referat ensefalitis adhyt

Upload: adhytya-pratama-a

Post on 11-Oct-2015

55 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pediatri

TRANSCRIPT

ENSEFALITISOleh: Adhytya Pratama AhmadiK1A1 10 015

A. PENDAHULUAN Ensefalitis sebagai salah satu jenis infeksi sistem saraf pusat merupakan masalah klinis yang sangat mengkhawatirkan. Onset ensefalitis seringkali akut, gejalanya dapat berkembang dengan cepat, dan anak-anak yang sebelumnya sehat menjadi lemah. Mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, dan protozoa dapat menyebabkan ensefalitis. Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Bebagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varisela yang dapat diobati.1,2 B. DEFINISI Ensefalitis ialah proses infeksi dan inflamasi pada parenkim otak. Penyakit ini juga sering dikarakteristikkan dengan adanya perubahan status mental, kejang, ataupun tanda neurologik fokal.3 Istilah ensefalitis ini biasanya merujuk pada infeksi oleh virus.4

C. EPIDEMIOLOGIPelaporan mengenai kasus ensefalitis secara umum lebih mudah diperoleh di negara maju. Insidens ensefalitis virus di seluruh dunia berkisar antara 3,5 dan 7,4 per 100.000 pasien per tahun, dan kejadiannya lebih tinggi pada anak. Meskipun kedua gender dapat terkena, banyak penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini lebih dominan pada jenis kelamin laki-laki.5 Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit/The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menggunakan survei untuk memperkirakan beban rawat inap yang disebabkan oleh ensefalitis di Amerika Serikat. Insiden keseluruhan rawat inap untuk ensefalitis adalah 7,3 kasus/100.000 per tahun; rata-rata setiap tahun, ensefalitis menyebabkan lebih dari 200.000 hari rawat inap dan 1.400 kematian. Bayi-bayi muda berusia kurang dari 1 tahun (13,7 kasus/100.000 per tahun) memiliki insiden tertinggi.2

D. ETIOLOGIBerbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis pada anak, misalnya bakteri, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.5Berbagai virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam ensefalitis virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:1.Infeksi virus yang bersifat epidemika. Golongan enterovirus: Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus Echob. Golongan virus Arbo: Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis, Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer encephalitis, Murray valley encephalitis.2.Infeksi virus yang besifat sporadik: Rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster, Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.3 Ensefalitis Pasca infeksi: pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-vaksinia, pasca-mononukleosis infeksiosa dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.5

E. PATOGENESISSebelum menginvasi, virus dapat memesuki tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran cerna. Invasi sistem saraf pusat oleh virus selalu menjadi masalah penting. Virus dapat masuk ke otak melalui dua cara: melalui aliran darah (penyebaran hematogen) dan melalui serabut saraf tepi (penyebaran neuronal). Terkadang jalur penyebaran yang dilakukan oleh virus tidak hanya pada satu metode. Akses darah dapat terjadi melalui pertumbuhan melalui endotel pembuluh darah kecil otak, melalui transpor pasif melewati endotel vaskular, dengan jalur pleksus koroid ke cairan serebrospinalis, maupun transpor dalam monosit, leukosit, atau limfosit yang terinfeksi. Setelah sawar otak-darah ditembus, penyebaran lebih luas di seluruh otak dan medula spinalis mungkin terjadi, Ada kecenderungan hubungan antara tingkat viremia yang dicapai oleh virus neurotropik yang ditularkan melalui darah dan neuroinvasivitasnya. Penyebaran hematogen sekunder ialah apabila virus berkembang biak di daerah pertamakali masuk (permukaan selaput lendir) dan masuk ke organ lain.6,7Jalan lain ke sistem saraf pusat adalah melalui saraf tepi. Virion dapat tertangkap pada ujung saraf sensorik atau motorik dan dipindahkan ke dalam akson melalui ruang endoneural atau oleh infeksi sel Schwann. Herpesvirus berjalan di akson untuk dibawa ke neuron ganglion radiks dorsal.6Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang sistem saraf pusat dan akhirnya diikuti kelainan neurologis. Kelainan neurologis tersebut dapat disebabkan oleh7:1.Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang biak2.Reaksi Jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.3.Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten Reaksi patologi terhadap infeksi virus sitosidal pada sistem saraf pusat adalah nekrosis, inflamasi, dan fagositosis oleh sel glia. Ensefalitis pascainfeksi yang terjadi setelah infeksi campak (sekitar satu per 1.000 kasus) dan lebih jarang setelah infeksi rubela ditandai dengan demielinasi tanpa degenerasi neuronal dan mungkin merupakan penyakit autoimun.6Pada ensefalitis virus akut, sebuah temuan patologis yang bermakna ialah infiltrasi sel-sel inflamasi mononuklear dalam Ruang Wirchow-Robin dan pada meninges di sekitar dinding pembuluh darah (perivaskular cuffing). Dalam perkembangan penyakit yang lebih lanjut, proliferasi astrocytosis dan hipertrofi sel mikroglial dengan pembentukan agregat mikroglial (microglial nodul) dan neuronophagia (kelompok sel-sel mikroglial yang mengelilingi neuron mati) menjadi temuan histopatologi yang menonjol.5

