retinopati dm.pdf

34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009). 2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008 dan Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3 bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun, menurut American Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian dengan tambahan PraDiabetes. a. Diabetes tipe 1 DM tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat lazim terjadi pada anak remaja tetapi kadangkandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang nonobesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat dan selsel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. Oleh karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki Universitas Sumatera Utara

Upload: william-bunga-datu

Post on 01-Dec-2015

59 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

killng

TRANSCRIPT

                                           BAB II 

TINJAUAN PUSTAKA 

 2.1 Diabetes Melitus  

  Diabetes melitus merupakan  penyakit metabolik  yang  ditandai  dengan 

timbulnya hiperglikemia akibat gangguan  sekresi  insulin, dan atau peningkatan 

resistensi  insulin  seluler  terhadap  insulin.  Hiperglikemia  kronik  dan  gangguan 

metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti 

mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009). 

 

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus 

Klasifikasi  DM menurut World  Health  Organization  (WHO)  tahun  2008 

dan Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam           3 

bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun, 

menurut American Diabetes Association  (2009), klasifikasi DM  terbagi 4 bagian 

dengan tambahan Pra‐Diabetes. 

a. Diabetes tipe 1  

  DM  tipe 1 merupakan bentuk DM parah yang sangat  lazim  terjadi pada 

anak remaja tetapi kadang‐kandang  juga terjadi pada orang dewasa, khususnya 

yang non‐obesitas dan mereka yang berusia  lanjut ketika hiperglikemia  tampak 

pertama  kali.  Keadaan  tersebut merupakan  suatu  gangguan  katabolisme  yang 

disebabkan hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma 

meningkat dan sel‐sel ß pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. 

Oleh  karena  itu  diperlukan  pemberian  insulin  eksogen  untuk  memperbaiki 

Universitas Sumatera Utara

katabolisme,  menurunkan  hiperglukagonemia  dan  peningkatan  kadar  glukosa 

darah (Karam, 2002).  

  Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria), 

rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan 

gejala ini dapat terjadi sewaktu‐waktu (tiba‐tiba) (WHO, 2008). 

b. Diabetes tipe 2  

  DM  tipe  2 merupakan  bentuk  DM  yang  lebih  ringan,  terutama  terjadi 

pada orang dewasa. Sirkulasi  insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari 

normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab 

gangguan kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe 

ini  dan  sebagian  besar  pasien  dengan  DM  tipe  2  bertubuh  gemuk.  Selain 

terjadinya penurunan kepekaan  jaringan terhadap  insulin,  juga terjadi defisiensi 

respons sel ß pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002). 

  Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang samar. 

Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang   komplikasi dapat 

terjadi.  Tipe DM  ini umumnya  terjadi pada orang dewasa dan  anak‐anak  yang 

obesitas. 

c. Diabetes Gestational 

DM  ini  terjadi  akibat  kenaikan  kadar  gula  darah  pada  kehamilan       

(WHO,  2008).  Wanita  hamil  yang  belum  pernah  mengalami  DM  sebelumnya 

namun memiliki  kadar  gula  yang  tinggi  ketika  hamil  dikatakan menderita  DM 

gestational.  DM  gestational  biasanya  terdeteksi  pertama  kali  pada  usia 

kehamilan  trimester  II  atau  III  (setelah  usia  kehamilan  3  atau  6  bulan)  dan 

Universitas Sumatera Utara

umumnya  hilang  dengan  sendirinya  setelah  melahirkan.  Diabetes  gestational 

terjadi pada 3‐5% wanita hamil (Anonim, 2009).  

  Mekanisme DM gestational belum diketahui secara pasti. Namun, besar 

kemungkinan  terjadi  akibat  hambatan  kerja  insulin  oleh  hormon  plasenta 

sehingga  terjadi resistensi  insulin. Resistensi  insulin  ini membuat  tubuh bekerja 

keras untuk menghasilkan insulin sebanyak 3 kali dari normal. 

   DM  gestational  terjadi  ketika  tubuh  tidak  dapat  membuat  dan 

menggunakan seluruh  insulin yang digunakan selama kehamilan. Tanpa  insulin, 

glukosa  tidak  dihantarkan  ke  jaringan  untuk  dirubah menjadi  energi,  sehingga 

glukosa  meningkat  dalam  darah  yang  disebut  dengan  hiperglikemia         

(Anonim, 2009).  

d. Pra‐Diabetes 

Pra‐diabetes merupakan DM yang  terjadi sebelum berkembang menjadi 

DM  tipe  2.  Penyakit  ini  ditandai  dengan  naiknya  KGD melebihi  normal  tetapi 

belum  cukup  tinggi  untuk  dikatakan  DM.  Di  Amerika  Serikat  ±57  juta  orang 

menderita  pra‐diabetes.  Penelitian  belakangan  ini  menunjukkan  bahwa 

beberapa kerusakan jangka panjang khususnya pada jantung dan sistem sirkulasi, 

kemungkinan  sudah  terjadi  pada  pra‐diabetes,  untuk  mencegahnya  dapat 

dilakukan dengan diet nutrisi dan latihan fisik (Anonim, 2009). 

 

2.1.2 Epidemiologi  

Tingkat  prevalensi DM  tipe  2  cukup  tinggi,  diperkirakan  sekitar  16  juta 

kasus  DM  di  Amerika  Serikat  dan  setiap  tahunnya  didiagnosis  600.000  kasus 

Universitas Sumatera Utara

baru.  DM merupakan  penyebab  kematian  di  Amerika  Serikat  dan merupakan 

penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat  retinopati diabetik. Pada 

usia  yang  sama,  penderita  DM  paling  sedikit  2,5  kali  lebih  sering  terkena 

serangan  jantung dibandingkan mereka yang  tidak menderita DM. Tujuh puluh 

lima  persen  penderita  DM  akhirnya  meninggal  karena  penyakit  vaskular. 

Serangan  jantung,  gagal  jantung,  gagal  ginjal,  stroke,  dan  gangren  adalah 

komplikasi utama. Selain  itu kematian fetus  intrauterine pada  ibu penderita DM 

yang tidak terkontrol  juga meningkat.   Dampak ekonomi pada DM  jelas terlihat 

akibat biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekwensi finansial 

karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskuler (Price dan 

Wilson, 2002). 

