refluks esofagal
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
TUGAS THT-KL
RSUD PANDANARANG BOYOLALI
Nama : Erma Malindha
NIM : G99141043
INFENTARISASI KELUHAN THT-KL
Keluhan Diagnosis
Telinga - Benda/hewan masuk ke telinga- Keluar cairan dari liang telinga- Berkurangnya kemampuan
mendengar- Nyeri telinga- Telinga berdenging- Pusing berputar
- Corpal- OMA- OME- OMSK
Hidung - Hidung tersumbat- Gangguan penghidu- Bersin-bersin- Mimisan- Benda asing di hidung- Nyeri di daerah wajah
- Rhinitis alergika- Septum deviasi- Polip- Corpal- Sinusitis
Tenggorokan - Nyeri tenggorok- Nyeri menelan- Sulit menelan- Dahak di tenggorokan- Suara serak- Batuk
- Pharyngitis- Tonsilpharyngitis- Laryngitis- Edema laryng- Faringitis- Corpal- Masa mediastinum- Laryngopharyngeal
Reflux (LPR)- GERD
Kepala Leher - Benjolan di leher - Cancer
1
- Sesak napas- Leher seperti tercekik
- Sumbatan jalan napas- LPR
ANATOMI LARYNGOPHARYNX
Gambar 1. Anatomi Pharynx
Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas cartilago epiglottica
sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea, kemudian akan melanjutkan diri ke
dalam oesophagus. Laryngopharynx disebut juga sebagai hypopharynx. Di sebelah
anterior dari laryngopharynx dijumpai aditus laryngis, bagian dorsal dari cartilago
arytaenoidea dan cartilago cricoidea. Sedang di sebelah posterior laryngopharynx
berbatasan dengan corpus vertebrae cervicalis ke - 4 sampai ke - 6.
2
Recessus piriformis atau fossa piriformis adalah bagian dari laryngopharynx
yang terletak di kanan dan kin dari aditus laryngis. Fossa piriformis ini terletak di
antara membrana hyothyreoidea dan cartilago thyreoidea di sebelah lateral sedangkan
di sebelah medial terletak di antara cartilago cricoidea dan plica aryepiglottica serta
cartilago arytaenoidea. Cabang-cabang dari n. laryngeus internus dan a/v. laryngea
superior berada di bawah membrana mucosa dari fossa piriformis ini.Oleh karena
fossa piriformis ini berbentuk kantong, maka corpus alienum dapat tertahan di sini.
Gambar 2. Laryngopharynx
3
INNERVASI
Serabut-serabut motoris dan sensoris yang menuju ke pharynx berasal
dari plexus pharyngeus. Plexus pharyngeus ini terutama terletak di
m.constrictor pharyngis medius yang dibentuk oleh rami pharyngei nervi vagi
dan nervi glossopharyngei, bersama-sama dengan serabut-serabut saraf simpatis
cabang dari ganglion cervicale superius.
Serabut-serabut motoris di dalam plexus pharyngeus ini mendapat
cabang-cabang dari n. accessorius tetapi serabut-serabut ini kemudian akan
bergabung dengan n. vagus untuk akhirnya akan terdistribusi ke seluruh otot-
otot pharynx dan palatum molle, kecuali m. stylopharyngeus diinnervasi oleh n.
IX dan m. tensor veil palatini diinnervasi oleh n. V.
Serabut-serabut sensoris di dalam plexus pharyngeus ini berasal dari
cabang-cabang n. glossopharyngeus dan mereka akan terdistribusi ke sebagian
besar dari ketiga bagian pharynx.
Serabut-serabut sensoris lainnya yang mencapai pharynx berasal dari
ramus pharyngeus cabang dari ganglion pterygopalatinum untuk nasopharynx,
ramus tonsillaris cabang dari n. glossopharyngeus untuk orophaynx dan ramus
laryngeus internus dari n. vagus untuk laryngopharynx.
VASCULARISASI
Pharynx mendapat darah cabang dari:
A. pharyngea ascendens cabang dari a. carotis externa
A. thyreoidea superior cabang dari a. carotis externa.
Plexus venosus yang terdapat di pharynx berada di bawah membrana
mucosa dan di bagian belakang dari facies externa pharynx. Vasa lymphatica
yang berasal dari pharynx akan bermuara ke dalam nodus lymphaticus
cervicalis profundus.
