refrat dilated cardiomyopathy
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini, insidens kardiomiopati semakin meningkat
frekuensinya. Seiring dengan bertambah manjunya teknik diagnostik, ternyata
kardiomiopati idiopatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang
utama. Di beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan penyebab
kematian sampai 30% atau lebih dari pada semua kematian akibat penyakit
jantung (Nasution, 2006).
Kardiomiopati dilatasi merupakan jenis kardiomiopati yang paling
banyak ditemukan. Deskripsi kelainan yang ditemukan meliputi dilatasi
ventrikel kanan dan atau ventrikel kiri, disfungsi kontraktilitas pada salah satu
atau kedua ventrikel. Salah satu definisi menyatakan kardiomiopati dilatasi
adalah kelainan jantung yang ditandai oleh dilatasi salah satu atau kedua
ventrikel disertai disfungsi sistolik dan diastolik. Penurunan fungsi jantung
dapat berefek pada paru, hati, dan yang lainnya. Gejala klinis yang didapat
bias berupa gagal jantung kongestif, nyeri dada, dispnea, aritmia atau mati
mendadak (Fatkin 2011).
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan kita
mengenai definisi, etiologi, insiden, patofisiologi, pemeriksaan penunjang,
diagnosis, tatalaksana dan prognosa dari kardiomiopati dilatasi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Definisi dari kardiomiopati dilatasi adalah sebagai berikut:
a. Kardiomiopati adalah penyakit yang terutama mengenai miokardium dan
bukan karena hipertensi atau kongenital, abnormalitas katup, koroner,
arteri, atau perikard (Chen, 2007).
b. Kardiomiopati dilatasi adalah penyakit jantung miokardial yang ditandai
dengan dilatasi dan lemahnya kontraksi ventrikel kiri atau ventrikel
keduanya (kanan dan kiri) (Chen, 2007).
c. Kardiomiopati dilatasi adalah kelainan jantung yang ditandai oleh dilatasi
salah satu atau kedua ventrikel disertai disfungsi sistolik dan diastolik.
Penurunan fungsi jantung dapat berefek pada paru, hati, dan yang lainnya
(Zieve & Chen, 2011).
d. Kardiomiopati dilatasi adalah kelainan miokardial yang ditandai oleh
dilatasi dan disfungsi kontraktilitas pada ventrikel kiri atau kanan maupun
keduanya (Fatkin, 2011).
Perbandingan kardiomiopati dilatasi, hipertrofi, dan restriktif:
KardiomiopatiPerbandingan Dilatasi Hipertrofi RestriktifUkuran kavitas Membesar Kecil NormalKetebalan dinding Normal Menebal NormalFungsi sistolik Sangat berkurang Hyperdinamic Normal/berkurangFungsi diastolik Abnormal Abnormal AbnormalYang lain Obstruksi aliran
(Chen, 2007)
B. Epidemiologi
Akhir-akhir ini, insidens kardiomiopati semakin meningkat frekuensinya.
Seiring dengan bertambah manjunya teknik diagnostik, ternyata kardiomiopati
idiopatik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang utama. Di
beberapa negara, penyakit ini bahkan merupakan penyebab kematian sampai
30% atau lebih dari pada semua kematian akibat penyakit jantung.
Kardiomiopati dilatasi merupakan jenis kardiomiopati yang paling banyak
3
ditemukan. Klasifikasi penyakit ini dapat mengenai segala usia, tetapi
kebanyakan mengenai usia pertengahan dan lebih sering ditemukan pada pria
dibandingan dengan perempuan. Insidens kejadan dilaporan 5-8 kasus per
100.000 populasi pertahun dan kejadian ini terus meningkat jumlahnya.
Kejadian pada pria dan kulit hitam dikataan tiga kali lebih sering dibandingan
populasi kulit putih dan perempuan sedangkan angka kelangsungan hidup
pada kulit hitam dan pria lebih buruk dibandingan kulit putih dan perempuan
(Nasution, 2006; Wilklow et al, 2011).