 

2.1.3 Patofisiologi  

  Pada DM tipe 2 terjadi 2 defek fisiologi yaitu abnormalitas sekresi insulin, 

dan  resistensi  kerjanya  pada  jaringan  sasaran.  Pada  DM  tipe  2  terjadi  3  fase 

urutan klinis. Pertama, glukosa plasma tetap normal meski pun terjadi resistensi 

insulin karena  insulin meningkat. Pada  fase kedua,  resistensi  insulin  cenderung 

memburuk  sehingga meski  pun  terjadi  peningkatan  konsentrasi  insulin,  tetap 

terjadi intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Pada fase 

ketiga, resistensi  insulin tidak berubah, tetapi sekresi  insulin menurun, sehingga  

menyebabkan hiperglikemia puasa dan DM yang nyata (Foster, 2000). 

  Hipotesis  menjelaskan  adanya  keterlibatan  sintesis  lemak  terstimulasi 

insulin  dalam  hati  dengan  transpor  lemak  melalui  VLDL  menyebabkan 

Universitas Sumatera Utara

penyimpanan  lemak  sekunder  dalam  otot.  Peningkatan  oksidasi  lemak  akan 

mengganggu  ambilan  glukosa  dan  sintesis  glikogen.  Keterlambatan  penurunan 

pelepasan  insulin  dapat  disebabkan  oleh  efek  toksik  glukosa  terhadap  pulau 

Langerhans  atau  akibat  defek  genetik.  Sebagian  besar  pasien  DM  tipe  2 

mengalami  obesitas,  dan  hal  itu  sendiri  yang menyebabkan  resistensi  insulin. 

Namun  penderita  DM  tipe  2  yang  relatif  tidak  obesitas  dapat  mengalami 

hiperinsulinemia dan pengurangan kepekaan insulin. Hal ini membuktikan bahwa 

obesitas bukan penyebab resistensi satu‐satunya DM tipe 2 (Foster, 2000). 

  Pada DM tipe 2, massa sel β utuh, sedangkan populasi sel α meningkat, 

sehingga menyebabkan  peningkatan  rasio  sel  α  dan  β.  Hal  ini menyebabkan 

kelebihan relatif glukagon dibanding insulin (Foster, 2000). 

  Sudah lama diketahui bahwa endapan amiloid ditemukan dalam pankreas 

pasien  DM  tipe  2,  namun  peranan  amilin  terkait  dengan  DM  belum  dapat  

dibuktikan.  Amilin  merupakan  suatu  peptida  asam  amino  37.  Pada  keadaan 

normal,  amilin  terbungkus  bersama‐sama  insulin  dalam  granula  sekretori  dan 

dikeluarkan  bersama‐sama  sebagai  respons  terhadap  pengeluaran  insulin. 

Penumpukan  amilin  dalam  pulau  Langerhans  kemungkinan merupakan  akibat 

kelebihan  produksi  sekunder  karena  resistensi  insulin.  Kemungkinan  lain, 

penumpukan amilin dalam pulau Langerhans menyebabkan kegagalan lambatnya  

produksi  insulin  pada  pasien  yang  sudah  lama  menderita  DM  tipe  2             

(Foster, 2000). 

 

Universitas Sumatera Utara

 

2.1.4 Gambaran Klinis 

  DM  tipe  1  biasanya mulai  terjadi  sebelum  umur  40  tahun. Di  Amerika 

Serikat insidensi puncak terjadi sekitar umur 14 tahun. Gejala awal yaitu tiba‐tiba  

haus,  sering  buang  air  kecil,  peningkatan  nafsu makan,  dan    penurunan  berat 

badan  selama  beberapa  hari.  Pada  sebagian  kasus,  DM  tipe  1  ditunjukkan 

dengan  timbulnya  ketoasidosis pada DM  yang baru atau  setelah pembedahan. 

Pada DM tipe 1 kadar  insulin plasma rendah atau tidak terukur, kadar glukagon 

meningkat  tetapi  dapat  ditekan  oleh  insulin.  Begitu  timbul  gejala,  diperlukan 

insulin. Terkadang, kejadian awal ketoasidosis diikuti oleh  interval bebas gejala 

(periode honeymoon) yang tidak memerlukan terapi (Foster, 2000).   

DM  tipe  2  biasanya mulai  terjadi  pada  pertengahan  umur  atau  lebih. 

Pasien  biasanya  gemuk,  gejala  terjadi  perlahan‐lahan,  dan  diagnosis  sering 

dilakukan jika individu tanpa gejala mengalami peningkatan glukosa plasma pada 

pemeriksaan  laboratorium  rutin.  Berbeda  dengan DM  tipe  1,  pada DM  tipe  2 

kadar insulin plasma normal hingga tinggi dalam istilah absolut, meski pun lebih 

rendah  dari  yang  diperkirakan  untuk  kadar  glukosa  plasma  (terjadi  defisiensi 

insulin relatif). Kadar glukagon tinggi dan resisten, dimana respons glukagon yang 

berlebihan akibat makanan yang masuk tidak dapat ditekan akibat fungsi sel alfa 

tetap  abnormal.  Komplikasi  akut  yang  terjadi  pada  pasien  DM  tipe  2  adalah 

sindroma  koma  hiperosmolar  non‐ketotik,  dan  tidak  terjadi  ketoasidosis. 

Ketoasidosis tidak terjadi akibat hati resisten terhadap glukagon sehingga kadar 

malonil‐CoA  tetap  tinggi,  sehingga  menghambat  oksidasi  asam  lemak  jalur 

Universitas Sumatera Utara

ketogenik.  Jika penurunan berat badan  terjadi, dapat diatasi dengan diet  saja. 

Sebagian besar pasien yang gagal dengan terapi diet memberi respons terhadap 

sulfonilurea,  tetapi  perbaikan  hiperglikemia  pada  kebanyakan  penderita  tidak 

cukup hanya dengan obat  ini saja, karena  itu sejumlah besar pasien DM  tipe 2 

memerlukan insulin (Foster, 2000). 

 

2.1.5 Diagnosis 

  Kriteria  diagnosis  DM  yang  telah  direvisi  menurut  ADA  (American 

diabetes association) adalah : 

a. Nilai A1c > 6,5%, diagnosis DM harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan 

A1c ulangan, kecuali gejala klinis dan nilai kadar gula darah > 200 mg/dl. 

b. Ditemukan gejala hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu                  > 

200  mg/dl.  Gejala  klasik  hiperglikemia  adalah  poliuria,  polidipsia,  dan 

penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, atau 

c. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa berarti pasien tidak menerima 

asupan kalori 8 jam terakhir sebelum pemeriksaan, atau 

d. Kadar gula darah 2  jam setelah makan > 200 mg/dl setelah tes toleransi 

glukosa menggunakan glukosa 75 gram (Cavallerano, 2009). 

