riba dalam islam (fikih muamalat)

14
Riba AnggiGusela (TH 4) Ilustrasi Hakmilikatashartadenganakad-akadpertukaran di antarasesamaadalahsalahsatuhal yang sangatpenting. Sejakdahulumanusiasudahmelakukantukarmenukarharta yang disebutdengan barter. Kemudianmanusiamenemukanalattukar yang lebihfleksibelhingga barter tidaklagidilakukan. Makalahirlahberbagaimacamakadharta, sepertijualbeli, sewamenyewa, pinjammeminjam, upahatasjasa, pemodalanusahasertabagihasilnya, dan lain sebagainya. Namun, di sampingberbagaimacamakadhartatersebut, adasatufenomena yang senantiasaterjadi di setiapmasa, yakni yang secarakhususdikenaldengansebutanribadalam agama Islam.Fenomenaribainisenantiasajaditopikhangatdalamperekon omianumat Islam. Ribabahkanterjadipadasemua agama samawitermasuk orang-orang Yahudi yang menyamakanantararibadanjualbeli, duahal yang sebenarnyasangatberbeda. 1 Larangan riba sebenarnya sudah jelas dalam al-Quran dan as-Sunnah, cukup banyak yang mengutarakan dan mencelanya, sehingga pada prinsipnya keharaman riba itu disepakati. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak peradaban barat. Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan bagian dari peradaban ekonomi mereka. Maka konsep riba yang dianggap final status hukumnya mulai ditinjau kembali oleh para tokoh pembaharu Islam. Kehadirin institusi perbankan dalam Islam, sebenarnya bukanlah hal asing karena sudah dikenal sejak zaman pertengahan dulu. Namun ketika dikaitkan denga sistem perbankan modern saat ini, maka kegiatan perbankan jadi soal baru dalam dunia keislaman. Karena itu, jika ditinjau dalam hukum Islam, ini menjadi masalah “ijtihadiyyah”. Sebagai masalah “ijtihadiyyah”, perbedaan pendapat tak kan pernah terlepas daripadanya. 1 QS. Al-Baqarah: 275. 1 | Fikih Muamalah

Upload: mrdia

Post on 30-Dec-2015

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

Riba

AnggiGusela (TH 4)

Ilustrasi

Hakmilikatashartadenganakad-akadpertukaran di antarasesamaadalahsalahsatuhal yang sangatpenting. Sejakdahulumanusiasudahmelakukantukarmenukarharta yang disebutdengan barter. Kemudianmanusiamenemukanalattukar yang lebihfleksibelhingga barter tidaklagidilakukan. Makalahirlahberbagaimacamakadharta, sepertijualbeli, sewamenyewa, pinjammeminjam, upahatasjasa, pemodalanusahasertabagihasilnya, dan lain sebagainya.

Namun, di sampingberbagaimacamakadhartatersebut, adasatufenomena yang senantiasaterjadi di setiapmasa, yakni yang secarakhususdikenaldengansebutanribadalam agama Islam.Fenomenaribainisenantiasajaditopikhangatdalamperekonomianumat Islam. Ribabahkanterjadipadasemua agama samawitermasuk orang-orang Yahudi yang menyamakanantararibadanjualbeli, duahal yang sebenarnyasangatberbeda.1

Larangan riba sebenarnya sudah jelas dalam al-Quran dan as-Sunnah, cukup banyak yang mengutarakan dan mencelanya, sehingga pada prinsipnya keharaman riba itu disepakati. Akan tetapi dalam perkembangan zaman, umat Islam mulai dihadapkan dengan kontak peradaban barat. Perbankan yang mensyaratkan adanya bunga merupakan bagian dari peradaban ekonomi mereka. Maka konsep riba yang dianggap final status hukumnya mulai ditinjau kembali oleh para tokoh pembaharu Islam.

Kehadirin institusi perbankan dalam Islam, sebenarnya bukanlah hal asing karena sudah dikenal sejak zaman pertengahan dulu. Namun ketika dikaitkan denga sistem perbankan modern saat ini, maka kegiatan perbankan jadi soal baru dalam dunia keislaman. Karena itu, jika ditinjau dalam hukum Islam, ini menjadi masalah “ijtihadiyyah”. Sebagai masalah “ijtihadiyyah”, perbedaan pendapat tak kan pernah terlepas daripadanya.

