restorative - unsyiah

18

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESTORATIVE - Unsyiah
Page 2: RESTORATIVE - Unsyiah

RESTORATIVE

JUSTICE

PARADIGMA BARU HUKUM PIDANA

Editor:

Ferry Fathurokhman, SH, MH, Ph.D

Dr. Rena Yulia, SH, MH

INCA Publishing

Page 3: RESTORATIVE - Unsyiah

Judul Buku

Restorative Justice:

Paradigma Baru Hukum Pidana

Penulis :

Brian Steels dkk

Editor : Ferry Fathurrokhman dan Rena Yulia

Desain Isi dan Sampul

Tim Penerbit

INCA PUBLISHING

Jl. Perum Permata Cimanggis

Blok E 11 No. 11 Depok

Cetakan Pertama, 2016

x + 186 hlm., 14,8 x 21 cm

ISBN: 978-602-97460-1-3

Page 4: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 95

Restorative Justice

Pengalaman Cara Berhukum Aceh

Sulaiman Tripa1

Latar Belakang

Catatan tentang restorative justice, masih lumayan terbatas.

Pemosisian restorative justice pun, beragam. Umumnya

restorative justice diposisikan sebagai pendekatan. Salah satunya

adalah Septa Candra yang menyebutkan pendekatan restorative

justice sebagai pendekatan yang lebih menitikberatkan pada

kondisi terciptanya suatu keadilan bagi pelaku tindak pidana dan

korban. Dengan pendekatan demikian, mekanisme pemidanaan

pun diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan

kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan

seimbang bagi korban dan pelaku. Di samping itu, restorative

justice memiliki makna keadilan yang merestorasi.2

Menurut Makarao dkk, restorative justice merupakan reaksi

terhadap teori retributif yang berorientasi pada pembalasan dan

teori neoklasik yang berorientasi pada sanksi pidana dan sanksi

tindakan.3

Konsep lain disebutkan Prayitno. Menurutnya, restorative

justice adalah peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian

yang disebabkan atau terkait dengan tindak pidana. Dalam hal ini,

1 Mengajar “Hukum Peradilan Adat” dan “Hukum dan Masyarakat” pada Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala; [email protected]. 2 Septa Candra, “Restorative Justice: Suatu Tinjauan terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”, Rechtsvinding, Vol. 2 (2)

2013. Bandingkan, Reyner Timothy Danielt, “Penerapan Restorative

Justice terhadap Tindak Pidana Anak Pencurian oleh Anak di Bawah Umur”, Lex et Societatis, Vol. 2 (6), 2014. 3 M. Taufik Makarao dkk, Pengkajian Hukum tentang Penerapan

Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-anak, (Jakarta: BPHN, 2013).

Page 5: RESTORATIVE - Unsyiah

96 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif yang

melibatkan semua pihak.4

Kata kunci dari restoratif justice adalah empowerment, bahkan

empowerment ini adalah jantungnya restoratif (the heart of the

restorative ideology).5

Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk restorative justice,

yakni: Pertama, trjadinya pemulihan kepada mereka yang

menderita kerugian akibat kejahatan. Kedua, pelaku memiliki

kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan keadaan (restorasi).

Ketiga, pengadilan berperan untuk menjaga ketertiban umum dan

masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian yang adil.6

Cara Berhukum

Dengan melihat konsep, pendekatan, dan prinsip tersebut,

tulisan ini ingin melihat secara khusus terkait cara berhukum Aceh

yang dijalankan selama ini.

Barangkali terlalu sederhana apabila “cara berhukum” tersebut

langsung dianalogkan kepada konsep restoratove justice. Akan

tetapi sepertinya, sejumlah bagian-bagian kecil dari cara-cara

berhukum Aceh yang akan dijelaskan, memiliki beberapa

kesamaan dengan konsep tersebut. Sebagai bahan pembelajaran

dari pengalaman Aceh, membuat tulisan ini penting untuk dibagi.

Istilah cara berhukum ditemukan dalam Satjipto Rahardjo.

Menurutnya, cara berhukum adalah bagaimana cara menjalankan

hukum. Selama ini, menjalankan hukum di negeri ini masih

didominasi dengan cara-cara berhukum tertentu yang dipaksakan.

