rifqi zabadi asshegaf.pdf
TRANSCRIPT
DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK JAWARA
(STUDI TENTANG PERAN JAWARA DALAM PEMENANGAN H.
MULYADI JAYABAYA DAN H. AMIR HAMZAH
PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Politik
Oleh:
Rifqi Zabadi Asshegaf
NIM: 106033201193
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1434 H/2013 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilakupolitik Jawara (Studi
Tentang Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir
Hamzah Pada Pilkada kabupaten Lebak Tahun 2008) telah diujikan dalam sidang
munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar
Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Politik
Jakarta, 20 Desember 2013
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota
Ali Munhanif, Ph.D
NIP: 19651212 199203 1 004
Sekretaris Merangkap Anggota
M. Zaki Mubarak, M.Si
NIP: 19730927 200501 1 008
Anggota
Penguji I
Dr. Nawiruddin, M.A
NIP: 19720105 2001121 003
Penguji II
Ahmad Bakir Ihsan, M.Si
NIP: 197204122003121002
Pembimbing
Dra. Armein Daulay, M.Si
NIP: 130892961
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 20 Desember 2013
Rifqi Zabadi Asshegaf
i
ABSTRAKSI
RIFQI ZABADI ASSHEGAF
Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara
(Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenanangan H. Mulyadi Jayabaya
Pada Pilkada Kabupaten Lebak 2008)
Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak
sosiologis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten.
Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial
masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki
sosial masyarakat Banten hingga saat ini. Jawara merupakan kelompok yang khas
yang hanya dikenal di wilayah Banten. Sosok jawara merupakan sosok yang
begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten, bahkan jawara melampaui
ranah kultur hingga merambah kedalam ranah politik yang sangat kentara sampai
sekarang.
Jawara sebagai elit tradisional masyarakat menempatkannya sebagai
partisipan politik daerah yang berperan besar dalam pilkada Kabupaten Lebak
tahun 2008. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati, jawara
dinilai mempunyai peran yang besar bagi kesuksesan dalam pemenangan
pasangan calon bupati dan wakil bupati. Dalam pilkada Kabupaten Lebak,
keduduklan jawara adalah sebagai tim sukses pendukung pasangan H. Mulyadi
Jayabaya dan H. Amir Hamzah (MULYA) yang berperan dalam mendukung dan
mensukseskan calon pasangan tersebut.
Kedigjayaan jawara sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat
merupakan sebuah modal jawara dalam mensukseskan pasangan calon. Hal ini
diaktualisasikan oleh jawara dalam memobilisasi massa untuk meraih dukungan
masyarakat terhadap dukungannya. Selain itu, sifat politik jawara yang pragmatis
membuat jawara cenderung mendukung mendukung pasangan calon yang
cenderung dapat memenuhi kepentingannya, dengan kata lain jawara tidak
mengaktualisasikan partisaipasinya dalam perspektif kesejahteraan masyarakat
melainkan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.
Pengaruh jawara yang besar dalam masyarakat merupakan sarana politik
untuk meraih dukungan masyarakat. Dukungan yang diberikan jawara disebabkan
oleh kedekatan hubungan antara jawara dan dukungannya karena sudah terjalin
ketika dukungan jawara menjabat sebagai bupati pada periode 2003-2008. Selain
itu kinerja calon incumbent dianggap sebagai salah satu alasan dukungan jawara
dalam mensukseskan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi
jayabaya dan H. Amir Hamzah.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohiim.
Lelah dan hampir pasrah adalah sebagian dari godaan yang sering hinggap
dalam perjalanan yang penuh suka maupun duka. Air mata bukan sesekali saja
menetes dengan sendirinya, debu dan angin bergantian saling memeluk, angin
terhenti debu jatu, kembali dan kembali berpelukan seperti semangatku, hingga
tiba di penghujung penulisan skripsi ini.
Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya
penulis telah diberikan waktu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta
salam penulis haturkan kepada sang pencerah Muhammad SAW, beserta keluarga,
sahabat, dan seluruh umatnya.
Dengan tetap mengharapkan ridho-Nya, alhamdulillah penulis dapat
melengkapi salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
judul : “Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara: Peran
Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah
Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008”.
Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi
sebagian merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang
telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin
menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak
yang banyak membantu, berjasa dan terhormat kepada :
iii
1. Prof. Bahtiar Effendy., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta para jajaranya.
2. Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih yang dalam ingin penulis
sampaikan secara khusus kepada Drs. Armein Daulay, M.Si selaku
pembimbing skripsi, berkat kesabaran dalam membimbing dengan
berbagai arahannya dan motivasi ditengah-tengah kesibukannya, tetapi
beliau masih menyempatkan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan
penelitian skripsi ini.
3. Terima kasih pula kepada ketua prodi Dr. Ali Munhanief. M.A., serta
sekertaris jurusan M. Zaki Mubarok, M.Si. yang telah banyak
memberikian arahan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Segenap bapak/ibu Dosen Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, yang telah memberikan berbagai macam pengetahuan
kepada penulis selama masa perkuliahan, penulis patut mengucapkan rasa
terimakasih kepada A. Baqir Ihsan, M.Si., Agus Nugraha, M.Si., Dr.
Sirojuddin Ali., Dr. Nawirudin., Suryani, M.Si., Haniah Hanafie, M.Si.,
Dra Gefarina Djohan, MA., Dr. Syaban., Idris Thaha, M.Si., dll.
5. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Iton Abd. Musta’in dan ibunda
Nurhayati, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis
selama ini. Kepada teteh Corry Atul Adawiyah dan adik-adik penulis,
Teo Fani Atikah, Wafda Schofach Anzelat, Barah Marela Zidha dan
Zianha Amaret A.M. Ayo terus giat belajar dan jangan berhenti, teruskan
iv
cita-citamu. Kalian bisa…!, do’a kakak akan selalu seiringan dengan
langkah kalian.
6. Kepada pimpinan dan jajaran Perpustakaan Utama Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengucapkan rasa
terimakasih selama penulisan skripsi telah membantu dengan buku-
bukunya untuk menjadikan refrensi dari penulisan skripsi ini.
7. Kepada pimpinan komisioner KPUD Kabupaten Lebak, penulis
mengucapkan rasa terimakasih yang telah bayak membantu dalam
pengumpulan data-data dalam skripsi ini.
8. Kepada para jawara dan cendikia, penulis mengucapkan rasa terimakasih
telah banyak membantu dalam pengumpulan data-data yang menurut
penulis perlu dalam skripsi ini.
9. Kekasihku tercinta Vilanda Amanda yang selalu memotivasi dan
memarahi jika tidak mengerjakan skripsi.
10. Teman-teman seperjuangan, Ilmu Politik 2006, semoga arti sahabat untuk
selamanya. Ahmad Haris Hariri, Bara Ilyasa, S. Sos., Ahmad Rikih, Dede
Syahrudin, Ikhwanudin, dll.
11. Kawan-kawan dari perkumpulan Vespa LESGO dan Iskandar Hidayat,
terimakasih atas bantuan dan motivasi kalian. Aku adalah bagian dari
kalianl.
12. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua
perbuatan baik kalian.
v
Demikianlah untaian ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah
berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.
Jakarta, 4 Januari 2014
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ………................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….………...………….. 11
1. Pembatasan Masalah ……………….…..…...…………….. 11
2. Perumusan Masalah ….………….……..…...…………….. 11
C. Tujuan Penelitian ……….………………………...………..... 12
D. Manfaat Penelitian ……….………………………...………... 12
E. Metode Penelitian ……….………………………...……….... 13
F. Sistematika Penulisan ……………………………...………... 14
BAB II KERANGKA TEORETIS
A. Demokrasi ………………..………………………...……….. 17
B. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ….……….….....……...... 20
C. Otonomi Daerah …………………..……....……………..….. 22
D. Perilaku Politik ……………………….....……………...…… 25
E. Budaya Politik …………………………………….……….... 31
1. Orientasi Kognitif ………...………………………….....… 33
2. Orientasi Afektif ……………………………………......… 33
3. Orientasi Evaluatif ……..……………………......….......... 34
vii
a. Budaya Politik Parokial …..…….….……....................... 35
b. Budaya Politik Subyek ….........…………............……... 35
c. Budaya Politik Partisipan ……..……….................…..... 36
F. Partisipasi Politik …......................................…....................... 37
BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA
A. Profil Kabupaten Lebak .......................................................... 44
B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak ……………................ 46
D. Sejarah dan Perkembangan Jawara ......................................... 49
1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara ................. 49
2. Jawara Pada Masa Kolonial ............................................. 53
3. Jawara Pada Masa Orde Lama ......................................... 55
4. Jawara Pada Masa Orde Baru .......................................... 56
5. Jawara Pada Masa Reformasi ........................................... 58
BAB IV PERAN POLITIK JAWARA DALAM PILKADA LEBAK
TAHUN 2008
A. Pilkada Lebak Tahun 2008 ..................................................... 61
B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan Calon H. Mulyadi
Jayabaya – H. Amir Hamzah ................................................. 67
C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation ......... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 73
viii
B. Saran-Saran ............................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 79
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun
daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan
agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam
dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut.
Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik
nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal
memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan
pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal,
termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat.
Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh
diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal.
Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di
Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan
yang diperhitungkan dalam politik lokal. Hal ini dikarenakan jawara dianggap
sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat
mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit
tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan.
Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan
penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang
diperoleh dari kyai sebagai gurunya. Pada masa itu, masyarakat menganggap
2
pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan
pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks
ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu
ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan,
membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai
orang keramat.1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara
terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas
tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika
jawara_karena kepentingan penguasa_mulai bersinergi dengan penguasa.
Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin
untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada
era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara
dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan.2
Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.
Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi
kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam
politik lokal/Pilkada?
Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru
disebut demokrasi Pancasila,3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan
oleh MPRS/XXXII/1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era
1 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984
hal. 281 2Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie
Center, hal. 7 3 Ahmad Syafi‟I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal.
121.
3
pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang
otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat
berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh
berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada
tahun 1998.
Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang,
Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era
reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk
membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya
demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan
pemilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di
Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang
nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai
Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu
yang bebas dan demokratis di Indonesia.
Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian
bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara
efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas
prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl
demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah
dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh
4
warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama
dengan para wakil mereka yang telah terpilih.4
Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah
keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan
masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk
memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik
ini dinamakan Pemilihan Umum (pemilu).
Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali
sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah.
Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri‟. Sedangkan dalam
makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh
pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.5 Realisasi dari
hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945
terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan
nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa
Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang
bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara
Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.6
4 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
67-68. 5 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
179. 6 Made Suwandi, Direktur Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002.
Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-
suwandi-konsepsi-otda.pdf
5
Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang
diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi
daerah.
Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya
mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara
negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan
administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi
menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut,7 oleh karena itu
perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal (elected sub-national
Goverment).
Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan
empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam
pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan :
Pasa 18 : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan
daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
7 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
176.
6
(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala
Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara
demokratis.
(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
Pemerintah Pusat.
(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur
dalam undang-undang.
pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan
kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan
undang-undang.
pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang
diatur dengan Undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.8
8 UUD 1945 diakses pada tanggal 16 Oktober 2012 melalui situs http://www.djpp.
depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html
7
Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi
landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus
sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya
keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada (Legislatif,
Bupati/Walikota dan Gubernur) yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau
penunjukan,9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan
ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang
mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena
pesta demokrasi.
Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan
sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi
desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari
pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk
memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada,
rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus
memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk
memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode
bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah
(legitimate).10
Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat
ditegakkan.
9 B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010,
hal. 15 10
Naskah akademik UU Pilkada. hal. 1-2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs
http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214
8
Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap
sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang
berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik
untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka
memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga
sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif
masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda
desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa,
maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.11
Ada enam criteria perwujudan penyelenggaraan pilkada bagi
perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu :
1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan
suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara.
