resume kelompok 7
DESCRIPTION
7TRANSCRIPT
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
MATA KULIAH PENGENDALIAN PENYAKIT MENULAR DAN NON
MENULAR (P2MNM)
KELOMPOK 5
CLARRA SYLVIA PARDEDE 25010112120043
PUJI KURNIASIH 25010112120044
PUSPA RUN CANTI 25010112120045
RANI NOVIANIS RIZKY S 25010112120046
UMAYA 25010112120047
HAIFA NURDIENNAH 25010112120048
WIWIN TIPUK DWI A 25010112120049
KELAS A 2012
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2013
A. PERMENKES NOMOR 416 TAHUN 1990 TENTANG BAKU MUTU
AIR BERSIH
Permenkes Nomor 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan
Kualitas dari Air Bersih di Indonesia, bertujuan untuk mengatur agar air
yang dikonsumsi oleh masyarakat terhindar dari berbagai bahan
berbahaya, sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Syarat-
syarat kualitas air harus berhubungan dengan kesehatan yang telah ada dan
perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Oleh karena itu,
munculnya peraturan ini ditujukan untuk menetapkan persyaratan
kesehatan air bersih. Peraturan ini terdiri dari 4 Bab dan 13 Pasal.
1. Pasal 1, menjelaskan tentang definisi air bersih dan beberapa hal yang
berkaitan dengan air bersih. Air bersih adalah air yang digunakan
untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat
kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
2. Pasal 2, menjelaskan tentang syarat-syarat kualitas air bersih. Air
bersih harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu mikrobiologi,
fisika, kimia, dan radioaktif.
3. Pasal 3, berisi tentang pengawasan kualitas air bersih. Pengawasan
kualitas air bertujuan untuk mencegah penurunan kualitas dan
penggunaan air yang dapat mengganggu dan membahayakan
kesehatan, serta meningkatkan kualitas air. Pengawasan kualitas air
dilaksanakan oleh Kepala Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II.
4. Pasal 4, menjelaskan tentang kegiatan pengawasan air bersih yang
mencakup pengamatan dan pengambilan (termasuk proses produksi
dan distribusi), pemeriksaan, analisis, perumusan saran, dan cara
pemecahan masalah yang timbul dan pemantauan yang dilakukan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II secara berjenjang dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal.
5. Pasal 5, menjelaskan bahwa pemeriksaan contoh air dilaksanakan oleh
laboratorium yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
6. Pasal 6, menegaskan tentang Kakanwil bertugas meneruskan
pemerikasaan air yang dilakukan Direktur Jendral.
7. Pasal 7, menjelaskan tentang pembinaan teknis terhadap pengawasan
kualitas air, baik di tingkat Daerah Tingkat II, Provinsi, maupun Pusat.
Pembinaan pada Daerah Tingkat II dilaksanakan oleh Kakandep,
Provinsi dilaksanakan oleh Kakanwil, dan Pusat dilaksanakan oleh
Direktur Jenderal.
8. Pasal 8, berisi mengenai pembiayaan pemeriksaan contoh air yang
dibebankan kepada pemerintah dan masyarakat, termasuk swasta
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9. Pasal 9, menjelaskan bahwa air adalah kepentingan umum yang wajib
diuji kualitasnya.
10. Pasal 10, berkaitan dengan tindakan pidana yang akan diberikan bagi
pihak yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini yang dapat mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan dan merugikan bagi kepentingan umum maka
dapat dikenakan tindakan administratif dan/atau tindakan pidana atau
tidakan lainnya berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
11. Pasal 11, berisi tentang Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
01/Birhukmas/I/1975, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
172/MenKes/Per/VIII/1978, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
257/MenKes/Per/VI/1982.
12. Pasal 12, berisi tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan
syarat-syarat harus disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
13. Pasal 13, berisi tentang peraturan kualitas air bersih yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal, agar setiap orang yang mengetahuinya,
memerintahkan perundang Peraturan Menteri.
Tabel 1. Daftar Persyaratan Kualitas Air Bersih
Keterangan: Logam berat merupakan logam terlarut
mg = milligram Bg = Beguerel
ml = milliliter NTU = Nepnelometrik Turbidity Units
L = liter TCU = True Colour Unit
B. PERMENKES NOMOR 492 TAHUN 2010 TENTANG BAKU MUTU
AIR MINUM
Peraturan ini disusun sebagai peraturan pembaharuan atas
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang
Syarat- syarat dan Pengawasan Air Minum. Peraturan tersebut dipandang
sudah tidak memadai lagi dalam rangka pelaksanaan pengawasaan air
minum yang memenuhi syarat kesehatan. Air minum yang dikonsumsi
oleh masyarakat harus terhindar dari berbagai bahan berbahaya sehingga
tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Oleh karena itu dibentuklah
peraturan ini untuk menetapkan persyaratan kesehatan air minum.
Peraturan ini terdiri atas 9 Pasal.
1. Pasal 1, menjelaskan tentang pengertian air minum, penyelenggara air
minum, Pemerintah Daerah, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Menteri dan
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).
2. Pasal 2, menegaskan bahwa produsen air minum harus memproduksi
air minum yang aman bagi kesehatan.
3. Pasal 3, menjelaskan tentang persyaratan air minum yang aman bagi
kesehatan. Adapun syarat air minum yang aman bagi kesehatan yaitu
harus memnuhi persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi, dan
radioaktif. Pesyaratan tersebut dimuat dalam parameter wajib dan
parameter tambahan yang dibuat dengan mengacu pada peraturan ini.
4. Pasal 4, berisi tentang pengawasan air minum. Pengawasan air minum
dilakukan secara eksternal dan internal. Pengawasan yang dilakukan
meliputi inspeksi sanitasi, pengambilan sampel air, pengujian kualitas
air, analisis hasil pemeriksaan laboratorium, rekomendasi dan tindak
lanjut. Pengawasan secara eksternal dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau oleh KKP khusus untuk wilayah kerja KKP.
Pengawasan secara internal dilakukan oleh penyelenggara air minum
untuk menjamin kualitas air minum yang diproduksi memenuhi syarat
sebagaimana diatur dalam peraturan ini.