C. Etiologi
Etiologi kardiomiopati dilatasi tidak diketahui pasti, tetapi
kemungkinan besar kelainan ini merupakan hasil akhir dari kerusakan
miokard akibat produksi berbagai macam toksin, zat metabolit, atau infeksi.
Kerusakan akibat infeksi viral akut pada miokard yang akhirnya
mengakibatkan terjadi kardiomiopati dilatasi ini terjadi melalui mekanisme
imunologis. Hal ini banyak ditemukan pada populasi pria usia pertengahan,
terutama yang berasal dari Amerika Afrika dibandingkan yang berkulit putih.
Prevalensinya semakin lama makin meningkat (Nasution, 2006).
Pada kardiomiopati dilatasi yang disebabkan oleh penggunaan alkohol,
kehamilan, penyakit tiroid, penggunaan kokain dan keadaan takikardia kronik
yang tidak terkontrol, dapat dikatakan kardiomiopati tersebut bersifat
reversible. Obesitas akan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung,
sebagaimana juga sleep apnea (Nasution, 2006).
Kira-kira 20-40% pasien memiliki kelainan familial akibat dari mutasi
genetik. Kelainan tersebut dapat terjadi pada sitoskeletal gen (seperti gen
distrofin dan desmin), kontraktilitas dan membran sel (seperti gen lamin A/C)
dan protein-protein lainnya. Penyakit ini bersifat genetik heterogen tetapi
kebanyakan transmisinya secara autosomal dominan, walaupun dapat pula
secara autosomal resesif dan x-linked inheritance. Sampai saat ini belum
diketahui bagaimana menentukan seseorang akan memiliki predisposisi
kardiomiopati dilatasi apabila tidak diketahui riwayat kejadian penyakit ini
dalam keluarganya. Hal yang cukup menjanjikan adalah melalui teknik
4
molecular genetik untuk identifikasi petanda kerentanan pada pembawa sifat
yang asimptomatik sebelum timbul gejala klinis yang jelas dari kardiomiopati
dilatasi tersebut. Sebagai contoh salah satu petanda yang menjanjikan adalah
pemeriksaan enzim konversi angiotensin genotip DD yang berhubungan
dengan kejadian klinis pasien kardiomiopati dilatasi. Pada keadaan jantung
yang lemah, walaupun tidak terdapat riwayat keluarga ditemukan variasi dari
perubahan gen dan ekspresi protein pada beberapa protein kontraktilitas
(Nasution, 2006).
Displasia ventrikel kanan (Right Ventricular Dysplasia) merupakan
kardiomiopati familial yang menarik karena ditandai dengan dinding
ventrikel kanan yang digantikan oleh jaringan adipose secara progresif.
Seringkali berhubungan dengan kejadian aritmia ventrikel, gejala klinis
sangat bervariasi, tetapi kejadian kematian mendadak akibat kelainan ini
selalu merupakan ancaman yang dapat terjadi sewaktu-waktu (Fatkin, 2011).
Penyebab kardiomiopati dilatasi (Elliot, 2000; Wilklow, 2011):
1. Myocarditis (infeksi, toksik, imunitas)
2. Anomalous coronary arteries
3. Arteriovenous malforma tion
4. Kawasaki disease
5. Endocardial fibroelastosis
6. Nutritional deficiencies (thiamine, selenium, carnitine deficiency,
hypophosphataemia, hypocalcaemia)
7. Non-compacted myocardium
8. Familial Idiopatic Dilated Cardiomyopathy (IDC)
9. Barth Syndrome
10. X linked: seperti Becker’s and Duchenne’s muscular dystrophies, x-linked
IDC.