Cara kita berhukum masih menggambarkan suasana pemaksaan

dari suatu cara berhukum tertentu, yaitu hukum yang didatangkan

dan dipaksakan (transformed and imposed) dari luar, terhadap

4 Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia

(Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto)”,

Dinamika Hukum, Vol. 12 (3) 2012. 5 Ibid. 6 M. Taufik Makarao dkk, Op. Cit.

Page 6: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 97

tatanan sosial Indonesia yang lebih asli dengan sekalian nilai-

nilainya.7

Dengan bersandar pada pendapat demikian, dapat dipahami

bahwa cara berhukum bisa dilaksanakan dengan adanya

pemahaman bahwa penyelesaian masalah, tidak hanya bisa

dilakukan melalui ruang formal semata. Pada saat yang sama,

dalam masyarakat terdapat peradilan adat yang cukup elegan

menyelesaikan masalah yang timbul dalam masyarakat.8

Saya lebih ingin menggunakan kata yang lebih tepat, yakni

“penyelesaian secara damai”. Konsep penyelesaian secara damai

tersebut, terutama dengan cara-cara yang bersumber dari

masyarakat dan hukum adat, merupakan salah satu jalan

penyelesaian masalah dari masyarakat majemuk Indonesia.

Hukum adat sebagai suatu sistem memiliki pola tersendiri dalam

menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas

dan unik bila dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum

adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya

bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum

adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, norma yang

disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat

adat. Hukum adat memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai,

dan dinamika yang berkembang dalam masyarakat adat. Dengan

demikian, hukum adat merupakan wujud juris fenomenologis dari

masyarakat hukum adat.9

Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan dari

kebudayaan masyarakat Indonesia. Hukum adat bersandar pada

alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak samadengan alam

pikiran yang menguasai sistem hukum barat atau sistem hukum

7 Satjipto Rahardjo, Pendidikan Hukum sebagai Pendidikan

Manusia,Kaitannya dengan Profesi Hukum dan pembangunan Hukum

Nasional, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009). 8 Sulaiman Tripa, Hukum Peradilan Adat di Indonesia, (Depok: Pale

Media, 2013). 9 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada-Kencana, 2009).

Page 7: RESTORATIVE - Unsyiah

98 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

lainnya. Soedarsono menyebutkan, bahwa tata hukum adat

Indonesia berbeda dengan tata hukum lainnya yang ada di

Indonesia seperti tata hukum Romawi yang dibawa kolonial

Belanda ke Indonesia (Barat), tata hukum Hindu India, tata hukum

Islam, dan berbagai tata hukum lainnya.10 Perbedaan tata hukum

adat Indonesia dengan tata hukum lainnya wajar terjadi, karena

masyarakat Indonesia sebagai pendukung budaya mempunyai

pandangan dan falsafah hidup masyarakat tersendiri. Soepomo

menyebutkan bahwa hukum adat merupakan penjelmaan dan

perasaan hukum yang nyata bagi rakyat.11 Hukum adat dibangun

dari bahan kebudayaan baik yang bersifat riil maupun idiil dari

bangsa Indonesia, khususnya dan bangsa Melayu pada

umumnya.12

Hukum adat sebagai suatu sistem yang bersandar pada alam

pikiran bangsa Indonesia memiliki konsepsi-konsepsi dasar,

unsur, bagian, konsistensi, dan kelengkapan yang kesemuanya itu

merupakan satu kesatuan yang terangkai. Van Vollen Hoven

menyebutkan konstruksi pembidangan hukum adat berupa: bentuk

masyarakat hukum adat, badan pribadi, pemerintahan dan

peradilan, hukum keluarga, perkawinan, waris, tanah, utang

piutang, delik, dan sistem sanksi. Sistematika dan konstruksi

bertitik tolak pada nilai dan kenyataan yang ada pada masyarakat.

