referat etikomedikolegal dnr revisi 1
DESCRIPTION
ReferatTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Do not resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya
Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan ataupun masyarakat umum jika terjadi
permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan. DNR secara umum
berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP pada saat cardiac arrest.10 Tujuan
pelayanan kegawat-daruratan kardiovaskuler atau RJP adalah untuk mempertahankan
hidup serta mengembalikan penderita dari kematian klinis.
Belakangan ini tim kesehatan ataupun tim medis terutama dokter masih sering
mengalami dilema dalam kode etik kedokteran. Dimana dokter dihadapkan oleh suatu
pilihan yang sulit apakah harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko
atau tidak terhadap keselamatan pasien. Salah satu kasus yang sering ditemukan adalah
DNR. Misalnya jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung dan sebagai dokter,
membiarkan pasien mati karena permintaan DNR dari pasien maupun keluarga. Tetapi
apabila dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati keputusan pasien/keluarga
dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk mengakhiri kehidupan, tugas
utama ialah untuk menyembuhkan dan memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter
memiliki kewajiban untuk menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh
mengabaikan permintaan pasien atau keluarga. Hal ini akan berhadapan dengan masalah
etik, apakah akan mengikuti sebuah perintah, “jangan dilakukan resusitasi ataupun tidak?”.
Pada awal dan akhir resusitasi, perbedaan etik dan norma-norma budaya juga harus
dipertimbangkan. Meskipun prinsip-prinsip etik tentang beneficence, non maleficence,
autonomy dan justice dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prioritas prinsip-prinsip
tersebut dapat bervariasi antara kebudayaan yang berbeda. Di Amerika Serikat sebagian
besar penekanan pada otonomi individual. Di Eropa lebih menekankan pada penyedia
layanan kesehatan otonomi yang menjadi tugas mereka dalam mengambil keputusan bila
timbul masalah. Sedangkan di Asia keputusan kelompok masyarakat juga ikut mendominasi
keputusan yang diambil.
1
Untuk itu pada referat berikut akan dibahas mengenai aspek etika serta medikolegal
mengenai permintaan Do not resuscitate (DNR) dari pasien maupun keluarga yang terjadi di
Indonesia dan negara lain sebagai pembanding.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bioetika
Etika kedokteran
Bioetik atau dikenal juga dengan istilah bioetika berasal dari kata bios yang memiliki
arti kehidupan dan ethos yang berarti norma-norma atau nilai-nilai moral. Bioetik merupakan
studi interdisipliner tentang masalah yang ditimbulkan oleh perkembangan di bidang biologi
dan juga ilmu kedokteran. ( Hanafiah, 2009 )
Etika kedokteran merupakan seperangkat perilaku anggota profesi kedokteran dalam
hubungannya dengan klien / pasien, teman sejawat dan masyarakat umumnya serta
merupakan bagian dari keseluruhan proses pengambilan keputusan dan tindakan medis
ditinjau dari segi norma - norma / nilai - nilai moral. ( Ismantoro, )
Saat ini, Bioetik tidak hanya membicarakan segala hal yang berkaitan dengan bidang
medis (seperti: abortus, eutanasia, teknologi reproduksi buatan, dan rekayasa genetik), tetap
juga membahas masalah kesehatan, faktor budaya yang berperan dalam lingkup kesehatan
masyarakat, moralitas, lingkungan kerja, hak pasien, dsb. ( Hanafiah, 2009 )
Prinsip dasar bioetik
Di dalam kaidah dasar bioetik terkandung prinsip-prinsip dasar bioetik yang harus
selalu diperhatikan. Empat prinsip etik (beneficence, non-maleficence, auotonomy, dan
justice) dapat diterima di seluruh budaya, tetapi prinsip etik ini dapat bervariasi antara satu
kebudayaan dengan kebudayaan yang lainnya. ( Sachrowardi, 2011 )
Di Indonesia sendiri, ada 4 prinsip berkaitan dengan bioetik yang harus selalu
dipegang oleh seorang dokter. Keempat prinsip tersebut adalah:
a. Beneficence
Beneficence adalah prinsip bioetik dimana seorang dokter melakukan suatu tindakan
untuk kepentingan pasiennya dalam usaha untuk membantu mencegah atau menghilangkan
3
bahaya atau hanya sekedar mengobati masalah-masalah sederhana yang dialami pasien.
( Pantilat, 2008 )
Lebih khusus, beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik,
menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam
kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa
seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih bayak dampak baiknya
daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi.
b. Non-maleficence
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu
perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan
yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-
maleficence. Prinsip ini dapat diterapkan pada kasus-kasus yang bersifat gawat atau darurat. (
Hanafiah, 2009 )
c. Autonomy
Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia,
terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara
logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus
dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah
dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis. ( Sachrowardi, 2011 )
Melalui informed consent, pasien menyetujui suatu tindakan medis secara tertulis. Informed
consent menyaratkan bahwa pasien harus terlebih dahulu menerima dan memahami informasi
yang akurat tentang kondisi mereka, jenis tindakan medik yang diusulkan, resiko, dan juga
manfaat dari tindakan medis tersebut ( Sachrowardi, 2011 ).
d. Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice
adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk
semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan
tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.
Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada
kesamaan dalam perlakuan kepada pasien ( Sachrowardi, 2011 ). Contoh dari justice
4
misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang
untuk merawat orang tersebut.
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal
dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang
sedang dihadapi oleh pasien ( ECC Guideline, 2010 ). Dengan mempertimbangkan berbagai
aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.
Etika Klinik
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen,Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essensial dalam
pelayanan klinik, yaitu :
1. Medical indication
semua prosedur diagnostik dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien
dan mengobatinya. Penilaian aspek medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama
menggunakan kaidah beneficence dan non-maleficence.
2. Patient preferrences
memperhatikan nilai (value) dan penilaian pasien tentang manfaat dan beban yang akan
diterimnya, yang berarti cerminan kaidah autonomi.
3. Quality of life
merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu memperbaiki, menjaga atau
meningkatkan kualitas hidup insani.
4. Contextual features
Pertanyaan etik seputar non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor
keluarga, ekonomi, agam, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.
2.2 Etika Pada Akhir Kehidupan
Persoalan yang dihadapi para professional kesehatan pada akhir kehidupan tidak kalah
pelik dibanding dengan persoalan di awal kehidupan. Persoalan dapat berupa masalah
sederhana seperti “bolehkah kita menghentikan terapi cairan dan nutrisi pada pasien ?”
hingga ke persoalan yang lebih rumit seperti, “seberapa jauh peran keluarga dalam membuat
keputusan medis terhadap pasien ?”, “apa sikap dokter bila pasien meminta terapi minimal?”
