respon amerika serikat terhadap kerjasama...
TRANSCRIPT
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA
MILITER THAILAND – TIONGKOK 2014
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Rosalina Mursyid
1113113000100
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1439 H
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA MILITER
THAILAND - TIONGKOK 2014
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Oktober 2017
Rosalina Mursyid
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Rosalina Mursyid
NIM : 1113113000100
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA MILITER
THAILAND - TIONGKOK 2014
Dan telah memenuhi syarat untuk diuji.
Jakarta, 13 Oktober 2017
Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing
M. Adian Firnas, MA Ahmad Al Fajri, MA
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA MILITER
THAILAND - TIONGKOK 2014
Oleh
Rosalina Mursyid
1113113000100
Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 27
Oktober 2017. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional.
Ketua,
Sekretaris,
M. Adian Firnas, S.IP, M.Si
NIP.
Eva Mushoffa, MHSPS
NIP
Penguji I
Penguji II
Badrus Sholeh, DR, M.A.
NIP.
Dani Setiawan, M. Si
NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal ............... 2017
Ketua Program Studi Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta
M. Adian Firnas, S.IP, M.Si
NIP.
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis respon Amerika Serikat terhadap kerjasama militer
Thailand – Tiongkok pada 2014. Kerjasama militer Thailand – Tiongkok mulai
terjalin erat pasca kudeta Thailand 2014. Peningkatan aktivitas militer dari
kerjasama kedua negara secara langsung memicu kekhawatiran Amerika Serikat.
Dalam menganalisa respon Amerika Serikat, skripsi ini menggunakan teori
realisme yang dilengkapi dengan konsep security dilemma Glenn Snyder dan
konsep hedging strategy Evelyn Goh. Penelitian ini dilakukan melalui studi
wawancara dan studi pustaka sebagai sumber data primer dan sekunder.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan data-data yang dikolaborasi
menggunakan teori tersebut ditemukan bahwa terdapat beberapa bentuk respon
Amerika Serikat yang diberikan terhadap kerjasama militer Thailand – Tiongkok
pada 2014. Respon tersebut diantaranya, Amerika Serikat meningkatkan
kerjasama militer dengan Thailand sebagai aliansinya di kawasan Asia Tenggara.
Selain itu, Amerika Serikat berperan aktif dalam menjalin keterlibatan hubungan
militer dengan Tiongkok.
Kata kunci : Amerika Serikat, Thailand, Tiongkok, realisme, security dilemma,
hedging strategy, Kudeta Thailand 2014.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrrahim, segala puji dan syukur selalu penulis ucapkan
kepada Allah SWT atas segala rakhmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tak lupa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW.
Dalam pengerjaan skripsi ini, penulis telah melibatkan beberapa pihak yang
sangat membantu dalam banyak hal. Oleh sebab itu, disini penulis sampaikan rasa
terima kasih sedalam-dalamnya kepada :
1. Keluarga penulis, abi Mursidin dan umi Rita Rosita, kakak penulis
Raisyah Mursyid, Anisha Mursyid, adik penulis Laxmita Faradisa
Mursyid, suami penulis Indraloka Putra Santoso yang selalu memberikan
semangat, doa, dukungan, cinta, nasehat kepada penulis, hingga skripsi ini
dapat terselesaikan,
2. Bapak Adian Firnas, M.Si, selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyetujui permohonan penyusunan
skripsi,
3. Bapak Ahmad Al Fajri, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing, memberikan perbaikan dan kritik yang membangun serta
motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai,
4. Bapak Irfan Hutagalung L.L.M, selaku dosen pembimbing seminar
proposal penulis yang telah memberikan bimbingan dalam proses
pembuatan semprop untuk menjadi pondasi awal dari penulisan skripsi ini.
vii
5. Dosen-dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta. Terima kasih atas
segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan,
6. Seluruh sahabat organisasi penulis, HMI Komfisip, HIMAHI FISIP UIN
Jakarta, KKN SPARTAN, dan SOA atas pengalaman dan pembelajaran
organisasi yang telah diberikan,
7. Kawan – kawan penulis, Shabrina, Lini, Zida, Syifa, Revy, Sakiinah, Yusi,
Fenindya, Riri, Fauzi, Vanny, Bimo, Gifar, Arip, Aly, Hendri, kak Tomo,
kak Cacan, kak Mincah, kak Ica, Kak Dita, kak Gerry, kak Pelo, Muthia,
Adinda, Syahnaz, Nuzia, Nurul, Nabila, Kharisma, Sabil, Rara, Alry,
Azub, Fathi, Firman, Haekal, Fadly Nurman, Kevin, Shafira, Zhafira.
Terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah menghidupkan
pengalaman penulis di masa perkuliahan,
8. Teman – teman HMI Komfisip dan teman-teman HI UIN Jakarta angkatan
2013 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima kasih telah
menghidupkan pengalaman penulis di masa perkuliahan.
Penulis berharap segala dukungan dan bantuan ini mendapatkan balasan dari
Allah SWT. Terakhir, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi setiap pembacanya dan bagi
perkembangan studi Hubungan Internasional
Jakarta, 13 Oktober 2017
Rosalina Mursyid
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ......................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ....................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x
DAFTAR SINGKATAN ......................................... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
A. Pernyataan Masalah ....................................... Error! Bookmark not defined.
B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian : .................... Error! Bookmark not defined.
D. Tinjauan Pustaka ........................................... Error! Bookmark not defined.
E. Kerangka Teoretis .......................................... Error! Bookmark not defined.
1. Realism ....................................................... Error! Bookmark not defined.
2. Security dilemma......................................... Error! Bookmark not defined.
3. Strategi Hedging…………………………………………………….........24
F. Metode Penelitian .......................................................................................... 29
G. Sistematika Penulisan ................................................................................... 30
BAB II POSISI STRATEGIS ASIA TENGGARA DAN KERJASAMA
MILITER AMERIKA SERIKAT – THAILAND SEBELUM
KUDETA 2014 .................................................................................... 32
A. Posisi Strategis Asia Tenggara ..................................................................... 32
B. Kerjasama Militer Amerika Serikat – Thailand Sebelum Kudeta 2014 ....... 35
ix
BAB III KERJASAMA MILITER THAILAND - TIONGKOK 2014 ........ 47
A. Peningkatan Hubungan Bilateral Thailand – Tiongkok…………………...47
B. Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Pasca Kudeta 2014……………...50
B.1. Joint Military Exercises…………………………………………………..51
B.2. Arms Transfers…………………………………………………………...56
C. Dampak Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Bagi Amerika Serikat .... 62
BAB IV RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA
MILITER THAILAND – TIONGKOK .......................................... 66
A. Penguatan Kerjasama Militer dengan Thailand............................................ 66
B. Keterlibatan Amerika Serikat dengan Tiongkok dalam kerjasama Militer . 74
BAB V PENUTUP ............................................................................................ 81
A. Kesimpulan ................................................................................................... 81
B. Saran ............................................................................................................. 82
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 83
Lampiran – Lampiran ......................................................................................... 89
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.B.1.1 Falcon Strike 2015.............................................................52
Gambar III.B.1.2 Blue strike 2016.................................................................54
Gambar III.B.2.1 Main Battle Tankatau MBT-3000......................................58
Gambar III.B.2.2 Yuan class S26T submarine...............................................59
xi
DAFTAR SINGKATAN
ASEAN Association of South East Asian Nations
AIP Air Independent Propulsion
AU Angkatan Udara
CARAT Cooperation Afloat Readiness and Training
CUES Unexpected Encounters at Sea
FTA Free Trade Area
FDI Foreign Direct Investment
FMF Foreign Military Financing
GNP Gross National Product
IMET Military Education and Training
MBT Main Battle Tank
MOU Memorandum of Understanding
PLAN People's Liberation Army Navy
RIMPAC Rim of the Pacific Exercise
RTN Royal Thailand Navy
SEACAT Cooperation and Training Exercise
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Amerika Serikat muncul sebagai negara superpower yang mendominasi
dunia Internasional pasca runtuhnya Uni Soviet pada Perang Dingin tahun 1991.1
Keunggulan Amerika Serikat dalam bidang pertahanan keamanan terlihat dari
julukannya sebagai polisi dunia. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat memiliki
kekuatan militer yang paling besar diantara negara lainnya, dimana anggaran
belanja militernya mencapai 42% dari total belanja militer negara-negara di
dunia.2 Demi menjaga stabilitas keamanan negaranya Amerika membangun
kerjasama pertahanan militer dengan mencari kawasan yang memiliki nilai
strategis. Asia Tenggara termasuk kawasan yang dipilih oleh Amerika karena
dianggap relatif strategis dari sisi geopolitik, geostrategi, geoekonomi, maupun
geokultural.3
Thailand adalah salah satu negara kawasan Asia Tenggara yang menjalin
kerjasama di bidang militer dengan Amerika Serikat. Pada tahun 1962 Menteri
Luar Negeri Thailand Thanat Khoman dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat
1Samuel P. Huntington, “The Lonely Superpower. (US military and cultural hegemony
resented by other powers).”, Foreign Affairs, v78 i2 p35(1), (March 1999). Tersedia di
http://www3.amherst.edu/~pmachala/Current%20Politics/PS50%20IR%20&%20Foreign%20Polic
y%20TheoryTHE%20READINGS/For%20the%20FIRST%20seminar%20readings/Huntington,%
20The%20Lonely%20Superpower.doc.; diunduh pada 26 September 2016. 2Tim Riset Global Future Institute (GFI), “Amerika Kuasai 42 Persen Seluruh Anggaran
Militer Dunia,” The Global Review, 7 Agustus 2009, tersedia di
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=589&type=8, diunduh pada 25
April 2016. 3Giovanni Dessy Austriningrum, “Relasi Negara-Negara Asia Tenggara dengan Amerika
Serikat”, 25 Juni 2012. Tersedia di http://giovanni-d-a-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-49094
Umum%20Relasi%20NegaraNegara%20Asia%20Tenggara%20dengan%20Amerika%20Serikat.h
tml,diunduh pada 24 April 2016.
2
Dean Rusk menyetujui serta menandatangani komunike bersama sebagai dasar
dari komitmen keamanan AS ke Thailand.4 Komunike ini merupakan bentuk
kesepakatan yang berisi apabila sewaktu-waktu integritas wilayah Thailand
terancam maka Amerika Serikat bersedia membantu.5 Sejak saat itu Thailand
merupakan aliansi pertahanan dan keamanan Amerika Serikat, sehingga Thailand
secara otomatis ikut berpartisipasi dalam program pertahanan dan militer Amerika
Serikat.
Program pertahanan dan militer yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan
Thailand diantaranya adalah Cooperation Afloat Readiness and Training
(CARAT) AS-Thailand yang sudah diselenggarakan sejak tahun 1995.6 CARAT
adalah latihan militer multinasional tahunan bersama yang diikuti oleh negara-
negara kawasan Asia Tenggara.7 Dimana pada setiap tahunnya Thailand menjadi
tuan rumah berlangsungnya latihan perang ini dengan menerima pasokan senjata
dan peralatan logistik militer dari Amerika Serikat. CARAT merupakan bagian
dari program Cobra Gold yang di sponsori oleh Thailand dan Amerika Serikat,
program ini dirancang AS untuk menjamin perdamaian regional dan untuk
4Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 6. 5Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap
Dinamika, Realitas, dan Masa Depan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2007), 113-144. 6“Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT)”, 28 Juni 2014.
Tersedia di http://www.globalsecurity.org/military/ops/carat.htm, diunduh pada 24 April 2016. 7Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN Navies”,
07 Mei 2015. Tersedia di The Diplomat http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-
military-exercises-with-asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
3
memperkuat kemampuan angkatan bersenjata Thailand menghadapi ancaman
regional.8
Amerika Serikat dengan Thailand saling mendukung satu sama lain dalam
bidang keamanan sejak tahun 1962.9 Namun, hubungan baik antara kedua negara
ini terganggu pada saat Thailand mengalami kudeta yang dilakukan oleh pimpinan
Angkatan Darat, Jenderal Prayuth Chan-ocha untuk menggulingkan pemerintahan
Perdana Menteri Yingluck Shinawatra karena dianggap tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.10 Kudeta Thailand yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2014
ini sangat di kecam oleh Amerika Serikat, karena menurut hukum Amerika
Serikat sanksi akan diberlakukan jika negara penerima bantuan militer Amerika
dinilai telah mengalami kudeta.11
Akibat dari kudeta yang terjadi di Thailand, Amerika Serika secara
sepihak membatalkan pelatihan militer tahunan bersama Cooperation Afloat
Readiness and Training (CARAT) AS-Thailand pada tanggal 24 Mei 2014
sebagai bentuk kekecewaan Amerika Serikat terhadap kudeta tersebut.12
Kementerian luar negeri Amerika Serikat mendesak junta militer agar segera
8Derek S. Reveron, America’s Viceroys: The Military and U.S. Foreign Policy, (Palgrave
Macmillan: United State of America, 2004), 77. 9Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 6. 10John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington, DC,
U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di
http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada September 2016.
11Zeke J Miller, “U.S. Condemns Thai Takeover As a Coup, Leaving Aid in Question”, Time
22 Mei 2014. tersedia di http://time.com/109601/us-thailand-coup/, diunduh pada 26 September
2016. *Dalam pengaplikasiannya Amerika Serikat tidak selalu memberlakukan pola yang sama
terhadap negara yang mengalami kudeta, lihat pada
http://wcfia.harvard.edu/files/wcfia/files/soestwahman2015.pdf. 12“US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News
24 Mei 2014. Tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-
coup-in-thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, diunduh pada 26 September 2016.
4
melakukan pemulihan pemerintahan sipil untuk kembali ke sistem demokrasi
dengan menghormati hak asasi manusia yang mencerminkan kehendak rakyat.13
Jenderal Prayuth Chan-ocha sangat kecewa terhadap pembatalan
kerjasama militer yang di lakukan oleh Amerika Serikat. Kekecawaan atas
pembatalan kerja sama ini, membuat Prayuth Chan-ocha mewakili pemerintahan
Thailand mengunjungi beijing untuk menjalin kerjasama yang lebih erat dalam
urusan militer, pelatihan, dan pengembangan persenjataan dengan Tiongkok pada
11-13 Juni 2014.14 Thailand dan Tiongkok sepakat melakukan latihan angkatan
udara bersama untuk meningkatkan hubungan bilateral, tiga angkatan bersenjata
akan berpartisipasi penuh dalam latihan militer antara kedua negara.15 Lima
pesawat militer Thailand dan Tiongkok melakukan akrobat udara bersama dengan
ketinggian 900 meter di atas Pangkalan Angkatan Udara (AU) Kerajaan Thailand
Korat, sekitar 260 km timur laut Bangkok.16 Kegiatan ini dilakukan sebagai
simbol keakraban kedua negara.
Kerjasama militer yang terjalin antara Thailand dan Tiongkok merupakan
upaya untuk meningkatkan kepercayaan dan menjalin persahabatan yang saling
menguntungkan antara Tiongkok dan Thailand. Thailand percaya bahwa
13John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington, DC,
U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di
http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada September 2016. 14
“Tiongkok is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014.
Tersedia di http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/Tiongkok-is-a-big-winner-fromthailands-
coup/, diunduh pada 27 September 2016 15
“Thai-Tiongkok ties destined for new level of strategic significance”, The Nation
Thailand Independent Newspaper 3 November 2014.Tersedia di
http://www.nationmultimedia.com/opinion/Thai-Tiongkok-ties-destined-for-new-level-of-
strategi30246792.html, diunduh pada 27 September 2016. 16
Tiongkok, Thailand joint air force exercise highlights warming ties”, Reuters News
Maps 24 November 2015. Tersedia di http://www.reuters.com/article/us-Tiongkok-thailand-
military-idUSKBN0TD0B120151124, diakses pada 26 September 2016.
5
kerjasama ini akan berjalan dengan baik karena saat ini kekuatan militer Tiongkok
telah menjadi sorotan masyarakat internasional. Militer Tiongkok dari masa-
kemasa mengalami revolusi, Tiongkok menempati posisi ke 2 terbesar di dunia.17
Hal ini tentu membuat kekuasan dan pengaruh Tiongkok di dunia mulai
diperhitungkan.
Sejak kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan baru, menimbulkan
persaingan dalam bidang militer antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Hal ini,
dikarenakan posisi Tiongkok sering kali berlawanan dengan Amerika Serikat.18
Persaingan yang terjadi salah satunya adalah dalam bidang pertahanan dan
keamanan. Tiongkok dinilai sangat berpotensi mengancam eksistensi Amerika
Serikat sebagai pemegang dominasi dunia, terutama di kawasan Asia yang saat ini
mulai menjalin Kerjasama militer dengan Thailand yang merupakan aliansi dari
Amerika Serikat.
B. Pertanyaan Penelitian
Dari pernyataan masalah yang telah di uraikan sebelumnya, alasan mengapa
penelitian ini menarik adalah Thailand dan Amerika Serikat merupakan aliansi
yang menjalin komitmen keamanan sejak tahun 1962.19 Namun, ketika Amerika
menghentikan kerjasama militer dengan Thailand akibat Kudeta Thailand pada
17Tim Riset Global Future Institute (GFI), “Amerika Kuasai 42 Persen Seluruh Anggaran
Militer Dunia,” The Global Review, 7 Agustus 2009, tersedia di
http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=589&type=8, diunduh pada 25
April 2016. 18Nely Fadrianis, Kedudukan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Penyeimbang Dominasi
Amerika Serikat dalam Dunia Internasional, (Skripsi Program S1 Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Hasanuddin (2012), 6. 19Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 6.
6
tahun 2014, Thailand pun memulai kerjasama militer dengan Tiongkok. Disinilah
muncul pertanyaan “Bagaimana Respon Amerika Serikat Terhadap
Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Pasca Kudeta 2014?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan proposal skripsi berjudul
Respon Amerika Serikat Terhadap Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok pada
tahun 2014 adalah :
1. Menganalisis tindakan Amerika Serikat dalam merespon kerjasama
militer antara Thailand dengan Tiongkok.
2. Menjelaskan mengenai orientasi kebijakan Amerika Serikat terhadap
Thailand sehubungan dengan kerjasama militer yang dijalani Thailand
dengan Tiongkok.
3. Mengaplikasikan teori dan konsep dalam studi Hubungan Internasional
yang relevan dan dapat digunakan sebagai alat analisa terhadap isu
kerjasama militer ini.
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat, diantaranya
adalah:
1. Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan
ilmu Hubungan internasional baik di lingkup universitas maupun
lingkup nasional dan internasional.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian
berikutnya untuk membahas tentang respon Amerika Serikat terhadap
kerjasama militer Thailand – Tiongkok, maupun mengenai pola respon
7
dari Amerika Serikat jika aliansinya menjalin kerjasama militer dengan
negara yang bertentangan dengan Amerika Serikat.
3. Penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan bagi penelitian
berikutnya untuk membahas Hubungan aliansi Amerika Serikat -
Thailand pasca Thailand menjalin kerjasama militer dengan Tiongkok.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian mengenai
Respon Amerika Serikat Terhadap Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Pada
Tahun 2014 ini bertujuan untuk menganalisis tindakan Amerika Serikat dalam
merespon kerjasama militer antara Thailand dengan Tiongkok. Oleh karena itu,
ada baiknya jika penulis menelaah penelitian -penelitian lain mengenai respon
Amerika Serikat ataupun yang berkaitan dengan variabel lainnya, seperti pola
hubungan Amerika Serikat dengan Thailand maupun Tiongkok yang telah ada
sebelumnya sebagai pembanding dan pelengkap penelitian. Pada bagian ini
penulis akan meninjau beberapa penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian
ini.
Tulisan pertama yang menjadi tinjauan pustaka pada penelitian ini adalah
Skripsi Rahmah Nazhafah Nazhafah pada tahun 2012 yang berjudul “Strategi
Militer Amerika Serikat dalam Membendung Pengaruh Republik Rakyat
Tiongkok di Asia Pasifik”.20 Dalam skripsinya Rahmah Nazhafah Nazhafah
memaparkan bahwa Pengaruh Tiongkok dari segi militer di Asia Pasifik membuat
20Rahmah Nazhafah Nazhafah, Strategi Militer Amerika Serikat dalam Membendung
Pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia Pasifik dalam Skripsi Jurusan Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, (2012).
8
Amerika Serikat memberikan respon, dengan membuat strategi militer guna
membendung pengaruh Tiongkok di kawasan strategis ini. Kawasan Asia Pasifik
menjadi objek dalam pertarungan kekuatan antara aktor lama, Amerika Serikat
dengan aktor baru, Tiongkok dimana mereka saling beradu kekuatan. Tiongkok
sendiri disini ingin menjadi penetral kekuatan dari Amerika Serikat yang telah
lama berkepentingan di kawasan ini. Dalam skripsinya, Rahmah Nazhafah
menggunakan konsep kebijakan luar negeri, konsep strategi militer, dan konsep
regional security dengan metode penelitian kualitatif yang menghubungkan
fenomena-fenomena untuk menarik kesimpulan akhir mengenai strategi militer
Amerika Serikat dalam membendung kekuatan Tiongkok di Asia Pasifik. Adapun
teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh Rahmah Nazhafah berupa library
research dari berbagai literatur yang relevan dengan pokok permasalahan dalam
objek penelitian, baik berupa buku, jurnal-jurnal, artikel-artikel yang bersumber
dari internet atau surat kabar dan interview dengan narasumber yang ahli
dibidangnya.
