referat kolesistolitiasis bedah rsmr
TRANSCRIPT
REFERAT
KOLESISTOLITIASIS
Disusun Oleh :
Yosep Sutandar (11-2011-066)
Dokter Pembimbing :
Dr. Tri Djoko Widagdo, Sp.B
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT MARDI RAHAYU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
KUDUS, 2012
Kata Pengantar
egala puji dan syukur penyusun panjatkan ke Tuhan Yang Maha Esa, yang dengan
pertolongan-Nya, referat yang berjudul “Kolesistolitiasis” dapat selesai disusun.
Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna
memenuhi persyaratan penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah di Rumah Sakit Mardi
Rahayu, Kudus.
SPenghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada Dr. Tri Djoko Widagdo, Sp.B
yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini.
Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam referat ini masih jauh dari sempurna, baik
mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan referat ini. Oleh karena itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu
pengetahuan bagi kita semua.
Kudus,
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar...........................................................................................................................2
Daftar Isi.....................................................................................................................................3
BAB I. Pendahuluan.................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................4
1.2 Epidemiologi..........................................................................................................4
BAB II. Isi
2.1 Definisi.................................................................................................................5
2.2 Anatomi................................................………………………………………....5
2.3 Fisiologi............................................................………………………….........7
2.4 Etiologi................................………………………………………………….....10
2.5 Patofisiologi.................................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinik.........................................................................................15
2.7 Diagnosis.....................................................................................................16
2.8 Penatalaksanaan............................................................................................23
2.9 Prognosis.....................................................................................................26
BAB III. Kesimpulan…………………………………………………………………...........27
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………......28
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangInsiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20
juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika,
batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG maka banyak
penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas.
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis
penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan
atau samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone).1
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin
yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya
batu tersebut berbeda-beda. Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya
fungsi dari kandung empedu, selain itu merupakan factor predisposisi terjadinya kanker
pada kandung empedu.
1.2. EpidemiologiInsiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa
dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di
negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara
diagnosis dengan ultrasonografi. Di negara Barat, 90% batu empedu adalah batu
kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhir-akhir ini. Sebaliknya di
Asia Timur, lebih banyak batu pigmen dibanding dengan batu kolesterol, tetapi angka
kejadiaan batu kolesterol sejak 1965 makin meningkat.
Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih
umum, angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang
terdapat di negara Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti Singapura,
4
Malaysia, Thailand, dan Filipina. Hal ini menunjukan bahwa faktor infeksi empdeu oleh
kuman gram negatif E.coli ikut berperan penting dalam timbulnya batu pigmen.2
BAB II
ISI2.1. Definisi
Kolesistolitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung
empedu. Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam
kandung empdu. Bila batu kandung empedu ini berpindah ke dalam saluran empedu ke
ekstrahepatik disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder.1,2
2.2. AnatomiSistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh bersama.
Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan tersebut akan
menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum akan menjadi
gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus, ductus biliaris communis (ductus
choledochus) dan bagian cranialnya menjadi hati dan ductus hepaticus biliaris.1
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti
kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum.
Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana
fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX
kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas,
belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam
omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk
duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.
5
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri. Bagian
hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang disebut
kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus
interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah belakang,
akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum descendens.
Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan ductus
pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga keadaan
di mana masing-masing mengeluarkan isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada
pertemuan (muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut
choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut Papilla Vatteri. Ujung
distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum.1
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan.
V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang
sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf
yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.1
6
Gambar 1. Anatomi Sistem Bilier
2.3. FisiologiEmpedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mensekresi
glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan mukosa,
sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan kelarutan kalsium,
sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran cairan empedu
diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan
tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan
disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu akan
berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Aliran
tersebut sewaktu-waktu seperti disemprotkan karena secara intermiten tekanan saluran
empedu akan lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Kolesistokinin (CCK) hormon sel
APUD (Amine Precusor Uptake and Decarboxylation cells) dari selaput lendir usus
halus, dikeluarkan atas rangsang makanan berlemak atau produk lipolitik di dalam
lumen usus. Hormon ini merangsang nervus vagus sehingga terjadi kontraksi kandung
empedu. Dengan demikian, CCK berperan penting terhadap terjadinya kontraksi
kandung empedu setelah makan.2
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
7
Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, karena
asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang
penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.2
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus
coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting
untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi
lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini
yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi
dari kandung empedu.