F. MANIFESTASI KLINIS1. Dapat difus ataupun fokal berupaa. Penurunan Kesadaranb. Gangguan fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan gangguan otonomc. Perubahan tingkah lakud. Ataksiae. Gangguan saraf kranialf. Disfagiag. Meningismus h. Gangguan sensorik dan motorik unilateral2. Pada bayi, tanda penting yang dapat dilihata. Muntahb. Ubun-ubun/fontanel menonjolc. Menangis terus menerus dan lebih buruk jika digendongGejala prodromal terdiri atas demam, nyeri kepala, mual dan muntah, letargi dan mialgia yang berlangsung beberapa hari. Kejang dapat timbul berupa kejang umum, fokal, ataupun status konvulsivus. Gejala spesifik yang disebabkan oleh virus epstein barr, Cytomegalovirus, campak, dan mumps meliputi bercak kemerahan, limfadenopati, hepatosplenomegali, dan pembesaran kelenjar parotis.1,9 Secara singkat, tanda klinis ensefalitis akut ialah triad ensefalitis, yaitu: nyeri kepala, demam, dan perubahan status mental.10 Ensefalitis virus dapat timbul dalam bentuk keparahan yang ringan dan sembuh spontan atau bentuk jauh lebih agresif dengan prognosis yang buruk dan gejala sisa kelainan neurologis yang parah pada penderita. 5Kaku kuduk merupakan tanda adanya keterlibatan meningeal. Demam adalah salah satu gajala yang paling sering pada presentasi penyakit, dan ketiadaannya harus meragukan diagnosis ensefalitis. Prognosis memburuk pada bayi berusia kurang dari 1 tahun. Anak-anak kecil mungkin memiliki perjalanan penyakit yang berat selama beberapa hari karena edema serebral yang parah.5 G. PEMERIKSAAN PENUNJANG1,9,121. Pemeriksaan DarahDarah perifer lengkap, biakan darah, dan tes serologis lengkap dapat dilakukan. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan jika ada indikasi. Biasanya pemeriksaan laboratorium tidak membantu kecuali untuk mengetahui proses infeksi virus yang sedang terjadi (predominan limfosit pada infeksi virus, predominan sel PMN pada infeksi bakteri. Tes serologi bergantung pada adanya titer antibodi. Deteksi dini IgM mungkin membantu diagnosis awal.2. Cairan Serebrospinal (CSS)Pungsi lumbal CSS bisa normal atau menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang: peningkatan jumlah sel 50-200/mm3, hitung jenis didominasi limfosit. Protein meningkat tetapi tidak melebihi 200 mg/dl, glukosa normal. Tes Polymerase Chain Reaction dari CSS dilakukan hanya pada kecurigaan adanya ensefalitis herpes simpleks.3. Pencitraan Gambaran computed tomography/CT-scan atau magnetic resonance imaging/MRI kepala menunjukkan edema otak baik umum atau fokal. MRI lebih sensitif daripada CT-scan dalam mendeteksi ensefalitis viral. CT-scan dapat memperlihatkan komplikasi seperti perdarahan, hidrosefalus, dan herniasi, serta dapat membantu menentukan perlu tidaknya tindakan bedah. Pada ensefalitis herpes simpleks, CT-scan memperlihatkan lesi dengan densitas rendah di lobus temporalis yang belum terlihatsampai 3-4 hari setelah awitan.4. ElektroensefalografiPemeriksaan elektroensefalografi merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat penting pada pasien ensefalitis. Walaupun kadang didapatkan gambaran normal pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal.

