resume ushul fiqh dan qawaidh fiqqiyah - ibec … · sholat berjama’ah. orang yang sengaja...

37

Upload: lamnhan

Post on 30-Jun-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

RESUME USHUL FIQH DAN QAWAIDH FIQQIYAH

PERTEMUAN 1 –7

PERTEMUAN 1

USHUL FIQH DAN QAWA’ID FIQHIYYAH

Definisi Ushul Fiqh

Ushul fiqih (هقفال لوصأ) tersusun dari dua kata, yaitu ushul (لوصأ) dan fiqih (هقفال).

Pengertian ushul (لوصأ) secara bahasa:

Ushul (لوصأ) merupakan jamak (bentuk plural/majemuk) dari kata ashl (لصأ) yang berarti dasar, pondasi atau akar.

Pengertian fiqih (هقفال) secara bahasa:

Fiqih (هقفال) secara bahasa berarti pemahaman (مهفال).

Pengertian fiqih (هقفال) secara istilah:

Fiqih (هقفال) menurut istilah mutasyarri’in (ahli syari’ah) adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci( ملعال

.(ةيليصفتال ةلدألا نم ةطبنتسمال ةيلمعال ةيعرشال ممماكحألاب Ruang lingkup fiqih terbatas pada hukum-hukumyang bersifat aplikatif dan furu’iy (cabang) dan tidak membahas perkara-perkara i’tiqad(keyakinan).

Pengertian ushul fiqih (هقفال لوصأ):

Menurut Dr. Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah: kaidah-kaidah yang dengannya seorangmujtahid bisa mencapai istinbath (penggalian hukum) terhadap hukum-hukum syar’idari dalil-dalilnya yang terperinci.

Perbedaan Ushul Fiqh dengan Fiqh

Ushul Fiqh Fiqh

Objek metodologi penetapan hukum hukum yang berhubungan denganfiqh sedangkan objek kajian perbuatan manusia beserta dalil-fiqh dalilnya yang terperinci

Konsentrasi metode yang digunakan dalam deduksi beberapa peraturan yang terdapat di dalam sumber

pengetahuan dari peraturan detail hukum Islam dalam berbagai cabangnya

Objek dan Pokok Pembahasan Ushul Fiqh

Adapun yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqih adalah :

1. Menjelaskan macam-macam hukum dan jenis-jenis hukum seperti wajib, haram, sunnat, makruh, dan mubah.

2. Menjelaskan macam-macam dalil dan permasalahannya.3. Menjelaskan cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya.4. Menjelaskan ijtihad dan cara-caranya.

Jadi yang menjadi obyek pembahasan ushul fiqh itu adalah perbuatan mukallaf dari sagidapat diterapkan kepadanya hukum-hukum syari’at serta syari’at yang bersifat kullydari segi dapat ditarik daripadanya hukum yang bersifat kully (umum) pula,sedangkanyang menjadi pokok pembahasannya adalah :

1. Hukum,yang didalamnya meliputi wajib,sunnat,makruh,mubah,haram,hasan,qabih,’ada,qada,shahih,fasid,dan lain-lain.

2. Adillah ,yaitu dalil-dalil qur’an ,sunnah,ijma’,dan qiyas.3. Jalan-jalan serta cara-cara beristimbath (turuqul istimbath).4. Mustambith,yaitu mujthid dengan syarat-syaratnya.

Ushul Fiqh berfokus pada sumber hukum Islam, metode yang diturunkan dari sumber materi Syariah dan juga mengatur praktek dari ijtihad.

Sumber dari syariah ada dua: wahyu (revelation) dan bukan wahyu (non revelation). Dimana wahyu menghasilkan fakta dasar dan indikasi yang dapat diturunkan peraturan mendetail darinya. Sedangkan yang bukan wahyu menghasilkan metodologi dan petunjuk prosedural untuk meyakinkan pemenuhan yang benar dari sumber wahyu.

Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Menurut Prof Dr. Amir Syarifuddin, tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil syara’ yang terinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalilitu.

Dua maksud mengetahui ushul fiqh:

(1) Bila kita telah mengetahui metode ushul fiqh, maka bila suatu ketika kita menghadap suatu masalah baru yang tidak mungkin ditemukan dalam kitab fiqh terdahulu, maka kita akan mencari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengancara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu

(2) Bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-kitab fiqh, tetapimengalami kesukaran dalam penerapannya, kita bisa merumuskan kaidah baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh.

Pendekatan Ilmu Ushul Fiqh

Ada tiga pendekatan ilmu ushul fiqh yaitu:

(1) teoritis (ushul al-shafiiyah atau tariqah al-mutakallimin); berfokus pada tampilanprinsip.

(2) deduktif (ushul al-hanafiyyah atau tariqah al-fuqaha); lebih cenderung mengembangkan sebuah sintesis diantara prinsip dan persyaratan dari kasus parsial.

(3) gabungan dari teoritis dan deduktif

Adillah shar’iyyah dan ahkam

Adillah shar’iyyah dan ahkam adalah hukum atau nilai yang mengatur hal yangdilakukan oleh mukallaf.

Ahkam diturunkan dari adillah. Ahkam memiliki arti membuktikan atau menetapkansatu hal dalam menghargai yang lainnya dimana bisa berbentuk afirmatif atau negatif.Jadi, ketika kita mengatakan bahwa air itu tidak dingin atau matahari itu tidak terbit,ada hukum di dalam kasus ini. (Kamali)

Hukum adalah arti juridis yang digunakan untuk menetapkan sesuatu nilai sepertisebuah kewajiban (wujub), rekomendasi (nadb), atau perintah atau larangan dalammenghormati keberlakuan kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan secara terminologis, menurut jumhur ushuliyyin, hukum yaitu: “Khitab(Kalam) Allah yang berhubungan dengan perbuatan seseorang mukallaf, baik berupaiqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk mengerjakan atau anjuran untukmeninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antaramelakukan dan tidak melakukan) atau wadhi’ (ketentuan yang menetapkan sesuatusebagai sebab, syarat atau mani’ (penghalang)).

Menurut fuqaha, pengertian hukum adalah “tuntutan dari khitab (firman) Allah yangberhubungan dengan perbuatan-perbuatan seorang mukallaf.”

Sedangkan kata syara’ secara harfiyah artinya membuat peraturan undang-undang,membuka, memulai, menjelaskan, menerangkan, jalan ke tempat mata air, atau tempatyang dilalui air sungai, atau peraturan, sesuai dengan firman Allah dalam Qur-an suratal-Jatsiyah ayat 18.

Pembagian Hukum Syara

1. Hukum Taklifi

Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasulullah yang berhubungan langsung denganperbuatan mukallaf, baik dalam bentuk perintah (anjuran untuk melakukan), larangan(anjuran untuk tidak melakukan) atau dalam bentuk memilih antara berbuat atau tidakberbuat.

2. Hukum Wadh’i

Khitabullah yang Ia menjadikan sesuatu itu sebagai sebab, syarat, dan mani’(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi), sah danfasad (rusak).

Hukum Taklifi

Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) , tahrim(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah). Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan

pasti. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.”

Pembagian wajib berdasarkan orang yang dibebani kewajiban hukum :1. Wajib ‘Aini (fardhu ‘Ain). Yaitu kewajiban yang disebabkan kepada

setiap orang yang sudah baligh berakal (mukallaf) tanpa kecuali.Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur, kecuali dilakukannya sendiri.Misalnya kewajiban melaksanakan shalat lima kali sehari semalam

2. Wajib Kifa’i (Fardhu Kifayah). Yaitu kewajiban yang dibebankan kepadaseluruh mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umatIslam, maka kewajiban itu sudah terpenuhi sehingga orang yang tidakikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan untuk melaksanakannya.Misalnya pelaksanaan shalat jenazah.

3. Wajib muayyan. Yaitu suatu kewajiban dimana yang menjadi objeknyaadalah tertentu tanpa ada pilihan lain. Misalnya seperti kewajiban puasaRamadhan, kewajiban shalat lima waktu sehari semalam.

4. Wajib mukhayyar. Yaitu suatu kewajiban dimana objeknya boleh dipilihantara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kafarat yangtelah dijelaskan dalam Qur-an surat al-Maidah ayat 89. Ayat tersebutmenjelaskan bahwa orang yang melanggar sumpah, dikenakan kafarat.Jenis kafaratnya boleh memilih antara beberapa macam kafarat tersebut.

Pembagian wajib berdasarkan waktu pelaksannanya :

1. Wajib mutlaq. Yaitu kewajiban yang tidak ditentukan waktupelaksanaannya, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksaannyaditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup melaksanakannya.Misalnya mengqadha puasa Ramadhan yang tertinggal karenauzur. Ia wajib melakukannya, dan dapat dilakukan kapan saja iamempunyai kesanggupan.

2. Wajib Muwaqqat. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi oleh waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah ditentukan itu. Contohnya puasa Ramadhan, dilaksanakan bulan Ramadhan dan ibadah haji dilaksanakan padabulan-bulan tertentu saja.

