representasi nilai budaya dalam novel “lontara rindu
TRANSCRIPT
REPRESENTASI NILAI BUDAYA DALAM NOVEL “LONTARA RINDU”KARYA S. GEGGE MAPPANGEWA
( PENDEKATAN ANTROPOLOGI SASTRA )
SKRIPSI
DiajukanuntukMemenuhi Salah SatuSyaratguna Memperoleh GelarSarjana PendidikanpadaJurusanBahasadanSastra Indonesia
FakultasKeguruandanIlmuPendidikanUniversitasMuhammadiyah Makassar
Oleh
RAHMAWATI105336970 12
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSARFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA2016
vii
MOTO
Ilmupengetahuanibaratcahayabagihatinurani
kehidupanbagiruhdanbahanbakarbagitabiat
Ilmupengetahuanmampumenembus yang samar
menemukansesuatu yang hilangdanmenyingkap yang tersembunyi
Menggapaiilmubagaikanmenghadapiperang
Untukmemenangkannyakitatakperluomonganbesar
tapidenganperbuatankecil yang disertaido’a, keikhlasan, danusaha
Manusiadiciptakan di duniainitakada yang sama
Namun, bagikudalamberusahajika orang lain bisasukses
kenapasayatidak?
viii
PERSEMBAHAN
Hidupajariakuartikematian
Kebahagiaanajariakuartipenderitaan
Kegagalanajariakuuntuktidakputusasa
Sahabatajariakuuntukmenghargai orang apaadanya
dankeimananajariakuuntukbisabersyukurkepada-Nya
Ketikabersimbahpeluhtukwujudkanmimpiku
Menerawangsembahsujudkusebagaipanutanlangkahku
Kupersembahkankaryasederhanainisebagaibaktiku
kepadaAyahanda Mamma danIbundaBayang
yangtelahmelimpahkankasihsayangterbesarnya
untukku, anaknya
ix
ABSTRAK
RAHMAWATI.2016.“RepresentasiNilaiBudayadalam novel“LontaraRindu”karya S. GeggeMappangewa(PendekatanAntropologiSastra)”.Skripsi.DibimbingolehMunirahdanAndiPaida.Jurusan Bahasa dan SastraIndonesia, FakultasKeguruandanIlmuPendidikanUniversitasMuhammadiyahMakassar.
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilaibudayadalam Novel“LontaraRindu” karya S. GeggeMappangewa, PendekatanAntropologiSastra.
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka yang bersifat deskriptifkualitatif. Adapun yang menjadi data dalam penelitian ini adalah pernyataan yangberupa kalimat atau paragraf dan dialog yang menggambarkannilaibudayadalamnovel “LontaraRndu” karya S. GeggeMappangewa, yang diterbitkan olehRepublikapada tahun 2012 cetakan pertama.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa nilaibudaya yang ditemukan dalamnovel “LontaraRindu” karya S. GeggeMappangewa,terdiri darienam jenis, yaitu:(1)Nilaikejujuran (alempureng); (2)Nilaikecendekiaan(amaccang);(3)Nilaikepatutan (asitinanjang); (4)Nilaiketeguhan (agettengeng);(5)Nilaiusaha(reso); (6) Nilaihargadiri, malu (siri).
Berdasarkan hasil penelitian inidisarankansebagaiberikut:(1)Bagimahasiswasastradapatmemahaminilai-nilaibudayadalamnovel LontaraRindu. Halinisangatbermanfaatdalamrangkamenambahpengetahuankhususnyatentangnilai-nilaibudayaBugis.:(2)Bagimasyarakat, sebagaibahanmasukanuntukmelihatnilai-nilaibudaya yangadadalamsuatudaerahkhususnyanilaibudayaBugis.(3)BagipenelitiselanjutnyadapatmenelitilebihlanjutdanmendalammengenainilaibudayakhususnyabudayaBugis.
Kata Kunci :NilaiBudaya, Novel
x
KATA PENGANTAR
Allah MahaPenyanyangdanPengasih, demikian kata
untukmewakiliatassegalakaruniadannikmat-
Nya.Jiwainitakkanhentibertahmidatasanugerahpadadetikwaktu, denyutjantung,
geraklangkah, serta rasa danrasiopada-Mu, Sang
Khalik.Skripsiiniadalahsetitikdarisederetanberkah-Mu.
Setiap orang dalamberkaryaselalumencarikesempurnaan,
tetapiterkadangkesempurnaanituterasajauhdarikehidupanseseorang.Kesempurnaan
bagaikanfatamorgana yang semakindikejarsemakinmenghilangdaripandangan,
bagaipelangi yang terlihatindahdarikejahuan,
tetapimenghilangjikadidekati.Demikianjugatulisanini,
kehendakhatiinginmencapaikesempurnaan,
tetapikapasitaspenulisdalamketerbatasan.Segaladayadanupayatelahpenulisserahka
nuntukmembuattulisaniniselesaidenganbaikdanbermamfaatdalamduniapendidikan,
khususnyadalamruanglingkupFakultasKeguruandanIlmuPendidkan,
UniversitasMuhammadiyah Makassar.
Motivasidariberbagaipihaksangatmembantudalamperampungantulisanini.S
egala rasa hormat, penulismengucapkanterimakasihkepadakedua orang
tuasaya.MammadanBayang yang telahberjuang, berdoa, mengasuh, membesarkan,
mendidik, danmembiayaipenulisdalam proses pencarianilmu. Demikain pula,
penulismengucapkankepadaparakeluarga yang
xi
takhentinyamemberikanmotivasidanselalumenemanikudengancandanya.Kepada
Dr. Munirah, M.pddanAndiPaida, S.Pd.,M.Pd. Selakupembimbing I
danpembimbing II, yang telahmemberikanbimbingan, arahan,
sertamotivasisejakawalpenyusunan proposal hinggaselesainyaskripsiini.
Tidaklupajugapenulismengucapkanterimakasihkepada; (1) Dr.
H.Abd.Rahman Rahim, SE.,MM, selakuRektorUniversitasMuhammadiyah
Makassar, (2) Dr. H A. SukriSyamsuri, M.Hum,
selakuDekanFakultasKeguruandanIlmuPendidikan, UniversitasMuhammadiyah
Makassar, dan (3) Dr. Munirah,
M.PdselakuketuaJurusanPendidikanBahasadanSastra Indonesia
sertaseluruhdosendanparastafpegawaidalamlingkunganFakultasKeguruandanIlmu
pendidikan, UniversitasMuhammadiyah Makassar yang
telahmembekalipenulisdenganserangkaiaanilmupengetahuan yang
sangatbermanpaatbagipenulis.
Akhirnya, dengansegalakerendahanhati,
penulissenantiasamengharapkankritikandan saran dariberbagaipihak, selama saran
dankritikantersebutsifatnyamembangunkarenapenulisyakinbahwasuatupersoalanti
dakakanberartisamasekalitanpaadanyakritikan. Mudah-
mudahandapatmemberimanfaatbagiparapembaca,
terutamabagidiripribadipenulis.Amin.
Makassar, Agustus2016
xii
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN................................................................................. v
SURAT PERJANJIAN .................................................................................... vi
MOTO.............................................................................................................. vii
ABSTRAK ....................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
DAFTAR ISI...................................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang.................................................................................. 1
B. RumusanMasalah............................................................................. 4
C. TujuanPenelitian.............................................................................. 4
D. ManfaatPenelitian............................................................................ 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. KajianPustaka................................................................................. 6
1. Penelitian yang Relevan........................................................... 6
xiii
2. PengertianNilai......................................................................... 7
3. PengertianBudaya .................................................................... 8
4. Novel ........................................................................................ 15
5. PendekatanAntropologi............................................................ 22
B. KerangkaPikir ................................................................................ 23
BAB III METODE PENELITIAN
A. DesainPenelitian............................................................................. 26
B. DefinisiIstilah................................................................................. 26
C. Data dan Sumber Data ................................................................... 27
D. TeknikPengumpulan Data.............................................................. 27
E. Teknik Analisis Data...................................................................... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HasilPenelitian ............................................................................... 30
B. Pembahasan.................................................................................... 44
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................ 47
B. Saran............................................................................................... 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 48
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran
konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Bahasa adalah bahan
utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi dalam suatu bentuk yang indah.
Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban
manusia semenjak ribuan tahun yang lalu. Kehadiran sastra di tengah peradaban
manusia tidak dapat ditolak, bahkan kehadiran tersebut diterima sebagai salah satu
realitas sosial budaya.
Kebudayaan merupakan hal yang dinamis, senantiasa berkembang atau
berubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Hubungan antara kebudayaan dan
masyarakat sangat erat kaitannya. Masyarakat adalah tempat tumbuhnya budaya,
sedangkan budaya itu sendiri sesuatu yang ada dalam masyarakat. Dengan kata
lain, budaya ada karena ada masyarakat sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya.
Sastra memang tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya, tetapi
muncul pada masyarakat yang telah memiliki tradisi, adat istiadat, konvensi,
keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang
estetika, dan lain-lain.
2
Kebudayaan khususnya budaya Bugis merupakan satu diantara unsur
budaya yang sangat penting perannya dalam pelestarian dan pewarisan yang
sebagian besar masih dipertahankan oleh masyarakat Bugis. Memang, nilai-nilai
budaya dan pandangan hidup masyarakat .Bugis berasal dari masa lampau, namun
demikian hal itu tidak mengurangi nilai dari warisan budaya tersebut, nilai-nilai
budaya Bugis ini masih tetap digunakann sebagai pedoman dalam berperilaku dan
bertindak masyarakat Bugis di masa kini.
Dalam kebudayaan terdapat pendekatan antropologi, menurut pandangan
teori ini, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya
sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti cukup
luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh
karya sastra. Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra.
Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Analisis antropologi sastra
adalah usaha untuk mencoba memberikan identitas terhadap karya sastra dengan
menganggapnya sebagai mengandung aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri
kebudayaan. Oleh karena disiplin antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan
sastra dibatasi pada unsur budaya yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai
dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu sastra sebagai hasil aktivitas kultural.
Wacana budaya termasuk bagian dari lontara yang merupakan karya asli
masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, lontara dapat berfungsi sebagai; (1)
lambang jati diri, (2) lambang kebanggaan, dan (3) sarana pendukung budaya
daerah. Lontara dinyatakan sebagai lambang jati diri karena memuat berbagai
3
nilai budaya yang menjadi ciri khas masyarakat Bugis; Lontara dinyatakan
sebagai lambang kebanggaan karena sikap yang mendorong sekelompok orang
menjadikan Lontara sebagai lambang identitasnya, dan sekaligus dapat
membedakannya dengan kelompok orang lain; dan Lontara dinyatakan sebagai
sarana pendukung budaya daerah karena mengandung informasi kultural untuk
membangun tatanan sosial dalam rangka memperkukuh budaya nasional. Karena,
pentingnya fungsi yang diemban tersebut, Lontara tetap dipelihara dan
dilestarikan oleh masyarakat Bugis. Secara sadar atau tidak, tampaknya perlakuan
masyarakat Bugis terhadap Lontara, sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 32,
yang menyatakan bahwa unsur budaya bangsa itu akan tetap dihormati dan
dipelihara Negara.
