refrat trauma maxilo kelompok
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Wajah merupakan pusat perhatian utama dari seorang individu. Trauma
atau cedera pada wajah tidak hanya akan mengganggu penampilan, namun juga
dapat menyebabkan gangguan beberapa fungsi luhur oleh karena di daerah wajah
juga banyak terdapat struktur penting, seperti indera penglihatan, bicara, menelan,
jalan nafas, sampai cedera otak. Cedera wajah dapat melibatkan kerusakan kulit,
jaringan lunak sampai jaringan tulang, serta perlu diperhatikan secara khusus
terutama pada cedera muka yang mengenai saraf sensorik maupun motorik,
kelenjar dan saluran air liur. Dampak jangka panjang dari trauma maksilofasial
seperti retraksi bekas luka pada bibir, hidung, dan kelopak mata serta aspek
kosmetik juga penting sekali diperhatikan pada pengelolaan luka wajah. Cedera
maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari
luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga
dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Begitu banyak struktur penting di daerah wajah inilah maka
penatalaksanaan trauma maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai
hasil yang memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi.
Penatalaksanaan dengan pembedahan bertujuan mengatasi mobiditas yang terjadi.
,
1
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI, ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.
Fraktur tulang muka (maksilofasial) yakni diskontinuitas tulang muka baik
komplit maupun tidak komplit yang disebabkan oleh trauma benda tajam,
benda tumpul maupun ledakan pada muka yang mengakibatkan satu hingga
banyak tulang wajah patah. Jaringan yang terlibat pada fraktur tulang muka
disamping tulang muka itu sendiri yaitu tulang kepala yang tidak membatasi
otak (tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan
mandibula) juga jaringan lunak pada area muka (kulit, otot, dan jaringan ikat).
Tulang zygoma dan mandibula paling sering terjadi fraktur pada kejadian
kecelakaan lalu lintas. Tulang muka bersifat spongiosa dan lebih vaskuler
dibandingkan tulang kortikal atau tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6
minggu penyembuhan fraktur sudah selesai dan sudah rigid. Sekitar 60% dari
pasien dengan trauma muka yang berat mengalami trauma multi sistem dan
gangguan aliran udara dalam saluran pernapasan (20-50% diantaranya terjadi
cedera otak, 1-4% cedera tulang servikal dan 0.5-3% mengalami kebutaan). (2,3,7)
Fraktur maksilofasial lebih sering disebabkan oleh trauma tumpul atau
benturan dengan benda seperti pada kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,
kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.
Penyebab trauma maksilofasial pada 25% wanita yakni kekerasan rumah
tangga dengan 30% diantaranya didapatkan trauma pada dinding orbital.
Sebanyak 25 % pasien dengan trauma fasial yang berat akan berkembang
menjadi post traumatic stress disorder. Berdasarkan beberapa penelitian,
besar kekuatan yang dapat menyebabkan fraktur dari tulang fasial berbeda-
beda namun secara umum dapat dibedakan menjadi: (3,7)
a. High impact (lebih dari 50 kali gravitasi)
1) Rima supraorbital – 200 G
2) Simphisis mandibula – 100 G
2
3) Frontal– 100 G
4) Mandibula – 100 G
b. Low Impact (kurang dari 50 kali gravitasi)
1) Zygoma – 50 G
2) Tulang nasal – 30 G
2. ANATOMI
A. Tulang
Tulang maksilofasial berperan dalam menyusun struktur wajah
misalnya pada margo orbitalis dibentuk oleh tulang frontal pada pars superior,
tulang zygomatikum pada pars lateral, maxilla pada pars inferior dan pada
pars medial oleh procesus maxillaris dan os frontal. Tulang nasal membentuk
batang hidung. Tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar orbita
dibentuk oleh tulang zygomatikum. Kedua maxilla membentuk rahang atas,
pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan
sebagian dasar orbita. membentuk. Mandibula atau rahang bawah terdiri dari
corpus yang terletak horizontal dan dua ramus yang terletak vertikal. (2,3,7)
Berdasarkan lokasi dan keterlibatan tulang, area fraktur maksilofasial
dibagi menjadi wajah atas, wajah tengah dan wajah bawah. Trauma pada
wajah bagian sepertiga atas (upper third) meliputi daerah muka tepat di atas
orbita yang melibatkan tulang frontalis dan sinus frontalis. Bagian sepertiga
tengah (middle third), meliputi fraktur tulang nasal, ethmoidalis, zygomatikus
dan maksilaris. Bagian sepertiga bawah (lower third) berkaitan dengan fraktur
mandibula (kondilus, angulus, ramus, simphisis dan alveolus). (7,11,13)
