refleksi kehidupan sosial budaya masyarakat …
TRANSCRIPT
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
REFLECTION OF BUGIS SOCIAL CULTURE LIFE IN “ATHIRAH” NOVEL CREATED BY ALBHERTIENE ENDAH
(A SociologicalStudyof Literature)
Tesis
Oleh
A K M A L
Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2014
i
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL “ATHIRAH” KARYA ALBERTHIENE ENDAH
(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk MencapaiMagister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
A K M A L Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MEGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVESITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2014
ii
TESIS
REFLEKSI KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BUGIS DALAM NOVEL ATHIRAH KARYA
ALBERTHIENE ENDAH (Sebuah Telaah Sosiologi Sastra)
Yang disusun dan diajukan oleh
AKMAL Nomor Induk Mahasiswa: 04.07.750.2012
Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Tesis pada tanggal, 11 November 2014
Menyetujui Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
Mengetahui,
Direktur Program Pascasarjana Ketua Program Studi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. NBM. 988463 NBM. 922699
iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI
Judul : Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis
dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah (Sebuah telaah Sosiologi Sastra)
Nama : A k m a l
NIM : 04.07.750.2012
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Konsentrasi : -
Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Tesis pada tanggal 11 November 2014 dan dinyatakan telah memenuhi persyaratan dan dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Megister Pendidikan pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, 21 Januari 2015
Tim Penguji:
Prof. Dr. Muh. Rapi Tang, M. S. ............................................... (Ketua/Pembimbing/Penguji)
Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum. ............................................... (Sekretaris/Penguji)
Prof. Dr. H. M. Ide Said, D. M., M. Pd. ............................................... (Penguji)
Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum. ............................................... (Penguji)
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Akmal
Nomor Pokok : 04.07.750.2012
Program Studi : Bahasa dan Sastra Indonesia
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan
atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat
dibuktikan bahwa sebagaian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang
lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 21 Januari 2015
Yang menyatakan,
Matrai 6000
Akmal
v
ABSTRAK
AKMAL, 2014 Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel Athirah Karya Alberthiene Endah. Tesis Megister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar. (Dibimbing oleh Muhammad Rapi Tang sebagai Ketua Komisi dan Abdul Rahman Rahim sebagai Anggota).
Penelitian sosiologi sastra novel Athirahkarya Alberthiene Endah bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan struktur novel Athirah yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat yang digunakan sebagai langkah awal dalam analisis sosiologi sastra dan (2) Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel Athirah.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka jenis deskriptif dengan pendekatan kualitatif.Data dalam penelitian ini adalah unsur struktur yang membangun novel Athirah dan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi kematian(maut), cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terungkap dalam novel Athirah. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Athirah karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta , Desember 2013 cetakan pertama setebal 404 halaman. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik kepustakaan (library research) dan teknik simak catat. Penelitian ini menggunakan beberapa tahap pengolahan data, yaitu deskripsi data, klasifikasi data, interpretasi data, dan evaluasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Athirah,diperlihatkan adanya hubungan antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra tersebut. Rangkaian kejadian yang disusun menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokohmembentuk sebuah jalinan peristiwa sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya.latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh tersebut dihubungkan oleh latar tempat. Sedangkan, kehidupan sosial budaya Bugis yang terefleksikan dalam novel ini adalah masalahmaut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Kehidupan sosial tersebut direfleksikan dalam pristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya. Disarankan kepada penikmat sastra agar novel ini dibaca karena di dalamnya dipaparkan mengenai perjuangan seorang ibu dan sosok dibalik kesuksesan Jusuf Kalla. Layak dibaca oleh para generasi muda agar
vi
dipetik manfaatnya. Diharapkan kaum muda lebih menghormati ibu dan mengambil teladan.
vi
ABSTRACT
AKMAL,2014 Reflection of Bugis Social Culture Life in Athirah Novel Created by Albhertine Endah. Thesis of Magister Laguage Education and Indonesian Literature the Program of the Post Graduate for Makassar Muhammadiyah University. (Guided by Muhammad Rapi Tang as the commision chief and Abdul Rahman Rahim as a member).
The research of the literature sociology Athirah novel created by Alberthine Endah has aimed (1) is it to describe the structure of Athira novel that contains plot, figure, background theme and massage wich are used as the beginning step of analisyis for the literature sociology and (2) it is to describe the life of the social culture Bugis society that has been expressed in Athirah novel.
This research is the leabrary reseach kind of descriptive with the qualitatif approaching. Data in this reseach is the structure element in building the Athirah novel and the life of social culture for the Bugis society include the death, love, tragedy, hopeness, dedication, and the transendental cases have been expressed in the Athirah novel. The data source in this reseach is the Athira novel created by Alberthiene Endah. Noura Books Edition Jakarta, December 2013 the first edition as 440 pages. The technical collecting data in this reseach is the library reseach and the tecnical of gatherin record. This reseach uses some stages of processing data, namely, the data description, the data classification, data interpretation, and evaluation.
The result of this research shows that in the Athirah novel has shown us there is relationship between the element that build literature creation the series of events which are arranged to use cronology plot and the cartain stages the story is arrange with flashback need doers involved in it. Event by event which has been undergone by the doers it well from on event relation so iti can from a plot. Here is place of relationship between a plot and figure because the plot will not be formed without the figures narrated and moved in the series of its story. A place setting has played an important role in arranging a plot. A story plot formed because the events have been undergone by its figures and the figures are related by a setting place. While the life of Bugis social culture has been reflected in this novel is death, love, tragedy, hopeness, dedication and the transendental cases. The social life is reflected in the events undegone by its figures. It is suggested to the literature users in order this novel can be read because in novel has been explained abaut the struggle of a mothers and the succes of Yusuf Kalla. It is suitable read by the young generation in order to take its benefit. It is hoped to the youth to respect a mother and take a good example.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt., yang
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, menganugerahi
kesehatan dan keselamatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
dengan judul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam
Novel Athirah Karya Albertthiene Endah”. Menyadari bahwa dalam
menyelesaikan tesis ini, berbagai macam kesulitan yang penulis alami,
tetapi dengan bekal keyakinan, ikhtiar yang maksimal dan tawakkal
kepada-Nya akhirnya tesis ini selesai sesuai rencana.
Tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dengan kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Rapi Tang, M. S.,
sebagai pembimbing I dan Dr. Rahman Raahim, M. Hum., sebagai
pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing
dan mengarahkan penulis dalam merampungkan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said. DM, M.Pd.,
sebagai Penguji I dan Dr. Andi Sukri Syamsuri, M. Hum., sebagai Penguji II
yang memberikan saran dan kritikan yang konstruktif demi penyempurnaan
tesis ini.
viii
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. H. Irwan Akib, M. Pd.,
sebagai Rektor Unismuh Makassar dan Prof. Dr. H. M.Ide Said. DM, M.Pd.,
sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar. Terima kasih pula kepada Dr. Abd. Rahman Rahim, M. Hum.
sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
serta para karyawan yang telah memudahkan pelayanan administrasi
kepada penulis selama ini.
Tidak lupa penulis menyampaikan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada seluruh tenaga pengajar pada Jurusan Pendidikan
Bahasa dan sastra Indonesia yang telah membekali penulis dengan
berbagai ilmu pengetahuan.
Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada istri dan anak-anak tersayang yang telah memberikan
segalanya kepada penulis, baik dalam bentuk material serta doa tulusnya.
Juga kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa mendoakan penulis
untuk meraih kesuksesan. Semoga doa, bantuan, dan motivasi yang
diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah, Swt.
Makassar, November 2014
Akmal
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI ...................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS........................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
ABSTRACT .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR................................................................................ vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiv
DAFTAR ISTILAH ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................ 11
C. Tujuan Kajian ................................................................ 11
x
viii
D. Manfaat Kajian ............................................................. 12
E. Definisi Istilah ............................................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................... 14
A. Tinjauan Hasil Penelitian .............................................. 14
B. TinjauanTeoridan Konsep ............................................ 16
C. Kerangka Pikir ……....................................................... 44
BAB III METODE KAJIAN ............................................................. 46
A. Pendekatandan Jenis Penelitian .................................. 46
B. Sumber Data ................................................................... 48
C. Objek Kajian ................................................................. 48
D. Teknik Pengumpulan Data............................................ 48
E. Teknik Pengolahan Data .............................................. 49
F. Teknik Penarikan Kesimpulan .................................... 50
G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian ................................. 50
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ........................... 52
A. Analisis Unsur Intrinsik Novel ....................................... 52
B. Analisis Sosiologi Sastra............................................... 87
C. Pembahasan Hasil Penelitian...................................... 101
BAB V KESIMPILAN DAN SARAN ............................................ 108
A. Kesimpulan.... .............................................................. 108
B. Saran........................................................................... 111
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 112
xi
viii
RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 114
LAMPIRAN............................................................................................ 115
vi
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
Tabel 3.1 Tahapan dan Jadwal Pengkajian ....................................... 49
vi
xiii
DAFTAR GAMBAR
Bagan Teks Halaman
Bagan 2.1 Bagan Kerangka Pikir ............................................. 44
xiv
DAFTAR LAMPRAN
Lamiran Teks Halaman
1. Sinopsis Novel Athirah ............................................................... 110
2. Surat Izin Penelitian .................................................................... 116
xv
DAFTAR ISTILAH
antagonis : tokoh yang suka menentang tokoh utama dalam cerita.
daeng : panggilan keakraban orang (bangsawan) Bugis.
eksplorasi : penjelajahan lapangan dengan tujuan memperoleh pengetahuan lebih banyak.
ekstrinsik : bagian yang berasal dari luar, bukan merupakan bagian yang tidak terpisahhkan dari inti.
emma : panggilan akrab anak terhadap ibudikalangan orang Bugis.
flash back : kilas balik.
genre :ragam, jenis.
intrinsik : bagian yang terkandung di dalamnya, bagian dari inti.
kronologis : berdasarkan urutan waktu.
kuliner : tentang makanan.
NU : Nahdatul Ulama.
NV : Naamloze Vennootschaap (Perseroan Terbatas)
protagonis :tokoh utama berwatak baik dalam cerita.
refleksi : gerakan, pantulan, di luar kesadaran sebagai awaban ataukegiatan yang datang dari luar.
sosiologi : ilmu tentang sifat, prilaku dan perkembangan masyarakat.
tragedi : peristiwa yang menyedihkan.
transendental : menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, abstrak.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastrawan tidak lepas dari status sosial tertentu, sedangkan
sastra adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai
medianya, dan bahasa itu sendiri adalah ciptaan sosial. Dengan demikian,
tidak jarang karya sastra merupakan cerminan atau pantulan hubungan
sosial individu dengan individu lain, atau antara individu dan masyarakat.
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
mempengaruhi masyarakat. Bahkan, seringkali masyarakat sangat
menentukan nilai karya sastra yang hidup di satu zaman, sementara
sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial
tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya
dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.
Karya sastra bersumber dari kenyataan-kenyataan yang ada
dalam masyrakat. Ia mengungkap masalah-masalah manusia dan
kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra
melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang,
kebencian, nafsu, dan segala yang dialami manusia. Melalui karya sastra,
pengarang ingin menampilkan nilai-nilai yang lebih tinggi dan lebih agung,
ingin menafsirkan hidup dan hakikat hidup (Esten, 1989:8).
2
Karya sastra merupakan sebuah potret terhadap kenyataan sosial
yang ditangkap oleh pengarang melalui indra penghayatannya terhadap
kehidupan di sekitarnya yang selanjutnya diolah dalam tungku imajinasi
dan dituangkan dalam mangkuk kreativitas. Sastra membaca fakta yang
ada sehingga “karya sastra adalah kenyataan (realitas) sosial yang
mengalami proses pengolahan oleh pengarang” (Sumardjo, 1982: 30)
Sastra menjadi dinamika sosial dalam persentuhannya antara
pengarang dengan masyarakat. Perubahan demi perubahan membentuk
konstruksi sosial yang lahir dari persoalan hidup manusia. Pengarang
mengungkapkan berbagai macam masalah yang dialami, ataupun yang
dilihat di lingkungan dia berada termasuk dalam lingkungan sosial budaya.
Fenomena ini dapat ditemukan dalam karya sastra jenis novel. Sebagai
salah satu bentuk karya sastra dan merupakan pengungkapan
pengalaman pengarang yang tersusun dalam bentuk narasi, novel lahir
dan hadir dari proses kreatif pengarang.
Sastra adalah produk masyarakat. Ia berada di tengah
masyarakat karena dibentuk oleh anggota-anggota masyarakat
berdasarkan desakan-desakan emosional ataupun rasional dari
masyarakat. Jadi, jelas bahwa kesusastraan bisa dipelajari berdasar
disiplin ilmu sosial juga, dalam hal ini Sosiologi Sastra (Sumardjo, 1982: 12).
Karya sastra tidak hanya sebagai media alternatif yang dapat
menghubungkan kehidupan manusia pada masa lampau, masa kini, dan
masa yang akan datang, tetapi juga dapat berfungsi sebagai alat informasi
3
masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia ke
arah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Dalam
kaitan ini Wallek mengemukakan bahwa dalan aliran kritik Hegel dan
Taine, kebebasan sejarah dalam kehidupan sosial disamakan dengan
kehidupan artistik. Seniman menyampaikan kebenaran sekaligus juga
merupakan kebenaran sejarah dan kehidupan sosial sebab karya sastra
adalah dokumen karena merupakan monumen (Wallek, 1989).
Dari peryataan-peryataan di atas dapat dikatakan bahwa karya
sastra bukan hanya merupakan curahan perasaan dan hasil imajinasi
pengarang saja, namun karya sastra juga merupakan refleksi kehidupan,
yaitu pantulan respon pengarang dalam menghadapi problem kehidupan
yang diolah secara estetis melalui kreativitas yang dimilikinya, kemudian
hasil olahan tersebut disajikan kepada pembaca. Dengan demikian
pembaca dapat merenungkan dan menghayati kenyataan dan masalah-
masalah kehidupan di dalam bentuk karya sastra, sehingga memberikan
respon terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan tersebut.
Sauatu karya sastra dianggap baik bila memenuhi syarat yang
telah ditentukan. Syarat-syarat yang harus ada dalam karya sastra adalah
aspek dari dalam yang membangun karya sastra (intrinsik) dan aspek dari
luar yang membangun karya sastra (ekstrinsik). Kedua aspek ini memiliki
peran yang vital dalam melahirkan sebuah karya sastra yang bermutu.
Isi novel adalah rekaan situasi tempat sastrawan menjalani
hidupnya sebagai makluk sosial. Sebagai bentuk cerita rekaan, menurut
4
Sujiman (1988) bahwa pengarang dengan daya imajinasi yang mampu
menyusun pengalaman yang dirasakan dan dilihat dalam lingkungan
kehidupannya maka terciptalah sebuah karya sastra. Novel banyak
menampilkan berbagai problem kehidupan, pengalaman, dan gambaran
manusia dalam kehidupan ini. Pengarang dengan kepekaannya mencoba
mencernakan, menghayati problem kehidupan, dan gambaran manusia
tersebut kemudian menyusunnya kembali melalui teknik dan gaya bahasa.
Sebagai bentuk karya fiksi, novel menawarkan sebuah dunia
berupa model kehidupan yang diidealkan dan dibangun dengan berbagai
unsur intrinsiknya, seperti tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, amanat,
dan gaya bahasa semuanya bersifat imajiner. Selain itu, novel juga
menawarkan berbagai permasalahan manusia dalam kehidupannya.
Meskipun bersifat imajiner, tidak benar jika novel dianggap sebagai hasil
kerja lamunan belaka, tetapi penghayatan dan perenungan terhadap
hakikat hidup dan kehidupan yang dilakonkan dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni.
Novel berisi dasar cerita yang melukiskan cita-cita, ajaran moral,
lukisan masyarakat dan sebagainya. Sebuah karya sastra ditulis oleh
pengang dengan menawarkan model kehidupan yang diidealkan. Dari
novel yang berisi penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku tokoh-
tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dan pesan-
pesan moral yang diamanatkan.
5
Pendekatan sosiologi bertolak dari pandangan bahwa sastra
merupakan citraan atau refleksi masyarakat. Melalui sastra, pengarang
mengungkapkan tentang suka duka kehidupan masyarakat yang mereka
ketahui dengan sejelas-jelasnya. Bertolak dari pandangan itu, telaah
sastra yang dilakukan berfokus pada segi sosial kemasyarakatan yang
terdapat dalam suatu karya sastra serta mempersoalkan segi-segi yang
menunjang pembinaan dan pengembangan tata kehidupan. Dalam
perkembangannya pendekatan sosiologis diharapkan pada telaah nilai-
nilai. Hal tersebut didasarkan pada pengertian bahwa karya sastra
berkaitan dengan hakikat situasi dalam sejarah. Karya sastra menyajikan
persoalan-persoalan interpretasi yang tidak terpecahkan, yang berkaitan
dengan tata nilai dan struktur dari kondisi sosial dan historis yang terdapat
dalam kehidupan manusia.
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak pada
orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada
pengarang dan pembaca. Karya sastra dapat dilihat hubungannya dengan
kenyataan, yaitu sejauh mana karya sastra itu merefleksikan atau
mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup
luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang
diacu karya sastra.
Teori sosiologi sastra tidak semata-mata digunakan untuk
menjelaskan kenyataan sosial yang dipindahkan atau yang disalin
pengarang dalam sebuah karya sastra. Teori ini juga digibahkan untuk
6
menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya,
hubungan karya sastra dengan suatu kelompok sosial, hubngan antara
selera masyarakat dengan kualitas suatu ciptaan karya sastra, dan
hubungan gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan
karyanya. Karena itu, teori-teori sosiologi yang digunakan untuk
menganalisis sebuah ciptaan sastra tidak dapat mengabaikan eksistensi
pengarang, dunia, pengalaman batin, dan budaya tempat karya sastra itu
dilahirkan.
Wellek dan Warren (1989:53) membagi telaah menjadi tiga
klasifikasi, yaitu:
a. Sosiologi Pengarang: yakni mempermasalahkan tentang status
sosial, idiologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri
pengarang.
b. Sosiologi karya sastra: yakni memasalahkan suatu karya sastra,
yang menjadi pokok telaahan adalah tentang apa yang tersirat
dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang
hendak disampaikan.
c. Sosiologi sastra: yakni yang memasalahkan tentang pembaca dan
pengaruh masyarakat.
Nilai kehidupan sosial budaya harus bersifat lokal dan kontekstual
sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat pendukungnya.
Sejalan dengan ini, seharusnya kehidupan sosial budaya masyarakat
Bugis mencerminkan karakteristik masyarakat yang memiliki pradaban
yang tinggi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis merasa tertarik untuk
lebih mendalami kejadian-kejadian dalam lingkungan nyata yang
7
terefleksikan dalam sebuah karya sastra. Novel sebagai salah satu bentuk
karya sastra akan digunakan sebagai objek kajian dengan menggunakan
pendekatan sosiologi sastra. Adapun novel yang akan dianalisis berjudul
“Athirah” karya Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta bulan
Desember tahun 2013, cetakan pertama.
Novel ini terinspirasi dari kisah perjalanan hidup Jusuf Kalla dan
ibundanya. Dalam kisah ini bercerita tentang ketegaran sososk seorang
ibu yang harus menerima kennyataan, suaminya kawin lagi. Ia terpaksa
harus menjadi ibu sekaligus bapak dari kesepuluh anaknya. Juga tentang
tanggung jawab seorang Jusuf sebagai anak laki-laki tertua bersaudara
dalam mendampingi ibunya setelah bapaknya memutuskan untuk
berpoligami. Dalam kisah ini diceritakan tentang pengalaman terberat
seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan ibundanya
menahan pedih atas peristiwa yang menekan itu. Persoalan terbesar
anak-anak keluarga poligami adalah, apakah harus berpihak kepada
bapak atau kepada ibu? Atau, berpura-pura tak ada masalah dan
memihak pada diri sendiri. Dari kisah perjalanan hidup yang dilalui Jusuf
membuatnya kuat. Awalnya batinya memang terasa berongga, seakan
belum mampu menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Namun, lama-
kelamaan ia pun sudah terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong,
keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Jusuf semakin jauh
menjalani kemadirian bersama ibunda dan saudara-saudaranya. Terasa
8
ada kekompakan yang lahir secara alamiah. Dari Nur sampai Farida,
semua berada dalam kebersamaan yang penuh harmoni.
Dalam kisah ini juga diceritakan tentang awal ketertarikan Jusuf
kepada Mufidah. Perjalanan cintanya dengan Mufidah bergulir beriringan
dengan kedewasaanya dalam memahami persoalan Bapak dan
Emmanya. Kisah bapaknya yang berpoligami dijadikan sebagai pelajaran
terindah dari Tuhan. Dari peristiwa itu, ia mendapat pelajaran dahsyat
tentang makna cinta, kesetiaan, dan keikhlasan. Dijadikanya kesabaran
sebagai benteng pertahanan dari guncangan hidup.
Albertine Endah adalah penulis kelahiran Bandung, Jawa Barat
ini, menyelesaikan studi sarjananya pada Jurusan Sastra Belanda di
Universitas Indonesia. Ia adalah seorang pekerja sastra budaya yang
produktif. Awal kariernya sebagai penulis dimulai di majalah Hidup pada
tahun 1993, kemudian menjadi redaktur di majalah Femina tahun 1994
hingga 2004. Tahun 2004 hingga 2009 menjadi pemred majalah Prodo.
Sejak tahun 2003, puluhan biografi telah ditulisnya di antaranya:
Seribu Satu KD, Panggung Hidup Raam Punjabi, Dwi Ria Latifa: Berpolitik
dengan Nurani, Chrisye: Sebuah Memoar Musikal, Djoko Susanto:
Langkah Sukses Membangun Alfamart, Jokwi: Mempin Kota Menyentuh
Jakarta, dan lain-lain. Penulis juga membuat buku edukasi populer: 1001
Masalah Transportasi Indonesia, There Is No Shorcut to Succes, Menulis
Fiksi Itu Seksi, Penari Legong Peliatan, Mendidik dengan Hati, Al Firdaus,
Pendidikan Menerobos Jiwa. Sejumlah novel best seller yang telah
9
ditulisnya di antaranya: Jodoh Monica, Dicintai Jo, Cewek Matre, I Love
My Boss, Nyonya Jetset, Rockin Girls, dan Jangan Beri Aku Narkoba.
Novel Jangan Beri Aku Narkoba mendapat penghargaan khusus dari BNN
dan meraih juara pertama nasional Adikarya IKAPI award 2005.
Pada tahun 2009, penulis novel “Athirah” ini mendapatkan
anugerah wanita inspiratif She Can Award. Dan tahun 2011, penulis
menggelar warkshop penulisan nasional Wordisme, yang diikuti 500
peserta dari seluruh Indonesia. Wordisme menjadi komunitas produktif
menggelar acara untuk membina bakat penulisan. Saat ini Alberthine
Endah aktif dengan sejumlah proyek penulisan biografi, menjadi
pembicara di berbagai seminar penulisan, dosen tamu diberbagai
universitas, dan sesekali aktif dalam pekerjaan film.
Novel Athirah ini menarik untuk diteliti karena novel ini
mengungkapkan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang
kompleks. Dari kisah cerita ini kita diajak untuk menyimak kisah sedih,
cinta, kekonyolan, kejahatan, keputusasaan, kebanggaan, kebahagiaan,
kepasrahan, dan ketidakadilan. Hal yang paling menarik dari novel ini
adalah meskipun penulis bukan orang yang berlatar belakang orang
Bugis, tapi keberaniannya dalam mengangkat tema kehidupan sosial
budaya Bugis harus diapresiasi. Ini adalah novel berlatar budaya Sulawesi
Selatan yang ditulis oleh penulis nasional dan diterbitkan oleh penerbit
nasional pula yang pertama saya baca. Sebab selama ini novel-novel
budaya lokal yang saya baca hanya ditulis oleh penulis lokal dan di
10
terbitkan oleh penerbit lokal juga. Oleh karena itu, kehadiran novel Athirah
ini merupakan salah satu wadah untuk penguatan kembali nilai-nilai sosial
budaya dan kearifan lokal. Apalagi saat ini ada kecendrungan dari
generasi muda untuk melupakan (kalau tidak mau dikatakan
meninggalkan) budaya lokal karena tidak mau dikatakan ketinggalan
zaman.
