rekonstruksi budaya austronesia oleh ni luh sutjiati ... · dari bahasa yang tergolong ke dalam...
TRANSCRIPT
1
REKONSTRUKSI BUDAYA AUSTRONESIA
Oleh
Ni Luh Sutjiati Beratha
I Wayan Ardika [email protected]
Abstrak
Para ahli telah dapat mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia, meskipun
telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad lamanya.
Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia adalah sebagai berikut. 1)
Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri biologi yang
dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2) Secara budaya,
penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3) Menggunakan layar
pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah mempunyai style/gaya
seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan kelahiran (birth order) untuk saudara
kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek moyang yang dianggap cikal-
bakal/pendiri keturunan.
Makalah ini difokuskan pada adanya kesamaan budaya dan bahasa sebagai ciri penting
yang diwarisi oleh penutur Austronesia yang tersebar dari Formosa/Taiwan (di utara) hingga
Selandia Baru (di selatan), dan Madagaskar (di barat) hingga Pulau Paskah di (timur).
Pendekatan sosial budaya, terutama dengan menggunakan metode komparasi diterapkan
dalam penulisan makalah ini. Di samping itu, pendekatan kualitatif yang lebih mengandalkan
teknik pengamatan/ observasi dalam pengumpulan data dan informasi juga diterapkan.
Teori-teori yang berkaitan dengan rekonstruksi budaya digunakan untuk menganalisis data.
Kata Kunci: rekonstruksi, budaya.
2
1. Pendahuluan
Kunjungan yang dilakukan Ardika ke Taiwan pada tanggal 17 - 22 Nopember 2014,
dan ke Nias pada tanggal 12 - 14 Desember 2014 menginspirasi penulisan makalah ini. Hasil
kunjungan tersebut telah menambah pemahaman tentang budaya Austronesia. Di samping
itu, terdapat kesamaan elemen budaya materi yang dipamerkan di museum Sejarah
Universtas Nasional Taiwan (History Museum of National Taiwan University), Museum
Taman Nasional Taroko (Taroko National Park) Taiwan, dan rumah Siulu (bangsawan) di
Desa Bawomatolou, Kabupaten Nias Selatan, Nias.
Kesamaan bahasa merupakan ciri penting yang diwarisi oleh penutur Austronesia
yang tersebar dari Madagaskar (barat) hingga Pulau Paskah (timur), Formosa/Taiwan (utara)
dan Selandia Baru (selatan). Para ahli mengidentifikasi ciri-ciri umum penutur Austronesia,
meskipun telah terjadi interaksi dan perubahan secara budaya dan biologi berabad-abad
lamanya. Adapun ciri-ciri umum yang dimiliki oleh penutur Austronesia antara lain sebagai
berikut. 1) Sebagian besar penutur Austronesia di luar Melanesia dan Filipina memiliki ciri
biologi yang dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid Selatan (Southern Mongoloid); 2)
Secara budaya, penutur Austronesia di masa lampau memiliki tradisi mentato tubuh; 3)
Menggunakan layar pada sampan/perahu; 4) Secara etnografi maupun di masa prasejarah
penutur Austronesia mempunyai stile/gaya seni, dan ciri sosial yang terkait dengan urutan
kelahiran (birth order) untuk saudara kandung; serta 5) pemujaan terhadap leluhur/nenek
moyang yang dianggap cikal-bakal/pendiri keturunan.
Rekonstruksi budaya Austronesia juga akan didukung oleh kata-kata yang berkognet
sebagai bukti bahwa nama-nama yang ada pada budaya Austronesia ditunjukkan oleh bukti
kebahasaan yang ada pada bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia.
Data kebahasaan diambil dari Etimologi Volume I (1980), Volome II (1984), dan Volume III
(1986). Data tersebut akan dibandingkan dengan data Bahasa Bali yang diambil dari Prasasti
Bali Volume I dan II (Goris, 1954).
2. Metode Penulisan
Makalah ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih mengandalkan
metode observasi/ pengamatan dan kepustakaan dalam pengumpulan data dan informasi.
Metode pengamatan yang akan diterapkan adalah pengamatan terlibat, dan penerapannya
3
dilakukan dengan cara peneliti ikut serta berada di tempat melakukan kegiatan bersama para
pelakunya masing-masing. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa dalam pengamatan juga
dilakukan wawancara dengan menanyakan sesuatu yang telah dilihat dan didengar terkait
dengan masalah yang dikaji guna memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang lebih jauh.
Hal ini biasa dilakukan dalam pengamatan terlibat, sehingga para ahli mengatakan
pengamatan terlibat sebagai pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam
pengumpulan informasi (Mulyana, 2006 : 162), atau sebagai pengamatan yang bercirikan
interaksi peneliti dengan subjek (Satori dan Komariah, 2009 : 117). Aspek-aspek yang akan
dicermati dalam pengamatan adalah (1) keadaan/situasi dan di rumah informan; (2) orang-
orang yang ikut serta dalam situasi tersebut, termasuk jenis kelamin, usia, profesi, tempat
asal, dan lain-lain; (3) kegiatan yang dilakukan orang dalam situasi tersebut; (4) benda-benda
yang ada di tempat itu serta letak dan penggunaannya; (5) perbuatan, yaitu tindakan para
pelaku dalam proses berlangsungnya kegiatan dalam situasi yang diamati; ekspresi wajah
yang dapat dilihat sebagai cerminan perasan dan emosi.
