rela berkurban untuk menggapai ridha ilahi (radar b)
TRANSCRIPT
RELA BERKURBAN UNTUK MENGGAPAI RIDHA ILAHI
Amatlah berbahagia hati kita yang tak terhingga, karena dengan izin-Nya Insya
Allah kita masih dipertemukan dengan Idul Adhha 1431 H , yang penuh berkah.
Sebab berapa banyak diantara kita, orang tua atau guru yang kita cintai, saudara
atau teman sejawat, atau tetangga yang pada Idul Adha yang lalu masih berada
di tengah-tengah kita, duduk berdampingan bersama kita, saling bermusafahah
kini mereka telah tiada, telah dipanggil ke hadirat Allah untuk selamanya,
khususnya bagi saudara-saudara kita yang berada di kawasan Gunung Merapi
Jogjakarta, Kepulauan Mentawai, dan di beberapa tempat kejadian musibah
lainnya. Dengan potensi nikmat sehat wal’afiat dan panjang umur kita masih
dapat bersimpuh bersama menghadap untuk mensucikan dan mengagungkan
asma Allah SWT untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha 2 rakaat, dan sekaligus
mendengarkan khutbahnya, sebagai tausiyah yang disampaikan oleh khatib
yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan shalat ‘Ied .
Disamping itu, sejak malam Idul Adha sampai dengan Insya Allah hari
ketiga belas, dari bulan dzulhijjah ini, dari mulut kita terlontar dan terucapkan
dengan derasnya kalimat takbir, kalimat tahmid, dan kalimat tahlil, yaitu: Allah
Akbar 3x lailaha illallahu Allahu Akbar wa Lillahil hamd, sebagai ekspresi
dan implementasi pernyataan syukur atas berbagai limpahan nikmat dan fasilitas
kehidupan yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada kita. Dan kita semakin
yakin dengan seyakin-yakinnya akan kebesaran dan kekuasaan-Nya, sehingga
Allah SWT selalu dijadikan tempat untuk meminta, tempat untuk bergantung, dan
mengadukan berbagai problematika kehidupan yang beraneka ragam.
‘Idul Adha, atau disebut “Idul Qurban”, juga disebut “Idun-Nahr, dan
disebut ‘Idul Hajj: di dalamnya paling tidak ada tiga peristiwa penting yang
dijadikan momentum bersejarah bagi kehidupan ummat manusia.
Peristiwa pertama: secara serempak ummat Islam yang telah mampu
melaksanakan ibadah haji, rukun Islam yang kelima, diundang oleh Allah SWT
sebagai tamunya untuk melaksanakan manasikulhajj. Mereka digembleng jiwa
dan raganya melalui seperangkat rukun, wajib, dan sunnah-sunnah haji untuk
mendapatkan predikat haji yang mabrur dan maqbul. Puncak kegiatan ibadah
haji adalah wukuf di Arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, yang merupakan rukun haji
dan inti dari kegiatan haji, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW “al-hajju
‘arafah” (HR al-khamsah).
Jama’atul hujjaj yang datang berbondong-bondong dari berbagai penjuru
dunia, yang berjumlah 4 jutaan jama`ah, berkumpul di kota Arafah ini merupakan
kongres dan silaturahmi tahunan umat Islam internasional, dan sekaligus untuk
menyatakan bahwa semua manusia adalah hamba-hamba Allah SWT yang
diperlakukan sama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Allah tanpa membeda-bedakan ras, warna kulit dan bangsa, dan tanpa
membeda-bedakan apakah ia pejabat atau rakyat biasa, semuanya sama
dihadapan Allah SWT.