8
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.2
Gambar 2. Fisiologi Kandung Empedu
KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU
Komponen Dari Hati Dari Kandung
Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -
Tabel 1. Komposisi Cairan Empedu
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu :
Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
9
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam
makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-
partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus
dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam empedu dalam
lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan
bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen
distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena
radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.3
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera berubah
menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin
bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel
darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.3
2.4. Etiologi2.4.1. Batu Kolesterol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa, penduduk
asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya : Obesitas, kehamilan,
kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia sangat
berhubungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan faktor risiko major
dari terjadinya batu kolestrol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang berulang.
Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas kandung empedu,
sehingga terjadi retensi dan meningkatnya konsentrasi empedu pada kandung empedu.
Penyebab lain statisnya kandung empedu, pemberian nutrisi secara parenteral,
penurunan berat badan yang cepat (diet, gastric bypass surgery).
10
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol. Clofibrate atau
golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via sekresi empedu. Analog
somatostatin menurunkan proses pengosongan pada kandung empedu.1,2
2.4.2. Batu Pigmen
Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary
spherocytosis, dan beta-thalasemia.
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan splenomegali,
sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari penderita sirosis memiliki
batu pigmen.1,2
2.5. PatofisiologiBatu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor
predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung
empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung
empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi
progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri
dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu
empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah :
terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu
dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah
kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena
sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak
dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu
beberapa tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu.
11
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.4
Patofisiologi Batu Empedu
a. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90
% kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar batu empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.1,4
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
- Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang
tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle
yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi
lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol
terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 :
30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa
mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan lecithin
jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
12
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan batu
kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain menyatakan
bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
- Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas
pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang
menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
- Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan
dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal
kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan, pada
pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi, karena
pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi mucus yang
berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal kolesterol dan sukar
dipompa keluar.1,4
13
Gambar 3. Batu Kolesterol
Gambar 4. Formasi Batu Kolesterol Kandung Empedu
b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.
Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras dan
penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu empedu.
Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam. Bilirubin pigemen kuning
yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel liver.
Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang larut air
dann stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi yang tidak
larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan mencakup
sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal
yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi
14
pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara Timur, tingginya
insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi bakteri sekunder
dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris
Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan
bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium bilirubinat
yang tak dapat larut.1,4
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
- Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang
berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi
saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi
yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang
dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung
glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
- Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh
bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 %
batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides.
Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing
tambang.
Gambar 5. Batu Pigmen
c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini sering
ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk,
15
berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol
2.6. Manifestasi Klinik1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.4
2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang
baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran
kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah
makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu
empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan
serangan kolik biliaris.4
3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan
sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita usia pertengahan
dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus
sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah nyeri
perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului
sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah epigastrium post prandial. Nyeri ini
bertambah saat inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau
ke ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan,
yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia,
nyeri tekan pada kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti
16
bernafas sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan
hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik.4
2.7. Diagnosis2.7.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolesistolitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikondrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4
2.7.2. Pemeriksaan fisik
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu,
empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan
dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda
Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.4
17
Gambar 6. Murphy Sign
2.7.3. Pemeriksaan Penunjang
2.7.3.1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar
fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat
sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.4
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase )
dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase )
merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit.
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu.4
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat
tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus
meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan
alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan
dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K
tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat
diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.4
18
2.7.3.2. Pemeriksaan Radiologis
Foto Polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat
dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar
atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di
kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura
hepatica.4,5
Gambar 7. Foto Polos Abdomen dengan Batu Empedu
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab
lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena
terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada
batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.4,5
Gambar 8. USG Abdomen
19
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.
Gambar 9. Kolesistogram
Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau
salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh
jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis
merupakan kontraindikasi.
Gambar 10. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
20
Kolangiopankeatografi Endoskopik Retrograde (ERCP= Endoscopic Retrograde
Cholangio Pancreaticography)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater dapat
diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan. Pada
beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga, misalnya
tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus duodenum dan
sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan kolangiografi
transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi sebaiknya
dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya potensi
yang 'baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi
untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal).4,5
Gambar 11. ERCP
21
Gambar 12. ERCP
CT Scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan
massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil ultrasound masih
meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan.
22
23
2.8. PenatalaksanaanPenatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu tersebut
menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai ialah
kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang
digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu ( asam
ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik
apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi kandungan kolesterol. 5
2.8.1. Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut
24
Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,
penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada
empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam
empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian
akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil
bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol.
