refreshing

48
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang terdiri atas pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior) 1 . Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung dan kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri 1 . Sumbatan hidung merupakan salah satu keluhan utama pada penyakit atau kelainan hidung 1 . Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum nasi 1,2 . Di Brazil pada tahun 2004pernah dilaporkan insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 % dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9% 2 . 1

Upload: intan-cantika

Post on 17-Sep-2015

9 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

obstruksi hidung

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangHidung merupakan organ berbentuk piramid yang terdiri atas pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior)1. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Rongga hidung dan kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengah menjadi kavum nasi kanan dan kiri1.Sumbatan hidung merupakan salah satu keluhan utama pada penyakit atau kelainan hidung1. Gejala sumbatan hidung meskipun bukan suatu gejala penyakit yang berat, tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan aktivitas penderita. Penyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum nasi1,2. Di Brazil pada tahun 2004pernah dilaporkan insiden deviasi septum nasi mencapai 60,3 % dengan keluhan sumbatan hidung sebanyak 59,9%2.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi HidungHidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:1 1. pangkal hidung (bridge), 2. batang hidung (dorsum nasi), 3. puncak hidung (hip), 4. ala nasi, 5. kolumela dan 6. lubang hidung (nares anterior).

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Bagian Luar4 Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari: 1 1. tulang hidung (os nasalis), 2. prosesus frontalis os maksila dan 3. prosesus nasalis os frontal

Gambar 2.2. Anatomi Kerangka Hidung5Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu: 1 1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor), 3. beberapa pasang kartilago alar minor dan 4. tepi anterior kartilago septum.Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring1. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise1.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela1.Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut agger nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung1.Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga rudimenter1.

Gambar 2.3 Anatomi Dinding Lateral Rongga Hidung5Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior1.Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung1. Pendarahan HidungBagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna1.Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media1. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak1. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial1.

Persarafan HidungBagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina1.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila, serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus.Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media1.Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung1.

Mukosa HidungRongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet1.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet1. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung1.Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid1.Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidungmenyerupai suatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom1.

2.2 Fisiologi HidungBerdasarkan teori structural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah: 1 1. Fungsi respirasi Untuk mengatur kondisi udara, humidikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik local. Udara inpirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus1. Udara yang dihirup akan mengalami humidikasi oleh palut lender. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lender, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya1. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas1. Partikel debu, virus, bakteri, jamur yang terhirup bersama udara akan disaring dihidung oleh: 1 a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasib. Siliac. Palut lendirDebu dan bakteri akan melekat pada palu lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.2. Fungsi penghidu Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat1.Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk mebedakan rasa ayam yang berasal dari cuka dan asam jawa1.3. Fungsi fonetik Yang berguna untuk resonanasi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia)1. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara1.4. Fungsi statik dan mekanik Untuk meringankan beban kepala1. 5. Reflex nasal.Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsangan bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas1.

2.3 Sistem Transpor MukosilierSistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya yang terhirup bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa1. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa, sedangkan pada bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih elastik dan lebih banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA)1.Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus berfungsi untuk pertahanan lokal yang bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi di dalam mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajan dengan antigen bakteri1.Pada sinus maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior, dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi, jika sekret lebih kental maka sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek1.Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, lalu ke atap, dinding lateral, dan bagian inferior dari dinding anterior dan posterior menuju resesus frontal. Gerakan spiral menuju ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan rektilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostiumnya terdapat pada salah satu dindingnya1.Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transpor mukosilier. Rute pertama merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya bergabung di dekat infundibulum etmoid yang selanjutnya akan berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian antero-inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi dan proses menelan1.Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba eustachius1.Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius1.

