revisi bab 12-09-09
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Masa kini pasangan suami istri bekerja bukanlah suatu hal yang langka lagi.
Indonesia yang dianggap masih mengadopsi pandangan keluarga tradisional, dimana
masih terdapat perbedaan gender dalam membagi pekerjaan rumah dan mengasuh anak
(Nancy, Margaret, & Alicia, 2004), pun sudah mulai mengadopsi pasangan yang suami
dan istrinya bekerja. Pasangan dual earner ini bahkan menurut artikel di Kompas (2008),
memenuhi sebagian populasi pasangan suami istri muda yang baru menikah. Hal ini
sangat mungkin disebabkan oleh kondisi ekonomi yang mengalami krisis, sehingga
pasangan pun sepakat untuk saling bahu membahu dalam hal ekonomi. Alasan lainnya
adalah kepekaan wanita terhadap isu feminisme dan persamaan jender yang semakin
tumbuh di antara masyarakat (Ferre, 1991). Apapun alasannya, semua pasangan pekerja
berusaha keras untuk membangun sebuah keluarga yang sehat, kuat, dan juga seimbang
dalam hal mengatur waktu untuk pekerjaan dan keluarga (Saginak dan Saginak, 2005).
Sama-sama berkarir di luar rumah, maka sama-sama berbagi tugas di rumah
adalah suatu hal yang wajar (www.ayahbunda.com/info_ayahbunda/info_detail.asp.274).
Di dunia Barat, menurut Pleck (1985 dalam Ferree, 1991), bahkan istri telah mengurangi
jam kerja di rumah sehingga dapat bekerja di luar rumah dan suami telah meningkatkan
jumlah waktu untuk merawat anak. Berdasarkan kebutuhan pasangan inilah masing-
masing pihak harus secara aktif membuat pembagian tugas rumah yang sesuai dengan
sumber daya dan waktu yang ada (Ferree, 1991). Masing-masing pihak dari satu
1
pasangan dapat membagi tugas rumahnya dengan cara membicarakannya secara jujur dan
terbuka mengenai tugas rumah yang diinginkan. Contohnya, mengasuh anak, menemani
anak bermain, dan melakukan pembayaran tagihan rumah setiap bulannya. Selain itu,
pasangan suami istri juga dapat melakukan negosiasi dan kompromi sehingga dapat
terjalin kerja sama yang baik dalam melaksanakan tugasnya masing-masing. Pembagian
tanggung jawab urusan pekerjaan rumah tidak hanya berdampak positif bagi suami dan
istri, namun juga bagi anak. Pembagian tugas rumah dapat membuat suami terlibat dalam
pengurusan dan pengasuhan anak, sehingga hubungan ayah-anak menjadi lebih erat.
Tentunya untuk mencapai hal-hal di atas diperlukan kesetaraan fungsi marital
bagi kedua belah pihak. Hal inilah yang biasanya tidak terlalu diperhatikan oleh
pasangan, sehingga salah satu dari mereka merasakan beban yang berlebihan. Padahal
kesetaraan fungsi marital dapat menyeimbangkan antara kerja dan keluarga (Burley,
1995, dalam Saginak dan Saginak, 2005; Zimmerman et al., 2003). Ketika membicarakan
keseimbangan fungsi marital, maka tidak akan mungkin lepas dari usaha pasangan untuk
mencapai pembagian tugas keluarga yang adil. Pertanyaan-pertanyaan seperti “siapa yang
melakukan apa?” dan “berapa sering atau berapa banyak?” akan sering dijumpai pada
pasangan pekerja. Fungsi marital sendiri dapat dilihat dalam bentuk tugas rumah. Tugas
rumah dapat diartikan sebagai tanggung jawab yang berhubungan dengan rumah –baik
itu yang berada di dalam dan di luar rumah dan yang kelihatan dan tidak terlihat
(Zimmerman et al., 2003).
Sebagai bagian dari pembagian tugas rumah, pasangan pekerja juga dipertemukan
oleh masalah lain, yaitu parenthood. Parenthood atau yang dapat diterjemahkan sebagai
tugas mengasuh anak pada kebanyakan pasangan Indonesia lebih sering ditumpahkan
2
kepada istri. Hal ini juga yang dapat membuat istri merasa terlalu terbebani, terutama jika
mempunyai anak yang masih berumur di bawah satu tahun sampai tiga tahun. Istri yang
bekerja harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan kalau pun tidak, ia harus
bersiap-siap untuk bekerja. Kemudian ketika pulang ke rumah, ia harus dapat
meluangkan waktunya untuk bermain dan merawat anaknya. Di malam hari, di saat
semuanya telah tertidur, ia harus siap untuk dibangunkan oleh anaknya yang menangis
karena haus, buang air kecil, atau alasan lainnya. Sang istri pun harus bersedia untuk
menyusui anaknya dan kalau pun tidak, ia harus ada di saat anaknya membutuhkannya,
kecuali di waktu kerja.
Dengan adanya kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih banyak
menunjuk istri sebagai pengasuh anak, seperi mengganti popok, membuat susu, dan
mengantarnya tidur, maka peneliti berasumsi bahwa pembagian tugas rumah cenderung
dibebani pada satu pihak. Menurut Saginak dan Saginak (2005), hal tersebut nantinya
akan membuat pihak yang lebih dibebani merasa kepuasan pernikahan mereka tidak
setinggi pada saat di awal pernikahan. Bahkan perasaan mengenai kepuasan pernikahan
ini dapat memprediksi masa depan pernikahan. Ditambahkan, menurut Ballard-Reisch
dan Weigel (1999, dalam Weigel et al., 2006) pasangan yang merasa pembagian tugas
rumah mereka adil, pasangan tersebut akan merasa lebih puas dengan pernikahannya.
Di sisi lain, jika pembagian tugas rumah tidak dilakukan secara adil maka salah
satu dari pasangan akan berpotensi untuk merasa lebih sering lelah. Lalu jam tidurnya
pun akan menurun secara drastis, dan hal ini dapat mengganggu kesehatannya.
Ketidakadilan dapat memberi dampak yang negatif pada pernikahan, termasuk kepuasan
pernikahan. Pihak yang mengalami atau mempersepsikan ketidakadilan cenderung
3
merasa tertekan secara psikologis (Weigel et al., 2006). Selain itu, kualitas pernikahan
akan menurun dan akan memengaruhi motivasi untuk bercerai. Hal ini pun dibenarkan
oleh artikel dari Kompas (2008) yang mengatakan bahwa salah satu alasan pasangan
muda bertengkar adalah karena masalah dalam pembagian tugas untuk masing-masing
pihak. Ditambahkan, artikel di harian Tribun Jabar (2008) mengatakan bahwa salah satu
alasan mengapa pasangan bercerai adalah ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah..
Namun banyak juga studi yang mengungkapkan bahwa walaupun salah satu
pasangan, biasanya istri, dibebani oleh pekerjaan rumah yang banyak ia tidak merasa
bahwa pembagian tersebut tidak adil dan tetap merasa puas dengan pernikahannya (Benin
dan Agostinelli, 1988 dalam Baxer dan Western, 1998; DeMaris dan Longmore, 1996
dalam Baxter dan Western, 1998). Baxter dan Western (1998) menjelaskan beberapa
alasan mengapa pekerjaan rumah yang lebih banyak tidak dianggap tidak adil bagi istri.
Alasan pertama menyangkut ideologi jender, dimana istri merasa beberapa pekerjaan
rumah, terutama mengasuh anak sudah seharusnya dikerjakan oleh wanita. Hal ini sejalan
dengan Duvall (1977), dimana ia mengutarakan bahwa wanita memang harus menerima
dan menyesuaikan dengan situasi dimana ia menjadi ibu muda. Ia harus bersedia untuk
menyusui anaknya dan harus dapat menyeimbangkan antara permintaan anaknya dan
ekspektasi suaminya. Hal ini pula yang dapat dilihat jelas di Indonesia, dimana
kebanyakan dari urusan yang berhubungan dengan anak seperti mengganti popok atau
memandikannya dilakukan oleh sang istri.