5. Pada pasal 6 disebutkan bahwa Menteri, Kepala BPOM, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota bertugas melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini sesuai dengan tugas dan
fungsinya masing-masing.
6. Pasal 7, menjelaskan tentang pemberian sanksi administratif terhadap
penyelenggara air minum yang tidak memenuhi persyaratan kualitas
air minum di wilayah tertentu yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
7. Pasal 8, menegaskan bahwa saat peraturan ini ditetapkaan maka
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/SK/VII/2002
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini berlaku semenjak
ditetapkan pada tanggal 19 April 2010.
Adapun lampiran dalam peraturan ini menjelaskan mengenai
Parameter Wajib dan Parameter Tambahan.
a. Parameter Wajib
b. Parameter Tambahan
C. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Peaturan ini terdiri atas 9 Bab dan 59 Pasal yang dibuat dengan
mempertimbangkan bahwa udara sebagai sumberdaya alam yang
mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus
dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan
dan kesejahteraan manusia sserta perlindungan bagi makhluk hidup
lainnya. Hal ini juga merupakan tindak lanjut dari Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
1. Bab 1, berisi tentang Ketentuan Umum.
a. Pasal 1, menjelaskan berbagai definisi hal-hal yang berkaitan
dengan pencemaran udara, seperti pengertian pencemaran udara,
pengendalian pencemaran udara, sumber pencemar, dan
sebagainya. Pencemaran udara adalah masuknya atau
dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien
turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya.
b. Pasal 2, menjelaskan bahwa pengendalian pencemaran udara dapat
meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan
sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan dengan upaya
pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang
bertujuan untuk mencegak turunnya mutu udara ambien.
- Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak
tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor.
- Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak
atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api,
pesawat terbang, kapal laut, dan kendaraan berat lainnya.
- Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada
suatu tempat.
- Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap
pada suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan
pembakaran sampah.
2. Bab 2, berisi tentang Perlindungan Mutu Udara.
a. Pasal 3, menjelaskan bahwa perlindungan mutu udara ambien
didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara
ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku
tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU).
b. Pasal 4 dan 5, menjelaskan tentang Baku Mutu Udara Ambien.
Secara nasional, baku mutu udara ambien ditetapkan sebagai
batas maksimum mutu udara ambien untuk mencegah
terjadinya pencemaran udara, dimana penetapan baku mutu
tersebut dapat ditinjau kembali setelah 5 tahun. Baku mutu
udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan
status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan. Dalam
hal ini, Gubernur dalam menetapkan baku mutu udara ambien
daerah harus berpedoman pada baku mutu udara ambien
nasional. Namun apabila Gubernur belum menetapkan baku
mutu udara ambien di daerahnya, maka wilayah tersebut harus
menerapkan baku mutu udara ambien nasional.
c. Pasal 6 dan 7, menjelaskan tentang Status Mutu Udara Ambien.
Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan iventarisasi
dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi
sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis,
serta tata guna tanah. Apabila hasil inventarisasi dan/atau
penelitian menunjukkan status mutu udara ambien daerah
berada di atas baku mutu udara ambien nasional, Gubernur
menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah
yang bersangkutan sebagai udara yang tercemar.
d. Pasal 8 dan 9, menjelaskan tentang Baku Mutu Emisi dan
Ambang Batas Emisi Gas Buang. Kepala instansi bertanggung
jawab dalam menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor baik tipe baru maupun tipe lama. Baku mutu emisi
sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor ditetapkan dengan mempertimbangkan
parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan
baku, serta teknologi yang ada. Penetapan ini juga harus
ditinjau ulang setelah 5 tahun digunakan.
e. Pasal 10 dan 11, menjelaskan tentang Baku Tingkat Gangguan
dan Ambang Batas Kebisingan. Baku tingkat gangguan sumber
tidak bergerak terdiri atas: baku tingkat kebisingan, baku
tingkat getaran, baku tingkat kebauan, dan baku tingkat
gangguan lainnya. Baku tingkat gangguan sumber tidak
bergerak ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan
sarana fisik serta kelestarian bangunan. Ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor ditetapkan dengan
mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia
dan/atau aspek teknologi. Ketetapan ini juga harus diperbarui
setiap 5 tahun sekali.
f. Pasal 12 s/d 15, membahas tentang Indeks Standar Pencemaran
Udara (ISPU). Indeks standar pencemaran udara ditetapkan
dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap
manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan, dan nilai
estetika. Indeks standar pencemaran udara diperoleh dari
pengoperasian stasiun pemantau kualitas udara ambien secara
otomatis dan berkesinambungan. ISPU dapat dipergunakan
untuk bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas
udara ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu, serta
sebagai bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.
Tabel 2. Baku Mutu Udara Ambien Nasional
Catatan: Nomor 10 s/d 13 hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan
Industri Kimia Dasar.
Contoh: Industri Petro Kimia dan Industri Pembuatan Asam Sulfat
3. Bab 3, berisi tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
a. Pasal 16 s/d 19, menjelaskan tentang pengendalian pencemaran
udara dan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan secara teknis
maupun operasional. Pengendalian pencemaran udara meliputi
pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta pemulihan
mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara
ambien, pencegahan sumber pencemar, baik dari sumber
bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber
gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
b. Pasal 20 s/d 24, menjelaskan tentang upaya-upaya pencegahan
pencemaran udara. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan
dengan cara penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu
emisi sumber tidak bergerak, baku tingkat gangguan, ambang
batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan bermotor.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara
ambien wajib untuk:
- Menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan
baku tingkat gangguan yang ditetapakn untuk usaha
dan/atau kegiatan yang dilakukannya.
- Melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan
pencemaran udara yang diakibatkan oleh usaha dan/atau
kegiatan yang dilakukannya.