5
yang kemudian dihubungkan dengan isu tentang letting die naturally, physician assisted
suicide, physician assisted death, euthanasia, masalah futility dan brain death.
Tindakan medis yang diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan
untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut
dihentikan. Pertimbangan ini sebenarnya bukan pertimbangan baru, melainkan pertimbangan
yang telah ada pada jaman Hippocrates, yang dikenal sebagai anjuran “ to refuse to threat
those who are overmastered by their disease, realizing that in such cases medicine is
powerless”. Namun demikian keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-
sia haruslah diambil dengan melalui pertimbangan yang ketat.
Sebagai contoh adalah tindakan CPR, yang pada mulanya hanya ditujukan untuk henti
jantung yang akut dan reversible, namun dalam prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus
henti jantung di rumah sakit, seolah-olah menjadi prosedur baku. Bahkan keluarga pasien
masih dapat menuntut dokter apabila tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh
dokter telah dipertimbangkan futilitasnya.
Berkaitan dengan itu Asosiasi Dokter Amerika (AMA) memutuskan bahwa dokter tidak
memiliki kewajiban untuk memperoleh consent DNR (do not resuscitable) bila CPR dinilai
sudah merupakan toindakan sia-sia.
2.3 Hak dan Kewajiban Dokter-Pasien
1. Kewajiban Dokter
Kewajiban dokter dapat dibedakan dalam tiga kelompok,yaitu (periksa .Fred Ameln,1991:56-
57)
a. Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan(health
care);
b. Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien, meliputi:
1) Hak atas informasi;
2) Hak memberikan persetujuan;
3) Hak memilih dokter;
4) Hak memilih sarana kesehatan(RS);
5) Hak atas rahasia kedokteran;
6) Hak menolak pengobatan /perawatan;
7) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;
8) Hak untuk menghentikan pengobatan;
6
9) Hak atas “second opinion”(pendapat kedua);
10) Hak melihat rekam medis.
c. Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi kedokteran dan kewajiban yang
timbul dari standar profesi kedokteran.
2. Hak Dokter
Hak dokter meliputi antara lain ,sebagai berikut:(periksa.Fred Ameln,1991:64-66)
a. Hak untuk bekerja menurut standarmedik;
b. Hak menolak pelaksanaan tindakan medik,karena secara profesional tidak
dapat dipertanggungjawabkannya;
c. Hak melakukan tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak baik;
d. Hak mengakhiri hubungan dengan pasien ;
e. Hak atas privacy dokter;
f. Hak atas informasi pertama dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap
dokter;
g. Hak atas balas jasa;
h. Hak atas pemberian penjelasan yang lengkap oleh pasien tentang penyakitnya;
i. Hak membela diri;
j. Hak memilih pasien;
k. Hak menolak memberi keterangan tantang pasien di pengadilan.
B. Hak dan Kewajiban pasien
1. Hak Pasien
Menurut H.j.j. Leenen,hak pasien yang bersifat umum dapat dirinci sebagai
berikut:
(Periksa Prasetyo Hadi Purwandoko dan Suranto,1991:66-67)
a. Hak atas perawatan dan pengurusan perawatan;
b. Hak menolak cara perawatan tertentu;
c. Hak untuk memilih tenaga kesehatan dan rumah sakit;
d. Hak atas informasi;
e. Hak menolak cara perawatan tanpa ijin;
f. Hak atas rasa aman dan tidak diganggu (“privacy”);
g. Hak atas pembatasan terhadap pengaturan kebebasan perawatan ;
7
h. Hak untuk mengakhiri perjanjian perawatan.
Sedangkan menurut keputusan hukum kesehatan ,kewajiban pasien dirinci
sebagai berikut :(Periksa. Fred Ameln,1991: 40-41)
a. Hak atas informasi ;
b. Hak memberikan persetujuan ;
c. Hak memilih dokter;
d. Hak memilih sarana kesehatan (RS);
e. Hak atas rahasia kedokteran ;
f. Hak menolak pengobatan /perawatan;
g. Hak menolak suatu tindakan medis tertentu;
h. Hak untuk menghentikan pengobatan ;
i. Hak atas “second opinion “(pendapat kedua);
j. Hak melihat rekam medis.
Hak butir a dan b tersebut dinamakan “informed Consent”.
Dari hak-hak pasien tersebut dimuka ,ada dua hak yang sangat
penting ,sebagai dasar atau tumpuan hukum kedokteran ,yaitu hak menentukan
nasib sendiri dan hak atas informasi.
2. Kewajiban Pasien
Selain mempunyai hak pasien juga mempunyai kewajiban. Suatu kewajiban
moral pasien ialah memelihara kesehatannya . Kewajiban pasien ini merupakan
hak bagi dokter /rumah sakit . Kewajiban pasien menurut hukum dapat dirinci
sebagai berikut : (Lihat Soerjono Soekanto,1989:162-163)dan Fred
Ameln,1991 :53-54)
a. Kewajiban memberikan informasi secara lengkap kepada dokter / tenaga
kesehatan tentang penyakitnya;
b. Kewajiban melaksanakan nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter /
tenaga kesehatan (mentaati petunjuk dan instruksi dokter);
c. Kewajiban menghormati kerahasiaan diri dan dokter/ tenaga kesehatan
wajib menyimpan rahasia kedokteran;
d. Kewajiban memberikan ganti rugi bila tindakannya (pasien) merugikan
pihak lain ;
8
e. Kewajiban berterus terang bila timbul masalah (dalam hubungannya dengan
tenaga kesehatan);
f. Kewajiban mentaati aturan rumah sakit ;
g. Kewajiban memberikan imbalan jasa kepada dokter/ tenaga profesional yang
telah diberikan oleh dokter/tenaga kesehatan;
h. Kewajiban melunaskan biaya rumah sakit.
Dari penjelasan dimuka ,jelaslah bahwa akibat transaksi terapeutik dokter
pasien ialah lahirlah hak dan kewajiban masing- masing pihak (dokter-pasien ).
Salah satu syarat agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ialah adanya
persetujuan ,yaitu persetujuan untuk dirawat dengan menggunakan cara
/teknik/terapi tertentu yang sudah disepakati bersama berdasarkan informasi yang
lengkap dan akurat tentang penyakit yang dideritanya tentang kemungkinan
akibat yang bisa timbul,yang akhirnya berdasarkan informasi tersebut
menentukan sendiri sikap terhadap salah satu dari sekian banyak cara
/teknik/terapi yang diinformasikan kepadanya.