Alasan kedua adalah istri lebih senang mengerjakan tugas rumah dibandingkan
suami (Ferree, 1991). Oleh karena itu, mereka yang puas dengan pekerjaan rumah yang
lebih banyak mungkin karena mereka memang senang melakukannya. Contohnya,
4
memasak untuk suaminya. Di Indonesia kebanyakan istri memasak karena senang
melakukannya dan bahkan menjadi salah satu media untuk memuaskan suaminya.
Bahkan banyak juga istri yang senang mendapatkan pekerjaan rumah yang lebih banyak
karena dengan demikian ia memiliki wewenang yang lebih besar di rumah. Ia dapat
melakukan pengaturan sendiri di rumah. Ia juga dapat memilih barang-barang rumah
tangga sesuai dengan keinginannya.
Alasan terakhir adalah jumlah waktu yang dihabiskan di luar rumah untuk
bekerja. Kebanyakan wanita tidak akan memilih lembur dan cenderung tidak memikirkan
penghasilan sampingan. Dengan keadaan dimana suaminya lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk bekerja, maka istri bersedia untuk melakukan kebanyakan pekerjaan
rumah. Maka mereka pun tidak melihat adanya ketidakadilan dengan banyaknya tugas
yang dilimpahkan kepada mereka
Meski pembagian tugas antara suami dan istri sudah dikompromikan dan mulai
berjalan, namun kadang-kadang timbul masalah karena perbedaan pandangan istri dan
suami (www.ayahbunda.com/info_ayahbunda/info_detail.asp.274). Suami, misalnya,
keberatan kalau harus melakukan kegiatan rumah tangga yang menurutnya seharusnya
adalah tugas dan tanggung jawab istri. Sementara istri merasa suami tidak rela dan tidak
mau membantu urusan rumah tangga. Hal menarik inilah yang menjadi isu-isu sosial
yang bertentangan dalam pembagian tugas rumah, yaitu antara isu feminisme dengan isu
jender tradisional.
Isu feminisme mengatakan bahwa wanita seharusnya setara dengan pria dalam hal
pekerjaan dan karir (Ferree, 1991). Bahkan dalam buku kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia, dikatakan bahwa seorang ibu hanya berkewajiban melakukan
5
hal-hal yang sifatnya kodrati seperti mengandung dan melahirkan. Hal-hal yang bersifat
diluar kodrati itu dapat dilakukan oleh seorang bapak, seperti mengasuh, menyusui (dapat
diganti dengan botol), membimbing, merawat dan membesarkan, memberi makan dan
minum dan menjaga keselamatan keluarga. (Isu-Isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan
Dasar dan Menengah).Maka wanita juga dapat bekerja di luar rumah, walaupun ia telah
menikah dan mempunyai anak. Bagi wanita yang sangat memegang prinsip feminisme
ini, ia akan merasa sangat terbebani oleh pembagian tugas rumah yang tidak adil dan
akhirnya merasa kurang puas dengan pernikahannya.
Di sisi lain, isu jender tradisional mengatakan bahwa sudah sepatutnya wanita
lebih banyak berurusan dengan hal-hal yang menyangkut rumah, termasuk mengasuh
anak, dibandingkan dengan pria. Bagi wanita yang menganut pandangan seperti ini, maka
mereka cenderung tidak akan merasa terbebani dengan adanya penumpukan pekerjaan
yang lebih banyak pada dirinya (Weigel, Bennett, dan Ballard-Reisch, 2006). Mereka
bersedia untuk mengemban tugas-tugas tradisional sang istri, seperti mencuci baju dan
piring, membersihkan rumah, memasak, mengasuh anak, dan mengatur urusan-urusan
rumah seperti membayar listrik dan telepon.
Faktor lain selain isu jender yang memengaruhi pembagian tugas rumah adalah
bagaimana cara pasangan suami istri berkomunikasi (Saginak dan Saginak, 2005; Weigel,
bennet, dan Ballard-Reisch, 2006). Jika pasangan suami istri dapat berbicara bersama
dalam kondisi yang nyaman dan dapat menemukan keputusan bersama, maka pasangan
tersebut cenderung akan memiliki pembagian tugas rumah yang adil. Walaupun pada saat
pelaksanaannya tidak terlalu sesuai dengan keputusan di awal, namun pasangan ini dapat
memecahkan masalah secara bersama-sama. Beberapa cara komunikasi yang dapat
6
menjalin kerjasama yang baik adalah tidak menggunakan nada tinggi pada saat terjadi
masalah tugas rumah, berbicara dengan jujur dan terbuka, dan secara tulus memuji lawan
pasangannya.
Komunikasi yang positif mengijinkan pasangan untuk beradaptasi sesuai dengan
kebutuhan yang ada (Rhoden, 2003). Hal ini juga membantu pasangan mengatur konflik
yang terjadi dengan cara negosiasi. Bagi wanita yang mengadopsi ideologi jender non-
tradisional atau feminisme, maka komunikasi sangatlah dibutuhkan untuk dapat membuat
rutinitas yang sesuai dengan kebutuhannya. Di sisi lain, bagi wanita tradisional mereka
akan lebih menekankan pada hubungan dan kepuasan pernikahan pasangannya dan lebih
mengalah dalam hal mengutarakan keinginan-keinginannya yang berhubungan dengan
pekerjaannya di dalam rumah (Henderson dan Cunningham, 1993 dalam Rhoden, 2003).
Lepas dari kedua faktor di atas, peneliti memandang bahwa pembagian tugas
rumah merupakan hal yang esensial dalam kepuasan pernikahan. Hal ini karena tugas
rumah dianggap sebagai hal yang merupakan tanggung jawab dari kedua belah pihak
(Duvall, 1977). Suami biasanya bekerja di luar rumah untuk membiayai ekonomi
keluarga dan istri, yang tidak bekerja, mengurus hal-hal yang menyangkut dengan rumah.
Akan tetapi, jika istri yang tidak bekerja dibebani oleh semua urusan rumah setiap hari,
maka ia pun akan mengalami kelelahan, terutama dalam hal mengurus anak yang berusia
di bawah lima tahun. Kelelahan inilah yang akhirnya menimbulkan persepi ketidakadilan
dalam pernikahan. Ketidakadilan ini lalu akan melahirkan rasa ketidakpuasan terhadap
pernikahannya. Ketidakpuasan inilah yang akhirnya menimbulkan gangguan pada
kesehatan, kurangnya penghargaan terhadap pasangan, dan terganggunya komunikasi
dalam keluarga (Saginak dan Saginak, 2005).
7
Bagi pasangan dual earner, tentunya pembagian tugas rumah yang merata sangat
diperlukan agar masing-masing dapat menyelesaikan tugasnya dengan baik. Jika terdapat
penumpukan pekerjaan rumah pada satu pihak, maka pihak tersebut akan merasa
terbebani baik secara psikologis maupun biologis. Hal ini tentunya berhubungan dengan
kepuasan pernikahan, dimana pihak yang terbebani akan merasa tidak puas dengan
pernikahannya.
Berdasarkan survey awal yang berisikan 10 responden, peneliti melihat bahwa
lebih dari setengahnya mengatakan bahwa mereka sering merasa lelah dan kepuasan
pernikahan tidak seperti di awal pernikahan. Ditambahkan, istri merasa lebih lelah
dibandingkan suami karena lebih sering terbangun di dini hari untuk mengasuh anaknya
yang menangis. Peneliti juga melihat pembagian tugas rumah yang lebih banyak
dialokasikan kepada istri. Akan tetapi, 3 dari 10 responden mengungkapkan bahwa
dengan mempunyai anak mereka merasa lebih puas dengan pernikahannya. Mereka
memang merasa lebih lelah dengan adanya aktifitas baru, namun hal tersebut tidak
mengurangi kepuasan pernikahan mereka.
Dengan adanya hasil yang berbeda-beda dari studi-studi sebelumnya, maka
peneliti tertarik untuk melihat kondisi yang ada di Indonesia. Peneliti tertarik untuk
melihat kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner berusia dewasa awal yang
mempunyai anak di bawah empat tahun. Hal ini sangat menarik banyak perhatian
peneliti, karena melihat kondisi di Indonesia dimana istri harus dapat melakukan banyak
hal di dalam rumah walaupun ia bekerja. Hal ini tentunya memengaruhi kondisi biologis
dan psikologis istri secara langsung.