Saya kira dengan menghadirkan novel Athirah ini merupakan salah
satu cara yang dilakukan oleh penulisnya agar kita mau sejenak
menengok dan mengapresiasi nilai kehidupan sosial budaya lokal. Ini bisa
kita simak dari kisah-kisah yang dihadirkan dalam novel ini yang sarat
dengan nuansa budaya khas Bugis. Begitu juga pesan-pesan moral dalam
bahasa yang sederhana sangat jelas tergambar. Novel ini pada
hakikatnya merupakan konsep imajinatif penulisnya dipadukan dengan
cerita perjalan hidup bapak Jusuf Kalla yang berhasil menggambarkan
latar sosial budaya masyarakat Bugis dengan hidup, gaya bahasanya
mengalir, karakter tokoh-tokohnya yang kuat, sehingga membuka
cakrawala pembacanya. Hal ini menyebabkan kisah dalam novel tersebut
terasa hidup dan benar-benar terjadi.
Pendekatan terhadap karya sastra yang mempertimbangkan
segi-segi kemasyarakatan disebut sosiologi sastra. Kajian terhadap karya
sastra dengan pendekatan sosiologi sastra sangatlah penting. Melalui
pendekatan sosiologi sastra diharapkan dapat menjembatani hubungan
antara pengarang sebagai pencipta karya sastra dengan masyarakat
11
pembaca, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh pengarang
dapat diterima oleh masyarakat. Metode yang digunakan dalam sosiologi
sastra adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian
dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala-gejala sosial yang
di luar sastra (Damono, 1978:2).
Sepengetahuan penulis, sampai saat ini belum ada penelitian
sastra yang mengupas novel Athirah, baik dengan pendekatan sosiologi
sastra ataupun dengan pendekatan lain. Beberapa hal di atas merupakan
alasan yang melatarbelakangi penelitian ini. Penelitian ini diberi judul
Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Bugis dalam Novel “Athirah” Karya
Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka
yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi: alur,
penokohan, latar, tema dan amanat novel tersebut?
2. Bagaimanakah pengambaran kehidupan sosial budaya
masyarakat Bugis yang terungkap dalam novel Athirah?
12
C. Tujuan Kajian
Tujuan kajian ini sangat erat kaitannya dengan rumusan masalah.
Dengan demikian, tujuan kajian merupakan jawaban terhadap rumusan
masalah. Adapun tujuan kajian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan unsur intrinsik novel Athirah yang meliputi alur,
penokohan, latar, tema dan amanat yang digunakan sebagai
langkah awal dalam analisis sosiologi sastra.
2. Mendeskripsikan kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang
terungkap dalam novel Athirah.
D. Manfaat Kajian
Dalam pengkajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun secara praktis. Kegunaah yang diharapkan dalam
pengkajian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, kajian ini diharapkan dapat meperkaya khasanah
penelitian sastra Indonesia khususnya novel melalui pendekatan
sosiologi sastra sehingga pembaca dapat mengetahui hubungan
sastra dengan masyarakat.
2. Secara praktis, kajian ini diharapkan dapat mengungkapkan
penggambaran kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis meliputi
maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal transendental
yang terungkap dalam novel Athirah karya Alberthine Endah agar
13
ekses-ekses negatif akibat globalisasi biasa diminimalkan. Oleh
karena itu kajian ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk
mengungkap dan memberikan penguatan kembali nilai-nilai
kehidupan sosial budaya Bugis.
E. Definisi Istilah
Dalam kajian ini ada beberapa istilah yang perlu dijelaskan untuk
menghindari kesalahfahaman. Istilah-istilah yang akan dijelaskan adalah
sebagai berikut:
a. Refleksi kehidupan adalah, pantulan respon pengarang dalam
menghadapi problem kehidupan yang diolah secara estetis melalui
kreativitas yang dimilikinya, kemudian hasil olahan tersebut disajikan
kepada pembaca.
b. Sosial budaya adalah, segalah sesuatu yang dihasilkan atau
diciptakan oleh manusia untuk kelangsungan kehidupan dalam
bermasyarakat.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Hasil Penelitian
Penelitian dengan kajian sosiologi sastra telah dilakukan oleh
beberapa peneliti di antaranya: Shintya Junarso : 2008 (tenaga teknis
Balai Bahasa Jawa Tengah) dengan judul penelitiannya Refleksi Kaum
Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Dari hasil
penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa Novel dapat merefleksikan
perasaan, pikiran, dan keinginan manusia. Novel juga dapat bercerita tentang
situasi dan kondisi yang dialami oleh masyarakat sebagai dokumen sosial.
Penelitian yang memandang karya sastra sebagai refleksi situasi pada
masa sastra tersebut diciptakan merupakan salah satu perspektif sosiologi
sastra. Lewat novel Laskar Pelangi Andrea Hirata mengungkapkan
kehidupan sehari-hari masyarakat Belitong beserta pergulatan hidup yang
mereka alami. Dalam novel tersebut digambarkan bahwa masih banyak
masyarakat Belitong yang hidup dalam kemiskinan, padahal pulau yang
mereka diami adalah pulau yang dianugrahi kekayaan timah berlimpah.
Penelitian ini mendeskripsikan seberapa jauh Laskar Pelangi merefleksikan keadaan
sebenarnya yang terjadi di masyarakat.
Ardiyonsih Pramudya : 2012 (Mahasiswa Program Pascasarjana,
Universitas Sebelas Maret Surakarta) dalam penelitiannya yang berjudul
15
“Problem Sosial Novel Orang-Orang Proyek Karya Ahmad Tohari” (Kajian
Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan). Peneliti menyimpulkan bahwa (1)
problem sosial yang terdapat dalam novel orang-orang proyek adalah
kemiskinan, korupsi, pelanggaran terhadap norma masyarakat, pencurian,
dan permasalahan birokrasi; (2) tanggapan pembaca mengenai novel
menyimpulkan bahwa novel ini sangat menarik, tokoh yang sangat
dikagumi dalam novel adalah Kabul, nilai pendidikan yang menonjol dalam
novel adalah kejujuran, tanggung jawab dan tolong menolong, serta
problem sosial dalam novel yang dominan adalah korupsi dan
penyelewengan yang terjadi selama pelaksanaan proyek; dan (3) nilai
pendidikan yang terdapat dalam novel adalah kejujuran, kerendahan hati,
kedamaian, tanggung jawab, kasih sayang, tolong menolong, budaya,
agama dan toleransi.
Yelmi Andriani : 2011 (Masiswa Fakultas Sastra Universitas
Andalas) dalam penelitiannya yang berjudul “Perubahan Sosial dalam
Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi” (Suatu Tinjauan Sosiologi
Sastra). Ia menyimpulkan bahwa bardasarkan analsis ditemukan, bentuk-
bentuk perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terdapat dalam
novel Negeri Perempuan meliputi: (1) perubahan pola prilaku, (2)
perubahan tentang gelar penghulu, (3) perubahan terhadap konsep
Rumah Gadang. Faktor-faktor penyebab perubahan sosial yang terjadi
dalam novel Negeri Perempuan adalah: (1) dijadikannya Nagariko sebagai
objek pariwisata, (2) lemahnya tingkat ekonomi, rendahnya pendidikan
16
dan dasar agama yang goyah, (3) pengaruh kebudayaan lain, (4) tidak
dilaksanakannya fungsi sosial, (5) status sosial seseorang.
Kajian struktural novel pernah dilakukan oleh Nairawati : 2011 (mahasiswa
STIM-YAPIM Maros) dengan judul Studi tentang Alur Cerita Novel Pohon-
Pohon Rindu Karya Dul Abdul Rahman dengan Pendekatan struktural,
hanya saja kajian ini terbatas pada alur ceritanya saja. Hasil kajiannya
menunjukkan bahwa alur cerita novel ini adalah alur maju dilihat dari
urutan-urutan peristiwa dalam cerita.
B. Tinjauan Teori dan Konsep
1. Hakikat dan Fungsi Novel
Hakikat novel adalah cerita, tanpa cerita novel tidak diakui
keberadaanya. Cerita dalam novel diolah berdasarkan pada imajinasi.
Imajinasi dalam hal ini bukan sekadar lamunan atau laporan pandangan
mata pengarang belaka, melainkan imajinasi yang didasarkan atas
pengalaman, pengetahuan, dan penalaran pengarang. Imajinasi yang
menajamkan pada penanganan secara intens dan relevan dalam
menginterpretasikan kehidupan ini.
Secara etimologis, kata novel berasal dari kata noellus yang
diturunkan dari kata novies yang berarti baru. Dikatakan baru karena jika
dibandingkan dengan jenis sastra lainya seperti puisi dan drama, maka
jenis novel muncul kemudian (Tarigan, 1998:164)
17
Novel memang merupakan jenis sastra yang bersifat fiktif, namun
demikian ceritanya dapat menjadi suatu pengalaman hidup yang nyata
dan lebih dalam lagi novel mempunyai tugas mendidik pengalaman batin
pembaca atau pengalaman manusia (Damono 1978:2). Novel
menceritakan kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang. Luar
biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang
mengalih pada jurusan nasib kehidupan mereka. Suatu peralihan jurusan
dalam masa seakan-akan seluruh kehidupan mereka memadu kesilaman
dan keakanan yang tiba-tiba terdampar di depan kita (Jassin: 1985:78).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa novel
merupakan salah satu jenis cerita rekaan berbentuk prosa yang
hakikatnya adalah sebuah hasil eksplorasi, renungan, dan ungkapan
pengarang dalam sebuah cerita naratif yang berisi lakuan tokoh-tokoh
yang mengalami banyak peristiwa dan konflik sehingga mengakibatkan
perubahan nasib para tokohnya.
Novel sebagai salah satu genre sastra berfungsi memberikan
hiburan kepada pembacanya. Horace (dalam Wellek dan Werren,
1989:25) mengatakan bahwa sastra hendaknya berciri dulce et utile, yang
berarti menyenangkan dan berguna. Dulce artinya menyenangkan, yaitu
memberikan hiburan kepada pembaca. Adapun utile artinya berguna,
yaitu dapat mengajarkan sesuatu kepada pembaca, meberikan
pengetahuan, mendidik pengalaman batin pembaca, dan memperkaya
pandangan pembaca tentang kehidupan.
18
Selain itu fungsi sastra menurut Ariestoteles dalam karyanya The
Poetics, berfungsi sebagai katarsis, yaitu pembebasan jiwa kepada
pembaca, membebaskan pembaca dari tekanan emosi. Mengekspreikan
emosi, berarti melepaskan diri dari emosi itu (Wellek dan Werren: 1989:
34). Dengan demikian, fungsi novel adalah untuk memberikan hiburan,
memberikan pelajaran tentang kehidupan, dan sebagai alat untuk
pembersihan jiwa (katarsis) pembacanya.
Novel banyak menceritakan tentang keadaan sosial budaya
sekelompok masyarakat dalam sebuah daerah ataupun sebuah Negara.
Novel juga seiring menceritakan tentang keadaan hidup suatu kaum,
perkembangan zaman, agama, dan pendidikan. Tak jarang juga novel
banyak didasarkan pada kisah nyata seseorang yang dianggap pantas
untuk dijadikan sebuah cerita.
2. Teori Unsur Sastra
Dalam penelitian karya sastra, analisis terhadap unsur intrinsik
atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya
sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut. Analis karya sastra
secara sosiologis, untuk memahami lebih dalam gejala sosial yang berada
di luar karya sastra, terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap teksnya
untuk mengetahui strukturnya (Damono, 1978: 2). Demikian juga hal itu
dilakukan terhadap analisis karya sastra lain secara semiotik, psikologis,
tematis filosofis, atau menganalisis dengan pendekatan lainya. Analis
19
struktur ini sukar dihindari dan memang bertujuan untuk memungkinkan
mendapat pengertian dan analisis yang optimal (Teeuw, 1984:61)
Pendekatan struktural yaitu telaah atau pengkajian terhadap karya
sastra itu sendiri. Pendekatan struktural yang dimaksud ialah pendekatan
yang mencoba menguraikan dan fungsi masing-masing unsur karya
sastra sebagai sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Struktur
mengandung pengertian relasi timbal balik antar bagian-bagiannya dan
atara bagian dan keseluruhannya.
Dengan demikian, makna penuh sebuah kesatuan itu hanya dapat
dipahami sepenuhnya apabila makna menyeluruh sebuah kesatuan
sepenuhnya dan unsur-unsur pembentuknya terintegrasi ke dalam sebuah
struktur. Unsur-unsur yang dimaksud dalam struktur ini meliputi alur,
penokohan, latar, tema, dan amanat. Unsur-unsur inilah yang akan
dianalisis dalam kajian ini disertai analisis keterjalinan antar unsur-unsur
tersebut.
a. Alur
Alur merupakan rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-
bagian dalam keseluruhan fiksi. Dengan demikian alur adalah merupakan
perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan
kerangka utama cerita. Dalam pengertian, suatu jalur tempat lewatnya
rentetan peristiwa yang merupakan tindak-tanduk yang berusaha
20
memecahkan konflik di dalamnya. Alur mengatur bagaimana tindakan-
tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana tokoh-tokoh yang
digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu semua terkait dalam suatu
kesatuan waktu. (Semi 1993: 43).
Alur atau plot adalah jalinan peristiwa dalam karya sastra untuk
mencapai efek tertentu. Alur berisi urutan peristiwa atau kejadian yang
dihubungkan oleh hubungan sebab akibat. Peristiwa yang satu
disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lainnya (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 1995: 119). Foster menambahkan peristiwa-peristiwa yang
terjadi merupakan penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Sifat
hierarkis ini menunjukan bahwa antara peristiwa yang satu dengan yang
lainnya tidak sama kepentingannya, keutamaannya, dan fungsionalitasnya.
Unsur yang amat esensial dalam pengembangan sebuah alur cerita
adalah peristiwa, konflik, dan klimaks (Nurgiyantoro, 1995: 116). Roland
Barthes membagi golongan peristiwa (menurut kepentingannya) menjadi
dua, yaitu peristiwa utama (mayor events) dan peritiwa pelengkap (minor
events) (dalam Nurgiyantoro, 1995:120). Pengertian ini hampir senada
dengan ungkapan Luxenmburg yang mengatakan bahwa pengembangan
plot dalam peristiwa dapat dibedakan ke dalam tiga jenis, yaitu peristiwa
fungsional, peristiwa kaitan, dan peristiwa acuan.
a. Peristiwa fungsional, adalah peristiwa yang menentukan
perkembangan plot. Urutan-urutan peristiwa fungsional merupakan
inti cerita sebuah karya fiksi bersangkutan.
21
b. Peristiwa kaitan, adalah peristiwa yang berfungsi mengaitkan
peritiwa-peristiwa penting dalam pengurutan penyajian plot. Peristiwa
kaitan ini berbeda dengan peristiwa fungsional, sehingga tidak
mempengaruhi perkembangan plot. Peristiwa kaitan ini hanyalah
sebagai perantara di antara peritiwa-peristiwa penting.
c. Peristiwa acuan, adalah peristiwa yang mengacu pada unsur lain.
Misalnya berhubungan dengan permasalahan perwatakan atau
suasana batin seorang tokoh (dalam Nurgiyantoro, 1995: 118-119).
Konflik adalah sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan
adanya aksi dan aksi balasan (wellek dan Warren, 1989: 285). Konflik
menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita yang jika tokoh-tokoh
itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih
peristiwa itu akan menimpah dirinya (Meredith dan Fitzgerald dalam
Nurgiyantoro, 1995: 122).
Konflik dalam cerita biasanya dibedakan menjadi tiga jenis antara
lain:
a. Konflik dalam diri seseorang (tokoh). Konflik jenis ini sering disebut
psychological conflict ‘konflik kejiwaan’, yang biasanya berupa
perjuangan seorang tokoh dalam melawan dirinya sendiri, sehingga
dapat mengatasi dan menentukan apa yang akan dilakukakannya.
b. Konflik antara orang-orang atau seseorang dengan masyarakat,
konflik ini sering disebut social conflict ‘konflik sosial’, yang biasanya
22
berupa konflik tokoh, dan kaitannya dengan permasalahan-
permasalahan sosial. Konflik ini timbul dari sikap individu terhadap
lingkungan sosial mengenai berbagai masalah, misalnya
pertentangan ideologi, pemerkosaan hak, dan lain-lainnya. Itulah
sebabnya, dikenal dengan konflik ideologis, konflik keluarga, konflik
sosial, dan sebagainya.
c. Konflik antar manusia dan alam, konflik jenis ini sering disebut
sebagai phisical or element conflict ‘konflik alamiah’, yang biasanya
muncul tatkala tokoh tidak dapat menguasai dan atau memanfaatkan
serta membudidayakan alam sekitar sebagaimana mestinya
(Sayuti,2000:42).
Konflik dalam sebuah karya sastra bila telah mencapai puncak
menyebabkan terjadinya klimaks. Klimaks adalah saat konflik telah
mencapai tingkat intensitas tertinggi dan saat itu merupaka sesuatu yang
tidak dapat dihindari kejadiannya. Artinya, berdasarkan tuntunan dan
kelogisan cerita, peristiwa dan saat itu memang harus terjadi, tidak boleh
tidak. Klimaks merupakan titik pertemuan antara dua (atau lebih) hal
(keadaan) yang dipertentangkan dan menentukan bagaimana
permasalahan (konflik itu) akan diselesaikan. Secara lebih ekstrem,
barangkali, boleh dikatakan bahwa dalam klimaks “nasib” (dalam
pengertian yang luas) tokoh utama cerita akan ditentukan (Stanton dalam
Nrgiyantoro, 1995: 127).
23
Dalam menganalisis alur, Muchtar Lubis membedakan tahapan
alur menjadi lima bagian, antara lain:
a. Tahap penyituasian, merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian
informasi awal, dan lain-lain yang terutama berfungsi untuk
melandastumpui cerita yang dikisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik, merupakan tahap awal munculnya
konflik, dan konflik itu sendiri akan berkembang dan atau
berkembang menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c. Tahap peningkatan konflik, merupakan tahap dimana konflik yang
muncul mulai berkembang. Konflik-konflik yang terjadi, baik internal,
eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-
benturan antarkepentingan semakin tidak dapat dihindari.
d. Tahap klimaks, konflik dan ataupun pertentangan-pertentangan yang
terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intesitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin
saja memiliki lebih dari satu klimaks.
e. Tahap penyelesian, konflik yang telah mencapaiklimaks diberi
penyelesaian. Ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain,
sub-sub konflik, atau konflik-konflik tambahan jika ada juga diberi
jalan keluar, dan cerita diakhiri. (Stantondalam Nurgiyantoro, 1995:
149).
24
Dari segi urutan pengisahan, alur terdiri dari dua jenis, yaitu alur
dengan urutan kronologis dan alur dengan urutan nonkronologis.
a. Alur kronologis (alamiah) adalah alur yang mempunyai urutan dari
awal hingga akhir secara alamiah. Dengan kata lain alur bergerak
dari awal hingga akhir secara berurutan logis.
b. Alur nonkronologis adalah alur yang tidak menurut pada urutan
alamiah. Dengan kata lain alur yang tidak bergerak secara berurutan
atau plastis. Dalam alur nonkronologis terdapat jenis penahapan plot,
yaitu:
1) Plot sorot balik (flash back) adalah urutan kejadian cerita dimulai
dari tahap tengah atau akhir peristiwa sebagai awal cerita
kemudian berjalan ke depan kemudian kembali ke belakang
sebagai akhir cerita.
2) Plot campuran (gabungan) adalah penahapan plot yang sulit
ditetapkan penahapan yang pasti, karena peristiwa-peristiwa yang
terjadi meloncat berganti-ganti dan perkembangannya lebih tidak
kronologis.
Dengan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa alaur atau plot merupakan rangkaian peristiwa yang
ada dalam cerita yang berurutan dan membangun dasar cerita baik
secara lurus, balik, ataupun keduanya. Dalam pengembangan sebuah
alur, unsur yang amat esensial adalah peristiwa, konflik, dan klimaks.
25
b. Tokoh dan Penokohan
Dalam suatu karya sastra, masalah penokohan merupakan suatu
hal yang kehadirannya amat penting dan bahkan menentukan, karena
tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan.
Suatu karya fiksi tidak akan mungkin ada tanpa adanya tokoh yang
bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita (Semi, 1993: 36).
Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang
seorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita (Jones dalam
Nurgiyantoro, 1995:165). Penokohan berarti cara pengarang menampilkan
tokoh-tokohnya, jenis-jenis tokoh, hubungan tokoh dengan unsur cerita
yang lain, watak tokoh-tokoh, dan bagaimana pengarang menggambarkan
watak tokoh-tokoh itu (Nurgiyantoro, 1995:165).
Tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke
dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksudkan adalah sebagi
berikut:
a. Dimensi fisik (fisiologis), yaitu ciri-ciri badan. Misalnya:
1) Usia (tingkat kedewasaan)
2) Jenis kelamin
3) Keadaan tubuh
4) Ciri-ciri muka
5) Ciri khas yang spesifik
b. Dimensi sosial (sosiologis), yaitu ciri-ciri kehidupan masyarakat.
26
Misalnya:
1) Status sosial
2) Pekerjaan, jabatan, dan peranan dalam masyarakat
3) Tingkat pendidikan
4) Pandangan hidup, kepercayaan, agama, dan ideologi
5) Aktivitas sosial, organisasi, dan kesenangan
6) Suku, bangasa, dan keturunan.
c. Dimensi psikologis (psikis), yaitu latar belakang kejiwaan, sifat dan
karakternya. Misalnya:
1) Mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan
2) Tempramen, keinginan, dan perasaan pribadi.
3) Kecakapan dan keahlian khusus (Waluyo, 1994: 171)
Ketiga dimensi tokoh tersebut dalam suatu karya fiksi tampil
bersama-sama, artinya tokoh yang muncul selain digambarkan secara fisik
juga secara psikis, dan sosiologis.
Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapat dibedakan menjadi
tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan
pimpinan disebut tokoh utama atau tokoh sentral. Sedangkan tokoh
bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita.
Berdasarkan pembangunan konflik cerita, terdapat tokoh protagonis dan
tokoh antagonis. Tokoh protagonis mewakili yang baik dan terpuji oleh
karena itu biasanya menarik simpati pembaca, sedangkan tokoh antagonis
mewakili pihak yang jahat atau yang salah.
27
Jika dilihat dari segi perwatakannya, tokoh dibagi menjadi dua jenis,
yaitu tokoh sederhana dan tokoh kompleks.
a. Tokoh sederhana atau tokoh datar, adalah tokoh yang kurang
mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu
sisi saja. Yang termasuk dalam kategori tokoh sederhana adalah
semua tipe tokoh yang suda biasa, yang suda familiar, atau yang
stereitip dalam fiksi.
b. Tokoh kompleks atau tokoh bulat ialah yang dapat dilihat semua sisi
kehidupannya. Dibandingkan denga tokoh datar, tokoh bulat memiliki
sifat lifelike karena tokoh ini tidak hanya menunjukkan gabungan sikap
dan obsesi yang tunggal.
Menurut Atar Semi ada dua macam cara memperkenalkan tokoh
dalam fiksi yaitu:
1. Secara analitik, yaitu pengarang langsung memaparkat tentang watak
atau karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh-tokoh
tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya.
2. Secara dramatik, yaitu perwatakan yang tidak diceritakan secara
langsung, tetapi itu disampaikan melalui:
a. Pilihan nama tokoh
b. Penggambaran fisik dan postur tubuh, cara berpakaian, tingkah
laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungan, dan sebagainya.
c. Dialog, yaitu dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya
denga tokoh-tokoh lain (Semi, 1993:40).
28
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
kehadiran tokoh dalam suatu fiksi sangatlah penting karena dengan
keberadaan tokoh-tokohnyalah yang pada akhirnya membentuk plot atau
alur cerita.
c. Latar
Latar atau setting cerita adalah lingkungan tempat peristiwa
terjadi. Termasuk dalam latar ini adalah tempat atau ruang yang diamati
(Semi, 1993:46). Sedangkan menurut Kenny (dalam Nurgiyatoro
1995:105) berpendapat bahwa latar dalam fiksi tidak terbatas pada
penempatan lokasi-lokasi tertentu dan sesuatu yang bersifat fisik saja,
akan tetapi juga berwujud tata cara, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai
yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
Suatu cerita rekaan di samping membutuhkan tokoh dan alur juga
membutuhkan latar sebagi landas tumpu atau tempat berpijak cerita agar
cerita menjadi konkret dan jelas. Dalam sebuah cerita, latar atau setting
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada tempat hubungan
waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa dalam
cerita yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyanto, 1995: 216).
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat
yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu
yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan
sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan
29
jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan
dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai
lokasi. Latar waktu menyaran pada kapan terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca
terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam
suasana cerita. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup,
adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap.
Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan
penamaan terhadap diri tokoh.
Menurut Sayuti bahwa ada empat elemen unsur yang membentuk
latar fiksi, yaitu :
a. Lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya
topografi, scenery (pemandangan) tertentu, dan bahkan detail-detail
interior sebuah kamar atau ruangan.
b. Pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.
c. Waktu terjadinya action ‘tindakan’ atau peristiwa termasuk priode
historis, musim, tahun, dan sebagainya.
d. Lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, dan emosional tokoh-
tokohnya (Sayuti, 2000: 128).
30
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah
fiksi, latar atau setting akan menginformasikan tentang sistuasi (ruang,
waktu, dan suasana) cerita sebagaimana adanya.
d. Tema
Dalam membuat cerita rekaan, biasanya seorang pengarang tidak
hanya sekadar menyampaikan ceritanya saja, tetapi juga lebih dari itu ia
ingin mengemukakan gagasan pokok atau ide yang biasanya disebut
tema. Tidak akan lahir sebuah karya sastra tanpa mengusung sebuah
tema. Ini berarti bahwa tema merupakan suatu unsur yang wajib dalam
setiap karya sastra.
Tema merupakan suatu gagasan sentral yang menjadi dasar
suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau
amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993: 42). Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah
karya novel (Nurgiyantoro, 1995: 70)
Sebagai gagasan pokok dalam sebuah cerita, tema mengikat
unsur-unsur lain. Unsur-unsur intrinsik tersebut harus mencerminkan atau
mendukung tema tersebut, karena tema menjiwai keseluruhan unsur
intriksik lainya.
Keberadaan tema dalam sebuah fiksi ada kalanya dinyatakan
secara eksplisit dengan dijadikan sebagi judul cerita, dana ada dinyatakan
secara sibolis. Namun, lebih sering dijumpai tema dinyatakan secara
implisit atau tersirat, yaitu dengan kenyataan-kenyataan dan kejadian-
31
kejadian yang dilukiskan dalam cerita. Tema lebih merupakan sebagai
sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara
eksplisit, simbolis, ataupun implisit. Jadi, di dalam tema terkandung sikap
pengarang terhadap subjek atau pokok cerita.
Tema yang dinyatakan secara eksplisit (tema yang tersurat dalam
cerita) dan tema yang dinyatakan secara simbolis (tema yang dinyatakan
melalui simbol atau lambang-lambang tertentu) tidak memiliki masalah
dalam usaha menafsirkan tema cerita. Akan tetapi tema yang dinyatakan
secara implisit, usaha untuk menafsirkan tema bukanlah merupakan
pekerjaan yang mudah. Penafsiran terhadap tema yang implisit harus
dilakukan berdasarkan faktor-faktor yang ada secara keseluruhan
membentuk cerita itu.
Sami (1993: 43) berpendapat bahwa cara menentukan tema
tentulah dengan bimbingan cerita itu sendiri. Kita harus mulai dengan
menemukan kejelasan tentang tokoh dan perwatakannya , situasinya, dan
alur cerita. Kita harus terlebih dahulu menjawab pertanyaan: Apakah
motivasi tokoh, apa problemnya, dan apa keputusan yang diambilnya.
Adalah tepat bila menjajaki tema dengan melalui konflik sentral, ini akan
menjurus kepada sesuatu yang hendak kita cari.
Tema fiksi umumnya di klasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu:
a. Tema physical (jasmaniah), merupakan tema yang cenderung
berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia.
32
b. Tema organic (moral), berhubungan dengan moral manusia yang
wujudnya tentang hubungan antar manusia, antara pria dan wanita.
c. Tema social (sosial), meliputi hal-hal yang berada di luar pribadi.
Contoh: masalah politik, pendidikan, dan propaganda.
d. Tema egoic (egoik), merupakan tema yang menyangkut reaksi-
reaksi pribadi yang pada mumnya menentang pengaruh sosial.
e. Tema divine (ketuhanan), merupakan tema yang berkaitan dengan
kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sayuti,
2000:194).
Sebuah karya fiksi sangat jarang memiliki tema tunggal, biasanya
memiliki tema jamak. Kejemakan tema tersebut dapat dirincilagi menjadi
tema mayor dan tema minor. Dari bebeberapa pendapat tersebut di atas
dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari karya
sastra yang keberadaanya sangat penting karena bersifat menjiwai
keseluruhan karya sastra tersebut.
e. Amanat
Amanat tidak bisa lepas dari tema, karena amanat merupakan
jawaban-jawaban yang terkandung dalam tema. Amanat adalah suatu
ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa menawarkan pesan moral yang
berhubungan dengan sifat-sifat luhur manusia, memperjuangkan hak dan
martabat manusia (Sudjiman, 1988:57).
33
Pendapat tersebut menujukkan bahwa amanat merupakan suatu
hikmah dari permasalahan hidup yang terkandung dalam cerita. Melalui
amanat pengarang ingin memberikan sesuatu yang positif. Dari amanat
pula diharapkan pembaca mengambil sesuatu manfaat dari cerita
tersebut.
Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit (tersurat) dan secara
implisit (tersirat). Implisit jika jalan ke luar atau ajaran moral itu disiratkan
di dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika
pengarang pada tengah, atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran,
nasihat, peringatan, larangan, dan sebagainya berkenaan dengan
gagasan yang mendasari cerita itu (Sudjiman, 1998:57).
Nurgiyantoro (1995:321) menyebut amanat dengan moral. Moral
merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembacan dan merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya
dimana makna tersebut disarankan lewat cerita.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan
hidup pengarang yang bersangkutan, pandangan tentang nilai-nilai
kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral
dalam sebuah cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang
berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktisyang
dapat diambil dan ditafsirkan lewat cerita yang bersangkutan oleh
pembaca. Moral merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh
pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
34
kehidupan seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Moral
bersifat praktis, sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan atau ditemukan
modelnya dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan
dalam cerita tersebut dalam tokoh-tokohnya (Kenny dalam Nurgiyantoro,
1995:322).
Berdasarkan pengertian amanat tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa amanat adalah suatu pesan pengarang yang
disampaikan lewat karyanya sebagai alternatif dari pemecahan masalah.
Terdapat hubungan antara amanat dengan tema. Jika tema merupakan
ide sentral, maka amanat merupakan pemecahannya dan apabila tema
merupakan pemusatan pertanyaan, maka amanat merupakan pemusatan
jawabannya.
3. Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi adalah ilmu yang menyelidiki persoalan-persoalan
umum dalam masyarakat dengan maksud menentukan dan menafsisrkan
kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan. Di dalamnya ditelaah
gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat, seperti norma-norma,
kelompok sosial, lapisan dalam masyarakat, proses sosial, perubahan-
perubahan sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan kebudayaan
serta perwujudannya (Soekanto, 1981: 367). Sedangkan Sapardi Djoko
Damono secara singkat mengatakan bahwa sosiologi adalah telaah
objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, tentang sosial dan
proses sosial (Damono, 1978:6).
35
Sama halnya dengan sosiologi, sastra pun erat berhubungan
dengan manusia dalam masyarakat. Sastra diciptakan oleh anggota
masyarakat untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra itu
berada dan berasal dari masyarakat. Sastra dibentuk oleh anggota
masyarakat berdasarkan desakan emosional atau rasional dari
masyarakat. Karena itulah mengapa kesusastraan bisa dipelajari
berdasarkan ilmu sosial atau sosiologi (Sumarjo, 1982:14). Antara
sosiologi dan sastra sesuangguhnya berbagai masalah yang sama.
Sebab, sebuah karya sastra merupakan suatu keseluruhan kata-kata yang
kait-mengait secara masuk akal. Dalam keseluruhan itu dilukiskan atau
dihadirkan suatu kenyataan yang ada di luar karya sastra (Luxemburg,
1982:55).
Sastra dipahami seperti halnya dengan sosiologi yang juga
berurusan dengan manusia dan masyarakat tertentu yang
memperjuangkan maslah-masalah yang sama, yaitu sosial budaya,
ekonomi, dan politik. Keduanya merupakan bentuk sosial yang
mempunyai objek manusia. Perbedaan antar keduanya adalah bahwa
sosiologi melakukan analisis yang ilmiah dan objektif, sedangkan sastra
menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan
cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya
(Damono, 1978:7). Dengan kesamaan objek ini, maka pendekatan
sosiologi sastra menjadi pertimbangan bagi sebuah karya sastra.
36
Pendekatatan sosiologi sastra berangkat dari kenyataan bahwa
karya sastra itu tidak akan lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat
yang melingkupinya, bagaimana dan apapun bentuknya. Pendekatan ini
meninjau karya sastara dengan pertimbangan segi-segi kemasyarakatannya
(Damono, 1978:2). Proses terciptanya karya sastra berhubungan erat
dengan berbagai peristiwa yang pernah, sedang, atau mungkin akan
terjadi di dalam masyarakat sehingga makna kehadiran sastra tidak hanya
dilihat dari teksnya, tetapi juga konteksnya.
Pendekatan sosiologi sastra memandang sastra sebagai refleksi
kehidupan masyarakat atau cerminan kenyataan dan bukan sebagai
kenyataan atau peristiwa yang benar-benar terjadi. Meskipun peristiwa
atau kenyataan yang terjadi dalam suatu karya sastra tidak dengan tepat
mencerminkan kejadian yang ada di lingkungan pengarangnya, tetapi
lewat karya sastra dapat ditafsirkan maksud pengarang menciptakan
karyanya tersebut. Sebab, diketahui bersama bahwa karya sastra tidak
mungkin dibuat tanpa tujuan. Pengarang mungkin membuat karya sastra
didasari oleh cita-citanya, cintanya, protes sosialnya, atau bahkan juga
oleh mimpi yang jauh dari gapaiannya. Seperti ungkapan Marx (dalam
Faruk,1994: 5) yang menyatakan bahwa manusia harus hidup lebih
dahulu sebelum dapat berpikir. Bagaimana mereka berpikir dan apa yang
mereka pikirkan, secara erat bertalian dengan bagaimana mereka hidup,
karena apa yang diekspresikan manusia dan cara-cara pengekspresiannya
37
tergantung pada apa dan bagaimana mereka hidup. Lebih lanjut dikatakan
bahwa hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan cara:
1. Faktor luar teks, gejala konteks sastra, teks itu sendiri tidak ditinjau.
Penulisan ini misalnya mengfokuskan pada kedudukan pengarang
dalam masarakat, penerbit dan seterusnya. Faktor-faktor konteks ini
dipelajari dalam sosiologi sastra empiris yang tidak dipelajari
menggunakan pendekatan ilmu sastra. Hal-al yang berkaitan
dengan sastra memang diberi patokan dengan jelas , tetapi diteliti
dengan metode dari ilmu sosiologi. Tentu saja ilmu sastra dapat
mempergunakan hasil-hasil sosiologi sastra, khususnya bila ingin
meneliti presepsi para pembaca.
2. Hubungan antara (aspek-aspek) teks sastra dan susunan
masyarakat sejauh mana sistem masyarakat serta perubahannya
tercermin di dalam sastra? Sastrapun dipakai sebagai sumber untuk
menganalisis sistem masyarakat. Peneliti tidak menentukan
bagaimana menapilkan jaringan sosial dalam karyanya, melainkan
juga menilai pandangan pengarang (Luxemburg, 1984: 23).
Sehubungan dengan karya sastra dalam konteks pengarangnya,
(Ian Watt dalam Faruk, 1994:5) menemukan tiga macam klasifikasi dalam
sosiologi sastra yang berbeda yaitu:
1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan posisi sosial
sastrawan dan pengaruh sosial sekitar penciptaan karya sastra.
Dalam hal ini perlu memperhatikan:
38
a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya,
b) (b)sejauh mana pengarang menganggap pekerjaannya sebagai
profesi, dan
c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat. Yang perlu mendapat perhatian
di sini adalah:
a) sejauh mana sastra mencerminkan masyarakat pada waktu
sastra itu ditulis,
b) sejauhmana sifat pribadi pengarang mempegaruhi gambaran
masyarakat yang ingin disampaikannya, dan
c) sejauh mana gendre sastra yang digunakan pengarang dapat
dianggap mewakili seluruh masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi
perhatian, yaitu:
a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagi perombak
masyarakat,
b) sejauh mana sastra hanya berfungsi sebagai penghibur saja,
c) sejauh mana terjadi sistesis antara kemungkinan (a) dan (b) di
atas.
Karya sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat. Refleksi
artinya gerakan atau pantulan kembali kesadaran manusia sebagai
jawaban suatu hal atau kegiatan yang datang dari luar. Susatra sebagai
refleksi kehidupan berarti pantulan kembali problem kehidupan yang
39
meliputi falsafah hidup, maut, cinta, tradisi, harapan, kekuasaan,
pengabdian, serta hal-hal transendental dalam kehidupan manusia.
Problem kehidupan itu dikonkretkan ke dalam gubahan bahasa, baik
prosa, fiksi, puisi, maupun lakon. Jadi, membaca karya sastra berarti
membaca pantulan problem kehidupan manusia dalam wujud gubahan
seni bahasa (Santosa: 1993:40).
a. Maut
Dalam KBBI, maut berarti mati atau kematian terutama tentang
manusia (Moeliono, 1990: 518). Pengertian mati dapat dijelaskan dengan
tiga hal, yaitu:
a. kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad,
b. terputusnya hubungan antar roh dan badan,
c. terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85).
Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian
adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat
menentukan kapan, dimana, dan apa sebab kematian tersebut.
Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam
sesuai dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:
a. orang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan baik karena
sadar bahwa kematian akan datang dan memiliki makna roahaniah,
b. orang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap
bahwa kematian adalah peristiwa alamiah yang tidak ada makna
rohaninya,
40
c. orang merasa keberatan atau takut untuk mati karena terpukau
oleh dunia materi,
d. orang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap
kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena
banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi
keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).
b. Cinta
Dalam KBBI, cinta berarti suka sekali, sayang benar, kasih sekali,
atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan) (Moeliono, 1990:168). Kata
cinta selain mengandung unsur perasaan aktif juga menyatakan tindakan
aktif. Pengertianya sama dengan kasih sayang sehingga jika seorang
mencintai orang lain orang tersebut berperasaan kasih sayang atau
berperasaan suka terhadap orang lain tersebut (Sulaeman, 1998: 49).
Seseorang yang mencintai harus mempunyai beberapa sikap,
antara lain harus memeriksa tepat tindaknya suatu tindakan dan bertanya-
tanya bagaimanakah ia semestinya memberi bentuk kepada cinta dalam
situasi yang kongkret. Selain itu, sikap lain yang seolah-olah merupakan
prasyarat untuk dapat disebut mencintai adalah kesetiaan, kesabaran,
kesungguhan, dan memberi kepercayaan.
Muhammad (1988: 29) mengungkapkan bahwa cinta kasih adalah
kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan pengabdian yang
diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung jawab. Tanggung
41
jawab adalah akibat yang baik, positif, berguna, saling menguntungkan,
menciptakan keserasian, keseimbangan, dan kebahagiaan.
Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan
manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria
dan wanita, cinta antar sesama manusia, cinta antar manusia dan Tuhan,
dan cinta atar manusia dan lingkungannya (Muhammad, 1988: 30).
c. Tragedi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti
peristiwa yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah
suatu peristiwa menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh
setiap manusia.
Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia
mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan
manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga
yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas
penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang
belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan
bermacam-macam, ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu
penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya.
Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi
seseorang, sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan atau
kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat
(Sulaeman, 1989:66).
42
d. Harapan
Dalam KBBI, harapan berarti sesuatu yang dapat diharapkan,
atau keinginan supaya menjadi kenyataan (Moeliono, 1990: 297).
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan cita-cita, keiginan,
penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi (Sulaeman, 1998:
81).
Berdasarkan macamnya, harapan di kategorikan atas harapan
optimis (besar harapan) dan harapan pesimis (tipis harapan). Harapan
optimis artinya sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-
tanda yang dapat dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan
terjadi bakal muncul. Harapan yang pesimis mempunyai tanda-tanda yang
rasional bahwa sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman, 1998: 82).
Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan
keperibadian seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam,
dan besar kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang
yang mempunyai keperibadian yang kuat akan berbeda dengan orang
yang berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol
harapan seefektif dan seefesien mungkin sehingga tidak merugikan
dirinya atau orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman,
1998:82).
43
e. Pengabdian
Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang
artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses,
perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian
merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh,
dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai,
berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapt diartikan
pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas
dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung
jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam,
antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,
dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93).
f. Hal-hal transendental
Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang
bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono,
1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia
yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.
Transendental secara bahasa dalam istilah filsafat berarti suatu
yang tidak dialami tapi dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas
dari fenomena namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.
Dalam istilah agama diartikan suatu pengalaman mistik atau supernatural
karenanya berada di luar jangkauan dunia materi. Komunikasi
44
transendental memang tidak pernah dibahas secara luas, cukup dikatakan
bahhwa komunikasi transendental adalah komunikasi antara manusia
dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam bidang agama. Kepercayaan
terhadap Tuhan telah membantu memberi semangat manusia dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari. Menerima nasib yang tidak baik,
bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran yang sering dialami
dan senantiasa berusaha mengakhirinya.
C. Kerangka Pikir
Dengan memperhatikan yang telah dipaparkan pada tinjauan teori
dan konsep, maka pada bagian ini diuraikan hal-hal yang dijadikan sebagi
landasan berpikir. Landasan yang dimaksud akan mengarahkan peneliti
menemukan informasi dalam penelitian guna memecahkan masalah.
Novel “Athirah” karya Alberthiene Endah merupakan objek pokok
dalam penelitian ini. Kajian dengan pendekatan struktural dan pendekatan
sosiologi sastra digunakan untuk mengungkap refleksi kehidupan sosial
budaya masyarakat Bugis dalam novel tersebut. Untuk lebih jelasnya
kerangka pikir dibuatkan bagan sebagai berikut:
45
Bagan 2.1. Bagan Kerangka Pikir
Novel “Athirah”
Pendekatan Struktural
Kajian
Pendekatan Sosiologi Sastra
Alur
Tokoh dan Penokohan
Latar
Tema
Amanat
Maut
Cinta
Tragedi
Harapan
Pengabdian
Hal-hal transendental
Temuan
46
BAB III
METODE KAJIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan adalah pandangan dan sikap kritikus terhadap karya
sastra serta kritik sastra. Pendekatan merupakan kerangka pikir dalam
melakukan kritik, yang akhirnya akan membentuk langkah kerja
selanjutnya (teknik atau metode) (Semi, 1984: 40). Pendekatan terhadap
suatu permasalahan dapat bersifat langsung ataupun tidak langsung.
Pendekatan yang bersifat langsung adalah mengenal hakikat suatu hal
tanpa melihat dulu fenomena-fenomena yang nampak, sedangkan
pendekatan yang bersifat tak langsung adalah mengenal hakikat suatu hal
dengan melihat dulu fenomena-fenomena yang nampak di sekitar
persoalan itu (Surakhmad, 1984: 38).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini pendekatan
sosiologi sastra. Adapun pendekatan struktural digunakan sebagai
langkah awal dalam menganalis objek penelitian.
1. Pendekatan Struktural
Pedekatan struktural ialah pendekatan yang mencoba menguraikan
keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai
kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teuw, 1984: 135). Struktur mengandung pengertian relasi
47
timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara bagian dan
keseluruhannya (Luxemburg, 1984:38).
2. Pendekatan Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan yang terdapat dalam karya
sastra (Damono, 1984: 2). Pendekatan ini bertolak dari pandangan bahwa
sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1984: 46).
Pendekatan sosiologi sastra dalam hal ini sangat didukung oleh
pendekatan struktural untuk mendapatkan hasil analisis yang optimal.
3. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif deskriptif yaitu
penelitian dengan menganalisis data dan hasil analisisnya berbentuk
deskskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka atau koefisien tentang
hubungan antar variabel. Dalam penelitian yang bersifat deskriptif, data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat-kalimat, konsep-konsep,
gambar, dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian
berupa kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan
tersebut. (Moleong, 1994: 7).
Senada dengan pendapat tersebut di atas, Satoto (1991) dalam
Moleong mengatakan bahwa teknik deskriptif bersifat memaparkan,
menuturkan atau memberikan, menganalisis, dan mengklarifikasikan,
menganalisis, dan menafsirkan. Sedangkan analisis datanya
48
menggunakan metode kualitatif, yaitu menggunakan data yang umumnya
berupa konsep-konsep yang tidak diangkakan.
Kajian deskriptif ini bertujuan untuk melukiskan refleksi kehidupan
sosial budaya masyarakat Bugis yang terdapat dalam novel Athirah karya
Alberthiene Endah.
B. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel “Athirah” karya
Alberthiene Endah, terbitan Noura Books Jakarta, Desember 2013,
cetakan pertama setebal 404 halaman.
C. Objek Kajian
Objek kajian dalam penelitian ini adalah unsur struktural atau
intrinsik yang membangun novel dan refleksi kehidupan sosial budaya
masyarakat Bugis yang meliputi maut atau kematian, cinta, tragedi,
harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental yang terkandung dalam
novel “Athirah” karya Alberthiene Endah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian atau
kajian ini adalah:
a. Teknik kepustakaan (library reseach), yaitu teknik yang
mempergunakan suber-sumber tertulis untuk memperoleh data.
49
Sumber-sumber tertulis itu dapat berupa majalah, surat kabar,
karya sastra, buku acuan ilmiah, dan buku perundang-undangan.
b. Teknik simak catat, yaitu teknik yang dilakukan dengan jalan
membaca serta mempelajari data-data penelitian. Selanjutnya
dilakukan inventarisasi data sebagai bahan yang akan diolah
dalam mengkaji novel.
E. Teknik Pengolahan Data
Dalam pengolahan data, penelitian atau kajian ini menggunakan
beberapa tahap, yaitu:
a. Tahap deskripsi data, yaitu memberi arahan untuk membuat
gambaran sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat dan
hubungan antar fenomena yang diselidiki.
b. Tahap klasifikasi data, hal ini dilakukan untuk melihat data-data
yang mungkin sma dan saling mendukung atau sama sekali
berbeda dan tidak mendukung penelitian.
c. Tahap interpretasi data, yaitu memberi pemaknaan secara
khusus dari data yang telah diklasifikasikan sesuai dengan tujuan
penelitian dengan tidak mengurangi keobjektifannya.
d. Tahap analisis data, yaitu proses mengatur urutan data yang
telah diinterpretasi dan mengorganisasikannya ke dalam satu
pola, kategori dan suatu uraian yang sesuai dengan
permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, data dianalisis
berdasarkan strukturnya, kemudian dilanjut dengan menganalisis
50
data sesuai dengan inti permasalahan, dalam hal ini yaitu, refleksi
kehidupan sosial budaya bugis yang terdapat dalam novel novel
“Athirah”.
e. Tahap evaluasi, yaitu memberikan penilaian terhadap proses
analisis yang telah dikerjakan.
F. Teknik Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan teknik-
teknik sebagi berikut:
a. Teknik deduktif, yaitu penarikan kesimpulan yang bertolak dari
pandangan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang
bersifat khusus.
b. Teknik induktif, yaitu penarikan kesimpulan bertolak dari
pandangan bersifat khusus untuk menarik kesimpulan yang bersifat
umum.
G. Tahapan dan Jadwal Pengkajian
Pengkajian ini direncanakan selesai dalam jangka waktu dua
bulan. Sementara itu proses pembuatan proposal sampai dengan ujian
meja dilaksanakan selama empat bulan, dimulai sejak penyusunan
proposal hingga penyusunan laporan akhir. Hal ini dimaksudkan agar
pengkaji dapat melakukan prosedur yang ada. Selain itu, agar data yang
diperoleh betul-betul objektif sesuai dengan kondisi yang terjadi saat
mengkaji. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
51
Tabel 3.1 Tahapan dan Jadwal Pengkajian
No Kegiatan
Bulan Ket 1 2 3 4 5
Juli Agustus September Oktober November 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Penyusunan proposal 2 Konsultasi Proposal 3 Pelaksanaan seminar
proposal
4 Perbaikan/ revisi proposal
5 Pengumpulan data 6 Pengolahan dan
analisis data
7 Penyusunan hasil penelitian
8 Seminar hasil penelitian
9 Perbaikan hasil penelitian/ujian tutup
52
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Unsur Intrinsik
Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, penelitian ini
terlebih dahulu akan mengkaji karya sastra dengan pendekatan struktural.
