referat tinjauan pustaka efusi pleura
DESCRIPTION
pleuraleffusionTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit. 1
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas
paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-
organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi
pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah. 2
Di negara-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal
jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di
negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh
infeksi tuberkulosis. Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang
biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker
paru dan kanker payudara. Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat
dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik.
Sementara 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi
pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi
pleura. 2
Diperlukan penatalaksanaan yang baik dalam menanggulangi efusi pleura
ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap
penyebabnya sehingga hasilnya akan memuaskan.2
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penulis berkeinginan
menyajikan informasi mengenai efusi pleura agar dapat menjadi bahan masukan
kepada diri penulis dan kita semua dapat mendiagnosis serta memberikan terapi
yang tepat pada penderita efusi pleura.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Efusi Pleura
2.1.1 Definisi
Efusi pleura adalah adanya penumpukan cairan dalam rongga (kavum)
pleura yang melebihi batas normal. Dalam keadaan normal terdapat 10-20 cc
cairan. 1
Effusi pleura adalah penimbunan cairan pada rongga pleura atau Efusi
pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya cairan pleura dalam jumlah
yang berlebihan di dalam rongga pleura, yang disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran cairan pleura. 2
Dalam konteks ini perlu di ingat bahwa pada orang normal rongga
pleura ini juga selalu ada cairannya yang berfungsi untuk mencegah
melekatnya pleura viseralis dengan pleura parietalis, sehingga dengan
demikian gerakan paru (mengembang dan mengecil) dapat berjalan dengan
mulus. Dalam keadaan normal, jumlah cairan dalam rongga pleura sekitar 10-
20 ml. Cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada
cairan pleura mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl. 1,2
Ada beberapa jenis cairan yang bisa berkumpul di dalam rongga pleura
antara lain darah, pus, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung
kolesterol tinggi 1,2
a. Hidrotoraks
Pada keadaan hipoalbuminemia berat, bisa timbul transudat. Dalam
hal ini penyakitnya disebut hidrotorak dan biasanya ditemukan bilateral.
Sebab-sebab lain yang mungkin adalah kegagalan jantung kanan, sirosis
hati dengan asites, serta sebgai salah satu tias dari syndroma meig
(fibroma ovarii, asites dan hidrotorak).
2
b. Hemotoraks
Hemotorak adalah adanya darah di dalam rongga pleura. Biasanya
terjadi karena trauma toraks. Trauma ini bisa karna ledakan dasyat di dekat
penderita, atau trauma tajam maupu trauma tumpul. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah
hemothorak yang baru diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini
mungkin karena faktor koagulasi sudah terpakai sedangkan fibrinnya
diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera membeku, maka
biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada. Penyebab
lainnya hemotoraks adalah:
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan
darahnya ke dalam rongga pleura.
Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta)
yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura.
Gangguan pembekuan darah, akibatnya darah di dalam rongga
pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.
c. Empiema
Bila karena suatu infeksi primer maupun sekunder cairan pleura
patologis iniakan berubah menjadi pus, maka keadaan ini disebut piotoraks
atau empiema. Pada setiap kasus pneumonia perlu diingat kemungkinan
terjadinya empiema sebagai salah satu komplikasinya. Empiema bisa
merupakan komplikasi dari:
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
d. Chylotoraks
Kilotoraks adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan
kil/getah bening pada rongga pleura. Adapun sebab-sebab terjadinya
kilotoraks antara lain :
3
Kongental, sejak lahir tidak terbentuk (atresia) duktus torasikus,
tapi terdapat fistula antara duktus torasikus rongga pleura.
Trauma yang berasal dari luar seperti penetrasi pada leher dan
dada, atau pukulan pada dada (dengan/tanpa fratur). Yang berasal
dari efek operasi daerah torakolumbal, reseksi esophagus 1/3
tengah dan atas, operasi leher, operasi kardiovaskular yang
membutuhkan mobilisasi arkus aorta.
Obstruksi Karena limfoma malignum, metastasis karsinima ke
mediastinum, granuloma mediastinum (tuberkulosis,
histoplasmosis).
Penyakit-penyakit ini memberi efek obstruksi dan juga perforasi
terhadap duktus torasikus secara kombinasi. Disamping itu terdapat juga
penyakit trombosis vena subklavia dan nodul-nodul tiroid yang menekan
duktus torasikus dan menyebabkan kilotoraks. 1,2
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Pleura
Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura visceralis
dan parietalis. Secara histologis kedua lapisan ini terdiri dari sel mesothelial,
jaringaan ikat, dan dalam keadaan normal, berisikan lapisan cairan yang sangat
tipis. Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis,
sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan
mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan
dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi
sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus
paru. Dalam hal ini, terdapat perbedaan antara pleura viseralis dan parietalis,
diantaranya : 1,2,3
1. Pleura Visceralis
Permukaan luarnya terdiri dari selapis sel mesothelial yang tipis < 30mm.
Diantara celah-celah sel ini terdapat sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesothelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit, di
bawahnya terdapat lapisan tengah berupa jaringan kolagen dan serat-serat
4
elastik. Lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari a. Pulmonalis dan a.
Brakhialis serta pembuluh limfe Menempel kuat pada jaringan paru
Fungsinya. untuk mengabsorbsi cairan pleura.
2. Pleura parietalis
Jaringan lebih tebal terdiri dari sel-sel mesothelial dan jaringan ikat
(kolagen dan elastis). Dalam jaringan ikat tersebut banyak mengandung
kapiler dari a. Intercostalis dan a. Mamaria interna, pembuluh limfe, dan
banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa sakit dan
perbedaan temperatur. Keseluruhan berasal n. Intercostalis dinding dada
dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Mudah menempel dan lepas
dari dinding dada di atasnya Fungsinya untuk memproduksi cairan pleura
Gambar 1. Tampilan depan paru dan pleuranya
FISIOLOGI
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek
5
yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan.
Cairan pleura dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam
pleura parietalis ke ruang pleura kemudian diserap kembali melalui pleura
viseralis. Masing-masing dari kedua pleura merupakan membran serosa mesenkim
yang berpori-pori, dimana sejumlah kecil transudat cairan intersisial dapat terus
menerus melaluinya untuk masuk kedalam ruang pleura.
Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura melalui pleura viseralis lebih
besar daripada selisih perbedaan pembentukan cairan oleh pleura parietalis dan
permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada pleura parietalis sehingga dalam
keadaan normal hanya ada beberapa mililiter cairan di dalam rongga pleura. 1
Gambar 2. memperlihatkan dinamika pertukaran cairan dalam ruang pleura.
Jumlah total cairan dalam setiap rongga pleura sangat sedikit, hanya
beberapa mililiter yaitu 1-5 ml. Dalam kepustakaan lain menyebutkan bahwa
jumlah cairan pleura sebanyak 12-15 ml(1). Kapanpun jumlah ini menjadi lebih
dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan
dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari
rongga pleura kedalam mediastinum, permukaan superior dari diafragma, dan
6
permukaan lateral pleural parietalis (3). Oleh karena itu, ruang pleura (ruang antara
pleura parietalis dan pleura visceralis) disebut ruang potensial, karena ruang ini
normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas. 1,2,3
2.1.3 Epidemiologi
Estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya.