8
Sehubungan dengan pekerjaan yang lebih sering dibebani pada satu pihak, maka
pihak tersebut dapat merasa kurang puas dengan kondisi pernikahannya. Oleh karena itu,
peneliti berasumsi bahwa pembagian tugas rumah mempunyai hubungan dengan
kepuasan pernikahan, terutama pada pasangan muda dual earner yang juga sudah
mempunyai anak. Kemudian peneliti membandingkan kepuasan pernikahan pasangan
dual earner dengan kepuasan pernikahan pasangan single earner. Hal ini patut
diperhatikan agar dapat melihat apakah pasangan dual earner yang dapat membagi tugas
rumahnya dengan adil dapat merasa puas dengan pernikahannya. Kemudian jika
pasangan dual earner merasa tidak puas dengan pernikahanya, bagaimana dengan
pasangan single earner yang sudah jelas pembagian tugas maritalnya, karena yang satu
bekerja di luar rumah dan satunya lagi bekerja di dalam rumah?
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan dua masalah penelitian:
1. Apakah pembagian tugas rumah mempunyai hubungan dengan kepuasan pernikahan
pada pasangan dual earner yang berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia
1-3 tahun?
2. Bagaimanakah perbandingan kepuasan pernikahan pasangan dual earner dengan
pasangan single earner yang juga berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak
berusia 1-3 tahun?
9
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud
Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan antara pembagian tugas rumah
dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dual earner yang berusia dewasa awal dan
telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun. Lalu penelitian ini juga bermaksud untuk
melihat perbadingan kepuasan pernikahan pasangan dual earner dengan pasangan single
earner yang juga berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun.
1.3.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana derajat hubungan antara
pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan pada pasangan dual earner yang
berusia dewasa awal dan telah mempunyai anak berusia 1-3 tahun. Kemudian penelitian
ini juga bertujuan untuk melihat derajat perbadingan kepuasan pernikahan pasangan dual
earner dengan pasangan single earner yang juga berusia dewasa awal dan telah
mempunyai anak berusia 1-3 tahun.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
1.4.1.1 Penelitian ini berguna untuk memberikan masukan baru bagi perkembangan
psikologi keluarga di Indonesia mengenai pentingnya pembagian tugas rumah dan
faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan pernikahan.
1.4.1.2 Sehubungan dengan budaya yang cukup berbeda antara Indonesia dengan negara-
negara Barat lainnya, maka penelitian ini akan berguna bagi perkembangan
psikologi indigeneous, terutama dalam bidang psikologi keluarga. Penelitian ini
10
dapat berguna untuk mendorong peneliti-peneliti lain untuk meneliti masalah
keluarga di Indonesia dan bagaimana meningkatkan kualitas pernikahan dengan
melihat budaya dan nilai sosial yang ada di Indonesia.
1.4.2. Kegunaan Praktis
1.4.2.1 Penelitian ini berguna untuk memberikan masukan dan informasi baru pada
konselor pernikahan dalam menangani kasus-kasus yang kurang bahagia karena
terbebani oleh tugas-tugas yang melelahkan. Konselor juga dapat menggunakan
penelitian ini untuk memberitahukan kepada pasiennya dampak-dampak yang
dapat terjadi jika salah satu dari pasangan merasa terbebani oleh pembagian tugas
yang berlebihan.
1.4.2.2 Penelitian ini juga berguna bagi seminar dan/atau kursus pernikahan agar dapat
memberitahukan sejak dini mengenai hubungan antara pembagian tugas rumah
dengan kepuasan pernikahan.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pernikahan
Pernikahan mempunyai prosedur yang berbeda-beda dalam setiap budaya, namun
memiliki fungsi fundamental yang sama, yaitu untuk melahirkan generasi baru dalam
sejarah manusia (Gardiner et al., 1998 dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Bagi
kebanyakan masyarakat, pernikahan dianggap sebagai cara terbaik untuk membesarkan
anak. Hal ini dikarenakan adanya pembagian tugas rumah dalam keluarga. Selain itu
pernikahan juga menawarkan intimasi, komitmen antara kedua pasangan, pertemanan
antara kedua pasangan, pemenuhan kebutuhan seksual, dan tempat untuk pertumbuhan
emosi dan identitas (Papalia et al., 2004).
Transisi menuju kehidupan pernikahan menimbulkan perubahan-perubahan besar
dalam sehari-hari, meliputi aktifitas seksual, pengaturan hidup, hak dan tanggung jawab,
dan kesetiaan (Papalia et al., 2004). Pada tahap ini suami dan istri sudah mengerahkan
seluruh atensinya pada hubungan interpersonal dalam pernikahan (Duvall, 1977).
Ditambahkan, pasangan yang baru menikah mempunyai tiga tugas perkembangan:
1. Proses maturasi fisiologi: koordinasi untuk pemenuhan kebutuhan seksual.
2. Ekspektasi dan tekanan dari budaya: bagaimana pasangan tersebut berperilaku
sebagai pasangan yang sudah menikah dengan tetap menghargai nilai-nilai sosial
yang ada dalam suatu komunitas.
12
3. Aspirasi pribadi mengenai pernikahan: bagaimana mereka bekerja sama
menciptakan apa yang mereka impikan sebagai keluarga.
Biasanya pasangan muda akan mengalami kesulitan di tahap awal dimana mereka
mulai menyesuaikan diri dengan apa yang budaya inginkan, apa yang pasangannya
inginkan, dan apa yang mereka inginkan (contohnya, masalah mengenai suami istri yang
bekerja).
2.1.1.1 Tugas Perkembangan
Tugas Perkembangan Suami Baru
Tugas perkembangan utama sang suami adalah ia harus berperilaku sebagai pria
yang telah menikah kepada siapa pun dan dengan siapa pun (Duvall, 1977). Ia diharapkan
mempunyai pekerjaan tetap dan bertanggung jawab atas urusan finansial keluarga. Tidak
ada cara yang baku untuk menjadi suami yang baik, selama apa yang ia lakukan dapat
memuaskan istrinya. Ia pun tidak boleh lupa akan tugasnya dalam komunitas –hal ini
bergantung pada norma yang berlaku.
Tugas Perkembangan Istri Baru
Tugas perkembangan utama istri adalah menjadi wanita dewasa dan istri bagi
suami secara seksual, finansial, dalam komunikasi, dan emosional. Ia juga biasanya
diharapkan melakukan tugas rumah. Walaupun ia bekerja, istri tetap diharapkan untuk
menjaga rumahnya agar tetap bersih dan teratur (Duvall, 1977).
13
Tugas Perkembangan Komplementari dan Conflicting
Tugas perkembangan ini meliputi membagi tanggung jawab dalam hal merawat
rumah. Seorang istri diharapkan dapat menghibur suaminya yang terliha lelah sepulang
dari kerja. Jika pasangan tersebut adalah dual earner, maka diharapkan mereka dapat
membantu satu sama lain dalam hal ekonomi. Istri pun diharapkan tidak mengancam
status suaminya sebagai pencari nafkah. Kemudian kedua belah pihak harus dapat
berkomunikasi satu dengan lainnya secara intim (Duvall, 1977).
Tugas Perkembangan Keluarga dari Pasangan Menikah
Sebuah pasangan harus menjalankan tugas keluarga dasarnya sebagai pasangan
menikah. Beberapa adalah tugas dasar keluarga menurut Duvall (1977):
1. menemukan, merenovasi, dan menjaga rumah pertamanya
2. menetapkan cara-cara yang dapat memuaskan mereka
3. membagi tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh rekannya dan rekannya pun
bersedia melakukannya
4. menetapkan tugas pribadi, emosional, dan seksual secara bersama-sama
5. berinteraksi dengan sepupu ipar, relatif, dan komunitas
6. merencanakan untuk mempunyai anak
7. menjaga motivasi dan moral pasangan
Apa yang diharapkan dari pernikahan kebanyakan bergantung pada status sosial pasangan
tersebut, etnis dan ras, dan latar belakang keluarga.
14
2.1.1.2 Faktor-faktor dalam Kesuksesan atau Kegagalan Pernikahan
Menurut Papalia dan rekan-rekannya (2004), sukses dalam pernikahan sangat erat
hubungannya dengan bagaimana kedua pihak berkomunikasi, membuat keputusan, dan
menangani masalah. Berargumentasi dan secara terbuka mengungkapkan amarah dinilai
lebih bagus dalam pernikahan dibandingkan dengan mengeluh, tertutup, keras kepala,
dan kabur dari masalah (Gottman dan Krokoff, 1989 dalam Papalia et al., 2004).