Dalam transaksi terapeutik upaya penyembuhan merupakan perjanjian
yang sifatnya memberikan bantuan pertolongan . Dengan demikian merupakan
upaya yang hasilnya belum pasti . Dan yang penting ialah bahwa bantuan
pertolongan itu harus dengan hati-hati dan penuh ketegangan (“medzorg on
inspanning”). Upaya penyembuhan hanyalah satu “inspanningsverbintenis”,satu
perjanjian mengupayakan penyembuhan yang harus dilakukan dengan hati-hati
dan penuh ketegangan .Akibatnya bila upaya penyembuhan gagal,maka kesalahan
tidak hanya ditimpahkan kepada dokter saja,karena sejak semula upaya yang
berupa terapi itu dicari bersama –sama dan disepakati bersama dalam memilih
yang paling tepat ,jadi kegagalan merupakan konsekuensi bersama antara Dokter
–Pasien (Periksa. Hermien Hadiati Koeswadji,1984: 31-33 dan Fred
Ameln,1991:42).
Informed Consent sebagai persetujuan sepihak dari pasien tidak mungkin
diberikan bila tidak didasarkan atas informasi tentang penyakit dan upaya
penyembuhan yang lengkap ,jelas,serta tindakan –tindakan apa yang dapat
dilakukan , serta kemungkinan- kemungkinan apa saja yang dapat terjadi.
Informed Consent inilah yang dijadikan dasar bagi pasien untuk akhirnya
memutuskan secara mandiri atau tidak ada tindakan terapeutik yang akan diambil.
9
Kedudukan Informed consent yang demikian itu harus dicatat dan direkam dalam
Rekam Medik /Kesehatan (RM/K), yang dalam kepustakaan disebut “medical
record” Dengan demikian persetujuan merupakan dasar bagi pembenaran
dilakukannya salahsatu tindakan terapeutik tertentu karena persetujuan baik
tertulis maupun diam-diam mempunyai arti diatas hukum ,sebab dalam perjanjian
peresetujuan merupakan syarat bagi berlakunya persetujuan .
Dalam transaksi terapeutik , para pihak dalam perjanjian itu bukan hanya
dokter-pasien saja secara pribadi. Sebab pasien /penderita akan berusaha
mendatangi baik dokter sebagai orang perseorangan maupun orang dalam bentuk
badan hukum(rumah sakit ,yayasan,atau lembaga lain ).Sehingga dapat dibedakan
antara kelompok pasien yang memang secara nyata mengadakan perjanjian dan
kelompok pasien yang tanpa mengadakan suatu perjanjian . Pembedaan ini
memperjelas hubungan yang dapat ditimbulkan secara langsung dari adanya
perjanjian yang membebankan hak dan kewajiban terhadap para pihak dalam
perjanjian . Hal ini penting dalam kaitannya bila terjadi kesalahan yang
disengaja ,yang dapat diselesaikan secara langsung oleh pihak yang dirugikan
kepada pihak yang menyebabkan kesalahan tadi. Pentingnya hal tersebut,karena
dalam hukum ada pihak –pihak yang tidak mampu bertindak dalam perjanjian
(seperti : anak dibawah umur,orang yang cacat jiwanya),sehingga mereka tidak
mampu bertindak secara mandiri sebagai pihak dalam perjanjian. Disamping itu
dari pihak dokter pun ,dalam perjanjian dapat terjadi pada seorang perawat yang
tidak mempunyai kewenangan bertindak tetapi menjalankan tugasnya karena
perintah dokter atau rumah sakit . Perjanjian dengan rumah sakit akan
mempunyai efek yang berbeda.Lebih- lebih bila dalam penanganan pelayanan
kesehatan tersebut pihak yang dimaksud berupa tim.
Sedangkan syarat lainnya agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ,
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian , sebagaimana dapat dilihat dalam pasal
1320 KUH Perdata (BW), yaitu antara lain : adanya kata sepakat para pihak, para
pihak mampu untuk bertindak , isi perjanjian jelas , dan apa yang diperjanjikan
tidak boleh bertentangan dengan undang – undang maupun hukum yang berlaku
pada saat perjanjian itu dibuat (Periksa syarat umum perjanjian di dalam 1320
KUH Perdata /BW). Disamping itu ,isi dan pelaksanaan perjanjian pada
hakekatnya berisikan hal-hal :tidak bertentangan dengan kepatutan , berdasarkan
10
etikad baik, dan mencakup kepentingan para pihak. Kepatutan dan etikad baik itu
dikaitkan dengan tolak ukur yang berlaku dalam masyarakat setempat.
2.4 Do not resuscitate (DNR)
2.4.1 Definisi
DNR atau do-not-resuscitate adalah suatu perintah yang memberitahukan tenaga medis
untuk tidak melakukan RJP. Hal ini berarti bahwa dokter, perawat, dan tenaga emergensi
medis tidak akan melakukan usaha RJP emergensi bila pernapasan maupun jantung pasien
berhenti.
2.4.2 Sejarah DNR
Perintah DNR sudah dipergunakan selama kurang lebih dua decade, argumen untuk
penggunaan DNR meliputi peningkatan otonomi pasien, menghindari intervensi medis yang
sia-sia, dan biaya rawat inap. ICU merupakan pengaturan dimana pasien dapat dikenakan
intervensi medis yang mahal, menyakitkan, dan tidak manusiawi, terutama pada prektek yang
terkait dengan jantung paru. Sejumlah penelitian telah menunjukan bahwa dalam situasi
klinis tertentu, cpr hampir selalu sia-sia. Tugas dokter adalh untuk mengkomunikasikan
pengetahuannyatentang kedua kemungkinan apa yang terjadi, dan hasil yang bisa dicapai dari
rjp kepadda pasien dan keluarga pasien dan kemudian untuk membantu pasien atau keluarga
pasien dalam mambuat keputusan tentang resusitasi. Kunci untuk proses ini addalah tindakan
di awal, komunikasi efektif antara dokter, pasien dan keluarga pasien.
Awalnya digambarkan pada tahun 1960, penekanan pada dada di dekat jantung
diterapkan pada pasien yang mengalami kardio pulmonal arrest. Singkat kata, pasien yang
dilakukan usaha CPR banyak yang sekarat. Literature menunjukan bahwa resusitasi diyakini
menjadi sia-sia atau non beneficial, staf rumah sakit mengupayakan resusitasi palsu atau tidak
mengaktifkan “tim kode” sama sekali, beberapa lembaga bahkan mengembangkan cara
rahasia untuk mengidentifikasi orang – orang yang tidak akan memenuhi syarat untuk upaya
resusitasi. Ke khawatiran yang timbul mengenai dokumentasi yang tidak memadai,
akuntabilitas dokter, dan fakta bahwa pasien dan keluarga mereka sering dikecualikan dari
proses pengambilan keputusan. Tuduhan paternalism dan pengambilan keputusan rahasia
11
yang dibuat, dan kekhawatiran yang timbul mengenai erosi kepercayaan antara petugas
kesehatan dan masyarakat.