3
Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial
B. Vaskularisasi dan Persarafan.
Vaskularisasi daerah muka terutama berasal dari arteri karotis eksterna
yang menyediakan suplai darah ke wajah. Percabangan yang penting antara
lain lingualis, fasialis, maksilaris interna, dan temporalis superfisial.
Sementara persarafan pada area maksilofasial terdiri dari: (3,6,11)
1) Nervus optalmikus
Percabangan pertama dari n. trigeminus berfungsi menghantarkan
rangsangan sensorik dari kulit dahi, bulu mata atas, dan konjungtiva.
2) Nervus maksilaris
Cabang kedua dari n. trigeminus mempersarafi bagian sensorik
bagian belakang sisi hidung, bulu mata bawah, pipi, dan bibir atas.
3) Nervus mandibularis
Cabang ketiga dari n. trigeminus, mempersarafi bagian motorik dan
sensorik otot-otot mastifikasi, kulit dari bibir bawah, dagu, region
temporal, dan bagian aurikula.
4) Nervus fasialis mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah
5) Nervus aurikularis mayor.
Cabang dari pleksus servikalis mempersarafi angulus mandibula, kulit
di atas kelenjar parotis dan prosesus mastoideus.
4
3. PATOFISIOLOGI
Cedera berat dan ringan pada trauma maksilofasial ditentukan oleh
lebih atau kurang dari 50% dari gaya gravitasi. Cedera maksilofasial berbeda-
beda tergantung pada daerah yang terkena. Margo supraorbital, mandibula
(simphisis dan angulus), dan tulang frontalis membutuhkan tenaga yang besar
untuk dapat menebabkan kerusakan. Sementara tulang nasal dan zygoma
membutuhkan tenaga yang minimal.(1,6,9,10)
Cedera jaringan lunak pada trauma maksilofasial meliputi:
a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi,tatu
b. Cedera saraf, cabang saraf fasial
c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen
d. Cedera kelopak mata
e. Cedera telinga
f. Cedera hidung
A. Fraktur tulang frontalis
Berasal dari pukulan berat pada wajah bagian depan (bagian anterior
atau posterior sinus frontalis dapat terlibat). Tulang frontal merupakan tulang
yang paling kuat pada tulang muka, oleh karena membutuhkan energi tinggi,
fraktur isolated os frontal merupakan fraktur fasial yang paling sedikit terjadi. (3,6)
Sinus frontalis sendiri terdiri atas dua bagian kavitas irregular yang
dibagi oleh septa yang merupakan saluran duktus nasofrontal (NFD) sampai
ethmodalis air cell ke dalam kavitas nasal melalui meatus medialis. Secara
radiografi dapat terlihat pada usia 8 tahun, sekitar 10% berkembang unilateral
dan 5 % rudimenter. Mekanisme paling umum terjadi pada cedera sinus
frontal adalah pukulan atau benturan langsung pada glabela atau rima
supraorbital. Frekuensinya jarang, fraktur secara tidak langsung dapat
disebabkan oleh penyebaran benturan dari tulang fasial bagian bawah.
Gabungan cedera maksilofacial seperti fraktur nasoorbital-ethmoidal (NOE)
adalah fraktur yang sering terjadi. Pada politrauma, termasuk hematom
intrakranial, sering menyertai fraktur frontalis. (3,6,7)
5
B. Fraktur rima orbita
Orbita tersusun atas 7 buah tulang yakni os zygoma, os sphenoid, os
frontal, os ethmoid, os lakrimal, os palatina dan os maksila. Fissura orbita
superior (SOF) membelah bagian superior dan lateral sampai apeks orbita
membagi “the greater and lesser wings” os sphenoid. Sebagai jalan nervus
okulomotor (N III), nervus trokhlear (N IV), nervus Abdusen (N VI) dan
divisi optalmik dari nervus trigeminus. Fissura orbita inferior menjadi jalan
divisi maksilari n.trigeminus, cabang dari ganglion sphenopalatina dan cabang
dari vena optalmik inferior. Nervus optikus masuk ke superiomedial orbita
sampai dalam orbita kira-kira 45 mm posterior ke rima orbita. (1,3,7,12)
Fraktur pada orbita dapat terisolasi atau terjadi bersamaan dengan
fraktur dinding medial misalnya pada orbital blowout fraktur. Tekanan
intraorbital dapat meningkat bila suatu gaya mengenai margo supraorbital.