Sekelumit PengertianRiba

RibadalamKamusBahasa Indonesiamempunyaitidakkurangdaritigamakna, yaitupelepasuang, lintahdarat, danbungauang; rente.2Sedangkanjikadirujukdalambahasaasalnya;bahasaumat Islam yaknibahasa Arab, makariba(ربا) terambil dari akar kata يربو- atau (زيادة)artinyatambahanرباberkembang. Sebagaimanadisebutdalamayat-ayat berikut:

1 QS. Al-Baqarah: 275.2Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, hal. 1208.

1 | F i k i h M u a m a l a h

Page 2: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

...

…Dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah).)QS. al-Hajj: 5(

Maka (masing-masing) mereka mendurhakai Rasul Tuhan mereka, lalu Allah menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat keras. (QS. al-Haaqqah: 10)

Arti kata riba dalam ayat pertama yakni QS. al-Hajj: 5 adalah bertambahnya kesuburan atas tanah,3 sedang di ayat yang kedua yakni QS. al-Haaqqah: 10 maknanya adalah bertambah kerasnya siksaan.4

Menurut Abdullah al-Bassam riba adalah tambahan dalam sesuatu yang khusus yakni syariat.5 Sejalan pula dengan ar-Raghib al-Asfahani yang menakrifkan riba dengan tambahan terhadap pokok harta yang khusus dalam masalah syara’.6Dan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah menambahkan bahwa riba adalah tambahan dalam pokok harta, baik sedikit ataupun banyak.7

Pembahasan KeharamanRiba

Riba dimuthlakkan kepada seluruh jual beli yang haram. Bahkan secara global umat telah ijma’ (sepakat) akan keharamannya, dan hanya sedikit saja berselisih pendapat; yakni dalam perincian-perincian riba, hadis-hadis tentang larangannya, dan tercelanya orang yang berbuat riba.8 Berikut ini dalil-dalil yang menjadi dasar pengharaman terhadap riba.1. Dalil al-Quran

Ahmad Sarwat dalam bukunya “Fiqh al-Hayat”--mengutip penjelasan Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munir—memaparkan bahwa riba diharamkan dalam al-Quran dengan empat tahapan.9 Empat tehapan tersebut adalah sebagai berikut:

3Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan pertama, jld. 2, hal. 283.4Ibid, jld. 3, hal. 4355Abdullah bin Abdur Rahman al-Bassam, Taudih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Kairo, Darul Atsar, , Cetakan pertama, jld. 3, hal. 229. LihatjugaSyaikhAbiAbdillahAbdus Salam ‘AllusydalamIbanah al-Ahkam: SyarhBulugh al-Maram, jld. 3, hal. 73.6Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an, Beirut, Dar al-Ma’rifah, cetakan pertama, hal. 193.7Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah , Jakarta, Cakrawala Publishing, jld. 5, hal. 223. Alih bahasa oleh: Abdurrahim dan Masrukhin.8Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subul as-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, Beirut, Dar al-Fikr, jld 3, hal. 65. Lihat juga Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, jld. 5, hal. 3699.9Ahmad Sarwat, Fikhul Hayat, Jakarta, DU Publishing, hal. 40.

2 | F i k i h M u a m a l a h

Page 3: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

a) Tahap Pertama

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).(QS. ar-Ruum: 39)

Ayat ini turun di Mekkah. Menjadi awal mula diharamkannya riba dengan urgensi untuk menjauhi riba.b) Tahap Kedua

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan Karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(QS. an-Nisa: 160-161)

Ayat ini turun di Madinah dan menceritakan tentang prilaku Yahudi yang memakan riba dan dihukum Allah. Ayat ini merupakan peringatan bagi pelaku riba.c) Tahap Ketiga

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Alu Imran: 130).

Pada tahap ini al-Quran mengharamkan jenis riba yang bersifat fahisy, yaitu riba jahiliyyah yang bersifat lipat ganda.

d) Tahap Kempat

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Qs. al-baqarah: 278-279).

Pada tahap ini al-Quran telah mengharamkan seluruh jenis riba dengan segala macamnya. Alif Lam pada kata mempunyaiالربا fungsi lil jins, maksudnya diharamkan semua jenis dan macam riba, dan bukan hanya pada riba jahiliyyah

3 | F i k i h M u a m a l a h

Page 4: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

saja atau riba nasi’ah. Hal yang sama pada alif lam dalam kata yang berartiالبيع semua jenis jual beli.

