representasi perempuan dalam buku 13...
TRANSCRIPT
33
BAB V
REPRESENTASI FEMINIS DALAM BUKU 13 PEREMPUAN
KARYA YONATHAN RAHARDJO
Pada bab ini diuraikan analisis dan pembahasan penelitian. Penelitian ini
menggunakan analisis wacana kritis Sara Mills. Titik perhatian Mills adalah
wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik
dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Fokus perhatian analisis ini adalah
menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam menampilkan perempuan. Sara
Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks,
posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir ditengah
khalayak. Dalam artian siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang
menjadi objek penceritaan akan diperlakukan dalam teks secara keseluruhan.
Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor
Selain posisi aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana posisi
pembaca dalam teks. Menurut Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara
penulis dan pembaca, oleh karena itu, pembaca tidak semata sebagai pihak yang
menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat
dalam teks.
Tabel 5.1.
Model Analisis Sara Mills
TINGKAT YANG INGIN DILIHAT
Posisi Subjek-
Objek
Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa
peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisikan sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek
yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan
kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk
menampilkan dirinya sendiri,ataukah kehadirannya,
gagasannya ditampilkan oleh orang atau kelompok
lain
34
Posisi Penulis-
Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.
Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam
teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah
pembaca mengidentifikasi dirinya.
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 211
Melalui analisis posisi subjek objek dan posisi pembaca berusaha dilihat
bagaimana pengarang menghadirkan kembali gambaran perempuan dalam
karyanya, sehingga bisa diketahui bagaimana representasi feminis dalam 13
Perempuan karya Yonathan Rahardjo.
Untuk mengetahui bagaimana representasi feminis, peneliti akan
mekolaborasinya teknik analisis dari Sara Mills yaitu posisi subjek objek dan
posisi pembaca dengan teori representasi dari John Fiske.
Tabel 5.2.
Tahap Representasi Menurut John Fiske
Pertama Realitas
Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerak-gerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya.
Kedua Representasi
Elemen-elemen di atas ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, kalimat, proposisi, foto dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya
Ketiga Ideologi
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan sebagainya
Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 115
35
5.1. CERPEN 1
5.1.1. Sinopsis Cerpen 1: Cerita Perempuan
Cerita pertama dalam kumpulan cerpen ini berkisah tentang seorang
perempuan yang menerima tamu lelaki di rumahnya. Tamu lelakinya aktif
menanyakan cerita pribadi perempuan itu. Dan dengan terbuka tokoh perempuan
ini menceritakan kisahnya kepada tamu lelaki tersebut.
Pertama, perempuan bercerita kisah pribadinya yang dimuat di tabloid
wanita. Setelah beritanya dipublikasi, lelaki yang diceritakan dalam tabloid
tersebut mencarinya karena malu namanya dicemarkan, tetapi juga tetap menaruh
iba pada perempuan ini. Melalui peristiwa ini, tokoh perempuan dalam cerpen ini
mengalami perubahan sikap dan perilaku. Bila dulu ia penurut dan lemah, kini dia
adalah perempuan yang mandiri dan tegar. Merasa tertarik dengan kisah hidup
perempuan, lelaki menyarankan agar kisah tersebut ditulis. Dan perempuan
meminta tamu lelaki ini untuk menulis kisah hidupnya. Oleh karena itu,
perempuan kembali menceritakan dengan lengkap cerita kedua. Yaitu mengenai
perselingkuhan perempuan ini dengan suami sahabatnya. Merasa sangat bersalah,
perempuan ini bertobat hingga naik haji. Setiap kali permasalahan terjadi selalu
membawa perubahan pada perempuan ini.
Tamu lelaki yang diminta menuliskan cerita perempuan tersebut, di akhir
cerita justru membunuh perempuan itu dan dirinya sendiri. Kisah kematian
mereka berdua kemudian terpublikasi di koran-koran.
5.1.2. Interpretasi Cerpen ”Cerita Perempuan”
Dalam cerpen ini, pengarang menunjukan sosok perempuan yang ingin
menampilkan eksistensinya dalam lingkungan sosial. Akan tetapi ada beberapa
hal yang harus dialami oleh perempuan saat ia ingin mengekspresikan dirinya. Hal
pertama yang peneliti temukan adalah, soal ambiguitas dalam diri tokoh
"Supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku."
36
perempuan. Perempuan ingin tampil, tapi juga dia ingin bersembunyi. Perempuan
tersebut ingin orang lain tahu bagaimana cerita dirinya, namun dia justru
menyembunyikan identitasnya untuk tidak diungkap oleh media massa. Tidak
hanya identitas diri perempuan itu, tetapi juga identitas orang yang terlibat.
Kedua, masalah utama ‘Cerita Perempuan’ terletak pada tabloid wanita
yang mempublikasikan ceritanya. Tabloid ini menuliskan kisah perempuan secara
vulgar, sehingga lelaki yang terlibat tersebut merasa bahwa itu dia. Kemudian
lelaki itu menelpon wartawan dan diberitahu bahwa orang dalam cerpen itu dia,
sementara tokoh utamanya adalah perempuan itu. Media massa yang seharusnya
netral dalam menuliskan suatu kisah, justru melebih-lebihkannya. Tidak hanya itu,
perempuan ini menghendaki agar tokoh dalam kisah tersebut disembunyikan
identitasnya. Namun yang terjadi adalah media membongkar identitas narasumber
kepada lelaki yang terlibat dalam cerita itu. Dalam hal ini perempuan tentu tidak
mendapat haknya sebagai narasumber yang harus dijaga identitasnya oleh pihak
media massa. Hal ini sesuai dengan kode etik jurnalistik pasal 7 :
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
Penafsiran
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya. d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. 1
Sementara itu, bukannya menyalahkan media, tamu laki-laki itu seolah
menyalahkan perempuan atas perbuatannya. Bagi tamu laki-laki itu, perempuan
hendaknya berhati-hati ketika dia menceritakan kisah pribadinya ke orang lain,
1 PERATURAN DEWAN PERS Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 http://mediakonservasi.org/2008/dir_upload/files/Peraturan_Dewan_Pers_No_6_tentang_Kode_Etik_Jurnalistik,_2008.pdf diakses pada 1 Mei 2012 pukul 16.25 WIB
37
apalagi itu melibatkan orang lain, bahkan hingga dimuat di media massa. Hal
tersebut dapat mencemarkan nama orang yang terlibat.
Perempuan cenderung disalahkan manakala ia menceritakan kisah
pribadinya kepada orang lain bahkan hingga mempublikasikannya di media
massa. Meskipun perempuan telah menyembunyikan orang yang terlibat, namun
tetap ditampilkan bahwa hal tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh
perempuan. Meski demikian, dapat diketahui pula bahwa perempuan dalam tokoh
ini diberikan kesempatan untuk mengutarakan perasaan dan pendapatnya.
Cerita pendek ini mengisahkan cerita perempuan ini. Apa yang dialami
dan seperti apa cerita dari perempuan tersebut, ditandakan dengan dialog antara
perempuan dan tokoh laki-laki. Tokoh perempuan secara aktif menceritakan
bagaimana masalah pribadinya kepada tokoh laki-laki ini. Sementara tokoh laki-
laki meskipun awalnya cenderung pasif, namun dia-lah yang membuat dialog
diantara keduanya kian hidup melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya.
Tokoh lelaki juga dapat dikatakan yang menentukan alur cerita dan juga memberi
penilaian atas apa yang telah dilakukan perempuan.
Cerpen “Cerita Perempuan” menempatkan tokoh lelaki, sebagai subjek
pencerita. Di awal cerpen, tokoh lelaki lebih banyak terdiam dan mendengarkan
saat perempuan bercerita. Dalam diam tanpa ucap, lelaki ini merespon dengan
ekspresi non verbalnya.
Lelaki “Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?” Perempuan: “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” Lelaki: “Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya.” Perempuan: “Tidak. Aku menyembunyikan namanya” Lelaki: “Tapi orang kan bisa menerka”
"Aku di Lembaga Peduli Lingkungan paling lama hanya dua minggu. Di sana aku sangat suka memetik daun labu, sampai lima kilo, untuk ku makan hanya dengan cabai dan garam. Pulang-pulang kulitku gosong terbakar matahari.” Si lelaki tersenyum mendengar uraian si perempuan, sambil membayangkan suasana yang sama juga ia rasakan ketika ia bergabung dengan lembaga itu, bahkan lebih lama
38
Melalui responnya yang diam dan hanya tersenyum mendengar uraian si
perempuan, dapat diketahui pada bagian ini ingin dikatakan bahwa pengalaman
perempuan ini secara kuantitas ditampilkan masih kurang dibanding lelaki di
cerita ini pun yang memiliki pengalaman sama yang lebih lama. Hanya dengan
diam dan tersenyum, lelaki ini memberikan penilaian atas apa yang dilakukan
perempuan, yang ternyata tidak lebih banyak dari pengalamannya. Namun pada
bagian selanjutnya, teks memberikan bukti lebih kuat bagaimana lelaki yang
semula lebih banyak diam ini ternyata adalah pencerita.
Dari cuplikan dialog diatas dapat diketahui, lelaki, tamu dari perempuan
tampil sebagai teman bercerita yang aktif bertanya dan memberi tanggapan.
Tokoh perempuan digiring untuk terus menceritakan kisah hidupnya. Walaupun
perempuan ini menceritakan kisah hidupnya kepada lelaki, tidak lantas perempuan
ini menjadi subjek pencerita. Bagaimana cerita ini bergulir ditentukan oleh kontrol
tokoh lelaki dalam bertanya dan memberikan penilaian atas apa yang dilakukan
perempuan. Hal ini terwujud pada saat lelaki menunjukan ketidaksetujuannya saat
perempuan mempublikasikan ceritanya ke media massa. Perempuan telah
menyembunyikan orang yang terlibat, namun tetap ditampilkan bahwa hal
tersebut tidak semestinya dilakukan oleh tokoh perempuan. Pengarang lebih
menonjolkan pandangan tamu lelaki ini dalam penceritaan. Lelaki ini tampil
sebagai subjek pencerita, yang menentukan bagaimana cerita ini bergulir dan juga
memberikan penilaian atas apa yang dilakukan oleh perempuan.
"Kok kamu begitu? Menceritakan kehidupan pribadi kalian pada orang bahkan mempublikasikannya?" “Itu kan kenyataan hidupku sendiri.” "Kisahmu melibatkan orang lain. Dengan mempublikasikan lalu membuatnya tahu dan bertanya pada penulisnya, berarti ada indikasi kamu mencemarkan nama baiknya." "Tidak. Aku menyembunyikan namanya." “Tapi kan orang bisa menerka.” “Itu kan kisah hidupku sendiri. Dokumen pribadiku, walau menyangkut dia.” “Kamu publikasikan juga cerita yang menyangkut laki-laki itu. Kekeliruanmu, sebelumnya kamu tidak memberitahu dia.” “Setelah ia menghubungiku, ia berkata, seandainya sebelumnya aku memberitahu, tentu ada yang bisa ia lakukan untuk menolong problemaku. “Nah...”
39
Selain itu, melalui pembacaan dominan, pembaca digiring untuk
mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga pembaca pun sepakat
dengan pandangan tokoh laki-laki. Hal ini menguntungkan bagi lelaki. Jika
demikian yang terjadi, pandangan tokoh laki-laki yang tampil tersebut kian
melanggengkan ideologi patriakhi. Meski memang harus diakui gambaran
perempuan dalam tokoh ini positif, perempuan yang dengan berani menghadapi
masalah-masalah tersebut, karena kemudian dia menyadari bahwa di balik
masalah tersebut menciptakan perubahan positif pada dirinya. Berbeda dengan
karakter lelaki ini, sebagai lelaki dia adalah seorang yang tidak berani mengambil
resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia memutuskan
mengakhiri hidup supaya akibat-akibat yang terjadi atas hubungannya dengan
perempuan ini tidak lagi ia tanggung.
5.1.3. Ideologi Patriakhi
Pemosisian aktor-aktor dalam cerita menghasilkan satu pemahaman
ideologi apa yang diangkat oleh pengarang dalam cerpennya ini. Penempatan
tokoh laki-laki sebagai pencerita dan juga posisi pembaca sebagai tokoh laki-laki
menjadikan narasi ini menguntungkan bagi laki-laki, karena pandangannya yang
tampil. Akhirnya dapat diketahui bahwa ideologi yang nampak dalam cerpen ini
masih ideologi patriakhi.
Gambaran perempuan yang mengalami ketidakadilan dan tekanan batin
dari lingkungan sosialnya kian meneguhkan ideologi patriakhi yang hendak
disampaikan pengarang. Perempuan dalam cerpen ini mengalami dua hal masalah.
Pertama, sebagai perempuan dan juga manusia, dia tidak mendapatkan haknya
sebagai narasumber, media menghilangkan hak ini dengan melebih-lebihkan
cerita dirinya dan membongkar identitas dirinya. Kedua, ketika perempuan ini
ingin menceritakan kisah hidupnya melalui media massa, ia justru disalahkan,
karena dianggap mencemarkan nama baik orang lain yang terlibat. Masalah lain
yang tampil dalam cerpen ini adalah mengenai perselingkuhan perempuan dengan
suami temannya. Dia merasa begitu menyesal, karena dia melakukannya dengan
suami orang, tidak dengan sesama lajang.
40
Mengenai perselingkuhan ini, penyesalan yang terjadi pun tidak datang
dari mulut orang lain, tapi lahir dari pemikiran perempuan sendiri. Penyesalan
yang dialami perempuan ini masih dipengaruhi oleh stereotipe gender yang
berkembang dalam masyarakat. Dalam masyarakat patriakhi, hal ini wajar terjadi
pada perempuan. Dan tidak terjadi dengan lelaki. Menurut Suryakusuma (dalam
Sastriyani, 2009: 484), laki-laki dianggap dominan dorongan seksualnya,
perempuan lebih pasif dan reseptif sehingga laki-laki dianggap poligam, sedang
perempuan dianggap monogram. Oleh karena itu penyelewengan yang dilakukan
oleh laki-laki dianggap sebagai hal yang wajar, tetapi kalau yang menyeleweng
perempuan, dianggap hal yang tidak wajar dan merupakan aib. Hal ini
mengakibatkan perempuan memiliki perasaan yang bersalah yang berlebihan
karena melakukan penyelewengan. Selain itu, hal utama yang disesalkan oleh
tokoh perempuan ini adalah soal keperawanan. Keperawaanan sangat diagung-
agungkan dalam masyarakat patriakhi. Menurut Kweldju (dalam Sastriyani ,
2009: 480) Pandangan masyarakat tentang kesucian atau keperawanan merupakan
sesuatu yang normatif. Bahkan terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa harta
yang paling berharga bagi perempuan yang belum menikah adalah keperawannan.
Kehilangan keperawanan adalah kehilangan kehormatan. Keperawanan
selanjutnya menjadi ideologi yang memuat kepentingan laki-laki dan
mencerminkan dominasi laki-laki atas perempuan. Oleh karena kuatnya dominasi
tersebut, ideologi ini telah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke
generasi, bukan hanya oleh kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan sendiri.
Keperawanan merupakan persembahan seorang perempuan kepada suami (laki-
laki) yang telah disahkan oleh lembaga perkawinan. Perempuan harus menjaga
keperawanannya yang cuma satu dan tidak boleh diberikan pada laki-laki sebelum
menikah. Ideologi ini bahkan terinternalisasi dalam diri perempuan sendiri.
Sehingga bentuk tekanan itu tidak hanya datang dari lingkungan, tapi dari
perempuan sendiri.
Tampilan-tampilan pandangan patriakhi memang nampak dalam cerita ini.
Akan tetapi di tengah gambaran stereotipe gender, ada gambaran yang berbeda
dari perempuan. Di balik masalah yang dialami perempuan dalam cerpen ini, dia
41
dianggap melakukan kesalahan, dan dia juga mengalami penyesalan, akan tetapi
perempuan dalam cerpen ini bukanlah seorang perempuan yang lemah dan tidak
berpendidikan. Perempuan yang bekerja di lembaga peduli lingkungan ini,
ditampilkan sebagai seorang memiliki pendapatnya sendiri. Contohnya, ketika dia
mempublikasikan cerita di tabloid wanita, dia tahu alasan kenapa melakukannya.
Selain itu, dia juga tidak takut menghadapi masalah-masalah yang
menimpannya, karena dia tahu bahwa masalah yang dihadapinya akan
memberikan perubahan positif bagi kehidupannya. Sehingga dia menjadi mandiri
dan lebih tegar.
Di akhir cerita, tamu lelaki yang datang ke rumahnya tersebut memutuskan
untuk membunuh perempuan dan dirinya sendiri agar bila kisah perempuan ini
dimuat, tidak akan terjadi masalah antara keduanya. Nampak keegoisan tokoh
lelaki, yang mengganggap bahwa kematian adalah solusi atas permasalahan yang
terjadi. Meski tidak ditampilkan perlawanan perempuan atas pembunuhan dirinya,
namun dapat diketahui bahwa karakter lelaki ini adalah seorang yang tidak berani
mengambil resiko atas apa yang menjadi keputusannya, sehingga akhirnya dia
memutuskan mengakhiri hidup supaya akibat-akibat yang terjadi atas
hubungannya dengan perempuan ini tidak lagi ia tanggung. Berbeda dengan
perempuan yang dengan berani menghadapi masalah-masalah tersebut, karena
kemudian dia menyadari bahwa di balik masalah tersebut menciptakan perubahan
positif pada dirinya.
Menjadi sebuah pertanyaan kemudian adalah, apa maksud dari pengarang
dengan menampilkan gambaran perempuan secara positif, namun di sisi lain
"supaya bila ada orang yang bertanya tentang kasusku itu, aku tidak perlu banyak bicara lagi. Langsung kutunjukan tabloid itu biar dibaca, sehingga mudah menjelaskan permasalahanku."
"Semua itu justru membentuk sikapku jadi tegar saat menghadapi masa-masa sulit serupa itu. Sikap tegar ini tidak dimiliki oleh para pelaku yang banyak kutemui pada cerita lain. Mereka wanita yang suka mengalah dan kalah dalam menghadapi problem semacam."
42
menjadikan tokoh laki-laki sebagai pencerita, yang muncul dengan pandangan
patriakhinya dan penilaian yang cenderung menghakimi perempuan tersebut?
Ideologi patriakhi muncul dipengaruhi oleh diri lelaki dari pengarang itu
sendiri. Dalam wawancara dengan pengarang, dirinya mengaku untuk berusaha
untuk mendalami perannya sebagai perempuan, akan tetapi diri kelelakiannya
bagaimanapun tetap akan mempengaruhi bagaimana dia memilih fakta dan
menuliskan fakta tersebut sehingga menghadirkan kembali realitas itu dalam
wujud cerita pendek ‘Cerita Perempuan’. Karena patut digarisbawahi pemikiran
dari Eriyanto (2001: 116,118) bahwa realitas yang sama dapat menciptakan
‘realitas’ yang berbeda kalau ia didefinisikan dan dipahami dengan cara yang
berbeda. Dengan memilih fakta tertenu dan membuang fakta yang lain, realitas
hadir dengan cara ‘bentukan’ tertentu kepada khalayak.
