resume buku manajemen
TRANSCRIPT
RESUME BUKU
Judul Buku : MENGGUGAT MANAJEMEN (BARAT)
Penulis : Fu‟ad Mas‟ud
Penerbit : Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Indonesia
I. Bias Pandangan Dunia Barat dalam Studi Manajemen
1. Manajemen di Masyarakat Barat
engertian kita tentang manajemen pada dasarnya merupakan produk dari
pengertian manajemen Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini
disebabkan riset dan publikasi dalam bidang manajemen dan organisasi berasal
dari Barat. Drucker (1977) menyatakan bahwa kata „manajemen‟ sudah berabad-
abad lamanya. Namun, penerapannya sebagai alat pengelolaan (pengurusan) suatu
lembaga, terutama perusahaan, adalah khas Amerika. Karena itu, pengertian
manajemen tidak ada padanannya yang persis dalam bahasa lain manapun. Dalam
pemakaian kata manajemen di Amerika juga bukan istilah yang mudah. Hal ini
dikarenakan lembaga-lembaga di luar perusahaan tidak menggunakan kata
manajemen atau manajer. Badan pemerintah, universitas dan rumah sakit
menggunakan administrator, sedangkan angkatan bersenjata menyebutnya
komandan.
2. Fondasi Pandangan Dunia Barat
Hakikatnya, semua disiplin ilmu dan teori-teori yang datang dari barat,
berakar dari empat paham, yaitu:
a. Rasionalisme
Rasionalisme adalah
paham yang menyatakan bahwa
rasio (akal) manusia merupakan
satu-satunya sumber
pengetahuan (sain). Segala
fenomena yang terjadi harus
berdasar dan dapat dijelaskan
rasio. Jika tidak, maka hal
tersebut dikategorikan sebagai
anomali belaka. Meski begitu,
masyarakat pada zaman itu
tetap memercayai adanya
Tuhan dengan analogi sebagai
pembuat jam (watch maker).
P
Mereka beranggapan, setelah alam semesta (jam) diciptakan, maka penciptanya
tidak diperlukan lagi. Paham seperti ini yang kemudian hari disebut dengan Deism.
Setidaknya, ada dua faktor pendorong munculnya rasionalisme di
masyarakat barat. Pertama, dominasi mitologi Yunani yang sarat mitos (tahayul)
dan tidak dapat diterima rasio (akal). Kedua, peristiwa “Copernicus dan Galelio”
yang bertentangan pendapat dengan gereja.
Di masa pencerahan (abad XVII-XVIII), para tokoh ilmuwan di Barat
menjadikan rasionalisme sebagai satu-satunya pedoman dalam hidup manusia.
Mereka menolak paham yang datang dari ajaran agama dan menggantinya dengan
sistem keyakinan humanisme.
Secara umum paradigma sain Barat ada dua macam, yakni modernisme
(modernism) dan posmodernisme (postmodernism). Keduanya berasal dari satu
sumber yakni manusia itu sendiri. Sain Barat hanya berpijak pada kemampuan
akal (rasio) manusia. Mereka menolak wahyu dari Tuhan sebagai salah satu
sumber sain. Hanya pengetahuanlah yang mutlak menjadi pedoman hidup
manusia.
b. Materialisme
Materialisme merupakan keyakinan bahwa realitas yang ada hanya materi
(fisik). Semua penjelasan peristiwa yang terjadi harus dapat diamati secara
langsung (empiris) dan dapat diukur. Paham ini juga berkaitan erat dengan paham
rasionalisme. Keduanya menilai bahwa esensi manusia ditentukan oleh esensi
luarnya. Keberhasilan seseorang hanya diukur dengan banyaknya materi dan
kemegahan fisik yang dimiliki. Para penganutnya percaya bahwa hidup di dunia
ini pada dasarnya hanya mencari kesenangan (pleasure) dan menghindari
kesengsaraan (pain).
c. Humanisme
Humanisme merupakan keyakinan bahwa manusialah yang menjadi
patokan (standar)segala sesuatu. Mulai dari hakekat, tujuan hingga ukuran
kebenaran dan kesalahan (etika), ditentukan oleh manusia. Mereka tidak percaya
hal-hal yang diluar fisik (metafisik) seperti Tuhan, wahyu dan lain-lain. Mereka
hanya meyakini bahwa sain sebagai satu-satunya pedoman hidup manusia dan
manusia adalah pengendali alam yang dapat menentukan nasibnya sendiri
(antroposentrisme).
Penganut paham ini juga mengamini relativitas kebenaran dan etika.
Mereka menafikan kebenaran absolut dan menganggap kebenaran adalah relatif.
Menurut mereka, manusia tidak dapat menemukan kebenaran sejati (final). Oleh
karena itu, penganut paham ini menjadikan paham pragmatis sebagai ukuran
kebenaran. Artinya, sesuatu dianggap benar jika memberikan manfaat nyata atau
keuntungan dalam kehidupan manusia.
d. Sekulerisme
Sekulerisme adalah paham yang menyatakan bahwa urusan agama harus
dipisahkan dari urusan dunia. Paham ini timbul akibat penyalahgunaan agama
oleh para pemimpin agama dan pemimpin negara sendiri sebelum abad ke 15.
Penyalahgunaan ini berimbas pada penderitaan rakyat banyak. Selain itu, paham
ini merupakan konsekuensi logis dari ketiga macam paham sebelumnya.
Dalam paham ini, terlihat jelas dikotomi antara sain dan agama. Keduanya
dipandang tidak memiliki integritas satu sama lain. Hal ini dikarenakan
pandangan masyarakat Barat tentang agama sebagai lembaga yang menakutkan,
inkuisisi (menghukum mati para penentangnya), intoleransi dan membelenggu
kebebasan manusia.
Kedepannya, manajemen pun tidak pernah dikaitkan dengan agama.
Sekalipun mungkin para ahli dari Barat mengakui perilaku manusia sehari-hari
merupakan cermin dari keyakinannya, mereka lebih menekankan hasil tindakan
yang nyata. Dalam manajemen selalu diajarkan: anda tidak dapat mengelola jika
anda tidak dapat mengukur (you can’t manage, if you can’t measure). Atau, anda
hanya dapat mengelola apa yang dapat anda ukur (you can only manage, what you
can measure).