 

2.1.6 Komplikasi 

DM  jika  tidak  ditangani  dengan  baik  akan  mengakibatkan  timbulnya 

komplikasi pada berbagai organ  tubuh  seperti mata,  ginjal,  jantung, pembuluh 

darah  kaki,  dan  saraf. Dengan  penanganan  yang  baik,  berupa  kerjasama  yang 

Universitas Sumatera Utara

erat  antara  pasien  dan  petugas  kesehatan,  diharapkan  komplikasi  kronik  DM 

dapat dicegah, setidaknya dihambat perkembangannya (Waspadji, 1996) 

   Komplikasi  DM  terbagi  dua  yaitu  komplikasi  metabolik  akut  dan 

komplikasi  vaskular  jangka  panjang.  Komplikasi  metabolik  akut  disebabkan 

perubahan  yang  relatif  akut  dari  konsentrasi  glukosa  plasma.  Komplikasi 

metabolik yang paling serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA). 

Komplikasi akut yang  lain adalah hiperglikemia hiperosmolar koma non‐ketotik 

(HHNK),  dan hipoglikemia (Price dan Wilson, 2002). 

Komplikasi vaskular jangka panjang DM melibatkan pembuluh darah kecil 

(mikroangiopati)  dan  pembuluh  darah  sedang  dan  besar  (makroangiopati). 

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol 

retina  (retinopati  diabetik),  glomerulus  ginjal  (nefropati  diabetik)  dan  saraf 

perifer  (neuropati  diabetik),  dan  otot  serta  kulit.  Makroangiopati  diabetik 

mempunyai  gambaran  histopatologis  berupa  aterosklerosis  (Price  dan Wilson, 

2002). 

 

2.1.7 Penilaian Pengontrolan Glukosa 

Metode  yang digunakan untuk menentukan pengontrolan  glukosa pada 

semua tipe DM adalah pengukuran glikat hemoglobin (HbA1c). Hemoglobin pada 

keadaan  normal  tidak  mengandung  glukosa  ketika  pertama  kali  keluar  dari 

sumsum tulang (Price dan Wilson, 2002). 

Pada  orang  normal  sebagian  kecil  fraksi  hemoglobin  akan  mengalami 

glikosilasi. Artinya glukosa terikat pada hemoglobin melalui proses                  non‐

Universitas Sumatera Utara

enzimatik  dan  bersifat  reversibel.  Pada  pasien  DM,  glikosilasi  hemoglobin 

meningkat  secara  proporsional  dengan  kadar  rerata  glukosa  darah  selama            

2‐3  bulan  sebelumnya.  Bila  kadar  glukosa  darah  berada  pada  kisaran  normal 

antara  70‐140  mg%  selama  2‐3  bulan  terakhir,  maka  hasil  tes  HbA1c  akan 

menunjukkan  nilai  normal.  Karena  pergantian  hemoglobin  yang  lambat,  nilai 

HbA1c yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama         4‐

8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran 

yang  digunakan,  namun  berkisar  antara  3,5%‐5,5%  (Tabel  1.1).  Pemeriksaan 

HbA1c merupakan pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status 

glikemik jangka panjang (Waspadji, 1996).  

Tabel  1.1        Kadar  glikat  hemoglobin  pada  penderita  diabetes  melitus                          (Price dan Wilson. 2002) 

 

Normal/Kontrol glukosa   HbA1c (%) 

Nilai normal  3,5‐5,5 

Kontrol glukosa baik  3,5‐6 

Kontrol glukosa sedang  7,0‐8,0 

Kontrol glukosa buruk  >8 

 

2.2 Anatomi Retina 

Retina merupakan  lembaran  jaringan neural terdiri atas sebaran serabut 

saraf  optik,  letaknya  antara  badan  kaca  dan  koroid  (Gambar  2.1) 

(http//webvision.med.utah.edu/sretina.html).  Bagian  anterior  retina  melekat  erat 

pada epitel pigmen. Di bagian belakang, saraf optik merekatkan retina ke dinding 

Universitas Sumatera Utara

bola mata.  Di  lain  tempat  retina mudah  dipisahkan  dari  epitel  pigmen.  Pada 

orang dewasa, ora  serata  (bagian ujung depan  retina yang bergerigi) di bagian 

temporal  bola  mata  letaknya  kira‐kira  6,5  mm  di  belakang  garis  Schwalbe, 

sedangkan di bagian nasalnya kira‐kira 5,7 mm di belakang garis tersebut. Di ora 

serata tebal retina 0,1 mm, sedangkan di polus posterior 0,23 mm. Yang paling 

tipis adalah di fovea sentralis yaitu bagian tengah makula. Retina normal bening 

dan sebagian cahaya dipantulkan di batas vitreo‐retina. Fovea sentralis terletak 

kira‐kira  3,5  mm  di  sebelah  lateral  papil  optik  khusus  untuk  membedakan 

penglihatan yang halus. Semua  reseptor di  fovea adalah sel kerucut. Hampir di 

seluruh retina akson sel‐sel reseptor melintas  langsung ke bagian dalam  lapisan 

pleksiform luar berhubungan dengan dendrit sel‐sel horizontal dan sel‐sel bipolar 

yang menuju ke  luar dari  lapisan nuklear dalam. Tetapi di makula akson sel‐sel 

reseptor  arahnya  miring  dinamakan  serabut  Henle.  Dalam  keadaan  normal, 

rongga ekstraseluler di  retina kosong,  rongga yang paling besar ada di makula. 

Penyakit  yang  menyebabkan  penimbunan  bahan  ekstraseluler  akan 

mengakibatkan  penebalan  yang  cukup  besar  di  daerah  ini.  Akson  sel  bipolar 

berhubungan dengan  sel amakrin dan  sel ganglion di  lapisan pleksiform dalam 

yang teranyam rapat. Akson panjang sel ganglion berjalan melalui serabut saraf 

ke saraf optik (Kadarisman, 1996). Kira‐kira 3 mm ke arah nasal kutub belakang 

bola mata terdapat daerah bulat putih           kemerah‐merahan dinamakan papil 

saraf optik, di bagian tengahnya melekuk dinamakan ekskavasi faali. Arteri retina 

sentral  bersama  vena masuk  ke  dalam  bola mata  di  tengah  papil  saraf  optik. 

Universitas Sumatera Utara

Arteri  retina  merupakan  pembuluh  darah  terminal  (Gambar  2.2) 

(www.retinopaty diabetic/fundus normal. html).  