- Memberikan informasi yang benar dan akurat kepada
masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran
udara dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber
tidak bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan
wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan
yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan,
serta wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
yang telah ditetapkan baginya.
c. Pasal 25 s/d 43, menjelaskan tentang Penanggulangan dan
Pemulihan Pencemaran Udara. Setiap orang atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya
penanggulangan dan pemulihannya. Apabila hasil pemantauan
menunjukkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU)
mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori
berbahaya. Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak
bergerak meliputi pengawasan terhadap penataan baku mutu
emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari
kegiatan dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan
pemeriksaan penataan terhadap ketentuan persyaratan teknis
pengendalian pencemaran udara. Sedangkan penanggulangan
pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan
terhadap penataan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan
emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru maupun
kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di
sekitar jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor
di jalan dan pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam
serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar
internasional. Setiap kendaraan bermotor tipe baru wajib
melakukan uji emisi maupun uji kebisingan, begitu juga
dengan kendaraan bermotor tipe lama harus melakukannya
secara berkala.
4. Bab 4, berisi tentang Pengawasan
a. Pasal 44 s/d 51, menjelaskan tentang pihak-pihak yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap pencemaran
udara.
- Pada lingkup nasional, Menteri melakukan pengawasan
terhadap penataan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran udara.
- Pada lingkup daerah, Gubernur mengambil alih
wewenang dalam melakukan pengawasan terhadap
pencemaran udara di daerah pemerintahannya, begitu
pula di lingkup Daerah Tingkat II wewenang dapat
dilakukan oleh Bupati/Walikota.
- Hasil pemantauan wajib dilaporkan kepada Kepala
Intansi yang bertanggung jawab sekurang-kurang sekali
dalam 1 tahun.
5. Bab 5, berisi tentang Pembiayaan
a. Pasal 52, menjelaskan bahwa segala biaya yang timbul
sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara
dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang
dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.
b. Pasal 53, menjelaskan bahwa segala biaya yang timbul
sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam
rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan
dibebankan kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan
bermotor.
6. Bab 6, berisi tentang Ganti Rugi
a. Pasal 54 dan 56, menjelaskan bahwa setiap orang atau
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib
menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara
serta biaya pemulihannya. Menteri akan menetapkan tata
cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti
rugi.
7. Bab 7, berisi tentang Sanksi
a. Barangsiapa yang menimbulkan dan/atau mengakibatkan
pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-
undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
b. Barangsiapa melanggar ketentuan yang berkaitan dengan
kendaraan bermotor baru maupun lama yang tidak
memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau
ambang batas kebisingan diancam dengan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang No. 14
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum.
8. Bab 8, berisi tentang Ketentuan Peralihan
9. Bab 9, berisi tentang Ketentuan Penutup
D. PERMEN LH NOMOR 33 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA
PEMULIHAN LAHAN TERKONTAMINASI LIMBAH BAHAN
BERBAHAYA DAN BERACUN
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 33 Tahun 2009 ini
dibuat dengan mempertimbangkan bahwa limbah bahan berbahaya dan
beracun akibat tumpahan, ceceran, kebocoran, atau pembuangan langsung
ke lahan memiliki potensi menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan, sehingga perlu dilaksanakan pemulihan lahan terkontaminasi
limbah bahan berbahaya dan beracun. Sehingga limbah bahan berbahaya
dan beracun yang dibuang ke lingkungan perlu dilakukan pengelolaan agar
tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan tidak menimbulkan
penyakit bagi lingkungan di sekitarnya.
Peraturan ini terdiri atas 13 Pasal. Berikut adalah garis besar dari
peraturan ini:
1. Pasal 1, berisi tentang berbagai definisi yang berkaitan dengan limbah
bahan berbahaya dan beracun.
a. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau
beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau
jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau
dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta mahluk hidup lain.
b. Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum
semua tanda pengenal biosfir, atmosfir, tanah, geologi, timbulan
(relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan hewan, serta hasil
kegiatan manusia masa lalu dan masa kini, yang bersifat mantaf
atau mendaur.
c. Lahan terkontaminasi adalah lahan yang terkena limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3).
d. Pemulihan adalah serangkaian kegiatan penanganan lahan
terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi dan pemantauan.
e. Tingkat keberhasilan pemulihan adalah target sasaran yang dicapai
dalam penanganan lahan terkontaminasi limbah B3.
2. Pasal 2, berisi tentang tujuan dibuatnya peraturan yaitu untuk
memberikan pedoman bagi penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
dalam melaksanakan penanganan pemulihan lahan terkontaminasi
limbah B3.
3. Pasal 3, menyatakan bahwa penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan wajib melakukan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3
yang diakibatkan dari usaha dan/atau kegiatannya.
4. Pasal 4, menyatakan bahwa pemulihan lahan terkontaminasi limbah
B3 terdiri atas kegiatan: perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan
pemantauan.
5. Pasal 5, menyebutkan bahwa kegiatan perencanaan meliputi rencana
pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dan rencana
pengolahan tanah terkontaminasi limbah B3.
6. Pasal 6, menyatakan bahwa kegiatan pelaksanaan pemulihan lahan
terkontaminasi limbah B3 meliputi: survei lahan terkotaminasi limbah
B3, dan kegiatan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.
7. Pasal 7, menyebutkan bahwa lahan terkontaminasi dinyatakan bersih
dari limbah B3 apabila telah dilakukan evaluasi tingkat keberhasilan
pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.
8. Pasal 8, menyatakan bahwa penanggung jawab kegiatan pemulihan
wajib melaporkan hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi
limbah B3 kepada Menteri dengan tembusan Gubernur dan
Bupati/Walikota.
9. Pasal 9, menyebutkan bahwa Menteri wajib melakukan evaluasi
terhadap hasil pelaksanaan pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3.
Apabila hasil evaluasi telah memenuhi ketentuan, maka Menteri
menerbitkan SSPLT.
10. Pasal 10, menjelaskan bahwa setiap penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang telah mendapatkan SSPLT wajib melakukan
pemantauan terhadap lahan terkontaminasi paling sedikit 1 kali dalam
6 bulan selama 1 tahun. Hasil pemantauan disampaikan kepada
Menteri dengan tembusan Gubernur dan Bupati/Walikota.
11. Pasal 11, menyebutkan bahwa pengolahan tanah terkontaminasi
limbah B3 diperlakukan sama dengan pengelolaan limbah B3.