Dengan memakai pakaian ihram berwarna putih tanpa dijahit (khususnya
bagi jama’ah laki-laki), hal tersebut berlangsung sampai jamaah haji telah
melakukan tahallul awwal, tegasnya setelah melaksanakan jumratul ‘aqabah
tepatnya hari ini tanggal 10 dzulhijjah di kota Mina. Dan selanjutnya berlangsung
kegiatan jumrah ini pada tanggal 11 s/d 12 bagi yang termasuk kelompok nafar
awwal, dan sampai tanggal 13 dzulhijjah bagi yang kelompok nafar assani untuk
melaksanakan jumratul ula, jumratul wusta dan jumratul aqabah. Dengan
meninggalkan dan menanggalkan atribut duniawi, apakah jabatan, profesi,
bisnis, rumah, sanak keluarga, dan tanah air dan yang lainnya, hati dan jiwa
mereka tertuju dan terfokus terhadap panggilan dan kewajiban dari Allah SWT
dari mulut mereka hanya terlontar ”kalimat talbiyah” yaitu
“labbaikallahummalabbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan-
ni’mata laka wal mulk, la syarikalaka”.
Disinilah letak nilai filosofisnya dari ibadah haji, seseorang disadarkan
akan jati dirinya, merenung tentang “dari mana ia berasal, untuk apa ia
hidup, dan setelah itu kemana ia berpulang?”. Dan melalui ibadah haji ini
seseorang akan disadarkan, bahwa ia lahir ke muka bumi Allah ini dalam
keadaan telanjang, tidak membawa apa-apa, dan nanti pulang menghadap
kehadirat Allah SWT pun dalam keadaan telanjang/ditelanjangi tidak
membawa apa-apa yang bersifat material, kecuali iman dan takwa serta
amal salih yang akan setia mendampinginya.
Peristiwa kedua: disyariatkannya ibadah kurban, yang hukumnya adalah
sunnah muakkadah bagi yang mampu untuk menyembelih kambing, atau sapi,
atau kerbau, atau unta, sebagai refleksi tanda syukur atas berbagai nikmat dan
karunia Allah SWT. Tentunya ibadah kurban ini sebagai media untuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah SWT mempunyai akar historis yang tidak bisa
dilupakan. Perintah berkurban dari Allah SWT pertama kali ditujukan kepada
satu keluarga ideal, yaitu keluarga Nabi Ibrahim AS. Perintah melalui mimpi yang
sangat diyakininya bersumber dari Allah SWT itu, dilaksanakan dengan penuh
ikhlas oleh Ibrahim sebagai seorang ayah untuk menyembelih dan
mengorbankan anak satu-satunya dan sangat dicintainya, yaitu Ismail AS.
Tentunya setelah dikonsultasikan terlebih dahulu kepada sang anak tersayang
sebagai seorang anak yang salih, Ismail pun mengiyakan dan menyetujuinya
tanpa ada keberatan dan penolakan, sekalipun ia akan mengorbankan diri dan
jiwanya. Demikian pula Siti Hajar sebagai sosok Ibu yang shalihah mendukung
dan menyetujui akan perintah ibadah yang sangat berat untuk dilakukan ini.
Walaupun di sisi lain pihak syaitan mundur maju, dan berusaha semaksimal
mungkin untuk menggagalkan peristiwa ibadah kurban dari tiga anak manusia
ini. Godaan syetan yang dahsyat itu ternyata bisa diatasi dan diantisipasi oleh
mereka sambil melempar batu, seraya berucap: “Dengan nama Allah, Allah Yang
Maha Besar, terlaknatlah syetan, dan keridhaan bagi Ar-rahman, Allah SWT.”
Dengan sikap yang kuat dan ucapan yang tegas, terlempar dan terlaknatlah
golongan syetan, sehingga dengan mulusnya keluarga Ibrahim AS ini dapat
mencapai tujuannya yaitu melaksanakan perintah Allah SWT untuk berkurban.
Akan tetapi takdir Allah menentukan lain sebagai peristiwa yang sangat
menakjubkan di alam raya ini. Ismail yang mestinya tersembelih, tetap dalam
keadaan selamat, ia diganti dengan seekor kibasy (kambing yang besar) sebagai
hewan kurban. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah SWT dalam QS 37:107-110.
