resume infeksi
TRANSCRIPT
RESUME
Identitas:
An. R/ perempuan/ usia 4 tahun 8 bulan/ BB 10 kg
Anamnesis:
Tidak mau makan sejak 1 minggu sebelum MRS.
Demam hari ke-10, meningkat di malam hari, membaik di siang hari, semakin meningkat dari
hari ke hari.
Muntah 1 hari sebelum MRS, sebanyak 1 kali.
BAB cair 1 hari sebelum MRS, 2x/hari, warna kuning kecoklatan, ampas lebih banyak daripada
air. Perut kembung. Disusul BAB (-) selama 3 hari, disertai nyeri perut.
Kepala pusing dan badan lemas sejak timbulnya demam.
Sariawan sejak 1 minggu sebelum MRS.
Batuk, pilek dan nyeri menelan 2 hari sebelum MRS.
Pemeriksaan Fisik:
Composmentis
Tanda vital: Nadi: 102 kali/menit, Suhu: 37,1o C, Frekuensi Nafas: 29 kali/menit
Faring hiperemis (+)
Tonsil T2/T2, dedritus (+)
Lidah kotor (+), putih di tengah dan hiperemis pada tepinya
Stomatitis (+) pada mukosa bibir dan bukal, bibir kering pecah-pecah
Nyeri tekan epigastrium (+)
Pemeriksaan Penunjang :
Darah rutin : Leukosit = 18.300, Hb = 10
Widal : Salmonella typhi O (+) 1/320
Salmonella typhi H (+) 1/160
Diagnosis Banding: 1. Demam typhoid
2. Malaria
Diagnosis Kerja Sementara: Demam typhoid
Diagnosis Komplikasi: -
Diagnosis Lain: Tonsilofaringitis
Stomatitis
Usul Penatalaksanaan: - IVFD D5 ½ NS 10 tpm makro
- Paracetamol syrup 3 x 1 cth
- Klorampenikol syrup 3 x cth 2
- Nystatin drop 3x1 ml
- Gliseril guaiakolat 40 mg
- Epedrin 1 mg
Prognosis: Bonam
3 x 1 pulv
PEMBAHASAN
Patogenesis Infeksi Salmonella
Masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA)
usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke
lamina propia. Di lamina propia, kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah, menyebabkan bakteriemia awal yang asimptomatik, dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini,
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi, mengakibatkan bakteriemia untuk
yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi.
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.
Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif, maka
saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
cephalgia, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Anamnesis
Pada minggu pertama gejala klinis demam typhoid sering ditemukan keluhan dan gejala
serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri
otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut dan batuk. Sifat
demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari.
Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya telah
terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme disini atau dapat
merupakan suatu hasil reaksi imunologik yang tidak berdasarkan suatu infeksi.
Tipe demam:
Demam septik :
Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke
tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat.
Bila demam tinggi tersebu turun ke tingkat normal disebut juga demam hektik.
Demam remiten :
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan
suhu yang tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang
dicatat pada demam septik.
Demam intermitten :
Suhu badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam seperti
ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersianan dan bila terjadi dua hari bebas demam
diantara dua serangan demam disebut kuartana.
Demam kontinyu :
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang
terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
Demam siklik :
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam
untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.
Pada kasus demam typhoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart
yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama.
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat febris remiten
dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama suhu tubuh berangsur-angsur meningkat
setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu kedua penderita terus menerus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga
suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Pemeriksaan Fisik
Lidah kotor
Lidah menjadi kotor diakibatkan oleh bakteri yang menginvasi daerah mulut. Secara
normal, lidah terdapat keratin. Bakteri yang berada di dalam mulut akan merangsang
pembentukan keratin sehingga terjadi peningkatan jumlah keratin pada lidah. Penumpukan
keratin inilah yang mengakibatkan lidah menjadi kotor.
Tonsil membesar dan adanya dedritus serta faring hiperemis
Tonsil yang membesar dan merah terjadi akibat adanya kuman yang menginfiltrasi
lapisan epitel, kemudian bila kuman ini terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi,
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada infeksi virus atau bakteri secara langsung menginvasi mukosa pada rongga
tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal. Infeksi/peradangan ditandai oleh
pelepasan dan invasi toksin ekstra seluler lokal dan protease.