Analisis data/informasi dilakukan secara interprétatif, terutama secara emik dan etik,
sehingga dapat dihindari kemungkinan adanya masalah dengan informan yang telah
melakukan sesuatu tindakan tetapi tidak mampu menginformasikan maknanya sebagaimana
dikatakan oleh Brian Vay (2004). Proses analisis ini bisa sejalan dengan proses wawancara
dan pengamatan, artinya analisis dilakukan secara bergantian dengan wawancara dan
pengamatan dalam satu paket waktu. Secara konkret mekanismenya bahwa setiap informasi
penting yang diperoleh dari informan langsung dianalisis untuk membuat hipotesis-hipotesis
kecil yang kemudian digunakan untuk membuat pertanyaan yang diajukan berikutnya.
Dengan demikian teknik analisis dan wawancara tersebut mengacu kepada apa yang oleh
Taylor dan Bogdan (1984 : 128) disebut dengan istilah go hand-in-hand. Data yang akan
dikumpulkan dalam penelitian ini sebagian besar berwujud data kualitatif. Data ini akan
dianalisis dengan mengikuti prosedur analisis data kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh
Miles dan Huberman (1992), yaitu reduksi data, menyajikan data, menafsirkan data, dan
menarik simpulan.
3. Pembahasan
Rekonstruksi budaya Austronesia akan mengawali pembahasan yang selanjutnya akan
disajikan bukti-bukti kebahasaan yang akan ditunjukkan melalui kata-kata yang berkognet
4
dari bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesian, khususnya Malayu
Polinesia Barat.
3.1 Rekonstruksi Budaya Austronesia Sebelum penutur Austronesia pindah ke Taiwan, mereka kemungkinan berasal dari
Tiongkok Selatan dengan ciri budaya pertanian. Temuan arkeologi di situs Hemudu di pantai
selatan Hangzhou Bay, Provinsi Zhejiang mencerminkan sebuah desa yang berasal dari
7000 tahun yang lalu dengan telah menghasilkan sejumlah temuan antara lain: gerabah,
kapak batu, peralatan pertanian yang terbuat dari kayu dan tulang, pengerjaan kayu untuk
pembuatan perahu/sampan, pengayuh sampan, alat pemintal benang untuk tenun, anyaman,
tali dan sisa-sisa padi. Selain itu, di situs tersebut juga ditemukan tulang hewan yang telah
didomestikasi seperti babi, anjing, ayam, dan mungkin juga sapi dan kerbau (Bellwood, 1995:
98).
Menurut Bellwood (1995: 100) bahwa komunitas Proto Austronesia (PAN) dan Proto
Malayo-Polinesia (PMP) telah bercocok tanam atau masyarakat agraris, membuat gerabah,
membuat bangunan/rumah kayu, dan mendomestikasi babi. Neolitik di Taiwan diperkirakan
berasal dari 3000-4000 tahun Sebelum Masehi dengan bukti temuan arkeologi yang sama
dengan di Tiongkok Selatan. Bukti arkeologi berupa padi, pollen, dan pembukaan hutan
untuk lahan pertanian di Taiwan berasal dari 3000 tahun Sebelum Masehi.
Sekitar 2500-1500 BC terdapat himpunan temuan arkeologi (asemblage) yang terdiri
atas gerabah berselip merah dan domestikasi babi di Filipina, Sulawesi, Kalimantan Utara,
Halmahera, sampai Timor. Namun, di Indonesia bagian barat belum ditemukan/dilaporkan
situs dengan karakater tersebut.
Babi tampaknya hewan yang sangat penting bagi masyarakat Austronesia. Daging
babi dimanfaatkan untuk upacara keagamaan dan menjamu tamu untuk pesta di kalangan
komunitas Austronesia. Tulang rahang babi di pamerkan di museum Taman Nasional Taroko.
Hal yang sama juga ditemukan di rumah Siulu (bangsawan) di Desa Bawomatolou, Nias
(lihat gambar 1)
5
Gambar. 1. Tulang rahang babi digantung di dinding pada museum Taroko dan di rumah Siulu, Desa Bawomatolou, Nias
Dalam masyarakat Nias terdapat tradisi mengadakan upacara owase yakni semacam
pesta besar dengan menyebelih sejumlah hewan untuk menjamu para tamu. Pesta ini
dimaksudkan untuk meningkatkan status sosial, dan pada saat yang sama keluarga
penyelenggara upacara tersebut juga bertambah kekuataan/kekuasaannya (Koestoro dan
Wiradnyana,2007: 28-29). Bawi (babi) adalah hewan yang paling dibutuhkan dalam setiap
pesta tradisional di Nias. Tinggi-rendahnya status sosial seseorang di Nias dapat diketahui
atau diukur dari banyak-sedikitnya daging babi yang dimiliki atau tersedia untuk upacara
(Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 54). Dengan kata lain, terdapat korelasi positif antara
status sosial seseorang dengan jumlah daging babi yang dimiliki oleh seseorang pada saat
menyelenggarakan upacara dan pesta.