2.4 Penyakit yang dapat Menyebabkan Sumbatan HidungPenyebab sumbatan hidung dapat bervariasi dari berbagai penyakit seperti polip hidung, rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinosinusitis, tumor hidung dan sinonasal, serta dapat disebabkan oleh kelainan anatomis seperti deviasi septum nasi1,2.1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.4.1. Polip Hidung1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.4.1. 2.4.1.1. DefinisiPolip hidung adalah massa lunak yang bertangkai, yang mengandung banyak cairan di dalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, permukaannya licin, yang terjadi akibat inflamasi mukosa1,6.2.4.1.2. Etiologi dan PatogenesisPembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Berdasarkan teori Bernstein, polip nasi disebabkan oleh terjadinya peribahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang berturbulensi, terutama di daerah sempit kompleks ostio-meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru, juga terjadi peningkatan penyerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip1.Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan dilepaskannya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema. Apabila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai1. 2.4.1.3. Gejala KlinisKeluhan utama penderita polip nasi adalah hidung rasa tersumbat, dari yang ringan hingga berat. Selain itu terdapat rinore mulai dari yang jernih hingga purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin dapat disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Apabila disertai infeksi sekunder, mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul berupa bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan penurunan kualitas hidup1.Polip nasi juga dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. 2.4.1.4. KlasifikasiPembagian stadium polip menurut Mackay dan Lund (1997):11. Stadium 1Polip masih terbatas di meatus medius.2. Stadium 2Polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung.3. Stadium 3Polip yang masif.

2.4.1.5. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.1. AnamnesisPada anamnesis dapat ditanyakan gejala-gejala yang terjadi pada pasien polip nasi. Selain itu juga harus ditanyakan adanya riwayat rinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan1.2. Pemeriksaan FisikPolip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, polip akan terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan1.Pada polip dengan stadium 1 dan 2 terkadang polip nasi tidak terlihat dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, namun akan tampak dengan menggunakan nasoendoskopi1.

MakroskopisSecara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif (tidak terasa sakit bila ditekan/ditusuk). Warna polip yang pucat dikarenakan mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Apabila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan, maka warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan ikat1.Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal di meatus medius dan sinus etmoid. Apabila diperiksa dengan endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Terdapat polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring yang disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid1.

MikroskopisSecara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang lembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma, eusinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aaliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi1.Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe eosinofilik dan tipe neutrofilik1.3. Pemeriksaan RadiologiFoto polos sinus paranasal (posisi Waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan CT Scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. CT Scan terutama diindikasikan pada pasien dengan polip yang gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi1.

2.4.1.6. PenatalaksanaanTujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi adalah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi, dan mencegah rekurensi polip1.Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi, disebut juga dengan polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topikal atau sistemik. Pada polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan tipe neutrofilik1.Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi lokal, emoidektomi intranasal atau emoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Namun, apabila tersedia fasilitas endoskop, maka penatalaksanaan yang terbaik adalah dengan melakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional)1.2.4.2. Rinitis Alergi1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.4.2.1. DefinisiRhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986)1.Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE1.2.4.2.2. EtiologiRhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi1. Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain1.

2.4.2.3. PatofisiologiRinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam1.

Gambar 2.4 Reaksi Alergi1Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung1.Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 131.IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC)1.Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1)1.Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung1.Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi1.

2.4.2.4. KlasifikasiDahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 11. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi). 2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 11. Intermiten (kadang-kadang)Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.2. Persisten/menetap Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 11. Ringan Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.2. Sedang-berat Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

2.4.2.5. DiagnosisAnamnesisAnamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin1.Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien1. Pemeriksaan FisikPada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner1. Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease1. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue)1.

2.4.2.6. PenatalaksanaanTerapi yang paling ideal dan utama pada rinitis alergi adalah dengan menghindari kontak (avoidance) dengan allergen penyebabnya (seperti tungau debu, bulu binatang) dan bahan iritan (seperti asap tembakau)1,7. Tujuan tatalaksana pada rinitis alergi adalah untuk menghilangkan gejala yang timbul7.

Medikamentosa1. AntihistaminAntihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral1.Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif)1. Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin1. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa1.2. AntikolinergikPreparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor1. 3. KortikosteroidPreparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis1. 4. LainnyaPengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan1.

OperatifTindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat1.ImunoterapiCara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual1.

Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksanaan Rinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001 (dewasa)1

2.4.3. Rinitis VasomotorRinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid) dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-blocker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan1.Kelainan ini memiliki gejala yang mirip dengan rinitis alergi, namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata1. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak gambaran edema mukos hidung, konka merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dari rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol- benjol (hipertrofi). Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofilia pada sekret hidung, namun dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif, kadar IgE spesifik tidak meningkat1.Gejala hidung tersumbat pada rhinitis umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor oral.