Rahmah Nazhafah memfokuskan penelitiannya pada tahun 2008 dimana
pada masa ini jelas sekali terjadi rivalitas antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Pada tahun 2014, Amerika dan Tiongkok menunjukan keunggulan kapabilitas
militernya di kawasan Asia Pasifik. Ia juga membatasi pembahasan ini pada
pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik dalam bidang militer. Hal ini disebabkan,
pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang semakin meningkat tiap tahunnya dimana
secara langsung maupun tidak langsung jelas akan berdampak pada kapabilitas
dan kemapanan militernya. Kemampuan militer Tiongkok inilah yang nantinya
9
akan menjadi ancaman bagi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik. Rahmah
Nazhafah Nazhafah Mencoba untuk menganalisa bagaimana bentuk pengaruh
Tiongkok di Asia Pasifik dalam bidang militer dan bentuk strategi militer
Amerika Serikat dalam membendung pengaruh Tiongkok di Asia Pasifik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmah Nazhafah Nazhafah dalam
skripsinya menunjukkan bahwa Kemajuan Tiongkok yang pesat, khususnya di
bidang militer menjadikan Tiongkok tampil sebagai kekuatan regional yang mana
menimbulkan kekhawatiran diantara negara-negara di kawasan Asia Pasifik
karena memiliki kedekatan geografis yang mana peningkatan kekuatan militer
suatu negara akan berdampak terhadap negara lain dan menyebabkan security
dilemma. Aktifitas-aktifitas militer Tiongkok, seperti membangun Hubungan
kerjasama pertahanan dengan negara-negara di Asia Pasifik, baik itu berupa
patroli dan latihan militer bersama, penjualan persenjataan, serta memperbaharui
strategi-strategi militer tiap tahunnya yang mana dari green water navy menjadi
blue water navy.
Skripsi yang ditulis oleh Rahmah Nazhafah memiliki variabel yang cukup
mirip dengan research yang sedang dilakukan oleh peneliti. Oleh karena itu,
banyak informasi yang dapat peneliti gunakan dalam melihat strategi militer
Amerika Serikat sebagai responnya dalam membendung kekuatan militer
Tiongkok di Kawasan Asia Pasifik khususnya di Thailand.
Tulisan kedua yang menjadi Tinjauan Pustaka pada penelitian ini adalah
jurnal yang berjudul “U.S.-Thai Relations After 9/11: A New Era in
Cooperation” yang ditulis oleh Paul Chambers Chamber dalam Contemporary
10
Southeast Asia.21 Dalam tulisannya Paul Chambers Chamber berfokus pada
Hubungan Amerika Serikat dengan Thailand pada masa pemerintahan perdana
menteri Thaksin yang mengubah orientasi kebijakan luar negerinya Pasca
serangan teroris pada 9 September 2001. Menurut Paul Chambers, tekanan dari
tokoh kuat Thailand, Amerika Serikat, negara-negara lain, dan opini publik
memaksa Thaksin untuk bergabung dengan perang melawan teror. Selain itu,
Amerika Serikat menekan untuk bekerja sama lebih penuh melawan teror dan
berpartisipasi dalam kampanye Washington di Irak. Semenjak itu Hubungan
Amerika Serikat dan Thailand membaik. Thailand menawarkan fasilitas militer,
pasukan, dan dukungan moral dalam upaya kebijakan luar negeri Washington.
Sebaliknya, Amerika menawarkan Thailand jalur cepat agar Hubungan ekonomi
mereka lebih dekat, transfer sumber daya untuk negara, dan bantuan terhadap
pemberontak Muslim di Thailand. Dalam penelitiannya ini Paul Chambers
menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan data sekunder seperti buku,
jurnal, dan berita mengenai topik jurnalnya.
Adapun hasil penelitian yang dilakukan oleh Paul Chambers Chamber
menjelaskan bahwa Meskipun Thailand dan Amerika Serikat telah lama menjadi
sekutu, kedekatan dan konsistensi aliansi mereka bervariasi. Menurutnya,
kedekatan dan konsistensi Hubungan Amerika Serikat dan Thailand akan
tergantung pada beberapa faktor. Pertama, kebutuhan yang dirasakan dalam
menghadapi ancaman; kedua, kecenderungan kedua belah pihak untuk
21Paul Chambers Chambers, U.S.-Thai Relations After 9/11: A New Era in Cooperation?
dalam Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 3, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS)
(Desember 2004) : 460-479.
11
menghilangkan antagonisme yang tidak semestinya; dan ketiga, opini publik
bagaimana melihat Hubungan antara Thailand dan Amerika Serikat.
Terdapat beberapa unsur yang berbeda dari topik yang dibahas oleh Paul
Chambers dalam jurnalnya dengan pembahasan pada topik yang ditulis oleh
peneliti. Paul Chambers hanya membahas mengenai Hubungan antara Amerika
Serikat dengan Thailand pasca 9/11. Sedangkan peneliti membahas mengenai
bagaimana respon Amerika Serikat melihat kerjasama militer yang dilakukan
oleh Thailand dan Tiongkok. Namun, melalui jurnal yang di tulis Paul Chambers
peneliti dapat mengetahui bagaimana dinamika kedekatan Hubungan antara
Amerika dan Thailand.
Tulisan ketiga yang menjadi Tinjauan Pustaka pada penelitian ini adalah
tulisan dari Chulacheeb Chinwanno Chinwanno yang berjudul “Rising China
and Thailand's Policy of Stratejic Engagement”.22 Dalam tulisannya Chulacheeb
Chinwanno Chinwanno membahas mengenai Hubungan antara Thailand dan
Tiongkok yang menjadi sangat hangat dan dekat. Kerjasama yang terjain diantara
keduanya berubah dari keamanan ke bidang ekonomi dan politik ke bidang
sosiokultural. Menurut Chulacheeb Chinwanno Terdapat beberapa faktor yang
berkontribusi terhadap Hubungan dekat kedua negara ini, faktor pertama adalah
patronase (pertukaran karakteristik) Hubungan kerajaan. Semua anggota keluarga
kerajaan Thailand kecuali raja telah mengunjungi Tiongkok beberapa kali. Faktor
kedua adalah keterlibatan aktif dari para pemimpin pemerintah dan pejabat
22Chulacheeb Chinwanno, Rising China and Thailand's Policy of Stratejic Engagement
dalam Chapter 3 buku The Rise of Tiongkok: Responses from Southeast Asia and Japan, NIDS
Joint Research Series, No. 4, The National Institute for Defense Studies Japan (2009).
12
Thailand. Faktor ketiga adalah koneksi etnis Tiongkok di Thailand. Kemudian,
faktor yang terakhir adalah sikap positif dari orang-orang Thailand kepada
Tiongkok karena kesamaan budaya.
Chulacheeb Chinwanno dalam tulisannya menekankan bahwa kesamaan
kepentingan, strategis dan ekonomi, antara Thailand dan Tiongkok telah
memperkuat Hubungan antara kedua negara sejauh ini. Tujuan Jangka Pendek
dari kebijakan strategis Thailand ke Tiongkok dimaksudkan untuk memperluas
dan memperdalam Hubungan sehingga dapat menjaga kedekatan Hubungan
Thailand dengan Tiongkok. Sedangkan, tujuan jangka panjangnya adalah untuk
menjalin Hubungan bilateral dan multilateral dengan Tiongkok yang terdiri dari
empat elemen, yaitu menampung kepentingan sah kedua negara, mengecilkan
peran negatif kedua negara, mengintegrasikan kedua negara ke dalam norma-
norma regional maupun lembaga, dan membuat peluang untuk saling
menguntungkan. Dalam tulisnya, Chulacheeb Chinwanno menggunakan metode
penelitian kualitatif yang dapat dilihat dari cara pemaparan topik yang ia bahas
secara deskriptif dan mendalam mengenai Hubungan antara Thailand dan
Tiongkok dengan menggunakan data sekunder seperti buku, jurnal, dan berita
mengenai topik tulisannya. Chulacheeb Chinwanno juga menggunakan data
statistik mengenai kerjasama ekonomi dan militer yang dilakukan antara Thailand
dengan Tiongkok yang bersumber dari website resmi negara Tiongkok.
Pada akhir tulisannya Chulacheeb Chinwanno menyimpulkan bahwa
Thailand mencoba menciptakan Hubungan baik dengan negara-negara besar
seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Jepang, dan India. Thailand mencoba untuk
13
mengelola Hubungan dengan Amerika Serikat sebagaimana Thailand membina
Hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok. Tujuan penting dari Thailand
adalah agar posisi negaranya tidak terbebani karena harus memilih antara
Amerika Serikat dan Tiongkok. Thailand ingin tetap menjalin Hubungan baik
dengan keduanya. Tulisan Chulacheeb Chinwanno dapat menjadi acuan dalam
tulisan peneliti mengenai informasi dan data strategi Thailand dalam membina
Hubungan baik antara Tiongkok dan Amerika terutama dalam bidang militer
sebagai referensi untuk tulisan peneliti.
Tulisan keempat yang menjadi Tinjauan Pustaka pada penelitian ini adalah
Skripsi Retno Ajiyastuti Ajiyastuti pada tahun 2014 yang berjudul “Respon
Amerika Serikat terhadap kerjasama Militer Cina-Rusia 2007-2012”.23
Dalam skripsinya Retno Ajiyastuti berfokus pada pembahasan mengenai respon
Amerika Serikat ketika Tiongkok dan Rusia menjalin kerjasama militer. Retno
Ajiyastuti memaparkan bahwa kerjasama militer yang semakin intens dijalin oleh
Tiongkok – Rusia mendapatkan beberapa respon dari pihak Amerika Serikat yang
difokuskan di kawasan Asia Pasifik. Hal ini dikarenakan beberapa peningkatan
aktivitas militer dari kerjasama kedua negara ini secara langsung memicu
kekhawatiran Amerika Serikat. Dalam menganalisa respon Amerika Serikat,
Retno Ajiyastuti menggunakan teori neorealisme dengan beberapa konsep seperti
kepentingan nasional, sistem internasional dan balance of power. Metode
penulisan yang digunakan adalah metode kualitatif dengan menggunakan teknik
23Retno Ajiyastuti Ajiyastuti, Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama Militer Cina-
Rusia 2007-2012, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta (2014).
14
pengumpulan data studi pustaka yang diperoleh dari beberapa buku, karya tulis
ilmiah, jurnal, artikel, dokumen pemerintah, dan berita di media online.
Adapun hasil dari penelitian dalam skripsi Retno Ajiyastuti menyimpulkan
bahwa terdapat beberapa bentuk respon Amerika Serikat yang diberikan terhadap
kerjasama militer Tiongkok dan Rusia 2007-2012. Salah satunya yaitu Amerika
Serikat meningkatkan kapabilitas militernya dengan menaikan anggaran belanja
dan pengeluaran militernya. Selain itu, Amerika Serikat melakukan kerjasama
dengan negara aliansinya di kawasan Asia Pasifik. Kemudian Amerika Serikat
juga berperan aktif dalam menjalin keterlibatan Hubungan militer dengan
Tiongkok dan Rusia.
Skripsi yang ditulis oleh Retno Ajiyastuti memiliki tujuan yang mirip
dengan peneliti, yaitu untuk menganalisis respon dari Amerika Serikat, yang
membedakan adalah variabel kerjasama militer antara Tiongkok dengan Rusia.
Namun, melalui skripsi ini peneliti memperoleh gambaran bagaimana pola
Amerika Serikat dalam merespon kerjasama militer yang dijalin oleh Tiongkok
dengan negara lain.
Tulisan kelima yang menjadi Tinjauan Pustaka pada penelitian ini adalah
Skripsi Bunga Sesiory pada tahun 2014 yang berjudul “Respon Amerika Serikat
Terhadap Peningkatan Kapabilitas Militer Tiongkok dikawasan Asia Pasifik”.24
Dalam penelitiannya Bunga Sesiory berfokus pada Kebijakan Amerika Serikat
dalam menghadapi peningkatan kapabilitas Tiongkok dikawasan Asia Pasifik.
Bunga Sesiory memaparkan bahwa perekonomian Tiongkok yang mengagumkan
24Bunga Seriory,Respon Amerika Serikat Terhadap Peningkatan Kapabilitas Militer
Tiongkok dikawasan Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas
(2014).
15
berpengaruh terhadap peningkatan kapabilitas militer Tiongkok yang sangat pesat.
Kondisi tersebut merupakan ancaman bagi supremasi Amerika Serikat ditatanan
sistem internasional yang akan berdampak terhadap kepentingan dan diplomasi
Amerika Serikat dikawasan Asia Pasifik. Dalam penelitiannya, Bunga
menggunakan Teori Stabilitas Hegemonik dan Strategi Kemanan melalui
perspektif realis dengan metode kulitatif melalui data sekunder.
Adapun hasil dari penelitian Bunga Sesiory dalam skripsinya
mengungkapkan bahwa dalam merespon peningkatan kapabilitas militer
Tiongkok di kawasan Asia Pasifik, Amerika Serikat meningkatkan intensitas
strategi yang defensif dan lebih kooperatif terhadap Tiongkok. Selain itu, Amerika
Serikat juga tetap meningkatkan kemampuan ofensifnya. Hal dilakukan Amerika
Serikat untuk mempertahankan posisinya sebagai hegemon yang bertanggung
jawab terhadap stabilitas sistem internasional.
Skripsi yang ditulis oleh Bunga Sesiory dapat menjadi acuan bagi peneliti
dalam merumuskan penelitian ini karena cukup memberikan gambaran serta
informasi bagi peneliti dalam melihat bagaimana tindakan yang diambil oleh
Amerika Serikat dalam meminimalisir pengaruh Tiongkok yang meningkatkan
kapabilitas militernya dikawasan Asia Pasifik.
Dapat dilihat dari hasil kelima tinjauan pustaka diatas, maka penelitian
yang berjudul Respon Amerika Serikat Terhadap Kerjasama Militer Thailand –
Tiongkok Pada Tahun 2014 membahas fokus penelitian yang berbeda dari
beberapa penelitian yang telah di paparkan sebelumnya.
16
E. Kerangka Teoritis
1. Realisme
Teori adalah seperangkat ide yang bersifat logis dan konsisten yang akan
membentuk sebuah kebiasaan, cara pandang, dan penafsiran mengenai hakikat
dunia dan cara kerjanya sebagai usaha untuk menjelaskan suatu fenomena, dimana
teori dapat memberikan sebuah kerangka berpikir yang berguna dalam memahami
perkembangan yang terjadi di dunia internasional.25 Realisme merupakan
pendekatan dalam studi Hubungan Internasional yang digunakan sebagai
kerangka berpikir untuk memahami isu-isu politik keamanan yang terjadi di
tingkat global maupun suatu kawasan. Realisme mengasumsikan politik global
sebagai kumpulan negara-negara yang memperjuangkan kepentingan nasional
masing-masing dengan instrumen utamanya adalah kekuatan militer.26 Pemikir
realis berpendapat bahwa kapasitas militer dan persekutuan merupakan dasar dari
jaminan keamanan dan keduanya dapat digunakan baik untuk mengakibatkan
ataupun mencegah konflik.27
Adapun asumsi dasar dari realisme, diantaranya:28
1) Pesimis terhadap sifat dasar manusia.
25Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009). Cetakan pertama, hlm. 14 26Charles W. Kegley dan Eugene R. Wittkopf, World Politics: Trends and
Transformation, Belmont: Wadsworth 2003, 37-38; tersedia di
https://wiki.zirve.edu.tr/groups/economicsandadministrativesciences/wiki/165d3/attachments/50e7
8/Charles_W._Kegley,_Shannon_L._Blanton_World_Politics_Trend_and_Transformation,_2010_
2011_Edition,_13th_Edition2010.pdf, diunduh pada 27 Mei 2016.
27Dunne, T., Kurki, M., & Smith, S., International Relations Theories: Discipline and
Diversity, 2nd
edition, (New York: Oxford University Press, 2010), 58-76.
28Robert Jackson & George Sorensen, Introduction to International Relations, (New
York: Oxford University Press Inc., 1999), 88.
17
2) Menganggap Hubungan internasional pada dasarnya konfliktual yang
diselesaikan melalui perang.
3) Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup
negara.
4) Skeptisisme terhadap adanya kemajuan dalam politik internasional
seperti politik domestik.
Perspektif realisme secara umum memiliki beberapa argumen, yaitu:29
1) Negara adalah aktor rasional yang uniteral.
2) Prioritas kebijakan negara terletak pada kepastian kondisi keamanan.
3) Lingkungan internasional dianggap memiliki karakteristik anarki yang
berarti bahwa negara sebagai unit dalam sistem internasional menganut
sistem yang mandiri sebagai berdaulat dengan tidak adanya pemerintahan
dunia.
4) Dalam situasi yang anarki maka terciptalah kompetisi keamanan sebagai
kondisi yang harus dihadapi setiap negara sebagai unit dalam sistem.
5) Kompetisi tersebut melahirkan kecenderungan kebijakan keamanan
negara yang ekspansionis khususnya dalam bentuk militer.
Menurut perspektif realisme aktor utama dalam sistem internasional adalah
negara, layaknya sifat egois manusia negara juga akan bersifat egois untuk
mencapai segala kebutuhannya. Realisme menganggap struktur sistem
internasional bersifat anarki, dimana negara merupakan unit yang mandiri dan
29Robert Jackson & George Sorensen, 1999, Introduction to International Relations, 89.
18
cenderung berkompetisi. Strategi keamanan yang cenderung ‘agresif’ atau offensif
ini akan mengutamakan penggunaan kekuatan militer dalam rangka mencapai
tujuan atau mempertahankan kepentingan nasional. Maka dari itu, strategi
keamanan dalam perspektif realis akan senantiasa dikaitkan dengan upaya
peningkatan power dan security, diantaranya dengan meningkatkan kapabilitas
militer.30
Menurut Hans J. Morgenthau, elemen power terdiri dari populasi, kondisi
geografis, sumber daya alam, kapabilitas industri, kepemimpinan, organisasi
internal, serta kapabilitas militer.31 Adapun kapabilitas militer yang dibentuk dan
dikembangkan oleh suatu negara dimaksudkan untuk kepentingan keamanan
nasional dan untuk kepentingan strategis yang lebih luas di tingkat regional
maupun global. Kekuatan militer tersebut diantaranya, kekuatan militer
konvensional yang terdiri dari kekuatan darat, laut, udara dan teknologi
persenjataan, serta kekuatan militer senjata pemusnah massal, seperti nuklir,
senjata kimia dan senjata biologi. Peningkatan kapabilitas militer merupakan
upaya suatu negara untuk penangkalan (deterence) terhadap negara-negara lain,
reaksi dari ancaman negara lain, ataupun sebagai upaya untuk mencapai
hegemoni.32
Dalam menjelaskan dan menjawab bagaimana respon Amerika Serikat
terhadap kerjasama militer antara Thailand dan Tiongkok, tak dapat terlepas dari
teori realisme. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, teori realisme
30Daniel S. Papp, 1997, Contemporary International Relations, Boston: Allyn & Bacon,
367. 31Hans J. Morgenthau, 1948, Politics among Nations: The Struggle for Power and
Peace, (New York: Alfred A.Knopf, 1948), 13. 32Hans J. Morgenthau, Politics among Nations, 15.
19
lebih menekankan pada sifat anarki dari sistem internasional dan pengaruhnya
terhadap perilaku negara dalam kebijakan luar negerinya, aktor negara dalam
penelitian ini adalah Amerika Serikat, Thailand dan Tiongkok. Dalam sistem yang
anarki tidak ada kepastian bahwa negara yang satu tidak akan menyerang negara
yang lain. Oleh karena timbul ketakutan dan ketidakpercayaan antar negara
tersebut, negara akan memastikan dirinya mendapatkan kekuatan untuk dapat
melindungi diri dari ancaman yang mungkin timbul dari negara lain untuk
keberlangsungan negara itu sendiri. Keadaan seperti ini yang pada akhirnya
menimbulkan Security dilemma yang dialami oleh Amerika Serikat ketika
aliansinya yaitu Thailand menjalin kerjasama militer dengan Tiongkok yang dapat
mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat di wilayah Asia Pasifik. oleh
karena itu, penulis melihat bahwa teori realisme sejalan dengan data-data yang
peneliti uraikan dalam penelitian ini. Sehingga teori ini dapat membantu peneliti
dalam menjawab pertanyaan penelitian.
2. Security Dilemma
Peningkatan kapabilitas militer yang dilakukan suatu negara dapat menciptakan
security dilemma (dilema keamanan), dimana tindakan suatu negara untuk
menjaga keamanan wilayahnya membuat negara lain merasa tidak aman, sehingga
cepat atau lambat akan melakukan hal yang sama. Dalam perspektif realisme, hal
tersebut merupakan akibat dari sistem internasional yang anarki.33
Menurut Glenn H. Snyder dalam tulisannya yang berjudul “The Security
Dilemma in Alliance Politics”, security dilemma dapat mengakibatkan
33Paul Chambers R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory:
Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond, (Boston: Allyn & Bacon, 1999),68.
20
terbentuknya aliansi. Aliansi merupakan sebuah bentuk akumulasi kekuatan,
akumulasi ini dapat dilakukan melalui persenjataan, membesarkan teritorial dan
formasi aliansi. Setiap negara mempunyai pilihan untuk mengikuti aliansi atau
tidak pada posisi logika N-prisioner dilemma, dimana menjadi koalisi negara
besar atau mendekatkan diri ke negara-negara kecil yang nantinya akan
membentuk sebuah kekuatan besar yang baru.34 Aliansi terbentuk dengan dua
alasan, alasan yang pertama adalah beberapa negara merasa tidak puas hanya
dengan memoderenkan keamanannya saja, mereka akan memperkuatnya dengan
beraliansi. Alasan yang kedua adalah beberapa negara beraliansi demi
menghindari diri dari isolasi atau menghindari dari tidakan yang dapat melawan
mereka.35 Siapa beraliansi dengan siapa semua tergantung pada negosiasi yang
dibuat dan persetujuan atas kedua belah pihak mau mengikuti atau tidak, dan juga
aliansi terbentuk berdasarkan nilai-nilai seperti; kepentingan, kesamaan ideologi,
dan nilai prestis.36 Selain aliansi terdapat pula istilah Alignments yang diartikan
sebagai “mutual expectation”, keduanya merupakan langkah suatu negara untuk
menjalin kerjasama, namun alignments dapat berubah atau berakhir kapan saja
jika terdapat suatu permasalahan.37 Hal ini terjadi karena Alignments hanya
sebatas kesepakatan informal tanpa adanya Treaty antara pihak yang terkait.
Alignment seringkali berbentuk kolaborasi militer.
34Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, (World Politics:
Cambridge University Press, 1948), Vol. 36, No. 4, hal 464.
Terdapat di http://www.jstor.org/stable/2010183, diunduh pada 30 Mei 2016 35Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, 462. 36Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, 469. 37Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, 6.