Secara umum, kejadian efusi pleura adalah sama antara kedua jenis
kelamin. Namun, penyebab tertentu memiliki kecenderungan seks. Sekitar dua
pertiga dari efusi pleura ganas terjadi pada wanita. Efusi pleura ganas secara
signifikan berhubungan dengan keganasan payudara dan ginekologi. Efusi pleura
yang terkait dengan lupus eritematosus sistemik juga lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria. 2
2.1.4 Etiologi
Ruang pleura normal mengandung sekitar 1 mL cairan, hal ini
memperlihatkan adanya keseimbangan antara tekanan hidrostatik dan tekanan
onkotik dalam pembuluh darah pleura viseral dan parietal dan drainase limfatik
luas. Efusi pleura merupakan hasil dari ketidakseimbangan tekanan hidrostatik
dan tekanan onkotik. 2
Efusi pleura merupakan indikator dari suatu penyakit paru atau non
pulmonary, dapat bersifat akut atau kronis. Meskipun spektrum etiologi efusi
pleura sangat luas, efusi pleura sebagian disebabkan oleh gagal jantung kongestif,.
pneumonia, keganasan, atau emboli paru. Mekanisme sebagai berikut memainkan
peran dalam pembentukan efusi pleura:
1. Perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya, radang, keganasan,
emboli paru)
2. Pengurangan tekanan onkotik intravaskular (misalnya, hipoalbuminemia,
sirosis)
7
3. Peningkatan permeabilitas kapiler atau gangguan pembuluh darah
(misalnya, trauma, keganasan, peradangan, infeksi, infark paru, obat
hipersensitivitas, uremia, pankreatitis)
4. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler dalam sirkulasi sistemik dan / atau
paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, sindrom vena kava superior)
5. Pengurangan tekanan dalam ruang pleura, mencegah ekspansi paru penuh
(misalnya, atelektasis yang luas, mesothelioma)
6. Penurunan drainase limfatik atau penyumbatan lengkap, termasuk
obstruksi duktus toraks atau pecah (misalnya, keganasan, trauma)
7. Peningkatan cairan peritoneal, dengan migrasi di diafragma melalui
limfatik atau cacat struktural (misalnya, sirosis, dialisis peritoneal)
8. Perpindahan cairan dari edema paru ke pleura viseral
9. Peningkatan tekanan onkotik di cairan pleura yang persisiten
menyebabkan adanaya akumulasi cairan di pleura
10. Pembentukan cairan yang berlebihan, karena radang (tuberkulosis,
pneumonia, virus, bronkiektasis, abses amuba subfrenik yang menembus
ke rongga pleura), karena tumor dan trauma
2.1.5 Klasifikasi
Efusi pleura umumnya diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
pembentukan cairan dan kimiawi cairan menjadi 2 yaitu atas transudat atau
eksudat. Transudat hasil dari ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dengan
tekanan hidrostatik, sedangkan eksudat adalah hasil dari peradangan pleura atau
drainase limfatik yang menurun. Dalam beberapa kasus mungkin terjadi
kombinasi antara karakteristk cairan transudat dan eksudat. 1,2,3
1. Klasifikasi berasarkan mekanisme pembentukan cairan:
a. Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu
adalah transudat. Transudat terjadi apabila terjadi ketidakseimbangan antara
tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotic, sehingga terbentuknya cairan
8
pada satu sisi pleura melebihi reabsorpsinya oleh pleura lainnya. Biasanya hal
ini terjadi pada:
1. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
2. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
3. Menurunnya tekanan koloid osmotic dalam pleura
4. Menurunnya tekanan intra pleura
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
a. Gagal jantung kiri (terbanyak)
b. Sindrom nefrotik
c. Obstruksi vena cava superior
d. Asites pada sirosis hati (asites menembus suatu defek diafragma
atau masuk melalui saluran getah bening)
b. Eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane
kapiler yang permeabelnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi
tinggi dibandingkan protein transudat. Bila terjadi proses peradangan
maka permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel
mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi pengeluaran
cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling
sering adalah karena mikobakterium tuberkulosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa. Protein yang terdapat dalam cairan pleura
kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein
getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan
eksudat.
Penyakit yang menyertai eksudat, antara lain:
a. Infeksi (tuberkulosis, pneumonia)
b. Tumor pada pleura
c. Iinfark paru,
d. Karsinoma bronkogenik
e. Radiasi,
9
f. Penyakit dan jaringan ikat/ kolagen/ SLE (Sistemic Lupus
Eritematosis).
2.1.6 Patofisiologi
Dalam keadaan normal, selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga
pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi cairan ini segera direabsorpsi
oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan antara produksi dan reabsorpsi.
Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat meningkat sampai 20 kali. Apabila antara
produk dan reabsorpsinya tidak seimbang (produksinya meningkat atau
reabsorpsinya menurun) maka akan timbul efusi pleura. 1,2,3,4
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial
submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pergerakan
cairan dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya
perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan
diabsorpsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh
sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura
visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. 1,2,3,4
Bila penumpukan cairan dalam rongga pleura disebabkan oleh peradangan.
Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga
terjadi empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar
pleura dapat menyebabkan hemotoraks. 1,2,3,4
penumpukan cairan pleura dapat terjadi bila:
1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura meningkatkan
pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum Starling.
Keadaan ni dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri dan
sindroma vena kava superior.
10
2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah seperti terdapat pada atelektasis,
baik karena obstruksi bronkus atau penebalan pleura visceralis.
3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat menarik lebih
banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura
4. Hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan
transudasi cairan dari kapiler pleura ke arah rongga pleura
5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleum parietalis. Saluran limfe bermuara
pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari tekanan vena sistemik akan
menghambat pengosongan cairan limfe, gangguan kontraksi saluran limfe,
infiltrasi pada kelenjar getah bening.
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan membatasi
pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan bergantung pada
ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan tertimbun secara
perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin akan terkumpul
dengan sedikit gangguan fisik yang nyata.
Kondisi efusi pleura yang tidak ditangani, pada akhirnya akan
menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas didefinisikan sebagai kegagalan
pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial
Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg melalui pemeriksaan analisa gas
darah.