2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
pekerjaan, dan status sosial.
3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan
11
Naskah akademik UU Pilkada. hal. 2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs
http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214
9
haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat
memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya
tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun.
5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada,
aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau
pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan
bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta
pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak
mana pun.12
Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah
demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan
perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah.
Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas
pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan
mensejahterakan masyarakat daerah.
Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada
tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di
Kabupaten Lebak. Pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah pasca
12
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
191-192.
10
pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal
jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten
Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan
melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan
menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena
kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada
masyarakat lapisan bawah di Banten.13
Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut
(atau Banten secara umum). Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam
masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang
sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara
bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara
bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter
tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti
berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka).
Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini
memiliki kadigjayaan (kesaktian).14
Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam
masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik
jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila
13
Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi 14
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,
hal. 65
11
putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan (interest) mereka.15
Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar
(bargaining power), guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara
maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk
menyalurkan aspirasi kepentingan mereka.
Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim
sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam
hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang
terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan
terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional
jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana
komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama
kali dilaksanakan pada tahun 2008.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Skripsi ini hanya membatasi masalah peran politik jawara dalam
pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada di
Kabupaten Lebak yang memiliki kekuatan dan peranan sangat penting. Oleh
karena itu, agar pembahasan bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan
tidak melebar, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian upaya
15
Syarif Hidayat. Shadow State…? Bisnis dan Politik di Banten. Dalam Henk Schulte
Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2007, hal. 268
12
politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah pada
pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan
penelitiannya dan berusaha berkonsentrasi pada masalah perilaku politik jawara
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Latar belakang dukungan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya
– H. Amir Hamzah dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
2. Bagaimana peran jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
3. Bagaimana upaya pemenangan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi
jayabaya – H. Amir Hamzah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini mengandung dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan
tujuan umum. Tujuan penulisan ini adalah untuk meraih gelar sarjana sosial
(S.sos).
Sedangkan tujuan penelitian adalah:
1. Ingin mengetahui, mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi
daerah dengan bertahannya elit tradisional.
2. Pengaruh jawara dalam masyarakat.
3. Peran politik jawara dalam politik lokal.
4. Pola komunikasi dan mobilisasi jawara terhadap masyarakat.
13
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat akademis dan
juga manfaat praktis. Manfaat akademisnya adalah sebagai salah satu penelitian
yang dipakai guna menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk
studi-studi mengenai perilaku politik jawara dan keterkaitannya dalam politik.
Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi bahan dalam mengenal
jawara sebagai kekuatan politik informal yang mempunyai pengaruh dalam politik
lokal.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai objek penelitian yang berupa lisan, tulisan maupun tingksah laku.16
Berdasarkan penelitian kualitatif, maka penulis berupaya menggambarkan jawara
dalam politik, sejarah dan perkembangan jawara, dan peran jawara dalam pilkada.
Sementara untuk pengumpulan data dilakukan dengan sumber data primer
dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang akan
diteliti (responden), pustaka atau dokumen yang berhubungan dengan fokus
16
Emy Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode
Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta:
Kencana, 2006), hal. 166
14
penelitian, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari lembaga atau
institusi yang terkait dengan objek penelitian.17
Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada
pendekatan deskriptif analitik dengan maksud menggambarkan secara tepat
perilaku politik jawara dalam pilkada Kabupaten lebak. Adapun cara yang
digunakan dalam pengumpulan data adalah pertama, penelitian kepustakan
(Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya penulis mendatangi
pelaku politik dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data
di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Observasi : yaitu untuk mengamati tingkah laku terhadap objek
penelitaian.18
dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana
perilaku politik jawara dalam memobilisasi dan komunikasi sebagai upaya
mensukseskan H. Mulyadi Jaya Baya sebagai Bupati Kabupaten Lebak.
2. Wawancara : yaitu suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan
mendapatkan informasi. Selain itu wawancara juga akan mendapatkan
gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi penting
yang kita inginkan.19
Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara
17
Sudarso, Prosedur Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif
Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 55 18
James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.
Bandung, PT Refika Aditama, hal. 287 19
James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.
Bandung, PT Refika Aditama, hal. 306
15
langsung dengan para jawara sebagai objek penelitian dalam penelitian
skripsi ini.
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta" yang diterbikan CeQDA (Center For Qualty Development
and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427
H./2007 M.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan
beberapa hal tentang sistematika penulisan dan disusun menurut bab per bab.
Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian
penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan.
dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab II, membahas tinjauan teoretis terhadap demokrasi,
otonomi daerah, budaya politik yang dikaitkan dengan perilaku politik dan
partisipasi politik. Bab III, membahas tentang sejarah Kabupaten Lebak, profil
Kabupaten Lebak dan masyarakatnya dan sejarah dan perkembangan jawara yang
meliputi sub bab : pengertian dan sejarah kemunculan jawara, jawara pada masa
kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.
Sedangkan Bab IV, dalam bab ini penulis berusaha menganalisa peran
jawara dalam pilkada Lebak. Dengan sub bab pilkada Lebak, keterlibatan jawara
dalam pilkada Kabupaten Lebak, dan peran jawara dalam mobilisasi massa.
16
Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V. Mengenai sumber-sumber
dan rujukan yang dipakai dan dikumpulkan dalam daftar pustaka.
17
BAB II
KERANGKA TEORETIS
A. Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem politik yang sangat penting pada abad ke 20
pasca perang dunia II hingga sekarang.20
Walaupun demokrasi bukan sistem yang
terbaik, tetapi hingga saat ini belum ada sistem lain yang menggantikannya. Hal
ini dikarenakan konsep selain demokrasi mengalami stagnasi. Selain itu, konsep
demokrasi pula mempunyai hubungan yang erat dengan isu-isu HAM, keadilan,
kebebasan, persamaan dan lain sebagainya yang menjadi perbincangan dan
sandaran sistem mayoritas negara dibelahan dunia. Demokrasi merupakan bentuk
dan mekanisme dalam sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan
kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Konsep demokrasi saat ini merupakan hal penting yang dianggap sebagai
indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi dalam pengertian yang sederhana dimaknai sebagai sebuah
mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme itu dalam konteks
tersebut dimaknai sebagai Pemilihan Umum (pemilu). Dari sisi ini Henry B.
Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana
20
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri
Abadi, 2008, hal. 103.
18
terjaminnya kebebasan politik.21
Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas,
demokrasi merupakan pelibatan masyarakat secara substansial terhadap
penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh.
Menurut Alfan mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik
yang memiliki sistem keseimbangan dalam memelihara konflik dan konsensus.
Sehingga dengan kenyataannya sistem politik ini tidak bisa bergerak dinamis
tanpa adanya konflik dan kompetisi politik.22
Penjelasan ini membuka ruang
untuk munculnya suatu kompetisi, perbedaan, dan konflik antar individu dan antar
kelompok yang bersifat horizontal maupun vertikal namun tidak menghancurkan
sistem yang sudah terlembagakan itu sendiri.
Dengan demikian demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan
bernegara mengandung pengertian bahwa rakyat memiliki peranan penuh dalam
pemerintah untuk menentukan nasibnya. Sehingga negara dengan sistem
demokrasi adalah negara yang terselenggara berdasarkan kehendak dan kemauan
rakyatnya karena kedaulatan berada ditangan rakyat atau government by the
people. Dari uraian pengertian demokrasi tersebut, kekuasaan dan pemerintahan
berada ditangan rakyat, dalam artian dari rakyat (government of the people), oleh
rakyat (government by the people), dan untuk rakyat (government for the
people).23
21
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,
Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah,
2012, hal. 67. 22
Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta,
Republika, 2004. hal. 19. 23
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri
Abadi, 2008, hal. 105.
19
Ketiga hal tentang demokrasi tersebut memiliki pengertian yang luas.
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian
ialah pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya.
Pengakuan dan dukungan rakyat ini menjadi legitimasi suatu pemerintahan dalam
menjalankan roda pemerintahan sebagai wujud tanggung jawab atas pemerintahan
yang diamanatkan/dipilih rakyat. Kemudian pemerintahan oleh rakyat (goverment
by the people) ialah suatu pemerintahan yang menjalankan pemerintahan atas
nama rakyat bukan oleh dorongan atau kepentingan dirinya sendiri. Selain itu
pemerintah dalam menjalankan fungsinya mendapat pengawasan dari rakyat.
Pengawasan ini bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun oleh wakil
rakyat (DPR) yang memiliki fungsi mengawasi pemerintah. Selanjutnya ialah
pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) yang mengandung
pengertian jalannya pemerintahan harus mendengarkan dan mengakomodasi
kepentingan yang didasarkan atas keinginan rakyat.24
Ketiga hal dalam demokrasi
ini merupakan wujud keutamaan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan
pemerintah.
Pasang surut demokrasi di Indoneia pada awal kemerdekaan hingga
pertengahan tahun 1999 telah membawa Indonesia pada demokrasi yang
seutuhnya yang disebut dengan demokrasi era reformasi. Demokratisasi di era
reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan pemilu (eksekutif dan legisatif) dan
otonomi-desentralisasi. Pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada pemberlakuan
UU nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemilu pada tanggal 1 Februari dan nomor 2
24
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
68.
20
tahun 1999 tentang Partai Politik.25
Kedua UU tersebut menjadi dasar dalam
pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia.
Selanjutnya, seiring dengan era reformasi yang menyentuh sendi-sendi
ketatanegaraan menyangkut pembagian kekuasaan yang membedakan era
reformasi dengan era orde lama, ialah suatu penggantian pemimpin nasional
maupun pemimpin daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan
dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh DPR. Hal ini sesuai
dengan disahkan melalui Undang Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 56 dan 57.
B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan sebuah terobosan politik
yang signifikan dalam perkembangan politik daerah dan otonomi daerah. Gagasan
Presiden Republik Indonesia ke-3 (tiga) B.J. Habibie,26
sebagai orang yang
pertama mengeluarkan pemikirannya agar bangsa Indonesia perlu melakukan
pemilihan Presiden secara langsung dan kemudian disusul pemilihan Gubernur.
Berangkat dari gagasan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat
keputusan yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada tanggal 29
September 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala
daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan
secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pemilih
kepala daerah dan wakil daerah harus memilih pasangan calon yang diusung oleh partai
25
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri
Abadi, 2008, hal. 134 26
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,
Habibie Center, hal. 3.
21
politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya keputusan MK tersebut,
membuat daerah-daerah lebih mandiri lagi dalam mengatur berbagai bidang
antara lainnya dibidang ekonomi, politik dan sosial dan budaya.
Undang Undang nomor 32 tersebut telah memberikan dampak terhadap
kualitas demokrasi Indonesia, masyarakat dapat langsung merasakan demokrasi
yang utuh didaerahnya masing-masing. Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah
secara langsung, masyarakat di daerah dapat ikut terlibat langsung dalam
menentukan arah perkembangan dan perubahan di daerahnya.
Pilkada merupakan instrumen politik yang strategis untuk mendapatkan
legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah.
Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma
yang berdimesi hukum, moral, dan sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang
memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata
cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses
kampanye dan pemilihan yang demokratis dan mendapat dukungan terbanyak dari
suara masyarakat.27
Sistem pemilu yang diciptakan pada era reformasi telah melahirkan
persamaan, keadilan, dan kualitas demokratisasi di Indonesia, perubahan dan
penggantian tata cara (replacement), dan mentransformasi sebuah sistem tidak
hanya melahirkan perubahan dari atas, tetapi juga terdapat perubahan dari bawah.
Meskipun demikian, konsekuensi perubahan dalam pelaksanaan pilkada telah
27
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
191.
22
memunculkan sikap primordialisme dan dominasi elit tradisional.28
Hal ini
nampak jelas dalam pelaksanaannya di wilayah Banten, khususnya Kabupaten
Lebak.
C. Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan desentralisasi secara praktis dalam penyelenggaraan
pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Namun, dapat dibedakan. Karena itu tidak
mungkin membahas masalah otonomi daerah tanpa mempersandingkannya
dengan konsep desentralisasi. Berdasarkan yang dikutip B.N. Marbun, Bagir
Manan menyatakan, „Desentralisasi adalah otonomi, dan desentralisasi tidak sama
dengan otonomi. Otonomi adalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi
bukan asas melainkan proses, dan yang asas adalah otonomi‟.29
Pada periode sebelumnya, konsep demokrasi, otonomi, dan desentralisasi
ini pernah disampaikan oleh Mohamad Hatta sejak tahun 1932. Dalam pandangan
politiknya yang berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, bahwa desentralisasi
bukan sentralisasi, yang menjadi cita-cita tolong-menolong dalam asas
kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai
golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan kecil dan
besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri.30
28
Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,
Habibie Center, hal. 3 29
B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal.
184-185. 30
Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI. 2006,
hal. 6.
23
Pengertian mendasar mengenai otonomi daerah itu sendiri adalah,
“kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri”, berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang
beragam dan bernilai strategis. Disini diutamakan bangsa serta kesatuan wilayah
dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan pengertian desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.31
Dalam
pengertian tersebut daerah otonom adalah daerah yang memiliki kewenangan
untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan memiliki tanggung jawab menjaga
nasionalisme.
Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai “mandiri‟. Sedangkan
dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan
oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.32
Terdapat dua
nilai dasar mengenai otonomi daerah yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi
territorial.
Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan
mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara.
Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia
31
Syaukani HR., Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani. 2002, hal.13. 32
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
179.
24
tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.33
Sementara nilai dasar
desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah kekuasaan yang diwujudkan
dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah.
Mengenai hal tersebut, desentralisasi sebagaimana didefinisikan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah:
“desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara
dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya
maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan
daerah.”
desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan
administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu perlu adanya
pemerintah daerah melalui pemilihan lokal.
Bertitik tolak dari uraian di atas, tujuan dari otonomi daerah merupakan
sebuah simbol kepercayaan dari Pemerintah Pusat terhadap masyarakat di daerah
yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi, sosial dan
budaya.34
Dalam bidang politik, otonomi merupakan rangkaian dari desentralisasi
dan demokrasi untuk menciptakan kepala pemerintahan di daerah secara
33
Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses
pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-
konsepsi-otda.pdf 34
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005, hal.
156-157.
25
demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan
kebutuhan daerahnya masing-masing.
Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian
otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya
pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap
kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi.
Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi
Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten.
D. Perilaku Politik
Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata
tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik
adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35
Sedangkan
arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam
melakukan hubungan dengan pihak luar.36
Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi
individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak
35
Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial,
Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378. 36
Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial,
Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61.
26
badan dan ucapan,37
sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan,
siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38
Jadi secara
epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang
terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan
atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu.
Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah
dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan,
pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini
sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang
mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-
lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam
rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada
dasarnya merupakan perilaku politik.39
Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang
dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek
individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga
politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakun-
perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan
tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik
37
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15
27
dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik
yang berlagsung.40
Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum
behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar
protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu
politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang
reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif,
namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan
yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembaga-
lembaga yang ada dalam system politik tersebut.41
Sementara itu, Trubus
Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya
semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai
signifikansi tingkatan perilaku.
Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain
hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga
peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota
lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat
individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan
dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.
40
David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES,
1987, cet. II, hal. 209. 41
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan
Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.
28
Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang
diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian
bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42
Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang
menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih
memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa
kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang
termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti
fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti
pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43
Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan
perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembaga-
lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan
informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini
lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam
lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah
gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa
lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang
independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya,
jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian
suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,
42
Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan
Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40. 43
Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV
Rajawali, cet. I, hal. 161
29
pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan
latar belakang sosialnya.44
Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan
perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para
jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara
komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut,
tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbeda-
beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri.
Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa
dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya,
karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang
saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain
sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki
keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan
demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi
seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial
politik, yaitu:
Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam
kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media
massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan
turunannya.
44
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75
30
Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan
lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan
langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan
internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara
dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya.
Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk
memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu
kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur
kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang
terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek
tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat
bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah
keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai
kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang
terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak
meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya.
Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang
mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak
melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang,
kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45
Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan
faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula.
45
Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15
31
Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik
tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula
perubahan pada perilaku politik seseorang.
E. Budaya Politik
Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu
politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua
peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.46
Budaya
politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang
berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu
merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat
orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan
pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab
pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan,
atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.47
Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan
dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak
ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi,
pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang
demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi
46
Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang
merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar
di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat. 47
Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses
pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-
sosialisasi-politik_03.html
32
dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang
diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan
antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan.
Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang
berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu
dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok
atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain,
budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat
dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam
masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi
tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan
adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman
tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam
interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak
hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat
nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol
adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi,
pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang
lebih kuat dalam arti primordial.48
Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak
terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap
48
Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses
pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-
politik-terhadap.html
33
atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan
individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49
1. Orientasi Kognitif
Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk
pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.
Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui
hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu
mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai
politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku
pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari
orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap.
Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari
lingkungan sekeliling individu.
2. Orientasi Afektif
Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor
(politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan
yudikatif).
Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi
afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti
diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun
sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab
49
Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses
pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-
politik-terhadap.html
34
itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis
(sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia,
kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian
Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga
negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh
pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian
hari.
3. Orientasi Evaluatif
Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara
tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak
saat pemilu.
Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan
afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa
partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu
memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar
unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang‟ oleh lawan
politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri
si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari
orientasi kognitif dan afektif.
Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba
membagi 3 tipe budaya politik,50
yaitu:
50
Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses
pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-
sosialisasi-politik_03.html
35
a. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan
seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara
kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik
yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem
politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah
bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa
mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku
mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat
yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia,
suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan
sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita
kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut
bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik
Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak
mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.
b. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih
tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari
warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi
perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap
mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara
36
emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka
tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh
sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat
berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat
apa-apa.
Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat
(strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya,
budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa
Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan
masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun
keluarganya.
c. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi
tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu
mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun
kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan,
penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar
pajak.
Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan
masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat
mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan
mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung
pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak
37
bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat
mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.
Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara
dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya
politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian,
totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara
ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang
terbuka seperti Demokrasi Liberal.
F. Partisipasi Politik
Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam
negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah
bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan
bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi
politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang
absah oleh rakyat.
Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya
partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan
bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara
dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh
keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka itu akan
38
tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak
masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk
membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa
kegiatan mereka mempunyai efek, dan ini dinamakan political efficacy.51
Adapun fungsi partisipasi politik itu sendiri menurut Lane yang dikutip
Rush dan Althoff, terdapat empat fungsi. Yaitu:52
1. Sebagai sarana mengejar kebutuhan ekonomis.
2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial.
3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus.
4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan psikologis tertentu.
Secara umum definisi partisipasi meiliki perbedaan dalam
mengartikannya. Yakni sebagai berikut :
1. Herbert Mc. Closky yang dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998),
mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari
warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses
pembentukan kebijakan umum.53
2. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi
politik adalah kegiatan seorang warganegara atau kelompok yang
51
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 52
Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada. 2000, hal. 181 53
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2.
39
bertujuan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Tindakan-tindakan partisipasi politik yang negatif juga pada dasarnya
dapat dikatakan sebagai tindakan partisipasi politik 54
3. Pendapat lain diajukan oleh Norman H. Nie dan Sidney Verba dimana Nie
dan Verba yang juga dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), menjelaskan
partisipasi politik sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal yang
sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-
pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil mereka.55
Uraian diatas mengenai partisipasi politik dilihat dengan perilaku
seseorang yang melakukan patisipasi politik atau tidak dan dari motivasi atau
keberadaan daya pendorong dan faktor-faktor pengaruh bagi seseorang tersebut.
Artinya partisipasi politik masyarakat dapat terpengaruh oleh kondisi dan
lingkungan masyarakat itu sendiri.
Masing-masing masyarakat memiliki perbedaan partisipasi politik, yang
disertai dengan kadar politik yang juga bervariasi. Dalam hal ini, Milbrath yang
mengemukakan 4 (empat) faktor yang mendorong orang berpartisipasi politik,
yang dikutip oleh Toto Pribadi sebagai berikut:56
(1). Adanya perangsang, (2).
Faktor karakteristik pribadi seseorang yang berwatak sosial dan punya kepedulian
besar terhadap problem masyarakat biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik,
(3). Faktor karakter sosial seseorang yang menyangkut status sosial ekonomi yang
54
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 55
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2. 56
Toto Pribadi, dkk. Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka. 2006, hal.
34.
40
akan ikut mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku seseorang dalam politik, (4).
Faktor situsai dan lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan
senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
proses politik menurut Myron Weiner yang dikutip Arifin Rahman
mengungkapkan ada lima faktor penyebab timbulnya partisipasi yaang luas:57
1. Modernisasi; komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi,
intelektualitas, pendidikan, dan pengembangan media komunikasi.
2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial.
3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern.
4. Konflik antara kelompok-kelompok pemimpin politik; kompetisi
perebutan kekuasaan dalam mempresentasikan partisipasi masyarakat.
5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
Apabila dilihat dari bentuknya, Partisipasi politik memiliki dua ketegori
bentuk. Pertama, ada yang sifatnya mandiri/otonom. Yaitu individu dalam
melakukan kegiatannya atas dasar inisiatif dan keinginan sendiri-sendiri, atau
individu yang sudah cerdas dalam politik yang merasa memiliki tanggung jawab
politik sebagai warga Negara. Yang Kedua, disebut dengan Mobilized Political
57
Arif Rahman. Sistem Politik Indonesia. Surabaya, SIC. 2002. hal. 130
41
Participation. Yaitu, partisipasi yang dilakukan karena diminta atau digerakan
oleh orang lain dan bahkan dipaksa oleh kelompoknya.58
Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik dapat dikategorikan
kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut :59
1. Electoral actifity, adalah kegiatan yang secara langsung ataupun tidak
langsung berkaitan dengan pemilu termasuk dalam kegiatan ini adalah ikut
serta memberikan dana sebuah kampanye partai politik, memberikan
suara, dan mengawasi perhitungan pemilihan suara.
2. Lobbying, tindakan seseorang atau kelompok menemui seseorang dengan
masksud mempengaruhi seseorang untuk turut serta dalam masalah
tertentu.
3. Organizational Actifity, keterlibatan warga masyarakat kedalam berbagai
organsasi sosial dan politik baik sebagai anggota.
4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga Negara dengan
langsung mendatangi maupun menghubungi lewat media.
5. Violence, adalah cara yang ditempuh melalui jalan kekerasan untuk
mempengaruhi kebijaakan.
Bentuk-bentuk partisipasi seseorang tampak dalam aktivitas-aktivitas
politiknya dan memiliki perbedaan bentuk dan intensitasnya. Orang yang
melakukan partisipasi secara tidak intensif yaitu kegiatan kegiatan yang tidak
58
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8. 59
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 17.
42
banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, aeperti
memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya, orang yang secara aktif dan
melibatkan diri secara penuh dalam politik jumlahnya sangat sedikit dan terbatas.