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.1   Anatomi retina 

 

Gambar 2.2    Fundus okuli normal 

Retina mempunyai ketebalan sekitar 1 mm, terdiri atas lapisan (Ilyas, 2008):  

Universitas Sumatera Utara

a. lapisan  fotoreseptor  merupakan  lapisan  terluar  retina  terdiri  atas  sel 

batang dan sel kerucut dan merupakan lapisan penangkap sinar. 

b. membran  limitan  eksterna  (outer  limited  membrane)  merupakan 

membran ilusi. 

c. lapisan  nukleus  luar  (outer  nucleic  layer)  terutama  terdiri  atas  nuklei      

sel‐sel visual atau sel kerucut dan batang. Ketiga lapisan diatas avaskular 

dan mendapat metabolisme dari kapiler koroid. 

d. lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer) merupakan lapisan aselular 

dan merupakan  tempat sinapsis sel  fotoreseptor dengan sel bipolar dan 

sel horizontal. 

e. lapisan nukleus dalam (inner nucleic  layer) merupakan tubuh sel bipolar, 

sel  horizontal,  dan  sel Muller.  Lapisan  ini mendapat metabolisme  dari 

arteri retina sentral. 

f. lapisan  pleksiform  dalam  (inner  plexiform  layer)  merupakan  lapisan 

aselular, tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.  

g. lapisan  sel  ganglion  (ganglion  cell  layer)  merupakan  lapisan  sel  saraf 

bercabang. 

h. lapisan  serabut  saraf merupakan  lapisan  akson  sel  ganglion menuju  ke 

arah  saraf optik, dan di dalam  lapisan  ini dapat  terletak  sebagian besar 

pembuluh darah retina. 

i. membran limitan interna (inner limited membrane) merupakan membran 

hialin  antara  retina  dan  badan  kaca  (Gambar  2.3) 

(www.webvision.med.utah.edu/sretina.html). 

Universitas Sumatera Utara

                                           

 

Gambar 2.3    Lapisan retina 

  

2.2.1 Sirkulasi Retina  

2.2.1.1 Sistem Arteri  

a. Arteri retina sentralis. 

Arteri  retina  sentralis  merupakan  end  artery  yang  memasuki  nervus 

optikus  kira‐kira  1  cm  di  belakang  bola  mata.  Lapisan  arteri  retina 

sentralis sama dengan arteri lain yang terdiri atas lapisan  intima, terletak 

paling  dalam  terdiri  atas  1  lapisan  endotel  yang  terletak  pada  daerah 

kolagen,  lamina  elastik  interna memisahkan  lapisan  intima  dari  lapisan 

media.  Lapisan  media  terutama  mengandung  otot  polos  dan  lapisan 

adventitia  terletak paling  luar arteri dan  terdiri atas  jaringan penyokong 

longgar (loose connective tissue). 

b. Arteriol retina. 

Universitas Sumatera Utara

Arteriol  retina muncul dari arteri  retina  sentralis,  terdiri dari otot polos     

(Kanski, 2007). 

 

2.2.1.2 Kapiler  

Kapiler  retina membekalkan  darah  ke  lapisan  dalam  kedua  dan  ketiga 

retina.  Bagian    luar  lapisan  ketiga  disuplai  oleh  kapiler  korio.  Jalinan  kapiler 

bagian  dalam  terletak di  dalam  lapisan  sel  ganglion  dan  jalinan  kapiler  bagian 

luar  terletak  di  dalam  lapisan  nuklear  bagian  dalam.  Daerah  bebas  kapiler 

terletak mengelilingi arteriol dan pada  fovea. Dinding kapiler  retina  terdiri atas 

sel endotel dan perisit. Sel endotel membentuk  lapisan  tunggal pada basement 

membrane dan dihubungkan dengan tight junction yang membentuk suatu inner 

blood‐retinal  barrier.  Perisit  terletak  di  luar  sel  endotel  dan  memiliki  proses 

pseudopodia multipel  untuk mengembangkan  kapiler.  Perisit memiliki  bagian 

kontraktil  sehingga  berperan  di  dalam  autoregulasi  sirkulasi  mikrovaskular 

(Kanski, 2007). 

 

2.2.1.3 Sistem Vena. 

  Venula  retina  dan  vena  mengalirkan  darah  dari  kapiler.  Sistem  vena 

terdiri atas : 

a. venula  kecil merupakan  pembuluh  darah  yang  lebih  besar  dari  kapiler 

dengan struktur yang sama dengan kapiler. 

b. venula  besar  terdiri  dari  otot  polos  dan  kemudian  bersatu  untuk 

membentuk vena.   

Universitas Sumatera Utara

c. vena  terdiri  dari  sejumlah  kecil  otot  polos  dan  jaringan  elastik  pada 

dindingnya dan relatif dapat mengembang (Kanski, 2007).  

 

2.3 Retinopati Diabetik 

Retinopati diabetik merupakan kelainan pada  retina penderita DM yang 

bukan  karena  radang  (Ilyas,  2008).  Retinopati  diabetik  adalah  suatu 

mikroangiopati  progressif  yang  ditandai  dengan  kerusakan  dan  sumbatan 

pembuluh  darah  kecil.  Perubahan  patologis  paling  awal  adalah  penebalan 

membran basal endotel kapiler dan berkurangnya jumlah perisit, yang kemudian 

berkembang membentuk mikroaneurisma, perdarahan, dilatasi pembuluh darah, 

hard exudate, soft exudate, pembentukan pembuluh darah baru, edema retina, 

terbentuk  parut  akhirnya menyebabkan  kebutaan  (Ilyas,  2008;  Vaughan  et.al., 

2000). 

  Retinopati  diabetik  masih  merupakan  penyebab  utama  kebutaan  di 

Negara‐negara Barat. Di Amerika Serikat terjadi kebutaan 5.000 orang per tahun 

akibat  retinopati  diabetik,  sedangkan  di  Inggris  retinopati  diabetik merupakan 

penyebab  kebutaan  nomor  4  dari  seluruh  penyebab  kebutaan  (Ilyas,  2008). 

Frekwensinya  bertambah  sejalan  dengan  lamanya  penyakit  DM.  Beberapa 

penyelidikan menunjukkan adanya hubungan erat antara kadar gula darah yang 

tidak  terkendali  dengan  meningkatnya  insiden  serta  tingkat  keparahan 

retinopati.  Namun  tidak  diketahui  apakah  ada  hubungan  sebab‐akibat  atau 

apakah  hal  ini  merupakan  bentuk  progressif  semakin  parahnya  penyakit 

(Vaughan et.al., 2000).  

Universitas Sumatera Utara

  

2.3.1 Patofisiologi

        Mekanisme  yang  tepat  untuk  menerangkan  DM  penyebab  retinopati 

belum  jelas.  Hiperglikemia  mempunyai  4  jalur  biokimia  menuju  terjadinya 

komplikasi mikroangiopati dan komplikasi menahun lainnya, yaitu melalui : 

a. Efek  langsung  : melalui  endotel, membran  basalis,  kolagen,  otot  polos, 

semuanya mengalami disfungsi. Beberapa kelainan membran basalis yang 

dapat mengganggu faalnya antara lain : 

i. meningkatnya deposit kolagen di membran basalis. 

ii. meningkatnya kadar glikoprotein di membran basalis. 

iii. menurunnya  kadar  sistin  di  membran  basalis,  sehingga 

memudahkan kebocoran. 