11. Tachycardimyopathy
12. Eosinophilic (Churg Strauss syndrome)
13. Mitochondrial disease
14. Arrythmogenic right ventricular cardiomyoparthy
15. Alcohol-induced
5
16. Post-chemotherapy (doxorubicin)
17. Acquired immunodeficiency syndrome
18. Infiltrative disease (hemochromatosis)
19. Peripartum cardiomyopathy
20. Associated with muscular dystrophy
21. Sekunder karena penyakit jantung: iskemia, hipertensi, valvular disease,
dan tachycardia induced
Gambar 2.1. Kardiomiopati Dilatasi
a, jantung dari seseorang dengan kardiomiopati dilatasi. Terlihat ventrikel
sinistra membesar dan dinding ventrikel yang tipis. b, ilustrasi kardiomiopati
dilatasi menunjukkan dilatasi ventrikel sinistra dan atrium sinistra,
penggelembungan septum interventrikular dari kiri ke kanan, dan juga
dinding ventrikel yang tipis. Sebagai perbandingan jantung yang normal
6
terlihat di sebelah kanan. IVC, inferior vena cava; IVS, interventricular
septum; LA, left atrium; LV, left ventricle; RA, right atrium; RV, right
ventricle; SVC, superior vena cava (Towbin & Bowles, 2002).
D. Patofisiologi
Kardiomiopati dilatasi ditandai dengan perbesaran ventrikel dan
kelainan fungsi pompa jantung dengan perbesaran ukuran ventrikel.
Perbesaran ruang ventrikel dapat menyebabkan disfungsi pompa sistol
maupun diastol sehingga akan mengakibatkan meningkatnya end diastolic
volumes (EDV) dan end systolic volumes (ESV).
Dilatasi yang hebat dapat mengakibatkan regurgitasi katup mitral dan
trikuspid yang akan lebih menurunkan cardiac output (CO) dan meningkatkan
ESV dan stress pada dinding ventrikel. Hal ini dapat menyebabkan dilatasi
yang lebih lanjut dan disfungsi miokardial.
Beban volume yang meningkat dan berlangsung lama, ventrikel yang
berdilatasi dapat bereaksi dengan hipertrofi untuk mengompensasinya.
Mekanisme kompensasi ini tidak berjalan dengan baik pada penderita
kardiomiopati dilatasi. Jika penyebab yang mendasari tidak segera dihilangkan
maka akan semakin memburuk akibat terjadi remodeling myocardium.
Kekakuan ventrikel yang disebabkan oleh hipertrofi berperan dalam terjadinya
remodeling
Kompensasi terhadap disfungsi sistolik dan penurunan CO adalah
dengan meningkatkan stroke volume (SV) dan heart rate (HR) atau keduanya
(CO = SV*HR) sehingga akan meningkatkan resistensi perifer. Hal ini
merupakan kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang sesuai.
Kardiomiopati Dilatasi
Ventrikel membesar
Beban volume me↑
Dapat terjadi kompensasi hipertrofi
Kegagalan pompa
Progresif
Regurgitasi mitral, trikuspid
Stress dinding ventrikel
Disfungsi miokardial
dilatasi
ESV ↑EDV↓
CO ↓ ↑SV/ ↑HR
Remodeling miokard
7
Gambar 2.2. Patofisiologi Kardiomiopati Dilatasi
(Sibernagl & Lang, 2007)
Penurunan CO akan mengakibatkan penurunan perfusi organ yang
dapat mengaktivasi neurohormonal. Hal ini menyebabkan sejumlah
mekanisme kompensasi yang terutama bertujuan memperbaiki kembali curah
jantung dan tekanan darah. Hal terpenting dalam mekanisme ini adalah
peningkatan tonus simpatis beserta pelepasan norepinefrin dan epinefrin yang
lebih besar. Pengaktifan adrenoreseptor-β di jantung akan menyebabkan:
a. Peningkatan frekuensi denyut jantung (gejala takikardi)
b. Peningkatan kontraktilitas (inotropik positif) sehingga curah jantung juga
sedikit meningkat.