Pembagian wajib berdasarkan jumlah atau kadar yang ditentukan :

1. Wajib Muhaddad. Yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, misalnya kadar zakat fitrah, kadar (nishab) zakat maal.

2. Wajib Ghairu Muhaddad. Yaitu kewajiban yang pelaksanaannyayang tidak ditentukan ukurannya, misalnya, nafkah untuk keluargatidak ditentukan kadarnya, tergantung kemampuan suami.

Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan denganperbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya,firman Allah surat Al-Baqarah [2]:282:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.”

Pembagian sunnah dari selalu atau tidak Nabi melakukannya :1. Sunnah Muakkad. Yaitu sunnah-sunnah yang selalu dikerjakan oleh

Nabi Muhammad, di samping ada keterangan bahwa perbuatan itu,bukan perbuatan fardhu, contohnya shalat witir.

2. Sunnah Ghairu Muakkad. Yaitu sunnah yang dilakukan oleh NabiMuhammad tetapi tidak terus menerus dilakukan, contohnyamemberi sedekah kepada fakir miskin

Pembagian sunnah berdasarkan kemungkinan meninggalkan perbuatan :

1. Sunnah Huda yaitu: pelaksanaannya dimaksudkan sebagaipenyempurna atau pelengkap kewajiban agama, seperti adzan dansholat berjama’ah. Orang yang sengaja meninggalkannya dianggapsesat dan berdosa, sehingga apabila penduduk suatu daerah sepakatuntuk meninggalkannya, maka mereka boleh diperangi.

2. Sunnah Zaidah (sunnah tambahan), yaitu hal-hal yang dikerjakannabi saw., berupa hal-hal biasa yang bersifat akhlak; seperti etikamakan, minum, tidur dan memakai pakaian. Apabila mukallafmelakukannya adalah lebih baik, sedang bila ia meninggalkannya,maka hal itu tidak berpengaruh apa-apa yaitu tidak berkaitan denganmakruh dan keburukan.

3. Nafal, yaitu yang ditetapkan sebagai tambahan atas fardlu, wajib dansunnah, seperti shalat tathawwu’ (sunnah yang dilakukan secaraindividu). Contohnya seorang melakukan sholat sunnah empat rakaatsebelum dzuhur. Seseorang yang melakukannya akan mendapatkanpahala dan tak ada hukuman dan teguran bagi yang meninggalkannya.

Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.”

1. Haram li-dzatihi. Yaitu perbuatan yang diharamkan oleh Allahkarena bahaya tersebut terdapat pada perbuatan itu sendiri, sepertiharamnya makan bangkai, minum khamr, berzina dan mencuri.Bahaya perbuatan tersebut berhubungan langsung dengan lima halyang harus dijaga (adh-daruriyat al-khamas) yaitu badan, keturunan,harta benda, akal dan agama.

2. Haram li-ghairihi. Yaitu perbuatan yang dilarang oleh syara’, dimanaadanya larangan tersebut bukan terletak pada perbuatan itu sendiri,tetapi perbuatan itu dapat menimbulkan haram lidzatihi, contohnyajual beli barang-barang secara riba diharamkan, karena dapatmenimbulkan riba, yang diharamkan dzatiah-nya.

Makruh adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatuperbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuktidak berbuat. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:

“Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.” Mubah dalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalamsurat Al-Baqarah ayat 235:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.”

Hukum Wadh’i

a. Sebab, adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78,

b. syarat, adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa:6

c. Mani’ (penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi:“Pembunuh tidak memdapat waris.” Hadis tersebut menunjukkan bahwapembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.

d. Shahih, adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya sebab, syarat dan tidak ada mani.

e. Bathal, adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.

f. Pengertian ‘Azimah secara bahasa berarti kemauan yang kuat.

Menurut istilah adalah Suatu ungkapan tentang hukum-hukum yangdisyari’atkan Allah sejak semula, tidak berkaitan dengan suatu peristiwa baru.Contoh : Hukum shalat Dhuhur 4 raka’at adalah hukum asal, itu disebut ‘azimah. Hukum makan bangkai adalah haram adalah hukum asal, itu adalah ‘azimah.

g. Pengertian Rukhshah menurut bahasa berarti mudah dan gampang.Menurut istilah rukhshah berarti suatu nama bagi hukum yang disyari’atkankarena adanya peristiwa baru yang keluar dari hukum asal karena ada udzur.Contoh : menjama’ dua shalat karena ada udzur safar (perjalanan) dan hujan;menqashar shalat bagi musafir; boleh makan bangkai bagi orang yang dalamkeadaan darurat. Hukum-hukum ini keluar dari hukum asal, dan yangmempengaruhinya adalah karena ada udzur.

Mahkum fiih, Mahkum Alaih dan ahliyah

Definisi mahkum fih menurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya hukum syar’i.”

Menurut Syaikh Muhammad Khudari Biek, Mahkum ‘alaih yaitu mukallaf (orangyang dibebani hukum atau subjek hukum). Sedangkan definisi Mahkum ‘alaihmenurut Abdul Wahab Khallaf yaitu: “Seorang mukallaf yang berhubungandengan kemampuan mengerjakan hukum syari’.

Pengertian Ahliyyah=>> Secara etimologi ahliyyah berarti“kecakapan menangani suatu urusan”=>> Secara terminologi, para ahli ushul fiqh mendefenisikan ahliyyah dengansuatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh syari’ untukmenentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’

Pembagian Ahliyyah1. Ahliyyah Al-wujub adalah kecakapan seseorang menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani seluruh kewajibannya.

Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-wujub kepada dua bagian:=>> Ahliyyah Al-wujub An-Naqishahyaitu ketika seseorang masih berada dalam kandunga ibunya(janin).=>> Ahliyyah Al-wujub Al-Kamilahyaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir, sampai iadinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti oranggila.

2.Ahliyyah Al-Ada’ adalah kecakapan bertindak hukum seseorang yang telahdianggap sempurna untuk bertanggung jawab atas seluruh perbuatannya , baikyang bersifat positif maupun negatif.

Para ulama ushul membagi lagi Ahliyyah Al-ada’ kepada dua bagian: =>>Adimul ahliyah li al-ada’ (tidak memiliki kecakapan untuk bertindak) yaitu manusia sejak lahir sampai mencapai tamyiz sekitar umur 7 tahun.=>>Ahliyah al-ada al-Naqishah (kecakapan bertindak tidak sempurna) yaitucakap berbuat hukum secara lemah yaitu manusia yang telah mencapai usiatamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.=>>Ahliyah al-Ada’ al-Kamilah, yaitu kecakapan bertindak secara sempurnayaituseseorang yang telah mencapai usia dewasa (usia baligh).

Awaridh al-Ahliyah

Awaridh Samawiyah. Yaitu penghalang yang datangnya bukan dari diri manusia, dan bukan pula dari kemauannya tetapi memang datangnya dari Allah Ta’ala.Diantaranya :

• Al-Junun (gila) • Al-Ikrah (dipaksa)• Usia Kanak-Kanak • Al-Ighma (pingsan)• An-Naum (tidur) • Al-Maradh (sakit)• Al-’Ittah (lemah akalnya) • Haidh dan Nifas• An-Nisyan (lupa) • Al-Maut (Mati)• Al-Khata (kesalahan)

Awaridh Muktasabah. Yaitu penghalang yang terjadi dengan kehendak manusia, baik dari dirinya sendiri maupun dari luar dirinya. Diantaranya :

• As-Sakr (mabuk)• Al-Hazl (bergurau)• As-Safah (Bodoh)• As-Safar (Perjalanan)

PERTEMUAN 2

SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM :

AL QUR’AN DAN SUNNAH

Pengertian Al-Qur’an dan Hadist

Secara etimologis, kata Al Qur’an merupakan ‘isim mashdar dari fi’il madli “ أرق “ yang artinyamembaca, menelaah, mempelajari.

Pengertian Al Qur’an secara terminologis Menurut Istilah Ahli Usul Fiqh Dan AhliFiqh adalah kalam Allah, yang menjadi mukjizat, yang diturunkan kepada nabi SAW,yang dituliskan di mushaf, yang dinukilkan secara mutawatir, dan dipandang sebagaiibadah bagi yang membacanya.

Sunnah secara etimologis yaitu perjalanan hidup, jalan/cara, tabiat, syariah, yang jamaknya adalah al-sunnan.

Pengertian hadist secara etimologis memiliki arti kabar, kejadian, sesuatu yang baru, perkataan, hikayat dan cerita.

Pengertian hadist secara terminologis adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Rasulullah SW, baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya setelah beliau diangkat menjadi Nabi.

Pembagian sunnah dilihat dari materi dan isinya, terbagi kepada :

1. Sunnah Qauliyah (ucapan), yaitu ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan disampaikan kepada orang lain.

2. Sunnah Fi’liyah (perbuatan), yaitu perbutan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain dengan ucapannya.

3. Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya.