Sebuah karya sastra khususnya novel yang memiliki bahasa yang indah,
Setiap pemunculannya mencerminkan suatu keadaan masyarakat tertentu. Novel
merupakan bagian dari karya fiksi yang memuat pengalaman manusia secara
menyeluruh atau merupakan suatu terjemahan tentang perjalanan hidup yang
bersentuhan dengan kehidupan manusia. Daya tarik cerita inilah yang pertama-
tama akan memotivasi orang untuk membaca sebuah novel. Melalui sarana cerita,
secara tidak langsung pembaca akan belajar, merasakan dan menghayati berbagai
permasalahan kehidupan yang secara sengaja ditawarkan pengarang. Hal itu
disebabkan cerita novel tersebut akan mendorong pembaca untuk ikut
merenungkan masalah hidup dan kehidupan.
4
Beberapa karya sastra yang bercirikan dalam antopologi sastra seperti; Sitti
Nurbaya yang menampilkan masalah pokok mengenai adat istiadat, terpaksa
kawin dalam kaitannya dengan adat minangkabau, Salah Asuhan mengenai kawin
campuran antara bangsa Barat dengan pribumi, Layar Terkembang mengenai
emansipasi perempuan, Bumi Manusia dalam kaitannya dengan residu
kolonialisme, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang menceritakan tentang
adat istiadat orang Minangkabau dalam pernikahan, Lontara Rindu mengenai
perbedaan kepercayaan dan beberapa kepercayaan orang Bugis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana representasi nilai budaya dalam
novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian masalah di atas, adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa.
D. Manfaat penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan
secara praktis.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan informasi yang lebih rinci dan mendalam mengenai nilai budaya
yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.
5
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat;
1. Bagi pembaca, memberi sumbangan pemikiran atau informasi mengenai
nilai budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa;
2. Bagi pencinta sastra, sebagai bahan masukan dalam upaya pengkajian
maupun kajian-kajian yang lainnya;
3. Bagi masyarakat umum, Sebagai bahan bacaan untuk mengetahui nilai
budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa;
4. Bagi peneliti lain, sebagai bahan acuan untuk melakukan penelitian
selanjutnya yang relevan dengan judul penelitian ini;
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
Kajian pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya
dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini. Sehubungan
dengan masalah yang diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan
penelitian ini diuraikan sebagai berikut.
1. Penelitian yang Relevan
Beberapa peneliti sebelumnya telah melakukan penelitian yang relevan
dengan penelitian yang dilakukan penulis terhadap sebuah novel khususnya
representasi nilai budaya dalam novel “Lontara Rindu” Karya S. Gegge
Mappangewa. Beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan jenis
penelitian deskriptif yang relevan dengan penelitian ini adalah Pendekatan
Sosiologi Sastra Representasi Nilai Budaya Jawa dalam Novel Canting Karya
Arswendo Atmowiloto oleh Reny Apriliyan (055114038) Fakultas Bahasa dan
Sastra Universitas Negeri Makassar 2009. Dalam penelitian ini Reny
menyimpulkan bahwa dalam novel “canting” menujukkan bahwa nilai budaya
Jawa tersebut terdiri atas hakikat hidup, karya dan etos kerja, hubungan dengan
alam, hubungan dengan sesama, dan persepsi waktu. Nilai budaya yang
berhubungan dengan hakikat hidup yaitu konsep dalam hakikat hidup orang Jawa
yaitu mereka menerima nasib dengan pasrah, tetap tulus dan mengabdikan diri.
7
Adapun penelitian lain yang berhubungan dengan masalah nilai budaya
antara lain yang dilakukan oleh Isma Ariyani (E31110264) Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin 2014 yaitu Representasi Nilai Siri’ Pada
Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk (Analisis
Framing Novel) yang mengandung nilai budaya yang sangat kuat oleh karena itu
penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut. Cara pandang dan latar
belakang sangat memengaruhi seseorang dalam menafsirkan realitas sosial
berdasarkan konstruksinya masing-masing. Pada novel “Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck”, Hamka mengemas karakter Zainuddin sebagai sosok berdarah
Makassar-Minang berdasarkan cara pandangnya. Hamka yang notabene seorang
ulama, banyak menghubungkan siri’ dengan agama islam. Sehingga
penggambaran siri’ dalam novel tersebut tidak jauh dari unsur-unsur dakwah.
Adapun penelitian yang sama juga perna dilakukan oleh Fitrahayunitisna
yang berjudul Representasi Nilai-nilai Budaya Jawa dalam Tokoh Novel “Biola
Tak Berdawai” Karya Seno Gumira Ajidarma (Sebuah Kajian Sosiologi Sastra).
Novel tersebut mengambarkan nilai-nilai budaya Jawa dalam kaitannya hubungan
tokoh dengan sesamanya meliputi prinsip kerukunan, nilai hormat, tolong
menolong dan etika pergaulan laki-laki dan perempuan.
2. Nilai
Nilai merupakan unsur yang penting dalam kehidupan manusia. Dalam
hidupnya manusia tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai. Nilai adalah perasaan
tentang apa yang diinginkan atau tidak diinginkan, tentang apa yang boleh
8
dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan, tentang apa yang berharga dan yang tidak
berharga (Aryandini, 2000: 19).
Bidang yang berhubungan dengan nilai adalah etika (nilai yang berkaitan
tingkah laku manusia) dan estitika (nilai yang berkaitan dengan seni). Nilai dalam
masyarakat tercakup pada adat kebiasaan dan tradsisi, yang secara tidak sadar
diterima dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat. Nilai budaya merupakan inti
kebudayaan yang mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada
struktur permukaan kehidupan manusia yang meliputi prilaku sebagai kesatuan
gejala baik berupa perilaku seni, perilaku ritual, perilaku ekonomi, perilaku
politik, dan perilaku lain dalam kehidupan, dan benda-benda sebagai kesatuan
material (Koentowidjoyo, 1987: 17).
3. Budaya
a. Pengertian Budaya
Istilah budaya berasal dari bahasa Inggris culture. Dari bahasa Belanda
cultuur, dan dari bahasa Latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan,
menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari
segi arti ini kebudayaan sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk
mengolah dan mengubah alam (dalam Prasetya, 2004: 28).
Pengertian kebudayaan merupakan mekanisme kontrol bagi tingkah laku
sosial anggota masyarakat pendukungnya, Geert (dalam Depdikbud, 1990: 25) .
Lebih tegas lagi hal yang dikemukakan Spardley (dalam Wiranata, 2002: 94)
bahwa kebudayaan ialah pengetahuan yang diperoleh dan digunakan oleh manusia
menginterpretasikan pengalaman dan menggerakkan kegiatan sosial. Dalam
9
batasan itu kebudayaan boleh dikatakan sebagai pengetahuan manusia tentang
etika dan aturan yang hanya mungkin diperoleh dalam kehidupan bermasyarakat.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislaw Malinowski (dalam Soekanto, 2006: 149-150)
mengemukakan bahwa Cultural Determinism berarti segala sesuatu yang terdapat
dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu
sendiri. Kemudian Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang
super-organic karena kebudayaan yang turun-temurun dari generasi ke generasi
tetap hidup terus. Selanjutnya seorang antropolog E.B. Tylor (dalam Soekanto,
2006: 150) memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut
(terjemahannya);
Kebudayaan adalah komples yang mencakup pengetahuan,kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lainkemampuan-kemapuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkanoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dari beberapa definisi di atas kelihatan berbeda-beda, namun pada
dasarnya mempunyai prinsip yang sama, yaitu sama-sama mengakui adanya
ciptaan manusia. Maka, dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa kebudayaan
adalah hasil buah budi manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universals (dalam
Koentjaraningrat, 2005: 80) yaitu; (1) sistem teknologi misalnya menyangkut
cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan
dan perlengkapan; (2) sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi (pertanian,
peternakan, sistem distribusi dan sebagainya); (3) sistem kemasyarakatan
misalnya sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
10
perkawinan; (4) bahasa sebagai media komunikasi baik lisan maupun tertulis; (5)
kesenian mencakup seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya; (6) sistem
pengetahuan dan; (7) religi atau sistem kepercayaan.
b. Jenis Budaya
Lingkungan masyarakat sangat erat dengan kaitannya oleh budaya,
sehingga budaya pulalah yang melestarikan suatu masyarakat. Dalam budaya
terdapat berbagai jenis budaya diantaranya yaitu:
1. Budaya Makassar
“Makassar” berasal dari kata mangkasarak yang terdiri dari 2 kata, yaitu
“mang” dan “kasarak“. Mang di sini semacam sebuah kata tambahan yang
memperjelas kata dasarnya, yaitu “kasarak,” di mana arti kasarak di sini adalah
terang, jelas, tegas atau nyata. Jadi, kata “Mangkasarak” mengandung arti
“memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (jujur). Sebagai nama, orang
yang memiliki sifat atau karakter “Mangkasarak”, berarti orang tersebut besar
(mulia), berterus terang (jujur). Makassar adalah kota yang indah, oleh karena itu,
bahasa ini mempunyai abjadnya sendiri, yang disebut Lontara, namun sekarang
banyak juga ditulis dengan menggunakan huruf Latin. Suku Makassar
menyebutnya “Mangkasara” berarti "mereka yang bersifat terbuka." Masyarakat
suku Makassar sebagian besar menganut agama Islam dan selain itu, masyarakat
Makassar juga sejak dahulu mengenal adanya aturan tata hidup yang berkenaan
dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan dan sistem kepercayaan.
11
2. Budaya Bugis
Nilai budaya Bugis dapat dilihat dari dalam teks novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa. Nilai utama kebudayaan Bugis dalam novel
Lontara Rindu meliputi yaitu nilai kejujuran (alempureng), kecendekiaan
(amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng), usaha (reso), dan
harga diri, malu (siri). Pemaparan tersebut dapat dilihat melalui kutipan-kutipan
pada novel Lontara Rindu yang telah dianalisis menurut kriteria masing-masing
sesuai dengan permasalahannya” (Rahim, 2011: 107). Mengemukakan bahwa
membicarakan orientasi budaya orang Bugis dengan enam prinsip dasar antara
lain:
1. Nilai Kejujuran (alempureng)
Kejujuran dianggap sangat penting dalam masyarakat Bugis. Kejujuran
dalam bahasa Bugis adalah alempureng, yang berasal dari kata lempu”, yang bisa
juga berarti ikhlas, benar, baik, atau adil. Dalam berbagai konteks, adakalanya
kata ini berarti juga ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga kata-kata lawannya
adalah curang, dusta, khianat, buruk, tipu, dan semacamnya.
Ada empat nilai utama kejujuran dalam masyarakat Bugis yaitu:
(a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak
curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan
haknya; dan (d) tidak memandang kebaikan hanya untuk dirinya sendiri, baginya
baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
12
2. Nilai Kecendekiaan (amaccang)
Amaccang berasal dari kata acca, yang dalam percakapan sehari-hari
orang Bugis maknanya adalah pintar atau pandai. Amaccang selalu bermakna
positif, sehingga menurut pendapat oleh (Rahim,2011:105), menerjemahkannya
sebagai kecendekiaan. Cendekiawan mencintai perbuatan dan kata yang benar,
waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati
melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang ikhlas, yang
pikirannya selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang
dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber
kebajikan.
Cendekiawan adalah orang yang mencintai perbuatan dan kata yang benar,
waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati
melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang berpikir
seikhlas-ikhlasnya sampai dia menemukan kunci segala pemecahan persoalan dan
perbuatan yang dapat menimbulkan keburukan dan kebaikan.