2.1.7 Manifestasi Klinis
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit
dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya
asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan, dan berat badan yang
menurun seperti pada efusi yang lain. 1,2,3,4,5
11
Dari anamnesa didapatkan:
a. Sesak nafas bila lokasi efusi luas. Sesak napas terjadi pada saat
permulaan pleuritis disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila jumlah
cairan efusinya meningkat, terutama kalau cairannya penuh
b. Rasa berat pada dada
c. Batuk pada umumnya non produktif dan ringan, terutama apabila disertai
dengan proses tuberkulosis di parunya, Batuk berdarah pada karsinoma
bronchus atau metastasis
d. Demam subfebris pada TBC, dernarn menggigil pada empiema
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (pada sisi yang sakit)
a. Dinding dada lebih cembung dan gerakan tertinggal
b. Vokal fremitus menurun
c. Perkusi dull sampal flat
d. Bunyi pernafasan menruun sampai menghilang
e. Pendorongan mediastinum ke sisi yang sehat dapat dilihat atau diraba
pada treakhea
Nyeri dada pada pleuritis :
Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya
pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G.
Nervuis intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan
abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus
menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
12
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang biasanya dilakukan untuk memperkuat diagnosa efusi pleura
antara lain: 4,5,6
1. Rontgen dada
Roentgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang
dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura yang hasilnya menunjukkan
adanya cairan. Foto dada juga dapat menerangkan asal mula terjadinya
efusi pleura yakni bila terdapat jantung yang membesar, adanya masa
tumor, adanya lesi tulang yang destruktif pada keganasan, dan adanya
densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau abses paru.
2. USG Dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan.
Jumlahnya sedikit dalam rongga pleusa. Pemeriksaan ini sangat
membantu sebagai penuntun waktu melakukan aspirasi cairan dalam
rongga pleura. Demikian juga dengan pemeriksaan CT Scan dada.
3. CT Scan Dada
CT scan dada dapat menunjukkan adanya perbedaan densitas cairan
dengan jaringan sekitarnya sehingga sangat memudahkan dalam
menentukan adanya efusi pleura. Selain itu juga bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau tumor. Hanya saja pemeriksaan ini
tidak banyak dilakukan karena biayanya masih mahal.
4. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui
dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh
melalui torakosentesis.
Torakosentesis adalah pengambilan cairan melalui sebuah jarum
yang dimasukkan diantara sel iga ke dalam rongga dada di bawah
pengaruh pembiasan lokal dalam dan berguna sebagai sarana untuk
diuagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada penderita
dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan toraks, pada bagian bawah
13
paru di sela iga v garis aksilaris media dengan memakai jarum Abbocath
nomor 14 atau 16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi
1000 – 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Adalah lebih baik mengerjakan
aspirasi berulang-ulang daripada satu kali aspirasi sekaligus yang dapat
menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema paru.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu
cepat. Mekanisme sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan
karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat menyebabkan
peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
5. Biopsi Pleura
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya
maka dilakukan biopsi dimana contoh lapisan pleura sebelah luar untuk
dianalisa. Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan
pleura dapat menunjukkan 50 -75% diagnosis kasus-kasus pleuritis
tuberkulosa dan tumor pleura. Bila ternaya hasil biopsi pertama tidak
memuaskan, dapat dilakukan beberapa biopsi ulangan. Pada sekitar 20%
penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab
dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan. Komplikasi biopsi antara
lain pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada
dinding dada.
6. Analisa cairan pleura
Untuk diagnostic cairan pleura, dilakukan pemeriksaan :
a. Warna Cairan
Biasanya cairan pleura berwama agak kekuning-kuningan (serous-
xantho-ctrorne. Bila agak kemerah-merahan, ini dapat terjadi pada
trauma, infark paru, keganasan. adanya kebocoran aneurisma aorta.
Bila kuning kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya
empiema. Bila merah tengguli, ini menunjukkan adanya abses karena
ameba
14
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang
perbedaannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan transudat dan eksudat
Perbedaan Transudat Eksudat
- Kadar protein dalam efusi (g/dl)
- Kadar protein dalam efusi
Kadar protein dalam serum
- Kadar LDH dalam efusi (I.U)
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam Serum
- Berat jenis cairan efusi
- Rivalta
< 3.
< 0,5
< 200
< 0,6
< 1,016
negatif
> 3.
> 0,5
> 200
> 0,6
> 1,016
positif
Di. samping pemeriksaan tersebut di atas. secara biokimia
diperiksakan juga pada cairan pleura :
- kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-
penyakit infeksi, artitis reumatoid dan neoplasma
- kadar amilase. Biasanya meningkat pada pankreatitis dan
metastasis adenokarsinoma.
c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
- Sel neutrofil : Menunjukkan adanya infeksi akut.
- Sel limfosit : Menunjukkan adanya infeksi kronik seperti
pleuritis tuberkulosa atau limfoma malignum
- Sel mesotel : Bila jumlahnya meningkat, ini menunjukkan
adanya infark paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel
eritrosit.
- Sel mesotel maligna : Pada mesotelioma
15
- Sel-sel besar dengan banyak inti : Pada arthritis rheumatoid
- Sel L.E : Pada lupus eritematosus sistemik
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan
empiema). Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman
yang aerob ataupun anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan
dalam cairan pleura adalah : Pneumokok, E. coli, Kleibsiella,
Pseudomonas, Entero-bacter.
Pada pleuritis tuberkulosa, kultur cairan terhadap kuman tahan asam
hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20%.
Pemeriksaan Laboratorium terhadap cairan pleura dapat dilihat pada
tabel dibawah ini :
Tabel 2. Pemeriksaan Laboratorium Terhadap Cairan Pleura
Hitung sel total
Protein total
Laktat dahidrogenasePewarnaan Gram dan tahan asam
Biakan
Glukosa
AmylasepH
Hitung diferensial, hitung sel darah merah, sel jaringan
Rasio protein cairan pleura terhadap seum > 0,5 menunjukkan suatu eksudat
Bila terdapat organisme, menunjukkan empiema
Biakan kuman aerob dan anerob, biakan jamur dan mikobakteria harus ditanam pada lempeng
Glukosa yang rendah (< 20 mg/dL) bila gula darah normal menunjukkan infeksi atau penyakit reumatoid
Meningkat pada pankreatitis, robekan esofagusEfusi parapneumonik dengan pH > 7,2 dapat diharapkan untuk sembuh tanpa drainase kecuali bila berlokusi. Keadaan dengan pH < 7,0 menunjukkan infeksi yang memerlukan drainase
16
SitologiHematokrit
KomplemenPreparat sel LE
atau adanya robekan esophagus.
Dapat mengidentifikasi neoplasmaPada cairan efusi yang banyak darahnya, dapat membantu membedakan hemotoraks dari torasentesis traumatikDapat rendah pada lupus eritematosus sistemikBila positif, mempunyai korelasi yang tinggi dengan diagnosis lupus aritematosus sistemik
7. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber
cairan yang terkumpul. Bronkoskopi biasanya digunakan pada kasus-
kasus neoplasma, korpus alineum dalam paru, abses paru dan lain-lain
8. Scanning Isotop
Scanning isotop biasanya digunakan pada kasus-kasus dengan emboli
paru.
