referat meningitis thyposa print

36
REFERAT BLOK TROPICAL MEDICINE MENINGITIS TYPHOSA Pembimbing : dr.Tutik Ida R, M.Kes KELOMPOK 1 Herlando Junanta K1A006005 Yosefin R K1A006015 Diny Rachma PH K1A006034 Novi Rostikasari K1A006047 Edi Wibowo K1A006059 Eldora Maresaning N K1A006072 Filly Ulfa K K1A006084 Tiarasari Nurjuni Evi K1A006096 Dwi Purnamasari K1A006108 Febry Laurino K1A006120 Octaria Tutut A K1A006134 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: yosefin-ratnaningtyas

Post on 29-Jun-2015

922 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

REFERAT

BLOK TROPICAL MEDICINE

MENINGITIS TYPHOSA

Pembimbing :

dr.Tutik Ida R, M.Kes

KELOMPOK 1

Herlando Junanta K1A006005

Yosefin R K1A006015

Diny Rachma PH K1A006034

Novi Rostikasari K1A006047

Edi Wibowo K1A006059

Eldora Maresaning N K1A006072

Filly Ulfa K K1A006084

Tiarasari Nurjuni Evi K1A006096

Dwi Purnamasari K1A006108

Febry Laurino K1A006120

Octaria Tutut A K1A006134

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2009

Page 2: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis merupakan salah satu penyakit infeksi SSP yang akut dan memiliki angka

kematian dan kecacatan yang tinggi. Diagnosis meningitis sering mengalami keterlambatan

karena gejala dan tanda klinis meningitis tidak spesifik terutama pada bayi. Usia terbanyak

yang menderita meningitis yaitu pada usia 1 – 4 tahun. Terdapat distribusi kasus yang sama

pada musim kemarau maupun hujan. Penderita dibawa ke RS terutama setelah > 72 jam

setelah sakit dengan penurunan kesadaran apatis hingga koma. Meningitis bakteri dapat

menyebabkan kecacatan pada anak. Kecacatan terutama adalah perkembangan motorik

yang abnormal. Gejala dan tanda klinis meningitis bakteri sangat tidak spesifik terutama pada

bayi dan hal tersebut menimbulkan tingginya angka kecacatan dan kematian (Japardi, 2002).

Meningitis merupakan infeksi dan inflamasi yang mengenai meningens (selaput

otak), yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit atau jamur. Meningitis berdasarkan

penyebabnya dapat dibagi menjadi :

a. Meningitis bakterial, disebabkan oleh bakteri yang bersifat akut dan sangat berbahaya.

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu

Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,

Streptokokus dan Salmonella typhi.

b. Meningitis virus yaitu meningitis yang disebabkan oleh virus, contohnya yaitu herpes

virus, arbovirus, measles dan varicella.

c. Meningits yang disebabkan oleh bakteri bersifat akut dan sangat berbahaya, penyakit

yang disebabkan oleh bakteri memiliki gejala yang klasik. Contoh bakteri yaitu

Streptococcus pneumonia, Listeria, E. Coli, Hemophilus influenza, Stapilokokus,

Streptokokus dan Salmonella typhi.

d. Meningitis karena parasit disebabkan oleh Nigleria fowleri ataupun Acanthamoeba.

Angka kejadian dari bakteri tersebut berbeda menurut umur penderita. Pada

neonatus (0-30 hari) meningitis sering disebabkan oleh E.coli diikuti oleh Streptococcus B

hemoliticcus, Listeria monocytogenes, Staphilococcus aureus dan Streptococcus pneumoni.

Pada bayi (31-60 hari) meningitis disebabkan oleh Streptococcus B hemoliticus diikuti oleh

Haemophilus influenza, Neisseria meningitidis dan gram negatif Enterobacilli. Pada anak 2

bulan sampai 4 tahun meningitis sering disebabkan oleh haemophillus influenza diikuti oleh

Neisseria meningitidis, Staphilococcus aureus, dan pada anak lebih besar dan dewasa sering

disebabkan oleh Streptococcus pneumonia diikuti oleh Neisseria meningitidis,

Staphilococcus aureus dan Haemophillus influenza. Angka kejadian dari meningitis

mengalami penurunan di dunia Barat terutama disebabkan oleh meningkatnya derajat sosial

Page 3: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

dan higienis personal. Setelah antibiotika mulai digunakan, angka kematian kemudian

mengalami penurunan. Di Amerika menurut survey epidemiologi pada 27 negara bagian dari

tahun 1978-1981 angka kematian untuk meningitis akibat Haemophillus influenza adalah 6%,

untuk Neisseria meningitidis sebesar 10% dan untuk Septrococcus pneumonia 26,3% (Beek

et al, 2006).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negatif yaitu

Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, kuman tersebut dapat masuk ke dalam tubuh

manusi melalui makanan yang terkontaminasi oleh kuman. Selama terjadi infeksi, kuman

tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan

ke aliran darah. Meningitis typhosa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang

mengenai meningens yang diakibatkan karena keadaaan toksemia berat, kelemahan umum

dan bila perawatan pasien kurang sempurna (Parry et al, 2002).