3. Nilai Kepatutan (asitinajang)
”Kepatutan, kepantasan, kelayakan”, yang dalam bahasa Bugis disebut
asitinajang merupakan hal dianggap penting oleh orang Bugis. Asitinajang
berasal dari kata tinaja, yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan
ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal – hal yang sangat besar,
yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang sangat kecil, yang
sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang
lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang
13
menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian
tersebut dia akan menolaknya.
Kepatutan berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan ini
diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal yang sangat besar, yang
berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang sangat kecil, yang sepintas
lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang lain. Jika
orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang menerimanya, tetapi
jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian tersebut dia akan
menolaknya.
4. Nilai Keteguhan (agettengeng)
Dalam bahasa Bugis agettengeng yang berarti ”keteguhan” berasal dari
kata getteng, selain berarti ”teguh”, kata inipun juga berarti ”tetap-asas atau setia
pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang wasiat” .
Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai kepatutan, nilai
keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Perwujudan nilai ini dalam
tindakan nyata berupa tindakan ”tak mengingkari janji; tak mengkhianati
kesepakatan; tak membatalkan keputusan; tak mengubah kesepakatan, dan jika
berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung”. Keteguhan berarti ”tetap
asas atau setia pada keyakinan, atau kuat dan tangguh dalam pendirian, erat
memegang wasiat”.
14
5. Nilai Usaha (reso)
Nilai usaha ini didasari pada diri seseorang yang melakukan tindakan pada
dirinya sendiri. Berusaha melakukan sesuatu dapat dirasakan langsung pada
sebuah perbuatan atau tindakan. Dalam Lontara Rindu nilai usaha (reso) berupa
kerja keras dan ketekunan yang di lakukan masyarakat Bugis, khususnya yang
tergambar pada novel Lontara Rindu. Sifat dasar masarakat Bugis yang keras
kepala membuat mereka semangat dan pantang menyerah dalam berusaha mereka
melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan dan kerja keras
cita-cita dapat diwujudkan.
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
utama budaya Bugis yaitu nilai usaha (reso). Kutipan ”dia berusaha melawan, dia
berusaha bertahan terlebih dia berusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik
menyerang dengan cara mencari jalan keluar,” merupakan ciri dari nilai
kebudayaan Bugis berupa nilai usaha (reso).
6. Nilai Malu/Harga Diri (siri’)
Nilai malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan
Bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.
Siri dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali
diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki. Siri disejajarkan
kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari
kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan
sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama
15
manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri’)
ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.
Peneliti menyimpulkan kutipan “aib” menggambarkan nilai utama budaya
Bugis yang berupa nilai malu/harga diri (siri). Aib merupakan ciri dari nilai
budaya Bugis berupa nilai malu/harga diri. Siri’ dapat diartikan malu sebagai kata
sifat atau keadaan, perasaan malu dan menyesali diri, perasaan dan harga diri,
perasaan malu karena ternoda atau aib, dan perasaan malu jika dengki.
Keenam unsur inilah yang akan menjadi fokus penelitian penulis untuk
menggali nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S.Gegge Mappangewa.
3. Novel
a. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa Latin yaitu novellus yang diturunkan dari
dari kata noveis yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena novel dibandingkan
dengan jenis karya sastra yang lain seperti puisi, drama, dan lain-lain. Robert
Liddell (dalam Tarigan, 1985: 164) “novel Inggris yang pertama lahir adalah
“Famela” pada tahun 1740. Sedangkan dalam The American College Dictionary
(dalam Tarigan, 1985: 164):
“Novel adalah suatu cerita prosa yang diktif dalam panjangtertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak serta adegankehidupan nyata yang representatif dalam suatu alur atau suatukeadaan yang agak kacau dan kusut”.
Sebutan novel dalam bahasa Inggris dan novella dalam bahasa Itali, bahasa
jerman novelle. Secara harfiah novella berarti sebuah barang baru kecil dan
kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa Abrams (dalam
Nugriyantoro 1995: 9). Istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang
16
sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris: novelette) yang berarti sebuah
karya prosa fiksi yang panjangnya cukupan tidak terlalu panjang namun juga tidak
terlalu pendek.
Menurut Kosasih (2012:60), novel adalah karya imajinatif yang
mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa
orang tokoh. Pada hakikatnya, novel merupakan cerita yang mengenai suatu
kejadian yang luar biasa dari kehidupan seseorang, di dalamnya ditemukan
pergolakan jiwa yang mengalihkan perubahan jalan nasib manusia. Jadi, dapat
dinyatakan bahwa novel adalah konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang
menentukan jalan ke arah para pelakunya.
b. Unsur Novel
Karya sastra disusun oleh dua unsur yang menyusunnya. Dua unsur yang
dimaksud ialah unsur intrinsik dan ekstrinsik.
1) Unsur Intrinsik
Unsur intrinsik ialah unsur yang menyusun sebuah karya sastra dari dalam
yang mewujudkan struktur suatu karya sastra, seperti : penokohan, alur, latar,
sudut pandang, gaya dan nada, tema. Unsur-unsur yang membangun sebuah novel
yang disebutkan oleh Stanton (dalam Wiyatmi, 2006: 30) adalah sebagai berikut:
a) Tokoh dan Penokohan
Pelaku yang ditemukan dalam sebuah cerita adalah pelaku yang imajinatif,
pelaku yang ada dalam benak pengarang. Pelaku imajinatif itu tidak akan
dijumpai pada alam nyata, sekalipun dicari pada seantero dunia. Raut muka,
bentuk tubuh, sepak terjang dan karakter pelaku, dapat dikenal lewat
17
penggambaran, baik yang dilakukan oleh pengarang cerita, maupun pelaku.
Penyitraan pelaku dengan karakter tertentu dikenal dengan istilah penokohan
(Djunaedi, 1992: 82).
Seorang pengarang memiliki kebebasan menggambarkan dan
menghadirkan tokoh yang bermacam-macam dalam cerita. pengarang dapat
menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hidup dalam imajinasinya, menampilkan
pelaku cerita yang saleh, mandiri, dan pekerja keras seperti dalam kehidupan
nyata. Cara pengarang menggambarkan atau memunculkan tokohnya itu dapat
berbagai macam. Menurut Aminuddin (2004: 80), dalam upaya memahami watak
pelaku, pembaca dalam menelusurinya melalui:
1) Tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
2) Gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan
kehidupannya maupun cara berpakaian;
3) Menunjukkan bagaimana perilakunya;
4) Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri;
5) Memahami bagaimana jalan pikirannya;
6) Melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya;
7) Melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya;
8) Melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain memberikan reaksi terhadapnya;
9) Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.
18
b) Alur
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan
hubungan kausalitas. Hubungan unsur cerita yang satu dengan unsur cerita yang
lain, selain bersifat logis juga mengandung hubungan kausalitas, yaitu bahwa
peristiwa yang satu menjadi penyebab terjadinya peristiwa yang lain. Secara garis
besar alur terbagi dalam tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir Sayuti (dalam
Wiyatmi, 2006: 36). Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas
yang ada konfliks. Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak
konflik. Bagian akhir mengandung penyelesaian atau pemecahan masalah.
c) Latar
Dalam karya sastra, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar
tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan ,asalah geografis. Latar
waktu berkaitan dengan masalah waktu, hari, jam, maupun histories. Latar sosial
berkaitan dengan kehidupan masyarakat Sayuti (dalam Wiyatmi, 2006: 40).
Latar (setting) adalah tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita
hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau
dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu di suatu tempat.
d) Sudut Pandang
Kalau membaca sebuah cerita, tentu kita mengenali siapa sebenarnya yang
dipilih pengarang untuk diceritakan. Inilah yang disebut sudut pandang atau point
of viem. Sebuah cerita memang dituturkan oleh pengarangnya.
19
Menurut Harry Shaw (dalam Nugriyantoro, 1995: 167), sudut pandang ada
tiga macam, yaitu: a) pengarang terlibat (auther participant): pengarang ikut
ambil bagian dalam cerita sebagai tokoh utama yang mengisahkan tentang dirinya.
Dalam cerita ini pengarang menggunakan kata ganti orang pertama (aku atau
saya). b) pengarang sebagai pengamat (auther observant): posisi pengarang
sebagai pengamat yang mengisahkan pengamatannya sebagai tokoh samping.
Pengarang berada di luar cerita, dan mengunakan kata ganti orang ketiga (ia atau
dia) di dalam cerita. c) pengarang serba tahu (auther emniscient): pengarang
berada diluar cerita (imepersonal), tetapi serba tahu tentang apa yang dirasa dan
dipirkan oleh tokoh cerita. Dalam kisahan cerita, pengarang memakai nama-nama
orang dan dia (orang ketiga).
e) Gaya Bahasa
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi seorang
pengarang. Gaya bahasa meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imaji (citraan),
dan sintaksis (pilihan pola kalimat).
Sumardjo (1984: 62) mengemukakan bahwa gaya merupakan cara yang
khas pengungkapan seseorang. Hal ini tercermin dalam cara pengarang menyusun
dan memilih kata-kata, dalam memilih tema, dalam memandang tema atau
meninjau persoalan, pendeknya gaya mencerminkan pribadi pengarangnya.
f) Tema
Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang
mendominasi suatu karya sastra. Tema pada dasarnya merupakan sejenis
komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun
20
implisit. Tema memiliki fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya. Selain itu,
tema juga berfungi untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap
pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya (Sayuti, dalam Wiyatmi,
2006: 43). Tema adalah bentuk pembicaraan dalam sebuah cerita bukanlah
sekadar berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagian, melainkan
sususnan bagian yang harus mempunyai maksud tertentu (Sumardjo, 1984: 58).
Pengarang dalam mencipta sebuah cerita rekaan, biasanya tidak hanya
sekadar ingin menyampaikan rentetan kejadian atau peristiwa dalam cerita begitu
saja. Pencerita biasanya memiliki suatu konsep, ide, atau pemikiran yang mereka
kemas dalam ceritanya. Cerita yang tergolong karya fiksi biasanya mengandung
tema yang ingin disampaikan oleh pengarang atau pencerita kepada pembaca.
Dalam pembahasan mengenai novel, Pradotokusumo (dalam Tang, 2005: 48)
mengemukakan dua pengertian tema (Yunani: thema) dalam dua makna, yaitu
a) Tema adalah gagasan sentral atau gagasan yang dominan di dalam suatu
karya sastra;
b) Pesan atau nilai moral yang terdapat secara implisit di dalam karya seni.
Kedua batasan yang dikemukakan di atas, yang pertama tampaknya lebih
mengacu pada batasan tema, sedangkan batasan yang kedua lebih sesuai dengan
batasan amanat.
2) Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan cerita sebuah karya sastra.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah
21
unsur. Unsur-unsur yang dimaksud antara lain adalah latar belakang pengarang,
aspek sosial budaya, ekonomi, dan politik. Aspek sosial budaya yang dimaksud
adalah aspek yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, baik secara
langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat). Unsur
ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang,
psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya sastra
(Nugriyantoro, 2007).
Penelitian ini lebih menfokuskan pada penelitian tentang nilai budaya.
Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat.
Karena nilai budaya terdiri dari konsep-konsep mengenai segala sesuatu yang
dinilai berharga dan penting oleh warga suatu masyarakat, sehingga dapat berfugsi
sebagai suatu pedoman oerientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang
bersangkutan (Koentjaraningrat, 2005:75).