Nyeri tekan abdomen
Bakteri berkembang biak di dalam organ retikuloendothelial seperti hati dan limpa, di
dalam kandung empedu dan menembus usus untuk kemudian masuk kembali ke sirkulasi atau
keluar bersama feses. Hal ini menyebabkan nyeri pada perabaan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan :
1. Pemeriksaan rutin :
Darah
Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah terdapat tanda-tanda terjadinya infeksi serta
untuk mengetahui jumlah komponen darah guna menunjang diagnosis.
Hasil yang didapat : leukosit : 18.300 , Hb : 10 , Trombosit : 358.000
Widal test
Test ini merupakan salah satu penunjang untuk mendiagnosa penyakit tifus. Indikasi
melakukan pemeriksaan ini berdasarkan gejala klinis yang menyerupai penyakit tifosa
Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur
dengan suspense antigen Salmonela typhosa. Pemeriksaan yang positif adalah bila
terjadi aglutinasi. Untuk membantu mendiagnosis yang diperlukan adalah titer zat
antigen terhadap antigen O dimana titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau
menunjukan kenaikan yang progresif.
Hasil yang ditunjukan :
Titer antigen O : positif pada pengenceran 1/80, 1/160 dan 1/320
Titer antigen H : positif pada pengenceran 1/80 dan 1/160.
Demam tifoid menginduksi respon imun humoral, baik sistemik maupun lokal, tetapi
respon ini tidak dapat memproteksi dengan lengkap terhadap kekambuhan dan reinfeksi.
Beberapa pemeriksaan serologis diantaranya Widal, Tubex® TF, Typhidot, Typhidot-M, Dipstick
test, dan lain-lain.
Pemeriksaan Serologis
Di Indonesia, di mana kebanyakan rumah sakit dan puskesmas di daerah pedesaan tidak
memiliki fasilitas laboratorium, diagnosa demam tifoid ditegakkan hanya berdasarkan diagnosa
klinis, kadang didukung dengan tes Widal. Di Jawa Tengah hanya 11 dari 115 rumah sakit yang
memiliki fasilitas pengkulturan. Tes Widal banyak digunakan di Indonesia, akan tetapi kurang
bernilai dan sulit diinterpretasikan pada daerah endemik salmonellosis, apalagi apabila hanya
satu sampel yang diuji. Oleh karena itu, pemeriksaan yang sederhana dan cepat untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid akan memberikan keuntungan besar, terutama dimana sutau
tempat tidak didukung oleh laboratorium yang canggih. Beberapa metode diagnostik baru untuk
menggantikan tes Widal konvensional dan kultur darah masih kontroversial dan diperlukan
penelitian lebih lanjut. Metode diagnostik terbaru seperti TUBEX®, Typhidot-M® dan dipstick
test yang cepat, mudah dan relatif terjangkau di negara-negara berkembang mulai
dipertimbangkan untuk digunakan di Indonesia.
Jenis-jenis pemeriksaan serologis:
Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin yang digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibody agglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan
flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan antibody dalam
serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau
uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam
prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat
digunakan untuk informasi hasil dari uji hapusan.
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H ≥1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar
34,2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99,2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid
anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-
74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang
dapat mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik serta reagen yang digunakan.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan memperkuata dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cutt-off point). Untuk mencari standar titer uji
Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana
pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibody O dan H
pada anak-anak sehat. Penelitian oleh Darmowanto di RSU Dr. Sutomo Surabaya (1998)
mendapatkan hasil uji Widal dengan titer ≥1/200 pada 89% penderita.
Diagnosis pasti demam tifoid adalah isolasi S. typhi dari darah, urin, tinja, atau cairan
tubuh lainnya. Hal ini sering tidak mungkin dilakukan di negara sedang berkembang, karena
fasilitas bakteriologik yang tidak memadai pada banyak rumah sakit kecil, sedangkan
penyakit demam tifoid merupakan penyakit endemis di negara tersebut. Dengan keadaan
seperti ini, diagnosis harus ditegakkan dengan menghubungkan gejala klinik yang sesuai
dengan demam tifoid dan adanya titer antibody yang meningkat bermakna dalam darah
terhadap antigen O dan/atau antigen H S. typhi (uji Widal). Sejak diketahui kegunaan uji
Widal pada tahun 1896 yang menggunakan suspensi bakteri S. typhi untuk menentukan titer
aglutinin dalam serum penderita demam tifoid, sampai saat ini uji tersebut masih merupakan
uji serologi yang paling banyak dipakai untuk menunjang diagnosis demam tifoid di klinik,
meskipun diketahui mempunyai banyak kelemahan. Walaupun demikian sejak beberapa tahun
terakhir ini beberapa peneliti mulai meragukannya sebagai suatu uji yang dapat dipercaya.