Itu tidak sampai pertengahan 1970 an bahwa keputusan untuk tidak resusitasi di
sahkan. Di Amerika Serikat, American Medical Association pertama di rekomendasikan
bahwa keputusan untuk mengobarkan resusitasi secara resmi didokumentasikan dan
dikomunikasikan. Selain itu juga ditekankan bahwa CPR dimaksudkan untuk pencegahan
kematian (tiba-tiba/ terminal), eksplisit dnr kebijakan segera diikuti, dan hak pasien untuk
menentukan nasib sendiri dipromosikan. Pada akar dari perdebatan, diasumsikan bahwa
pasien akan selalu memilih resusitasi, dan bahwa segala sesuatu yang bertentangan dengan
itu diperlukan persetujuan eksplisit mereka. Kritikus mempertanyakan pendekatan semacam
itu dan berpendapat bahwa CPR tidak pernah dimaksudkan dalam segala situasi, oleh karena
itu CPR hanya ditawarkan kepada mereka yang secara medis diindikasikan. Namun, tahun
1983, komisi presiden untuk studi masalah etis di kedokteran tidak setuju, upaya resusitasi
yang dilakukan dihampir semua kasus, dan pasien dianggap telah melakukan persetujuan
implisit untuk CPR dengan demikian, CPR menjadi standar perawatan, dan semua pasien
“kode penuh” kecuali jelas didokumentasikan sebaliknya. Perintah DNR kemudian di
terapkan disemua lingkungan rumah sakit.
2.4.3 Indikasi dan kontraindikasi medis untuk DNR
Keputusan untuk menulis perintah DNR harus didasarkan pada dua pertimbangan
penting. Yang pertama adalah penilaian bahwa RJP akan sangat tidak mungkin untuk berhasil
dalam memulihkan irama jantung kembali ke normal. Kedua didasarkan pada preferensi
pasien, Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pasien atau pengganti. Preferensi pasien
seringkali mencerminkan penilaian mereka sendiri terhadap kualitas hidup sendiri. Kedua
aspek harus dinilai dalam setiap keputusan untuk menulis perintah DNR.
Semua orang yang menderita henti kardiorespirasi tak terduga harus dilakukan RJP,
kecuali:
A. Pasien memiliki perintah DNR.
B. Ada bukti yang meyakinkan bahwa pasien sudah mati, seperti rigor mortis,
pemenggalan kepala, atau sianosis
12
C. Tidak ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi vital telah
memburuk meskipun telah diberikan terapi maksimal untuk kondisi seperti syok
kardiogenik.
2.4.3.1 Permintaan DNR sepihak
Hal ini didapatkan dari persetujuan dari pasien atau wali pasien untuk tidak dilakukan
RJP. Namun, ahli etika medis memberikan beberapa pertanyaan, apakah pernah secara etis
dapat diterima oleh seorang dokter untuk membuat keputusan sepihak, yaitu keputusan untuk
tidak melakukan resusitasi tanpa persetujuan dari pasien atau wali pasien, bahkan mungkin
dalam menghadapi keberatan dari pasien atau pengganti. Mereka yang mendukung keputusan
sepihak berpendapat bahwa penilaian medis untuk tidak melakukan RJP bukan indikasi
medis ketika akan probabilistic yang sia-sia. Dalam kasus seperti itu, mereka berpendapat,
tidak harus ditawarkan sebagai pilihan klinis yang wajar. Mereka yang menolak keputusan
sepihak mempertahankan bahwa pasien harus selalu memiliki hak untuk menolak atau
memilih RJP, Karena keputusan tentang tujuan pengobatan, dan kemungkinan diterima untuk
mencapai tujuan tersebut adalah pertimbangan nilai yang hanya dapat dibuat oleh pasien
tersebut. Tergantung pada tujuan bahkan kesempatan terkecil untuk kesuksesan resusitasi
kepada pasien. para kritikus juga mencatat bahwa ada kekurangan kesepakatan tentang apa
yang dimaksud dengan "sia-sia" dan bahwa dokter tidak konsisten dalam aplikasi mereka
dalam konsep kesia-siaan. Akhirnya, mereka juga memperingatkan bahwa keputusan sepihak
terbuka bagi minoritas biasa terhadap resiko ras dan pasien lain yang mungkin mengalami
diskriminasi.
2.4.4 Dokumentasi permintaan DNR
Dokter harus jelas menulis dan menandatangani perintah DNR dalam grafik pasien.
Catatan kemajuan harus mencakup fakta-fakta medis dan pendapat yang mendasari tatanan
dan ringkasan dari diskusi dengan pasien, konsultan, staf, dan keluarga. Status permintaan
harus diubah jika diperlukan karena kondisi pasien. Semua orang yang terlibat dengan
perawatan pasien harus diberitahu tentang permintaan DNR dan dasar pemikirannya. Karena
penelitian telah menunjukkan bahwa DNR berarti hal yang berbeda untuk praktisi yang
berbeda, dokter menulis permintaan harus berhati-hati untuk mendokumentasikan persyaratan
spesifik dari permintaan. Keputusan untuk menahan atau menarik intervensi selain DNR
13
harus dicatat dengan penulisan perintah khusus bukan menggunakan urutan DNR untuk
menutupi berbagai keputusan. Penulisan permintaan DNR seharusnya tidak memiliki
bantalan langsung pada setiap pengobatan selain RJP. Dokter harus ingat bahwa banyak
pasien untuk permintaan DNR bertahan untuk menunggu surat persetujuan permintaan pasien
dikeluarkan dari rumah sakit. Jika pasien diterima kembali, Permintaan DNR yang ada di
grafik pasien dari pengakuan sebelumnya harus ditinjau bersama pasien dan pengganti dan
dalam indikasi medis yang jelas.
Jika perintah DNR belum ditulis, pasien dianggap menjadi "kode penuh". umum,
petugas rumah dan perawat yang ingin mengetahui kode status pasien sakit parah atau dengan
pengganti, terutama jika pengakuan pasien yang tiba-tiba dan tak terduga. jika pasien untuk
siapa kode status belum ditentukan menderita serangan jantung, upaya pernafasan yang wajar
harus berlaku, kecuali dalam sebuah contoh dari kesia-siaan fisiologis yang jelas.