Di tengah tampilnya ideologi patriakhi, pengarang menunjukan bahwa
dirinya bukanlah seseorang yang kolot. Pengarang berusaha menjadi seorang
pribadi yang lebih egaliter, memandang perempuan sebagai sesamanya yang
sederejat (dapat diketahui melalui hasil wawancara dengan pengarang, yang
tersaji pada Bab 4). Itulah mengapa pengarang menampilkan gambaran yang
positif tentang perempuan berbeda dengan banyak narasi lain cenderung yang
menampilkan perempuan penurut, pasif dan lemah.
Tabel 5.1.3.
Representasi Feminis Cerpen ‘Cerita Perempuan’
Pertama Realitas
Cerita perempuan yang mempublikasikan kisahnya di
koran dan identitasnya dibongkar oleh pihak media.
Selain itu, perempuan ini juga bercerita mengenai
penyesalannya telah berselingkuh dengan suami
temannya.
43
Kedua Representasi
Melalui dialog antara perempuan dan tamu laki-laki,
dapat diketahui bagaimana karakter tokoh tersebut. Hal
tersebut juga menunjukan bagaimana posisi subjek objek
dan posisi pembacanya. Dalam cerpen ini, tamu laki-laki
adalah subjek pencerita, sementara perempuan adalah
objeknya. Untuk posisi pembaca, pembaca digiring untuk
mengidentifikasikan dirinya seperti tokoh lelaki hingga
pembaca pun sepakat dengan pandangan tokoh laki-laki.
Ketiga Ideologi
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan
tokoh laki-laki pembaca digiring untuk menjadikan
pandangan tokoh laki-laki yang tampil. Hal ini tentu kian
melanggengkan ideologi patriakhi.
5.2. CERPEN 2
5.2.1. Sinopsis Cerpen 2: Tanya Tukang Cuci
Atin dan ibunya adalah tukang cuci sebuah keluarga dan anak-anak kos
yang tinggal di tempat keluarga itu. Diantara semua anak kos, hanya satu anak
kos, lelaki pegawai perusahaan yang tidak menyerahkan pakaian untuk dicuci dan
setrika oleh Atin dan Ibunya. Hal ini membuat Atin bertanya keheranan perihal
satu anak kos ini, ’kenapa untuk ongkos cuci yang tidak seberapa, murah, anak
kos ini enggan berbagi dengan Atin’.
Masalah memuncak ketika pemilik kos memberitahukan bahwa
pembayaran mencuci sebenarnya belum bisa diberikan. Hal ini membuat ibu Atin
tertegun. Membayangkan beratnya membayar kebutuhan pokok sehari-hari.
Namun ternyata hal itu adalah kejutan dari Bapak Kos, karena pembayaran
Rp.200.000 tetap bisa dibayarkan kepada Atin dan Ibunya, berkat satu anak kos
tersebut, yang membayar tepat waktu. Anak kos yang semula cukup membuat
Atin jengkel, kemudian tampil sebagai penyelamat bagi Atin dan Ibunya.
44
Bulan berikutnya hal itu terjadi lagi, Atin dan Ibunya sangat berterima
kasih pada anak kost itu. Atin tidak lagi peduli siapa anak kos itu dan apa
pekerjaannya, meski pakaian anak kos tersebut tetap kucal dan tidak disetrika.
5.2.2. Interpretasi Cerpen ”Tanya Tukang Cuci”
Cerpen ini bercerita mengenai perjuangan seorang anak dan ibu yang
bekerja sebagai tukang cuci demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam lika-
liku perjuangannya bekerja, Atin, sebagai tokoh utama tampil sebagai seorang
perempuan muda yang berprasangka terhadap anak kost yang tidak menyerahkan
pakaiannya. Hal tersebut terjadi karena tidak adanya alasan dari anak kos,
mengapa ia seperti itu.
Cerpen “Tanya Tukang Cuci” menempatkan Atin sebagai subjek
pencerita. Sebagai tokoh utama, selain mendominasi narasi cerpen, Atin jugalah
Sikap ‘diam’ dari orang lain bagi perempuan dimaknai manakala
seseorang tersinggung dengan perbuatannya atau tidak mempercayainya lagi. Dan
jika seseorang bersikap diam, perempuan pun cenderung beranggapan buruk
terhadap orang itu. Karena bagi perempuan, komunikasi adalah untuk menjalin
hubungan. Lain halnya dengan laki-laki, bentukan budaya membuat mereka susah
untuk berkomunikasi. Laki-laki hanya akan bicara seperlunya dan dengan terus
terang (Pease, 2005:142). Atas dasar ini pula, Atin digambarkan sebagai seorang
yang suka berprasangka, sementara anak kos ditampilkan sebagai sosok laki-laki
yang hanya akan bicara seperlunya. Kuatnya penggambaran tokoh laki-laki ini
tentu mendapat pengaruh dari kelelakian pengarang cerpen ini di tengah stereotipe
gender yang berkembang di masyarakat ia tinggal, yakni di Jawa, tepatnya Jawa
Timur.
“Aneh, ada orang sepelit pegawai kos ini. Uang yang tidak seberapa, mengapa ia enggan berbagi dengan kami, mempercayakan pakaiannya untuk kami cuci. Bukankah kini adiknya tidak numpang di kamarnya lagi, sehingga uangnya bisa digunakan untuk membayar cucian? Bukankah dengan mempercayakan pakaiannya kami cuci, berarti ia menghemat waktu, menambah nilai penampilannya, sekaligus membantu meringankan kebutuhan hidup kami yang kekurangan?”
45
mendefinisi bagaimana karakter lelaki, anak kos yang tidak turut menyerahkan
baju untuk dicucikan. Mulai dari prasangka Atin mengenai sosok anak kos
tersebut hingga jawaban atas tanya itu, semua dipaparkan oleh Atin.
Sementara anak kos, menjadi topik pembicaraan dari cerita pendek ini
maka disebut dia adalah objek pencerita. Sebagai objek pencerita, karakter dari
tokoh anak kos ini secara keseluruhan dipaparkan oleh Atin. Pada awal cerita
gambaran karakternya adalah hanya dugaan dari Atin, di akhir cerita Atin juga
yang memberikan penjelasan sebenarnya atas dugaan terhadap anak kos itu.
Anak kos ini sendiri tidak menjelaskan bagaimana dirinya, sekedar melalui
tanda non verbal, tertawa. Yang mana tanda non verbal ini pun tidak lagi menjadi
perhatian Atin karena dugaan-dugaan Atin telah terjawab melalui tindakan yang
dilakukan oleh anak laki-laki ini.
Sebagai pencerita, Atin tidak hanya mendefinisikan sosok anak kos yang
membuatnya penasaran. Perempuan muda ini pun juga memberikan pemikiran
kritisnya melalui kisahnya sebagai pencuci pakaian.
“Apakah sebetulnya yang ada dalam benaknya, setiap bangun pagi melihat kami berdua bahu membahu mencuci dan menyetrika pakaian-pakaian ini? Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi. Ah dasar pelit!” Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.”
Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya.
Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anak-anak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian mereka. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi.
46
Kasus yang diangkat penulis begitu ringan, namun menjadi menarik untuk
dikritisi karena masalah cuci pakaian kemudian dikaitkan dengan citra dan status
diri seseorang. Melalui pemikiran kritis tersebut, pekerjaan rumah tangga tampil
sebagai pekerjaan yang bukan sembarangan.
Di saat Atin dan Ibunya terancam tidak mendapatkan upah, satu anak kos
yang tidak menyerahkan pakaian tersebut tampil sebagai pahlawan yang
menyelamatkan upah kerja Atin dan ibunya. Perubahan karakter tokoh lelaki,
anak kost ini kemudian juga mematahkan prasangka Atin akan laki-laki ini. Inilah
inti yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Dominasi Atin dalam narasi cerpen ini, menempatkan pembaca sebagai
diri Atin. Pembaca diajak untuk menyelesaikan alur cerita melalui tanya tukang
cuci.
Pembaca yang diposisikan sebagai Atin, akhirnya turut menjadi tokoh Atin
yang mengubah pandangannya terhadap anak kost itu. Hingga di akhir cerita
pesan dari cerita ini dapat ditangkap oleh pembaca, bahwa hendaknya kita tidak
cepat-cepat menaruh prasangka terhadap sikap seseorang. Selain itu, pembaca
juga turut dibuat mengagumi anak kos, dengan sikap pahlawannya.
5.2.3. Heroisme Laki-Laki
‘Tanya Tukang Cuci’ menampilkan perjuangan perempuan dalam bekerja,
memenuhi kebutuhannya. Perempuan sebagai pencari nafkah utama bagi
“Lelaki itu hanya tertawa. Pakaiannya tetap kucal tak tersetrika, sedangkan pakaian kotornya menggunung di depan kamarnya. Aku tak lagi mempersoalkan. Aku juga tak lagi mempermasalahkan siapa dia dan apa pekerjaannya” “Terhadap anak-anak kos yang lain aku semakin bertanya-tanya, sebetulnya apakah pekerjaan masing-masing mereka. Mereka, anak-anak kos yang pembayaran uang kos dan cucian selalu terlambat, namun tetap saja pakaian mereka licin dan rapi. Kami yang mencuci dan melicinkan pakaian merea. Berarti, anak-anak kos ini setiap hari menikmati hasil kerja keras kami membanting tulang dan memeras keringat secara semena-mena. Satu hal yang tidak dilakukan mas tadi.”
47
keluarganya. Bahkan Atin, gadis ini sudah berjuang sejak mudanya demi
membantu keluarganya.
Tidak hanya upah yang kecil, Atin dan Ibunya harus menderita karena
upahnya terlambat dibayarkan. Penderitaan yang dialami mereka ditampilkan
melalui penceritaan yang dilakukan oleh Atin. Sebagai subjek cerita, Atin
memaparkan apa yang dirasakan dan dialaminya sebagai tukang cuci. Persoalan
yang dihadapi oleh Atin dan Ibunya memang terbilang telah banyak dialami para
perempuan. Ideologi gender mempunyai pengaruh langsung atas jenis dan nilai
pekerjaan yang dilakukan perempuan. Kaum perempuan diposisikan sebagai
pekerja utama sektor domestik dan laki-laki di sektor publik. Sekalipun
perempuan memasuki industri publik, ia cenderung untuk melakukan pekerjaan
perempuan seperti merawat, memasak, mencuci atau menjahit. Alat produksi yang
dimiliki oleh perempuan miskin pada umumnya hanya tenaga. (Ridjal,1993:161).
Majikan mempunyai monopoli terhadap alat produksi. Karena itu, pekerja harus
memilih antara diekspolitasi atau tidak mempunyai pekerjaan sama sekali. Agar
perempuan terbebas dari penderitaan ini, perempuan pun harus bergerak dan
berjuang untuk memiliki kapital/modal, inilah solusi yang ditawarkan. Ini adalah
poin dari perjuangan feminis marxis.
Di tengah pengaruh stereotipe gender masih kuat, pengarang menunjukan
perjuangan seorang ibu, sebagai pencari nafkah utama bagi keluarganya.
Perjuangan perempuan juga semakin nyata melalui penceritaan yang dilakukan
oleh tokoh yang bersangkutan.
Penyebab dari penderitaan itu sendiri adalah karena bapak kos dan anak-
anak kos yang terlambar membayar kost. Diskriminasi gender dilakukan oleh para
laki-laki, tetapi disatu sisi penyelamatnya juga laki-laki, yaitu anak kos yang tidak
menyerahkan pakaian.
Apakah perasaannya tidak tersentuh melihat perempuan seperti ibuku menghidupi kami berdua dengan menjadi tukang cuci baju, dan jelas, aku yang masih sekolah harus membantu? Juga di sisinya, selain berbagi rezeki, ia juga mendapatkan keuntungan dengan pakaian yang bersih dan rapi.
48
Diantara tokoh-tokoh laki-laki tersebut, pengarang cenderung untuk pro
dengan anak laki-laki yang tidak menyerahkan pakaian. Penggambaran anak laki-
laki di awal cerita sengaja dibuat penuh penasaran melalui tanya tukang cuci,
Atin. Sehingga di akhir cerita, terasa kejutannya. Hal ini seperti apa yang
dikatakan oleh Soe Tjen Marching, seorang komponis dan Doktor Studi
Perempuan-Perempuan Indonesia Monash University, Australia bahwa heroisme
laki-laki masih kuat dalam beberapa tulisan, termasuk cerpen kedua ini. 2 Di satu
sisi lelaki ditampilkan tidak bisa membantu bahkan yang menyebabkan
penderitaan, namun ada lelaki lain yang memahami perjuangan perempuan dan
membantu perjuangan perempuan itu.
Tabel 5.2.3.
Pengarang ingin menunjukan bahwa ada
laki-laki yang peduli terhadap perempuan sebagai sesamanya yang sederajat.
Unsur heroisme yang tampil ini menyebabkan cerita pendek ini bias. Walaupun
menunjukan isu-isu yang menjadi fokus feminis Marxis, buah perjuangan dari
perempuan ini bukan dari dirinya sendiri, tapi atas pertolongan anak kos. Hal ini
dilakukan pengarang guna memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai
penyebab penderitaan perempuan.
Representasi Feminis dalam cerpen ‘Tanya Tukang Cuci’
Pertama Realitas
Penderitaan yang dialami perempuan tukang cuci karena
upah kerja yang terlambat dibayarkan.
Kedua Representasi
Penceritaan tunggal yang dilakukan oleh Atin
menjadikan dirinya sebagai subjek pencerita.
Penempatan Atin sebagai pencerita dan pembaca sebagai
Atin, menjadikan realitas teks ini hadir sebagaimana
2 Dalam endorsement buku 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo
Bulan berikutnya, hal itu terjadi lagi. Anak kos yang kuanggap pelit itulah kata bapak kos, yang menyelamatkan pembayaran ongkos mencuci bulanan kami. Bagi kami jelas sudah, anak kos ini tidak turut menyerahkan pakaiannya untuk kami cuci, agar ia dapat membayar uang kos kamar secara tepat waktu.”
49
adanya. Karena pesan dari cerpen ini disampaikan oleh
tokoh yang bersangkutan, yaitu Atin.
Ketiga Ideologi
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan
perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang
dialami keluar dari tokoh yang bersangkutan yaitu
perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir
cerita yang ditunjukan oleh tindakan anak kos,
menjadikan teks ini bias. Meski begitu, dapat diketahui
bahwa ideolog pengarang adalah memperbaiki citra laki-
laki yang biasa di-cap sebagai penyebab penderitaan
perempuan
5.3. CERPEN 3
5.3.1. Sinopsis Cerpen 3: ”Masuknya Lelaki Itu”
Kisah seorang TKW yang sedang melakukan perjalanan dari Cilacap
menuju Jakarta dengan menggunakan bis umum. Dia bersama seorang temannya
hanya mendapat tempat cadangan di belakang bangku yang wajarnya tempat itu
adalah tempat barang.
Perempuan TKW ini pun harus berbagi tempat dan berdesak-desakan
dengan seorang teman perempuannya dan seorang penumpang lelaki. Lelaki itu
mengajak berkenalan, menanyakan banyak hal pribadi tentang perempuan ini,
bahkan memeluk hingga berlaku lebih dari itu. Sementara perempuan ini hanya
cenderung diam dan pasif, menjawab dengan singkat ketika ditanya.
Setibanya di Jakarta, perempun lalu menuju rumah kakaknya untuk
meminta kunci rumah penampung TKW. Meskipun telah bebas dari rumah
penampungan TKW, perempuan ini tidak tahu kenapa harus kembali ke tempat
itu. Tidak seperti kehadiran lelaki yang dengan mudah masuk dalam tubuh dan
hidupnya. Hingga di Jakarta pun, lelaki ini terus mengikut i perempuan menuju
rumah kakak tokoh perempuan.
50
Di rumah itu, Suami kakaknya tanpa curiga--sama dengan sikap
perempuan-- memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lelaki mengenai
kehidupan pribadi mereka. Lelaki ini mengorek banyak informasi kehidupan
perempuan. Tidak ada ketakutan akan celaka dalam diri perempuan saat
menceritakan kehidupannya pada lelaki itu. Lelaki ini pulang mendapatkan
sesuatu, tanpa perempuan tahu siapakah lelaki itu sebenarnya.
5.3.2. Interpretasi Cerpen ”Masuknya Lelaki Itu”
Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’ mengangkat sebuah realitas perempuan
TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang dijumpainya di dalam bis. Dilemma
karena ia sendiri berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW, tetapi
saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan tidak senonoh, perempuan ini
tidak melakukan perlawanan. Bahkan perempuan ini pun begitu percaya dengan
nalurinya bahwa laki-laki adalah seorang yang baik.
Pada waktu mengalami perlakuan tidak senonoh dari lelaki itu, perempuan
ini justru hanya diam, dan berharap perbuatan itu tidak diketahui penumpang lain.
Hal ini bisa disebabkan karena dua hal. Pertama, karena munculnya rasa
ketertarikan perempuan ini pada lelaki tersebut. Sehingga dia tidak berani, dan
cenderung menjaga jarak, supaya tidak terlalu jauh mencinta. Sebaliknya, bila
perempuan ini tidak tertarik, merasa tidak nyaman dia akan teriak di bis dan
banyak orang akan memergoki lelaki tersebut. Namun rasa ketertarikan ini tidak
digambarkan cukup gamblang oleh pengarang dalam cerpen ini. Hal ini karena
pengarangnya adalah laki-laki, meskipun ia adalah pengarang adalah seorang
“Lelaki itu mulai mengajak berkenalan dengan bertanya tujuan kami. Aku merasa ia lelaki yang baik. Pada saat bis berhenti di persinggahan rumah makan, ia menawari kami untuk bersama minum, aku tidak menolak, karena percaya pada naluriku. Aku sendiri lebih banyak diam, jaga jarak hati dan lebih banyak pasif. Namun selanjutnya, di atas tempat duduk darurat yang membuat kami seperti pindang itu, kubiarkan lelaki yang berbaring bersama di antara dua perempuan (aku dan temanku), memelukku saat bis melaju melalui kota demi kota. Bahkan ku biarkan ia berlaku lebih dari itu, sambil sesekali memperhatikan sesama penumpang bis, jangan-jangan mereka memperhatikan gerak-gerik polah kami.”
51
penulis omniscient, penulis serba tahu dan menggunakan sudut pandang orang
pertama ‘aku’, seperti dua cerpen sebelumnya, namun karena dirinya sendiri
bukanlah perempuan, maka urusan romantika mengenai perempuan dalam cerpen
ini pun tidak ditampilkan dengan jelas. Meskipun pengarang menjadi seolah-
seolah seperti tokoh perempuan, namun tidak bisa seratus persen perempuan
karena dirinya adalah laki-laki. Pengarang hanya menjelaskan dengan “jaga jarak
dan lebih banyak pasif. Dia tidak bisa mendeskripsikan perasan perempuan ini
lebih lanjut. Hal kedua, mengapa perempuan TKW membiarkan lelaki itu
menjamah tubuhnya, disebabkan atas dasar stereotipe TKW di masyarakat, yang
mana adalah perempuan tidak berdaya, yang seringkali dengan mudah menjadi
korban pelecehan seksual.
Cerpen ketiga ini menempatkan perempuan sebagai subjek pencerita. Dia
banyak mengutarakan perasaan dan pikirannya, bahkan kegalauan dan dilemma
yang ia alami. Cerpen ini menampilkan curahan hati perempuan ini saat
menghadapi lelaki yang masuk dalam hidupnya. Sementara, laki-laki dalam
cerpen ini diposisikan sebagai objek pencerita. Sebagai objek, dirinya tidak
diberikan tempat untuk menyampaikan pendapatnya mengenai perbuatannya pada
perempuan TKW. Secara keseluruhan, tokoh perempuanlah yang memberikan
komentar atas perbuatan lelaki ini. Hal ini dilakukan oleh pengarang karena cerita
pendek ini ingin berfokus menceritakan kegalauan dan kebingungan yang dialami
oleh perempuan ini.