Berdasarkan kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas, maka walaupun secara
bakteriologik dinyatakan positif S.typhi, hasil uji Widal dapat memberi hasil negatif,
sebaliknya hasil uji Widal negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Akan
tetapi perlu diperhatikan pula bahwa Salmonella serogrup D lainnya dan beberapa
organismegrup A dan B memiliki antigen yang digunakan pada uji Widal, oleh karena itu uji
Widal tidak spesifik untuk S.typhi saja. Pada pemeriksaan uji Widal yang perlu diperhatikan
antara lain, adalah: (a) Saat pengambilan spesimen, (b) Kenaikan titer aglutinin antigen S.
typhi.
(A) Saat Pengambilan Spesimen
Kenaikan titer antibodi ke level diagnostik pada uji Widal umumnya paling baik pada
minggu ke dua atau ke tiga, yaitu 95.7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama
adalah hanya 85.7%. Oleh karena itu hasil Widal negatif belum dapat menyingkirkan adanya
penyakit demam tifoid, karena uji Widal mempunyai sensitivitas rendah. Oleh karena itu saat
pengambilan spesimen perlu diperhatikan, agar mendapatkan nilai diagnostik yang
diharapkan.
(B) Kenaikan Titer Aglutinin Terhadap Antigen S. typhi
Pemeriksaan uji Widal memerlukan dua kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa
akut dan masa konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari. Diagnosis ditegakkan dengan
melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama dengan 4 kali masa akut. Dalam
pelaksanaannya di lapangan, ternyata praktis pengambilan spesimen untuk pemeriksaan uji
Widal hanya menggunakan spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada
spesimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru
atau lama, juga kenaikan titer aglutinin terutama aglutini H tidak mempunyai inti diagnostik
yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non
endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemik, sebab pada kelompok
penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih
amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah
endemik, kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar
sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar
daerah endemik yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan
berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila
uji Widal masih diperlukan rujukan, baik pada anak maupun orang dewasa perlu ditentukan.
Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji Widal sebagai saran penunjang
diagnosis demam tifoid yaitu spesifisitas yang agak rendah dan kesukaran untuk
menginterprestasikan hasil tersebut, sebab banyak faktor yang mempengaruhi kenaikan titer.
Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yang lebih
tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk
diinterprestasikan. Dengan alasan ini maka pada daerah endemis tidak dianjutkan
pemeriksaan antibodi H S. typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S. typhi.6
S. typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela, bersifat anaerobik fakultatif, tidak
berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Di
samping itu mempunyaibeberapa antigen: antigen O, antigen H, antigen Vi dan Outer
Membrane Protein terutama porin OMP. Penjelasan macam :
1. Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur
kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100°C
selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
2. Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak diflagela, fimbriae atau fili S. typhi dan
berstrukturkimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga
dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu
60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
3. Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam
pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk
mengetahui adanya karier.
4. OuterMembrane Protein (OMP)
Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran
sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan
sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin
merupakan komponen utamaOMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan
merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000.
Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85–100°C. Protein
nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap
protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti
menemukan antigen OMP S typhi yang sangatspesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52
kDa.
Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain
sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status
gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran
imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen;
teknik serta reagen yang digunakan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji Widal
dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :
1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer
antibodi ke level diagnostik pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua
atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya
85,7%.
3) Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat
menghambat pembentukan antibodi.
4) Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat
dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap
selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang
tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara
pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.
5) Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.
6) Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadang-
kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan
typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian.
7) Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif
palsu.
8) Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan
mempengaruhi hasil uji widal.4
Salmonella typhosa mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen Vi.
Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam typhoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Test ini merupakan salah satu penunjang untuk mendiagnosa penyakit tifus. Indikasi
melakukan pemeriksaan ini berdasarkan gejala klinis yang menyerupai penyakit tifosa Dasar
pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan
suspense antigen Salmonela typhosa. Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi aglutinasi.
Untuk membantu mendiagnosis yang diperlukan adalah titer zat antigen terhadap antigen O
dimana titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukan kenaikan yang progresif.
Dengan cara mengencerkan serum maka kadar zat anti dapat ditentukan, yaitu
pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk membuat diagnosis
yang diperlukan adalah membuat titer zat anti terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200
atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat
diagnosis. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita.