Walaupun nilai-nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup warga
suatu masyarakat, sebagai konsep sifatnya sangat umum, memiliki ruang lingkup
yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.
Namun, justru karena itulah ia berada dalam daerah emosional dari alam jiwa
seeorang. Nilai-nilai budaya yang menjadi dasar kajian dalam penelitian ini yaitu
mencakup hakikat hidup, hakikat karya dan etos kerja, hakikat hubungan dengan
alam, hakikat hubungan dengan sesama, dan persepsi waktu yang dikemukakan
oleh Koentjaraningrat (dalam Prihatmi, 2003: 68).
22
4. Pendekatan Antropologi
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan antropologi sastra
sebagai landasan teori dalam menganalisis novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa. Menurut pandangan teori ini, karya sastra dilihat hubungannya
dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Kenyataan di sini mengandung arti cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada
di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Antropologi sastra terdiri atas dua kata yaitu antropologi dan sastra.
Menurut Ratna (2011: 6), antropologi sastra adalah analisis terhadap karya sastra
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur antropologi. Oleh karena disiplin
antropologi sangat luas, maka kaitannya dengan sastra dibatasi pada unsur budaya
yang ada dalam karya sastra. Hal ini sesuai dengan hakikat sastra itu sendiri yaitu
sastra sebagai hasil aktivitas kultural. Pendapat lain dikemukakan oleh
(Koentjaraningrat), antropologi sastra adalah analisi dan pemahaman terhadap
karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Analisis antropologi sastra adalah usaha untuk mencoba memberikan
identitas terhadap karya sastra dengan menganggapnya sebagai mengandung
aspek tertentu yaitu hubungan ciri-ciri kebudayaannya.
Menurut Ratna (2011: 68) antropologi sastra berfungsi untuk:
1) Melengkapi analisis ekstrinsik di samping sosiologi sastra dan psikologi
sastra.
2) Mengantisipasi dan mewadahi kecenderungan-kecenderungan baru hasil karya
sastra yang di dalamnya banyak dikemukakan masalah-masalah kearifan local.
23
3) Diperlukan dalam kaitannya dengan keberadaan bangsa Indonesia, di
dalamnya terkandung beraneka ragam adat kebiasaan seperti; mantra, pepatah,
motto, pantun, yang sebagian besar juga dikemukakan secara estetis dalm
bentuk sastra.
4) Wadah yang sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan yang selama ini menjadi
wilayah perbatasan disiplin antropologi sastra.
5) Mengantisipasi kecenderungan kontemporer yaitu perkembangan multidisiplin
baru.
B. Kerangka Pikir
Sesuai dengan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, berikut ini
diuraikan hal-hal yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian ini.
Penelitian ini merupakan suatu pendekatan antropologi sastra yang
bertujuan untuk mendeskripsikan representasi nilai budaya bugis yang terdapat
dalam novel Lontara Rindu.
Karya sastra sebagai realitas imajiner pengarang dapat dibedakan atas
puisi, prosa fiksi atau prosa naratif, dan drama. Prosa fiksi atau cerita rekaan ialah
karya sastra dalam bentuk prosa yang berupa cerita hasil rekaan pengarang, yakni
hasil olahan daya kreatif dan daya imanjinasi pengarang berdasarkan pandangan,
tafsiran, dan penilaiannya tentang peristiwa-peristiwa yang hanya berlangsung
imajinasinya (peristiwa yang tidak pernah terjadi). Prosa fiksi tersebut yaitu
berupa novel Lontara Rindu yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini.
24
Dalam penelitian ini kajian difokuskan pada salah satu karya sastra berupa
novel, khususnya novel yang berjudul Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa. Novel Lontara Rindu yang memuat nilai-nilai yang terdapat dalam
suatu masyarakat, salah satu aspek yang menjadi kajian dalam penelitan ini yaitu
nilai budaya Bugis. Nilai Budaya masyarakat Bugis dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa, akan dikaji dengan menggunakan pendekatan
antropologii sastra. Pendekatan antropologi sastra yang dimaksud yaitu menurut
Laurenson dan Swingewood yaitu penelitian yang memandang karya sastra
sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa
sastra tersebut diciptakan.
Dalam pendekatan ini membicarakan orientasi budaya orang bugis yang
memiliki enam prinsip dasar yaitu : (1) Nilai Kejujuran (Alempureng), (2) Nilai
Kecendekiaan (Amaccang), (3) Nilai Kepatutan (Asitinajang), (4) Nilai
Keteguhan (Agettengeng), (5) Nilai Usaha (Reso) dan (6) Nilai Malu/Harga Diri
(Siri). Bertujuan untuk menghasilkan nilai utama kebudayaan Bugis dan dapat
memahami berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat Bugis karena tidak
digunakannya nilai-nilai budaya tertentu sebagai pedoman untuk memahami,
menjelaskan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tertentu. (Rahim,
2011:105).
25
Adapun alur kerangka pikir penelitian ini, digambarkan pada skema
kerangka pikir sebagai berikut.
pP
Bagan Kerangka Pikir
Karya Sastra
Puisi Prosa DramaProsa
Prosa Fiksi
Novel Lontara Rindu
Nilai Budaya Bugis
Nilai Kejujuran(Alempureng)
NilaiKecendekiaan(Amaccang)
NilaiKepatutan
(Asitinajang)
NilaiKeteguhan
(Agettengeng)
NilaiUsaha(Reso)
NilaiMalu(Siri’)
Analisis
Temuan
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode deskriptif. Hal ini
dimaksudkan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan suatu cerita secara
utuh dan apa adanya. Menurut Moleong (2013: 11) dalam metode deskriptif data
yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Metode ini
digunakan untuk memberikan gambaran mengenai nilai budaya dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Bentuk penelitian yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk kualitatif. Menurut Moleong
(2013:6) penelitian kualitatif adalah penelitian untuk memahami fenomena yang
dialami oleh subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan
memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
B. Definisi Istilah
Representasi yaitu keadaan yang mewakili atau menggambarkan atau
mendeskripsikan sesuatu.
Nilai budaya adalah inti kebudayaan dalam kehidupan manusia yang
meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala baik perilaku seni, ritual, ekonomi,
politik dan perilaku lain dalam kehidupan.
27
Representasi nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa adalah penggambaran nilai budaya Bugis yang terdapat dalam novel
Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa yang meliputi, nilai kejujuran
(alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan
(agettengeng), usaha (reso), dan malu/harga diri (siri), dengan mengunakan
pendekatan antropologi sastra.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterangan atau bahan
yang dijadikan dasar kajian dan analisis. Oleh karena itu, data dalam penelitian ini
adalah kutipan berupa kalimat, paragraf, dan dialog yang menggambarkan nilai
budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.
2. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa, Harian Republika pada tahun 2012 di Jakarta ini merupakan novel
best seller peraih penghargaan terbaik pertama “Lomba Novel Republika 2011”.
Novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa ini terdiri dari 343 halaman.
D. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tujuan penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data
dan informasi berupa nilai budaya yang terdapat pada Novel Lontara Rindu karya
S. Gegge Mappangewa. Oleh karena itu, dalam upaya menjaring semua data dan
informasi yang dibutuhkan tersebut, digunakan beberapa teknik pengumpulan data
sebagai berikut.
28
1. Teknik Baca
Teknik ini dilakukan dengan membaca berulang pada novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa yang direpresentasikan dengan nilai budaya Bugis.
2. Teknik Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk menjaring data tertulis yang terdapat dalam
novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Data dianalisis dengan jalan
memilih dan memilah-milah nilai budaya Bugis nilai kejujuran (alempureng),
kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan (agettengeng),
usaha (reso), dan malu/harga diri (siri). yang terdapat dalam novel tersebut.
3. Teknik Pencatatan
Hasil pembacaan yang menggambarkan nilai budaya Bugis (dalam bentuk
kalimat atau paragraf) yang digunakan dalam novel Lontara Rindu karya S.
Gegge Mappangewa tersebut dicatat dalam kartu yang telah disiapkan.
E. Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis secara deskriptif-kualitatif dengan
menggunakan pendekatan Antropologi Sastra. Analisis data yang digunakan
mengikuti langkah-langkah seperti berikut:
1. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai kejujuran (alempureng) dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa.
2. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai kecendekiaan (amaccang) dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa.
29
3. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai kepatutan (asitinajang) dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa.
4. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai keteguhan (agettengeng) dalam novel Lontara Rindu
karya S. Gegge Mappangewa.
5. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai usaha (reso) dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge
Mappangewa.
6. Menganalisis dan menginterpretasi nilai utama budaya Bugis yang
menggambarkan nilai malu/harga diri (siri) dalam novel Lontara Rindu karya
S. Gegge Mappangewa.
7. Menyimpulkan hasil analisis sehingga diperoleh deskripsi tentang nilai budaya
Bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Sebuah budaya memberikan warna yang kuat terhadap suatu kebijakan,
perilaku, dan dinamika komunitasnya. Dalam bekerja seseorang lazim
mengadopsi nilai-nilai dari hidup kesehariannya. Nilai adalah suatu keyakinan
kuat terhadap bentuk tingkah laku atau sikap tertentu yang disukai dan mudah
diterima baik secara personal maupun sosial. Hakikat nilai budaya adalah
perwujudan pergaulan sosial yang tanpa mementingkan diri sendiri karena
kepentingan kolektif lebih penting dibandingkan dengan kepentingan pribadi.
Nilai budaya dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa tercermin
dalam pemaparan tersebut.
Agar pembahasan ini sistematis dan konkret, hasil analisis data nilai
budaya tersebut disajikan dalam enam nilai budaya yaitu ,nilai kejujuran
(alempureng), kecendekiaan (amaccang), kepatutan (asitinanjang), keteguhan
(agettengeng), usaha (reso), dan harga diri, malu (siri). Hasil analisis data
mengenai nilai budaya tersebut dideskripsikan satu per satu untuk mengetahui
nilai budaya dalam cerita yang disertai dengan kutipan dari teks novel sebagai
bahan analisis.
31
1. Nilai Kejujuran (Alempureng)
Kejujuran dianggap sangat penting dalam masyarakat Bugis. Kejujuran
dalam bahasa Bugis adalah alempureng, yang berasal dari kata lempu’; yang bisa
juga berarti ikhlas, benar, baik, atau adil (Rahim, 2011: 107). Dalam berbagai
konteks, adakalanya kata ini berarti juga ikhlas, benar, baik, atau adil, sehingga
kata-kata lawannya adalah curang, dusta, khianat, buruk, tipu, dan semacamnya.
Ada empat nilai utama kejujuran dalam masyarakat Bugis yaitu: (a)
memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya; (b) dipercaya lalu tak curang,
artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak menyerakahi yang bukan haknya; dan
(d) tidak memandang kebaikan hanya untuk dirinya sendiri, baginya baru
dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama. Ada pula berbagai contoh yang
menunjukkan bahwa ”jujur” berarti: tidak mencuri, tidak melakukan sesuatu tanpa
izin dari yang berhak, tidak mengambil yang bukan haknya. Berdasarkan data
yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai kejujuran (alempureng) yang
terdapat dalam Novel Lontara Rindu adalah sebagai berikut:
(Data 51) “ Kebenaran ungkapan itu dia rasakan setelah Pak Amin, guru penjasyang pernah datang membawah rasa berduka saat dia tak masuksekolah dengan alasan kakeknya meninggal, mendiamnya.”