Penggunaan kata ganti ‘aku’ membuat kesan kedekatan dengan pembaca.
Ditambah pula dominasi narasi oleh tokoh perempuan, membuat pembaca fokus
pada sosok perempuan ini. Pembaca pun diajak untuk kritis terhadap sikap
perempuan melalui pertanyaan refleksi dari tokoh perempuan ini. Dikatakan
“Aku sendiri tidak tahu mengapa aku harus kembali ke tempat itu, sedangkan kunci kebebasan sudah dalam genggaman tanganku. Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami, mengorek informasi tentang kami tanpa takut celaka, meski pada akhir kebersamaan kami, aku tak lagi menunjukkan kedekatan terhadapnya yang pulang dengan tatapan mata lekat kepadaku.”
52
pertanyaan refleksi karena pertanyaan diatas adalah suatu hal yang menjadi
pergumulan atas dilemma dan kegalauan yang dialami oleh perempuan,
keberaniannya untuk kabur, tidak lantas membuatnya berani pula menghadapi
lelaki itu.
5.3.3. Perempuan TKW
Seperti cerpen sebelumnya, harus tetap diakui bahwa gambaran
perempuan dalam cerpen ini berbeda dengan stereotipe perempuan dalam
masyarakat patriakhi. Perempuan TKW ini adalah sosok yang mandiri dan berani.
Karena masalah perjumpaan dengan lelaki di bis, membuat ia antara dilemma dan
galau. Perempuan ini berani menghadapi hidup tapi tidak berani menghadapi
cinta. Perempuan ini justru lebih banyak pasif dan jaga jarak hati. Kebungkaman
merupakan kekeliruan paling besar di pihak wanita. Pembebasan wanita dari
penindasan laki-laki “hanya mungkin terjadi apabila perempuan berbicara,
menampilkan sudut pandang mereka sendiri mengenai kehidupan perempuan
harus berjuang untuk dirinya sendiri kalau ingin lepas dari penindasan
(Satriyani,2009:518-519). Maka seharusnya pun, perempuan ini berani
mengutarakan yang sebenarnya kepada lelaki itu secara jelas. Kisah perempuan
yang diceritakan oleh perempuan langsung memberi dampak pada penceritaannya
dengan lebih nyata. Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian
membuat maksud penceritaan ini tersampaikan. Kelemahannya adalah karena
pengarangnya laki-laki, dia tidak bisa sepenuhnya secara lengkap menggambarkan
perasaan perempuan saat berhadapan dengan laki-laki, sehingga menyebabkan
makna ganda.
Dalam cerpen ketiga ini, belum ditunjukan bagaimana perjuangan
perempuan menghadapi masalahnya. Dia, perempuan yang masih dirundung
kebingungan. Bahkan saat kebebasan dari penampungan TKW telah diraihnya, ia
justru kembali ke penampungan itu, menunggu giliran diberangkatkan ke luar
negeri.
“Mengapa aku tidak mencontoh kehadiran lelaki dalam perjalanan panjangku dari Cilacap ke tempat ini? Lelaki itu dengan mudah masuk dalam tubuh dan hidup kami”
53
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari perempuan ini
sebenarnya untuk menunjukan bahwa perempuan ini belum memiliki kualitas diri
yang tinggi. Sebagai orang yang baru saja bertemu, perbuatan dari lelaki itu tidak
seharusnya dilakukan. Karena itu adalah perbuatan tercela. Bagaimanapun
perbuatan ini harus dihentikan. Di samping itu, bila dia memang berani, hal itu
juga nampak pada aspek lain dalam dirinya.
Kritik pengarang terhadap kualitas diri perempuan yang rendah ditandakan
melalui pertanyaan refleksi dalam cuplikan dialog di atas yang disampaikan
sendiri oleh perempuan. Dengan disampaikan sendiri oleh perempuan,
memberikan kesan bahwa perempuan memang memiliki kesadaran akan hal itu.
Selain itu, kritik pengarang juga ditunjukan melalui penekanan latarbelakang
pekerjaan sebagai TKW. Pekerja TKW seringkali dilabelkan sebagai orang
dengan tingkat pendidikan rendah. Rendahnya tingkat pendidikan memberikan
pengaruh pada kualitas diri seseorang. Dalam hal ini nampak kepedulian
pengarang terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja wanita. Meskipun tidak
disampaikan dalam teks, tapi secara implisit dapat diketahui bahwa menurut
pengarang, solusi atas penindasan dan penderitaan yang dialami oleh pekerjaan
rumah tangga ini adalah akses pendidikan. Agar tidak hanya tenaga mereka yang
dimanfaatkan, tapi mereka juga memiliki kemampuan intelektual dan spiritual
yang mumpuni.
Tabel 5.3.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Masuknya Lelaki Itu’
Pertama Realitas
Perempuan TKW yang dilemma menghadapi lelaki yang
dijumpainya di dalam bis. Dilemma karena ia sendiri
berhasil melarikan diri dari rumah penampungan TKW,
tetapi saat berhadapan dengan lelaki itu dan diperlakukan
tidak senonoh, perempuan ini tidak melakukan
perlawanan.
Kedua Representasi
54
Perempuan menjadi pencerita langsung memberi dampak
pada penceritaannya dengan lebih nyata. Penempatan
pembaca sebagai tokoh perempuan juga kian membuat
maksud penceritaan ini tersampaikan.
Ketiga Ideologi
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari
perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa
perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi.
Bukan mengkritik, pengarang justru menunjukan
kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga
kerja wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga
kerja.
5.4. CERPEN 4
5.4.1. Sinopsis Cerpen 4: Kekuatanku
‘Kekuatanku’ bercerita mengenai perempuan, seorang single parent
dengan satu anak, bekerja sebagai penjual makanan di depan sebuah kios
pinjaman haji tuan tanah bersaudara. Pak Haji pertama memberikan izin kepada
perempuan ini untuk berdagang lele di kios keluarga mereka. Hal berbeda terjadi
pada Pak Haji yang kedua, dengan mengatasnamakan keluarganya, dia tidak
membolehkan perempuan itu berdagang lele, alasannya karena kios bengkel bila
digunakan perempuan berjualan pecel lele tersebut berisiko terhadap kebakaran.
Tidak hanya karena itu, Pak Haji kedua ini mempersepsi bahwa perempuan ini
adalah seorang lacur, didasarkan pada fakta bahwa perempuan tersebut memiliki
anak tapi tidak bersuami. Dan juga ia bekerja di depan kios tepi jalan pada malam
hari.
Tidak kurang cara, perempuan ini mendapatkan ganti tempatnya, sama-
sama di depan kios bengkel, tapi pemiliknya mengizinkan untuk digunakan
berjualan pecel lele. Warung perempuan ini selalu laris oleh pembeli. Namun
tidak berlangsung lama, tidak diketahui kenapa akhirnya pemiliknya tidak lagi
mengizinkan penggunaan tempat itu. Peristiwa ini membuat perempuan kecewa.
55
Perempuan terus berjuang untuk tetap mendapatkan penghasilan. Ia pun
pindah kontrakan. Atas bantuan seorang marinir, ia berhasil mendapatkan tempat
berdagang yang baru. Perempuan pun menjadi puas, terlebih pula karena sejak
kepindahannya rumah kontrakannya yang dulu tidak laku, lahan bekas
berjualannya dulu pun kosong. Warung barunya yang kini menciptakan
keramaian.
5.4.2. Interpretasi Cerpen “Kekuatanku”
Pada cerpen ini, pengarang menunjukan perjuangan perempuan melawan
penindasan yang terjadi pada dirinya. Penindasan yang dialami oleh perempuan
dalam cerpen ini adalah dihalangi kesempatan bekerjanya. Dia dihalangi untuk
membuka warungnya karena dirinya yang single parent, dianggap sebagai
pelacur. Atas dasar hal tersebut, secara implisit, Pak Haji ke-2 yang ingin menjaga
nama baiknya dengan tidak memberikan izin kepada perempuan untuk berjual.
Pengarang sengaja tidak menamai kedua haji dalam cerpen ini agar
pembaca kritis terhadap tokoh masyarakat yang diceritakan cerita pendek ini.
Pengarang memperkuat gambaran Pak Haji bersaudara ini melalui perbandingan
perilaku keduanya. Haji yang pertama, memberikan izin kepada perempuan ini
untuk berdagang. Dikatakan bahwa Pak Haji pertama telah mengetahui bagaimana
memperlakukan manusia sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tidak demikian
dengan Pak Haji kedua.
Pengarang mengangkat realitas sosial ini, dengan maksud supaya pembaca
menyoroti perihal kedua tokoh masyarakat ini, bahwa demikianlah tokoh
”Apa lacur, pada suatu hari ia mendatangi rumah kontrakanku dan mengutarakan keberatan saudaranya kalau aku terus berjualan di situ.”
“Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.”
56
masyarakat yang ada disekitar kita yang kadang menekan orang lain, tetapi ada
juga yang paham bagaimana memperlakukan orang lain.
Tidak hanya dilarang oleh Pak Haji, perempuan ini pun kembali tidak
diizinkan berdagang oleh pemilik bengkel. Meski putus asa, tapi perempuan ini
tetap memiliki motivasi kuat untuk berusaha. Pengarang menampilkan sosok
perempuan yang tidak kenal menyerah.
Seperti cerpen sebelumnya, tokoh perempuan di cerpen ‘Kekuatanku’
mendominasi penceritaan. Perempuan berlaku sebagai subjek, yang menceritakan
perjuangan hidupnya dalam mendapatkan tempat berjualan. Perempuan diberikan
tempat utama oleh pengarang untuk mengutarakan perasaan serta semangatnya
perjuangannya. Sehingga judul “Kekuatanku” benar-benar nyata tercermin pada
dialog dan narasi yang disampaikan oleh tokoh perempuan ini sendiri.
Sedangkan objek pencerita dalam cerpen ini adalah Pak Haji Kedua.
Penilaian atas tindakannya Pak Haji ini dituturkan oleh tokoh perempuan. Hal ini
semakin ditegaskan oleh subjek pencerita melalui perbandingan sosok Pak haji
bersaudara ini.
Penyebutan “Pak Haji yang di depanku” jelas diketahui bahwa tokoh
perempuan memberikan penekanan bahwa Pak Haji pertama ini berbeda dengan
yang lain, bahkan berbeda dengan saudaranya, yang juga berstatus Pak Haji.
“Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.”
“Pak Haji yang di depanku memang bijak, ia tahu nilai-nilai kemanusiaan,' perasaanku mekar bunga. Begitu berdiri kakiku terasa ringan. "Terima kasih sekali, Pak Haji," aku menyerongkan badan, wajah yang disinari sedikit rasa senang mulai berpijar.”
Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah!
Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.
57
Selain memberikan komentar mengenai Pak Haji bersaudara, tokoh
perempuan sebagai subjek penceritaan, berkisah sendiri mengenai perjuangan
hidupnya dan keberhasilannya. Hal ini memberikan kesan kuat pada cerita pendek
berjudul “Kekuatanku” karena perempuan ditampilkan oleh dirinya sendiri
sebagai pribadi yang kuat dan gigih berjuang.
Hambatan dan usaha perempuan yang dipaparkan satu per satu dalam
cerita ini membuat pembaca turut merasakan perjuangan hidup perempuan ini.
Pembaca diajak untuk memposisikan dirinya sebagai perempuan dalam tokoh ini.
Sudut pandang orang pertama ‘aku’ membantu penempatan posisi
pembaca sebagai tokoh perempuan. Pengarang melakukan hal ini dalam proses
kreatifnya dalam rangka penghayatan peran sebagai tokoh perempuan. Di sisi lain,
hal ini pun memposisikan pembaca sebagai tokoh perempuan, dengan penindasan
dan kegigihan perempuan ini.
5.4.3. Feminis Sosialis
Kekuatan tak kenal menyerah yang berbalut dendam membuat perempuan
ini gigih memperjuangkan haknya untuk bekerja. Hak untuk mendapatkan
penghasilannya. Karena terdesak kebutuhan, kekuatan perempuan ini pun tumbuh
kembali. Tidak henti-hentinya dia berjuang. Kesemuanya tersebut diceritakan
sendiri dari pihak perempuan menjadikannya realitas yang tampil utuh dan apa
adanya. Lebih jauh, hal tersebut menunjukan ideologi yang digunakan dalam
cerpen ini.
Aku hanya menyimpan satu denda, aku pasti bisa berdagang di seberang trotoar itu. Di seberang jalannya ada lahan kosong, aku harus mendapatkan tempat itu. Aku dekati pemiliknya melalui seorang marinir yang kukenal dan kuberi upeti… Berhasil! Pemiliknya luluh hati menyerahkan hak guna lahan itu untuk usaha dagangku di malam hari. Terimakasih, Marinir! Peduli setan dengan kau, Haji tuan tanah!
Sekarang keramaian malam pindah ke seberang. Rejeki pindah ke warung tendaku yang baru.
58
Seperti pendapat feminis sosialis, bahwa tidak hanya kapitalisme yang
membuat perempuan menderita, tapi juga patriakhi. Jadi baik kapitalisme dan
patriakhi adalah musuh yang harus dihancurkan. Demikian juga yang terjadi pada
perempuan dalam cerpen ini. Pak Haji kedua menjadi cerminan sosok patriakhi,
yang menghalangi kesempatan bekerja bagi perempuan ini. Hal itu dilakukannya
karena perempuan ini dianggap sebagai perempuan yang tidak baik ‘pelacur’ atau
pekerja malam.
Tampak kepasrahan muncul dalam sikap perempuan ini. Sikap pasrah
perempuan ini bisa disebut kepasrahan positif (adversity quotion), yaitu
kemampuan seseorang untuk menghadapi kesulitan hidup dengan tetap
melakukan hal positif. Sikap pasrah menjadi negatif saat diekspresikan berlebihan
dengan malas berusaha, bekerja dan berpikir. Kemalasan bukan kepasrahan
(Roqib, 2007:178). Dia menunjukan buah dari perjuangannya. Hingga di akhir
cerita dapat diketahui bagaimana perempuan ini berhasil mendapatkan tempat
yang baru.
Bila pada cerpen sebelumnya, ideologi patriakhi masih tampil, dalam cerpen
keempat ini berhasil menampilkan ideologi feminisme sosialis. Kode-kode
representasi yang dilakukan melalui penempatan perempuan sebagai subjek
pencerita dan pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil
menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan
perjuangan perempuan. Komunikator dalam hal ini berhasil merepresentasikan
dirinya sebagai feminis sosialis.
Tabel 5.4.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Kekuatanku’
Pertama Realitas
Peristiwa dihalanginya kesempatan bekerja ditandakan
melalui perbedaan pendapat Pak haji bersaudara yang
diterima oleh perempuan tokoh utama dan perjuangan
“Aku putus asa dan tak peduli alasannya mengusirku secara halus. Sudahlah aku lebih baik pergi dari tempat itu, cari usaha di tempat lain.”
59
perempuan tanpa henti demi mendapat tempat bekerja.
Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan melalui sudut penceritaan
dari perempuan, sementara Pak Haji kedua sebagai objek
yang diceritakan. Penindasan dan perjuangan yang
dialami perempuan kemudian diceritakan sendiri oleh
dirinya, membuat realitas ini tampil utuh dan apa adanya.
Penempatan pembaca sebagai tokoh perempuan juga
kian membuat maksud penceritaan ini tersampaikan.
Ketiga Ideologi
Kode-kode representasi yang dilakukan melalui
penempatan perempuan sebagai subjek pencerita dan
pembaca yang ditempatkan sebagai tokoh perempuan,
berhasil menyajikan realitas yang utuh dan apa adanya
mengenai penindasan dan perjuangan perempuan.
Ideologi yang muncul adalah feminisme sosialis.
5.5. CERPEN 5
5.5.1. Sinopsis Cerpen 5: “Cermin Peninggalan”
Cermin Peninggalan menceritakan kisah seorang perempuan tua yang akan
menutup usianya. Menjelang kematiannya, dia merindukan kehadiran dan
perjumpaan dengan anak perempuan yang justru satu-satunya, bukan anak
lelakinya yang banyak.
Kedekatan dengan anak perempuannya membuat ibu ini sering mengingat
dan merindukan anak perempuannya yang kini telah merantau dan menjadi
pendeta. Selain karena kedekatan, kebanggaan akan anak perempuannya membuat
kerinduan ibu ini kian bertambah. Bangga karena satu anak perempuan inilah
yang tetap berpegang teguh pada iman yang diajarkan dan diwariskan suaminya.
Bahkan ia satu-satunya anak perempuan yang justru menjadi pemimpin iman,
tidak seperti anak –anak lelakinya.
60
Di akhir cerita, dikisahkan secara singkat bagaimana kematian perempuan
ini membawanya pada pertemuan dengan suaminya. Kerinduan dan pertemuan
dengan anak perempuannya tidak lagi menjadi masalah, karena ia telah bertemu
dengan suaminya, sosok yang dicerminkan oleh anak perempuannya.
5.5.2. Interpretasi Cerpen “Cermin Peninggalan”
Cerita pendek tersebut di atas ingin mengisahkan perempuan tua yang
rindu bertemu dengan anak perempuan satu-satunya. Kedekatan yang lebih intens
semenjak kecil, membuat perempuan tua ini lebih rindu dengan anak
perempuannya dibanding dengan anak-anak lelakinya.
Sejak kanak-kanak hingga dewasa, anak perempuan ini lebih sering
berinteraksi dengan ibunya, sebagai sesama perempuan. Bisa terjadi demikian
karena dari masa dikandung, dilahirkan dan dirawat, semua dilakukan oleh ibu.
Secara psikologi hal ini tentu mempengaruhi kedekatan dengan ibu. Bahkan
sejumlah ahli pun mengatakan bahwa hubungan ibu dan anak perempuan
cenderung memiliki suatu kedekatan khusus, suatu hubungan yang paling dekat
dan paling penting dalam interaksi dengan keluarga. Menurut Psikolog, Lesley
Miles, sang ibu terkadang memiliki kesulitan untuk membedakan apa yang harus
dilakukannya untuk anak laki-laki dan perempuannya. Biasanya hubungan ibu dan
anak perempuan bisa saling mengidentifikasi secara kuat dengan menjadikannya
inspirasi satu sama lain, dan hubungan ini lebih sering diisi dengan ikatan
emosional yang lebih dalam. Proximity dan kesamaan yang terjadi pada keduanya
jelas memperkuat interaksi dan komunikasi bagi keduanya.
Selain karena kedekatan yang telah terjalin lama, kebanggaan pada anak
putrinya ini kian membuat perempuan tua ini begitu merindukan anak perempuan.
Dulu ia dengan tubuhnya yang telah mendewasa masih saja tidur seranjang denganku. ‘Anakku… semenjak kulahirkan, kau tidak pernah jauh dariku. Pasti kau sangat mengenal aku.’
61
Karena dari beberapa anaknya, hanya dialah satu-satunya yang berpegang
teguh pada imannya dan bahkan menjadi pemimpin sebuah agama. Bila dirunut
dari sejarah agama dunia, perempuan yang menjadi pemimpin agama terjadi
dalam sejarah Kristen. Perempuan memainkan peran kepemimpinan dalam
komunitas Kristiani. Suatu kemajuan yang dialami perempuan. Hal ini pula yang
membuat perempuan tua begitu bangga dan rindu kepada anak perempuannya.