Pendekatan struktural berarti menganalisis unsur-unsur intrinsik karya
sastra. Analisis unsur intrinsik adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra
yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur yang membangun karya
sastra dari dalam dan mencari keterjalinan antarunsur tersebut dalam
rangka mencapai kebulatan makna.
Dalam penelitian ini unsur intrinsik yang akan dikaji adalah unsur
alur, penokohan, latar, tema, dan manat sebagai unsur yang paling
dominan membagun karya tersebut.
1. Alur
Dilihat dari segi penyusunan peristiwanya, novel Athirah ini
menggunakan alur kronologis yaitu ceritanya mengalir dari tahapan satu
ke tahapan berikutnya secara berurutan. Tapi pada tahap-tahap tertentu
cerita disusun dengan sorot balik (flahback) yaitu ditarik ke belakang untuk
mengenang masah lalu.
Di awal cerita dalam novel ini mengisahkan tentang masa kecil
Jusuf bersama emma (Athirah, ibu Jusuf) di Makassar. Jusuf adalah anak
53
beruntung yang lahir dari keluarga berkecukupan secara materi. Ia
dibesarkan berlumuran cinta dengan kehidupan orang tua yang
sempurna. Bapaknya seorang saudagar yang memiliki kantor berlantai
empat. Kemajuan bisnisnya yang pesat membuat orang tua Jusuf banyak
mengenal orang penting di Makassar. Kehidupan Jusuf memang dinilai
sempurna sejak matanya melihat dunia. Oleh karena itu, ia sangat jarang
merasakan gelisah, apalagi dirundung duka. Bahkan jika kesedihan
datang menyapanya, hawa kegembiraan berlimpah ruah dengan segera
membersihkan perasaanya. Ia memang nyaris tak pernah berduka. Pada
suatu hari, ia merasakan sesuatu yang tak enak, sesuatu yang seperti
hadir sebagai pertanda. Ibu, yang selama ini dikenalnya sebagai
perempuan yang tentram mendadak mengalirkan gelombang gelisah.
Pertanda ia dikalahkan ketakutan. Ada sesuatu yang menganjal
perasaannya ketika melihat perubahan pada gaya hidup suaminya.
Tentang hal tersebut bisa kita lihat dalam kutipan berikut.
“Bapakmu aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak geriknya. Ia menyisir rambutnya hampir tiap jam. Memakai krim rambut berulang-ulang hingga wanginya mencolok. Sering keluar rumah tanpa kopiah.” Emma menarik tirai tenunan sustra berwarna gading dengan corak garis putih yang sangat lembut. Aku melihat sesuatu yang tak terlihat. Ibuku gelisah dalam ketenangan yang kentara diciptakan dengan susah pbapak. “Apa kau melihat perubahan itu Jusuf? Aku masih tercenung. Awal percakapan yang belum kumengerti arahnya. Usai mengucapkan kalimat itu, ia tertunduk di kursi tamu. Empasan tubuhnya jelas terdengar. Aku percaya, jika tak berkata-kata, perempuan akan menunjukkan amarah dengan bebunyian benda. Ibuku, yang kupanggil Emma, menunjukkanitu dengan suara empasan lembut tubuhnya di jok kursi empuk. Aku tak pernah melihatnya emosi. Usiaku 14 tahun saat itu. Makassar sedang diguyur cahaya matahari yang membakar kulit, sudah lebih dari sebulan tak turun
54
hujan. Tapi aku melihat kilat yang lebih terik di mata emma.” (Alberthiene Endah, 2013:11) Setelah menyaksikan sikap suaminya itu, wajah Athirah semakin
membatu, matanya lurus terhunus ke depan. Jusuf sangat mengenal hati
ibunya. Ia tidak pernah membiarkan kulitnya membiaskan emosi sedikit
pun. Apalagi matanya. Ia orang yang sangat lurus. Inilah pertama kalinya
Jusuf menyaksikan wajah emmanya berbeda. Pertama kali terlihat ada
rona keberatan di wajahnya. Pandangan jauh menembus pikirannya
sendiri. Akhirnya apa yang menjadi kekhawatiran Athirah benar terjadi.
Suaminya mengambil keputusan untuk menikah lagi. Keputusan sang
suami benar-benar menjadi tamparan buat Athirah dan anak-anaknya.
Seakan mereka tak sanggup menerima kenyataan itu.
“Aku syok. Tak tahu apakah aku lebih layak marah atau sedih. Aku tak bisa merumuskan perasaanku. Yang pasti, aku terluka. Luka yang tak pernah kubayangkan ada dalam hidupku. Aku pernah beberapa kali terjatuh. Bahkan, pernah sobek pahaku saat tinggal di Bone sebelum kami pindah ke Makassar. Aku pernah berkelahi dengan kawanku. Pernah besitegang dengan Nur. Tapi sakit hati dan fisik yang kurasakan tidak sengilu saat kudengar Bapak hendak menikah lagi. Entahlah, itu seperti bumbu siluman tak kentara yang harus menekan-nekan ulu hatiku tanpa henti sejak aku terbangun tidur hingga hendak beranjak tidur. Benar-benar sebuah perasaan yang menyiksa. Aku mengenal kata poligami. Tapi tidak kubayangkan itu akan menjadi bagian dari sejarah keluargaku.” (Alberthiene Endah, 2013:22) Sejak pernikahan bapaknya, Jusuf seakan dipaksa untuk menjadi
dewasa, bahkan lebih dewasa dari umurnya yang sebenarnya. Ia
melewati waktunya yang penuh bumbu emosi. Sebagai anak laki-laki
tertua, ia harus mendampingi ibunya yang sakit hati.
55
Alur mengalami sorot balik sejenak ketika diceritakan kisah
tentang latar belakang ibunya. Bahwa, sesungguhnya kisa poligami sudah
terjadi dalam kehidupan ibunda Jusuf. Karena Athirah, ibu Jusuf lahir dari
istri keempat dari bapaknya.
“sesungguhnya kisah poligami sudah terjadi dalam kehidupan Emma. Bahkan, sejarah poligami yang mengantarnya hadir di dunia. Emma lahir dari istri keempat laki-laki dari Bukaka. Kakekku. “ibumu lahir dari rahim kesabaran,” tutur seorang tetua, dulu saat aku masih berusia di bawah sepuluh tahun.” (Alberthiene Endah, 2013:30) Sorot balik juga terjadi ketika Jusuf mengenang kembali kampung
halamannya di Bone. Kampung yang memanjakan penduduknya dengan
segalah kekayaan alamnya. Warga Bone tidak ada yang hidup miskin asal
mereka mau bekerja.
“Bone pada tahun ’20-an sebagai surga yang memenjara penduduknya. Semua orang tak ingin pergi dari tempat sedamai itu. Alam Bone memelihara penduduknya dengan kasih. Tak ada yang merasa miskin karena laut dan tanah memberi anugerah. Para petarung nasib bermimpi bisa menginjak Makassar. Tapi, Bone memiliki magnetnya tersendiri. Tak pernah bersalah untuk ditinggalkan.” (Alberthiene Endah, 2013:31) Lebih jauh lagi, sorot balik kisah Jusuf diceritakan tentang
kehidupan kakeknya (Muhammmad) yang berpoligami, bahkan Kerra
nenek Jusuf adalah istri keempat dari pernikahan Muhammmad. Sebuah
pernikahan yang sangat kontroversial karena mendapat cibiran dari orang-
orang sekampung, tak terkecuali tiga istri Muhammmad yang lain.
“Pertengahan 1923. Muhammmad dan Kerra menikah dengan resepsi yang sangat sederhana. Hujatan yang terlalu deras membuat Muhammmad menghindari pesta besar yang ia inginkan. Ia sangat mencintai Kerra. Tak ingin istri keempatnya sakit hati. Itu adalah pernikahan yang sulit. Muhammmad
56
memberi Kerra sebuah rumah kecil. Letaknya berdempetan dengan rumah-rumah para istri Muhammad yang lain. Sebuah kehidupan suram yang tajam.” (Alberthiene Endah, 2013:35) Alur kembali maju ketika dinceritakan tentang kelanjutan kisah
kehidupan Jusuf, tentang pengalaman terberat seorang anak dalam kasus
poligami. Ia menyaksikan kehidupan ibunya menahan pedih atas peristiwa
itu. Sejak pernikahan bapaknya itu, Jusuf merasakan semangat hidup di
rumahnya semakin redup. Meskipun dirundung kesedihan, Athirah tak
menampakkan perasaan itu pada anak-anaknya. Namun, Jusuf tetap
menangkap perasaan ibunya walau dunia selalu melihat kebahagiaanya.
“Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari tu, ia dikenal sebagai perempuan kuat, dan ingin terus seperti itu. Ia ingin melewati hari yang tidak pernah ada jejak sakit hati. Kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013:39) Sorot balik dalam novel ini kembali berkisah tentang kehidupan
Athirah yang diwarnai oleh tekanan sekaligus kemenangan mental, dan
pelajaran itulah yang mewarnai kehidupanya saat ini. Ia sangat meresapai
bagaimana ibundanya, Mak Kerra, mengandung, melahirkan, dan
membesarkan dirinya. Sebuah kisah hidup yang dinilainya tidak mudah
untuk dijalani. Ia menjadi pengikut jejak Mak Kerra. Pantang mengeluhkan
nasib.
“Kehidupan yang tidak mudah. Ia menjadi pengikut Mak Kerra. Pantang mundur dalam hidup. Jika mungkin, terus menjadi kuat. Pernikahannya dengan Bapak sebetulnya telah menjadi kapal yang berlayar dengan sangat jaya. Siapa sangka kapal itu kemudian tersangkut di celah karang. Kejayaan itulah yang sempat didongengkan orang tuaku. Bapak bercerita. Emma
57
berkisah. Keduanya bangga akan masa lalu mereka.” (Alberthiene Endah, 2013:57) Setiap kali orang tua Jusuf bercerita tentang bagaimana mereka
mengawali biduk rumah tangganya, maka saat itu pula tergambar betapa
kukuhnya mereka. Tidak setitik pun Jusuf menyangka bahwa suatu hari
ketangguhan pernikahan orang tuanya akan menemukan titik yang
melukai. Persoalan besar bagi anak-anak keluarga poligami adalah,
apakah harus berpihak kepada ayah atau kepada ibu? Atau berpura-pura
tidak ada masalah, dan memihak diri sendiri. Namun, Jusuf tidak sanggup
memilih salah satu dari tiga pilihan tersebut. “Kehilangan” Bapak
membuatnya sedih. Tapi jauh lebih sedih tatkala muncul “perlawanan”
Emma. Dan, sama sedihnya ketika ia menyadari kalau ia sesungguhnya
hendak melawan.
Alur maju kemudian berlanjut, meskipun maslah demi masalah
yang dijalani Jusuf, ia tetap memusatkan perhatian pada sekolah,
kesempatan tak akan disia-siakan. Apalagi dukungan dari bapaknya
masih tetap kuat.
“Memasuki tahun 1958 aku berusaha memusatkan perhatianku pada sekolah. Aku baru masuk SMA Negeri 1 Makassar, dan tak ingin kusia-siakan waktuku. Aku ingin kuliah. Bapak telah memberikan sinyal itu. Jika aku berhasil mengambil kuliah ekonomi di Universitas Hasanuddin, ia akan sangat bangga. Perusahaanya, katanya, tak akan mencari-cari pemimpin yang lebih layak daripada aku. Akulah tumpuan harapannya.” (Alberthiene Endah, 2013:68) Pada saat ini Jusuf berjuang untuk memahami arti sebuah
ketentraman. Ledakan emosi tak ada lagi. Ibunya, ia, dan saudara-
58
saudaranya sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun
sebelumnya dan sudah mulai bisa meniti hari tanpa persoalan berarti.
Persoalan-persoalan yang pernah hadir sebagi bumerang, kini sedikit
demi sedikit sudah mulai dilupakan meskipun jejaknya susah untuk
dihapus.
Alur sorot balik kemudian muncul lagi saat Jusuf mengenang
kembali masa kecil di kampung halamanya di Bone. Subuah kenangan
yang tidak bisa dilupakan oleh keluarga Jusuf.
“Sekarang aku berlari pada masa kecilku. Lagi-lagi Bone. Watampone. Pasar Bajoe tempat bapak berjualan. Ah, pengalaman masa kecil itu. Benar kata Nur, aku dibesarkan oleh kedua tangan halus yang menempatkan aku di tempat terhormat, terindah, sesempurna mungkin. Emma. Aku mengenang kampung halamanku pada masa kecil sebagai sebuah surga. Bone pada tahun ’40-an. Masih sangat kuingat rumah panggung yang indah di desa kami. Berjejer rapi, dipisahkan satu sama lain oleh kebun-kebun mini. Setiap pagi bukan hanya suara alam yang membangunkan kami, melainkan juga teriakan orang-orang. Bukan, mereka bukan sedang bertengkar. Rumah-rumah orang Bone tidak saling berimpitan seperti di Jawa. Itu sebabnya antar penghuni rumah saling menyapa dengan berteriak, agar terdengar. Aku mendengar suara teriakan itu sebagai bagian dari seni kehidupan di desa kami.” (Alberthiene Endah, 2013:74)
Alur cerita kemudian berlanjut, saat itu Jusuf sudah mulai merasa
tenang, ia berupaya untuk tidak banyak lagi mempertanyakan tentang
persoalan Bapak dan Emmanya. Hal tersebut dapat di simak dalam
kutipan berikut.
“Memasuki tahun 1959 adalah masa ketika aku mulai menghirup rasa tenang. Kubiarkan diriku terlontar-lontar secara alami dalam pertempuran emosi. Kuajari diriku untuk tidak banyak mempertanyakan tentang persoalan Bapak dan Emma. Aku belajar semakin giat. Dan, beberapa kali dalam seminggu aku bertandang ke kantor Bapak di jalan Pelabuhan. Aku berbaur
59
dengan pegawai-pegawai Bapak dan melakukan apa saja yang dapat kulakukan. Aku juga ikut ajakan Bapak untuk menemaninya bertemu dengan relasi-relasi bisnisnya. Aku melihatnya bernegosiasi dan merasakan degup menyenangkan kehidupan berdagang.” (Alberthiene Endah, 2013:125)
Dari catatan keberhasilan orang tua Jusuf, ia mengusir jauh-jauh
perasaan buruk sangka. Ia hanya menyerap energi positif agar bisa
belajar banyak dari kantor bapaknya. Pelajaran tentang pembukuan,
pembuatan surat-surat dagang, perizinan, dan juga teknik-teknik dagang.
Bahkan tak jarang ia menangkap pandangan penuh cahaya simpati dari
karyawan-karyawan bapaknya. Salah satunya adalah Daeng Rahmat. Ia
adalah karyawan yang cukup dekat dengan Jusuf. Banyak nasihat serta
semangat yang didapatkan Jusuf dari wejangan Daeng Rahmat.
Kemudian diceritakan tentang kedatangan seorang perempuan
asal Sumatra, namanya ibu Mela, ia adalah rekan bisnis ibu Athirah. Untuk
keperluan bisnis di Makassar ia menyewa mobil dari ibu Athirah. Memang
ada beberapa mobil yang dioprasikan sebagai taksi gelap dengan sewa
perjam. Kehadiran ibu Mela biasanya selalu memprovokasi ibu Athirah
dengan kondisinya sebagai istri yang di madu.
“Hei, Athirah! Kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua dari suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yang kau pegang dan lain-lain juga menguntungkan. Tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apakah kau tak gunda memikirkan itu?” (Alberthiene Endah, 2013:136)
Kalimat provokatif dari bu Mela tak mampu menyulut ketegaran dan
kesabaran Athirah. Jawaban bijak dari Athirah membuat tawa ibu Mela
60
yang melengking-lengking itu menjadi redah. Memang saat itu Athirah
telah menemukan kejernihan hatinya, seluruh masalahnya dikelola
dengan baik.
Kisah kemudian berlanjut, sekitar tahun 1960-an seolah telah
menjadi gelombang baru dalam hidup Jusuf. Gelombang yang
menggairahkan kerena ia sudah disibukkan dengan urusan bisnis.
Mengurus toko yang dipercayakan oleh bapaknya. Tiap hari agendanya
sudah terjadwal.
“Sepulang sekolah, langsung tancap gas menuju Jalan Pelabuhan. Menunggui toko atau sekadar memantau operasional. Sore aku sudah berada di rumah kembali. Pada waktu-waktu tertentu aku ikut Daeng Rahmat ke pelabuhan, mengurus pengambilan barang-barang impor yang dipesan perusahaan Bapak. Berkecimpung di tengah pekerja-pekerja pelabuhan dan kaum saudagar. Dan, pada akhir pekan aku leluasa berkumpul dengan teman-teman sekolahku. Aku melewatkan kelas 1 SMA di Sekolah Menegah Islam. Tapi aku pinda ke SMA Negeri 2 Makassar. Aku menikmati hariku!” (Alberthiene Endah, 2013:161)
Tidak lama Jusuf sekolah di SMA 2 sebab, kemudian muncul kebijakan
untuk memekarkan sekolah karena muridnya sudah terlalu banyak.
Mereka yang bernomor urut ganjil di absen dipindahkan ke sekolah baru,
SMA negeri 3 dan Jusuf ternyata masuk dalam kategori itu.
Lebih jauh lagi, diceritakan tentang awal Jusuf mulai menaruh hati
kepada perempuan. Di SMA 3 ini ia mengagumi sosok perempuan yang
muncul dan menyita perhatiannya. Meski dirasakannya masih berupa
gelagat tapi hatinya sudah tersedot dengan cepat. Inilah awal Jusuf
mengagumi sosok Mufidah.
61
“Gadis itu tengah duduk di bangku koridor, berdua dengan temannya. Mereka mengobrol. “Yang kiri kan?” Anwar meyakinkan. Kami berdiri di balik rimbun pohon Palem. “Ya yang berambut sebahu itu...” “Astaga” Abdullah menepuk pundakku. “Itu, kan, Mufidah! Bodoh sekali kau ini, Jusuf! Dia adik kelas kita dari sekolah lama. Ikut pindah ke sini karena nomor urutnya ganjil, sama dengan kita.” Aku mengernyitkan dahi. Berusaha mengingat-ingat. Ya, barangkali aku pernah melihatnya. Tapi tidak semengesankan saat aku melihatnya di SMA 3. Atau, baru sekarang hatiku memiliki mata? “Dia memang cantik, Jusuf! Orangnya halus sekali...” Abdullah mendesis.” (Alberthiene Endah, 2013:177)
Sosok Mufidah betul-betul membuat Jusuf jadi penasaran, ia mencari
data-data tentang dia, mulai dari data biasa hingga data yang sangat
pribadi. Jusuf memanfaatkan temanya untuk mengumpulkan data. Jadilah
Abdullah, anwar, dan Abduh sebagai pemburu data yang gesit tentang
Mufidah. Setelah data dianggap cukup, mereka berpresentasi.
Perjuangan memburu gadis impian terkadang memang sangat
berat, apalagi respon baliknya masih nihil. Itulah pengalaman Jusuf dalam
mengejar Mufidah. Berbagai terik yang ia lakonkan untuk mendapat
simpati dari Mufida. Namun, hasilnya belum menunjukkan tanda-tanda
keberhasilan, malahan tanda-tanda penolakan yang nyaris lebih nampak.
Tapi, Jusuf tidak pernah mengendorkan perasaan. Upayanya untuk
mengenal Mufidah masih menggebu-gebu.
Alur mengalami sorot balik sejenak ketika cerita beralih pada saat
Athirah menghadiri resepsi pernikahan anak sahabatnya, Daeng Rusdi.
Namun, suaminya tidak dapat mendampingi karena ada urusan bisnis di
luar kota. Padahal, kebiasaan orang Makassar dalam acara-acara resmi,
termasuk resepsi pernikahan pasangan suami istri akan hadir berdua.
62
Kala itu Athirah merasa canggung hadir tanpa suaminya. Tawaran Jusuf
untuk menemani Ibunya disambut hangat oleh Athirah.
“Jika Emma mau, aku bersedia menemani, tak mengapa kita datang berdua. Yang penting hati Daeng Rusdi senang. Kita jelaskan saja bahwa bapak sedang ke luar kota. Aku memberi usul. Emma menatapku dan tersenyum lembut. “Emma juga tadi memikirkan itu. Daripada kita datang ke rumah Daeng Rusdi untuk mengatakan bahwa kita tidak bisa hadir di resepsi, lebih baik kita usahakan hadir pada hari bahagia itu. Betul katamu, tak mengapa kita datang berdua....” Aku mengangguk dan tersenyum. Kami telah menjadi dua orang yang saling menguatkan.” (Alberthiene Endah, 2013: 212)
Alur kembali berjalan maju saat Jusuf menyadari bahwa sikap
Mufidah yang tidak serta merta menerima cintanya itu wajar. Ia
memaklumi kalau setiap perempuan harus memahami betul karakter dari
laki-laki yang akan menjadi pendampingnya. Jusuf sangat memahami
betul, karena ia banyak belajar dari kondisi ibunya.
“Jadi, aku sama sekali tak marah kepada Mufidah. Ia benar. Laki-laki memang tak sepenuhnya bisa diyakini. Cinta yang sangat kuat dengan fondasi yang kukuh di awal tak menjamin munculnya kesetiaan yang abadi. Setiap perempuan boleh angkuh memutuskan kepada siapa cinta dan kepercayaan hendak diberikan. Kubiarkan hatiku untuk tak bergejolak ketika ia terlihat berlari ke dalam kelas saat aku melewati lorong depan kelasnya. Ia menghindar dariku. Juga, aku tak lagi menghampirinyadalam jarak dekat saat ia mengeluarkan sepedanya dari dalam barisan parkir saat pulang sekolah. Aku menatapnya saja dari jauh. Ia melihatku, lalu mengayuh sepedanya lebih cepat. Tak apa. Mufidah. Ia benar dalam sikapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 219)
Jusuf juga sangat paham kalau Mufidah bukanlah seorang yang bisa
begitu saja didekati. Jadilah Jusuf bertarung dengan hasratnya sendiri. Ia
menjaga sikap, mengatur jarak dan memperhitungkan waktu dan
kesempatan. Ia tak ingin karena perlakuanya hingga Mufidah tidak
63
simpatik kepadanya. Jusuf ingin betul-betul mendapatkan Mufidah dengan
caranya sendiri yang tak umum diperagakan oleh laki-laki lain yang
kasmaran. Jusuf membiarkan waktu berjalan dengan tenang untuk segera
mendapatkan Mufidah. Suatu waktu Jusuf memberanikan diri
mengunjungi rumah Mufidah dengan segala perasaan ia siap untuk
menerima risiko, termasuk jika kedatangannya harus di tolak oleh
keluarga Mufidah. Selama di rumah Muufidah, Jusuf disambut dengan
baik oleh Mufidah, juga oleh bapak Mufidah menghargai kedatangan Jusuf
layaknya sebagai seorang tamu. Respon ini membuat hati Jusuf legah.
Saat ini Jusuf mengayu dua perasaan utama, menjaga hati ibunya dan
merebut hati Mufidah. Ia tak ingin kehilangan orang tua yang dikasihi dan
gadis yang dicintainya itu.
Alur kemudian beralih pada cerita tentang kondisi ekonomi
perusahaan dagang Haji Kalla yang agak memburuk, nilai tukar rupiah
turun. Bahkan situasi ini mengguncang perekonomian Indonesia. Ada hal
yang unik, karena usaha transportasi yang dikendalikan ibu Athirah justru
mengalami peningkatan pendapatan, begitu pula dengan bisnis kain sutra
dan berlian cukup meraup keuntungan setiap hari. Saat itu memang
sedang terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, semua kota-kota besar di
Indonesia turut dialiri ketegangan.
Selanjutnya diceritakan tentang pengalaman Jusf selama kuliah di
Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, dari segi akademik Jusuf
memang termasuk mahasiswa berprestasi. Sementara Mufidah sendiri
64
setamatnya dari SMA ia masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Muslim
Indonesia (UMI). Padahal Jusuf sangat berharap Mufida bisa kuliah di
Unhas juga. Meskipun demikian, selalu saja ada jalan untuk dapat
bertemu dengan Mufidah. Kebetulan saat itu Jusuf menjadi asisten Pak
Rudi dengan mata kuliah statistik. Meskipun tugas utama Pak Rudi adalah
dosen Unhas tetapi ia juga mengajar di beberapa kampus lain termasuk di
UMI. Kesempatan itu digunakan oleh Jusuf untuk mengambil alih tugas
Pak Rudi di UMI.