Pengelolaan tanah terkontaminasi limbah B3 dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan limbah B3.
12. Pasal 12, menyatakan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan
pemulihan lahan terkontaminasi limbah B3 dilakukan oleh:
a. Menteri apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua
wilayah provinsi dan/atau lintas batas negara;
b. Gubernur apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada pada dua
atau lebih wilayah kabupaten/kota; atau
c. Bupati/Walikota apabila lahan terkontaminasi limbah B3 berada
pada wilayah kabupaten/kota.
13. Pasal 13, menyatakan bahwa Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada
tanggal yang ditetapkan.
E. BUKU PEDOMAN PEMBINAAN PENGGUNAAN PESTIDA
Buku pedoman penggunaan pestisida dikeluarkan oleh Direktorat
Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian pada Tahun 2011. Buku ini
berisi tentang cara pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT)
dengan cara kimiawi, yakni dengan menggunakan pestisida. Buku ini
disusun dalam rangka memberikan informasi tentang kebijakan dan kaidah
penggunaan pestisida yang tepat guna dan bijaksana dalam pengendalian
organisme pengganggu tanaman.
Pertisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik
dan virus yang dipergunakan untuk:
- Memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit-penyakit yang
merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil tanaman.
- Memberantas rerumputan atau tanaman pengganggu/gulma.
- Mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan.
- Mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian
tanaman, tidak termasuk pupuk.
- Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan
peliharaan dan ternak.
- Memberantas atau mencegah hama-hama air.
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik
dalam rumah tangga, bangunan dan alat-alat pengangkutan.
- Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu
dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah, dan air.
Jenis pestisida ditinjau dari jasad yang menjadi sasaran
penggunaan pestisida dapat diberdakan menjadi beberapa jenis, antara
lain:
a. Akarisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh tungau
atau kutu.
b. Algasida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh alga.
c. Alvisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh burung.
d. Bakterisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh bakteri.
e. Fungisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh jamur.
f. Herbisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh gulma.
g. Insektisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh serangga.
h. Molluskisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh siput.
i. Nematisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh
nematoda.
j. Ovisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk merusak telur.
k. Pedukulisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh kutu
atau tuma.
l. Piscisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh ikan.
m. Rodentisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh
binatang pengerat.
n. Termisida, yaitu pestisida yang digunakan untuk membunuh rayap.
Bentuk formulasi pestisida dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
bentuk, yaiu:
1. Formulasi Cair
Formulasi pestisida bentuk cair biasanya terdiri dari pekatan yang
dapat diemulsikan (EC), pekatan yang larut dalam air (SL), pekatan
dalam air (AC), pekatan dalam minyak (OC), aerosol (A), gas yang
dicairkan (LG).
2. Formulasi Padat
Formulasi pestisida bentuk padat terdiri dari tepung yang dapat
disuspensikan/dilarutkan (WP/DP), tepung yang dapat dilarutkan (SP),
Butiran (G), pekatan debu (DC), debu (D), umpan (BB), tablet (TB).
3. Padatan Lingkar
Formulasi padatan lingkar adalah campuran bahan aktif pestisida
dengan serbuk gergaji kayu dan perekat yang dibentuk menjadi
padatan yang melingkar. Formulasi ini mempunyai kode MC di
belakang nama dagangnya.
Pestisida dapat memberikan manfaat bagi petani dan penggunanya.
Namun di sisi lain pestisida juga menimbulkan dampak negatif bagi
pengguna dan lingkungan di sekitarnya baik lingkungan biotik maupun
lingkungan abiotik.
a. Manfaat Penggunaan Pestisida
Kelebihan pengendalian dengan pestisida dibandingkan dengan
pengendalian metode lain adalah:
- Dapat diaplikasikan dengan mudah
- Dapat diaplikasikan hampir di setiap waktu dan setiap tempat
- Hasilnya dapat dirasakan dalam waktu singkat
- Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat
- Mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama
jangka pendek.
b. Dampak Negatif Pestisida
Pada umumnya pestisida yang digunakan untuk mengendalikan
organisme penggangu adalah biosida yang tidak saja bersifat racun
terhadap organisme pengganggu sasaran, tetapi juga dapat memberikan
pengaruh yang tidak diinginkan terhadap organisme bukan sasaran,
termasuk manusia serta lingkungan hidup. Beberapa organisme bukan
sasaran yang terkena dampak dari penggunaan pestisida diantaranya
adalah:
- Keracunan pestisida pada manusia (petani, pengecer pestisida,
pekerja pabrik/gudang), serta manusia lainnya yang tidak bekerja
pada pestisida).
- Keracunan terhadap ternak dan hewan peliharaan.
- Keracunan pada ikan dan biota lainnya.
- Keracunan terhadap satwa liar.
- Keracuan terhadap makanan.
- Kematian musuh alami organisme pengganggu.
- Kenaikan populasi pengganggu tidak mengalami hambatan oleh
musuh alami tersebut.
- Dapat menyebabkan timbulnya resistensi (kekebalan), sehingga
untuk mengatasi organisme pengganggu yang resisten perlu dosis
yang lebih tinggi, hal ini menjadi lebih berbahaya.
- Residu penggunaan pestisida khususnya pada tanaman yang
dipanen.
- Pencemaran lingkungan
- Menghambat perdagangan
Demi keamanan dalam penggunaan penggunaan pestisida, maka
pemerintah mengeluarkan kebijakan dan kaidah penggunaan pestisida.
a. Peraturan Pestisida
Mengingat pentingnya peranan pestisida dalam penyelamatan produksi
pertanian, pemerintah berkewajiban untuk mengatur peredaran dan
penggunaan pestisida di Indonesia. Selain itu, pestisida termasuk
bahan berbahaya, sehingga dalam pengaturannya juga mengacu kepada
peraturan-peraturan internasional yang disepakati bersama dengan
Badan Internasional, seperti FAO, WHO, Kesepakatan Protokol
Montreal, dan sebagainya.
Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 ditegaskan bahwa:
“Pestisida yang akan diedarkan di dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia wajib terdaftar, memenuhi standar mutu, terjamin
efektivitasnya, aman bagi manusia dan lingkungan hidup serta diberi
label”.
Sedangkan dalam Permentan Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009
diamanatkan bahwa: “Pestisida yang terdaftar/diijinkan adalah
pestisida yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan kriteria
teknis yang ditetapkan Menteri Pertanian”.
Tabel 1 Perkembangan Jumlah Pestisida yang Terdaftar di Indonesia
Tahun 2006-2010
Keterangan: PHL (Pestisida Hygiene Lingkungan)
Berdasarkan sifat fisiko-kimianya, pestisida diklasifikasikan menjadi 2
(dua) yaitu:
1. Pestisida yang boleh didaftarkan, adalah pestisida yang tidak termasuk
kategori pestisida dilarang yang bidang penggunaannya meliputi
untuk: pengelolaan tanaman, peternakan, kesehatan hewan, perikanan,
kehutanan, penyimpanan hasil, rumah tangga, pengendali vektor
penyakit pada manusia, karantina dan pra pengapalan.
2. Pestisida dilarang, adalah pestisida yang berdasarkan klasifikasi WHO
mempunyai klasifikasi 1a (sangat berbahaya sekali) dan 1b (berbahaya
sekali), mempunyai LC < 0,05 mg/lt dalam 4 jam paparan, mempunyai
indikasi: karsinogenik, onkogenik, teratogenik, dan mutagenik.
Tabel 2 Daftar Bahan Aktif Pestisida yang Dilarang
b. Kaidah Penggunaan Pestisida
Penggunaan pestisida harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Pestisida hanya digunakan sebagai alternatif terakhir, apabila
belum ditemukan cara pengendalian daya racun rendah dan bersifat
selektif.
- Apabila terpaksa menggunakan pestisida, maka gunakan pestisida
yang mempunyai daya racun rendah dan bersifat selektif.
- Apabila terpaksa menggunakan pestisida, lakukan secara bijaksana.
Pengguaan pestisida secara bijaksana adalah penggunaan pestisida
memperhatikan prinsip 5 tepat, yaitu:
1. Tepat Sasaran
2. Tepat Jenis
3. Tepat Waktu
4. Tepat Dosis/Konsentrasi
5. Tepat Cara
Prinsip-prinsip penggunaan pestisida secara bijaksana adalah sebagai
berikut:
1. Menerapkan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
- Pestisida digunakan sebagai alternatif terakhir
- Pengendalian hama dengan pestisida dilakukan berdasarkan
nilai Ambang Pengendalian (AP) atau Ambang Ekonomi (AE)
2. Menggunakan Pestisida yang Terdaftar dan Diijinkan Menteri
Pertanian.
3. Menggunakan Pestisida Sesuai dengan Jenis Komoditas dan Jenis
Organisme Sasaran yang Diijinkan
4. Memperhatikan Dosis dan Anjuran yang Tercantum pada Label
5. Memperhatikan Kaidah-kaidah Keselamatan dan Keamanan
Penggunaan Pestisida
c. Ketentuan Pestisida Terbatas
Pestisida terbatas adalah pestisida yang dalam penggunaanya
memerlukan persyaratan dan alat-alat pengaman khusus di luar yang
tertera tabel.
Suatu pestisida digolongkan ke dalam pestisida terbatas dengan
pertimbangan/justifikasi sebagai berikut:
- Dinilai lebih berbahaya dibandingkan dengan pestisida umum
- Memerlukan kehati-hatian dalam penggunaan
- Memerlukan peralatan-peralatan khusus dalam penggunaan
- Penggunanya harus cakap dan terlatih
Kriteria pestisida terbatas adalah sebagai berikut:
1. Formulasi pestisida korosif pada mata (menyebabkan kerusakan
tak terkembalikan pada jaringan okular) atau mengakibatkan
pengkerutan kornea atau iritasi sampai 7 hari atau lebih.
2. Formulasi pestisida korosif pada kulit atau mengakibatkan iritasi
berat sampai 72 jam atau lebih.
3. Bila digunakan seperti tertera pada label, atau menurut praktek
yang biasa dilakukan, pestisida tersebut masih menyebabkan
keracunan yang nyata secara subkronik, kronik, atau gejala
tertunda pada manusia akibat pemaparan.
Jenis Pestisida terbatas yang diijinkan diantaranya adalah pestisida
dengan bahan aktif:
a. Aluminium fosfida
b. Megnesia fosida
c. Parakuat diklorida
d. Metil bromida
e. Sulfuril fluorida
Persyaratan penggunaan pestisida terbatas diatur dalam Pasal 7
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009
tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, diatur bahwa:
- Setiap orang yang menggunakan pestisida terbatas wajib memiliki
“Sertifikat Penggunaan Pestisida Terbatas”.
- Sertifikat Penggunaan Pestisida Terbatas diberikan kepada orang
yang telah “Lulus Pelatihan” yang diselenggarakan oleh Ketua
Komisi Pengawasan Pestisida Provinsi/Kabupaten/Kota atau
Pejabat yang ditunjuk
- Sertifikat berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
Teknik penggunaan pestisida memiliki beberapa cara aplikasi yang
berbeda-beda, diantaranya adalah:
a. Cara Penaburan
Aplikasi pestisida dengan cara penaburan (soil incorporation) pada
umumnya dilakukan untuk pestisida formulasi butiran/granula,
yang bersifat sistemik dengan OPT sasaran yang hidup di dalam
jaringan tanaman atau di dalam tanah. Penaburan pestisida butiran
dapat dilakukan di lahan sawah atau di lahan kering.
b. Cara Penyemprotan
Alat aplikasi atau alat semprot yang efisien dapat menjamin
penyebaran bahan/campuran semprot yang merata pada sasaran
dan tidak menimbulkan pemborosan. Cairan yang disemprotkan
dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
c. Cara Penghembusan
Aplikasi pestisida dengan cara penghembusan biasanya dilakukan
terhadap pestisida formulasi tepung atau debu (dust), sehingga
alatnya disebut duster.
d. Cara Pengumpanan
Cara pengumpanan yaitu mencampur pestisida dengan makanan
atau bahan-bahan tertentu yang disukai OPT sasaran.
e. Cara Fumigasi
Cara fumigasi dilakukan apabila pestisida bersifat gas (fumigan),
yang pada umumnya dilakukan untuk pengendalian hama gudang,
tetapi dapat juga untuk nematoda dalam tanah.
f. Cara Pengasapan
Aplikasi pestisida dengan pengasapan, menggunakan alat pengasap
yang sering disebut swing fog. Hanya digunakan untuk pestisida
yang dapat dicampur dengan minyak tanah/solar sehingga akan
membentuk droplet yang berbentuk asap.