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak tergantung pada

iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di daerah tropis.

Beberapa negara yang merupakan endemic untuk kejadian demam tifoid yaitu Afrika dan

Asia, Eropa bagian selatan dan timur, Amerika bagian selatan. Di Indonesia demam tifoid

jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di

suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Hal

ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu

yang kurang baik. Demam tifoid dapat di temukan sepanjang tahun. Insiden tertinggi

didapatkan pada anak-anak (Parry, 2005).

Di Indonesia, diperkirakan antara 800 - 100.000 orang terkena penyakit tifus atau

demam tifoid sepanjang tahun, demam ini terutama muncul di musim kemarau. Demam tifoid

dapat ditemukan pada semua umur, tetapi yang paling sering pada anak yang berusia 5- 9

tahun dan laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan perbandingan 2-3 : 1. Penularan

dapat terjadi dimana saja, kapan saja, sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi

makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih.

Biasanya baru dipikirkan suatu demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1

minggu yang tidak dapat turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan anak baring

pasif, nampak pucat, sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari. Insidensi

demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Di

daerah rural (Jawa Barat) terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah

urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan

berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi

lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memadai syarat kesehatan

lingkungan.

Page 4: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Bila dilihat insidensi demam tifoid berdasarkan golongan umur, maka golongan umur

yang berisiko tinggi (vulnerable group) untuk menderita demam tifoid adalah kelompok anak

umur 3-19 tahun. Kelompok umur ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu

kelompok anak sekolah, yang kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain

di luar rumah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penularan kemungkinan besar

terjadi di luar rumah. Pendapat ini didukung oleh kenyataan bahwa selama 2,5 tahun

pelacakan demam tifoid di Kompleks Pertamina, Plaju tak ada satu keluargapun di mana ada

2 orang menderita demam tifoid sekaligus atau berurutan. Hal ini memberi isyarat bahwa

pengawasan kesehatan pada penjual makanan jajanan perlu mendapat perhatian dan

bimbingan dari para petugas kesehatan terkait (Simanjuntak, 1998).

Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga terdapat beberapa

penyakit tropis yang prevalensinya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya.

Meningitis typhosa merupakan salah satu penyakit infeksi yang terdapat di Indonesia

diakibatkan karena infeksi dari Salmonella typhi yang menginfeksi selaput otak. Referat ini

merupakan salah satu media belajar mahasiswa kedokteran untuk lebih memahami

mengenai suatu penyakit. Tujuan dari referat kali ini yaitu untuk mengetahui :

i. Definisi meningitis typhosa

ii. Etiologi meningitis typhosa

iii. Faktor predisposisi meningitis typhosa

iv. Tanda dan gejala meningitis typhosa

v. Patogenesis meningitis typhosa

vi. Diagnosis meningitis typhosa

vii. Pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil dari pemeriksaan penunjang

meningitis typhosa

viii. Penatalaksanaan meningitis typhosa

ix. Komplikasi meningitis typhosa

x. Prognosis meningitis typhosa

Pada referat kali ini mahasiswa diharapkan dapat lebih mengetahui dan memahami

mengenai penyakit infeksi yang sering terjadi terutama di negara tropis, salah satunya yaitu

meningitis typhosa, sehingga dapat mengurangi terjadinya komplikasi ataupun angka

kematian yang disebabkan karenan meningitis typhosa. Mahasiswa juga dapat mengetahui

mengenai gejala dan tanda yang khas pada pasien meningitis typhosa, serta pemeriksaan

penunjang yang diperlukan pada penyakit tersebut.

Page 5: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Meningitis thyposa adalah radang akut pada selaput otak yang disebabkan oleh

salmonella tertentu yaitu S.typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B, dan kadang-kadang

jenis salmonella yang lain. Infeksi karena s. thypi cenderung lebih berat daripada bentuk

infeksi salmonella yang lain (Swarga, 2008).

B. Mikrobiologi Salmonella typhi

1. Morfologi dan Identifikasi

Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak

membentuk spora, dan tidak berkapsul. Salmonella typhi sering bersifat patogen

untuk manusia atau hewan bila masuk melalui mulut. Bakteri ini ditularkan dari

hewan atau produk hewan kepada manusia, dan menyebabkan enteritis, infeksi

sistemik, dan demam enterik. Panjang Salmonella bervariasi. Kebanyakan spesies,

kecuali salmonella pullorum-gallinarum dapat bergerak dengan flagella peritrica.