2. Dalil as-Sunnah.Riba diharamkan pada tahun 8 atau 9 Hijrah.10 Dalil sunnahnya sebagai

berikut:

اجتنبوا السبع الموبقات ...وأكل الربا. متفق.عليه

Dari Abi Hurairah dia berjata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: jauhilah oleh kalian tujuh hal yang mencelakakan (diantaranya).... memakan riba (HR. Muttafaq Alaih).

لعن رسول الله ص اكل الربا و موكله وكاتبهوشاهديه و قال هم سواء

Dari Jabir di berkata: Rasulullah Saw melaknat pemakan riba, yang memberi, yang mencatat, dan dua saksinya. Beliau bersabda: mereka semua sama. (HR.Muslimdan Bukhari sepertinya dari hadis Abi Juhaifah).

3. Dalil Ijma’.Umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa riba hukumnya haram. Al-Mawardi

berkata: “sehingga dikatakan bahwa riba tidak halal dalam urusan syariat saja.”Ijma ini berdasarkan firman Allah Swt. dalam QS. an-Nisa: 161.

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.11

Riba yang diharamkan dalam Islam ada dua macam, yaitu:Pertama, riba nasi’ah; riba ini merupakan satu-satunya riba yang dikenal oleh

orang Arab jahiliah, yaitu riba yang diambil karena pengakhiran atau penangguhan pelunasan hutang sampai waktu yang baru.12

Kedua, riba fadhl; yakni jual beli pada enam macam benda yang jadi pokok kebutuhan hidup; yaitu emas, perak, gandum, beras, garam dan kurma. Lain halnya dengan yang pertama, yang haramnya adalah dengan dalil-dalil al-Quran dan as-Sunnah secara langsung. Riba ini diharamkan dengan sadzu dzariah, karena mencegah agar tidak menjerumuskan kita kepada riba nasi’ah.

Pembagian Riba Kepada Beberapa JenisJumhur ulama fuqaha membagi riba jual beli kepada dua macam, yakni riba

nasi’ah dan riba fadhl, seperti yang tersebut di atas.13Sedangkan para ulama syafi’iyyah membaginya kepada tiga macam; yakni riba nasi’ah, riba fadhl, dan ditambah riba al-yad, yaitu riba jual beli dengan mengakhirkan atau menyempurnakan ganti dengan barang yang berbeda jenis, seperti membayar gandum dengan beras,

10Wahbah Zuhaili, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, cetakan ke-8, tahun 2005, jld. 5, hal. 3698.11Ibid, hal. 3699.12Ibid.13Ibid, hal. 3700.

4 | F i k i h M u a m a l a h

Page 5: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

yang sebelumnya tidak ada dalam akad. Riba ini sebenarnya termasuk kepada riba nasi’ah jika memakai ta’rif hanafiyyah.14

Hikmah Pengharaman Riba

Para ulama sudah banyak mengungkapkan dalam tulisan-tulisan mereka mengenai manfaat dan faidah-faidah yang melimpah dari diharamkannya riba. Berikut saya paparkan di antaranya secara singkat:

1. Karena riba dapat menjerumuskan seorang kepada permusuhan dan menjauhkan dari tolong menolong, maka dengan diharamkannya akan menjauhkan setiap orang dari sifat-sifat tercela tersebut.

2. Riba itu mengakibatkan timbulnya kelas-kelas tersendiri bagi orang kaya yang enggan bekerja. Maka Islam mengharamkannya agar orang-orang semangat berkreasi, memompa sepirit untuk mendapatkan penghasilan dengan jalan terbaik, yakni dengan bekerja.

3. Menghindarkan setiap orang dari sikap imperialisme dan penindasan-penindasan terhadap kaum yang lemah.15

4. Menunaikan kelembutan dan kasih sayang terhadap sesama manusia.5. Membelenggu kekuatan si kuat terhadap si lemah6. Menghapus kemadaratan yang besar bagi manusia16

Pandangan-pandangan Sekitar Riba

Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah riba, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama.