Peristiwa inilah yang menjadi cikal bakal disyariatkannya kurban bagi
umat Nabi Muhammad SAW, sebagai bahagian rasa kepeduliannya terhadap
saudaranya yang dhu’afa, fakir miskin yang kesehariannya tidak berjumpa
dengan menu daging, baik kambing, sapi atau kerbau. Masa berkurban ini
berlangsung dari pagi setelah selesai shalat ‘Idul Adha sampai dengan tanggal
13 dzulhijjah Senin sore.
Tentunya melalui ibadah kurban (udhiyyah) ini, akan menyadarkan
kepada setiap insan bahwa apa yang dimilikinya dalam bentuk harta kekayaan,
jabatan, anak dan sampai sekalipun dirinya sendiri, pada hakikatnya semua itu
adalah milik dan kepunyaan Allah SWT. Sehingga jika sang pemilik mau
menariknya, melalui kepailitan dan kegagalan dalam berusaha, melalui musibah
kebakaran atau melalui musibah longsor, dan kebanjiran, tsunami, atau gempa
bum, atauu meletusnya gunung, sebagaimana yang sudah atau sedang dialami
oleh sebagian saudara kita yang terkena musibah, dengan sekejap mata semua
titipan dan amanah Allah itu telah sirna, baik rumah tinggal, harta, keluarga,
bahkan jiwa telah terhempas. Dengan ibadah kurban ini seseorang akan
merasakan kepedihan dan kesusahan saudaranya yang lain, sehingga harta
yang telah didapatkan melalui profesi dan keahlian apa saja yang dimilikinya,
ternyata di dalamnya terdapat hak orang lain yang mesti dikeluarkannya.
Sehingga dengan media ibadah kurban ini akan terjalinlah keharmonisan
komunikasi sosial, dengan tidak ada jurang pemisah antara yang kaya dan yang
miskin, khususnya dalam rangka membantu dan menjalin solidaritas sosial
tehadap sudara kita yang sedang terkena musibah. Allah SWT telah menguji
kita, masyarakat dan seluruh rakyat Indonesia sejauhmana rasa kasih sayang
dan peduli kita untuk memberikan bantuan kepada kaum dhua`fa yang saat
menanti bantuan kita, melalui infak, sedekah, zakat mal, zakat fitrah, zakat
proffesi, dan khususnya melalui ibadah kurban ini.
Peristiwa ketiga: secara serempak dan kompak umat Islam di seluruh
penjuru dunia diundang oleh Allah SWT untuk melaksanakan shalat ‘Idul Adha
secara berjama’ah yang hukumnya sunnah mu’akkadah sebagaimana yang kita
laksanakan sekarang ini, dan dianjurkan untuk dilaksanakan di lapangan terbuka
atau di masjid. Semua duduk sama rendah, berdiri sama tinggi melalui aba-aba
imam shalat. Dengan meletakkan kepala di atas tanah, tersungkur untuk
bersujud, semuanya mengakui betapa kecil dan lemahnya, serta tidak
berdayanya seorang hamba Allah dihadapan Al-Khaliq Rabbul ‘alamin.
Inilah yang menjadi inti dan essensi serta hakikat ‘Idul Adha, bahwa
dengan melalui ibadah haji, penyembelihan kurban, dan pelaksanaan shalat ‘Idul
Adha ini tidak lain bertujuan bahwa pada masing-masing diri setiap insan hamba
Allah SWT akan tumbuh dan berkembang semangat beribadah yang dilandasi
oleh hati yang ikhlas lillahi ta’ala, baik ibadah yang bersifat vertikal dan ritual
kepada Allah SWT, maupun ibadah sosial yang akan terasa nilai, hikmah dan
manfaatnya secara individual maupun dirasakan oleh masyarakat, bangsa dan
negara, khususnya bagi saudara-saudara kita yang sedang terkena musibah
karena meletusnya gunung Merapi, dan koban gempa Sunami nyang berada di
Mentawai. Semua pengabdian dan pengorbanan ini dilakukan hanya ingin
menggapa Ridla Allah SWT. Amin Ya Mujibas-Sailin.