9. Torakoskopi (Fiber-optic pleuroscopy)
Torakoskopi biasnya digunakan pada kasus dengan neoplasma atau
tuberculosis pleura. Caranya yaitu dengan dilakukan insisi pada dinding
dada (dengan resiko kecil terjadinya pneumotoraks). Cairan dikeluarkan
dengan memakai penghisap dan udara dimasukkan supaya bias melihat
kedua pleura. Dengan memakai bronkoskop yang lentur dilakukan
beberapa biopsy.
2.1.9 Diagnosis
1. Anamnesis dan gejala klinis
Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita
membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur
miring ke sisi yang sakit. Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke
sisi yang sehat disertai batuk batuk dengan atau tanpa dahak. Berat
ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan
yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
17
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung
selain melebar dan kurang bergerak pada pernapasan. Fremitus vokal
melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau
menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat. Bila
tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan
3. Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam
mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam
menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang
dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras
300 ml.
Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas
kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak
perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi
yang sehat.
4. Torakosentensi
Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik
juga sebagai terapeutik.
2.1.10 Penatalaksanaan
Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan
pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Beberapa macam
pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah
sebagai berikut : 1,2,3,4,5,6
1. Obati penyakit yang mendasarinya
a. Hemotoraks
Jika darah memasuki rongga pleura hempotoraks biasanya
dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang tersebut bisa
juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah
(misalnya streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus
18
berlanjut atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui selang,
maka perlu dilakukan tindakan pembedahan
b. Kilotoraks
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki
kerusakan saluran getah bening. Bisa dilakukan pembedahan atau
pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat aliran
getah bening.
c. Empiema
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan
pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat kental atau telah
terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih
sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat
sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu
dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura
(dekortikasi).
d. Pleuritis TB.
Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin,
INH, Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12
bulan. Dosis dan cara pemberian obat seperti pada pengobatan
tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi dapat
diserap kembalai, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan
cepat dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi
dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat diberikan
kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2
minggu, kemudian dosis diturunkan). 2
2. Torakosentesis
keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega);
jangan lebih 1-1,5 liter pada setiap kali aspirasi. Zangelbaum dan Pare
menganjurkan jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit.
Torakosentesis ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis
untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk
19
tujuan terapeutik pada efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa
indikasi.
a. Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan
tertekan pada dada.
b. Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan
mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya,
yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba.
c. Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah
melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan
sudah berubah menjadi pyotoraks.
d. Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6
minggu, namun cairan masih tetap banyak.
3. Chest tube
jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik
dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan
lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml
cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500
ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan
distres pada pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru. 2
4. Pleurodesis
Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga
akan mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini
dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi karena
keganasan Sebelum dilakukan pleurodeSis cairan dikeluarkan terlebih
dahulu melalui selang dada dan paru dalam keadaan mengembang
Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung
pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler
pleura. Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan
pleurodesis ini yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, ustard,
Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, talk, Corynebacterium parvum dan
20
tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan
pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah
tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin sebanyak 500 mg
yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam
rongga pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam
fisiologis untuk pencucian selang dada dan 10 ml lidokain 2% untuk
mengurangi rasa sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1
jam sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6
jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan selama itu posisi
penderita diubah-ubah agar tetrasiklin terdistribusi di seluruh rongga
pleura. Bila dalam 24-48 jam cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut.
2
5. Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk :
a. Hematoraks terutama setelah trauma
b. Empiema
c. Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang
dilakukan kecuali pada efusi pleura yang telah mengalami kegagalan
setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis kimiawi, radiasi dan
kemoterapi sistemik, penderita dengan prognosis yang buruk atau pada
empiema atau hemotoraks yang tak diobati
d. Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting yaitu
menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum sehingga
cairan pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini dilakukan
terutama bila tindakan torakosentesis maupun pleurodesis tidak
memberikan hasil yang memuaskan; misalnya tumor atau trauma pada
kelenjar getah bening.2
2.1.11 Komplikasi
1. Infeksi.
Pengumpulan cairan dalam ruang pleura dapat mengakibatkan
infeksi (empiema primer), dan efusi pleura dapat menjadi terinfeksi setelah
21
tindakan torasentesis {empiema sekunader). Empiema primer dan
sekunder harus didrainase dan diterapi dengan antibiotika untuk mencegah
reaksi fibrotik. Antibiotika awal dipilih gambaran klinik. Pilihan
antibiotika dapat diubah setelah hasil biakan diketahui.2
2. Fibrosis
Fibrosis pada sebagian paru-paru dapat mengurangi ventilasi
dengan membatasi pengembangan paru. Pleura yang fibrotik juga dapat
menjadi sumber infeksi kronis, menyebabkan sedikit demam. Dekortikasi-
reseksi pleura lewat pembedahan-mungkin diperlukan untuk membasmi
infeksi dan mengembalikan fungsi paru-paru. Dekortikasi paling baik
dilakukan dalam 6 minggu setelah diagnosis empiema ditegakkan, karena
selama jangka waktu ini lapisan pleura masih belum terorganisasi dengan
baik (fibrotik) sehingga pengangkatannya lebih mudah. 1,3,5
2.1.12 Prognosis
Prognosis pada efusi pleura bervariasi sesuai dengan etiologi yang
mendasari kondisi itu. Namun pasien yang memperoleh diagnosis dan
pengobantan lebih dini akan lebih jauh terhindar dari komplikasi daripada pasien
yang tidak memedapatkan pengobatan dini.
Efusi ganas menyampaikan prognosis yang sangat buruk, dengan
kelangsungan hidup rata-rata 4 bulan dan berarti kelangsungan hidup kurang dari
1 tahun. Efusi dari kanker yang lebih responsif terhadap kemoterapi, seperti
limfoma atau kanker payudara, lebih mungkin untuk dihubungkan dengan
berkepanjangan kelangsungan hidup, dibandingkan dengan mereka dari kanker
paru-paru atau mesothelioma.
Efusi parapneumonic, ketika diakui dan diobati segera, biasanya dapat di
sembuhkan tanpa gejala sisa yang signifikan. Namun, efusi parapneumonik yang
tidak terobati atau tidak tepat dalam pengobatannya dapat menyebabkan fibrosis
konstriktif. 4,5
22
II. Tumor Paru
2.2.1 Definisi
Secara normal, tubuh memelihara suatu sistim dari pemeriksaan-
pemeriksaan (checks) dan keseimbangan-keseimbangan (balances) pada
pertumbuhan sel-sel sehingga sel-sel membelah untuk menghasilkan sel-
sel baru hanya jika diperlukan. Gangguan atau kekacauan dari sistim
checks dan balances ini pada pertumbuhan sel berakibat pada suatu
pembelahan dan perkembangbiakan sel-sel yang tidak terkontrol yang
pada akhirnya membentuk suatu massa yang dikenal sebagai suatu
tumor.11
Tumor-tumor bisa menjadi jinak atau ganas.Kanker adalah
tumoryang dipertimbangkan sebagai ganas. Tumor-tumor jinak biasanya
dapat diangkat dan tidak menyebar ke bagian-bagian lain tubuh. Tumor-
tumor ganas, akan tumbuh secara agresif dan menyerang jaringan-jaringan
lain dari tubuh. Masuknya sel-sel tumor kedalam aliran darah atau sistim
limfatik menyebabkan menyebarnya tumor ke tempat-tempat lain di tubuh.