Vasokontriksi adrenergik-α1 akan menimbulkan:
a. Penurunan aliran darah yang melalui otot rangka (gejalanya adalah
kelelahan), kulit (gejalanya pucat), dan ginjal, dengan akibat penrdurunan
curah jantung sehingga darah lebih banyak disebarkan ke arteri yang
menyuplai jantung dan otak (sentralisasi);
b. Penurunan perfusi ginjal akan mengaktifkan sistem renin-angiotensin-
aldosteron, meningkatkan fraksi filtrasi, dan meningkatkan pelepasan
8
ADH. Semua mekanisme ini akan menyebabkan peningkatan absorpsi
garam dan air. Angiotensin II dan ADH juga memiliki efek
vasokonstriktor.
Akibat dan gejala sistemik gagal jantung kronis terutama disebabkan
oleh retensi air dan garam. Tekanan kapiler paru akan meningat. Hal ini dapat
menyebabkan dispnea dan takipnea melalui reseptor-J di paru dan edema paru
(asma kardiak) dengan hipoksia dan hiperkapnia sistemik. Pada HF kanan
akan terjadi edema perifer (terutama di bagan bawah seharian; dan pada
malam hari terjadi pengeluaran air dengan diuresis nokturnal).
E. Diagnosis
1. Gejala klinis
Gejala klinis yang menonjol adalah gagal jantung kongestif, yang
timbul secara bertahap pada sebagian besar pasien. Gejala yang dapat
timbul meliputi (Eliot, 2002):
a. Gagal jantung kiri:
1) Gejala kongesti pulmonal: Sesak napas (saat istirahat, beraktivitas,
dan tidur), nafas pendek, dan orthopnea.
2) Penurunan CO: fatigue dan lemah
b. Gejala kongesti sistemik (gagal jantung kanan)
Edema ekstremitas, nausea, nyeri abdomen, nokturia
Beberapa pasien mengalami dilatasi ventrikel kiri dalam beberapa
bulan bahkan sampai beberapa tahun sebelum timbulnya gejala. Pada
beberapa kasus sering ditemuka gejala nyeri dada yang tidak khas,
sedangkan nyeri dada yang tipikal kardiak tidak lazim ditemukan. Bila
terdapat keluhan nyeri dada yang tipikal dipikirkan kemungkinan terdapat
penyakit jantung iskemia secara bersamaan. Akibat dari aritmia dan
emboli sistemik kejadian sinkop cukup sering ditemukan. Pada penyakit
yang telah lanjut dapat pula ditemukan keluhan nyeri dada akibat sekunder
dari emboli paru dan nyeri abdomen akibat hepatomegali kongestif
(Nasution, 2006).
9
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan adalah:
a. Kepala: mata kodok, venektasi temporal
b. Leher: hepatojugular reflux, peningkatan jugular venous pressure
(JVP)
c. Paru: ronki basah, tanda efusi pleura
d. Jantung: kardiomegali, murmur, takikardia, S2 at the base (paradoxical
splitting, prominent P2), S3, dan S4, atrial fibrillation.
e. Abdomen: venektasi abdomen hepatomegali, hepatojugular reflux,
asites
f. Sistem musculoskeletal: cardiac cachexia, edem perifer, sianosis,
clubbing finger, dan akral dingin
Perbesaran jantung dengan derajat yang bervariasi dapat ditemukan,
begitu pula dengan gejala-gejala yang menyokong diagnosis gagal jantung
kongestif. Pada penyakit yang lanjut dapat ditemukan tekanan nadi yang
sempit akibat gangguan pada isi sekuncup. Pulsus alternans dapat terjadi
bila terdapat gagal ventrikel kiri yang berat. Tekanan darah dapat normal
atau rendah. Jenis pernapasan Cheyne-Stokes menunjukkan prognosis yang
buruk. Peningkatan tekanan vena jugularis bila terdapat gagal jantung
kanan. Bunyi jantung ketiga dan keempat dapat pula terdengar, serta dapat
ditemukan regurgitasi mitral ataupun trikuspid. Hati akan membesar dan
seringkali teraba pulsasi, edema perifer serta asites akan timbul pada gagal
jantung kanan yang lanjut (Nasution, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan:
a. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi akan menunjukkan gambaran sinus takikardia atau
fibrilasi atrial, aritmia ventrikel, abnormalitas atrium kiri, abnormalitas
segmen ST yang tidak spesifik dan kadang-kadang tampak gambaran
gangguan konduksi intraventrikular dan low voltage (Elliot, 2000).