Perintah DNR untuk pasien harus tertulis baik di catatan medis pasien maupun di
catatan yang dibawa pasien sehari-hari, di rumah sakit atau keperawatan, atau untuk pasien di
rumah. Perintah DNR di rumah sakit memberitahukan kepada staf medis untuk tidak
berusaha menghidupkan pasien kembali sekalipun terjadi henti jantung. Bila kasusnya terjadi
di rumah, maka perintah DNR berarti bahwa staf medis dan tenaga emergensi tidak boleh
melakukan usaha resusitasi maupun mentransfer pasien ke rumah sakit untuk CPR.
2.4.5 Portabilitas DNR
Pasien untuk permintaan DNR telah ditulis di rumah sakit mungkin debit dengan
harapan bahwa mereka akan segera mati. Dan pasien ingin mati di rumah sendiri daripada di
rumah sakit. Anggota keluarga terkadang memanggil bantuan darurat jika pasien mengalami
kondisi krisis di rumah. Di Amerika Serikat, paramedis yang datang ke rumah pasien untuk
memberikan resusitasi biasanya tidak menanyakan perihal adanya advance directive yang
dimiliki pasien, dan kemudian memberikan resusitasi tanda mempertimbangkan keinginan
pasien. Seiring dengan perkembangan waktu, dikembangkanlah cara-cara untuk melindungi
pilihan individual pasien yang sudah dibuat sebelumnya, yakni untuk tidak menerima
resusitasi. Metode ini disebut sebagai portable DNR. Metode ini berupa benda-benda yang
sudah dibentuk secara standar seperti gelang, kalung ataupun kartu yang dapat disimpan pada
dompet pasien untuk menandakan bahwa pasien memiliki permintaan tertentu yang berkaitan
dengan aspek medis terhadap dirinya. Bagi pasien yang memiliki benda-benda yang seperti
14
yang tersebut diatas, maka petugas paramedic yang dtaang tidak diperkenankan melakukan
RJP jika diperlukan, meskipun perawatan dan pengobatan lainnya dapat dilakukan.
2.4.6 Tipe permintaan DNR
Keberagaman pasien, penyakit, dan pengobatan membuat perintah DNR harus
dilakukan penyesuaian sewaktu-waktu. Beberapa contoh pelayanan DNR yang biasa
dilakukan:
DNR pada perawatan
Jenis perintah DNR tipe ini dilakukan langsung ketika pasien melakukan
permintaan. Meliputi pelayanan kesehatan sebelum dan setelah terjadinya henti
jantung ataupun henti paru, termasuk tidak diberikannya obat-obatan resusitasi
pada saat akan terjadi henti jantung atau henti paru. Permintaan ini biasanya
diminta oleh pasien dengan penyakit yang tidak bisa disembuhkan, harapan hidup
yang kecil, kemungkinan bertahan dari RJP yang sedikit, dan keinginan untuk
membiarkan terjadinya kematian secara alami tanpa diberikan intervensi.
DNR pada henti kardiorespirasi
Jenis DNR ini diberlakukan ketika pasien mengalami henti jantung atau henti
paru. Obat-obat resusitasi masih diberikan pada saat sebelum terjadinya henti
jantung ataupun henti paru, namun tidak saat kedua kondisi ini telah terjadi pada
pasien. Tipe DNR ini adalah DNR yang paling sering ditemui sebagai permintaan
oleh pasien dan ditemukan pada rekam medis pasien.
DNR spesifik
Tipe DNR spesifik adalah tipe DNR yang jelas menyebutkan permintaan dari
pasien. Tindakan resusitasi apa yang tidak diinginkan pasien, waktu yang
bagaimana tidak dilakukan lagi resusitasi, terangkum dalam permintaan DNR tipe
ini. Permintaan DNR ini biasanya tidak bersifat portable dan hanya bisa dilakukan
pada rumah sakit yang memang menjadi tempat pasien biasa mendapatkan
pelayanan medis.
2.4.7 Kriteria Pasien Kompeten dan tidak kompeten mengambil keputusan DNR
Perintah DNR dapat diminta oleh pasien dewasa yang kompeten mengambil keputusan,
telah mendapat penjelasan dari dokternya, atau bagi pasien yang dinyatakan tidak kompeten,
15
keputusan dapat diambil oleh keluarga terdekat, atau wali yang sah yang ditunjuk oleh
pengadilan, atau oleh surrogate decision-maker.
Dengan pertimbangan tertentu, hal-hal di bawah ini dapat menjadi bahan diskusi perihal
DNR dengan pasien/walinya:
a. Kasus-kasus dimana angka harapan keberhasilan pengobatan rendah atau CPR hanya
menunda proses kematian yang alami
b. Pasien tidak sadar secara permanen
c. Pasien berada pada kondisi terminal
d. Ada kelainan atau disfungsi kronik dimana lebih banyak kerugian dibanding
keuntungan jika resusitasi dilakukan
Berikut merupakan kriteria bagi pasien yang dianggap kompeten dan tidak kompeten
dalam memberikan perintah DNR serta pihak lain yang dapat mengambil keputusan (pada
pasien yang tidak kompeten) ;
a. Kriteria pasien kompeten
1. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa yang telah berusia lebih dari 18 tahun,
yang memikili kapasitas yang adekuat untuk membuat keputusan dan memiliki
kesadaran untuk menanggung resiko dari keputusan yang dibuat.
2. Pasien yang kompeten telah dengan sadar membuat keputusan untuk melakukan DNR
setelah mendengarkan penjelasan tentang segala hal yang berhubungan dengan
tindakan tersebut dan konsekuensinya. Jika terdapat keraguan, maka pasien dapat
berkonsultasi dengan komite etik rumah sakit.
3. Jika pasien memang kompeten untuk mengambil keputusan tersebut maka persetujuan
keluarga, petugas medis, atau pengambilan keputusan lainnya tidak dibutuhkan untuk
mensahkan keputusan. Adanya ketidaksetujuan dari keluarga tidak bisa membatalkan
keputusan yang diambi9l oleh pasien yang kompeten.
b. Kriteria pasien tidak kompeten
1. Seorang pasien yang tidak kompeten adalah pasien yang berusia dibawah 18 tahun,
dan atau memiliki retardasi mental sehingga tidak dapat memutuskan atau
mempertanggungjawabkan keoutusan yang diambil seputar DNR.
16
2. Ketika menangani pasien yang tidak berkompeten, seorang dokter perlu memikirkan
keputusan medis seperti apa yang sekiranya tidak akan efektif jika diberikan untuk
mengantisipasi adanya keinginan pasien membuat pernyataan DNR.