 Penebalan membran  basalis  dengan  kualitas  rendah  akibat  banyaknya 

endapan  glikoprotein  akan  memudahkan  kebocoran.  Tergantung  pada 

status  regulasi  DM,  membran  basalis  pasien  DM  mempunyai 

kecenderungan menebal,  endotel  tidak  utuh  lagi,  sehingga  faal  kapiler 

terganggu, menimbulkan kebocoran,  serta keluarnya protein dan  sel‐sel 

darah diakibatkan antara lain : 

i. tekanan  onkotik  jaringan  menurun  (edema  setempat)  akibat 

keluarnya albumin. 

ii. pertahanan  jaringan  setempat menurun  akibat  keluarnya  sel‐sel 

darah seperti leukosit. 

Universitas Sumatera Utara

iii. perfusi jaringan menurun sehingga terjadi hipoksia akibat eksudasi 

dan  akhirnya  edema  makula  serta  dengan  adanya  kerapuhan 

(kebocoran) kapiler menyebabkan perdarahan. 

Kerusakan  endotel  menyebabkan  kebocoran  karena  deposit  lemak, 

proliferasi  otot  polos  di  bawah  membran  basalis  akibat  rangsangan 

insulin, growth hormone, dan growth  factor yang dikeluarkan  trombosit 

yang rusak. 

b. Efek  reologi  :  baik melalui  kelainan  seluler maupun  darah  dan  plasma. 

Trombosit penderita DM mempunyai sifat‐sifat antara lain : 

i. mudah mengalami adhesi (kerjasama dengan faktor VIII dan faktor 

von  Willebrand  endotel  dan  glikoprotein  I  dari  trombosit)  dan 

mudah pula  terjadi agregasi  (dibantu oleh glikoprotein  II,  III, dan 

tromboksan).  Agregasi  trombosit,  fibrinogen,  dan  trombin 

mempermudah terbentuknya mikrotrombus. 

ii. umur  trombosit  DM  lebih  pendek  dan  keluarnya  bahan  yang 

mempermudah  koagulasi  dan  keluar  pula  growth  factor  untuk 

merangsang  proliferasi  sel  otot  polos  pembuluh  darah 

(Tjokroprawiro, 1996).  

Faktor  VIII  dan  faktor  von  Willebrand  pada  DM  meningkat.  Faktor 

koagulasi  ini  yang  berperan  penting  dalam  proses  adhesi  dan  agregasi 

trombosit  sehingga  terbentuk  mikrotrombus.  Antitrombin  III  penting 

untuk menghambat faktor Xa sehingga pembentukan trombin terhambat. 

Oleh  karena  pada DM  kadar  fibrinogen  juga meningkat, maka  trombin 

Universitas Sumatera Utara

meningkat  dan  pembentukan  plasmin  menurun,  jadi  pada  DM  kadar 

faktor VIII meningkat,  sekresi  aktifator oleh endotel menurun,  sehingga 

pembentukan  fibrin  dan  agregasi  trombosit  meningkat  dan  terjadi 

pertambahan  mikrotrombus  yang  cepat  (Gambar  2.4)  (Tjokroprawiro, 

1996). 

                         Faktor Xa                    AT III 

Protrombin                                                  Trombin 

                                        AT III   

            Fibrinogen                                                                                     Fibrin 

 

Plasminogen                                               Plasmin              Mikrotrombus 

                      

                    Aktifator plasminogen endotel 

Trombosit                                                                                   Agregasi  

 

                           Faktor VIII 

 

Gambar 2.4      Gangguan sistim fibrinolitik pada Diabetes melitus  Keterangan :           merangsang               

                                                           menghambat c. Jalur poliol : dengan adanya akumulasi sorbitol dalam sel, mengakibatkan 

peningkatan  tekanan  osmotik  dan  menurunkan  kadar  mioinositol  dan 

aktivitas  Na/K‐ATPase.  Pada  normoglikemia,  sebagian  besar  glukosa 

seluler  mengalami  fosforilasi  menjadi  glukosa‐6‐fosfat  oleh  enzim 

heksokinase.  Bagian  kecil  dari  glukosa  yang  tidak mengalami  fosforilasi 

Universitas Sumatera Utara

memasuki  jalur  poliol,  yakni  jalur  alternatif  metabolisme  glukosa.    

Melalui  jalur  ini  glukosa  dalam  sel  diubah  menjadi  sorbitol  dengan 

bantuan  enzim  aldose  reduktase  (AR)  (Sufriyana,  2010).  Endotel  yang 

utuh  akan  resisten  terhadap  penempelan  trombosit  dan  mencegah 

terjadinya  adhesi  dan  agregasi  trombosit.  Adanya  lesi  endotel  akan 

mempermudah  timbulnya proses  tersebut dan  juga  kebocoran. Endotel 

mempunyai  enzim  aldose  reduktase  yang  mengubah  glukosa  menjadi 

polialkohol  sorbitol  melalui  reduksi  gugus  aldehid  glukosa,  kemudian 

sorbitol  diubah  menjadi  fruktosa.  Kedua  senyawa  ini  menyerap  air 

sehingga  endotel membengkak  dan  akhirnya merusak  endotel  dengan 

proses  biokimia  sehingga  terjadi  gangguan  faal  endotel  antara  lain 

kebocoran  dan  agregasi  trombosit.  Gangguan  faal  endotel  ini  akan 

mempermudah timbulnya komplikasi DM melalui proses : 

i. sintesis faktor von Willebrand oleh endotel meningkat, dan faktor 

inilah  yang  berperan  utama  dalam  proses  adhesi  dan  agregasi 

trombosit. 

ii. konversi  asam  arakidonat  ke  PGI2  (prostasiklin)  menurun, 

sedangkan bahan  ini sangat penting untuk menghambat agregasi 

trombosit selain sebagai vasodilator. 

iii. sintesis  aktivator  plasminogen  menurun,  sehingga  menurunkan 

plasmin,  rendahnya  plasmin  akan  mempermudah  terbentuknya 

fibrin dan mikrotrombus (Tjokroprawiro, 1996).  