Keempat keyakinan utama yang mendasari pandangan dunia (worldview)
Barat tersebut menjadi „kerangkeng‟ yang telah mendarah daging dalam
kehidupan masyarakat Barat. Pandangan dunia tersebut menjadi landasan berfikir
dalam memahami segala realitas. Daniels, Fanz dan Wong (2000), dalam
tulisannya “A Clasroom with a Worldview: Making Spiritual Assumption Explicit
in Management Education’ juga menyatakan bahwa pandangan dunia sangat
menentukan bagaimana manajemen dipahami, diajarkan dan dipraktekkan.
Dengan begitu, suatu istilah atau konsep mungkin akan mempunyai arti berbeda
dengan masyarakat selain Barat.
Berdasarkan gambar diatas, dapat ditarik tiga implikasi. Pertama, dengan
pandangan dunia yang berbeda, dapat dibangun konsep dan teori manajemen yang
berbeda.
Kedua, pandangan dunia Barat menyebabkan bias pemahaman dalam
studi manajemen. Manajemen yang dipahami banyak orang tidak dibarengi
pemahaman akan pandangan dunia Barat. Sehingga manajemen Barat seolah
merupakan satu-satunya sain manajemen yang valid.
Ketiga, memraktekkan teori dan konsep manajemen Amerika di luar
lingkungannya dapat menimbulkan masalah baik positif maupun negatif. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan pandangan dunia dan lingkungan (sosial, budaya,
politik, hukum, dan sebagainya). Kesemuanya dapat menimbulkan keterasingan,
konflik psikologis dan kultural dalam masyarakat.
3. Manajemen dalam Islam
Sejak dicanangkannya abad XV Hijriyah (1980 M) sebagai abad
kebangkitan Islam, banyak ilmuwan muslim yang bermunculan. Mereka
membangun dan mengembangkan ilmu-ilmu sosial yang berdasarkan pandangan
islam. Sain manajemen pun tidak luput dari pembahasan. Namun, tentunya
terdapat beberapa perbedaan dengan pandangan dunia Barat. Pembahasan
manajemen dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari agama. Semua tindakan
manusia dikaitkan dengan tujuan hidup manusia dan pandangan hidupnya. Oleh
karena itu, pengembangan sain manajemen berlandaskan pandangan dunia bukan
Barat sangat diperlukan agar manajemen tidak menyesatkan manusia. Manajemen
sebenarnya dapat saja tidak bersifat matrealistis dan sekularis. Manajemen tidak
Pandangan Dunia
(Sistem
Keyakinan/Sistem
Nilai) Amerika
Konsep & Teori
Manajemen &
Organisasi Amerika
Praktek Manajemen
& Organisasi
Amerika
hanya digunakan sebagai metode untuk mengejar keuntungan yang bersifat materi,
tapi juga dapat bersifat sosial. Manajemen juga dapat bersifat agamis, dalam arti
dilandasi oleh nilai-nilai ilahiyah. Dengan demikian, konsep dan praktek
manajemen sangat tergantung pada pandangan dunia yang digunakan sebagai
dasar manajemen tersebut.
4. Urgensi Manajemen dalam Islam
Dalam manajemen, tujuan manajemen tak lain adalah untuk mencapai
tujuan organisasi itu sendiri. Namun dalam perspektif Islam, manajemen tidak
dapat dilepaskan dari konsep amanah dan tanggung jawab. Setiap orang wajib
memahami dan menjaga serta menunaikan amanah yang diterima. Oleh karena itu,
agar dapat menunaikan tanggung jawabnya dengan baik, seorang direktur
memerlukan manajemen.
Menurut paradigma manajemen Islam pula, konsep efisiensi dalam
manajemen tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dikarenakan pengertian dari
manajemen yang menyatakan, dengan pemasukan input sesedikit mungkin untuk
menghasilkan keluaran output tertentu (Brinkerhoff & Dressler, 1990). Sedangkan
dalam Al-Qur‟an (QS:17:26, 29) dan (QS:25:65) tidak ada konsep efisiensi.
Sebagai gantinya, Islam mengajukan konsep keadilan (jalan tengah antara boros
dan kikir). Dengan kata lain, Islam melarang boros dan kikir, tapi menganjurkan
keadilan. Konsep keadilan berarti juga meletakkan sesuatu pada tempatnya.
Keadilan mempunyai pengertian yang sama dengan keseimbangan.
II. Manajemen dan Aliran-aliran Pemikirannya
1. Pengertian Manajemen
stilah manajemen pertama kali digunakan oleh Shakespeare dalam
karyanya “Love’s Labour’s Lost”. Selain itu, Adam Smith juga
menggunakannya dalam buku “The Wealth of Nations” yang kemudian diikuti
oleh John Stuart Mill. Meski begitu, dalam pengertian Amerika terdapat dua
rujukan arti kata manajemen. 1) Orang yang tidak memiliki bisnis, tetapi menjual
keahlian dan ketrampilan kepada pemilik perusahaan, 2) Orang yang tidak secara
langsung menghasilkan sesuatu, tetapi mereka membuat orang lain menghasilkan
sesuatu melaui pengarahan dan pengawasan (Hofstde, 1993).
Pengertian manajemen sendiri didapat dari paradigma yang mendasarinya.
Paradigma dominan dalam memahami manajemen selama ini adalah paradigma
fungsionalis dan pragmatis. Dengan begitu, pengertian manajemen berkaitan
dengan fungsi-fungsinya saja. Seperti menurut Henry Fayol dalam bukunya
General and Industrial Management (1924/1947). Ia menulis ada lima macam
elemen atau fungsi dalam manajemen. Kelimanya adalah: perencanaan,
pengorganisasian, pemberian perintah, pengkoordinasian dan pengendalian. Lain
halnya dengan Parker (2002), menurutnya manajemen adalah istilah yang
digunakan untuk mencakup pekerjaan dari sekelompok manajer (occupational
group of managers). Sedangkan, menurtu Knights (1992), manajemen dapat
dipahami sebagai metode untuk mendominasi dan menguasai kelompok tertentu.