Titer terhadap antigen H tidak diperlukan untuk membuat diagnosis, karena dapat tetap tinggi
setelah mendapatkan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu
pemeriksaan widal positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita demam tifoid.
Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan :
- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal, karena terdapatnya basil
E. coli pathogen dalam usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali pusat.
- Terdapat infeksi silang dengan rickettsia (Weil Felix)
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil per oral atau pada keadaan
infeksi subklinis.
Di Indonesia pengambilan angka titer O agglutinin > 1/40 dengan memakai uji widal
aglitination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai normal
positif 96%. Artinya apabila tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, tetapi apabila
negative tidak menyingkirkan diagnosis demam typhoid. Banyak center mengaturpendapat
apabila titer O agglutinin sekali periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4
kali maka diagnosis demam typhoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dapat dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedangkan Vi agglutinin dipakai pada deteksi
pembawa kuman S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologis widal
kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada aderah endemis, dan sebaliknya
timbul negative palsu pada kasus demam typhoid yang telah terbukti biakan darah positif.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama
beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan
agglutinin H. Pada orang yang telah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6
bulan, sedangkan agglutinin H menetap lebih lama, antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara
luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena
belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar
titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi
dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O
dan H pada anak-anak sehat.4 Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin
yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering digunakan hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai
laboratorium setempat.
Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan
cepat (kurang dari 2 menit) dengan menggunakan paertikel yang berwarna untuk
menungkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan titer O9 yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibody IgM dan tidak
mendeteksi antibody IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%
dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di Negara
berkembang.
Metode Enzym Immonoassay (EIA) dot
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP 50Kd Salmonella typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut, sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik, akan tetapi
tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-
M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG
total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap IgM spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa
spesifisitas uji ini sebesar 76,74% dengan sensitivitas sebesar 93,16%, nilai prediksi positif
sebesar 85,06% dan nilai prediksi negative sebesar 91,66%. Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan efisiensi uji ini
sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76,6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan Salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji
Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut
yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain,
murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan
alat khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas
kesehatan sederhana dan belum tersedia saran biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap
stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.
Metode Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibody IgG terhadap antigen flagella d (Hd)
dan antibody terhadap antigen Vi Salmonella typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada
sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita
yang didapatkan Salmonella typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan
sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta
spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-
masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine
ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu
diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
Pemeriksaan Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS Salmonella typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen Salmonella typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Dengan
mengikatkan antigen zat warna khusus yaitu colloidal red atau palanil red dan selanjutnya zat
warna khusus yang telah mengikat antigen tadi ditempelkan pada kertas nilon. Bila serum
penderita mengandung antibodi IgM Salmonella typhi akan memperlihatkan reaksi positif,
yang mana akan terlihat pada kertas nilon berupa pita berwarna merah. Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69,8% bila
dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86,5% bila dibandingkan dengan kultur darah
dengan spesifisitas sebesar 88,9% dan nilai prediksi positif sebesar 94,6%. Penelitian lain oleh
Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitifitas uji ini sebesar
90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65,3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan
adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya
cepat dan dapat diandalkan, dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana
penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat kultur secara luas.
Diagnosis Lain
Tonsilofaringitis dan stomatitis
Gejala klinis : Demam, Suhu tubuh bisa mencapai 39,5OC-40,5OC, malaise, anoreksia, mialgia,
nyeri kepala, batuk, rhinorhea, secret dapat berupa seromukosa atau mukopurulen
bila ada infeksi sekunder, nyeri tenggorokan, muntah, nyeri perut, diare.
Tanda fisik : Tonsil membesar dan hiperemis, faring hiperemis.
Pemeriksaan penunjang : Leukosit terjadi peningkatan. (18.300)
Usul Penatalaksanaan
IVFD D5 ½ NS 10 tpm makro
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
BB: 10 kg , jadi kebutuhan cairan : (10x100 cc) = 1000 cc/ 24 jam
Untuk tetesan makro: 1000 x 15 = 10 tpm
24 x 60
1000 cc/ 24 jam + 40 cc/ jam 40 tpm 1cc = 15 tetes 40 x 15 = 10 tpm makro
60 60
Paracetamol syrup 3 x 1 cth (jika demam)
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan
umum penderita, yakni antipiretik (penurun panas) untuk kenyamanan penderita terutama anak.