10
b. Foto toraks
Pada pemeriksaan radiologi dada akan terlihat pembesaran jantung
akibat dilatasi ventrikel kiri, walaupun seringkali terjadi pembesaran
pada seluruh ruang jantung. Pada lapangan paru akan terlihat
gambaran hipertensi pulmonal serta edema alveolar dan interstitial
(Elliot, 2000).
Gambar 2.3. Foto Toraks pada Kardiomiopati Dilatasi
(Fanklin & Burch, 2000)
c. Ekokardiografi
Pada gambar menunjukkan perbesaran keempat ruang jantung dengan
regurgitasi katup trkuspid yang berat (LA = left atrium, LV = left
ventricle, RA = right atrium, RV = right ventricle).
Ekokardiografi menggunakan gelombang ultrasound untuk
menghasilkan gambar dari jantung. Merupakan prosedur yang sangat
berguna karena dapat menunjukkan ukuran dan pompa jantung.
Pemeriksaan ekokardiografi dan ventrikulografi radionuklir
menunjukkan dilatasi ventrikel dan sedikit penebalan dinding jantung
atau bahkan normal atau menipis, gangguan fungsi sistolik dengan
penurunan fraksi ejeksi. Penggunaan ekokardiografi menggunakan
11
kontras dapat memperjelas dan meningkatkan keakuratan gambar
untuk kepentingan diagnosis (Lampropoulos et al, 2011).
Gambar 2.4. Ekokardiografi Kardiomiopati Dilatasi
(Restrepo et al, 2006)
d. Cardiopulmonary Exercise testing
Cardiopulmonary exercise testing digunakan untuk mengetahui
berbagai variabel fisiologi termasuk respon respiratory, cardiac, dan
metabolic dalam latihan tersebut (Guimaraes et al, 2001).
e. Biopsi endomyocardial
Modalitas pemeriksaan lain seperti biopsi endomiokardial transvena
tidak diperlukan untuk kardiomiopati dilatasi yang familial atau
idiopatik. Tetapi pemeriksaan dibutuhkan untuk diagnostik
kardiomiopati sekunder seperti amiloidosis dan miokarditis akut
(Elliot, 2000).
f. Pemeriksaan kateterisasi jantung dan angiografi koroner seringkali
dibutuhkan untuk dapat menyingkirkan penyakit jantung iskemia. Pada
angiografi akan terlihat dilatasi, hipokinetik difus dari ventrikel kiri
dan regurgitasi mitral dalam derajat yang bervariasi (Elliot, 2000).
12
F. Penatalaksanaan
Pengobatan pada kardiomiopati dilatasi adalah langsung pada penyakit
yang mendasari (Wexler et al, 2009). Selanjutnya pengobatan dilakukan
sesuai gambaran klinis yang timbul, dimana sebagian besar timbul gejala
gagal jantung kongestif. Sehingga pengobatan standar untuk gagal jantung
kongestif tersebut yang diberikan (Nasution, 2006).
1. Terapi Farmakologis
a. Meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan
konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas.
b. Memperbaiki kontraktilitas jantung
Digitalisasi
1) Dosis digitalis:
i) Digoksin oral untuk digitalisasi cepat 0,5-2 mg dalam 4-6
dosis selama 24 jam dan dilanjutkan 2 x 0,5 mg selama 2-4
hari.
ii) Digoksin iv 0,75-1 mg dalam 4 dosis selama 24 jam.
iii) Cedilanid iv 1,2 – 1,6 mg dalam 24 jam
2) Dosis penunjang untuk gagal jantung: digoksin 0,25 mg sehari.