Seperti meencalonkan diri sebagai Presiden, anggota legislatif, dan sebagainya.60
Pernyataan tersebut dideskripsikan Miriam Budiarjo dan Rafael Raga Maran
secara klasifikasi piramida pada lampiran ke-3. Dimana pada puncak kelas teratas
terdapat orang-orang menduduki jabatan politik maupun jabatan birokratis, karena
mereka dianggap mempunyai kepentingan langsung dengan pelaksana kekuasaan
politik formal.61
Partisipasi dalam bentuk partai politik dan kelompok kepentingan dapat
bersifat aktif maupun pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan seseorang dalam
aktivitas politik dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu
organisasi politik, memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran anggota
dan aktif menjaga melaksanakan Anggaran Dasar Partai.62
Mochtar Mas‟oed mengutip Collin Andrews membagi partisipasi menjadi
dua bentuk yang Konvensional dan Non-Konvensional.63
kegiatan konvensional
adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern, yang
dapat berupa : pemberian suara (Voting), diskusi politik, kegiatan kampanye,
membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, dan komunikasi
individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi non-
60
Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
2003, hal. 8 61
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 62
Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 63
Mochtar Mas‟oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Suara Bebas, 2006 hal.
46.
43
konvensional adalah kegiatan yang dilakukan secara legal maupun illegal dan
revolusioner yang bisa berbentuk : pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi,
aksi mogok, kekerasan politik dan anarkhisme politik.
44
BAB III
PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA
A. Profil Kabupaten Lebak
Dalam sejarahnya, secara umum Kabupaten Lebak merupakan bagian dari
wilayah Kesultanan Banten, sehingga kulturnya tidak dapat dipisahkan dari kultur
Banten secara umum. Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan ditangan
Belanda, hal ini juga berdampak pada pergantian nama Kabupaten dan ibu kota
Kabupaten. Kabupaten Lebak ditangan Belanda telah mengalami 2 kali pergantian
nama. Pertama, Pada tanggal 19 Maret 1813 Kabupaten Lebak disebut dengan
nama Banten Kidul dengan ibu kota Cilangkahan yang kini menjadi salah satu
nama desa di Kecamatan Malingping. Kedua, berdasarkan keputusan Komisaris
Jenderal Staadsblad nomor 81 tahun 1828 nomor 1 berganti menjadi Kabupaten
Lebak yang beribu kota di Warunggunung tapi kemudian ibu kota Kabupaten
Lebak-pun dipindahkan ke Rangkasbitung berdasarkan surat keputusan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda nomor 15 tanggal 17 Januari tahun 1849 yang
pelaksanaan secara resminya pada tanggal 31 Maret 1851. Berdasarkan
pertimbangan sejarah ini, tanggal 2 Desember 1828 ditetapkan sebagai hari jadi
Kabupaten Lebak berdasarkan keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-
II/SK/X/1986.64
Demikian catatan sejarah mengenai sejarah kabupaten Lebak
yang diunduh berdasarkan situs resmi Pemda Kabupaten Lebak.
64
Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 6 Oktober 2012. http://www.
lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6
45
Bertitik tolak dari uraian tentang sejarah Kabupaten Lebak diatas, secara
geografis Kabupaten Lebak memiliki wilayah seluas 3.044,72 ha, yang
merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Banten. Secara administratif kabupaten
Lebak berbatasan dengan Kabuapten Serang dan Tangerang di sebelah Utara,
sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Sebelah Barat
dengan Kabupaten Pandeglang, dan sebelah Selatan dengan samudera Indonesia.
Secara geografis Kabupaten Lebak berada pada 105°25-106-°30 Bujur Timur dan
6°18-7°00 Lintang Selatan. Sedangkan keadaan topografi bervariasi pada
ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut. Wilayah yang berada pada
ketinggian 0-200 meter diatas permukaan laut terdapat di sepanjang Pantai
Selatan. Wilayah dengan ketinggian 201-500 meter dpl berada di Lebak Tengah,
sedangkan wilayah yang berada pada ketinggian 501-1000 meter diatas
permukaan laut berada di Lebak Timur.65
Kabupaten Lebak terbagi menjadi 28
(dua puluh delapan) Kecamatan dan dengan kependudukan sekitar 1.204.095
jiwa.66
No Kecamatan Desa Penduduk
1 Malingping 14 Desa 61.500 jiwa
2 Wanasalam 13 Desa 51.233 jiwa
3 Panggarangan 11 Desa 35.242 jiwa
4 Bayah 11 Desa 40.716 jiwa
5 Cilograng 10 Desa 31.689 jiwa
65
Agus Sutisna dan Amir Hamzah, 177 Tahun Kabupaten Lebak, Negeri Yang Sedang
Bersolek, Pemerintah Kabupaten Lebak Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata
Kabupaten Lebak, 2005 hal. 3-4. 66
Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 30 September 2012.
http://lebakkab.bps.go.id/penduduk.php,
46
6 Cibeber 22 Desa 54.228 jiwa
7 Cijaku 10 Desa 76.2876 jiwa
8 Banjarsari 20 Desa 57.384 jiwa
9 Cileles 12 Desa 46.684 jiwa
10 Gunungkencana 12 Desa 32.661 jiwa
11 Bojongmanik 9 Desa 21.206 jiwa
12 Leuwidamar 12 Desa 50.430 jiwa
13 Muncang 12 Desa 31.615 jiwa
14 Sobang 10 Desa 78.361 jiwa
15 Cipanas 14 Desa 45.388 jiwa
16 Sajira 15 Desa 46.366 jiwa
17 Cimarga 17 Desa 60.968 jiwa
18 Cikulur 13 Desa 46.627 jiwa
19 Warunggunung 12 Desa 52.302 jiwa
20 Cibadak 15 Desa 58.057 jiwa
21 Rangkasbitung 11 Desa dan 5 Kelurahan 116.659 jiwa
22 Maja 14 Desa 50.526 jiwa
23 Curugbitung 10 Desa 30.036 jiwa
24 Cihara 9 Desa 29.530 jiwa
25 Cigemblong 9 Desa 19.527 jiwa
26 Cirinten 10 Desa 24.765 jiwa
27 Lebak Gedong 6 Desa 71.537 jiwa
28 Kalanganyar 7 Desa 31.982 jiwa
jumlah total penduduk sekitar 1.204.209
B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak
Masyarakat Banten khususnya Kabupaten Lebak yang secara umum biasa
difahami secara umum merupakan masyarakat yang kasar dalam ucapan dan
47
berani dalam tindakan. Berdasarkan karakternya, masyarakat Banten dapat
dibedakan berdasarkan wilayahnya Banten Selatan dan Banten Utara. Banten
Selatan merupakan wilayah yang memiliki karakter dan perilaku yang keras.
Sedangkan wilayah Banten Utara memiliki karakter yang lebih lembut.
Perilaku keras masyarakat banten Selatan tidak terlepas dari sejarah masa
lalu masyarakat Banten Selatan (Kabupaten Lebak) yang kental dengan sikap
kesantriannya secara gigih melawan penindasan pemerintah kolonial. Orang
Banten pada masa itu mempunyai tekad memerangi orang kafir yang kebetulan
pada masa itu dikonotasikan terhadap para kolonial. Tidak heran jika kemudian
literatur yang mencitrakan watak keras orang Banten.67
Citra inilah yang
kemudian terus bertahan hingga sekarang yang menjadi salah satu ciri masyarakat
Banten secara umum.
Masyarakat Lebak (Banten Selatan) yang memiliki karakter lebih keras
ketimbang masyarakat di wilayah sekitar Banten lainnya, hal ini diakibatkan
pembawaan masyarakat dari perlakuan represif masyarakat Lebak terhadap
kolonial. Di Kabupaten Lebak secara garis besar ada dua tipe penindasan kolonial
yang dilakukan kolonial Belanda maupun kolonial Jepang di Banten, khususnya
Kabupaten Lebak. Penindasan-penindasan kolonial Belanda ini dikarenakan
hutang 236 juta Gulden atas tindakan kolonialnya berupa peperangan-peperangan
yang mereka lakukan terhadap rakyat Nusantara. Untuk menanggulangi
hutangnya ini, Jenderal Van den Bosch yang dikenal sebagai anak emas Raja
67
Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup,
Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.
48
Belanda Willem I, melakukan rencana peraturan rodi atau herendienst (kerja-
paksa), dan tanam paksa (Cultuurestelsel).68
Culturstelsel ini sendiri mendapat
perlawanan dari masyarakat dan Eduard Douiwes Dekker atau yang lebih dikenal
dengan nama Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”. Eduard
Douwes Dekker sendiri adalah seorang pegawai pemerintah kolonial yang sering
berpindah-pindah dari kantor satu ke kantor lainnya. Terahir ia menjadi Asisten
Residen Lebak pada tanggal 4 Januari 1856. Namun jabatan Eduard Douwes
Dekker ini tidak berlangsung lama, ia mengundurkan diri atas jabatannya dalam
pemerintahan kolonial Belanda Pada tanggal 29 Maret 1856. Pengundurannya
sendiri disebabkan karena ketidak setujuannya terhadap kezaliman pemerintah
kolonial Belanda. Setelah ia berhenti sebagai pegawai pemerintahan, hari-harinya
diisi dengan menulis sebuah karya tentang penindasan kolonial belanda yang
berjudul Max Havelar.69
Tulisan inilah yang kemudian telah mengilhami dan
menginspirasi masyarakat.
Kedua, perpindahan kekuasaan penjajah dari tangan kolonial Belanda
terhadap Jepang ternyata tidak serta merta berhentinya penindasan di Kabupaten
Lebak. Pada masa Jepang berkuasa di daerah Banten terdapat proyek
pembangunan Lapangan Terbang Gempor di Serang, jalan kereta api Saketi-
Labuan, dan jalan raya Saketi-Bayah sepanjang 150 km. Juga pertambangan batu
bara (Romusa) di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan.
Pertambangan dengan cara romusa ini menimbulkan kesengsaraan dan kematian
68
Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan
Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 18. 69
Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan
Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 1-4.
49
yang luar biasa. Jepang membuka pertambangan batu bara di Bayah dengan
alasan menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang serta faktor
ekonomi.70
Berdasarkan perlakuan kekerasan yang terjadi dan sikap perlawanan yang
kuat, telah membentuk karakter masyarakat yang lebih keras ketimbang
masyarakat Banten lainnya yang terus melekat sampai sekarang. Hal ini
menjadikan masyarakatnya lekat dengan budaya kekerasan sebagaimana
dilakukan oleh jawara.
C. Sejarah dan Perkembangan Jawara
1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara
Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak
sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara
yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah
mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat
hingga Banten saat ini.71
Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya
dikenal di wilayah Banten. Selain kiyai, sosok jawara merupakan sosok yang
begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten hingga sekarang.
Untuk menyimpulkan sejarah kemunculan jawara bukanlah sesuatu yang
mudah. Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang
berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin
70
Romusa, Sejarah Yang Terlupakan. Diakses pada tanggal 30 September 2012. http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-terlupakan1713.html.
71H.S. Suhaedi, Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara.
Diakses pada 30 Agustus 2012. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=109850&
lokasi = lokal
50
dipandang orang hebat. Salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang
terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik.
Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang
kasar dan terkesan sombong). Sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata
“jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya
merujuk kepada kepemimpinan di Desa, yang kalau sekarang lebih dikenal
dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten
itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa)
namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan
makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi
menjadi kepala desa atau lurah.72
Sampai saat ini belum ada kesepakatan sejak
kapan jawara muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Hal ini
dikarenakan tidak ada referensi yang secara komprehensif menganalisis tentang
profil jawara. Namun, setidaknya ada lima pendapat yang dikemukakan oleh
berbagai peneliti mengenai sejarah kemunculan jawara.
Pertama, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Kemunculan jawara di
Banten merupakan sebuah perantara antara raja dengan rakyatnya. Mereka tidak
hanya bertugas melayani raja, tetapi juga membela dan melindungi kerajaan.
Kelompok masyarakat ini memiliki keterampilan dalam ilmu silat dan kekebalan.
