rencana umum energi daerah provinsi (rued-p) riau
TRANSCRIPT
| P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
GUBERNUR RIAU
i | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN 1
II POTENSI ENERGI TERBARUKAN DAN
SISTEM PENGELOLAANNYA
3
III LANDASAN PEMIKIRAN USULAN RUU EBT 5
IV SUBSTANSI USULAN DRAFT RUU EBT 6
V PENUTUP 10
1 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
POKOK-POKOK PIKIRAN TERHADAP
DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG ENERGI BARU TERBARUKAN (RUU EBT)
I. PENDAHULUAN
Provinsi Riau, secara geografis terletak di pulau Sumatera dengan luas
wilayah 90.128,76 km2 (Daratan : 89.083,57 km2 serta Lautan dan Perairan
:1.045,19 km2), terbagi menjadi 10 Pemerintahan Kabupaten dan 2
Pemerintahan Kota (Gambar 1. Peta Provinsi Riau).
Jumlah penduduk Provinsi Riau pada tahun 2020 sebanyak 6.394.090 jiwa
dengan pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau mengalami tekanan minus
1,12% dan PDRB Provinsi Riau sebesar Rp. 729.167 milliar (Provinsi Riau
Dalam Angka 2020).
Gambar 1 Peta Provinsi Riau
2 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
Sedangkan, rasio elektrifikasi (RE) Provinsi Riau tahun 2020 mencapai
91,67% dari jumlah 1.836.263 RT, kapasitan terpasang pembangkit tenaga
listrik sebesar 604 MW dan daya mampu 797 MW dengan komposisi bauran
energi terdiri atas EBT (Air) 16%, BBM 0%, gas bumi 66% dan batubara
18%.
Provinsi Riau, merupakan daerah penghasil minyak dan gas bumi dengan
konstribusi kepada negara sebesar 27,74% dengan lifting minyak bumi
mencapai 70.446.241.82 barel dan gas bumi sebesar 27.991.797.37
MMBTU (Kertas Kerja Lifting Migas 2020)
Sementara itu dalam penyediaan bahan bakar nabati (biodiesel), Provinsi
Riau berkonstribusi cukup besar mencapai 38,49% atau 3,336,302 Kiloliter
dari total kebutuhan nasional mandatori B30 (Kepmen Menteri ESDM
Nomor 252.K/10/MEM/2020), karena Provinsi Riau memiliki luas lahan
perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia mencapai 2.489.957 Ha
dengan jumlah produksi tandan buah sawit (TBS) sebesar 7.979.981 ton
(Riau Dalam Angka 2019) dan jumlah pabrik kelapa sawit (PKS) 261 unit,
dengan kapasitas produksi mencapai 11.660 ton/jam.
Selain potensi migas dan bahan bakar nabati, energi terbarukan lainnya
yang berpeluang untuk dikembangkan di Provinsi Riau adalah energi surya,
biomassa, biogas, tenaga air, arus laut dan limbah perkotaan (sampah) dan
jika memungkinkan panas bumi dan energi angin.
Dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi tersebut, Pemerintah Provinsi
Riau selalu berpegang kepada semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku pada sektor energi dan sumber daya mineral secara umum, seperti
Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
, UU Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, UU Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan dan UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara, serta UU Nomor 23 tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
dan UU Nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
Sejak era reformasi, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami
perubahan secara dinamis, yang ditandai dengan banyaknya tuntutan.dari
masyarakat yang menghendaki agar segala aspek yang menyangkut
kepentingan publik supaya dikelola secara transparan, termasuk
pengelolaan sumber daya alam seperti migas dan energi baru terbaruka ini.
Dengan memperhatikan kondisi demikian, Pemerintah Provinsi Riau sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya punya kewajiban merespon tuntutan
tersebut.
3 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
II. POTENSI ENERGI TERBARUKAN DAN SISTEM PENGELOLAANNYA.
Potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Provinsi Riau terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu EBT yang bisa dimanfaatkan sebagai energi listrik sebesar ± 5.950 MW dengan kapasitas terpasang 848,90 MW atau mencapai 14,27% dari total potensi EBT yang ada. Sedangkan EBT non energi listrik yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar nabati (biodiesel) sebesar 7.797.981 ton tandan buah sawit (TBS) dan produksi 3.336.302 ton atau mencapai 42,78% (Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan Provinsi Riau, 2020).
Rasio pemanfaatan terhadap potensi EBT menjadi dasar rencana pengembangan EBT paling sedikit 31,22% dari total bauran energi primer pada tahun 2025 dan paling sedikit 47% dari total bauran energi primer pada tahun 2050 (Draft RUED 2020-2050).