Data tersebut, kini Vito mulai mengakui kebenaran uangkapan tersebut karena
Vito merasa didiamin oleh Pak Amin pada setiap pembelajaran berlansung.
(Data 52) “Kamu memang keterlaluan, To! harusnya waktu kami kerumahmudengan Pak Amin, kamu jujur saja. Bukan malah pura-pura terpukuldengan kematian kakek kamu.”
Data tersebut, Vito mengakui kesalahannya akhirnya dia memberanikan diri untuk
meminta maaf kepada teman-temannya dan Pak Amin.
32
(Data 95). “Beberapa hari kemudian, datanglah menghadap seorang rakyat yangmerasa telah mencuri kayu tetangga kebunnya untuk memperbaikikaki salaga (alat pembajak sawah dari kayu yang berbentuk sisirraksasanya). Sang raja terperangah. Pemuda yang datangmenghadap dan mengakui perbuatannya telah mencuri itu adalahputra tercinta Nenek Mallomo.”
Data tersebut “mengakui perbuatannya telah mencuri” menjelaskan bahwa anak
Nenek Mallomo mengakui perbuatannya yang telah mencuri kayu tetangga
kebunnya untuk memperbaiki kaki salaga –nya (alat pembajak sawah dari kayu
yang berbentuk sisir raksasa) yang patah. Pemuda itu telah melakukan sesuatu
tanpa izin dari yang berhak dan mengambil yang bukan haknya. Hal tersebut
terlihat jelas pada kutipan kalimat yang ada di dalam novel yakni “Pemuda yang
datang menghadap dan mengakui perbuatannya telah mencuri itu adalah putra
tercinta Nenek Mallomo”.
(Data 97) “Sebentar duluh! sebelum Sarah dan Waddah pulang, sebelum kaliantidur nanti, termasuk yang laki-laki, kalian harus memikirkan apayang telah kalian lakukan yang jauh dari sifat jujur. Bohong? ataumungkin mencuri? Jangan sampai satu diantara kalian yang menjadipenyebab kemarau ini lebih hebat dari kemarau yang melanda di masahidup Nenek Mallomo, karena, kemarau yang sekarang bahkan telahmembuat sungai-sungai kering.”
Data tersebut, meberikan nasehat atau pesan terhadap siswa-siswinya agar mereka
berbuat kebaikan, berperilaku jujur serta tutur katanya yang di keluarkan terhadap
sesama, karena jagan sampai kalian menjadi penyebab hal-hal yang dapat merusak
orang lain.
(Data 105)“ Dia hanya ingin tahu, tentu saja dari jawaban terjujur, dimanaayhnya sekarang? itu saja sudah cukup kalau memang lebih dari ituterlalu melukakan untuk diceritakan!.
33
Data tersebut, bahwa Vito adalah anak yang sangat merindukan seorang ayah dan
dia selalu bertanya kepada orang yang terdekatnya namun dia menginginkan
jawaban yang jujur terhadap sosok ayah yang dirindukannya itu.
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
utama budaya Bugis yang berupa nilai kejujuran (alempureng). Mengakui
perbuatannya telah mencuri merupakan perbuatan yang jujur pemuda tersebut
lakukan yang menunjukkan bahwa ”jujur” berarti, tidak mencuri, tidak melakukan
sesuatu tanpa izin dari yang berhak, tidak mengambil yang bukan haknya.
2. Nilai Kecendekiaan (Amaccang)
Amaccang berasal dari kata acca, yang dalam percakapan sehari-hari
orang Bugis maknanya adalah pintar atau pandai.), amaccang selalu bermakna
positif, sehingga Rahim menerjemahkannya sebagai kecendekiaan. Cendekiawan
mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia
memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu.
Cendekiawan juga berarti orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari
sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga
perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan.
Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai
kecendekiaan (Amaccang) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai
berikut.
( Data 14) “Bu Maulidah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita.Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuattemannya terpesona sekaligus membuat Bu Maulidahmemnyembunyikan senyum karena tak ingin dianggap luluh di depanVito.”
34
Data tersebut, Vito merupan anak yang pintar dan banyak akal dan dia jago dalam
mengarang cerita sehingga mudah menarik perhatian orang lain.
( Data 87) “ Dua bulan tinggal di kampung kita, sekalipun dia tak pernah kemasjid. Setinggi apapun sekolahnya, bagiku Aziz yang selalu azan dimasjid, masih jauh lebih berpendidikan dari pada dia.
Data tersebut, Aziz hanyalah seorang yang tamatan SD tapi dia mempunyai
keahlian azan dan dapat mengalahkan orang yang berpendidikan, dan itu
membuktikan bahwa seseorang tidak bisa diremehkan.
(Data 93) “Nenek Mallomo itu adalah cendekiawan Muslim Bugis yang hinggakini belum tertandingi oleh cendekiawan mana pun.”
Data tersebut, menjelaskan Nenek Mallomo adalah cendekiawan Muslim Bugis
yang hingga kini belum tertandingi oleh cendekiawan mana pun. Kedudukan
Nenek Mallomo yang bernama asli La Pagala adalah sebagai penasihat kerajaan.
Beliau memegang nilai yang disebut alempureng nennia deceng-kapang, yang
berarti kejujuran dan baik sangka.Tokoh legendaris asal Kabupaten Sidenreng
Rappang ini namanya diabadikan di rumah sakit umum milik pemerintah di kota
kabupaten.
(Data 223) “Anugrah melihat kehebatan Vito saat itu. Setelah memetik buahkelapa, Vito turun dengan tangan kanan tetap memegang kelapa dantangan kiri yang berpegang dibatang kelapa. Sangat lincah! Seolahseperti tokek yang telapak kaki dan tanganya terdapat guratan halusyang membuatnya bisa melengket di mana pun, termasuk dipohonkelapa yang menjulalang tinggi.
Data tersebut, Selain Vito pintar ngarang cerita bahkan dia juga mempunyai
keahlian memetik kelapa, sehingga membuat temannya menjadi kaget melihat
kehebatan yang ditunjjukkan oleh Vito.
35
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
budaya Bugis yang berupa nilai kecendekiaan (Amaccang). Cendekiawan orang
Bugis mengartikannya sebagai orang pandai atau pintar, juga bisa dikatakan
sebagai orang yang intelektual, ahli pikir atau hikmah arif. Hal tersebut diperjelas
oleh pendapat Rahim (2011: 128), cendekiawan adalah orang yang mencintai
perbuatan dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya
kembali, dan berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti
orang yang berpikir seikhlas-ikhlasnya sampai dia menemukan kunci segala
pemecahan persoalan dan perbuatan yang dapat menimbulkan keburukan dan
kebaikan.
3. Nilai Kepatutan (Asitinajang)
”Kepatutan, kepantasan, kelayakan”, yang dalam bahasa Bugis disebut
asitinajang merupakan hal dianggap penting oleh orang Bugis. Asitinajang
berasal dari kata tinaja, yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. Kepatutan
ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal yang sangat besar,
yang berkaitan dengan kekuasaan hingga kehal-hal yang sangat kecil, yang
sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan sesuatu kepada orang
lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan sangat senang
menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan pemberian
tersebut dia akan menolaknya.
36
Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai
kepatutan (asitinajang)) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai
berikut.
(Data 95) “Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak dan adil kemudianmenjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya” Apa itu terlaluberlebihan, pagala?Puang saya menghukumnya bukan karena kayu yang dicurinya, tapikarena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telah dilandahkemarau berkepanjangan.Dia telah menyengsarakan rakyat.”
Data tersebut, Nenek Mallomo yang hanyalah manusia biasa namun sangat luar
biasa dalam menegakkan keadilan, sehingga kehilangan putra tercintanya, demi
menyelamatkan kampungnya yang dapat menyengsarakan rakyat atas perbuatan
anaknnya, Nenek Mallomo berkata bahwa anaknya pantas mendapat hukuman
karena telah mencuri milik orang lain.
(Data 132) “Mereka pantas mendapatkan gelar itu, karena selain mampumeracik aneka bahan untuk dijadikan sambal, Irfan dan Bimoternyata juga punya tips agar rahasia agar sambel menggugahselera.”
(Data 134)“Dia berhak mendapatkan gelar profesor itu dari pak Amin yangmemang penggemar sambal.Sejak sering mengajar siswanya mabit (menginap) dan membuat acara makan-makan, para siswanya puntahu, bahwa dia adalah penikmat sambal sejati. Akhirnya dia diberigelar “sambaler” oleh para siswanya.
Data tersebut, kehebatan yang mereka miliki adalah mampu mencocokkan jenis
sambal dengan jens makanan yang disantap. Dan masih banyak lagi sambal
racikan Irfan dan Bimo. Siapapun yang menikmatinya akan mengaku jika buatan
mereka benar-benar nikmat. Bahkan Pak Amin juga salah satu penggemar sambal
yang dibuat oleh Bimo dan Irfan dan pak amin mengatakan mereka pantas
mendapatkan gelar itu.
37
(Data 134)“Kedekatan Pak Amin dengan siswa-siswanya memang memberisuasana lain di kelas yang hanya sembilan orang itu. Tapi sedekat apapun, kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-seganmenarik rambut pelipis. Bahkan, masih sering mengancam hukumanatletik pada siswanya. Prinsipnya, guru adalah sahabat, tapi tetapdiposisikan sebagai guru”.
Data tersebut,“kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-segan
menarik rambut pelipis” menjelaskan kepatutan yang pak Amin lakukan kepada
para siswanya. Sedekat apa pun pak Amin dengan siswa-siswanya, kalau mereka
melakukan pelanggaran pak Amin tetap memberikan hukuman yang sesuai dan
pantas mereka terima karena telah melakukan pelanggaran. Kepatutan tersebut
tetap pak Amin lakukan, prinsipnya guru adalah sahabat, tapi tetap diposisikan
sebagai guru. Hal tersebut terlihat jelas pada kutipan kalimat yang ada di dalam
novel yakni “Kedekatan Pak Amin dengan siswa-siswanya memang memberi
suasana lain di kelas yang hanya sembilan orang itu. Tapi sedekat apa pun, kalau
mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-segan menarik rambut
pelipis. Bahkan, masih sering mengancam hukuman atletik pada siswanya.
Prinsipnya, guru adalah sahabat, tapi tetap diposisikan sebagai guru.”
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
budaya Bugis yang berupa nilai kepatutan (asitinajang). Hal tersebut diperjelas
oleh pendapat Rahim (2011: 129), kepatutan berarti cocok, sesuai, pantas atau
patut. Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal
yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang
sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan
sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan
38
sangat senang menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan
pemberian tersebut dia akan menolaknya.
4. Nilai Keteguhan (Agettengeng)
Dalam bahasa Bugis agettengeng yang berarti ”keteguhan” berasal dari
kata getteng, selain berarti ”teguh”, kata inipun juga berarti ”tetap-asas atau setia
pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat memegang
wasiat”.Sama halnya dengan nilai kejujuran, nilai kecendekiaan dan nilai
kepatutan, nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Perwujudan nilai
ini dalam tindakan nyata berupa tindakan ”tak mengingkari janji; tak
mengkhianati kesepakatan; tak membatalkan keputusan; tak mengubah
kesepakatan, dan jika berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung”.
Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai keteguhan
(agettengeng) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut:
(Data 3) “Tak mau memeluk Islam seperti yang diminta Sultan Alauddin, IPabbere' memilih meninggalkan Wajo untuk tetap menjalankan ajarannenek moyangnya. Pabbere' yakin, Dewata SeuwaE (Sang Hyang Widi)yang bergelar PotatoE akan menolongnya”.