Pembagian hadits dilihat dari jumlah perawi terbagi kepada :

1. Hadist Mutawatir, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak perawi yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat untuk berdusta sejak tingkatawal sanad sampai akhir sanad.

Hadist mutawatir terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :

i. Mutawatir lafdzi, yaitu hadist yang disepakati oleh para perawi, bahwa ia mutawatir dari segi lafal dan makna.

ii. Mutawatir maknawi, yaitu hadist yang disepakati para perawi dari segi maknanya, tidak lafalnya, sehingga maknanya menjadi terputus, meskipun lafalnya tidak sampai ke derajat putus. Contohnya hadist tentang mengusap sepatu (khuf).

2. Hadist Masyhur, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi tidak sebanyakorang yang meriwayatkan hadist mutawatir, kemudian menyamai tingkatan mutawatir pada masa-masa sahabat dan pada masa-masa sesudahnya.

3. Hadist ‘Ahad, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau lebih, yang tidak terpenuhinya syarat masyhur dan mutawatir.

Pembagian hadits dilihat dari penerimaan dan penolakan :

1. Hadist shahih, yaitu hadist yang sanadnya muttasshil (bersambung) sampai kepada Nabi Muhammad SAW., melalui rawi-rawi dengan karakteristik moral yang baik (‘adl) dan tingkat kapasitas intelektual yang mumpuni, tanpa ada kejanggalan dan cacat, baik dalam matan maupun sanadnya.

2. Hadist hasan, yaitu hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, tapi tidak begitu kuat hafalannya, bersambung sanadnya, dan tidak terdapat illah, serta kejanggalan dalam matannya. Hadist hasan termasuk hadist maqbul. Biasanya hadist ini dijadikan hujjah untuk hal-hal yang tidak terlalu berat atau terlalu penting.

3. Hadist dha’if, ialah hadist yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat. Menurut Imam Nawawi, yaitu hadist yang tidak memenuhi kualifikasi hadist shahih maupun hadist hasan.

Dilihat dari gugurnya perawi, maka hadist dibagi menjadi : Hadist yang terputus sanadnya

Mu’allaq: hadist yang dari permulaan sanadnya gugur seorang rowi atau lebih, dengan berturut-turut

Mursal : Hadits yang gugur pada akhir sanadnya setelah tabi’in.

MudallasMunqathi

Mu’dhal

: Hadits yang menyembunyikan cacat dalam sanad,: satu hadist yang di tengah sanadnya gugur seorang rowi atau beberapa rowi,tetapi tidak berturut-turut.: hadist yang ditengah sanadnya gugur dua rowi atau lebih dengan berturut-turut.

HHHHst HHHH HHHHt HHrHwHHHH

Maudhu’ : hadits dusta yang dibuat-buat dan dinisbahkan kepadarasulullah(perawi berdusta)

Matruk : hadits yang diriwayatkan oleh periwayat yang tertuduh sebagaipendusta.

Mungkar : hadits yang seakan mengingkari atau berlawanan dengan hadits lainyang lebih kuat.

Mu’allal : hadits yang setelah dilihat dengan lebih teliti terdapat ‘cacat’ atauaib yang menggugurkan kesahihannya, meskipun secara dhohirterlihat selamat dari cacat tersebut.

Mudhthorib : hadist yang diriwayatkan dengan berbagai riwayat versi beragamyang mempunyai kekuatan yang sama atau berimbang, yang tidakmemungkinkan untuk digabungkan ( al-jam’) antara keduanya, dantidak memungkinkan pula ditarjih (dipilih) salah satu dari keduanya.

Munqalib/maqlub : hadis yang diriwayatkan dengan cara menganti kata-kata lain baikpada sanad maupun muatannya

Mudraj : hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannyadimasukkan sesuatu kata atau dua kalimat yang sebetulnya bukanbagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.

Syadz : hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tsiqohnamun bertentangan dengan hadits lain yang riwayatnya lebih kuatdan perawinya lebih tsiqoh

Nasikh dan Mansukh

Secara etimologis, nasakh berarti membatalkan, dan menghapus, sedangkan menurut Al-Barizi, nasakh secara etimologis berarti mengganti.

Secara terminologis, nasakh yaitu pembatalan mengamalkan hukum syara’ oleh dalil yang datang kemudian.

2 pendapat ulama tentang nasakh, yaitu:

Pendapat yang menerima Karena ada nash Al-Qur’an yang menjelaskan adanya nasakh, yaitu dalam surat Al

Baqarah ayat 106 :

“Ayat mana saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan manusia lupa kepadanya,kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segalasesuatu.

Karena terkadang ada dua dalil yang seakan-akan bertentangan dan keduanya tidak bisa digabung dan/atau dikompromikan.

Allahlah yang membuat syariat, maka Allah pulalah yang berhak menghapus, membatalkan, atau menggantinya. Hal ini dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 101 :

“Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya,padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkanNya, mereka berkata :sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mengada-adakan saja, bahkankebanyakan mereka tiada mengetahui”

Pendapat yang menolak Surat Al-Kahfi ayat 27 :

“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kepada kitab Tuhanmu (AlQur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merobah kalimat-kalimat Nya. Dan kamutidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain daripada nya.”

Kalau ada nasakh dalam Al-Qur’an akan mengakibatkan hilangnya sifat kemukjizatan Allah.

Sesungguhnya dua ayat yang bertentangan dapat dikompromikan, karena yang demikian itu hanya berbeda di dalam lafalnya saja, tetapi intinya (makna) sama.

Tidak ada hikmah dan manfaatnya dalam nasakh.

Macam-Macam Nasakh

A. Abdul Wahab Khallaf membagi nasakh kepada : Nasakh sharih (nasakh yang jelas), yaitu nasakh yang telah diterangkan dengan jelas

dalam nash.Contoh dalam surat Al Anfal ayat 65-66 :

Nasakh Al Dhamani, yaitu Allah tidak menerangkan dengan jelas, bahwa ayat itutelah dihapus secara zahir seakan-akan bertentangan, dan tidak mungkindikompromikan kedua dalil tersebut, maka solusinya ayat yang datang belakangandihapus (di nasakh) dengan ayat yang datang kemudian. Contoh yang terdapat dalamsurat Al Baqarah ayat 180

B. Berdasarkan Muhammad bin Sholeh al Utsaimin :

Yang di nasakh adalah hukumnya, lafalnya tetap. Contoh nya terdapat dalam surat Al Anfal ayat 65-66:

Lafalnya telah di nasakh, tetapi hukumnya tetap berlaku.Contohnya adalah ayat tentang hukuman rajam. Lafal ayat tersebut telah di-nasakh, akan tetapi hukumnya tetap berlaku

Yang di nasakh hukumnya dan lafalnya.Contohnya, perkataan Aisyah tentang persusuan

:Menurut Aisyah r.a., “dahulu tatkala Al Qur’an diturunkan, sepuluh kali susuan itu menyebabkan mahram, kemudian dihapus menjadi lima kali susuan”

C. Dalam pembagian lain, nasakh dibagi lagi menjadi :

Al Qur’an me-nasakh Al Qur’an. Contohnya terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 187 Sunnah me-nasakh Al Qur’an

Al Qur’an me-nasakh Sunnah

Syarat-syarat terjadinya nasakh, yaitu : Nash yang seakan-akan bertentangan tidak bisa digabungkan atau dikompromikan.

Harus diketahui mana nash yang datang lebih dahulu, dan mana nash yang datangkemudian. Nash yang datang lebih dahulu disebut mansukh dan ayat yang datangkemudian disebut nasikh.

Nash nya harus shahih, karena menurut jumhur ulama, nasikh harus lebih kuat darimansukh atau semisal/sederajat dengannya. Sehingga menurut mereka dalil mutawatirtidak bisa di-nasakh dengan dalil ahad, walaupun dalil ahad itu shahih.

Yang disebut matan ialah materi atau lafazh hadits itu sendiri, yang penulisannya ditempatkan setelah sanad dan sebelum rawi.

Secara temionologis,difinisi sanad ialah : ” silsilah orang-orang yang mehubungkan kepada matan hadis”.

Ta’arudh Secara etimologis, ta’arudh berarti bertentangan.

Secara terminologis, ta’arudh berarti pertentangan dua dalil, antara satu dalil berbeda/bertentangan dengan dalil lainnya.

Unsur-unsur Ta’arudh:

Bahwa dalil yang bertentangan memiliki tingkatan kekuatan yang sama, dalam artiyang satu tidak lebih kuat dari yang lain, misalnya sama-sama ayat Al Qur’an, sama-sama hadist mutawatir, atau sama-sama hadis ahad.

Hukum yang lahir dari kedua dalil tersebut saling bertentangan, misalnya dalil yang satu menunjuk haram, dalil yang satu menunjuk halal.

Dalil yang bertentangan tersebut memiliki kesamaan dari segi waktu munculnya.Dengan demikian, pertentangan tidak terjadi jika terdapat perbedaan waktu datangnyadalil.