I
Dengan banyaknya pendapat dan sudut pandang dari manajemen, maka
benarlah jika manajemen digambarkan dengan rimba atau hutan (jungle)
sebagaimana pendapat Koontz (1961).
Manajemen sendiri dituntut untuk dapat mengikuti perkembangan. Maka
dari itu, penguasan di bidang manajemen memerlukan berbagai disiplin ilmu.
Dengan kata lain, manajemen merupakan bidang studi yang tidak bertepi (karena
luasnya) dan tidak bertuan (siapapun dapat memasukinya).
Beberapa ahli manajemen mempunyai beberapa definisi atau batasan tentang
manajemen yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diantaranya
sebagai berikut:
1) Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan dan mengendalikan kegiatan untuk mencapai tujuan
organisasi dengan menggunakan sumber daya organisasi (Stoner, 1998)
2) Manajemen adalah usaha pencapaian tujuan organisasi melalui
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian dengan
menggunakan sumber daya organisasi (Daft, 2100)
3) Manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan,
menggerakkan dan mengendalikan untuk mencapai tujuan (Terry, 1978)
Manajemen juga seringkali didefiniskan dengan proses mencapai tujuan
yang diinginkan dengan memengaruhi perilaku manusia dalam lingkungan yang
tepat (management is defined as process of achieving desired result by influencing
human behavior in a suitable environment). Adapun definisi yang paling umum
adalah bahwa manjemen merupakan usaha untuk menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain atau mencapai tujuan melalui orang lain (management is
getting things done through other people). Dalam buku ini sendiri, managemen
diartikan sebagai menggunakan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai tujuan
yang diinginkan (using resources to achieve the desired objectives).
2. Prinsip-prinsip Manajemen
Tidak ada persamaan batasan yang jelas tentang prinsip-prinsip
manajemen. Hal ini dikarenakan perbedaan sudut pandang manajemen yang
mereka anut. Namun para ahli tidak berbeda pendapat tentang pengaruh
lingkungan terhadap manajemen.
Simon (1959, p.2) menyatakan bahwa sebelum sain dapat
mengembangkan prinsip-prinsip, sain harus mempunyai konsep yang jelas. Ia
percaya bahwa ada perubahan penekanan dari prinsip-prinsip administrasi itu
sendiri ke studi kondisi lingkungan dimana prinsip yang saling bersaing dapat
diaplikasikan. Sebaliknya, Koontz dan O‟Donell (1964), percaya bahwa
berdasarkan pengetahuan manajemen, kita mempunyai prinsip manajemen. Meski
berbeda, kedua kubu sepakat mengenai perlunya prinsip manajemen dan peran
lingkungan. Keduanya juga setuju bahwa prinsip bukanlah hukum karena terdapat
perbedaan antara hukum ilmu sosial dan hukum ilmu alam. Mereka juga sama-
sama menerima definisi sebagai berikut: sebuah prinsip merupakan kepercayaan
fundamental yang menjelaskan fenomena tertentu. Jika kondisi tertentu tetap
seperti semula dan fenomena baru sesuai dengan cakupan prinsip tersebut, maka
bila seseorang memiliki pengetahuan tentang prinsip dia akan mampu membuat
prediksi faktor-faktor perilaku dalam situasi yang baru (Haiman, 1962. P.11).
Sekalipun terdapat kesepakatan, pada perbedaan pendapat tetap ditemukan
beberapa masalah. Pada kenyataannya dalam manajemen tidak mungkin muncul
fenomena yang persis berulang. Oleh karena itu, memprediksi perilaku selalu
gagal dibuktikan secara empiris. Disamping itu, prinsip yang dinyatakan
cenderung membuat generalisasi sebelum studi mendalam. Sejauh ini, manajemen
hanya mengandalkan pada pendekatan logika deduktif (deductive logic),
sedangkan supaya menjadi sain diperlukan pendekatan logika induktif (inductive
logic) (Wadia, 1961). Oleh karena itu, prinsip manajemen tidak dapat digunakan
sebagai pedoman. Sebagaimana disaranakan Simon (1959), kita harus
menemukan „dalam kondisi apa‟ prinsip dapat berlaku.
Masalah lain berkaitan dengan kebijakan (policy). Bila prinsip
memberikan pedoman terhadap tindakan manajer, maka prinsip akan serupa
dengan kebijakan. Namun demikian, prinsip dipandang memiliki aplikasi yang
lebih luas, dari organisasi satu ke yang lain. Sedangkan kebijakan biasanya hanya
berlaku untuk organisasi tertentu.
3. Peta Pemikiran Manajemen Barat Kontemporer
Munculnya aliran-aliran manajemen tidak lepas dari masalah atau kondisi
tertentu. Sehingga dalam manajemen Barat dirumuskan aliran-aliran sebagai
berikut:
1) Aliran Manajemen Saintifik (Scientific Management School)
Aliran ini dikaitkan dengan ide dan pekerjaan Frederick Winslow Taylor
(1911) yang kemudian disebut “Bapak Manajemen Ilmiah”. Dia menawarkan
empat prinsip dasar manajemen saintifik sebagai berikut:
a) Setiap pekerjaan harus dipecah-pecah menjadi elemen-elemen dan metode
ilmiah untuk menentukan pekerjaan
b) Karyawan harus diseleksi secara saintifik dan diberi pelatihan untuk
melaksanakan pekerjaan
c) Manajemen harus bekerja sama dengan para karyawan untuk menjamin
semua pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip sain
d) Pekerjaan dan tanggung jawab dibagi secara saintifik antar pekerja dan
manajer
Manajemen saintifik sangat menekankan pentingnya rasionalitas ekonomi,
efisiensi dan standarisasi namun mengabaikan peran individu dan kelompok
dalam organisasi. Selain itu, manajemen ini juga mengabaikan aspek sosial dan
psikologi perilaku karyawan. Asumsi dasarnya, manusia bersifat rasional dan
kebanyakan manusia tertarik dengan imbalan ekonomi (uang). Tujuan manajemen
sendiri hanya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini
dikarenakan manajemen ini didasari oleh pemikiran di jaman perbudakan. Para
budak bekerja dengan ketentuan dari majikan.