Data tersebut,“tak mau memeluk Islam menjalankan ajaran nenek moyangnya”
menjelaskan I Pabbere' yang tetap teguh dalam pendiriannya, dia tetap setiap pada
keyakinannya dan tidak mau memeluk agama Islam seperti yang diminta Sultan
Alauddin. I Pabbere' memilih meninggalkan Wajo untuk tetap menjalankan ajaran
nenek moyangnya. Pabbere' yakin, Dewata SeuwaE (Sang Hyang Widi) yang
bergelar PotatoE akan menolongnya.
39
(Data 117)“Mama Vito tetap keuhkeuh dengan prinsipnya.Baginya, semua orangyang telah berkeluarga akan menerima takdirnya sebagai janda ataupun duda kalau dia laki-laki. Hanya berapa persen saja suami istriyang meninggal bersamaan? Dan itulah yang tak akan menjandaatau menduda.
Data tersebut, Mama Vito tetap teguh dalam perinsipnya bahwa tidak ada orang
yang bisa menolak takdir sebagai kembang janda.arang-orang yang berusaha
menolak takdir adalah orang-orang yang musyrik.
(Data 185) “Dia tak akan mau meninggalkan Islam hanya karena cinta. Darikecil ayahnya mendidiknya ke masjid.
Data tersebut, Bahkan, meskipun beberapa anggota keluargannya yang Muslim
bisa ke pammasetau melepas nazar, tapi ayahnya dari kecil mendidiknya untuk
tidak bergantung pada siapapun kecuali pada Allah. Dia bisa menghianati ayahnya
dalam urusan cinta, tapi dalam urusan agama dia tak perlu berpikir dua kali untuk
mengatakan ‘ TIDAK’.
( Data 186 ) “ Saya akan masuk Islam. Itu hanya bisa saya lakukan dengan pergidari rumah.”Luka dibalik dada Halimah sedikit berkurang meskimasih tersisah nyeri. Luka itu berpindah ke hati Ilham yang barusaja berkeputusan untuk masuk Islam. Ayahnya, bahkan keluargabesarnya, semuanya adalah Tolatang. Bahkan kakeknya adalahseorang uwa ( Pemimpin Tolatang).
Data tersebut, ,“tak mau menjalankan ajarannya sebagai Tolatang Ilham yang
tetap teguh dalam pendiriannya, dia tetap setiap pada keyakinannya dan tidak mau
melukai perasaan Halimah akhirnya Ilham memutuskan untuk memeluk agama
Islam. Namun kakek dan ayahnya tidak menyetujui keputusan yang diambil
karena keluarnga besar Ilham adalah Tolatang maka dia harus silarian (kawin
lari).
40
(Data 241) “Dari pada mati dirantau, Halimah memberanikan diri memilih jalankematian yang kedua. Pulang Kepakka Salo. Kalaupun tak adamaaf dari ayahnya, dia rela mati ditangan ayahnya demi menebuskesalahannya, asalkan bayi di dalam perutnya selamat.”
Data tersebut, Halima adalah sosok wanita yang pemberani dan teguh bahkan
tidak mau putus asa, ia berusaha untuk memperbaiki kesalahan apa yang sudah
diperbuat bersama Ilham.Dia memberanikan diri untuk pulang Kepakka Salo
untuk meminta maaf kepada ayahnya dan rela mati untuk menyelamatkan bayi
yang di dalam perutnya.
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
budaya Bugis yang berupa nilai keteguhan (agettengeng). I Pabbere' tetap teguh
pada pendiriannya, dia tetap setiap pada keyakinannya. Keteguhan berarti ”tetap-
asas atau setia pada keyakinan, atau, kuat dan tangguh dalam pendirian, erat
memegang wasiat”. Sehingga hal ini membuktikan bahwa I Pabbere’ telah
melakukan nilai keteguhan karena dia tetap teguh pada pendiriannya tidak mau
memeluk agama Islam, dan tetap setiap pada keyakinannya.
5. Nilai Usaha (Reso)
Nilai usaha ini didasari pada diri seseorang yang melakukan tindakan pada
dirinya sendiri. Berusaha melakukan sesuatu dapat dirasakan langsung pada
sebuah perbuatan atau tindakan. Dalam Lontara Rindu nilai usaha (reso) berupa
kerja keras dan ketekunan yang di lakukan masyarakat Bugis, khususnya yang
tergambar pada novel Lontara Rindu. Sifat dasar masarakat Bugis yang keras
kepala membuat mereka semangat dan pantang menyerah dalam berusaha mereka
melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan dan kerja keras
cita-cita dapat diwujudkan. Nilai usaha ini juga dapat kita temukan dalam novel
41
Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa. Berdasarkan data yang ada, nilai
utama budaya Bugis berupa nilai usaha (reso) yang terdapat dalam Lontara Rindu
adalah sebagai berikut.
(Data 75)“Kini, dia berusaha melawan, tidak berlari ke pos ronda. Dia berusahabertahan setiap rindu pada ayahnya datang menyerang. Terlebih, diaberusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik menyerang dengan caramencari jalan keluar, bagaimana dia bisa bertemu dengan ayahnya.Atau paling tidak, menemukan cerita ayahnya.”
Data tersebut ”dia berusaha melawan dia berusaha bertahan terlebih dia berusaha
tak sekedar bertahan tapi juga balik menyerang dengan cara mencari jalan keluar”
menjelaskan adanya gejolak yang terjadi pada diri Vito untuk berusaha bukan
sekedar diam menahan beban yang dirasakannya selama ini.
(Data 114) “Kakek ingin ceritakan tentang ayah padaku? sedikit saja!” pelas vitosambil berusaha mencari keberadaan mamanya. Dia takut kalimatitu terdengar oleh mamanya.Sayang sekalih, kakeknya tak perlu berpikir untuk menjawabpertanyaan itu dengan gelengan.
Data tersebut, Vito berusaha mencari keberadaan mamanya jangan sampai cerita
Vito dan kakeknya terdengar oleh mamanya. Namun harapan yang diinginkan
oleh Vito kini terampas lagi .Kakeknya tak ingin menceritakan tentang
keberadaan ayahnya.
(Data 116) “Sejak kepergian ayah Vito, lelaki itu seperti tak bisa apa-apa. Tapi,dia berusaha tegar di depan Vito. Meyakinkan pada Vito danmamanya, bahwa hidup tetap harus bergulir karena matahari masihterbit di timur dan tenggelam di barat.
Data tersebut,Kakek Vito berusaha merasiakan tentang keberadaan ayahnya,dan
dia mencoba tegar di depan Vito dan mamanya, karena luka yang ditinggalkan
ayah Vito memang sangat memerihkan. Kepergiannya tak sendiri, tapi membawa
42
Vino cucu tercintnya.Dipihak hati mamanya hanya sesal yang tersisa, tapi siapa
yang bisa menolak takdir, taka da.
Peneliti menyimpulkan bahwa kutipan tersebut menggambarkan nilai
utama budaya Bugis yaitu nilai usaha (reso). Kutipan ”dia berusaha melawan dia
berusaha bertahan terlebih dia berusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik
menyerang dengan cara mencari jalan keluar,” merupakan ciri dari nilai
kebudayaan Bugis berupa nilai usaha (reso). Hal tersebut di perjelas dengan
tindakan yang dilakukan oleh Vito pada kutipan tersebut.
6. Nilai Malu/Harga Diri (Siri’)
Nilai malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan
Bugis yang terdapat dalam novel Lontara Rindu karya S. Gegge Mappangewa.
Menurut Rahim (2011: 139), Siri dapat diartikan malu sebagai kata sifat atau
keadaan, perasaan malu menyesali diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dan
dengki. Siri disejajarkan kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena
bukan timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak
dilakukan dengan sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak
menjelekkan sesama manusia secara tak patut. Sedangkan yang menutupi atau
meniadakan malu (siri’) ialah keinginan yang berlebih-lebihan, didorong oleh
kerakusan. Berdasarkan data yang ada, nilai utama budaya Bugis berupa nilai
malu/harga diri (siri’) yang terdapat dalam Lontara Rindu adalah sebagai berikut.
(Data 169)“Gelisah hati Halimah semakin klimaks. Benarkah Ilham akan datanguntuk menepati janjinya? Jika itu tidak terjadi, penantian itu bukanhanya menyisakan luka tapi juga aib karena semua orang kampungtelah tahu, bahwa dirinya menunggu kedatangan Ilham untuk datangmelamar. Semua orang kampung pun telah mencibir, menganggapHalimah pungguk yang merindukan bulan”.
43
Data tersebut, menjelaskan bahwa Halimah merasa malu dan gelisah karena Ilham
belum juga datang menepati janjinya. Penantian itu buka hanya menyisakan luka
tapi juga aib karena semua orang kampung telah tahu, bahwa dirinya menunggu
kedatangan Ilham untuk datang melamar. Semua orang kampung pun telah
mencibir, menganggap Halimah pungguk yang merindukann bulan. Hal tersebut
terlihat jelas pada kutipan kalimat yang ada di dalam novel yakni “Gelisah hati
Halimah semakin klimaks. Benarkah Ilham akan datang untuk menepati janjinya?
Jika itu tidak terjadi, penantian itu bukan hanya menyisakan luka tapi juga aib
karena semua orang kampung telah tahu, bahwa dirinya menunggu kedatangan
Ilham untuk datang melamar. Semua orang kampung pun telah mencibir,
menganggap Halimah pungguk yang merindukan bulan.”
(Data 174) “Hanya satu yang bisa menggagalkan pernikahan kita,Halimakematian. Saya atau kamu! Dan saya tahu kamu lebih memilih matidaripada ndag menikah dengan Ilham. Demikian juga dengan saya,saya lebih memilih mati daripada harus menanggung malu hanyakarena ndag menikah dengan perempuan yang secara adat telah sahuntuk dinikahi.”
Data tersebut, Meski dia mencintai Halimah, bukan semata karena alasan itu
hingga dia tak mau mundur dari keputusannya.Ini masalah siri (aib atau harga
diri). Sungguh memaluhkan. Tak jadi menikah adalah aib di atas aib.
(Data 174) “Sejam lagi acara mappenre botting (proses mengantar mempelaipria ke rumah mempelai wanita untuk akad nikah) digelar. Meskiterusik dengan degup jantung seolah ditabuh. Azizlah tetap tersenyumdengan pakaian penganting khas Bugisnya yang menyulapnya bakraja.
Namun salah seorang datang membawa kabar. Halimahmenghilang entah sejak kapan. Semalam masih tunduk untuk dudukmappaccing (proses mendoakan calon penganting dengan meleakkandaun pacar ditangan mempelai atau juga bisa diartikanmembersihkan/ mappaccing. Telah dicari kemana-mana, taksatu pun
44
yang mampu menemukan jejaknya. Benar-benar hilang! menguapseperti gas.Tanpa jejak!
Data tersebut, Mappakkasiri-siri (bikin malu), yang dirasakan oleh Aziz, suasana
hiruk-pikuk di rumah Aziz berubah sunyi.Tak ada sedih diwajah Aziz,hanya
amarah yang tanpak, akibat perbuatan Halimah yang menghilang pada saat akad
nikah dimulai.Dan tak satupun orang yang menemukan atau mengetahui
keberadaan Halimah.