Dalil yang bertentangan memiliki kesamaan baik pada segi materinya maupun padasegi sifatnya. Misalnya, tingkat kejelasan makna kedua dalil tersebut sama-sama padatingkat mujmal, atau sama-sama pada tingkat zahir.

Cara menyelesaikan Ta’arudh :

Terjadi perbedaan pendapat mengenai urutan metode penyelesaian dalil ta’arudh.Menurut Hanafiyah dan Hanabilah :

Nash wa Mansukh Tarjih al jam’u wal tarjih Tasaqut ad Dalalain

Sedangkan menurut Syafi’iyah dan Malikiyyah, yang juga terdapat dalamkitab Wahbah az Zuhaili:

al jam’u wal tarjihTarjihNash wa MansukhTasaqut ad Dalalain

Contoh dalil Al Qur’an yang bertentangan (ta’arudh) adalah;

k k

kأ ر o هنيتربصن منكم ويذرون أزواجا يتوف ونوال ذين شرا فإذا بلغنبأنفس ر وع م فيما فعلنأجلهن فال جناح بعة أشه ليك ع

في

روف وهلال بما هن بالمع }234{خبير تعملونأنفس

meninggalduniadiantaramudenganmeninggalkanistri-istriitu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari.

"Orang-orang yang

(hendaklah para

istri ..." (Al-Baqarah:

234)

LainnyaDan firman Allah swt.

k منوااللئي يئسن k

مال أجلهن وأوالت ر وااللئي لم يحضنثالثة أشه م ف عدتهن المحيض من نسائ كم إن أن يضعن األح تبت م o ار منيتق مل هن و عل لهح را الل ي ج ه يس ر }4{ من أ م

k

..…Dan perempuan- perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai merekamelahirkan kandungannya. …" (At Thalaq: 4)

1 .Dengan menggabungkan dan mengkompromikan (al jam’u wal al taufiq) Ayat pertama bersifat umum, yaitu setiap perempuan yang ditinggal mati suaminya, baik hamil atau tidak hamil wajib beriddah selama empat bulan sepuluh hari. Ayat kedua juga bermakna umum, yaitu setiap wanita hamil yang ditinggal mati suaminya atau bercerai hidup wajib beriddah sampai melahirkan kandungannya. Dengan demikian, sepintas terbaca dari kedua ayat tersebut saling bertentangan. Namun pertentangan itu, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, ahli usul fiqh dari irak, dapat dikompromikan sehingga keduanya berfungsi. Keduanya dikompromikan dengan menyatakan bahwa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya adalah masa terpanjang dari dua bentuk iddah yang disebut oleh kedua ayat di atas, yaitu sampai melahirkan atau 4 bulan 10 hari. Artinya jika perempuan itu melahirkan sebelum samapai 4 bulan 10 hari sejak suaminya meninggal, maka iddahnya menunggu 4 bulan 10 hari, dan jika sampai 4 bulan 10 hari, perempuan itu belum

juga melahirkan, maka iddahnya sampai ia melahirklan.

adalah menguatkan salah satu dari dua dalil yang bertentangan.Mentarjih: 2.

Contoh dalil yang perlu ditarjih

k k ع روفo ف إذا بلغن أج ن بم قوه ع روفo أ و فار ن بم كوه دوا ذل هن فأ مس ه موي وأش دلo منك ظ ب ه منوأ قيم ع م يوع لك ة ل ل ذ هاد وا الش

ل ل ل ل ا ر ومن يتق ا من با واليوم اآلخ عل ل ه مخرجكان يؤ يج

“…dan persaksikanlah dengan dua saksi yang adil diantara kamu…”(At Thalaq :2)

Dan firman Allah swt. Lainnya

قسا نو مال مريتان صح نو الو ئ لوأونيذ فال مه ك دل جا ف ادبأ ةداهش مهل اولبقت الو ةدلج نينا مثم مهو أب اوتأي مل مثءادهش ة عبر

k

“….dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamany....”(An Nur : 4)

Ayat pertama adalah nash yang mufassar, mengandung kemungkinan bahwakesaksian orang yang menuduh orang lain bebuat zina tanpa bukti, apabila telah bertaubat.Karena setelah bertaubat, orang tersebut termasuk kategori orang adil. Sedangkan ayat keduamerupakan nash yang muhkam, karena ada penegasan kata “selama-lamanya”.Konsekuansinya kesaksian penuduh zina tetap tidak dapat diterima selama-lamanya.Meskipun ia telah bertaubat dan diakui keadilan sikapnya. Dengan demikian keduanya salingbertentangan. Akan tetapi mengingat ayat pertama termasuk mufassar dan ayat keduatermasuk muhkam, maka yang pertama dikalahkan oleh yang kedua. Berdasarkan pentarjihanitu, kesaksian orang tersebut tetap ditolak.

3. Dengan metode al nasakh : Meneliti mana diantara kedua dalil itu yang lebih dahulu turunatau di tetapkan, jika tidak ada peluang untuk mentarjih. Jika diketahui, maka dalil yangterdahulu dianggap telah di-nasikh oleh dalil yang kemudian.

4. Tasaaqut ad-Dalalain. Jika tidak mungkin diketahui mana yang terdahulu, maka kedua dalilitu tidak dapat digunakan. Dalam keadaan demikian, seorang mujtahid hendaklah merujukkepada dalil lain yang lebih rendah bobotnya seperti hadits, qiyas atau ijma’ ulma’.

PERTEMUAN 3

ATURAN INTERPRETASI TEKS: MENURUNKAN HUKUM DARI SUMBER-NYA

Pengertian Tafsir dan Ta’wil

Secara bahasa tafsir berasal dari kata Al-Fasru yaitu menyingkap sesuatu yang ditutup.

Menurut Az-Zarkasyi, Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yangditurunkan kepada Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta mengeluarkanhukum dan hikmah-hikmahnya.

Secara bahasa ta’wil berasal dari kata “a-u-l” yang berarti kembali ke asal. Atas dasarini maka ta’wil al-kalam (penakwilan terhadap suatu kalimat), Dan menurut istilahadalah suatu makna yang menjadi tempat kembali perkataan pembicara, atau suatumakna yang kepadanya suatu kalam dikembalikan.

Tafsir memiliki arti “penjelasan” sedangkan Ta’wil memiliki arti “interpretasi yangmengandung kiasan”. Tafsir pada bertujuan untuk menjelaskan arti dari tekstertentu dan menurunkan hukum darinya dalam batasan-batasan kata dan kalimatdi dalamnya(eksplisit). Sedangkan Ta’wil, memiliki arti harfiah dalam kata-kata dan

kalimat yang dibaca sebuah arti tersembunyi dimana selalu berdasarkan alasan yang spekulatif dan ijtihad(implisit).

tafsir adalah apa yang telah jelas di dalam Kitabullah atau tertentu (pasti) dalamSunnah yang sahih karena maknanya telah jelas dan gamblang. Sedangkan ta’wil adalah apa yang disimpulkan para ulama

Metode Istinbath Hukum Melalui Pendekatan Bahasa

Metode istinbath hukum melalui pendekatan bahasa, meliputi pokok bahasan sebagai berikut:

Lafal dari segi shighat taklif Terbagi atas

1. Amr( Perintah)

Amr / perintah yaitu lafadz yang menunjukan permintaan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.

Shighat-shigat yang menunjukan amr adalah sebagai berikut :a) Fi’il amr, seperti dalam ayat al-qur’an :

نوملسم متنأو الإ نتومت الو هتاقت قح اهلل اوقتا اهلل اونمأ نيذال اهيأاي

Lafadz اوقتا adalah fi’il amr yang berarti bertakwalah, yang berarti perintah atau kewajiban bertakwa kepada allah

b) Sighat mudhari' yang disertai lam amr seperti dalam ayat al-Qur’an :هتعس نم ةعس وذ قفنيل

Lafadz قفنيلadalah fi’il mudhari' yang disertai lam amr yang berarti perintah atau kewajiban orang kaya untuk menginfakan sebagian hartanya.

c) Sighat jumlah khobariyah yang bermakna permintaan (thalab), seperti dalam ayat al-Qur’an :

نيلماك نيلوح نهدالوأ نعضري تادالوالو

Lafadz نعضري adalah sighat jumlah khobariyah yang berarti perintah atau kewajiban bagi setiap keluarga atau ibu (menyusui) untuk menyusui anak selama 2 tahun.

Dilalah Amr (makna setiap ungkapan perintah)Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul / ketentuan yang berlaku adalah:Setiap amr (ungkapan perintah) menunjukan makna wajib, selama tidak ada dalil yang menunjukan makna selain wajib.

2. Nahi(Larangan)Nahyi / larangan yaitu lafadz yang menunjukan larangan untuk dikerjakan.

Shigat-shigat yang menunjukan nahyi adalah sebagai berikut :

Fi’il nahyi (la taf'al), seperti dalam ayat al-Qur’an :

وال تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل

adalah fi’il nahyi yang berarti larangan memakan hartaوال تأكلواLafadz

dengan cara bathil.