Masyarakat hukum adat adalah kerangka tempat hukum adat

bekerja, sehingga akan banyak pengaruh terhadap bagian-bagian

yang lain, dan tentu saja berpengaruh terhadap lakunya hukum

adat.13

Untuk mengukur sejauh mana aturan-aturan hukum adat itu

masih mempunyai kekuatan material, menurut Hilman

10 RH. Soedarsono, “Studi Hukum Adat”, dalam M. Syamsuddin dkk

(Penyunting), Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, (Yogyakarta: FH UNII, 1998). Syahrizal Abbas, Mediasi.. 11 Soepomo, Bab-bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Prandya Paramita,

1996). 12 Syahrizal Abbas, Mediasi. 13 Syahrizal Abbas, Mediasi.

Page 8: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 99

Hadikusuma, maka harus dipenuhi beberapa hal sebagai berikut :

(a) Apakah struktur masyarakat adatnya masih tetap dipertahankan

ataukah sudah berubah; (b) Apakah kepala adat dan perangkat

hukum adatnya masih tetap berperan sebagai petugas adat; (c)

Apakah masih sering terjadi penyelesaian perkara dengan

keputusan-keputusan serupa; (d) Apakah kaidah-kaidah hukum

adat yang formal masih dipertahankan ataukah sudah bergeser dan

berubah; (e) Apakah hukum adat itu tidak bertentangan dengan

Pancasila, UUD serta politik hukum nasional.14

Secara umum, keberadaan hukum adat di Indonesia diakui

oleh Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua yang

disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Pasal 18 B ayat (2)

menyebutkan “negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya

sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

di atur dalam Undang-undang”. Pengakuan negara tersebut secara

tersurat memberi arti penting bagi keberlangsungan hukum adat

yang secara turun temurun masih hidup dan berkembang dalam

masyarakat Indonesia.

Penyelesaian Sengketa Peradilan Adat

Bila kita lihat kajian-kajian tentang penyelesaian sengketa,

maka tergambar bahwa dalam masyarakat hukum adat sudah sejak

lama sengketa-sengketa yang terjadi diselesaikan secara

musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat seperti

peradilan adat. Dalam peradilan seperti itu, biasanya yang menjadi

hakim adalah tokoh-tokoh adat atau tokoh-tokoh dalam

masyarakat hukum adat. Mengenai kewenangan yang dimiliki,

umumnya tidak terbatas pada perdamaian saja, namun juga

kekuasaan untuk memutuskan sengketa dalam semua bidang

hukum yang tidak terbagi ke dalam pengertian pidana, perdata,

14 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1992).

Page 9: RESTORATIVE - Unsyiah

100 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

publik, dan lain-lain.15 Dalam hal ini proses penyelesaian sengketa

dilakukan berdasarkan tiga asas kerja untuk menghadapi perkara-

perkara adat, yaitu asas rukun, patut dan keselarasan.16

Hidup bersama dapat dipertahankan dengan ketiga prinsip

tersebut, yang menjadi ajaran hidup bersama.17 Dalam masyarakat

adat hidup rukun ditegaskan bahwa hubungan semua warga dalam

kehidupan kelompok saling mengabdi, menjaga, mencintai, dan

menghargai. Menurut Syahrizal Abbas, di sinilah lahir etika yag

sangat luhur yakni pengorbanan kebersamaan yang merupakan

panggilan suci. Dengan menjalankan pengorbanan kebersamaan,

akan terwujud masyarakat yang tertib, tentram, damai, makmur,

dan sejahtera. Hal ini dinyatakan secara tegas, pandangan hidup

yang dianut oleh masyarakat hukum adat.18

Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari nilai, pola

pikir, dan norma telah melahirkan ciri masyarakat hukum adat.

Imam Sudiyat menyebutkan masyarakat hukum adat memiliki ciri

religius, komunal, demokrasi, mementingkan nilai moral spritual,

dan bersahaja/sederhana.19

Pola penyelesaian sengketa terkait dengan ciri dan

karakteristik tersebut. Dalam memahami tradisi penyelesaian

sengketa dalam masyarakat hukum adat, perlu dipahami filosofi di

15 Hilman Hadikusuma, Pengantar. 16 Moh. Koesnoe, Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, (Surabaya:

Erlangga University Press, 1974). 17 Hilman Hadikusuma, Pengantar. 18 Syahrizal Abbas, Mediasi. Menurutnya, pengorbanan adalah pangkal