H. DIAGNOSIS BANDING9,121. Abses otak2. Meningitis 3. Toksoplasmosis4. Status Epileptikus5. Perdarahan Subaraknoid6. Hipoglikemia7. Kejang demam8. Neoplasma otak

I. PENATALAKSANAANTatalaksana terapi suportif berupa tata laksana hiperpireksia, keseimbangan cairan dan elektrolit, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), serta tata laksana kejang. Pasien sebaiknya dirawat di ruang rawat intensif1.Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti epilepsi, kadang diberikan kortikosteroid. Untuk mencegah kejang berulang dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital sesuai standar terapi. Peningkatan TIK dapat diatasi dengan pemberian diuretik osmotik manitol 0,5-1 gram/kg/kali atau furosemid 1 mg/kg/kali.1 Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2 minggu. Metil-prednisolon diberikan dengan dosis 15/mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam salama 3-5 hari dan dilanjutkan prednison oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari. Jika kondisi pasien telah stabil dapat dilakukan konsultasi ke Departemen Rehabilitasi Medik untuk mobilisasi bertahap, mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur.1

J. PROGNOSIS Prognosis bergantung pada virulensi virus, dan kondisi kesehatan pasien, usia sangat muda, imunitas tubuh dan kondisi neurologis. Gejala sisa yang sering ditemukan ialah gangguan penglihatan, epilepsi, palsi serebral, gangguan perilaku, dan retardasi mental.1,9

K. ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKSVirus Herpes Simpleks merupakan penyebab tersering dari ensefalitis.9 Ensefalitis herpes simplex (EHS) seringkali berakibat fatal. Virus herpes simpleks (VHS) dapat menyerang semua umur tanpa perbedaan jenis kelamin. Angka kejadian EHS adalah 1:(250.000500.000) populasi/tahun.111. Manifestasi KlinikEnsefalitis herpes simplex (EHS) dapat bermanifestasi akut atau subakut. Pada fase prodromal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat yang sangat sulit dideteksi terutama pada anak kecil. Kemudian pasien dapat mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Kejang umum pada EHS dapat diawali oleh kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal sangat singkat, orangtua seringkali tidak mengetahui. Empat puluh persen pasien datang di rumah sakit dalam keadaan koma sedangkan sisanya dalam keadaan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Kematian biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama. Pemeriksaan neurologis seringkali menunjukkan adanya hemiparesis. Hemiparesis adalah manifestasi fokal terpenting. Beberapa kasus dapat menunjukkan disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N II. Kadang-kadang manifestasi klinis menyerupai meningitis aseptik tanpa manifestasi ensefalitis yang jelas. Pada EHS, manifestasi klinis sangat tidak spesifik terutama pada anak dan diagnosis EHS sangat memerlukan kecurigaan klinis yang kuat. Secara praktis, harus selalu dipikirkan kemungkinan EHS bila menjumpai seorang anak dengan demam, kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti hemiparesis atau disfasia dengan penurunan kesadaran yang progresif.11Sekret genital yang terinfeksi saat persalinan menimbulkan kecurigaan terjadinya ensefalitis herpes simpleks pada neonatus. Gejala dapat timbul pada usia 4-11 hari disertai dengan lesi kulit yang patognomonik pada neonatus.12 2. PenatalaksanaanPengobatan dengan antivirus pada EHS harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah terjadinya nekrosis hemoragis yang ireversibel yang biasanya terjadi 4 hari setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan, karena pada fase awal tidak terdapat cara untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut saat ini adalah pengobatan segera pada pasien yang dicurigai mengalami EHS, kemudian pengobatan dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi laboratorium. Vidarabin telah diteliti pada tahun 70-an dan dapat menurunkan mortalitas dari 70% sampai 40%. Saat ini, acyclovir intravena telah terbukti lebih baik dibandingkan vidarabin dan merupakan obat pilihan pertama. Preparat acyclovir tersedia dalam kemasan 250 mg dan 500 mg, yang harus diencerkan dengan air atau larutan garam fisiologis. Dosis adalah 30mg/kgbb/24jam dibagi dalam 3 dosis. Cara pemberian secara perlahan-lahan dengan pompa suntik atau diencerkan lagi menjadi 100ml dalam larutan glukosa 5% diberikan selama 1 jam. Efek samping adalah peningkatan kadar ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian acyclovir perlahan-lahan akan mengurangi efek samping ini.11