Lafadz tahrim, seperti dalam ayat al-Qur’an :

حرمت عليكم الميتة والدم ...

berarti larangan untuk memakan bangkai, darah... حرمتLafadzNafyu al Hal (tidak halal untuk dilakukan), seperti dalam ayat al-Qur’an:

a.

b.

c.

ياأيها الذين أمنوا ال يحل لكم أن ترثوا النساء كرها

itu berarti maknanya larangan.ال يحل Lafadz

d.Perintah untuk meninggalkan suatu pekerjaan, seperti dalam ayat al-

Qur’an:

فاجتنبوام الرجس من األوثان واجتنبوا قول الزور

itu berarti larangan berkata kotor. فاجتنبوا Lafadz

:Dilalah Nahi (makna setiap ungkapan perintah)

Menurut mayoritas ulama, kaidah ushul yang beraku adalah setiap Nahyimenunjukan makna haram dan larangan melakukan hal dilarang selama tidak ada

dalil yang menunjukan makna lain

Lafal dari segi kandungan pengertian

Am1.

Secara etimologis , ‘am berarti mencakup dan meliputi . Sedangkan secaraterminologis (istilah) ushul fiqig, yaitu: “Lafal yang meliputi semua pengertianyang patut baginya pada satu kata”.

Shighat- shigatnya adalah sebagai berikut:

•Lafadz-lafadz Jama' seperti :كل، جميع، معشر،م معاشر ، عامة، كافة، :sepertiكل

امرئ بما كسب رهين

•Lafadz Jama' dengan alif lam atau idhafah , seperti:المؤمنونقد أفلح

•:Lafadz mufrad dengan alif lam atau idhafah, seperti والسارقة السارقو

فاقطعوام أيديهما

•:Lafaz Nakirah dalam siyaq nafi atau nahi atau syart, sepertiال وصية

لوارث

•Asma Mausuhulah seperti, ma, man, alladzi, sepertiوأحل لكم ما وراء ذلكم:

•Asma Syarth seperti, Ai, Aina, seperti dalamفمن شهد منكم الشهر فليصمه:

•Asma istifham seperti, mata , madza, sepertiأين ما كنتم تدعون من دون هلال

Khas dan Takhshish2.

Secara etimologis, khas (khusus) yaitu lawan dari umum. Sedangkan secara terminologis yaitu: “Lafal yang menunjukkan atas sesuatu yang terbatas denganorang tertentu atau bilangan tertentu, seperti nama-nama, istilah dan bilangan.”

Secara etimologis, takhshish yaitu lawan dari ta’mim. Sedangkan secara terminologis, takhshish yaitu: “Mengeluarkan bagian dari anggota (satuan) yangumum.”

Dalil takhshish terbagi kepada dua macam, yaitu: Muttashil (bersambung) yaitu yang tidak berdiri sendiri Munfashil (terpisah) yaitu yang berdiri sendiriKaidah ushul yang berlakua untuk lafadz jama’ adalah Lafadz menunjukan makna umum selama belum ada pengkhususan (takhshih). Jika ada nash yangmentakhsisnya, maka makna yang jadi rujukan adalah nash yang mentakhsisnya.

3. MutlaqLafadz Muthlaq yaitu lafadz yang menunjukan makna umum (yang tidak tertentu dan tidak disifati).

4. MuqayyadLafadz Muqayyad yaitu lafadz yang menunjukan makna tertentu dan disifati.Seperti دجم بالط (pelajar yang sugguh-sungguh).

Dilalah muthlak dan muqayyad

“Lafadz mutlak bermakna muthlaq (umum) sebelum ada yang membatasinya.” “Lafadz muqayad bermakna khusus sebelum ada penghapusan batasan tersebut.”

Lafal dari segi kejelasan artinya

1. Nash : Lafal yang menunjukkan artinya sebagai dalil yang tidak ada kemungkinanuntuk ditakwil.

2. Zahir : Lafal yang mengandung dua kemungkinan makna, namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.

3. Mujmal : Lafal yang tidak diketahui maksudnya kecuali dengan bantuan lafal lain.Terkadang dari aspek ketentuannya, sifatnya atau kadarnya.

4. Mubayyan: Lafal yang dapat dipahami maksudnya, terkadang dengan makna aslinya atau setelah dijelaskan maknanya.

5. Mufassar : Suatu lafal yang menunjukkan dengan sendirinya makna yang terinci,yang tidak mungkin ditakwil.

6. Muhkam : Suatu lafal yang menunjukkan atas maknanya yang tidak mungkin menerima pembatalan, pergantian dan takwil, karena dalilnya telah jelas dengansendirinya

LHHHl HHrH sHHH tHHHH tHrHnH HrtHnHH

1. Khafi : Lafal yang menunjukkan maknanya sebagai dalil yang jelas,tetapi dalam praktik maknanya atas sebagian satuan mengandung kesamaran yangmembutuhkan kepada analisa dan pemiki

2. Musykil : Bentuk lafal yang tidak menunjukkan kepada maksudnya,tetapi dapat diketahui melalui Qarinah (indikasi) luar yang menjelaskanmaksudnya.

3. Mutasyabih : Lafal yang tidak ditunjukkan oleh lafalnya itu sendiri kepadamaksudnya itu dan tidak terdapat indikasi luar yang menerangkannya, hanyaAllah yang mengetahuinya dan lafal tersebut tidak bisa diinterpretasikan.

4. Musytarak : Lafal yang digunakan untuk dua arti atau lebih denganpenggunaan yang bermacam-macam

PERTEMUAN 4

ATURAN INTERPRETASI TEKS: al-Dalalat (Implikasi Tekstual)

Dengan referensi dari aturan Al Qur’an dan Sunnah, ulama ushul fiqh membedakan beberapabentuk dari arti/makna yang mungkin disampaikan oleh suatu nash.

Hanafi membedakan 4 level arti/makna, yaitu ibarah al-nass, isharah al-nass, dalalah al-nass, iqtida' al-

‘Ibarah al-Nashs dikenal juga dengan mantuq sharih dalam kalanganHanafiyah.Mantuq sharih, yaitu sesuatu yang diucapkan secara tegas. Contohnyadalam surat An-Nisa ayat 3

Dalalah al-isyarah yaitu suatu pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi,namun bukan pengertian aslinya, tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensidari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu.Contohnya dalam surat Al-Ahqaf ayat15

Dalalat al nashsh berasal dari analogi dan identifikasi dari ‘illah yang biasa terjadi diantara makna yang eksplisit dan makna yang berasal dari indikasi. Beberapa ulamamenyebutkan bahwa Dalalat al nashsh sama dengan qiyas jali.

Dalalah al-Iqtidha, yaitu pengertian kata yang disisipkan secara tersirat (dalampemahaman) pada redaksi tertentu yang tidak bisa dipahami secara lurus kecualidengan adanya penyisipan itu.

Dalalah al-Iqtidha terbagi kepada tiga macam, yaitu :1) Suatu lafal yang mengungkapkan tunjukan maknanya yang tersembunyi bersifat wajib

agar makna lafal tersebut menjadi benar.Contohnya hadist Rasulullah SAW :

“Tidak ada wasiat kepada ahli waris” (HR. Bukhari)lafal tersebut penunjukkan maknanya tidak jelas. Oleh karena itu, agar

penunjukkan makna lafal itu menjadi sempurna, harus ditunjukkan maknanya yangtersembunyi, yaitu “sah”, sehingga berbunyi :

“Tidak sah wasiat kepada ahli waris”2) Suatu lafal yang tunjukan maknanya yang tersembunyi wajib dikemukakan

berdasarkan konsekuensi pertimbangn logis.Contohnya dalam surat Yusuf ayat 82:

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada disitu, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar.”

Dalam ayat di atas, diperintahkan untuk bertanya kepada negeri, padahal negeriitu tidak bisa ditanya karena benda mati. Agar tunjukan makna lafal ini dapat dipahamidengan benar, harus dimunculkan makna yang tidak terungkap pada lahirnya, yaitu kata“penduduk negeri” sehingga berbunyi “tanyalah penduduk negeri”

3) Suatu lafal yang tunjukan maknanya wajib ditakdirkan berdasarkan konsekuensisyara’Contohnya dalam surat Al-Baqarah ayat 178

Logika terbalik ( Mafhum al-Mukhalafah)

Mafhum al-Mukhalafah yaitu pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan.

Ulama ushul membagi Mafhum al-Mukhalafah kepada:

• Mafhum ash-shifah (Implication of the Attribute)

Contohnya : Zakat binatang ternak, apabila telah mencapai 40 ekor kambing” (HR.Malik dan Abu Daud) Hadist di atas menggunakan lafal (yang diternak di padangrumput lepas tanpa perlu diambilkan makanannya), jika dipahami secara mafhummukhalafah, maka binatang ternak (yang diambilkan makanannya), maka tidak adakewajiban menzakatkan ternak kambing yang ma’lunah*.

hadist di atas menurut jumhur ulama menunjukkan dua hukum. Pertama, hukum yangditarik melalui mantuq, yaitu berupa kewajiban membayar zakat ternak kambing as-simah. Kedua, hukum yang ditarik melalui mafhum mukhalafahnya, yaitu tidak adakewajiban menzakatkan ternak yang ma’lufah (yang diambilkan makanannya).Hukum yang disebut kedua ini, yaitu tidak wajib menzakatkan kambing yangma’lunah, disepakati sebagian ulama Hanafiah.