Banyak kasus kegagalan pernikahan dikarenakan oleh ketidaksamaan persepsi
antara suami dengan istri dalam hal berumah tangga. Suami ingin istrinya dapat
menghibur ketika ia pulang dari kantor dan menyiapkan makanannya. Di sisi lain istri
juga ingin mendapatkan kebebasan untuk bekerja dan mungkin tidak dapat melakukan
beberapa tugas rumah. Hal inilah yang, jika tidak diatasi, dapat membuat pasangan
menjadi kurang komit terhadap pernikahannya (Kirk, Eckstein, Serres, Helms, 2007).
2.1.1.3 Menjadi Orang Tua
Menjadi orang tua dan membangun keluarga termasuk dalam siklus kehidupan
berkeluarga (Santrock, 1997). Memasuki tahap ini membutuhkan komitmen terhadap
waktu sebagai orang tua, pengertian mengenai tugas-tugas orang tua, dan menyesuaikan
dengan perubahan perkembangan anak. Pada tahap ini biasanya pasangan akan
mengalami banyak penyesuaian dan membutuhkan pembagian tugas yang lebih efisien
dari sebelumnya. Menurut Baxter dan Western (1998), salah satu dari pasangan muda
yang dual earner akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dengan kondisi baru.
Mereka yang mengalami kesulitan biasanya disebabkan oleh pekerjaan rumah yang lebih
15
banyak dibebani pada mereka. Akan tetapi, banyak juga salah satu dari pasangan muda
yang juga dual earner merasa baik-baik saja walaupun pekerjaan rumah mereka lebih
banyak dibandingkan pasangannya. Biasanya mereka adalah wanita yang senang dengan
pekerjaan rumah dan menganggap bahwa kebanyakan dari pekerjaan rumah, termasuk
mengurus anak yang baru lahir, adalah bagian dari tanggung jawab sebagai istri.
Tugas Perkembangan Ibu yang Mempunyai Bayi dan Anak yang berusia di bawah 4
tahun
Duvall (1977) telah membuat daftar tugas perkembangan ibu untuk merawat
anaknya:
1. Menyesuaikan konsep akan tugasnya sebagai ibu
2. Menerima dan menyesuaikan dirinya pada tekanan dan keterikatan sebagai ibu
muda
3. Belajar merawat anaknya secara kompeten dan dengan keyakinan
4. Membuat dan menjaga rutinitas yang sehat bagi keluarga
5. Menyediakan kesempatan yang penuh bagi perkembangan anak
6. Berbagi tanggung jawab dalam mengasuh anak dengan suaminya
7. Menjaga hubungan yang memuaskan dengan suaminya
8. Membuat penyesuaian yang memuaskan terhadap kehidupan yang praktis
9. Tetap menjaga otonomi pribadinya
10. Menjelajahi dan mengembangkan pembentukan keluarga
16
Tugas Perkembangan Ayah yang Mempunyai Bayi dan Anak yang berusia di bawah 4
tahun
Duvall (1977) juga telah membuat daftar mengenai tugas perkembangan ayah
dalam merawat anaknya:
1. Menyesuaikan konsep akan tugasnya sebagai ayah
2. Membiarkan tekanan baru sebagai ayah mudah masuk ke dalam dirinya
3. Belajar mengenai bayi dan bagaimana merawatnya
4. Menyesuaikan rutinitas baru yang didesain untuk anggota keluarga baru
5. Mendorong perkembangan anak sepenuhnya
6. Menjaga hubungan yang memuaskan dengan istri
7. Menerima asumsi bahwa ia adalah pencari nafkah terbesar dalam keluarga
8. Menjaga rasa sebagai dirinya
9. Merepresentasikan keluarganya dalam komunitas
10. Menjadi ayah dalam istilah yang sebesar-besarnya
2.1.1.4 Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan dapat dirangkum sebagai persepsi masing-masing pasangan
mengenai seberapa jauh pasangannya memenuhi komitmen pernikahannya dan seberapa
jauh apa yang dilakukan pasangannya memenuhi apa yang diimpikannya (Saginak dan
Saginak, 2005; Baxter dan Western, 1998; Papalia et al., 2004; Kirk et al., 2007).
Kepuasan pernikahan dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi status sosial, kondisi
ekonomi, cara pasangan berkomunikasi, kehidupan seksual, pembagian tugas rumah dan
17
masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, penelitian ini tertarik untuk melihat
kepuasan pernikahan dari sudut pandang pembagian tugas rumah.
Sudah banyak studi mengenai hubungan antara pembagian tugas rumah dengan
kepuasan pernikahan. Banyak yang menunjukkan bahwa pasangan dual earner yang
telah mempunyai anak mengalami rasa kurang puas terhadap pernikahannya, yang
mungkin disebabkan oleh rutinitas baru yang melelahkan (Papalia et al., 2004). Banyak
juga yang mengatakan bahwa istri lebih sering melaporkan rasa kurang puas terhadap
pernikahannya, karena terbebani oleh pekerjaan yang sangat banyak –baik itu di luar
rumah maupun di dalam rumah (Ferree, 1991). Walaupun hasil studi ini masih belum
menunjukkan grup atau subgrup dari wanita yang merasa pekerjaan di luar rumah dan di
dalam rumah adalah beban yang berlebihan.
Kepuasan pernikahan tentunya bukanlah sesuatu yang sifatnya statis. Hal ini
bahkan lebih sering berfluktuasi. Contohnya, menurut Papalia dan rekan-rekannya
(2004), kepuasan pernikahan cenderung menurun pada fase merawat dan membesarkan
anak. Akan tetapi ada juga pernikahan yang bahkan mejadi lebih kuat setelah adanya
bayi.
Bagi kepuasan pernikahan yang menurun, hal ini lebih banyak dialami oleh istri.
Hal ini dimungkinkan bagi istri yang juga bekerja di luar rumah. Mereka tidak hanya
harus bekerja dengan jam kerja yang penuh, tetapi juga ketika kembali ke rumah mereka
harus membersihkan rumah dan mengasuh anak (Saginak dan Saginak, 2005). Perasaan
tertekan pun akan sering bermunculan pada istri yang juga bekerja di luar rumah. Namun
perasaan terbebani ini dapat dikurangi dengan adanya diskusi mengenai evaluasi
18
pembagian tugas rumah dan kesediaan suami untuk membantu istrinya dalam
melaksanakan pekerjaan rumah.
2.1.2 Pembagian Tugas Rumah
Pembagian tugas rumah dapat diartikan sebagai pembagian hak dan tanggung
jawab mengenai pekerjaan yang berurusan dengan rumah yang dapat dilakukan oleh
masing-masing pihak dan pihak tersebut pun bersedia melakukannya, seperti mencuci
baju dan piring, memasak, mengasuh anak, dan memastikan tagihan-tagihan rumah
dibayar tepat pada waktunya (Duvall, 1977; Zimmerman et al., 2003; Papalia et al.,
2004). Banyak studi yang mengatakan pentingnya persepsi keadilan dalam pembagian
tugas rumah, sehingga masing-masing merasa terbantu oleh kehadiran pasangannya
(Saginak dan Saginak, 2005).
Walaupun biasanya istri akan dilimpahkan tugas yang lebih banyak, Perry dan
Maureen (2004) sepakat bahwa suami pun tetap harus membantu apa yang dikerjakan
istrinya. Hal ini yang terkadang dilupakan oleh beberapa keluarga, sehingga istri merasa
suami hanya bertindak sebagai atasan dimana ketika ia sedang melakukan tugas rumah
pasangannya hanya duduk diam. Tugas rumah sangatlah penting untuk dibagikan secara
merata agar masing-masing pihak tidak merasa tertekan dan akhirnya tidak merasa
terbebani oleh pekerjaan-pekerjaan rumahnya.