Peneliti menyimpulkan kutipan “aib” menggambarkan nilai utama budaya
Bugis yang berupa nilai malu/harga diri (siri’). Aib merupakan ciri dari nilai
budaya Bugis berupa nilai malu/harga diri. Siri dapat diartikan malu sebagai kata
sifat atau keadaan, perasaan malu dan menyesali diri, perasaan dan harga diri,
perasaan malu karena ternoda atau aib, dan perasaan malu jika dengki.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Setelah dianalisis sesuai dengan analisis data dalam penelitian ini, terlihat
bahwa nilai-nilai budaya khususnya budaya Bugis yang terdapat dalam novel
Lontara Rindu, Pengarang menguraikan nilai budaya secara gamblang. Nilai
budaya dalam novel Lontara Rindu ini merupakan gambaran kehidupan
masyarakat Bugis. Nilai budaya yang terdapat dalam novel Lontara Rindu yaitu
meliputi: Nilai Kejujuran (Alempureng), Nilai Kecendekiaan (Amaccang), Nilai
Kepatutan (Asitinajang),Nilai Keteguhan (Agettengeng),Nilai Usaha (Reso) dan
Nilai Malu/Harga Diri (Siri).
45
Kejujuran dianggap sangat penting dalam masyarakat Bugis. Kejujuran
dalam bahasa Bugis adalah alempureng. Ada pula berbagai contoh yang
menunjukkan bahwa ”jujur” berarti: tidak mencuri, tidak melakukan sesuatu tanpa
izin dari yang berhak, tidak mengambil yang bukan haknya.
Cendekiawan mencintai perbuatan dan kata yang benar, waktu
menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan berhati-hati melaksanakan
segala sesuatu. Cendekiawan juga berarti orang yang ikhlas, yang pikirannya
selalu mencari-cari sampai dia menemukan pemecahan persoalan yang
dihadapinya demikian juga perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber
kebajikan.
Kepatutan ini diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan, dari hal-hal
yang sangat besar, yang berkaitan dengan kekuasaan hingga ke hal-hal yang
sangat kecil, yang sepintas lalu terlihat sepele, seperti misalnya memberikan
sesuatu kepada orang lain. Jika orang merasa pantas menerimanya, dia akan
sangat senang menerimanya, tetapi jika dia merasa tak sepantasnya mendapatkan
pemberian tersebut dia akan menolaknya.
Nilai keteguhan ini terikat pada makna yang positif. Perwujudan nilai ini
dalam tindakan nyata berupa tindakan ”tak mengingkari janji; tak mengkhianati
kesepakatan; tak membatalkan keputusan; tak mengubah kesepakatan, dan jika
berbicara dan berbuat, tak berhenti sebelum rampung.
Nilai usaha ini didasari pada diri seseorang yang melakukan tindakan pada
dirinya sendiri. Berusaha melakukan sesuatu dapat di rasakan langsung pada
sebuah perbuatan atau tindakan. Dalam nilai usaha (reso) berupa kerja keras dan
46
ketekunan yang dilakukan masyarakat Bugis. Sifat dasar masarakat Bugis yang
keras kepala membuat mereka semangat dan pantang menyerah dalam berusaha
mereka melakukan semua itu dalam ketekunan, hanya dengan ketekunan dan kerja
keras cita-cita dapat diwujudkan.
Nilai malu/harga diri (Siri’) adalah satu diantara nilai utama kebudayaan
Bugis diartikan sebagai kata sifat atau keadaan, perasaan malu menyesali diri,
perasaan harga diri, noda atau aib, dan dengki. Siri disejajarkan kedudukannya
dengan akal pikiran yang baik karena bukan timbul dari kemarahan, dengan
peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan sewenang-wenang, dengan
perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama manusia secara tak patut.
Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri’) ialah keinginan yang
berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.
Hubungan nilai budaya dengan pendekatan Antropologi sastra merupakan
cerminan dari situasi masyarakat. Pandangan antropologi sastra yaitu karya sastra
dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu
mencerminkan kenyataan. Pandangan pendekatan ini mempertimbangkan segi-
segi kemasyarakatan. Oleh karena itu, nilai budaya merupakan nilai inti yang
diikuti oleh setiap individu atau kelompok individu dalam suatu masyarakaat.
Masyarakat tersebut betul-betul menjunjung tinggi nilai budaya sehingga menjadi
salah satu faktor penentu untuk berperilaku.
47
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, diketahui nilai
budaya dalam novel “Lontara Rindu” karya S.Gegge Mappangewa.Kategori
direktif, yakni: (1) nilai kejujuran (alempureng), (2) nilai kecendekiaan
(amaccang), (3) nilai kepatutan (asitinanjang), (4) nilai keteguhan (agettengeng),
(5) nilai usaha (reso), dan (6) nilai harga diri, malu (siri).
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, diajukan saran sebagai berikut:
1. Bagi mahasiswa sastra dapat memahami nilai-nilai budaya dalam novel
Lontara Rindu. Hal ini sangat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan khususnya tentang nilai-nilai budaya Bugis.
2. Bagi masyarakat, sebagai bahan masukan untuk melihat nilai-nilai budaya
yang ada dalam suatu daerah khususnya nilai budaya Bugis.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti lebih lanjut dan mendalam
mengenai nilai budaya khususnya budaya Bugis.
48
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar BaruAlgensindo.
Aryandini S, Woro. 2000. Manusia dalam Tinjauan Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia.
Depdikbud. 1990. Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-NilaiBudaya. Ujung Pandang: Depdikbud.
Djunaedi, Moha. 1992. Apresiasi Sastra Indonesia. Ujung Pandang: CV. PutraMaspul.
Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: MediaPressindo
Jufri. 2009. Analisis Wacana Budaya. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Koentowidjoyo, 1987. Budaya dan Mayarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: YramaWidya.
Mappangewa, S. Gegge. 2012. Lontara Rindu. Jakarta: Harian Republika.
Mattuladda, 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar. BeritaAntropologi No. 16 Fakultas Sastra UNHAS.
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT RemajaRosdakarya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press.
Prasetya, Joko Tri., dkk. 2004. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Prihatmi, Sri Rahayu Th, dkk. 2003. Peribahasa Jawa sebagai Cermin, Watak,Sifat, dan Perilaku manusia Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa.
Rahim, H. A. R. 2011.Nilai – Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Naska PublikasiYogyakarta: Ombak.
49
Ratna Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-unsurKebudayaan dalam Proses Kreatif. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar.
Semi, M. Atar. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Soedjarwo. 2004. Sastra Indonesia Kesatuan dalam Keragaman. Semarang:Aneka Ilmu.
Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada.
Sumardjo, Jacob. 1984. Novel Indonesia Mutakhir; Sebuah Pengantar. Bandung:Nurcahaya.
Sumardjo 1995. Sastra dan Massa. Bandung: Penerbit ITB.
Tang, Muhammad Rapi. 2005. “Teori Sastra yang Relevan”. Diktat. Makassar:Universitas Negeri Makassar.
Tang, Muhammad Rapi. 2008. Mozaik Dasar Teori Sastra. Makassar: BadanPenerbit UNM
Tarigan, H. G. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi Budaya. Bandung: PT Citra AdityaBakti.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Penerbit Pustaka.
http://www.skripsi-tesis.com/07/01/transformasi-budaya-jawa-dalam-novel-canting-sebuah-kajian-sosiologi-sastra-pdf-doc.htm.Adalah jepretan lamanseperti ditampilkan pada tanggal 16 Mei 2009 21: 17: 56 GMT.
http://oldies-bugis-makassar.blogspot.com/2011/09/instrumen-musiktradisional-sulawesi. html. Diakses pada tanggal 12 Februari 2016 20.00 WITA
http://budayatradisional.blogspot.com/2008/11/di-wilayah-sulawesi-selatan-suku-bangsa.html. Diakases pada tanggal 12 Februari 2016 21.00 WITA.
http://ajengbgt.blogspot.com/2012/04/apresisasi-sastra-kajian-antropologi.html.Diakses pada tanggal 12 Februari 2016 22.00 WITA.
UTTVIERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSARFAI(ULTAS KEGT]RUAII DAN ILMU PENDIDIKA}I
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Judul skripsi Representasi Nilai tsudaya dalam Novei ,olontara Rindu" Karya
S. Gcgge Mappangerva (Pendekaian Antrcpologi Sastra)
RAHMAWATI
1afi3697A12
Pendidikan Bahasa dan Sastra indonesia
Nama
Nim
Program Studi
Fakultas
Setelah di
diujikan.
Pembimbingl$
: Keguruan dan IlmLr Pendidil::n
periksa dan diteliti. sKripsi ini telah memenuhi persyaraun unLuk
Makassar, 18 Agustus 2016
€
N4. Pd.
Pempin*ingJI
I
1
Andi Paida\,S. pd., M. Pd.
Ketua .Iurusan Pendidikan
PatqsEdan Sastr4 Indpnpqip
:J$l
" r,:il
Di:
iketahui oleh
'ah,
5t576
M, Hrrm.
NPd.
Dr.
