rima zuriah amdani, ardi rahman, eka pratiwi, purwowibowo .... studi awal... · parameter iso,...
TRANSCRIPT
Rima Zuriah Amdani, Ardi Rahman, Eka Pratiwi, Purwowibowo
Pusat Penelitian Metrologi LIPI
Kompleks PUSPIPTEK Gedung 420, Setu, Tangerang Selatan, 15314
INTISARI
Optical telah banyak digunakan di ranah industri maupun metrologi. Pusat Penelitian Metrologi LIPI sebagai Lembaga Metrologi Nasional memiliki peran penting dalam ketertelusuran standar nasional dengan penyediaan layanan jasa kalibrasi. Persentase jumlah kalibrasi optical pada Laboratorium Panjang selama tiga tahun lebih dari 10% dari total jumlah order. Kebutuhan kalibrasi yang besar tersebut membutuhkan sistem kalibrasi yang handal dan cepat. Sebaliknya, sistem kalibrasi di Laboratorium Panjang masih banyak terdapat faktor human error. Oleh karena itu dilakukan perbaikan sistem dengan berbasis pengolahan citra. Penelitian ini diawali dengan konsen pada studi tentang pengaturan kamera pada deteksi tepi citra frinji. Beberapa citra frinji ditangkap dengan menggunakan dua pengaturan kamera mode BW (mode hitam putih) dan RGB (mode warna). Hasil citra frinji tersebut diproses dengan program deteksi tepi citra yang dibangun dalam Matlab. Hasil deteksi kedua citra tersebut kemudian dibandingkan. Sebagai tambahan, tinjauan umum mengenai uji coba pengambilan gambar citra frinji dengan variasi parameter ISO, aperture dan shutter time juga ditampilkan. Pada hasil penelitian diperolehbahwa pengaturan pada mode kamera BW (hitam putih) memberikan hasil deteksi tepi citra frinji yang lebih baik dibandingkan dengan mode RGB. Selain itu diperoleh gambaran secara umum mengenai pengaturan kamera pada ISO 100, aperture f/5, dan shutter time 13s yang memberikan hasil yang baik dalam deteksi tepi citra frinji.
Kata Kunci : frinji, deteksi tepi, mode kamera, shutter time, aperture, ISO
ABSTRACT
Optical has widely used in industry and metrology areas. Research Center for MetrologyIndonesian Institute of Sciences (RCM LIPI) as a National Metrology Institute has a role in dissemination of standard by providing calibration service. Percentages of optical calibration order in Length Laboratory RCM LIPI for three years are over than 10% of the total amount order. The large requirement needs reliable and fast calibration system. Otherwise, the calibration system in Length laboratory has large human error factor. It is suggested an improvement in calibration system based image processing. This research begins with study the camera setting on fringe edge detection. Fringe images are captured with two different camera modes BW (black white mode) and RGB (color mode). The images result are processed by edge detection build in matlab then compared. It is also presented the overview of a series trial images captured using variation of parameter ISO, aperture and shutter time. It is obtained that setting on camera BW mode give a good result in edge detection compared to RGB mode. It is also give an overview of setting camera on ISO 100, aperture f/5, and shutter time 13s for presenting a good result in fringe edge detection.
Keywords : fringe, edge detection, camera mode, ISO, aperture, shutter time
1. PENDAHULUAN
Optical telah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi pengukuran di industri
maupun metrologi. Jenis optical yang umum digunakan berupa optical flat dan optical
parallel. Perbedaan dari kedua jenis optical tersebut yaitu pada optical flat hanya
menjamin kerataan dari muka ukur, tetapi tidak menjamin keparallelan dari muka ukur.
Aplikasi optical di industri misalnya untuk mengecek kerataan pada bagian-bagian mesin
seperti bearing atau seal. Pada bidang metrologi, optical digunakan sebagai standar
untuk mengukur kerataan optical sejenis dan untuk mengukur kerataan permukaan pada
gauge block.
Pusat Penelitian Metrologi LIPI sebagai Lembaga Metrologi Nasional memiliki
peran penting dalam ketertelusuran pengukuran standar nasional. Salah satu bentuk
diseminasi ketertelusuran yaitu dalam bentuk layanan kepada masyarakat melalui jasa
kalibrasi. Kebutuhan kalibrasi optical (flat maupun parallel) tergolong cukup banyak di
laboratorium dimensi. Berdasarkan data order kalibrasi dalam 3 tahun terakhir,
persentase order optical diatas 10% dari total order yang dikerjakan di laboratorium
dimensi. Persentase order kalibrasi optical pada tahun 2013, 2014 dan 2015 yaitu sebesar
10,6%, 29,6% dan 15%.