Waktu aplikasi adalah pemilihan rentang waktu yang tepat untuk
mengaplikasikan pestisida. Jika dikaitkan dengan tahap perkembangan
hama, maka dikenal waktu aplikasi pestisida, yaitu: aplikasi preventif,
kuratif, sistem kalender dan aplikasi berdasar ambang kendali atau
ambang ekonomi.
1. Aplikasi Preventif
Aplikasi preventif adalah aplikasi pestisida yang dilakukan
sebelum ada serangan hama dengan tujuan untuk melindungi
tanaman.
2. Aplikasi dengan sistem Kalender
Aplikasi sistem kalender atau aplikasi berjadwal, tetap banyak
dilakukan oleh petani, misalnya seminggu sekali atau bahkan
seminggu dua kali. Dengan aplikasi semacam ini, jumlah aplikasi
permusim menjadi sangat banyak.
3. Aplikasi Kuratif
Aplikasi kuratif adalah kebalikan dari aplikasi preventif. Aplikasi
ini (termasuk aplikasi eradikatif) dilakukan sesudah ada serangan
hama dengan maksud untuk menghentikan serangan hama atau
menurunkan populasi hama tersebut.
4. Aplikasi berdasarkan Amabang Pengendalian atau Ambang
Ekonomi
Penentuan waktu aplikasi berdasarkan ambang ekonomi atau
ambang pengendalian merupakan salah satu variasi dari aplikasi
insektisida secara kuratif dan merupakan cara yang dianjurkan
dalam pengendalian hama terpadu.
Prosedur penggunaan pestisida harus memenuhi persyaratan dan tata-
cara penggunaan pestisida dengan melalui beberapa tahapan, yaitu:
a. Persiapan
- Menyiapkan bahan-bahan (pestisida)
- Menyiapkan perlengkapan keamanan atau pakaian pelindung
- Memeriksa alat aplikasi dan bagian-bagiannya
- Memeriksa alat-alat aplikasi sebelum digunakan
- Waktu mencampur dan menggunakan pestisida sebaiknya
jangan langsung memasukkan pestisida ke dalam tangki
b. Kalibrasi
Untuk memperoleh hasil aplikasi yang optimal, maka alat aplikasi
pestisida harus dikalibrasi agar dosis yang kita capai sesuai dengan
anjuran.
c. Ketentuan aplikasi
Selama pelaksanaan aplikasi di lapangan, hal-hal yang perlu
diperhatikan sebagai berikut:
- Pada waktu aplikasi, operator pelaksana atau petani harus
memakai perlengkapan keamanan seperti sarung tangan, baju
lengan panjang, celana panjang, topi, sepatu kebun, dan
masker/sapu tangan bersih untuk menutup hidung dan mulut
selama aplikasi.
- Pada waktu aplikasi, jangan berjalan berlawanan dengan arah
datangnya angina dan tidak melalui area yang telah diaplikasi
pestisida.
- Selama aplikasi pestisida, tidak dibenarkan makan, minum,
atau merokok.
- Satu orang operator/petani hendaknya tidak melakukan aplikasi
penyemprotan pestisida terus menerus lebih dari 4 jam dalam
sehari.
- Operator/petani yang melakukan aplikasi pestisida hendaknya
telah berusia dewasa, sehat, tidak ada bagian yang luka, dan
dalam keadaan tidak lapar.
- Pada area yang telah diaplikasi dipasanga tanda peringatan
bahaya.
d. Pembuangan sisa
Setelah melaksanakan aplikasi pestisida, beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain adalah:
- Sisa campuran pestisida atau larutan semprot tidak
dibiarkan/disimpan terus dalam tangki, karena lama-kelamaan
akan menyebabkan tangki berkarat.
- Cuci tangki yang telah kosong dan peralatan lainnya sebersih
mungkin sebelum disimpan.
- Air bekas cucian tidak mencemari saluran air, kolam ikan,
sumur, sumber air, dan lingkungan perairan lainnya.
- Memusnahkan atau membakar kantong/wadah bekas pestisida
atau bekas mencampur benih dengan pestisida, atau dengan
cara menguburnya ke dalam tanah di tempat yang aman.
F. PEDOMAN PENGUATAN KOMISI PENGAWASAN PUPUK DAN
PESTISIDA (KP3) DAN PEMBERDAYAAN PENYIDIK PEGAWAI
NEGERI SIPIL (PPNS) PUPUK DAN PESTISIDA
Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) merupakan
wadah koordinasi pengawasan antar intansi terkait di bidang pupuk dan
pestisida baik tingkat Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur maupun
tingkat Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Disamping
wadah koordinasi tersebut upaya mengatasi permasalahan pupuk dan
pestisida juga sangat diharapkan dari Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) Pupuk dan Pestisida terutama dalam penyelesaian tindak kasus
pidana sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.
KPPP Provinsi mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap
pengadaan, peredaran, dan penyimpanan serta penggunaan pupuk dan
pestisida di wilayah masing-masing, baik melalui pemantauan secara
langsung terhadap penyediaan dan penyaluran pupuk dari Lini II sampai
dengan Lini IV dan Kelompok Tani (petani), maupun secara tidak
langsung melalui monitoring dan evaluasi terhadap laporan hasil
pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait dan Tim/Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida Kabupaten/Kota di Provinsi wilayahnya.
Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi mempunyai
fungsi, yaitu:
1. Mengkoordinasikan kegiatan masing-masing Instansi/Unit Kerja
terkait yang melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pupuk
dan pestisida yang meliputi pengadaan, peredaran, penggunaan, mutu,
harga, jumlah, penyimpanan, penyaluran dan efek samping yang
ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
sekitarnya.
2. Mengadakan pembinaan terhadap usaha masyarakat dan stakeholder di
bidang pupuk dan pestisida.
3. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan masyarakat
yang berhubungan dengan produksi, penyimpanan, peredaran,
pemanfaatan/penggunaan pupuk dan pestisida sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
4. Mengidentifikasi, memantau jenis, mutu pupuk dan pestisida yang
beredar dipasaran serta dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap
tanaman, manusia, dan lingkungan hidup.
Wewenang Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi
(KPPP) adalah sebagai berikut:
1. Menghubungi instansi terkait agar dapat membantu pelaksanaan
pengawasan pupuk dan pestisida dengan mengusulkan petugas dari
instansinya untuk ditetapkan sebagai pengawas pupuk dan pestisida.
2. Melakukan pembinaan kepada petugas pengawas pupuk dan pestisida
agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan berjalan lancar.
3. Meminta keterangan dan penjelasan dari pihak yang berwenang dan
instansi yang terkait dengan pupuk dan pestisida mengenai
keragaan/komposisi, mutu, harga dan penggunaan pupuk dan pestisida
yang dikelolanya serta pendistribusiannya dan stok/persediaan yang
ada.
4. Menerima laporan dari masyarakat dan/atau pelaku usaha serta
anggota komisi tentang adanya dugaan penyimpangan dalam peredaran
pupuk dan pestisida serta penyalahgunaan dalam pengadaan,
penyaluran, dan pemanfaatan pupuk serta melakukan pengecekan,
penelitian dan pemeriksaan terhadap dugaan tersebut dan apabila
diperlukan dapat memanggil pelakunya untuk dimintai keterangan dan
penjelasan sesuai dengan yang dibutuhkan dan selanjutnya membuat
suatu kesimpulan atau laporan.
Kewajiban Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida Provinsi
(KPPP) adalah sebagai berikut:
1. Melakukan rapat koordinasi sekali dalam sebulan atau sesuai dengan
kebutuhan.
2. Melaporkan hasil pengawasan pupuk dan pestisida kepada Gubernur
dan ke Pusat (Direktorat Pupuk dan Pestisida).
3. Melakukan rapat koordinasi ataupun pembinaan dengan Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida Kabupaten/Kota sekali dalam 3 bulan
atau sesuai dengan kebutuhan.
4. Memberikan masukan berupa saran/pendapat dan penjelasan Gubernur
atau hasil temuan pengawasan pupuk dan pestisida di lapangan.
5. Melakukan monitoring, pengawasan, dan pemantauan terhadap
pengadaan penyaluran serta harga pupuk dan pestisida di daerah
Provinsi.
6. Melakukan tugas yang erat kaitannya dengan pupuk dan pestisida.
Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) baik Provinsi
maupun Kabupaten/Kota adalah salah satu wadah koordinasi pengawasan
pupuk dan pestisida antar intansi terkait di bidang pupuk dan pestisida.
Agar semua intansi terkait di bidang pupuk dan pestisida mempunyai
peran sesuai dengan tugas dan fungsinya, maka Komisi Pengawasan
Pupuk dan Pestisida baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sebaiknya
teridiri dari unsur-unsur pemerintah daerah dan dinas terkait.
Ruang lingkup kegiatan komisi pengawasan pupuk dan pestisida
baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain:
1. Rapat Koordinasi KPPP Provinsi dan dengan KPPP Kabupaten/Kota
2. Pembelian Sampel Pupuk dan Pestisida
3. Analisa Sampel Pupuk dan Pestisida
4. Pembinaan Pengawasan Pupuk dan Pestisida
5. Inventarisasi Peredaran Pupuk dan Pestisida.
Kegiatan pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Pupuk dan Pestisida diarahkan untuk lebih meningkatkan koordinasi
dengan POLDA/Korwas Daerah, secara umumruang lingkup kegiatan
antara lain:
1. Koordinasi Penyelidikan dengan Korwas Propinsi
2. Sosialisasi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem
Budidaya Tanaman dengan sasaran Dinas Pertanian Kabupaten/Kota
dan Pelaku usaha (distributor dan kios pupuk dan pestisida)
3. Pembelian sampel pupuk dan pestisida
4. Analisa sampel pupuk dan pestisida
5. Pembinaan peredaran pupuk dan pestisida
6. Penyelidikan tindak kasus tindak pidana pupuk dan pestisida
Kegiatan penguatan kelembagaan Komisi Pengawasan Pupuk dan
Pestisida (KPPP) baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta
pemberdayaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pupuk dan Pestisida
tahun 2012 berasal dari dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, dengan mata anggaran
kegiatan/akun yang terdiri dari: belanja bahan, belanja barang non
operasional lainnya, belanja jasa lainnya, belanja perjalanan lainnya serta
belanja jasa profesi (bukan dalam bentuk belanja sosial lainya).
Penguatan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP)
Provinsi dilakukan dengan:
1. Rapat Koordinasi Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP).
Rapat koordinasi KPPP dilaksanakan dengan tujuan
mengkoordinasikan kegiatan masing-masing instansi/unit kerja terkait
yang melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pupuk dan
pestisida yang meliputi pengadaan, peredaran, penggunaan, mutu,
harga, jumlah, penyimpanan, penyaluran, dan efek samping yang
ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan
sekitarnya. Rapat koordinasi dilaksanakan 2 kali yang dihadiri oleh
seluruh anggota Komisi Pengawasan Pupuk Pestisida (KPPP) Provinsi
dan Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Kabupaten/Kota
se Provinsi (terutama yang mendapat alokasi kegiatan penguatan
KPPP).
2. Sinkronisasi Pengawasan Pupuk dan Pestisida.
Sinkronisasi pengawasan pupuk dan pestisida dilaksanakan dengan
tujuan untuk mensinkronkan pelaksanaan pengawasan antara Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota serta dengan instansi terkait di Provinsi.