Menurut Saginak dan Saginak (2005), pasangan yang dapat membagikan tugas
rumah secara adil dapat melalui transisi menuju kondisi menjadi orang tua dengan
sukses. Mereka yang seperti ini mempunyai rasa hormat dan pengakuan bagi
pasangannya, dan merasa didukung dan dihargai oleh pasangannya. Hal inilah yang
19
membuat mereka senang dan merasa tidak terbebani oleh pekerjaan rumah, walaupun dua
duanya bekerja di luar rumah. Sedangkan mereka yang tidak membagi tugas rumah
dengan adil dan tidak mau mengevaluasi pembagian tugasnya ketika mulai menjadi orang
tua, maka mereka akan cenderung untuk sulit menyeimbangkan antara kerja dengan
urusan rumah. Mereka merasa bahwa mereka selalu dikejar oleh pekerjaan-pekerjaan
yang ada di luar dan di dalam rumah. Mereka inilah yang biasanya mempunyai tingkat
stres tinggi dan akhirnya sering menyalahkan satu sama lainnya (Perry dan Maureen,
2004).
Ditambahkan, suami istri yang dapat melaksanakan tugas rumahnya dengan baik
dan tidak merasa terbebani oleh pekerjaan rumah yang terlalu banyak biasanya akan
menjadi orang tua yang aktif dalam mengasuh anak (Saginak dan Saginak, 2005).
Pasangan seperti ini tidak merasa takut akan pekerjaan rumahnya dan lebih fleksibel
dalam hal pengaturan tugas rumah. Istri biasanya juga merasa mendapat dukungan ketika
suami mau ikut andil dalam mengasuh anak (Papalia et al., 2004). Suami yang mau
berkompromi untuk meluangkan waktunya untuk mengasuh anak akan sangat membantu
istrinya berisitirahat. Hal ini kemudian yang tetap menjaga kondisi kesehatan istri tetap
baik, karena ia tidak bekerja terlalu keras. Pembagian tugas rumah tidak hanya sekedar
membagi waktu kerja dengan rata, dan bahkan terkadang bukan itu, yang penting adalah
ketersediaan suami untuk tetap ada dan memberikan masukan atau bantuan kepada
pekerjaan rumah istrinya (Baxter dan Western, 1998).
20
2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Pembagian Tugas Rumah dan akhirnya Memengaruhi
Kepuasan Pernikahan
1. Ideologi Jender
Bagi pasangan yang masih menganut pandangan tradisional, dimana istri harus
dan sepantasnya lebih banyak melakukan pekerjaan rumah, maka istri pun tidak akan
merasa terbebani walaupun ia memiliki pekerjaan rumah yang mungkin tiga kali lipat
lebih banyak dibandingkan suaminya (Saginak dan Saginak, 2005). Istri bahkan merasa
senang dengan mempunyai pekerjaan rumah yang lebih banyak, walaupun ia juga bekerja
di luar rumah, karena ia merasa mempunyai wewenang atas apa yang dapat dilakukan di
dalam rumah. Pengaturan furnitur rumah, contohnya, akan lebih banyak dilakukan oleh
istri (Duvall, 1977; Baxter dan Western, 1998).
Menurut Berg (1985 dalam Baxter dan Western, 1998) dan Komster (1989 dalam
Baxter dan Western, 1998) bahkan istri mendapatkan kesenangan dan rasa kepercayaan
diri melalui pelaksanaan pekerjaan rumah yang memenuhi standar kedua pasangan
tersebut. Mereka tidak hanya senang melakukannya, namun juga sudah membuat
pekerjaan rumah menjadi bagian dari diri mereka sehingga mereka memang harus
melakukannya. Dalam kasus ini, istri tidak akan merasa terbebani walaupun setelah
pulang dari kantor ia harus membersihkan rumah, memasak, dan mengasuh anak.
Sedangkan bagi istri yang menganut kesetaraan jender, maka ia pun akan
mempunyai perasaan yang terbalik dengan istri yang di atas. Ia akan merasa
ketidakadilan dalam pernikahannya, karena ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk
bekerja di luar –untuk membantu ekonomi keluarga- dan di dalam rumah (Ferree, 1991).
21
Kemudian menurut feminis (Thompson dan Walker, 1989 dalam Ferree, 1991) wajar jika
istri mengurangi jumlah pekerjaan rumahnya, karena keterbatasan kemampuan.
Contohnya, bukanlah masalah jika istri tidak memasak karena ia memang tidak bisa
memasak. Pandangan ini mengungkapkan bahwa istri tidak langsung mengurangi jumlah
pekerjaan rumah atau jam kerja di rumah, namun ia hanya mempertimbangkan kembali
kemampuan apa saja yang dimilki untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tertentu.
Oleh karena itu, pekerjaan rumah dibagi sesuai dengan apa yang diungkapkan Duvall
(1977), yaitu berdasarkan kemampuan dan ketersediaan pasangan.
2. Komunikasi Pasangan atau Keluarga
Kebanyakan teoris mendefinisikan komunikasi keluarga sebagai proses kognitif
yang melibatkan simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pembicara dan lawan
bicaranya (Koerner & Fitzpatrick,1993). Simbol-simbol yang digunakan ini tentunya
merupakan hasil kesepakatan bersama sehingga dapat dimengerti oleh kebanyakan orang.
Dalam membahas komunikasi keluarga terdapat dua hal yang tidak terpisahkan, yaitu
intersubjectivity dan interactivity. Intersubjectivity merujuk pada berbagi pikiran dalam
kejadian yang komunikatif. Ada tiga cara intersubjectivity memengaruhi komunikasi:
a. Komunikasi membutuhkan makna yang sama antara pembicara dengan lawan
bicaranya.
b. Komunikasi dapat terjadi dalam konteks hubungan bersama.
c. Komunikasi dapat menghasilkan ide yang sama tentang suatu lingkungan atau apa
yang ada di sekeliling pembicara dan lwan bicara.
Di sisi lain, interactivity merujuk pada seberapa besar interpretasi masing-masing
22
pihak yang sedang berkomunikasi berhubungan. Tentunya hal ini membutuhkan
encoding (mengirim simbol) dari pembicara dan decoding (menginterpretasi simbol) oleh
pendengar (Koerner dan Fitzpatrick,1993).
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (1993), ada dua dimensi yang dapat
membedakan bagaimana sebuah pasangan atau keluarga berkomunikasi. Dua dimensi
tersebut yaitu:
a. Orientasi Percakapan
Hal ini didefinisikan sebagai seberapa besar salah satu pihak dari pasangan
mengajak pihak lainnya untuk berpartisipasi dalam percakapan. Jika suami istri
berada pada tingkat yang tinggi dalam dimensi ini, maka kedua belah pihak sering
berinteraksi dengan satu sama lain secara bebas dan spontan. Pasangan ini
menghabiskan banyak waktu berbagi perasaaan dan pikirannya masing-masing.
Akibatnya kebanyakan aktifitas didiskusikan bersama-sama dan pembagian tugas
rumah cenderung lebih adil. Sebaliknya, jika suami istri berada pada tingkat yang
rendah dalam dimensi ini maka mereka jarang menghabiskan waktu bersama
berbagi perasaan dan pikiran mereka. Akibatnya yang terjadi adalah salah satu
pihak dari pasangan akan lebih sering mendikte apa yang harus dilakukan dan
siapa yang melakukannya di rumah.
b. Orientasi Konformitas
Hal ini didefinisikan sebagai seberapa besar pasangan suami istri membicarakan
sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan mereka. Pasangan yang berada pada tingkat
tinggi dalam dimensi ini sering berinteraksi dalam bentuk konformitas,
menghindari konflik, dan ketergantungan pada masing-masing pihak. Tingkat
23
tinggi dalam dimensi ini biasanya terdapat pada pasangan suami istri yang
mengadopsi ideologi jender tradisional, dimana istri lebih mementingkan
hubungan keluarga dibandingkan negosiasi mengenai hal-hal yang dia inginkan.
2.1.3 Perkembangan Dewasal Awal
Ada tiga dimensi yang dapat dijelaskan dalam tahap perkembangan dewasa awal,
yaitu:
1. Perkembangan Fisik
Ada dua kriteria perkembangan bagi status dewasa awal, yaitu kemandirian
ekonomi dan kebebasan membuat keputusan (Santrock, 1995). Dengan adanya kondisi
fisik yang berada di kondisi puncak, antara usia 18-30 tahun, dewasa awal ternyata
mengembangkan gaya hidup yang tidak sehat. Mereka biasanya makan makanan yang
tidak bergizi atau melakukan diet untuk menjaga tubuh yang ideal -hal inilah yang
mengembangkan pola makan yang tidak sehat.