Angka kejadian dari cedera okular tinggi, namun ruptur dari bola mata jarang
terjadi. Terjadi akibat trauma langsung pada tepi tulangnya atau pada tulang
zigomatikus. Kejadian ini disebut patah tulang letup keluar (blow out
fracture). Fraktur letup dapat menyebabkan enoftalmos dan sering disertai
terjepitnya m. rektus inferior sehingga gerakan bola mata terganggu dan
penderita mengalami diplopia Jika terjadi fraktur blow-out, pada pemeriksaan
foto Waters akan tampak massa jaringan lunak di margin superior sinus
maksillaris, serta herniasi jaringan periorbital ke dalam sinus. (1,3,7,9)
Gambar 2. Fraktur pada orbita
6
C. Fraktur kompleks Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)
Komplek NOE terdiri atas: os nasal (septum, kartilago, prosesus nasal
os frontal dan processus frontal os maksila), os lakrimal, os ethmoid dan os
sphenoid. Selain itu komplek NOE juga terdiri dari ligamen canthal medial,
insersi tendo m. orbicularis okuli. Ligamen canthal medial terdiri dari bagian
anterior dan posterior sampai puncak lakrimal (mengelilingi sakus lacrimalis)
dan bagian superior ke regio nasofrontal. (3,5,12)
Benturan tumpul secara langsung yang melebihi garis hidung, tulang-
tulang pendukung hidung yang diproyeksikan kembali antara orbita,
menghasilkan tipe fraktur NOE fraktur dapat unilateral (36%) atau yang
umum terjadi bilateral (64%). Fraktur NOE sering menyertai terjadinya fraktur
blowout orbita. Fraktur dapat mengenai daerah hidung & melibatkan os
ethmoidalis. Fraktur os. ethmoidalis dapat mengakibatkan merembesnya
cairan serebrospinal. Gambaran klinis dijumpai adanya telecanthus, pelebaran
nasal bridge sampai kantus medial dan epistaksis atau rhinoroe CSS. (2,3,5,7)
Gambar 3. Fraktur kompleks Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)
D. Fraktur nasal.
Hidung terdiri dari os nasal dan cartilago superior dan inferolateral.
Midline septum terdiri dari vomer, perpendicular plate os ethmoid, kartilago
quadrangular dan puncak nasal os maksila. Vaskularisasi hidung disuplai dari
a. optalmikus, ethmoid anterior dan posterior cabang dari a. karotis interna
7
serta a. karotis eksterna pada daerah superior labial dan cabang maksila
interna (sphenopalatina, greater palatina, dan infraorbita). Sementara cabang
karotis interna memvaskularisasi nasal superior sampai pertengahan,
sedangkan cabang karotis eksterna memvaskularisasi area inferior. Nasal
bagian luar diinervasi secara primer oleh nervus infraorbital, nervus ethmoid
anterior dan nervus supratroklear. Nasal bagian dalam diinervasi secara
primer oleh nervus ethmoid, sphenoid dan nasopalatina. (3,7,8,9)
Os nasal adalah bagian paling lemah dari tulang facial dan kira-kira
40% dari fraktur facial. Trauma frontal sampai dorsum nasal seringkali terjadi
pada bagian bawah os nasal dan septum menyebabkan kerusakan pada cantus
medial, apparatus lakrimalis atau ductus nasofrontal. Benturan lateral pada
pasien yang muda cenderung menyebabkan fraktur-dislokasi segmen luas,
dimana pada pasien tua cenderung menyebabkan kominutif. Benturan yang
kuat menyebabkan ekstensi dari fraktur ke dalam regio NOE. (3,8)
Fraktur tulang hidung didiagnosa berdasarkan riwayat trauma yang
disertai pembengkakan, perlunakan, dan krepitasi batang hidung, dapat
disertai epistaxis. Indikasi penatalaksanaan fraktur tulang hidung adalah:
deformitas hidung, sumbatan jalan nafas, epistaksis dan septal hematom. (8,13)