Akhir-akhir ini, manajemen ini muncul dengan beberapa modifikasi.
Diantaranya neo-taylorism atau neo-scientific management, Total Quality
Management, Enterprise Resourcing Planning, Six Sigma, Balanced Score Card
dan lain sebagainya.
2) Aliran Manajemen Birokrasi dan Administratif
Manajemen Birokrasi: Max Weber
Aliran birokrasi pertama kali diajukan oleh Max Weber (1864-1920).
Gagasannya tentang birokrasi dimaksudkan terhadap monarkhi (kerajaan), dimana
raja, ratu, pangeran, dan anggota pemerintahan memiliki ciri: ketidakefisienan,
uang pelicin dan seterusnya. Menurutnya, birokrasi adalah pelaksanaan
pengendalian berdasarkan pengetahuan rasional. Tujuan utamanya untuk
mencapai tujuan organisasi seefisien mungkin. Selain itu, Weber juga
mengidentifikasi dua hal penting yang terus menjadi ciri utama tipe ideal praktek
manajemen, yakni individualisme dan materialisme. Weber juga merumuskan
tujuh elemen dalam birokrasi.
1 Seleksi formal berdasarkan
kualifikasi (Formalized
qualification-based hiring)
Karyawan diseleksi dan dipekerjakan secara
formal berdasar pada latar belakang
pendidikan dan pelatihan mereka
2 Promosi berdasarkan sistem
merit (Merit-based
promotion)
Promosi berdasarkan prestasi dan
pengalaman. Manajer, dan bukan pemilik
organisasi yang menentukan siapa yang
dipromosikan
3 Rantai hirarkhi (Chain of
hirarchy)
Setiap pekerjaan dalam suatu hirarki, ada
rantai perintah, dimana setiap posisi
melaporkan dan bertanggungjawab kepada
posisi yang lebih tinggi
4 Pembagian kerja (Division of
Labor)
Tugas, tanggung jawab dan wewenag
didefinisikan dan dibagi secara jelas
5 Penerapan peraturan dan
prosedur secara impersonal
(impersonal application of
rule and procedures)
Peraturan dan prosedur diterapkan kepada
semua anggota organisasi, penerapannya
secara tak pandang bulu, menghindari
melibatkan perasaan (emosi), serta
pertimbangan adanya hubungan
kekeluargaan, kesukuan, dan preferensi
kepribadian
6 Pelaporan secara tertulis
(record in writing)
Semua kebutuhan manajemen, tindakan dan
peraturan atau prosedur dilaporkan secara
tertulis
7 Manajer dipisahkan dari
pemilik (Managers separate
from owners)
Pemilik suatu organisasi seharusnya tidak
menjadi manajer pengelola organisasi
Manajemen Administratif: Henry Fayol
Menurut Fayol, kesuksesan perusahaan tergantung pada kemampuan
administratif pemimpinnya daripada kemampuan tekniknya. Disamping itu,
manajer yang efektif harus berdasarkan 14 prinsip sebagai berikut:
1 Pembagian kerja (Division of
work)
Meningkatkan produksi dengan membagi
pekerjaan sehingga setiap pekerja
mengerjakan tugas atau pekerjaan yang
lebih kecil
2 Tanggung jawab dan
wewenang (Authority and
responsibility)
Wewenang manajer memberi perintah
harus disesuaikan dengan
tanggungjawabnya. Namun, organisasi
harus melakukan pengendalian untuk
mencegah manajer menyalahgunakan
wewenangnya
3 Disiplin (Diclipine) Diperlukan kejelasan aturan untuk
mengatur perilaku karyawan. Pelanggarnya
mendapat sanksi yang setimpal
4 Kesatuan komando (Unity of
command)
Karyawan melapor dan menerima hanya
dari satu atasan untuk menghindari
kebingungan
5 Kesatuan arah (Unity of
direction)
Organisasi harusnya hanya mempunyai dan
diarahkan oleh seorang manajer dengan
satu rencana
6 Subordinasi kepentingan
individu terhadap
Semua anggota harus memprioritaskan
kepentingan organisasi di atas kepentingan
kepentingan umum
(Subordination of individual
interests to the general
interest)
pribadi/kelompok
7 Renumerasi (Renumeration) Kompensasi harus adil. Tidak ada yang
overpaid ataupun underpaid
8 Sentralisasi (Centralization) Dalam pengambilan keputusan, tingkat
desentralisasi dan sentralisasi harus
seimbang
9 Rantai saklar (Saclar chain) Alur komunikasi dan perintah dari
pimpinan puncak ke jajaran yang lebih
rendah
10 Keteraturan (Order) Manusia dan barang harus ada di tempat
dan waktu yang sama
11 Kesetaraan (Equity) Perlakuan manajer atas anak buah yang adil
dan setara
12 Stabilitas Personalia
(Stability of personnel)
Bila ada posisi yang kosong harus segera
diganti
13 Inisiatif (Initiative) Manajer harus mendorong karyawan untuk
mengembangkan inisiatif dalam
pelaksanaan kerja
14 Kesetiaan Korps (Esprit de
corps)
Pengembangan semangat kebersamaan,
meningkatkan semangat kerja dan kesatuan
dalam organisasi
3) Aliran Sistem (System School)
Aliran sistem pada mulanya berdasar menggunakan teori sistem umum
(general system theory) sebagai landasan berorganisasi. Sistem ini mengatakan
suatu bagian tidak dapat berdiri sendiri tanpa berkaitan bagian lain, yakni menjadi
satu mata rantai yang tidak terpisahkan. Namun kemudian, kata keseluruhan
(holistik) dan organik (organism) ditambahkan. Karena itu, sistem ini pun
dikembangkan berdasarkan pandangan biologis. Dengan demikian organisasi
diibaratkan seperti makhluk hidup, dimana manusia dalam organisasi merupakan
bagian dari sebuah organisasi. Sedangkan organisasi merupakan bagian dari
sistem yang lebih besar. Oleh karena itu, untuk memepertahankan hidupnya,
organisme tersebut harus melakukan persaingan dan adu kekuatan. Dengan begitu,
hanya pihak yang kuat saja yang pantas hidup (survival of the fittest).