Proses penyebaran ini disebut metastasis, area-area pertumbuhan tumor
pada tempat-tempat yang berjarak jauh disebut metastases. Karena kanker
paru-paru cenderung untuk metastase, maka tidak aneh bila kanker paru
merupakan kanker yang sangat mengancam nyawa dan merupakan satu
dari kanker-kanker yang paling sulit dirawat. Kelenjar adrenal, hati, otak,
dan tulangadalah tempat-tempat yang paling sering menjadi tempat
metastase untuk kanker paru.11
2.2.2 Etiologi dan predisposisi
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari pada
kanker paru belum diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan
suatu zat yang bersifat karsinogenik merupakan faktor penyebab utama
disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-
lain. 12
23
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker
paru sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan
Doering, telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-
rata jumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker
paru. Dikatakan bahwa, 1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker
paru. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau
rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.12
Laporan beberapa penelitian terakhir ini mengatakan bahwa perokok
pasif pun akan berisiko terkena kanker paru. Anak-anak yang terpapar
asap rokok selama 25 tahun pada usia dewasa akan terkena risiko kanker
paru dua kali lipat dibandingkan dengan yang tidak terpapar, dan
perempuan yang hidup dengan suami/pasangan perokok juga terkena
risiko kanker paru 2-3 kali lipat. Diperkirakan 25 % kanker paru dari
bukan perokok adalah berasal dari perokok pasif. 12
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di
Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 %
meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif
dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi operatif. 11
Insiden yang tinggi juga terjadi pada pekerja yang terpapar karbonil nikel
(pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite
dan orang–orang yang bekerja dengan asbestos dan kromat juga
mengalami peningkatan insiden.13 Mereka yang tinggal di kota mempunyai
angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada mereka yang tinggal di desa
dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari dan uap diesel dalam
atmosfer di kota.12
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, selenium dan
vitamin A menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru.Pemberian
Nutrisi dan supplement dapat mengurang gejala yang disebabkan oleh
kanker paru. Vitamin D dan Fe sangat baik untuk diberikan oleh penderita
penyakit kanker paru, Begitu pula dengan makanan antioxidant seperti
24
cherri, dan buah tomat. Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang
berperanan dalam kanker paru, yakni: Proto oncogen, Tumor suppressor
gene, Gene encoding enzyme. 12.
25
2.2.3 Patofisiologi
26
2.2.4 Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap serta pemeriksaan fisik merupakan kunci
untuk diagnosis tepat. Keluhan dan gejala klinis permulaan
merupakan tanda awal penyakit kanker paru. Batuk disertai dahak
yang banyak dan kadang-kadang bercampur darah, sesak nafas dengan
suara pernafasan nyaring (wheezing), nyeri dada, lemah, berat badan
menurun, dan anoreksia merupakan keadaan yang mendukung.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan pada pasien tersangka kanker
paru adalah faktor usia, jenis kelamin, keniasaan merokok, dan
terpapar zat karsinogen yang dapat menyebabkan nodul soliter paru.
Menurut Jusuf (2005) tindakan deteksi dini untuk mengetahui
adanya kanker paru berupa skrinning (penyaringan) perlu dilakukan.
Sasaran penyaringan penderita dengan risiko kanker paru yang tinggi,
yaitu:
a. Pria, survey epidemiologi kanker paru berdasarkan jenis kelamin
pada umumnya melaporkan bahwa perbandingan kasus pria dan
wanita sebesar 5:1.
b. Umur > 40 tahun, survei epidemiologi kanker paru pada umumnya
melaporkan bahwa kurang lebih 90% kasus didapatkan pada
penderita di atas usia 40 tahun.
c. Perokok, beberapa data epidemiologik perihal rokok yang sudah
banyak dilaporkan. Makin banyak merokok/hari (>20 batang/hari)
dan makin lama merokok (>10-20 tahun) serta kebiasaan inhalasi
dalam, penyalaan kembali puntung rokok, akan mempertinggi
risiko terkena kanker paru sebanyak 4-120 kali.
d. Bekerja atau berhubungan dengan asbestos (paparan asbestos akan
meningkatkan risiko 4-5 kali atau lebih banyak lagi hingga 100 kali
jika individu yang terpapar juga seorang perokok); uranium,
arsenikum, nikel, coal, tar, petroleum oil, gas mustard.
27
e. Ada riwayat penyakit paru interstitial, penyakit paru kronis
obstruktif
f. Pasien dengan infeksi HIV dan memiliki riwayat merokok dapat
terkena kanker paru pada usia relatif muda (<50 tahun). Risiko
terkena kanker paru pada pasien ini meningkat 6,5 kali.
g. Mempunyai gejala klinik yang berhubungan dengan kanker paru,
batuk-batuk darah, penurunan berat badan lebih dari 4 kg/6 bulan,
stridor unilateral, batuk yang hebat serta lama atau batuk “rokok”
(smoker’s cough)
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kelainan-kelainan
berupa perubahan bentuk dinding toraks dan trakea, pembesaran
kelenjar getah bening dan tanda-tanda obstruksi parsial, infiltrat dan
pleuritis dengan cairan pleura. Pemeriksaan jasmani harus dilakukan
secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat bergantung
pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil
dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai
atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif.
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage
penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis
ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan
intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum
tindakan kanker bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi
28
pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manfestasi klinik
penyakit kanker. 14
Dahak spontan mempunyai nilai diagnostik tinggi terutama
pada tumor dengan kecurigaan klinis yang jelas. Koleksi dahak 24
jam atau dahak pagi sangat banyak mengandung materi semua
lapisan paru bagian dalam. Akurasi akan melebih 90% bila
pemeriksaan dilakukan 3-5 kali berturut-turut. Dahak setelah
pemeriksaan bronkoskopi (post broncoscopic sputum) yaitu 2 jam
sesudah atau keesokan harinya, banyak mengandung materi
diagnostik dari bagian dalam yang tinggi nilai diagnostiknya. 14
Pemeriksaan sitologi sputum efektif pada tumor yang letaknya
endobronchial dan biasanya dibuat 3 contoh specimen. Keadaan ini
dapat memberikan hasil 30% pada mereka yang tanpa gejala, 50%
bila adanya riwayat batuk dan 70% bila adanya riwayat batuk
darah pada mereka yang kita curigai. 14
b. Pemeriksaan foto toraks
Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai pada bidang
radiologi, seperti computed tomografi, Scintigrafi, Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dan sebagainya, namun x-foto dada
yang rutin dikerjakan masih merupakan metode yang sangat
informatif pada pemeriksaan paru dan struktur-struktur toraks.