“Telah kudapat kepastian bahwa aku akan membantu Pak Rudi mengajar para mahasiswa tingkat satu di UMI. Mahasiswa baru. Bisa dipastikan, salah satu yang akan kuajar adalah kelas tempat Mufidah berada. Ya Tuhan, aku sangat gemetar. Sekian lama kuburuh Mufidah dengan susah payah, bahkan bisa berdekatan dengannya saja sangat sulit, kini aku akan mengajarnya! Ini jalan yang luar biasa.” (Alberthiene Endah, 2013: 292) Kedekatan Jusuf dengan Mufidah memang sudah intens, tapi
Jusuf belum mendapatkan kepastian akan perasaanya kepada Mufidah.
Jusuf berupaya untuk mendapatkan jawaban itu, namun ia tidak mau
terkesan terburu-buru. Jusuf memberanikan diri untuk mengajak Mufidah
jalan-jalan, bukan main senangnya saat Mufidah merespon keinginan
Jusuf. Dipilihnya Pantai Losari sebagai tujuan. Setelah menikmati
panorama pantai, Jusuf kemudian memilih Restoran Malabar untuk
mencicipi kuliner Losari. Saat itulah Jusuf meggunakan kesempatan untuk
mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah.
“Mufidah, aku ingin membicarakan sesuatu. Aku berusaha menjaga nyaliku. “Sesuatu yang sudah lama ingin kukatakan padamu.” Mufidah menatapku dengan tenang. Pancara matanya tak gentar. Nyaliku nyaris berhamburan. Tapi tidak. Aku tak boleh
65
menunggu terlalu lama lagi. Bertahun-tahun sudah lewat dan aku seperti berjalan di tempat. Pelayan menata cangkir teh dan piring datar berisi penganan, juga dua lipatan serbet polos berwarna biru mudah.ia kemudian pergi dengan langkah cepat. Aku menyiapkan diri. “Mufidah....” Ya Tuhan, betapa beratnya mengatakan ini. “Mufidah aku suka kepadamu. Aku mencintaimu. Kau... aku mengejarmu sudah lama...” Aku kehilangan kata-kata. Astaga. Aku benar-benar kehilangan kata-kata. Mufidah masih menatapku dengan tenang. “Mufidah....” Aku mengumpulkan lagi energi keberanianku. Dan aku ingin kau bisa menerimaku. Menerima cintaku.... ” (Alberthiene Endah, 2013: 305) Setelah kalimat itu diucapkan, suasana jadi hening bahkan
tegang. Jusuf seperti kehilangan udara. Terasa sesak dan berat. Seperti
ada hawa mencekam yang menyambut akhir kalimat Jusuf. Ia mengharap
Mufidah dapat memberikan jawaban yang diharapkan. Jusuf serius dan
tulus menempatkan cintanya pada Mufidah. Jusuf tidak memaksa Mufidah
untuk menjawab saat itu, tapi perasaannya sudah tak sabar lagi untuk
mendapatkan kepastian dari Mufidah. Semakin terbebani, itulah yang
dirasakan Mufidah. Ia memang sulit untuk menyembunyikan perasaannya
kepada Jusuf, namun ia juga masih ragu, apalagi orang tua Mufidah
mengetahui tentang latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami dan
inilah jawaban Mufidah:
“Ia menatapku. “Ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu .... Maafkan aku ....” Suara Mufidah terhenti bersamaan dengan geraknya yang sangat cepat. Ia berlari. Menuju pintu. Cepat sekali. Lalu menghilang. Aku mematung. Tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahkan tak berpikir sampai ke sana. Tetapi itulah jawabannya. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah.” (Alberthiene Endah, 2013: 307)
66
Mendengar jawaban itu Jusuf seakan tak percaya, ia mematung beberapa
lama, jawaban Mufidah terasa perih buatnya. Bahkan tidak terasa air mata
Jusuf berleleran, ia seakan tidak sanggup menerima jawaban Mufidah,
tapi itulah kenyataannya.
Kemudian diceritakan tentang ajakan Bapak untuk berlibur ke
kampung halaman di Bone. Ajakan itu disambut gembira oleh keluarga
Jusuf. Mereka memang merindukan berwisata ke kampung halaman. Tapi
berbeda dengan Jusuf, ia masih tetap terobsesi dengan jawaban Mufidah.
Dalam hati Jusuf menggumam. “Apa yang kau ciptakan untuk kami, Pak.
Kau ada ketika kau mau. Dan, kau pergi ketika kami masih ingin
bersamamu. Sekarang gadis yang kucintai bahkan menolakku karena
kisah yang kau buat.” Jusuf dijerat dengan perasaan pilu yang membakar.
Ia hanya mendekam dalam kamar. Hingga akhirnya ajakan Bapaknya ke
Bone datang, Jusuf masih dijerat dengan perasaanya. Perjalanan ke Bone
hingga kembali ke Makassar benar-benar tidak dinikmati Jusuf, ia
terpenjara oleh pikiran dan perasaanya.
Cerita selanjutnya adalah setelah beberapa lama, musim berganti
mengiringi perasaan Jusuf. Ia lebih sibuk dengan kulih dan pekerjaanya
dalam membantu mengembangkan perusaha bapaknya. Tapi, bayang
Mufidah tidak bisa menguap begitu saja. Hingga di suatu hari ia
menempuh langkah nekat. Ia mengunjungi rumah Mufidah, ingin
memastikan perasaan Mufidah yang sejujurnya. Saat itu Jusuf
mendapatkan jawaban bahwa susnggunya Mufidah tidak hanya sekadar
67
mencintai Jusuf tetapi juga ia memercayainya. Tugas Jusuf selanjutnya
adalah meyakinkan orang tua Mufidah atas ketulusan dan keikhlasan
cintanya. Jusuf terus-menerus datang ke rumah Mufidah, menemui
ayahnya untuk melunakkan hatinya. Upaya Jusuf tak sia-sia, 27 Agustus
1967 Jusuf direstui oleh keluarga Mufidah untuk menikah.
“Sebuah hari yang baru. Aku terjaga saat beduk Subuh terdengar. Menyentuh sejuk seperti embun di atas daun. Syahdu. Syukurku tak habis-habis. Masih bisa menemui pagi dengan jembatan yang tentram. Subuh yang menghanyutkan. Aku pernah mendngar kalimat Emma. Azan subuh adalah pelembut ragamu sebelum memulai hari. Aku percaya itu. Kutatap sosok lembut di sebelahku. Mufidah juga telah bangun. Hanya matanya yang belum sepenuhnya terbuka. Bibirnya menyunggingkan senyum. Ada rasa tak percaya, Mufidah ada bersama pagiku. Dan akan selalu ada. Senyum perempuan yang kucintai menjadi bagian yang menentramkan di dalam kedamaian pagi.” (Alberthiene Endah, 2013: 331)
Setelah pernikahannya, dengan restu ibu, Jusuf memutuskan
untuk tinggal di rumah Mufidah. Agar Mufidah merasa nyaman dan bisa
menyesuaikan diri dengan mudah ke dalam kehidupan pernikahan jika ia
masih tinggal di rumahnya, dibandingkan tinggal di rumah mertua.
Sorot balik kembali terjadi saat Jusuf mengenang perjuanganya
dalam menggapai cintanya. Setelah ia di wisuda di Fakultas Ekonomi
Universitas Hasanuddin, ia nyaris putus asa karena sangat susah untuk
menggapai cinta Mufidah, ia mendatangi paman Mufidah untuk meminta
bantuan agar hubungan Jusuf dan Mufida mendapat restu dari ayah
Mufidah.
“Kudapatkan alamat sang paman dari Mufidah ketika ia sudah benar-benar kehilangan kemampuan untuk menjawab. “Ayahku
68
sulit menerimamu, Jusuf. Ini takdir kita. taka akan bisa kau menikahiku.” Mufida mengucapkan itu sambil berurai air mata. “Aku tak menyerah.” Aku menatap wajahnya dengan tajam. Ingin kusampaikan bahwa aku tak akan begitu saja mundur dan melepaskan harapanku. Seperti menepis debu. Aku telah lumat di dalam harapanku dan tak mungkin keluar dari gumpalan itu. Mufidah memberiku sebuah alamat pamannya. Barangkali dia bisa membantu. Kalau pamanku mau bicara pada ayahku, mungkin pikiran ayahku berubah ....” Suara Mufidah lembut. Kutangkap sepercik kabar baik dari kalimatnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 334) Sebenarnya Mufidah telah dijodohkan oleh orang tuanya.
Seorang pemudah Minang yang kuliah di Amerika dan cukup kaya. Ayah
Mufidah sangat merestui. Hanya saja, Mufidah tak menyukai pemuda itu.
Ia tidak tergiur dengan kekayaan dan label lulusan Amerika. Ia tetap
menaru hati pada Jusuf. Ia menolak dijodohkan meskipun jodoh yang
disodorkan memiliki masa depan yang menjajikan.
Alur cerita kemudian berjalan maju dengan kisah Jusuf yang
mengambil alih estafet kepemimpinan perusahaan orang tuanya. NV Haji
Kalla dan PT. Bumi Karsa semakin mengibarkan bendera kejayaan. Modal
pemdidikan bisnis yang memadai membuat perusahan yang dipimpinnya
betul-betul berada pada puncak kejayaan. Sementara Haji Kalla lebih
menjalakan fungsi pengayom. Sebagai seorang tokoh di Makassar, ia
sering bertemu dengan orang-orang pemeritahan, warga Nahdatul Ulama,
juga sibuk memimpin Yayasan Al Gazali, yang menaungi Perguruan
Tinggi Al Gazali yang menggusung pemikiran NU. Selain itu ia juga aktif
mengurus Mesjid Raya Makassar.
69
Di bagian akhir kisah dalam novel ini diceritakan bahwa di balik
ketegaran seorang Athirah sebagai sosok seorang perempuan tangguh,
kondisi fisik Athirah yang makin menua kesehatannya pun semakin
menurun. Tak ada lagi keceriaan dan kelincahan menyambangi dapur di
pagi buta, lalu memulai ritual menebarkan aroma masakan yang sedapnya
tiada terkira. Athirah terbaring sakit, wajahnya pucat pasi dan sangat kuyu.
Matanya redup, kedua tangannya tampak kurus, dan yang paling
mengkhawatirkan adalah perutnya yang buncit dan membatu. Hasil
diagnosa dokter, ia sedang menderita sirosis atau pembengkakan hati.
penyakit inilah yang membawa Athirah menemui ajalnya.
“Benar. Operasi itu menjawab dugaan dokter. Emma menderita kangker hati. sironisnya luar biasa parah. Namun, operasi itu tak berhasil membawa kesembuhan. Emma keluar dari ruang operasi dengan tubuh kaku. Matanya tertutup rapat. Tak ada gelagat harapan, kecuali napanya yang muncul satu-satu.” Pada dini hari 19 Januari, Emma kami bawa pulang. Beberapa selang yang terpasang di tubuhnya kami lepas. Halim menagis dan mengankat tabung oksigeng di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan kami berdoa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Innalillah waninna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenag dalam usia 56 enam tahun, tepat di muka rumah. Tyempat yang paling ia cintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang hidupnya di Makassar.” (Alberthiene Endah, 2013: 377) Sepeninggalan Athirah, Haji Kalla larut dalam duka yang
mendalam. Bahkan sebagian besar orang berasumsi kalau cahaya aura
dari Haji Kalla telah hilang, jiwanya telah mati. Ia tak perna lagi tersenyum
apalagi tertawa. Ia betul-betul berkabung tanpa jedah. Suram wajahnya
70
tak bisa lagi disibak. Ia salat dan mengaji dalam tangis, susah diajak untuk
bicara. Seisi pikiranya hanya tertuju pada Athirah. Ia berulang kali
mengajak Jusuf mengantarnya ke pemakaman istrinya. Ia betul-betul
merasakan kehilangan, hingga larut dalam kesedihan. Duka Haji kalalla
tak habis-habis. Hingga ia pun meninggal hanya berselang tiga bulan
setelah Athirah meninggal.
“April 1982, hanya berselang tiga bulan setelah Emma wafat, seorang kerabat kami berlari panik di halaman rumahku. “Jusuf, Jusuf! Bapak wafat, bapak wafat...” bapak menyusl Emma kurang dari seratus hari setelah napas terakhir Emma terhembus. Kesedihan yang luar biasa telah memangkas semangat hidup Bapak. Habis sudah harapannya terhadap hidup. Tubuhnya lemah karena ia jarang menyentuh makanan. Sore menjelang Magrib, ia sedianya hendak ke Mesjid Raya. Ia masuk ke kamar Mandi lalu tak keluar lagi. Bapak meninggal dalam kondisi tertelungkup di sana.” (Alberthiene Endah, 2013: 380)
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh yang terdapat dalam novel Athirah adalah Athirah, Haji
Kalla, Jusuf, Mufidah, Pak Rudi, Bu Mela. Berikut ini adalah pengambaran
watak masing-masing tokoh yang terdapat dalam novel Athirah sebagai
berikut:
a. Athirah (Emma)
Athirah diungkapkan oleh pengarang secara fisiologis bahwa
diera 1957 Athirah adalah seorang ibu rumah tangga muda yang cantik
umurnya 32 tahun, namun masih kelihatan lebih mudah dari umurnya.
“Aku tertengung mendengar pertanyaan terakhir Emma. Apaka ini artinya ia kalah? Oh, ia tak seharusnya mendapatkan cobaan seperti ini. Aku memandang wajahnya. Sangat cantik. Dalam usia 32 tahun saat itu ibuku tampak bagaikan perempuan di bawah
71
usia 30 tahun. Kulitnya putih bersih dan wajahnya yang tak pernah dirias memperlihatkan kecantikan murni yang sangat indah. Ia juga teramat baik. Tidak seharusnya ia dimadu.” (Alberthiene Endah, 2013: 56) Secara analitik pengarang pengarang memaparkan watak tokoh
Athirah sebagai perempuan yang tangguh, sabar, penyayang, dan ikhlas.
Ia bisa melewati hari-harinya dengan semangat bersama segenap anak-
anaknya, meskipun cintanya harus dibagi oleh sang suami karena memilih
menikah lagi. Statusnya sebagai istri yang dimadu bisa dijalani dengan
segenap kesabaran dan ketabahannya.
“Tenggorokanku tercekat. Rasanya tak adil. “Emma pikir, tak perlu lagi kita mengharapkan kebaikan Bapak....” Aku menanti kalimat Emma selanjutnya. Takut sekali aku pada dugaanku. Apaka ia akan mengatakan sesuatu yang mencekam? Cerai? Ini semua telah terjadi. Barangkali sudah takdir Emma menempu hidup seperti ini.” Emma memandangku dan tersenyum lembut. Tidak ada tanda-tanda perasaan pedih. Aku melihat pancaran bening. Ringan. Tulus. Ikhlas. “Kita tak perlu lagi mencari-cari Bapak. Tak perlu berusaha membuatnya kembali seperti dulu. Ada di rumah ini untuk kia semua, setiap waktu. Biarlah bapak dengan pilihannya. Memiliki dua keluarga. Dan kita lakoni hidup dengan takdir kita, sebaik-baiknya....” Aku seperti melihat cahaya kembali. Berkali-kali lebih terang dan jernih. Emma telah kembali.” (Alberthiene Endah, 2013: 129) Dilihat dari segi sosiologis, Athirah adalah seorang pebisnis. Ia
memiliki banyak relasi bisnis baik di Makassar maupun di daerah-daerah.
Bisnis yang dilakoni adalah angkutan transportasi, jualan kain sutra, dan
perhiasan berlian. Hampir setiap hari rumahnya sesak oleh gegap-gempita
para pembeli.
“Rumah kami menjadi sagat hidup. Yang datang bukan lagi sekadar pelanggan bisnis transportasi atau rekan-rekan bisnis Bapak yang berkepentingan bertemu dengan Emma, melainkan pelanggan dagangan Emma. Benar-benar bernyawa. Emma
72
benar-benar memainkan cahayanya. Pagi-pagi sekali ia merapikan kain-kain di kamar. Ketika pembeli mulai berdatangan pada siang hari, ia menjelma menjadi penjual yang sangat lincah. Disampirkannya kain-kain sutra di bahunya, di lengannya, di kursi-kursi, dan Emma mulai bercerita banyak hal tentang kain itu. Ia seperti dihujani energi. Para pembeli kebanyakan datang dari luar Makassar, menatapnya dengan takzim. Kemudian belasan, bahkan puluhan kain berpindah tangan. Aku tidak melihat lembar-lembar uang yang masuk sebagai penanda keberhasilan Emma. Tidak. Tapi bagaimana ia bisa berenag dengan kain-kain indah itu dan merajut satu warna kehidupan yang cerah. Itu membuatku bertekuk lutut. Aku hormat pada cara ibuku untuk bangkit.” (Alberthiene Endah, 2013: 164)
b. Haji Kalla
Secara analitik, Sebagai petarung nasib yang gagah berani
membuat sosok Haji Kalla di segani dan terpandang di seantero
Makassar. Prihal kesuksesannya dalam berniaga menjadi teladan dalam
menginspirasi orang-orang untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko
mereka. Tentang karakter di atas dapat di simak dalam petikan berikut.
“Aku menghormati ayahku. Sangat. Haji Kalla yang terpandang di seantero Makassar. Haji Kalla yang mewarnai Bone dengan teladan kesuksesan berniaga hingga orang-orang di sana terinspirasi untuk berjuang melalui kios-kios dan toko-toko mereka. Haji Kalla yang meninggalkan Bone dengan jejak keberhasilan dan sanggup menaklukkan Makassar pedagan yang telah menyandang gelar haji sejak usia 15. Petarung nasib yang gagah berani melanjutkan hidupnya di atas “kapal” sendiri lewat kios sederhana di sebuah pasar. Ia menang atas cita-citanya.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)
Secara dramatik, pengarang menggabarkan Haji Kalla sebagai
sosok yang berwibawa. Ia juga termasuk orang visioner, meskipun
awalnya ia adalah seorang pedagang kecil dari Bone, ia tidak pernah
minder bersaing dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di
73
Makassar. Ia sangat cekatan beradaptasi dengan kemajuan zaman.
Gambaran karakter Haji Kalla ini tersirat dalam kutipan berikut.
“Yang kukagumi pula dari Bapak adalah kemampuannya beradaptasi dengan zaman. Ia berlari dengan waktu, juga mencumbunya. Bapak tak pernah merasa minder untuk terlibat dalam berbagai kemajuan di dunia dagang. Sungguhpun semula ia hanya pedagang kecil dari bone, dibanding dengan taipan-taipan besar yang telah meraja di Makassar. Bapak mengimpor banyak barang. Susu, tekstil, furitur, obat-obatan, makanan awet, kebutuhan rumah tangga macam-macam. Berkahnya sepertinya ada di bidang itu. Usahanya, NV Hadji Kalla, berjalan dengan sukses.” (Alberthiene Endah, 2013: 22)
c. Jusuf
Secara analitik, Jusuf dikemukakan oleh pengarang sebagai
pemuda yang tabah, ikhlas, dan bertanggung jawab. Di usianya yang
masih sangat muda, sebagai anak laki-laki pertama dengan ayah seorang
poligamer, terpaksa harus menjadi pendamping ibu dalam memimpin adik-
adiknya. Tanggung jawab ini harus diemban oleh Jusuf sejak usianya baru
16 tahun. Ketabahan dan sifat bertanggun jawab pada diri Jusuf
dijelaskan dalam kutipan berikut.
“Hati kami telah menjadi kuat. Lebih kuat dari yang kuduga. Aku terbiasa dengan hari-hari yang kehilangan satu pilarnya. Pada mulanya batin kami seperti berongga. Ada yang hilang dan terasa kosong. Namun, lama kelamaan kami terbiasa. Rongga itu tak lagi terasa kosong. Keikhlasan demi keikhlasan membuatnya terisi. Aku belajar banyak dari kisa Bapak dan Emma. Sangat banyak. Meskipun baru beberapa tahun berjalan, aku terdidik untuk paham apa makna ikhlas. Ketika kau tak lagi berontak, bahkan untuk sesuatu yang pantas kau teriakkan. Aku bukan lagi melupakan atau sengaja mengubur rasa sakit hati. Melainkan, berdamai. Menerima dan mendewasakan diri. Tentu saja tak sempurna. Usiaku belum lagi mencapai 20 tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 132)
74
Karakter Jusuf yang lain adalah orang yang optimis. Awal
perjalanan cintanya untuk menaklukkan hati Mufidah tak mudah ia raih.
Berbagai tanjakan yang harus ia taklukkan, tapi karena optimisme yang di
miliki oleh Jusuf, akhirnya cintanya bercokol juga dalam hati Mufidah.
Akhirnya hubungan mereka kukuhkan dalam ikatan pernikahan pada
tahun 1967. Tentang perjuangan dan optimisme Jusuf dalam
menaklukkan hati Mufidan dan keluarganya tergambar dalam kutipan
berikut.
“Kami menikah pada 1967. Sebuah pesta yang sederhana, tapi sangat meriah. Bertahun-tahun pendekatan dan setahun masa pacaran. Setahun yang sarat dengan suka cita. Aku melimpahkan hatiku kepadanya, perempuan yang sangat kucintai. Ibuku menyediakan banyak waktu untuk berbicara banyak hal dengan Mufidah. Aku terus menerus datang ke rumahnya, menemui ayahnya, melunakkan hatinya. Setelah cintaku dan Mufidah bersatu, kami terus berjuang. Upaya kami tak sia-sia. Orang tuanya merestui kami menikah. Bapak dan Emma memelukku. Berlinangan air mata.” (Alberthiene Endah, 2013: 329)
d. Mufidah
Secara analitik, Mufidah dipaparkan sebagai sosok perempuan
yang lembut dan menjaga pergaulan. Ia tidak mudah percaya kepada
orang yang dekat padanya. Butuh waktu untuk mempelajari maksud,
tujuan dan memahami karakternya. Itulah yang di alami Jusuf ketika
mengejar cinta Mufidah. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menaklukkan
hatinya. Karakter Mufidah ini terefleksikan dalam kutipan berikut.