dari tata tertib masyarakat untuk mengarahkan masyarakat agar tentram,

tertib, dan teratur. Pengorbanan merupakan kewajiban yang harus dimiliki setiap anggota dalam masyarakat. Pengorbanan adalah dasar ketertiban

dan siapa yang berkorban akan mendapat imbalan. Dalam masyarakat adat

dikenal adagium “siapa yang menanam, akan mengambil hasilnya”. Jadi kalau kita mengamati bahwa masyarakat adat mengenal hak dan

kewajiban. Hak adalah imbalan yang didapat oleh masyarakat adat setelah

melakukan pengorbanan (kewajiban). 19 Imam Sudiyat, dalam M. Syamsuddin dkk, Op. Cit. Syahrizal Abbas,

Mediasi.

Page 10: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 101

balik terjadinya sengketa dan dampak-dampak yang terjadi akibat

sengketa terhadap nilai dan komunitas masyarakat hukum adat.

Filosofi ini sangat penting diketahui agar dapat memahami

keputusan-keputusan yang diambil oleh pemegang adat dalam

menyelesaikan sengketanya.20

Tradisi penyelesaian sengketa masyarakat hukum adat

didasarkan pada nilai filosofi kebersamaan (komunal),

pengorbanan, nilai supernatural, dan keadilan. Dalam masyarakat

hukum adat kepentingan bersama merupakan filosofi hidup setiap

manusia. Sengketa yang terjadi antar individu atau kelompok

adalah tindakan yang mengganggu kepentingan bersama, makanya

harus segera diselesaikan secara arif.21 Di samping itu, tradisi

penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung

menggunakan pola adat atau pola kekeluargaan. Esensi

penyelesaian sengketa dalam hukum adat adalah mewujudkan

damai, bukan hanya bagi para pihak, tapi juga masyarakat secara

keseluruhan.22

Model Peradilan Adat Aceh

Pengalaman ini yang sudah berlangsung di Aceh, terutama

tingkat gampong dan mukim. Provinsi Aceh memiliki 669 Mukim

dan 6464 gampong.23 Keberadaan mukim dan gampong sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat, telah ditetapkan dengan Qanun

Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dan

Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan

Gampong. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, memosisikan gampong

dan mukim lebih kuat.

Keuchik sebagai hakim di Aceh. Dalam kepemimpinan

keuchik, mencakup tiga bidang yang diemban, yakni eksekutif

20 Syahrizal Abbas, Mediasi. 21 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Penerbit

Prandya Paramita, 1995). 22 Syahrizal Abbas, Mediasi. 23 Anonimious, Aceh Dalam Angka 2013, (Banda Aceh: BPS, 2014).

Page 11: RESTORATIVE - Unsyiah

102 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

(melaksanakan pemerintahan), legislatif (membahas peraturan

gampong bersama tuha peut), dan yudikatif (menyelesaikan

sengketa). Dalam upaya menyelesaikan sengketa, keuchik

bertugas: (a) sebagai penyidik, menyelidiki delik atau peristiwa

hukum yang terjadi dalam wilayah desa; (b) sebagai penuntut

umum, menuntut tersangka atau pihak yang dianggap bersalah

supaya dihukum; (c) sebagai penutup perkara, Hakim.

Dasar hukum formal adalah Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa penyelesaian

maslah sosial kemasyarakatan harus ditempuh terlebih dahulu

melalui lembaga Adat. Lembaga Adat dimaksud dalam hal ini

termasuk Keuchiek bersama Perangkat Desa.