Sistem pengukuran kerataan optical pada Laboratorium Dimensi Puslit Metrologi-
LIPI ditunjukkaan oleh Gambar 1.
Gambar 1. Sistem Pengukuran Kerataan
Sistem pengukuran kerataan di laboratorium dimensi yaitu berdasarkan fenomena
interferensi yang dihasilkan dari kontak langsung antara optical tes dengan optical
standar dengan bantuan sinar hijau monochromatic lamp. Optical tes ditempatkan di atas
optical standar kemudian disinari dengan menggunakan monochromatic lamp.
Penyinaran tersebut menyebabkan terjadinya peristiwa interferensi yang menghasilkan
pola frinji. Hasil pola frinji yang terbentuk menggambarkan kerataan dari optical tes.
Pada sistem pengukuran tersebut masih banyak terdapat faktor human error.
Pembacaan pola frinji masih manual oleh mata. Selain itu, pengukuran jarak frinji masih
menggunakan mistar yang resolusinya 0,5 mm. Terdapat beberapa sumber kesalahan
pengukuran frinji dari segi penglihatan. Keterbatasan pengamat dalam melihat skala
mistar pada posisi yang tidak tegak lurus (paralaks) akan mengakibatkan kesalahan
dalam pembacaan pola frinji. Kesalahan bisa disebabkan pula karena peletakkan mistar
yang kurang tepat. Posisi bayangan frinji yang tidak tegak lurus terhadap skala mistar
bisa menyebabkan pengukuran yang tidak tepat. Selain itu. penentuan garis tepi frinji
masih bersifat subjektif dari pengamat karena kemampuan penglihatan tiap personel
yang berbeda. Belum ada standar khusus untuk menentukan kriteria batas suatu tepi
garis. Mengingat besarnya kebutuhan kalibrasi optical dan keterbatasan sistem yang ada
sekarang, maka diperlukan sistem kalibrasi optical yang reliable dan cepat.
Rencana perubahan dalam sistem tersebut dilakukan dengan menggantikan
pembacaan frinji yang semula oleh mata dengan kamera. Pemasangan kamera tersebut
membutuhkan holder untuk mengatur posisi kamera yang tepat dalam menangkap
gambar frinji. Selain itu holder berfungsi agar pengambilan gambar berada dalam
kondisi statis. Kamera dihubungkan dengan controlled button agar pengambilan gambar
bisa dilakukan oleh personel pada jarak yang tidak terlalu dekat dengan objek ukur.
Kamera dihubungkan dengan komputer untuk menyimpan gambar yang tertangkap.
Untuk mencegah panas radiasi pada sistem pengukuran,akan dibuat chamber. Ruang
dalam chamber dibuat gelap agar terhindar dari pengaruh cahaya ruangan yang bisa
menjadi gangguan dalam menangkap gambar frinji. Ilustrasi rancangan sistem tersebut
ditunjukkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Rancangan Sistem Pengukuran Kerataan Berbasis Pengolahan Citra
Sebelum membuat sistem pengukuran kerataan berbasis pengolahan citra, pada
penelitian ini dilakukan studi awal mengenai mode pengaturan kamera. Pengambilan
gambar frinji yang tepat oleh kamera akan menentukan kebenaran dari hasil ukur. Oleh
karena itu dilakukan serangkaian uji coba pengambilan gambar frinji dengan pengaturan
mode BW dan RGB untuk diketahui mode kamera yang menghasilkan gambar frinji
dengan deteksi tepi terbaik. Selain itu pengambilan gambar frinji pada penelitian ini juga
sekilas diujicobakan dengan variasi pengaturan ISO, aperture dan shutter time pada
kamera DSLR. Pemilihan ketiga parameter ini dikarenakan parameter tersebut
mempengaruhi pengambilan gambar pada ruangan dengan sedikit pencahayaan.
Diharapkan dengan adanya studi tersebut akan mampu memberi gambaran untuk
menentukan pengaturan kamera yang tepat dalam pengukuran kerataan optical.
2. TEORI DASAR
Optical flat merupakan peralatan optik yang terbuat dari kaca hasil leburan material
silika, zerodur atau safir yang dipoles dengan tingkat kerataan tertentu. Optical flat biasa
digunakan untuk mengevaluasi akurasi dari permukaan datar [1].