“Tapi kemudian sebuah sentuhan lembut mengenai bahuku ketika rombongan bergegas menuju bus. Aku menoleh. Terkejut. Mufidah tersenyum samar. Aku tak mengeluarkan suara sangking begitu kagetnya. Hanya mataku yang membelalak, dan itupun segera kubenahi. Aku memandangnya tanpa senyum. Kagetku
75
membekukan wajahku. “Maafkan aku.” Ia melebarkan senyumnya. “Bukan maksudku tidak ingin berkenalan denganmu. Tapi, aku memang tidak mudah dekat dengan orang yang baru kukenal ....” Mufidah tersenyum lagi. Aku masih syok. Tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mataku tegak menatapnya.” (Alberthiene Endah, 2013: 223) Selain itu, Mufidah juga adalah sosok permpuan yang
bertanggung jawab dan peduli terhadap keluarga. Meskipun ia kuliah, ia
masih menyempatkan dirinya untuk bekerja di BNI demi membantu
prekonomian keluarga. Jadwal kuliahnya diatur sedemikian rupa agar
tidak saling menggaggu dengan pekerjaanya.
e. Ibu Mela
Ibu Mela digambarkan oleh penulis secara dramatik sebagai
sosok perempuan yang provokatif. Ia senang memprovokasi Athirah
dengan kata-kata yang menghasut agar Athirah mencurigai suami dan istri
kedua suaminya. Tentang hal itu dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Kau tak pernah bertanya berapa uang yang diberikan suamimu kepada istri keduanya?” ibu Mela melontarkan pertanyaan kepada Emma. Pertanyaan yang tidak sejuk. Barangkali perlu. Tapi itu mengganggu. “saya menghormati sikap Pak Kalla. Dia pasti memutuskan paling tepat....” Suara lembut Emma Muncul. “Hei, Athirah kau tak boleh begini naif. Laki-laki banyak akalnya. Tapi, perempuan harus lebih berakal lagi. Istri kedua suamimu pasti memainkan akalnya! Kau boleh senang dengan rumah besar ini. Bisnis transportasi yan kau pegang dan lain-lain dengan menguntungkan, tapi, siapa kira pesaingmu itu memperoleh lebih banyak lagi daripada ini.... Apa kau tak gundah memikirkan itu?” suara Bu Mela melengking-lengking, membelah sore yang semula tentram. “coba kau selidiki, Athirah. Istri tua biasanya hanya dapat yang sisa. Atau, yang rutin-rutin saja. Selebihnya, yang banyak itu akan jatuh kepada istri muda. Kalau kau tak pandai-pandai menyelidiki, habislah jatah kau dan anak-anakmu!” ibu mela semakin berapi. Aku jadi tak konsentrasi. Kututup buku pelajaranku. Telingaku makin tajam menyedot pembicaraan mereka.” (Alberthiene Endah, 2013: 136)
76
Setiap kata-kata Bu Mela selalu diiringi dengan tawa tak sedap
yang melengking-lengking. Namun, setiap itu pula Athirah menjawab
dengan kata-kata bijak yang diiringi dengan tawa lembut. Akhirnya Bu
Mela mengalah sendiri ia meredahkan kata-kata dan tawa provokasinya.
f. Daeng Rahmat
Secara analitik penulis mengambarkan perwatakan Daeng
Rahmat baik dari segi fisik, sosial, maupu psikis. Tentang karakter Daeng
Rahmat dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Daeng Rahmat seorang pria berprawakan gempal, berkulit gelap rahangnya kuat, tetapi memiliki sorot mata yang teduh. Wajahnya khas laki-laki Sulawesi Selatan. Aku bisa bercerita apa saja kepadanya. Kecuali, tentang Emma. Namun, suatu kali ia dapat membaca pikiranku. “Kau sangat dewasa dibandingkan dengan usiamu, Jusuf. Kurasa kau selama ini sangat cakap menjaga dan memimpin adik-adikmu....” Daeng Rahmat seperti memberi tekanan pada kata “menjaga dan memimpin”. Aku mengangguk pelan. Bisa meraba kedalama kalimat Daeng Rahmat. “Alhamdulillah, kami baik-baik saja, Daeng....” Ia tersenyum memandangku dengan sorot yang damai. “Ibumu sangat baik. Dan, sebagai anak laki-laki tertua, kulihat kau pun mewarisi kedewasaan sikap ayahmu. “Terima kasih Daeng.” Aku senang. “Doakan kami selalu dalam keadaan baik.” “Jagalah hati ibumu ....” Akhirnya Daeng Rahmat mengeluarkan puncak dari topik percakapan kami. “Hanya kau yang bisa berbuat itu di rumah.” (Alberthiene Endah, 2013: 126) Secara analitik, fisik Daeng Rahmat dipaparkan sebagai lelaki
berbadan kekar namun memiliki sorot mata yang teduh. Bentuk fisik ini
juga tercermin pada psikis. Daeng Rahmat, meskipun kelihatan kekar tapi
ia memiliki hati yang lembut dan penyayang. Sifat sosial Daeng Rahmat
adalah perhatiannya kepada pihak lain sangat menonjol, ia senang
77
berbagi kepada sesama, meskipun itu kepada orang yang lebih mudah
dari dirinya.
g. Pak Rudi
Secara dramatik, pengarang menggambarkan tokoh Pak Rudi
sebagai sosok yang cerdas, perhatian, dan sosial. Asumsi tersebut di
peroleh dari profesi Pak Rudi sebagai dosen di dua perguruan tinggi yaitu
Unhas dan UMI. Pengangkatan Jusuf sebagai asisten menujukkan kalau
Pak Rudi adalah orang yang memiliki perhatian dan jiwa sosial. Ia mau
berbagi dengan orang yang memiliki kapabel di bidangnya. Tentang hal
tersebut tersirat dalam kutipan berikut.
“Pak Rudi mengangguk dan tersenyum arif. “Jusuf saya yaki kau dapat melakukan pekerjaan ini dengan baik. Nilaimu selalu lebih dari cuku. Hanya saja satu pesan saya, kau tak boleh terlambat. Seorang asisten dosen harus biasa menjadi teladan mahasiswa. Usahakan datang tepat waktu di kelas....” Aku menyalami Pak Rudi dengan gembira. “Semoga saya tidak mengecewakan Bapak!” Aku krluar dari ruangan dosen dengan hati berbunga.”
h. Abdullah
Secara analitik, Abdullah memiliki sikap jail. Namun, pada kondisi
tertentu, ia juga terkadang serius untuk memberi perhatian dan semangat
kepada temanya. Tentang karakter Abdullah bisa kita cermati dalam
kutipan berikut.
“Tapi lama kelamaan mereka berhenti menertawaiku. Mereka paham, sedihku tak lagi dalam ranah lelucon. Aku bahkan tak tertawa ketika mereka sibuk mencari celah lucu dari ceritaku. Orang yang sungguh-sungguh jatu cinta sangat muda diajak bercanda, atau justru tidak sama sekali. “Kau bersabarlah, Jusuf. Gadis-gadis kadang memerlukan waktu lebih lama daripada perjalan naik haji untuk menilai laki-laki,” ujar Abdullah. “Justru kau harus bangga. Dia tidak begitu saja mau menerimamu. Dia
78
benar-benar menilaimu.” Benar. Abdullah sunggu benar. Aku tak pernah tersinggung dengan sikap tak ramah Mufidah.” (Alberthiene Endah, 2013:204) Terlepas dari karakter Abdullah yang jail, ia juga memiliki
solidaritas yang tinggi. Untaian kata-kata penyemangat yang dilontarkan
cukup memberi ketenangan kepada Jusuf. Ini mengisyaratkan kalau
Abdullah adalah sosok yang sangat memiliki kepekaan sosial.
i. Abduh
Secara analitik, pengarang menjelaskan bahwa salah satu dari
tiga sahabat Jusuf saat sekolah di SMA, Abduh yang paling jail. Setiap
saat selalu menggoda Jusuf dengan kata-kata usil dengan sindiran karena
sampai SMA Jusuf belum punya pacar, padahal ia adalah anak orang
tepandang dan saudagar kaya.
“Kau tak pernah membonceng perempuan.” Abduh paling jail. “sulit dibayangkan, anak muda cakap seperti dirimu, berayah saudagar terpandang, punya toko, punya rumah besar, ada skuter, tapi tak seorang gadis pun pernah menclokdi boncengan skutermu ....” (Alberthiene Endah, 2013: 167)
Dari kutipan tersebut tergambar tingkah laku tokoh Anwar. Kata-katanya
yang bermuatan ejekan, usil tapi menantang, mengisyarakan kalau tokoh
ini memiliki karakter jail. Meskipun demikian, ia juga memiliki kepekaan
sosial yang tinggi.
j. Anwar
Ketiga sahabat Jusuf digambarkan pengarang secara dramatik
memiliki karkter yang sama. Serupa dengan Abduh dan Abdullah, Anwar
juga memiliki karakter yang jail. Kata-katanya terkesan pedas tapi
79
sesungguhnya ia hanya melucu. Hal tersebut dapat disimak dalam
petikan berikut.
“Dia sangat pendiam. Dingin. Sepertinya belum pernah pacaran. Dia hanya keluar untuk pergi sekolah saja. Selebihnya di rumah, membantu ibunya. Anwar menambahkan. Aku masih belum puas. “Di mana rumahnya? Tiga sahabatku tertawa. “di mana? “Hei, seorang kesatria tak boleh hanya mengandalkan informasi orang lain. Kau berjuanglah mencari tahu di mana rumanya. Kalau kau benar kepincut kepadanya, jangan tunggu matahari tenggelam untuk berkenalan dengannya.” (Alberthiene Endah, 2013: 179)
Dari kutipan tersebut tergambar karakter Anwar yang jail.
Meskipun ia telah membantu mencari informasi tentang gadis yang di
taksir Jusuf, namun kata-kata yang berupa ledekan kepada Jusuf terus
dilancarkan.
3. Latar
a. Latar Tempat
Sebagian besar peristiwa-persitiwa yang ada dalam novel Athirah
berlatar tempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone,
Bantimurung, dan Sengkang. Berikut ini akan dipaparkan latar tempat
dalam novel dengan kutipan-kutipan.
Tempat terjadinya peristiwa pertama dalam novel ini yaitu di
Makassar tepatnya di ruamah kediaman Jusuf di Jalan Andalas . Diawali
saat sebuah percakan antara Athirah (Emma) dengan Jusuf. Dalam
80
suasana santai mereka sedang memperbincangkan gerak-gerik ayah
Jusuf yang dinilainya aneh.
“1955. Sebuah percakapan sederhana. Aku tak pernah menyangka bahwa percakapan singkat itu akan membawa perubahan besar dalam hidup kami. Diucapkan saat Makassar sedang dibakar matahari pada tengah hari. Itulah kali pertama aku melihat ibuku disakiti dunia.” (Alberthiene Endah, 2013: 10) Tak hanya di rumah Jusuf, latar tempat peristiwa dalam novel ini
juga terjadi di rumah Mufidah, sebuah rumah sederhana dan mungil.
Gambaran tentang latar ini dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Aku tak melewatkan kesempatan itu. Pada hari yang dipastikan aku kembali datang ke rumahnya. Persis seperti waktu yang ia minta, ketika sore masih diwarnai matahari garang. Dan, kutemui pemandangan yang membuatku geli. Delapan orang adiknya dari yang tertua hingga yang termuda berkumpul di ruang tamu mengelilingi kotak catur. Padat sekali. Aku tidak bisa melangkah dengan leluasa ke kursi. “Lewat sini....” Mufidah menggeser sebuah kursi dan memberi jalan kepadaku. Suaranya tenggelam dalam hiruk pikuk teriakan adik-adiknya. Sangat berisik. Aku bahkan tak bisa mendengar apa yang mereka ucapkan. Semuanya berseru-seru.” (Alberthiene Endah, 2013: 248) Masih di wilayah Makassar, peristiwa yang diceritakan dalam
novel ini juga terjadi di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Sebuah kampus selain Unhas yang menjadi favorit bagi anak muda
Makassar dan daerah-daerah di Sulawesi Selatan yang ingin melanjutkan
pendidikan di Perguruan Tinggi. di kampus ini Jusuf menjadi asisten
dosen, ia mengajarkan mata kuliah Statistik yang di bina oleh Pak Rudi.
Gambaran tentang hal ini dapt di simak dalam kutipan berikut.
“Aku memacu skuterku dengan cepat pada hari pertama aku mengajar. Kampus itu terasa romantis pada sore hari. Pohon-pohon yang menjulang tinggi menciptakan bayangan indah di layar langit kemerahan. Angin pantai mengibas-ngibas tengkuk.
81
Lorong depan kelas-kelas di UMI seperti gelaran karpet merah yang menyambutku dengan antusias. Entalah, perasaanku yang antusias barangkali yang akhirnya memantulkan gelombang riang.” (Alberthiene Endah, 2013:293)
Pantai Losari juga tak pelak menjadi latar tempat dalam novel ini.
Pantai Losari merupakan tempat favorit bagi warga Makassar yang ingin
menikmati wisata pantai. Di pantai ini kita bisa menyaksikan
pemandangan menakjubkan di sore hari karena di sini kita bisa
menyaksikan dengan langsung matahari terbenam di seberang laut.
Tentang latar pristiwa yang tergambar dalam novel Athirah dapat disimak
dalam kutipan berikut.
“Kau menyukai pantai pada sore hari? Aku mengulang kalimat Mufidah. Kami sudah duduk di sebuah kedai es kelapa dan ikan bakar yang mengarah ke bibir Pantai Losari. Angin pantai buas menerpa wajah dan rambut kami. Cuaca sedang sedikit ekstrem. Anak-anak kecil riang bermain bola di atas pantai dan memekik-mekik setiap kali angin kencang, disusul bunyi ombak yang bergemuruh. Tapi langit cerah.” (Alberthiene Endah, 2013:293)
Peristiwa dalam novel ini juga terjadi di kampus SMA 2 Makassar
tempat Jusuf mengenyam pendidikan sebelum sebelum pinda ke SMA 3.
Di sini jusuf bertemu dengan tiga sahabat yang mereka yang memiliki
chemistry.
“Di SMA 2 aku bersahabat dengan tiga siswa, Abdullah, Abduh, dan Anwar. Sejak kali pertama duduk di kelas kami segera merasakan chemitry. Sama seperti persahabatanku dengan Bahar, Rudi, dan somad, aku pun merasakan karakter hangat pada diri mereka. Tiga sahabatku di SMP itu sayangnya berpencar di SMA yang berbeda-beda. Abdullah, Abduh, dan Anwar punya karakter yang nyaris mirip dengan Somad, Bahar, dan Rudi. Terutama dalam hal usil.” (Alberthiene Endah, 2013: 167)
82
Tidak hanya di SMA 2, latar tempat dalam novel ini juga di SMA 3 karena
adanya kebijakan untuk memekarkan sekolah ini sangkin banyaknya
murid. Jusuf dan tiga sahabatnya bersyarat pindah ke sekolah baru
tersebut.
“Tidak lama aku sekolah di SMA 2. Sebab, kemudian muncul peraturan untuk memekarkan sekolah, sangking muridnya sudah terlalu banyak. Mereka yang urutan absenya ada di nomor ganjil harus pindah ke sekolah baru, SMA Negeri 3. Aku termasuk siswa yang bernomor ganjil. Ketika kenaikan kelas dari kelas 2 ke kelas 3 aku hijrah ke SMA baru itu. Yang membuatku riang, Abdullah, Abduh, dan Anwar pun termasuk siswa yang pindah.” (Alberthiene Endah, 2013: 176)
SMA Negeri 3 merupakan pemekaran dari SMA Negeri 2, sebagian besar
siswanya merupakan pindahan dari sekolah induk.
Selain Makassar, latar tempat cerita dalam novel ini adalah
Taman Wisata Bantimurung, Kabupaten Maros. Saat itu beberapa siswa
dari teman kelas Mufidah berinisiatif untuk melakukan perjalan wiasata ke
Bantimurung. Untuk lebih meriah mereka mengajak siswa dari kelas lain
untuk berpartisipasi. Tak pelak lagi, Jusuf, Abdullah, Abduh, dan Anwar
ikut ambil bagian.
“Bantimurung dan segala pesonanya menjadi tempat bagiku untuk menerima penegasan sikap Mufidah. Ia memang sungguh-sungguh tak tertarik berteman denganku. Aku bisa membuktikannya dari bagimana ia berusaha tak berpapasan denganku, apalagi saling bertegur sapa. Ia membuat dunianya sendiri. Aku, terpaksa pula memuaskan diri dengan duniaku sendiri, berkelompok bersama Abdullah, Abduh, Dan Anwar. Beberapa siswa bergabung dengan kami.” (Alberthiene Endah, 2013: 222)
Selain Makassar dan Bantimurung, pristiwa dalam novel ini juga
terjadi di Sengkang. Sebuah kota kecil yang berbatasan dengan Bone.
83
Sengkang sangat terkenal dengan sentra kain hasil tenunan terbaik di
Sulawesi Selatan. Sauatu ketika Athirah mengajak Jusuf untuk
mengunjungi kota ini guna membeli barang-barang hasil tenunan asli
sengkang. Gambaran tentang perjalanan mereka dapat disimak dalam
kutipan berikut.
“Banyak Hal yang ia lakukan di sana. Kami mengunjung sentra-sentra penenun. Emma melihat alat-alat tenun mereka dan entah apa yang ia katakan. Ia juga membicarakan desain. Memperlihatkan benang-benang sutra yang telah ia celupkan dan menerangkan dengan sangat lincah. Selama Emma melakukan banyak hal dalam kunjungan itu, aku lebih banyak berada di luar rumah-rumah tenun. Menikmati ketentraman baru yang mendadak menyeruak masuk ke dalam batin. Aku memandang jalan utama di Sengkang yang sangat legang. Hening mengalir perasaan tenang. Sayup suara Emma bersama penenun terdengar dan mengemakan kidung kegembiraan. Kutatap langit biru jernih yang bersih.dari awan. Kuharap luka pada diri Emma menjelma benih semangat yang tak pernah lagi luruh.” (Alberthiene Endah, 2013: 145) Persitiwa dalam cerita juga terjadi di Bone. Bone adalah tanah
kelahiran Jusuf, masa kecilnya ia habiskan di Bone sebelum ayahnya
kemudian hijrah ke Makassar. Suatu saat, ayah Jusuf mengajak
keluarganya berlibur ke Bone. Selama di Makassar, sudah lama memang
mereka tak mengunjungi Bone dan mereka sangat rindu. Saat itu Jusuf
masih dalam suasana kalut, ia baru saja menyampaikan hasratnya
kepada Mufidah. Namun, jawaban yang didapatkan adalah penolakan
dengan alasan latar belakang orang tua Jusuf yang berpoligami. Keluarga
Mufidah tak ingin hal yang sama terjadi pada dirinya. Jadilah wisata ke
Bone hal yang tak menggairahkan oleh Jusuf.
84
“Bone yang hangat, terasa sunyi untukku. Emma menikmati pertemuan dengan ibunda dan adik-adiknya. Ia telah jauh lebih bercahaya. Harum dalam kematangannya. Kukuh setelah lulus ditempa ujian. Bapak terus menerus menatap Emma. Entah apa dalam pikirannya. Tapi aku menangkap cinta yang besar dalam tatapannya. Dan, sedikit penyesalan. Aku terkubur dalam sedihku. Matahari datang menghangatkan Bone, lalu pergi saat senja telah mencapai keindahannya. Tawa riang-saudara-saudaraku dan kecipak suara para tetua keluarga Bapak dan Emma mengudara melintasi hari.” (Alberthiene Endah, 2013: 145).
b. Latar Waktu
Waktu terjadinya peristiwa dalam novel Athirah secara rinci
diceritakan dari tahun 1955 hingga tahun 1982. Dimulai saat melihat
gelagat perubahan pada sang suami, ibu Athirah mecoba berbagi
tanggapan dengan Jusuf dalam sebuah percakapan sederhana. Usia
Jusuf saat itu baru 14 tahun, adalah umur tergolong masih sangat mudah
jika ingin diajak berbagi tentang perasaan orang tua. Kemudian peristiwa
susul menyusul terjadi hingga terjadi peristiwa paling akhir dalam novel ini
yaitu saat Haji Kalla meninggal dunia tepatnya pada bulan April 1982.
c. Latar Sosial Budaya
Latar sosial budaya dalam novel Athirah adalah kehidupan sosial
budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang digambarkan
dalam novel ini adalah kehidupan sosial budaya masyarakat yang sangat
majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan tingkat
ekonomi yang berbeda.
Budaya Bugis dalam novel ini sangat terasa. Hal ini tergambar
dari kutipan-kutipan bahasa Bugis yang disisipkan pengarang dalam
85
tulisan ini. Misalnya kata kue Barongko dan Sarebba. Kue Barongko
adalah makanan khas orang Bugis dan hanya bisa ditemukan di tengah-
tengah masyarakat Bugis. Hal ini dapat kita simak dalam kutipan ini “aku
duduk di kursi kayu dalam dapur. Tanganku sudah menjama kue
Barongko yang kelima. Sunggu lezat barongko buatan Emma. Santan dan
gulanya terasa pas. Kepadatan dan empuknya sempurna.” (Alberthiene
Endah, 2013: 211). Barongko adalah sejenis kue khas orang Bugis,
sedangkan Sarebba adalah sejenis minuman khas orang Bugis. Minuman
ini merupakan ramuan berbahan dasar jahe ini tidak sulit ditemukan ketika
berada wilayah oarng Bugis.
Selain itu, dalam novel ini juga kita temukan kata patellu. Patellu
artinya dalam bahasa Indonesia adalah saudagar atau pedagang. Di sini
diungkapkan bahwa dalam keluarga Jusuf, profesi dagang sudah menjadi
urat nadi kehidupannya. Hal ini bisa disimak dalam kutipan berikut.
“Mereka sangat mengagumkan. Ini dunia yang menyenangkan. Aku
menyukai niaga. Darah patellu mengalir kuat di sekujur tubuhku. Yang
kukagumi dari bapak adalah kemampuanya beradaptasi dengan zaman.”
(Alberthiene Endah, 2013: 243)
4. Tema dan amanat
Tema merupakan suatu gagasan sentaral yang menjadi dasar
suatu karya sastra yang di dalamnya mencakup persoalan dan tujuan atau
amanat pengarang kepada pembaca (Semi, 1993:42). Tema dapat
86
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum dalam sebuah
karya novel (Nurgiyantoro, 1995:70).
Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Karya sastra fiksi senantiasa
menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-sifat luhur
manusia, memperjuangkan hak dan martabat manusia (Sudjiman,
1988:57).
Hubungan antara tema dengan amanat sangat erat. Jika tema
merupakan ide sentral, maka amanatlah yang menjadi penjelas dari ide
tersebut. Jika tema merupakan perumusan pertanyaan, maka amanatlah
yang menjadi perumusan jawabannya.
Novel Athirah memiliki tema jamak, artinya dalam novel ini
memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam novel ini terdiri dari satu tema
mayor dan beberapa tema minor. Tema mayor dalam novel ini adalah
Kesetiaan dan ketulusan dalam setiap kondisi kapan dan dimana pun.
Sedangkan tema minor yang terdapat dalam novel ini antara lain:
a) Sifat dan watak manusia berbeda-beda.
b) Usaha dengan kerja keras adalah kunci kesuksesan.
c) Kesabaran dalam menyikapi masalah dalam kehidupan
Novel Athirah terdiri dari beberapa tema, maka novel ini juga
mengandung beberapa amanat di antaranya:
a) Kesetiaan sesuatu yang tidak hanya ada saat kau dihadapkan pada
sesuatu yang membuatmu bahagia tapi, juga saat kau berhadapan
87
dengan sesuatu yang membuatmu berat. Ketika kita mencintai
sesuatu maka cintailah dengan ketulusan, cinta yang tidak
bersyarat, kecuali yang disyaratkan oleh cinta itu sendiri.
b) Sifat dan karakter setiap manusia berbeda-beda. Oleh karena itu,
janganlah menilai baik dan buruknya sesorang hanya dari sisi
luarnya saja termasuk latar belakang kehidupan keluarganya.
c) Ketika mengupayakan sesuatu harus dilakukan dengan total
kemampuan dengan iringan doa. Seperti yang tertera dalam
falsafah Bugis “resopa temmangingi namaloma naletei pammasena
dewatae”.
d) Setiap orang akan diuji sesuai dengan kemampuanya, jalanilah
ujian dengan ikhlas agar Sang Penguji menghadiaimu benteng
dengan sifat sabar.
B. Analisis Sosiologi Sastra
Pendekatan sosiologi sastra meninjau karya sastra dengan
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1978: 2). Karya
sastra merupakan refleksi kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang
dalam menghadapi dan menjalani kehidupan di masyarakat sebagai
makhluk sosial. Oleh karena itu, dalam analisis sosiologi sastra ini akan
dijabarkan bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat setempat
yang terefleksikan dalam novel Athirah. Latar sosial budaya dalam novel
ini adalah kehidupan sosial masyarakat. Kehidupan sosial yang
digambarkan dalam novel ini adalah kehidupan sosial masyarakat yang
88
sangat majemuk, kondisi dengan latar belakang pendidikan, profesi, dan
tingkat ekonomi yang berbeda.
Sastra sebagai refleksi kehidupan berarti pantulan kembali
problem dasar kehidupan (Santosa, 1993:40). Masalah-masalah dasar
kehidupan sosial budaya masyarakat adalah masalah-masalah yang
sering dialami oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti kematian
(maut), cinta, pengharapan, tragedi, pengabdian, arti dan tujuan hidup,
serta hal-hal transendental. Penelitian ini difokuskan pada masalah
kehidupan sosial budaya masyarakat Bugis yang terefleksikan dalam
novel Athirah yang meliputi kematian, cinta, tragedi, harapan, pengabdian,
dan hal-hal transendental.
1. Kematian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, maut berarti mati
atau kematian terutama tentang manusia (Moeliono, 1990:518).
Pengertian mati dapat dijelaskan dengan tiga hal, yaitu:
a) Kemusnahan dan kehilangan total roh dari jasad
b) Terputusnya hubungan antara roh dan badan
c) Terhentinya budi daya manusia secara total (Sulaeman, 1998:85).
Kematian pasti akan dialami oleh semua manusia. Kematian
adalah takdir yang tidak terelakkan dan manusia tidak akan dapat
menentukan kapan, dimana dan apa sebab datangnya kematian tersebut.
Sikap manusia dalam menghadapi maut bermacam-macam sesuai
dengan keyakinan dan kesadarannya, antara lain:
89
a. Orang yang menyiapkan dirinya dengan amal perbuatan yang baik
karena menyadari bahwa kematian bakal datang dan mempunyai
makna rohaniah.
b. Orang yang mengabaikan peristiwa kematian karena menganggap
bahwa kematian adalah peristriwa alamiah yang tidak ada makna
rohaninya.
c. Orang yang merasa keberatan atau takut untuk mati karena
terpukau oleh dunia materi.
d. Orang yang ingin melarikan diri dari kematian karena menganggap
kematian merupakan bencana yang merugikan, mungkin karena
banyak dosa, hidup tanpa norma, atau beratnya menghadapi
keharusan menyiapkan diri untuk mati (Sulaeman, 1998:87).