Tabel 1. Potensi Energi Terbarukan Provinsi Riau, 2020
No. Jenis Energi Potensi Kapasitas Terpasang
Pemanfaatan
1 Panas Bumi 20 MW 0 MW 0,00%
2 Air 961,84 MW 114,27 MW 12,00%
3 Bioenergi
- Bahan Bakar Nabati 7.797.981 TON*) 3,336,302 TON 42,78%
- Biomass 3.844MW 700,00 MW 18,21%
- Biogas 325 MW 33,45 MW 10,29%
4 Surya 753-1.700 MW
1,28 MW 0,02% (4,80 kWh/m2/day)
5 Angin 5 MW
0,0 MW 0,00% (3 – 6 m/s)
6 Laut 241 MW 0,0 MW 0,00%
TOTAL 5.950 MW 848,90 MW 14,27%
Keterangan ; *) Produksi Tandan Buah Sawit
Energi Baru dan Energi Baru Terbarukan (EBT) adalah salah satu sumber
daya alam masa depan yang memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia, setelah minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam tak
terbarukan habis. EBT merupakan sumber energi berkelanjutan dan ramah
lingkungan untuk keperluan bahan bakar pembangkit listrik, industri,
komersial, rumah tangga dan penggerak berbagai sarana dan prasarana
transportasi, yang memudahkan manusia hidup dimasa depan. Mengingat
strategisnya peranan EBT tersebut, maka pengelolaannya perlu diatur oleh
negara melalui peraturan perundang-undangan.
4 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
Pengelolaan EBT di Indonesia sudah diatur melalui beberapa peraturan
perundang-undangan, mulai dari yaitu :
1. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33.; 2. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi; regulasi payung
penekanan khusus terhadap EBT Pasal 20 ayat (3) mengamanatkan bahwa penyediaan energi baru dan energi terbarukan wajib ditingkatkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya;
3. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi; 4. Undang-undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris
Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change.;
5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.; 6. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; 7. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2021 tentang Cipta Kerja.
Kemudian sebagai landasan operasionalnya sudah diterbitkan beberapa
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan Keputusan
Menteri sebagai berikut :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, Pasal 9 mengamanatkan bahwa peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% tahun 2025 dan paling sedikit 31% tahun 2050 sepanjang keekonomiannya terpenuhi.;
2. Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan, Pasal 14 mengamanatkan bahwa pelaksanaan percepatan infrastruktur ketenagalistrikan mengutamakan pemanfaatan energi baru dan terbarukan.;
3. Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).;
4. Peraturan Pemerintah 7/2017 tentang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung.;
5. Peraturan Menteri ESDM 38 Tahun 2016 tentang Percepatan Elektrifikasi di Perdesaan Belum Berkembang, Terpencil, Perbatasan, Pulai Kecil Melalui Pelaksanaan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Skala Kecil;
6. Peraturan Presiden 123/2016 tentang Petunjuk Teknis Dana Alokasi Khusus Fisik (DAK Fisik).;
7. Peraturan Menteri ESDM 3/2017 tentang Petunjuk Operasional Pelaksanaan Dana Alokasi Khusus Fisik Penugasan Bidang Energi Skala Kecil;
8. Peraturan Presiden 47/2017 tentang Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Bagi Masyarakat Yang Belum Mendapatkan Akses Listrik;
5 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
9. Peraturan Menteri ESDM 33/2017 tentang Tata Cara Penyediaan Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Bagi Masyarakat Yang Belum Mendapatkan Akses Listrik;
10. Peraturan Menteri ESDM 39/2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Fisik Pemanfaatan Energi Baru dan Energi Terbarukan;
11. Peraturan Menteri ESDM 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik;
12. Keputusan Menteri ESDM tentang Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional;
13. Keputusan Menteri ESDM tentang Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN.
Walaupun peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan
EBT tersebut sudah ada sejak dulu, namun karena masih ada resistensi dari
publik yang merasa kepentingan daerah belum terakomodir, maka beberapa
pasal, ayat atau butir-butir tertentu dalam Draft RUU EBT tersebut masih
perlu disesuaikan dengan tuntutan masyarakat.
III. LANDASAN PEMIKIRAN USULAN RUU EBT
Ada beberapa prinsip dasar yang merupakan alasan bagi daerah dalam
mengusulkan agar Draft RUU EBT disesuaikan dengan tuntutan masyarakat
di daerah, antara lain adalah :
1. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).;
2. Draft RUU EBT tersebut bersifat sentralistik, sehingga bertentangan
(disharmoni dan dissinkronisasi) dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 1 Ayat (15), UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana ditegaskan bahwa “Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah”, karena urusan energi dan sumber daya mineral merupakan urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 Ayat (3) huruf (e) UU Nomor 23/2014, kecuali terhadap urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, yaitu ; Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Moneter/Fiskal Nasional, Yustisi dan Agama. Hal ini mengandung arti bahwa kewenangan
6 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
pengelolaan Sektor Energi Baru Terbarukan dapat diserahkan kewenangannya kepada daerah.