Untuk menerapkan hukum, Keuchiek harus berhadapan

terlebih dahulu dengan sistem hukum yang sangat berbeda

karakternya, masing-masing adalah: (1) Sistem Hukum Qanun

Syariat (Islam), berkarakter semi kolektif, semi kompromis, sebab

dalam perkara Hukum tertentu keluarga atau kerabat pihak si

korban turut dilibatkan. Tujuan penerapan hukum dari kedua

sistem hukum tersebut diatas kurang lebih adalah sama, yakni

untuk mencapai keadilan dan kepastian hukum. Dalam kenyataan

dilapangan diantara kedua tujuan hukum tersebut tidaklah

selamanya singkron, bahkan kadang kala terjadi benturan atau

pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum. (2) Sistem

Hukum Adat, mempunyai karakter yang jauh berbeda apabila

dibandingkan dengan sistem Hukum Pidana (Berat) maupun

dengan sistem Hukum Qanun Syariat (Islam). Letak perbedaan,

antara lain adalah: (a) Hukum Adat tidak membedakan antara

bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata; (b) Hukum Adat

tidak berkarakter individualistis, tetapi bersifat kolektif,

kompromis dan koperatif; (c) Pihak yang terlibat dalam suatu

delik, tidaklah hanya individu pelaku dan korban saja tetapi

tersangkut juga keluarga atau kerabat, bahkan gampong dari kedua

belah pihak; (d) Hukum Adat tidak membedakan antara delik

dolus (sengaja) dan culpa (khilaf), yang penting akibat yang

ditimbulkan dari tindak pidana itu. (f) Terjadi delik atau perbuatan

melawan hukum dalam suatu desa atau gampong berakibat timbul

Page 12: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 103

kegoncangan dalam masyarakat. Kegoncangan ini dianggap telah

merusak keseimbangan hukum yang selama ini harmonis, serasi,

aman, damai, rukun dan tenteram.24

Tujuan penerapan hukum, menurut hukum Adat adalah

memulihkan keseimbangan hukum yang telah rusak akibat

perbuatan melawan hukum oleh pelaku. Keuchiek selaku Hakim

desa berupaya dengan cara bagaimanapun juga supaya keadaan

masyarakat desa atau gampongnya dapat pulih kembali seperti

sedia kala yakni harmonis, serasi, aman dan tenteram.25

Peradilan adat merupakan solusi terhadap permasalahan

penyelesaian masalah yang muncul di tengah-tengah masyarakat,

dengan lebih memberikan rasa keadilan tanpa menimbulkan

sebuah masalah baru. Namun kapasitas pemangku adat yang akan

menjalankan peradilan tersebut nantinya tentu menjadi sebagai

tonggak utama terhadap baik buruknya hasil penyelesaian adat itu

sendiri.

Tujuan tersebut yang tercermin dari keinginan membentuk

Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan

Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10

Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Dalam Qanun Nomor 9

Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat

Istiadat, pertimbangannya: (a) bahwa Adat dan Adat Istiadat yang

berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu

hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan

aturan yang sejalan dengan Syariat Islam dan merupakan

kekayaan budaya bangsa yang perlu dibina, dikembangkan dan

dilestarikan; (b) bahwa pembinaan, pengembangan dan pelestarian

Adat dan Adat Istiadat perlu dilaksanakan secara

berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga

dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang

dalam kehidupan masyarakat Aceh.

24 TI. Elhakimy, “Fungsi Keuchik selaku Penegak Hukum terkait Delik

Pencabulan”, Makalah dalam Pertemuan Pemangku Adat, (Banda Aceh:

Majelis Adat Aceh, 10 September 2009). 25 Ibid.

Page 13: RESTORATIVE - Unsyiah

104 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

Dalam qanun disebutkan, bahwa ruang lingkup pembinaan

dan pengembangan kehidupan adat dan adat istiadat meliputi

segenap kegiatan kehidupan bermasyarakat. Pembinaan,

pengembangan, pelestarian, dan perlindungan terhadap adat dan

adat istiadat berpedoman pada nilai-nilai Islami.

Pembinaan dan pengembangan kehidupan adat dan adat

istiadat dimaksudkan untuk membangun tata kehidupan

masyarakat yang harmonis dan seimbang yang diridhai oleh Allah

SWT, antara hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan

lingkungannya, dan rakyat dengan pemimpinnya. Pembinaan

tersebut untuk meningkatkan fungsi dan peran adat dan adat

istiadat dalam menata kehidupan bermasyarakat.

Pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat dan adat

istiadat meliputi: (a) tatanan adat dan adat istiadat; (b) arsitektur

Aceh; (c) ukiran-ukiran bermotif Aceh; (d) cagar budaya; (d) alat

persenjataan tradisional; (f) karya tulis ulama, cendikiawan dan

seniman; (g) bahasa-bahasa yang ada di Aceh; (h) kesenian

tradisional Aceh; (i) adat perkawinan; (j) adat pergaulan; (k) adat

bertamu dan menerima tamu; (l) adat peutamat darueh (Khatam Al

Qur’an); (m) adat mita raseuki (berusaha); (n) pakaian adat; (o)

makanan/ pangan tradisional Aceh; (p) perhiasan-perhiasan

bermotif Aceh; (q) kerajinan-kerajinan bermotif Aceh; (r) piasan

tradisional Aceh; dan (s) upacara-upacara adat lainnya.

Penyelesaian sengketa/perselisihan adat meliputi: (a)

perselisihan dalam rumah tangga; (b) sengketa antara keluarga

yang berkaitan dengan faraidh; (c) perselisihan antar warga; (d)

khalwat meusum; (e) perselisihan tentang hak milik; (f) pencurian

dalam keluarga (pencurian ringan); (g) perselisihan harta

sehareukat; (h) pencurian ringan; (i) pencurian ternak peliharaan;

(j) pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; (k)

persengketaan di laut; (l) persengketaan di pasar; (m)

penganiayaan ringan; (n) pembakaran hutan (dalam skala kecil

yang merugikan komunitas adat); (o) pelecehan, fitnah, hasut, dan

pencemaran nama baik; (p) pencemaran lingkungan (skala

ringan); (q) ancam mengancam (tergantung dari jenis ancaman);

Page 14: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 105

dan (r) perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat

istiadat.

Penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat

tersebut diselesaikan secara bertahap. Aparat penegak hukum

memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan

terlebih dahulu secara adat di Gampong atau nama lain.

Penyelesaian secara adat meliputi penyelesaian secara adat di

Gampong atau nama lain, penyelesaian secara adat di Mukim dan

penyelesaian secara adat di Laot. Penyelesaian secara adat di

Gampong atau nama lain dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang

terdiri atas: Keuchik atau nama lain; imeum meunasah atau nama

lain; tuha peut atau nama lain; sekretaris gampong atau nama lain;

dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau

nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.

Penyelesaian secara adat di mukim dilaksanakan oleh tokoh-

tokoh adat yang terdiri atas: imeum mukim atau nama lain; imeum

chik atau nama lain tuha peut atau nama lain; sekretaris mukim;

dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di mukim yang

bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan.

Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan

dilaksanakan di Meunasah atau nama lain pada tingkat Gampong

atau nama lain dan di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-

tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain dan Imeum

Mukim atau nama lain. Penyelesaian secara adat di Laot

dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: panglima

laot atau nama lain; wakil panglima laot atau nama lain; 3 orang

staf panglima laot atau nama lain; dan sekretaris panglima laot

atau nama lain.

Dalam hal penyelesaian secara adat di Laot Lhok atau nama

lain tidak bisa menyelesaikan sengketa adat yang terjadi antara

dua atau lebih panglima laot lhok atau nama lain, maka

sengketa/perselisihan tersebut dilaksanakan melalui penyelesaian

secara adat laot kab/kota. Penyelesaian secara adat laot

kabupaten/kota dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri

atas: panglima laot kab/kota atau nama lain; wakil panglima laot

atau nama lain; 2 orang staf panglima laot kab/kota atau nama

Page 15: RESTORATIVE - Unsyiah

106 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

lain; dan 1 orang dari dinas Dinas Kelautan dan Perikanan

dan/atau tokoh nelayan. Sidang musyawarah penyelesaian

perselisihan/ sengketa dilaksanakan di Meunasah atau nama lain

pada tingkat Gampong atau nama lain, di Mesjid pada tingkat

Mukim, di laot pada balee nelayan dan di tempat-tempat lain yang

ditunjuk oleh Keuchik atau nama lain, Imeum Mukim atau nama

lain, dan Panglima Laot atau nama lain.

Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian

sengketa adat sebagai berikut: nasehat; teguran; pernyataan maaf;

sayam; diyat; denda; ganti kerugian; dikucilkan oleh masyarakat

gampong atau nama lain; dikeluarkan dari masyarakat gampong

atau nama lain; pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya

sesuai dengan adat setempat.