Gambar 4. Kartilago eksternal dan internal os nasal
8
E. Fraktur komplek malar dan arkus.
Zigoma juga dikenal sebagai os malar atau os tripod. Dihubungkan
dengan os frontal, os maksila, os temporal dan sayap dari os sphenoid
sepanjang dinding lateral orbita. Nervus zigomatikotemporal dan
zigomatikofasial keluar melalui foramen kecil dalam zigoma yang
memberikan inervasi pada soft tissue dari malar eminence. (3,11)
Fraktur arkus zigoma dapat terjadi sebagai fraktur terisolasi sekunder
pada benturan langsung dengan sisa artikulasio zigoma masih intak. Fraktur
zigoma pada semua artikulasio, sering terjadi primer pada benturan langsung.
Pergeseran dapat meningkat oleh karena tarikan m. masseter ke arkus zigoma. (11,12)
F. Fraktur maksila dan midfasial.
Midfasial disusun oleh vertikal dan horisontal dari sistem penunjang,
terdiri dari tulang tebal memberi daya tahan dari benturan pada muka. Dinding
penopang vertikal yang kuat mempertahankan dimensi vertikal dari muka.
Terdiri dari: (3,4,11)
1) Nasomaksilari (NM), sepanjang apertura piriformis dan medial
rima orbita.
2) Zigomatikomaksilari (ZM), dari alveolus maksilari melewati sutura
zigomatikofrontal os zygoma.
3) Pterigomaksilari (PM), sepanjang dasar kranial dari portio
posterior os maksila.
Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di
pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris
bagian frontal dan arkus zigomatikus. Gambaran klinis fraktur tripod adalah
oedem periorbital dan equimosis. Jika diduga terjadi fraktur tripoid, maka
dilakukan pemeriksaan dengan foto polos, termasuk Waters. (9,10,14)
9
Gambar 5. Fraktur zigomatikomaksilari
Fraktur maksila dari fraktur simpel dentoalveolar hingga fraktur
kominutif midfasial, tergantung pada kekuatan benturan secara langsung. Pada
fraktur maksilari komplit, dinding penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila
dapat juga terjadi langsung pada sagital, biasanya dimulai pada perbatasan
hingga kaninus. Klasifikasi Le Fort: (3,4,10,14)
a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).
- Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh
prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.
- Letak: sepertiga bawah,
- Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah
Gambar 6. Le Fort I
b. Le Fort II (fraktura piramidal).
– Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk
piramid,
10
– Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan
menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.
– Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/
hematom periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan
perdarahan subkonjungtiva.
Gambar 7. Le Fort II
c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).
- merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis
tengkorak dimana letaknya sepertiga atas dari facial,
- bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.
- memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal
Gambar 8. Le Fort III
G. Fraktur mandibula.
Bentuk U mandibula disusun oleh korpus, simpisis, ramus, kondilus
dan prosesus koronoid. Mandibula memiliki angulus dimana menghubungkan
korpus dengan ramus. Kondisi ini yang menyebabkan molar tiga tidak erupsi.
Daerah mandibula yang sering sakit yaitu pada area kondilus. Korpus anterior
11
dan parasimpisis sering sakit karena akar yang panjang dari kaninus dan
adanya foramen mentalis. Nervus alveolaris inferior dan arteri alveolaris
inverior masuk melalui lingula pada batas medial dari ramus dan berjalan
sepanjang kanal kemudian keluar melalui foramen mentalis. (3,7,9,13)
Gambar 9. Bagian-bagian os mandibula yang sering mengalami fraktur.
Mandibula adalah tulang paling kuat dari tulang muka, tapi merupakan
salah satu tulang yang paling banyak terjadi fraktur. Lebih dari 50% fraktur
multipel mandibula. Fraktur sering terjadi bilateral pada lokasi bersebrangan
dari lokasi dimana terjadi trauma langsung serta pada umunya akan disertai
dislokasi fragmen tulang. Pada pemeriksaan diperhatikan adanya asimetris dan
maloklusi. Fraktur mandibula pada kedua colum dan medial menyebabkan
asfiksia mendadak karena obstruksi hipofaring akibat lidah terdorong
kebelakang dan epiglotis menutup laring. (3,13)
Gambar 10. Regio anatomi dan frekuensi fraktur.