Melihat perkembangan biologisnya, wanita dewasa awal mulai mengalami siklus
menstrual. Hal ini yang dapat memengaruhi emosinya, sehingga hal ini pun perlu
diperhatikan ketika sedang melakukan tugasnya. Pasangannya harus mengerti apa yang
istrinya alami, sehingga tidak ada perselisihan yang tidak perlu di saat siklus menstrual
terjadi.
2. Perkembangan Kognitif
Perkembangan kognitif yang paling penting adalah berpindahnya tipe pemikiran
dualistik menjadi tipe beragam atau multiple (Perry, 1970, dalam Santrock, 1995).
Mereka dapat mengerti bahwa terkadang pendekatan evaluatif diperlukan untuk
24
menganalisa suatu kejadian, teori, atau pengetahuan. Ditambahkan kemampuan kognitif
dewasa awal sangatlah kuat dan dapat beradaptasi lebih cepat dan efisien (Santrock,
1995). Selain itu, konsep terpenting dalam dewasa awal datang dari Schaie (1977, dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2003) yang mengatakan bahwa terdapat tahapan pencapaian
(achieving stage) pada masa dewasa awal, dimana orang dewasa awal mengaplikasikan
inteligensinya untuk memikirkan konsekuensi-konsekuensi yang berhubungan tujuan
jangka panjang, seperti karir dan bahkan pernikahan atau hubungan dekat dengan lawan
jenis. Lalu ada juga tahapan tanggung jawab (responsibility stage) pada masa ini, dimana
atensi diberikan lebih kepada keluarga, yaitu kebutuhan pasangan dan anak. Dengan
adanya perkembangan kognitif seperti ini, maka pria dan wanita dewasa awal dapat
mengambil keputusan yang sesuai bagi pasangannya untuk mempertahankan kualitas
pernikahan.
3. Perkembangan Emosi
Sehubungan dengan perkembangan sosio-emosi pada masa dewasa awal, kognisi
hubungan (relationship cognition) juga berkembang (Santrock, 1995). Sesuai dengan
Berscheid (1994, dalam Santrock, 1995), konsep ini mengatakan bahwa kognisi berperan
penting dalam memberikan pengertian terhadap hubungan dekat dan kepuasan
pernikahan. Banyak studi yang telah mengungkapkan bahwa atribusi, yang dimediasi
melalui kognisi, yang diberikan kepada pasangannya sangat berhubungan dengan
kepuasan pernikahan. Secara spesifik, pasangan yang kurang bahagia cenderung
mengatribusikan masalah pernikahan dan perilaku negatif pasangannya sebagai
karakteristik yang stabil dari pasangannya, dan pasangannya melakukan kesalahan karena
kesengajaan dan keegoisan.
25
Masih sehubungan dengan kognisi hubungan, terdapat juga perbedaan gender.
Dalam hal ini, wanita lebih akurat dalam mengingat memori hubungan dan lebih aware
tentang pola interaksi mereka dengan pasangannya (Ross & Holmberg, 1990, dalam
Santrock, 1995). Oleh karena itu, perkembangan kogntif dan sosio-emosi sangat berperan
penting untuk menentukan apakah sebuah pasangan muda bahagia dengan keadaan
keluarga mereka atau tidak.
Inteligensi emosi juga merupakan produk dari berkembangnya kognitif dan sosio-
emosi. Dengan memiliki tingkat inteligensi emosi yang tinggi, maka orang dewasa aawal
akan dapat merasakan dan menangani perasaannya dan perasaan orang lain (Papalia,
Olds, & Feldman, 2003). Seperti yang diungkapkan oleh Daniel Goleman (2001), orang
yang memiliki inteligensi emosi yang tinggi akan memiliki tingkat empati yang tinggi
terhadap sesama. Oleh karena itu, tingkat inteligensi emosi yang tepat dibutuhkan dalam
sebuah pernikahan. Hal ini terutama sangat penting ketika kedua pasangan sama-sama
bekerja dan harus mengurus rumah tangganya, termasuk mengasuh anak. Dengan
mengerti perasaan orang lain, maka sebuah pasangan akan dapat lebih sensitif untuk
melakukan tindakan atau membuat suatu keputusan. Contohnya, jika sang suami telah
mengetahui bahwa istrinya selalu pulang di atas jam 7 malam setiap hari Senin, maka
sang suami tidak akan banyak mengeluh untuk menjaga anaknya terlebih dahulu sampai
sang istri tiba di rumah. Hal-hal kecil seperti ini memang sederhana, namun merupakan
faktor penting dalam pembagian tugas mengasuh anak. Jika pembagian tugas
menghasilkan win-win solution maka kedua pasangan pun akan menunjukkan tingkat
kepuasan yang tinggi terhadap pernikahannya (Belsky & Hsieh, 1998).
26
2.2 Kerangka Pemikiran
Hubungan antara Pembagian Tugas Rumah dengan Kepuasan Pernikahan pada Pasangan
Muda Dual Earner
Pasangan muda yang baru memasuki tahap menjadi orang tua cenderung
mengalami kesulitan dalam menangani tugas-tugas rumah yang ada (Duvall, 1977).
Mereka biasanya belum terbiasa dengan kebiasaan bangun di jam 2 atau 3 pagi untuk
mengganti popok atau diaper. Mereka juga harus membiasakan dirinya meluangkan
waktu untuk bermain, mengasuh, dan menjaga anaknya. Dengan adanya anggota
keluarga baru maka aktifitas rumah pun akan berubah. Perubahan dalam tugas-tugas
rumah ini yang biasanya menurunkan kepuasan pernikahan, terutama bagi mereka yang
mempunyai anak di bawah 1 tahun- 3 tahun (Papalia et al., 2004).
Masalah pun cenderung semakin bertambah karena suami dan istri bekerja di luar
rumah. Oleh karena itu, mereka harus dapat berkompromi dalam mengatur tugas
rumahnya masing-masing. Pasangan yang dua-duanya bekerja biasa mengalami
penurunan dalam aktifitas seks, yang kemudian biasanya mulai diasosiasikan dengan
menurunnya kepuasan pernikahan (Santrock, 1995; Papalia et al., 2004).
Penambahan anggota baru berarti penambahan tugas-tugas rumah. Jika pasangan
muda dapat bersedia mengevaluasi pembagian tugas rumahnya, maka transisi akan
berjalan dengan baik (Saginak dan Saginak, 2005). Tidak ada pihak yang merasa tidak
adil karena terbebani oleh pekerjaan yang lebih banyak. Walaupun banyak istri yang
merasa senang dengan mengasuh anak dan melakukan tugas rumah, suami pun juga
diharapkan ada di samping istri untuk memberi masukan dan membantu di kala istri tidak
dapat melakukan tugas rumahnya.
27
Sehubungan dengan kondisi pasangan yang dua-duanya bekerja dan mereka pun
harus membagi waktunya untuk tugas rumah, maka peneliti berasumsi bahwa hal tersebut
mempunyai dampak pada kepuasan pernikahan. Oleh karena itu, pembagian tugas rumah,
termasuk mengasuh anak, mempunyai hubungan langsung dengan kepuasan pernikahan –
apapun ideologi jender yang dianut oleh pasangan tersebut.
Berikut bagan yang menggambarkan kerangka pikir penelitian ini:
Bagan 2.1. Bagan Kerangka Pikir
2.3 Hipotesis
1. Ada hubungan antara pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan pada
pasangan muda dual earner.
2. Pembagian tugas rumah memiliki hubungan negatif dengan kepuasan pernikahan pada
pasangan muda dual earner.
28
Perkembangan Dewasa Awal
Pasangan MudaDual Earner
1. Ideologi Jender 2. Cara pasangan berkomunikasi
Pembagian Tugas Rumah
1.Mengurus rumah2.Mengasuh anak
1.status sosial, 2.kondisi ekonomi, 3.kehidupan seksual
Kepuasan Pernikahan
1.Kesesuai dengan harapan2.Dukungan dari pasangan
3. Terdapat perbedaan antara kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner
dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda single earner, dimana pasangan muda
dual earner memiliki kepuasan pernikahan yang lebih rendah dibandingkan dengan
pasangan muda single earner.