Menurut keterangan kepala Desa Bawomatolou bahwa terdapat tujuh upacara pada
saat pengukuhan seseorang sebagai bangsawan (siulu) pada masyarakat Bawomatolou, Teluk
Dalam, Nias Selatan. Pada saat upacara pengukuhan tersebut diadakan jamuan makan dengan
menggunakan daging babi untuk para undangan yang hadir. Jumlah daging babi yang
disediakan untuk upacara pengukuhan bangsawan Nias tampaknya menjadi penanda status
sosial di masyarakat tersebut.
Fenomena yang sama juga terlihat pada masyarakat Toraja, terutama saat upacara
kematian. Pada upacara kematian itu disembelih sejumlah kerbau. Dalam kehidupan orang
Toraja jaman dulu, keberadaan kerbau adalah simbol kemakmuran, begitu pula dengan kepemilikan
babi dan sawah. Ketiga hal ini menjadi komponen penting dalam kehidupan masyarakat Toraja.
Dalam upacara adat, kerbau hanya digunakan saat kematian yakni pada upacara penguburan.
Biasanya disembelih sejumlah kerbau menurut kemampuan keluarga dan kedudukan yang
meninggal tersebut (file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang
6
Toraja, diunduh 6/5/2015). Tanduk kerbau dipajang sebagai hiasan rumah adat warga, dan
sekaligus menunjukan status sosial pemiliknya (lihat gambar 2).
Gambar 2. Kerbau yang disembelih untuk upacara kematian dan hiasan tanduk kerbau pada Tongkona di Toraja.
Pada saat kunjungan ke museum sejarah di Universitas Nasional Taiwan dipajang
sejumlah koleksi sisir kayu, dan pada bagian pegangannya (handle) terdapat hiasan berupa
kepala manusia atau ular (lihat gambar 3). Gambar sisir juga dijumpai pada sebuah patung
dan hiasan pintu rumah siulu di desa Bawomatolou (lihat gambar 3). Kenyataan ini
mengindikasikan adanya kesamaan seni pahat ataupun tradisi di kalangan penutur
Austronesia
Gambar 3. Beberapa bentuk sisir dengan pola hias kepala manusia dan ular koleksi Museum
Sejarah NTU dan gambar sisir di rumah Siulu di desa Bawomatolou, Nias Sisir kayu (petat, bahasa Bali) kemungkinan berfungsi penting dalam masyarakat
penutur bahasa Austronesia. Sisir kayu biasanya digunakan oleh mereka yang berambut
panjang. Masyarakat penutur Austronesia kemungkinan mempunyai tradisi memelihara
rambut panjang baik laki maupun perempuan.
Komunitas Austronesia juga mempunyai tradisi menghias tubuh dengan tato. Di museum
Taroko ditayangkan video tentang proses mentato tubuh di kalangan orang aborigin Taiwan (lihat
gambar 4). Tradisi tato pada aborigin Taiwan dilakukan pada bagian wajah baik laki ataupun
perempuan. Tradisi mentato tubuh juga dijumpai di kalangan orang Dayak Kenyah, Bahau, Iban dan
Kayan, sedangkan kelompok Dayak lain tidak memiliki praktik tersebut. Laki-laki Kenyah hanya
memiliki tato pada bagian sisi kanan dan kiri punggung mereka. Motif-motif tato untuk perempuan
7
Kenyah meliputi rantai-rantai anjing, motif parang, tanduk-tanduk binatang di bagian lengan dan
paha, serta motif lingkaran dibetis atau pergelangan kaki. Tato pada laki-laki Kenyah merupakan
tanda kedewasaan. Gadis-gadis di Long Mekar kini tidak melanjutkan tradisi mentato diri tersebut
(Maunati, 2004: 154- 155). Mentato bagian tubuh merupakan fenomena budaya Austronesia.
Gambar 4. Tradisi tato di kalangan aborigin Taiwan dan Dayak, Kalimantan
Tradisi menenun adalah salah satu unsur budaya Austronesia. Peralatan tenun dipamerkan
pada museum Taroko (lihat gambar 5). Kebiasaan menenun kini masih berlanjut dan tersebar di
seluruh Nusantara. Motif kain tenun di Indonesia dipengaruhi oleh pola hias geometris yang
digambarkan pada nekara Dongson seperti : spiral, meander, zigzag. Motif spiral, meander, dan belah
ketupat ditemukan pada kain tenun di kalangan orang Batak, Lampung, Dayak, Toraja, dan Timor.
Selain geometris, terdapat pula motif binatang seperti, reptil, buaya, ular, kadal dan katak. Gambar
manusia dan perahu juga diwariskan dari kebudayaan Dongson. Gambar atau motif manusia pada
kain diinterpretasikan sebagai leluhur, demikian pula bila muncul pada periode kemudian (Jay, 2010:
18-19).
Gambar 5. Pemintal benang dan alat-alat tenun yang dipajang di Museum Taroko
Tekstil pada umumnya merepresentasikan simbol status pemakainya. Pemujaan terhadap
leluhur sebagai salah satu sistem kepercayaan masyarakat Indonesia diwujudkan dalam motif
manusia, hewan dan/atau motif abstrak pada tekstil, yang dapat dilihat pada etnik Batak, Toraja,
Dayak, dan di pulau-pulau Indonesia bagian timur (Tanimbar, Maluku, dan Timor)(Jay, 2010: 21).