21
Glenn H. Snyder juga menjelaskan bahwa Security dilemma di dalam
aliansi terbagi dalam dua fase, yaitu fase pertama yang muncul selama proses
pembentukan aliansi, dan yang kedua adalah setelah aliansi terbentuk. Di dalam
fase pertama, setiap negara mempunyai dua pilihan yaitu membentuk aliansi atau
abstain dari aliansi. Aliansi akan terbentuk antara lain karena dua alasan utama,
yaitu: 1) sebagian negara mungkin tidak puas hanya dengan keamanan yang
sekedarnya, dan mereka dapat meningkatkannya dengan beraliansi jika negara
lain abstain, dan 2) sebagian negara di tengah ketakutan jika negara lain tidak
akan mengambil jalan abstain, akan membentuk aliansi untuk menghindar dari
pengucilan, atau untuk menghindarkan partner tersebut beraliansi melawan
mereka.38 Fase kedua adalah ketika aliansi telah terbentuk, dimana pertanyaannya
tidak lagi berkutat pada apakah akan membentuk aliansi atau tidak, tetapi sudah
bergeser menjadi seberapa jauh komitmen yang akan diberikan kepada
partnernya, dan seberapa banyak dukungan yang akan diberikan kepada partner
tersebut.39
Lebih lanjut Glenn H. Snyder menjelaskan Security dilemma dalam aliansi
terjadi dalam Hubungan antara sekutu serta antara lawan. Pembelotan yang
dilakukan oleh aliansi mungkin terjadi, membelot berarti menunjukkan komitmen
yang lemah dan tidak memberikan dukungan dalam konflik dengan musuh.
Bagaimanapun kekhawatiran ditinggalkan oleh aliansi lebih besar dari pada
kekhawatiran akan dijebak. Ketakutan saling ditinggalkan tersebut, cenderung
membuat negara mengubah kebijakannya. Aliansi dapat mengadopsi kebijakan
38Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politic, 462. 39Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politic, 463.
22
yang independen dan kontradiktif ketika khawatir pasangannya akan membelot.
Dengan demikian, ketika keadaan security dilemma dalam aliansi , negara dapat
membuat kebijakan yang kontradiktif karena ada sedikit tekanan struktural
terhadap resolusi negara, serta yakin bahwa perbedaan yang ada antara aliansi
dapat diselesaikan melalui norma-norma konsensus dan apa yang dilakukan
pasangan aliansinya tidak mengancam keberadaan negara tersebut.40
Peneliti melihat bahwa penggunaan konsep Security Dilemma lebih tepat
dalam menganalisa Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama militer antara
Thailand dengan Tiongkok. Hal ini disebabkan konsep tersebut dapat menjelaskan
bahwa suatu negara yang mengalami Security Dilemma dalam aliansi dapat
membuat kebijakan yang kontradiktif karena ada sedikit tekanan struktural
terhadap resolusi negara tersebut.41 Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya
Amerika Serikat dan Thailand merupakan aliansi yang ditandai dengan
penandatanganan komunike bersama oleh Menteri Luar Negeri Thailand Thanat
Khoman dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Dean Rusk sebagai dasar dari
komitmen keamanan AS ke Thailand pada tahun 1962. 42 Namun, Amerika
Serikat Amerika Serikat secara sepihak membatalkan Alignment pelatihan militer
tahunan bersama Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) AS-
Thailand pada tanggal 24 Mei 2014 sebagai bentuk kekecewaan Amerika Serikat
40Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politic, 494. 41Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politic, 494. 42Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional Research
Service, 2015), 6.
23
terhadap kudeta yang terjadi di Thailand.43 Menanggapi hal tersebut, pada tanggal
11-13 Juni 2016 pimpinan militer Thailand berkunjung ke Beijing untuk
menjalin kerjasama yang lebih erat dalam urusan militer, pelatihan, dan
pengembangan persenjataan dengan Tiongkok.44 Thailand dan Tiongkok sepakat
melakukan latihan angkatan udara bersama untuk pertama kalinya, dimana tiga
angkatan bersenjata akan berpartisipasi penuh dalam latihan militer antara kedua
negara.45 Dalam hal ini, Tiongkok dinilai sangat berpotensi mengancam
Hubungan Amerika Serikat dengan Thailand, serta eksistensinya sebagai
pemegang dominasi dunia, terutama di kawasan Asia. Hal ini, dikarenakan posisi
Tiongkok sering kali berlawanan dengan Amerika Serikat.46 Dengan demikian,
kekhawatiran yang dialami oleh Amerika Serikat membuatnya mengalami
security dilemma dalam aliansi. Sehingga, Amerika Serikat dapat membuat
kebijakan yang kontradiktif terhadap Thailand dalam merespon kerjasama militer
yang dilakukan Thailand dan Tiongkok.
43 “US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News 24 Mei
2014; tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-coup-in-
thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, 26 September 2016.
44 “Tiongkok is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014;
tersedia di http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/Tiongkok-is-a-big-winner-fromthailands-
coup/, diunduh pada 27 September 2016
45 “Thai-Tiongkok ties destined for new level of strategic significance”, The Nation Thailand
Independent Newspaper 3 November 2014; tersedia di
http://www.nationmultimedia.com/opinion/Thai-Tiongkok-ties-destined-for-new-level-of-
strategi30246792.html, diunduh pada 27 September 2016.
46 Nely Fadrianis, “Kedudukan Republik Rakyat Tiongkok sebagai Penyeimbang Dominasi
Amerika Serikat dalam Dunia Internasional”, Skripsi Program S1 Ilmu Hubungan Internasional,
Universitas Hasanuddin (2012), 6. Tersedia di
http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/1975/10.%20Isi%20Skripsi.pdf?sequenc
e=2, diunduh pada 20 Mei 2016.
24
Berdasarkan konsep security dilemma dalam aliansi jika dikaitkan dengan
pemaparan diatas, variabel yang dipengaruhi atau variabel terikat (dependent
variable) pada penelitian ini adalah respon Amerika Serikat, yang bisa juga
disebut sebagai konsekuensi logis dari security dilemma dalam aliansi yang
dihadapi Amerika Serikat (kecenderungan merasa khawatir ditinggalkan oleh
Thailand) karena kerjasama militer yang dilakukan oleh Thailand dan Tiongkok
pada tahun 2014 (bisa dianggap sebagai faktor pendorong dari aktor lainnya).
Dengan kata lain, respon Amerika serikat menjadi variabel yang terikat karena
dipengaruhi oleh variabel bebas (kerjasama militer antara Thailand dan
Tiongkok), dimana yang mempengaruhi adalah peningkatan kapabilitas militer
Tiongkok, yang direpresentasikan oleh kerjasama militernya dengan Thailand
yang sesuai dengan konsep security dilemma dalam aliansi.
2. Strategi Hedging
Dalam hubungan internasional, sistem internasional selalu mengalami
perubahan sehingga setiap negara akan khawatir atas perubahan sistem
internasional tersebut. Akibatnya setiap negara akan merasa tidak aman dengan
munculnya negara raising power. Ancaman yang ditimbulkan akibat adanya
perubahan sistem internasional tidaklah pasti, karena negara raising power yang
dianggap sebagai ancaman potensial masih terus berkembang sehingga “ketidak
pastian” ini membuat suatu negara akan memperhitungkan langkah yang tepat
25
untuk diambil ketika berhubungan dengan negara raising power meskipun
kebijakan tersebut memiliki resiko.47
Evelyn Goh mendefinisikan hedging sebagai satu set strategi yang
bertujuan untuk menghindari (atau direncanakan sebagai suatu hal yang
kebetulan) sebuah situasi dimana negara tidak dapat memutuskan untuk
melakukan alternatif selain balancing, bandwagoning atau bersikap netral.48
Sebaliknya negara memilih berada di tengah-tengah atau menghindari untuk
memilih berada disisi lainnya. Hal ini seperti ditegaskan Goh dalam
Understanding ’Hedging’ in Asia-Pasific Security49, menjelaskan konsep hedging
sebagai:
”a set of strategies aimed at avoiding (or planning for contingencies
in) a situation in which states cannot decide upon more
straightforward alternatives such as balancing, bandwagoning, or
neutrality. Instead they cultivates a middle position that forestalls or
avoids having to choose one side [or one straightforward policy
stance]”
Goh melalui studinya berargumen bahwa perilaku hedging di Asia
Tenggara terdiri dari tiga elemen.50 Elemen pertama yaitu indirect balancing (soft
balancing), dalam hal ini negara membujuk negara-negara kuat lainnya, seperti
Amerika Serikat untuk mengimbangi pengaruh regional Tiongkok. Menurut Goh
47 Brock F. Tessman, “System Structure and State Strategu: Adding Hedging to the
Menu.” (Routledge Taylor&Francis Group XI(21): 2012), 195. 48 Evelyn Goh, “Meeting the China Challenge: The U.S. in Souhteast Asia Regional
Security Strategies.” (Washington: East West Center : 2005), 2. 49 Evelyn Goh, “Understanding “hedging” in Asia-Pasific Security” (Pacific Forum CSIS:
Honolulu, Hawai : . 31 Agustus 2006), 1. 50 Evelyn Goh, “Meeting the China Challenge: The U.S. in Souhteast Asia Regional
Security Strategies.” (Washington: East West Center : 2005), 3-4.
26
Indirect balancing merupakan kebijakan yang diciptakan untuk menghadapi
kemampuan negara lawan dengan membatasi sebuah negara, baik itu dilakukan
melalui nonspesific deterrence, penguatan pertahanan, maupun membangun
hubungan diplomatik, ekonomi, dan politik dengan negara ketiga, atau organisasi
yang dapat menjadi pendukung negara ketika hubungan dengan lawan menjadi
buruk.51
Kedua, hedging memerlukan engagement yang komplek dengan Tiongkok
pada tingkat politik, ekonomi, dan militer dengan harapan pemimpin Tiongkok
dapat dipengaruhi atau disosialisasikan untuk mematuhi peraturan dan norma-
norma internasional. Dalam hal ini, kebijakan engagement dapat dipahami sebagai
sebuah constructive hedge yang menentang agresivitas dominasi potensial
Tiongkok. Kebijakan engagement berusaha mengembangkan ikatan politik dan
ekonomi dengan sebuah negara dan membawanya pada masyarakat internasional,
sehingga mengubah preferensi dan aksi para pemimpin pada kecenderungan yang
lebih damai.52
Ketiga, hedging merupakan sebuah kebijakan umum akan enmeshing
(mengumpulkan) kekuatan besar di regional dalam rangka mendirikan sebuah
stabilitas tatanan regional. Semua pemikir mengatakan bahwa Asia Tenggara
melakukan hedging terhadap hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu dominasi atau
hegemoni Tiongkok, penarikan diri Amerika Serikat dari kawasan ini, dan
ketidakstabilan tatanan di kawasan. Sebagian besar negara di kawasan Asia
51 Evelyn Goh, “Understanding “hedging” in Asia-Pasific Security” (Pacific Forum CSIS:
Honolulu, Hawai : 31 Agustus 2006), 2. 52 Johnston dan Ross (1999) dalam Kong dalam Evelyn Goh. “Meeting the China
Challenge:The U.S. in Souhteast Asia Regional Security Strategies”, (Washington: East West Center: 2005), 3.
27
Tenggara tidak mempunyai pilihan untuk melakukan balancing atau
bandwagoning terhadap negara yang lebih kuat.53
Di Asia Tenggara, ada konsensus dikalangan analis bahwa subregion
mengadopsi strategi kembar hedging berupa engagement dengan Tiongkok di satu
sisi, dan di sisi lain melakukan soft balancing menentang potensial agresi
Tiongkok atau gangguan status quo. Strategi yang terakhir tidak hanya mencakup
akuisisi dan moderninasi militer, tapi juga sebagai upaya untuk menjaga AS tetap
terlibat dikawasan tersebut sebagai penyeimbang terhadap kekuatan China.54
Sebuah negara yang dapat melakukan hedging (hedger) secara kuat adalah negara
yang mampu membangun dan mempertahankan hubungan strategis secara dekat
dengan dua kekuatan besar (Amerika Serikat dan Tiongkok) pada saat yang
bersamaan. Dikawasan Asia Tenggara negara hegder merasa lebih mampu
memengaruhi negara- negara lain di kawasan dibanding dengan Amerika Serikat
dan Tiongkok, maka dengan ini hedging akan terlihat semakin rumit. Tentu saja,
negara-negara besar akan saling mengawasi satu sama lain dan bertindak sebagai
deterrent dengan berani. Dalam pengertian ini, enmeshment merupakan hedging
terhadap kemungkinan persaingan kekerasan antara kekuasan besar di kawasan.
Tujuan dari strategi hedging berupa great power enmeshment tidak untuk
menghasilkan a multipolar balance of power dalam pengertian yang
konvensional, karena negara-negara besar yang terlibat disini tidak berada di
perserikatan yang sama. Strategi hedging bertujuan untuk memfasilitasi sebuah
53 Evelyn Goh, “Meeting the China Challenge: The U.S. in Souhteast Asia Regional
Security Strategies.” (Washington: East West Center : 2005), 2. 54 Johnston dan Ross (1999) dalam Kong dalam Evelyn Goh. “Meeting the China
Challenge:The U.S. in Souhteast Asia Regional Security Strategies”, (Washington: East West Center: 2005), 3.
28
transisi yang pada dasarnya tidak mengganggu distribusi power di kawasan.
Tujuan ini berbeda dengan strategi balancing atau bandwagoning yang bertujuan
untuk mencegah transisi kekuasaan atau untuk mencapai hasil revisionis dalam
distribusi power. Amerika Serikat tidak akan berubah selama beberapa waktu
melalui perkembangan hubungan dengan Tiongkok yang stabil. Meski demikian,
Amerika Serikat tetap menjadi penyedia barang-barang keamanan bersama di
kawasan, memimpin dalam counterterrorism, antipiracy, antitrafficking serta
militer deterrence.
Goh menegaskan bahwa dalam menganalisa kondisi di Asia Tenggara,
strategi hedging lebih canggih dibanding balancing dan bandwagoning.55
Pasalnya, peran Amerika Serikat tetap dilihat sangat penting. Strategi hedging
merupakan representasi alternatif yang pragmatis signifikan yang dimaksudkan
untuk mencegah suatu destabilisasi power dan juga untuk mengambil keuntungan
dari negara tujuan. Strategi Hedging paling efektif dalam hubungan diplomatik,
aspek ekonomi dan militer dalam memperluas pengaruh Amerika Serikat di
kawasan Asia Tenggara.
Strategi Hedging ini sangat cocok dalam melihat hubungan Amerika
Serikat dan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara, yaitu strategi yang
memungkinkan Amerika Serikat meningkatkan peran di kawasan Asia Tenggara
melalui kerjasma militer dengan Tiongkok. Melalui strategi ini Amerika Serikat
mendapatkan keuntungan dari hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Selain itu,
55 Evelyn Goh, “Understanding “hedging” in Asia-Pasific Security” (Pacific Forum CSIS:
Honolulu, Hawai : . 31 Agustus 2006), 1.
29
Amerika Serikat dapat mengamati Tiongkok dari dekat sehingga dapat mencegah
ancaman serta menekan kekuatan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian mengenai respon Amerika Serikat terhadap
kerjasama militer Thailand – Tiongkok pada tahun 2014, penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara
dan studi kepustakaan. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami suatu
fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses
interaksi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti.56 Dalam
penelitian ini, penulis mencoba untuk menjelaskan secara mendalam pola
hubungan antara variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi (respon Amerika
serikat) dengan variabel tidak terikat atau variabel yang mempengaruhi
(kerjasama militer Thailand – Tiongkok), serta interaksi sebab-akibat
antarvariabel untuk menjawab pertanyaan penelitian dalam bentuk analisa
deskriptif. Dimana, penulis akan menjelaskan permasalahan dengan cara
menyusun, menggambarkan, menganalisis data yang telah diperoleh, dan menarik
kesimpulan.57
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah melalui
wawancara secara langsung dengan pihak terkait sebagai sumber data primer.
Pihak yang akan dijadikan sebagai narasumber utama adalah one government
officer di Thailand. Dalam melengkapi data, peneliti juga mengambil data dari
56Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1995),
5. 57W. Lawrence Newman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches, (Boston: Pearson Education, Inc, 2003),71.
30
dokumen-dokumen resmi mencangkup treaty kerjasama negara terkait sebagai
sumber data hukum primer dan studi pustaka sebagai sumber data sekunder dari
buku-buku, jurnal-jurnal ilmiah, dan surat kabar online, serta sumber-sumber lain
yang relevan. Setelah semua data terkumpul penulis akan mengklasifikasikannya
sesuai dengan pembahasan pada penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan komprehensif atas penelitian
ini, keseluruhan isi penulisan ini dibagi menjadi 5 Bab, yakni Bab I, Bab II, Bab
III, Bab IV, dan Bab V. Dari bab-bab tersebut diuraikan kembali menjadi
beberapa sub bab yang diperlukan. Sistematika ini disusun berdasarkan urutan
langkah – langkah yang ditempuh dalam rangka penelitian ini.
BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar
belakang permasalahan, perntanyaan penelitian yang diajukan, tujuan dan manfaat
diadakannya penelitian ini, tinjauan pustaka, kerangka teori yang digunakan,
metode penelitian, dan sistematika dari penulisan penelitian ini.
BAB II POSISI STRATEGIS ASIA TENGGARA DAN KERJASAMA
MILITER AMERIKA SERIKAT – THAILAND SEBELUM KUDETA 2014.
Dalam bab ini akan diuraikan secara mendalam mengenai posisi strategis Asia
Tenggara bagi Amerika Serikat dan kerjasama militer Amerika Serikat – Thailand
sebelum kudeta 2014.
BAB III KERJASAMA MILITER THAILAND – TIONGKOK PASCA
KUDETA 2014. Bab ini menjelaskan mengenai kerjasama militer yang di jalin
oleh Thailand dengan Tiongkok pasca kudeta 2014. Kerjasama militer tersebut
31
meliputi Joint Military Exercises dan Arms Transfers. Pada sub bab terakhir akan
dibahas mengenai dampak kerjasama militer Thailand – Tiongkok bagi Amerika
Serikat.
BAB IV RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA
MILITER THAILAND – TIONGKOK. Bab ini merupakan bagian yang
mengkorelasikan antara BAB II dan BAB III. Pada bab ini, akan dipaparkan
mengenai respon Amerika Serikat terhadap kerjasama militer Thailand dengan
Tiongkok pada tahun 2014. Dengan kata lain, bab ini akan menganalisis dengan
menggunakan teori yang telah dipaparkan sebelumnya guna menjawab pertanyaan
penelitian.
BAB V PENUTUP. Dalam bab ini akan berisi kesimpulan akhir dari
penelitian yang dituliskan dan jawaban dari pertanyaan penelitian yang telah
diajukan serta saran dari pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya.
32
BAB II
POSISI STRATEGIS ASIA TENGGARA DAN KERJASAMA
MILITER AMERIKA SERIKAT – THAILAND SEBELUM KUDETA 2014
Tulisan pada bab ini akan memberikan penjelasan terkait posisi strategis
Asia Tenggara dan kerjasama militer Amerika Serikat dengan Thailand sebelum
kudeta 2014 secara menyeluruh. Dimulai dari perubahan fokus Amerika Serikat
ke kawasan Asia Tenggara dengan kebijakan Pivot to Asia. Pada bagian
selanjutnya, akan dilihat sejarah kerjasama militer Amerika Serikat dengan
Thailand sebelum kudeta 2014. Dengan penjelasan yang diurutkan secara
sistematis maka tujuan dari penulisan bab ini untuk memberikan gambaran
menyeluruh terkait penjelasan terkait posisi strategis Asia Tenggara dan
kerjasama militer Amerika Serikat dengan Thailand sebelum kudeta 2014
diharapkan dapat tercapai.
A. Posisi Strategis Asia Tenggara
Amerika Serikat mulai merubah fokus kebijakan luar negerinya dari
kawasan Trans-Atlantik dan Timur Tengah ke kawasan Asia. Hal ini ditandai
dengan pengambilan kebijakan Pivot Asia atau Rebalancing Asia oleh
pemerintahan Obama yang diperkenalkan oleh Hillary Clinton sebagai Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat pada akhir tahun 2011.58 Perubahan orientasi ini
didorong oleh meningkatnya dinamika hubungan antara negara-negara di Asia
akibat peningkatan kemampuan militer.
58 Hillary Clinton, “America's Pacific Century, Foreign Policy”, 11 Oktober 2011. Tersedia
di http://foreignpolicy.com/2011/10/11/americas-pacific-century/, 28 April 2017.
33
Kebijakan Pivot Asia diambil untuk mempertahankan kepemimpinan,
mengamankan kepentingan, dan mengembangkan nilai-nilai Amerika di kawasan
Asia. Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan Asia yang cukup strategis
bagi Amerika Serikat dari sisi geopolitik, geostrategi, geoekonomi, maupun
geokultural.59 Hal ini ditandai dengan tingginya jumlah penduduk Asia Tenggara
yang mencapai 593 juta dengan Gross National Product (GNP) mencapai 700
milyar dolar pada 2010.60 Dengan jumlah penduduk yang sangat besar, Asia
Tenggara dapat menjadi pasar yang luas bagi produk Amerika Serikat, termasuk
industri jasa maupun investasi.
Selain itu, Jalur laut atau Sea-lanes Asia Tenggara sangat strategis, Posisi
Asia Tenggara terbentang di persimpangan dua jalur laut terbesar di dunia.
Pertama adalah jalur Timur-Barat, yaitu jalur yang menghubungkan Samudera
Hindia dengan Samudera Pasifik. Kedua adalah jalur Utara-Selatan, yang
menghubungkan kawasan Asia Timur dengan Australia dan New Zealand serta
pulau disekitarnya.61 Tiga pintu masuk kawasan Asia Tenggara: Selat Malaka,
Selat Sunda dan Selat Lombok merupakan titik penting sebagai pos untuk
pergerakan kehadiran militer Amerika Serikat di Pasifik Barat dan Samudera
Hindia. Letak Asia Tenggara yang sangat strategis sangat penting bagi strategi
keamanan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Amerika Serikat memiliki
59 Donald E. Weatherbee, “International Relations in Southeast Asia: The Struggle for
Autonomy”, Second Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, (United States of America : 2009), 6.