• Mafhum al-ghayah (Implication of the Extent)

Contohnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 187 :

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”

Contoh lainnya, yaitu :

“Tidak wajib mengeluarkan zakat sampai mencapai setahun”

• Mafhum asy syarat (Implication of the Condition)

Contohnya dalam surat Ath-Thalaq ayat 6

• Mafhum al-’adad (Implication of the Stated Number)

Contohnya yaitu surat An Nur ayat 2:

“Perempuan yang berzina dal laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiapseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepadakeduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu berimankepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman merekadisaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Berdasarkan mafhum al-adad yang terdapat pada ayat di atas, maka tidak sah deraanyang kurang atau lebih dari 100 kali.

Mafhum laqab Contohnya hadist berikut :

“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali sama-sama jenisnya” (HR Muslim)

Secara mafhum laqab, boleh jual beli sejenis, bila bukan emas.

PERTEMUAN 5

QIYAS

Pegertian Qiyas

Qiyas memiliki arti mengukur panjang dan lebar atau kualitas dari sesuatu.

Qiyas adalah perluasan dari nilai syariah dari kasus asli (asl) kepada kasus baru disebabkankasus baru memiliki penyebab efektif yang sama dengan kasus asli.

Rukun-Rukun Qiyas

• Kasus asli (asl) : Dimana sebuat peraturan diberikan dalam teks yang dicari oleh analogi untuk memperluas kepada sebuah kasus baru

Asl mempunyai dua arti. Pertama merujuk kepada sumber (Quran dan sunnah). Kedua arti dari Asl itu subjek sesuatu yang diberi peraturan

• Kasus baru (far’) : Dimana sebuah peraturan dibutuhkan

Kasus baru harus memenuhi 3 kondisi ini:

1. Kasus baru tidak boleh teratasi oleh Quran dan sunnah ataupun Ijma’.

2. Penyebab efektif dari analogi harus dapat diaplikasikan kepada kasus baru denganjalan yang sama yang dilakukan pada kasus asli.

3. Aplikasi qiyas kepada kasus baru harus tidak menghasilkan perubahan dalam hukumyang ada di Quran dan sunnah (qiyas tidak boleh melawan aturan yang ada diQuran dan sunnah)

• Penyebab efektif (illah): Dimana sebuah atribut (wasf) dari asl dan ditemukan sebagai hal yang umum untuk kasus asal dan kasus baru

Kondisi penyebab efektif harus mengikuti 5 hal:

1. Berdasarkan pendapat jumhur ulama, ‘illah harus sebuah atribut yang konstan (mundabit) yang dapat diaplikasikan ke semua kasus tanpa dipengaruhi oleh perbedaan orang, waktu, tempat dan keterbatasan.

2. Penyebab efektif harus jelas (zahir), bukan sesuatu yang tidak jelas seperti kesengajaan, goodwill, dan lain-lain.

3. ‘Illah harus merupakan atribut yang tepat dan mempunyai hubungan yang beralasankepada hukum dari Quran dan sunnah.

4. ‘Illah harus sesuatu yang membutuhkan objek (muta’addi)

5. Harus bukan sebuah atribut yang melawan Quran dan sunnah.

• Peraturan (hukm) : Mengatur kasus asli yang diperluas menjadi kasus

baru Hukm harus memenuhi 4 kondisi ini:

1. Hukm harus merupakan sebuah peraturan syariah yang bersifat praktis

2. Hukm harus rasional atau dapat dimengerti alasan atau penyebab diberlakukannya

3. Hukm harus tidak terbatas pada situasi pengecualian atau pernyataan parsial dari suatu urusan.

4. Hukum dari teks harus merepresentasikan asal dari peraturan umum dari qiyas pada tempat pertama.

Ilustrasi Qiyas

Ayat tersebut secara eksplisit melarang meminum khamr. Apabila pelarangan ini diperluas dengan analogi kepada obat-obatan terlarang, empat pilar analogi dalam contoh ini akan menjadi:

Asl :Minum Khamr

Far’ :Konsumsi obat-obatan

terlarang ‘Illah :Efek memabukkan

Hukm :Pelarangan

Jenis-Jenis Qiyas

1. Analogi yang superior (Qiyas al-Awla) .Contoh dalam QS: al-Isra ayat 23

2. Analogi persamaan (Qiyas al-Musawi). Contoh dalam QS: an-Nisa’ ayat 2 yang melarang manusia untuk memakan harta anak yatim.

3. Analogi yang inferior (Qiyas al-Adna). Contoh dalam QS: al-Maidah ayat 90 tentang larangan minum kahamr dengan ‘illat memabukkan.

4. Analogi yang jelas (Qiyas Jali). Contoh dalam QS : an-Nisa’ ayat 101 tentang diperbolehkannya mengqashar shalat dalam bepergian baik untuk laki-laki maupun perempuan.

5. Analogi yang tersembunyi (Qiyas Khafi).

Bukti (Hujjiyyah) Qiyas

Ayat yang mendukung adanya qiyas, salah satunya QS: an-Nisa ayat 150

Sebuah penilaian yang diberikan harus berdasarkan oetunjuk yang Allah jelaskan. Quran selalu mengindikasikan rasionalisasi dari hukum itu sendiri. Contohnya zakat mengurangikonsentrasi kekayaan di orang-orang tertentu.

Ada dua jenis indikasi dalam sunnah: Pandangan Pertama:

Qiyas adalah sebuah bentuk ijtihad yang tervalidasi dalam hadits Muadz bin Jabal.

Sunnah menghasilkan fakta bahwa Rasulullah terpaksa menggunakan penalaran analogis ketika beliau tidak menemukan wahyu pada kasus tertentu.

Qiyas hanya digunakan apabila tidak ada peraturan eksplisit yang ditemukan di dalam sumber, sehingga pertanyaan bagaimana jika ada konflik yang timbul antara nash dan qiyas, bukan sebuah pertanyaan yang relevan.

Pandangan kedua :

Dimana dipegang oleh Imam Malik, juga mengeluarkan kemungkinan adanya konflik diantara qiyas dan nash tapi tidak menolak bahwa ada kemungkinan teks yang spekulatif dengan qiyas. Berdasarkan pandangan ini, analogi menjadi konflik dengan keumuman dariQuran.

Hanafi berpendapat bahwa keumuman adalah implikasi definitif (qat’I al-dalalah) dimanaqiyas bersifat spekulatif.

Ijtihad

Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha.

Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produk atau usaha yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang bersifat amaliah, ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.

Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yang tidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang masuk ke dalamkategori zhanni al-dalalat.

Syarat-Syarat Berijtihad

Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:

Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik secara bahasa maupun secara istilah

Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’

Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi

Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma

Mengetahui seluk beluk qiyas

Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan

Menguasai ushul fiqih

Mengetahui maqashid syariah

Tingkatan Ijtihad

Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:

Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imammujtahid yang empat orang.

Mujtahid muntashib fi al-mazhab . Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf

Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid tertentu.

Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i ). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu pendapatterkuat dengan metode tarjih.

Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja

Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi duabentuk:

Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.

Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yangmuncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash

Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad\

Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl al-hadits.

Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspek-aspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi

Metode Ijtihad

Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasan-penjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.

Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula ijma.

Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.

Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa

Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa). Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu, untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu. Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah.

Produk Ijtihad

• Fiqih

• Qanun (Undang-Undang)

• Qadha’i (Putusan Pengadilan)

• Fatwa (Pendapat Hukum)

Taqlid

Secara etimologis taqlid yaitu meletakkan sesuatu di lehernya dengan mengitarinya sepertikalung.

Secara terminologis yaitu “Mengikuti perkataan seseorang yang perkataannya bukan hujjah.”

Dalam masalah taqlid dalam bidang furu’iyah, Ibnu Subki mengelompokkan umat kepada 4 kelompok:

Orang awam yang tidak mempunyai keahlian sama sekali

Orang alim namun belum mencapai tingkat mujtahid

Orang yang mampu melakukan ijtihad namun baru sampai ke tingkat dugaan kuat (zhann)

Mujtahid

PERTEMUAN 6

METODE PENETAPAN HUKUM LAINNYA

Istihsan

Istihsan memiliki arti “untuk menerima atau menggantikan sesuatu yang lebih baik”. Istihsanmerupakan turunan dari hasuna dimana menjadi baik atau cantik. Dalam istilah fiqih,istihsan adalah sebuah metode untuk melakukan opini personal dalam rangka untukmenghindari kekakuan dan ketidakadilan yang mungkin dihasilkan dari penegakan literalhukum yang ada.