Obat ini mempunyai nama generik acetaminophen. Parasetamol adalah drivat p-
aminofenol yang mempunyai sifat antipiretik / analgesik. Paracetamol utamanya digunakan
untuk menurunkan panas badan yang disebabkan oleh karena infeksi atau sebab yang lainnya.
Disamping itu, paracetamol juga dapat digunakan untuk meringankan gejala nyeri dengan
intensitas ringan sampai sedang. Ia aman dalam dosis standar, tetapi karena mudah didapati,
overdosis obat baik sengaja atau tidak sengaja sering terjadi.
Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan.
Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun
parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol
mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya
untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Sebagaimana diketahui bahwa enzim
siklooksigenase ini berperan pada metabolisme asam arakidonat menjadi prostaglandin H2, suatu
molekul yang tidak stabil, yang dapat berubah menjadi berbagai senyawa pro-inflamasi.
Kemungkinan lain mekanisme kerja parasetamol ialah bahwa parasetamol menghambat
enzim siklooksigenase seperti halnya aspirin, namun hal tersebut terjadi pada kondisi inflamasi,
dimana terdapat konsentrasi peroksida yang tinggi. Pada kondisi ini oksidasi parasetamol juga
tinggi, sehingga menghambat aksi anti inflamasi.
Hal ini menyebabkan parasetamol tidak memiliki khasiat langsung pada tempat
inflamasi, namun malah bekerja di sistem syaraf pusat untuk menurunkan temperatur tubuh,
dimana kondisinya tidak oksidatif.
Dosis: 10-15 mg/KgBB/kali
10 mg x 10 kg = 100 mg
15 mg x 10 kg = 150 mg
100-150 mg / kali
Sediaan: 125 mg/5 ml x 60 ml jadi dapat diberikan 1 cth
Khloramfenikol syrup 3 x 2 cth
Obat pilihan pertama bagi demam typhoid adalah kloramfenikol, diberikan selama 10-14
hari. Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini terikat pada
ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase sehingga ikatan peptida tidak
terbentuk pada proses sintesis protein kuman. Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap
secara cepat. Kadar puncak tercapai dalm 2 jam. Kira-kira 50% terikat dalam albumin. Obat
didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan
serebrospinal dan mata. Dalam hati mengalami konjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim
glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol memanjgnka pada pasien
gangguan hati. Kloramfenikol merupakan pilihan pertama. Dosis yang diberikan adalah 100
mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian selama 14 hari.
Dosis: 75-100 mg/kgBB/hari (3-4 kali/hari)
75 mg x 10 kg = 750 mg
100 mg x 10 kg = 1000 mg
500-1000 mg / kali atau 250-333 mg/ kali
Sediaan: 125 mg/5 ml, jadi dapat diberikan 2 cth.
GG (Gliseril guaiakolat)
GG memiliki aktivitas sebagai ekspektoran dengan meningkatkan volume dan mengurangi
kekentalan sputum yang terdapat di trakhea dan bronki. Dapat meningkatkan reflek batuk dan
memudahkan untuk membuang sputum. Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi mukosa
lambung dan selanjutnya secara reflek merangsang sekresi kelenjar saluran nafas lewat N.
Vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak.
Dosis : 4mg/kgBB/kali
Efedrin
Merupakan obat dekongestan glin ini memiliki eolongan simpatomimetik yang beraksi pada
reseptor adrenergic pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi, menciiutkan
mukosa yang membengkak, dan memperbaiki pernafasan. Efek sentral lebih kuat dengan efek
bronchodilatasi lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam).
Dosis : 0,1 mg/kgBB/hari
PROGNOSIS :
Bonam dengan pengobatan yang adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo D. Demam Typhoid. Dalam : Sudoyo AW dkk (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi Keempat Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Peyakit Dalam FKUI;
2006, Hal. 1774-1779.
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Salmonellosis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2. Jakarta; 1995. Hal. 593-
598
3. Karsinah, M Lucky, Suharto, HW Mardiastuti. Batang Negatif Gram. Dalam: Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: PT.Binarupa Aksara; 1993. Hal. 168-173.
4. Prasetyio, V.P., Ismoedijanto. Metode Diagnostik Demam Tifoid Pada Anak. Divisi
Tropik dan Penyakit Infeksi . Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr.
Soetomo Surabaya. 2007.
5. Muliawan, S.Y., Surjawidjaj. J.E., Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal sebagai Alat
Diagnostik Penyakit Demam Typhoid di Rumah Sakit. Bagian Mikrobiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No 124.
1999.
6. Syarif,A, dkk. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.
2006.