Untuk pasien usia lanjut dan gagal ginjal dosis disesuaikan.
3) Dosis penunjang digoksin untuk fibrilasi atrium 0,25 mg.
4) Digitalisasi cepat diberikan untuk mengatasi edema pulmonal akut
yang berat:
i) Digoksin: 1-1,5 mg iv perlahan-lahan.
ii) Cedilanid 0,4-0,8 mg iv perlahan-lahan
Dosis dan cara pemberian digitalis bergantung pada beratnya gagal
jantung. Pada gagal jantung berat dengan seask napas hebat dan
takikardi lebih dari 120/menit, biasanya diberikan digitalisasi cepat.
Pada gagal jantung ringan diberikan digitalisasi lambat. Pemberian
digitalisasi per oral paling sering dilakukan karena paling aman.
Pemberian dosis besar tidak selalu perlu, kecuali bila diperlukan efek
maksimal secepatnya, misalnya pada fibrilasi atrium rapid response.
Pemberian oral dosis biasa (pemeliharaan), kadar terapeutik dalam
13
plasma dicapai dalam waktu 7 hari. Pemberian secara intravena hanya
dilakukan pada keadaan darurat, harus dengan hati-hati, dan secara
perlahan-lahan (Manjoer et al, 2008).
c. Menurunkan beban jantung
Menurunkan beban awal dengan diet rendah garam, diuretik dan
vasodilator.
1) Diet rendah garam
Pada gagal jantung NYHA kelas IV, penggunaan diuretik,
digoksin, dan penghambat angiotensin converting enzyme (ACE)
diperlukan mengingat usia harapan hidup yang pendek. Untuk
gagal jantung kelas II dan III diberikan:
i. Diuretik dalam dosis rendah atau menengah (furosemid 40
– 80 mg)
ii. Digoksin pada pasien dengan fibrilasi atrium maupun
irama sinus
iii. Penghambat ACE (kaptopril mulai dari dosis 2 x 62,5 mg
atau setara penghambat ACE yang lain, dosis ditingkatkan
secara bertahap dengan memperhatikan tekanan darah
pasien); isosorbid dinitrat (ISDN) pada pasien dengan
kemampuan aktivitas terganggu atau adanya iskemia
menetap, dosis dimulai 3 x 10-15 mg. Semua obat ini
harus dititrasi secara bertahap (Manjoer et al, 2008).
2) Diuretik
Obat yang digunakan adalah furosemid 40 – 80 mg. Dosis
penunjang rata-rata 20 mg. efek samping berupa hipokalemia
dapat diatasi dengan suplai garam kalium atau diganti dengan
spironolakton. Diuretik lain yang dapat digunakan antara lain
hidroklorotiazid, klortalidon, triamteren, amilorid, dan asam
etakrinat (Manjoer et al, 2008).
Dampak diuretik yang mengurangi beban awal tidak mengurangi
curah jantung atau kelangsungan hidup, tapi merupakan
pengobatan garis pertama karena mengurangi gejala dan
14
perawatan rumah sakit. Penggunaan penghambat ACE bersama
diuretik hemat kalium maupun suplemen kalium harus berhati-hati
karena memungkinkan terjadinya hiperkalemia (Manjoer et al,
2008).
3) Vasodilator
i) Nitrogliserin 0,4-0,6 mg sublingual atau 0,2-2
µg/kgBB/menit iv
ii) Nitroprusid 0,5-1 µg/kgBB/menit iv
iii) Prazosin per oral 2-5 mg
iv) Penghambat ACE: kaptopril 2 x 6,25 mg
Dosis ISDN adalah 10-40 mg peroral atau 5-15 mg sublingual
setiap 4-6 jam. Pemberian nitrogliserin secara intravena pada
keadaan akut harus dimonitor ketat dan dilakukan di ICCU.