60 Gavin W. Jones, The Population Of Southeast Asia, JY Pillay Comparative Asia Research Centre Global Asia Institute, (National University Of Singapore, January 2013),3.
61 Richard Sokolsky, Angel Rabasa, C.R. Neu., “The Role of Southeast Asia in U.S. Strategy Toward China”, (Santa Monica: Rand, 2000), 10.
34
kepentingan-kepentingan untuk akses bebas dan terbuka di jalur di Asia Tenggara,
baik untuk kepentingan militer atau national security.
Namun, posisi Amerika Serikat mulai terancam sejak pengaruh Tiongkok
berkembang pesat di kawasan Asia Tenggara.62 Amerika Serikat dan Tiongkok
merupakan dua kekuatan superpower dalam politik global, keduanya memiliki
pengaruh yang besar dalam segi ekonomi, politik, maupun militer di wilayah Asia
Tenggara.63 Amerika menganggap Tiongkok sebagai sumber ancaman karena
berbagai hal, mulai dari masalah persengketaan wilayah, budget militer yang tidak
transparan, hingga modernisasi militer yang mulai menunjukkan superioritas
terhadap militer negara lain.64
Tiongkok muncul dengan dorongan perdagangan dan investasi baru yang
mampu menguasai pasar Asia Tenggara.65 Perdagangan Tiongkok di wilayah Asia
Tenggara pada akhir 2009 mencapai 179 milyar US dolar.66 Selain itu, saat ini
kekuatan militer Tiongkok telah menjadi sorotan masyarakat internasional karena
mengalami revolusi yang cukup pesat dan berhasil menempati posisi ke 2 terbesar
62 Chandra Muzaffar, “The Relationship between Southeast Asia and the United State : A
Contemporary Analysis”, (Sosial Research; 2005), 910. 63 Donald E. Weatherbee, “International Relations in Southeast Asia: The Struggle for
Autonomy”, Second Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, (United States of America : 2009), 45.
64 Donald E. Weatherbee, “International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy”, Second Edition, Rowman & Littlefield Publishers, Inc, (United States of America : 2009), 48-49.
65 “China embraces Southeast Asia with renewed trade, investment push as US turns
inward”, South China Morning Post 12 Desember 2016; tersedia di http://www.scmp.com/news/china/diplomacy-defence/article/2053920/china-embraces-southeast-asia-renewed-trade-investment, 17 April 2017.
66 “Hillary Clinton, AS Kembali Perkuat Hubungan Dengan ASEAN”, Tempo.co 22 Juli 2009; tersedia di https://m.tempo.co/read/news/2009/07/22/118188400/hillary-clinton-as-kembaliperkuat-hubungan-dengan-asean, 17 April 2017.
35
di dunia setelah Amerika Serikat.67 Faktor tersebut akhirnya mendorong Amerika
Serikat untuk lebih meningkatkan perannya di Asia Tenggara dengan cara
memperkuat aliansi dan peningkatan kehadiran militer di kawasan Asia Tenggara
agar dapat berjalan berdampingan untuk menjaga stabilitas kawasan.
B. Kerjasama Militer Amerika Serikat – Thailand Sebelum Kudeta
2014
Thailand merupakan salah satu negara aliansi yang sangat penting bagi
Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Hubungan bilateral kedua negara
sudah terjalin sejak penandatanganan perjanjian bilateral pada tahun 1833 dan
telah menjadi sekutu perjanjian formal sejak penandatanganan Pakta Manila pada
tahun 1954.68 Selain menjadi mitra perdagangan dan tempat investasi yang besar
untuk Amerika Serikat, dari segi kerjasama militer negara Thailand merupakan
akses utama bagi Amerika Serikat untuk mempertahankan posisi strategis di
kawasan Asia Tenggara.69 Thailand dapat digunakan Amerika Serikat sebagai
penghubung ke negara-negara yang tergabung dalam Association of South East
Asian Nations (ASEAN), karena Thailand berbatasan langsung dengan negara
Myanmar, Laos, Kamboja dan Malaysia.70
Hubungan bilateral kedua negara terjalin semakin erat pada tahun
1962 ketika Menteri Luar Negeri Thailand Thanat Khoman dan Menteri Luar
67 Tim Riset Global Future Institute (GFI), “Amerika Kuasai 42 Persen Seluruh Anggaran
Militer Dunia,” The Global Review, 7 Agustus 2009. Tersedia di http://www.theglobalreview.com/content_detail.php?lang=id&id=589&type=8, 25 April 2016.
68 US departement of state, “U.S. Relations With Thailand”, 24 januari 2017, tersedia di
https://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2814.htm, 18 Februari 2017 69 Karl D. Jackson, Wiwat Mungkandi, “United States-Thailand relations”, Institute of
East Asian Studies, University of California, (Berkeley : 1986), 9. 70 Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 8.
36
Negeri Amerika Serikat Dean Rusk sepakat untuk menjalin kerjasama militer
dengan menandatangani komunike bersama. Hal ini merupakan bentuk
kesepakatan untuk menjalin aliansi pertahanan dan keamanan antara kedua negara
yang berisi apabila sewaktu-waktu integritas wilayah Thailand terancam maka
Amerika Serikat bersedia membantu.71 Sejak saat itu, Thailand menjadi aliansi
yang solid untuk Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara. Aliansi antara
Amerika Serikat dan Thailand didirikan atas dasar kepentingan keamanan
bersama, sehingga Amerika Serikat percaya Thailand akan menjadi aliansi yang
kuat dan kerjasama yang terjalin akan saling menguntungkan.
Aliansi sendiri, Menurut Glenn H. Snyder “Alliances are formal
associations of states for the use (or nonuse) of military force, in specified
circumstances, against states outside their own membership”.72 Dengan kata lain
aliansi merupakan suatu kesepakatan formal antara negara dalam menggunakan
kekuatan militer (security issue) dalam keadaan tertentu untuk melawan negara-
negara diluar aliansinya atas dasar kepentingan bersama.
Joseph Nye, mendefinisikan aliansi sebagai “Formal or informal
arrangements between sovereign states, usually to ensure mutual security”,
yaitu kesepakatan formal atau non-formal antara negara dengan tujuan untuk
mempertahankan diri dari ancaman negara atau kekuatan lain.73 Aliansi yang
berbentuk formal merupakan aliansi yang ditandai dengan penandatangan
71 Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 6. 72 Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, (World Politics: Cambridge
University Press, 1948), Vol. 36, No. 4, 4. Terdapat di http://www.jstor.org/stable/2010183, diunduh pada 30 Mei 2016 73 Nye, Joseph, Understanding International Conflict, 7th, (Ed. New York: Pearson
Longman, 2009), 289.
37
sebuah treaty yang dipublikasikan (publicly recognized), sedangkan aliansi
informal dapat dicapai melalui perjanjian secara rahasia antara kepala
negaranya. Adapun alasan untuk beraliansi, menurut Joseph Nye selain dibangun
atas alasan militer, juga dapat dibangun atas alasan nonmiliter seperti ideologi dan
ekonomi.
Pada tahun 2012 Amerika Serikat kembali memperkuat aliansi tersebut
sebagai bagian dari strategi Pivot Asia. Pada November 2012 Sekretaris
Pertahanan Amerika Serikat, Leon Panetta pergi ke Bangkok untuk
mengumumkan bahwa kedua belah pihak telah sepakat untuk memperkuat aliansi
kedua negara di abad dua puluh satu ini.74 Mengingat bahwa dua area prioritas
untuk poros tersebut adalah untuk memperkuat aliansi bilateral Amerika dan
memperluas kehadiran militer AS di Asia, Panetta menyatakan bahwa
memperkuat hubungan militer Amerika Serikat dan Thailand sangat penting bagi
strategi penyeimbangan kembali.75
Kedua belah pihak mengeluarkan pernyataan bahwa aliansi Pertahanan
Amerika Serikat dan Thailand akan diperkuat dalam menangani ancaman
transnasional, menanggapi bencana alam, berkontribusi terhadap pemeliharaan
perdamaian global dan menangani masalah keamanan maritim.76 Komitmen
Amerika Serikat dalam menjalin kerjasama dengan Thailand dapat memperkuat
74 Nirmal Ghosh, “US-Thai security alliance revived”, Straits Times, 16 November 2012.
Terdapat di http://eresources.nlb.gov.sg/newspapers/digitised/issue/straitstimes20121116-1, 25 April 2017.
75 Nirmal Ghosh, “US-Thai security alliance revived”, Straits Times, 16 November 2012.
Terdapat di http://eresources.nlb.gov.sg/newspapers/digitised/issue/straitstimes20121116-1, 25 April 2017.
76 U.S. Department of Defense, “2012 Joint Vision Statement for the Thai-US Defense
Alliance”, 15 November 2012. Terdapat di http://www.defense.gov/releases/release.aspx?releaseid=15685, 25 April 2017.
38
posisinya di Asia Tenggara dalam membendung niat diplomatik, ekonomi, dan
militer Tiongkok yang berkembang di kawasan ini.77 Hal ini dapat di capai oleh
kedua negara dengan memperkuat kerjasama keamanan.
Pada tahun 1982 Amerika Serikat dan Thailand membentuk program
pertahanan dan militer bernama Cobra Gold sebagai pilar kerjasama kedua
negara, program ini dirancang Amerika Serikat untuk menjamin perdamaian
regional serta memperkuat kemampuan angkatan bersenjata Thailand dalam
menghadapi ancaman regional.78
Selama beberapa dekade pertama Perang Dingin, Amerika dan Thailand
membentuk sebuah kemitraan strategis yang ketat untuk meliput penyebaran
komunisme di Asia. Thailand membantu Amerika Serikat dengan mengerahkan
lebih dari 12.000 tentara darat dalam konflik di Vietnam Selatan.79 Setelah
berakhirnya perang pada tahun 1975, A.S. menarik tentaranya dari Thailand
namun kerja sama militer antara kedua negara tetap terjalin.
Thailand tetap menunjukkan komitmen aliansinya untuk Amerika Serikat
dengan berpartisipasi dalam Operasi Kebebasan Irak dan Afganistan pada tahun
1991, dimana pelabuhan dan lapangan terbang Thailand memainkan peran penting
dalam menjaga arus pasukan, Peralatan, dan persediaan senjata Amerika Serikat.80
77 Evelyn Goh, Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing
Regional Security Strategies, (International Security, The MIT Press, 2008),133. 78
Derek S. Reveron, America’s Viceroys: The Military and U.S. Foreign Policy, (Palgrave
Macmillan: United State of America, 2004), 77. 79
“Thailand Involvement in Vietnam War”, 29 maret 2015, tersedia di
http://thevietnamwar.info/thailand-involvement-vietnam-war/, 1 Juni 2017 80 W Lohman, “Reinvigorating the U.S.–Thailand Alliance”, The Heritage Foundation:
Leadhership for America, 26 September 2011 , 2.
39
Thailand mengirim 130 tenaga ahli untuk membangun landasan pacu di
Bagram Airfield Afghanistan dan sekitar 450 tenaga ahli untuk Karbala di Irak
selatan. Perdana menteri Thailand telah mengizinkan Amerika Serikat untuk
menggunakan U-Tapao Air Base sebagai logistik utama dan pengisian bahan
bakar untuk pesawat terbang Amerika Serikat menuju Irak dan Afghanistan.
Selain itu, Thailand telah mengerahkan pasukan penjaga perdamaian ke Darfur
dan memberikan kontribusi kapal angkatan laut dalam upaya anti-pembajakan
internasional di Teluk Aden.81
Hubungan keamanan yang erat terus berlanjut antara Amerika Serikat
dengan Thailand. Sejak tahun 2001, Thailand telah memainkan peran yang lebih
penting dalam memfasilitasi jangkauan militer AS di wilayah Asia Tenggara.
Pada tahun 2003 Thailand kembali membantu Amerika Serikat dalam perang Irak.
Untuk mengapresiasi hal tersebut, pada tahun 2003 Presiden George W. Bush
menunjuk Thailand sebagai sekutu non-NATO utama yang membuat Thailand
menerima lebih banyak bantuan luar negeri Amerika Serikat yang meliputi
bantuan militer serta jaminan kredit untuk pembelian senjata canggih.82
Status tersebut membuat Thailand memenuhi syarat untuk pengiriman
prioritas pertahanan seperti bahan dan pembelian barang-barang tertentu yang
meliputi tangki uranium dalam skala besar. Selain itu, Thailand diizinkan untuk
menggunakan perangkat keras militer Amerika Serikat serta berpartisipasi dalam
81 W Lohman, “Reinvigorating the U.S.–Thailand Alliance”, The Heritage Foundation:
Leadhership for America, 26 September 2011 , 3. 82 Kerry Gershaneck, “Set the US-Thailand relationship right”, Pacific Forum CSIS,
Honolulu, Hawaii, PacNet No.16, 13 Februari 2017
40
penelitian, pengembangan pertahanan, dan mendapatkan keuntungan dari program
jaminan pinjaman pemerintah Amerika Serikat dalam mengekspor senjata.83
Disisi lain, hubungan keamanan yang sangat bermanfaat antara kedua
negara meliputi program International Military Education and Training (IMET)
dan program Foreign Military Financing (FMF).84 Military Education and
Training (IMET) merupakan program yang didanai oleh Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat, program ini memberikan hibah untuk petugas dan pejabat sipil
negara-negara aliansi untuk belajar di Amerika Serikat dan menerima pelatihan
tambahan, tidak hanya mempelajari strategi dan taktik militer, tetapi juga
mempelajari aturan hukum, hubungan sipil dengan militer, dan prinsip-prinsip
demokrasi. Program ini berupaya untuk memperkuat militer Thailand dalam
mempelajari nilai-nilai universal tentang hak asasi manusia.
Program ini telah memperkuat hubungan antara Amerika Serikat dan
personil militer Thailand.85 Program Foreign Military Financing (FMF) telah
memberikan kesempatan luas untuk kerjasama antara Amerika Serikat dan
Thailand dalam bidang militer.86 Thailand merupakan salah satu negara terbesar
yang mengekspor peralatan militer dari Amerika Serikat. Thailand membeli
helikopter Black Hawk dan F-16 upgrade tempur dengan kontrak yang sangat
83 Evelyn Goh, Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing
Regional Security Strategies, (International Security, The MIT Press, 2008),135. 84 Kerry Gershaneck, “Set the US-Thailand relationship right”, Pacific Forum CSIS,
Honolulu, Hawaii, PacNet No.16, 13 Februari 2017 85 U.S. Department of Defense, Security Cooperation Agency,“International Military
Education and Training (IMET)”. Tersedia di http://www.dsca.mil/programs/international-military-education-training-imet, 20 April 2017
86 U.S. Department of Defense, Security Coorperation Agency, “Foreign Military Financing (FMF)”. Tersedia di http://www.dsca.mil/programs/foreign-military-financing-fmf, 20 April 2017
41
menguntungkan bagi Amerika Serikat, terutama dengan membeli 12 pesawat
tempur Gripen dan AWACS dari Swedia Saab.87
Selanjutnya, kedua negara secara aktif bekerjasama dalam penegakan
hukum di kawasan Asia Tenggara dengan memerangi perdagangan narkotika,
perdagangan manusia, senjata pemusnah masal, dan terorisme. Sebagai langkah
untuk mensukseskan hal tersebut, Amerika Serikat memberikan bantuan dana
untuk mendirikan akademi penegakan hukum internasional di Bangkok.88 Selain
itu, Amerika Serikat mendorong partisipasi Thailand dalam kelompok Patroli
Selat Malaka, koalisi ad hoc dari Malaysia, Singapura, dan Indonesia untuk
mencegah pembajakan dan terorisme di sekitar Selat Malaka.
Sejak Thailand menjadi anggota kelompok, daerah Selat malaka mencapai
tingkat hampir nol insiden dalam hal pembajakan dan terorisme yang ditandai
dengan penangkapan Victor Bout di Bangkok pada tahun 2008 yang merupakan
pedagang senjata internasional.89 Selain itu, pada tahun 2008 Hubungan Amerika
Serikat dengan Thailand diperkuat dengan usaha bersama dalam menangani
Perang Korea dan Perang Vietnam. Thailand mengirim lebih dari 6.500 tentara
untuk bertugas dalam Komando PBB dalam perang Korea, kemudian selama
87 W Lohman, “Reinvigorating the U.S.–Thailand Alliance”, The Heritage Foundation:
Leadhership for America, 26 September 2011 , 3. 88 Lewis M. Stern, “Diverging Roads: 21st century U.S.-Thai Defense Relations”, Institute
for National Strategic Studies National Defense University, (Strategic Forum : Juni 2009), 5. 89 Catherine Zara Raymond, “Piracy and Armed Robbery in the Malacca Strait: A Problem
Solved?” Naval War College Review, Vol. 62, No. 3 (Summer: 2009). Tersedia di http://www.usnwc.edu/getattachment/7835607e-388c-4e70-baf1-b00e9fb443f1/Piracy-and-Armed-Robbery-in-the-Malacca-Strait—A-, 18 April 2017
42
Perang Vietnam sekitar 50.000 tentara Amerika Serikat berada di wilayah
Thailand.90
Adapun pilar kerjasama militer dan pertahanan yang menjadi
kebanggaan kedua negara adalah program Cobra Gold yang sudah di resmikan
sejak tahun 1982.91 Dari tahun ke tahun program ini selalu memberikan dampak
positif bagi Amerika Serikat maupun Thailand.92 Pada awalnya program Cobra
Gold hanya melibatkan Amerika Serikat dan Thailand, namun seiring
perkembangannya pada tahun 2011 Jepang, Korea Selatan, Singapura, Indonesia,
dan Malaysia mulai bergabung sebagai peserta penuh.
Program Cobra Gold terdiri dari patroli gabungan jalur laut penting,
misi non-combat, serta bantuan bencana seperti bantuan untuk tsunami di
Samudera Hindia tahun 2004 dan Topan Nargis di Burma tahun 2008.93 Selain itu,
sejak tahun 1995 Cobra Gold membentuk Cooperation Afloat Readiness and
Training (CARAT).94 CARAT merupakan latihan militer multinasional tahunan
bersama yang diikuti oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara, pada setiap
90 Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 6. 91 Derek S. Reveron, America’s Viceroys: The Military and U.S. Foreign Policy, (Palgrave
Macmillan: United State of America, 2004), 77. 92 Pavin Chachavalpongpun, “ The Dilemma Confronting the U.S.-Thailand Relationship”,
The National Bureau of Asian Research, NBR Analysis Brief, 20 April 2016. 93 Lewis M. Stern, “Diverging Roads: 21st century U.S.-Thai Defense Relations”, Institute
for National Strategic Studies National Defense University, (Strategic Forum : Juni 2009), 5. 94 “Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT)”, 28 Juni 2014. Tersedia di
http://www.globalsecurity.org/military/ops/carat.htm, diunduh pada 24 April 2016.
43
tahunnya Thailand menjadi tuan rumah latihan perang ini dengan menerima
pasokan senjata dan peralatan logistik militer dari Amerika Serikat.95
Program CARAT terus berlangsung dengan agenda latihan militer di tahun
2014. Namun, Kudeta Thailand yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2014 membuat
Amerika Serikat secara sepihak membatalkan pelatihan militer tahunan bersama
Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT) AS-Thailand pada tanggal
24 Mei 2014 sebagai bentuk kekecewaan Amerika Serikat terhadap kudeta yang
terjadi.96
Amerika Serikat sangat mengecam kudeta tersebut, karena menurut hukum
Amerika Serikat sanksi akan diberlakukan jika negara penerima bantuan militer
Amerika dinilai telah mengalami kudeta.97 Oleh karena itu, Kementerian luar
negeri Amerika Serikat mendesak junta militer agar segera melakukan pemulihan
pemerintahan sipil untuk kembali ke sistem demokrasi dengan menghormati hak
asasi manusia yang mencerminkan kehendak rakyat.98
Selain membatalkan pelatihan militer tahunan bersama Cooperation Afloat
Readiness and Training (CARAT) AS-Thailand, Amerika Serikat pun
95 Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN Navies”,
07 Mei 2015. Tersedia di The Diplomat http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-military-exercises-with-asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
96 “US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News 24 Mei 2014. Tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-coup-in-thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, diunduh pada 26 September 2016.
97 Zeke J Miller, “U.S. Condemns Thai Takeover As a Coup, Leaving Aid in Question”, Time 22
Mei 2014. tersedia di http://time.com/109601/us-thailand-coup/, diunduh pada 26 September 2016. *Dalam pengaplikasiannya Amerika Serikat tidak selalu memberlakukan pola yang sama terhadap negara yang mengalami kudeta, lihat pada http://wcfia.harvard.edu/files/wcfia/files/soestwahman2015.pdf.
98John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington, DC,
U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada September 2016.
44
mengasingkan Angkatan Laut Kerajaan Thailand (RTN) dari Lingkaran Pasifik
(RIMPAC) 2014 latihan perang maritim terbesar di dunia yang diselenggarakan
oleh Armada Pasifik AS di Hawaii.99
Amerika Serikat juga menarik dana bantuan militer untuk Thailand selama
keadaan politik Thailand belum pulih.100 Amerika Serikat menahan bantuan
militer dan keamanan sebesar 4,7 juta US dolar kepada Thailand.101 Biaya
tersebut meliputi Pembiayaan Militer Asing yang digunakan untuk akuisisi
peralatan, layanan pelatihan pertahanan, pendidikan dan pelatihan militer
internasional, serta dana pemeliharaan perdamaian.
Amerika Serikat menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan terus
berlangsung sampai kekacauan akibat kudeta militer tersebut teratasi dan kondisi
di Thailand kembali normal. Disisi lain, sebagai negara aliansi Amerika Serikat,
Thailand sangat menyayangkan kebijakan yang dilakukan oleh Amerika Serikat.
Kudeta yang terjadi di Thailand berawal pada tahun 2013, dimana masyarakat
Thailand melakukan unjuk rasa selama berbulan-bulan di Bangkok dengan
menuntut Perdana Menteri Yingluck Shinawatra untuk mengundurkan diri.