Interferensi cahaya terjadi karena adanya interaksi dua atau lebih gelombang dengan
panjang gelombang yang sama sehingga membentuk pola gelap terang. Cahaya
monokromatik yang dikenakan pada suatu permukaan lapisan tipis dapat menunjukkan
fenomena interferensi karena ada beda fasa antara berkas cahaya yang langsung
dipantulkan (berkas 1, BE) dengan cahaya yang mengalami pembiasan terlebih dahulu
(berkas 2, CF). Perbedaan fasa antara berkas 1 dan 2 disebabkan adanya beda panjang
lintasan yang ditempuh dan juga karena pembalikan fasa saat gelombang dipantulkan
Chamber
oleh medium yang lebih rapat. Ilustrasi terjadinya peristiwa interferensi ditunjukkan pada
Gambar 3 [2].
Gambar 3. Interferensi Cahaya
Pola gelap terang hasil interferensi dari cahaya monokromatik yang mengenai
optical standard dan optical tes dapat ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Pola gelap terang hasil interferensi [3]
Nilai kerataan pada sebuah optical tes dapat dihitung dari pola frinji yang terbentuk.
Perhitungan nilai kerataan tersebut dituliskan dalam persamaan 1. [4].
...............................................................................................................1
dimana :
F = Nilai kerataan dari optical
b = jarak penyimpangan frinji
a = jarak antar frinji
= Panjang gelombang dari sinar monochromatic lamp (cahaya hijau = 546,3 nm)
Berdasarkan rumus tersebut, untuk mendapatkan keraataan diperlukan informasi
mengenai jarak a dan b. Ilustrasi jarak a dan b pada pola frinji ditunjukkan Gambar 5.
Gambar 5. Jarak Pola Frinji [5]
Kamera DSLR semakin banyak digunakan untuk keperluan fotografi. Kamera
DSLR dilengkapi dengan sensor CMOS memiliki beberapa keungulan diantaranya
ringan dan tahan terhadap radiasi. Keunggulan tersebut memungkinkan kamera DSLR
digunakan sebagai instrument alternatif selain CCD untuk keperluan ilmiah [6]
Pengolahan citra adalah pemrosesan sebuah citra dengan menggunakan
komputer yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari sebuah citra. Salah satu
bagian dari proses pengolahan citra yaitu segmentasi citra. Segmentasi citra merupakan
proses mempartisi citra menjadi beberapa area. Beberapa pendekatan dalam proses
segmentasi citra yaitu pendekatan deteksi tepi, deteksi wilayah dan deteksi hybrid.
Metode deteksi tepi yang umum digunakan yaitu metode Roberts, Prewitt, Sobel dan
Canny. Diantara keempat metode tersebut, metode canny memberikan hasil deteksi tepi
citra yang terbaik [7].
Bagian terpenting sebelum melakukan pengolahan citra adalah mendapatkan citra
yang tepat sehingga dapat diperoleh informasi benar dalam citra tersebut. Ada beberapa
faktor yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan kualitas citra yang baik diantaranya
adalah pengaturan kamera agar mendapatkan citra sesuai dengan yang diharapkan. Tiga
hal pokok pengaturan pada kamera untuk mendapatkan citra gelap terang yang ideal
yaitu pengaturan aperture, shutter time dan ISO. Aperture adalah bukaan lensa dimana
cahaya masuk. Penamaan pengaturan untuk aperture terbalik dengan besarnya bukaan.
Semakin besar bukaan berarti angka semakin kecil. Contoh urutan setting dari bukaan
dari besar ke kecil yaitu (f/1, f/2, f/4, f/8, f/16 dst). Shutter time adalah durasi kamera
membuka sensor untuk menyerap cahaya. Durasi bervariasi dari 1/4000 detik sampai 30
A (Jarak antar Frinji)B (Deviasi
Frinji)
detik. ISO adalah ukuran sensitifitas sensor terhadap cahaya. Ukuran dimulai dari 100,
400 atau 6400. ISO ukuran kecil berarti sensitifitas terhadap cahaya rendah, dan
sebaliknya untuk ISO ukuran besar. ISO dengan angka besar akan menurunkan kualitas
gambar karena akan menyebabkan noise pada sebuah citra [8].
3. METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan melakukan uji coba
pengambilan serangkaian citra frinji dengan dua mode pengaturan kamera BW dan RGB.
Selain itu pengambilan citra juga dilakukan dengan mencoba variasi pengaturan pada
kamera yang berupa pengaturan aperture, shutter time dan ISO. Selanjutnya, beberapa
sampel citra yang telah diambil dideteksi tepi dengan metode Canny pada matlab.