Di samping itu, ada juga Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008

tentang Lembaga Adat. Dasar pertimbangannya: (a) bahwa

lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat

Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting

dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan

untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan

dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai

islami; (b) bahwa keberadaan lembaga adat perlu ditingkatkan

perannya guna melestarikan adat dan adat istiadat sebagai salah

satu wujud pelaksanaan kekhususan dan keistimewaan Aceh di

bidang adat istiadat.

Dalam qanun tersebut disebutkan, bahwa Lembaga adat

berfungsi sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan

masyarakat, dan penyelesaian masalah-masalah sosial

kemasyarakatan.

Lembaga-lembaga adat adalah Majelis Adat Aceh; imeum

mukim atau nama lain; imeum chik atau nama lain; keuchik atau

nama lain; tuha peut atau nama lain; tuha lapan atau nama lain;

imeum meunasah atau nama lain; keujruen blang atau nama lain;

panglima laot atau nama lain; pawang glee/uteun atau nama lain;

petua seuneubok atau nama lain; haria peukan atau nama lain; dan

syahbanda atau nama lain. Lembaga adat tersebut bersifat otonom

Page 16: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 107

dan independen sebagai mitra Pemerintah sesuai dengan

tingkatannya.

Setiap lembaga adat dapat berperanserta dalam proses

perumusan kebijakan oleh Pemerintah sesuai dengan tingkatannya

yang berkaitan dengan tugas, fungsi, dan wewenang masing-

masing lembaga adat.

Pemangku Adat mengatur kebijakan dan tata cara

pelaksanaan adat dan adat istiadat sesuai dengan tugas dan fungsi

lembaga adat masing-masing. Pemangku Adat berfungsi sebagai

pendamai dalam menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan

sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Semua lembaga adat tersebut di atas berada di bawah

pembinaan Wali Nanggroe. Pembinaannya dilaksanakan melalui

Majelis Adat Aceh. Pembinaan Lembaga Adat dalam bidang

administrasi dan keuangan dilaksanakan oleh pemerintah Aceh,

dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Aceh dan pemerintah

kabupaten/kota menyediakan bantuan dana pembinaan Lembaga-

lembaga Adat sesuai dengan kemampuan daerah.

Pengalaman dari Panteraja (Pidie Jaya)

Sebagai bahan pembelajaran, ada satu kasus yang diselesaikan

dan menjadi best practice bagi Majelis Adat Aceh, yakni kasus

penganiayaan ringan di Gampong Mukablang, Kecamatan

Panteraja, Kabupaten Pidie Jaya.26

Kasus terjadi kira-kira suatu hari di bulan Oktober 2011. Pada

hari itu, mungkin karena emosi dengan sebab tertentu, MY (45

tahun) masuk ke rumah Nur (43 tahun) dan melempar sandal ke

arah anak Nur, IF. Lemparan itu dilakukan bertubi-tubi dengan

beberapa pasang sandal. Perilaku tersebut menyebabkan IF harus

diobati.

Dengan kejadian tersebut, Nur langsung melaporkan kejadian

tersebut kepada Keusyik. Keusyik menerima laporan tersebut, dan

menyebutkan bahwa akan diselesaikan secara baik-baik.

26 Taqwaddin Husein, Sulaiman Tripa, Teuku Muttaqin Mansur, “Peradilan Adat Aceh”, Hasil Penelitian, (Banda Aceh: LKHA, 2012).

Page 17: RESTORATIVE - Unsyiah

108 | Restorative Justice: Kajian Implementasi

Bagi Nur, tanggapan Keusyik dianggap terlalu lamban.

Melihat keusyik tidak langsung mengambil kebijakan untuk

proses penyelesaikan, Nur menganggap keusyik tidak

menindaklanjuti laporannya. Kondisi tersebut menyebabkan Nur

mencoba mengambil jalan lain, yaitu melapor ke Polisi.

Sebenarnya langkah yang mau diambil Nur juga disampaikan

kepada Keusyik. Pada waktu itu, Keusyik sudah menyampaikan

bahwa bila satu laporan sudah disampaikan kepada keusyik, maka

keusyik pasti akan menyelesaikan dan bersabarlah. Karena

ketidaksabaran akhirnya Nur benar-benar melaporkan kasus ini ke

Polisi.