2.4.4. Sinusitis2.4.4.1. DefinisiInflamasi mukosa sinus paranasal yang umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis, sehingga sering disebut rinosinusitis1. Umumnya sinusitis dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis1. Rinosinsitis didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristikkan dengan dua atau lebih gejala, dimana salah satunya haruslah berupa sumbatan hidung/ obstruksi/ keluarnya sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), selain itu adanya nyeri wajah atau nyeri tekan pada wajah, penurunan ketajaman penghidu8.2.4.4.2. EtiologiEtiologi dan predisposisi pada sinusitis antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita haamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener1.Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama kelamaan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia1.2.4.4.3. PatofisiologiKesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosilier di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan1.Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjdi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat, sehingga terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non-bakterial dan biasanya dapat sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan. Namun, bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus akan menjadi media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Pada kondisi ini sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut rinosinusitis akut bakterial dan membutuhkan terapi antibiotik1.Apabila terapi tidak berhasil dan inflamasi berlanjut,akan terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa semakin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik, yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin dibutuhkan tindakan operasi1.

2.4.4.4. Gejala KlinisKeluhan utama rinosinusitis akut adalah hidung tersumbat yang disertai nyeri/ rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat juga disertai dengan gejala sistemik seperti demam dan lesu1. Menurut kriteria EPOS, rinosinusitis dikarakteristikkan dengan dua atau lebih gejala, salah satunya haruslah sumbataan hidung/ obstruksi/ sekret hidung (anterior/ posterior nasal drip), selain itu nyeri wajah/ nyeri tekan pada wajah, penurunan atau kehilangan penghidu. Dan berdasarkan temuan endoskopik dapat juga ditandai dengan polip hidung, sekret yang mukopurulen secara primer dari meatus media dan atau udem/ obstruksi mukosa secara primer pada meatus media dan atau perubahan pada CT Scan yaitu perubahan mukosa pada KOM dan atau sinus8.2.4.4.5. DiagnosisDiagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis akan didapatkan gejala-gejala yang dikeluhkan penderita1.Pemeriksaan fisik dilakukan dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi. Pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya adalah adanya pus di meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid)1.Pada rinosinusitis akut, mukosa akan edem dan hiperemis. Pada anak sering terdapat pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius1.Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto polos posisi Waters, PA, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Pada kelainan akan terlihat perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa. CT scan sinus merupakan gold standard pada diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus1. 2.4.4.6. PenatalaksanaanTujuan terapi sinusitis adalah:1. Mempercepat penyembuhan2. Mencegah komplikasi3. Mencegah perubahan menjadi kronik.MedikamentosaPrinsip pengobaatan adalah dengan membuka sumbatan pada KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami1.Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinis sudah hilang1. Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai dengan kuman gram dan anaerob.Selain dekingestan oral dan topikal, jika perlu juga dapat diberikan analgetik, mukolitik, steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan(diatermi). Bila ada alergi berat, diberikan antihistamin generasi ke-2. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan yang berat1.Tindakan Operasi Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya untuk dilakukan operasi adalah sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur1.1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.3.1. 2.3.2. 2.3.3.

2.4.5. Deviasi Septum Nasi1. 2. 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.4.1. 2.4.2. 2.4.3. 2.4.4. 2.4.5. 2.4.5.1. DefinisiDeviasi septum nasi didefinisikan sebagai bentuk septum yang tidak lurus di tengah sehingga membentuk deviasi ke salah satu rongga hidung atau kedua rongga hidung yang mengakibatkan penyempitan pada rongga hidung2.Bentuk septum nasi normal ialah lurus di tengah rongga hidung, namun pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna di garus tengah. Deviasi septum nasi yang ringan tidak akan mengganggu, namun pada septum deviasi yang cukup berar dalap menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung1.

2.4.5.2. EtiologiPenyebab deviasi septum nasi yang tersering adalah trauma. Trauma yang terjadi dapat berupa fraktur fasial, fraktur nasal, fraktur septum, atau akibat trauma saat lahir1,2. Penyebab lainnya adalah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan septum nasi terus tumbuh, sedangkan batas superior dan inferior telah menetap, sehingga terjadilah deviasi pada septum nasi1.