4) Aliran Hubungan Manusia (Human Relation School)
Aliran manajemen ini disebut juga aliran perilaku yang juga berdasarkan
sistem teori umum. Para penganut aliran ini percaya bahwa dengan pemahaman
manusia yang baik, maka akan meningkatkan produktivitas kerja. Hal ini berarti
pabrik atau kantor bukan hanya tempat kerja. Keduanya juga merupakan
lingkungan sosial yang digunakan para karyawan untuk saling berinteraksi.
Dengan begitu manusia adalah makhluk sosial, dimana proses interaksi dengan
sesamanya akan memengaruhi kualitas dan kuantitas hasil kerja yang
dilaksanakan.
Sejak dekade akhir abad XX, aliran hubungan manusia berganti nama
menjadi neo-human relations. Para penganutnya mengembangkan beberapa
konsep seperti budaya organisasi (organization culture), kerja tim (team work),
tim kerja swakelola (self-managing team), dan organisasi pembelajar (learning
organization). Tujuan utama dari semua itu adalah untuk meningkatkan efisiensi,
daya saing, dan akhirnya diharapkan perusahaan dapat memeroleh keuntungan
yang lebih besar.
5) Aliran Kontijensi (Contigency School)
Dalam aliran ini pendapat adanya sejumlah prinsip dan metodologi
universal yang dapat diterapkan untuk mengelola organisasi (Tosi dan Slocum,
1984) tidak diterima. Hal ini berarti tidak ada satu cara terbaik dalam mengelola
organisasi. Cara terbaik tergantung pada situasi dan kondisi organisasi.
Ada dua pendekatan (Burn dan Stalker 1961) yang menjadi fungsi dari
tingkat kestabilan relatif lingkungan luar organisasi. Kedua pendekatan itu adalah
model organik dan model mekanistik. Model mekanik bercirikan sentralisasi
pengendalian dan wewenang, tingkat spesialisasi tugas yang tinggi, dan garis
komunikasi vertikal yang kaku. Sedangkan model organik biasanya
menunjukkan tingkat saling ketergantungan tugas yang tinggi, desentralisai
pengendalian dan wewenang yang lebih besar dan komunikasi yang lebih
horizontal.
6) Aliran Pemikiran Kritis (Critical Study School)
Perhatian para ahli dibidang manajemen organisasi terhadap pendekatan
studi kritis semakin besar. Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya masalah
yang muncul akibat praktek manajemen organisasi yang menyimpang.
Pendekatan ini juga berlandaskan pada tiga sudut pandang dalam memelajari
perilaku organisasi dan manajemen. Ketiganya adalah 1) Aspek pandangan dunia
(ideologis), 2) Aspek kekuasaan (power), dan 3) Aspek keadilan.
III. Paradigma Dominan dalam Manajemen
1. Pengertian Paradigma dan Tahap Awal Kemunculannya
aradigma berasal dari kata “paradeigma” (Yunani) yang artinya model,
kerangka kerja (framework), pola atau contoh. Menurut Kuhn (1970)
paradigma adalah sejumlah ide yang sistematis, nilai-nilai, metode, masalah
maupun standar solusi, yang menjelaskan tentang dunia dan memberi petunjuk
tindakan. Paradigma adalah cara kita melihat dunia, tetapi bukan dalam arti visual
dari penglihatan. Namun, dalam arti memandang, mempersepsikan dan
menginterprestasikan (Covey, 1991).
Paradigma dalam manajemen jauh lebih beragam daripada yang digunakan
Kuhn dalam ilmu alam (natural science). Paradigma memungkinkan kita
memahami beberapa hal tertentu dalam cara tertentu atau justru sebaliknya. Oleh
karena itu, semakin tersamar (implisit), asumsi-asumsi dalam paradigma tersebut,
semakin kuat paradigma tersebut kita pegang.
Kemunculan manajemen, khususnya manajemen Barat modern tidak dapat
dilepaskan dari perbudakan manusia (kulit hitam putih atas kulit hitam).
Penyebanya adalah manajemen modern berkembang pesat setelah adanya revolusi
industri yang terjadi di Eropa dan ekspansi orang Eropa ke benua lainnya. Hal ini
sesuai dengan tujuan manajemen yakni proses menyelesaikan kegiatan secara
efisien melalui orang lain (the process of getting activities completed efficiently
through other people-Robbins & Coulter, 1998).
2. Macam-macam Paradigma dalam Manajemen
Burrel dan Morgan (1979), menguraikan empat macam paradigma yang
menjadi dasar pijakan dalam teori sosial. Paradigma tersebut adalah:
1) Paradigma Fungsionalis (Functionalist Paradigms)
Paradigma fungsionalis sering disebut dengan instrumentalis dan
pragmatis. Masyarakat dianggap sebagai eksistensi yang konkrit dan mengikuti
aturan keteraturan tertentu. Selain itu, aliran ini juga mengasumsikan bahwa teori-
teori ilmiah (scientific theories) dapat dinilai secara obyektif berdasarkan bukti-
bukti empiris. Maka terdapat independensi antara ilmuwan (subyek) dan yang
diamati (obyek). Sehinga ilmuwan mengamati obyek tanpa memengaruhi obyek
yang diamati. Para penganutnya berusaha memberikan penjelasan secara rasional
P
tentang masalah-masalah sosial. Pendekatannya pun berasal dari tradisi
positivisme. Selain itu, mereka memandang individu sebagai atom (bagian
terkecil dari yang lain).
