referat tonsil it is kronis rendy
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Di Indonesia infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) masih merupakan
penyebab tersering morbiditas dan mortalitas pada anak. Pada tahun 1996/1997
temuan penderita ISPA pada anak berkisar antara 30% - 40%, sedangkan temuan
penderita ISPA pada tahun tersebut adalah 78% - 82%. Sebagai salah satu
penyebab adalah rendahnya pengetahuan masyarakat. Di Amerika Serikat absensi
sekolah sekitar 66% diduga disebabkan ISPA (1).
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering
menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau
dibiarkan (2). Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi
(Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis kronik tertinggi setelah
nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.
Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di
antaranya pada usia 6-15 Tahun (3). Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada
periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis
kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan (4).
1
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk,
nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang (5).
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat
tidur; gejala yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk,
gelisah, perhatian berkurang dan prestasi belajar yang kurang baik (4,6).
Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari
hasil/prestasi belajarnya (7). Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika
sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak
nyaman (8).
Hal ini sesuai dengan kesan masyarakat bahwa tonsilektomi dapat
meningkatkan prestasi belajar pada anak yang menderita penyakit amandel
(tonsil) sehingga banyak orang tua yang menginginkan operasi amandel untuk
meningkatkan prestasi belajar anaknya, meskipun belum tentu tonsilnya sakit (8).
Belajar adalah aktivitas (usaha dengan sengaja) yang dapat menghasilkan
perubahan berupa kecakapan baru pada diri individu. Proses dan hasil belajar
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain kondisi fisiologis dan psikologis diri
individu. Perubahan perilaku akibat belajar tersebut menandai keberhasilan proses
belajar dan mengajar dan digunakan sebagai indikator prestasi belajar.
Berdasarkan hal tersebut dapat dimengerti bahwa tonsilitis kronik dapat
mengganggu kondisi fisiologis dan psikologis anak sehingga dapat mengganggu
proses belajar (9).
2
BAB II
EMBRIOLOGI DAN ANATOMI TONSIL
2. 1 EMBRIOLOGI TONSIL
Tonsila Palatina berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi
kantong faringeal kedua. Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap
dan bagian dorsalnya tetap ada dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil
berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga. Kripta tonsillar pertama terbentuk
pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada usia kehamilan 20
minggu. Pada sekitar bulan ketiga, tonsil secara gradual akan diinfiltrasi oleh sel-
sel limfatik.
Secara histologis tonsil mengandung 3 unsur utama yaitu jaringan ikat atau
trabekula (sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf dan limfa), folikel
germinativum (sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda) serta jaringan
interfolikel (jaringan limfoid dari berbagai stadium).9
Gambar 1. Gambaran Histologi Tonsil
3
2.2 ANATOMI TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan
ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan. Jaringan limfe
pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa kanak-kanak,
adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian
terpenting dari cincin waldeyer.
Gambar 2 : Cincin Waldeyer
4
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah
mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil
Gerlach’s). 9,10
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.
Gambar 3. Tonsil Palatina
5
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
6
Adenoid atau tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk
triangular yang terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga
tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan
terus bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami
regresi. Adenoid telah menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran
adenoid beragam antara anak yang satu dengan yang lain. Umumnya ukuran
maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7 tahun. Pembesaran yang terjadi
selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen seperti virus,
bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.
Gambar 5. Adenoid
7
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pada bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang
disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil.9
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran
jaringan ikat, yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar
yang kemudian membentuk septa. 9
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke
arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral
faring. Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak
diantara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan
serabut yang berasal dari otot palatofaringeus. Serabut ini dapat menjadi penyebab
kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi
adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.9
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu
A. maksilaris eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris
dan A. palatina asenden, A. maksilaris interna dengan cabang A. palatina
desenden, serta A. lingualis dengan cabang A. lingualis dorsal, dan A. faringeal
asenden.
8
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior
dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden,
mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil.
Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar
m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan
mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina
desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis
dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. 9,10
Gambar 6. Pendarahan Tonsil
9
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran
getah bening. Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah
bening servikal profunda atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening
selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V
melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf
glossofaringeus (N. IX). 9,10
Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan
patogen, selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi
terbesar dari tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60
tahun Ig-positif sel B dan sel T berkurang banyak sekali pada semua
kompartemen tonsil.
10
Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian
yaitu respon imun tahap I, respon imun tahap II, dan migrasi limfosit. Pada
respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel
kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis.
Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga
membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan
dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan
sel dendritik
Respon imun tonsila palatina tahap kedua terjadi setelah antigen melalui
epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Adapun
respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari
penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke
tonsil melalui HEV( high endothelial venules) dan kembali ke sirkulasi melalui
limfe.
11
BAB III
TONSILITIS KRONIS
3.1 Definisi
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
keluar detritus. 10
Gambar 8. Tonsilitis
12
3.2 Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari
Commission on Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General
of the Army America dimana dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :
25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada
masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus
antibodi dalam serum penderita.
25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak
menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum
penderita. Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus
influenza.
3.3 Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 10
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.
13
3.4 Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena
proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-
anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar submandibula. 10
3.5 Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada
tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal
di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis
yang mungkin tampak, yakni :
14
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke
jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang
purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang
seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta
yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 10
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
3.6 Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
15
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50%
diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan
keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan,
nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan
nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut.
Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat
diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta
membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat
pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang
kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret
purulen yang tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan
derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus. 10
3.7 Komplikasi
16
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil.
Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 10
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber
infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring,
sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os
petrosus.
Abses Retrofaring
17
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil
berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
Artritis dan fibrositis.
3.8 Penatalaksanaan
18
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan
gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang
lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta
tonsilaris dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai
hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-ulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang diusulkan oleh
Celsus dalam buku De Medicina (tahun 10 Masehi). Jenis tindakan ini juga
merupakan tindakan pembedahan yang pertama kali didokumentasikan secara
ilmiah oleh Lague dari Rheims (1757).
KESIMPULAN
19
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab tersering
morbiditas dan mortalitas pada anak. Tonsilitis kronik pada anak mungkin
disebabkan karena anak sering menderita ISPA atau karena tonsilitis akut yang
tidak diterapi adekuat atau dibiarkan.
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Bagian tonsil antara lain:
fosa tonsil, kapsul tonsil, plika triangularis.
Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang
berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus
tersebut maka akan timbul tonsilitis.Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau
peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh virus ataupun bakteri.
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut
yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama
terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat.
Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai
dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
keluar detritus.
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri
tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk,
nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang.
20
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan
tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan
gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai
fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W.
Pengetahuan dan Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat
dalam kaitannya dengan penyakit ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes.
2003; 31:60-71.
2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan aluran
Nafas Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1994 : 194-224.
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan
makalah dan pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT
PERHATI-KL, Palembang, 2001: 8-12.
4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT
RSUP Dr. Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI
PERHATI, Medan, 1980: 249-55.
5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada
apus tonsil dan jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami
tonsilektomi. Kumpulan naskah ilmiah KONAS XII PERHATI,
Semarang:BP Undip;1999: 193-205.
6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd
ed.. Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57.
22
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome
:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.
8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with
obstructive sleep apnea. Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000;
123:9-16
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of
Otolaryngology. 6th Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001;
263-368
10. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183
23