2.4.5.3. KlasifikasiDeviasi septum nasi dibagi Mladina atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi (Gambar 2), yaitu2,9,10:1. Tipe I. Benjolan unilateral, tidak meluas sepanjang kavum nasi, tidak kontak dengan dinding lateral hidung yang belum mengganggu aliran udara.2. Tipe II. Deviasi vertikal anterior. Deviasi kontak dengan katup hidung, menyebabkan gangguan fungsi.3. Tipe III. Deviasi vertikal, posterior. Deviasi dekat kepala konka media / area osteomeatal.4. Tipe IV. Disebut juga tipe S dimana septum bagian posterior dan anterior berada pada sisi yang berbeda. Tipe ini merupakan kombinasi dari tipe II dan III.5. Tipe V. Tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal.6. Tipe VI. Tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri.7. Tipe VII. Kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.

Gambar 2.6 Klasifikasi Septum Nasi menurut Mladina10

Jin RH dkk membagi deviasi septum berdasarkan berat atau ringannya keluhan yaitu10: 1. Ringan : deviasi kurang dari setengah rongga hidung dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.2. Sedang : deviasi kurang dari setengah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung.3. Berat : deviasi septum sebagian besar sudah menyentuh dinding lateral hidung

2.4.5.4. Pemeriksaan Fisik Deviasi Septum NasiDeviasi septum nasi dapat terlihat dengan mudah pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat robekan mukosa2.

2.4.5.5. Gejala KlinisKeluhan yang paling sering dikeluhkan pada pasien dengan deviasi septum nasi adalah sumbatan hidung, baik unilateral maupun bilateral, hal ini dikarenakan pada sisi deviasi terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi1,2.Keluhan lainnya dapat berupa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu penciuman dapat terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis1,2.

2.4.5.6. PenatalaksanaanBila tidak ada gejala atau keluhan yang sangat ringan, tidak perlu dilakukan tindakan koreksi septum. Sedangkan pada pasien dengan keluhan yang nyat, terdapat 2 jenis tindakan operatif yaitu reseksi submukosa dan septoplasti1.1. Reseksi SubmukosaPada operasi ini muko-perikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah1.Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung oleh karena bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat1.2. SeptoplastiPada operasi ini tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana1.

2.4.6. Hematoma SeptumSebagai akibat trauma, pembuluh darah submukosa akan pecah dan darah akan berkumpul di antara perikondrium dan tulang rawan septum1. Apabila terjadi fraktur tulang rawan, maka darah akan masuk ke sisi lain, sehingga dapat terbentuk hematoma septum bilateral. Adanya kumpulan darah di sub-perikondrium akan mengancam vitalitas tulang rawan yang hidupnya tergantung dari nutris perikondrium1.Gejala klinikGejala yang menonjol pada hematoma septum adalah sumbatan hidung dan rasa nyeri1.Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan unilateral atau bilateral pada septum bagian depan, berbentuk bulat, licin, dan berwarna merah. Pembengkakan dapat meluas sampai ke dinding lateral hidung, sehingga mengakibatkan obstruksi total1.TerapiDrenase yang segera dilakukan dapat mencegah terjadinya nekrosis tulang rawan. Dilakukan pungsi, dan kemudian dilanjutkan dengan insisi pada bagian hematomayang paling menonjol. Bila tulang rawan masih utuh, dilakukan insisi bilateral. Setelah insisi, dipasang tampon untuk menekan perikondrium ke arah tulang rawan di bawahnya1.Antibiotika harus diberikan untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder1.KomplikasiKomplikasi hematoma septum yang mungkin terjadi adalah abses septum dan deformitas hidung luar seperti hidung pelana (saddle nose)1.