Berdasarkan Brenna (1995) dan Weston (2000), teori dan kebijakan dalam
manajemen keuangan yang termasuk dalam paradigma ini antara lain:
a. Teori pasar efiisen (efficient market theory)
b. Teori portofolio (portofolio theory)
c. Capital asset pricing theory
d. Option pricing theory
e. Agency theory
f. Capital budgeting policy
g. Capital structure policy
h. Dividend policy
Disamping itu, dalam paradigma fungsionalis ada keyakinan umum yang
dijadikan landasan, yakni:
a. Ada mekanisme sebab-akibat yang mendasari semua kegiatan manusia
b. Hal tersebut dapat diketahui dengan koneksi hukum alam (nomological
connection) antara kondisi awal dan hasil akhir
c. Manusia berinteraksi satu sama lain sesuai dengan mekanisme tersebut
d. Informasi semua kegiatan manusia dan fenomena alam diperoleh dari
observasi dan pengukuran secara obyektif
Secara umum, dalam paradigma ini fungsi sain mencakup empat macam,
yakni: 1) mendeskripsikan, 2) menjelaskan, 3) memprediksikan, dan 4)
mengendalikan.
2) Paradigma Interpretif (Interpretive Paradigms)
Dalam paradigma ini, periset mengakui peran mereka dalam fenomena
selama investigasi. Tujuan riset interpretif adalah menemukan keteraturan yang
berlaku dalam fenomena dengan pertimbangan tertentu. Meskipun begitu, peran
periset tidaklah obyektif. Paradigma ini juga percaya bahwa dalam sain budaya
(sosial), subyek (pokok permasalahan) bersifat spiritual. Dan karena manusia
dipersepsikan dengan bebas, kehidupan manusia dapat diperoleh melalui intuisi
secara keseluruhan. Berdasarkan paradigma ini, manajemen dapat menyelidiki
realitas organisasi, perilaku manusia dengan etika, budaya, politik dan masalah
sosial lainnya. Paradigma ini juga meyakini bahwa tidak ada peraturan universal
yang dapat diterapkan dalam manajemen.
3) Paradigma Humanis Radikal (Radical Humanist Paradigms)
Para penganut paradigma humanis radikal beranggapan bahwa realitas
diciptakan secara sosial dan dipertahankan. Paradigma ini cenderung memandang
masyarakat sebagai anti-manusia. Selain itu proses penciptaan realitas dipandang
sebagai umpan balik pada diri sendiri. Sehingga individu dan masyarakat
terhalangi untuk merealisasikan potensi yang paling tinggi. Dengan kata lain,
kesadaran manusia didominsai oleh struktur super ideologis (ideologist
superstructure). Oleh sebab itu, hal ini mengahalangi manusia untuk mencapai
pemenuhan dirinya. Tambahan pula, fokus penganut paham ini terhadap aspek-
aspek struktural super (superstructural) masyarakat mencerminkan usaha
penerapan dialektika. Disamping itu, paradigma ini menganggap bahwa sain yang
netral (bebas nilai) tidak ada, dan selau ada kepentingan terselubung dalam sain.
Sain, menurut mereka digunakan untuk melayani kepentingan kelompok dominan
tertentu untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat.
4) Paradigma Strukturalis Radikal (Radical Structuralist Paradigms)
Paradigma strukturalis radikal beranggapan bahwa realitas bersifat
obyektif dan konkrit. Mereka menggunakan sain untuk menemukan keteraturan
dalam fenomena. Selain itu, paradigma ini berdasarkan empat macam gagasan
penting. Pertama gagasan tentang totalitas, dimana keseluruhan dipandang
menentukan unsur-unsur bagian. Kedua, gagasan tentang struktur yang berfokus
pada konfigurasi hubungan sosial. Ketiga, gagasan tentang kontradiksi yang
terkandung dan berlawanan dengan pihak lain. Keempat, gagasan tentang krisis
akibat dari kontradiksi yang terjadi tidak dapat dipertahankan lagi.
Para penganutnya memandang untuk dapat hidup dan mereproduksi diri
manusia, mereka harus mementingkan realitas material. Bahkan, sebagian besar
penganutnya percaya bahwa tidak ada realitas kecuali realitas materi saja.
Disamping itu, sain sangat bersifat ideologis. Artinya, sain merumuskan realitas
dan menyelesaikan masalah dari sudut pandang kelas tertentu.
3. Paradigma Pragmatisme (Fungsionalisme) dalam Manajemen
Pragmatisme adalah paham yang lahir di Amerika pada awal abad 20 yang
dipelopori oleh Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey. Secara
etimologis, pragmatisme berasal dari kata Yunani pragmata ‘act, affairs, business.
Menurut Dewey sendiri, pragmatic berarti peraturan berfikir reflektif yang tujuan
akhirnya adalah hasil. Paham ini berpendapat bahwa manusialah yang membuat
realitas dan menentukan nasibnya saendiri. Sedangkan berkaitan dengan
kebenaran, standar kebenaran adalah kemampuan untuk menghasilkan guna
(manfaat) dalam kehidupan nyata (riil). Dengan demikian, tidak ada kebenaran
dalam kata „kebenaran‟ kecuali apabila hasil dan manfaatnya terlihat jelas dan
dapat dirasakan dalam kehidupan. Maka sifat kebenaran adalah temporer
(relativisme)
4. Pendorong Perubahan Paradigma
Perubahan paradigma mungkin sekali terjadi dikarenakan perubahan
lingkungan bisnis. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran ulang strategi dan
pengembangan strategi. Adapun perubahan yang terjadi meliputi beberapa aspek
antara lain:
1) Deregulasi, dapat mempengaruhi kemampuan untuk meraih keuntungan,
pola persaingan pasar dan kesempatan pasar
2) Perubahan struktural, dibutuhkan untuk revolusi struktur pasar menjadi
semakin kompetitif, terfragmentasi, terdesentralisasi karena pemain-
pemain baru
3) Kelebihan kapasitas, disiasati dengan mengekspor kelebihan barang ke
negara lain khususnya negara berkembang
4) Kepedulian terhadap lingkungan, membawa akibat yang besar dalam
semua aspek bisnis
5) Berkurangnya proteksi, karena mulai berlakunya kesepakatan dalam WTO,
GATT, dan sebagainya
6) Perubahan harapan pelanggan, pelanggan yang semakin cerdas dalam
memilih produk dan jasa yang berkualitas
7) Diskontinuitas teknologi, transformasi teknologi yang digunakan
berdampak besar bagi industri
IV. Sistem Nilai Bisnis Amerika
1. Tanggung Jawab Sosial Korporasi (Corporate Social Responsibillity)
eberhasilan suatu perusahaan tidak terlepas dari masyarakat dan
sebaliknya. Dengan demikian, tanggung jawab sosial melibatkan
pelaksanaan kegiatan yang dapat membantu masyarakat (meski tidak langsung)
memberikan keuntungan ekonomis bagi perusahaan. Akan tetapi, di Amerika
gagasan korporasi mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social
responsibility), tidak
sepenuhnya dapat diterima.