Upacara kematian adalah bentuk penghormatan terakhir kepada tokoh atau orang yang telah
meninggal dan sekaligus sebagai bentuk pemujaan leluhur. Tradisi ini masih dipraktikan oleh
8
sejumlah etnik di Nusantara. Pada masyarakat Nias misalnya, berbagai upacara yang terkait dengan
megalitik dilakukan untuk pemujaan leluhur, dan pada saat yang sama dimaksudkan untuk
menunjukan status, prestige, dan kemasyuran seseorang (Koestoro dan Wiradnyana: 2007: 70).
Upacara Rambu Solo di kalangan masyarakat Toraja telah diwarisi secara turun
temurun. Keluarga yang ditinggal diwajibkan membuat sebuah pesta sebagai tanda
penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Namun dalam pelaksanaannya,
upacara Rambu Solo terbagi dalam beberapa tingkatan sesuai dengan strata sosial masyarakat
Toraja, yakni: Dipasang Bongi adalah upacara yang hanya dilaksanakan satu malam.
Dipatallung Bongi adalah upacara yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan di
rumah dan ada pemotongan hewan. Dipalimang Bongi yakni upacara pemakaman yang
berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan di sekitar rumah serta dilakukan
pemotongan hewan. Dipapitung Bongi ialah upacara pemakaman yang berlangsung selama
tujuh malam, dan setiap hari ada pemotongan hewan.
Upacara tertinggi dilaksanakan dua kali dengan rentang waktu sekurang kurangnya
setahun; upacara yang pertama disebut Aluk Pia biasanya dilaksanakan di sekitar Tongkonan
keluarga yang berduka, sedangkan upacara kedua yakni Rante biasanya dilaksanakan di
sebuah “lapangan Khusus” karena upacara ini menjadi puncak dari prosesi pemakaman yang
disertai berbagai ritual adat yang harus dijalani seperti : Ma’tundan, Mebalun (membungkus
jenazah), Ma’roto (membubuhkan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah),
Ma’Popengkalo Alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan yang
terkahir Ma’Palao yakni mengusung jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.
Kematian bagi masyarakat Toraja menjadi salah satu hal yang paling bermakna,
sehingga tidak hanya upacara prosesi pemakaman yang dipersiapkan ataupun peti mati yang
dipahat menyerupai hewan (Erong), namun mereka pun mempersiapkan tempat
“peristirahatan terakhir” dengan sedemikian apiknya, yang tentunya tidak lepas dari strata
sosial yang berlaku dalam masyarakat Toraja maupun kemampuan ekonomi individu
bersangkutan. Tempat menyimpan jenazah adalah gua/tebing gunung atau dibuatkan sebuah
rumah (Pa’tane).
Kerbau merupakan hewan penting di kalangan masyarakat Toraja untuk upacara
kematian. Sebagai contoh, pada tahun 1657 Rante Kalimbuang mulai digunakan, dan pada
9
upacara pemakaman Ne’Ramba’ 100 ekor kerbau dikorbankan dan didirikan dua Simbuang
Batu. Selanjutnya pada tahun1807 pada pemakaman Tonapa Ne’padda’ didirikan 5 buah
Simbuang Batu, dan kerbau yang dikorbankan sebanyak 200 ekor. Ne’Lunde’ pada upacara
kematiannya dikorbankan 100 ekor kerbau, dan didirikan 3 buah Simbuang Batu
(file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja.
Diunduh tanggal 6 Mei 2015).
Kepercayaan Marapu adalah “keyakinan hidup” yang masih dianut oleh orang Sumba
di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Masyarakat Sumba yang masih menganut
kepercayaan Merapu atau “ajaran para leluhur” senantiasa melakukan upacara dan perayaan
ritual untuk mengiringi berbagai sendi kehidupan mereka. Kepercayaan ini dilakukan dengan
ritual, perayaan, dan pengorbanan untuk penghormatan kepada sang pencipta dan arwah para
leluhur mereka. Merapu dalam bahasa Sumba berarti “Yang dipertuan atau dimuliakan”
terutama untuk menyebut arwah-arwah para leluhur mereka.
Soeriadiredja menjelaskan bahwa secara hirarki, Merapu terbagi menjadi dua
golongan, yaitu Merapu dan Merapu Ratu. Merapu yang pertama merupakan arwah leluhur
yang didewakan dan dianggap menjadi cikal-bakal dari suatu kabihu (keluarga luas, clan),
sedangkan merapu Ratu ialah merapu yang dianggap turun dari langit dan merupakan leluhur
dari para Merapu lainnya.
Kehadiran para marapu bagi masyarakat Sumba di dunia nyata diwakili dan
dilambangkan dengan lambang-lambang suci yang berupa perhiasan mas atau perak (ada pula
berupa patung atau guci) yang disebut Tanggu Marapu. Lambang-lambang suci itu disimpan
di Pangiangu Marapu, yaitu di bagian atas dalam menara uma bokulu (rumah besar, rumah
pusat) suatu kabihu.
Walaupun mempunyai banyak Marapu yang sering disebut namanya, dipuja dan
dimohon pertolongan, tetapi hal itu sama sekali tidak menyebabkan pengingkaran terhadap
adanya Sang Maha Pencipta. Tujuan utama dari upacara pemujaan bukan semata-mata
kepada arwah para leluhur saja, tetapi kepada Mawulu Tau-Majii Tau (Pencipta dan Pembuat
Manusia), Tuhan Yang Maha Esa.