3. Pada pasien yang tidak kompeten, yang lebih penting untuk dipikirkan oleh seorang
dokter adalah bahwa tindakan permintaan DNR tidak dapat disetujui oleh dokter yang
merawat. Dikarenakan hal tersebut, dokter harus berdiskusi dengan keluarga pasien
untuk mengambil keputusan yang menyangkut keinginan pasien.
4. Jika pasien mengikuti suatu asuransi, maka dokter yang merawat harus mengikuti
keputusan yang sudah dimiliki oleh asuransi tempat pasien ikut. Dokter yang merawat
perlu mendiskusikan keaadaan pasien dengan dokter perusahaan yang dimiliki oleh
pihak asuransi pasien.
5. Jika pasien memiliki pelindung yang ditunjuk, dokter harus mengikuti keputusan yang
diambil oleh pelindung pasien. Dokter harus mendiskusikan keadaanpasien dengan
pelindung yang memiliki otoritas terhadap perawatan medis pasien. Dokumen yang
berhubungan dengan hubungan pasien dan pelindung harus disertakan dlaam rekam
medis pasien.
6. Seorang dokter tidak dibenarkan secara etik untuk mempertahankan atau mengambil
keputusan terhadap intervensi yang menyangkut pilihan hidup pasien. Jika pandangan
dokter secara medis berbeda dengan pihak pasien maka keluarga, wali yang ditunjuk,
ataupun pelindung pasien berhak mencari pandangan lain tentang keadaan pasien
pada dokter lainnya. Jika hal ini terjadi, maka dokter yang merawat pasien harus
memberikan tanggung jawab merawat pasien pada dokter yang dipercaya oleh
keluarga untuk merawat pasien.
c. Wali/Pengampu dari Pengambil Keputusan (Surrogate Decision Makers)
Ketika seorang pasien telah kehilangan kapasitas untuk membuat keputusan medis, maka
saudara dekat atau teman- nya dapat menjadi wali/pengampu dalam membuat keputusan
pengganti bagi pasien. Banyak Negara mempunyai hukum yang menunjuk wali/pengampu
pengganti hukum pembuat keputusan melalui kuasa hukum perawatan kesehatan untuk waktu
yang lama (durable power of attorney for health care). Adapun urutan prioritas pembuat
keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai berikut: (1) pasangannya, (2) anak
dewasa, (3) orang tua, (4) saudara kandung, (5) orang yang dipilih pasien sebagai wali
pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan inkapasitas dan (6) perawat kesehatan yang
17
profesional yang ditunjuk oleh hukum. Pengganti atau wali/ pengampu harus membuat
keputusan yang sesuai dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai kapa- sitas
dalam mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan yang
diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien.1
Anak-anak harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan pada tingkat yang sesuai
dengan kedewasaan dan sebaiknya ditanya tentang persetujuan perawatan kesehatan pasien
ketika dia mampu melakukannya. Di banyak negara berapa usia yang pantas untuk diminta
mengambil keputusan ini berbeda-beda. Jika terdapat konflik antara or- ang tua dan anak
dalam mengambil keputusan maka setiap upaya harus dilakukan untuk menyelesaikan
konflik.
2.4.8 Advance Directive
Advance directive atau petunjuk perawatan mendatang adalah suatu dokumen sah
secara hukum, yang ditulis sebelum pasien menderita penyakit yang bersifat incapacitating,
pernyataan ekspresi dari pikiran pasien, tentang kepeduliannya terhadap keinginan, atau
preferensi pada akhir kehidupan. Petunjuk ini meleluasakan pasien untuk menyatakan
preferensinya mengenai perawatan medis. Terdiri dari dua jenis dokumen yaitu:
Living will
Living Will atau surat wasiat yang menginstruksikan dokter yang merawat pasien
tersebut untuk tidak memberikan pengobatan untuk memperpanjang hidup jika
pasien menderita penyakit yang bersifat terminal condition atau permanently
unconscious. Dalam surat wasiat ini juga harus dituliskan apabila pasien tidak
menginginkan perawatan seperti pemberian makanan atau minuman melalui alat
bantuan.
Durable Power of Attorney for Health care.
Durable Power of Attorney for Health Care atau surat kuasa tanpa waktu tertentu
untuk perawatan kesehatan adalah dokumen yang memberikan wewenang pada
orang yang pasien tunjuk untuk bertindak sebagai wakil pasien untuk membuat
keputusan medis bagi pasien jika dirinya menjadi tidak mampu melakukannya
sendiri. pasien dapat menyertakan petunjuk tentang perawatan apa yang
diinginkan atau tidak diinginkan, berapa lama pasien ingin mencoba pengobatan
yang memungkinkan kesembuhan dalam dokumen ini.
18
Adapun urutan prioritas pembuat keputusan untuk wali yang ditunjuk adalah sebagai
berikut:
(1) pasangannya, (2) anak dewasa, (3) orang tua, (4) saudara kandung, (5) orang yang dipilih
pasien sebagai wali pengganti apabila pasien nanti dalam keadaan inkapasitas dan (6) perawat
kesehatan yang profesional yang ditunjuk oleh hukum. Pengganti atau wali/pengampu harus
membuat keputusan yang sesuai dengan keinginan pasien pada saat pasien tidak mempunyai
kapasitas dalam mengambil keputusan. Jika keinginan pasien tidak diketahui maka keputusan
yang diambil harus berdasarkan kepentingan yang terbaik untuk pasien.
Dokumen-dokumen ini dapat diubah sewaktu-waktu isinya atas sekehendak pasien.
Perbedaan dari kedua jenis dokumen ini adalah, surat wasiat berlaku apabila pasien sudah
tidak memiliki harapan untuk hidup, sedangkan surat kuasa tanpa waktu tertentu untuk
perawatan kesehatan berlaku bilamana pasien menjadi tidak mampu untuk membuat
keputusan – misalnya, sewaktu operasi, atau bahkan bila pasien dalam keadaan tidak sadar
sementara. Dokumen-dokumen ini dapat dicabut atau dibatalkan oleh pasien secara lisan atau
tertulis setiap saat. Beberapa hal yang memepengaruhi dokumen-dokumen ini seperti
perceraian yang membuat perwalian pengambilan hak keputusan medis menjadi berakhir jika
yang menjadi wali adalah pasangan dari pasien dan pasien belum mencantumkan nama
alternative di dalam dokumen milik pasien. Salinan dari dokumen-dokumen ini dimiliki oleh
dokter, rumah sakit, keluarga dan orang yang dipilih oeh pasien unutk menjadi walinya dalam
mengambil keputusan medis, atau disimpan pada tempat perawatan jangka panjang, misalnya
panti jompo.