Friedman (1962. P. 133),
menyatakan bahwa:
“Ada satu dan hanya satu
tanggung jawab sosial
bisnis-menggunakan sumber
dayanya dan melakukan
kegiatan yang dimaksudkan
untuk meningkatkan
keuntungannya selama
bisnis tetap berada dalam
aturan main yang berlaku”.
Dengan demikian, bila
perusahaan menggunakan sebagian sumber dayanya tidak untuk meningkatkan
keuntungan berarti dipandang menyalahi tanggung jawab bisnis. Di bawah ini
tabel ringkasan argumen pendukung dan penentang tanggung jawab sosial
perusahaan.
Pendukung Tanggung Jawab Sosial Penentang Tanggung Jawab Sosial
Kegiatan sosial dapat menguntungkan
perusahaan
Kegiatan sosial tidak dapat diukur
Tanggung jawab sosial sangat etis bila
dilakukan
Tanggung jawab sosial mungkin ilegal
bila dilakukan
K
Kegiatan sosial dapat memperbaiki citra
perusahaan
Kegiatan sosial menyimpang dari
tujuan utama perusahaan (mendapat
profit)
Tanggung jawab sosial dapat
meningkatkan kelangsungan hidup
masyarakat
Biayanya dapat sangat tinggi sehingga
meningkatkan harga produk yang dijual
sehingga menurunkan kemampuan
bersaing perusahaan
Masyarakat memberi kesempatan pada
perusahaan untuk menyelesaikan
masalah sosial
Perusahaan tidak mempunyai
ketrampilan untuk menyelesaikan
masalah sosial
Perusahaan dapat mencegah timbulnya
masalah karena mempunyai sumber
daya yang diperlukan
Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan
sosial membuatnya terlalu berkuasa
terhadap masyarakat
V. Etika dan Manajemen Bisnis
1. Pengertian Etika dan Moralitas
ecara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani ethikos dan ethos.
Aslinya, ethos berarti tempat tinggal, namun Ariestoteles
menggunakannya dengan makna karakter.
Sedangkan, terjemahan ethos ke bahasa Latin adalah mos, moris kemudian
menjadai moral dalam bahasa Inggris yang berarti sesuatu yang dianggap baik
dan dapat diterima. Maka kedua kata tersebut, etika dan moral mempunyai
arti ;karakter‟.
Beberapa penulis membedakan etika dan moralitas, seperti DeGeorge
(1999, p.19). ia menyatakan bahawa etika mengkaji moralitas. Moralitas adalah
istilah yang dipakai untuk mencakup praktek dan kegiatan yang dipandang benar
atau salah, aturan yang mengatur kegiatan dan nilai yang melekat, mendorong
atau dicari oleh kegiatan dan praktek. Sedangkan Grace dan Cohen (1998,p.4)
menyatakan bahwa „ ....tidak ada alasan untuk membedakan arti keduanya‟.
Dalam bahasa Indonesia kata atau istilah etika juga digunakan untuk moral,
sehingga kedua kata tersebut dapat dipakai bergantian. Disamping itu, etika
seringkali disebut dengan akhlak, budi pekerti dan sopan santun. Sedangkan
dalam praktek, tindakan etis berarti tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral
dan dinilai baik dan benar.
2. Etika Bisnis
Lewis (1985) mendefinisikan etika bisnis adalah aturan (rules), standar,
kode atau prinsip yang memberikan pedoman untuk perilaku yang benar secara
moral dan benar dalam situasi tertentu. Sedangkan Ferrel, Fraederick dan Ferrel
(2000), menyatakan bahwa etika bisnis mencakup prinsip-prinsip dan standar
yang membimbing perilaku di dunia bisnis.
3. Problematika Etika Bisnis
Problem moral atau etika muncul ketika seeorang melakukan tindakan
tertentu namun bertentangan dengan kepentingan sendiri, organisasi, hukum
ataupun orang lain. Velasquez menyajikan lima kriteria untuk mengidentifikasi
standar moral dan rujukan. Kelimanya adalah sebagai berikut:
S
1) Standar moral berkaitan dengan apa-apa yang kita fikir secara serius dapat
menguntungkan atau merugikan manusia
2) Standar moral dirubah dan ditentukan oleh lembaga tertentu yang
berwenang
3) Kita merasa bahwa standar moral lebih disukai dari nilai-nilai lain
4) Standar moral didasarkan kepada pertimbangan yang tidak memihak
5) Standar moral diasosiasikan dengan emosi dan kosakata khusus
Sedangkan DeGeorge, Business Ethics (1999), mengidentifikasikan tiga
karakteristik berkaitan dengan pertimbangan moral. Pertama, pertimbangan moral
adalah tentang benar atau slah suatu tindakan secara universal. Kedua,
pertimbangan moral adalah penting. Ketiga, pujian moral dapat mendorong
tindakan secara moral, dan celaaan moral dapat mendorong tindakan mengabaikan
moral.
Dalam bertindak atau memutuskan keputusan, seorang manajer harus
mempertimbangkan setidaknya lima aspek untuk menghindari problem moral,
yaitu finansial, hukum, organizational, sosial (masyarakat) dan pribadi.
4. Teori-teori Etika Barat
Barten (2000) menyatakan bahwa teori etika membantu kita untuk menilai
keputusan etis. Berdasarkan suatu teori etika, keputusan moral yang diambil
menjadi beralasan. Dengan demikian, akhirnya teori etika dijadikan sebagai
pedoman normatif dalam keputusan bisnis.