Detail penceritaan cerpen ini disampaikan oleh perempuan tua, maka
subjek pencerita dalam cerpen ini adalah perempuan tua tersebut. Dari awal
penceritaan, perempuan tualah yang menceritakan bagaimana kisah hidup
pribadinya. Hingga akhir cerita semua diceritakan oleh perempuan tua ini.
Beberapa cuplikan berikut menjadi bukti bagaimana perempuan ini menjadi
pencerita.
Sebagai subjek cerita, dia mendapat tempat leluasa untuk menceritakan
kisah tentang anak perempuannya dengan ia mengenang suaminya, kebanggaan
"Anehnya,suamiku,,, aku merasa dekat denganmu bukan karena teringat anak-anak lelaki kita yang begitu banyak. Akan tetapi oleh karena mengingat ia, satu-satunya anak perempuan kita. Tahukah kau, suamiku, mengapa? Mengapa demikian? "Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami. Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat.
"Aku adalah perempuan muda, yang suka berjalan kaki menyusuri jalan demi jalan, dari kampung ke kampung, desa ke desa. Dipunggungku keranjang berisi sayu-mayur, kebaya dan kain panjang menutup tubuhku serta kain panjang pengikat panjang. "Hari demi hari begitu… Hingga ia menjadi ayah anak-anakku, hingga anak paling bungsu, anak perempuan kami satu-satunya, yang mengingatkanku padanya, satu-satunya lelaki suamiku yang kini telah menjadi tanah… meninggalkanku sudah begitu lama, ketika anak perempuanku masih bersamaku di rumah peninggalannya ini.
“Aku kadang merasa kosong karenanya suamiku… suamiku. Namun aku tiba-tiba merasa terisi”
62
pada anak perempuannya serta kerinduannya karena anak perempuannya ini
cerminan.
Sementara objek dalam cerita ini adalah anak perempuan. Gaya bercerita
monolog oleh perempuan tua, tidak memberikan tempat bagi objek untuk
mengidentifikasikan dirinya. Hal-hal mengenai dirinya disampaikan oleh subjek
cerita.
Perempuan tua, yang adalah ibu anak perempuan inilah yang memberikan
gambaran pada pembaca tentang anak perempuannya. Gambaran satu-satunya
anak perempuan yang berbeda dengan saudara-saudaranya.
Dalam pembacaan cerita pendek ini dapat diketahui bahwa Yonathan
Rahardjo sebagai pengarang menempatkan pembacanya sebagai tokoh perempuan
tua ini. Detail penceritaan yang disampaikan oleh perempuan tua ini mengenai
kerinduan dan kebanggaan pada anak perempuannya membawa pembaca untuk
turut merasakan perasaan rindu dan bungah yang dialami perempuan tua ini.
Melalui hal inilah apa yang dimaksud oleh pengarang diharapkan sampai pada
pemahaman pembaca. Yaitu bahwa meskipun hanya seorang anak perempuan dan
satu-satunya terbukti memberikan kebanggaan pada ibunya.
5.5.3. Feminis Liberal
Kebanggan perempuan tua terhadap anak perempuannya memang patut
diapresiasi. Karena apa yang dicapai anak perempuan ini merupakan salah satu
bukti sebuah kebangkitan bagi sejarah gereja dunia. Pada saat sebagian besar
"Ya betul suamiku… Sebab dialah satu-satunya anak kita yang lebih dari berpegang teguh pada keimanan yang telah kau bimbingkan kepada kami, keluargamu. Keimanan yang kamu pegang hingga kepergianmu meninggalkan kami.
“Dan kini ia satu-satunya anak perempuan kita, justru telah menjadi pemimpin iman bagi umat.” “Tidak seperti rata-rata anak-anak lelaki kita, anak perempuan kita memang lain.” “Ya suamiku, aku sungguh rindu padanya. Suamiku. ”Maka biarkan aku memelukmu dan kau memelukku.”
63
tradisi agama dunia memberikan peran sekunder dan subordinat, sejarah Kristen
memberikan peran kepemimpinan komunitasnya bagi perempuan.
Gelombang tuntutan terhadap penahbisan perempuan Kristen yang
berembus kencang sejak paro pertama abad ke-20, dan mencapai hasilnya ketika
Gereja-Gereja Protestan dan Presbyterian mulai menahbiskan perempuan sejak
1970-an. Luther, sebagai pelopor hal ini menyatakan “tetapi imam-imam itu
merupakan pelayan yang dipilih diantara kira, yang melakukan segala sesuatu aras
nama kita” Dengan menekankan ungkapan “dipilih dari antara kira, Luther
bermaksud mengatakan secara tidak langsung bahwa pandangan hierarkis
tradisional tentang gereja harus ditinggalkan. Semua orang Kristen adalah imam,
semua perempuan adalah imam perempuan, muda atau tua, tuan atau budak,
nyonya atau pembantu, terpelajar atau tidak. Disini tidak ada perbedaan (Urban,
2006:441).
Pandangan Luther pun kian kuat dipengaruh oleh Concordet, seorang
humanis Prancis, menunjukan bahwa perempuan seperti laki-laki adalah makhluk
dengan ketajaman perasaan, akal budi dan moral. Concordet menambahkan
dengan memiliki kualitas-kualitas yang sama, tentu perempuan memiliki hak-hak
yang sama. Tak satu individu pun di antara umat manusia yang mempunyai hak-
hak yang ia miliki sejak awal, semua orang memiliki hak yang sama ; dan
barangsiapa memilih untuk melawan hak-hak orang lain, apapun agama, warna
kulit atau jenis kelaminnya, mulai sekarang telah menyangkali haknya sendiri.
(Urban, 2006: 488).
Sepakat dengan gerakan liberal ini, kaum feminis Kristen pun meneliti
kembali ayat alkitab mereka dan tiba pada kesimpulan bahwa tradisi dan sejarah
telah menumbangkan potensi perempuan dan menggunakan agama untuk
menekan perempuan, mereka menemukan fakta bahwa agamanya menawarkan
kemungkinan pembebasan dan perbaikan dalam posisi perempuan (Mosse, 2007:
85-86). Surat Rasul Paulus menjadi landasan gerakan mereka. Paulus dan penulis
surat Timotius pertama melarang perempuan untuk berbicara dalam gereja.
Namun situasinya lebih kabur daripada yang ditampakkan oleh rujukan-rujukan
alkitabiah ini. Awalnya dalam surat Korintus yang Pertama pasal 11:4-5 Paulus
64
mengomentari apa yang jelas merupakan praktik dari gereja di Korintus mengenai
perempuan yang berdoa dan bernubuat dalam pelayanan ibadah. Ia tidak
mengkritik perempuan oleh karena praktik ini, tetapi semata-mata karena tidak
memakai kerudung ketika mereka melakukanya. Kemudian dalam surat Galatia,
Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus, “tidak ada orang Yahudi atau orang
Yunani, tida ada hamba orang mereka, tidak ada laki-laki atau perempuan. Paulus
muncul sebagai figur yang sangat penting dalam transisi ini.
Kemajuan yang luar biasa ini memang patut menjadi kebanggaan.
Terutama bagi seorang ibu terhadap anaknya sendiri. Kebanggaan dan kerinduan
ibu terhadap anak perempuan satu-satunya ditandakan dengan menempatkan ibu
sebagai pencerita, tentu hal ini tepat dilakukan. Sehingga realitas yang dihadirkan
kembali pun apa adanya, karena penceritaan dilakukan melalui suara tokoh yang
mengalami. Lebih jauh, hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang
nampakknya pengarang dalam cerpen ini kembali menampilkan gagasan
feminismenya. Ia tampil sebagai seorang pengarang feminis dengan aliran liberal.
Tabel 5.5.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Cermin Peninggalan’
Pertama Realitas
Kebanggaan dan kerinduan ibu terhadap anak perempuan
satu-satunya ditandakan melalui monolog yang dilakukan
ibu. Mulai dari kehidupan masa mudanya, pernikahan
dan kekosongannya, hingga dirinya kembali terisi akibat
kenangannya bersama anak perempuan yang
dirindukannya—semua dipaparkan oleh tokoh ibu.
Kedua Representasi
Realitas yang diceritakan secara monolog oleh ibu,
menjadikan dirinya sebagai pencerita, sedang anak
perempuannya sebagai objek yang diceritakan. Realitas
yang dihadirkan kembali pun apa adanya, karena
penceritaan dilakukan melalui suara tokoh yang
65
mengalami
Ketiga Ideologi
Hal tersebut memunculkan ideologi dari pengarang, yang
nampaknya pengarang dalam cerpen ini kembali
menampilkan gagasan feminismenya aliran liberal.
5.6. CERPEN 6
5.6.1. Sinopsis Cerpen 6: “Rumah Warisan”
Pada saat kematian ibunya, Ragil, bungsu yang merupakan anak
perempuan satunya-satunya, tidak mendapatkan kesempatan melepaskan ibunya
untuk terakhir kali. Kakak-kakaknya ingin segera memakamkan karena menuruti
adat kebiasaan yang mereka kenal, padahal menurut keimanan, pemakaman
ibunya tidak harus dilangsungkan segera.
Meskipun demikian, Ragil mendapat kesempatan lain yaitu mengalami
pertemuan dengan ibunya melalui mimpi, dalam keadaanya yang pingsan di
pekuburan ibunya. Dalam pertemuan itu, terjadi percakapan antara Ragil dan
Ibunya, terutama mengenai tindakan saudara-saudaranya yang tidak memberikan
kesempatan Ragil untuk melihat ibunya terakhir kali.
Puncak masalah dalam cerpen ini adalah dalam waktu tengah berduka itu,
kakak-kakak Ragil memulai pembicaraan rumah warisan bapak dan ibu. Ragil
yang merasa kesal, memprotes dan coba menghentikan kakaknya untuk tidak
membahas itu. Tapi kakaknya justru kian berceloteh. Bentuk respon Ragil adalah
diam dan dia tidak pernah datang mengunjungi rumah orang tuanya itu.
Sementara kakaknya mendapat cibiran dari masyarakat.
5.6.2. Interpretasi Cerpen “Rumah Warisan”
Cerpen ini nampak seperti sekuel dari cerpen sebelumnya yaitu ‘Cermin
Peninggalan’. Diletakkan pada halaman setelah cerpen ‘Cermin Peninggalan’,
membuat pembaca tetap terjaga pada kasus dan situasi yang hampir sama. Hanya
saja, pada cerpen ‘Rumah Warisan’ ini, pengarang telah menamai anak
66
perempuan, dengan nama Ragil. ‘Rumah Warisan’ berkisah mengenai kakak
beradik yang baru saja ditinggal mati ibunya memperdebatkan rumah warisan
milik orang tua mereka.
Masa duka dipandang sebagai waktu tidak tepat untuk membahas
pembagian rumah warisan, sebuah ketidaketisan dalam cerpen ini, adalah poin
yang ingin dimaksudkan oleh pengarang. Hal ini disampaikan melalui sosok Ragil
yang menentang kakak-kakaknya. Dapat diketahui bahwa subjek pencerita dalam
cerpen ini adalah Ragil. Sementara objeknya adalah kakak-kakak lelaki Ragil.
Dalam cerpen ini, subjek dan objek diberikan porsi yang sama untuk
menyatakan pandangannya mengenai rumah warisan. Yang menjadi berbeda
adalah pendapat dan pandangan siapa yang menang dalam cerita ini dan siapa
yang dikucilkan
Sebagai subjek, kehadiran dan pendapat Ragil tidak mendapat perhatian
saudara-saudaranya. Ragil dikucilkan dalam diskusi keluarga itu. Pendapat Ragil
yang dikatakan lebih bijaksana, karena ia memahami nilai-nilai sosial dalam
masyarakatnya, sebenarnya bukan hendak memuji Ragil, tapi justru
"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam. "Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis........ "
“Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam,” tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras. “Apa maksudmu Tri?” “Kita masih dalam suasana duka” …….. “Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini.”
67
menyindir Ragil untuk tidak terlalu ketat terhadap nilai-nilai tersebut. Hal ini
terbukti dari pendapat kakak-kakaknya.
Tidak hanya dikucilkan, dari awal penceritaan, sebelum perdebatan
mengenai rumah warisan, pengarang memperlihatkan kepada pembaca bagaimana
kakak-kakak Ragil memperlakukan Ragil secara berbeda.
Selain tidak jujur pada Ragil, mereka juga menguburkan ibunya berdasar
atas adat kebiasaan yang mereka anut, bukan iman keyakinan mereka. Tampak
diabaikannya posisi Ragil sebagai pemimpin agama. Dasar dari perlakuan yang
dialami Ragil ini adalah karena dia anak bungsu, perempuan pula.
Walaupun dikucilkan, Ragil bukanlah seorang yang kalah. Objek yang
diceritakan, mereka lelaki kuat dan kakak-kakak yang penuh kuasa, namun di
akhir cerita mereka mengalami kekalahan. Suatu kekalahan besar, bukan kalah
karena harta, tapi kehilangan reputasi baik di mata masyarakat. Hal ini karena
dalam berpikir logis, seringkali mereka mengabaikan nilai-nilai sosial yang
berlaku dalam masyarakat.
"Catur sebentar lagi tiba." "Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan. "Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."
"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang." "Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya diiringi doa-doa penghiburan dan baru dimakamkan esok ahrinya, ketika aku sudah pasti tiba?" "Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal.
Sejak saat itu, sekembalinya ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur tersekat tenggorokannya. Tri yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
68
Hasil akhir ini ditampilkan oleh pengarang, agar pembaca menilai sendiri
seperti apa sebenarnya kakak-kakaknya yang laki-laki ini memperlakukan adik
bungsunya, yang adalah perempuan beserta akibat yang diterima. Pengarang
menempatkan pembaca sebagai pihak yang pro dengan Ragil.
Selain itu, cuplikan narasi ini semakin memperkuat pemosisian pembaca
sebagai Ragil. Posisi pengarang sebagai narator memperlihatkan posisinya yang
cenderung mendukung Ragil. Pembaca tidak hanya diajak untuk merasakan
perlakuan yang tidak adil yang dialami Ragil, tetapi pengarang sebagai narrator
juga mengajak pembaca untuk tidak ragu mendukung Ragil lewat apa yang
disampaikan narrator.
5.6.3. Feminis Liberal
Gambaran perempuan ditampilkan kontras dalam cerpen ini. Ragil,
sebagai perempuan pemimpin umat, tidak mendapat tempat dalam keluarganya.
Dia tidak diberi kesempatan oleh saudara-saudaranya untuk mengantarkan
pengkuburan ibunya.
Tidak hanya itu, dalam perdebatan mengenai rumah warisan pun, pendapat
Ragil diabaikan. Posisinya sebagai pendeta, justru dijadikan alasan oleh kakak-
kakaknya untuk menyangkal pendapat Ragil dalam pembicaraan rumah warisan.
Menjadi bungsu dan seorang perempuan memang membuat pendapat Ragil tidak
dihargai dan dikucilkan. Di Asia, perempuan umumnya dilihat sebagai pelengkap
laki-laki dan dihormati sebagai ibu. Perempuan kurang berhak atas warisan dan
kedudukan sangat lemah (Frommel, 2006:19).
Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orangtua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi mengapa harus ada perasaan aneh itu?
"Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis........ "
69
Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa laki-laki dalam
cerpen ini adalah sosok yang ‘mau gampangnya’ yang selalu mengandalkan
pikiran logis. Berkumpulnya semua keluarga adalah pilihan waktu yang masuk
akal untuk membicarakan rumah warisan, faktanya kedua orang tua pun telah
meninggal, siapa yang akan menempati dan memilikinya. Sementara Ragil
ditampilkan sebagai anak yang sayang orang tuanya. Bagi Ragil persaudaraan
harus tetap dipertahankan tanpa berebut soal warisan. Bahwa di sini kembali
diungkapan bahwa perempuan lebih memakai perasan dan menghayati suatu
kehidupan, menghayati mengenai bagaimana hubungan mereka dengan yang lain.
Walaupun ditemukan stereotip gender bahwa pria cenderung berpikir logis
perempuan menggunakan perasaannya. Akan tetapi dalam cerpen ini ditemukan
hal yang berbeda, sejurus dengan pandangan feminis liberal, pengarang ingin
menunjukan bahwa setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak
secara rasional, begitu pula pada perempuan. Jika perempuan mendapat
pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu bersikap seperti lak-laki.
Ragil, sebagai pendeta, ia adalah seorang intelektual dan spiritualis, apa yang
dilakukan perempuan sebenarnya bukan hanya karena dia menggunakan perasaan,
tapi karena kesadarannya akan realita dalam masyarakat, norma yang berlaku
yang harus dipatuhi sehingga tidak membuat keluarga ini dikucilkan oleh
lingkungan sosial. Karena di akhir cerita, ditunjukan akibat atas ketidakpedulian
kakak-kakaknya, yang hanya mengandalkan kelogisan pikiran, tanpa
memerhatikan norma sosial.
"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam.
Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan ponco tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah menanggung cibiran dan sorotan mata menghinda dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga. “Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan…” celoteh mereka.
70
Perempuan dalam cerpen ini meskipun tidak mendapat tempat dalam
keluarganya, namun ia tampil sebagai seorang perempuan yang memiliki
kedudukan tinggi sebagai pendeta dan berani berpendapat. Kekesalan terhadap
sikap saudara-saudaranya pun membuatnya bertindak tegas dengan tidak pernah
kembali ke rumah warisan orang tuanya.
Penempatan Ragil sebagai subjek mengandung muatan ideologis tertentu.
Meski ditulis oleh laki-laki, tapi pengarang justru mengangkat realitas ini dengan
sudut penceritaan Ragil. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat
atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Karena dominasi kakak-kakak itu tidak
menghargai Ragil, sebagai saudara kandungnya. Dan dibalik alasan logis kakak-
kakak memperebutkan rumah warisan, pengarang melihat hal ini adalah
ketidaketisan. Atas alasan itu, maka pengarang menampilkan dampak dari
perbuatan kakak-kakak Ragil.
Tabel 5.6.3
Represetasi Feminis dalam Cerpen ‘Rumah Warisan’
Pertama Realitas
Perdebatan rumah warisan antar saudara ditandakan
melalui dialog antar saudara. Realitas ini menampilkan
sosok Ragil yang tidak dihargai dan dikucilkan oleh
saudaranya yang semua laki-laki. Namun kekalahan
justru terjadi di pihak kakak-kakaknya.
Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Ragil
sebagai subjek pencerita. Dan kakak-kakak Ragil sebagai
objek yang diceritakan
Ketiga Ideologi
Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Kelelakian
pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas
dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Bukan karena Ragil
71
terlalu berperasaan, tapi kemampuan intelektual dan
spiritual Ragil justru lebih jeli melihat norma sosial di
masyarakat dibanding kakak-kakaknya. Sehingga dapat
diketahui ideologi pengarang mencerminkan pandangan
feminis liberal.
5.7. CERPEN 7
5.7.1. Sinopsis Cerpen 7: “Ingat Pesan Sarni”
Kisah perjuangan Tiyan yang bertahan dari tekanan paman-pamannya
demi memperjuangkan haknya untuk tinggal di rumah warisan kakeknya.