Standar pemeriksaan adalah x-foto dada posisi postero-anterior dan
lateral. Pemeriksaan radiologis idealnya memakai film berukuran
66 x 43 cm dengan paparan sinar 140 KV (Hight KV Teknik).
Pemeriksaan ini hanya memberi radiasi yang kecil.12 Penilaian
bentuk kelainan radiologi thoraks dikelompokkan berdasarkan:
1) Penilaian hilus, meliputi: Pembesaran hilus, Massa di hilus,
Massa perihilus
29
2) Penilaian parenkim paru meliputi: Massa, Massa apical, Massa
multiple, Emfisema, Ateletaksis, Proses konsolidasi,
Pneumonitis, Kavitas
3) Penilaian ekstrapulmoner intrakranial meliputi:
Pelebaran/massa di mediastinum, Dinding toraks termasuk otot
dan tulangnya, Efusi pleura, Peninggian diafragma
4) Bermacam-macam gambaran radiologis tumor paru yang dapat
dijumpai yaitu:
5) Massa radiopaque di paru, densitas homogen, tepi sering
irreguler.
6) Massa radiopaque di paru dengan ateletaksis.
7) Massa radiopaque di paru dengan pneumonia.
8) Pembesaran kelenjar hilus, pada stadium awal umumnya
unilateral untuk mengetahui lebih jelas pembesaran kelenjar
hilus, perlu pemeriksaan tomografi frontal atau lebih jelas lagi
dengan computed tomografi.
9) Kavitasi terjadi karena nekrosis, didapatkan pada 2-16% kasus.
Lebih sering dijumpai pada squamous carcinoma. Kavitas
karena proses keganasan tidak selalu berdinding tebal, kadang-
kadang berdinding tipis akibat nekrosis pada tumor.
10) Massa dengan efusi pleura, dan bila efusi masif yang tampak
sering efusinya dahulu, setelah efusi dievakuasi baru gambaran
massa tampak, terjadi pada 8-15% kasus.
11) Jaringan paru yang kolap akibat komplikasi dari tumor.
12) Tumor Pancoast, karsinoma bronkogenik yang terdapat di
superior sulcus pulmonary, pada apeks lobus superior.
13) Kelainan pada tulang, sering berupa osteolitik, diperkirakan
terdapat pada 10-20% kasus. Kadang-kadang dijumpai
destruksi satu atau lebih dari tulang iga, terutama pada tulang
iga pertama sampai ketiga.
30
14) Elevasi unilateral dari diafragma, akibat kelumpuhan pada n.
fremikus, kelumpuhan ini akan tampak jelas bila dilakukan
pemeriksaan fluroskospi, dimana didapatkan gerakan paradok
dari diafragma.
15) Perikardial efusi, terjadi bila kanker telah metastase ke
perikardium.
c. Tomografi dan Computed Tomografi
Pada pemeriksaan tomografi untuk menentukan N, tomografi
miring (left/right inferior oblique) dapat mendeteksi lebih baik
daripada tomografi transversal. Kelenjar yang dapat dideteksi
adalah kelenjar hilus, trakea, aorta dan para aorta.
Computed tomografi adalah alat yang dapat memberi
gambaran irisan tubuh dengan bantuan komputer. Alat ini dapat
menentukan nodul mulai dari sebesar 5-6 mm atau lebih. Dalam
menentukan besarnya tumor (T), CT scan lebih peka daripada x-
foto dada biasa, dalam gambar akan tampak jelas batas dan
besarnya tumor.
b. Magnetic Resonance Imaging
Keunggulan MRI dibanding CT scan, MRI dapat membedakan
struktur vaskuler atau padat tanpa perlu bahan kontras.
c. Bronkografi
Beberapa laporan menyebutkan keberhasilan diagnosa kanker
paru dengan bronkografi antara 72-94%.
d. Bronkoskopi
Akurasi diagnostik bronkoskopi tergantung dari lokasi tumor,
dengan akurasi secara keseluruhan antara 60-80%. Untuk kanker
paru, dengan diameter > 2 cm dan terletak di sentral akurasi 90%,
sedang untuk kanker paru dengan diameter < 2 cm, dengan terletak
di perifer akurasi hanya sekitar 15-20%.
e. Mediastinokopi
31
Pada penderita kanker paru yang dengan pemeriksaan non
invasif menunjukkan adanya nodul pada mediastinum, dan pada
penderita ini dilakukan mediastinokopi cervical memberikan hasil
positif 85-90%, sedang dalam mediastinokopi tersebut dilakukan
rutin pada semua penderita kanker paru tanpa dilakukan tindakan
non invasif terlebih dahulu memberikan hasil positif antara 25-
40%.
f. Torakosintesis dan Torakoskopi
Dengan torakosintesis, diagnosa sitologi yang dapat
ditegakkan dari berbagai penelitian didapatkan sekitar 40-75%.
Apabila dikombinasi dengan biopsi pleura didapatkan sekitar 87%.
g. Biopsi
Tindakan biopsi untuk diagnosa histologi atau sitologi pada
kanker paru dapat dilakukan melalui:
1) Biopsi kelenjar scalenus/kelenjar supra clavicula
2) Biopsi transkutaneus/transtorakal
3) Biopsi transbronkial
4) Biopsi terbuka
Bahan yang didapat dapat berupa jaringan paru, jaringan plura,
kelenjar regional.
2.2.5 Klasifikasi dan penderajatan
Kanker paru dibagi menjadi kanker paru sel kecil (small cell lung
cancer, SCLC) dan kanker paru sel tidak kecil (non-small lung
cancer, NSCLC). Klasifikasi ini digunakan untuk menentukan terapi.
Termasuk didalam golongan kanker paru sel tidak kecil adalah
epidermoid, adenokarsinoma, tipe-tipe sel besar, atau campuran dari
ketiganya. 15
Karsinoma sel skuamosa (epidermoid) merupakan tipe histologik
kanker paru yang paling sering ditemukan, berasal dari permukaan
epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia, atau displasia
32
akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya
tumor. Karsinoma sel skuamosa biasanya terletak sentral di sekitar
hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang
melampaui beberapa sentimeter dan cenderung menyebar secara
langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding dada, dan
mediastinum. Karsinoma ini lebih sering pada laki-laki daripada
perempuan. 15
Adenokarsinoma, memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar
bronkus dan dapat mengandung mukus. Kebanyakan jenis tumor ini
timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang-kadang dapat
dikaitkan dengan jaringan parut lokal pada paru dan fibrosis
interstisial kronik. Lesi sering kali meluas ke pembuluh darah dan
limfe pada stadium dini dan sering bermetastasis jauh sebelum lesi
primer menyebabkan gejala-gejala.
Karsinoma bronkoalveolus dimasukkan sebagai subtipe
adenokarsinoma dalam klasifikasi terbaru tumor paru dari WHO.