4
LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX (LPR)
A. Definisi Laryngopharyngeal Reflux (LPR)
Laryngopharyngeal Reflux (LPR) / refluks laringofaring adalah aliran
balik cairan lambung ke laring, faring, trakea dan bronkus (O’Rourke and
Postma, 2002). Istilah refluks laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh
majalah Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang
dikutip oleh Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan
granulasi pada laring akibat adanya paparan cairan asam lambung. Refluks
laringofaring disebut juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux,
gastroesophagopharyngeal reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux
disease (Koufman et al., 2002; Domer et al., 2013).
Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif
intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks
fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh
distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch
reseptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang
dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak,
eferen vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic
inhibitory interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk
membebaskan udara yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara
independen dari proses menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah
kontraksi dari sfingter bawah esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi
pada postprandial dan posisi upright (Roman et al., 2012; Sharma and Anderson,
2013).
5
B. Komponen refluks
Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di
daerah laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan
asam telah diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang
berhubungan erat dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada
hewan secara in vitro menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan
trauma pada sel-sel laring sampai pH 6. (Sharma and Anderson, 2013).
Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas
dari refluks faringeal berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada orang
normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan
cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan
lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring (Sharma and Anderson,
2013).
C. Mekanisme Proteksi
Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter
bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya
gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus (Ford,
2005). Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik
antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu
memasukkan bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta
mencegah kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah
esofagus mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat.
Tekanan sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon.
Kemampuan sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer
disebabkan karena adanya aktifitas otot polos intrinsik (Ford, 2005).
6
Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan
sfingter bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat
membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam
meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa
adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter
bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam
menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam
mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi
perdebatan yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan
kontraksi sfingter bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin
menyebabkan penurunan sebesar 80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan
sfingter basal dapat dipengaruhi oleh bahan makanan yang masuk.
Pengasaman lambung dan makanan yang mengandung protein akan
meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan makanan
berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus (Ford, 2005).
Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation disingkat TLESR
merupakan mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR
terjadi akibat adanya penurunan mendadak tekanan sfingter esofagus
bagian bawah yang tidak berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik.
Pada saat terjadi penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi
episode refluks meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus
oleh mekanisme frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun
oleh mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat
pengaturan dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang
mengatur TLESR. Distensi abdomen (post prandial atau karena
pengosongan lambung yang abnormal atau pada saat menelan udara)
merupakan stimulus TLESR. Posisi yang menyebabkan letak
gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan udara di
7
lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang
mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan,
ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang
hiperosmolar dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing
( Lipan, Reidenberg & Laitmann 2006; Sharma and Andersson 2013).
Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter
bawah esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah,
(2) relaksasi sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan
dan (3) peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau
kombinasi antara (1) dan (2) (Lipan et al, 2006; Reesand Belafsky, 2008).
Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang
terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan
germinativum. Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam
adalah pembersihan zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi
jaringan esofagus sebagai fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri
dari pre epitel, epitel dan post epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan
di permukaan berupa mukus dan lapisan cairan yang terdiri dari ion
bikarbonat yang berfungsi membuat suasana menjadi basa. Lapisan pertahanan
pre epitel esofagus relatif lebih lemah dibandingkan pada lambung maupun
duodenum. Lapisan epitel berada di apical dari membran dan kompleks
junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion hidrogen dari lumen ke
intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks junction akan
mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+ sehingga
menyebabkan dilatasi dari intercelluler space. Pertahanan pada post epitel
berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3-
didalam sel dan intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion
HCO3- . Ion Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar
tempat di basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar
8
ke sel cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan
diperbaiki melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh
hormon epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit
setelah terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam (Samuels et al., 2008).
Didalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa
carbonic anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan
ekstrasel esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus
akan mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk
menetralisir asam lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik
anhidrase akan menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator
isoenzym yang berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan
serta 4 jenis karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi
dari karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang
sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung
sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan
normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik
anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada
keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang
signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase
di epitel komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda
vokalis dan komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks
asam lambung ke laring, mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada
komisura posterior yang akan meningkat untuk menghindari kerusakan epitel
(Koufman et al. 2002; Ford 2005).
Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil
serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan
utama terhadap terjadinya refluks laringofaring (Lipan et al., 2006).
Tekanan sfingter atas esofagus ini meningkat bila terjadi stimulasi faring,
9
distensi esofagus dan intraesophageal infusion melalui jalur vagal eferen.
Keadaan lain yang dapat meningkatkan tekanan sfingter atas esofagus yaitu
saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal breathing dan saat melakukan valsava
( Lipan et al., 2006).
Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat
deglutisi, ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat
terjadinya hambatan pada lower motor neuron di batang otak yang
mempersarafi sfingter atas esofagus yang dibantu oleh posisi elevasi laring
kearah anterosuperior (Lipan etal., 2006).
C. Epidemiologi
Dari population based study tentang GERD yang dikutip oleh Qadeer et al.
ditemukan prevalensi dari gejala yang berhubungan dengan refluks laringofaring
antar 15% sampai 20%. Dan diperkirakan hampir 15% dari pasien yang
mengunjungi dokter spesialis THT karena manifestasi dari refluks
laringofaring ( Qadeer et al, 2005).
Dari penelitian Rees dan Belafsky (2008) didapatkan rata-rata umur dari
pasien dengan refluks laringofaring 50 tahun, dimana 73% adalah wanita, nilai
rata-rata RFS 11,5±5,2 dan nilai rata-rata RSI 19,3±8,9. Carrau et al. (2004)
mendapatkan rata-rata umur pasien dengan refluks laringofaring 48 tahun
dimana 66,7% adalah wanita. Belafsky et al. (2002) mendapatkan
rata-rata umur penderita refluks laringofaring 57 tahun, dimana 56% adalah
pria, rata-rata nilai RSI 20,9 ± 9,6.
D. Patofisiologi
10
Patofisiologi refluks gastro-esofago-laringofaring terjadi karena
rusaknya sistem pertahanan fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan
asam lambung ke dalam saluran pernafasan atas yaitu sfingter bawah
esofagus, fungsi motorik dari mukosa esofagus, resistensi mukosa esofagus dan
sfingter atas esofagus (Ford 2005).
Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat
memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang
pertama karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan
sekitarnya. Yang kedua adalah asam di distal esofagus
menstimulasi refleks yang dimediasi nervus vagus sehingga terjadi
bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic throat clearing) dan
batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya, dua hal ini mungkin
saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa langsung atau
kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem (chronic
throat clearing) dan batuk ( Sharma and Anderson, 2013).
Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling
berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada
cut off limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus
tanpa gejala dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang
sensitif. Epitel respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap
asam, pepsin yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esofagus
(Sharma and Anderson, 2013).
Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks
laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002) menyatakan satu
kali refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan
penelitian pada hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1
minggu sudah dapat menyebabkan kerusakan mukosa laring.
11
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Menurut survey American Bronchoesophageal Association yang dikutip
oleh Ford (2005) keluhan yang tersering yang didapat dari
hasil anamnesis penderita refluks laringofaring adalah throat clearing
(98%), batuk yang terus mengganggu (97%), perasaan mengganjal di tenggorok
(95%) dan suara parau (95%).
2. Gejala Klinis
Untuk penilaian atas gejala pasien dengan penyakit
refluks laringofaring, Belafsky, seperti yang dikutip oleh Tamin (2008)
membuat sembilan komponen indeks gejala yang dikenal dengan indeks
gejala refluks ( Reflux Symptom Index = RSI). RSI mudah dilaksanakan,
mempunyai reabilitas dan validitas yang baik, serta dapat diselesaikan
dalam waktu kurang dari satu menit. Skala untuk setiap komponen
bervariasi dari nilai 0 (tidak mempunyai keluhan) sampai dengan nilai 5
(keluhan berat) dengan skor total maksimum 45 dan RSI dengan nilai > 13
dicurigai penyakit refluks laringofaring (Belafsky et al.2002; Tamin 2008).