4. Terdapat perbedaan antara kepuasan pernikahan istri pasangan muda dual earner dan
single earner dengan kepuasan pernikahan suami pasangan dual earner dan single
earner, dimana istri memiliki kepuasan pernikahan yang lebih rendah pada pasangan
muda dual earner dan single earner.
5. Dimensi tugas mengasuh anak memiliki hubungan negatif yang lebih kuat dengan
kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas mengurus rumah pada
pasangan dual earner
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan studi perbandingan dimana peneliti melihat hubungan
antara variabel x dengan variabel y. Kemudian penelitian ini juga membandingkan grup 1
dengan grup 2 untuk melihat perbandingan hasil. Kedua grup diberikan kuesioner yang
sama. Berikut adalah rancangan penelitian:
Dual Earner
Korelasi
Single Earner
Bagan 3.1. Bagan Rancangan Penelitian
3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
3.2.1. Variabel Penelitian
a. Variabel Bebas: pembagian tugas rumah didefinisikan sebagai pembagian hak dan
tanggung jawab mengenai pekerjaan yang berurusan dengan rumah yang dapat dilakukan
oleh masing-masing pihak dan pihak tersebut pun bersedia melakukannya, yang terdiri
dari mencuci dan menyetrika baju, mencuci piring, membersihkan rumah, memasak,
30
Pembagian Tugas Rumah
Kepuas an Pernikahan
Dibandingkan
membayar tagihan-tagihan keperluan rumah. Hal ini juga meliputi kegiatan mengasuh
anak seperti, menggantikan baju anak, popok atau diaper, memberi makan pada anak,
bermain dengan anak, dan menghiburnya di saat anak terbangun di malam hari (Duvall,
1977; Zimmerman et al., 2003; Papalia et al., 2004).
b. Variabel Bergantung: kepuasan pernikahan diartikan sebagai persepsi masing-masing
pasangan mengenai seberapa jauh pasangannya memenuhi komitmen pernikahannya dan
seberapa jauh apa yang dilakukan pasangannya memenuhi apa yang diimpikannya
(Saginak dan Saginak, 2005; Baxter dan Western, 1998; Papalia et al., 2004; Kirk et al.,
2007).
3.2.2 Definisi Operasional
a. Pembagian tugas rumah didefinisikan sebagai jumlah aktifitas atau pekerjaan yang
dilakukan oleh suami atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan mengurus rumah
dan mengasuh anak.
a.1. Mengurus rumah didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh suami
atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan membersihkan rumah, mencuci piring,
mencuci dan menyeterika baju, dan membayar tagihan-tagihan rumah.
a.2. Mengasuh anak didefinisikan sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan oleh suami
atau istri di dalam rumah yang berkaitan dengan merawat anak, seperti memberinya
makan, menggantikan diaper, menghiburnya, dan bermain dengannya.
b. Kepuasan pernikahan diartikan sebagai derajat tinggi rendahnya kesesuaian suami atau
istri dengan kegiatan rumah yang dilakukannya dan dukungan yang diterima dari
pasangannya.
31
b.1. Kesesuaian suami atau istri didefinisikan sebagai derajat keadilan dalam pembagian
tugas rumah dan mengasuh anak
b.2. Dukungan dari pasangan didefinisikan sebagai derajat komitmen suami atau istri
dalam membantu pasangannya melakukan pekerjaan mengurus rumah dan mengasuh
anak.
3.3. Populasi dan Karakteristik Sampel
3.3.1. Populasi Sampel
Populasi yang digunakan adalah pasangan yang sudah menikah dan baru
mempunyai bayi.
3.3.2. Karakteristik Sampel:
Sampel pasangan dual earner
a. Subyek adalah pasangan yang sudah menikah maksimal selama 5 tahun dan
selama pernikahan tinggal di kota Bandung
b. Telah memiliki anak berusia 1-3 tahun dengan kondisi mental yang sehat
c. Pasangan suami dan istri berusia 18-30 tahun dan masih tinggal di rumah orang
tua atau mertua, tanpa memiliki pembantu rumah tangga
d. Pasangan menikah untuk pertama kalinya
e. Pasangan sama-sama bekerja di luar rumah
f. Pendapatan kedua pasangan per bulan berkisar antara Rp. 2 juta – Rp. 3.5 juta
Sampel pasangan single earner
a. Salah satu dari pasangan bekerja di luar rumah
32
b. Karakteristik lainnya sesuai dengan karakteristik sampel di atas
3.3.3. Jumlah Sampel
Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 30 pasangan
untuk masing-masing grup. Maka total dari kedua grup adalah 60 pasangan.
3.4. Alat Ukur dan Prosedur Pengambilan Data
3.4.1. Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang dibuat oleh
peneliti berdasarkan teori-teori yang digunakan dalam penelitian. Ada dua kuesioner
yang digunakan, yaitu kuesioner pembagian tugas rumah dan kuesioner kepuasan
pernikahan. Kuesioner ini akan diuraikan pada tabel berikut,
1. Kuesioner Pembagian Tugas Rumah
Tabel 3.1. Kisi-kisi Kuesioner Pembagian Tugas Rumah
No Dimensi Indikator Item (+) Item (-)
1 Mengurus
rumah
a. Mencuci dan menyeterika baju, mencuci piring
b. Membersihkan rumah
c. Memasak
d. Membayar tagihan-tagihan keperluan rumah
1, 8, 11, 23, 29
6, 12, 18, 21, 56,
19, 34, 44, 47
9, 17, 36, 41, 52,
10, 62, 30, 59
5, 32, 43, 54
25, 49, 63, 69
38, 46, 50, 58
2 Mengasuh
anak
a. Menggantikan baju anak dan popok atau diaper
22, 39, 57, 68 20, 35, 40, 53
33
b. Memberi makan pada anak
c. Bermain dengan anak
d. Menghiburnya sebelum dan di saat anak terbangun di malam hari
2, 7, 14, 37, 60
24, 31, 33, 48, 5113, 15, 26, 28, 64
55, 61, 67, 70
4, 16, 42, 45
3, 27, 65, 66
Berikut adalah pilihan jawaban yang diterapkan pada kuesioner pembagian tugas rumah:
Item Positif: Item Negatif:
5 = Selalu Istri 1 = Selalu Istri
4 = Biasanya Istri 2 = Biasanya Istri
3 = Seimbang 3 = Seimbang
2 = Selalu Suami 4 = Selalu Suami
1 = Biasanya Suami 5 = Biasanya Suami
2. Kuesioner Kepuasan Pernikahan
Tabel 3.2. Kisi-kisi Kuesioner Kepuasan Pernikahan
No Dimensi Indikator Item (+) Item (-)
1 Kesesuaian
dengan
harapan
a. Pembagian tugas mengurus rumah
b. Pembagian tugas mengasuh anak
4, 8, 10, 11, 24, 25, 31, 35, 39, 40,
26, 36, 41, 50, 53, 58, 59, 63, 66, 68
1, 6, 14, 17, 42, 57, 62
2, 27, 28, 37, 38, 47, 70
2 Dukungan dari
pasangan
a. Pembagian tugas mengurus rumah
b. Pembagian tugas
3, 22, 23, 49, 52, 54, 60, 64, 65, 67
9, 18, 30, 32, 34, 43, 46,
34
mengasuh anak 5, 7, 12, 13, 29, 33, 48, 51, 55, 61
15, 16, 20, 21, 45, 56, 69
Berikut adalah pilihan jawaban yang diterapkan pada kuesioner kepuasan
pernikahan:
Item Positif: Item Negatif:
5 = Sangat Setuju 1 = Sangat Setuju
4 = Setuju 2 = Setuju
3 = Biasa Saja 3 = Biasa Saja
2 = Tidak Setuju 4 = Tidak Setuju
1 = Sangat Tidak Setuju 5 = Sangat Tidak Setuju
3.4.1.2. Teknik Skoring
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala likert dengan
lima pilihan jawaban. Skala likert biasanya memiliki skala pengukuran interval, yaitu
skala yang tidak memiliki nilai not mutlak, hanya menunjukkan jarak antar masing-
masing pilihan jawaban, dan skala pengukuran yang biasanya digunakan dalam tes sikap
(Riduwan, 2008, dan Kerlinger, 1973). Sehubungan dengan skala pengukuran interval,
maka teknik skoring yang digunakan adalah:
Skor terendah = 1 x 200 (responden) = 200
Skor tertinggi = 5 x 200 (responden) = 1000
Maka jarak interval dari masing-masing kuesioner adalah
0 200 400 600 800 1000
STS/SS TS/BS B/S S/BI SS/SI
35
Dengan jarak interval di atas, maka dapat disimpulkan interpretasi skor responden untuk
masing-masing kuesioner:
a. Kuesioner pembagian tugas rumah
0 – 200 = Istri memiliki tugas yang sangat sedikit
201 – 400 = Istri memiliki tugas yang sedikit
001 – 600 = Suami dan istri memiliki tugas yang seimbang
601 – 800 = Suami memiliki tugas yang sedikit
801 – 1000 = Suami Memiliki tugas yang sangat sedikit
b. Kuesioner kepuasan pernikahan
0 – 200 = Memiliki kepuasan yang sangat sedikit
201 – 400 = Memiliki kepuasan yang sedikit
001 – 600 = Memiliki kepuasan yang cukup
601 – 800 = Memiliki kepuasan yang banyak
801 – 1000 = Memiliki kepuasan yang sangat banyak
3.4.2. Langkah Penelitian
Penelitian ini terbagi ke dalam dua langkah penelitian, dimana langkah pertama
mengkorelasikan variabel pembagian tugas rumah dengan variabel kepuasan pernikahan.