Dalam beberapa kasus, istihsan bermaksud menghindari kesulitan dan memberikan sebuahsolusi yang harmonis dengan sumber yang lebih tinggi dari Syariah.

Istihsan pada dasarnya mengutamakan maslahah atas keputusan qiyas dalam hal konflik yangtimbul diantara mereka. Menurut Imam Malik, esensi dari istihsan adalah mengutamakanmaslahah apabila qiyas melanggar maslahah.

Istihsan sebagai metode dalam pencarian fasilitas dan memudahkan dalam perintah yanglegal. Menurutnya prinsip utama dari agama sesuai dengan yang dituliskan dalam Quran QS:Al-Baqarah ayat 185.

Dan juga dalam hadits yang berbunyi “Hal yang paling baik dari agamamu adalah yangmembawa kemudahan bagi orang-orang.

Komponen rasional yang terkandung dalam qiyas sebagian besar merupakan opini personal(ra’y). Ini membenarkan bahwa istihsan lebih mengandung ra’y yang lebih besar

Bagaimanapun juga, karena identitasnya yang dekat dengan Quran dan Sunnah, qiyas lebihditerima secara luas sebagai prinsip dari fiqih. Namun qiyas dan istihsan keduanya harusdiekspresikan dari kecenderungan rasional dalam sebuah sistem yang tetap menjagakedekatan identitasnya dengan Quran dan Sunnah.

Qiyas jali atau analogi yang jelas berbeda dengan Qiyas khafi atau analogi yang tersembunyi.Qiyas khafi biasa disebut dengan istihsan atau qiyas mustahsan (qiyas yang lebih baik) lebihkuat dan lebih efektif dibandingkan dengan qiyas jali, hal ini disebabkan oleh refleksi dananalisis yang lebih dalam. Istihsan bisa berasal dari qiyas jali maupun qiyas khafi, menurutjumhur ulama.

Maslahah Mursalah (Pertimbangan Kepentingan Publik)

Maslahah memiliki arti “manfaat”. Persamaan maslahah adalah istislah. Al-Ghazalimenyatakan bahwa maslahah mengandung beberapa pertimbangan dimana melindungimanfaat atau mengurangi bahaya namun secara simultan harmonis dengan tujuan (maqashid)syariah.

Maslahah mursalah didefinisikan sebagai pertimbangan yang menyesuaikan danmengharmoniskan dengan tujuan dari Pemberi Hukum, dimana melindungi manfaat ataumencegah bahaya. Contohnya adalah sahabat Rasulullah memilih untuk menerbitkan matauang, membangun penjara dan mengenakan pajak kepada tanah pertanian yang berada dalamteritorinya dan hal ini tidak terdapat dalam hukum tekstual.

Jenis-jenis Maslahah (secara umum)

• Daruriyyat (Essential)

Sesuatu yang menjadi ketergantungan orang-orang yang apabila tidak adanya diaakan mengakibatkan kerusakan. Ia termasuk lima hal esensial (agama, jiwa, akal,keturunan dan harta).

• Hajiyyat (Complementary)

Sesuatu yang menjadi pelengkap dari lima nilai esensial yang apabila diabaikan dapatmenyebabkan kesulitan namun tidak sampai mengakibatkan kerusakan. Contohnyakeringanan puasa dan shalat untuk orang yang sedang bersafar.

• Tahsiniyyat (Embellishment)

Sesuatu yang realisasinya dapat meningkatkan dan mencapai apa yang diinginkan

Jenis-jenis Maslahah(berdasarkan otoritas tekstual)

• Al-Maslahah Al-Mu’tabarah

• Maslahah yang tegas ditegakkan dan diberlakukan hukum untuk realisasinya.Contohnya adalah qisas untuk melindungi kehidupan, membela kepemilikanbarang dengan menghukum pencuri.

• Maslahah Mursalah

• Maslahah yang berlaku setelah wahyu Allah diturunkan. Contohnyadiperlukan adanya dokumen untuk pembuktian atas kepemilikan barang(misalnya rumah)

• Maslahah Mulgha

• Maslahah yang dibatalkan secara eksplisit atau indikasinya dapat ditemukandalam Syariah. Contohnya adalah pembagian waris kepada anak laki-laki dananak perempuan yang sama nilainya telah dibatalkan oleh QS An-Nisa ayat11.

Kondisi dari Maslahah Mursalah

• Maslahah harus asli (haqiqi)

• Maslahah bertujuan untuk melindungi lima hal yang esensial yang telah dijelaskan sebelumnya.

• Maslahah harus umum (kulliyah)

• Yang akan melindungi manfaat atau melindungi bahaya. Bukan sebuah maslahah apabila hanya melindungi sedikit individu.

• Maslahah tidak boleh bertentangan dengan nash atau ijma

Perbedaan Istislah , Analogi dan Istihsan

Dalam menentukan aturan syariah pada sebagian isu, ulama harus berpedomankepada Quran , Sunnah dan Ijma ’. Apabila tidak ada aturan dari sumber ini, makamereka harus menggunakan qiyas dengan mengidentifikasi illah yang umum diantaraaturan teks dan menghasilkan sebuah solusi yang dipersyaratkan. Apabila solusi yangdihasilkan melaui qiyas memberikan kesulitan atau hasil yang tidak adil walaupun iaberasal dari qiyas yang jelas maka sebaiknya digunakan istihsan.

Apabila tidak ada analogi yang bisa digunakan maka ulama dapat menggunakan maslahah mursalah.

‘Urf (Adat/Kebiasaan)

Urf adalah sebuah kata yang diturunkan dari akar bahasa arabnya yaitu ‘arafa (untukmengetahui), ‘urf secara abahasa berarti “yang diketahui”. Beberapa pengamat mengatakanbahwa ‘adah berarti praktek pengulangan dan dapat digunakan kepada individu maupungrup

Kondisi ‘Urf yang Berlaku (Valid) Harus merepresentasikan sebuah keumuman dan fenomena yang terjadi Harus ada dalam waktu sebuah transaksi terjadi Harus tidak bertentangan dengan ketentuan yang jelas Tidak boleh melanggar nass yang definit dan prinsip dalam hukum

Istishab (Anggapan keberlanjutan)

Secara bahasa, istishab memiliki arti “menemani atau “mengawal. Secara terminologi (istilah) menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah: “mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.”

Jenis-jenis Istishab

• Istishab al-adam al-asli

• Fakta atau aturan dari hukum yang tidak ada dalam masa lalu yang dianggap tidak ada sampai dengan pembuktiannya.

• Istishab al-wujud al-asli

• Istishab yang diterima begitu saja atas kehadirannya atau eksistensinya dimana diindikasikan oleh hukum atau alasan

• Istishab al-hukm

• Keberlanjutan dari hukum umum dan prinsip dari sebuah hukum

• Istishab al-wasf

• Keberlanjutan dari atribut seperti menganggap air bersih (bersih menjadi sebuah atribut)

Beberapa Kaidah Fiqih dalam Istishab

• Keyakinan tidak dapat dibantah dengan keraguan

• Praduga umum sampai umum dikenakan kepada pembatasan

• Praduga dari kebebasan asli dari hutang dimana kebebasan dari hutang sampai dengankontraknya diterima

• Asal dari segala sesuatu adalah dibolehkan

Sadd al-Dhara’I (Menghalangi cara menuju hasil yang tidak diharapkan)

Dhara’iah adalah sebuah kata yang memiliki sinonim dengan wasilah dimana secara bahasashadd artinya memblokir atau menutup.

Secara bahasa al-dzari’ah artinya jalan yang membawa kepada sesuatu , secara hissi atauma’nawi baik atau buruk. Menurut Ibnu Qayyim, al-dzari’ah: apa apa yang menjadiperantara dari jalan kepada sesuatu.

Dengan memandang pada natijahnya, perbuatan itu ada dua bentuk:

Natijahnya baik. Maka segala sesuatu yang mengarah kepadanya adalah baik dan oleh karenanya dituntut untuk mengerjakannya.

Natijahnya buruk. Maka segala sesatu yang mendorong kepadanya adalah juga buruk dan karenanya dilarang.

Ijma’ (Kesepakatan Ulama’)

Secara etimologis Ijma’ berasal dari kata ajma’a yujmi’u Ijma'an memiliki 2 arti;

=>> "ajma’a fulan 'ala safar" tekat yang kuat

=>> "ajma' muslimun 'ala kadza” kesepakatan

Secara terminology Ijma’ berarti kesepakatan para ulama ahli ijtihad dari kalangan umatMuhammad setelah wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada masa tertentu atassuatu perkara agama.