72
Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok: Kedudukan dan Peran Kiyai dan Jawara di
Banten. Diakses pada pada 30 Agustus 2012 H.S. Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang
mobiltas sosial jawara. Diakses pada http://www.nimusinstitute.com/tasbih-dan-golok
51
Dalam perkembangan selanjutnya keterampilan mereka ini mencerminkan dirinya
sebagai kelompok jawara.73
Kedua, kelompok jawara muncul seiring dengan berdirinya kesultanan
Banten yang didirikan Sultan Maulana Hasanudin tahun 1552. Kelompok jawara
merupakan strategi Sultan Maulan Hasanudin dalam usaha merebut pusat
Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran. Dengan maksud perebutan Kerajaan Sunda
ini, Sultan Maulana Hasanudin merekrut pemuda islam yang memiliki militansi
tinggi. Kelompok ini dipimpim oleh Putra Mahkota Kesultanan Banten Pangeran
Yusuf. Kelompok pemuda ini merupakan pasukan khusus yang bergerak cepat
merebut Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran. Militansi keompok pemuda Islam
ini memiliki sifat pemberani yang terus-menerus dibina sehingga kemudian
disebut dengan jawara.74
Ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), mengatakan
bahwa kaum jawara berasal dari sebuah perkumpulan yang bernama orok lanjang
yang dibentuk oleh kaum pemuda di Distrik Menes, Pandeglang. Perkumpulan
ini, yang secara harfiyah berarti “bayi menjelang dewasa”, didirikan dengan
tujuan untuk mengembangkan sikap tolong menolong dalam kehidupan
bermasyarakat dan membantu penyelenggaraan suatu pesta. Seiring berjalannya
waktu bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan
diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka akan mengacau
73
Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten
Lebak” di Aula Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006. Dan dipertegas wawancara
dengan KH. Baijuri, cendikiawan dan Dosen IAIN SMH Banten dan La-Tansa pada 1 November
2012, di Rangkasbitung 74
Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1
oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
52
dan menggagalkan pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas ke luar
Menes dan berubah menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara.
Mereka menjadi kelompok yang ditakuti oleh masyarakat, bahkan pangreh praja
pun tidak berani bersikap tegas kepada mereka. Sejak tahun 1916, pangrep praja
yang menghadiri pesta selalu membawa senjata api karena takut diganggu oleh
kaum jawara.75
Keempat, Nina H. Lubis mengatakan dalam bukunya Banten Dalam
Pergumulan Sejarah. kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada abad ke-19, ketika tekanan
pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul
berbagai perlawanan dari rakyat dengan pusat perlawanan berada di sekitar para
kiai. Para kiai ini, umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang
sesuai dengan kemampuan mereka. Kelompok pertama adalah orang-orang yang
memiliki bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak bisa menjadi ulama seperti
gurunya. Mereka kemudian diberikan ilmu hikmah oleh gurunya selain diberikan
ilmu-ilmu agama Islam. Kelompok kedua adalah para santri yang mempunyai
bakat yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Oleh karena itu, mereka dibina dalam
hal kekuatan fisik. Mereka pun diberi ilmu hikmah, tetapi porsinya jauh lebih
sedikit dibandingkan ilmu hikmah yang diberikan kepada santri kelompok
pertama. Dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya, mereka diserahi tugas
75
Kejawaraan dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1
oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
53
untuk melakukan teror terhadap Pemerintah Kolonial Belanda beserta para kaki
tangannya. Golongan kedua inilah yang kemudian disebut jawara.76
Kelima, sebutan jawara mulai dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1809
ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) memerintahkan pembuatan
jalan pos dari Anyer ke Panarukan. Pembuatan jalan tersebut mengakibatkan
terjadinya perlawanan rakyat Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan
perang pertama. Seiring dengan perlawanan rakyat itu, lahirlah sebutan jawara
seperti yang dikatakan oleh Rd. Muhammad Taufiq Djajadiningrat.77
Pada masa kini, perubahan lingkungan dalam perkembangan zaman secara
tidak langsung telah mempengaruhi perilaku jawara. Beriringan dengan
perkembangan itu pula telah banyak memberikan perubahan terhadap jawara
dalam peranannya ditengah-tengah masyarakat. Pada masa kolonial peran jawara
sering ditandai dengan perlawanan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan
jawara terlibat dalam pembangunan sosial, agama, ekonomi, dan politik, dan pada
masa reformasi jawara dihadapkan pada masalah mengekspresikan dan
mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik
sehingga dia dapat diterima ditengah-tengah masyarakat modern.
2. Jawara Pada Masa Kolonial
Jawara abad ke-19 pada masa kolonial, pada saat ini tekanan pemerintah
kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, yang justru membangkitkan
perlawanan-perlawanan masyarakat pribumi, yang umumnya dilakukan para
76
Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta,
Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 77
Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1
Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
54
kiayi, dan para pemimpin lokal dalam masyarakat. Kondisi perlawanan
masyarakat inilah yang akhirnya disebut dengan jawara. Untuk melemahkan
perlawanan ini, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan propaganda terhadap
jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum
jawara dipersamakan dengan kelompok bandit sosial. Citra negatif jawara yang
dilakukan kolonial terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Banten. Dalam konteks kekinian, umumnya masyarakat memandang bahwa
jawara itu memiliki sifat yang buruk.78
Mereka selalu ingin menang sendiri dan
untuk mewujudkan setiap keinginannya mereka melakukannya dengan kekerasan
fisik.
Sedangkan pada hakikatnya, Jawara ini umumnya merupakan kelompok
para kiyai yang mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan
kemampuan mereka. Pertama, yang mempunai kemampuan ataupun bakat di
bidang ilmu agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang
memiliki kemampuan yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Golongan kedua
inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara. Kedua kelompok ini juga diisi
dengan ilmu hikmah (kekuatan magis), tetapi untuk golongan kedua hikmah yang
diterima relatif “lebih besar” dari pada kelompok pertama. Selanjutnya, ada
pendapat bahwa kaum jawara ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kaum
jawara yang memegang teguh ilmu agama dan mereka disebut sebagai jawara-
ulama. Mereka oleh para gurunya (kiyai) diberi kekuatan ilmu hikmah yang
memang bersumber dari ajaran agama Islam. Kelompok jawara ini kemudian
78
Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1
Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf
55
dikenal sebagai jawara-ulama dan mengembangkan white magic sebagai sumber
kekuatan fisiknya. Kedua, kaum jawara yang menggunakan elmu hideung yakni
ilmu (kepandaian) untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang tidak
berdasarkan ajaran Islam. Ilmu ini biasa juga disebut elmu rawayan atau elmu
urang Baduy.79
Bagi masyarakat Banten, khususnya Kabupaten Lebak, ilmu ini
merupakan sarana untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang proses
pencapaiannya tidak berdasarkan agama Islam.
Menurut tokoh cendekiawan Banten Tihami bahwa karakter jawara pada
awalnya merupakan ekspresi ketundukan kepada kiayi, karena pada abad ke-19
jawara bermula dari murid kiayi. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan
(kawalat) bagi jawara manakala ia melawan kiayi yang akan menyebabkan
kehilangan kekuatan magi. Hubungan kiayi dan jawara seperti hubungan anak-
orang tua sehingga guru harus ditunduki dan dihormati. Terlebih jawara-kiayi
sangat erat hubungannya sebab kiayi merupakan sumber pemberi resep-resep
magi.80
3. Jawara Pada Masa Orde Lama
Tidak banyak referensi yang dapat ditelusuri mengenai peranan jawara
pada masa Orde Lama. Keberhasilan para jawara dalam mengusir kolonial adalah
salah satu sejarah yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini
peran jawarapun mengalami perubahan. Peran jawara tidak lagi melakukan
perlawanan terhadap penguasa pemerintahan. K.H. Baijuri seorang cendikiawan
79
Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta,
Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 80
Tihami, Kiayi dan Jawara Banten: studi tentang agama, magi, dan kepemimpinan di
desa pesanggerahan Serang, Banten, hal. 21
56
di Kabupaten Lebak mengatakan bahwa jawara pada masa ini terbagi menjadi
dua, pertama, jawara kembali pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam
proses penyiaran agama Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus
pusaran politik lokal maupun nasional.81
Jawara yang berpulang pada orang tuanya menjadi tameng para kiayi, hal
ini dimaksudkan dalam penyiaran agama Islam jika ada kekacauan. Jawara
senantiasa mengajarkan, mengamalkan ajaran Islam, dan menjaga ketentraman
masyarakat. Sedangkan jawara yang terkontaminasi dalam arus politik pada masa
kemerdekaan, terus dimunculkan sebagai sosok yang memiliki kekuatan magis.
Mereka dimanfaatkan sebagai salah satu alat penekan bagi para politikus di
Indonesia.82
Paradigma inilah yang dipahami oleh masyarakat terhadap sisi lain
jawara hingga kini.
4. Jawara Pada Masa Orde Baru
Pelaksanaan sistem demokrasi Pancasila pada rezim Orde Baru yang
otoriter adalah dengan penyederhanaan sistem kepartaian yang kemudian
memunculkan kekuatan yang dominan yaitu Golongan Karya (Golkar) dan ABRI.
Partai Golkar merupakan partai pemerintah yang menjadi hegemoni dalam setiap
pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru. Rezim ini mencengkram semua sendi-
sendi masyarakat yang mengakar pada tingkat lokal, merapatkan barisan pada
penguasa rezim atau rela diberangus.
81
Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri di Rangkasbitung. Pada tanggal 1 November
2012. 82
Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup,
Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.
57
Sedangkan kedekatan jawara dengan ABRI di era Orde Baru dapat
diidentifikasi dalam berbagai hal, misalnya kedudukan jawara sebagai guru silat
di ABRI. Selain itu jawara pula turut serta dalam terjun ke daerah-daerah konflik
di Timor-Timur, Aceh dan Papua. Bahkan jawara dapat mempromosikan
kenaikan pangkat terhadap seorang anggota militer.83
Kedekatan jawara dengan
ABRI ini merupakan sebuah bukti keberadaan jawara sebagai elit sosial Banten
yang memiliki pengaruh besar, tidak hanya di tingkat lokal bahkan nasional.
Kedekatan jawara dengan elemen-elemen pemerintah ini kian memperkuat
dominasi jawara dalam politik lokal di Banten.
Pada masa Orde Baru Jawara sebagai elit tradisional di Banten merupakan
salah satu patron klien pemerintahan Orde Baru dan partai Golkar. Jawara dengan
penguasa rezim mempunya kedekatan ideologis berupa anti demokrasi
(bertanagan besi) yang sesuai dengan karakternya. Sedangkan jawara dengan
partai Golkar merupakan simbiosis mutualisme antara jawara dan DPD Golkar
Banten. Jawara merupakan simpul penting Golkar di Banten. Relasi jawara dan
partai Golkar sendiri berada pada dua organisasi kejawaraan, yaitu BPPKB
(Badan Pembinaan Potensi Keluarga Banten), PPPSBBI (Persatuan Pendekar
Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) dan TTKDH (Tjimande, Tarik
Kolot, Djeruk Hilir).84
Kedua organisasi ini memiliki jaringan yang luas di tingkat
nasional dan yang mengakar ditingkat lokal.
83
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis
Fisip Universitas Indonesia 84
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,
hal. 76.
58
Hubungan antara jawara dan Golkar yang terbentuk karena alasan sejarah,
kedekatan ideologi, kultural maupun patron klien yang saling menguntungkan
keduanya. Hubungan patron klien antara jawara-Golkar merupakan hubungan
yang tidak bisa dipisahkan, Golkar sebagai patron jawara mendapat dukungan
yang besar, partai Golkar-jawara yang secara historis merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kiyai ini mendapat dukungan meraup massa santri yang tersebar
di pesantren-pesantren maupun non santri, unsur pemerintahan, dan unsure-unsur
masyarakat lainnya. Sedangkan jawara sebagai klien medapatkan perlindungan
hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan jaringan tersebut, Golkar
memperoleh dukungan yang besar dalam setiap pelaksanaan pemilu, pembuatan
kebijakan politik, dan memperkokoh posisi Golkar-Orde Baru. Sedangkan jawara
mendapatkan posisi-posisi kunci dalam struktur partai politik Golkar sendiri yang
juga masih bertahan hingga kini.