Setelah itu penelitian ini membandingkan hasil korelasi antara kedua variabel tersebut
pada kedua grup sampel. Berikut adalah bagan langkah penelitian:
36
Langkah 1.
Langkah 2.
Bagan 3.2. Bagan Langkah Penelitian
3.4.3. Prosedur Pengambilan Data
Data diambil melalui teknik purposive sampling atau sampling pertimbangan,
dimana peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan
sampel untuk tujuan tertentu (Riduwan, 2008). Setelah mendapatkan dua grup yang
berbeda, barulah dapat dilakukan penyebaran kuesioner ke masing-masing pasangan.
Kuesioner diisi oleh suami dan istri pada waktu yang sama.
3.5. Rancangan Uji Hipotesis
37
Kuesioner Pembagian Tugas Rumah Pasangan muda
dual earner
Total skor pembagian tugas rumah
Total skor kepuasan pernikahan
Kuesioner Kepuasan Pernikahan
Korelasi
Koefisien korelasi antara pembagian tugas rumah dan kepuasan pernikahan
Kuesioner Kepuasan Pernikahan
Pasangan muda single earner
Total skor kepuasan pernikahan
Total skor kepuasan pernikahan
Hasil perbandingan kepuasan pernikahan antara pasangan single earner dan dual earner
Pasangan muda single earner
Dibandingkan
Berikut adalah beberapa hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini:
1. H0: Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pembagian tugas rumah
dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner.
H1: Tidak terdapat hubungan negatif yang signifikan antara pembagian tugas
rumah dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda dual earner.
2. H0: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan pada
pasangan muda dual earner dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda
single earner.
H1: Tidak Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan pada
pasangan muda dual earner dengan kepuasan pernikahan pada pasangan muda
single earner.
3. H0: Dimensi tugas mengasuh anak secara signifikan memiliki hubungan negatif
yang lebih kuat dengan kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas
mengurus rumah.
H1: Dimensi tugas mengasuh anak tidak memiliki hubungan negatif yang lebih
kuat dengan kepuasan pernikahan dibandingkan dengan dimensi tugas mengurus
rumah.
4. H0: Terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan istri
pasangan muda dual earner dan single earner dengan kepuasan pernikahan suami
pasangan dual earner dan single earner.
5. H1: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kepuasan pernikahan istri
pasangan muda dual earner dan single earner dengan kepuasan pernikahan suami
pasangan dual earner dan single earner.
38
3.6. Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan adalah uji korelasi Pearson untuk melihat adanya
hubungan antara pembagian tugas rumah dengan kepuasan pernikahan. Kemudian uji
statistik t-test juga dilakukan untuk membandingkan kepuasan pernikahan pada kedua
grup. Lalu dilakukan juga tabulasi silang pada grup dual earner untuk melihat pihak
mana yang merasakan pekerjaan rumah terlalu banyak. Terakhir dilakukan uji korelasi
parsial untuk melihat dimensi mana dari variabel pembagian tugas rumah yang sangat
erat hubungannya dengan kepuasan pernikahan.
3.6. Uji Validitas
Peneliti melakukan beberapa uji validitas terhadap kedua kuesioner penelitian.
Pertama, peneliti melakukan validitas konstruk bersama ahli untuk meyakinkan bahwa
setiap item yang ada dalam kuesioner memang sesuai dengan teori yang digunakan.
Kemudian peneliti melakukan uji validitas tatap muka bersama ahli untuk melihat secara
kasat mata apakah setiap itemnya sesuai dengan apa yang ingin diukur.
Uji validitas yang terakhir adalah inter-item correlation. Pengujian ini mengukur
secara statistik apakah kuesioner yang digunakan memang benar-benar mengukur apa
yang ingin diukur (Guilford, 1956). Peneliti melakukan uji validitas ini dengan cara
mengkorelasikan dimensi tugas mengasuh anak dengan dimensi tugas rumah. Kemudian
total dari setiap item kuesioner pun dikorelasikan dengan hasil total item kuesioner.
Berikut adalah rumus yang digunakan untuk menafsirkan koefisien korelasi
(Guilford, 1956):
39
r hitung = n (∑XY) – (∑X) (∑Y)
√[n.∑X2 – (∑X) 2] x [n.∑Y2 – (∑Y) 2]
r hitung = koefisien korelasi
∑Xi = jumlah skor item
∑Yi = jumlah skor total (seluruh item)
n = jumlah responden
Kemudian validitasnya dihitung dengan uji-t dengan rumus:
t hitung = r √n-2
√1-r 2
Untuk α = 0,05 dan derajat kebebasan (n-2) maka jika t hitung > t tabel hasilnya adalah
valid, sedangkah jika t hitung < t tabel hasilnya adalah tidak valid. Ketika didapatkan
hasil yang valid, baru dapat dilihat seberapa besar indeks korelasinya dengan
menggunakan kriteria Guilford (1956):
0,00 – 0,19 : korelasi sangat rendah (tidak valid)
0,20 – 0,39 : korelasi rendah
0,40 – 0,69 : korelasi sedang
0,70 – 0,89 : korelasi tinggi
0,90 – 1,00 : korelasi sangat tinggi
3.7. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana tingkat kepercayaan
atau hasil suatu pengukuran dengan menggunakan korefisien reliabilitas Alpha Cronbach.
40
Tolak ukur untuk menafsirkan tinggi derajat reliabilitas alat ukur juga berdasarkan tolak
ukur dari Cronbach, yaitu jika rc 0,5, berarti alat ukur tersebut reliable.
Langkah-langkah dalam menghitung derajat reliabilitas adalah sebagai berikut:
1. Tentukan banyaknya item yang akan dianalisis
2. Setelah diperoleh skor untuk masing-masing respon dan mencari item ambang,
jumlahkan total skor dari seluruh item yang ada
3. Hitung varians untuk masing-masing item
4. Hitung varians untuk skor keseluruhan
5. Tentukan nilai derajat reliabilitas “Alpha cronbach”
Keterangan:
= Derajat reliabilitas “Alpha Cronbach”
S2 = Varians skor keseluruhan
S12 = Varians item ke-1
N = Banyaknya item
Semakin besar nilai koefisien alpha (mendekati 1), maka antar pernyataan dalam
setiap item mempunyai hubungan baik. Kriteria yang digunakan untuk menentukan
reliabilitas alat ukur adalah kriteria Guilford (1956),yaitu:
0,00 – 0,19 : reliabilitas sangat rendah
0,20 – 0,39 : reliabilitas rendah
41
0,40 – 0,69 : reliabilitas sedang
0,70 – 0,89 : reliabilitas tinggi
0,90 – 1,00 : reliabilitas sangat tinggi
.
42