Hakikat Ijma’ sebagai Sumber Hukum

tidak ada yang berwenang memutuskan suatu hukum yang tidak ada dalam Al Qur’an dan Hadits setelah Rasulullah wafat

dalam hadits Rasulullah SAW bersabda “tidak mungkin umatku bersepakat dalam hal kesesatan”

bila Ijma' telah diputuskan secara permanen atas suatu hukum, maka tidak boleh bagi siapapun keluar dari keputusan Ijma' tersebut

Rukun dan Syarat Ijma’

Jumhur ulama ushul fiqh mengemukakan 5 rukun Ijma’ Setiap ulama’ yang mengikuti pembahasan sebuah masalah harus menyatakan

persetujuannya. Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang

ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam. Kesepakatan itu diawali setelah masing-masing mujtahid mengemukakan

pandangannya. Hukum yang disepakati adalah hukum syara yang bersifat aktual dantidak ada ‟ yang bersifat aktual dantidak ada

hukumnya secara rinci dalam al-Qur an.‟ yang bersifat aktual dantidak ada Sandaran hukum ijma tersebut haruslah al-Qur an dan atau hadis Rasulullah.‟ yang bersifat aktual dantidak ada ‟ yang bersifat aktual dantidak ada

Syarat ijma’ diantaranya : Yang melakukan ijma tersebut adalah orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad‟ yang bersifat aktual dantidak ada Kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil(berpendirian kuat terhadap

agamnya) Para mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha menghindarkan diri ucapan atau

perbuatan bid ah.‟ yang bersifat aktual dantidak ada

PERTEMUAN 7

METODE IJTIHAD DAN PENETAPAN FATWA

Pengertian Ijtihad

Secara etimologis menurut Loweis Ma’luf, ijtihad adalah bersungguh-sungguh sehabis usaha

Ijtihad adalah pengerahan daya nalar secara maksimal, usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah mencapai derajat tertentu di bidang kelilmuan disebut faqih, produkatau usaha yang diperoleh dari ijtihad adalah dugaan kuat tentang hukum yang bersifat amaliah, ijtihad ditempuh dengan cara-cara istinbath.

Para ahli ushul fiqih sepakat bahwa lapangan ijtihad hanya berlaku dalam kasus yangtidak terdapat dalam nash atau yang terdapat dalam teks Quran dan sunnah yang masuk ke dalam kategori zhanni al-dalalat.

Syarat-Syarat Ber-ijtihad

Menurut Prof. Satria Efendi M. Zein, syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid:

Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat dalam Quran baik secara bahasa maupun secara istilah

Mengetahui hadits-hadits hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’

Mengetahui ayat atau hadits mana yang tidak berlaku lagi

Mempunyai pengetahuan masalah yang menjadi ijma

Mengetahui seluk beluk qiyas

Menguasai bahasa Arab serta ilmu yang berhubungan

Menguasai ushul fiqih

Mengetahui maqashid syariah

Tingkatan Ijtihad

Menurut Abu Zahrah, mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:

Mujtahid mustaqil (independen). Mujtahid ini adalah tingkatan tertinggi, seseorang harus memenuhi syarat-syarat diatas. Contoh orang dalam tingkatan ini adalah imammujtahid yang empat orang.

Mujtahid muntashib fi al-mazhab . Mujtahid tingkat ini mampu merumuskan sendiri akan tetapi berpegang pada mazhab tertentu. Contoh: Qadhi Abu Yusuf

Mujtahid fi al-mazhab. Tingkatan mujtahid yang bertaqlid pada imam mujtahid tertentu.

Mujtahid fi al-tarjih (ijtihad intiaq’i ). Mujtahid yang kegiatannya memperbandingkan berbagai mazhab atau pendapat dan mempunyai kemampuan mentarjih salah satu pendapat terkuat dengan metode tarjih.

Ijtihad Fardhi : Ini merupakan ijtihad yang dilakukan pleh perorangan atau hanya beberapa orang mujtahid

Ijtihad Kolektif : Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini ijtihad bisa dilakukan oleh kelompok para ahli di bidangnya. Banyak lembaga ijtihad kolektif yang bersifat nasional, regional bahkan internasional.

Pembagian Ijtihad dari Proses Kerja

Menurut al-Syatibi, ijtihad dilihat dari segi proses kerjanya dapat dibagi menjadi duabentuk:

Ijtihadi istinbathi yaitu upaya untuk meneliti ‘illah yang dikandung oleh nash.

Ijtihad tatbiqi yaitu upaya untuk meneliti suatu masalah dimana hukum hendak diidentifikasi dan diterapkan sesuai dengan ide yang dikandung oleh nash. Ijtihad yang kedua ini disebut tahqiq al-manat, berfokus pada mengaitkan kasus-kasus yangmuncul dengan kandungan makna yang ada di dalam nash

Pembagian Ijtihad dari Mujtahid dalam melakukan Ijtihad

Pertama, kelompok tradisional yaitu usaha menggali hukum yang lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan yang tersurat dalam Quran dan Sunnah. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl al-hadits.

Kedua, kelompok rasional, yaitu upaya menggali dan menetapkan hukum yang lebih berorientasi kepada akal. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hukum merupakan sesuatu yang kepentingannya dapat ditelaah dengan memerhatikan aspek-aspek kemaslahatan. Kelompok ini biasanya disebut dengan ahl ar-ra’yi.

Metode Ijtihad

Ijtihad Bayani. Yaitu metode analisis kebahasaan untuk memberikan penjelasan-penjelasan terhadap makna teks Quran dan Sunnah.

Ijtihad Ta’lili/Qiyasi. Yaitu memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh suatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’i, nash dzanni dan tidak ada pula ijma.

Ijtihad Istishlahi. Yaitu memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.

Hukum Melakukan Ijtihad dan Fatwa

Orang yang mampu melakukan ijtihad maka ia berkewajiban berijtihad (berfatwa). Karena itu mufti berkewajiban, ketika ia satu-satunya yang ada di lokasi tertentu, untuk mengeluarkan fatwa dan mengajar kapan saja ia diminta untuk melakukan itu. Hanya ketika ada mujtahid lain, mufti tersebut bebas dari kewajiban. Karena hanya ketika permintaan itu dipenuhi maka kewajiban itu hilang, dan masyarakat secara keseluruhan dianggap telah memenuhi kewajiban itu.

Berdasarkan keterangan diatas maka hukum berfatwa adalah fardhu kifayah.

Produk Ijtihad

• Fiqih

• Qanun (Undang-Undang)

• Qadha’i (Putusan Pengadilan)

• Fatwa (Pendapat Hukum)

Secara literal, al-fatwa berarti “jawaban atas persoalan-persoalan syariat atauperundang-undangan yang sulit.

Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.

Perbedaan Mujtahid Dan Mufti

Para ahli ushul fiqih menyamakan antara mujtahid dengan mufti, orang yang diminta pendapatnya. Disemua karya-karya mereka, kedua istilah ini dipakai secara sinonim. Mandat kesarjanaan apapun yang dimiliki oleh mujtahid, mufti juga harus memilikinya, tapi dengan satu perbedaan :

Mufti, menurut sebagian ulama ushul fiqh, tidak hanya harus bersifat adil dan dapat dipercaya, tapi juga harus diketahui bahwa ia menjadikan agama dan persoalan-persoalanagama dengan sangat serius.

Syarat Mufti

Syarat seorang mufti adalah sebagai berikut : Seorang yang sudah mukallaf, yaitu Muslim, dewasa, dan sempurna akalnya

Seorang yang ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad, misalnya mengetahui dalil-dalil sama’i dan dalil-dalil aqli

Seorang yang adil dan dapat dipercaya. Dua persyaratan ini dituntut dari seorang mufti karena ia seorang panutan.

Bersikap tenang (sakinah) dan berkecukupan, mempunyai niat dan iktikad yang baik, kuat pendirian dan dikenal di tengah umat.

Metode Penetapan Fatwa

Metode yang digunakan oleh komisi fatwa MUI dalam proses menetapkan fatwa melalui tigapendekatan, yaitu :

• Nash qath’i: Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang dengan nash Al-Qur’an dan Hadist untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapatdalam nash Al-Qur’an ataupun Hadist secara jelas.

• Qauli : Pendekatan qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqh terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah).

• Manhaji : Pendekatan manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa yang mempergunakan kaidah-kaidah pokok dan metodologi yang dikembangkan olehimam mazhab dalam merumuskan suatu masalah.

Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif dengan menggunakan metode :

• Mempertemukan pendapat yang berbeda

• Memilih pendapat yang lebih kuat dalilnya (tarjihi)

• Menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi)

• istinbathi

Produk Fatwa MUI

• Ibadah

Shalat jumat musafir di kapal, kepeloporan pejabat dalam melaksanakan ibadah, istitha’ah dalam melaksanakan ibadah haji, ibadah haji hanya sekali dalam seumur hidup, dll.

• Sosial kemasyarakatan

Penyalahgunaan narkotika, film the message, talak tiga sekaligus, panti pijat, daging kelinci, adopsi, nyanyian dengan menggunakan ayat Al-Qur’an, Natal bersama, dll

• Paham keagamaan

Islam jama’ah, ahmadiyah qadiyan, faham syi’ah, jama’ah, khalifah, bai’at 145, darularqam, dll.

• IPTEK

Pemyembelihan hewan secara mekanis, tubektomi, wasiat menghibahkan kornea mata, penyakit kusta, dll.