riwayat menderita Chronic Inflammatory Bowel Desease

· Diet kurang serat

Kolon Kanan Kolon kiri Rectum

Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis

Nyeri Karena Penyusupan Karena Obstruksi Tenesmi

Defekasi Diare atau diare

berkala

Konstipasi progresif Tenesmi terus

menerus

Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang

Darah pada feses Samar Samar atau

makroskopik

Makroskopik

Feses Normal atau diare Normal Perubahan bentuk

Dispepsi Sering Jarang Jarang

Memburuknya

keadaan umum

Hampir selalu Lambat Lambat

Anemia Hampir selalu Lambat Lambat

2.5.2 Pemeriksaan fisik

Karsinoma kolon disebelah kanan, kadang-kadang teraba suatu massa. Tumor sigmoid

sedikit dapat diraba diperut kiri bawah. Bila tumor sudah metastase ke hati, akan teraba hati yang

nodular dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Dapat ditemukan massa di abdomen, apabila

ada gejala-gejala obstruksi dari inspeksi dapat ditemukan dinding abdomen distensi, dumb

countur, dumb steifung. Dari palpasi ditemukan massa abdomen, dan hipertympani pada perkusi

abdomen, auskultasi usus bisa ditemukan peningkatan peristaltik yang kemudian diikuti dengan

burburigmi, metalik sound dan penurunan serta menghilangnya peristaltik Bisa juga ditemukan

nyeri tekan pada seluruh dinding abdomen apabila terjadi perforasi usus.

28

Page 29: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Pemeriksaan Digital Rectal Examination (DRE) bisa ditemukan massa maligna (massa

berbenjol-benjol dengan striktura) direktum dan rektosigmoid teraba keras kenyal dan lendir

darah pada sarung tangan.

Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal

Kolon Kanan :

- Anemia dan kelemahan

- Darah okul di feses

- Dispepsia

- Perasaan kurang enak di perut kanan bawah

- Massa di perut kanan bawah

- Foto rontgen perut khas

- Penemuan kolonoskopi

Kolon Kiri :

- Perubahan pola defekasi

- Darah di feses

- Gejala dan tanda obstruksi

- Foto rontgen khas

- Penemuan kolonoskopi

Rektum :

- Perdarahan rektum

- Darah di feses

- Perubahan pola defekasi

- Pasca defekasi perasaan tidak puas atau rasa penuh

- Penemuan tumor pada colok dubur

- Penemuan tumor rektosigmoid

29

Page 30: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

2.5.3.1 Biopsi

Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika terdapat

sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat sitologi akan

sangat berguna.2

2.5.3.2 Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening

CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke dalam

peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status kanker

kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu insensitif

dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal. Meningkatnya nilai

CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter. Tingginya nilai CEA

berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit dan kehadiran metastase

ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan faktor prognostik independen.

Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada monitoring berkelanjutan setelah

pembedahan.2

Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering

diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna

sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai CEA.

Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase karena sel

tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.2

2.5.3.3 Tes Occult Blood

Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru

oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna

dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di

dalam diet. Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus untuk

menghindari hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi dari

occult blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10 mg

hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang perlu

dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber

30

Page 31: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara

intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif. Proses

pengolahan, manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan

mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood

dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini

sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.16

2.5.3.4 Digital Rectal Examination

Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta spina

iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal dapat

teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong douglas

sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang

mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau

oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa kanker

kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.11

2.5.3.5 Barium Enema

Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema

(gambar 2.12), yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1

cm. Tehnik ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang

hemat biaya sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi

kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang mempunyai

riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan menggunakan barium

enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan perforasi, maka sebuah

kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium peritonitis merupakan

komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai infeksi dan peritoneal

fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat menunjukkan detail yang penting

untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.11

2.5.3.6 Endoskopi

Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien

mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.2

31

Page 32: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

1. Proktosigmoidoskopi

Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari

rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat

mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk

digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika

digunakan bersama sama dengan occult blood test.11

2. Flexible Sigmoidoskopi

Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat

mencapai bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi

dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk indikasi

terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus, seperti pada

ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun

merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang asimptomatik yang

berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon. Sebuah polip

adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk

dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di distal

kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10% pasien.11

32

Page 33: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

3. Kolonoskopi

Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon dan

rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.

Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan ukuran

kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada

barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat

digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari striktur.

Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama (perdarahan,

komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi

merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory

bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding, megakolon

non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering terjadi pada kolonoskopi

terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan komplikasi utama dari

kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi

diagnostik.11

2.5.3.7 Imaging Tehnik

MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang

digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik ini

bukan merupakan screening tes.11

CT scan

CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif. CT

scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan organ

lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien dengan nilai

CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT

scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam

menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi

invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran

kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien.11 Penggunaan CT dengan kontras dari abdomen

dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah intraperitoneal.2

33

Page 34: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

MRI

MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan pada

klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena sensifitasnya yang

lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk mengidentifikasikan metastasis ke

hepar.

Endoskopi UltraSound (EUS)

EUS (gambar 2.13) secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman

invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT

dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk

melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor seharusnya

dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan pasien yang

telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar

limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.2

Gambar 2.14 Endoscopy Ultrasound

34

Page 35: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.6 Stadium dan Prognosis

2.6.1 Stadium

Jika metastasis tidak ada, stadium pasti dari kanker kolorektal hanya dapat dipastikan

setelah pembedahan dan analisis histopatologi. Tidak seperti tumor yang lain, ukuran dari tumor

primer kecil sekali pengaruhnya pada prognosis kanker kolorektal. Faktor yang menentukan

tingkat prognosis adalah kedalaman penetrasi tumor ke dinding usus, keterlibatan kelenjar limfa

regional dan ada tidaknya metastasis. Berbagai sistem staging telah dibuat pada beberapa dekade

terakhir, tetapi sistem pengklasifikasian yang diajukan oleh dukes pada tahun 1982 terus dipakai

secara luas karena kemudahannya. Tetapi sistem ini tidak memperlihatkan informasi penting

untuk informasi prognosis, seperti invasi vaskuler, diferensiasi histology dan DNA dari sel

tumor. Bagaimanapun juga kemudahan yang ditawarkan oleh sistem klasifikasi ini dan korelasi

konsisten dengan prognosis, menjamin bahwa sistem ini akan terus digunakan selama beberapa

waktu. 5-years survival rate mencerminkan prognosa dari staging penyakit. Pada dukes stage A

>90% pasien selamat dalam 5 tahun. Pada dukes stage B terjadi penurunan prognosis menjadi

60-80%. Jika terdapat keterlibatan kelenjar limfa regional (dukes stage C) maka prognosanya

adalah 20-50%, dan jika terdapat metastasis (dukes stage D) maka prognosanya hanya <5%.

Direkomendasikan menggunakan staging system TNM dengan dukes system yang telah

dimodifikasi oleh Astler Coller (tabel 2.4).2

Klasifikasi

Derajat keganasan karsinoma kolon berdasarkan gambaran histolik dibagi menurut

klasifikasi Dukes, berdasarkan dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus, yaitu :

Dukes A : dalamnya infiltrasi; terbatas pada dinding usus atau mukosa.

Dukes B : dalam infiltrasi; menembus lapisan muskularis mukosa.

Dukes C : dalamnya infiltrasi metastasi kelenjar limfe dengan :

C1 : beberapa kelenjar limfe dekat tumor primer.

C2 : dalam kelenjar limfe jauh.

Dukes D : sudah metastasis jauh

35

Page 36: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Berdasarkan TNM

TNM Stadium Modified Dukes Stadium Deskripsi

T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada

submucosa

T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada

muscularis propria

T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural

T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar

mesenteric

T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar

mesenteric

T4 C2 Penyebaran ke organ yang

berdekatan

T apapun, M1 D Metastasis jauh

Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System

Berdasarkan besar diferensiasi sel, terdapat klasifikasi yang terdiri dari 4 tingkat, yaitu :

Grade I : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25%

Grade II : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 25-50%

Grade III : Sel-sel anaplastik tidak melebihi 50-75%

Grade IV : Sel-sel anaplastik lebih dari 75%

36

Page 37: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

Tabel 2.4. MAC : Modified Astler Coller

2.6.2 Prognosis

Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan

pada tabel 2.4. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping

stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year

survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).2

Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama pasien

dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila dibandingkan

dengan tumor yang berada di kolon.

Tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosa

yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan kolon

rektosigmoid.Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosa lebih buruk

bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosa pasien yang kehilangan

allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang tidak kehilangan

allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak kehilangan allelic

pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat kehilangan allelic pada

kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage III(C). Pemeriksaan pada

kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam menyeleksi pasien stage II(B) untuk

adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa yang lebih baik untuk menghindarkan

efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.2

37

Page 38: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.7 Screening dan Pencegahan

2.7.1 Screening

National Cancer Institute (NCI), American College of Surgeons, American College of