Pemerintahan pimpinannya dianggap dikendalikan oleh saudaranya, mantan
99 Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN Navies”,
07 Mei 2015. Tersedia di The Diplomat http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-military-exercises-with-asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
100 “US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News 24 Mei 2014. Tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-coup-in-thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, diunduh pada 26 September 2016.
101 “US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News 24 Mei 2014. Tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-coup-in-thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, diunduh pada 26 September 2016.
45
Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dan dianggap tidak dapat menuntaskan
krisis politik yang melanda Thailand selama enam bulan belakangan.102
Pada tanggal 20 Mei 2014 militer menyatakan kondisi darurat di Thailand.
Namun, saat itu militer menegaskan keadaan darurat itu bukanlah sebuah kudeta.
Saat kondisi darurat diumumkan, ribuan tentara didukung persenjataan dan
kendaraan tempur disebar ke lokasi-lokasi vital, seperti pusat-pusat
perekonomian, stasiun televisi, dan kawasan-kawasan perhotelan. Namun, selang
dua hari kemudian pada tanggal 22 Mei 2014 pimpinan Angkatan Darat, Jenderal
Prayuth Chan-ocha melakukan kudeta dengan menggulingkan pemerintahan
Perdana Menteri Yingluck Shinawatra karena dianggap tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik.103
Peristiwa Kudeta ini membuat hubungan antara Amerika Serikat dengan
Thailand memburuk sampai mengganggu hubungan pertahanan, perdagangan, dan
investasi kedua negara.104 Akibatnya, kebijakan Pivot Asia yang di usung oleh
pemerintahan Obama pun mengalami kemunduran. Hal ini sangat di sayangkan
karena Thailand merupakan sekutu tertua Amerika di wilayah Asia sejak
penandatanganan perjanjian bilateral pada tahun 1833 dan telah menjadi sekutu
perjanjian formal sejak penandatanganan Pakta Manila pada tahun 1954.105
102 Angga Mahaputra, “Anti-Militer Thailand Berdemo Pulihkan Demokrasi”,
http://news.okezone.com/read/2014/06/24/411/1003491/anti-militer-thailand-berdemo-pulihkan-demokrasi , 22 Maret 2017.
103John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington, DC,
U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada September 2016.
104 Emma, Ben dan Wil, Thailand: Background and U.S. Relations, (Report Congressional
Research Service, 2015), 1. 105 US departement of state, “U.S. Relations With Thailand, 24 januari 2017, tersedia di
https://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2814.htm, 18 Februari 2017
46
Melihat kerenggangan hubungan kedua negara aliansi yang terjadi antara
Amerika Serikat dan Thailand, Tiongkok mulai mengambil keuntungan dengan
menawarkan kerjasama militer dengan Thailand. Tiongkok menawarkan sejumlah
besar bantuan militer, pendidikan, pelatihan dan peralatan militer kepada
Thailand.106
106 “Tiongkok is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014.
Tersedia di http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/Tiongkok-is-a-big-winner-fromthailands-coup/, diunduh pada 27 September 2016
47
BAB III
KERJASAMA MILITER THAILAND – TIONGKOK PASCA KUDETA
2014
Dalam bab III skripsi ini akan memberikan penjelasan mengenai
kerjasama militer antara Thailand dan Tiongkok pada tahun 2014, khususnya
pasca kudeta militer Thailand. Dimana kerjasama ini dapat merugikan
kepentingan Amerika Serikat yang merupakan aliansi Thailand di kawasan Asia
Tenggara. Pada bagian awal akan membahas mengenai analisis peningkatan
hubungan bilateral antara Thailand dan Tiongkok yang berkembang pesat dalam
bidang militer. Pada bagian selanjutnya akan di jelaskan lebih spesifik mengenai
bentuk kerjasama militer yang dilakukan oleh Tiongkok dan Thailand. Pada
bagian akhir, akan dipaparkan mengenai dampak semakin dekatnya hubungan
antara Thailand dengan Tiongkok terhadap kepentingan Amerika Serikat di
kawasan Asia Tenggara.
A. Peningkatan Hubungan Bilateral Thailand - Tiongkok
Hubungan bilateral antara Thailand dan Tiongkok terjalin semakin erat
pasca kudeta Thailand pada tahun 2014.107 Menanggapi kudeta yang terjadi,
Tiongkok menekankan bahwa negaranya tidak akan melakukan intervensi
terhadap politik Thailand. Tiongkok akan memberikan dukungan politik dan
tetap meningkatkan hubungan di semua tingkat. Selain itu, Tiongkok telah
107 Lehmann, Christof, China-Thailand Military Exercise Launched Against Backdrop of
US-China Confrontation, (Global Research: nsnbc International, 22 May 2016).
Terdapat di http://www.globalresearch.ca/china-thailand-military-exercise-launched-against-
backdrop-of-us-china-confrontation/5526649, diunduh pada 28 Mei 2017.
48
sepakat untuk membantu memperbaiki keamanan nasional Thailand.108 Hubungan
hangat antara Tiongkok dan Thailand terlihat sangat kontras dengan hubungan
Thailand dan Amerika Serikat yang mengalami ketegangan pasca kudeta 2014.
Amerika Serikat sangat mengecam peristiwa kudeta yang terjadi, oleh karena itu
Tiongkok mulai memanfaatkan keadaan dengan menawarkan kerjasama militer
kepada Thailand.109 Langkah Tiongkok ini bertujuan untuk meningkatkan
pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara. Tiongkok ingin menunjukan bahwa
negaranya memiliki kemampuan untuk membantu kawasan dan menggalang
kerjasama regional di kawasan Asia Tenggara seperti Amerika Serikat.110
Kedekatan antara Thailand dan Tiongkok semakin terlihat ketika kedua
negara merayakan ulang tahun keempat puluh terjalinnya hubungan diplomatik
pada 1 Juli 2015.111 Hubungan bilateral Thailand dan Tiongkok dalam segi
politik, perdagangan,investasi dan militer telah mengalami pertumbuhan yang
cukup kuat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Thailand saat ini adalah mitra
terdekat Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.
Posisi Tiongkok secara perlahan menggeser Amerika Serikat sebagai
mitra terdekat Thailand dalam bidang militer karena pada periode yang sama,
hubungan aliansi Amerika Serikat dan Thailand dengan cepat mencapai titik
108 Wassana Nanuam and Patsara Jikkham, “Thailand, China bolster military ties as US
relations splinter”, Bangkok Post 6 Februari 2015, tersedia di
http://www.bangkokpost.com/print/468332/, diunduh pada 25 Agustus 2017. 109 “China is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014, tersedia
di http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/china-is-a-big-winner-fromthailands-coup/, diunduh pada 27 September 2016
110 “China is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014, tersedia di http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/china-is-a-big-winner-fromthailands-coup/, diunduh pada 27 September 2016
111 Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing, Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 1.
49
terendah dan tidak mungkin membaik selama tentara mempertahankan
kekuasaan.112Junta militer Thailand, Prayuth Chan-Ocha telah menyatakan
apresiasinya terhadap Tiongkok yang selalu mendukung Thailand setelah hampir
satu dekade terjadi kekacauan politik.113
Junta militer Thailand, Prayuth Chan-Ocha yakin bahwa menjalin
kerjasama dengan Tiongkok dapat membawa pengaruh positif bagi Thailand
karena saat ini Tiongkok merupakan salah satu aktor hubungan internasional yang
memiliki peran penting dalam tatanan global.114 Dalam beberapa tahun terakhir,
Tiongkok telah menjadi salah satu negara yang pengaruhnya patut diperhitungkan
baik dalam skala regional maupun global.115 Aspek politik, ekonomi, dan militer
menjadi fokus Tiongkok untuk menunjukan ambisinya sebagai kekuatan adidaya
global baru.
Kemampuan Tiongkok untuk tampil sebagai aktor superpower global abad
XXI dapat dibuktikan dengan adanya fakta kehadiran Tiongkok sebagai aktor
ekonomi terbesar dunia (world’s largest economy), aktor berpengaruh dalam
politik internasional (the influential actor in international politics), serta aktor
militer kuat (strong military actor) yang tidak dapat terbantahkan.116
112Pavin Chachavalpongpun, “The Dilemma Confronting the U.S.-Thailand Relationship”,
The National Bureau of Asian Research, NBR Analysis Brief, 20 April 2016. 113Wassana Nanuam and Patsara Jikkham, “Thailand, China bolster military ties as US
relations splinter”, Bangkok Post 6 Februaryi2015, tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/468332/, diunduh pada 25 Agustus 2017.
114Evelyn Goh, Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia: Analyzing Regional Security Strategies, (International Security, The MIT Press, 2008), 114.
115 Wuryandari, Ganewati, Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Arus Perubahan Politik Internasional. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 8.
116 Roy, D,China's Foreign Relations, (London: Macmillan Press LTD, 1998), 47.
50
B. Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Pasca Kudeta 2014
Disaat hubungan militer Amerika Serikat dan Thailand memburuk,
kerjasama pertahanan antara Thailand dan Tiongkok justru berkembang pesat.
Menjalin kerjasama dalam bidang militer merupakan bentuk kesungguhan
Tiongkok dalam berpartisipasi mewujudkan stabilitas keamanan global dan
mengamankan kepentingan nasionalnya.117
Berbagai kerjasama militer dibangun Tiongkok baik secara bilateral
maupun multilateral. Di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok berusaha untuk
mengajak Thailand agar menjadi mitra militernya dalam penguatan dan
pengembangan pendidikan serta teknologi militer.118 Selain itu, Thailand
merupakan negara tujuan ekspor senjata militer Tiongkok. Thailand dan Tiongkok
meningkatkan kerjasama militernya melalui peningkatan intensitas kunjungan
militer, pertukaran informasi, pelatihan bersama dan kerjasama terkait peralatan
serta teknologi militer.119 Pada 11-13 Juni 2014 pimpinan militer Thailand
berkunjung ke Beijing untuk menjalin kerjasama yang lebih erat dalam urusan
militer, pelatihan, dan pengembangan persenjataan dengan Tiongkok.120 Jenderal
Prayuth Chan-ocha mengumumkan bahwa saat ini Thailand merupakan mitra
117 Yasuhiro, M, China's Military Diplomacy, (Tokyo: NIDS Security Report, 2014). 118“Caught in the middle of a US-China arms wrestle”, Bangkok Post 15 November 2015,
tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/765112/, diakses pada 26 september 2016. 119“Caught in the middle of a US-China arms wrestle”, Bangkok Post 15 November 2015,
tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/765112/, diakses pada 26 september 2016. 120 China is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014,tersedia di
http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/china-is-a-big-winner-from-thailands-coup/, diunduh
pada 27 September 2016
51
China dalam setiap tingkat.121 Selain itu, kerjasama militer yang terjalin antara
Thailand dan Tiongkok merupakan upaya untuk meningkatkan kepercayaan dan
menjalin persahabatan yang saling menguntungkan diantara kedua negara.
Pada 5-7 Februari 2015 Menteri Pertahanan Tiongkok, Chang Wanquan
mengunjungi Thailand. Ia menyatakan ketertarikan Tiongkok untuk bekerjasama
dengan Thailand dalam bidang militer. Tiongkok setidaknya memiliki dua objek
kerjasama militer, pertama melakukan pelatihan dan penguatan unit militer.
Kedua, penguatan kerjasama dalam bidang senjata dan teknologi militer.122 Hal
ini direalisasikan Tiongkok dengan meningkatkan kerjasama militer bersama
Thailand dalam bentuk Joint Military Exercise dan Arms Transfers.
B.1 Joint Military Exercise
Joint Military Exercise merupakan latihan militer gabungan antara negara
yang digunakan sebagai alat diplomasi militer untuk mempererat hubungan
bilateral. Dalam hal ini, Tiongkok menggunakan Joint Military Exercise sebagai
sarana untuk meningkatkan rasa saling percayadengan Thailand. Adapun tujuan
dari Joint Military Exercise adalah untuk membantu dalam menghasilkan
pemahaman antar negara yang terlibat dalam hal profesionalisme dalam
bekerjasama.123 Latihan gabungan ini menghasilkan interaksi yang lebih besar
121 “China is a big winner from Thailand’s coup”, East Asia Forum 18 juni 2014, tersedia di
http://www.eastasiaforum.org/2014/06/18/china-is-a-big-winner-from-thailands-coup/, diunduh
pada 27 September 2016. 122 Wassana Nanuam and Patsara Jikkham, “Thailand, China bolster military ties as US
relations splinter”, Bangkok Post 6 Februari 2015. Tersedia di
http://www.bangkokpost.com/print/468332/, diunduh pada 25 Agustus 2017. 123 “China, Thailand air forces to hold joint exercise”,
tersedia di http://www.trtworld.com/asia/china-thailand-air-forces-to-hold-joint-exercise-10927, diakses pada 28 Mei 2017.
52
antar negara, sehingga dapat menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran di antara
mereka.
Secara strategis, Joint Military Exercise ini dapat meningkatkan kerjasama
antara Tiongkok dan Thailand, karena berpotensi untuk memperluas kerjasama di
area lain, terutama yang berkaitan dengan teknologi, sumber daya manusia,
pendidikan maupun ekonomi. Terdapat beberapa bentuk dari Joint Military
Exercise yang dilakukan oleh Tiongkok dan Thailand pasca kudeta 2014.
Pertama, Falcon Strike 2015 yang merupakan latihan angkatan udara bersama
untuk pertama kalinya antara Thailand dan Tiongkok. 124 Latihan angkatan udara
ini berlangsung pada 12 – 30 November 2015 di Pangkalan Angkatan Udara
Thailand. Terdapat 180 perwira dan pilot Tiongkok yang berpartisipasi penuh
dalam latihan militer kedua negara.125
Gambar III.B.1.1 Falcon Strike 2015
Sumber :Alert 5, Military Aviation News, 16 November 2015.126
124“Caught in the middle of a US-China arms wrestle”, Bangkok Post 15 November 2015,
tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/765112/, diakses pada 26 september 2016. 125“Caught in the middle of a US-China arms wrestle”, Bangkok Post 15 November 2015,
tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/765112/, diakses pada 26 september 2016. 126“Photos from the opening ceremony of Exercise Falcon Strike 2015”, Alert 5, Military
Aviation News 16 November 2015, tersedia di
http://alert5.com/2015/11/16/photos-from-the-opening-ceremony-of-exercise-falcon-
strike-2015/, diakses pada 1 Juni 2017.
53
Dalam latihan angkatan udara ini, lima pesawat militer Thailand dan
Tiongkok melakukan akrobat udara bersama dengan ketinggian sekitar 3.000 kaki
atau 900 meter di atas permukaan tanah Pangkalan Angkatan Udara Thailand dan
sekitar 260 kilometer atau 160 mil timur laut wilayah Bangkok.127Selain itu,
Tiongkok akan menampilkan armada August First, yang melibatkan enam
pesawat tempur J10 dan pesawat cadangan lainnya, sementara angkatan udara
Thailand akan menerbangkan Gripens dan F16-nya.128
Adapun tujuan dari Falcon Strike 2015 adalah untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja operasi udara taktis kedua negara dan terjalinnya hubungan
yang harmoni antara pasukan Angkatan Udara Thailand dan Tiongkok.129
Menurut Bhanupong Seyayongka, Direktur Operasi Angkatan Udara Kerajaan
Thailand, kegiatan ini dilakukan sebagai simbol keakraban kedua Negara.130
Sementara, Shen Jinke, Menteri Pertahanan Tiongkok mengatakan bahwa latihan
bersama inidilakukan agar kedua negara dapat saling belajar serta memahami
angkatan udara masing-masing negara, memperdalam kerja sama praktis antara
Thailand dan Tiongkok. Selain itu, latihan ini dapat meningkatkan kepercayaan
dan mempererat persahabatan.131
127“Tiongkok, Thailand joint air force exercise highlights warming ties”, Reuters News
Maps 24 November 2015, tersedia di http://www.reuters.com/article/us-Tiongkok-thailand-military-idUSKBN0TD0B120151124, diakses pada 26 September 2016.
128“Tiongkok, Thailand joint air force exercise highlights warming ties”, Reuters News Maps 24 November 2015, tersedia di http://www.reuters.com/article/us-Tiongkok-thailand-military-idUSKBN0TD0B120151124, diakses pada 26 September 2016.
129“China, Thailand air forces to hold joint exercise”, tersedia dihttp://www.trtworld.com/asia/china-thailand-air-forces-to-hold-joint-exercise-10927, diakses pada 28 Mei 2017.
130“Tiongkok, Thailand joint air force exercise highlights warming ties”, Reuters News Maps 24 November 2015. Tersedia di http://www.reuters.com/article/us-Tiongkok-thailand-military-idUSKBN0TD0B120151124, diakses pada 26 September 2016.
131 “China, Thailand air forces to hold joint exercise”, tersedia di
54
Adapun Joint Military Exercise antara Thailand dengan Tiongkok Pasca
Kudeta 2014 yang kedua adalah Blue Strike 2016. Menteri Pertahanan Tiongkok,
Chang Wanquan menemui Jenderal Prayuth Chan-ocha pada 6 Februari 2015.
Dalam pertemuan tersebut, mengusulkan sebuah untuk mengadakan latihan
militer gabungan Blue Strike 2016. .132 Program Blue Strike merupakan latihan
angkatan laut bersama yang sudah pernah dilaksanakan oleh kedua negara pada
2010 dan 2012. Namun, khusus untuk Blue Strike 2016, Tiongkok ingin Angkatan
udara kedua negara ikut terlibat.133
Gambar III.B.1.2 Blue strike 2016
Sumber :Pattaya Daily News, 23 Mei 2016.134
Blue Strike 2016 berlangsung pada 22 Mei - 9 Juni 2016 di Pangkalan
Angkatan Laut Sattahip, Provinsi Chonburi Thailand. Terdapat lebih 295 marinir
http://www.trtworld.com/asia/china-thailand-air-forces-to-hold-joint-exercise-10927,
diakses pada 1 Juni 2017. 132Wassana Nanuam and Patsara Jikkham, “Thailand, China bolster military ties as US
relations splinter”, Bangkok Post 6 Februari 2015, tersedia di
http://www.bangkokpost.com/print/468332/, diunduh pada 25 Agustus 2017. 133“Blue Strike 2016 Sino-Thai marine exercise ends with success in Highlight”, Thai PBS
Reporters 11 Juni 2016, tersedia di http://englishnews.thaipbs.or.th/blue-strike-2016-sino-thai-marine-exercise-ends-success/, diakses pada 1 Juni 2017.
134“เปิดฝึกผสมกองทัพเรือไทย-จีน BLUE STRIKE 2016”, Pattaya Daily News, 23 Mei 2016,
tersedia di http://th.pattayadailynews.com/ -blue-strike-2016/, diakses pada 21 Mei 2017.
55
Thailand dan 228 marinir Tiongkok yang berkontribusi dalam Blue Strike 2016.135
Hal tersebut membuat Blue Srike 2016 menjadi latihan gabungan terbesar antara
Thailand dan Tiongkok saat ini.
Blue Strike 2016 terdiri dari operasi laut dan darat bersama, pelatihan
gabungan anti-terorisme, pelatihan bertahan hidup melalui aksi lapangan maupun
seminar.136Fokus pada latihan gabungan ini adalah pelatihan taktis untuk unit
kecil, pelatihan ketahanan lapangan, pertarungan perkotaan, penembakkan
amunisi, mencari sasaran penting dan mendeteksi bahan peledak. Peralatan yang
digunakan dalam latihan ini adalah amunisi gabungan milik pasukan laut Thailand
dan Tiongkok yang didukung oleh tank serta pengangkut personel lapis baja.137
Pasukan gabungan ini ditugaskan untuk melakukan serangan serentak ke
basis teroris yang diduga memiliki senjata pemusnah massal. Pasukan gabungan
diperintahkan untuk menembakkan artileri dengan kekuatan 7,8 mm pada
target.138Kedua negara akan menggunakan kendaraan tempur amfibi lapis baja
Tiongkok ZBD-05 dan ZBD-07 yang mampu menghancurkan dasar tanah.139
135“China, Thailand Kick Off Military Exercise Blue Strike 2016”, The Diplomat 23 Mei
2016, terswdia di http://thediplomat.com/2016/05/china-thailand-launch-military-exercise-blue-
strike-2016/, diakses pada 5 Juni 2017. 136“Chinese marines arrive in Thailand for join training”, China Military News , tersedia di
http://english.chinamil.com.cn/news-channels/china-military-news/2016-05/20/content_7064675.htm, diakses pada 11 Juni 2017.
137“China, Thailand Kick Off Military Exercise Blue Strike 2016”, The Diplomat 23 Mei 2016, tersedia di http://thediplomat.com/2016/05/china-thailand-launch-military-exercise-blue-strike-2016/, diunduh pada 5 Juni 2017.
138 “Blue Strike 2016 Sino-Thai marine exercise ends with success in Highlight”, Thai PBS Reporters 11 Juni 2016, tersedia di http://englishnews.thaipbs.or.th/blue-strike-2016-sino-thai-marine-exercise-ends-success/, diakses pada 1 Juni 2017.
139 “Chinese marines arrive in Thailand for join training”, China Military News , tersedia di http://english.chinamil.com.cn/news-channels/china-military-news/2016-05/20/content_7064675.htm, diakses pada 11 Juni 2017.
56
Adapun tujuan dari Blue Strike 2016 adalah memperkuat kerjasama militer
kedua negara, menawarkan kesempatan untuk belajar lebih banyak dari masing-
masing negara dengan bertukar pengetahuan dan pengalaman militer praktis.140
Selain itu, latihan gabungan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas militer
dalam memerangi terorisme dan menjaga keamanan regional. Menurut Kapten
Suthipong Anantachai, Wakil Direktur Latihan Blue Strike 2016,latihan kelautan
bersama antara Thailand dan Tiongkok ini bertujuan untuk membangun
persahabatan yang baik antara kedua negara dengan mengembangkan kerjasama
dalam misi militer dan kemanusiaan.141 Pihak Tiongkok, menginginkan Blue
Strike 2016 ini menjadi salah satu latihan gabungan militer utama antara Thailand
dan Tiongkok yang akan dilaksanakan setiap tahun seperti latihan militer Thailand
dengan Amerika Serikat yaitu Cobra Gold.142 Blue Strike 2016 ini berpotensi
akan menyaingi Cobra Gold di masa yang akan datang.