Karsinoma ini adalah sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi
sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti
bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan paru
perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke
tempat-tempat yang jauh.15
Karsinoma sel kecil umumnya tampak sebagai massa abu-abu
pucat yang terletak di sentral dengan perluasan ke dalam parenkim
paru dan keterlibatan dini kelenjar getah bening hilus dan
mediastinum. Kanker ini terdiri atas sel tumor dengan bentuk bulat
hingga lonjong, sedikit sitoplasma, dan kromatin granular. Gambaran
mitotik sering ditemukan. Biasanya ditemukan nekrosis dan mungkin
luas. Sel tumor sangat rapuh dan sering memperlihatkan fragmentasi
dan “crush artifact” pada sediaan biopsi. Gambaran lain pada
karsinoma sel kecil, yang paling jelas pada pemeriksaan sitologik,
33
adalah berlipatnya nukleus akibat letak sel tumor dengan sedikit
sitoplasma yang saling berdekatan (Kumar, 2007).
Karsinoma sel besar adalah sel-sel ganas yang besar dan
berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma yang besar dan ukuran
inti bermacam-macam. Sel-sel ini cenderung timbul pada jaringan
paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke
tempat-tempat yang jauh.15
Bentuk lain dari kanker paru primer adalah adenoma, sarkoma, dan
mesotelioma bronkus. Walaupun jarang, tumor-tumor ini penting
karena dapat menyerupai karsinoma bronkogenik dan mengancam
jiwa.15
Stadium Klinis
Pembagian stadium klinis kanker paru berdasarkan sistem TNM
menurut International Union Against (IUAC)/The American Joint
Comittee on Cancer (AJCC) 1997 adalah sebagai berikut :
Tabel 3. Stadium Klinis Kanker Paru
Karsinoma tersembunyi Tx, N0, M0
Stadium 0 Tis, N0, M0
Stadium IA T1, N0, M0
Stadium IB T2, N0, M0
Stadium IIA T1, N1, M0
Stadium IIB T2, N1, M0
T3, N0, M0
Stadium IIIA T3, N1, M0
T1-3, N2, M0
Stadium IIIB T berapa pun, N3, M0
T4, N berapa pun, M0
Stadium IV T berapa pun, N berapa pun,
M1
34
Keterangan :
Status Tumor Primer (T)
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer.
Tx : Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus,
tetapi tidak terlihat pada radiogram atau bronkoskopi.
Tis : Karsinoma in situ.
T1 : Tumor berdiameter ≤ 3 cm dikelilingi paru atau pleura viseralis
yang normal.
T2 : Tumor berdiameter > 3 cm atau ukuran berapa pun yang sudah
menyerang pleura viseralis atau mengakibatkan ateletaksis yang
meluas ke hilus; harus berjarak > 2 cm distal dari karina.
T3 : Tumor ukuran berapa saja yang langsung meluas ke dinding dada,
diafragma, pleura mediastinalis, dan perikardium parietal atau
tumor di bronkus utama yang terletak 2 cm dari distal karina,
tetapi tidak melibatkan karina, tanpa mengenai jantung, pembuluh
darah besar, trakea, esofagus, atau korpus vertebra.
T4 : Tumor ukuran berapa saja dan meluas ke mediastinum, jantung,
pembuluh darah besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, rongga
pleura/perikardium yang disertai efusi pleura/perikardium, satelit
nodul ipsilateral pada lobus yang sama pada tumor primer.
Keterlibatan Kelenjar Getah Bening Regional (N)
N0 :Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar getah bening
regional.
N1 :Metastasis pada peribronkial dan/atau kelenjar hilus ipsilateral.
N2 :Metastasis pada mediastinal ipsilateral atau kelenjar getah bening
subkarina.
N3 :Metastasis pada mediastinal atau kelenjar getah bening hilus
kontralateral; kelenjar getah bening skalenus atau supraklavikular
ipsilateral atau kontralateral.
35
Metastasis Jauh (M)
M0 : Tidak diketahui adanya metastasis jauh.
M1 : Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu misalnya otak
2.2.6 Penatalaksanaan
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) terapi Ca Paru
merupakan terapi mulidmodalitas yang meliputi :
1. Medikamentosa
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan: 13
1. NSCLC stadium I dan II
2. Pada NSCLC stadium IIIA pembedahan dikombinasikan
dengan kemoterapi.
3. Terdapat kegawatan yang memerlukan tindakan operasi seperti
adanya sindrom vena kava superior yang berat.
Prinsip pembedahan adalah seluruh tumor direseksi secara
lengkap beserta KGB intrapulmoner dengan lobektomi maupun
pneumonektomi. KGB mediastinum juga diambil kemudian
diperiksa patologi anatomi. Syarat reseksi paru adalah: 13
1. Resiko ringan untuk pneumektomi bila kapasitas vital paru
kontralateral baik, VEP1 > 60%.
2. Resiko sedang untuk pneumektomi bila kapasitas vital paru
kontralateral > 35%, VEP1 > 60%.
Apablia syarat tersebut tidak terpenuhi dapat dilakukan
segmentomi. Tepi sayatan diperiksa untuk memastikan batas
sayatan telah bebas sel ganas. 13
b. Radioterapi
Radioterapi pada NSCLC stadium III A berfungsi sebagai
terapi kuratif. Radiasi dapat menjadi tindakan darurat pada sindrom
vena kava superior, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding
dada dan metastasis ke tulang atau otak. 13
36
Pilihan radioterapi pada NSCLC dipengaruhi oleh: 13
1. Staging penyakit
2. Status tampilan
3. Fungsi paru
Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah: 13
1. Hb > 10 g%
2. Trombosit > 100.000/mm3
3. Leukosit > 3000/dl
Radiasi paliatif diberikan pada unfavourable group, yakni: 13
1. Performance Scale (PS)< 70.
2. Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan.
3. Fungsi paru buruk.
Penilaian Performance Scale menurut Karnofsky: 16
1. 100: normal, tidak ada gejala atau adanya penyakit.
2. 90-99: gejala minor namun masih dapat menjalankan aktivitas
normal.
3. 80-89: beberapa gejala, aktivitas normal membutuhkan usaha.
4. 70-79: tidak dapat melakukan aktivitas normal namun masih
dapat merawat diri.
5. 60-69: membutuhkan perawatan untuk sebagian besar
aktivitas, beberapa bantuan dibutuhkan untuk merawat diri.
6. 50-59: membutuhkan bantuan untuk merawat diri, perawatan
medis sering.
7. 40-49: cacat, membutuhkan perawatan khusus.
8. 30-39: kecacatan yang parah, dirawat di rumah sakit.
9. 20-29: sangat sakit, membutuhkan perawatan suportif yang
signifikan.