I
LAMPIRAN
Lampiran 1
KORPUS DATA
Data :
(1) “Tak mau memeluk Islam seperti yang diminta Sultan Alauddin, IPabbere' memilih meninggalkan Wajo untuk tetap menjalankan ajarannenek moyangnya. Pabbere' yakin, Dewata SeuwaE (Sang Hyang Widi)yang bergelar PotatoE akan menolongnya”. (Hal 3)
(2) “Bu Maulidah sebenarnya kagum dengan kepintaran Vito bercerita.Paling jago ngarang cerita. Selalu punya alasan yang membuat temannyaterpesona sekaligus membuat Bu Maulidah memnyembunyikan senyumkarena tak ingin dianggap luluh di depan Vito.” (Hal 14)
(3) “ Kebenaran ungkapan itu dia rasakan setelah Pak Amin, guru penjasyang pernah datang membawah rasa berduka saat dia tak masuk sekolahdengan alasan kakeknya meninggal, mendiamnya.”(Hal 51)
(4) “Kamu memang keterlaluan, To! harusnya waktu kami kerumahmudengan Pak Amin, kamu jujur saja. Bukan malah pura-pura terpukuldengan kematian kakek kamu.”(Hal 52)
(5) “Kini, dia berusaha melawan, tidak berlari ke pos ronda. Dia berusahabertahan setiap rindu pada ayahnya datang menyerang. Terlebih, diaberusaha tak sekedar bertahan tapi juga balik menyerang dengan caramencari jalan keluar, bagaimana dia bisa bertemu dengan ayahnya. Ataupaling tidak, menemukan cerita ayahnya.”(Hal 75)
(6) “ Dua bulan tinggal di kampung kita, sekalipun dia tak pernah ke masjid.Setinggi apapun sekolahnya, bagiku Aziz yang selalu azan di masjid,masih jauh lebih berpendidikan dari pada dia.(Hal 87)
(7) “Nenek Mallomo itu adalah cendekiawan Muslim Bugis yang hinggakini belum tertandingi oleh cendekiawan mana pun.” (Hal 93)
(8) “Beberapa hari kemudian, datanglah menghadap seorang rakyat yangmerasa telah mencuri kayu tetangga kebunnya untuk memperbaiki kakisalaga (alat pembajak sawah dari kayu yang berbentuk sisir raksasanya).Sang raja terperangah. Pemuda yang datang menghadap dan mengakuiperbuatannya telah mencuri itu adalah putra tercinta NenekMallomo.”(Hal 95)
(9) “Nenek Mallomo sebagai hakim yang bijak dan adil kemudianmenjatuhkan vonis mati kepada putra tercintanya” Apa itu terlaluberlebihan, pagala? Puang saya menghukumnya bukan karena kayu yangdicurinya, tapi karena perbuatannya itu. Karenanya negeri ini telahdilandah kemarau berkepanjangan.Dia telah menyengsarakanrakyat.”(Hal 95)
(10) “Sebentar duluh! sebelum Sarah dan Waddah pulang, sebelum kaliantidur nanti, termasuk yang laki-laki, kalian harus memikirkan apa yangtelah kalian lakukan yang jauh dari sifat jujur. Bohong? atau mungkinmencuri? Jangan sampai satu diantara kalian yang menjadi penyebabkemarau ini lebih hebat dari kemarau yang melanda di masa hidup NenekMallomo, karena, kemarau yang sekarang bahkan telah membuat sungai-sungai kering"(Hal 97)
(11) “Dia hanya ingin tahu, tentu saja dari jawaban terjujur, dimana ayahnyasekarang? itu saja sudah cukup kalau memang lebih dari itu terlalumelukakan untuk diceritakan!.(Hal 105)
(12) “Kakek ingin ceritakan tentang ayah padaku? sedikit saja!” pelas vitosambil berusaha mencari keberadaan mamanya. Dia takut kalimat ituterdengar oleh mamanya. Sayang sekalih, kakeknya tak perlu berpikiruntuk menjawab pertanyaan itu dengan gelengan.(Hal 114)
(13) “Sejak kepergian ayah Vito, lelaki itu seperti tak bisa apa-apa. Tapi, diaberusaha tegar di depan Vito. Meyakinkan pada Vito dan mamanya,bahwa hidup tetap harus bergulir karena matahari masih terbit di timurdan tenggelam di barat.(Hal 116)
(14) “Mama Vito tetap keuhkeuh dengan prinsipnya.Baginya, semua orangyang telah berkeluarga akan menerima takdirnya sebagai janda atau punduda kalau dia laki-laki. Hanya berapa persen saja suami istri yangmeninggal bersamaan? Dan itulah yang tak akan menjanda ataumenduda.(Hal 117)
(15) “Mereka pantas mendapatkan gelar itu, karena selain mampu meracikaneka bahan untuk dijadikan sambal, Irfan dan Bimo ternyata juga punyatips agar rahasia agar sambel menggugah selera.”(Hal 132)
(16) “Dia berhak mendapatkan gelar profesor itu dari pak Amin yangmemang penggemar sambal.Sejak sering mengajar siswanya mabit (menginap) dan membuat acara makan-makan, para siswanya pun tahu,bahwa dia adalah penikmat sambal sejati. Akhirnya dia diberi gelar“sambaler” oleh para siswanya.(Hal 134)
(17) “Kedekatan Pak Amin dengan siswa-siswanya memang memberisuasana lain di kelas yang hanya sembilan orang itu. Tapi sedekat apapun, kalau mereka melakukan pelanggaran, Pak Amin tak segan-seganmenarik rambut pelipis. Bahkan, masih sering mengancam hukumanatletik pada siswanya. Prinsipnya, guru adalah sahabat, tapi tetapdiposisikan sebagai guru”.(Hal 134)
(18) “Gelisah hati Halimah semakin klimaks. Benarkah Ilham akan datanguntuk menepati janjinya? Jika itu tidak terjadi, penantian itu bukanhanya menyisakan luka tapi juga aib karena semua orang kampung telahtahu, bahwa dirinya menunggu kedatangan Ilham untuk datang melamar.Semua orang kampung pun telah mencibir, menganggap Halimahpungguk yang merindukan bulan”.(Hal 169)
(19) “Hanya satu yang bisa menggagalkan pernikahan kita,Halima kematian.Saya atau kamu! Dan saya tahu kamu lebih memilih mati daripada ndagmenikah dengan Ilham. Demikian juga dengan saya, saya lebih memilihmati daripada harus menanggung malu hanya karena ndag menikahdengan perempuan yang secara adat telah sah untuk dinikahi.”(Hal 174)
(20) “Sejam lagi acara mappenre botting (proses mengantar mempelai pria kerumah mempelai wanita untuk akad nikah) digelar. Meski terusik dengandegup jantung seolah ditabuh. Azizlah tetap tersenyum dengan pakaianpenganting khas Bugisnya yang menyulapnya bak raja. “Namun salahseorang datang membawa kabar. Halimah menghilang entah sejakkapan. Semalam masih tunduk untuk duduk mappaccing (prosesmendoakan calon penganting dengan meleakkan daun pacar ditanganmempelai atau juga bisa diartikan membersihkan/ mappaccing. Telahdicari kemana-mana, taksatu pun yang mampu menemukan jejaknya.Benar-benar hilang! menguap seperti gas.Tanpa jejak!(Hal 174)
(21) “Dia tak akan mau meninggalkan Islam hanya karena cinta. Dari kecilayahnya mendidiknya ke masjid.(Hal 185)
(22) “Saya akan masuk Islam. Itu hanya bisa saya lakukan dengan pergi darirumah.”Luka dibalik dada Halimah sedikit berkurang meski masihtersisah nyeri. Luka itu berpindah ke hati Ilham yang baru sajaberkeputusan untuk masuk Islam. Ayahnya, bahkan keluarga besarnya,
semuanya adalah Tolatang. Bahkan kakeknya adalah seorang uwa (Pemimpin Tolatang).(Hal 186)
(23) “Anugrah melihat kehebatan Vito saat itu. Setelah memetik buah kelapa,Vito turun dengan tangan kanan tetap memegang kelapa dan tangan kiriyang berpegang dibatang kelapa. Sangat lincah! Seolah seperti tokekyang telapak kaki dan tanganya terdapat guratan halus yang membuatnyabisa melengket di mana pun, termasuk dipohon kelapa yang menjulalangtinggi.(Hal 223)
(24) “Dari pada mati dirantau, Halimah memberanikan diri memilih jalankematian yang kedua. Pulang Kepakka Salo. Kalaupun tak ada maaf dariayahnya, dia rela mati ditangan ayahnya demi menebus kesalahannya,asalkan bayi di dalam perutnya selamat.”(Hal 241)
Lampiran 2
SINOPSIS
Novel Lontera Rindu bertutur tentang hubungan manusia di dalam
keluarga dan lingkungannya yang komplek, terutama karena ada latar belakang
adat dan agama yang berbeda.Alkisah ada dua saudara kembar bernama Vino dan
Vito. Mereka berdua terpisah sejak usia mereka masih sangat dini. Kedua orang
tuanya terpaksa berpisah karena perbedaan keyakinan.Ibu mereka penganut agama
Islam, sedangkan ayahnya penganut keyakinan Tolotang.Kakek Vino dan Vito
tersebut menolak kehadiran ayah mereka dan terpaksa harus pergi.
Vito tinggal bersama ibunya sedangkan Vino dibawa ayahnya.
Vito dibesarkan ibunya bersama kakeknya di desa.Seperti anak-anak lainnya di
desanya, Vito sekolah di SMP dekat dengan rumahnya. Pak Amin, salah satu guru
di sekolahnya mempunyai kedekatan dengan murid-muridnya. Namun, Pak Amin
dianggap menyebarkan fanatisme agama pada siswanya.Dia dan kesembilan
siswanya harus dipisah.Suatu masa, ketika Pak Amin dan murid-muridnya harus
berpisah di saat itu pula rindu yang membuncah membuat Vito harus mencari
ayahnya di Perrinyameng, Amparita, belasan kilometer dari kampungnya di
daerah pergunungan.
Lampiran 3
BIOGRAFI SINGKATS. GEGGE MAPPANGEWA
S. Gegge Mappangewaadalah nama pena alias nama yang kerap digunakan
penulis dalam beberapa karyanya berupa cerita pendek, naskah drama, puisi, dan
opini. Nama sesungguhnya adalah Sabir ST.
Pria kelahiranSidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, 31 Desember 1974,
alumni Universitas Muslim Indonesia, Fakultas Teknik Jurusan Mesin. Menetap
di Makassar bersama istri (Nuvida RAF) dan putra pertama (Mahfudz Sabda
Mappunna). Penghargaan kepenulisan yang pernah diraihnya: Juara I Kompetisi
Tulis Nusantara Kemenparekraf 2014 kategori nonfiksi, Peraih IBF (Islamic Book
Fair) Award 2013 dengan novel Lontara Rindu sebagai Buku Islam Terbaik
Kategori Fiksi Dewasa, Juara I Lomba Menulis Novel Republika 2011, Juara
Harapan Lomba Menulis Cerpen Anak oleh Guru Majalah Bobo 2011, Juara I
Lomba Menulis Cerita Pendek Islami Tingkat Nasional Majalah (LMCPI) Annida
2008, Juara III Lomba Cipta Cerpen Tingkat Nasional Aneka Yess! 2002, dan
Pemenang Harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Remaja Tingkat Nasional
Rohto 2008. Lebih dari seratus judul cerpennya pernah termuat di beberapa media
(Aneka Yess!, Keren Beken, Annida, Sabili, Fantasi Teen, Ummi, Favorit, Jelita,
Harian Fajar, Republika, dll.)
Karya yang telah diterbitkan; novel ramaja Lontara Rindu (Republika
2011) dan Cupiderman 3G (LPPH 2008), kumcer remaja Kupu-kupu Rani (LPPH
2007), antologi esai Ketika Penulis jatuh Cinta (LPPH 2007) dan Miss Right
Where Are You (LPPH 2008), antologi cerpen anak Jurus-jurus Menyontek
(Pustaka Bobo, 2011), antologi cerpen remaja Suparman Pulang Kampung (LPPH
2008), novel anak Janji Sepasang Layang-layang (MBM 2007), Ustadz Jeffri Pun
Menangis (MBM 2008), Peribahasa Terindah (MBM 2009) dan Rahasia Boneka
Nasywa (MBM 2010), kumcer remaja dalam bentuk e-book Dewi Penolong
(Qbaca 2013). Beberapa naskah dramanya pernah ditayangkan di Makassar TV
dan Fajar TV.Penulis pernah menjadi ketua Umum Forum Lingkar Pena Sulsel
periode 2006-2008 dan kini bergiat di BPP FLP divisi kaderisasi (2013-2018).
Lampiran 4
DOKUMENTASI
RIWAYAT HIDUP
RAHMAWATI.Dilahirkan di KarellaKabupaten Bone pada
tanggal 09Februari 1995, dari pasangan Ayahanda Mamma
dan Ibunda Bayang.Penulis mulai memasuki pendidikan di
SD 236 Karella tamat pada tahun 2006.Kemudian
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 3 Mare Kabupaten
Bone tamat pada tahun 2009. Pada tahun yang sama itu juga penulis melanjutkan
pendidikan di SMA Negeri 1 Mare Kabupaten Bone tamat pada tahun 2012. Pada
tahun 2012, penulis telah memasuki perguruan tinggi di Universitas
Muhammadiyah Makassar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) pada
jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Berkat pertolongan Allah swt. Perjuangan dan kerja keras yang disertai
doa orang tua dan segenap keluarga, akhirnya penulis berhasil menyelesaikan
pendidikan pada program Strata Satu (S1) dengan skripsi yang berjudul
“Representasi Nilai Budaya dalam Novel “Lontara Rindu” Karya S. Gegge
Mappangewa (Pendekatan Antropologi Sastra)”.