Bakteri ini mudah tumbuh pada kultur biasa, tetapi hampir tidak pernah meragikan

laktosa atau sukrosa. Bakteri ini membentuk asam dan kadang-kadang gas dari

glukosa dan manosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat tetap dapat

hidup pada suhu ruang dan suhu yang rendah selama beberapa hari dan dapat

bertahan hidup selama berminggu-minggu dalam sampah, bahan makanan kering,

dan bahan tinja. Salmonella resisten terhadap zat-zat kimia tertentu (misalnya hijau

brilliant, natrium tetrationat, dan natrium deoksikolat) yang umumnya digunakan

untuk menghambat bakteri enteric lainnya sehingga senyawa tersebut bermanfaat

untuk mengisolasi salmonella dari tinja pada kultur biakan (Swarga, 2008).

Page 6: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Gambar 2.1. Strukur Salmonella Typhi

2. Struktur Antigen

Meski pada awalnya salmonella dideteksi berdasarkan sifat-sifat biokimianya,

golongan, dan spesiesnya harus diidentifikasi dengan analisis antigen. Seperti

Enterobacteriaceae lain, salmonella memiliki beberapa antigen O dan antigen H.

Beberapa salmonella juga memiliki antigen simpai (K), yang disebut Vi, yang dapat

menggangu aglutinasi melalui antiserum O dan protein membran terluar/outer

membrane protein yang juga bersifat sebagai antigen . Penjelasan masing-masing

antigen tersebut adalah sebagai berikut :

a. Antigen O

Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.

Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap

pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.

b. Antigen H

Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi

dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal

yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada

pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.

c. Antigen Vi

Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari

fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1

jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan

untuk mengetahui adanya karier.

Page 7: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

d. Outer Membrane Protein (OMP)

Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar

membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap

lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan

protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein

OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk

difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan

denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A,

protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya

masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen

OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa (Wardani

et al., 2005)

Tes aglutinasi dengan antiserum serapan untuk antigen O dan H yang berbeda

merupakan dasar untuk klasifikasi salmonella secara serologik.

3. Klasifikasi

Klasifikasi kelompok Salmonella-Arizona cukup rumit karena organisme ini lebih

merupakan suatu rangkaian kesatuan dibanding dengan spesies tertentu. Sistem

klasifikasi Salmonella terdiri dari tiga spesies utama yaitu : Salmonella typhi (satu

serotipe), Salmonella choleraesuis (satu serotipe), dan Salmonella enteritidis (lebih

dari 1500 serotipe). Penentuan serotipe didasarkan atas reaktifitas antigen O dan

antigen H bifasik. Hampir semua Salmonella yang menyebabkan penyakit pada

manusia dan dapat diisolasi dari hewan berdarah panas adalah golongan Salmonella

cholerasuis, sementara yang lainnya terutama diisolasi dari hewan berdarah dingin

dan lingkungan. Salmonella yang secara rutin diidentifikasi karena penting dalam

klinik adalah S.thypi, S.cholaraesuis, S.parathypi A, dan S.parathypi B. Salmonella

ini dapat diidentifikasi berdasarkan tes biokimia dan penentuan serogroup, diikuti

dengan penentuan serotype (Prasetyo et al., 2005).

C. Faktor Predisposisi

Beberapa kondisi pasien dengan otitis media, pneumonia, sinusitis akut, dan sickle

sell anemia dapat meningkatkan kemungkinan terjadi meningitis. Fraktur tulang

tengkorak atau pembedahan spinal dapat juga menyebabkan meningitis. Selain itu

meningitis juga dapat terjadi pada individu dengan gangguan sistem imun, seperti AIDS

dan defisiensi imunologi baik yang congenital ataupun yang didapat. Meningitis thyposa

Page 8: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

lebih sering ditemukan pada anak-anak mungkin disebabkan oleh sistem imun anak-

anak yang belum matang dan masih rentan terhadap penyakit infeksi (Arisandi, 2008).

D. Manifestasi Awal Demam Tifoid

Infeksi awal meningitis thyposa dimulai dengan gejala-gejala demam tifoid. Masa

inkubasinya rata-rata bervariasi antara 7-20 hari dengan masa inkubasi terpendek 3 hari

dan terlama adalah 60 hari. Lamanya masa inkubasi berhubungan dengan jumlah kuman

yang ditelan, keadaan umum atau status gizi serta status imunologis pasien. Walaupun

gejala demam tifoid ini bervariasi namun secara garis besar dapat dikelompokan, antara

lain :

- Demam satu minggu atau lebih;

- Gangguan pencernaan; dan

- Gangguan kesadaran (Rampengan et al., 1997).

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai infeksi akut pada

umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, dan konstipasi.

Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Demam yang

terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti orang dewasa, kadang-kadang

mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan

remiten (39-41◦C) serta dapat juga bersifat ireguler terutama pada bayi dan tifoid

kongenital. Setelah minggu kedua maka gejala dan tanda klinis makin jelas, berupa

demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin

disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai dengan yang berat (Rampengan et

al., 1997; Darmowandowo, 2002).