Analisis kelurusan garis dari hasil deteksi tepi masih dilakukan secara kualitatif dengan
mengamati secara visual. Hasil analisis tersebut digunakan untuk mendapatkan
pengaturan kamera antara mode BW atau RGB yang mampu dalam mendeteksi tepi
citra. Peralatan yang digunakan dalam penelitian berupa optical flat diameter 2 inc
sebagai optical tes dan optical flat diameter 75 mm sebagai standar. Kedua optical
terbuat dari bahan silika. Kamera yang digunakan yaitu Nikon D3200. Adapun tahapan
penelitian ditunjukkan dengan diagram alir pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Uji Coba Pengambilan Gambar
Tahap awal dalam perbaikan sistem adalah mencoba menggantikan pembacaan frinji
dengan kamera. Pengambilan gambar oleh kamera yang tepat akan menghasilkan citra
yang sesuai untuk mendapatkan hasil ukur yang benar. Oleh karena itu diperlukan uji
coba pengambilan gambar frinji dengan variasi pengaturan kamera. Adapun pengaturan
pada kamera yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Mode Citra Warna dan Citra Hitam Putih
Uji coba pertama dengan mengambil citra mode warna (RGB) dan hitam putih
(BW). Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui mode pengambilan citra RGB atau BW
yang bisa dideteksi tepi secara otomatis dengan menggunakan program yang dibangun
dalam Matlab.
2. Pengaturan ISO
Pengaturan ISO divariasikan sekilas dari ISO terkecil 100 ke iso terbesar 6400.
Parameter yang dibuat tetap adalah mode kamera dalam BW, aperture diatur pada f/5
dan shutter time 1.6
3. Aperture
Pada pengujian dengan pengaturan aperture, variabel yang dibuat tetap antara
lain mode kamera dalam BW, ISO kamera 100 dan shutter time 4. Aperture divariasikan
dari f/2.8 sampai f/16.
4. Shutter Time
Pada pengujian dengan pengaturan shutter time, variabel tetap dalam variasi
shutter time yaitu mode BW, aperture f/5, dan ISO 100. Shutter time divariasikan dari
0.62s sampai 13s
Pengolahan Citra
Citra frinji yang ditangkap kamera diproses dengan menggunakan program yang
dibangun dalam perangkat lunak Matlab. Terdapat beberapa tahapan pengolahan citra
yang dilakukan pada citra frinji. Citra dicuplik pada area yang diinginkan kemudian
diubah menjadi citra negatif (hitam putih) selanjutnya dideteksi tepi. Citra yang sudah
dicuplik diubah menjadi citra negatif agar perbedaan antara area gelap dan terang
mencolok sehingga didapatkan garis tepi dari citra yang jelas. Adapun rancangan
program yang digunakan dalam mendeteksi tepian citra dijabarkan sebagai berikut :
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Warna merah pada kolom tabel mengindikasikan pengaturan pada kamera yang
tidak direkomendasikan.
Tabel 1. Perbandingan Citra RGB dan Citra BW
Pada Tabel 1 beberapa sampel pengambilan citra mode RGB dan BW
dibandingkan satu sama lain. Terlihat bahwa citra mode BW lebih mudah dideteksi tepi
secara otomatis dengan menggunakan program yang telah dibuat pada matlab. Pada
pengaturan aperture f/2.8 dan shutter time 3s, tampak garis-garis frinji mode RGB tidak
mampu dideteksi oleh program. Begitu pula untuk pengaturan aperture f/5 garis-garis
citra friji mode RGB belum mampu menghasilkan deteksi tepi yang baik . Pengambilan
sampel citra selanjutnya diatur pada mode BW.