5. Jawara Pada Masa Reformasi
Tumbangnya era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah
mengiringi transisi demokrasi Indonesia kembali pada alur demokrasi yang
seutuhnya yang dikenal dengan era reformasi. Kebebasan dalam sistem
pemerintahan ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam
sistem ketatanegaraan yang ditumpahkan dalam bentuk demonstrari mahasiswa
dan masyarakat pada pertengahan sampai penghujung tahun 1998. Cita-cita akan
suatu suatu masyarakat bangsa yang mempunyai rule of law, perwakilan, dan
kebebasan bagi semua telah berhasil diraih. Dengan demokrasi pada era ini semua
orang bisa mewujudkan kesanggupan-kesanggupannya. Mereka saling
59
memperkuat satu sama lain negara melindungi warga Negara, sedang warga
Negara mendharma-baktikan dirinya terhadap Negara. Kemajuan dalam kondisi
berfikir yang satu akan pula memperbaiki kondisi jasmani bagi yang lain, dengan
demikian model masyarakat yang baik dari para filosof yang memerintah dan
yang diperintah, sarana dan tujuan, dijelmakan dalam model kaum
institusionalis.85
Sebagai patron klien rezim Orde Baru dan partai Golkar, jawara cenderung
bermuka dua mengenai demokrasi. Hal ini dikarenakan sifat jawara yang
seutuhnya tidak sejalan dengan konsep demokrasi, demokrasi dianggap bisa
mengancam dominasinya terhadap politik lokal di Banten. amun, sikap
masyarakat secara luas mendukung reformasi membuat jawara tidak bisa
membantah perihal reformasi demokrasi. Akan tetapi kenyataan berkata lain,
runtuhnya rezim Orde Baru ini malah makin mengukuhkan dominasi jawara.
Jawara memperoleh peluang lebih besar untuk terus melanggengkan dominasi
sosial-politiknya. Jawara tidak lagi terkooptasi oleh satu partai (Golkar) tapi
jawara mulai melebarkan sayapnya pada partai-partai lain seperti PDIP, PKP,
PBB, dan lain-lain, dan bahkan tidak sedikit jawara yang independen yang pada
kesempatan dan kepentingan lain mereka bisa bebas bermanuver ekonomi-
politik.86
Jawara yang menyebar dalam jejaring sosial masyarakat ini merupakan
sebuah kedigjayaan jawara sebagai sosok elit tradisional yang tidak bisa
dipisahkan dan suatu bentuk kekhasan dalam sosial-politik di Banten.
85
David E. Apter, Pengantar analisa Politik, CV. Rajawali bekerja sama dengan
Yayasan Solidaritas Gadjah Mada. Jakarta. 1977. hal. 266 86
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,
hal. 67.
60
Kedigjayaan jawara di era reformasi dapat diidentifikasi dalam
pelaksanaan pilkada. Dalam pilkada dilibatkan oleh para pesrta pillkada sebagai
sarana untuk mendulan suara masyarakat dalam pemenangan pilkada. Hal ini
dikarenakan jawara sebagai sosok elit tradisional yang memiliki pengaruh besar
dalam sosial-politik masyarakat Banten dapat memobilisasi masyarakat dalam
dinamika sosial-politik dadaerahnya. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten
Lebak 2008, setiap gerakan sosial-politik yang dilakukan masyarakat merupakan
gerakan yang dilatar belakangi oleh para jawara.87
Secara umum, hal ini
menjadikan peran politik yang dilakukan jawara sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam sosial-politik di Kabupaten Lebak.
87
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
61
BAB IV
PERAN POLITIK JAWARA
DALAM PEMENANGAN H. MULYADI JAYABAYA
A. Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008
Pilkada sebagai salah satu ciri demokrasi pada era reformasi adalah adanya
Pemilihan Umum secara langsung dari tingkat desa (Lurah) sampai dengan
tingkat nasional (Presiden). Menurut Undang-undang No. 22 tahun 1999, bupati
dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh rakyat
dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada
masa jabatannya.88
Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph A. Sschumpeter
metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk
memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.89
Hal ini
dimaksudkan agar terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan hati-aspirasi
masyarakat, sehingga masyarakat menjadi partisipatif untuk mengarahkan dan
menentukan kemajuan daerahnya.
Hal ini juga di pertegas dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 pada tanggal 29 September yang menjelaskan bahwa kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada sehingga daerah mempunyai otonomi
untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya
88
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
184. 89
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna:Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap kmonsep Demokrasi .Yogyakarta, Tita Wacana, 1999, hal. 72.
62
manusia daerahnya.90
Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) bersama
DPRD, mempunyai peran sangat besar dalam menentukan arah dan jalannya
pembangunan daerahnya.
Pilkada sebagai sarana demokratisasi yang langsung menyentuh sendi-
sendi masyarakat, pilkada merupakan perwujudan pengembalian hak-hak
rakyat dalam memilih pemimpin daerah.91
Pilkada telah memberi ruang bagi
perkembangan otonomi daerah dalam menentukan pemimpin yang mewakili
aspirasi masyarakat secara langsung. Dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia,
pada tiap daerahnya memiliki kultur politik yang berfarian. Hal ini disebabkan
karena Indonesia merupakan negara yang majemuk, pada tiap daerahnya
memiliki farian kultur yang berbeda pula. Sehingga pendekatan politik ditingkat
lokal selalu melibatkan institusi informal yang merefleksikan kultur masyarakat
daerahnya.
Dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak tahun 2008 yang diikuti
oleh 3 pasangan calon. yaitu pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah
yang diusung oleh partai PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PKB, PAN,
PBB, dan PBR. Pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa diusung oleh
partai PPP, PBB, PNI Marhaen dan Partai Pelopor. dan pasangan Muhamad yas‟a
Mulyadi – M. Sudirman yang diusung non partai (independen) dan
90
Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri
Abadi, 2008, hal. 134. 91
A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,
Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.
191.
63
perseorangan.92
Pelaksanaan pilkada ini dimenangkan oleh pasangan H. Mulyadi
jayabaya – H. Amir Hamzah dengan perolehan suara sebanyak 360.420 suara atau
64,3% suara yang memberikan suaranya. Diikuti oleh pasangan H. Mardini –
Wijaya Ganda Sungkawa diurutan kedua dengan perolehan suara 172.326 suara
atau 30,7% dan yang terakhir adalah pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman
meraih suara 27.851 atau 5% suara, sedangkan suara tidak sah sebanyak 17.099
suara.93
Secara keseluruhan pilkada Lebak tahun 2008 ini berjalan dengan normal,
meskipun diwarnai dengan berbagai unjuk rasa oleh masing-masing pendukung
peserta pilkada. Hal ini terlihat pada tahapan pencalonan dan pemungutan
suara. Maraknya unjukrasa dalam tahapan pencalonan pilkada Lebak tahun
2008, disebabkan karena adanya indikasi ijazah palsu milik calon incumbent H.
Mulyadi Jayabaya. meski demikian besarnya unjuk rasa pada tahapan pencalonan
ini, KPU Kabupaten Lebak tetap meloloskan pasangan calon incumbent tersebut,
dengan alasan bahwa kewenangan memutuskan ijazah palsu tersebut bukan
bagian kewenangan KPU. Dengan kata lain komisioner KPU Lebak menjelaskan
bahwa KPU tidak memiliki kewenangan dalam hal Ijazah.94
Selanjutnya dalam tahapan pemungutan suara sampai penghitungan suara,
pilkada lebak juga diramaikan dengan unjuk rasa. Unjuk rasa dalam tahapan ini
masih berkaitan dengan isu dalam tahapan pencalonan yaitu indikasi Ijazah palsu
92
Tempo Interaktif, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://pilkadalebak.
wordpress. com/2008/05 dan Lebak, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://imnbanten.
wordpress.com/2008/ 10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amir-pemenang-pilkada/ 93
KPUD Kabupaten Lebak. Catatan Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan
Suara, Model DB 1 –KWK. pada 20 Oktober 2008. 94
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
64
H. Mulyadi jayabaya. Perbedaannya dengan tahapan pencalonan, dalam tahapan
pemungutan suara sampai tahapan penghitungan suara, unjuk rasa ditandai
dengan isu pengunduran diri 2 (dua) dari 3 (tiga) pasangan calon yaitu
H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa dan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman.
Kedua pasangan ini beralasan mengundurkan diri karena KPU Kabupaten
Lebak tetap meloloskan pasangan incumbent H. Mulyadi jayabaya – H. Amir
Hamzah sebagai calon Bupati dan wakil Bupati Lebak tahun 2008 – 2013.
Penandatanganan pengunduran diri pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M.
Sudirman dilakukan di Kampung Cilajur, Kecamatan Maja Kabupaten Lebak
sekitar pukul 13.00 WIB sabtu 11 oktober 2008. Sementara itu, penyerahan berkas
pengunduran diri kepada KPU Kabupaten Lebak dilakuakn pada pukul 16.00
WIB yang diantarkan langsung oleh pasangan calon M. Yas‟a Mulyadi – M.
Sudirman dan diterima oleh anggota KPU Lebak Ahmad Hakiki Hakim dan
Kepala Sub Bagian Teknik Penyelenggaraan Sekretariat KPU Lebak Rahmat
Gunawan.95
Pengunduran diri pasangan peserta pilkada ini juga diikuti oleh
pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa sekitar 15 menit kemudian dan
diterima oleh anggota KPU Lebak. Dalam surat pengunduran diri ini, kedua
pasangan calon tersebut menuliskan kekecewaan terhadap KPU Kabupaten Lebak
yang tetap meloloskan pasangan calon incumbent sebagai peserta pilkada
Kabupaten Lebak tahun 2008.
Terkait dengan pengunduran diri 2 (dua) pasangaan calon Bupati dan
wakil Bupati Lebak tahun 2008–2013, tentu saja hal ini mengancam
95
Protes KPU, Pilkada Lebak terancam Batal. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011
http://www.suarakarya-onlinne.com/news?id=211257
65
keberlangsungan pemungutan suara yang akan diselenggarakan pada tanggal 16
oktober 2008 yang menyisakan 1 (satu) pasangan calon incumbent. Namun
ternyata KPU Kabupaten Lebak tetap menyelenggarakan pemungutan suara.
KPUD menyebutkan bahwa pengunduran diri kedua pasangan calon tidak
mempengaruhi pelaksanaan pemungutan suara pada pilkada 16 oktober 2008.
Hal ini juga diperkuat oleh anggota KPU pusat yang disampaikan Putu Artha
yang menetapkan pemungutan suara pilkada Lebak tahun 2008 harus tetap
berjalan sebagaimana mestinya. 96
Dalam kesempatan lain, H. Agus Sutisna anggota KPUD Lebak yang
sekarang menjabat sebagai Ketua KPUD Lebak mengatakan pengunduran
diri 2 (dua) pasangan calon itu dinilai tidak sah, selain itu keduanya telah
menandatangani surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri dan juga
tidak diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2008 yang merupakan revisi
sebagian Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah.