Lidah tifoid terjadi beberapa hari setelah panas meninggi dengan tanda-tanda

antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak lebih

pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif akan

terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominem (Rampengan et al., 1997).

Page 9: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Gambar 2.3. Lidah Tifoid

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.

Merupakan nodul kecil menonjol dengan diameter 2-4cm, berwarna merah pucat, serta

hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman dimana di dalamnya

mengandug kuman salmonella dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, dan

kadang-kadang daerah pantat maupun bagian flexor lengan atas. Limpa pada umumnya

juga sering membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama. Pembesaran

ini harus dibedakan dengan pembesaran oleh karena malaria. Pembesaran limpa pada

tifoid tidak progresif dengan kosistensi lebih lunak (Darmowandowo, 2002).

Tofoid kongenital didapatkan dari ibu hamil yang menderita demam tifoid dan

menularkan pada janin melalui darah. Pada umumnya besifat fatal namun pernah

dilaporkan tifoid kongenital dapat hidup dengan gejala tidak khas dan menyerupai sepsis

neonatorum. Pada tipe kongenital kuman dapat ditemukan dalam darah, hati, limpa,

serta kelainan patologis pada usus tidak didapatkan. Hal ini menjelaskan bahwa pada

tifoid kongenital penularannya lewat darah dan secara cepat menimbulkan gejala-gejala

tifoid sepsis pada janin. Demam tifoid pada anak usia < 2 tahun jarang dilaporkan, bila

terjadi biasanya gambaran klinisnya berbeda dengan anak yang lebih besar.

Kejadiannya sering mendadak disertai panas yang tinggi, muntah-muntah, kejang, dan

tanda-tanda perangsangan meningeal. Pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis

(20.000-25.000/mm3), limpa sering teraba pada pemeriksaan fisik. Perjalanan fisiknya

lebih pendek, lebih variasi, sering tidak melebihi minggu, angka kematian yang tinggi

(12,5%) (Rampengan et al., 1997).

Page 10: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Gambar 2.2. Pasien Demam tifoid

E. Komplikasi Demam Tifoid Anak

Pada akhir minggu ke-2 sampai masuk minggu ke-3 merupakan masa yang

berbahaya. Pada minggu ke-2 atau lebih, sering timbul komplikasi demam tifoid mulai

dari yang ringan sampai berat bahkan kematian. Dengan terapi yang tepat, banyak

penderita yang sembuh dari demam tifoid. Namun tanpa terapi yang tepat, beberapa

penderita mungkin tidak selamat dari komplikasi demam tifoid (Darmowandowo, 2002).

Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah perdarahan usus dan

perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid yang

muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5 persen penderita demam tifoid mengalami

komplikasi ini. Perdarahan usus umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar,

nyeri pada perabaan, seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya

syok, diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang

keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus, sehingga

membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut

(peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan perawatan medis yang segera

(Darmowandowo, 2002).

Komplikasi lain yang lebih jarang, antara lain :

1. Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare. Sehingga

dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit.

2. Kejang Demam

3. Gangguan Kesadaran

4. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).

5. Pneumonia.

6. Peradangan pankreas (pankreatitis).

7. Infeksi ginjal atau kandung kemih.

Page 11: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

8. Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).

9. Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis

F. Manifestasi Klinis Meningitis Thyposa

Meningitis Thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang harus

diwaspadai karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian bila tidak segera

diobati. Beberapa gejala yang harus diperhatikan pada meningitis thyposa antara lain :

a. Kaku pada tengkuk

b. Menghindari cahaya

c. Demam

d. Terlihat sakit keras

e. Bercak bercak merah pada kulit

f. Nadi cepat

g. Cengeng (terutama pada anak-anak)

h. Lemah dan lesu

i. Kejang

Tanda lokalisatorik yang khas untuk meningitis karena bakterial adalah kaku kuduk

dan likuor yang memperlihatkan cirri-ciri sebagai berikut :

1. Pleitosis polinuklearis yang berjumlah lebih dari 1000 per mm kubik

2. Kadar glukosa yang rendah

3. Protein dalam likuor meninggi

4. Preparat dan biakan likuor memperlihatkan bakteri, khususnya dalam penyakit ini

adalah bakteri Salmonella (Mardjono et al.,1994)

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Demam tifoid

a. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan

hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan

aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta

laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal

yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam

tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi

dugaan kuat diagnosis demam tifoid (Prasetyo et al., 2005).

Page 12: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

b. Identifikasi kuman melalui isolasi/biakan

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum

atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan

lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. Hasil biakan yang

positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan

demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor

yang mempengaruhi hasil biakan meliputi jumlah darah yang diambil,

perbandingan volume darah dari media empedu, dan waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk

kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.

typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan

pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-

80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50%

pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita

yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah

dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga

(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.

Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai

sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan

sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah

pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-

hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

Page 13: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah

satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur

darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat

minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. Walaupun spesifisitasnya tinggi,

pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala

berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih

canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk

dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (Prasetyo et

al., 2005).

c. Identifikasi kuman melalui uji serologis 

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid

ini meliputi : uji Widal, tes Tubext, metode enzyme immunoassay (EIA), metode

enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi

yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit) (Prasetyo et al.,

2005).

1) Uji widal

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran

berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang

ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.

Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer

antibodi dalam serum.

Page 14: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan

(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara

cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung

membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk

konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor

antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti

status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan

antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis

atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang

positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh

dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena

belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk

mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline

titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti

Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-

anak sehat.

2) Tes Tubext

Tes Tubext merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel

yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan

dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya

ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan

tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes Tubext ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian

oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas

100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas

sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat

Page 15: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan

sederhana, terutama di negara berkembang.

3) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan

infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam

tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi

tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.

4) Metode Enzyme-Linked Immunosobent Assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk

(1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah,

73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada

penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel

urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada

pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.

5) Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.

typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung

antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human

immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan

komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan

dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang

lengkap.

d. Identifikasi kuman secara molekuler

Page 16: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain

reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi

risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila

prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam

spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam

spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya

yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari

spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat

ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (Prasetyo et

al., 2005).

2. Meningitis Thyposa

Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisa cairan

otak. Lumbal punksi tidak bisa dikerjakan pada pasien dengan peningkatan tekanan

tintra kranial. Analisa cairan otak diperiksa untuk jumlah sel, protein, dan konsentrasi

glukosa. Pemeriksaan darah ini terutama jumlah sel darah merah yang biasanya

meningkat diatas nilai normal. Serum elektrolit dan serum glukosa dinilai untuk

mengidentifikasi adanya ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremi.Kadar

glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya kadar

glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis

kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Pemeriksaan Radiografi CT-

Scan dilakukan untuk menentukan adanya edema cerebral atau penyakit saraf

lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah

(Prasetyo et al., 2005).

H. Penegakkan Diagnosis Meningitis Thyposa

1. Berdasarkan gejala klinis dan anamnesis

2. Pemeriksaan darah tepi :

Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada

permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan.

3. Pemeriksaan sumsum tulang :

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel

makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis

berkurang.

Page 17: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

4. Pemeriksaan widal :

Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat

diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang bernilai

1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk

membuat diagnosis.

5. Lumbal Pungsi

Dengan lumbal pungsi dapat mengetahui jenis bakteri apa yang telah menginfeksi

meningens, apabila meningitis typhoid akan diperoleh Salmonella typhi pada lumbal

pungsi tersebut (Beek et al, 2006).

Hasil pada pemeriksaan cerebro spinal fluid (CSF) yaitu sebagai berikut:

Tipe Meningitis Glukosa Protein Sel

Bakteri (akut) Rendah Tinggi PMN > 300/mm3

Virus (akut) Normal Normal atau tinggi Mononuklear <

300/mm3

Tuberculous Rendah Tinggi PMN dan

Mononuklear <

300/mm3

Jamur Rendah Tinggi Hanya ditemukan

mononuklear

Sumber : Beek et al, 2006.

Page 18: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

BAB III

PEMBAHASAN

A. Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. Parathypi) masuk ke

dalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. HCL di dalam

lambung akan berperan sebagai penghambat awal masuknya bakteri ini ke dalam usus.

Salmonella yang masuk bersama-sama dengan cairan akan menyebabkan terjadinya

pengenceran HCL yang mengurangi daya hambat terhadap mikroorganisme yang

masuk. Daya hambat HCL ini akan menurun pada waktu terjadi pengosongan lambung,

sehingga Salmonella sp akan lebih mudah masuk ke dalam usus penderita. Bila respon

imunitas humoral mukosa kurang baik (IgA) usus kurang baik, maka kuman kemudian

akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di

lamina propria Salmonella akan bereplikasi dengan cepat untuk menghasilkan lebih

banyak Salmonella (Widodo, 2006).