12
Tabel 1. Indeks Gejala Refluks (RSI)
Sumber : Belafsky et al. ( 2002)
Tanda klinis yang sering ditemukan pada penyakit refluks laringofaring
adalah laringitis posterior dengan eritema, edema dan penebalan dinding
posterior dari glottis. Tanda-tanda lain adalah granuloma pita suara,
contact ulcer, stenosis subglottis (Sharma and Anderson, 2013). Untuk
memeriksa keadaan patologis laring setelah terjadinya refluks laringofaring.
Belafsky juga memperkenalkan skor refluks, yaitu Reflux Finding Score
(RFS) yang merupakan delapan skala penilaian dalam menentukan beratnya
gambaran kelainan laring yang dilihat dari pemeriksaan
nasofaringolaringoskopi serat optik lentur. Skala ini bervariasi dari nilai 0
(tidak ada kelainan) sampai dengan nilai maksimum 26 ( nilai yang
terburuk) dan RFS > 7 yang dianggap tidak normal. RFS merupakan
penilaian kelainan yang mudah dilakukan dan mempunyai inter and
intraobserver reproducibility yang baik. Walaupun setiap komponen
bersifat subyektif tetapi skor secara keseluruhan merupakan penilaian yang
13
dapat dipercaya dalam melihat perbaikan dengan terapi anti refluks (Belafsky et
al. 2002).
Tabel 2. Skor Refluks (RFS)
Sumber : Belafsky et al. ( 2001)
Keadaan patologis laring tersering yang dijumpai adalah hipertrofi
laring posterior sebesar 85%. Koufman yang dikutip oleh Belafsky et al
(2001) pertama kali menyebutkan edema subglotis dengan sebutan
pseudosulkus vokalis dimana edema subglotis tersebut menyebar hingga ke
daerah komisura posterior laring seperti tampak pada gambar 3.
14
Gambar 3. Pseudosulcus vocalis (Demyttenaere, 2010).
Keadaan ini harus dibedakan dengan epitel sekunder pita suara yang
terjadi akibat tidak terbentuknya lapisan superficial pada lamina propria.
Keadaan lain seperti ventricular obliterasi ditemukan sebanyak 80% akibat
terjadinya edema dan hiperemis dipita suara dan plika ventrikularis seperti
tampak pada gambar.
Gambar 4. Ventrikular obliterasi dan edema pita suara (Demyttenaere, 2010).
15
Gambar 5. Eritemia/ hiperemia (Demyttenaere, 2010).
Gambar 6. Edema pita suara (Demyttenaere, 2010).
Obliterasi parsial mempunyai nilai skor 2, sedangkan obliterasi komplit
nilai skor 4, demikian pula pada eritema atau hiperemia laring, bila hanya
mengenai aritenoid mempunyai skor 2, sedangkan merata hingga laring
16
skor 4. Edema ringan atau slight swelling pita suara skor 1, bila edema
tampak jelas skor 2, berat skor 3, dan bentuk pita suara sudah tidak halus atau
polypoid degeneration maka skor penilaian menjadi 4.
Gambar 7. Hipertrofi komisura posterior (Demyttenaere, 2010).
Gambar 8. Granuloma (Demyttenaere, 2010).
17
Penilaian laring secara keseluruhan terbagi atas hipertrofi komisura
posterior yang ringan skor 1, bila hipertrofi telah mempunyai batas yang jelas
dengan sekelilingnya skor 2, bila hipertrofi telah meluas hingga akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 3 dan bila hipertrofi telah
menyebabkan obstruksi jalan nafas skor 4. Penilaian terakhir berupa ada
tidaknya granulasi ataupun mukus kental endolaring, bila ditemukan maka skor
2 (Belafsky et al. 2002).
3. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling
dapat dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah
elektroda dimasukkan secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas
sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm diatas sfingter atas esophagus
(Merati et al. 2005; Andersson 2009). Walaupun dianggap sebagai standar
baku emas untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih
jauh dari tes yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama,
sensitivitas dari tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien
THT tidak dapat bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke
tiga, modifikasi diet dapat menimbulkan hasil negatif palsu pada
pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini sangat mahal dan terbatas (Knight
2005).