B.2 Arms Transfers
Arms transfer merupakan pengiriman senjata antar negara yang bertujuan
untuk penyebaran teknologi militer.143 Perdagangan senjata dalam beberapa
140“China, Thailand Kick Off Military Exercise Blue Strike 2016”, The Diplomat 23 Mei
2016, tersedia di http://thediplomat.com/2016/05/china-thailand-launch-military-exercise-blue-strike-2016/, diunduh pada 5 Juni 2017.
141“China, Thailand Kick Off Military Exercise Blue Strike 2016”, The Diplomat 23 Mei
2016, tersedia di http://thediplomat.com/2016/05/china-thailand-launch-military-exercise-blue-
strike-2016/, diakses pada 5 Juni 2017. 142“China & Thailand striking it ‘blue’”, Avation Defence Univers, tersedia di
http://www.aviation-defence-universe.com/china-thailand-striking-blue/, diakses pada 5 Juni 2017.
143 Gruselle, Bruno & Meur Le Perrine, “Technology Transfer and the Arms Trade Treaty – Issues and Perspectives”, (Fondation pour la Recherche Strategique: Paris, 2012), 5. Dalam skripsi Retno Ajiyastuti Ajiyastuti, Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama Militer Tiongkok-Rusia 2007-2012, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), 41.
57
dekade terus meningkat karena banyaknya permintaan pasar yang ditandai dengan
pertumbuhan kompetisi dan kebutuhan konsumen karena adanya keinginan negara
untuk memajukan teknologi senjata militernya.144
Thailand merupakan negara tujuan ekspor senjata militer Tiongkok saat
ini. Perdagangan senjata antara Thailand dan Tiongkok menunjukkan adanya
kepercayaan strategis yang cukup tinggi diantara kedua negara. Terdapat beberapa
bentuk dari Arms Transfer yang dilakukan oleh kedua negara ini. Pertama, Main
Battle Tank atau MBT-3000. Pada bulan Mei 2016, Angkatan Darat Kerajaan
Thailand secara resmi menandatangani sebuah perjanjian untuk membeli tank
tempur MBT-3000 yang diproduksi oleh Tiongkok.145 Thailand menjadi
pelanggan ekspor pertama yang membeli tank ini. Kontrak tersebut berisi tentang
pembelian 28 unit tank tempur MBT-3000 yang bernilai sekitar $ 150 juta
dolar.146
MBT-3000 adalah tank tempur utama Tiongkok yang dikembangkan
khusus untuk ekspor. Keunggulan tank ini adalah memiliki sistem perlindungan
NBC yang dilengkapi dengan sistem pemadam api dan ledakan.147 MBT-3000
memiliki mesin yang dilengkapi dengan sistem penanggulangan pasif, sehingga
144 Gruselle, Bruno & Meur Le Perrine, “Technology Transfer and the Arms Trade Treaty
– Issues and Perspectives”, (Fondation pour la Recherche Strategique: Paris, 2012), 5. Dalam skripsi Retno Ajiyastuti Ajiyastuti, Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama Militer Tiongkok-Rusia 2007-2012, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), 41.
145“Confirmed: Thailand’s Military Wants a New Main Battle Tank”, The Diplomat 12
Februari 2016, tersedia di http://thediplomat.com/2016/02/confirmed-thailands-military-wants-
a-new-main-battle-tank/, diakses pada 2 Juli 2017. 146“Thailand Will Buy 10 More Tanks From China”, The Diplomat 4 April 2017, tersedia di
http://thediplomat.com/2017/04/thailand-will-buy-10-more-tanks-from-china/, diakses pada 2
Juni 2017. 147“MBT-3000”, Military Today, tersedia di
http://www.military-today.com/tanks/mbt_3000.htm, diakses pada 4 Juni 2017.
58
dapat menghubungkan peringatan darurat untuk mengurangi kemungkinan
terkena senjata musuh. Selain itu, MBT-3000 menggunakan teknologi yang telah
terbukti hemat biaya.148
Gambar III. B.2.1 Main Battle Tank atau MBT-3000
Sumber : The Diplomat, 4 April 2017.149
Dengan adanya transaksi pembelian tank tempur MBT-3000 ini, hubungan
Thailand dan Tiongkok menjadi sangat intens. Tiongkok sangatmembantu dalam
menunjang persenjataan milik Thailand disaat Amerika Serikat sebagai aliansinya
justru meninggalkan Thailand karena peristiwa kudeta yang terjadi. Pada
akhirnya Thailand tidak lagi membutuhkan Amerika Serikat dalam menyediakan
persenjataan militer.
Arms Transfers antara Thailand dengan Tiongkok yang kedua adalah Yuan
class S26T submarine. Pada 1 Juli 2016, Angkatan laut Thailand menjalin
148“MBT-3000”, Military Today, tersedia di http://www.military-today.com/tanks/mbt_3000.htm, diakses pada 4 Juni 2017. 149“Thailand Will Buy 10 More Tanks From China”, The Diplomat 4 April 2017, tersedia di
http://thediplomat.com/2017/04/thailand-will-buy-10-more-tanks-from-china/, diakses pada 2 Juni 2017.
59
kesepakatan untuk membeli kapal selam Yuan class S26T dari Tiongkok.150
Kesepakatan tersebut berisi tentang pembelian 3 unit kapal selam Yuan class
S26T dengan harga 12 miliar bath per unit.Ini merupakan kesepakatan senjata
terbesar antara kedua negara. Yuan class S26T memiliki ukuran Panjang kurang
lebih 78 meter dan lebar 9 meter yang dilengkapi dengan sistem teknologi AIP
(Air Independent Propulsion) terbaru. Teknologi tersebut memungkinkan kapal
untuk menyelam hingga 21 hari tanpa muncul ke permukaan.151 Kapal selam
Thailand akan digarap oleh Tiongkok Shipbuilding Industry Corporation yang
merupakan salah satu galangan kapal terbesar di Tiongkok.
Gambar III. B.2.2 Yuan class S26T submarine
Sumber : The Nation 23 maret 2017.152
Alasan Thailand menjalin kesepakatan untuk membeli kapal selam adalah
Royal Thai Navy (RTN) tidak ingin tertinggal dari negara-negara tetangganya.
150“Does Thailand Really Need Submarines?”, The Diplomat20 juli 2016, tersedia di
http://thediplomat.com/2016/07/does-thailand-really-need-submarines/, diakses pada 3 Juni
2017. 151 “PM confirms Thai Navy to get three Chinese submarines”, The Nation 23 March
2017, tersedia di http://www.nationmultimedia.com/detail/politics/30310014, diakses pada 3 Juni 2017.
152 “PM confirms Thai Navy to get three Chinese submarines”, The Nation 23 Maret 2017, tersedia di http://www.nationmultimedia.com/detail/politics/30310014, diakses pada 3 Juni 2017
60
Beberapa anggota ASEAN yang merupakan mitra Thailand telah memiliki kapal
selam. Diantaranya,Singapura saat ini mengoperasikan enam kapal selam yang
diperbarui dan telah memesan dua kapal baru dari Jerman, Malaysia memiliki dua
kapal selam kelas Scorpene buatan Perancis, Vietnam telah menerima
pengirimanempat kapal selam kelas Kilo dari Rusia, Indonesia telah memesan tiga
kapal selam kelas Chang Bogo dari Korea Selatan.153 Namun, tingginya biaya
kapal selam dan infrastruktur pelabuhan terkait menjadi hambatan bagi RTN.
Pasca kudeta 2014, Tiongkok berupaya untuk memajukan kerja sama
pertahanan dengan Thailand pada saat hubungan Amerika Serikat denganThailand
mulai renggang. Tiongkok menawarkan kapal selam Yuanclass S26T yang
bergaransi dua tahun dengan pembayaran yang dapat di angsur selama tujuh
sampai sepuluh tahun. Selain itu, Tiongkok menawarkan bonus transfer teknologi
serta akan melatih pelaut Thailand di Akademi Kapal Selam Qingdao.154
Jenderal Prayuth Chan-ocha akhirnya menyepakati pembelian kapal selam
buatan Tiongkok tersebut. Namun, Keputusan Thailand untuk membeli kapal
selam buatan Tiongkok menuai banyak kritik.Saat kesepakatan pembelian kapal
selam diumumkan pada Juli 2015, baik masyarakat Thailand maupun pihak asing
mempertanyakan alasan strategis dari rencana pembelian kapal selam tersebut.
Thailand dianggap tidak memiliki perselisihan batas teritorial atau maritim
dengan tetangganya. Thailand juga tidak memiliki musuh strategis di kawasan
153Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing,
Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 23. 154“Navy releases document on why it needs submarines”, The Nation 31 Juli 2015,
tersedia di http://www.nationmultimedia.com/politics/Navy-releases-document-on-why-it-
needs-submarines-30265587.html,diakses pada 20 Agustus 2017.
61
Asia Tenggara.Selain itu, kapal selam diragukan dapat beroperasi di perairan
Teluk Thailand relatif dangkal.
Kepala Staf Angkatan Laut Thailand, Laksamana Leuchai Ruddis tetap
membela keputusan Jenderal Prayuth Chan-Ocha dengan menjelaskan bahwa
situasi keamanan yang tidak pastidi wilayah mereka membuat Thailand
membutuhkan kapal selam untuk melindungi perbatasan maritimnya.155
Menanggapi kritik tersebut, Jenderal Prayuth Chan-ocha mengimbau
masyarakat untuk memahami mengapa negara memerlukan kapal selam
Tiongkok. Ia menjelaskan bahwa Thailand tidak memiliki banyak uang untuk
berbelanja kapal selam, Thailand juga tidak bisa membangun kapal selam sendiri,
sehingga harus membelinya dari negara lain.156
Jenderal Prayuth Chan-ocha menegaskan bahwa Kapal selam Tiongkok
memiliki harga yang murah dengan kualitas yang relatif canggih dan Tiongkok
juga menawarkan dukungan layanan setelah pembelian. Selain itu, dari tiga unit
kapal selam, Thailand hanya akan membayar dua unit saja karena Tiongkok akan
memberikan satu unit kapal selam sebagai hadiah gratis untuk Thailand.157
Disamping itu, Thailand membutuhkan kapal selam untuk melindungi
155“Thai Navy on the Defencive Over Submarine Purchase”, Asean Breaking News2Mei
2017,tersedia di https://www.aseanbreakingnews.com/2017/05/thai-navy-on-the-defencive-
over-submarine-purchase/, diakses pada 20 Agustus 2017. 156 “Thai Navy on the Defencive Over Submarine Purchase”, Asean Breaking News 2 Mei
2017,tersedia di https://www.aseanbreakingnews.com/2017/05/thai-navy-on-the-defencive-
over-submarine-purchase/, diakses pada 20 Agustus 2017. 157“PM confirms Thai Navy to get three Chinese submarines,politics”The Nation 23
Maret 2017, tersedia di http://www.nationmultimedia.com/news/national/30310014, diakses
pada 20 Agustus 2017.
62
kepentingan ekonomi maritim, termasuk sumber daya, transportasi dan
pariwisata.158
Kesepakatan pembelian kapal selam ini tentu akan menjadi akuisisi
pertahanan terbesar antara Thailand dan Tiongkok. Kesepakatan ini akan
membuat angkatan laut kedua negara menjadi sangat dekat selama beberapa
dekade yang akan datang. Namun, disisi lain hal ini dapat merenggangkan
hubungan Thailand dan Amerika Serikat yang tidak ingin kedua negara tersebut
memperdalam kerjasama pertahanan. Dengan demikian, hubungan Thailand
dengan Amerika Serikat akan semakin jauh, sementara kerjasama Thailand dan
Tiongkok memasuki jalur yang lebih dekat.
Joint Military Exercises maupun Arms Transfers yang dilakukan oleh
Thailand dan Tiongkok merupakan bagian penting dalam kerjasama antara kedua
negara.Kerjasama militer tradisional maupun non-tradisional antara Thailand dan
Tiongkok dapat mempromosikan kemampuan kekuatan militer kedua negara
untuk melindungi keamanan masing-masing negara.Selain itu, Kerjasama militer
Thailand dan Tiongkok merupakan pilar penting dari kemitraan strategis yang
saling menguntungkan.Dimana, Kerjasama militer ini dapat meningkatkan
keamanan, social dan ekonomi kedua negara.
C. Dampak Kerjasama Militer Thailand – Tiongkok Bagi Amerika Serikat
Kerjasama militer antara Thailand dan Tiongkok telah meningkatkan
kepercayaan diantara kedua negara, sehingga hubungan yang terjalin semakin
158“Navy releases document on why it needs submarines”, The Nation 31 Juli 2015,
tersedia dihttp://www.nationmultimedia.com/politics/Navy-releases-document-on-why-it-needs-
submarines-30265587.html,diakses pada 20 Agustus 2017.
63
dekat.159 Kedekatan yang semakin intens antara Thailand dan Tiongkok jelas
menjadi kekhawatiran baru bagi Amerika Serikat. Pasalnya, Thailand merupakan
salah satu negara aliansi yang sangat penting bagi Amerika Serikat untuk
mempertahankan posisi strategis di kawasan Asia Tenggara.160 Namun, sejak
memburuknya hubungan Amerika Serikat dengan Thailand pasca kudeta 2014,
Thailand justru menjalin hubungan yang sangat dekat dengan Tiongkok yang
merupakan ancaman bagi Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat dalam menanggapi kudeta yang
terjadi membuat Thailand meragukan keutuhan persahabatanya dengan Amerika
Serikat. Para pembuat kebijakan Thailand tidak ragu untuk menunjukan
kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadapAmerika Serikat. Pada akhirnya,
Thailand mencari kekuatan negara lain untuk mendukung negara mereka sebagai
alternatif kekuatan besar yang dapat menawarkan jaminan seperti Amerika
Serikat.
Saat ini, Thailand merasa kepemimpinan Tiongkok yang paling cocok
untuk menggantikan posisi Amerika Serikat, karena Tiongkok ditopang oleh
kekuatan ekonomi dan militer yang mungkin setara dengan kebutuhan Thailand.
Dukungan yang ditawarkan Tiongkok kepada Thailand telah memperkuat dan
memperdalam hubungan mereka. Jika penguatan positif hubungan bilateral ini
berlanjut, Thailand akan sepenuhnya berada dibawah pengaruh Tiongkok.
159 “Tiongkok, Thailand joint air force exercise highlights warming ties”, Reuters News
Maps 24 November 2015.Tersedia di http://www.reuters.com/article/us-Tiongkok-thailand-military-idUSKBN0TD0B120151124, diakses pada 26 September 2016.
160Karl D. Jackson, Wiwat Mungkandi, “United States-Thailand relations”, Institute of East Asian Studies, University of California, (Berkeley : 1986), 9.
64
Amerika Serikat secara jelas mewaspadai tumbuhnya kedekatan antara
Thailand dan Tiongkok. Hubungan Tiongkok yang berorientasi pada kerjasama
militer dengan Thailand dapat memperbesar pengaruh Tiongkok yang sudah
meningkat di kawasan Asia Tenggara.161Amerika Serikat merasa kebijakan
Tiongkok dalam menjalin kerjasama militer dengan Thailand adalah untuk
menambah pengaruh militernya di kawasan Asia Tenggara.Terutama setelah
Presiden Barack Obama, mengeluarkan kebijakan pivot to Asia.162
Keadaan seperti ini, pada akhirnya menimbulkan Security dilemma yang
dialami oleh Amerika Serikat ketika aliansinya yaitu Thailand menjalin kerjasama
militer dengan Tiongkok yang dapat mengancam kepentingan nasional Amerika
Serikat di Kawasan Asia Tenggara. Glenn H. Snyder menjelaskan Security
dilemma dalam aliansi terjadi dalam Hubungan antara sekutu serta antara lawan.
Pembelotan yang dilakukan oleh aliansi mungkin terjadi, membelot berarti
menunjukkan komitmen yang lemah dan tidak memberikan dukungan dalam
konflik dengan musuh.163 Hal ini lah yang terjadi dalam hubungan aliansi
Amerika Serikat dengan Thailand. Thailand membelot dari Amerika Serikat
dengan memulai kerjasama yang lebih erat bersama Tiongkok yang merupakan
salah satu ancaman besar bagi Amerika Serikat.
161“What Do Growing Thai-China Relations Mean For Us”, Value Walk Agustus 2015,
tersedia di http://www.valuewalk.com/2015/08/what-do-growing-thai-china-relations-mean-for-the-u-s/?all=1, diakses pada 1 Juni 2017.
162Hillary Clinton, “America's Pacific Century, Foreign Policy”, 11 Oktober 2011. Tersedia dihttp://foreignpolicy.com/2011/10/11/americas-pacific-century/, 28 April 2017.
163Snyder, Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics, (World Politics:
Cambridge University Press, 1948), Vol. 36, No. 4, hal 464, terdapat
dihttp://www.jstor.org/stable/2010183, diunduh pada 30 Mei 2016
65
Kepentingan Amerika Serikat dalam mengembangkan hubungan
keamanan, strategis dan ekonomi di Kawasan Asia Tenggara menjadi sangat
terpengaruh jika terjadi perluasan hubungan baru antara Thailand dan Tiongkok.
Setiap perubahan posisi kekuasaan yang mendukung Tiongkok di kawasan Asia
Tenggara, akan mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat di kawasan
tersebut.
Pengaruh Tiongkok yang berkembang di kawasan Asia Tenggara
menciptakan hambatan baru bagi Amerika Serikat dalam menciptakan kemitraan
yang dengan Thailand dan negara Asia Tenggara lainnya. Pengaruh Amerika
Serikat di kawasan Asia Tenggara terkait kerjasama militer, ekonomi, politik dan
cita-cita penyebaran demokrasi akan terganggu jika kehadiran militer Tiongkok
di kawasan Asia Tenggara semakin besar.164Amerika Serikat jelas khawatir
dengan kesepakatan kerjasama militer antara Thailand akan memberi Tiongkok
terobosan yang lebih dalam ke basis pertahanan militer Asia.165
164“What Do Growing Thai-China Relations Mean For Us”, Value Walk Agustus 2015,
tersedia di http://www.valuewalk.com/2015/08/what-do-growing-thai-china-relations-mean-for-the-u-s/?all=1, diakses pada 1 Juni 2017.
165Bunga Seriory, Respon Amerika Serikat Terhadap Peningkatan Kapabilitas Militer Tiongkok dikawasan Asia Pasifik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (2014), 27.
66
BAB IV
RESPON AMERIKA SERIKAT TERHADAP KERJASAMA MILITER
THAILAND - TIONGKOK
Dalam bab IV ini akan membahas mengenai respon Amerika Serikat
terhadap kerjasama militer Thailand – Tiongkok. Respon Amerika Serikat akan di
jelaskan melalui dua sub bab yang terdiri dari penguatan kerjasama militer dengan
Thailand sebagai aliansi, serta keterlibatan Amerika Serikat dalam kerjasama
militer dengan Tiongkok. Adapun kebijakan Amerika Serikat dalam merespon
kerjasama militer Thailand dengan Tiongkok, yaitu :
A.1 Penguatan Kerjasama Militer dengan Thailand
Amerika Serikat mengambil langkah untuk memperkuat kerjasama militer
dengan Thailand untuk menyelamatkan hubungan aliansi kedua negara. Langkah
ini diambil untuk memperbaiki kerjasama militer Amerika Serikat dengan
Thailand setelah memburuknya hubungan kedua negara Pasca kudeta Thailand 22
Mei 2014. Pasca kudeta Amerika Serikat secara sepihak membatalkan pelatihan
militer tahunan bersama Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT)
AS-Thailand pada tanggal 24 Mei 2014.166 Selain itu, Amerika Serikat
mengasingkan Angkatan Laut Kerajaan Thailand (RTN) dari Lingkaran Pasifik
(RIMPAC) 2014 yang merupakan latihan perang maritim terbesar di dunia yang
diselenggarakan oleh Armada Pasifik AS di Hawaii.167 Selain itu, Amerika
166 “US Gets Serious About Coup in Thailand, Threatens to Cut Military Aid”, Fox News 24
Mei 2014. Tersedia di http://www.foxnews.com/politics/2014/05/24/us-gets-serious-about-coup-in-thailand-threatens-to-cut-military-aid.html, diunduh pada 26 September 2016.
167 Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN Navies”, 07 Mei 2015. Tersedia di The Diplomat http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-military-exercises-with-asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
67
Serikat menarik bantuan militer dan keamanan sebesar 4,7 juta US dolar untuk
Thailand. Biaya tersebut meliputi Foreign Military Financing (FDF) dan
International Military Education and Training (IMET) yang digunakan untuk
akuisisi peralatan, layanan pelatihan pertahanan, pendidikan dan pelatihan militer
internasional, serta dana pemeliharaan perdamaian.168
Hal tersebut dilakukan karena Amerika Serikat sangat mengecam kudeta
yang terjadi, Amerika Serikat memiliki undang-undang khusus yang
mengharuskan pemerintah untuk menekan negara yang mengalami kudeta dengan
mengurangi bantuan dan kerjasama militer. Jika pemerintah Thailand dapat
membuktikan bahwa mereka berhasil mengembalikan hukum dan ketertiban di
Thailand, maka hubungan Amerika Serikat dan Thailand dapat kembali normal.169
Oleh karena itu, Kementerian luar negeri Amerika Serikat mendesak junta militer
agar segera melakukan pemulihan pemerintahan sipil untuk kembali ke sistem
demokrasi dengan menghormati hak asasi manusia yang mencerminkan kehendak
rakyat.170 Amerika Serikat menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan terus
berlangsung sampai kekacauan akibat kudeta militer tersebut teratasi dan kondisi
di Thailand kembali normal.
Namun, kerjasama militer yang terjalin antara Thailand dan Tiongkok
membuat Amerika Serikat mengesampingkan kebijakannya tersebut. Amerika
Serikat mengambil kebijakan yang berlawanan dengan konstitusinya, yaitu
168 Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing,
Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 6. 169 Wawancara Melalui Surat Elektronik dengan one government officer in Thailand pada
9 Agustus 2017. 170John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington, DC,
U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada September 2016.