Salmonella difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag sebagai perlawanan

imun tubuh terhadap kuman ini. Namun kuman dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke Plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke

kelenjar limfe mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan terjadinya

bakteremia pertama yang asimtomatik pada penderita) dan menyebar ke seluruh organ

retikuloendoteal tubuh, terutama hati dan limpa. Di dalam hati, dengan melewati kapiler-

kapiler yang terdapat dalam dinding empedu atau secara tidak langsung melalui kapiler-

kapiler hati dan kanalikuli empedu, maka bakteria dapat mencapai empedu yang larut

disana. Melalui empedu yang infektif sebagian kuman dapat dikeluarkan melalui feses,

namun sebagian lain mengakibatkan terjadinya invasi ke dalam usus untuk kedua

kalinya yang lebih berat daripada invasi tahap pertama. Invasi tahap kedua ini

menimbulkan lesi yang luas pada jaringan limfe usus kecil sehingga gejala-gejala klinik

menjadi jelas. Terlebih makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif pada saat fagositosis

kuman sehingga terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan

menimbulkan gejala reaksi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit

perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi. Berbagai macam organ

juga mengalami kelainan, misalnya sistem hematopoietik yang membentuk darah,

terutama jaringan limfoid usus kecil, kelenjar limfe abdomen, limpa dan sumsum tulang.

Selanjutnya kuman ini dapat memasuki berbagai macam organ secara hematogen yang

dapat mengakibatkan berbagai komplikasi lanjutan (Widodo, 2006).

Page 19: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

B. Patofisiologi Meningitis Thyposa

Seperti pada meningitis bakterial lainnya, pada umumnya meningitis bakterial akut

selalu bersifat purulenta. Meningitis ini timbul sebagai komplikasi dari septikemia dimana

dalam hal ini dari bakteremia kuman salmonella di dalam darah. Terjadinya meningitis

thyposa yang bermula dari demam tifoid dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen

setelah mengalami demam tifoid

terjadi reaksi radang pada piamater dan araknoid, CSS dan sistem ventrikulus

pembuluh darah mengalami hiperemi

penyebaran sel – sel leukosit PMN ke dalam ruang subarachnoid

terbentuk eksudat

(pada lapisan luar berisi leukosit PMN, lapisan dalam berisi makrofag)

Dalam beberapa hari terbentuk limfosit dan histosit

Setelah 2 minggu terbentuk sel – sel plasma

Sumber : Jameson, 2006

Salmonella yang masuk menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan

bawah korteks dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral.

Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,

vaskulitis, dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan

medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.

Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri dari

peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barrier otak), edema

serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri

sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini menyebabkan kerusakan

Page 20: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindrom

Waterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis

pembuluh darah yang disebabkan oleh bakteri. (Arisandi, 2008).

C. Komplikasi Meningitis Thyposa

Komplikasi meningitis thyposa antara lain :

1. Hidrosefalus obstruktif

2. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)

3. SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone)

4. Efusi subdural

5. Kejang

6. Edema dan herniasi serebral

7. Cerebral palsy

8. Gangguan mental

9. Gangguan belajar

10. Attention deficit disorder (Harsono, 2005).

D. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan umumnya adalah seperti pada penatalaksanaan demam

tifoid yaitu sebagai berikut :

1. Pengobatan kausal dapat menggunakan obat pilihan sebagai berikut :

a. kloramfenikol dengan dosis 4x500 mg per hari dapat diberikan secara oral atau

intravena sampai dengan 7 hari bebas panas

b. tiamfenikol dengan dosis yang hampir sama dengan kloramfenikol dengan efek

samping hematologi yang lebih rendah

c. kotrimoksasol dengan dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet

mengandung 80 mg trimetropin dan 400 mg sulfametoksasol selama 2 minggu

d. ampisilin dan amoksisilin dengan dosis 50-150mg/kgBB/hari selama 2 minggu

e. seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan perinfus

sekali sehari selama 3-5 hari.

f. golongan fluorokuinolon dengan beberapa jenis bahan sediaan dan aturan

pemberian adalah sebagai berikut :

Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari

Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari

Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Page 21: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

2. Memperbaiki keadaan umum : koreksi elektrolit atasi dehidrasi, hipoglikemi

3. Pengobatan dietetik tergantung pada kondisi penderita, bila perlu makanan

lunak/cair yang mudah dicerna dan tinggi kalori

4. Tirah baring bila perlu isolasi penderita

5. Pada kasus berat dapat diberikan deksametason 3x5 mg dengan antibiotik yang

sesuai

6. Transfusi darah sesuai keperluan (Widodo, 2006).

Pada kasus meningitis diperlukan pengobatan dengan antibiotika dosis tinggi yang

dapat diberikan langsung melalui pembuluh darah vena. Penderita meningitis

memerlukan observasi ketat di rumah sakit untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

E. Upaya Rehabilitatif Pada Penderita Demam Tifoid Anak

1. Pisahkan anak penderita demam tifoid dari saudara-saudaranya untuk menghindari

penularan. Bahkan bila ibu menemani, tidak disarankan untuk tidur bersama dengan

anak yang sakit. Sebaiknya tempatkan anak yang sakit di kamar tersendiri, tentunya

dengan perhatian penuh dari kedua orang tua untuk menghindari perasaan

terisolir/kesepian pada anak tersebut.