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang lalu,
analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar telah
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi
adjuvant asam ursodeoksilat.5
2.8.2. Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum
diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang terkait
usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema kandung empedu,
diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang dinamakan kolesistostomi
dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif. Indikasi yang paling umum
untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi.
Langkah-langkah pada kolesistektomi terbuka:
1. Insisi
Jenis insisi yang dapat digunakan ialah insisi subkosta kanan atas, insisi kocher, insisi
kocher termodifikasi dan insisi tranverse.
25
Gambar 13. Jenis insisi pada abdomen
2. Peletakan 2 mop basah
Yang pertama digunakan untuk menyingkirkan duodenum, kolon transversum dan
usus halus. Yang kedua digunakan di kiri common bile duct untuk menyingkirkan
gaster ke kiri.
3. Dapat melihat kandung empedu
Bagian bawah lobus kanan hepar ditarik ke atas menggunakan retracter agar
kandung empedu lebih terekspos.
4. Pengangkatan kandung empedu
Terdapat 2 metode
a. Metode duct first
Yang pertama didiseksi ialah duktus sistikus dan arteri kemudian dipisahkan
setelah kandung empedu diangkat.
Indikasi : tidak ada adhesi atau eksudat pada CBD, CHD dan CD
Kontraindikasi : adanya adhesi dan eksudat.
b. Metode fundus first
Diseksi dimulai dari fundus kandung empedu dan kemudian berlanjut pada duktus
sistikus.
Indikasi : adanya adhesi atau eksudat di CBD, CHD dan CD
26
1. Insisi kocher
7. Insisi transverse
Laparoskopik kolesistektomi
Berbeda dengan kolesistektomi terbuka, pada laparoskopik hanya membutuhkan
4 insisi yang kecil. Oleh karena itu, pemulihan pasca operasi juga cepat. Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan lebih cepat, hasil
kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih
murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut
serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum
dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa
perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko
trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%.
Dengan menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat
nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
KolesistostomiPada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis, yang dapat
dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa drainase di dalam
kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi dapat dilakukan.Endoscopic Sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini kanula
diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan spinterectome
elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian CBD yang mengarah
ke intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi. Prosedur ini terutama
digunakan pada batu yang impaksi di ampula vateri.5,6
2.9. PrognosisRatio mortalitas pada kolesistektomi adalah 0,5% dan morbiditas kurang dari 10%.
Setelah kolesistektomi, batu kandung empedu dapat timbul kembali. Sekitar 10-15%
pasien dapat terjadi koledokolitiasis. Prognosis pada pasien dengan koledokolitiasis
tergantung dari adanya dan berat ringannya komplikasi. Pada pasien yang menolak
dilakukannya pembedahan , 45% tetap asimptomatik koledokolitiasis.4
27
BAB III
KESIMPULAN
Kolesistolitiasis dipengaruhi oleh beberapa factor, di antaranya etnis, jenis
kelamin, komorbiditas, dan genetic. Insidens kolesistolitiasis di negara Barat adalah
sekitar 10-20 %, dan biasanya terjadi pada orang dewasa tua dan lanjut usia. Prevalensi
kolelitiasis di Asia dan Africa lebih rendah daripada negara Barat. Angka kejadian pada
wanita lebih banyak 2-3 kali lebih banyak daripada pria. Risiko terjadinya kolesistolitiasis
juga meningkat dengan bertambahnya umur.
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu
bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran. Patofisiologi dari
terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia lebih banyak batu pigmen.
Kebanyakan kolesistolitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda. Perpindahan
batu menuju ductus cysticus menyebabkan kolik selain itu dapat menyebabkan kolesistitis
akut. Kolangitis dapat terjadi ketika batu menghambat duktus hepaticus atau ductus
billiaris sehingga mengakibatkan infeksi dan inflamasi. Kolelitiasis kronik menyebabkan
fibrosis dan hilangnya fungsi dari kandung empedu, selain itu merupakan factor
predisposisi terjadinya kanker pada kandung empedu.
Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan
penyakit kandung empedu dan saluran empedu.
Pengobatan pada kolesistolitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika
tidak ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi
gejala, maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non
operatif dengan cara konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.
28
Daftar Pustaka
1. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th edition.
2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
2. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 1.
1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.
3. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of Pathophysiology.
New York : Thieme,p:164-7.
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 1.
2004. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 570-80.
5. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary Surgery. In :
Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington : Lippincott Williams &
Wilkins.
6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In : Sabiston
Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
29