Dalam tahap prakteknya, sejak zaman sahabat sudah muncul perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.Beliauberkata:"Sesungguhnyatermasukdalambagianakhir Al-Quran yang turun, adalahayat-ayatriba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu." Berikut paparan sinngkat mengenai perbedaan-perbedaan pendapat sekitar riba.17

Perbedaan pandangan ini secara global terjadi ketika memahami kalimat “” dalam QS. Alu Imran: 130. Ada yang mengatakan bahwa pada semua ayat tentang riba, tidak ada satupun ayat yang menerangkan batasan-batasannya, sedangkan kalimat “ad’afan mudha’afah” ayang artinya berlipat ganda sendiri hanyalah menunjukan kejelekan riba atau menunjukan satu daripada sifat riba

14Ibid, hal. 3704.15Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah , Jakarta, Cakrawala Publishing, jld. 5, hal. 227. Alih bahasa oleh: Abdurrahim dan Masrukhin.16Wabah Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, hal. 3713.17M. Quraish Shihab, Riba Dalam al-Quran, hal. 1 (makalah).

5 | F i k i h M u a m a l a h

Page 6: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

yang haram, sehingga seluruh riba; baik berlipat ganda ataupun tidak; tanpa terkecuali hukumnya adalah haram.

Pandangan yang sedikit berbeda ditunjukan oleh salah satu ulama kenamaan Indonesia, seorang yang dikenal sebagai tokoh pembaharuan Islam di Indonesia; yakni A. Hassan. Dalam tulisannya, ketika mengupas mengenai riba A. Hassan mengungkapkan bahwa seluruh ayat dan hadis yang berbicara tentang riba dalam ilmu ushul fikih dinamakan Muthlaq atau umum karena tidak mengikat dan tidak pula memberi batasan keharaman riba kecuali satu ayat; yaitu QS. Alu Imran: 130. Dalam pandangan A. Hassan, ayat ini bersifat muqayyad; ,mengikat. Sehingga seluruh keterangan tentang riba yang muthlak menurut kaidah ushul fikih harus ditarik kepada yang muqoyyad, jadi yang dipakai sandaran hukum adalah keterangan yang muqayyad.18

Kemudian A. Hassan memberikan contoh, “seorang dokter berkata kepada pasiennya: “Dengan penyakit anda sekarang ini, anda tidak boleh makan nasi”. Lantas ketika menjelang pulang sang dokter berkata kembali, “Ingat! jangan makan pedas, asam, dan jangan makan nasi terlalu banyak!”.” Nah, perkataan dokter yang kedua ini, “Jangan makan nasi terlalu banyak”, tentunya menunjukan bahwa jika makan nasi sedikit berarti boleh. Perkataan yang pertama “Jangan makan nasi” ditarik kepada perkataan yang kedua, “jangan makan nasi terlalu banyak”. Demikian kaidah dalam ilmu ushul fikih, sehingga mengenai riba pun, keterangan yang dipaakai adalah yang muqayyad; yakni QS. Alu Imran: 130. Kesimpulannya menurut A. Hassan riba yang “ad’afan mudha’afah” atau berllipat ganda itu haram, sedangkan yang sebaliknya; yang tidak berlipat ganda dan yang tidak membawa kepada berlipat gandaitu tidak haram.19

“Al-Quran dan hadis tidak menerangkan batasan mengenai riba itu, bukanlah karena lupa atau tidak sempat, bahkan justru sengaja dibiarkan. Lantaran memberikan kelonggaran kepada kita untuk mengatur keduniaan, menurut zaman, tempat, dan keadaan. Kita percaya dan mengakui Allah telah mengharamkan riba, dan kita percaya pula bahwa yang sudah tentu haramnya adalah yang berlipat ganda, adapun riba yang sedikit dan tidak membawa kepada berganda-ganda, sedang kita bicarakan.”Demikian lanjut A. Hassan.20

Selanjutnya, sebelum memaparkan sifat-sifat riba yang haram dan tidak haram, lebih dahulu A. Hassan memberikan 2 poin pendahuluan. Pertama, Oleh sebab orang-orang di zaman Nabi Saw. kebanyakannya sudah mengalami zaman jahiliyyah, maka mereka sudah mengalami pula kejelekan dan bahaya riba, sehingga turun ayat yang mengharamkan riba. Setelah itu riba ditinggalkan sama sekali, sedang orang yang tukang riba dalam Islam, dalam sejarah tidak terlihat kecuali satu dua orang saja. Itupun sesudah mereka masuk Islam,, dengan kesucian hati mereka, mereka tinggalkan ynag dipandang jelek oleh pikiran yang sehat. Namun, dengan sebab riba yang berlipat ganda maupun yang tidak itu ditinggalkan sama sekali, ini tidak menunjukan bahwa riba yang sedikit juga haram.Kedua, ada keterangan Umar berkhutbah sewafatnya Rasulullah Saw.; beliau belum menerangkan tentang riba.21

18A. Hassan, Kumpulan Risalah, Bangil, Pustaka Elbina, Cetakan pertama, thn. 2005, hal. 252.19Ibid, hal. 253-253.20Ibid. Hal. 253.21Ibid. Hal. 253-254.