Persoalan maut di lukiskan dalam novel Athirah dengan peristiwa
meninggalnya Athirah karena komplikasi penyaki diabetes dan sirosis atau
pengerasan hati yang menderanya. Pertolongan medis dengan operasi
pun tak mampu lagi menyelamatkan nyawa Athirah.
“Pada dini hari 19 Januari 1982, Emma kami bawa pulang. Berbagai selang yang terpasang di tubuhnya dilepas. Halim menangis dan mengangkat tabung oksigen di pundaknya membawanya ke rumah. Sepanjang jalan, kami membaca doa. Aku membopong tubuh Emma ke dalam rumah dengan rasa sedih yang tak terkatakan. Tepat ketika azan subuh menggema, langkahku dengan Emma dalam boponganku baru mencapai pintu rumah. Kepalanya terkulai lemas. Napasnya terhenti. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.... Emma wafat dengan tenang dalam usia 56 tahun, tepat di muka ruamah. Tempat yang paling dicintai. Tempat ia menyemai kasih sepanjang masa hidupnya di Makassar”. (Alberthiene Endah, 2013: 377)
90
Kematian Athirah semakin mengharu biru, Haji Kalla seakan tidak
sanggup menerima kenyataan ini. Ia larut dalam sedih dan duka yang
dalam. Banyak orang mengatakan bahwa sejak kepergian Athirah, cahaya
di wajah Pak Haji Kalla telah hilang, bahkan mati. Ia tidak pernah lagi
tersenyum apalagi tertawa. Betul-betul merasakan kehilangan, ia
berkabung tanpa pernah berjedah. Matanya terus-menerus nanar dan
menerawang. Pikiranya hanya tertuju pada sosok Athirah. Sekan ada
penyesalan besar di sana atas penghianatan cinta yang di lakukannya
terhadap Athirah.
Persoalan maut yang diceritakan dalam Novel Athirah juga
tentang kematian Haji Kalla yang cukup mengagetkan. Hanya berselang
tiga bulan setelah Athirah wafat, tepatnya pada bulan April 1982, Haji
Kalla pun menyusul istrinya tercinta. Rasa sakit dan kepedihan yang
dialaminya sepeninggalan Athirah benar-benar menyayat, hidupnya tak
bergaira lagi, tak bisa lepas dari bayang sosok seorang Athirah.
2. Cinta
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali,
sayang benar, kasih sekali, atau terpikat (antara laki-laki dan perempuan)
(Moeliono, 1990:168). Kata cinta selain mengandung unsur perasaan aktif
juga menyatakan tindakan yang aktif pengertiannya sama dengan kasih
sayang sehingga jika seseorang mencintai orang lain berarti orang
tersebut berperasaan kasih sayang atau berperasaan suka terhadap
orang lain tersebut (Sulaeman, 1998:49). Seseorang yang mencintai
91
harus mempunyai beberapa sikap, antara lain harus memeriksa tepat
tidaknya suatu tindakan dan bertanya-tanya bagaimanakah ia semestinya
memberi bentuk kepada cinta dalam situasi yang konkret. Selain itu, sikap
lain yang seolah-olah merupakan prasyarat untuk dapat disebut mencintai
adalah kesetiaan, kesabaran, kesungguhan, dan memberi kepercayaa
(Leenhouwers, 1988:246).
Abdul Kadir Muhammad (1988:29) mengungkapkan bahwa cinta
kasih adalah perasaan kasih sayang, kemesraan, belas kasihan, dan
pengabdian yang diungkapkan dengan tingkah laku yang bertanggung
jawab. Tanggung jawab artinya adalah akibat yang baik, positif, berguna,
saling menguntungkan, menciptakan keserasian,keseimbangan, dan
kebahagiaan. Ada beberapa hubungan cinta yang ada dalam kehidupan
manusia, antara lain cinta antara orang tua dan anak, cinta antara pria
dan wanita, cinta antarsesama manusia, cinta antara manusia dan Tuhan,
dan cinta antara manusia dengan lingkungannya (Muhammad, 1988:30).
Cinta adalah bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia.
Perasaan cinta adalah anugerah dari Tuhan yang datangnya membawa
pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Seseorang yang
mencintai sesuatu akan merasa senang terhadap sesuatu itu dan apabila
yang dicintainya itu meninggalkannya, ia akan merasa kehilangan.
Cinta memang sesuatu yang tak pernah habis untuk di bicarakan.
Mulai dari para filosof, sastrawan hingga pada level kasta terendah cinta
merupakan hal yang sangat menarik untuk dibicarakan. Ribuan karya dan
92
tulisan-tulisan telah dihasilkan dari tema tentang cinta. Romeo and Juliet
dan Layla Majnun adalah dua karya besar tentang cinta yang tidak pernah
lekang oleh waktu.
Dalam novel Athirah kembali mengulas dan tentang cinta. Akan
tetapi, dalam novel ini mencoba mengulas cinta dari sisi lain. Cinta
diartikan sebagai keinginan untuk berkorban melindungi serta mengayomi
orang yang dicintai. Perasaan cinta tak selalu diaktualkan dengan pacaran
sebagaimana presepsi kebanyakan orang sekarang. Perasaan cinta dapat
diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan
membantu sebagaimana kisah cinta antara Jusuf dan Mufidah.
Dalam novel ini juga terungkap permasalahan-permasalahan
yang berhubungan dengan cinta. Di antaranya kisah cinta antara Jusuf
dan Mufidah. Cinta yang terjalin di antara mereka bukanlah sesuatu yang
tanpa melewati tantangan. Status sosial, keinginan, adat istiadat, dan
karakter yang dimiliki oleh setiap orang terkadang menjadi alasan untuk
mengakhiri hubungan cinta antara sepasang kekasih. Tapi, oleh Jusuf dan
Mufidah, dengan kekuatan cinta dan perjuangan, mereka dapat
melewatinya. Cinta mereka adalah cinta yang tulus. Cinta yang mereka
jalani adalah keinginan untuk memberi tanpa mengharap pamrih dari yang
dicintainya. Oleh karena itu, keagungan cinta mereka sangat layak untuk
ditunjukkan dengan menyatunya dua hati dalam satu ikatan suci. Itulah
makna cinta yang dapat dipetik dari dari kisah cinta Jusuf dan Mufidah
dalam novel Athirah ini.
93
3. Tragedi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tragedi berarti peristiwa
yang menyedihkan (Moeliono, 1990:959). Tragedi adalah suatu peristiwa
menyedihkan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh setiap manusia.
Sulaeman menyebut tragedi ini dengan kata penderitaan. Ia
mengungkapkan bahwa penderitaan termasuk realitas dunia dan
manusia. Intensitas penderitaan bertingkat, ada yang berat dan ada juga
yang ringan. Peranan individu juga menentukan berat tidaknya intensitas
penderitaan. Suatu peristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang
belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Akibat penderitaan
bermacam-macam. Ada yang mendapatkan hikmah besar dari suatu
penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya.
Suatu penderitaan bisa juga merupakan energi untuk bangkit bagi
seseorang, sebagai langkah awal untuk
mencapai kenikmatan atau kebahagiaan. Oleh karena itu, penderitaan
belum tentu tidak bermanfaat (Sulaeman, 1989:66).
Seseorang yang tegar akan menganggap kejadian yang
menyedihkan itu sebagai suatu cobaan yang harus dilewati dan mencari
hikmah dari kejadian tersebut untuk kemudian dijadikan pedoman dalam
menjalani hidup selanjutnya agar kejadian yang menyedihkan itu tidak
terulang atau dapat ditanggulangi. Sedangkan seseorang yang lemah dan
tidak tegar dalam menghadapi cobaan dan rintangan akan menganggap
kejadian itu sebagai suatu bencana dan seringkali terjerumus pada hal-hal
94
yang menyimpang dari norma agama maupun sosial. Pada tahap
selanjutnya, tragedi akan berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan
seseorang.
Tragedi yang terlukis alam novel Athirah ini di antaranya adalah
tragedi yang menimpa Athirah dan anak-anak atas perkawinan kedua
yang dilakukan oleh suaminya. Mereka tak menyangka hal itu akan terjadi
dalam keluarganya. Untung saja Athirah adalah sosok perempuan yang
cukup kuat, diterimanya peristiwa itu dengan ikhlas dan sabar, “ia
mengalah tapi bukan kalah”. Itulah realitas yang harus ia terima meski
dalam hati terasa berat. Tentang tragedi itu dapat disimak dalam kutipan
berikut.
“Pengalaman terberat seorang anak dalam kasus poligami, ketika harus menyaksikan salahsatu dari orang tua menahan pedih atas peristiwa menekan itu. Kadan tak kupikirkan lukaku sendiri. Lebih sedih memikirkan luka seorang yang menjadi payung hidupku. Emma. Sejak bapak menikah lagi, rumah kami redup tapi ibuku adalah perempuan pemantik cahaya. Aku bisa menagkap sedihnya walau dunia selalu melihat kebahagiaannya. Aku tahu ibuku mati-matian menciptakan hari yang wajar. Sejak menikah hingga hari itu, ia dikenal sebagai perempuan yang kuat, dan ia ingin terus seperti itu.ia ingin melewati hari yang tak pernah ada jejak sakit hati. kalau boleh, barangkali, ia ingin melupakan itu. Tapi realitas punya kuasa sendiri. Ketika mereka membuka mata pada pagi hari, perasaan sakit menjelma ada.” (Alberthiene Endah, 2013: 39) Tragedi selanjutnya yang terjadi selajutnya adalah saat perahu
yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang berwisata
dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari. Pulau yang
sering dijadikan tujuan wisata masyarakat Makassar. Kejadian itu
membuat panik Jusuf. Ia tidak ikut dengan ibunya saat itu, karena banyak
95
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Trgadi tersebut dapat di simak
dalam kutipan berikut.
“Aku berlari tak tentu arah. Kuhampiri kerumunan demi kerumunan yang berpencar bagai pulau-pulau kecil. Di antara bising tangis dan teriakan panik aku berusaha mencari orang-orang yang kucintai. “Emmaaaaaa!” Aku mulai kesetanan. “Jusuf” Ya Allah, suara itu. “Jusuf!” Aku menoleh cepat. Diantara kerumunan dipenuhi perempuan paru baya kulihat ibuku. Emma duduk memeluk Zohra dan Farida. Tubuh mereka basa kuyup. “Emmaaa!” Aku menyeruduk cepat. Kupeluk mereka dengan erat. Aku menangis. Entah berapa lama. Tubuh basah mereka terasa dingin. “Emma, aku takut sekali!” Emma bisa menyelamatkan dirinya, padahal ia tak bisa berenang. Ia menemukan sebatang kayu yang mengapung saat perahu terbalik. Dengan kayu itu ia, Zohra, dan Farida berpegangan.” (Alberthiene Endah, 2013: 256) Tragedi yang lain adalah tragedi yang menimpa Jusuf. Saat
pertama kali ia menyatakan perasaanya kepada Mufidah, ia mendapat
penolakan dengan alasan latar belakan keluarga yang berpoligami. Jusuf
stres memikirkan hal itu. Sejak kejadian itu ia tampak tak menikmati hidup,
perjalananya ke Bone saat itu terasa hambar. Ia terus terobsesi dengan
kata-kata Mufidah. Tentang hal tersebut tergambar dalam cuplikan berikut.
“Skuter telah menyusuri jalan depan rumahnya. Dan, berhenti. Mufidah turun dengan tenang. Tubuhnya sedikit oleng. Ia tidak langsung masuk, tapi berhenti di sisiku dan memandangku. “Jusuf.” Ia menatapku. “ayahku mengetahui keluargamu. Orang tuaku tahu ayahmu menikah lagi. Ia selalu mengingatkan aku tentang itu. Kurasa, ia takut aku mengalami hal yang sama dengan ibumu.... Maaafkan aku....” Suara mufidah berhenti bersamaan dengan gerakannya yang sangat cepat. Ia berlari menuju pintu. Cepat sekali. Lalu, menghilang. Aku mematung tak mempercayai kalimat Mufidah. Aku bahakan tak berpikir sampai ke sana. Tapi itulah jawaban Mufidah. Jawaban yang telah menjelaskan segalanya. Jawaban yang tak bisa kubantah. Aku masih mematung beberapa lama. Sesuatu yang perih menggigit perasaanku. Nyerih sekali.” (Alberthiene Endah, 2013: 307).
96
4. Harapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harapan berarti sesuatu
yang dapat diharapkan atau keinginan supaya menjadi kenyataan
(Moeliono, 1990:297). Harapan dalam kehidupan manusia merupakan
cita-cita, keinginan, penantian, dan kerinduan supaya sesuatu itu terjadi
(Sulaeman, 1998:81).
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis (besar harapan)
dan harapan yang pesimistis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya
sesuatu yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat
dianalisis secara rasional bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul.
Harapan yang pesimistis mempunyai tanda-tanda yang rasional bahwa
sesuatu itu tidak bakal terjadi (Sulaeman,1998:82).
Besar kecilnya harapan ditentukan oleh kemampuan kepribadian
seseorang untuk menentukan dan mengontrol jenis, macam, dan besar
kecilnya harapan tersebut. Jenis dan besarnya harapan orang yang
mempunyai kepribadian kuat akan berbeda dengan orang yang
berkepribadian lemah. Kepribadian yang kuat akan mengontrol harapan
seefektif dan seefisien mungkin sehingga tidak merugikan dirinya atau
orang lain untuk masa kini dan masa mendatang (Sulaeman, 1998:82).
Setiap manusia yang hidup di dunia ini memiliki harapan. Manusia memilki
sesuatu keinginan yang diharapkan bisa terwujud di masa yang akan
datang.
97
Harapan yang dimiliki oleh manusia dilukiskan dalam novel
Athirah lewat harapan para tokohnya. Di antaranya adalah harapan Jusuf
yang sangat besar untuk menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidup.
Berbagai upaya yang telah dilalui oleh Jusuf untuk mewujudkan harapan
ini. Perjuangannya untuk mewujudkan harapan ini sangat luar biasa.
Apalagi ia harus menghapus image negatif tentang poligami yang
menyelimuti keluarga Jusuf. Gambaran tentang beratnya perjuangan
Jusuf untuk mewujudkan harapanya dapat disimak dalam kutipan berikut.
“Pengakuan Mufidah begitu melukai perasaanku. Bukan, bukan aku marah kepadanya. Tidak. Ia sangat berhak mengucapkan pemikiran orang tuanya. Ya, orang tua mana yang mau putrinya memiliki potensi untuk di madu? Untuk dilukai perasaannya? Aku bisa menerima, orang tuanya khawatir jika menikah denganku, aku akan meniru jejak Bapak, menikah lagi dan membiarkan Mufidah terluka. Tapi, yang tidak bisa aku terima, aku tidak diberi kesempatan untuk mengatakan bahwa aku berbeda dengan Bapak. Aku Jusuf Kalla, anak laki-laki yang telah melihat perjalan seorang perempuan untuk sembuh dari sakit hatinya. Dan, tak pernah ingin kubuat penyebab sakit hati seperti itu. Amat tak ingin.” (Alberthiene Endah, 2013: 313)
Inilah yang membuat Jusuf memiliki harapan besar untuk
menjadikan Mufidah sebagai pendamping hidupnya. Meskipun ia berasal
dari keluarga dengan latar belakang poligami, tapi bagi Jusuf, itu cukup
dijadikan pelajaran berharga. Dari situ ia paham betapa sakitnya
perempuan yang dimadu dan betapa susahnya ia untuk bangkit dari
keterpurukannya.
Dalam novel ini juga digambarkan bagaimana harapan besar Haji
Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usahanya. Sejak awal Jusuf sudah
98
ditempa dengan kiat-kiat memajukan usaha. Ia banyak belajar dari Bapak
dan karyawan bapaknya.
“Memasuki paruh kedua dasawarsa ’60-an, rencana Bapak melebarkan sayap usaha mulai teralisasi satu demi satu. Payung usahanya NV Hadji Kalla, terus menguat. NV kependekan dari Namlozee Venonschap atau perseroan terbatas. Lewat payung inilah kreativitas Bapak membesarkan usaha tak kenal letih. Emma mengatakan setelah kondisi ekonomi tanag air berangsur-angsur membaik, bapak tak mau membuang kesempatan untuk membenahi keadaan. Jaringan usahanya mulai merambah bidang produksi tekstil dan konstruksi. Bshksn, Bapak juga telh mulai membicarakan mimpinya. Ia ingin menjemput kesempatan menjadi diler mobil untuk wilayahSulawesi Selatan. Bila mungkin, lebih luas lagi. Industri otomotif segera berkembang di Indonesia, kata Bapak. Kemajuan negara dan peningkatan ekonomi akan menciptakan kebutuhan yang tinggi pada kendaraan bermotor. Aku mengamini semua harapan Bapak. Aku tahu semua harapanya berporos pada satu hal: kesejahtraan keluarga. Selain juga, segenap karyawan tentu saja.” (Alberthiene Endah, 2013: 31-312)
5. Pengabdian
Dalam KBBI, pengabdian berasal dari akar kata dasar abdi yang
artinya hamba atau orang bawahan. Pengabdian berarti suatu proses,
perbuatan, atau cara mengabdi (Moeliono, 1990, 1-2). Pengabdian
merupakan perbuatan yang bertujuan untuk menghambakan diri, patuh,
dan taat kepada sesuatu atau seseorang yang kita anggap tinggi, bernilai,
berharga, atau yang lebih kita pentingkan. Pengabdian dapat diartikan
pelaksanaan tugas dengan kesungguhan hati atau secara ikhlas atas
dasar keyakinan atau perwujudan rasa cinta, kasih sayang, tanggung
jawab, dan lain-lain. Pengabdian manusia dapat bermacam-macam,
antara lain pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan,
99
dan lain-lain (Sulaeman, 1998: 93). Timbulnya suatu pengabdian berawal
dari rasa percaya akan sesuatu hal untuk mengabdi. Kepercayaan yang
demikian akan menimbulkan ketulusan sikap dalam pengabdian. Setiap
pengabdian akan menuntut pengorbanan, baik besar maupun kecil.
Pengabdian manusia dapat bermacam-macam, antara lain
pengabdian terhadap keluarga, masyarakat, negara, Tuhan, alam, dan
lain-lain (Sulaeman, 1998:93).
Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang
menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap
keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam
memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga
yang kedua. Gambaran tentang pengabdian ini dapat disimak dalam
kutipan berikut.
“Aku berusaha membangun perasaan yang baik di rumah. Kulayangkan pikiranku kepada banyak anak yang malang. Yang kehilangan orang tua. Yang berada dalam kehidupan yang tak tentu arah. Aku masih jauh lebih beruntung. Orang tuaku lengkap walau ada peristiwa yang harus meninggalkan jejak luka. Tetapi pada 1958 adalah masa aku berjuang keras untuk mengartikan apa itu ketentraman. Ya. Apa arti ketentraman.rumah kami hening tanpa ada keributan. Kami juga berlaku sama sehari-hari. Tak ada yang meledakkan emosi. Kami, Emma, aku, dan saudara-saudaraku sepertinya telah sembuh dari guncangan setahun sebelumnya dan mulai bisa menitihari tanpa persoalan berarti." (Alberthiene Endah, 2013: 69) Selain pengabdian Jusuf, dalam novel ini digambarkan juga
pengabdian yang ditunjukan oleh Athirah kepada suaminya. Meskipun ia
dimadu, tetapi penghargaan kepada suaminya tetap ia jalankan dengan
ikhlas. Tentang gambaran ini dapat di simak dalam kutipan berikut.
100
“Pertemuanku dengan Bapak seperti sebuah lembaran baru menuju fase lanjutan dari kehidupan kami yang diwarnai awan poligami. Tidak hanya siang itu ternyata Bapak berkunjung. Aku kemudian mulai melihatnya terbiasa datang pada siang hari dan lama-lama baring di kamar Emma. Nur mengatakan Bapak sedang banyak pikiran. Aku percaya, sebabkulihat letih di wajahnya. Emma tak banyak bicara tentang Bapak. Ia menambahkan ritual baru dengan menghidangkan santap siang khusus bagi Bapak, sebuah kebiasaan yang telah menghilang selama beberapa tahun.” (Alberthiene Endah, 2013: 259) Masalah pengabdian juga ditunjukkan oleh Mufidah. Sebagai
bentuk tanggung jawab kepada keluarganya, Mufidah memilih kuliah
sambil bekerja demi meringankan beban keuangan orang tuanya. Tentang
pengabdian Mufidah ini tergambar dalam kutipan berikut.
“Sebuah info muncul lagi. Mufidah mengambil kuliah sore. Sebab, pagi hari ia bekerja di BNI ’46. Cekatan sekali Mufidah. Memang kudengar bank terkemuka itu membuka banyak lowongan pekerjaan. Gadis itu rupanya memilih untuk memanfaatkan kesempatan itu sambil terus melanjutkan pendidikannya. Aku tahu, Mufidah pasti ingin membantu perekonomian keluarganya.” (Alberthiene Endah, 2013: 291)
6. Hal-hal Transendental
Dalam KBBI, transendental berarti menonjolkan hal-hal yang
bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan abstrak (Moeliono,
1990:959). Hal-hal transendental adalah hal-hal di dalam diri manusia
yang bersifat kerohanian, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari hal-hal yang
bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin dalam novel Athirah.
Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat pada kebiasaan
Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid Raya Makassar di jalan Andalas
101
nomor 2 yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya. Ia
membawa gelisa ibu dalam doa-doanya. Hal tersebut tergambar dalam
petikan berikut.
“Aku membawa gelisah Emma dalam shalatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Mataku terbang di permmukaan karpet berwarna hijau tua yang melapisi masjid besar itu. Masjid Raya, yang dibangun menjadi lebih besar oleh campur tangan Bapak dan kawan-kawan pedagang. Aku selalu merasakan mesjid ini bagai rumahku. Karpet hijau tua itu bagai kerabat yang mengenal baik diriku. Kumaki diriku yang kurang cakap menebak isi kepala Emma. Apa yang bisa kuterjemahkan dari keterangannya?” (Alberthiene Endah, 2013: 16)
Dari kutipan tersebut tergambar jelas tentang ketergantungan
hamba dengan penciptanya. Seluruh masalah Jusuf bermuara pada doa-
doa yang ia panjatkan dalam shalatnya. Di situlah tumpuan terakhir
segalah permasalahan hidup dilabuhkan.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam novel
Athirah, terefleksikan tentang kehidupan sosial budaya masyarakat.
Beberapa diantara kehidupan sosial budaya yang terefleksikan adalah
maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental.
Tidak hanya menyodorkan kenyataan yang ada dalam masyarakat saja
tetapi juga mengolahnya sesuai dengan pandangan-pandangannya.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
Pada bagian ini diuraikan pembahasan temuan yang diperoleh
dari hasil analisis data penelitian tentang refleksi kehidupan sosial budaya
masyarakat Bugis yang terdapat dalam novel “Athirah”. Berdasarkan hasil
102
analisis unsur intrinsik dari segi kuantitasnya, novel Athirah mempunyai
alur jamak (plot dan sub-sub plot) yaitu mengisahkan pengalaman hidup,
permasalahan, dan konflik yang dihadapi oleh lebih dari seorang tokoh.
Ada urutan peristiwa atau kejadian yang dihubungkan oleh hubungan
sebab akibat. Peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
peristiwa yang lainnya (Stanton dalam Nurgiyantoro, 1995: 119). Alur
utama dalam novel ini pusat penceritaannya terletak pada tokoh sentral,
yaitu Athirah. Sedangkan alur tambahan pada novel ini pusat
penceritaanya terletak pada tokoh bawahan, yaitu Jusuf, Mufidah, Haji
Kalla, Daeng Rahmat, Bu Mela, Pak Rudi, Abdullah, Abduh, dan Anwar.
Sedangkan dari segi kualitasnya, novel Athirah menggunakan alur
longgar, yaitu hubungan antar peristiwa dalam novel ini tidak erat benar
sehingga memiliki kemungkinan untuk disisipi alur lain.
Karakter dari masing-masing tokoh dalam novel Athira
digambarkan secara analitik yaitu pengarang menceritakan secara rinci
watak tokoh-tokohnya. Selain itu, penggambaran karakter tokoh juga
diungkapkan secara dramatik yaitu pengarang tidak secara langsung
menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan tokoh-
tokohnya melalui: pelukisan tempat dan lingkungan sang tokoh,
mengemukakan atau menampilkan dialog tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain, dan menceritakan perbuatan dan tingkah laku atau reaksi tokoh
terhadap suatu peristiwa (Semi, 1993:40).