Kemudian dia menjelaskan kembali bahwa hal ini juga disebutkan dalam pasal
lain bahwa pengunduran diri yang sah harus membayar sangsi denda Rp. 20
Miliar, hal inilah yang tidak dilakukan oleh kedua paasangan calon, sehingga
pilkada harus tetap dilakukan sebagaimana mestinya.97
Pilkada merupakan sebuah konsep pemilihan secara langsung yang
melibatkan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat
yang secara nyata dapat dilihat dalam sebagai sebuah mekanisme untuk memilih
96
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 97
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
66
pemimpin politik, mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini
dinamakan pilkada. Keterlibatan masyarakat dalam pilkada tidak hanya
melibatkan institusi formal saja, melainkan juga institusi informal pada tiap
daerahnya masing-masing. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak
keterlibatan institusi informal ini tercermin oleh elit tradisional Kabupaten Lebak
yaitu jawara. Jawara merupakan tokoh yang memberikan andil besar dalam
dinamika politik pilkada kabupaten Lebak tahun 2008. Seperti yang dikemukakan
oleh KPUD Lebak H. Agus Sutisna, yang menyebutkan bahwa pilkada tahun
2008 merupakan sebuah ajang politik element jawara.98
Dalam Pemilihan Kepala
Daerah (pilkada) Kabupaten Lebak tahun 2008 selain partai politik dan
masyarakat, Jawara sebagai elit tradisional masyarakat merupakan sosok yang
memiliki peranan yang besar dalam mendukung dan mensukseskan pasangan
calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah peserta
pilkada Lebak tahun 2008.
pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan oleh
para jawara. Dukungan yang diberikan oleh para jawara tidak sertamerta begitu
saja, melainkan karena hubungan baik yang sudah terjalin pada periode
pemerintahan sebelumnya. Selain itu, para jawara juga menilai kinerja H. Mulyadi
Jayabaya telah berhasil.99
Keberhasilan kinerja incombent ini bisa dilihat dari
fasilitas yang diberikan pemerintah di daerah para jawara. Hal inilah yang melatar
98
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 99
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.
67
belakangi dukungan terhadap pasangan calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir
Hamzah.
Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 hampir setiap gerakan politik dan
mobilisasi masa calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi jayabaya – H. Amir
Hamzah dilatar belakangi oleh para jawara. Setidaknya dalam pelaksanaan
pilkada 2008 terdapat 23 gerakan sosial yang dilatarbelakangi jawara dalam
mensukseskan masing-masing pasangan calon peserta pilkada.
B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir
Hamzah
Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam
negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah
bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan
bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi
politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang
absah oleh rakyat.
Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya
partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan
bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin
melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara
dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh
keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama. Dalam hal itu maka kepentingannya
68
akan tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak
masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk
membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa
kegiatan mereka mempunyai efek (political efficacy).100
Dalam pilkada Lebak tahun 2008, tidak terfokus pada partai politik
pengusung calon Bupati melainkan pada elit tradisional elit tradisional. Hal ini
dikarenakan elit tradisional lebih mengakar pada masyarakat. Dimana pasangan
incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan penuh para jawara karena
sudah menjalin hubungan politik pada periode pertama H. Mulyadi Jayabaya.
Jawara dinilai berperan dalam mendukung dan mensukseskan pasangan
tersebut dalam pilkada Lebak tahun 2008. Jawara merupakan elit tradisional
masyarakat di wilayah Provinsi Banten termasuk Kabupaten Lebak. Seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jawara memiliki pengaruh yang besar
dalam masyarakat, karena kuatnya pengaruh tersebut jawara menjadi aktor yang
sangat penting atas kesuksesan pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir
Hamzah. Besarnya dukungan jawara terhadap pasangan incombent merupakan
sebuah modal politik yang tidak dimiliki oleh calon pasangan lain.
Keterlibatan jawara dalam pilkada merupakan sebagai kelompok
partisipan. Sebagai kelompok partisipan yang aktif, jawara sangat
memperhitungkan arah dukungan mereka. Hal ini dikarenakan akan memberikan
dampak terhadap input yang mereka dapatkan secara pragmatis.101
Dalam
100
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 101
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis
Fisip Universitas Indonesia
69
memberikan dukungan jawara akan senantiasa merujuk pada kedekatan mereka
terhadap salah seorang calon. Sehingga kepentingan-kepentingan mereka bisa
terpenuhi.
C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation
Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di Kabupaten Lebak,
meskipun hanya salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan
yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan
posisi yang dominan layaknya kyai di daerah lain, jawara bisa mempengaruhi
dinamika sosial-politik masyarakat. Bahkan posisi jawara di Kabupaten Lebak
lebih menentukan dari pada kyai, hal ini dikarenakan posisi kiyai di Kabupaten
Lebak masih tertutup dalam hal politik karena kiyai menganggap politik sering
berbenturan dengan etika keagamaan.102
Hal berbeda ditunjukan oleh jawara,
jawara yang cenderung pragmatis dan tidak begitu perduli dengan permasalahan
etika.
Jawara yang memiliki karakter berbeda dari anggota masyarakat lainnya
seperti berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan
(terbuka). Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan
diyakini memiliki kadigjayaan (kesaktian).103
Hal ini yang mengindikasikan
keberadaan jawara sebagai elit tradisional sebagai sekelompok orang yang
berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak. Keberadaan jawara yang memiliki
pengaruh dan teroganisir dengan rapih, sehingga ia menjadi sebuah civil society.
102
Wawancara dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada tanggal 29
Agustus 2013. 103
Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,
hal. 65
70
Namun civil society mereka tidak memposisikan diri sebagai lembaga mediasi
antara kepentingan rakyat dan pemerintah. Malah ia merupakan kekuatan yang
dominan yang dapat mengontrol dan memobilisasi segala kekuasaan lokal baik
dengan cara sopan maupun dengan cara kekerasan.104
Keterkaitannya dalam
pilkada tentunya pasangan yang mendapat dukungan dari jawara merupakan
keuntungan dalam meraih suara rakyat, karena kegiatan politik jawara senantiasa
akan oleh masyarakat.
Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 menempatkan posisi jawara bukan
sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan, melainkan sebagai Mobilized
Political Partisipation menjadi tim sukses sebagai pendulang suara terhadap calon
pemegang kekuasaan. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar
karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa
pada masyarakat lapisan bawah di Banten.105
Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam
masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik
jawara.Pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya menjadi bupati mendapat
respon baik dikalangan jawara. Hal ini disebabkan hubungan yang sudah terjalin
antara pemerintah dengan jawara tidak perlu lagi membangun pola hubungan
yang komprehensif karena sudah terjalin pada saat incombent H. Mulyadi
Jayabaya menjabat sebagai Bupati. Hal senada pula diutarakan oleh H. Agus
Sutisna sebagai anggota KPU Kabupaten Lebak yang sekarang menjabat
104
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis
Fisip Universitas Indonesia 105
Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi
71
komisioner KPU Kabupaten Lebak, dia menyatakan bahwa hubungan yang dijalin
oleh oleh H. Mulyadi Jayabaya merupakan hubungan yang sudah dijalin cukup
harmonis saat periode pertama H. Mulyadi jayabaya memimpin Kabupaten
Lebak.106
Jawara sebagai tokoh elit tradisional yang dihormati dan disegani karena
dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan magis keberanian
(wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan
dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena
kelebihannya yang dimilikinya tersebut pengaruh yang cukup besar dalam
masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya
bersifat kharismatik inilah yang menjadikan jawara sebagai pendulang suara.
Peran jawara sebagai tim sukses diindikasikan dengan mengkampanyekan
pasangan calon bupati/wakil bupati. Jawara melakukan berbagai pendekatan pada
tiap kalangan masyarakat petani, nelayan, agamawan, birokrasi, dan lain-lain. Hal
ini menurut Samuel P. Huntington merupakan bentuk kategori partisipasi
Lobbying.107
Dalam hal ini jawara memerintahkan seluruh anak buahnya yang
tersebar keseluruh wilayah agar dapat mendukung pasangan calon yang didukung
oleh para jawara tersebut.
Selain itu, jika jawara dengan lobbying tidak berhasil mendulang suara,
maka tidak segan-segan jawara akan melakukannya melalui jalan kekerasan untuk
mempengaruhi masyarakat. Hal ini juga disebut oleh Samuel P. Huntington
106
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008
dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 107
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.
72
sebagai bentuk kategori partisipasi Violence.108
Dalam hal ini jawara tidak lagi
menggunakan cara yang baik dalam mempengaruhi masyarakat, tetapi jawara
cenderung menekan masyarakat melalui bentuk kekerasan lisan maupun fisik.
108
Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.
73
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melalui pembahasan tentang Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku
Politik Jawara yang menitik beratkan pada studi tentang Peran Jawara dalam
Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008. Maka penulis menyimpulkan penulisan
skripsi ini sebagai berikut:
1. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan sebuah konsep untuk memberikan
kekuasaan pusat kepada daerah dalam mengelola daerahnya masing-
masing. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut, disisi lain ternyata telah
memberikan kesempatan bagi elit tradisional seperti jawara dalam
melebarkan pengaruhnya dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
2. Pada tahun 2008 melalui pilkada langsung, masyarakat Kabupaten Lebak
melakukan partisipasi politik dalam memimpin daerahnya yang
diselenggarakan secara langsung untuk memilih calon bupati dan wakil
bupati. Pelaksanaan pilkada ini merupakan bentuk reformasi politik dalam
memilih pemimpin, sehingga pemimpin yang terpilih merupakan
representasi dari aspirasi masyarakat.
3. Partisipasi politik jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008
dilakukan dengan cara mensukseskan calon bupati dan wakil bupati
pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah. Sebagai tim sukses
74
jawara melakukan sosialisasi calon pasangan tersebut, serta melakukan
apapun untuk mendukung pasangan bupati dan wakil bupati.
4. Faktor yang mempengaruhi dukungan jawara terhadap calon bupati dan
wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah karena kedekatan
antar mereka sudah terjalin sejak periode pertama kepemimpinan H.
Mulyadi Jayabaya sebagai bupati Kabupaten Lebak.
5. Jawara sebagai elit tradisional yang memiliki pengaruh besar ternyata
menjadi salah satu aktor yang menentukan dalam meraih kedudukan
politik di Kabupaten Lebak.
B. Saran
Keberadaan jawara di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah
keniscayaan dalam kehidupan masyarakat banten. Jawara merupakan sosok elit
tradisional yang tidak dapat dipisahkan struktur dan kultur masyarakat banten.
Keikut sertaan jawara dalam politik merupakan hak politik jawara yang tidak bisa
terbantahkan, tapi yang jadi permasalahan adalah adanya upaya mobilisasi massa
yang dilakukan jawara dengan cara-cara yang tidak sopan tentunya tidaklah patut
untuk dilakukan. Selain karena bertentangan dengan etika-moral yang baik, hal ini
juga bisa menurunkan prestige yang melekat dalam diri jawara. Sikap jawara yang
terlalu pragmatis tentunya akan mengindikasikan kedudukan jawara sebagai anak
buah penguasa.
Jawara dalam politik seharusnya bisa lebih memposisikan dirinya sebagai
orang yang netral terhadap proses-proses politik. Dengan demikian kedudukan
jawara sebagai elit tradisional tetap memiliki prestige.
75
Daftar Pustaka
Buku
Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual
Muslim Indonesia terhadap konsep Demokrasi, Yogyakarta, Tita Wacana,
1999.
Abdullah, Taufik, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Jakarta, LP3S, 2004.
Al-abbas, Tb. Ismaetullah, apa dan siapa orang banten?: Pandangan Hidup,
Kosmologi dan Budaya, Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005.
Apter, David E., Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta, LP3ES
cet. II, tahun 1987.
Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. diterbitkan oleh PT.
Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2008.
Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai Edisi
Ketiga, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
Haris, Syamsuddin, Lili Romli, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah,
Jakarta, LIPI, 2006.
Hidayat, Syarif, Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam
Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed),Politik Lokal Di
Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.
H.R, Syaukani, Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani, cet. I,
2002.
Huntington, Samuel P., dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan
Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.
76
Kartodirjdo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka
Jaya, 1984.
Lubis, Nina Herlina, Banten dalam pergumulan sejarah: Sultan, Ulama, Jawara,
Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2003.
Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 2001.
Marbun. B.N, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet. II
Edisi Revisi, 2010.
Mas‟oed, Mochtar, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, PT. Suara Bebas,
2006.
Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan,
dan Kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.
Plano, Jack C., dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, CV
Rajawali, cet. I, Jakarta,
Pribadi, Toto, dkk, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka, 2006.
Rahardiansah, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan
Pendekatannya, Jakarta, Universitas Trisakti cet. I, 2006.