3. Mengingat kedudukan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 91 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sudah seyogyanya diberikan atau berbagi kewenangan dengan daerah dalam mengurus sebagian urusan pemerintahan yang dianggap strategis menurut peraturan perundang-undangan.;
4. Mengingat rentang kendali wilayah NKRI yang begitu luas, maka
penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral (Sektor Energi Baru Terbarukan) akan lebih efektif dan efisien apabila dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah.;
5. Untuk melaksanakan amanat Pasal 9 Huruf (f) Angka (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 79 tentang Kebijakan Energi Nasional, bahwa “Pada tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% (dua puluh tiga persen) dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% (tiga puluh satu persen) sepanjang keekonomiannya terpenuhi”, sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Presiden Nomor 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Kemudian turunannya Daerah wajib menyusun Renana Umum Energi Daerah (RUED) yang bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi, dimana pengelolaan sumber daya alam strategis seperti EBT dilaksanakan secara transparans. Terbitnya PP dan Perpres ini merupakan indikator bahwa Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dapat diberikan kewenanganya kepada Daerah untuk menghindari retensi di tengah-tengah masyarakat.
IV. SUBSTANSI USULAN DRAFT RUU EBT
1. Pembagian Kewenangan
Landasan utama pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah di era
otonomi adalah Undang-Undang No. 23 tahun 2014. Oleh karena itu,
setiap peraturan perundang-undangan yang ada harus disinkronkan
dengan semangat yang terkandung di dalam Pasal 1 Ayat (15), UU
Nomor 23 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana ditegaskan
bahwa “Urusan Pemerintahan Pilihan adalah Urusan Pemerintahan
yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi
yang dimiliki Daerah”.
7 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
Dengan memperhatikan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar
1945, maka terhadap Draft RUU EBT terdapat beberapa kewenangan
yang memungkinkan untuk diserahkan atau sharing dengan
Pemerintah Daerah, yang meliputi :
a) Kewenangan Pengelolaan Energi (Perijinan, Perencanaan, Penyediaan dan Pemanfaatan Energi Baru Terbaru) sebagaimana diamanatkan sebagai berikut : (1) UU Nomor 30/2007, yang meliputi :
i) Menyusun Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Pasal 18.;
ii) Penyediaan dan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan Pasal 20 Ayat (4) dan Pasal 21 Ayat (2); dan
iii) Menyusun peraturan daerah Pasal 26 Ayat (2) huruf (b). (2) UU Nomor 21/2021, yang meliputi :
i) Penyediaan tenaga listrik Pasal 3 Ayat (1 dan 2).; ii) Penetapan peraturan daerah dan rencana umum
ketenagalistrikan daerah Pasal 5 Ayat (2) huruf (a dan b).;
iii) Menerbitkan perijinan berusaha Pasal 21 Ayat (1).
b) Kewenangan Pendanaan Energi Baru Terbaru, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 30/2007, yang meliputi : 1) Menyediakan dana subsidi Pasal 7 Ayat (2).; 2) Pemberian insentif Pasal 20 Ayat (5) dan Pasal 21 Ayat (3).; 3) Fasilitasi penelitian darl pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi serta penyediaan dana Pasal 29 dan Pasal 30.;
c) Kewenangan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Energi Baru Terbaru) sebagaimana diamanatkan sebagai berikut : (1) UU Nomor 30/2007, yaitu pembinaan dan pengawasan Pasal
26 Ayat (2) huruf (b). (2) UU Nomor 21/2021, yaitu pembinaan dan pengawasan,
pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk provinsi dan penetapan sanksi administratif Pasal 5 Ayat (2) huruf (c,d dan e).
Dengan demikian, kami mengusulkan Revisi Lampiran cc Sub Urusan
No. 4 Energi Baru Terbarukan UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah,
karena kewenangan daerah dalam pengelolaan Energi Baru Terbarukan
sangat terbatas, hanya meliputi :
8 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
a) Penerbitan Ijin pemanfaatan langsung Panas Bumi lintas Daerah Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) Daerah Provinsi.;
b) Penerbitan Surat Keterangan Terdaftar Usaha Jasa Penunjang yang
kegiatan usahanya dalam 1 (satu) Daerah Provinsi.; dan c) Penerbitan Ijin, Pembinaan dan Pengawasan usaha niaga bahan
bakar nabati (Biofiuel) sebagai bahan bakar lain dengan kapasitas penyediaan 10.000 (sepuluh ribu) ton pertahun.