10
Pengakuan adanya Sang Maha Pencipta biasanya dinyatakan dengan kata-kata atau
kalimat kiasan. Itu pun hanya dalam upacara-upacara tertentu atau peristiwa-peristiwa
penting saja. Dalam keyakinan Marapu, Sang Maha Pencipta tidak campur tangan dalam
urusan duniawi dan dianggap tidak mungkin diketahui hakekatnya sehingga untuk menyebut
nama-Nya pun dipantangkan.
Hampir seluruh segi-segi kehidupan masyarakat Sumba diliputi oleh rasa keagamaan.
Bisa dikatakan agama Marapu sebagai inti dari kebudayaan mereka, sebagai sumber nilai-
nilai dan pandangan hidup, serta mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat
yang bersangkutan. Orang Sumba juga percaya bahwa manusia merupakan bagian dari alam
semesta yang tak terpisahkan.
Manusia yang masih hidup mempunyai kewajiban untuk tetap dapat mengadakan
hubungan dengan arwah-arwah leluhurnya. Mereka beranggapan bahwa para arwah leluhur
itu selalu mengawasi dan menghukum keturunannya yang telah berani melanggar
segala nuku-hara sehingga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya
terganggu. Untuk memulihkan ketidakseimbangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia
terhadap alam sekitarnya dan mengadakan kontak dengan para arwah leluhurnya, maka
manusia harus melaksanakan berbagai upacara.
Tradisi leluhur yang diwariskan selama berabad-abad bersamaan dengan pandangan
hidup orang Sumba, dewasa ini mulai dipengaruhi oleh kehidupan yang berasal dari luar
kehidupan mereka. Generasi muda Sumba kini telah memperoleh cara pandang yang baru
dan berbeda dengan tradisi serta ajaran yang telah diwariskan oleh leluhur mereka. Kendati
demikian generasi muda Sumba masih menyimpan hormat dengan menjalankan nilai-nilai
kepercayaan Merapu dalam kehidupannya (file:///C:/Users/Vaio/Documents/Marapu Ajaran
dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba.htm, diunduh 6 Mei 2015 ).
3.2 Kata-Kata Berkognet pada Bahasa-Bahasa Austronesia
Sutjiati Beratha (1992) telah melakukan kajian pendahuluan terhadap Bahasa
Austronesia. Data untuk kajian tersebut adalah data tulis yang diambil dari Blust, Etimologi
Volume I (1980), Volome II (1984), dan Volume III (1986). Data tersebut akan dibandingkan
dengan data Bahasa Bali yang diambil dari Prasasti Bali Volume I dan II (Goris, 1954).
11
Makalah ini juga menggunakan data serupa dengan membandingkan kata-kata yang memiliki
kognet pada bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun Bahasa Austronesia.
Menurut Blust (1980:11) Bahasa Bali dikelompokkan ke dalam sub-grup Bahasa
Malayu-Polinesia Barat yang terdiri atas Sumatra, Jawa, Bali, Sasak, dll. Berikut akan
disajikan kata-kata yang berkognet sebagai bukti dari bahasa-bahasa yang serumpun dari
Proto Austronesia (PAN). Kata-kata PAN akan diberi tanda bintang (*), sedangkan kognet
pada Bahasa Bali akan ditulis dibawah garis putus-putus.
3.2.1 Vokal
PAN memiliki empat bunyi vokal, yaitu *i, *a, *e, dan *u
PAN *i pada posisi akhir
PAN *siji ‘sejenis ayakan/ saringan’ PSas sidi ‘ayakan’ TAG sili ‘ayakan’ BBK sigi ‘ayakan’ ------------------------------------- BB sidi ‘ayakan’ PAN *a pada posisi penultimate
PAN *lamak ‘tikar’ BJ lamak ‘sejenis alas’ BSas lamak ‘tikar’ ------------------------------------- BB lamak ‘sejenis tikar untuk hiasan tempat pemujaan’ PAN *a pada posisi akhir
PAN *qara? ‘sejenis pohon’ BJK (h) ara ‘pohon ara’ SAN aha ‘sejenis pohon ara’ BSas ara ‘pohon ara’ ------------------------------------- BB aa ‘pohon ara’
PAN *ě pada posisi penultimate
PAN *kědi ‘sedikit’ BBK kědit ‘pelit’ BJK kědik ‘sedikit’ -------------------------------------
12
BB kědik ‘sedikit’
PAN * ě pada posisi akhir
PAN *pěkpěk ‘berkerumun’ BM pěpěk ‘berkumpul’ BSas pěpěk ‘berkerumun’ BJ pěpěk ‘berkumpul’ ------------------------------------- BB pěpěk ‘semua/ lengkap’ PAN *u pada silebel pertama
PAN *bulan ‘bulan’ CEB bulan ‘bulan’ CHM bulan ‘bulan’ ------------------------------------- BB bulan ‘bulan PAN *u pada silebel ke dua
PAN *pitung ‘sejenis bambu’ BM bitung ‘bambu besar’ BKL bitu ‘bambu’ ------------------------------------- BB pětung ‘sejenis bambu’ PAN *u >o ada baik pada Bahasa Bali (Sutjiati Beratha, 1992:100), maupun pada
Bahasa Sasak dan Sumbawa ( Meko Mbete (1990)) seperti contoh berikut.