Ketika sampai di Kantor Polisi, dilihat bahwa jenis kasus yang

disampaikan harus diselesaikan pada tingkat gampong dulu. Maka

Polisi meminta Nur kembali ke gampong untuk menjumpai dan

melaporkannya pada keusyik.

Nur kemudian pulang ke kampung, dan kembali

menyampaikan hal tersebut kepada keusyik. Pada waktu itu,

keusyik sendiri ingin memberikan semacam nasehat agar bila

terjadi suatu kasus haruslah dimulai dengan kesabaran agar

kasusnya mudah diselesaikan.

Keusyik waktu itu menanyakan, apakah Nur bersedia

mengikuti proses penyelesaian gampong sepenuhnya. Nur dan

keluarganya menjawab bersedia dan menyerahkan sepenuhnya

kepada Keusyik dan Orang Tua Gampong. Lalu keusyik

mengatakan agar apa yang dialami tersebut sepenuhnya

diselesaikan oleh tokoh gampong.

Dalam kasus tersebut, tetua adat gampong melakukan

pertemuan hingga enam kali agar mendapatkan gambaran kasus

dan menerima informasi dari masing-masing pihak.

Proses yang dilakukan secara bertahap, diharapkan dapat

berlangsung dengan kepala dingin. Kasus yang ditindaklanjuti

pada hari kejadian dengan pada hari-hari setelah kejadian, akan

terdapat perbedaan para pihak dalam menghadapi kasus tersebut.

Setelah beberapa hari kejadian, masing-masing pihak memiliki

waktu untuk merenungi mendalam mengenai apa yang telah

dilakukan. Dengan demikian jalan masuk menjadi lebih mudah.

Page 18: RESTORATIVE - Unsyiah

Restorative Justice: Kajian Implementasi | 109

Pada akhirnya mereka memutuskan bahwa pihak yang

bersalah adalah MY. Karena ia yang bersalah, maka

konsekuensinya adalah mengeluarkan berbagai keperluan untuk

menyelesaikan masalah tersebut, yakni biaya pengobatan IF

sebesar Rp500.000. Kemudian biaya denda Rp400.000 dan biaya

sayam / peusijuek sebesar Rp100.000. Dengan demikian MY

membayar seluruhnya Rp1.000.000,-

Dalam kasus tersebut, MY menerima putusan dan

melaksanakan berbagai hal yang dipersyaratkan, yakni berjanji

damai dan meminta maaf kepada korban dan keluarga korban.

Upacara itu sendiri dilaksanakan di meunasah pada hari

diberikan putusan yakni tanggal 4 November 2011. Di dalam

meunasah, semua pihak saling menerima putusan yang diberikan

dan berjanji tidak akan mengulangi perilaku yang sama di

kemudian hari.

Atas kejadian tersebut, kedua pihak berjanji tidak akan

mengulangi. Dalam putusan di meunasah dibacakan bahwa pihak

(baik pelaku maupun korban) yang memulai mengungkit lagi

masalah tersebut, maka harus membayar seberapapun nanti yang

diputuskan dalam Majelis Adat.

Di luar proses yang tampak, sesungguhnya dalam kasus

tersebut banyak sekali proses di belakang layar yang dilakukan,

yang itu semua tidak mungkin ditulis. Proses tersebut misalnya

keusyik yang meminta orang tertentu untuk menanyakan dari hati

ke hati apa yang diharapkan korban. Demikian juga dengan

pelaku, mengapa ia melakukan itu dan putusan apa yang setimpal

bagi pelaku menurut pelaku sendiri.

Dalam masa penyelesaian kasus tersebut, keusyik juga intens

berkomunikasi dengan berbagai pihak dalam penyelesainnya.

Satu hal lagi yang sering tidak bisa dicatat adalah peran

penting perempuan dalam menyelesaikan kasus. Secara nyata,

dalam majelis sama sekali tidak terdapat anggota perempuan.

Namun di balik penyelesaian itu, peran perempuan sangat penting,

baik dari keluarga pelaku maupun keluarga korban. Perempuan

inilah yang meyakinkan bahwa ketika perselisihan terjadi, maka

semua mereka akan menanggung malu yang tidak terhingga.