Physicians, dan American Cancer Society merekomendasikan pada pasien asymptomatic yang

berumur 50 tahun atau lebih untuk dilakukan pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 sampai 5

tahun. Screening dengan menggunakan kolonoskopi juga direkomendasikan untuk seseorang

dengan risiko sedang setiap 10 tahun. Screening kolonoskopi pada seseorang yang mempunyai

risiko tinggi dengan riwayat keluarga yang menderita kanker kolorektal tetapi tidak ada bukti

yang jelas dari FAP atau HNPCC harus mulai screening pada saat umur 40 tahun.2

38

Page 39: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.7.2 Pencegahan

2.7.2.1 Endoskopi

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan

menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi

polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial yang

menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker kolorektal,

meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada rektosigmoid

dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi, sehingga pemeriksaan

kolonoskopi harus dilakukan.2

2.7.2.2 Diet

Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai

diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih baik

daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola diet

pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke 30% dari

total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c) membatasi

makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang mengandung

bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.13

2.7.2.3 Non Steroid Anti Inflammation Drug

Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis

150 mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan

dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap

meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa aspirin

mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari kanker

kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif ini terlihat

membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari selama 1

tahun.2

2.7.2.4 Hormon Replacement Therapy (HRT)

Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002

orang wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker

39

Page 40: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita

kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun setelah

pemakaian HRT dihentikan.

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Pembedahan

Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan

kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas

dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon

sebisanya. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan biasanya ditangani dengan

reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat

ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari

tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure dari

kolostomi.2

2.8.2 Terapi Radiasi

Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi

tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan

eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan

stadium dari kanker.

Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat

tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel

kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat disekitarnya.

Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit.

Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan

ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut

radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.

Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat

bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara

sementara menetap didalam tubuh.

40

Page 41: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

2.8.3 Adjuvant Kemoterapi

Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.

Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis

seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif

digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada

fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan

kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian

secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival ketika

diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU + levamisole

menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat kanker hingga

32%.11

2.8.4 Penanganan Jangka Panjang

Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi

tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Sekitar 70% rekurensi dari kanker

terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Deteksi dini

dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi follow

up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos

thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan.2 Tingginya nilai CEA preoperatif biasanya

akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.2

1. Evaluasi klinik

Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk

mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau

beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer

telah diangkat.2

2. Rontgen

Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi

rekurensi.2

41

Page 42: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

3. Kolonoskopi

Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3

sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal

di kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor,

suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka kolonoskopi

dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka endoskopi

dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.2

4. CEA

Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk

mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi

metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu

diagnosa daripada CT scan.2

42

Page 43: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes. 2006. Gaya hidup penyebab kolorektol, (Online),

(http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2,

diakses 26 agustus 2012).

3. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed. EGC: jakarta.

4. WHO. 2006. The Impact of Cancer, (Online), (http://www.who.int /ncd_

surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/ReporterFullView.aspx?id=5, diakses

26 agustus 2012).

5. Depkes. 2006. Deteksi Dini Kanker Usus Besar, (Online),

(http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm, diakses 25 agustus

2012).

6. Hansen J. Common Cancers In The Elderly. Drugs Aging, (online), 1998 Dec; 13(6):467-78,

(www.pubmed.com, diakses 25 agustus 2012).

7. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal

cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American

Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 27 agustus 2012).

8. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer

Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4,

(http://www.apocp.org/cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 26 agustus 2012).

9. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online), 2005

Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 25 agustus 2012).

10. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran, (Online),

2006; 153: 40, (28 agustus 2012).

43

Page 44: Referat Dr.aditomo CA COLORECTAL (Henny)

11. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The

McGraw-Hill Companies.

12. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of

Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 28 agustus 2012).

13. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS, Colditz

GA,Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable consumption and incidence

of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst. (online). 2001 Jun 6; 93(11):879,

(www.pubmed.com, diakses 27 agustus 2012).

14. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette smoking

increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. (online). 2001Jul;

10(7):725-31, (www.pubmed.com, diakses 29 agustus 2012).

15. Semmens JB et al. A Population Based Study of the Incidence, Mortality and Outcomees in

Patient Following Surgery for Colorectal Cancer in Western Australia. Aust N Z J Surg, (Online),

2000 Jan; 70(1):11-8, (www.pubmed.com, diakses 30 agustus 2012).

16. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis

of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4,

(www.pubmed.com, diakses 29 agustus 2012).

17. Sung JJY, Lau JYW, Goh KL, Leung WK. Increasing Incidence of Colorectal Cancer in

Asia: Implications for Screening. The Lancet Oncology, (online), 2005 nov; 6(11): 871-876,

(http://www.sciencedirect.com, diakses 4 september 2012).

18. Depkes. 2005. World Population Data Sheet 2005. (online),

(http://www.litbang.depkes.go.id/download/05World DataSheet_Eng.pdf, diakses 25 agustus

2012).

44