2. Upayakan klien dengan demam tifoid beristirahat total di tempat tidur sampai

demamnya turun. Demam bisa berlangsung selama dua minggu. Setelah demam

turun, teruskan istirahat sampai suhu normal kembali. Jelaskan pada anak bahwa

untuk mandi, buang air besar dan kecil harus meminta pertolongan kepada ibu atau

orang dewasa lainnya yang ada di rumah.

3. Ingatkan kepada siapa saja yang membantu untuk selalu mencuci tangan dengan

desinfektan sebelum dan sesudah kontak dengan anak yang sakit.

4. Seperti halnya di rumah sakit, orang tua perlu mengukur suhu tubuh anak dan

mencatatnya. Catatan suhu tubuh ini sangat penting untuk dikonsultasikan ke dokter

dan bila ada peningkatan suhu tubuh yang tinggi.

5. Biasanya dokter memberikan obat yang sudah diperhitungkan sampai suhu tubuh

turun. Jika obat hampir habis, sementara suhu tubuh makin tinggi, konsultasikanlah

ke pelayanan medis atau dokter karena mungkin membutuhkan perawatan yang

lebih intensif di rumah sakit.

6. Untuk membantu mempercepat penurunan suhu tubuh, upayakan agar anak banyak

minum air putih, dikompres dengan air hangat, dan jangan menutupinya dengan

selimut agar penguapan suhu lebih lancer.

Page 22: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

7. Berikan makanan yang mengandung banyak cairan dan bergizi seperti sop dan sari

buah, juga makanan lunak, seperti bubur

8. Pembuangan feses dan urine harus dipastikan dibuang ke dalam WC dan disiram

dengan air sebanyak-banyaknya. WC dan sekitarnya pun harus bersih agar tidak

ada lalat yang akan membawa kuman ke mana-mana. Bila anak menggunakan pot

atau urinal untuk BAK dan BAB, jangan lupa untuk merendamnya dengan cairan

desinfektan setelah dipakai.

9. Rendam pakaian anak dengan desinfektan sebelum dicuci, dan jangan

mencampurnya dengan pakaian yang lain (Darmowandowo, 2002).

F. Upaya Pencegahan Demam Tifoid Anak

Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan

khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan

sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam

tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga

kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak

tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan

terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (Harijanto, 2006).

Ada dua vaksin untuk mencegah demam tifoid. Yang pertama adalah vaksin

yang diinaktivasi (kuman yang mati) yang diberikan secara injeksi. Yang kedua adalah

vaksin yang dilemahkan (attenuated) yang diberikan secara oral. Pemberian vaksin tifoid

secara rutin tidak direkomendasikan, vaksin tifoid hanya direkomendasikan untuk

pelancong yang berkunjung ke tempat-tempat yang demam tifoid sering terjadi, orang

yang kontak dengan penderita karier tifoid dan pekerja laboratorium (Harijanto, 2006).

Vaksin tifoid yang diinaktivasi (per injeksi) tidak boleh diberikan kepada anak-

anak kurang dari dua tahun. Satu dosis sudah menyediakan proteksi, oleh karena itu

haruslah diberikan sekurang-kurangnya 2 minggu sebelum bepergian supaya

memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja. Dosis ulangan diperlukan setiap dua

tahun untuk orang-orang yang memiliki resiko terjangkit (Harijanto, 2006).

Vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) tidak boleh diberikan kepada anak-

anak kurang dari 6 tahun. Empat dosis yang diberikan dua hari secara terpisah

diperlukan untuk proteksi. Dosis terakhir harus diberikan sekurang-kurangnya satu

minggu sebelum bepergian supaya memberikan waktu kepada vaksin untuk bekerja.

Dosis ulangan diperlukan setiap 5 tahun untuk orang-orang yang masih memiliki resiko

terjangkit (Harijanto, 2006).

Page 23: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Ada beberapa orang yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid atau harus

menunggu. Yang tidak boleh mendapatkan vaksin tifoid diinaktivasi (per injeksi) adalah

orang yang memiliki reaksi yang berbahaya saat diberi dosis vaksin sebelumnya, maka

ia tidak boleh mendapatkan vaksin dengan dosis lainnya. Orang yang tidak boleh

mendapatkan vaksin tifoid yang dilemahkan (per oral) adalah : orang yang mengalami

reaksi berbahaya saat diberi vaksin sebelumnya maka tidak boleh mendapatkan dosis

lainnya, orang yang memiliki sistem imunitas yang lemah maka tidak boleh mendapatkan

vaksin ini, mereka hanya boleh mendapatkan vaksin tifoid yang diinaktifasi, diantara

mereka adalah penderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang menyerang sistem imunitas,

orang yang sedang mengalami pengobatan dengan obat-obatan yang mempengaruhi

sistem imunitas tubuh semisal steroid selama 2 minggu atau lebih, penderita kanker dan

orang yang mendapatkan perawatan kanker dengan sinar X atau obat-obatan. Vaksin

tifoid oral tidak boleh diberikan dalam waktu 24 jam bersamaan dengan pemberian

antibiotik (Harijanto, 2006).