68
mengajak Thailand untuk kembali mengadakan latihan militer Cobra Gold 2016,
setelah sebelumnya Amerika Serikat meninjau kembali pengelenggaraan latihan
militer tahunan bersama Cobra Gold yang diagendakan untuk tahun 2015 saat
terjadi kudeta.171 Amerika Serikat mengindikasikan bahwa mereka dapat
membatalkan latihan Cobra Gold 2015 karena keadaan politik Thailand yang
sedang tidak stabil pasca kudeta 2014.172
Cobra Gold merupakan program Joint Military Exercises antara Amerika
Serikat dengan Thailand yang merupakan pilar kerjasama militer dan pertahanan
yang menjadi kebanggaan kedua negara. Program Cobra Gold ini sudah di
resmikan sejak tahun 1982.173 Program Cobra Gold terdiri dari patroli gabungan
jalur laut penting, misi non-combat, serta bantuan bencana.174 Dari tahun ke tahun
program ini selalu memberikan dampak positif bagi Amerika Serikat maupun
Thailand.175
Akhirnya Amerika Serikat memutuskan untuk tetap mengadakan Cobra
Gold 2015 dengan skala kecil, dimana fokusnya hanya mengadakan operasi
Bantuan Kemanusiaan dan Penanggulangan Bencana yang diadakan sembilan hari
171 Pongphisoot Busbarat, “Thai–US Relations in the Post-Cold War Era: Untying the
Special Relationship”, (ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapore and University of Sydney, Australia, 2017), 12.
172 Prashanth Parameswaran, “US-Thailand Relations and Cobra Gold 2015: What’s
Really Going On?”, 05 Februari 2015. Tersedia di http://thediplomat.com/2015/02/u-s-thailand-
relations-and-cobra-gold-2015-whats-really-going-on/, diunduh pada 27 September 2017.
173 Derek S. Reveron, “America’s Viceroys: The Military and U.S. Foreign Policy”, (Palgrave Macmillan: United State of America, 2004), 77.
174 Lewis M. Stern, “Diverging Roads: 21st century U.S.-Thai Defense Relations”, Institute for National Strategic Studies National Defense University, (Strategic Forum : Juni 2009), 5.
175 Pavin Chachavalpongpun, “ The Dilemma Confronting the U.S.-Thailand Relationship”, (The National Bureau of Asian Research, NBR Analysis Brief, 20 April 2016).
69
pada bulan Februari 2015.176 Situasi politik Thailand yang tidak kunjung
membaik membuat Amerika Serikat hanya menyertakan 3.600 personil militer
dalam Cobra Gold kali ini, lebih sedikit jika dibandingkan tahun sebelumnya,
Amerika Serikat menyertakan 4.300 Personil militer dalam Cobra Gold 2014.177
Program kerjasama militer lainnya juga mendapat peninjauan, Amerika
Serikat membatalkan latihan angkatan laut bilateral Cooperation Afloat Readiness
and Training (CARAT) yang sudah diikuti oleh Thailand sejak tahun 1995.178
CARAT merupakan latihan militer multinasional tahunan bersama yang diikuti
oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara, pada setiap tahunnya Thailand
menjadi tuan rumah latihan perang ini dengan menerima pasokan senjata dan
peralatan logistik militer dari Amerika Serikat.179 Selain itu, Amerika Serikat juga
mengasingkan Royal Thai Navy (RTN) dari latihan Rim of the Pacific (RIMPAC)
tahun 2014, dimana RIMPAC adalah latihan perang maritim terbesar di dunia
yang diselenggarakan oleh Armada Pasifik Amerika Serikat di Hawai.180
Amerika Serikat menegaskan bahwa kebijakan tersebut akan terus
berlangsung sampai kekacauan akibat kudeta militer di Thailand teratasi. Sebagai
negara aliansi Amerika Serikat, Thailand sangat kecewa dengan kebijakan
Amerika Serikat yang membuat kerjasama militer kedua negara memburuk. Hal
176 Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing,
Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 7. 177 Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing,
Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 7. 178 “Cooperation Afloat Readiness and Training (CARAT)”, 28 Juni 2014. Tersedia di
http://www.globalsecurity.org/military/ops/carat.htm, diunduh pada 24 April 2016. 179 Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN Navies”,
The Diplomat 07 Mei 2015, tersedia di http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-military-exercises-with-asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
180 Ian Storey, “Thailand’s Post-Coup Relations With China and America: More Beijing, Less Washington”, (ISEAS–Yusof Ishak Institute: Singapore, 2015), 7.
70
ini membuat hubungan persahabatan antara Amerika Serikat dan Thailand
semakin renggang.
Sementara itu, hubungan bilateral antara Thailand dan Tiongkok terlihat
semakin dekat. Kedua negara ini menggelar latihan angkatan udara bersama untuk
pertama kalinya yang dikenal dengan nama Falcon Strike 2015.181 Tiongkok
merupakan salah satu negara yang dapat mengancam eksistensi Amerika Serikat
di kawasan Asia. Selain itu, Thailand merupakan aliansi Amerika Serikat yang
berperan penting dalam merealisasikan kebijakan Pivot to Asia yang di usung
pemerintahan Obama, namun Thailand mulai enggan menanggapi pivot to Asia
tersebut.182
Menyikapi hal tersebut, Amerika Serikat segera mengambil langkah
strategis untuk menyelamatkan hubungan aliansinya dengan Thailand. Amerika
Serikat mengajak Thailand untuk kembali mengadakan latihan militer Cobra Gold
2016.183 Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Scott Marciel, mengatakan
bahwa latihan akan berlangsung pada tahun 2016. Thailand menyetujui
keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan latihan tahunan Cobra Gold ini.
Bagaimanapun, Cobra Gold sudah lama menjadi fondasi hubungan
bilateral antara Amerika Serikat dengan Thailand.184 Cobra Gold 2016
181 “Caught in the middle of a US-China arms wrestle”, Bangkok Post 15 November 2015,
tersedia di http://www.bangkokpost.com/print/765112/, diakses pada 26 september 2016. 182 William Tow & Douglas Stuart , “The New U.S. Strategy towards Asia: Adapting to the
American pivot”, (London: Routledge, 2015), 23. 183 Prashanth Parameswaran, “Confirmed: US Will Hold 2016 Cobra Gold Military
Exercises in Thailand”, The Diplomat 13 Juni 2015, tersedia di
http://thediplomat.com/2015/06/us-moves-ahead-with-2016-cobra-gold-military-exercises-in-
thailand/, diakses pada 1 September 2017. 184 Pavin Chachavalpongpun, “The Dilemma Confronting the U.S.-Thailand Relationship”
(The National Bureau of Asian Research, Analysis Brief, 20 April 2016).
71
dilaksanakan pada 9-19 Februari 2016 di Pusat Komando Angkatan Laut
Thailand, distrik Sattahip Provinsi Chonburi.185 Tahun 2016, 8.564 personel
gabungan dari Amerika Serikat, Thailand, Indonesia, Jepang, Malaysia, Singapura
dan Korea Selatan berpartisipasi dalam latihan tersebut. Cobra gold 2016 ini
bertujuan untuk melatih negara peserta dalam menghadapi tantangan keamanan
regional dan global untuk mempromosikan kerjasama dan stabilitas internasional
di kawasan ini.
Secara perlahan terjadi pemulihan hubungan militer Amerika Serikat
dengan Thailand. Pada September, Angkatan Laut Thailand berpartisipasi kembali
dalam latihan CARAT dengan Angkatan Laut dan Korps Marinir Amerika Serikat
di Pangkalan Angkatan Laut Sattahip.186 Selanjutnya pada bulan Oktober, perwira
penghubung angkatan laut Thailand mengambil bagian dalam Southeast Asia
Cooperation and Training Exercise (SEACAT) yang dipimpin oleh Amerika
Serikat di Changi C2 Center Singapura.187
Pada tanggal 21 Agustus 2015, dua puluh lima orang delegasi militer
Amerika Serikat yang dipimpin oleh salah satu komandan militer AS di Asia
Pasifik, Jend. McCaffrey memulai perundingan dengan Thailand. Perundingan ini
bertujuan untuk mengkaji upaya perluasan kerjasama di antara kedua negara.
185 Prashanth Parameswaran, “US, Thailand Launch 2016 Cobra Gold Military Exercises
Amid Democracy Concerns”, The Diplomat 9 Februari 2016,
tersedia di http://thediplomat.com/2016/02/us-thailand-launch-2016-cobra-gold-military-
exercises-amid-democracy-concerns/, diakses pada 2 September 2017. 186 “Missilex, Comrels and Band Performances Highlight of Successful CARAT Thailand”,
Press Release, Destroyer Squadron 7 Public Affairs 2 September 2015, tersedia di http://www.navy.mil/submit/display.asp?story_id=90868, diakses pada 1 Oktober 2017.
187 Erik Slavin, “Navy joins multilateral piracy exercise in Southeast Asia”, Stars and Stripes 5 Oktober 2015, tersedia di https://www.stripes.com/news/navy-joins-multinational-piracy-exercise-in-southeast-asia-1.371775, diakses pada 1 September 2017.
72
Pertemuan ini digelar di markas besar militer Thailand di Bangkok. Dalam
perundingan ini para petinggi militer kedua negara melakukan lobi terkait
aktivitas kolektif di Thailand serta kawasan lain. Amerika Serikat dan Thailand
sedang memprogram penyelenggaraan manuver bersama dan pertukaran teknisi
intelijen serta logistik. Menurut Duta Besar Amerika Serikat Davies, Amerika
Serikat dan Thailand Akan melanjutkan dialog strategis tingkat tinggi pada bulan
Desember 2015.188
Respon yang diambil Amerika Serikat mengenai kerjasama yang terjadi
antara Thailand dengan Tiongkok, penulis melihat kebijakan Amerika Serikat ini
sejalan dengan konsep Security Dilemma dalam Aliansi milik Glenn H. Synder.
Terlihat jelas rasa takut kehilangan Thailand sebagai aliansi di kawasan Asia
Tenggara membuat Amerika mengambil kebijakan yang bertentangan dengan
sebelumnya, yaitu menguatkan kerjasama militer dengan Thailand.
Amerika Serikat mengalami Security dilemma ketika aliansinya yaitu
Thailand menjalin kerjasama militer dengan Tiongkok yang dapat mengancam
kepentingan nasional Amerika Serikat di wilayah Asia Tenggara. Menurut Glenn
H. Snyder dalam tulisannya yang berjudul “The Security Dilemma in Alliance
Politics”, security dilemma dapat mengakibatkan terbentuknya aliansi baru.189
Glenn H. Snyder menjelaskan Security dilemma dalam aliansi terjadi dalam
188 Kavi Chongkittavorn, “Welcome to Thailand’s diplomatic jamboree”, The Nation 19
Oktober 2015, tersedia di http://www.nationmultimedia.com/opinion/Welcome-to-Thailands-diplomatic-jamboree-30271147.html, diakses pada 1 September 2017.
189 Snyder, “Glenn H, The Security Dilemma in Alliance Politics”, (World Politics: Cambridge University Press, 1948), Vol. 36, No. 4, hal 464, terdapat di http://www.jstor.org/stable/2010183, diunduh pada 30 Mei 2016
73
Hubungan antara sekutu serta antara lawan.190 Pembelotan yang dilakukan oleh
aliansi mungkin terjadi, membelot berarti menunjukkan komitmen yang lemah
dan tidak memberikan dukungan dalam konflik dengan musuh.
Bagaimanapun kekhawatiran ditinggalkan oleh aliansi lebih besar dari
pada kekhawatiran akan dijebak. Ketakutan saling ditinggalkan tersebut,
cenderung membuat negara mengubah kebijakannya. Aliansi dapat mengadopsi
kebijakan yang independen dan kontradiktif ketika khawatir aliansinya akan
berkhianat.
Dengan demikian, ketika keadaan security dilemma dalam aliansi negara
dapat membuat kebijakan yang kontradiktif karena ada sedikit tekanan struktural
terhadap resolusi negara, serta yakin bahwa perbedaan yang ada antara aliansi
dapat diselesaikan melalui norma-norma konsensus dan apa yang dilakukan
pasangan aliansinya tidak mengancam keberadaan negara tersebut.191
Berdasarkan konsep security dilemma dalam aliansi tersebut, Amerika
Serikat dapat membuat kebijakan yang kontradiktif dalam merespon kerjasama
militer antara Thailand dengan Tiongkok pada tahun 2014. Kebijakan kontradiktif
ini dilakukan untuk mempertahankan hubungan aliansi dengan Thailand sehingga
Amerika Serikat dapat membendung kekuatan Tiongkok di kawasan Asia
Tenggara.
Tantangan terhadap hubungan bilateral Amerika Serikat dengan Thailand
ini tidak dapat diatasi, namun memerlukan pertimbangan diplomasi dan kebijakan
190 Snyder, Glenn H, “The Security Dilemma in Alliance Politics”, (World Politics:
Cambridge University Press, 1948), Vol. 36, No. 4, hal 464, terdapat di http://www.jstor.org/stable/2010183, diunduh pada 30 Mei 2016 191 Snyder, Glenn H, “The Security Dilemma in Alliance Politic”, 494.
74
yang hati-hati oleh Amerika Serikat. Berdasarkan langkah yang diambil Amerika
Serikat dalam normalisasi kerjasama militer dengan Thailand, terlihat bahwa
Amerika Serikat mencoba untuk memperdalam kerjasama yang sebelumnya telah
terjalin. Langkah ini diambil Amerika Serikat untuk mempertahankan hubungan
aliansinya dan memajukan hubungan bilateral yang telah mereka kembangkan
sejak 1962.
Secara historis Thailand bertindak sebagai aliansi penting di Asia
Tenggara. Thailand merupakan aktor penting dalam mewujudkan pivot to Asia
yang diusung Obama. Selain itu, Thailand memberi Amerika Serikat akses yang
berharga di kawasan Asia Tenggara. Jika hubungan aliansi kedua negara berakhir,
secara otomatis Thailand akan beralih ke Tiongkok. Hal tersebut tentu akan
memperluas pengaruh Tiongkok di Asia Tenggara. Oleh karena itu, Amerika
Serikat melaksanakan kerjasama militer bersama Thailand yang sebelumnya telah
di batalkan demi mengamankan kepentingan strategisnya di kawasan Asia
Tenggara.192
A.2 Keterlibatan Amerika Serikat dengan Tiongkok dalam kerjasama
Militer
Selain mempererat kerjasama militer dengan Thailand, Amerika Serikat
mendekati Tiongkok dengan menjalin kerjasama militer dengan Tiongkok. Pada
November 2014 kedua belah pihak menandatangani Memorandum of
Understanding (MOU) tentang Notification of Major Military Activities yang
192 Dennis Blair , “Turbulent US–Thai Relations: A Conversation with Admiral Dennis
Blair”, Private Rountable, Former Director of National, (IISS-Americas, Washington DC, 15 Juli 2016), tersedia di https://www.iiss.org/en/events/events/archive/2016-a3c2/july-652c/turbulent-us-thai-relations-26ca, diakses pada 1 September 2017.
75
mencakup lampiran peraturan dengan kerangka acuan kerjasama kedua negara.
Kesepakatan awal dalam MOU tersebut mencakup dua lampiran, yaitu strategi
dalam membuat kebijakan dan pengamatan latihan militer.193 Lampiran tambahan
yang mengatur pertemuan tingkat tinggi ditandatangani Xi Jinping saat
kunjungannya ke Washington pada September 2015.194
Ivan Eland Director of Defense Policy Studies di Cato Institute
mengatakan bahwa saat ini Tiongkok memiliki kapabilitas untuk mengganggu
beberapa element dari Aktivitas keamanan Amerika Serikat, termasuk
infrastruktur militer di kawasan Asia Tenggara.195 Maka dari itu, adanya
kerjasama militer antara Tiongkok dengan Thailand akan menimbulkan ancaman
bagi stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Hal ini juga didukung berdasarkan
keberhasilan Tiongkok menjalin kerjasama militer dengan Thailand dalam bentuk
Joint Military Exercise dan Arms Transfers.196 Sehingga Amerika Serikat harus
mempersiapkan diri untuk merespon secara efektif terhadap hubungan antara
Thailand dengan Tiongkok yang dapat mengganggu nilai-nilai dan
kepentingannya di kawasan Asia Tenggara.
193 Department of Defense, “Memorandum of Understanding between the Department
of Defense of the United States of America and the Ministry of National Defense of the People’s Republic of China Regarding the Rules of Behavior for Safety of Air and Maritime Encounters”, 9–10 November 2014, tersedia di http://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/141112_MemorandumOfUnderstandingRegardingRules.pdf, diakses pada 3 Agustus 2017.
194 Phillip C. Saunders & Julia G. Bowie, “US–China military relations: competition and cooperation”, (Journal of Strategic Studies: Washington DC, 26 Agustus 2016), 17, tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/01402390.2016.1221818, diakses pada 1 September 2017.
195 Retno Ajiyastuti Ajiyastuti, “Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama Militer Tiongkok-Rusia 2007-2012”, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (2014), 65.
196 Wassana Nanuam and Patsara Jikkham, “Thailand, China bolster military ties as US
relations splinter”, Bangkok Post 6 Februari 2015, tersedia di
http://www.bangkokpost.com/print/468332/, diunduh pada 25 Agustus 2017.
76
Keterlibatan kerjasama militer yang dibentuk Amerika Serikat dengan
Tiongkok telah dikembangkan pada masa pemerintahan Presiden Obama yang
berusaha untuk mempertahankan dan meningkatkan arah hubungan yang positif
dengan Tiongkok.197
Adapun keterlibatan kerjasama Amerika Serikat dengan Tiongkok terbagi
dalam beberapa kategori yang berbeda. Keterlibatan yang pertama yaitu pada
2016 Kementerian Pertahanan Amerika Serikat melakukan pendekatan militer
melalui perjanjian dengan Menteri Pertahanan Tiongkok yang berfokus pada tiga
usaha, yaitu membangun kerjasama berkelanjutan melalui dialog yang melibatkan
pemimpin kedua negara, membangun kerjasama praktis untuk kepentingan
bersama dan mempromosikan pandangan umum dari lingkungan keamanan
kawasan untuk mengurangi potensi kesalah pahaman.
Berdasarkan hal ini, terlihat bahwa dengan adanya hubungan militer ini,
Amerika Serikat ingin memelihara hubungan kompetisi yang dijalin melalui
dialog dan kerjasama untuk mengurangi kesalahpahaman diantara kedua negara.
Keterlibatan yang kedua yaitu Pemerintah Amerika Serikat melakukan kunjungan
tingkat tinggi ke Tiongkok. Pada Juli 2016 Kepala Operasi Angkatan Laut
Amerika Serikat, Laksamana John Richardson mengunjungi markas besar armada
laut utara Tiongkok di Beijing dan Qingdao untuk bertemu dengan Komandan
197 G Robert & Brown, et al, “Balancing Acts: The U.S. Rebalance and Asia-Pacific
Stability”,( Sigur Center for Asian Studies: Washington DC, 2012), 7.
77
People's Liberation Army Navy (PLAN) Tiongkok, Laksamana Wu Shengli dan
wakilnya Yuan Yubai.198
Kunjungan tersebut merupakan upaya Amerika Serikat membahas strategi
keamanan dan masalah maritim di Kawasan Asia Tenggara. Kunjungan tingkat
tinggi adalah sarana penting untuk bertukar pandangan tentang keadaan keamanan
internasional yang berguna untuk mengidentifikasi wilayah dengan perspektif
umum, memahami perbedaan, dan mempererat hubungan bilateral. Berdasarkan
hal ini, penulis melihat bahwa Amerika Serikat ingin menekankan agar Tiongkok
dapat bekerjasama dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara. Keterlibatan
kerjasama militer Amerika Serikat dengan Tiongkok yang ketiga adalah
melakukan kunjungan kapal untuk berpartisipasi dalam latihan maritim Tiongkok.
Pada Mei 2016, kapal induk ke-7 USS BLUE RIDGE milik Amerika Serikat
melakukan kunjungan ke pelabuhan Shanghai. Laksamana Joseph Aucoin, ikut
serta dalam upacara penyambutan latihan Codes for Unexpected Encounters at
Sea (CUES) bersama PLAN Tiongkok. 199
Tujuan dari kunjungan kapal Amerika Serikat untuk berpartisipasi dalam
latihan maritim Tiongkok adalah mempererat hubungan angkatan laut kedua
198 Office of the Secretary of Defense, Annual Report to Congress: Military and Security
Developments Involving the People’s Republic of China 2017 (Washington DC: Office of the Secretary of Defense, 2017), 86, tersedia di https://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2017_China_Military_Power_Report.PDF, diunduh pada 1 Agustus 2017.
199 Office of the Secretary of Defense, Annual Report to Congress: Military and Security
Developments Involving the People’s Republic of China 2017 (Washington DC: Office of the Secretary of Defense, 2017), 89, tersedia di https://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2017_China_Military_Power_Report.PDF, diunduh pada 1 Agustus 2017.
78
negara.200 Namun, terlihat bahwa adanya keinginan Amerika untuk mengetahui
kapabilitas kapal selam serta teknik yang digunakan oleh Angkatan laut
Tiongkok. Mengingat Angkatan laut Thailand menjalin kesepakatan untuk
membeli 3 unit kapal selam Yuan class S26T dari Tiongkok.
Peneliti asal CNA Wasington DC, Kevin Pollpeter mengidentifikasi
perbedaan cara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam menjalin kerjasama.
Masing-masing negara menggunakan Pendekatan yang berlawanan dalam
memperluas hubungan kerjasama. Militer Amerika Serikat memilih pendekatan
bottom-up dalam membangun kepercayaan dan mengidentifikasi area yang
menjadi kepentingan bersama. Sehingga akan tercipta kerjasama yang lebih
mendalam.201
Disisi lain, militer Tiongkok lebih memilih pendekatan up-bottom dengan
menggunakan dialog tingkat tinggi untuk membangun kepercayaan. Keputusan
yang dihasilkan dalam dialog tingkat tinggi akan digunakan sebagai batu loncatan
untuk mengidentifikasi dan menjangkau tingkat yang lebih rendah.202
Amerika Serikat maupun Tiongkok memiliki tujuan tersendiri dalam
menjalin kerjasama militer. Amerika Serikat memiliki dorongan kuat untuk
mempertahankan hubungan kerja sama dengan Tiongkok dalam sistem
internasional. Hal ini di lalukan Amerika Serikat untuk membendung kekuatan
200 Phillip C. Saunders & Julia G. Bowie, “US–China military relations: competition and
cooperation”, (Journal of Strategic Studies: Washington DC, 26 Agustus 2016), 11, tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/01402390.2016.1221818, diakses pada 1 September 2017.