(A) Anatomi Mandibula. (B) Frekuensi.
12
3. DIAGNOSIS
A. Fraktur Rima Orbita
1. Tanda dan gejala klinis
a. Exopthtalmus akibat hematom retroorbita dan endophthalmos (
sunken eyes ) akibat blow out fracture.
b. Mata sejajar atau bergeser
c. Distrofia ( level orbita tidak sama )
d. Gangguan penglihatan atau gangguan visus
e. Infraorbital anesthesia.
f. Diplopia
Dapat terjadi akibat pergeseran bola mata yang mengakibatkan
jepitan otot-otot penggerak bola mata, kontusio otot ekstraokular,
paralisis nervus okulomotorius dan oedema yang membatasi
pergerakan bola mata.
g. Ptosis akibat lesi nervus III
h. Telecanthus yaitu jarak pori canthus melebar, hal ini dapat terjadi
bila terdapat lesi pada nasal.
i. Periorbital dan subconjunctival hemorragi
j. Fraktur yang mengakibatkan kerusakan pada retina atau nervus
optikus dapat menimbulkan gejala ”Marcus-Gunn pupil” atau
defek afferen pupil, dimana dengan pemeriksaan reflek cahaya
pada mata yang cedera tidak ada konstriksi pupil, namun pada
reflek cahaya mata kontralateral didapatkan konstriksi pupil positif
pada mata yang cedera. (1,7)
Gambar 11. Fraktur Rima Orbita
13
2. Pemeriksaan penunjang
a. Skull AP
Foto polos tidak begitu representatif, foto dengan Water’s kadang
dapat memperlihatkan garis fraktur. Pada Orbital Blowout Fractures
didapatkan tanda khas radiologis :
1) Hanging tear drop sign
2) Open bomb bay door
3) Air fluid levels
4) Orbital emphysema
Gambar 12. Foto Polos Orbital Blowout Fractures
b. CT (axial axis)
Thin section, axial, dan coronal CT scan dibutuhkan untuk diagnosis :
1) Axial CT scan memperlihatkan dengan baik dinding orbita medial dan
lateral
2) Coronal CT scan memperlihatkan abnormalitas dinding orbita atap,
dasar dan area interorbital. Fraktur pada dasar orbita sulit didiagnosis
tanpa pencitraan coronal. Apabila leher pasien tidak dapat
hiperekstensi untuk pencitraan ini, maka dapat direkonstruksi dengan
pencitraan axial. Rekonstruksi oblique parasagittal sepanjang axis bola
mata dapat menghasilkan pencitraan yang baik dari dinding dasar
orbita. (1,7)
14
Gambar 13. Head CT scan dengan fraktur rima orbita
B. Fraktur Zigoma
1. Gejala klinis
a. Diplopia
b. Anesthesia atau hypoesthesia
Terutama pada daerah pipi anterior, bibir atas, dan hidung bagian
lateral akibat laserasi atau kontusio nervus infraorbitalis.
c. Trismus ( sulit membuka mulut )
Apabila terdapat cedera pada lengkungan processus coronoideus.
2. Tanda klinis
a. Depresi tonjolan tulang pipi atau pendataran malar eminens dapat
terlihat melalui pemeriksaan basilar view.
b. Edema
c. Subconjuctival hemorrhage dan periorbital ecchymosis
d. Pergerakan mandibula terbatas
e. Deformitas dan nyeri daerah fraktur dan sepanjang rima orbita
dengan palpasi.
f. Unilateral epistaksis
g. Gambaran antimongoloid pada fisura palpebra.
15
Akibat terjadinya pergeseran atau displacement zygoma inferior
yang terletak dibawah sutura zygomaticofrontalis.
h. Enophthalmos
Dapat terjadi akibat naiknya volume bola mata karena os zygoma
meliputi sebagian besar dinding lateral orbita.
i. Dystrophia vertikal (7,9,10)
Gambar 14. Kiri : Fraktur Zygoma sinistra; Kanan : Pendataran malar eminens.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Plain photo : Water’s, Submentovertex , dan Caldwell view
1) Water’s view : untuk penampakan garis fraktur. Merupakan
foto polos terbaik untuk fraktur zygomaticomaxillary complex
(ZMC).