Universitas Sumatera Utara

d. Proses glikosilasi non‐enzimatik : mengubah proses fisika‐kimia sifat‐sifat 

sel  dan  membentuk  advanced  glycosilation  end‐products  (AGEs)  yang 

berperan  dalam  komplikasi  menahun  pada  DM.  AGEs  ini  mengendap 

pada  jaringan,  pada  protein‐protein  tubuh  yang  turn‐overnya  lambat 

seperti : kolagen, mielin, kristalin, elastin, lipoprotein (LDL), albumin, dan 

IgG (Tjokroprawiro, 1996). AGEs merupakan produk glikasi non‐enzimatik 

dan  oksidasi  protein  dan  lipid  yang  bersifat  ireversibel.  Protein  yang 

dirusak oleh AGEs akan mengubah struktur dan fungsi jaringan, sehingga 

terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah. Protein yang telah 

dimodifikasi  AGEs  dapat  menghambat  pertumbuhan  sel  normal.  AGEs 

juga  mengganggu  fungsi  enzim  pengatur  pengeluaran  zat  yang 

memvasodilatasi dan adhesi sel di dalam pembuluh darah. Kadar AGEs di 

jaringan berhubungan dengan  laju perkembangan aterosklerosis disertai 

akumulasi protein plasma,  lipoprotein, dan  lipid pada dinding pembuluh 

darah. Lesi aterosklerotik dapat  ruptur dan menimbulkan  trombus yang 

menyumbat  kapiler  fokal  di mata  (Sufriyana,  2010). Akumulasi AGEs  di 

berbagai jaringan merupakan sumber utama radikal bebas yang berperan 

dalam  peningkatan  stres  oksidatif,  serta  terkait  dengan  patogenesis 

komplikasi  DM mirip  pada  penuaan.  Pada  DM,  akumulasi  AGEs  secara 

umum  mempercepat  terjadinya  aterosklerosis,  nefropati,  neuropati, 

retinopati,  serta  katarak  (Setiawan dan    Suhartono, 2005). AGEs  terjadi 

dari beberapa  tahapan  reaksi  kimia  akibat hiperglikemia. Pada  keadaan 

hiperglikemia,  produksi  berbagai  gula  pereduksi  antara  lain  glukosa, 

Universitas Sumatera Utara

glukosa‐6‐fosfat, dan fruktosa meningkat melalui glikolisis dan jalur poliol. 

AGEs  atau  prekursornya  juga  dapat  berasal  dari  luar  tubuh,  misalnya 

tembakau  dan makanan  (modern western  diet).  Kandungan AGEs  pada 

makanan  tergantung  pada  kandungan  lemak,  protein,  dan  karbohidrat. 

Juga  tergantung  dari  cara  mengolah  makanan,  lama  memasak,  dan 

temperatur memasak makanan yang mengawali terjadinya pembentukan 

derivat a‐β dicarbonyl yang bersifat tidak stabil hasil reaksi glikosidasi dan 

lipoksidasi  (Peppa  dan  Vlassara,  2005). Glukosa  sebagai  gula  pereduksi 

bersifat  toksik,  karena  kemampuan  kimiawi  gugus  karbonil  aldehidnya. 

Aldehid  merupakan  senyawa  yang  mampu  berikatan  secara  kovalen 

sehingga  terjadi modifikasi protein  secara enzimatik dan non‐enzimatik. 

Selain  protein,  target  kerusakan  lain  adalah  lipid  amino  seperti 

fosfatidiletanolamin, dan DNA  (Peppa dan Vlassara, 2005; Setiawan dan 

Suhartono,  2005).    Reaksi  pengikatan  aldehid  pada  protein  dinamakan 

reaksi  glikasi.  Reaksi  ini  memiliki  kemaknaan  patologis  yang  besar. 

Berbagai  contoh  reaksi  glikasi  protein  antara  lain  hemoglobin  glikosilat 

(HbA1c),  albumin,  dan  kristal  lensa mata.  Reaksi  secara  non‐enzimatik 

glukosa  darah  dengan  protein  di  dalam  tubuh  akan  berlanjut  sebagai 

reaksi  browning  dan  oksidasi.  Reaksi  tersebut  selanjutnya  dapat 

menyebabkan  akumulasi  modifikasi  kimia  protein  jaringan.  Perubahan 

kimia ini dikenal sebagai reaksi Maillard (Setiawan dan Suhartono, 2005). 

Reaksi Maillard  juga berkaitan dengan  komplikasi  kronik DM. Reaksi  ini 

secara umum terdiri atas empat tahap, yaitu: 

Universitas Sumatera Utara

i. kondensasi  non‐enzimatik  gula  pereduksi,  aldehid  atau  ketosa, 

dengan  gugus  amino  bebas  dari  protein  atau  asam  nukleat 

membentuk  glikosilamin.  Reaksi  ini  dikenal  sebagai  fase  1  serta 

secara alamiah bersifat reversibel dan terjadi dalam beberapa jam 

(kurang dari 24 jam).  

ii. pada  fase  2  akan  terjadi  penataan  ulang  glikosilamin  menjadi 

produk Amadori  suatu  senyawa ketoamin. Komponen khas pada 

Amadori  adalah HbA1c  yang merupakan marker  jangka  panjang 

glikemia pada DM (Sufriyana, 2010). Reaksi ini terjadi akibat kadar 

glukosa yang masih tinggi dalam waktu  lebih dari 24  jam. Produk 

Amadori  tersebut  bersifat  toksik  bagi  jaringan  namun  masih 

reversibel.  Kadar  produk  Amadori  pada  sejumlah  protein 

meningkat sebanding dengan derajat hiperglikemia pada DM.  

iii. penataan ulang dan dehidrasi berganda produk Amadori menjadi 

amino  atau  senyawa  karbonil  reaktivitas  tinggi  seperti                             

3‐deoxyglucosane. 

iv. reaksi  antara  senyawa  karbonil  dengan  gugus  amino  lain 

dilanjutkan  proses  penataan  ulang  membentuk  beragam      

advance glycosylation end products (AGE‐products/AGEs) sebagai 

petunjuk  cross linking  dan  browning pada protein.  

 

 

v. pengikatan  AGEs  terhadap  reseptor  makrofag  spesifik    

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan  sintesis  sitokin  dan  faktor  pertumbuhan  serta 

peningkatan stres oksidatif (Setiawan dan Suhartono, 2005). 

Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan adalah elusidasi struktur 

AGEs,  sehingga  metode  pemeriksaan  AGEs  belum  konsisten.  Metode 

pemeriksaan  yang  sudah  pernah  dilakukan  adalah  dengan  HPLC, 

chromatography, fluoresens dan Elisa (Peppa dan Vlassara, 2005). Pasien 

dengan DM  yang  lama mempunyai  kadar  AGEs  dua  kali  orang  normal. 