Kaptopril sebaiknya dimulai dari dosis kecil 6,25 mg. untuk dosis
awal ini perlu diperhatikan efek samping hipotensi yang harus
dimonitor dalam 2 jam pertama setelah pemberian. Jika secara
klinis tidak ada tanda-tanda hipotensi maka dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap sampai 3 x 25 – 100 mg. kaptopril
dapat menimbulkan hipoglikemia dan gangguan fungsi ginjal.
Dosis awal enalapril 2 x 2,5 mg dapat dinaikkan perlahan-lahan
sampai 2 x 10 mg (Manjoer et al, 2008).
2. Terapi Nonfarmakologi
a. Partial left ventriculectomy (Prosedur Batista)
Penatalaksananan ini berdasarkan hipotesis bahwa hukum Laplace
(tegangan dinding berhubungan dengan diameter ventrikel) dengan
mengurangi mengeksisi sebagian ventrikel akan mengurangi stress
pada dinding dan meningkatkan hemodinamik ventrikel (Elliot,
2000).
b. Left ventricular assist devices (LVAD)
LVAD adalah pompa mekanik yang ditanam untuk membantu pompa
darah dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh. LVAD juga diketahui dapat
15
meningkatkan fungsi ventrikel kiri yang didapat walaupun alat telah
dilepaskan (Elliot, 2000).
c. Multisite ventricular pacing
Merupakan penanaman pacing di lebih 3 atau lebih ruang jantung. Ini
digunakna untuk membantu pace maker jantung (Elliot, 2000).
d. Transplantasi jantung (Elliot, 2000)
Pengobatan farmakologis bertujuan untuk modifikasi secara langsung
akibat dari aktivasi yang lama system adrenergik dan renin angiotensin.
Sedangkan pengobatan non-farmakologis seperti pengaturan diet, latihan
fisik dan pengobatan farmakologis seperti yang telah disebutkan di atas
bertujuan untuk membantu mengontrol gejala yang mungkin timbul. Latihan
fisik yang teratur sesuai dengan toleransi masing-masing individu akan
meningkatkan kapasitas latihan dengan memperbaiki disfungsi endotel dan
meningkatkan aliran darah di otot-otot skeletal. Kematian seringkali terjadi
akibat gagal jantung kongestif atau bradi-takiaritmia. Risiko terjadi emboli
sistemik juga harus dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan
(Nasution, 2006).
Sedangkan modalitas pengobatan yang terbukti dapat memperpanjang
usia harapan hidup dengan menurunkan hampir 50% mortalitas akibat gagal
jantung pada waktu-waktu terakhir ini adalah: transplantasi jantung dan
pengobatan farmakologis spesifik seperti vasodilator hidralazin ditambah
nitrat, ACE Inhibitor (enapril), penghambat beta (kardvedilol dan metoprolol)
serta penghambat aldosteron (spironolakton). Angiotensin II Receptor
Blocker dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi terhadap golongan
ACE Inhibitor (Nasution, 2006).
Golongan calcium antagonist tidak dianjurkan untuk kombinasi
pemberiannya dengan pengobatan standar seperti di atas, dan bukan
merupakan pengobatan lini pertama. Kemungkinan terdapat hubungan antara
kardiomiopati dilatasi dengan abnormalitas sirkulasi mikrovaskular,
gangguan pada kanal kalsium merupakan alasan pertimbangan pemberian
golongan obat ini sebagai salah satu pilihan pengobatan. Secara umum
penggunaan obat-obat golongan ini dapat ditoleransi dengan baik, walaupun
16
efek depresi mikardium yang merupakan efek samping penting yang harus
dipertimbangkan dalam pilihan pengobatan (Nasution, 2006).