2.4.7. Abses SeptumDefinisiAbses septum nasi adalah pus yang terkumpul di antaraa tulang rawan dengan mukoperikondrium atau tulang septum dengan mukoperiosteum yang melapisinya11. Abses septum kebanyakan disebabkan oleh trauma yang kadang-kadang tidak disadari oleh pasien. Seringkali didahului oleh hematoma septum yang kemudian terinfeksi kuman dan menjadi abses1. GejalaGejala abses septum adalah hidung tersumbat progresif yang disertain dengan rasa nyeri berat terutama terasa di puncak hidung1.PemeriksaanPemeriksaan lebih baik tanpa menggunakan spekulum hidung. Tampak pembengkakan septum yang berbentuk bulat dengan permukaan licin1.PenatalaksanaanAbses septum harus segera diobati sebagai kasus gawat darurat, karena dapat terjadi komplikasi yang berat, yaitu dalam waktu yang tidak lama dapat menyebabkan nekrosis tulang rawan septum1.Terapinya dengan melakukan insisi dan drenase nanah serta diberikan antibiotika dosis tinggi. Untuk gejala demam, dapat diberikan analgetik1.Untuk mencegah terjadinya deformitas hidung, bila sudah ada destruksi tulang rawan perlu dilakukan rekonstruksi septum1. KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi berupa destruksi tulang rawan septum yang dapaat menyebabkan perforasi septum atau hidung pelana (saddle nose). Juga dapat menyebabkan komplikasi ke intrakranial atau septikemia1. Infeksi intrakranial dapat berupa meningitis, abses otak, dan empiema subaraknoid11.

2.5 Pemeriksaan pada Jalan Napas1. Spatula lidahSpatula lidah merupakan pemeriksaan sederhana dan dapat dilakukan apabila tidak ada alat lain yang tersedia, yaitu dengan cara meletakkan spatula di depan hidung dan meminta pasien untuk bernapas biasa sambil menutup mulut. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan apakah terdapat sumbatan hidung.

2. Nasal Inspiratory Peak Flowmetry (NIPF)NIPF merupakan alat untuk mengukur aliran udara hidung saat inspirasi. NIPF terdiri dari tiga bagian yaitu face mask, konektor, dan tabung silinder yang berisi diafragma yang bergerak apabila terdapat aliran udara. Alat ini memiliki skala 30-370 l/ menit. Sebelum melakukan pemeriksaan, pasien terlebih dahulu melakukan adaptasi terhadap suhu ruangan selama 20 menit2.Alat ini digunakan dengan meletakkan face mask menutupi hidung dan mulut. Udara inspirasi dihirup melalui hidung dengan memastikan bahwa mulut tertutup. Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dengan hasil tertinggi yang didapat akan dipakai2. Tabel 2.1. Nilai Sumbatan Hidung pada NIPF2Derajat SumbatanHasil NIPF Hidung

Obstruksi hidung berat< 50

Obstruksi hidung sedang50-80

Obstruksi hidung ringan80-120

Tidak ada obstruksi>120

DAFTAR PUSTAKA1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI2. Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung pada Deviasi Septum Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. 20123. Budiman BJ, Asyari A, Rosalinda R, Azani S. Profil Rinosinusitis di Poliklinik THT RSUP DR. M. Djamil Padang. 2013. Diakses dari http://bestaribudiman.blogspot.com/2013_03_01_archive.html pada tanggal 12 Agustus 2014.4. Hani N. Bagian-bagian Hidung (Indera Pencium). 2013. Diunduh dari http://hanysundara88.blogspot.com/2013/09/hidungindera-pencium-anatomi-hidung.html pada tanggal 14 Agustus 2014.5. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta. Jilid 1 Edisi 22 hlm. 086, 088. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.6. Mudasir, Azis A, Punagi AQ. Analisis Kadar Malondialdehid (MDA) Plasma Penderita Polip Hidung Berdasarkan Dominasi Sel Inflamasi pada Pemeriksaan Histopatologi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. 2011.7. Small P, Kim H. Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011, 7 (Suppl 1) 53.8. Fokkens WJ, Lurd VJ, Mullol J, Bachert C., et al. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology Official Journal of the Europeah and International Societies.9. Budiman BJ, Azami S. Rinosinusitis Kronis dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang. 201210. Jin RH, Lee YJ. New description method and calssification system for septal deviation. J Rhinol 2007; 14(1): 27-3111. Budiman BJ, Prijadi J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Septum Nasi. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2 (1)

4