6 | F i k i h M u a m a l a h

Page 7: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

Setelah itu, barulah A. Hassan memaparkan sifat-sifat ribayang haram,

1. Adanya paksaan. Orang yang berhutang dipaksa membayar, jika tidak bisa maka hutangnya ditanbah, umpama hutang 100 ribi jadi 150 atau 200 ribu dan seterusnya.

2. Dlarar, yakni kesusahan dan kepayahan. Umpama, yang berhutang tidak dapat untung dari usahanya, ia tidak dapat membayar hutangnya karena riba tersebut.

3. Berlipat ganda, yakni riba jahiliyyah yang sudah dijelaskan oleh banyak mufassir. 22

Lebih jauh, sebaliknya dijelaskan pula sifat-sifat riba yang tidak haram.

1. Tidak berlipat ganda.2. Tidak mendorong kepada yang berlipat ganda3. Tidak mahal, yaiut sekiranya orang yang berhutang dapat berusaha mengganti

modalnya dan membayar hutang bersama ribanya tanpa mengalami kerugian.4. Pinjaman itu hendaklah untuk usaha, berdagang, bertani, dan sebagainya. Jika

hutang atau pinjaman bukan untuk usaha yang mendatangkan hasil, maka tentu akan mendatangkan kerugian, walaupun ribanya murah.23

Diakhir penjelasannya, A. Hassan menegaskan bahwa kasarnya hukum agama itu terbagi kepada tiga. Pertama, yang berkaitan dengan i’tiqad (aqidah); dalam hal ini wajib mempercayai semua yang diwajibkan agama. Kedua, yang berhubungan dengan ibadah; yang wajib maka wajib dilaksanakan, yang sunnat maka sunnat dilaksanakan, yang kufur haram dikerjakan, dan semua yang dianggap ibadah padahal tidak ada keterangannya dari agama, maka itu bid’ah, dan yang bid’ah itu sesat. Ketiga, yang berkaitan dengan keduniaan; tidak ada yang maksuh atau haram kecuali yang diharamkan dan dimakruhkan oleh agama; tidak ada yang wajib atau sunnat kecuali yang diwajibkan atau disunanatkan oleh agama; selain dari iru kita bebas melakukannya, asal tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain.24

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh A. Hassan ini mendorongnya pada kesimpulan bahwa tidak semua tambahan atau riba itu haram. Termasuk juga bunga Bank; boleh-boleh saja asal memenuhi kriteria atau sifat-sifat yang sudah dirumuskan, yakni tidak ada paksaan hingga jadi mendzalimi, tidak ada dlarar hingga mendzalimi, dan tidak berlipat ganda hingga mendzalimi.25

Di Indonesia, tampaknya bukan hanya A. Hassan yang berkesimpulan demikian. Tercatat ulam sekelas M. Quraish Shihab pun tampaknya senada dengannya. Dalam sebuah makalah, dengan gaya berbeda namun jalan pikiran yang hampir sama, ia berkesimpulan tidak jauh dengan kesimpulan A. Hassan.

22Ibid. Hal. 254-255.23Ibid. Hal. 255-256.24Ibid. Hal. 256. 25Ibid. 258-259. Lihat juga Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, jld 1-2, Bandung , CV. Diponegoro, Cet. 15, thn. 2007, hal. 678. Dalam buku tersebut, ketika ditanya mengenai bunga Bank dengan tidak ada ‘aqad atau perjanjian, dengan tegas A. Hassan menjawab “Boleh diambil”.

7 | F i k i h M u a m a l a h

Page 8: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

Mengawali analisanya tentang “Riba dalam al-Quran”, M. Quraish Shihab terlebih dahulu memaparkan secara ringkas kesejarah riba pada masa jahiliyyah, mirip dengan dua pendahuluan yang juga dipaparkan oleh A. Hassan. Kendati ia pun mengutip penjelasan al-Maraghi dan Al-Shabuni bahwatahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentangriba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahappertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39),kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnyapada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Alu 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya(Al-Baqarah: 278).