4. Tes PPI
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai
tes yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara
diagnostik yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek
terapi. Tes PPI dengan pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari
18
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang sama dengan
pemeriksaan pH metri 24 jam (Park et al., 2005; Waxman et al., 2014).
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:
1. Perubahan Pola Hidup
Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk
mendiagnosis keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera
disarankan untuk mengubah pola hidup dan pola makan,
diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok dan minum-
minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih,
membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak,
citrus, minum minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu
makan malam yang berdekatan dengan waktu tidur (Ford, 2005).
2. Medikamentosa
Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI
seperti omeprazole, esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan
rabeprazole. Obat lain yang sering digunakan dalam pengobatan
refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor
seperti cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang
berfungsi mengurangi sekresi asam lambung. Prokinetik
agen seperti cisapride, metoclopramide yang berfungsi
mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan
sfingter bawah esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate
yang berfungsi melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida
juga dapat diberikan seperti alumunium hidroksida, magnesium
19
hidroksida atau sodium bikarbonat yang dapat berfungsi
mengurangi gejala refluks (Ford, 2005; Waxman et al., 2014).
Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling
efektif yang berfungsi menekan produksi asam lambung
dibandingkan dengan antagonis reseptor H2 , dengan cara
menghalangi kerja H+/ K+ ATP ase dijalur akhir produksi asam dari
sel parietal. Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan
enzim dari tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis
sekretorius. Proses ini sangat erat hubungannya dengan transport
K+/ Cl- terhadap pergerakan ion potassium ke permukaan luminal
dari enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus ke dalam lumen
kelenjar dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini
dibentuk diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus.
Tingginya kadar pH terjadi pada proses diantara sel parietal
dan kanalikulus, sehingga kerja PPI pada daerah ini dapat
mengurangi tingginya kadar pH lambung (Ford, 2005; Park et al.,
2005; Waxman et al., 2014).
Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat
dengan mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi
dalam keadaan asam, mempunyai waktu paruh yang relatif
pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai masa durasi yang
panjang (Hunchaisri et al., 2012).
20
Tabel 3. Profil farmakokinetik proton pump inhibitor
(Vanderhoff &Tahboub 2002)
3. Pembedahan
Intervensi pembedahan perlu segera dipertimbangkan bila
dalam pemberian terapi tidak memberikan respon yang
signifikan. Pendekatan yang biasa digunakan seperti partial
atau complete fundoplication (Ford, 2005; Weber et al., 2014).
Menurut survey American Bronchoesophageal Association ,
penderita dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan
menggunakan instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7,
segera penderita diberi tes terapi empiris dengan proton pump
inhibitor (PPI) disertai perubahan pola hidup dan diit, kemudian
dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan
21
umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi
secara perlahan-lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami
perubahan sedikit lebih baik, maka dosis pemberian terapi dapat
ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama kurang lebih 6 bulan,
namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka
pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring,
pemeriksaan transnasal esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan
foto dengan menggunakan kontras barium dapat segera dilakukan
(Ford, 2005).
22
Gambar 9. Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit
LPR berdasarkan American Medical Association(Ford, 2005).
23
G. Prognosis
Evaluasi prognosis dan kualitas hidup sangat penting pada penilaian
keberhasilan terapi medis. Kualitas hidup digunakan untuk
mendeskripsikan kemampuan menjalani kehidupan yang produktif secara
ekonomi dan sosial, tidak semata-mata menyangkut masalah kesehatan saja.
Kualitas hidup yang terkait dengan kesehatan (Health related quality of life)
mengacu kepada berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas hidup,
bersifat individual dan dipengaruhi oleh pengalaman, keyakinan, harapan
serta persepsi seseorang (Pendleton et al., 2013).
Penilaian mengenai prognosis dan kualitas hidup banyak
dilakukan dengan menggunakan penilaian yang sudah menjadi standar
Health Related Quality of Life (HRQL) seperti kuesioner kualitas hidup
secara umum berupa The Short Form Nottingham Health Profile (SF 36).