Sepeninggalan ayahnya, Tiyan tidak lagi mendapat tempat dalam silsilah keluarga
ayahnya. Sarni, Bude Tiyan lah yang banyak membantu Tiyan, memberikan
semangat kepada Tiyan dan melakukan pembelaan kepada paman-paman Tiyan
yang bersikap penuh kuasa kepada Tiyan.
Tiyan banyak mendapat tekanan dari paman-pamannya. Paman Patmo
sering membawa istri simpanannya ke rumah Tiyan. Ia menekan Tiyan untuk
tidak melaporkan itu pada Ina, istri Patmo. Namun hal ini kemudian diketahui
oleh Ina, dan yang disalahkan justru Tiyan, karena dituduh menyembunyikan hal
ini. Tekanan yang lain juga datang dari Paman Winar, yang merusak lantai masih
basah dengan memasukan drum minyak tanahnya.
Merasa memiliki hak yang sama atas rumah tersebut, Tiyan yang kesal,
memprotes pamannya. Tetapi ancaman agar Tiyan segera meninggalkan rumah
tersebut kerap datang dari Paman Suko, yang justru sudah punya beberapa rumah
besar. Tiyan tetap diam dan tidak mencipta masalah, karena saudara-saudaranya
tersebut pasti memiliki banyak alasan untuk membuat Tiyan meninggalkan rumah
itu. Tapi Tiyan tidak berhenti berjuang, ia tetap ingat pesan Sarni untuk
memperjuangkan hak yang sama atas rumah itu.
72
5.7.2. Interpretasi Cerpen “Ingat Pesan Sarni”
Topik yang diangkat dalam cerpen ketujuh ini tidak jauh berbeda dengan
cerpen keenam, masih terkait dengan permasalahan rumah warisan. Yang menjadi
berbeda adalah dalam cerpen ini, adalah tekanan yang dialami Tiyan atas rumah
kakek yang ditempatinya. Kematian ayahnya, membuat posisi Tiyan lemah di
hadapan paman-pamannya, padahal Tiyan pun memiliki hak atas rumah tersebut.
‘Ingat Pesan Sarni’ menyiratkan perjuangan perempuan untuk
mendapatkan haknya atas rumah warisan keluarga besarnya. Salah satu yang
membuat dia bertahan dari tekanan-tekanan pamannya adalah dukungan dan
pesan dari budenya, Sarni.
Dalam cerpen ini dapat diketahui bahwa pengarang adalah
narrator the
third person omniscient, pengarang hadir dalam cerita yang dibuatnya sebagai
pelaku ketiga yang serba tahu. Dalam hal ini pengarang masih mungkin
menyebutkan namanya sendiri, seperti saya atau aku.
Tidak hanya sebagai narrator, pengarang juga menempatkan dirinya
sebagai sosok Tiyan. Kecenderungan pengarang terhadap tokoh Tiyan akhirnya
menempatkan perempuan ini sebagai subjek pencerita sementara paman-paman
Tiyan sebagai objek yang diceritakan. Sebagai subjek cerita, Tiyan menceritakan
Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal.
Tiyan yang tidak punya rumah sendiri, menempati rumah warisan kakek itu dengan duka. "Kamu harus membangun kamar mandi sebagai ganti pembayaran kontrak rumah ini," perintah saudara ayahnya lagi.. "Kamu harus membayar pajak atas rumah ini," ujar mereka.
Tiyan bernadzar, "Aku tidak mau Bude meninggal. Bude harus hidup dan sembuh. Meski Bude sakit-sakitan memkai kursi roda, Bude harus hidup dan menjadi orang pertama yang duduk di rumah baruku jika aku punya nanti." Bude Sarni, bagi Tiyan adalah pembela hidupnya. Tiyan yang tinggal di rumah warisan kakeknya, Mbah Karso, mendapat tekanan dari paman-pamannya sejak ayahnya meninggal.
73
kepada pembaca bagaimana sosok dirinya yang lemah dan tidak berdaya harus
berjuang dan bertahan dari tekanan paman-pamannya.
Agar perjuangan Tiyan dan penindasan yang dialaminya menyentuh
afektif pembaca, di dalam narasi cerita, pengarang, sebagai narrator membawa
pembaca untuk fokus pada sosok Tiyan melalui ditunjukannya gambaran paman-
pamannya yang berkuasa. Pengarang ingin mengajak pembaca bersama-sama
melihat dan juga bersimpati mendukung tokoh Tiyan yang mendapat tekanan dari
paman-pamannya.
Pihak otoriter menekan yang lemah memang kerap tampil dalam teks-teks.
Tema-tema semacam ini memang menjadi suatu hal yang menarik. Pembaca
seolah diajak untuk merefleksikan bagaimana pihak yang berkuasa ini cenderung
menggunakan kekuasaannya dengan semena-mena. Sementara mereka yang
ditindas adalah mereka yang lemah tidak berdaya. Ini terjadi pula dalam cerpen
‘Ingat Pesan Sarni’. Pengarang ingin pembacanya tidak menutup mata terhadap
mereka yang lemah dan kritis terhadap pemilik kekuasaan.
Dengan posisi Tiyan yang lemah karena tidak ada ayah pelindungnya, terhadap Patmo ini pun Tiyan tidak berkuasa menolak kehadiran mereka …… Suami yang berselingkuh itu menekan Tiyan, "Awas kalau kamu laporkan Mbak Ina, kalian harus angkat kaki dari rumah ini!" Tiyan merasa, “Aku tidak mampu menolak kehadiran mereka karena De Patmo-lah yang merasa lebih berhak atas rumah ini daripada aku.” "Jangan macam-macam, kamu. Kulaporkan Lik Suko, nanti kamu diusir! ketus Winar. Selalu disebut-sebut untuk mengusir Tiyan adalah Suko, saudara paman-paman itu dan saudara almarhum ayah Tiyan yang paling kaya, yang punya rumah besar-besar.
“Rumah dan tanah ini akan kuagrariakan. Separuh akan kujual dan separuh akan kuberikan Tiyan!”kata Suko, adik Parto, almarhum ayah Tiyan. “Lha Tiyan, Eyi, Kerti dan Diman bagaimana?” “Biar mereka keluar dari rumah ini,”jawab Suko tanpa perasaan.
74
Walaupun gambaran perempuan dalam tokoh ini masih seperti stereotip
perempuan yang lemah dan tidak berdaya, namun di akhir cerita, pengarang
menunjukan kepada pembaca tentang kekuatan dari perempuan ini.
Dalam menghadapi tekanan tersebut, pertahanan yang dilakukan Tiyan
adalah mengingat pesan dari bude-nya dengan diam, tidak membuat masalah
namun tetap menjaga apa yang menjadi hak nya. Inilah kekuatan yang pengarang
tampilkan akan sosok perempuan dalam cerpen ini. Karena di tengah
perjuangannya, Bude Sarni kemudian meninggal dunia, tapi Tiyan tetap
bersemangat untuk memperjuangkan haknya.
Akhir dari cerpen ini adalah open ended, hasil perjuangan Tiyan belum
nampak. Yang hadir dalam kesimpulan adalah Tiyan yang tetap bersemangat
untuk berjuang. Berbeda dengan cerpen ke-4 ‘Kekuatanku, yang mana perempuan
berhasil atas perjuangannya, dan juga cerpen ke-6 yang berakhir dengan rusaknya
nama baik dari kakak-kakak Ragil.
5.7.3. Feminis Sosialis
Dalam cerita ini, Tiyan mengalami penindasan tidak hanya karena dominasi
kekuasaan pamannya, tetapi juga karena tidak adanya sosok bapak, yang
mendukungnya. Kehadiran bapaknya menandakan kekuatan patriaki, yang dalam
hal ini tidak lagi dimiliki oleh Tiyan. Ini pula yang semakin membuatnya ditindas
dan tidak dihargai. Tidak hanya mereka yang berkuasa yang memiliki modal,
yang melakukan penindasaan kepada Tiyan.
Dukungan ayahnya sebagai simbol kekuatan patriaki sebenarnya yang
menjadi poin utama penyebab Tiyan ditindas. Seperti apa yang dikatakan oleh
feminis sosialis, kapitalisme bukanlah satu-satunya penyebab utama
keterbelakangan perempuan. Karena perempuan di negara sosialis mandiri dan
Seminggu setelah kepergian Sarni ke alam baka, yang dianggap tradisi sebagai waktu lewatnya masa berkabung 7 hari, pilar-pilar warung yang dibangun Diman, suami Tiyan sudah berisi barang-barang dagangan. Dengan bersemangat Tiyan mengingat pesan almarhumah Sarni untuk menjaga hak asainya yang dalam kepungan ancaman meski oleh darah daging sendiri.
75
berdaya saing. Namun di negara ini, yang tetap menimbulkan penindasan karena
tetap berada dalam genggaman patriaki. Feminis sosialis melihat keadaan
penindasan perempuan dibentuk dan pertahankan oleh struktur sosial dalam
masyarakat. Agenda dari aliran ini adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriaki. Aliran ini menekankan bahwa feminis seharusnya juga melihat posisi
perempuan dalam keluarga, di tempat kerja, peran reproduksi dan seksual
perempuan serta peran produktif perempuan.
Dalam cerpen ini, perjuangan yang tampak dari penindasaan yang terjadi
adalah Tiyan memahami betul apa yang menjadi haknya. Meskipun ini atas
dukungan dari Bude-nya Sarni. Tapi, apalah artinya dukungan eksternal, tanpa
motivasi yang kuat dari dalam diri sendiri. Perjuangan dari penindasaan ini
sepenuhnya bergantung pada Tiyan. Upaya yang dilakukan Tiyan adalah terus
memperjuangkan haknya kala keadaan tetap menekannya. Penderitaan dan
perjuangan yang dilakukan Tiyan mencerminkan perjuangan dari kaum feminis
sosialis.
Realitas yang dihadirkan kembali melalui penempatan Tiyan sebagai
pencerita dalam cerpen ini menghasilkan realitas yang tampil apa adanya. Dengan
diceritakan langsung oleh korbannya menyajikan fakta yang utuh atau tidak ada
bagian yang dihilangkan. Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan
kepeduliannya terhadap mereka yang dihilangkan haknya, terutama perempuan
yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya sehingga menjadi korban kekuasaan.
Dengan memaparkan perjuangan dan karakter Tiyan yang tak kenal menyerah
adalah bukti apresiasi pengarang pada pejuang hak tersebut.
Tabel 5.7.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Ingat Pesan Sarni’
Pertama Realitas
‘Ingat Pesan Sarni’ menyiratkan perjuangan perempuan
untuk mendapatkan haknya atas rumah warisan keluarga
besarnya. Realitas ini ditandakan melalui dialog dengan
para tokoh dan pemaparan dari Tiyan sendiri sebagai
korban dalam permasalahan rumah warisan.
76
Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Tiyan
sebagai subjek pencerita. Dan paman-pamannya sebagai
objek yang diceritakan. Realitas memperjuangkan hak
atas rumah warisan yang diceritakan langsung oleh
korbannya, menjadikan realitas tersebut tampil apa
adanya. Artinya, tidak ada bagian yang dihilangkan
dalam proses menghadirkan kembali realitas ini kepada
khalayak.
Ketiga Ideologi
Representasi perjuangan hak atas rumah warisan tersebut
mencerminkan pemikiran feminis sosialis dari
pengarang. Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan
kepeduliannya terhadap mereka yang dihilangkan
haknya, terutama perempuan yang kerap kali dianggap
lemah tak berdaya sehingga menjadi korban kekuasaan.
Dengan memaparkan perjuangan dan karakter Tiyan
yang tak kenal menyerah adalah bukti apresiasi
pengarang pada pejuang hak tersebut.
5.8. CERPEN 8
5.8.1. Sinopsis Cerpen 8 “Tetangga Nenek”
Cerita seorang perempuan paruh baya yang digambarkan setia
mendampingi suaminya yang telah lama terbaring sakit. Merawat, melayani dan
mendampingi suaminya menurut perempuan ini adalah wujud kesetiaan dan
pengabdian dia pada suaminya. ”Kalau bukan istri yang setia, tak bakalan aku
melakukan ini semua.”
Cerita kehidupannya bersama suaminya itu, ia ceritakan kepada tamu yang
datang menghantar bingkisan. Perempuan ini menceritakan kepada tamunya
bagaimana dulu suaminya yang gagah perkasa bertugas sebagai tentara, dan
77
kebanggaannya sebagai istri tentara. Kini barang-barang perabotan hasil jerih
payah suaminya pada masa silam, adalah kenangan yang menemani perempuan
ini merawat suaminya. Karena tidak ada siapapun yang menemani ia merawat
suaminya. Seorang diri perempuan ini menyalin pakaian, mencuci, mengeringkan
dan memakaikan pakaian pada suaminya, menyuapi makanan, bahkan ia rela tidur
di bawah pembaringan suaminya dengan kaki menggantung dan terbenam air
banjir.
Setelah bercerita mengenai suaminya, perempuan ini kemudian ia
menceritakan kenangan tentang nenek dari tamu pengantar bingkisan itu.
Nyatanya, nenek itu telah wafat hampir dua puluh tahun.
5.8.2. Interpretasi Cerpen “Tetangga Nenek”
Cerpen ‘Tetangga Nenek’ menyuratkan sebuah pesan tentang pengorbanan
seorang istri pada suaminya yang sakit. Perempuan ini bercerita banyak tentang
bagaimana suaminya sewaktu masih sehat dan bagaimana ia merawat suaminya
kini. Pengorbanan yang ia lakukan pada suaminya benar-benar membuat
perempuan ini letih dan terkesan dia minta dikasihani.
Kesetiaannya dalam mendampingi suaminya ditampilkan sebagai suatu hal
yang seharusnya patut mendapatkan apresiasi. Jika memang menjadi seorang yang
setia adalah suatu keharusan, kenapa dia justru mengungkapkan hal ini dengan
sebuah penekanan.
"Kalau bukan istri yang setia, tak bakalan aku melakukan ini semua," ucapnya pada tamu pengantar bingkisan yang telah menyebrangi halaman tergenang air tak ubahnya danau.
Perempuan itu yang menyalin pakaian lelaki itu, mencuci, mengeringkan dan memakaikan. Ia membasahi wajah suaminya agar terasa lebih segar. Ia yang menyuapi makanan dan menegukkan ai minum. Perempuan itu juga yang rela tidur di bawah pembaringan suami, meski kadang harus berbaring dengan kaki menggantung dan terbenam air, yang menyulap ranjang mereka laksana perahu dalam rumah.
78
Perempuan ini memang nampak membutuhkan apresiasi atas pengorbanan
yang dia lakukan pada suaminya. Banyak hal ia lakukan untuk merawat suaminya
dalam waktu yang terbilang lama. Munculnya narasi kenangan kebanggaan pada
suaminya selama masih sehat itu menandakan kerinduannya di tengah
kepenatannya merawat suaminya seorang diri.
Subjek pencerita dalam cerpen ini adalah tamu yang datang mengunjungi
perempuan ini. Meskipun lebih banyak diam dan mendengarkan cerita dari tokoh
istri, tetapi di akhir cerpen dapat diketahui bahwa kesimpulan atas cerita ini
disampaikan melalui tokoh tamu.
Seperti diuraikan sebelumnya, ‘Tetangga Nenek’ dari si tamu, adalah topik
penceritaan ini. Tokoh istri dalam hal ini meskipun bercerita banyak mengenai
dirinya dan suaminya, justru dirinya adalah objek dari penceritaan ini. Dia
bukanlah pencerita. Karena bukan dirinya yang memberikan penjelasan kepada
pembaca mengenai maksud penceritaan, tetapi sang tamulah yang menjelaskan
kepada pembaca perihal tokoh istri yang berusaha mengalihkan permasalahan
hidupnya dengan bercerita tentang nenek dari tamu ini. Tidak hadirnya pendapat
sang istri dalam kesimpulan kemudian berakibat pada tidak lengkapnya informasi
yang didapat oleh pembaca. Teks cerpen ini pun tampil dengan kecenderungan
mendukung pendapat dari tokoh tamu, sebagai subjek pencerita. Penilaian atas
"Dulu Bapak gagah perkasa dan bertugas di berbagai kota sebagai tentara," kenang perempuan itu di sisi sang suami, "Aku selalu mengikuti ke manapun ia pergi. Pindah-pindah dari daerah ke daerah tempatnya bertugas."
"Dua belas tahun kami hidup seperti ini. Dua belas tahun," perkataan perempuan itu meredup. "Setiap hari akulah yang melakukan semua untuknya. Seandainya aku bukan istri yang setia…," ucapnya hendak berlinang air mata.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa, memandang sumur belakang rumah yang kondisinya sungguh jauh berbeda dengan yang dikatakan perempuan itu. Lebih-lebih , air banjir telah menelan semua yang tumbuh dan berdiri di tanah, dihadapan kami berdiri memandang ke luar pintu. Dalam kondisi banjir seluruh wilayah kota, tempat lelaki itu tergeletak ditemani istri dan dua kucingnya, makin terpencil. Nenekku sendiri sudah wafat hampir dua puluh tahun lewat…
79
objek cerita pun ditentukan oleh pencerita. Hal ini akhirnya menjadikan pembaca
memposisikan diri sebagai tamu yang datang berkunjung.
Akibat bosan merawat suaminya, tokoh istri mencari penghiburan dengan
mengalihkan pembicaraan. Kepada tamu yang datang berkunjung ia menceritakan
kenangannya bersama nenek sang tamu. Seperti coba mengalihkan perasaan sedih
dan kesepiaannya. Karena faktanya keadaan yang diceritakan oleh perempuan ini
sangat jauh berbeda, nenek dari tamu pun telah lama meninggal dunia. Hal ini
semakin memperjelas bahwa perempuan ini tidak ingin larut dalam kesedihan dan
kebosanannya. Maksud cerita ini disampaikan bukan oleh dirinya tetapi oleh tamu
yang datang berkunjung, maka pembaca pun hanya mengetahui hal ini dari sisi
sang tamu. Karena pendapat dari perempuan ini tidak hadir dalam cerpen.
Akhirnya hal ini pun menimbulkan kerancuan pada kognisi dalam
pembacaannya. Mengapa demikian? Di awal, perempuan ini panjang lebar
menceritakan kisahnya merawat suami dengan tiba-tiba ia ganti menceritakan
nenek dari tamu ini. Maksud dari peralihan pembicaraan yang dia lakukan, tidak
dia sampaikan oleh pembaca. Narasi yang hadir tidak cukup lengkap memberikan
Aku, tamu perempuan itu, memandang dia dengan heran. Perempuan itu telah bangkit, ia berjalan membelah air, menyisakan dan meninggalkan riak da gelombang kecil dalam rumah. Suaminya ditinggal sendiri di pembaringan atas. Aku terpaksa berdiri basah kaki, berjalan mengikuti… membelah air sedalam lutut kaki. Aku menyusul sampai di belakng perempuan itu, yang sudah berdiri di pintu setengah atas terbuka, memandang keluar, melintas kebun pisang dan pagar beluntas, melihat belakang rumah sebelah, yang dulu merupakan rumah tinggal nenekku, bersama kedua orangtuaku, bersama kakakku, dan aku yang masih kecil. "Lihat Nak.. Kalian sedang main di air sumur nenekmu.."