L. JAPANESE ENCEPHALITIS Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat (otak, medula spinalis,meningen), yang disebabkan oleh virus JE yang ditularkan oleh binatang melalui gigitan nyamuk. Penyakit JE termasuk Arbovirosis (arthropod borne viral disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh artopoda. Untuk dapat berlangsungnya penyakit Arbovirosis diperlukan adanya resevoir (sumber infeksi) dan vektor. Sebagian penyakit arbovirosis resevoir utamanya adalah manusia dan vektornya nyamuk. Salah satu contoh adalah JE dengan resevoir utamanya babi dan vektornya nyamuk culex. 131. Manifestasi KlinikGejala klinis Japanese Encephalitis tidak berbeda secara klinis dengan ensefalitis yang disebabkan oleh virus lain. Namun bervariasi tergantung dari berat ringannya kelainan saraf pusat, umur dan lain- lain. Spektrum penyakit dapat berupa hanya demam disertai nyeri kepala, meningitis aseptik, dan meningoensefalitis. Masa inkubasi 4-14 hari, setelah itu perjalanan penyakit akan melalui 4 stadium klinis yaitu13:a. Stadium prodormal Terjadinya penyakit ini agak cepat. Stadium prodormal berlangsung 2-3hari dimulai dari keluhan sampai timbulnya gejala terserangnya susunan saraf pusat. Gejala yang sangat dominan adalah demam, nyeri kepala, dengan atau tanpa mengigil. Gejala lain berupa malaise, anoreksia, keluhan dari traktus respiratory seperti batuk, pilek dan keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, nyeri didaerah epigastrium. Nyeri kepala dirasakan didahi atau seluruh kepala, biasanya hebat dan tidak bisa dihilangkan dengan pemberian analgesik. Demam selalu ada dan tidak mudah diturunkan dengan obat antipiretik. Namun mungkin saja pasie JE hanya mengalami demam ringan atau gangguan pernafasan ringan. b. Stadium akutStadium akut dapat berlangsung 3-4 hari, ditandai dengan demam tinggi yang tidak turun dengan pemberian antipiretik. Apabila selaput otak telah terinfeksi dan membengkak maka pasien akan merasakan nyeri dan kekakuan pada leher. Pasien mulai merasakan dampak dari pembengkakan jaringan otak dan peningkatan tekanan intrakranial.Gejala TIK meninggi berupa gangguan kesimbangan dan koordinasi, kelemahan otot- otot, tremor, kekakuan pada wajah (wajah seprti topeng), nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran dari apatis hingga koma. Iritasi meningens berupa kuduk kaku, biasanya timbul 1-3 hari setelah sakit. Demam tetap tinggi, kontinu dan lamanya demam dari permulaan penyakit berlangsung 7-8 hari. Otot- otot kaku dan terdapat pula kelemahan otot. Kelemahan otot menyeluruh timbul pada minggu ke-2 atau minggu ke- 3, bila berlangsung hebat dan luas kadang- kadang memerlukan istirahat lama, bahkan dapat menetap sampai kebanyakan gejala lain mereda. Kelainan saraf sentral , paresis, refleks tendon dalam meningkat atau menurun dan refleks patologis babinsky positif. Pada kasus ringan mulai penyakitnya perlahan- lahan, demam tidak tinggi, nyeri kepala ringan, demam akan menghilang pada hari ke-6 atau hari ke-7 dan kelainan neurologik menyembuh pada akhir minggu ke-2 setelah mulainya penyakit. Pada kasus berat, awitanpenyakit sangat akut, kejang menyerupai epilepsi, hiperpireksia, kelainan neurologik yang progresif, penyulit kardiorespirasi dan koma, diakhiri dengan kematian pada hari ke- 7 dan ke-10 atau pasien hidup dan membaik dalam jangka waktu yang lama, kadang- kadang terkena penyulit bakteri dan meninggalkan gejala sisa permanen. Tanda yang agak khas dari JE adalah terjadinya perubahan gejala susunan saraf pusat yang cepat, misalnya penderita hiperefleksi diikuti dengan hiporefleksi. Status kesadaran pasien dapat bervariasi dari disorientasi , delirium, somnolen dan koma. Dapat disertai oliguria, diare dan bradikardi relatif. Pada stadium ini pemeriksaan pada cairan serebrospinal menunjukan leukositosis yang pada awalnya didominasi oleh sel PMN tetapi setelah beberapa hari limfositosis. Albuminuria sering ditemukan. Apabila penderita dapat melalui stadium ini, maka demam akan turun pada hari sakit ke-7 dan gejala akan menghilang pada hari ke-14. Apabila tidak, demam akan tetap tinggi dan gejala memburuk. Pada kasus yang fatal, perjalanan penyakit berlangsung cepat, penderita mengalami komadan meninggal dalam 10hari. c. Stadium sub akut Pada stadium sub akut, gejala gangguan susunan saraf pusat berkurang namun seringkali pasien menghadapi masalah pneumonia ortostatik, ISK dan dekubitus. Gangguan fungsi saraf dapat menetap, seperti paralisis spastik, hipotrofi otot, sebagai akibat perawatan lama dan pemasangan kateter urin, fasikulasi, gangguan saraf kranial dan gangguan ektrapiramidal. d. Stadium konvalesensStadium konvalesens berlangsung lama dan ditandai kelemahan, letargi, ganguan koordinasi, tremor dan neurosis. Berat badan dapat sangat menurun. Stadium ini dimulai saat menghilangnya inflamasi yaitu pada saat suhu kembali normal. Gejal neurologik bisa menetap dan cenderung membaik. Bila penyakit JE berat dan berlangsung lama maka penyembuhannya lebih lambat, tidak jarang sisa gangguan neurologik berlangsung lama. Pasien menjadi kurus dan kurang gizi. Gejala sisa yang sering dijumpai ialah gangguan mental berupa emosi tidak stabil, paralisis upper atau lower motor neuron. Seleksi kasus untuk diagnosis JE berdasarkan kriteria WHO (1979), dikutip dari Lubis:1) Demam lebih dari 380C2) Gejala rangsang meningeal (kaku kuduk, Laseque, Kernig, Brudzinsky I dan II)3) Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)4) Gangguan kesadaran (disorientasi, delirium, somnolen sampai koma)5) Gangguan saraf otak (terutama N.IX dan N.X berupa suara pelan dan parau)6) Gejala piramidal ( kelumpuhan) dan ektrapiramidal (kekakuan otot dan gerakan involunter)7) Cairan otak jernih, protein positif, glukosa: 100mg/dl.