201 Phillip C. Saunders & Julia G. Bowie, “US–China military relations: competition and cooperation”, (Journal of Strategic Studies: Washington DC, 26 Agustus 2016), 11, tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/01402390.2016.1221818, diakses pada 1 September 2017.
202 Phillip C. Saunders & Julia G. Bowie, “US–China military relations: competition and cooperation”, (Journal of Strategic Studies: Washington DC, 26 Agustus 2016), 11, tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/01402390.2016.1221818, diakses pada 1 September 2017.
79
Tiongkok yang secara aktif melanggar peraturan dan norma internasional yang
ada. Tiongkok memiliki komitmen untuk tetap menjalin kerjasama dengan
Amerika Serikat sebagai negara paling kuat dalam sistem internasional yang
posisinya seringkali menghalangi tujuan Tiongkok.
Hal ini menunjukkan bahwa kedua negara akan mempertahankan
hubungan mereka melalui gabungan kerjasama. Sehingga akan ada ruang untuk
kedua militer tersebut terlibat dalam beberapa program yang kooperatif di dunia
internasional. Namun, terlihat bahwa kerjasama militer yang terjalin antara
Amerika Serikat dan Tiongkok sulit untuk membangun tingkat kepercayaan yang
signifikan antara militer kedua negara sehingga kerjasama yang terjalin akan tetap
terbatas. Setidaknya masih terdapat nilai penting dalam kerjasama kedua negara
dengan terciptanya pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana militer dan
operasi militer dapat menghindari resiko terjadinya konflik antara Amerika
Serikat dan Tiongkok.
Keterlibatan Amerika Serikat dengan Tiongkok dalam kerjasama Militer
merupakan bagian dari strategi Amerika Serikat dalam merespon kerjasama
militer Tiongkok – Thailand pasca kudeta 2014. Strategi yang dilakukan oleh
Amerika Serikat sejalan dengan konsep strategi hedging Evelyn Goh dalam
Understanding ’Hedging’ in Asia-Pasific Security 203. Dalam artikelnya Goh
menjelaskan bahwa strategi hedging memerlukan engagement yang komplek
antara Amerika Serikat dengan Tiongkok pada tingkat politik, ekonomi, dan
militer dengan harapan pemimpin Tiongkok dapat dipengaruhi atau
203 Evelyn Goh, “Understanding “hedging” in Asia-Pasific Security” (Pacific Forum CSIS:
Honolulu, Hawai : . 31 Agustus 2006), 1.
80
disosialisasikan untuk mematuhi peraturan dan norma-norma internasional. Dalam
hal ini, kebijakan engagement dapat dipahami sebagai sebuah constructive hedge
yang menentang agresivitas dominasi potensial Tiongkok. Kebijakan engagement
berusaha mengembangkan ikatan politik dan ekonomi dengan sebuah negara dan
membawanya pada masyarakat internasional, sehingga mengubah preferensi dan
aksi para pemimpin pada kecenderungan yang lebih damai.204
Strategi hedging merupakan representasi alternatif yang pragmatis
signifikan yang dimaksudkan untuk mencegah suatu destabilisasi power dan juga
untuk mengambil keuntungan dari negara tujuan. Strategi Hedging paling efektif
dalam hubungan diplomatik, aspek ekonomi dan militer dalam memperluas
pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Strategi Hedging ini sangat
cocok dalam melihat hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok di kawasan Asia
Tenggara, yaitu strategi yang memungkinkan Amerika Serikat meningkatkan
peran di kawasan Asia Tenggara melalui kerjasma militer dengan Tiongkok.
Melalui strategi ini Amerika Serikat mendapatkan keuntungan dari hubungan
diplomatik dengan Tiongkok. Selain itu, Amerika Serikat dapat mengamati
Tiongkok dari dekat sehingga dapat mencegah ancaman serta menekan kekuatan
Tiongkok di kawasan Asia Tenggara.
204 Johnston dan Ross (1999) dalam Kong dalam Evelyn Goh. “Meeting the China Challenge:The U.S. in Souhteast Asia Regional Security Strategies”, (Washington: East West Center: 2005), 3.
81
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan yang terjalin antara Amerika Serikat dengan Thailand sudah
terjalin sejak penandatanganan perjanjian bilateral pada tahun 1833 dan telah
menjadi sekutu perjanjian formal sejak penandatanganan Pakta Manila pada tahun
1954. Thailand merupakan salah satu negara aliansi yang sangat penting bagi
Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara. Selain menjadi mitra perdagangan
dan tempat investasi yang besar untuk Amerika Serikat, dari segi kerjasama
militer negara Thailand merupakan akses utama bagi Amerika Serikat untuk
menjalankan Strategi pivot to Asia dalam mempertahankan posisi strategis di
kawasan Asia Tenggara.
Peningkatan kerjasama antara Amerika Serikat dengan Thailand terjadi
dari tahun ke tahun dengan melakukan berbagai kerjasama ekonomi maupun
militer yang dibentuk dalam sebuah kepercayaan. Namun, setelah terjadinya
kudeta militer di Thailand pada 22 Mei 2014 hubungan kedua negara memburuk.
Hal ini terjadi karena Amerika Serikat memberikan beberapa sanksi kepada
Thailand sebagai bentuk penentangan Amerika Serikat terhadap kudeta.
Di sisi lain Tiongkok tetap mendukung dan tidak mencampuri masalah
internal politik Thailand dan memperkuat kerjasama militer dengan Thailand.
Tiongkok bertujuan untuk memperuat powernya di wilayah Asia Tenggara.
Thailand menganggap Tiongkok mampu memenuhi kebutuhan militer
Thailand pada saat Amerika Serikat meninggalkannya. Oleh karena itu, Thailand
82
menjalin kerjasama militer dengan Tiongkok dalam bentuk Joint Military
Exercise dan Arms Transfers.
Hal ini merupakan pemicu kekhawatiran Amerika Serikat, kerjasama
kedua negara dirasa dapat mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat dan
kestabilan di kawasan Asia Tenggara. Dalam merespon kerjasama militer yang
dilakukan Thailand dengan Tiongkok, Amerika Serikat mengambil dua buah
kebijakan. Kebijakan pertama di tempuh Amerika Serikat melalui peningkatan
kerjasama militer dengan Thailand sebagai aliansinya di kawasan Asia Tenggara.
Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki hubungan kedua negara.
Kebijakan kedua adalah menjalin keterlibatan dalam kerjasama militer
dengan Tiongkok. Hal ini di lalukan Amerika Serikat untuk membendung
kekuatan Tiongkok di kawasan Asia Tenggara dan menghindari resiko terjadinya
konflik antara kedua negara. Tindakan - tindakan ini rumuskan pada masa
pemerintahan Presiden Barack Obama dan ditempuh untuk mempertahankan
kepentingan nasional Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara.
B. Saran
Apabila sumber wawancara dengan pihak Amerika Serikat dan Tiongkok
yang memahami isu terkait tentu penelitian ini akan lebih baik karena melakukan
konfirmasi secara langsung dengan pihak tersebut. Oleh karena itu, disarankan
bahwa penelitian terkait isu yang diangkat ini dapat dilanjutkan dengan
melibatkan pihak Amerika Serikat dan Tiongkok sehingga hasil penelitian ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu dasar ke penelitian selanjutnya.
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chambers, Paul, R. Viotti, dan Mark V. Kauppi. 1999. International Relations
Theory: Realism, Pluralism, Globalism, and Beyond, Boston: Allyn &
Bacon.
Chinwanno, Chulacheeb. 2009. Rising Tiongkok and Thailand's Policy of Stratejic
Engagement dalam Chapter 3 buku The Rise of Tiongkok: Responses from
Southeast Asia and Japan. NIDS Joint Research Series, No. 4, The National
Institute for Defense Studies Japan.
Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong
Terhadap Dinamika, Realitas, dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dunne, T., Kurki M., dan Smith S. 2010. International Relations Theories:
Discipline and Diversity, 2nd edition. New York: Oxford University Press.
Emma, Ben, dan Wil, 2015. Thailand: Background and U.S. Relations. Report
Congressional Research Service.
G. Robert. dan Brown.2012. Balancing Acts: The U.S. Rebalance and Asia-
Pacific Stability. Sigur Center for Asian Studies: Washington DC.
Goh, Evelyn. 2008. Great Powers and Hierarchical Order in Southeast Asia:
Analyzing Regional Security Strategies. International Security. The MIT
Press.
Gruselle, Bruno, dan Meur Le Perrine. 2012. Technology Transfer and the Arms
Trade Treaty – Issues and Perspectives. Fondation pour la Recherche
Strategique: Paris.
Jackson, Karl D. dan Wiwat Mungkandi. 1986. United States-Thailand relations,
Institute of East Asian Studies, University of California: Berkeley.
Jackson, Robert. dan George Sorensen. 1999. Introduction to International
Relations, New York: Oxford University Press Inc,.
Jacque, Martin. 2009. When Tiongkok Rules the World: The Rise of the Middle
Kingdom and the End of the Western World, Allen Lane, London: United
Kingdom.
Jones, Gavin W. 2013. The Population Of Southeast Asia. JY Pillay Comparative
Asia Research Centre Global Asia Institute, National University Of
Singapore.
84
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 2003. World Politics: Trends and
Transformation, Belmont: Wadsworth.
Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Morgenthau, Hans J. 1948. Politics among Nations: The Struggle for Power and
Peace, New York: Alfred A.Knopf.
Muzaffar, Chandra. 2005. The Relationship between Southeast Asia and the
United State : A Contemporary Analysis. Sosial Research.
Newman, W. Lawrence. 2003. Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches, Boston: Pearson Education, Inc.
Nye, Joseph. 2009. Understanding International Conflict, 7th. Ed. New York:
Pearson Longman.
Papp, Daniel S. 1997. Contemporary International Relations. Boston: Allyn &
Bacon.
Reveron, Derek S. 2004. America’s Viceroys: The Military and U.S. Foreign
Policy. Palgrave Macmillan: United State of America.
Roy, D. 1998. China's Foreign Relations. London: Macmillan Press LTD.
Snyder, Glenn H. 1984. Vol. 36, No. 4 di The Security Dilemma in Alliance
Politics. World Politics: Cambridge University Press.
Sokolsky, Richard dan Angel Rabasa, C.R. Neu. 2000. The Role of Southeast Asia
in U.S. Strategy Toward China. Santa Monica: Rand.
Weatherbee, Donald E. 2009. International Relations in Southeast Asia: The
Struggle for Autonomy. Second Edition, Rowman & Littlefield Publishers,
Inc. United States of America.
Wuryandari, Ganewati. 2011. Politik Luar Negeri Indonesia Di Tengah Arus
Perubahan Politik Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasuhiro, M. 2014. China's Military Diplomacy, Tokyo: NIDS Security Report.
Artikel Jurnal.
Ajiyastuti, Retno. 2014. “Respon Amerika Serikat terhadap kerjasama militer
Tiongkok-Rusia 2007-2012” Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
85
Blair, Dennis. 2016. “Turbulent US–Thai Relations: A Conversation with Admiral
Dennis Blair” Private Rountable, Former Director of National, (IISS-
Americas, Washington DC. tersedia di
https://www.iiss.org/en/events/events/archive/2016-a3c2/july-
652c/turbulent-us-thai-relations-26ca, diakses pada 1 September 2017.
Chachavalpongpun, Pavin. 2016.“ The Dilemma Confronting the U.S.-Thailand
Relationship”, The National Bureau of Asian Research, NBR Analysis
Brief.
Chambers, Paul. 2004. “U.S.-Thai Relations After 9/11: A New Era in
Cooperation” di Contemporary Southeast Asia, Vol. 26, No. 3. Institute of
Southeast Asian Studies (ISEAS).
Department of Defense, 2014. “Memorandum of Understanding between the
Department of Defense of the United States of America and the Ministry of
National Defense of the People’s Republic of China Regarding the Rules of
Behavior for Safety of Air and Maritime Encounters”. tersedia di
http://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/141112_MemorandumO
fUnderstandingRegardingRules.pdf, diakses pada 3 Agustus 2017.
Dessy Austriningrum, Giovanni. 2012. “Relasi Negara-Negara Asia Tenggara
dengan Amerika Serikat”. tersedia di http://giovanni-d-a-
fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-49094
Umum%20Relasi%20NegaraNegara%20Asia%20Tenggara%20dengan%20
Amerika%20Serikat.html,diakses pada 24 April 2016.
Emma, Ben, dan Wil. 2015. “Thailand: Background and U.S. Relations” Report
Congressional Research Service.
Foreign Affairs, “The Lonely Superpower. (US military and cultural hegemony
resented by other powers) Samuel P. Huntington.”, March 1999 v78 i2
p35(1). tersedia di
http://www3.amherst.edu/~pmachala/Current%20Politics/PS50%20IR%20
&%20Foreign%20Policy%20TheoryTHE%20READINGS/For%20the%20
FIRST%20seminar%20readings/Huntington,%20The%20Lonely%20Super
power.doc., diakses pada 26 September 2016.
Gershaneck, Kerry. 2017.“Set the US-Thailand relationship right” PacNet No.16.
Pacific Forum CSIS, Honolulu, Hawaii.
Goh, Evelyn. 2005. “Meeting the China Challenge: The U.S. in Souhteast Asia
Regional Security Strategies.” Washington,East West Center.
Goh, Evelyn. 2006. “Understanding “hedging” in Asia-Pasific Security” Pacific
Forum CSIS, Honolulu, Hawai.
86
Kegley, Charles W. dan Eugene R. Wittkopf. 2003. “World Politics: Trends and
Transformation.” Belmont: Wadsworth, 37-38. tersedia di
https://wiki.zirve.edu.tr/groups/economicsandadministrativesciences/wiki/1
65d3/attachments/50e78/Charles_W._Kegley,_Shannon_L._Blanton_World
_Politics_Trend_and_Transformation,_2010_2011_Edition,_13th_Edition2
010.pdf, diakses pada 27 Mei 2016.
Kerry, John. 2014. “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State,
Washington, DC, U. S. Department of State. tersedia di
http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diakses pada
September 2016.
Lehmann, Christof. 2016. “China-Thailand Military Exercise Launched Against
Backdrop of US-China Confrontation” Global Research: nsnbc
International.
Nazhafah, Rahmah. 2012. “ Strategi Militer Amerika Serikat dalam Membendung
Pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia Pasifik” dalam Skripsi Jurusan
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Hasanuddin.
Nely Fadrianis, 2012, Kedudukan Republik Rakyat Tiongkok sebagai
Penyeimbang Dominasi Amerika Serikat dalam Dunia Internasional,
Skripsi Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Hasanuddin.
Office of the Secretary of Defense. 2017. “Annual Report to Congress: Military
and Security Developments Involving the People’s Republic of China 2017”
Washington DC: Office of the Secretary of Defense, 85, tersedia di
https://www.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2017_China_Military_
Power_Report.PDF, diunduh pada 1 Agustus 2017.
Saunders, Phillip C. dan Julia G. Bowie. 2016. “US–China military relations:
competition and cooperation”, Journal of Strategic Studies: Washington DC.
17. tersedia di http://dx.doi.org/10.1080/01402390.2016.1221818, diakses
pada 1 September 2017.
Seriory, Bunga. 2014. “Respon Amerika Serikat Terhadap Peningkatan
Kapabilitas Militer Tiongkok dikawasan Asia Pasifik.” Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Andalas.
Stern, Lewis M.2009.“Diverging Roads: 21st century U.S.-Thai Defense
Relations”Institute for National Strategic Studies National Defense
University. Strategic Forum.
87
Storey, Ian. 2015. “Thailand's Post-Coop Relations with Tiongkok and America:
More Beijing, Less Washington” ISEAS, Singapore: Yusof Ishak Institute.
Tessman, Brock F. 2012. “System Structure and State Strategu: Adding Hedging
to the Menu.” Routledge Taylor&Francis Group XI (21).
U.S. Department of Defense, Security Cooperation Agency.“International Military
Education and Training (IMET)”. tersedia di
http://www.dsca.mil/programs/international-military-education-training-
imet, diakses pada 20 April 2017.
U.S. Department of Defense, Security Coorperation Agency. “Foreign Military
Financing (FMF)”. Tersedia di http://www.dsca.mil/programs/foreign-
military-financing-fmf, diakses pada 20 April 2017.
W. Lohman, 2011. “Reinvigorating the U.S.–Thailand Alliance”, The Heritage
Foundation: Leadhership for America.
Zara Raymond, Catherine. 2009 “Piracy and Armed Robbery in the Malacca
Strait: A Problem Solved?” Naval War College Review, Vol. 62, No. 3
Tersedia di http://www.usnwc.edu/getattachment/7835607e-388c-4e70-
baf1-b00e9fb443f1/Piracy-and-Armed-Robbery-in-the-Malacca-Strait—A-,
18 April 2017
Berita Online
Angga Mahaputra, “Anti-Militer Thailand Berdemo Pulihkan Demokrasi”,
http://news.okezone.com/read/2014/06/24/411/1003491/anti-militer-
thailand-berdemo-pulihkan-demokrasi , 22 Maret 2017
Erik Slavin, “Navy joins multilateral piracy exercise in Southeast Asia”, Stars and
Stripes 5 Oktober 2015, tersedia di https://www.stripes.com/news/navy-
joins-multinational-piracy-exercise-in-southeast-asia-1.371775, diakses
pada 1 September 2017.
Hillary Clinton, “America's Pacific Century, Foreign Policy”, 11 Oktober 2011.
tersedia di http://foreignpolicy.com/2011/10/11/americas-pacific-century/,
28 April 2017.
John Kerry, “Coup in Thailand”, Press Statement, Secretary of State, Washington,
DC, U. S. Department of State, May 22, 2014, tersedia di
http://www.state.gov/secretary/remarks/2014/05/226446.htm, diunduh pada
September 2016. .
88
Kavi Chongkittavorn, “Welcome to Thailand’s diplomatic jamboree”, The Nation
19 Oktober 2015, tersedia di
http://www.nationmultimedia.com/opinion/Welcome-to-Thailands-
diplomatic-jamboree-30271147.html, diakses pada 1 September 2017.
Nirmal Ghosh, “US-Thai security alliance revived”, Straits Times, 16 November
2012. tersedia di
Prashanth Parameswaran, “US Eyes Expanded Military Exercises with ASEAN
Navies”, 07 Mei 2015. tersedia di The Diplomat
http://thediplomat.com/2015/05/us-eyes-expanded-military-exercises-with-
asean-navies/, diunduh pada 26 September 2016.
89
Lampiran – Lampiran
Wawancara Melalui Surat Elektronik dengan one government officer in Thailand
pada 9 Agustus 2017.
Rosalina Mursyid:
Dear one goverment officer in Thailand, My name is Rosalina Mursyid, final-year
International Relations Student at State Islamic University Jakarta. I am currently
writing on my thesis within the title "The United States' United Response to
Thailand - China Military Cooperation in 2014 - 2016".
Following the 2014 coup, the United States showed even more hostile attitudes
toward the Thailand military government. Washington responded to the coup with
a series of criticisms and sanctions to Thailand. At the same time, China made a
significant progress through bilateral military cooperation with Thailand. Such as,
Joint Military Exercise and Arms Transfers.
May I know from your opinion what is the reasons of Thailand to establish
military cooperation with China after the coup2014? How this military
cooperation between Thailand and China actually could impact to the United
States and Thailand relationship? Then, how much this military cooperation can
disrupt the interests of the United States in Southeast Asia? Is there any policy
from the United States to improve his relations with Thailand? And the last
questions, in your opinion should the United States worry about military
cooperation between china and thailand?
Thank you so much.
Best,
Rosalina.
One government officer in Thailand:
First of all, can you just refer me as one government officer because it is
necessary for me to remain anonymous.
The precise answer would be as follows: in principle the western world cannot
accept the coup d'etat. The us has a special law which requires the government to
put pressure on the coup makers and cut military cooperation with military
governments. On the contrary the chinese government has always adhered to the
notion of non-interference. In 2006, i remember the chinese government said that
if Thai people accept the coup, the chinese government can accept it too.
However, the relationship between Thailand's military governments and the US
and the western world may vary depending on the policy of each administration of
the us. For example, the Trump administration may not be concerned about
democracy as much as the Obama administration.
90
Another factor is on the Thai side. I mean if the military government can prove
that they can restore law and order in Thailand. If the government can maintain its
tight grip on power. That will be ok for the US to do business with that
government.
The military ties between thailand and china has been strong for a decade.
Thailand is strategicall important for China. While the us retreats from Asia
during the Bush admin, thailand and many other countries turned to china instead.
I think it's more like the continuity of the relationship between the two countries.
However, as the military government has been in power in thailand for three years
or so and it can bring stability back to the country, the relationship with the us
would be better i hope.
According to should the United States worry about military cooperation between
china and thailand, my answer is yes and no. Yes, because it is clear that China
always wishes to expand its influence in Southeast Asia and No, because i think
Thailand should not align with China too much. Southeast Asian countries should
be able to balance the two global powers appropriately. the United States should
expand what Joseph S.Nye calls, Soft power in the region. apart from military
influence.
I don't want my country to be dominated by the chinese influence. if we are
dominated by China, we won't have choices when we conduct our foreign policy
for our own interests but it depends on the president of the US as well. some
presidents adhere to democracy promotion abroad more than others.
However in the us there are laws which prohibit the government to co-operate
with coup makers in foreign countries. but if the US still neglects Thailand
because of governance, it is more likely that Thailand will align with China more
and more and the US will lose its influence in the region. a lot of Thai people
don't like the US anymore. due to many reasons
My answer may not be academic. It's my own interpretation from my experience.
Hope it helps and sorry for a late response.