Aku tidak sanggup berkata apa-apa, memandang sumur belakang rumah yang kondisinya sungguh jauh berbeda dengan yang dikatakan perempuan itu. Lebih-lebih , air banjir telah menelan semua yang tumbuh dan berdiri di tanah, dihadapan kami berdiri memandang ke luar pintu. Dalam kondisi banjir seluruh wilayah kota, tempat lelaki itu tergeletak ditemani istri dan dua kucingnya, makin terpencil. Nenekku sendiri sudah wafat hampir dua puluh tahun lewat…
80
informasi kepada pembaca. Justru sang tamu yang kemudian menyampaikan hal
tersebut kepada pembaca. Akibatnya, pembaca hanya mendapat informasi dari
satu sisi saja.
5.8.3. Ideologi Familialisme
Cerpen ‘Tetangga Nenek’ mengisahkan cerita perempuan yang merasa
tertekan dan bosan terus menerus merawat suaminya. Penekanan menjadi istri
yang setia menunjukan bahwa perempuan ini membutuhkan apresiasi atas
pekerjaan yang ia lakukan seorang diri. Hal ini wajar sekali, karena pelayanan 24
jam untuk suaminya tentu membuatnya letih dan bosan. Akan tetapi penempatan
tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan ideologi familialisme, yang justru
kian menyudutkan posisi perempuan.
Ideologi familialisme atau kekeluargaan adalah ideologi yang
mengkonstruksi perempuan berperan di rumah tangga sebagai ibu rumah tangga,
istri dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus mendampingi
suami untuk mencapai cita-cita hidup. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam
bersikap maupun bertingkah laku, sehingga akan selalu disayangi suaminya.
Lebih lanjut, Abdullah (1997 dalam Sastriyani, 2009: 482) menyatakan peran
perempuan sebagai istri dan ibu sangat dominan, hal ini tidak saja didefinisikan
oleh laki-laki tetapi juga oleh perempuan. Ideologi familialisme yang direproduksi
dalam berbagai bentuk diskursus telah menjadi kekuatan penting dalam
menyadarkan peran domestik perempuan.
Kesetiaan seharusnya memanglah hal yang harus dilakukan baik oleh istri
maupun suami. Menurut ideologi ini menjadi setia adalah kecenderungan di pihak
istri, karena sangat tabu kalau istri melanggar kesetiaan pernikahan. Istri yang
baik, harus mendampingi suaminya dalam berbagai keadaan. Tidak demikian
dengan lelaki. Menurut Beauvoir, laki-laki dapat menguasai perempuan dengan
menciptakan mitos bahwa perempuan yang dipuja laki-laki adalah perempuan
yang mau mengorbankan dirinya untuk laki-laki. Dalam konteks cerpen ini,
pengarang ingin menyampaikan bahwa tak perlulah perempuan mengasihani diri
81
sendiri dan memberi penekanan pada kesetiaannya. Karena memang seperti itulah
yang harusnya ia lakukan untuk suaminya.
Pemikiran pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan
kelelakian pengarang. Meski pada cerpen sebelumnya, pengarang telah
menampilkan kepeduliaan pada penderitaan dan perjuangan perempuan. Disadari
ataupun tidak, pemikiran patriaki pengarang akhirnya melahirkan gagasan
familialisme dalam cerpen ini.
Tabel 5.8.3.
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Tetangga Nenek’
Pertama Realitas
Kebosanan dan kepenatan seorang istri dalam merawat
suaminya. Dalam ceritanya kepada tamu, istri tersebut
ingin mendapatkan apresiasi atas kesetiaan dan
pengorbanan yang dilakukannya. Usai bercerita tentang
suaminya, dia lantas beralih pada cerita tentang nenek
dari tamu itu.
Fakta ini diceritakan oleh tokoh istri sendiri namun yang
bertindak sebagai pencerita adalah tamu, realitas dan
penilaian atas apa yang diceritakan istri didefinisikan
oleh tamu.
Kedua Representasi
Realitas tersebut dikonstruksi melalui penempatan tokoh
tamu sebagai pencerita sementara tokoh istri sebagai
objek yang diceritakan. Maksud cerita ini pun
disampaikan bukan oleh diri istri sendiri tetapi oleh
orang lain, yakni tamu yang datang berkunjung. Dalam
hal ini realitas digambarkan tidak sebagaimana mestinya.
Karena bukan pendapat dari istri sendiri yang muncul,
tapi realitas yang diceritakan dan didefinisikan oleh
orang lain.
82
Ketiga Ideologi
Ketidakhadiran suara dari istri, menjadikan cerpen ini
menampilkan pemikiran yang menguntungkan bagi tamu
sebagai pencerita. Penempatan tamu sebagai pencerita
akhirnya memunculkan ideologi familiasme, yang justru
kian menyudutkan posisi perempuan.
Ideologi ini mengkontruksi perempuan sebagai istri yang
baik, melayani dan setia kepada suami. Dalam konteks
cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan bahwa tak
perlulah perempuan mengasihani diri sendiri dan
memberi penekanan pada kesetiaannya. Karena memang
seperti itulah yang harusnya ia lakukan untuk suaminya.
Pemikiran pengarang ini tentu dipengaruhi secara
langsung dengan kelelakian pengarang.
5.9. CERPEN 9
5.9.1. Sinopsis Cerpen 9: “Korban Banjir”
Kisah suami istri yang menjadi korban banjir dan sedang mengungsi di
sebuah rumah ibadat milik umat beragama lain. Di tempat peribadatan itu
berkumpul semua orang dari wilayah sekitar rumah ibadat yang besar tersebut. Di
sana, para istri terlibat di dapur umum, sementara para laki-laki membantu di
posko bencana. Saat bantuan datang, para lelaki segera berkumpul menuju posko
bencana banjir.
Masalah terjadi saat seorang lelaki menanyakan kepada pemimpin rapat,
apakah orang yang beragama lain harus kita bantu atau dibiarkan saja. Hal ini
sontak melukai perasaan tokoh suami. Ia pun segera mendatangi istrinya,
menceritakan kejadian yang terjadi. Istrinya menjadi teman curhat suami. Meski
tidak turut menyaksikan kejadian tersebut, istrinya turut merasakan bagaimana
mereka yang berbeda keyakinan mengalami diskrimasi di tengah bencana banjir.
83
5.9.2. Interpretasi Cerpen “Korban Banjir”
Cerita pendek ini mengisahkan sepasang suami istri yang sedang menjadi
korban banjir, mengalami diskriminasi agama. Suaminya adalah orang pertama
yang mengalami hal ini, karena kejadian itu terjadi disaat pembagian bahan
pangan di posko, dimana para lelaki berkumpul dan bertugas di tempat itu.
Yang menarik dalam penceritaan ini adalah pengarang memainkan
perannya sebagai sosok istri. Penyebutan kata ganti ‘kami’ untuk kaum wanita
memberikan gambaran yang jelas kecenderungan cerpen ini terhadap tokoh istri.
Dalam cerpen ini yang pertama terlihat bagaimana istri ditempatkan
sebagai subjek. Dari awal pengarang menampilkan narasi yang mengacu pada
sosok istri ini melalui gambaran pembagian tugas di pengungsian banjir. Seperti
yang diuraikan di atas, pengarang menggunakan kata ganti ‘kami’ yang mengacu
pada kaum wanita, menandakan bahwa pencerita dalam cerpen ini adalah
perempuan. Selain itu, bukti lain dapat dilihat pada cuplikan berikut.
Tokoh suami memang yang mengetahui dan mengalami lebih dulu
diskriminasi tersebut. Akan tetapi, bagaimana diskrimasi ditemukan oleh
Dapur umum telah didirikan. Posko bencana banjir berdiri di depan rumah ibadat. Segera kami berbagi tugas. Para laki-laki membantu di posko-posko itu, sedangkan kami kaum wanita terlibat di dapur umum. Sisanya duduk di alas tidur masing-masing bersama anak-anak yang masih kecil.
"Bu… kepalaku pusing," keluhnya "Ini digosok dengan minyak angin, Pak. Lapar ya, Pak ? Kedinginan…?" "Lebih dari itu, bu" "Kenapa?" "Perasaanku yang terluka." "Ada apa?" "Pada saat kondisi banjir seperti ini.. Masih ada diskriminasi." Aku terdiam. Kami berharap, diskriminasi itu hanya sebatas kata tanya tanpa pikiran serius. Sebagai sesama umat manusia, kami korban banjir dari agama lain yang ikut mengungsi di rumah ibadah yang bukan rumah ibadah agama kami, pun butuh penerimaan bukan setengah hati.
84
suaminya dan mengena pada pasangan suami istri tersebut, diceritakan oleh tokoh
istri kepada pembaca. Bagaimana pembaca mengetahui bahwa hal pembagian
sembako itu ternyata melukai perasaan juga diungkapkan oleh tokoh istri sebagai
pencerita. Apa akibatnya? Teks ini memberikan gambaran yang berbeda
mengenai sosok perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi tampil sebagai
kanca wingking, tapi sebagai partner suami dan penolong dalam perjuangan
hidup. Dia juga perempuan yang cerdas dan kritis. Melalui suaranya, dia
menyentil nurani pembaca akan diskrimasi agama, agar tidak terjadi lagi
diskriminasi terhadap mereka yang minoritas. Tidak disebutkannya salah satu
agama juga merupakan cara bijak untuk tidak melakukan generalisasi tindak
diskriminasi pada salah satu agama atau penghakiman terhadap agama tertentu.
Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai tokoh istri.
Dengan diposisikan sebagai tokoh istri, harapannya pembaca pun menjadi kritis
saat menghadapi masalah sejenis.
5.9.3. Feminis Liberal
Memang masih terdapat dikotomi pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan, hal ini digambarkan sebagai cerminan yang terjadi dalam masyarakat
kita saat banjir. Laki-laki berada di posko bantuan, sementara para perempuan
sibuk di dapur umum.
Meski demikian, seperti diungkapkan di atas, tokoh perempuan dalam istri
ini ditampilkan berbeda. Karena dia tampil sebagai teman sekaligus penolong bagi
suaminya. Saat mendengar cerita dari suaminya, ia tidak kian memanas-manasi
permasalahan itu. Perempuan ini justru terdiam. Ibarat minyak yang dipanasi,
perempuan ini tidak memasukan bongkahan es ke dalam api, hingga tidak
menyulut percikan panas. Dirinya berusaha memadamkan api itu melalui
pertanyaan kritis yang diajukan.
Di akhir cerita kita dapat mengetahui bagaimana perempuan ini
mengatasnamakan dirinya dan suaminya menyampaikan pikiran kritisnya
mengenai diskriminasi yang menimpa mereka. Hal ini menunjukan bahwa
perempuan pun memiliki kapasitas untuk berpikir rasional dan kritis, seperti poin
85
perjuangan dari feminis liberal. Feminis liberal sangat menitikberatkan
perjuangannya pada ide keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat
pilihan-pilihan bebas karena rasionalitasnya. Penempatan perempuan sebagai
pencerita kian mencerminkan ideologi feminisme liberal.
Tabel 5.9.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Korban Banjir’
Pertama Realitas
Sepasang suami istri yang sedang menjadi korban banjir,
mengalami diskriminasi agama di tempat pengungsian,
yaitu rumah ibadat umat agama lain.
Kedua Representasi
Realitas ini ditandakan melalui penceritaan yang
dilakukan oleh tokoh istri. Sebagai seorang yang tidak
mengalami diskrimasi tersebut, hal ini menghilangkan
gagasan dari tokoh suami sebagai tokoh yang
menyaksikan langsung bagaimana dirinya dikucilkan.
Karakter perempuan yang diam dan tidak memanas-
manasi masalah juga menciptakan realitas diskrimasi
yang berbeda, karena didefinisikan dan ditampilkan
dengan cara yang berbeda.
Ketiga Ideologi
Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Teks ini
memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok
perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi
tampil sebagai kanca wingking, tapi sebagai partner
suami dan penolong dalam perjuangan hidup. Dia juga
perempuan yang cerdas dan bijak, dengan sikapnya yang
ia tidak kian memanas-manasi permasalahan itu, tetapi
justru terdiam. Pemikiran tentang diskriminasi yang
disampaikan di akhir cerita mencerminkan poin
86
perjuangan feminis liberal, bahwa perempuan ternyata
juga mampu berpikir rasional dan kritis.
5.10. CERPEN 10
5.10.1. Sinopsis Cerpen 10: “Banjir Bik Sarti”
Cerita pendek ini dengan latar kondisi daerah banjir. Cerpen ini
mengisahkan kekesalan tokoh Ibu terhadap Bik Sarti, seorang pembantu yang
bekerja di rumahnya. Ibu kesal karena sejak hari pertama ia di pengungsian, Bik
Sarti tidak pernah menjenguknya. Padahal sangat mudah bagi Bik Sarti untuk
sekedar mampir dan menegok ibu guna bersilaturahim kala bencana. Apalagi Bik
Sarti telah mendapatkan haknya, pembayaran upah kerjanya. Atas dasar itulah Ibu
menuntut.
Namun hal ini dianggap tidak masuk akal oleh anaknya, karena Bik Sarti
pun juga terkena musibah banjir, sementara Ibunya yang terbaring sakit, tidak
mengerti bagaimana kondisi banjir di daerah itu. Tokoh ibu pun acuh terhadap
pernyataan anaknya. Kekesalannya memuncak, saat ibu kembali ke rumah.
Sesampai di depan rumah, tampak Bik Sarti di seberang rumah Ibu, namun tidak
ada sapaan dari Bik Sarti.
Pada tanggal 5 Januari, Ibu pergi menuju ke rumah Bik Sarti untuk
memberikan upah kerja. Terjadi dialog diantara keduanya. Dan di hari yang sama,
Bik Sarti kembali datang ke rumah untuk melakukan tugasnya sebagai pembantu
rumah tangga. Bik Sarti juga mengajak keluarganya berkunjung ke rumah ibu
untuk mengucapkan selamat tahun baru.
5.10.2. Interpretasi Cerpen Banjir Bik Sarti
Dalam cerpen ini yang menarik adalah konflik terjadi antara perempuan.
Sangat berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Bila pada sebelumnya,
perempuan-perempuan harus menghadapi konflik dengan saudaranya laki-laki
atau majikannya laki-laki. Pada cerpen ini ditemukan hal yang baru. Majikan
perempuan berkonflik dengan pembantu perempuannya.
87
Masih dengan latar cerita yang sama dengan dua cerpen sebelumnya
‘Tetangga Nenek’ dan ‘Korban Banjir’, yaitu suasana banjir, Banjir Bik Sarti
menyoroti masalah tuntutan ibu kepada pembantu rumah tangganya yang tidak
menjalankan tugasnya pada saat banjir. Ibu sudah melakukan kewajibannya, yaitu
membayar upah tapi Bik Sarti tidak menjalankannya. Hal ini lah yang menjadi
poin utama kekesalan ibu.
Namun perlu diperhatikan pula bahwa penceritaan ini disampaikan oleh
tokoh anak, sebagai pencerita. Hal ini menyebabkan realitas tampil tidak utuh,
karena ada fakta yang hilang. Hanya melalui pendapat anak saja pembaca
mengetahui tuntutan ibu tersebut. Kekesalan ibu terhadap Bik Sarti tidak keluar
dari ibu sendiri, tetapi ditampilkan melalui tokoh anak. Bagaimana konflik ini
dipaparkan adalah melalui tokoh anak. Dia-lah yang menceritakan kepada
pembaca bagaimana kekesalan ibu dianggap sebagai suatu hal yang tidak masuk
akal. Tidak menutup kemungkinan ada kecenderungan untuk melebih-lebihkan
hal ini.
"Ibu, sekarang kan banjir. Semua orang tidak dapat menjalankan kehidupannya secara normal. Tidak ada yang dapat bekerja. Mereka juga butuh pertolongan. Untuk itulah dimana-mana didirikan posko bantuan bencana banjir," aku terus mengingatkan ibu. "Biar! Yang pasti ia tidak menjalankan kewajibannya. Padahal ia sudah mendapatkan haknya. Kubayar!" Bagiku pernyataan ibu ini tidak masuk akal. Satu-satunya tuntutannya yang bisa kuterima adalah mengapa Bik Sarti sama sekali tidak mampir di tempat pengungsian ibu. Padahal, tempat itu sangat strategis dan selalu dilewatinya bila ia dari pengungsiaan menengok rumahnya atau sebaliknya dari rumahnya yang kebanjiran kembali mengungsi di tempat penampungan korban banjir.
Mengetahui kedatangan ibu berjaket hangat di atas dasternya dan berjalan perlahan mebenamkan kaki di genangan air yang masih ada di gang. Bik Sarti hanya memandangnya dan Cuma tertawa. Tanpa menyapa ibu! Betapa dongkol hati ibu. Perilaku Bik Sarti terus menjadi bulan-bulanan omelan ibu begitu sudah di dalam rumah. "Kurang ajar. Tidak tahu adat!"
Bagiku pernyataan ibu ini tidak masuk akal. Satu-satunya tuntutannya yang bisa kuterima adalah mengapa Bik Sarti sama sekali tidak mampir di tempat pengungsian ibu. Padahal, tempat itu sangat strategis dan selalu dilewatinya bila ia dari pengungsiaan menengok rumahnya atau sebaliknya dari rumahnya yang kebanjiran kembali mengungsi di tempat penampungan korban banjir.
88
Dampak yang terjadi kemudian dapat ditemukan pada bagian anti klimaks,
dimana ibu menemui Bik Sarti lebih dahulu, demi memperbaiki relasi. Dari
cuplikan dialog di bawah, pembaca tidak mendapatkan informasi mengenai alasan
dari perubahan sikap ibu ini. Apakah Ibu masih jengkel ataukah tidak terhadap
Bik Sarti, tidak diketahui dalam teks. Tidak ditunjukan alasan dari perubahan
sikap ibu, selain karena dia memang harus melakukan kewajibannya membayar
upah Bik Sarti setiap bulan. Sehingga kesan yang muncul tentang sosok ibu
adalah seorang yang memiliki kecenderungan ingin dinilai baik dan terhindari dari
tuduhan tidak masuk akal yang dilontarkan si anak sebelumnya.
Tidak mengherankan karena dalam cerpen ini yang bertindak sebagai
pencerita adalah tokoh anak, dirinya melakukan penilaian atas sikap ibunya.
Dominasi tokoh anak kemudian menempatkan pembaca seperti
memerankan tokoh anak. Pembaca diposisikan sebagai tokoh anak, mengikuti
penceritaan yang dilakukan oleh tokoh anak. Sehingga pembaca turut dalam alam
pikiran anak
5.10.3. Perempuan Menindas Perempuan Lain
Realitas kejengkelan majikan perempuan (tokoh ibu), kepada pembantu
perempuannya dikonstruksi melalui penceritaan dari tokoh anak. Hal ini
menyebabkan realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh anak. Karena
pandangan dari anaknya yang tampil dalam cerpen ini. Penggambaran Ibu dalam
Buktinya, baru saja aku bertemu Bik Sarti bersama anaknya, tepat di depan tempat pengungsian ibu. Aku pun berkata kepadanya, "Ibu mengungsi di sini." Namun yang ditonjolkan oleh Bik Sarti adalah ia sendiri yang sakit-sakitan.
Kulihat dari kejauhan, antara mereka berdua terjadi dialog! Dialog, yang baru pertama kali dilakukan selama banjir melanda kota kami. "Sudah kuberikan uang upah untuknya buat bulan kerja yang telah lewat!" ungkap ibu sekembali di rumah. "Bagus, Ibu. Anggap saja pembayaran penuh satu bulan dengan tujuh hari tanpa kerjanya Bik Sarti itu sebagai bantuan korban banjir!" ujarku sambil mengacungkan dua jempol tangan.