PAN *tatu ‘tanda rajah/cahcahan’ BJK tatu ‘luka’
---------------------------------------------- BB tatu ‘luka’ Menarik untuk dikemukakan di sini bahwa kata PAN *tatu ‘tanda rajah cacahan’yang
selanjutnya berubah menjadi tato. Aktivitas kebudayaan mentato sudah dilaksanakan pada
sejak 3000 Sebelum Masehi, atau bahkan mungkin lebih awal, contoh lain adalah seperti
yang ditemukan oleh Meko Mbete (1990).
PSas olas ‘sebelas’ PSum olas ‘sebelas’ ------------------------------------- BB (s)olas ‘sebelas’
13
PSas kado ‘rugi’ PSum kado ‘rugi’ ------------------------------------- BB kado ‘rugi’ Blust (1980) tidak menemukan *e untuk PAN, akan tetapi menurut Clynes
(1989:149), /e/ dan /o/ pada bahasa Bali berasal dari Bahasa Sanskerta. Meko Mbete
(1990:167; 173) dalam Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa mengatakan bahwa fonem
/e/ dan /o/ ada pada bahasa Sasak dan Sumbawa, dan bukti tersebut diperkuat oleh Sutjiati
Beratha (1992:95) fonem /e/ dan /o/ juga dimiliki oleh Bahasa Bali Kuna karena ke dua
fonem tersebut sudah ada pada prasasti Bali Kuna yang berangka tahun 882. Bukti tersebut
disajikan pada data berikut.
PSas bale ‘rumah’ PSum bale ‘rumah’ ------------------------------------- BB bale ‘rumah’ PSas pane ‘tempayan’ PSum pane ‘tempayan’ ------------------------------------- BB bale ‘tempayan’ PSas kěbo kerbau PSum kěbo kerbau ------------------------------------- BB kěbo ‘kerbau’ Seperti dikemukakan di atas, binatang kebo ‘kerbau’ digunakan sebagai sarana
upacara di Toraja. Menurut Dempwolff (1924) bunyi vokal PAN terdiri atas /i/, /u/, /a/, /e/.
Brandstetter pada awalnya menyatakan bahwa PAN memiliki enam bunyi vokal, namun
hanya ditemukan satu bunyi /e/ dan /o/ sehingga ke dua bunyi ini dihilangkan pada
rekonstruksinya (Dahl, 1977:14). Fonem /e/ dan /o/ menurut Brandstetter (1916a:10) sangat
umum pada rumpun bahasa Malayu Polinesia khususnya bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia, namun //e/ dan /o/ masih diragukan ada PAN karena tidak ditemukan bukti-bukti
kognet pada bahasa-bahasa di luar bahasa-bahasa di Indonesia. Contoh di atas mendukung
pendapat Brandstetter bahwa /e/ dan /o/ hanya ditemukan pada bahasa-bahasa yang ada di
Indonesia yaitu rumpun bahasa Malayu Polinesia Barat.
14
3.2.2 Konsonan
Konsonan PAN terdiri atas *w, *y, *p, *t, *c, *k, *b, *d, *z, *g, *m, *n, *ng, *ny, *l,
*r, *s, *q.
Semi Vokal
Meko Mbete (1990) mengusulkan bahwa semi vocal /w/ dan /y/ mungkin sudah ada
bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam bahasa Malayu Polinesia Barat. Kehadiran ke dua
fonem ini ditemukan pada kata di antara vocal. Bukti tersebut didukung oleh data BJK dan
BBK yang akan disajikan pada contoh untuk ke dua fonem /w/ dan /y/ seperti berikut.
PAN *w (?)
BSas lawang ‘pintu’ BSum lawang ‘pintu’
------------------------------------- BB lawang ‘pintu’ BJK bawi ‘babi’ BBK bawi ‘babi’
------------------------------------- BB bawi ‘babi’ Binatang bawi ‘babi’ pada contoh di atas digunakan sebagai sarana upacara dan untuk
menjamu tamu seperti yang telah dipaparkan di atas. Kata ini tampaknya sudah ada sejak
2500 atau mungkin 1500 Sebelum Masehi.