Alamsyah, Andi Rahman, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat,
2009.
Rahman, Arif, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, SIC, 2002.
Rasyid, Muhamad Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan & Politik Orde
Baru, Jakarta, Yasrif Watampone Cet. II, 1998.
Rush, Michael, dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, 2000.
77
Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta, PT Grasindo cet I, 1999.
Sutisna, Agus dan Amir Hamzah (ed), 177 Tahun Kabupaten Lebak : Negeri Yang
Sedang Bersolek, Kabupaten Lebak, Dinas Informasi Komunikasi Seni
Budaya dan Pariwisata (Inkosbudpar), 2005.
Suyanto, Bagong (ed), “Penelitian Kualitatif : Sebuah Pengantar,” dalam Metode
Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta, PT. Kencana,
2006.
Maarif, Ahmad Syafi‟I, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985.
Ubaidillah, Ahmad & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education): Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi
Revisi, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005.
Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta,
PT. Republika, 2004.
Tesis
Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten.
Tesis Fisip Universitas Indonesia
Jurnal
Romli, Lili, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,
Habibie Center, 2000.
78
Website
http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsi-
otda.pdf Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia, akses: 19 April 2011.
http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html
UUD 1945, akses: 16 Oktober 2012
http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214
Naskah Akademik UU Pilkada, akses: pada 20 April 2011.
http://sobatbaru.blogspot.com/2008/04/pengertian-demokrasi-dan-
hubungannya.html Pengertian Demokrasi Dan Hubungannya Dengan Pilkada,
akses: 20 April 2011.
http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html
Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia,
akses: 29 Desember 2012.
ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-
politik_03.html Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, &
Partisipasi Politik, akses: 29 Desember 2012.
http://pilkadalebak.wordpress.com/2008/05 tempo interaktif, akses: pada 25
November 2012.
http://imnbanten.wordpress.com/2008/10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amir-
pemenang-pilkada/ akses: 25 November 2012.
http://www.lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6 Kabupaten Lebak, akses: 6
Oktober 2012.
79
http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-
terlupakan1713.html. Romusa: Sejarah Yang Terlupakan, akses: 30 September
2012.
http://resources.unpad.ac.id/unpad-
content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf Kejawaraan Dalam Dinamika
Sejarah Kabupaten Lebak, akses: 1 oktober 2012
Wawancara
Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri, S.Ag, M.Pdi. (Dosen IAIN SMH Serang
Banten dan Latansa Mashiro Rangkasbitung) di Rangkasbitung. Pada tanggal 1
November 2012.
Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-
2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29
Agustus 2013.
Wawancara pribadi dengan Rusmani (Ketua BPPKB Provinsi Banten) pada
tanggal 21 September 2013.
Wawancara pribadi dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada
tanggal 29 Agustus 2013.
Transkrip Wawancara dengan Ketua KPUD Lebak: Bpk. H. Agus Sutisna, pada
29 Agustus 2013.
P: bagaimana pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
J: pelaksanaan pilkada Lebak pada tahun 2008 dalam segi tahapan dan jadwal
tidak ada yang terganggu dan berjalan normal. Tetapi memang banyak
diwarnai dengan demonstrasi terkait dengan isu Ijazah palsu milik H. Mulyadi
Jayabaya, baik dalam tahapan pencalonan dan pemungutan suara.
P: Apakah dalam pelaksanaan pilkada Lebak tahun 2008 jawara memiliki peran
besar dalam mendukung pasangan calon bupati dan wakil bupati?
J: peran jawara dalam pilkada lebak sebagai mobilisator masssa. Jawara sebagai
tim sukses sangat berperan dalam pilkada Lebak tahun 2008. Bahkan setiap
gerakan masyarakat dalam pilkada tersebut bisa disebut yang
melatarbalakanginya adalah jawara. Karena masyarakat ataupun kelompok lain
yang biasanya passif jadi aktif karena ada backing dari jawara. Bahkan jawara
mampu menghentikan para demonstran yang saling menghadang antar calon
pendukung hanya dengan pesan singkat (sms).
P: selain jawara ada sosok lain yang memiliki pengaruh di Kabupaten Lebak yaitu
kiayi. Bagaimana peran kiayi? Apakah ada perannya melampaui peran jawara
dalam pilkada?
J: jika dibandingkan jawara dengan kiayi, pengaruh kiayi kalah oleh jawara. Hal
ini dikarenakan kiai bertentangan dengan kedudukan mereka sebagai pemuka
agama, sehingga kental keterkaitannya dengan urusan moral. Berbeda dengan
jawara yang pragmatis, mereka tidak mempersoalkan mengenai moral. Peran
jawara lebih menonjol dibandingkan dengan kiayi.
P: bagaimana KPUD merespon pengunduran diri dua pasangan calon terkai isu
ijazah palsu milik incombent H. Mulyadi Jayabaya?
J: konstelasi pilkada Lebak tahun 2008 itu bisa dianggap sebagai milik H.
Mulyadi Jayabaya. Hal ini dikarenakan kesuksesan H. Mulyadi Jayabaya dalam
membangun Kabupaten Lebak, sehingga hal ini menjadi pertimbangan berat
pasangan lawan. Dengan adanya isu ijazah palsu ini menjadi celah lawan
politiknya sebagai sasaran tembak untuk melemahkan H. Mulyadi Jayabaya.
Dengan alasan tersebut pasangan lawannya HM-HG dan Yas’a-Sudirman
menekan KPUD untuk tidak meloloskan pasangan MULYA, sedangkan KPUD
tidak punya kewenangan untuk memutuskan apakah ijazah itu palsu atau tidak,
kewenangan KPUD hanya menyelenggarakan pilkada berdasarkan regulasi
perundang-undangan. Karena alasan itu KPUD tetap meloloskan pasangan
MULYA. Terkait dengan keputusan KPUD yang tetap meloloskan pasangan
MULYA ini, pasangan lawan HM-HG dan Yas’a-Sudirman mengajukan
pengunduran diri. Tapi KPUD menolak pengunduran diri mereka karena tidak
sesuai dengan perundang-undangan dan tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada
tahun 2008.
Transkrip Wawancara dengan Ketua Umum BPPKB : Bpk. Rusmani, pada 21
September 2013.
P: Bagaimana pendapat jawara terhadap adanya pelaksanaan pemilihan bupati
dan wakil bupati (pilkada) langsung tahun 2008?
J: Jawara mendukung dengan diadakan Pilkada, karena masyarakat dapat memilih
dan menentukan pemimpin mereka.
P: Bagaimana peran jawara dalam Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?
J: Adanya calon yang sudah dekat dengan saya dan sudah memperlihatkan
kinerjanya pada periode sebelumnya, untuk apa pilih calon yang lain yang
belum terbukti kinerjanya.
P: Apakah dari pihak jawara sendiri ada kontrak politik dengan calon bupati
periode sebelumnya?
J: Kalau dari kontrak politik secara tertulis tidak ada, kita tinggal melanjutkan
hubungan antara kami dengan mereka yang sudah terjalin saja.
P: apa peran/posisi jawara?
J: peran jawara sebagai tim sukses untuk memenangkan pasangan calon bupati
dan wakil bupati H. Mulyadi Jaya Baya dan H. Amir Hamzah
P: Bagaimana cara jawara untuk mendukung dan mensukseskan pasangan calon
bupati dan wakil bupati H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah?
J: Forkabi memulai bersosialisasi kepada seluruh kalangan masyarakat agar
masyarakat bisa memberikan suaranya.
Transkrip Wawancara dengan Sekjen TTKDH : Bpk. A. Hadad Jumat 29 Agustus
2013.
P: Apakah TTKDH dapat dikatakan sebuah ormas kepentingan politik di
Kabupaten Lebak?
J: tentu saja bukan. TTKDH adalah tempatnya orang-orang yang mempunyai
kemampuan beladiri. Tapi kalau ada hal yang menyangkut kesejahteraan
masyarakat TTKDH juga tidak segan-segan membantu masyarakat, tapi kalau
dikatakan sebagai ormas politik tentu saja TTKDH bukan ormas politik.
P: Bagaimana dengan maksud dukungan TTKDH terhadap pasangan bupati dan
wakil bupati?
J: Ya, menurut saya itu sah-sah saja, karna TTKDH juga bagian dari masyarakat
memiliki hak untuk mendukung siapa saja, termasuk pasangan H. Mulyadi
Jayabaya. Selain itu dibanding dengan pasangan H. Mulyadi Jayabaya sudah
terbukti bisa memajukan Kabupaten Lebak selama dia memimpin, jadi
masyarakat sudah percaya.
P: Bagaimana dukungan TTKDH untuk memenangkan pasangan bupati dan wakil
bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah?
J: kami intruksikan kepada semua anggota TTKDH untuk memilih pasangan
tersebut, termasuk mengkapampanyekan tapi tidak terbuka.
Transkrip Wawancara dengan cendikiawan Kabupaten Lebak : Bpk. K.H. Baijuri,
S.Ag, M.Pdi. pada 01 November 2012.
P: bagaimana menurut bapak pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak?
J: pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak berjalan normal-baik sebagaimana
mestinya. Walapun ada isu pengunduran diri dua pasangan calon terkait isu
Ijazah palsu H. Mulyadi Jayabaya tapi pilkada tetap saja berjalan sebagaimana
mestinya.
P: bagaimana menurut bapak bisa dilaksanakan pilkada tersebut sedangkan dua
pasangan lain mengundurkan diri?
J: jadi memang agak rancu melanjutkan pilkada yang diiringi dengan
pengunduran diri dua pasangan calon lain tersebut, tapi memang KPUD tidak
punya kewenangan dalam mengeksekusi isu tersebut. Jadi menurut saya
KPUD sudah tepat terus melaksanakan pilkada tersebut. Kalaupun mau
dikasuskan seharusnya kedua pasangan calon tersebut jauh-jauh hari dan
tuntutannya bukan kepada KPUD Lebak.
P: bagaimana peranan kiayi dan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak?
J: sebenarnya kiayi tidak memiliki andil besar dalam proses demokrasi terkait
pilkada tahun 2008. Hal ini dikarenakan kiayi berbenturan dengan persoalan
etika, karena kalau kiayi berperan aktif sedangkan pasangan yang
didukungnya tidak berpihak pada rakyat maka citra kiayi akan buruk. Berbeda
dengan jawara kalau jawara sangat berperan aktif dalam pilkada tahun 2008,
karena mereka tidak punya beban moral.
P: bagaimana sejarahnya sehingga jawara lebih dekat kaitannya dengan politik?
J: jawara pada masa setelah kemerdekaan menjadi dua, pertama, jawara kembali
pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam proses penyiaran agama
Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus pusaran politik lokal
maupun nasional yang bahkan lebih kental pada masa sekarang. Hal ini
dikarenakan jawara pada masa sekarang sangat pragmatis.
Lampiran.
Peta Provensi Banten.
Peta Kabupaten Lebak.
Logo Kabupaten Lebak.
Logo BPPKB.
Logo TTKDH.
Logo KPUD Kabupaten Lebak.
KABUPATEN LEBAK
Poto wawancara dengan KPUD Kabupaten Lebak.
Poto wawancara dengan K.H. Baijuri
Poto wawancara dengan BPPKB
Poto wawancara dengan sekretaris TTKDH
Nama Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Periode 2008-2013.
Partai Politik Pendudukung Calon Bupati dan Wakil Bupati.
H. Mulyadi Jayabaya
H. Amir Hamza
H. Mardini
Wijaya Ganda
Sungkawa
M. Yas’a Mulyadi
M. Sudirman
1. Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan
(PDI-P).
2. Partai Golongan Karya
(GOLKAR).
3. Partai Demokrat.
4. Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB).
5. Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).
6. Partai Amanat Nasional
(PAN).
7. Partai Bulan Bintang
(PBB).
8. Partai Bintang
Reformasi (PBR).
1. Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
2. Partai Nasionalis
Indonesia-Marhaen
(PNI-Marhaen).
3. Partai Pelopor
1. Independen