103
Dalam novel Athirah , latar menginformasikan tentang situasi baik
tempat, waktu, maupun suasana cerita apa adanya (Semi 1993: 46). Latar
tempat yang digambarkan oleh pengarang dalam novel ini sebagian besar
bertempat di Makassar dan beberapa tempat lain di Bone, Bantimurung,
dan Sengkang. Latar waktu secara rinci diceritakan berawal dari tahun
1955 saat itu Athira melihat adanya gelagat perubahan pada suaminya
hingga berakhir pada saat Haji Kalla meninggal pada bulan april 1982.
Sedangkan latar suasana yang digambarkan pengarang dalam nove ini
adalah latar sosial budaya masyarakat Bugis yang majemuk, dengan
kondisi latar belakang pendidikan, profesi dan tingkat ekonomi yang
berbeda. Di sini latar berfungsi sebagai pendukung alur dan perwatakan.
Gambaran situasi yang tepat akan membantu memperjelas peristiwa yang
sedang di ceritakan.
Hubungan antara tema dan amanat dalam novel Athirah sangat
erat. Tema merupakan ide sentral dalam cerita sedangkan amanat adalah
penjelas ide tersebut (Semi, 1993: 42). Dalam novel Athirah memiliki tema
jamak, artinya dalam novel ini memiliki lebih dari satu tema. Tema dalam
novel ini terdiri dari satu tema mayor dan beberapa tema minor. Dengan
demikian amanat dalam novel ini hakikatnya merupakan penjelasan tema-
tema yang ada. Setiap tema memiliki pesan moral tersendiri dan itulah
yang menjadi amanat dalam novel ini.
Dengan pendekatan sosiologi sastra, penelitian terhadap novel
Athirah difokuskan pada masalah kehidupan sosial budaya masyarakat
104
Bugis yang terefleksikan dalam novel ini meliputi kematian, cinta, tragedi,
harapan, pengabdian, dan hal-hal transendental. Dari hasil analisis data
diungkapkan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak dapat diduga
kedatangannya. Penyebab terjadinya kematian pun bermacam-macam.
Kematian bisa terjadi karena usia yang sudah tua, dibunuh, kecelakaan,
ataupun karena penyakit. Oleh karena itu kita harus selalu siap untuk
menerima kematian ini (Sulaeman 1998:87).
Masalah cinta juga terefleksikan dalam novel Athirah. Kisah cinta
dua pasang tokoh yaitu kisah cinta Athirah dengan Haji Kalla dan kisah
cinta Mufidah dengan Jusuf cukup banyak memberi pesan moral. Cinta
merupakan salah satu permasalahan kehidupan yang sangat kompleks.
Hal ini terlihat dari banyaknya permasalahan-permasalahan hidup yang
berhubungan dengan cinta (Muhammad 1998: 29). Oleh karena itu, dalam
mencintai harus didasari dengan tulus dan ikhlas. sebab hanya dengan
ketulusan, cinta akan tetap kokoh. Ketulusan cinta yang diperakan oleh
Athirah kepada keluarganya membuat keluarga ini tetap eksis hingga
akhir hayatnya, meskipun keluarga ini dirundung dengan prahara
poligami. Demikian halnya ketulusan cinta yang diperagakan oleh Jusuf,
berkat pelajaran yang di dapat dari pengalaman orang tuanya ia dapat
mempertahankan keutuhan keluargnya.
Tragedi adalah masalah kehidupan yang juga tereflesikan dalam
novel Athirah. Setidaknya ada tiga tragedi yang paling mengesankan
dalam novel ini yaitu saat Haji Kalla memilih untuk berpoligami, saat
105
perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-anaknya terbalik saat pulang
berwisata dari sebuah pulau kecil yang tidak jauh dari Pantai Losari, dan
tragedi penolakan yang diterima Jusuf ketika pertama kali
mengungkapkan perasaanya kepada Mufidah. Respon penulis terhadap
tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang menyedihkan
dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa seseorang akan
memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu, dalam menyikapi
tragedi harus dibarengi dengan keimanan agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan (Sulaeman: 1989: 66).
Masalah harapan, adalah hal yang juga terefleksikan dalam novel
Athirah. Harapan besar Jusuf untuk menjadikan Mufidah sebagai
pendamping hidupnya harus melewati perjuangan yang sangat luar biasa.
Demikan halnya harapan Haji Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan
usahanya. Lebih awal Jusuf sudah ditempa dengan kiat-kiat memajukan
usaha. Setiap manusia selalu memiliki harapan yang terbaik untuk dirinya.
Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada harapan, yang
menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu, manusia harus
berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya. Setelah ikhtiarnya
sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang penentu takdir
(Sulaeman: 1989: 82).
Dalam novel Athirah, masalah pengabdian terefleksikan pada
pengabdianJusuf mendampingi ibu dalam memimpin saudara-saudaranya
karena ayahnya memilih untuk berpoligami adalah sebuah tanggung
106
jawab besar. Hal ini sudah dilakoni Jusuf meskipun usianya pada saat itu
baru 14 tahun, usia yang masih tergolong anak-anak. Inilah awal Jusuf
ditempa dengan sikap tanggung jawab yang besar. Demikian halnya
pengabdian Athirah kepada suaminya. Meskipun ia dimadu, tetapi
pengabdian dan penghargaan kepada suaminya tetap dijalankan dengan
ikhlas. Pengabdian terhadap keluarga juga dilakukan Mufidah dalam
membantu perekonomian keluarganya dengan kuliah sambil bekerja.
Masalah pengabdian memang membutuhkan pengorbanan. Oleh karena
itu, pengabdian harus dilaksanakan secara penuh dan ikhlas. Pengabdian
yang tidak dilakukan secara penuh dan ikhlas akan membuat
kekecewaan (Sulaeman: 1989: 93).
Dalam novel Athirah juga terrefleksikan hal-hal transendental.
Secara bahasa dalam istilah filsafat transendental berarti suatu yang tidak
dialami tapi dapat diketahui, suatu pengalaman yang terbebas pada
fenomena, namun berada dalam gugusan pengetahuan seseorang.
Menonjolkan hal-hal yang bersifat kerohanian, sukar dipahami, gaib, dan
abstrak (Moeliono, 1990: 959). Dalam istilah agama diartikan suatu
pengalaman mistik atau supernatural karenanya berada diluar jangkauan
dunia materi. Komunikasi transendental memang tidak pernah dibahas
secara luas, cukup dikatakan bahwa komunikasi transendental adalah
komunikasi antara manusia dengan Tuhan, dan karenanya masuk dalam
bidang agama. Kepercayaan terhadap Tuhan telah membantu memberi
semangat manusia dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Menerima
107
nasib yang tidak baik, bahkan berusaha mengatasi kesukaran-kesukaran
yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Dalam kehidupan, manusia
tidak terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian.
108
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Setelah melakukan analisis terhadap novel Athirah karya
Alberthiene Endah, maka penulis dapat merumuskan kesimpulan bahwa
berdasarkan strukturnya, novel Athirah memperlihatkan adanya hubungan
antarunsur yang membangun karya sastra dari dalam karya sastra
tersebut. Rangkaian kejadian dalam novel Athirah yang disusun
menggunakan alur kronologis dan pada tahap-tahap tertentu cerita
disusun dengan sorot balik (flashback) membutuhkan para pelaku yang
terlibat di dalamnya. Peristiwa demi peristiwa yang dialami tokoh-tokoh
yang ada dalam novel Athirah ini membentuk sebuah jalinan peristiwa
sehingga terbentuklah alur cerita. Di sinilah letak keterjalinan antara alur
dan penokohan karena alur tidak akan terbentuk tanpa adanya tokoh yang
diceritakan dan bergerak dalam rangkaian ceritanya. Dalam novel
Athirah ini, latar tempat mempunyai peran penting dalam penyusunan alur
cerita. Alur cerita terbentuk karena peristiwa-peristiwa yang dialami oleh
tokoh-tokohnya dan tokoh-tokoh itu dihubungkan oleh latar tempat awal
mereka bertemu yaitu di SMA Negeri 3 Makassar. Dari sekolah inilah
peristiwa demi peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokohnya diceritakan. Di
sinilah letak keterjalinan antara latar dengan alur dan penokohan. Tema
yang merupakan gagasan pengarang diwujudkan dalam jalinan alur,
109
latar, dan penokohan sehingga amanat yang ingin disampaikan
pengarang dapat sampai kepada pembaca. Jalinan peristiwa yang
terbentuk tersebut dijadikan langkah awal untuk pembahasan selanjutnya
pada analisis sosiologi sastra.
Sebagai sebuah karya sastra, novel Athirah merupakan refleksi
kehidupan, yaitu pantulan respon pengarang tentang kehidupan sosial
budaya. Latar sosial budaya dalam novel ini adalah kehidupan sosial
budaya masyarakat Bugis. Kehidupan sosial budaya yang tercermin
dalam novel ini meliputi maut, cinta, tragedi, harapan, pengabdian, dan
hal-hal transendental. Persoalan maut dilukiskan dalam novel Athirah ini
dengan dua peristiwa yaitu saat peristiwa kematian Athirah dan kemudian
disusul oleh sang suami, Haji Kalla yang hanya berselang tiga bulan dari
kematian Athirah. Permasalahan cinta yang terefleksikan dalam novel
Athirah ini adalah cinta yang diartikan sebagai keinginan untuk berkorban,
melindungi, serta mengayomi orang yang dicintai. Perwujudan cinta dalam
bentuk persaudaraan yang saling mendukung dan membantu
sebagaimana kisah cinta Jusuf dan Mufidah. Tragedi yang terlukis alam
novel Athirah ini di antaranya adalah tragedi yang menimpa Athirah dan
anak-anak atas perkawinan kedua yang dilakukan oleh suaminya. Tragedi
selanjutnya adalah saat perahu yang ditumpangi Athirah dan anak-
anaknya terbalik saat pulang berwisata dari sebuah pulau kecil tidak jauh
dari Pantai Losari. Kejadian itu membuat panik Jusuf. Respon penulis
terhadap tragedi adalah bahwa tragedi adalah suatu kejadian yang
110
menyedihkan dan tidak dapat dihindarkan. Tragedi yang menimpa
seseorang akan memengaruhi kondisi kejiwaannya. Oleh karena itu,
dalam menyikapi tragedi harus betul-betul dibarengi dengan keimanan
agar tidak tejadi hal-hal yang tidak diinginkan. Harapan yang dimiliki oleh
manusia dilukiskan dalam novel Athirah lewat harapan para tokohnya. Di
antaranya adalah harapan Jusuf yang sangat besar untuk menjadikan
Mufidah sebagai pendamping hidup. Selanjutnya adalah harapan Haji
Kalla kepada Jusuf untuk meneruskan usaha niaga yang telah dirintis
dengan susah payah. bahwa setiap manusia selalu memiliki harapan yang
terbaik untuk dirinya. Namun, kemampuan manusia hanya terbatas pada
harapan, yang menjadi penentu adalah Allah, Swt. Oleh karena itu,
manusia harus berupaya maksimal untuk mewujudkan harapannya.
Setelah ikhtiarnya sempurna baru menyerahkan segalanya kepada Sang
penentu takdir. Dalam novel Athirah tercermin beberapa peristiwa yang
menggambarkan pengabdian manusia. Pengabdian terhadap terhadap
keluarga yang diperagakan oleh Jusuf mendampingi ibunya dalam
memimpin saudara-saudaranya karena ayahnya memiliki rumah tangga
yang kedua. Selain itu, pengabdian yang tulus juga di tunjukkan oleh
Athirah kepada suaminya meskipun dalam kondisi dimadu. Sedangkan
hal-hal transendental yang terefleksi dalam novel ini bahwa manusia tidak
terlepas dari hal-hal yang bersifat kerohanian. Hal ini juga tercermin
dalam novel Athirah. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya terlihat
pada kebiasaan Haji Kalla dan Jusuf melaksanakan Shalat di Mesjid
111
Raya, bahkan oleh Jusuf menganggap bahwa Masjid Raya adalah rumah
keduanya. Di tempat ini ia selalu mengadu dan menumpahkan doa-
doanya.
B. Saran
Hal-hal yang perlu penulis sampaikan sebagai saran terhadap
pembaca antara lain:
1. Novel Athirah adalah nove berlatar belakang lokal Sulawesi Selatan
yang ditulis dan diterbitkan oleh penerbit nasional, ini perlu dibaca
karena novel ini mengetengahkan bagaimana besarnya pengaruh
seorang ibu dalam membentuk karakter anak. Aneka nasihat
kehidupan yang juga disajikan dalam buku ini.
2. Ada baiknya dilakukan penelitian lanjutan terhadap novel Athirah,
tentunya dengan teori, pendekatan, dan metode yang berbeda
sehingga dapat memberikan variasi dalam khasanah penelitian sastra
Indonesia.
3. Novel ini sarat dengan nilai pendidikan atau edukasi sehingga
penelitian lanjutan terhadap novel ini disarankan menggunakan
pendekatan yang berkaitan dengan nilai edukasi.
112
DAFTAR PUSTAKA
Andriani Yelmi. 2011. Perubahan Sosial dalam Novel Negeri Perempuan Karya Wisran Hadi. Padang: Universitas Andalas.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endah, Alberthiene. 2013. Athirah. Jakarta: Noura Books. Esten, Mursal. 1989. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah.
Bandung: Angkasa. Faruk, HT. 1994. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jassin, HB. 1985. Tifa Penyiar dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.
Junaso, Shintya. 2008. Refleksi Kaum Marginal dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata. Semarang: Balai Bahasa Jawa Tengah.
Junus, Umar. 1983. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia. Luxemburg, J van. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.
Moeliono, Anton M dkk 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Moleong, L.J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya. Muhammad, Abdul Kadir. 1988. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Fajar Agung.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yokyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pramudya, Ardiyonsih. 2012. Problem Sosial Novel Orang-orang Proyek
Karya Amad Tohari. Surakarta: Univesitas Sebelas Maret. Santosa, Puji. 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Sastra.
Bandung: Angkasa.
113
113
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Semi, M. Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa.
Soekanto, Sarjono. 1981. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Indonesia.
Subroto, 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sudjiman, Panutti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sulaeman, Munandar. 1998. Ilmu Budaya Dasar: Suatu Pengantar.
Bandung: Refika Aditama. Sumardjo, Jakob. 1982. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Yogyakarta:
Nur Cahaya. Syani, Abdul. 1993. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Jakarta:
Pustaka Jaya. Tarigan, Henry G. 1998. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wallek, Rene & Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: UNS Press.
115
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
SINOPSIS NOVEL “ATHIRAH”
ATHIRAH
Berawal sejak tahun 1955, sebuah percakapan sederhana yang
membawa perubahan besar dalam hidup kami. Itulah kali pertama aku
(Jusuf) melihat ibuku (Athirah) disakiti dunia. Ada perasaan tidak enak
yang hadir sebagai pertanda. Ibuku, perempuan paling tentram yang aku
kenal, mendadak mengalirkan gelombang gelisah. “Ayahmu (Haji Kalla)
aneh belakangan ini, Jusuf. Kau lihat gerak-geriknya. Ia menyisir
rambutnya hampir setiap jam.Memakai krim rambut berulang-ulang hingga
wanginya mencolok. Sering keluar tanpa kopiah.” Aku tercenung awal
percakapan yang aku belum kumengerti arahnya. Selanjutnya kulihat
wajahnya membatu. Matanya lurus terhunus ke depan. Aku mengenal hati
emma. Ia tak pernah membiarkan kulitnya membiasakan emosi sedikit
pun. Ini adalah kali pertama aku melihat rona keberatan di wajahnya.
“Jika ada perubahan bapak, apakah itu sesuatu yang perlu
dikhawatirkan, Emma (Athirah)?” Aku bereaksi sopan. Kupikir, ada hal
yang perlu kupahami dari perempuan. Bagaimana mereka mengelolah
116
kegelisahan. Emma tak bicara. Beberapa detik kemudian wajahnya
melembut.
Percakapan dengan Emma siang itu adalah awal dari perjalan
batinyang tak pernah kuduga akan datang pada hidupku. Aku membawa
gelisa Emma dalam salatku. Aku tafakkur berlama-lama di masjid. Aku tak
pernah membayangkan ada sesuatu yang buruk di rumahku. Seharusnya
rumahku adalah pelabuhan damai. Tak pernah ada penjelasan dari Emma
tentang apa yang ia gelisahkansetelah percakapan yang membingungkan
aku.
Banyak di antara kita, khususnya orang Bugis Makassar
mengenal sosok Athirah hanya sebagai ibu dari Pak Jusuf Kalla, di mana
padanya beliau mengabadaikan namanya di salah satu sekolah yang
terkemuka di kota Makassar. Dari bapak, Pak Jusuf Kalla belajar tentang
perdagangan, kegigihan, Kemandirian, dan kejujuran. Tapi banyak yang
tidak pernah tau dari Emma pak Jusuf Kalla belajar arti sebuah kesetiaan,
keikhlasan dan rasa tanggung jawab.
Sosok seorang ibu sangat tegar mengetahui suaminya menikah
lagi dan memilih tinggal di rumah keduanya. Mengharuskan dia harus
lebih mandiri, mengasuh ke sepuluh anaknya menjadi ibu sekaligus
sebagai bapak untuk mereka. Mengingat bapaknya telah memiliki
keluarga baru lagi.
117
Berbagai gejolak rumah tangga yang harus dihadapinya, bersama
Pak Jusuf tanggung jawab dibebankan oleh bapaknya menjaga Emma
dan adik-adiknya. Pada umur masih sangat mudahnya tugas itu harus dia
jalankan yaitu di umur 16 tahun. Hanya dengan Jusuf, Emma Athirah
menentramkan keadaan rumah bahwa semua baik-baik saja ada bapak
atau tak ada bapak. Emma Athirah sanggat tangguh, keadaan
mengharuskan beliau meredam emosi hati melanjutkan hidup dengan
separuh hati yang hilang.
Emma Athirah dengan pengenalannya tentang kain sutra yang
dia dapat dari Emma Kerra yaitu ibunya dari kecil, mewujudkan impiannya
dengan berbisnis kain sutra. Rumah di Jalan Andalas diubahnya menjadi
butik kain sutra. Tak ada papan terpasang di depan rumah. Semuanya
dari mulut ke mulut ibu Athirah mengenal beberapa orang penting di kota
Makassar dari orang pemerintahan sampai ibu-ibu pengajian dan
pengusaha.
Selain itu pula Emma Athirah mengeluti bisnis angkutan Cahaya
Bone, Bisnis berjalan dengan baik di balik gejolak rumah tangganya.
Tuhan merahmati segala usahanya, semua bisnis yang dia jalankan
mampu mengobati segala sakit hatinya, mampu membantu menopang
ekonomi keluarganya.
Jusuf remaja tumbuh di tengah gejolak rumah tangga orang
tuanya penuh badai, tumbuh di tengah poligami yang dilakukan bapaknya,
118
tumbuh di tengah gejolak hati Emmanya sangat perih, mau tidak mau
sangat mempengerahui untuk mengenal kawan wanita seusianya.
Novel ini juga meceritakan kisah awal pertemuan Pak Jusuf dan
Ibu Mufidah. Yang dibumbui oleh aroma asmara anak muda. Pertemuan
awal dan pegejaran Pak Jusuf sungguh membuat pembaca tersenyum
senyum sendiri hehehe. Semua berawal di bangku SMA 3 Makasar.
Sosok seorang begitu pendiam, dingin dan orangnya sangat
halus. Seperti itulah Mufidah di kenal. Belum pernah malamku berjalan
dengan kegelisahan yang asing. setelah Emma yang sangat merana yang
membuat sulit tidurku. Memikirkan Mufidah, malamku bagai di ayun-ayun,
Mufidah... Mufidah aku harus mengenalmu. Lebih cepat lebih baik.
Tidak mudah mendapatkan cinta Mufidah mengingat Jusuf
berasal dari orang tua yang berpoligami, dan Mufidah telah ada calon dari
orang tua, tapi Jusuf tidak mundur sekalipun, “kau tidak akan melihat
indahnya puncak jika Kau tak melewati beberapa tanjakan”. Sabar!
Hampir tiap pulang sekolah menemani Mufidah pulang tidak dengan naik
skuternya, karena Mufidah tidak ingin naik skuter untuk diantar pulang,
jadinya di tengah panas matahari Makassar Jusuf mendorong skuternya
dan Mufidah berjalan di sisinya, begitu seterusnya.
Hari berganti hari waktu berlalu begitu cepat, Mufidah tidak
sekalipun menunjukkan perasaannya ke Jusuf. Ketegasan Pak Jusuf
Kalla terlihat dari pengambilan-pengambilan keputusan. Ternyata dalam
119
urusan hati pun demikian . Akhir dari pengejarannya, suatu sore Jusuf
bertandang ke rumah Mufidah di berinya dia kartu hijau dan merah. “Ida
jika engkau memilih kartu hijau itu kau mencintaiku dan kartu merah kau
menolakku dan tidak mencintaiku. Mufidah diam terpaku. Lama dia
memandang kartu itu.aku bersabar. kemudian perlahan tangannya
mengambil kartu hijau. membawanya, dan menghilang di kamar. Mufidah
menerima cinta Jusuf.
Yang cukup mengelikan Pak Jusuf kalla Menikah dengan
memakai baju adat Makassar dan Ibu Mufidah mengenakan baju Minang.
Satu yang tidak biasakan? Selama kebersamaan Mufidah dan Emma ia
banyak belajar tentang cara berumah tangga, sementara Emma sendiri
merasa sangat terhibur dengan kehadiran Mufidah sebagai anggota
keluarga yang baru. Sementara itu, diluar dugaan Bapak (H. Kalla) juga
cocok dengan Mufidah dalam berbagi rasa. Kehadiran Mufidah, diam-
diam menjadi tempat curhat Bapak tentang keluarga keduanya. Pesan
dari Bapak Jusuf (H. Kalla), jaga Mufidah dengan baik, jangan engkau
lakukan apa yang telah aku lakukan kepada Emma. Sungguh penyesalan
itu di bawa Pak Kalla sampai Emma Athirah harus duluan meniggalkannya
dari dunia setelah menjalani operasi karena komplikasi penyakit diabetes
dan sirosis atau pengerasan hati yang dideritanya.
Sejak sepeninggalan Athirah, Pak Haji Kalla seakan tak semangat
lagi menjalani hari-harinya. Ia betul-betul larut dalam suasana duka yang
mendalam. Bahkan, banyak orang mengatakan bahwa cahaya di wajah
120
Pak Haji Kalla telah hilang. Jiwa Pak Haji Kalla telah mati. Ia berkabung
bahkan nyaris tanpa jeda. Perasaan kehilangan yang mendala itu jugalah
yang mengantar Pak Haji Kalla menemui ajalnya. Hanya selang tiga bulan
kepergian istrinya tepat 100 hari, bapak menyusulnya.
Dari cerita Athirah ini dapat ditarik benang merah bahwa harta
benda mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhan harian, tapi tidak dengan
menjaga perasaan masing-masing. Pelajaran kehidupan didapat dalam
rumah dan pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dari bangku sekolah. Tapi,
jauh lebih sempurna hidup jika belajar dari kehidupan, yaitu sabar, ikhlas,
bersyukur,kesetiaan, dan kejujuran lebih didalami.
Lampiran 2
116
Lampiran 2
114
RIWAYAT HIDUP
AKMAL, lahir di Sinjai, 21 Januari 1976.
Anak pertama dari pasangan Muh. Arif dan
Hudayah ini, pertama kali mengenyam
pendidikan formal di SD Negeri 107 Kaloling
(1982-1988), pendidikan menegah ditempuh di
SMP Negeri Tondong (1988-1991). Jenjang
pendidikan berikutnya di SMA Negeri Tondong
Kabupaten Sinjai (1991-1994). Selang dua tahun
kemudian tepatnya tahun 1996 ia diterima sebagai mahasiswa pada
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Ujung Pandang (sekarang
Universitas Negeri Makassar) dan selesai pada tahun 2001.
Sejak tahun 2005 ia diamanatkan sebagai tenaga pendidik di
lingkup Dinas Pendidikan Kabupaten Bulukumba. Hingga saat ini, ia masih
aktif sebagai tenaga pendidik pada SMA Negeri 17 Bulukumba. Untuk
menambah dan mengembangkan wawasan, sejak tahun 2012 mendaftar
sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Makassar, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tahun
2014, gelar Magister Pendidikan diperoleh dengan menyusun tesis yang
berjudul “Refleksi Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bugis dalam
Novel “Athirah” Karya Alberthiene Endah(Sebuah Telaah Sosiologi Sastra).