Suatu vaksin, sebagaimana obat-obatan lainnya, bisa menyebabkan problem

serius seperti reaksi alergi yang parah. Resiko suatu vaksin yang menyebabkan bahaya

serius atau kematian sangatlah jarang terjadi. Problem serius dari kedua jenis vaksin

tifoid sangatlah jarang. Pada vaksin tifoid yang diinaktivasi, reaksi ringan yang dapat

terjadi adalah : demam (sekitar 1 orang per 100), sakit kepada (sekitar 3 orang per 100)

kemerahan atau pembengkakan pada lokasi injeksi (sekitar 7 orang per 100). Pada

vaksin tifoid yang dilemahkan, reaksi ringan yang dapat terjadi adalah demam atau sakit

kepada (5 orang per 100), perut tidak enak, mual, muntah-muntah atau ruam-ruam

(jarang terjadi) (Harijanto, 2006).

G. Prognosis

Prognosis bergantung pada beberapa keadaan, antara lain:

1. Jenis kuman dan hebatnya penyakit pada permulaannya

2. Umur penderita

Pada pasien anak – anak dan > 50 tahun memiliki lebih banyak resiko kematian

karena penyakit ini.

3. Lamanya gejala atau sakit sebelum dirawat

Gejala yang muncul seperti kejag yang lebih dari 24 jam akan memperbesar resiko

terjaninya kematian.

4. Kecepatan ditegakkannya diagnosis

5. Antibiotika yang diberikan

6. Kondisi patologik lainnya yang menyertai meningitis (Harrison, 2005).

Page 24: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella sp.

2. Salmonella merupakan bakteri batang gram negatif yang bersifat motil, tidak

membentuk spora, dan tidak berkapsul

3. Meningitis thyposa adalah radang selaput otak yang disebabkan oleh salmonella

tertentu

4. Meningitis thyposa merupakan salah satu komplikasi dari demam tifoid yang dapat

mengakibatkan kecacatan dan kematian bila tidak segera diobati

5. Penatalaksanaan demam tifoid dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik, terapi

suportif, dietetik, tirah baring dan memperbaiki keadaan umum pasien, khususnya

untuk meningitis diberikan antibiotika dosis tinggi.

B. Saran

1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang masih sering terjadi di masyarakat

dengan komplikasi di antaranya adalah meningitis thyposa, sehingga perlu perhatian

khusus dari semua pihak untuk bekerja sama menurunkan morbiditas dan mortalitas

penyakit ini

2. Dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan baik dalam cara

penulisan maupun isi tulisan sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut untuk

perbaikan penyusunan referat selanjutnya dengan topik yang sama.

Page 25: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

DAFTAR PUSTAKA

Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Meningitis. Pontianak : Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan

Beek, Diederik., Gans, Jan., Tunkel, Allan., Wijdicks, Eelco. 2006. Community acquired bacterial meningitis in adults with bacterial meningitis. New England Journal of Medicine. Hal : 1849

Darmowandowo, W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.

Donnad, Medical Surgical Nursing, WB Saunders. 1991. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta : EGC

Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Harijanto. 2006. Malaria. Dalam : Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III Edisi IV. Jakarta : BP FKUI; 1754-5

Jameson, L. J. 2006. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. McGraw-Hill Companies. USA

Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Hemophilus Influenza Type B. Universitas Sumatra Utara. Hal : 1.

Mardjono, Mahar, dan Priguna Sidharta. 1994. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat; 318-9

Parry, Christopher. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid fever. Cambridge University Press. Hal : 3.

Parry, Christopher., Hien, Tor., Dougan, Gordon., White, Nicholas., Farrar, Teremy. 2002. Typhoid fever. New England Journal of Medicine. 347 (22). Hal : 1770.

Prasetyo, Risky Vitria dan Ismoedijanto. 2005. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. [5 pages, cited October 6th 2009 : 01.25 pm) Available at : http://74.125.153.132/search?q=cache:v8FsIWDBaaIJ:www.pediatrik.com/buletin/06224114418f53zji.doc+meningitis+thypoid.pemeriksaan+penunjang.&cd=4&hl=id&ct=clnk&gl=id

Rampengan, T.H., Laurentz, I.R. 1997. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC; 53-72.

Swarga, Tirta. 2008. Demam Tifoid. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Simanjuntak, Cyrus. (1998). Demam tifoid, epidemiologi, dan perkembangan penelitiannya. Cermin Dunia Kedokteran, 83. Hal : 2.

Page 26: REFERAT MENINGITIS THYPOSA PRINT

Wardani, Puspa, Prihartini, Probohusodo. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical and Medical Labolatory. 12. 1. 2005 : 31-7

Widodo, Djoko. 2006. Dalam : Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006 : 1774.