SF 36 berisikan 8 domain, antara lain fungsi fisik (physical
function), keterbatasan fisik (role limitation, physical), rasa nyeri (bodily
pain), persepsi kesehatan secara umum (general health perception), vitalitas
(vitality), fungsi sosial (social function), keterbatasan mental (mental
health) yang dapat menggambarkan kesehatan penderita secara
keseluruhan (Pendleton et al., 2013). Pengukuran kualitas hidup dengan SF 36
pada penderita penyakit refluks laringofaring hanya menggambarkan
kesehatan penderita secara keseluruhan, yang merupakan kelemahan SF 36
(Pendleton et al., 2013).
Keluhan utama yang mempengaruhi pasien dengan penyakit refluks
laringofaring adalah problem suara, batuk kronik berulang, dan sering
mengeluarkan lendir tenggorok serta sensasi globus yang sering
menimbulkan masalah di lingkungan sosial dan pekerjaan berupa problem
psikologi, emosi dan sosial (Pendleton et al., 2013). Amouretti membuat suatu
instrument penilaian kualitas hidup spesifik terhadap GERD yang disebut
24
RQS (Reflux Qual Short Form) dan merupakan cara penilaian kualitas hidup
yang singkat, dipercaya, mempunyai nilai validitas dan reabilitas yang baik
serta sensitif terhadap perbedaan intra dan ,inter subyek (Boller et al., 2014).
Reflux Qual Short Form menilai kualitas hidup di 5 domain yaitu kehidupan
sehari hari (daily life), kenyamanan (well being) , gangguan psikologis
(psychological impact), tidur (sleep) dan makan (eating). Skor RQS di hitung
dengan rata-rata jumlah skor dari 8 item dikalikan dengan 25. Hasilnya dari 0 yang
berarti kualitas hidup yang paling rendah sampai 100 yang merupakan kualitas
hidup yang paling tinggi (Boller et al., 2014).
25
Gambar 10. Kerangka Teori
26
LEMBAR PENILAIAN KUALITAS HIDUP REFLUX QUAL SHORT
(RQS) FORM
1. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terganggu dengan keluhan anda
ketika sedang bekerja atau mengerjakan tugas sehari-hari?
O 4 Tidak sama sekali
O 3 sedikit
O 2 kadang
O 1 cukup terganggu
O 0 sangat terganggu
2. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda mengurangi atau membatasi
pekerjaan karena keluhan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
O 2 kadang
O 1 sering
O 0 setiap waktu
3. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa nyaman dengan kehidupan
anda walaupun anda mengalami keluhan ini?
O 4 Tidak sama sekali
O 3 sedikit
O 2 kadang
O 1 cukup nyaman
O 0 sangat nyaman
4. Dalam 1 bulan terakhir, dengan keluhan anda ini apakah anda dapat
menikmati makanan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
27
O 2 kadang
O 1 sering
O 0 setiap waktu
5. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda merasa cemas karena keluhan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
O 2 kadang
O 1 sering
O 0 setiap waktu
6. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menjadi mudah marah karena
keluhan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
O 2 kadang
O 1 sering
O 0 setiap waktu
7. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda terbangun pada malam hari karena
keluhan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
O 2 kadang
O 1 sering
O 0 setiap waktu
8. Dalam 1 bulan terakhir, apakah anda menghindari makanantertentu
karena keluhan anda?
O 4 Tidak pernah
O 3 jarang
O 2 kadang
28
O 1 sering
O 0 setiap waktu
29
DAFTAR PUSTAKA
Belafsky, P. C., Postma, G. N., & Koufman, J. A. (2001). The validity and reliability
of the reflux finding score (RFS). The laryngoscope, 111(8), 1313-1317.
Belafsky, P. C., Postma, G. N., & Koufman, J. A. (2002). Validity and reliability of
the reflux symptom index (RSI). Journal of voice, 16(2), 274-277.
Bolier, E. A., Kessing, B. F., Smout, A. J., & Bredenoord, A. J. (2014). Systematic
review: questionnaires for assessment of gastroesophageal reflux
disease. Diseases of the Esophagus.
Carrau, R. L., Khidr, A., Crawley, J. A., Hillson, E. M., Davis, J. K., & Pashos, C. L.
(2004). The Impact of Laryngopharyngeal Reflux on Patient‐Reported
Quality of Life. The Laryngoscope, 114(4), 670-674.
Demyttenaere, S. V., Bergman, S., Pham, T., Anderson, J., Dettorre, R., Melvin, W.