Tabel 2. Hasil Deteksi Tepi Variasi Pengaturan ISO
Pada Tabel 2 memperlihatkan hasil deteksi tepi sampel-sampel citra dengan variasi
pengaturan ISO dari yang terendah yaitu ISO 100 ke ISO tertinggi yaitu 6400. Terlihat
pada Tabel 1 pengaturan aperture f/5 secara visual tampak lebih baik dari pengaturan
aperture f/2.8 untuk shutter time 3 sehingga aperture f/5 diuji cobakan sebagai variable
terikat untuk variasi ISO. Hasil deteksi garis menunjukkan untuk pengaturan ISO yang
tinggi menghasilkan garis citra yang secara visual tampak sangat tebal. Deteksi garis
yang dihasilkan belum mampu membuat satu berkas garis utuh. Pada pengaturan ISO
100 tampak ada beberapa area yang sudah berupa garis tipis, oleh karena itu pengaturan
pengambilan sampel selanjutnya difokuskan pada ISO 100
Tabel 3. Hasil Deteksi Tepi Variasi Aperture
Uji pengambilan citra dengan variasi aperture menggunakan shutter time 4s
sebagai variable terikat. Ini dikarenakan pada uji coba dengan shutter time 1.6s (dari
percobaan pada mode RGB dan BW) masih menghasilkan garis yang tebal. Pada Tabel 3
terlihat untuk variasi aperture f/13 menghasilkan garis yang sangat tebal sehingga tidak
direkomendasikan untuk diajadikan acuan pengaturan pengambilan gambar. Pada tabel,
tampak pengaturan aperture f/5 cukup membentuk tepian garis yang tipis pada area
tertentu meskipun masih belum tampak jelas membentuk garis yang lurus. Pengambilan
sampel berikutnya akan difokuskan pada pengaturan aperture f/5
Tabel 4. Hasil Deteksi Tepi Variasi Shutter Time
Pada Tabel 4, memperlihatkan garis-garis yang terbentuk secara visual sudah
tampak membentuk garis lurus dan tipis dibandingkan dengan sampel-sampel
sebelumnya. Semakin tinggi shutter time semakin menghasilkan garis tepi yang tipis.
5. KESIMPULAN
Pada percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa
dengan program yang telah dibangun pada matlab, pengambilan citra frinji dengan
pengaturan kamera mode BW mampu menghasilkan deteksi tepi citra yang lebih baik
dibandingkan mode RGB. Pengaturan ini mampu diaplikasikan baik untuk jenis optical
flat maupun parallel untuk berbagai jenis ukuran karena pada sampel citra yang berbeda-
beda. Didapatkan pula hasil deteksi tepian garis optimal dengan pengaturan kamera pada
ISO 100, Aperture f/5 dan shutter time 10s sampai 13s. Adapun perbaikan yang
diperlukan untuk penelitian selanjutnya yaitu pengambilan gambar dengan variasi posisi
kamera yang tetap agar diketahui perpaduan posisi dan pengaturan aperture, shutter
time, dan ISO yang tepat pada kamera.
6. UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada rekan-rekan Laboratorium Panjang Puslit Metrologi LIPI
atas kerjasama dalam membangun terwujudnya penelitian ini serta manajemen Puslit
Metologi yang membantu memfasilitasi pengadaan penelitian ini.
7. DAFTAR PUSTAKA
[1] Optical Flat Manual. 2004. Edmund Optics
[2] Dave Cochrane. How Flat Is Flat. Industrial Research Limited. New Zealand
[3] Kalpakjian. 2001. Chapter 35 Engineering Metrology And Instrumentation Schmid
Manufacturing Engineering AndTechnology. Prentice Hall. US
[4] Eka Pratiwi. 2011. Pengukuran Kerataan Permukaan Optical Flat Menggunakan
Lampu Monochromatic dan Gauge Block Comparator. PPI KIM 37 Hal 399-410
[5] http://mbdaps.com/precision-optical/data/ta006.html. Diakses 20 April 2016
[6] Iman Firmansyah, Rhorom Priyatikanto, Dan Judhistira Aria Utama. 2015.
Fotometri Pleiades Menggunakan Kamera DSLR.2015. Spektra: Jurnal Fisika Dan
Aplikasinya, Vol. 16, No. 3
[7] Raman Maini & Dr. Himanshu Aggarwal. Study And Comparison Of Various
Image Edge Detection Techniques. International Journal Of Image Processing
(IJIP), Volume (3) : Issue (1)
[8] Ence Tjin. 2011. Kamera DSLR Itu Mudah. Jakarta. Bukunè
HASIL DISKUSI
1. Penanya : Veny (P2 Metrologi LIPI)
Pertanyaan : Apakah ketebalan frinji berpengaruh terhadap pengukuran?
Mengapa tidak pakai CCD kamera?
Jawaban : 1. Iya. Ketebalan frinji yang terbentuk mempengaruhi perubahan
jarak frinji dimana jarak frinji tersebut mempengaruhi
perhitungan nilai kerataan
2. Sudah dilakukan uji coba dengan menggunakan CCD kamera
dan hasilnya citra frinji tidak tertangkap oleh kamera karena
CCD kamera kurang sesuai digunakan untuk pengukuran pada
ruangan dengan pencahayaan kurang (gelap)