2) Submentovertex view : untuk penampakan detail zygomatic
arch.
16
Gambar 15. Fraktur Zygoma dengan Submental view
b. CT scan : proyeksi Axial dan Coronal
1) CT scan potongan axial diperlukan untuk detail akurat dari
anatomi fraktur terutama bila disertai displacement.
2) CT scan coronal images diperlukan apabila dicurigai terdapat
fraktur blow out pada dasar orbita. (10,13)
Gambar 16. Fraktur Tripod Zygoma dengan Coronal CT scan 3 Dimensi
C. Fraktur Os. Nasale
1. Gejala klinis
a. Pembengkakan daerah fraktur
17
b. Epistaksis
c. Obstruksi pernapasan
2. Tanda Klinis
a. Periorbital ecchymosis
b. Nyeri tekan saat palpasi di nasal
c. Terdapat garis fraktur
d. Krepitasi
e. Perubahan bentuk kontur hidung (Nasal deviation)
f. Pergeseran os nasal
g. Hematoma dan atau deviasi septum nasi (5,8,12)
Gambar 17. Kiri: Fraktur os nasale; Kanan: Fraktur os nasale dengan deviasi
septum nasi.
3. Pemeriksaan penunjang
Radiografi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis. Foto polos dapat dibuat
bila diperlukan untuk dokumentasi legal, untuk hal ini dapat digunakan foto
Skull lateral dan atau Waters view untuk konfirmasi diagnosis. CT scan dibuat
hanya bila dicurigai terdapat patah tulang muka ditempat lain, misalnya bila
terdapat fraktur NOE (naso orbita ethmoidalis). Keputusan untuk operasi
tergantung pada penemuan klinis (3,5,8)
18
Gambar 18. Fraktur os nasale dengan foto Skull lateral
D. Fraktur Nasoorbita Ethmoidale
1. Gejala klinis
a. Epistaksis dan atau CSF rhinorrhea
CSF rhinorrhea ditemukan pada fraktur cribiformis. Untuk
membedakan antara bloody dan CSF rhinorrhea dapat ditentukan
dengan tes fluoresin, yaitu dengan kertas celup fluoresen atau bisa
juga dengan kertas tisu ditempatkan di fornix meatus inferior, bila
kertas diangkat terdapat fluoresin warna hijau maka didapat hasil
positif CSF rhinorrhea.
b. Nyeri daerah hidung
c. Krepitasi dengan pemeriksaan bimanual di region canthal
d. Mobilitas tulang dari komplek nasal.
2. Epiphora dapat terjadi bila terdapat lesi dari sistem lacrimalis.
3. Tanda klinis
a. Saddle nose
Bentuk hidung mendatar (flattened nasal bridge) bisa terjadi akibat
pembengkakan
b. Bentuk muka memanjang
c. Telecanthus (pelebaran pori canthus atau nasal bridge)
Bowstring test: kelopak mata bawah diposisikan dengan traksi ke
lateral dan palpasi ligament di region canthus untuk mendeteksi
19
apakah ikatan masih intak atau tidak. Gangguan atau disruption
pada ligamen-ligamen ini dapat menyebabkan trauma pada
telecanthus yang ditandai dengan melebarnya jarak antara medial
canthus.
d. Palpasi intranasal didapatkan pergerakan dari medial canthus
e. Glabella, periorbital, dan nasal ecchymosis
f. Hilangnya tonjolan nasal bagian dorsal (loss of dorsal nasal
prominence)
g. Nyeri tekan dengan palpasi di daerah nasal (5,7,8)
Gambar 19. Regio Nasoorbita Ethmoidale.
4. Radiologis
Foto polos tidak sensitif untuk diagnosis. CT scan muka dengan
potongan coronal melalui medial orbita dan CT scan potongan axial
merupakan pemeriksaan radiologis terpilih.
20
Gambar 20. Head CT scan non kontras dengan fraktur Nasoorbita Ethmoidale.
E. Fraktur Maksila
1. Gejala klinis
a. Nyeri
b. Gangguan mengigit dan mengunyah
c. Perdarahan nasopharing
d. Epistaksis
Bila terdapat fraktur sinus maxillaris akan terjadi perdarahan.