PAN *y
PAN *suyung ‘bergetar’ AKL huyung ‘bergetar’ BJK (h)uyang ‘merasa panas’
------------------------------------- BB uyang ‘gelisah’ PAN Stop Tak Bersuara
*p
PAN *puyuq ‘burung puyuh’ TAG pugo ‘burung puyuh’ BM puyoh ‘burung puyuh’
---------------------------------------------- BB puuh ‘burung puyuh’
15
PAN *děrěp ‘membantu secara komunal’ BSun děrěp ‘membantu pada saat panen’ BJ děrěp ‘membantu pada saat panen’
------------------------------------------------------------- BB děrěp ‘membantu pada saat panen sebagai imbalannya adalah hasil
panennya’ *t
PAN *ampět ‘menutup aliran’ TAG ampat ‘menutup aliran’ BJ ampět ‘menahan’
---------------------------------------------- BB ěmpět ‘menahan aliran’ *c
PAN *cělěb ‘masuk ke air’ BM cělěp ‘masuk ke air‘
---------------------------------------------- BB cělěb ‘masuk ke air’ PAN *pacěk ‘paku’ BM pacak ‘paku’ BJK pacěk ‘paku’
------------------------------------ BB pacěk ‘paku/ menanam’ *k
PAN *kamuning ‘sejenis tanaman’ CEB kamuning ‘sejenis tanaman’
BJK kamuning ‘sejenis tanaman’ ------------------------------------------------
BB kamuning ‘sejenis tanaman’ PAN *sikěp ‘burung elang’
CEB sikup ‘burung elang’ BM sikap ‘burung elang
-------------------------------------------- BB sikěp ‘burung elang’ PAN *těkuk ‘menekuk’ BSun těkuk ‘menekuk’ BM těkok ‘menekuk’
---------------------------------------- BB těkuk ‘menekuk’
16
PAN Stop Bersuara
*b
PAN *bang(e)qěs ‘bau tidak enak’ BON bang? ěs ‘bau tidak enak’ MGG bangěs ‘mulai berbau tidak enak
---------------------------------------------------------- BB bangěs ‘bau/ rasa tidak enak’ PAN *lě (m)beng ‘lembah’ BM lěmbah ‘lembah’ BJ lěmbah ‘lembah’
---------------------------------------- BB lěbah ‘landai’ PAN *lě (b)lěb ‘berendam’ BM lělap ‘berendam’ BJK lěleb ‘berendam’
---------------------------------------- BB lěblěb ‘berendam’ *z
PAN *zě (m)pit ‘menjepit’ BM jěpit ‘menjepit’ BJ jěpit ‘menjepit’
---------------------------------------- BB jěpit ‘menjepit’ *g
PAN *sě (ng)gěr ‘segar/sehat’ MGG cěngěr ‘segar/ sehat’
BM sěgar ‘segar’ BJ sěger ‘segar/sehat’ -------------------------------------------
BB sěgěr ‘segar/ sehat’ PAN *sagsag ‘retak’ ILK sagsag ‘retak’ TAG sagsag ‘retak’
---------------------------------------- BB sagsag ‘retak’
17
PAN Nasal
*m pada posisi penultimate
PAN *gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ IKL gammal ‘menggenggam dengan tangan’ BM gěměl ‘menggenggam dengan tangan’
----------------------------------------------------------------- BB gěměl ‘menggenggam dengan tangan’ *m pada posisi akhir
PAN kizěm ‘memejamkan mata’ ILK kiděm ‘memejamkan mata’ BM kirěm ‘memejamkan mata’
---------------------------------------------------- BB kiděm ‘memejamkan mata’ *n
PAN *iněm ‘minum’ BK iněm ‘minum’ BSas iněm ‘minum’
-------------------------------------- BB inum ‘meinum’ PAN *suqun ‘menjunjung’ PAI tuqut ‘menjunjung’ MUK su?un ‘menjinjing’
------------------------------------------- BB suun ‘menjunjung’ *ny
PAN *qanyud ‘terapung’ NgD hanyut ‘terapung’ BM anyut ‘terapung’
---------------------------------------- BB anyud ‘terapung’ *ng pada posisi penultimate
PAN *běngěr ‘tuli’ CEB bungug ‘tuli’ MIN bangar ‘tuli’
---------------------------------- BB bongol ‘tuli’
18
*ng pada posisi akhir
PAN *něngněng ‘menatap’ PAI těng ‘menatap’ MAR něněng ‘menatap’ ---------------------------------------
BB něngněng ‘menatap’ PAN Liquid
*l
PAN *silěm ‘lenyap dari pandangan’ BK silěm-silěm ‘melakukan sesuatu dengan diam-diam’
BM silam ‘mendung/ suram’ BJ silem ‘menyelam’ ------------------------------------------------
BB silěm ‘menyelam’ PAN *taltal ‘memukul/ menghancurkan’ ISG taltal ‘menghancurkan’ BT taltal ‘memukul/ menghancurkan’
----------------------------------------------------------- BB taltal ‘memukul/ menghancurkan’ *r
PAN *r > *r atau *R. *r adalah apical trill, sedangkan *R mungkin bunyi velar.
Menurut Collin (1981:12—14), proto Malayu Polinesia *R mungkin merupakan bunyi vilar
fricative, tepi Sneddon (1984:39—40) menganggap *R adalah bunyi fricative uvular karena
*R dapat berubah dengan mudah menjadi /r/ atau /h/. Pada Bahasa Bali, fonem ini
tampaknya kadang-kadang menjadi O sehingga PAN *R > h > O.
PAN *ratu ‘titel’ BM datu ‘titel’ BBK ratu ‘titel’
---------------------------------- BB ratu ‘titel’ PAN *gěrit ‘menggosok’ BM gěrit ‘menggosok’ MGG gěrit ‘menggosok’
------------------------------------------- BB gěrit ‘menggosok’ Ada sejumlah kata yang berkognet mengalami korespondesi yang tidak beraturan
seperti pada contoh berikut.