G. Prognosis
Secara umum prognosis penyakit ini jelek. Beberapa variasi klinis
yang dapat menjadi prediktor pasien kardiomiopati dilatasi yang mempunyai
risiko kematian tinggi antara lain: terdapatnya gallop protodiastolik (S3),
aritmia ventrikel, usia lanjut dan kegagalan stimulais inotropik terdapat
ventrikel yang telah mengalami miopati tersebut. Walaupun akurasi dan
gambaran pada masing-masing individu akan berbeda dalam menentukan
prognosis tersebut, tetapi dikatakan bahwa semakin besar ventrikel yang
disertai disfungsi yang semakin berat berhubungan erat dengan prognosis
yang semakin buruk. Khususnya bila terdapat dilatasi ventrikel kanan disertai
gangguan fungsinya. Uji latih kardiopulmonal juga berguna sebagai
gambaran prognostik. Keterbatasan yang bermakna dari kapasitas latihan
yang digambarkan dengan penurunan ambilan oksigen sistemik maksimal
merupakan prediktor mortalitas dan dipergunakan sebagai indikator dan
pertimbangan untuk transplantasi jantung (Nasution, 2006).
17
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Telah dibicarakan kardiomiopati pembagiannya secara klinis terutama pada
kardiomiopati dilatasi. Diagnosis kardiomiopati dilatasi secara klinik sukar
ditegakkan karena sering dimanifestasikan sebagai gagal jantung dan pemeriksaan
ekokardiogram sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Pengobatan sering
simtomatis. Transplantasi jantung merupakan pilihan penting bagi pasien muda
dengan gagal jantung refrakter yang berat.
18
DAFTAR PUSTAKA
Bhatia, S, Tu, JV, Lee, DS, Austin, PC, Fang, J, Haozi, A, et al. 2006. Outcome of Heart Failure with Preserved ejection fraction in a population-based study. The New England Journal of Medicine 355;3.
Chen, HH. 2007. Dilated cardiomyopathy. Mayo Clinic Cardiology Concise Book third edition. Canada: MayoClinic Scientific Press.
CPMC. 2011. Ejection fraction – explanation of normal and abnormal range. CPMC: San Francisco. Diakses tanggal 21 September 2011. <http://www.cpmc.org/services/heart/tx/ejectionfraction.html>
Elliot, P. 2000. Cardiomyopathy: diagnosis and management of dilated cardiomyopathy. Heart 84:106-112.
Fatkin, D. 2011. Guidelines for the diagnosis and management of familial dilated cardiomyopathy. Heart Lung Circ 20(11)691-3.
Franklin, OM, & Burch, M. 2000. Dilated cardiomyopathy in childhood. Images Paediatr Cardiol 2:3-10.
Guimaraes, GV, Bellotti, G, Mocelin, AO, Camargo, PR, Bocchi, EA. 2001. Cardiopulmonary exercise testing in children with heart failure secondary to idiopathic dilated cardiomyopathy. Chest 120:3:816-824.
Lampropoulos, KM, Dounis, VG, Aggeli, C, Iliopulos, TA, Stefanadis, C. 2011. Contrast Echocardiography: contribution to diagnosis of left ventricular non compaction cardiomyopathy. Hellenic J Cardiol 52:265-272.
Manjoer, A, Triyanti, K, Savitri, R, Wardhani, & Setiowulan. 2008. Gagal jantung. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
Nasution, SA. 2006. Kardiomiopati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: FKUI.
Restrepo, CS, Diethelm, L, Lemos, JA, Velasquez, E, Ovella, TA, Martinez S, et al. 2006. Cardiovascular complications of human immunodeficiency virus infection. Radiographics 26;213-231.
Silbernagl, S, & Lang, F. 2007. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC.
Towbin, JA & Bowles, NE. 2002. The failing heart. Nature 415, 227-233. doi:10.1038/415227a.
19
Wexler, R, Elton, TE, Pleister, A, Feldman D. 2009. Cardiomyopathy: an overview. Am Fam Physician 1;79(9);778-784.
Wilklow, FE, & Ooi, HH. 2011. Dilated cardiomyopathy. Diakses tanggal 23 Oktober 2011. <http://emedicine.medscape.com/article/152696-overview#a0104>.
Zieve, D, & Chen, MA. 2011. Dilated Cardiomyopathy. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000168.htm