Belakangan ini, suatu prosedur dimana pasien dapat menolak tindakan ke dalam suatu
pernyataan resmi disebut sebagai Advance Decision to Refuse Treatment (ADRT). Syarat hak
pengajuan ADRT kepada dokter dan pekerja kesehatan lain umumnya sama syaratnya dengan
syarat pasien yang kompeten dalam permintaan DNR. Pembuat ADRT harus benar-benar
memahami implikasi dari ADRT ketika dibuat. Salah satu kunci pembuatan keputusan adalah
memastikan kevalidan ADRT.
Pembuatan ADRT dapat dalam bentuk formulir dan dapat juga dalam tulisan sendiri, dan
sebaiknya:
1. pernyataan yang ditulis akan lebih valid dan jelas, namun tetap valid jika dibuat
secara lisan dan direkam kedalam catatan
2. berikan rincian pembuat termasuk nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, alamat,
19
dan identifikasi lainnya yang diperlukan
3. termasuk nama dan alamat dokter
4. termasuk sebuah pernyataan bahwa ADRT sebaiknya digunakan jika orang tidak
memiliki kapasitas untuk menetapkan keputusan tindakan
5. tentukan dengan spesifik perawatan yang ditolak dan keadaan-keadaan dimana ADRT
akan berlaku
6. tulis tanggal (dan tanggal untuk peninjauan). Hal ini berguna untuk kepentingan anda
untuk meninjau ADRT secara teratur
7. tanda tangan pembuat ( atau tanda tangan seseorang yang telah dimintai pembuat atas
nama dan kehadiran mereka)
8. tanda tangan saksi, nama, dan rincian kontak yang bisa dihubungi, ditandatangani
dihadapan pembuat.
Penolakan perawatan oleh pasien dapat pula hingga penolakan pada perawatan petahanan
hidup (Refusal of Life Sustaining Treatment), yang termasuk dalam perawatan pertahanan
hidup ialah:
Cardio-pulmonary resuscitation : digunakan untuk 'memulai ulang' kerja jantung dan
pernapasan dan melibatkan tekanan kearah bawah secara teratur di atas dada bersama
tindakan napas buatan lewat mulut pasien atau tindakan pemberian oksigen.
Ventilasi: ini untuk menyediakan bantuan pernapasan dan melibatkan pemberian
oksigen atau lewat mesin ventilator yang mengalihkan fungsi pernapasan pasien.
Nutrisi dan hidrasi: ini adalah cara pemberian makanan maupun minuman lewat jalur
selain dari mulut. Tindakan ini melibatkan sebuah pipa atau tube terpasang langsung
menghubungi lambung lewat hidung atau dengan cara pemberian nutrisi dan hidrasi
lewat drip.
Sangat penting bagi pasien untuk mendiskusikan implikasi seputar penolakan perawatan
yang bersifat mempertahankan hidup dengan para pekerja kesehatan profesional ketika
keputusan mungkin berubah dengan keadaan.
Jika ADRT digabungkan dengan Penolakan Perawatan Pertahanan Hidup, maka dalam
pengajuannya mesti:
dalam tulisan (jika pasien tak dapat menulis, seseorang harus menuliskan untuk
pasien)
20
ditandatangani oleh pembuat (pasien) (jika pasien tak dapat menandatangani, ia dapat
menunjuk langsung seseorang atas nama mereka)
ditandatangani di depan saksi. Saksi harus juga menandatangani di depan pembuat.
Harus ada pernyataan jelas bahwa ADRT tersebut berlaku untuk pengobatan tertentu
'bahkan jika kehidupan berada dalam resiko'.
Harus dicatat bahwa ADRT dalam bentuk lisan atau verbal tidak termasuk pengajuan
Penolakan Perawatan Pertahanan Hidup. ADRT dapat saja ditarik kembali sewaktu-waktu
oleh pasien (kecuali jika ADRT mengenai penolakan perawatan yang bersifat pertahanan
hidup). Jika hal ini terjadi dokter harus membuat pernyataan tertulis dan membiarkan orang-
orang yang terlibat dalam rencana perawatan tahu. Jika ADRT ditarik kembali, segala salinan
dari dokumen asli harus ditandai 'tidak aktif lagi'. Tanggal pembatalan dan siapa yang
membatalkan ADRT harus dicantumkan(1)
Pasien kemudian dapat menjalani pengobatan secara paliatif dengan tujuan meringankan
beban pasien, apalagi untuk kondisi kesehatannya yang tidak mungkin dilakukan. Tindakan
yang ada hanya untuk menghilangkan nyeri atau keluhan yang meresahkan lain, serta
perbaikan dalam bidang psikologis, sosial, dan spiritual. Tujuannya untuk mencapai kualitas
hidup maksimal bagi pasien dan keluarganya; yang diberikan pasien menjelang akhir
hayatnya(2)
Segala tindakan yang dilakukan harus dibawah standar prosedur operasional layanan
medis di rumah sakit yang berlaku saat ini. Rumah sakit juga harus memastikan pelayanan
medis dapat terselenggara dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan dan adanya
kepastian bahwa para profesional medis patuh pada peraturan dan prosedur baku(3)
Seperti informed consent, ADRT dibuat atas dasar menghormati otonomi dari pasien.
Disini pasien dinilai layak memutuskan untuk dirinya sendiri karena sadar, berpendidikan
cukup tinggi, dan sudah dewasa (usia 62 tahun). ADRT dapat disertai atau tidak disertai oleh
penolakan perawatan penunjang hidup (Refusal of Life Sustaining Treatment).
ADRT belum secara diatur oleh hukum yang sekarang terdapat di Indonesia. Namun
aspek hukum yang terkait ialah Pasal 52 Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dimana tertuliskan hak-hak pasien yang salah satunya tertulis dalam huruf d ialah
“menolak tindakan medis”.
Dengan adanya ADRT maka dokter mempunyai bukti yang dapat membebaskanya
dari ancaman Pasal 531 KUHP yang bertuliskan: “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa
21
ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan
padanya, tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika
kemudian orang itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.”.
Bila seorang dokter mengabaikan prinsip otonomi dan mengabaikan ADRT yang
telah dibuat oleh pasien, maka hal tersebut merupakan suatu pelanggaran etiko profesi
kedokteran. MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) akan menyidangkan kasus
dugaan pelanggaran etik tersebut dan memutuskan sanksi berdasarkan bukti-bukti yang ada.