Fluoresens meningkat pada pasien dengan retinopati dan nefropati berat 

(Piliang, 2001). 

e. Faktor vasoproliferatif 

Faktor  vasoproliferatif  dilepaskan  oleh  retina  dan  epitel  pigmen  retina 

yang menginduksi terjadinya neovaskularisasi. Secara in vitro VEGF menghambat 

pertumbuhan sel endotel  telah dibuktikan  terjadi pada retinopati diabetik. Dari 

penelitian  yang  telah  dilakukan menyatakan  bahwa  VEGF memiliki  hubungan 

langsung  dengan  abnormalitas  pembuluh  darah  retina  yang  terjadi  pada  DM. 

Pada binatang ditemukan adanya hubungan antara VEGF dengan perkembangan 

dan  regresi  neovaskularisasi  (Kanski,  2007).  Konsentrasi  VEGF  lebih  tinggi  di 

dalam  vitreous  mata  dengan  PDR  dibandingkan  pada  mata  dengan  NPDR. 

Pemberian  inhibitor  VEGF  menyebabkan  terjadinya  neovaskularisasi  yang 

dirangsang  hipoksia  pada  binatang  percobaan.  Pelepasan  VEGF  untuk 

membentuk neovaskularisasi adalah respon terhadap  iskemia yang terjadi pada 

retina (Kanski, 2007). 

   

Universitas Sumatera Utara

2.3.2 Klasifikasi Retinopati Diabetik

  Berdasarkan  prognosis  dan  pengobatannya,  retinopati  diabetik  dibagi 

menjadi  dua  bentuk  yaitu  non‐proliferatif  dan  proliferatif.  Retinopati  diabetik               

non‐proliferatif  diklasifikasikan  lagi  menjadi  retinopati  diabetik  dasar 

(background diabetic retinopathy) atau retinopati pre‐proliferatif. 

a. Retinopati  diabetik  non‐proliferatif.  Pada  retinopati  diabetik  dasar 

terjadi peningkatan permeabilitas dan inkompetensi dinding pembuluh 

darah.  Pada  kapiler  terbentuk  tonjolan  kecil  bulat  (mikroaneurisma), 

dan  vena  retina melebar  dan  berkelok‐kelok. Di  seluruh  retina  pada 

bagian‐bagian  yang  berlainan  terlihat  berbagai  bentuk  perdarahan, 

seperti  bentuk  nyala  api  (flame  hemorrhages)  karena  letaknya  di 

dalam  lapisan  serabut  saraf  yang  horisontal,  bentuk  titik  (dot 

haemorrhages),  dan  bentuk  bercak  (blot  haemorrhages)  terdapat  di 

retina  yang  lebih  dalam  tempat  sel  dan  akson  mengarah  vertikal. 

Kapiler yang  bocor mengakibatkan sembab retina terutama di makula, 

sehingga  retina  menebal  dan  terlihat  berawan  (Gambar  2.5) 

(http://www.vrmny.com). Walaupun cairan serosa diserap, masih akan 

tetap  ada  presipitat  lipid  kekuning‐kuningan  dalam  bentuk  eksudat 

keras  (hard  exudate).  Jika  pada  fovea  sembab  atau  iskemi  atau 

terdapat  eksudat  keras,  maka  tajam  penglihatan  sentral  akan 

menurun. Pada tahap ini umumnya tidak progresif. Dengan bertambah 

progresifnya  sumbatan  mikrovaskular,  gejala  iskemia  akan  semakin 

bertambah  berat.  Keadaan  ini  disebut  retinopati  diabetik  pre‐

Universitas Sumatera Utara

proliferatif. Perubahan  yang  sangat  khas  adalah  terlihatnya  sejumlah 

bercak mirip kapas  (multiple cotton wool spots) atau disebut eksudat 

lunak  (soft  exudates),  yang merupakan mikro  infark  lapisan  serabut 

syaraf (Gambar 2.6) (www.cekjournal.org). Gejala  lain adalah kelainan 

vena seperti ikalan (loops), segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan 

kelainan mikrovaskular  intraretina  yaitu  pelebaran  alur  kapiler  yang 

tidak  teratur  dan  terjadi  hubungan  pendek  antar  pembuluh  darah 

(shunt)  intra  retina.  Pada  retinopati  pre‐proliferatif,  risiko  timbulnya 

neovaskularisasi  meningkat,  dan  pada  penderita  ini  harus  dipantau 

ketat walaupun belum ada gejala.  

 

 

 

Edema makula 

    Perdarahan 

 

                                                   

       Hard exudate 

   

  Dilatasi vena 

 

 

Gambar 2.5    Retinopati diabetik non‐proliferatif 

Universitas Sumatera Utara

Keadaan‐keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetik adalah : 

i. Pada DM tipe 1 dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan 

dan proliferasi. 

ii. Arteriosklerosis  dan  proses  menua  pembuluh‐pembuluh  darah 

memperburuk prognosis. 

iii. Hiperlipoproteinemia  diduga mempercepat  perjalanan  dan  progresifitas 

kelainan  dengan  cara  mempengaruhi  arteriosklerosis  dan  kelainan 

hemobiologik. 

iv. Hipertensi arteri memperburuk prognosis  terutama pada penderita usia 

tua. 

v. Hipoglikemia  atau  trauma  dapat menimbulkan  perdarahan  retina  yang 

mendadak (Ilyas, 2008). 

 

                                            Perdarahan 

               Hard exudate 

                                                  Edema makula 

 

   

Dilatasi vena 

                                                                         

 

 

 

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6     Retinopati diabetik pre‐proliferatif 

  b. Retinopati diabetik proliferatif. Bentuk retinopati diabetik paling parah 

adalah PDR yang sangat berisiko menyebabkan kebutaan. Karakteristik 

PDR  adalah pembentukan pembuluh darah baru pada  atau di dalam 

satu diameter diskus (1 DD) diskus optikus, di luar diskus dan 1 DD dari 

batas  diskus  (Gambar  2.7)  (www.revoptom.com),  proliferasi  fibrosis 

pada  atau  di  dalam  1 DD  diskus  optikus  atau  tempat  lain  di  retina,    

pre‐retinal  hemorrhage,  dan  atau  perdarahan  vitreous  (Cavallerano, 

2009). 

 

 

 

 

                                                   Neovaskularisasi 

 

 

 

 

 

Gambar 2.7     Retinopati diabetik proliferatif 

 

Universitas Sumatera Utara

 

2.3.3 Gambaran Klinis 

Pada  retinopati  diabetik  non‐proliferatif  dapat  terjadi  perdarahan  pada 

semua lapisan retina. Ada pun gejala subjektif retinopati diabetik non‐proliferatif 

adalah penglihatan kabur, kesulitan membaca, penglihatan tiba‐tiba kabur pada 

satu mata, melihat  lingkaran‐lingkaran cahaya, melihat bintik gelap dan cahaya 

kelap‐kelip.  Sedangkan  gejala  objektif  dari  retinopati  diabetik  non‐proliferatif 

adalah : 

a. Mikroaneurisma. 