Narasumber dari pertemuan sinkronisasi pengawasan pupuk dan
pestisida adalah instansi terkait di bidang pupuk dan pestisida di
Provinsi (Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perdagangan,
Polda, BUMN Pupuk/Produsen Pestisida serta dari Pusat (Direktorat
pupuk dan Pestisida). Peserta pertemuan sinkronisasi pengawasan
pupuk dan pestisida adalah petugas pengawas pupuk dan pestisida
provinsi dan kabupaten/kota, instansi terkait dibidang pupuk dan
pestisida serta pelaku usaha dibidang pupuk dan pestisida.
3. Pembelian Sampel Pupuk dan Pestisida.
Pembelian sampel pupuk dan pestisida diarahkan hanya untuk pupuk
dan pestisida yang terdaftar dan diizinkan oleh Menteri Pertanian dan
diusahakan agar berasal dari kios yang berbeda. Khusus untuk pupuk,
mengingat biaya analisa mutu pupuk sangat bervariasi (tergantung
jumlah unsur hara yang dianalisa), disamping pupuk bersubsidi
sebaiknya juga lebih diarahkan untuk pupuk-pupuk non subsidi
termasuk pupuk organik. Pembelian sampel pupuk dan pestisida harus
disertai dengan bukti pembelian dengan alamat kios pupuk dan
pestisida yang jelas disertai dengan legalitas kios tersebut (stempel/
cap kios, tanggal pembelian dan nama serta tanda tangan pemilik kios).
Terhadap pupuk dan pestisida yang dicurigai ada unsur pemalsuan/
bukan illegal perlu dilengkapi dengan berita acara pengambilan
sampel/contoh pupuk dan atau pestisida.
4. Pembinaan Pengawasan Pupuk dan Pestisida
Kegiatan pembinaan pengawasan pupuk dan pestisida diarahkan untuk
meningkatkan peran dan kemampuan petugas pengawas Kabupaten/
Kota serta pembinaan terhadap distributor, kios pupuk dan pestisida
terkait dengan peraturan perundang-undangan tentang pupuk dan
pestisida.
5. Inventarisasi Peredaran Pupuk dan Pestisida
Inventarisasi peredaran pupuk dan pestisida bertujuan untuk
mengetahui sebaran peredaran pupuk dan pestisida di suatu Provinsi
serta untuk mengetahui jenis formulasi pestisida yang dominan
digunakan untuk masing-masing komoditi. Hasil invetarisasi peredaran
pupuk dan pestisida di seluruh Indonesia diharapkan dapat membantu
pemerintah pusat dalam penetapan sanksi terhadap produsen/
pemegang pendaftaran pupuk dan pestisida sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
6. Analisa Sampel Pupuk
7. Analisa Sampel Pestisida
8. Pengiriman Sampel Pupuk dan Pestisida
Evaluasi dan pelaporan kegiatan penguatan kelembagaan Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) dilakukan dengan:
a. Evaluasi
Evaluasi pelaksanaan kegiatan Penguatan Kelembagaan Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) Tahun 2012 dilaksanakan
secara berjenjang, evaluasi pelaksanaan KPPP Provinsi dilaksanakan
oleh Pusat, evaluasi pelaksanaan KPPP Kabupaten/Kota dilaksanakan
oleh Provinsi. Pelaksanaan evaluasi diarahkan perkembangan realisasi
kegiatan (fisik maupun keuangan).
b. Pelaporan
Laporan diperlukan untuk mengetahui perkembangan pelaksanaan
kegiatan dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
c. Evaluasi Mutu Pupuk dan Pestisida
Hasil analisa mutu sampel pupuk dan pestisida yang telah dilakukan
oleh lembaga uji mutu pupuk dan pestisida dapat dievaluasi dengan
memperhatikan beberapa hal.
1) Evaluasi Mutu Pupuk
Kandungan unsurhara sampel pupuk yang sudah diketahui
berdasarkan hasil uji mutu pupuk, dapat dievaluasi dengan
membandingkan nilai unsur hara yang tercantum di label pupuk.
2) Evaluasi Mutu Pestisida
Evaluasi mutu pestisida berdasarkan hasil uji mutu yang telah
dilaksanakan dibandingkan dengan kandungan bahan aktif pada
lebel dengan memperhatikan batas toleransi yang telah ditetapkan
oleh Menteri Pertanian.
G. PERBEDAAN PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP MENURUT
UU LH NO. 23 TAHUN 1997 DENGAN UU LL NOMOR 32 TAHUN
2009
Ada dua undang-undang yang mengatur mengenai pengelolaan
lingkungan hidup, yaitu Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2009 merupakan hasil penyempurnaan atau
pembaharuan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997. Terdapat
perbedaan yang sangat jelas pengertian pencemaran lingkungan antara
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 dengan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tertulis pencemaran
lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu
yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tertulis pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.
Dari kedua pengertian tersebut terdapat perbedaan yang cukup
jelas mengenai akibat dari pencemaran lingkungan. Dalam Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997 tertulis bahwa pencemaran lingkungan
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
tertulis bahwa apabila pencemaran lingkungan terjadi maka akan
melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan mengenai pengertian
pencemaran lingkungan antara Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu adanya indikator
yang jelas mengenai pencemaran lingkungan. Dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tidak disebutkan indikator yang jelas, keadaan
seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan
karena hanya disebutkan bahwa yang termasuk ke dalam pencemaran
lingkungan jika telah menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Padahal sulit untuk melakukan
penilaian apakah lingkungan hidup masih dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukaknnya atau tidak karena tidak dapat diukur secara pasti.
Penilaian hanya bersifat perkiraan atau subjektif saja. Sedangkan dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 terdapat indikator yang jelas
mengenai keadaan seperti apa yang dikategorikan sebagai pencemaran
lingkungan karena di dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa
sesuatu hal atau keadaan dapat dikategorikan sebagai pencemaran apabila
telah melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.
Dengan adanya indikator yang jelas akan mempermudah untuk
menentukan apakah suatu keadaan tertentu masuk ke dalam pencemaran
lingkungan atau tidak karena ada ukuran atau standar yang jelas dalam
melakukan penilaian.