19
*puruq > puhuh > puuh ‘burung puyuh’
*rěbuk > hěbuk .> ěbuk ‘debu’
*linur > linuh ‘gempa’
PAN *s
*s pada posisi penultimate
PAN *gasgas ‘menggaruk’ CEB gasgas ‘menggaruk’
BM gergas ‘menggaruk’ ------------------------------------------------
BB gasgas ‘menggaruk’ PAN *kělas ‘mengupas’ BON kělas ‘mengupas’
------------------------------------------ BB kělas ‘mengupas’
PAN spirant *q
*q
PAN *suqun ‘menjunjung’ LgA su?un ‘menjunjung’
BBk suhun ‘menjunjung’ -------------------------------------------
BB suun ‘menjunjung’ PAN *panaq ‘memanah’ TAG pana? ‘memanah’
BM panah ‘memanah’ BJ panah ‘memanah’ -----------------------------------------
BB panah ‘memanah’
4. Simpulan
Unsur seni (pahat/ukir, tato, dan tenun), pemujaan leluhur, dan bahasa digunakan
merekonstruksi budaya Austronesia. Kesamaan unsur budaya tersebut mengindikasikan
eksistensi dan kontak di kalangan komunitas penutur Austronesia yang tersebar di wilayah
Nusantara. Tradisi seni dan upacara pemujaan leluhur masih tetap berlanjut, meskipun telah
mengalami dinamika dan perubahan karena pengaruh dari luar dan perkembangan lokal.
Kesamaan budaya juga didukung oleh kata-kata yang berkognat. Kata bawi dan kebo
sebagai sarana upacara telah muncul sejak 2500-1500 Sebelum Masehi. Tradisi metato dari
20
PAN *tatu dimulai sejak 3000 Sebelum Masehi. Demikian pula titel untuk bangsawan PAN
*Ratu telah digunakan oleh masyarakat Austronesia sekitar 3000 SM.
Daftar Singkatan
AKL = Aklanon BBK = Bahasa Bali Kuna BB = Bahasa Bali BON = (Bahasa) Bontok BT = (Bahasa) Batak Toba BKL = (Bahasa) Bikol ILK = (Bahasa) Ilokano BJK = Bahasa Jawa Kuna BJ = Bahasa Jawa CHN = (Bahasa) Chamoro CEB = (Bahasa) Cebuano PAN = Proto Austronesia MGG = (Bahasa) Magarai NgD = Ngaju Dayak MIN = (Bahasa) Minangkabau MAR = (Bahasa) Maranao ISG = (Bahasa) Isneg PSas = Proto Sasak BS = Bahasa Sasak PSum = Proto Sumbawa BSun = Bahasa Sunda SAN = Sangir PAI = (Bahasa) Paiwan TAG = Tagalog MUK = (Bahasa) Mukah LgA = Long Anap Daftar Pustaka Ardika, I Wayan. 1986. Sumbangan Linguistik terhadap Arkeologi: Studi kasus dalam
Prasejarah Melanesia. Pertemuan Ilmiah Arkeologi. 309-326. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Bellwood, Peter. 1995. Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and Transformatin. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 96-111. Canberra: ANU Printing Service.
Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. Canberra: ANU Printing Service.
Blust, R.A. 1980. ‘Austronesian Etymologies I. OceanicLinguistics 7— 9 : 104—162. Blust, R.A. 1983--1984. ‘Austronesian Etymologies II. OceanicLinguistics 22— 23 : 29—
149. Blust, R.A. 1986. ‘Austronesian Etymologies III. OceanicLinguistics 25 : 1—123. Brandstetter, R. 1916. An Introduction to Indonesian Linguistics. London: The Royal Asiatic
Society. Clynes, A. 1989. ‘Speech Styles in Javanese and Balinese: A Comparative Study’. Tesis,
The Australian National University. Dahl, O. C. 1977. Proto Austronesian. Scandinavian Institute of Asian Studies Monograph
Series 15. London: Curzon Press. Dyen, I. 1971. ‘The Austronesian Languages and Proto-Austronesian’. Current Trends in
Linguistics (5—54) dalam T.A. Sebeok (ed.). The Hague: Mouton and Co. Goris, R. 1954. Prasasti Bali I dan II. Bandung: Masa Baru Groves, Colin, P. 1995. Domesticated and Commensal, Mammmals of Austronesia and
21
Their Histories. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 152-163. Canberra: ANU Printing Service.
Jay, Sian, E. 2010. Tenun. Handwoven Textiles of Indonesia. Jakarta: BAB Publishing Indonesia.
Koestoro, Lukas Partanda dan Ketut Wiradnyana. 2007. Megalithic Traditions in Nias Island. Medan: North Sumatra Heritage Series No. 0105.
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak. Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.
Meko Mbete, A. 1990. Rekonstruksi Proto Bali-Sasak-Sumbawa. Disertasi pada Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia.
Sutjiati Beratha, Ni Luh. 1992. Evolution of Verbal Morphology in Balinese. Disertasi pada The Australian National University. Australia: Canberra.
Tryon, Darrell. 1995. Proto-Austronesian and The Major Austronesian Subgroups. Dalam Bellwood, P., James J. Fox & Darell Tryon (eds). 1995. The Austronesians. Historical & Comparative Perspectives. pp: 17-38. Canberra: ANU Printing Service.
Internet
1. file:///C:/Users/Vaio/Documents/Arti kerbau (Bahasa Toraja tedong ) bagi orang Toraja. Diunduh tanggal 6 Mei 2015.
2. file:///C:/Users/Vaio/Documents/Marapu Ajaran dan Kepercayaan Leluhur Masyarakat Sumba.htm. Diunduh tanggal 6 Mei 2015