Mikroaneurisma merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah 

vena,  dengan  bentuk  berupa  bintik merah  kecil  yang  terletak  di  dekat 

pembuluh  darah  terutama  polus  posterior.  Kadang  pembuluh  darah  ini 

demikian  kecilnya  sehingga  tidak  terlihat  (Ilyas  dan  Tanzil,  2003;  Ilyas, 

2008; Rahmawati, 2007). Mikroaneurisma merupakan kelainan DM pada 

mata (Gambar 2.8) (www.Seebetterflorida.com). 

  

                                                               Mikroaneurisma 

 

 

 

 

 

 

      Gambar 2.8     Mikroaneurisma pembuluh darah retina 

Universitas Sumatera Utara

 

b. Dilatasi pembuluh darah balik 

Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumen ireguler dan berkelok‐kelok. 

Hal  ini  terjadi  akibat  kelainan  sirkulasi,  dan  kadang‐kadang  disertai  kelainan 

endotel dan eksudasi plasma (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) 

(Gambar 2.9) (www.neec.com) 

 

 

 

 

                                                                              Dilatasi vena 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.9    Dilatasi pembuluh darah balik 

 

 

c. Perdarahan (haemorrhages) 

Perdarahan  dapat  dalam  bentuk  titik,  garis,  dan  bercak  yang  biasanya 

terletak  dekat  mikroaneurisma  di  polus  posterior.  Bentuk  perdarahan  dapat 

memberikan  prognosis  penyakit  dimana  perdarahan  yang  luas  memberikan 

prognosis  yang  lebih  buruk  dibandingkan  dengan  perdarahan  yang  kecil. 

Universitas Sumatera Utara

Perdarahan  terjadi  akibat  gangguan  permeabilitas  pada mikroaneurisma  atau 

pecahnya kapiler (Ilyas dan Tanzil, 2003; Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar 

2.10) (www.neec.com). 

 

                                   Perdarahan 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.10    Perdarahan pada retinopati diabetik non‐proliferatif 

 

 d.  Hard exudate 

Hard  exudate merupakan  infiltrasi  lipid  ke  dalam  retina. Gambarannya 

khusus yaitu ireguler dan berwarna kekuning‐kuningan. Pada permulaan eksudat 

berupa  pungtata,  kemudian membesar  dan  bergabung  (Ilyas  dan  Tanzil,  2003; 

Ilyas, 2008; Rahmawati, 2007) (Gambar 2.11) (www.neec.com). 

Universitas Sumatera Utara

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                          

 

                                     Edema makula 

                                                                                  

 

                                                        

                                                   Hard exudate 

 

Gambar 2.11    Edema makula dan hard exudat di fovea 

  

e. Edema retina 

Edema  retina  ditandai  dengan  hilangnya  gambaran  retina  terutama  di 

daerah makula. Edema dapat bersifat  fokal atau difus dan secara klinis  tampak 

sebagai  retina  yang menebal  dan  keruh  disertai mikroaneurisma  dan  eksudat 

intra retina. Dapat berbentuk zona‐zona eksudat kuning kaya  lemak, berbentuk 

bundar di  sekitar  kumpulan mikroaneurisma dan eksudat  intra  retina  (Gambar 

2.12)  (www.vrmny.com)  (Ilyas  dan  Tanzil,  2003;  Ilyas,  2008;  Rahmawati,  2007). 

Universitas Sumatera Utara

Edema  makula  signifikan  secara  klinis  (Clinically  significant  macular  oedema 

(CSME)) jika terdapat satu atau lebih dari keadaan dibawah ini : 

 

 

i. edema retina 500 μm (1/3 diameter diskus) pada fovea sentralis. 

ii. hard exudate jaraknya 500 μm dari fovea sentralis, yang 

berhubungan dengan retina yang menebal. 

iii. edema retina yang berukuran 1 disk (1500 μm) atau lebih, dengan 

jarak dari fovea sentralis 1 disk. 

 

 

 

 

 

                                                                     Edema makula 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.12    Funduskopi edema makula 

 

2.3.4 Pengobatan 

Universitas Sumatera Utara

Pada retinopati diabetik yang harus diperhatikan ialah apakah gula darah 

dan hipertensi terkontrol secara optimal. Edema makula dapat sembuh dengan 

sendirinya,  tetapi  jika  tajam  penglihatan  sangat  menurun,  dan  jika  sumber 

kebocoran dapat ditentukan melui angiogram, maka penggunaan  fotokoagulasi 

laser dapat dipertimbangkan (Kadarisman, 1996). 

Retinopati  diabetik  proliferatif merupakan  indikasi  untuk  fotokoagulasi 

laser argon panretina. Perdarahan pre‐retina  atau perdarahan badan  kaca dan 

neovaskularisasi  pada  papil  optik  mempunyai  risiko  tertinggi.  Fotokoagulasi 

panretina mengurangi kemungkinan terjadinya perdarahan badan kaca masif dan 

ablasi  retina  dengan  terjadinya  regresi,  bahkan  pada  beberapa  kasus 

neovaskularisasi menghilang. Caranya  ialah dengan membidikkan beberapa ribu 

tembakan  laser  di  seluruh  retina  secara  tersebar  dan  teratur  kecuali  daerah 

sentral  yang  dibatasi  oleh  papil  optik  dan  arkade  vaskular  temporal  mayor. 

Mekanisme  foto  koagulasi  tersebut  adalah  menyebabkan  berkurangnya 

rangsangan  angiogenik  oleh  retina  yang  iskemia.  Bila  perdarahan  badan  kaca 

yang  menyebabkan  menurunnya  tajam  penglihatan  ini,  dalam  6  bulan  tidak 

menjernih  secara  spontan,  dapat  dilakukan  vitrektomi.  Pembedahan  ini  harus 

segera dikerjakan jika secara klinis atau berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi 

diduga ada ablasi retina yang progresif. Pada ablasi retina, traksi yang mengenai 

atau mengancam makula, bisa dilakukan vitrektomi untuk membebaskan  traksi 

dan  scleral  buckling  untuk  membantu  mempertautkan  retina  kembali 

(Kadarisman, 1996).  

Universitas Sumatera Utara

Neovaskularisasi retina sendiri tidak mengganggu penglihatan.  Jika tidak 

ada  kelainan  patologis  di makula, mungkin  tidak  ada  keluhan.  Karena  banyak 

penyulit  yang berat  yang dapat diatasi dengan pengobatan  laser dalam waktu 

singkat,  maka  deteksi  dini  dan  pengamatan  teratur  adalah  sangat  penting 

(Kadarisman, 1996). 

 

Universitas Sumatera Utara