10. 10-19: sekarat
11. 0-9: mati
37
c. Kemoterapi
Kemoterapi dapat dilakukan dnegan menggunakan kombinasi
obat anti kanker. Pada kondisi tertentu 1 obat anti kanker dapat
digunakan. Prinsip pemilihan jenis obat anti kanker adalah platimun
based therapy menggunakan sisplatin atau karboplatin, respon
obyektif satu obat anti kanker 15%, toksisitas obat tidak melebihi
grade 3 skala WHO, harus dihentikan atau diganti jika tumor
menjadi progresif setelah 2 siklus obat. Tidak semua pasien dapat
memperoleh kemoterapi, terdapat syarat standar yang harus
dipernuhi sebelum memperoleh kemoterapi yaitu: 13
1. Tampilan > 70-80, pada penderita dengan PS < 70 atau usia
lanjut, dapat diberikan obat antikanker
2. dengan regimen tertentu dan/atau jadual tertentu.
3. Hb > 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa perdarahan
akut, meski Hb < 10 g% tidak pertu
4. tranfusi darah segera, cukup diberi terapi sesuai dengan
penyebab anemia.
5. Granulosit > 1500/mm3
6. Trombosit > 100.000/mm3
7. Fungsi hati baik
8. Fungsi ginjal baik (creatinin clearance lebih dari 70 ml/menit)
Regimen untuk NSCLC adalah : 13
1. Platinum based therapy ( sisplatin atau karboplatin)
2. PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)
3. Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
4. Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
5. Dosetaksel + sisplatin atau karboplatin
Evaluasi kemoterapi dilakukan setelah 6 siklus jika pasien
menunjukkan respons yang memadai. Evaluasi dilihat dnegan
melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA setelah
pemberian terapi kedua atau dengan CT-Scan toraks setelah
38
kemoterapi keempat. Respon yang dinilai adalah respon subyektif
yaitu penurunan terhadap keluhan awal, respons semisubyektif
dilihat dari perbaikan tampilan seperti penambahan berat badan,
efek samping obat dan repons obyektif. Respons obyektif meliputi: 13
1. Complete response: tumor hilang 100% dan bertahan hingga 4
minggu.
2. Partian response: pengurangan tumor > 50% namun tidak
mencapai 100%.
3. Stable disease: tumor tidak berubah atau mengecil > 25%
namun tidak mencapai 50%.
4. Progresive disease: penambahan ukuran tumor > 25% atau ada
lesi baru di tempat lain.
2. Nonmedikamentosa
a. Rehabilitasi Medik
Pada pasien yang masih dapat dioperasi rehabilitasi medik
bertujuan untuk preventif dan restoratif. Pada pasien yang akan
dibedah perlu mendapat rehabilitasi medik prabedah dan
pascabedah, terutama untuk mencegah komplikasi pascabedah
seperti retensi sputum dan paru tidak mengembang serta
mempercepat mobilisasi. Sedangkan pada pasien yang sudah tidak
dapat dioperasi rehabilitasi medik bertujuan untuk tindakan
suportif dan paliatif. Tujuan program rehabilitasi medis pada
pasien yang sudah tidak dapat dioperasi adalah mempertahankan
kemampuan fungsional penderita berdasarkan skala Karnofsky.
b. Beri terapi paliatif untuk mengurangi kesakitan
c. Jaga pola asupan nutrisi 17
2.2.7 Prognosis
Secara umum prognosis Ca Paru adalah malam.
Tabel 4. Prognosis Ca Paru 18
39
NO Jenis Ca Paru 5 Years Survival Rate1 Small Cell Lung Cancer Secara umum 5 years survival rate 6%. Tanpa
terapi harapan hidup 2-4 bulan, dengan terapi harapan hidup 6-12 bulan.
2 Non-Small Cell Lung Cancer
Stadium 1: 60-80%Stadium 2: 40-50%Stadium 3A: 23%Stadium 3B: 10%. 50% pasien dengan terapi meninggal setelah 13 bulan.
2.2.8 Komplikasi
Komplikasi dari kanker paru dapat berupa komplikasi torakal,
komplikasi ekstra torakal, atau kanker paru itu bermetastasis ke otak
(Amin, 2006). Komplikasi metabolik yang palingumum terkait dengan
NSCLC adalah hiperkalemia, yang biasanya terdapat pada karsinoma sel
skuamosa. 19
40
BAB III
KESIMPULAN
Efusi pleura adalah penimbunan cairan didalam rongga pleura akibat
transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura
bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit.
Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas
paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-
organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi
pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi
darah.
Biasanya manifestasi klinisnya adalah yang disebabkan oleh penyakit
dasar. Pneumonia akan menyebabkan demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis,
sementara efusi malignan dapat mengakibatkan dispnea dan batuk. Ukuran efusi
akan menentukan keparahan gejala. Pada kebanyakan penderita umumnya
asimptomatis atau memberikan gejala demam, ringan ,dan berat badan yang
menurun seperti pada efusi yang lain
Efusi pleura harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan
pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada. Ada beberapa macam
pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. Firdaus, Denny. 2012. Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar
Lampung.
2. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
3. Halim H. Penyakit-penyakit pleura, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam,
Jilid II, edisi ke-3, Gaya Baru.Jakarta.2001; 927-38
4. HANLEY, M. E. & WELSH, C. H. 2003. Current diagnosis & treatment in
pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
5. Rofiq ahmad. 2001. Thorax. http://emedicine.medscape.com/article/299959-
overview diakses tanggal 8 Mei 2013
6. Bahar, Asril. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI
7. Halim, Hadi. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Ed. 3. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI
8. Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta EGC.
9. Rofiqahmad. 2008. Thorax. http://www.efusi
pleura/080308/thorax/weblog.htm. diakses tanggal 13 Maret 2008 jam 13.20
WIB
10. Smeltzer c Suzanne, Buku Ajar Keperawatan medical Bedah, Brunner and
Suddarth’s, Ed8. Vol.1, Jakarta, EGC, 2002.
11. Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,\ Jilid II Edisi 3.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
12. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N.
Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil . Pedoman nasional untuk
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2005. PDPI dan POI, Jakarta,
2005.
13. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Kanker Paru. Pedoman Diagnosis
& Penatalaksanaan di Indonesia.
42
14. Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2002.Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth Vol. 2 Edisi 8. Jakarta: EGC.
15. Nsdsdks
16. Ando, M., Y Ando., Y. Hasegawa., K Shimokata., H Minami., K Wakai., et
al. 2001. Prognostic Value of Performance Status Assessed by Patients
Themselves, Nurses, and Oncologists in Advanced Non-Small Cell Lung
Cancer. British Journal of Cancer. 85, 1634–1639.
17. Amin, Zulkifli. 2006. Kanker Paru : Buku Ajar Penyakit Dalam. Jilid II Edisi
IV. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2254.
18. Eldridge, Lynne. 2012. Lung Cancer Survival Rates by Type and Stage: What
Are the Survival Rartes for Different Stage of Lung Cancer?. Diunduh di
http://lungcancer.about.com/od/whatislungcancer/a/lungcancersurvivalrates.ht
m.
19. Tan, Winston W. 2012. Non Small Cell Lung Cancer available at
http://emedicine.medscape.com/article/279960-clinical#aw2aab6b3b3aa
43