2.4.9 Do not resuscitation (DNR) dan Allow Natural Death (AND)
Venneman et al, berpendapat bahwa Do not resuscitation adalah bermasalah dan
harus diganti dengan membiarkan mati wajar atau Allow Natural Death (AND),10 akan tetapi
beberapa penulis mengatakan bahwa Do not resuscitation (DNR) sama dengan Allow Natural
Death (AND).
Beberapa studi menyimpulkan bahwa 85% dari tenaga kesehatan umumnya
mendukung perubahan DNR ke AND. RJP telah disetujui oleh American Heart Association
tahun 1974 dan sejak itu, semakin banyak rumah sakit dan asosiasi medis profesional telah
mengadopsi pedoman untuk DNR orders. DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan
menerima RJP pada saat cardiac arrest.10 Namun istilah DNR dianggap lebih negatif karena
mengandung kata “do not” sehingga seringkali mempengaruhi keputusan pasien maupun
keluarga serta orang terdekat. Sehingga bagi beberapa tenaga medis di berbagai Negara
seperti Razak Dosani, Kepala Intensive Care Unit (ICU) Lee Memorial Hospital's dalam
sebuah artikel mengatakan lebih nyaman untuk menggunakan terminologi “Allow Natural
Death” sehingga pasien yang secara emosional bukan secara klinis terlibat dalamnya dapat
membantu pasien maupun keluarga dalam pembuatan keputusan.
2.4.10 Aspek Etika DNR
a. Beneficence
Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi. Jarang sekali pasien bertahan
22
hidup setelah dilakukan RJP ketika henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers- ible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Sehingga pada pasien terminal yang meminta DNR, dimana kemungkinan bertahan hidup sangat rendah, dengan melakukan tindakan RJP tidak membawa dampak serta keuntungan dalam penyembuhan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan DNR tidak bertentangan dengan prinsip etik beneficence.
b. Non-maleficence
Non-malficence adalah suatu prinsip dimana seorang dokter tidak melakukan suatu
perbuatan atau tindakan yang dapat memperburuk pasien. Dokter haruslah memilih tindakan
yang paling kecil resikonya. “Do no harm” merupakan point penting dalam prinsip non-
maleficence.
c. Autonomy
Dalam prinsip ini, seorang dokter wajib menghormati martabat dan hak manusia,
terutama hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasien diberi hak untuk berfikir secara
logis dan membuat keputusan sesuai dengan keinginannya sendiri. Autonomy pasien harus
dihormati secara etik, dan di sebagain besar negara dihormati secara legal. Akan tetapi perlu
diperhatikan bahwa dibutuhkan pasien yang dapat berkomunikasi dan pasien yang sudah
dewasa untuk dapat menyetujui atau menolak tindakan medis.
d. Justice
Justice atau keadilan adalah prinsip berikutnya yang terkandung dalam bioetik. Justice
adalah suatu prinsip dimana seorang dokter wajib memberikan perlakukan yang adil untuk
semua pasiennya. Dalam hal ini, dokter dilarang membeda-bedakan pasiennya berdasarkan
tingkat ekonomi, agama, suku, kedudukan sosial, dsb.
Diperlukan nilai moral keadilan untuk menyediakan perawatan medis dengan adil agar ada
kesamaan dalam perlakuan kepada pasien ( Sachrowardi, 2011 ). Contoh dari justice
misalnya saja: dokter yang harus menyesuaikan diri dengan sumber penghasilan seseorang
untuk merawat orang tersebut.
Untuk menentukan apakah diperlukan nilai keadilan moral untuk kelayakan minimal
dalam memberikan pelayaan medis, harus dinilai juga dar seberapa penting masalah yang
23
sedang dihadapi oleh pasien ( ECC Guideline, 2010 ). Dengan mempertimbangkan berbagai
aspek dari pasien, diharapkan seorang dokter dapat berlaku adil.
2.4.11 Aspek Medikolegal DNR
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik
Kedokteran
Pasal 52 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 45 ayat (3) UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Pasal 53 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Pasal 50 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
24
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya;
d. dan menerima imbalan jasa.
Pasal 51 UU RI Nomor 29 Tahun 2004
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.
2. Pasal 531 KUHP
Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi
maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya
menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam jika kemudian orang
itu meninggal, dengan kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah.
3. Persetujuan Tindakan Medik
Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
a. Persetujuan tindakan medik/ informed consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik;
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh;
25
d. Dokter adalah dokter umum/dokter spesialis dan dokter ggi/dokter gigi spesialis
yang bekerja di rumah sakit, puskesmas, klinik atau praktek perorangan/bersama.
Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tulisan maupun lisan
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta
resiko yang dapat ditimbulkannya.
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan
serta kondisi dan situasi pasien.
Pasal 13. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari
pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat
izin prakteknya.
2.5 Contoh Kasus
Berikut merupakan contoh kasus permintaan Do not resuscitate (DNR) di Indonesia serta di
luar Indonesia;
1. Indonesia
Pasien laki-laki umur 32 tahun mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien tersebut
menderita cedera kepala berat (GCS = 8). Keadaan umum : lemah, koma. TD = 90/60 mmHg,
N= 110 x/ i, P= 30 x/i. Setelah dilakukan penanganan awal, pembebasan jalan nafas,
oksigenasi, dan resusitasi cairan. Saya lakukan pemeriksaan lanjutan di daerah dada,
didapatkan pengembangan dada tidak simetris kiri kanan, dada kiri lebih lambat, pemeriksaan
perkusi didapatkan dada kiri hipersonor, dan di dukung dengan hasil foto thoraks untuk
didiagnosa Pneumothoraks paru kiri, saya konsul ke spesialis bedah (sesuai prosedur rs)
maka di adviskan untuk segera dilakukan thorakotomi untuk mengeluarkan udara dari rongga
pleura, setelah informed consent dengan menjelaskan prosedur, alasan dilakukan, komplikasi
selama tindakan dan setelah tindakan, keluarga pasien menyetujui dan tanda tangan informed
consent, Setelah itu pasien kami observasi di ICU (sesuai instruksi dokter spesialis), pasien
26
masih tidak sadar sampai subuh, sekitar pukul 04.30 wita pasien tidak bernafas, nadi tidak
teraba, kami informed consent untuk melakukan RJP atau pijat jantung. Namun pihak
keluarga pasrah dan menolak dilakukan RJP, saat itu alasan keluarga agar pasien pergi
dengan tenang. Saat itu sudah kami jelaskan alasan dilakukan, akhirnya keluarga pasien
menandatangani surat penolakan tindakan, pasien tidak lama meninggal.
2.
BAB III
SARAN DAN KESIMPULAN
27
28