S., & Mikami, D. J. (2010). Transoral incisionless fundoplication for
gastroesophageal reflux disease in an unselected patient population. Surgical
endoscopy, 24(4), 854-858.
Domer, A. S., Kuhn, M. A., & Belafsky, P. C. (2013). Neurophysiology and Clinical
Implications of the Laryngeal Adductor Reflex. Current
otorhinolaryngology reports, 1(3), 178-182.
Ford, C. N. (2005). Evaluation and management of laryngopharyngeal
reflux.Jama, 294(12), 1534-1540.
Hunchaisri, N. (2012). Treatment of laryngopharyngeal reflux: a comparison between
domperidone plus omeprazole and omeprazole alone. Journal of the Medical
Association of Thailand= Chotmaihet thangphaet, 95(1), 73-80.
30
Koufman, J. A., Aviv, J. E., Casiano, R. R., & Shaw, G. Y. (2002).
Laryngopharyngeal reflux: position statement of the committee on speech,
voice, and swallowing disorders of the American Academy of
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Otolaryngology--Head and Neck
Surgery, 127(1), 32-35.
Lipan, M. J., Reidenberg, J. S., & Laitman, J. T. (2006). Anatomy of reflux: a
growing health problem affecting structures of the head and neck. The
Anatomical Record Part B: The New Anatomist, 289(6), 261-270.
O’Rourke, A., & Postma, G. N. (2014). 6 Laryngopharyngeal Reflux. Clinical
Laryngology.
Park, W., Hicks, D. M., Khandwala, F., Richter, J. E., Abelson, T. I., Milstein, C., &
Vaezi, M. F. (2005). Laryngopharyngeal Reflux: Prospective Cohort Study
Evaluating Optimal Dose of Proton‐Pump Inhibitor Therapy and Pretherapy
Predictors of Response. The Laryngoscope, 115(7), 1230-1238.
Pendleton, H., Ahlner-Elmqvist, M., Jannert, M., & Ohlsson, B. (2013). Posterior
laryngitis: a study of persisting symptoms and health-related quality of
life. European Archives of Oto-Rhino-Laryngology, 270(1), 187-195.
Qadeer, M. A., Swoger, J., Milstein, C., Hicks, D. M., Ponsky, J., Richter, J. E., &
Vaezi, M. F. (2005). Correlation between symptoms and laryngeal signs in
laryngopharyngeal reflux. The Laryngoscope, 115(11), 1947-1952.
Rees, C. J., & Belafsky, P. C. (2008). Laryngopharyngeal reflux: current concepts in
pathophysiology, diagnosis, and treatment. International journal of speech-
language pathology, 10(4), 245-253.
31
Roman, S., Zerbib, F., Bruley des Varannes, S., & Mion, F. (2012). Esophageal high
resolution manometry: a new gold standard for the detection of transient
lower esophageal sphincter relaxations?. Neurogastroenterology &
Motility,24(5), 498-499.
Samuels, T. L., Handler, E., Syring, M. L., Pajewski, N. M., Blumin, J. H.,
Kerschner, J. E., & Johnston, N. (2008). Mucin gene expression in human
laryngeal epithelia: effect of laryngopharyngeal reflux. Annals of Otology,
Rhinology & Laryngology, 117(9), 688-695.
Sharma, N., & Anderson, S. H. (2013). The relevance of transient lower oesophageal
sphincter relaxations in the pathophysiology and treatment of
GORD. Frontline Gastroenterology, flgastro-2012.
Waxman, J., Yalamanchali, S., Valle, E. S., Pott, T., & Friedman, M. (2014). Effects
of Proton Pump Inhibitor Therapy for Laryngopharyngeal Reflux on
Posttreatment Symptoms and Hypopharyngeal pH. Otolaryngology--Head
and Neck Surgery, 0194599814525577.
Weber, B., Portnoy, J. E., Castellanos, A., Hawkshaw, M. J., Lurie, D., Katz, P. O., &
Sataloff, R. T. (2014). Efficacy of Anti-Reflux Surgery on Refractory
Laryngopharyngeal Reflux Disease in Professional Voice Users: A Pilot
Study.Journal of Voice, 28(4), 492-500.
32