Namun, ia menjelaskan bahwa dua mufassir tersebut tidakmengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwamustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih,dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatismenjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahuluiseluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangantersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama danterakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukantahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan.

Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga.

Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah “wa dzaru ma bagiya min alriba”. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba “adh'afan mudha'afah” ataukah tidak?. Demikian tulis M. Quraish Shihab.26

Hingga akhirnya, di memberikan kesimpulan bahwa yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang.

Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnyadengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukanbahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang,kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketikaitudicarikanunta yang sesuaiumurnyadenganunta yang dipinjamnyaitutetapiNabitidakmendapatkankecuali yang lebihtua. Makabeliaumemerintahkanuntukmemberikanuntatersebutkepada orang yang meminjamkannyakepadanya, sambilbersabda, "Innakhayrakumahsanukumqadha'an" (Sebaik-baikkamuadalah yang sebaik-baiknyamembayarutang).

Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Danketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di ataskemudiandiriwayatkanolehBukharidan Muslim.26M. Quraish Shihab, Riba Dalam al-Quran, hal. 6 (makalah).

8 | F i k i h M u a m a l a h

Page 9: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atanfahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalahharam). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapatdipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.

Lalu sebagai penutup, ia mengutip perkataan Rasyid Ridla dalam tafsir al-Manar, bahwa, “Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usahatersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagipemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa(sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecualipenganiayaan dan kelobaan. Dengandemikian, tidakmungkinketetapanhukumnyamenjadisamadalampandangankeadilanTuhandantidak pula kemudiandalampandanganseorang yang berakalatauberlakuadil."27

Secarik Kesimpulan

Dengan ulasan yang cukup panjang lebar dalam makalah sederhana ini, dan juga alasan-alasan atau argumen-argumen yang penulis kutip dari tulisan-tulisan para pakar, maka penulis menarik kesimpulan bahwa memang tidak semua riba atau tambahan itu haram. Al-Quran dan hadis pun secara jelas tidak memberikan batasan, dan karena dalilnya umum, maka tentu tidak bisa kita batas-batasi kecuali dengan keterangan atau riwayat yang kuat.

Seandainya tidak menimbulkan penindasan dan penganiayaan, dan juga tidak menghilangkan i’llat dari hikmah pengharamannya, maka selama itu tidak jadi masalah untuk dilakukan, Apalagi jika hal ini justru mendatangkan manfaat yang besar.

Demikian kesimpulan sementara penulis, dengan sesadar-sadarnya akan segala keterbatasan dan kekeurangan, penulis mohon maaf sebesar-besarnya.

Wallahu a’lam.

Daftar PustakaZuhailiWahbah, Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, Damaskus, Dar al-Fikr, tahun 2005,

jld. 5.HassanA., Kumpulan Risalah, Bangil, Pustaka Elbina, thn. 2005.Quraish ShihabM., Riba Dalam al-Quran(makalah).Ahmad Sarwat, Fikhul Hayat, Jakarta, DU Publishing.Hassan A.,Soal Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, jld 1-2, Bandung , CV.

Diponegoro.SabiqSayyid, Fikih Sunnah , Jakarta, Cakrawala Publishing, jld. 5.al-AsfahaniAr-Raghib, al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an, Beirut, Dar al-Ma’rifah.ash-ShabuniMuhammad ‘Ali, Shafwah at-Tafaasir, Beirut, Dar al-Fikr, cetakan

pertama, jld. 2.27Ibid. Hal. 9.

9 | F i k i h M u a m a l a h

Page 10: Riba Dalam Islam (Fikih Muamalat)

ash-Shan’aniMuhammad bin Ismail, Subul as-Salam: Syarh Bulugh al-Maram, Beirut, Dar al-Fikr.

Abdus Salam ‘AllusyAbiAbdillah,Ibanah al-Ahkam: SyarhBulugh al-Maram, jld. 3.al-BassamAbdullah bin Abdur Rahman, Taudih al-Ahkam min Bulugh al-Maram,

Kairo, Darul Atsar.Kamus Pusat BahasaTim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia.

10 | F i k i h M u a m a l a h