89
tokoh ini cenderung diburukkan. Bik Sarti yang tidak melakukan tugasnya di kala
banjir padahal sudah dibayar upahnya oleh ibu, dinilai sebagai tuntutan tidak
masuk akal adalah keluar dari mulut anak. Pembaca tidak mendapatkan
kemungkinan-kemungkinan lain atas sikap ibu tersebut karena pembaca turut
dalam alam pemikiran anak.
Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin menumbangkan
ideologi patriakhi yang banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang
dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa penderitaan yang
dialami perempuan sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi
juga oleh perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu.
Tokoh ibu adalah gambaran sosok yang memiliki kekuasaan, yang dengan
alat kekuasaannya tersebut kemudian melakukan tuntutan kepada pembantu
rumah tangganya, Bik Sarti. Merasa telah membayar upah Bik Sarti, lantas
membuat ibu ini dengan mudah menuntut pembantu rumah tangganya. Hal ini
dinilai tidak masuk akal oleh anaknya. Tokoh anak tampil memberikan tanggapan
atas apa yang dilakukan ibunya.
Ibu memang melakukan tuntutan terhadap perempuan lain. Namun yang
menarik adalah perempuan ini pula yang menyelesaikan konflik dengan
perempuan lain. Menurut Jean Baker Miller, bagi banyak perempuan ancaman
rusaknya hubungan-hubungan antar pribadi dianggap bukan saja sebagai
hilangnya keterkaitan tapi sebagai sesuatu yang mendekati lenyap-totalnya diri. Ia
menyebut bahwa hal itu bisa menyebabkan masalah-masalah misalnya depresi
(Wolf, 1997: 402). Perempuan memang cenderung melihat relasi interpersonal
untuk menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang memandang hubungan
antar pribadi sebagai sebuah persaingan. Konsep genderis ini kemudian
mempengaruhi ibu untuk menjalin hubungan kembali dengan bik Sarti. Meskipun
perempuan melakukan tuntutan terhadap perempuan lain, pada akhirnya
perempuan itu sendirilah yang menyelesaikan konflik. Bik Sarti pun kembali
bekerja dan bersama keluarganya bersilaturahmi ke rumah majikannya.
90
Tabel 5.10.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Banjir Bik Sarti’
Pertama Realitas
Tuntutan Ibu kepada pembantu rumah tangganya, yang
tidak melakukan kerja saat banjir padahal sudah dibayar
upahnya.
Kedua Representasi
Realitas kejengkelan majikan perempuan (tokoh ibu),
kepada pembantu perempuannya dikonstruksi melalui
penceritaan dari tokoh anak. Hal ini menyebabkan
realitas tampil timpang dan begitu menguntung tokoh
anak.
Ketiga Ideologi
Dengan kode representasi demikian, pengarang ingin
menumbangkan ideologi patriakhi yang banyak muncul
pada teks-teks. Melalui realitas yang dibangunnya,
pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa
penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak
hanya disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh
perempuan itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah
tokoh ibu.
Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh
perempuan itu sendiri, karena konsep genderis yang
mana perempuan melihat relasi interpersonal untuk
menjalin kerja sama, berbeda dengan lelaki yang
memandang hubungan antar pribadi sebagai sebuah
persaingan.
91
5.11. CERPEN 11
5.11.1. Sinopsis Cerpen 11: “Hubungan Abadi”
Hubungan abadi adalah kisah Ragil yang mengalami pertemuan dengan
arwah ibunya yang telah meninggal dunia. Ketika ia menceritakan ini kepada
suaminya, suaminya menentang bahwa itu bukanlah arwah emak, tapi arwah iblis
yang menyamar jadi Emak. Dalam ajaran agamanya pun hal ini telah dijelaskan.
Ragil yang merasa bahwa pertemuan dengan arwahnya adalah hubungan
yang tampak abadi bagi kedua, justru hal itu berbenturan dengan ajaran imannya.
Ragil pun memutuskan untuk tetap menaikan doa dan menikmati pertemuan
dengan emaknya. Karena hal itulah yang membuatnya sejahtera. Keputusannya ini
tentu dirahasiakan dari suami dan jemaat yang dipimpinnya.
5.11.2. Interpretasi Cerpen Hubungan Abadi
Masih berlatar banjir, ‘Hubungan Abadi’ adalah cerita sekuel dari kisah
‘Cermin Peninggalan’ dan ‘Rumah Warisan’. Dalam cerpen ‘Hubungan Abadi’,
Ragil adalah tokoh utamanya, menceritakan pergumulan tentang pertemuan
emaknya yang bentrok dengan ajaran agamanya.
Hubungan Abadi, dapat dikatakan sebagai cerita ini menarik. Pertemuan
dengan Emaknya, bagaimana pertemuan itu dan bagaimana Ragil harus bergumul
dengan iman dan fakta yang ia alami, dituliskan oleh pengarang dari sudut
pandang Ragil, cerpen ini pun menempatkan Ragil sebagai pencerita dan
suaminya sebagai objek yang diceritakan. Penempatan Ragil sebagai subjek,
menguatkan maksud penceritaan, yang mana memang ingin menampilkan
pergumulan iman Ragil sendiri.
Cerpen ini juga berbicara soal belief, fact, ajaran agama yang menggelitik.
"Tidak mungkin. Emak sudah meninggal. Kamu pasti sangat kehilangan beliau dan sangat merindukannya…." "Tidak, Papi… ini betul-betul wajah Emak." "Ingat, Mi… orang yang sudah meninggal tidak bakalan bisa memunculkan diri lagi. Badannya tidur dan rohnya kembali ke Tuhan Pencipta-Nya."
92
Dalam ajaran agama Ragil, tidak ada konsep bertemu dengan orang mati,
penampakan yang terjadi biasanya ulah iblis. Tapi pada kenyataannya, Ragil
mengalami perjumpaan dengan sosok emaknya. Dia merasakan persekutuan
dengan emaknya. Hal yang nampak dinikmatinya ini justru berbenturan dengan
ajaran imannya.
Kebenaran adalah kenyataan di pikiran kita. Kenyataan yang ada dalam
pikiran Ragil, adalah dia bisa melihat Emaknya, maka dia menerima itu sebagai
sebuah kebenaran. Sementara kenyataan yang lain adalah ajaran agamanya tidak
berkata seperti itu, maka dia tidak menerima ini sebegai kebenaran, tapi
pengalaman imannya dianggapnya sebagai kebenaran. Di sini dapat diketahui,
bagaimana seorang perempuan bisa menimbulkan sebuah kebenaran dalam
pikirannya sendiri. Di saat kebenaran lain yang dianggap sebagai suatu ajaran, itu
tidak mendukung kebenaran yang dia pegang itu.
Cerpen Hubungan Abadi memberikan gambaran perempuan dengan
kebebasan berpikir dan bertindaknya. Jelas tergambar karena diceritakan dari
sudut pandang Ragil, sebagai pencerita.
Kini ketika hubunganku dengan Emak itu tampak akan abadi dengan kehadiran Emak pada tempat-tempat yang aku jumpa, mengapa harus berbenturan dengan ajaran imanku tentang tidak adanya orang mati rohnya bergentayangan bahkan hanya dalam bayang-bayang?
Dalam teguran suamiku, aku tidak hendak lagi bercerita kepadanya tentang kehadiran Emak. Aku memilih diam dan menikmati persekutuanku dengan Emak pada saat-saat ia hadir.
Namun, bila aku yang masih hidup ini merasa tidak sejahtera karena tidak melayangkan doa bagi Emakku ang sudah mati, apa artinya ajaran ini, lebih-lebih aku menjadi sejahtera bila aku mendoakan Emakku yang sudah mati.
"Tapi…" "Ya… itulah ajaran iman kita. Iblis sangat pandai meniru kita dengan pemunculannya sebagai orang yang kita cintai. Seperti hidupnya Nabi Samuel yang telah mati oleh pertolongan perempuan sihir, menampakan diri pada Raja Saul."
93
Bagaimana pembaca diposisikan diantara pihak yang terlibat? Dalam
pembacaan dominan atas teks ini pembaca diposisikan sebagai Ragil. Mengikuti
kisah pergulatan iman Ragil dapat diketahui bahwa pembaca diajak untuk turut
merasakannya. Bagaimana pergumulan itu benar-benar dirasakan langsung oleh
pembaca dan maksud penceritaan pengarang juga dapat ditangkap sama oleh
pembaca.
Dalam cerpen ini, pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca
melalui sosok Ragil bahwa terkadang ajaran agama yang kita terima tidak selalu
sesuai untuk semua orang. Dia menyentil agamanya sendiri. Jadi pengarang
sebagai narrator secara implisit, mengatakan bahwa kita memiliki ajaran iman,
tapi mungkin ini tidak bisa terjadi pada setiap orang. Karena demikian fakta yang
terjadi pada Ragil. Pengarang pun di sisi lain mengatakan kadang pemimpin
agama pun bisa menyembunyikan kenyataan. Seperti Ragil, menyembunyikan
kenyataannya, untuk mempertahankan ajaran agamanya, supaya dia tidak
dianggap menyimpang dari agamanya.
5.11.3. Pendeta Perempuan
Dalam A Vindication of the Rights of Women (1972), Mary Wollstonecraft
(dalam Jaggar, 1983: 36) berpendapat bahwa perempuan berpotensi secara penuh
untuk menjadi pribadi yang rasional dan berkemampuan lengkap seperti laki-laki
dalam tanggung jawab moral. Fakta bahwa perempuan tidak selalu menyadari
kemampuannya adalah karena dicabutnya pendidikan dan dibatasi dalam ranah
domestik. Seiring perkembangan zaman, tuntutan feminis liberal ini menunjukan
hasilnya, kesempatan pendidikan bagi perempuan terbuka lebar.
Hak atas kesempatan pendidikan ini salah satunya membuat banyak
perempuan bergerak ke ranah publik. Dalam konteks agama, perjuangan feminis
liberal menampakkan hasilnya. Sejarah agama Kristen mencatat bahwa
perempuan menjadi pemimpin agama. Perempuan memainkan peran
kepemimpinan dalam komunitas Kristiani. Suatu kemajuan yang dialami
perempuan.
94
Dalam cerpen ini, Ragil adalah cerminan dari sosok peremuan yang
menjadi pemimpin agama. Dirinya telah mengalami kesetaraan secara profesi
dengan suaminya, yang juga menjadi pemimpin agama. Kesamaan profesi
tersebut, membuat keduanya dapat menciptakan diskusi yang hidup mengenai
arwah Emak yang menampakkan diri kepada Ragil.
Meski begitu, tampak juga gambaran perempuan yang menghindari
konflik. Disamping tidak ingin bertengkar dengan suaminya, dia juga menyimpan
hal itu dari jemaatnya, agar tidak dianggap menyimpang dari ajaran agama. Peran
perempuan sebagai peace maker karena tidak mau timbul konflik. Namun mesti
diakui bahwa Ragil adalah gambaran perempuan yang merdeka dalam pikirannya.
Dia dapat menimbulkan kebenaran di dalam pikirannya, di saat kebenaran lain
menyangkalinya. Apa yang dilakukan oleh Ragil mencerminkan perjuangan
feminis liberal, yang mana sangat menitikberatkan perjuangannya pada ide
keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan bebas
karena rasionalitasnya (Arivia, 2006:47).
Selain penggambaran Ragil sebagai perempuan yang mandiri dan
berpendidikan, cerpen ini juga menampilkan suatu wacana yang berbeda.
Penempatan Ragil sebagai pencerita juga mengandung ideologi tertentu. Pada
banyak teks, sering kali memarjinalkan gagasan tertentu. Misalnya dalam dunia
kedokteran, ekslusi (bagaimana sesorang atau gagasan dikucilkan dalam
pembicaraan) dilakukan terhadap pengobatan tradisional. Dukun sering
direpresentasikan sebagai tidak ilmiah, tidak berdasar dan penipu. Sebaliknya
dokter dipandang ilmiah, baik dan dapat memprediksi penyakit serta
penyembuhannya. Misrepresentasi ini hasilnya mengucilkan dan memarjinalkan
keberadaan pengobatan lain di luar ilmu kedokteran meskipun sama-sama
bertujuan menyembuhkan penyakit. Serupa dengan cerpen ini, terdapat pergulatan
wacana antara ajaran agama dan pengalaman iman seseorang. Lazimnya, wacana
ajaran agama akan dimenangkan, karena merupakan gagasan mainstream. Tetapi
dengan diceritakan sendiri oleh tokoh yang mengalami, menghindari
misrepresentasi dan menjadikan teks ini memberikan wacana yang berbeda dan
kenyataan baru bagi khalayak.
95
Akhirnya ideologi feminis liberal benar-benar terepresentasikan dalam
cerpen ini melalui penggambaran Ragil dan penempatannya sebagai subjek
pencerita.
Tabel 5.11.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Hubungan Abadi’
Pertama Realitas
Pergumulan Ragil tentang pertemuan emaknya yang
bentrok dengan ajaran agamanya. Perempuan bisa
menimbulkan sebuah kebenaran dalam pikirannya
sendiri. Di saat kebenaran lain yang dianggap sebagai
suatu ajaran, itu tidak mendukung kebenaran yang dia
pegang itu.
Kedua Representasi
Realitas tersebut digambarkan sebagaimana mestinya,
karena diceritakan langsung oleh Ragil, tokoh yang
mengalaminya. Pembaca yang ditempatkan sebagai Ragil
akhirnya pun juga memahami realitas sebagaimana yang
didefinisikan oleh Ragil.
Ketiga Ideologi
Melalui penempatan Ragil sebagai subjek dan
penggambaran Ragil yang bebas dan pribadi yang intelek
menghasilkan sebuah wacana yang terhindar dari
misrepresentasi. Seluruh elemen tersebut
diorganisasikan, hingga dapat diketahui dalam cerpen ini
pengarang menampilkan ideologi feminisnya, dengan
aliran liberal.
96
5.12. CERPEN 12
5.12.1. Sinopsis Cerpen 12: “Anak Walikota”
Kisah mengenai seorang perempuan belia yang bekerja sebagai penyanyi
dangdut di sebuah kafe. Kelemahan finansial membuat ia memutuskan bekerja
membantu meringankan beban hidup keluarganya.
Suatu hari dia bersama seorang tamu kafe berbincang mengenai banyak
hal. Dengan jujur dan terbuka, perempuan ini menceritakan kehidupan pribadinya,
keluarganya dan teman-temannya kepada tamu lelaki tersebut. Ia pun
menceritakan perjumpaannya dengan seorang anak walikota. Kepada tamu ini, dia
mengatakan ketidakberaniannya untuk bercerita jujur saat bertemu anak walikota.
Berbeda dengan apa yang dilakukannya pada tamu lelakinya.
Panjang lebar ia berkisah kepada tamu lelakinya. Ternyata tamu lelaki
tersebut adalah anak walikota yang sedang menyamar dan menyatakan
kesediaannya menjadi body guard bagi perempuan itu.
5.12.2. Interpretasi Cerpen “Anak Walikota”
Cerpen kedua belas ini ingin bercerita tentang rasa ketertarikan seorang
perempuan muda, penyanyi dangdut terhadap anak walikota. Jumpa pertama
membekaskan sebuah perasaan pada anak walikota itu.
Dalam pembacaan cerita pendek ‘Anak Walikota’, dapat diketahui bahwa
penceritanya adalah tokoh perempuan sendiri. Bagaimana pertemuannya dengan
lelaki anak walikota itu, bagaimana anak walikota tertarik pada dirinya dan
bagaimana harapan perempuan pada anak walikota ini, semua disampaikan oleh
tokoh perempuan ini.
"Obrolan kami tiga gadis membicarakan banyak hal, namun rupanya si anak walikota tertarik pada si gadis menor. Aku!! Hihihi… Aku ditanya kerjaku apa,, kegiatanku sehari-hari apa." Si anak walikota dengan mobil Baby Benz sampai rumah, dan masuk rumah megah. Ia istirahat di kelam malam membayangkan aku yang berpakaian seksi, bukan membayangkan dua temanku yang berpakaian sekolah.
97
Lelaki, anak walikota ini kehadirannya ditampilkan oleh suara dari tokoh
perempuan. Hal ini semakin memperkuat kesan tentang ketertarikan perempuan
ini pada lelaki. Sementara tidak diketahui bagaimana sebenarnya perasaan lelaki
itu terhadap perempuan. Ketertarikan lelaki dan saat dia membayangkan
perempuan ini tidak dilontarkan dari lelaki ini sendiri, tapi disampaikan oleh
tokoh perempuan.
Terdapat perbedaan saat perempuan ini menghadapi tamu lelaki dan anak
walikota. Kepada tamu lelaki, dengan terbuka dia menceritakan hidup dan dirinya.
Sementara kepada anak walikota dia tidak berani. Rasa gengsi dan sikap ‘jaga
image’ membuat perempuan ini tidak berani menceritakan dirinya secara jujur.
Ketertarikannya pada lelaki ini membuat ia berbohong. Karena dia tahu bahwa
ada satu halangan yang mencolok ketika dia menjalin hubungan dengan lelaki ini,
yaitu kesenjangan ekonomi. Maka di cuplikan berikut, pencerita memaparkan
harapannya agar dirinya dan lelaki--anak walikota, ini dalam meniadakan
halangan pada hubungan khusus yang mereka ingin jalinan.
Pada akhirnya, rasa ketertarikan perempuan ini pun berujung. Anak
Walikota itu yang dinantikan ternyata telah bersama dia, menemani bercerita.
Sebagai yang diceritakan, lelaki ini tidak banyak berkomentar atas apa yang
dipaparkan perempuan dalam cerita ini. Dia hanya lebih banyak diam, mendengar
dan menanggapi agar perempuan ini melanjutkan ceritanya.
"Mmmm… Aku tidak berani mengungkapkan kondisi yang sebenarnya. Aku mengaku datang dari keluarga kaya. Tinggal di Taman Pesona dan ayahku dokter. Ibuku juga dokter. Aku berpakaian menor, ku bilang memang karena kesukaanku mencoba mode-mode pakaian terbaru dalam keseharian selepas sekolah bersama teman-teman."
…… Angan anak walikota bertemu dengan anganku anak penarik becak, yang masih sebagai gadis berpakaian seksi di mattanya. Kami masing-masing tidur disaksikan cahaya rembulan yang mampu menerobos atap-atap rumah kami. Sebagaimana angan anak walikota dan anganku anak penarik becak mampu menyaput rintangan dan penghalang. ……
98
Lelaki, anak walikota itu ternyata memberi kejutan pada perempuan muda
ini. Dia pun sengaja mencari perempuan ini. Perempuan dalam cerpen ini adalah
pihak yang beruntung. Bila dalam penceritaan dia merasa bahwa rasa ketertarikan
dan rindu bertemu dengan lelaki hanya untuk dikenang. Di akhir cerita, lelaki
sebagai yang diceritakan memberikan jawaban atas rasa suka perempuan ini.
Bahwa lelaki ini pun menyimpan rasa yang sama, hal itu ditunjukan melalui
kesediaannya menjadi body guard, pelindung bagi perempuan ini. Mengingat
pekerjaan perempuan itu sebagai kafe, bekerja di malam hari dengan pakaian sexy
mengundang perhatian banyak lelaki.
Penceritaan yang dilakukan oleh perempuan ini, menempatkan
pembacanya seolah memperankan tokoh perempuan muda ini. Sehingga apa yang
diterima dalam pembacaan cerpen ini adalah pandangan dari sudut tokoh
perempuan.