2. Tanda klinis
a. Maloklusi dapat berupa open bite terutama anterior open bite, cross
bite dan trismus.
b. Elongasi muka
Terdapat dishface appearance yaitu muka datar seperti piring
c. Pembengkakan midfacial
d. Periorbital hematome
e. Unstable atau floating maxilla
Dengan menekan maxilla bagian anterior diantara ibu jari dan
telunjuk sambil fiksasi kepala dapat diperiksa stabilitas dari maxilla.
f. Deformitas
g. Gigi goyang atau lepas atau hilang
h. Pemeriksaan intraoral dapat ditemukan laserasi gingiva atau mukosa
i. Laserasi pada bibir dan palatum sering menyertai fraktur os palatina. (4,11,14)
21
3. Gejala klinis dan radiologis fraktur maksila berdasarkan klasifikasi
LeFort
a. LeFort I
1) Gejala
a) Oedem muka
b) Maloklusi
c) Unstable maxilla
Gambar 21. Fraktur LeFort I
2) Radiologi
a) Foto polos Skull PA/Lateral, Water’s dan Caldwell view,
dapat terlihat penampakan garis fraktur LeFort I yang
meliputi:
− Apertura nasalis
− Maxilla inferior
− Dinding lateral maxilla.
b) CT scan muka dan kepala dengan potongan coronal dan
rekonstruksi 3 dimensi. (3,4,7)
22
Gambar 22. Head CT scan LeFort I
b. LeFort II
1) Gejala
a) Oedem muka
b) Pendataran nasal
c) Telecanthus
d) Epistaksis atau CSF rhinorrhea
e) Unstable maxilla dan hidung
2) Radiologis
Foto polos dan CT scan muka dan kepala dapat terlihat garis
fraktur LeFort II yang meliputi:
− Os nasal
− Medial orbita
− Sinus maxillaris
− Processus frontalis maxilla
23
Gambar 23. Fraktur Maxilla LeFort II.
c. LeFort III
1) Tanda dan gejala klinis
a) Muka datar seperti piring (Dish face deformity)
b) Epistaksis dan CSF rhinorrhea
c) Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma
d) Obstruksi jalan napas berat
e) Maloklusi
f) Battle sign ( perdarahan retroauriculair)
g) Raccoon eyes
h) CSF otorrhea
i) Hemotympani
Gambar 24. Fraktur LeFort III
24
2) Radiologi
Foto polos Skull AP/Lateral, Water’s view, dan CT scan muka
dan kepala dapat terlihat garis fraktur LeFort III yang meliputi :
− Sutura zygomaticofrontalis
− Os zygoma
− Dinding medial orbita
− Os nasal ( 3,4,11,13)
F. Fraktur Mandibula
1. Gejala klinis
a. Maloklusi dapat berupa open bite, cross bite dan trismus
b. Anestesia atau hipoestesia daerah rahang bawah, terjadi akibat lesi
nervus alveolaris inferior.
c. Keluar darah dari mulut
d. Nyeri daerah rahang
e. Tragus pain terutama saat menggigit dan menggerakan rahang
2. Tanda klinis
a. Deformitas, berupa deviasi midline
Fraktur subcondylus dapat terjadi deviasi pipi ke ipsilateral.
b. Terdapat step defect dengan palpasi intraoral atau ekstraoral di
sepanjang mandibula.
c. Pergerakan abnormal dari mandibula
d. Asimetris lengkung dentis
e. Laserasi intraoral, submucosal dan sublingual hematom
f. Gigi goyang, patah dan atau hilang
3. Radiologis
a. Foto polos : Skull PA / Lateral oblique, Townes view, Panoramic
view
Foto polos panoramic adalah pemeriksaan radiologis yang terbaik
untuk diagnosis fraktur mandibula, sebab dengan foto ini dapat
memperlihatkan keseluruhan mandibula. Hal ini memudahkan
penilaian lokasi fraktur, kondisi gigi, dan lokasi kanal alveolaris
25
inferior. Namun foto panoramic ini haruslah sebagai suplementasi
dari foto Skull AP untuk diagnosis akurat fraktur mandibula.