2. Penatalaksanaan13Obat untuk antivirus JE belum ada hingga saat ini. Penatalaksanaan simtomatik untuk kejang dan pireksia dilakukan menurut seperti pada kasus ensefalitis secara umum. Terapi juga dilakukan untuk mencegah dan mengurangi edema otak. Mempertahankan fungsi metabolisme otak dengan cara pemberian cairan yang mengandung glukosa 10%, sehingga kadar gula darah menjadi normal, 100-150 mg/dl. Hindari peningkatan metabolisme otak dengan jalan mencegah hipertermia dan terjadinya serangan kejang. Pengobatan penunjang berupa perawatan jalan nafas, pencegahan syok, serta pemberian antibiotik juga diberikan. Ampisilin sebagai obat pilihan dalam mencegah infeksi sekunder dan selama belum bisa menyingkirkan kemungkinan meningitis bakterial.

DAFTAR PUSTAKA1.Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia 2009; 1: 67-682.Lewis P, Glaser CA. Encephalitis. Pediatrics in Review.2005; 26: 353-3583.Christie LJ, Honarmand S, Talkington DF, et al. Pediatric Encephalitis. Pediatrics-AAP Journal. 2007; 120 :3064.Jarman P. Neurological Disease. Kumar and Clarks Clinical Medicine. 2012; 8: 1128-11295.Ferrari S, Toniolo A, Monaco S, et al. Viral Encephalitis. Open Inf Dis J. 2009; 3: 1-36.Hassan R, Alatas A. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. 1985;2: 622-6247.Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi Kedokteran. 2004; 23: 4138.Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran. 2000; 2: 4409.Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, et al. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 2007: 49-5110.Long SS. Encephalitis Diagnosis and Management in The Real World. Adv Exp Med Biol. 201111. Pusponegoro HD. Ensefalitis Herpes Simpleks Pada Anak. 2000: Sari Pediatri; 2: 77-8112.Suharso D. Kuliah Ensefalitis Herpes Simpleks-BIKA FK UNAIR. 2005: 1-913.Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, et al. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. 2012; 2: 259-275

13