Karena terjadi “Dissinkronisasi dan disharmonisasi dengan Pasal 1
Ayat (15) UU 23/2014 itu sendiri dan UU Sektor seperti UU 30/2007, UU
21/2021 serta Draft RUU EBT.
Disamping itu, Nomeklatur Penganggaran EBT belum terakomodir
dalam Permendagri 90/2019 tentang Klasifikasi, Kodepikasi, dan
Nomeklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan.;
Oleh karena itu, dalam Draft RUU EBT kewenangan daerah sebagaimana
diuraikan diatas harus diatur secara jelas, transparan dan akuntabel agar
“Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah
sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah seperti pengelolaan
Energi Baru Terbarukan” dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai
amanat Pasal 33 UUD 1945.
2. Dana Bagi Hasil EBT Dari Pungutan Ekspor
Dalam Draft RUU EBT, Pasal 20 Ayat (2) menegaskan bahwa “Sumber
Energi Baru yang diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai pungutan ekspor yang besarnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”; dan Pasal 36 Ayat (2) menegaskan
bahwa “Sumber Energi Terbarukan yang diekspor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai pungutan ekspor yang besarnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam implementasinya, selama ini Penerimaan Negara dari pungutan
ekspor seperti CPO tidak pernah dibagi hasilkan kepada daerah.
Bahkan penerimaan negara dari pungutan ekspor dari sumber energi
tak terbarukan seperti minyak bumi juga tidak dibagi hasilkan.
Oleh karena itu, dalam Draft RUU EBT harus ditegaskan formulasi dana
bagi hasil EBT kepada Daerah dalam penambahan Pasal sebagai
berikut :
9 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
“Penerimaan Negara dari pungutan ekspor Sumber Energi baru
dan Energi Terbarukan merupakan penerimaan Pemerintah Pusat
yang dibagi dihasilkan kepada wilayah Daerah yang bersangkutan,
dibagi dengan imbangan:
1. 5% (lima persen) untuk Pemerintah; dan 2. 95% (lima puluh persen) untuk Daerah, terdiri atas :
a) 50% untuk Daerah Provinsi; dan b) 45% untuk Daerah Kabupaten/Kota.
Dana bagi hasil EBT dari pungutan ekspor dimaksud akan digunakan
untuk melaksanakan program kegiatan sebagai berikut :
a. Pengelolaan Energi (perencanaan, penyediaan dan pemanfaatan energi baru terbaru) .;
b. Pendanaan Energi Baru Terbaru (dana subsidi, pemberian, pendidikan dan pelatihan, fasilitasi penelitian darl pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penyediaan dan pemanfaatan energi).;
c. Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Energi Baru Terbaru.
3. Peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) memiliki peran dalam mewujudkan
kemakmuran daerah dengan memberikan kontribusi terhadap
Penerimaan Penerimaan Asli Daerah (PAD), baik dalam bentuk
deviden atau pajak. Tantangan meningkatkan PAD salah satunya
dapat dijawab dengan meningkatkan peran/kontribusi BUMD.
Sehubungan dengan hal tersebut, kami mengusulkan peran,
kesempatan dan keterlibatkan BUMD harus dioptimalkan dalam Draft
RUU EBT yang diatur secara jelas, transparan dan akuntabel yang
meliputi dalam hal :
1. Pemerintah Pusat dapat menugaskan badan usaha milik daerah untuk membeli tenaga listrik yang dihasilkan dari Energi Baru dan Energi Terbarukan.; dan
2. Pemerintah Pusat dapat menugaskan badan usaha milik daerah untuk membeli bahan bakar yang dihasilkan dari Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Dengan demikian, Pemerintah Pusat bukan hanya menugaskan badan
usaha milik negara dan swasta saja untuk membeli tenaga listrik yang
dihasilkan dari Energi Baru dan Energi Terbarukan serta membeli
10 | P O K O K - P O K O K P I K I R A N
D R A F T R U U E B T
bahan bakar yang dihasilkan dari Energi Baru dan Energi Terbarukan.
Akan tetapi BUMD juga diberikan kesempatan yang sama untuk
berperan serta.
V. PENUTUP
Demikianlah pokok-pokok pikiran kami dalam menyikapi Draft RUU EBT ini.
Kami berharap semoga pokok-pokok pikiran ini mendapat perhatian dari
semua pihak, terutama dari Tim Pansus DPR-RI yang akan melakukan
perumusan Draft RUU EBT tersebut.
Pekanbaru, 5 April 2021
GUBERNUR RIAU
SYAMSUAR