b. CT Scan tidak begitu diperlukan, namun dapat digunakan pada
kasus fraktur kominutif yang ekstrim dan bila ditemukan fraktur
condylus intraartikular. (4,8,9)
Gambar 25. Foto polos panoramic
F. Fraktur Os Frontal
1. Tanda klinis
a. Contusio
b. Lacerations
c. Hematoma di area dahi atau orbita
d. Palpable step deformity
e. Orbital emphysema
f. Displaced dari bola mata
2. Gejala klinis
a. Hypesthesia pada area distribusi nervus supraorbitalis
b. Gangguan penglihatan dan visus
c. Perubahan kesadaran dan mental apabila meliputi cedera otak
3. Radiologi
a. Foto polos untuk melihat garis fraktur dan gambaran air fluid level sinus
frontalis atau pneumocephalus.
b. Skull anteroposterior dan lateral
c. Water’s, submentovertex, dan Caldwell view
26
d. CT scan dengan potongan tipis axial sensitif untuk diagnostik fraktur sinus
frontalis. (6,7,12)
Gambar 26. Kiri : Fraktur os frontal dengan foto Caldwell; Kanan : Fraktur Os
Frontal.
4. PENATALAKSANAAN
PENANGANAN AWAL
a. Primary survey : Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya
tetap diawasi.
b. Secondary survey : pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,
telinga, hidung, wajah bagian tengah, mandibula, rongga mulut,
dan oklusi. Adanya cedera kepala (Brain injury) dapat menunda
timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada
fraktur tulang muka.
c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi
definitif.
d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak
mengganggu jalan napas.
e. Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus
dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/tamponade
hidung. (2,7, 9, 13)
27
.
PENANGANAN LANJUT.
a. Fraktur Mandibula
Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan Wire ataupun Arch Bar
menghasilkan “union” dan “occlusi” yang dicapai dalam ± 5 minggu.
Reduksi kemudian fiksasi dengan mini Plate Screw tidak memerlukan
penguncian geligi sebagaimana pada Wire dan Arch Bar.
b. Fraktur Maxilla
Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobucalis dan infra cilliar
palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan Wire atau mini Plate
Screw
c. Fraktur rima orbita
Penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi untuk mengembalikan
bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu.
d. Fraktur nasal
Sebaiknya direparasi tidak terlalu lama sejak traumanya, mengingat
tulang nasal adalah pipih dan sering patahnya berbentuk impresi,
deviasi, atau remuk. (2,7, 12)
5. PROGNOSIS
Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan
dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika
penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka
penyembuhannya bisa jadi masalah.
Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh dapat
menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah multipel
dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas
luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik. (2,
12)
6. PENCEGAHAN
28
Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang
melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma
maksilofasial. (2,7,9,12)
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Adam J Cohen, MD. 2009. Facial Trauma, Orbital Floor Fractures
(Blowout). http://emedicine.medscape.com ( 17 Oktober 2009)
2. Sudjatmiko, G. 2007. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. P 74-
78. Yayasan Khasanah Kebajikan.
3. Daniel Cerbone D.O. 2008. Maxillofacial Trauma. Emergency Department St.
Barnabas Hospital. http:// www.sbhemresidency.com (17 Oktober 2009)
4. Kris S Moe.2009. Facial Trauma, Maxillary Fracture. Division of Facial
Plastic and Reconstructive Surgery University of Washington School of
Medicine. http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)
5. Kristin K Egan, MD. 2009. Facial Trauma, Nasoethomid Fracture.
Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of
California San Francisco. http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)
6. Thomas Widell, MD. 2009. Facial Trauma, Frontal Fracture. Department of
Emergency Medicine, Rosalind Franklin School of Medicine
http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)
7. Greer E, Steven., et all. 2006. Handbook of Plastic Surgery. New York:
Taylor & Francis e-Library
8. Vipul R Dev, MD. 2009. Facial Trauma, Nasal Fracture. California Institute
of Cosmetic&Reconstructive Surgery. http://emedicine.medscape.com (17
Oktober 2009)
9. Prasetiyono A. 2005. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.
Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun
IX hal 41-50.
10. Bailey JS, Goldwasser MS. 2004. Management of Zygomatic Complex
Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and
Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc.
11. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial
lesion in mild and moderate head injury patients. http://bedahugm.com (17
Oktober 2009).
30
12. Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur
panfascial. http://www.pdgionline.com (17 Oktober 2009).
13. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj
et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003
14. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.
oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005
31