Kisah ketertarikan dan harapan perempuan yang diceritakan oleh
perempuan sendiri, memang tepat. Sehingga pembaca yang diposisikan sebagai
tokoh perempuan benar-benar merasakan bagaimana pengalaman yang dialami
perempuan ini.
5.12.3. Perempuan Membaca yang Tersirat
Seperti sebelumnya, pengarang kembali menempatkan perempuan sebagai
pencerita. Dalam cerpen ini pengarang, melalui tokoh perempuannya,
menghadirkan realitas percintaan sesama manusia yang berbeda kelas sosial.
Dalam ‘Anak Walikota’ perbedaan kelas sosial adalah hal yang menjadi
kekhawatiran tokoh perempuan. Dari kekhawatiran tersebut menyebabkan sikap
perempuan muda ini tidak jujur dan tidak terbuka.
"Jadi kita menikmati udara bersih, pada malam atau pagi hari?" aku bertanya lagi. "Pada malam hari." "Mengapa?" "Sebab pada mala harilah kamu bertemu anak walikota itu. Anak walikota itu, sebetulnya, aku, yang kini menjadi body guard-mu," jawab lelaki yang sejak tadi bersamaku. Ia mencopot kumis dari atas bibirnya.
99
Realitas yang ditandakan melalui cerita dari perempuan tersebut,
memberikan gambaran tentang perempuan dengan kemampuan membaca hal-hal
yang tersirat melalui perilaku orang lain. Penelitian terhadap otak manusia
memperlihatkan bahwa perempuan lebih baik dalam menangkap pesan-pesan
tersirat yang berhubungan dengan kondisi emosional dibanding pria. Kaum
perempuan diyakini mampu menangkap pesan di balik bahasa tubuh dan pesan
tersirat tentang rasa sedih, frustrasi, dan kecewa. Perempuan dilengkapi dengan
keterampilan penginderaan yang lebih peka daripada pria. Hal ini adalah hasil dari
internalisasi yang diperoleh secara turun-menurun, sebagai seseorang yang
mengandung bayi, pelindung tempat tinggal, mereka harus memiliki kemampuan
untuk merasakan perubahan perasaan dan perilaku yang palng lembut sekalipun
dari orang lain. Sebagai pelindung tempat tinggal, perempuan harus
mengamankan keluarga mereka, sehingga dia harus mampu melihat perubahan
sekecil apapun dalam perilaku orang-orang sekira, yang mungkin saja merupakan
tanda-tanda sakit, lapar, terluka, agresi atau perasaan tertekan. Perempuan
memiliki sebuah intuisi yang merupakan kemampuan halus mereka untuk melihat
rinci kecil dan perubahan dari penampilan ataupun perilaku orang lain. Dalam hal
ini perempuan memiliki kepekaan yang luar biasa.
Perempuan mampu membaca apa yang tersirat dari apa yang diucapkan
oleh seseorang. Melalui bahasa tubuh dan intonasi suara, perempuan memiliki
kemampuan membaca apa yang tersirat. (Pease,2005:58 dan 76). Kepekaan
"Obrolan kami tiga gadis membicarakan banyak hal, namun rupanya si anak walikota tertarik pada si gadis menor. Aku!! Hihihi… Aku ditanya kerjaku apa,, kegiatanku sehari-hari apa."
Si anak walikota dengan mobil Baby Benz sampai rumah, dan masuk rumah megah. Ia istirahat di kelam malam membayangkan aku yang berpakaian seksi, bukan membayangkan dua temanku yang berpakaian sekolah.
100
perempuan lebih peka dari seribu matahari. 3
Penggambaran perempuan yang demikian dan sajian realitas yang
ditandakan melalui penceritaan perempuan dapat diketahui bahwa pengarang
hanya ingin menampilkan gagasan mengenai citra perempuan yang berbeda,
belum sampai ideologi perjuangan gender. Bahwa dengan tidak jujur dan terbuka,
tidak berarti perempuan ini dengan kualitas diri yang buruk. Tapi kemampuan
membaca yang tersirat, menjadikan perempuan berhati-hati dalam bersikap.
Terlebih sikap pada orang yang menarik perhatiannya dengan kesadaran
perbedaan kelas sosial yang mungkin saja menghalangi hubungan keduanya.
Perempuan umumnya memiliki
kepekaan yang lebih tinggi, mereka mampu membaca sinyal, bahasa tubuh, vocal
mau pun bahasa verbal orang lain. Sehingga mereka akan sangat mudah
memahami apa yang dirasakan dan diinginkan orang lain. Demikianlah yang
terjadi pada perempuan di cerpen Anak Walikota ini, dia merekam dan dapat
memaknai sikap dan perlakuan anak walikota terhadap dirinya. Sehingga persepsi
yang muncul adalah anak walikota itu tertarik pada dirinya. Sedangkan laki-laki,
kebanyakan bukanlah pembaca pikiran yang baik. Umumnya laki-laki tidak
mampu membaca segala keinginan perempuan yang memang tidak terbahasakan.
Belum menemukan jawaban, membuat lelaki-anak walikota ini, mencari
perempuan ini. Dengan menyamar dia mencari informasi verbal secara lengkap,
sehingga tahu bagaimana perasaan perempuan ini sesungguhnya.
Tabel 5.12.3
Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Anak Walikota’
Pertama Realitas
Ketertarikan seorang perempuan muda, penyanyi dangdut
terhadap anak walikota. Hal tersebut diutarakan kepada tamu
café. Ternyata, tamu tersebut adalah anak walikota yang
menyamar untuk mencari perempuan.
Kedua Representasi
3Ungkapan penyair perempuan dari Aceh, Rosni Idham, dalam Hafidzoh, Siti Muyassarotul. 2012. http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/01/25/174795/Berdaya-sejak-dari-Pikiran diakses pada 20 Juni 2012, pukul 23.01 WIB
101
Kisah ketertarikan dan harapan perempuan pada anak
walikota, yang diceritakan oleh perempuan sendiri,
memang tepat. Dan pembaca yang diposisikan sebagai
tokoh perempuan benar-benar merasakan bagaimana
pengalaman yang dialami perempuan ini.
Ketiga Ideologi
Penggambaran perempuan yang demikian dan sajian
realitas yang ditandakan melalui penceritaan perempuan
dapat diketahui bahwa pengarang hanya ingin
menampilkan gagasan mengenai citra perempuan yang
berbeda, belum sampai ideologi perjuangan gender
5.13. CERPEN 13
5.13.1. Sinopsis Cerpen 13: “Di Balik Gunung”
Kisah yang diangkat dari cerita wayang Kerajaan Kediri. Dalam cerpen ini
diceritakan mengenai kerinduan Galuh Candra Kirana pada seseorang lelaki yang
dicintai, Inu Kertapati. Peperangan yang terjadi menyebabkan ia begitu sulit ia
bertemu dengan Inu Kertapati. Galuh Candra Kirana menanggung akibat dari
peperangan antara Kerajaan Jenggala dimana ayahnya berkuasa melawan kerajaan
Panjalu, kerajaan kekuasaan ayah Inu Kertapati. Keadaan semakin sulit bagi
Galuh Candra Kirana.
Yang bisa ia lakukan adalah dengan banyak pergi ke budur atau biara
untuk menaikan doa. Selain itu, sebagai putri kerajaan ia cukup beruntung
dibanding perempuan-perempuan lain, ia bisa mengunjungi tempat-tempat
penting di Jenggala meski dengan pengawalan ketat. Ia dapat mengenal para
laskar kerajaan.
Diantara tempat-tempat yang dikunjungi, Galuh seringkali merasakan
sesuatu saat berkunjung di lokasi pertahanan sektor tengah. Perasaannya tersebut
berkaitan dengan tempat paling selatan di wilayah Jenggala. Yaitu, di balik
gunung Pawitra, karena di sanalah Inu Kertapati berada. Hasratnya semakin besar
untuk bertemu Inu Kertapati. Ia berdoa agar dapat bertemu dengan Inu Kertapati
102
bagaimanapun caranya. Doanya semakin tekun ketika keadaan semakin menegang
karena perang.
5.13.2. Interpretasi Cerpen “Di Balik Gunung”
Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu Galuh Candra Kirana
kepada Inu Kertapati. Cerpen ini diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra
Kirana. Semua narasi dan dialog adalah dominasi dari pencerita tunggal.
Dalam cerpen ini, pengarang kembali menjadi seorang omnicienst,
pengarang serba tahu. Pengarang benar-benar mendalami peran sebagai Galuh
Candra Kirana. Sebagai pencerita tunggal, Galuh Candra Kirana digambarkan
bersama perasaan galau akan cinta dan rindunya pada Inu Kertapati. Menjadi
pencerita membuat Galuh Candra Kirana memaparkan semua perasaannya itu
secara lengkap oleh dirinya sendiri, tidak diwakili oleh suara orang lain.
Subjek cerita memaparkan secara jelas bagaimana hasratnya untuk
bertemu seorang yang dikasihinya. Inu kertapati sebagai yang diceritakan, tidak
ditemukan mengungkapkan bagaimana dengan dirinya. Hal ini dilakukan oleh
pengarang, karena memang ingin menonjolkan sisi Galuh Candra Kirana.
Gambaran perempuan yang menaruh harapan pada cintanya bahkan di saat perang
melanda.
"Kakanda Inu Kertapati… di mana, Kau, Kanda? Banyak anak sungai di Jenggala, namun ku tahu pasti hanya induk sungai Brantas yang bakal menyatukan kita. Haruskah kususuri sungai induk ini ke arah hulu untuk bertemu denganmu? Atau, kemarilah Kanda, berjalanlah mengikuti alirannya, ke sini, kepadaku," katanya dengan mata berbuah berkaca-kaca.
"Ayolah berenang menyeberangi air bermerah darah pejuang. Di sini aku menanti dengan memegang bunga perdamaian. Akan ku sambut erat jemari tanganmu. Kita berjalan bersisian. Tapak kaki kita menjejak lembut, mengubah pasir bibir kali menjadi bibir lompatan rahasia kita mencipta perdamaian abadi Jenggala dan Panjalu," bisik lembut putri Galuh Candra Kirana dengan perantaraan angin.
103
Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai Galuh Candra
Kirana. Cara seperti ini baik dilakukan karena sesuai dengan maksud penceritaan
yaitu mengisahkan kegalauan hati Galuh Candra Kirana. Disampaikan melalui
dirinya sendiri, membuat pembaca akhirnya mendapatkan ungkapan rasa yang
sesungguhnya yang disampaikan oleh tokoh yang mengalami langsung.
5.13.3. Perempuan yang Tekun dalam Pengharapan
Penempatan Galuh Candra Kirana sebagai pencerita, menampilkan realitas
tentang kerinduan dan harapan Galuh Canda Kirana pada pujaan hatinya, Inu
Kertapati.
Galuh Candra Kirana berusaha untuk bertemu dengan Inu Kertapati. Tapi
karena dirinya perempuan, dia tidak mendapatkan akses itu. Dirinya cukup
beruntung atas statusnya sebagai putri raja, setidaknya dirinya bisa pergi keluar,
'Meski seandainya pun aku rakyat biasa, bukankah seorang gadis sepertiku juga tidak dapat bepergian ke mana suka? Bukankah hanya para lelaki yang bebas pergi ke mana pun ingin?' ' Hanya karena aku putri raja, maka aku dapat berkunjung ke tempat-tempat penting di Jenggala, meski dengan pengawalan ketat balatentara kerajaan,' renungnya dengan kepala menunduk.
"Aku harus turut menanggung akibat peperangan yang tak henti antara kerajaan Jenggala, dimana ayahanda Mapanji Garasakan yang berkuasa, berperang melawan kerajaan Panjalu di mana pamanda Sri Samarawijaya, ayahanda Kakanda Inu berkuasa, sesal Galuh Candra Kirana menundukkan kepala.
Rasanya debar dada Galuh Candra Kirana ada kaitannya dengan tempat itu. Ya, rasanya ada kaitannya dengan tempat paling selatan dari wilayah kerajaan Jenggala. Ya. Karena, di balik Gunung Pawitra itu, "Pastilah Kakanda Inu Kertapati berada,"kata Galuh Candra Kirana lalu mengigit bibir, dengan dada bergetar kencang. Di balik Pawitra, salah satu sisinya adalah wilayah kerajaan Panjalu, di mana Inu Kertapati menjadi putra mahkota. ……….."Tolonglah hamba Sang Hyang Wenang…"lanjutnya, "Pertemukanlah hamba dengannya, apapun caranya, lewat jalan di Pawitra, maupun menyusuri arah berlawanan aliran Brantas menuju tempat kami berada……
104
berkunjung ke tempat-tempat penting. Kekhususan yang dimiliki Galuh Candra
Kirana sebagai perempuan, tidak membuat dirinya berjuang lebih keras untuk
bertemu dengan Inu Kertapati. Apa yang dilakukan oleh Galuh Candra Kirana
dengan senantiasa berdoa memang hal yang luar biasa. Berdoa memang menjadi
kekuatan setiap umat manusia. Namun, manusia juga tetap perlu bergerak.
Kekuatan doa menjadikan kita bergerak dengan tidak mengandalkan kekuatan
manusia semata. Berdasarkan fakta yang dipaparkan ini, tidak menunjukan
gagasan pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya terdapat
gambaran pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya. Bisa jadi
mungkin hal ini disengaja, karena pengarang hanya ingin mengangkat realitas
mengenai betapa Galuh Candra Kirana menyimpan hasrat rindu dan cintanya.
Mengingat pula ciri khas cerita pendek hanya memaparkan satu pokok masalah.
Tabel 5.13.3
Representasi Feminis dalam Cerpen “Di Balik Gunung”
Pertama Realitas
Di Balik Gunung merupakan kisah asmara dan rindu
Galuh Candra Kirana kepada Inu Kertapati. Cerpen ini
diceritakan oleh pencerita tunggal Galuh Candra Kirana,
dengan dominasi pada semua narasi dan dialognya.
Kedua Representasi
Sebagai pencerita, Galuh Candra Kirana memaparkan
semua perasaannya itu sendiri, tidak diwakili oleh suara
orang lain. Gambaran perempuan yang tampil dalam
cerpen ini adalag perempuanyang menaruh harapan pada
cintanya bahkan di saat perang melanda.
Ketiga Ideologi
Berdasarkan fakta yang dipaparkan ini, tidak
menunjukan gagasan pengarang mengenai perjuangan
seorang perempuan. Hanya terdapat gambaran
pengharapan perempuan akan orang yang dicintainya.
105
5.14. Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya
Yonathan Rahardjo
Tabel 5.14.
Ringkasan Ringkasan Representasi Feminis Dalam Cerpen 13 Perempuan Karya
Yonathan Rahardjo
No Judul Cerpen Ideologi Pengarang
1
”Cerita
Perempuan”
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan tokoh
laki-laki menggiring pembaca untuk menjadikan pandangan
tokoh laki-laki yang tampil. Hal ini tentu kian
melanggengkan ideologi patriakhi. Namun pengarang
berusaha menjadi seorang pribadi yang lebih egaliter,
memandang perempuan sebagai sesamanya yang sederajat
dengan menampilkan gambaran perempuan lebih positif.
2
”Tanya
Tukang Cuci”
Kisah perempuan yang ditandakan melalui penceritaan
perempuan ini sendiri. Penderitaan dan perjuangan yang
dialami keluar dari tokoh yang bersangkutan yaitu
perempuan. Namun, adanya unsur heroisme di akhir cerita
yang ditunjukan oleh tindakan anak kos, menjadikan teks ini
bias. Hal ini mencerminkan ideologi pengarang yaitu gagasan
untuk memperbaiki citra laki-laki yang biasa di-cap sebagai
penyebab penderitaan perempuan
3
”Masuknya
Lelaki Itu”
Pengarang memaparkan sikap yang tidak jelas dari
perempuan ini sebenarnya untuk menunjukan bahwa
perempuan ini belum memiliki kualitas diri yang tinggi.
Bukan mengkritik, pengarang justru menunjukan
kepeduliannya terhadap kasus-kasus mengenai tenaga kerja
wanita, khususnya pengembangan SDM Tenaga kerja.
106
4 ”Kekuatanku”
Kode-kode representasi yang dilakukan melalui penempatan
perempuan sebagai subjek pencerita dan pembaca yang
ditempatkan sebagai tokoh perempuan, berhasil menyajikan
realitas yang utuh dan apa adanya mengenai penindasan dan
perjuangan perempuan. Ideologi yang muncul adalah
feminisme sosialis.
5
”Cermin
Peninggalan”
Kebanggaan ibu yang diceritakan oleh aktornya langsung,
menjadikan realitas tampil apa adanya. Dan memunculkan
ideologi pengarang tetang perjuangan perempuan dengan
aliran liberal.
6
”Rumah
Warisan”
Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas
dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Pengarang justru
menampilkan gagasan kesetaran gender dengan aliran liberal.
7
”Ingat Pesan
Sarni”
Realitas perjuangan hak atas rumah warisan tersebut
menggambarkan pemikiran feminis sosialis dari pengarang.
Pengarang dalam cerpen ingin menunjukan kepeduliannya
terhadap mereka yang dihilangkan haknya, terutama
perempuan yang kerap kali dianggap lemah tak berdaya
sehingga menjadi korban kekuasaan.
8
”Tetangga
Nenek”
Penempatan tamu sebagai pencerita akhirnya memunculkan
ideologi familiasme, yang justru kian menyudutkan posisi
perempuan. Ideologi ini mengkontruksi perempuan sebagai
istri yang baik, melayani dan setia kepada suami. Pemikiran
pengarang ini tentu dipengaruhi secara langsung dengan
kelelakian pengarang.
9
”Korban
Banjir”
Penempatan perempuan sebagai pencerita dan gambaran
perempuan yang berbeda mewakili gagasan pengarang bahwa
perempuan juga dapat berpikir rasional, bahkan perempuan
juga bijak. Gagasan ini merupakan cerminan dari poin
perjuangan kaum feminis liberal.
107
10
”Banjir Bik
Sarti”
Pengarang ingin menumbangkan ideologi patriakhi yang
banyak muncul pada teks-teks. Melalui realitas yang
dibangunnya, pengarang menampilkan kenyataan baru bahwa
penderitaan yang dialami perempuan sebenarnya tidak hanya
disebabkan oleh sosok patriakhi tetapi juga oleh perempuan
itu sendiri, dalam konteks cerpen ini adalah tokoh ibu.
Menariknya, konflik antar perempuan terselesaikan oleh
perempuan itu sendiri
11
”Hubungan
Abadi”
Melalui penempatan Ragil sebagai subjek dan penggambaran
Ragil yang bebas dan pribadi yang intelek menghasilkan
sebuah wacana yang terhindar dari misrepresentasi. Seluruh
elemen tersebut diorganisasikan, hingga dapat diketahui
dalam cerpen ini pengarang menampilkan ideologi
feminisnya, dengan aliran liberal.
12
”Anak
Walikota”
Penggambaran perempuan dan sajian realitas yang ditandakan
melalui penceritaan perempuan dapat diketahui bahwa
pengarang hanya ingin menampilkan gagasan mengenai citra
perempuan yang berbeda, belum sampai ideologi perjuangan
gender
13
”Di Balik
Gunung”
Melalui kode representasional, tidak menunjukan gagasan
pengarang mengenai perjuangan seorang perempuan. Hanya
terdapat gambaran pengharapan perempuan akan orang yang
dicintainya.