Adapun beberapa teori atau prinsip etika yang berasal dari Barat dan
paling sering dibahas dalam etika bisnis antara lain : Utilitarianisme, Deontologi,
Keadilan, Hak, dan Kebajikan/Keshalehan.
1) Utilitarianisme
Menurut paham ini, standar etis atau tidaknya suatu perbuatan dapat
ditentukan berdasarkan akibat dari suatu perbuatan tersebut. Jika tindakan atau
keputusan mengakibatkan manfaat bagi orang lain, maka tindakan tersebut dinilai
baik (etis) dan sebaliknya.
2) Deontologi
Ketika seseorang tidak berbohong, dalam pandangan ini, tindakan tersebut
dinilai baik jika dilakukan semata-mata sebagai kewajiban, bukan diluar itu. Jadi,
untuk menentukan baik-buruknya suatu perbuatan tergantung alasan atau
motifnya. Kelemahannya, sistem ini sangat tergantung pada situasi individu.
3) Keadilan
Dalam pandangan ini, suatu tindakan dinilai benar dan adil jika tindakan
tersebut mendorong lebih besar kerjasama antar anggota masyarakat.
4) Hak (Kebebasan pribadi)
Dalam hal ini, kebebasan individu dianggap merupakan persyaratan utama
dalam suatu masayarakat. Lembaga atau hukum yang melanggar kebebasan
pribadi, sekalipun mungkin dapat menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar,
harus ditolak karena dianggap tidak adil.
5) Kebajikan/keshalehan
Ukuran baik tidaknya tindakan, menurut keempat pandangan sebelumnya
terletak pada norma atau prinsip tertentu. Sedangkan, dalam teori kebajikan
(keshalehan) berpangkal pada orang yang melakukan tindakan. Dengan kata lain,
dalam sistem atau teori kebajikan baik buruknya tindakan dipandang dari orang
yang melakukan tindakan.
5. Etika Bisnis Islam
Pada dasarnya, agama Islam mencakup tiga aspek utama, yaitu aspek
aqidah, aspek syari‟ah dan aspek akhlaq. Ketiganya tidak dapat dipisahkan satu
sama lain karena mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
1. Aspek Aqidah
Aqidah, secara etimologis berarti ikatan atau sangkutan. Sedangkan secara
terminologis, aqidah berarti keyakinan atau keimanan. Adapun aqidah dalam
Islam dinamakan Rukun Iman yang menjadi fondasi, dasar, dan akar agama Islam.
Karena aqidah merupakan landasan pokok agama Islam, maka aqidah bersifat
kekal dan absolut.
2. Aspek Syariah
Secara bahasa, syari‟ah berarti jalan, yang ditempuh. Menurut Syeikh
Mahmud Syaltut (1967), syari‟ah Islam adalah peraturan dan hukum Allah yang
telah digariskan dan dibebankan kepada kaum muslimin. Dengan demikian,
syari‟ah Islam merupakan peraturan dan hukum yang harus dijadikan jalan hidup
bagi umat Islam. Syari‟ah Islam ini mengatur dua hubungan. Hubungan terhadap
Allah dan hubungan terhadap manusia. Hubungan terhadap Allah disebut ibadah
dan hubungan kepada sesama disebut mu‟amalah. Dengan hidup seperti yang
diperintahkan dalam syari‟ah, manusia meletakkan dirinya ke dalam „tangan‟
Tuhan. Dengan begitu, kehidupan mereka disucikan dengan syari‟ah sehingga
dapat memberikan arti religius kepada hal-hal yang tampak duniawi sekalipun.
Tidak seperti aspek aqidah yang bersifat konstan (tidak ada perubahan),
dalam aspek syari‟ah penerapannya ada yang tetap dan berubah-ubah. Pada
dasarnya, hukum-hukum yang mengatur ibadah bersifat tetap. Syari‟ah di bidang
ibadah tidak hanya bertujuan untuk ibadah itu sendiri, tetapi untuk kebaikan
manusia dan masyarakat. Sedangkan dalam aspek mu‟amalah, ada yang bersifat
tetap dan juga berubah-ubah. Yang bersifat tetap contohnya talak, rujuk dan waris.
Adapun yang bersifat tidak tetap contohnya hukum pidana, khilafah dan hukum
perang. Hal-hal yang bersifat teknis dan praktis tidak diatur secara rinci sehingga
hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Aspek Akhlaq
Aspek ketiga adalah akhlaq. Secara etimologis, akhlaq adalah bentuk
jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.
Berakar dari kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata khaliq
(pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan khalq (penciptaan). Kesamaan akar
kata diatas mengandung makna bahwa dalam akhlaq mencakup pengertian
terciptanya keterpaduan antara kehendak Khaliq (pencipta) dengan perilaku
makhluq (manusia). Dengan demikian, perilaku manusia yang didasarkan pada
kehendak Sang Pencipta berarti perilaku tersebut adalah perilaku yang berakhlaq.
Dalam Islam pun, akhlaq mencakup etika dan moral (moralitas), dan tidak ada
perbedaan antara etika dan akhlaq.
Dalam Islam, akhlaq terbagi menjadi tiga: pertama, akhlaq manusia
terhadap Khaliq (Tuhan), kedua akhlaq manusia terhadap selain makhluq. Akhlaq
yang ini terbagi lagi menjadi dua. Pertama, akhlaq manusia terhadap sesama
manusia, dan kedua akhlaq manusia terhadap selain manusia (hewan dan alam).
Akhlaq manusia, dapat dirinci lagi menjadi sebagai berikut:
a) Akhlaq manusia terhadap diri sendiri
b) Akhlaq manusia terhadap keluarga
c) Akhlaq manusia terhadap tetangga
d) Akhlaq manusia terhadap masyarakat luas
Dengan demikian, dalam Islam apa yang dapat dinilai benar dan baik harus
selalu mengacu pada ketiga aspek tersebut sebagai standar ukurannya.